“He-he-he! Tikus-tikus kecil bertingkah! Terimalah kembali senjata kalian!“
Tubuhnya bergerak, tongkat dan pedang rampasan meluncur dari kedua tangannya sedangkan begitu pinggangnya di gerakkan, rantai baja itupun meluncur bagaikan seekor ular terbang menyambar mangsanya. Tiga macam senjata itu meluncur ke arah pemilik masing-masing dan terdengar teriakan-teriakan mengerikan ketika tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang itu baru saja bangkit terkena senjata mereka sendiri.
Demikian kuatnya tenaga yang mendorong senjata-senjata itu sehingga tongkat baja itu menembus dada Hek-mo-ko, pedang menancap di leher Gu Ma It dan rantai baja mengenai kepala Su Ciong Kun sehingga kepala itu menjadi remuk. Ketiganya tewas di saat itu juga!
Semua anak buah Huang-ho Kwi-pang yang melihat betapa tiga orang pimpinan mereka tewas sedemikian mudahnya oleh kakek botak itu, menjadi terkejut dan ketakutan. Mereka serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu sambil minta ampun.
“He-he-he-he!“ Pak-te-ong tertawa mengelak sambil mencabut tongkatnya dan mengelus perutnya yang gendut. Boleh aku mengampuni kalian, akan tetapi mulai saat ini, kalian hanya taat kepada Pak-te-ong! Akulah satu-satunya pemimpin di seluruh wilayah Lembah Huang-ho ini. Kalian mengerti?”
Puluhan orang yang ketakutan itu mengangguk-angguk seperti sekumpulan ayam memasuki beras dan menyatakan kesanggupan mereka. Pak-te-ong kembali tertawa bergelak sehingga mukanya di tengadahkan. Akan tetapi tiba-tiba tawanya terhenti karena matanya dapat melihat Cu Sian yang masih duduk menggoyang kaki di atas cabang pohon.
“Heeiiii, engkau! Turunlah engkau! Apakah engkau ingin membalas kematian tiga orang sahabat mu ini?”
Cu Sian tahu benar bahwa kakek botak itu memiliki kesaktian yang luar biasa. Dari cara dia menewaskan tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang saja tahulah dia bahwa kakek itu sama sekali bukan lawannya. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan sikap takut, dia meloncat turun dari atas cabang pohon dan berkata sambil lalu saja.
"Aku bukan sahabat mereka dan urusanmu dengan mereka tidak ada sangkut pautnya dengan aku...!“ Setelah berkata demikian Cu Sian menyeret tongkat bambunya dan melangkah pergi dari situ.
Melihat pengemis muda itu pergi seenaknya saja, Pak-te-ong berseru kepadanya. “Heiii, jembel muda. Sebelum pergi engkau harus berlutut dan menyatakan takluk kepadaku, baru engkau boleh pergi...!“
Cu Sian memiliki watak yang lincah jenaka dan gembira, akan tetapi di samping itu juga tabah sekali dan tidak mengenal rasa takut. Mendengar ucapan kakek itu, dia berhenti melangkah dan memutar tubuhnya memandang kakek itu dengan sepasang mata yang bersinar.
“Pak-te-ong, aku bukan perampok dan aku tidak akan menakluk kepadamu atau kepada siapa pun juga!“ Setelah berkata demikian, dia melanjutkan langkahnya.
“Heh! Kalian! Perintahku pertama kepada kalian. Tangkap dan seret jembel itu ke depan kakiku...!“
Kurang lebih lima puluh orang anggota Huang-ho Kwi-pang itu tidak berani membantah. Dengan senjata di tangan mereka lalu bangkit dan lari menyerbu ke arah Cu Sian.
Melihat ini Cu Sian menjadi marah. Dia menyambut dan dengan gerakan cepat tongkatnya, dia telah merobohkan empat orang pengeroyok yang datang paling depan. Akan tetapi para pengeroyok itu mengepung dan menyerangnya dari semua penjuru. Cu Sian menjadi marah dan dia memainkan tongkatnya sedemikian rupa sehingga tongkat bambu itu berubah menjadi gulungan sinar kuning yang menyelimuti tubuhnya sehingga semua serangan itu terpental kembali. Bahkan dia mampu merobohkan lagi delapan orang.
Melihat betapa lihainya pengemis muda itu, Pak-te-ong terkejut dan marah sekali. Baru saja mengumumkan diri menjadi pemimpin tunggal di Lembah Huang-ho, sudah ada seorang yang berani menentangnya dan orang itu hanya seorang pengemis muda! Mata Pak-te-ong terbelalak dan mukanya berubah kemerahan karena marahnya.
“Kalian semua mundur!“ bentaknya sengan suara mengeledek. Biar aku sendiri yang akan menghajar jembel busuk ini!“
Para anggota Huang-ho Kwi-pang memang sudah merasa jerih kepada Cu Sian yang amat lihai ilmu tongkatnya itu, maka ketika kakek botak itu menyuruh mereka mundur, mereka pun dengan cepat mengundurkan diri.
Pak-te-ong maju beberapa langkah dan setelah jarak antara dia dan Cu Sian tinggal sepuluh meteran, dia mendorongkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka ke arah pemuda jembel itu. Angin yang kuat menyambar ke arah Cu Sian. Pemuda itu mengenal pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Dia segera mengelak ke samping akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang. Maklum bahwa dia bukan lawan kakek sakti itu, Cu Sian lalu meloncat jauh dan melarikan diri.
“Jembel busuk...!“ teriak Pak-te-ong sambil melakukan pengejaran. Akan tetapi Cu Sian berlari semakin cepat dan menghilang di balik pohon-pohon besar. Pak-te-ong juga mengerahkan ginkangnya dengan penasaran. “Pengemis muda, engkau tidak akan dapat melepaskan diri dari tanganku!“ cepat sekali tubuh kakek ini berkelebat di depan.
Akan tetapi, setelah dia memperpendek jarak antara dia dan yang dikejarnya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan di depannya berdiri seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, sinar matanya lembut dan mulutnya tersenyum-senyum.
“Sungguh memalukan seorang datuk besar mendesak seorang pemuda remaja!“ kata pemuda itu yang bukan lain adalah Han Sin.
Pak-te-ong terpaksa berhenti dan dia memandang kepada Han Sin dengan marah. “Minggir atau engkau akan kubunuh lebih dulu!“ bentaknya.
“He-he, bukan main galaknya. Pak-te-ong, hentikan pengejaranmu. Lawan yang sudah lari tidak baik di kejar...“ Han Sin berkata dengan lagak menasehati.
“Keparat, mampuslah...“ bentak Pak-te-ong sambil mendorongkan tangan kirinya ke arah Han Sin dengan ilmu pukulan jarak jauh. Han Sin juga mendorong tangan kanannya.
“Deeesss...!“ keduanya terdorong ke belakang dan Pak-te-ong terkejut bukan main. Pemuda ini mampu menolak pukulan jarak jauhnya dan membuat dia terdorong ke belakang! Dari bukti ini saja dapat di ketahui bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Maka, dengan hati penasaran dan marah, dia mengegerakkan tongkat kepala naganya menyerang bagaikan badai mengamuk dan setiap pukulannya dahsyat sekali.
Akan tetapi untuk kedua kalinya kakek itu merasa terkejut bukan main. Semua pukulannya mengenai tempat kosong dan dua kali pemuda itu bahkan berani menangkis tongkatnya dengan tangan kosong! Jarang ada lawan yang akan mampu bertahan lebih dari lima jurus kalau dengan tangan kosong menghadapi tongkatnya. Apalagi lawan itu seorang pemuda seperti ini. Setelah belasan jurus dia menyerang tanpa hasil. Tiba-tiba Han Sin melompat ke kiri dan melarikan diri.
“Heeiii, jangan lari!“ Pak-te-ong membentak dan mengejar, akan tetapi pemuda itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Han Sin memang tidak ingin berkelahi. Kalau tadi dia menghalangi Pak-te-ong, hal itu dia lakukan untuk memberi kesempatan Cu Sian melarikan diri, setelah dia merasa bahwa Cu Sian telah berlari jauh dan kakek itu tidak akan dapat mengejarnya lagi, diapun meninggalkan lawan yang amat lihai itu.
Setelah gagal mencari kedua orang pemuda itu, dia melampiaskan kekecewaannya dan kemarahannya dengan mengobrak-abrik hutan, menumbangkan banyak pohon-pohon dengan tongkatnya, akhirnya Pak-te-ong kembali ke tempat dimana anggota Huang-ho Kwi-pang masih berkumpul.
Dan sejak hari itu, gegerlah daerah Lembah Huang-ho dengan munculnya seorang tokoh baru yang menundukkan semua golongan sesat dengan kepandaiannya yang tinggi. Mereka yang mau tunduk dan menakluk, menjadi anak buahnya dan mereka yang berani menentang di bunuhnya. Terkenallah nama Pak-te-ong di dunia kang-ouw sebagai seorang datuk utara yang sakti.
Harus di akui bahwa Kaisar Yang Ti meneruskan politik lebih tegas dari mendiang Yang Chien, ayahnya. Terusan-terusan yang menghungkan kedua sungai Huang-ho dan Yang-ce di lanjutkan dan diperluas, bahkan diteruskan sampai ke Hang-couw. Pekerjaan besar yang di mulai oleh Kaisar Yang Chien ini di lanjut kan oleh Kaisar Yang Ti. Juga politik luar negerinya melanjutkan apa yang telah di lakukan oleh kaisar Yang Chien, yaitu menundukkan kembali daerah-daerah yang dahulu memberontak dan memisahkan diri. Bahkan lebih luas lagi dia bertindak, bukan saja Tong-kin dan Tong-nam di tundukkan, juga dia melakukan gerakan di utara dan barat.
Kaisar Yang Ti mengirim pasukannya ke daerah yang kini di namakan Mongolia Dalam, Mongolia Luar, Kokonor, Sin-kiang, bahkan ke Asia Tengah yang pada waktu itu di diami bangsa-bangsa Toba, Turki dan Mongol dengan banyak suku-sukunya. Di antara suku-suku bangsa itu terdapat banyak pertikaian dan permusuhan karena memperebutkan wilayah dan kekuasaan.
Kaisar Yang Ti mengirim banyak mata-mata memasuki daerah itu yang bertugas untuk meniup-niupkan permusuhan dan pertentangan itu. Maka bertambah panaslah suasana di antara suku-suku bangsa itu dan karena adanya perpecahan ini, maka pasukan Sui dapat menguasai daerah-daerah itu yang kemudian di beri nama Sin-kiang atau daerah baru.
Usaha perluasan wilayah ini juga di tujukan ke Timur Laut, yaitu daerah Mancuria Selatan dan Korea. Namun di sini Kaisar Yang Ti mengalami pukulan berturut-turut yang menyuramkan sinar kemenangannya di daerah lain. Sayang sekali, Kaisar Yang Ti tidak menuruni watak ayahnya yang menunjukkan seorang pendekar sejati, dahulu Kaisar Yang Chien selalu mengesampingkan kepentingan sendiri, tidak gila kedudukan dan gila kekuasaan, biarpun kaisar hidupnya sederhana dan selalu mengambil tindakan tegas terhadap siapa saja yang melakukan penyelewengan dan kesalahan.
Sebaliknya, Kaisar Yang Ti mengumbar nafsu kesenangannya secara berlebihan. Dia gemar sekali mengumpulkan wanita-wanita cantik untuk menjadi selir dan dayang, dan membangun istana-istana yang luar biasa indahnya. Kegemaran ini menghamburkan banyak sekali uang negara dan dia banyak menerima protes dari pejabat-pejabat tinggi yang setia. Namun, kedua telinganya seperti tuli terhadap semua protes dan kritik itu.
Untuk memuaskan nafsunya, dia mempunyai seorang permaisuri, dua orang wakil permaisuri, enam kepala selir dan tujuh puluh dua selir. Semua itu masih belum memuaskan hatinya dan dia mengumpulkan gadis-gadis dari segalal penjuru dan suku, untuk dijadikan dayang yang jumlahnya mencapai tiga ribu orang! Kalau semua ini hanya di sembunyikan di istana saja masih belum terlalu mencolok, akan tetapi Kaisar Yang Ti memiliki cara yang mencolok untuk menyenangkan hatinya dan memuaskan nafsunya.
Ketika pembangunan Terusan Besar yang menghubungkan utara dan selatan selesai dan dapat dipergunakan, maka untuk pembukaan pertama dia memerintahkan membuat sebuah perahu naga yang besar, kemudian, beberapa ratus gadis dayang di suruh menarik tambang yang mengikat perahu itu untuk menggerakkan perahu melawan arus.
Sambil menarik tambang, para dayang itu bernyanyi. Di atas perahu naga, dayang-dayang cantik memainkan seruling dan Yang-kim (siter) mengiringkan nyanyian merdu. Dalam kamar perahu itu, kaisar Yang Ti dilayani oleh selir dan dayang yang di pilihnya untuk menemaninya dalam perahu itu. Tentu saja rakyat menonton peristiwa itu dengan takjub. Dan para menteri setia hanya menarik napas panjang dan menggeleng kepala.
Keroyalan Kaisar Yang Ti mencapai puncaknya ketika dia memerintahkan Hsiang Sheng, pembuat bangunan terbesar di waktu itu, untuk membangun sebuah istana yang amat indah di Lok-Yang. Untuk membuat bangunan raksasa yang indah dan megah mewah ini dipergunakan tenaga pekerja lebih dari lima puluh ribu orang dan pekerjaan di selesaikan dalam waktu delapan belas bulan.
Tentu saja bangunan ini memakan biaya yang luar biasa besarnya. Di bangun di tanah yang luas, istana atau bangunan utama di kelilingi oleh tiga puluh enam istana yang lebih kecil, semua tersembunyi di dalam hutan-hutan bunga beraneka macam dan warna. Pemandangan di sekitar istana mengingatkan orang akan dongeng tentang taman sorga!
Akan tetapi karena istana itu mempunyai banyak bangunan dan lorong bunga yang berliku-liku dan simpang siur, maka Kaisar Yang Ti memberi nama aneh kepada istana itu, yaitu Istana Lorong Menyesatkan. Memang bagi orang yang belum mengenal betul daerah kumpulan istana ini, dia tentu akan tersesat di dalamnya dan sukar mencari jalan keluar lagi.
Bangunan utama merupakan sebuah istana yang bertingkat tiga, berkilauan dalam sinar matahari bagaikan sebuah Pagoda emas yang luar biasa besarnya. Di dalam bangunan ini terdapat banyak kamar berbagai ukuran yang amat indah, di pisahkan oleh pintu-pintu yang berukiran halus. Yang terbesar adalah kamar utama yang menjadi tempat tidur kaisar Yang Ti.
Kamar ini luar biasa besarnya, bisa muat seratus meja untuk berpesta. Dinding-dindingnya di hias dengan cermin dari sudut ke sudut. Asap dupa harum yang tipis selalu mengepul sehingga kamar besar itu berbau harum. Tirai-tirai sutera bermacam warna bergantungan dan lentera-lentera berbagai warna yang bergantungan dengan hiasan yang mengandung daya seni tinggi.
Sungguh sayang sekali, ketika kaisar pertama Kerajaan Sui, yaitu Kaisar Yang Chien, memegang kendali pemerintahan, persatuan dapat di bina karena para pembesar di daerah tunduk dan taat kepada kaisar Yang Chien yang bijaksana, akan tetapi setelah Kaisar Yang Ti hidup bergelimang dengan kesenangan dan kemewahan, maka mulailah orang merasa tidak senang kepadanya. Rasa tidak senang ini, terutama sekali dari pembesar-pembesar daerah, merupakan bibit-bibit pemberontakan.
Sudah berulang kali tercatat dalam sejarah, apabila kaisarnya mulai terpengaruh kesenangan duniawi dan mementingkan kesenangan sendiri saja, maka tentu akan bermunculan pembesar-pembesar 'durna' alias penjilat- penjilat yang berhati palsu. Demikian pula dengan waktu itu.
Ketika Kaisar Yang Chien berkuasa, tidak ada seorangpun penjilat berani mendekatinya, atau lebih tepat, tidak muncul pembesar yang berwatak penjilat karena kaisarnya bijaksana dan adil lagi tegas. Akan tetapi ketika Kaisar Yang Ti berkuasa, mulailah berdatangan pembesar-pembesar penjilat yang maklum akan kelemahan Kaisar Yang Ti.
Pembesar-pembesar penjilat inilah yang bersikap penuh perhatian terhadap kebutuhan kaisar untuk memenuhi kesenangannya. Mereka ini yang menawar-nawarkan gadis baru yang cantik dan mendorong semua keinginan kaisar untuk beroyal-royal menghamburkan uang negara.
Banyak pembesar tua yang dahulu membantu Yang Chien dengan setianya, dipensiun oleh Yang Ti, dan di gantikan dengan orang-orang muda yang lebih cocok dengan dia. Di antara mereka ini seorang pejabat tinggi bernama Lui Couw. Dia telah banyak berjasa dalam perang menundukkan daerah-daerah utara dan barat, maka diapun kini di angkat menjadi panglima besar. Bukan hanya karena dia berjasa, akan tetapi diapun pandai menyenangkan hati Kaisar Yang Ti.
Dalam perang menundukkan daerah-daerah, Lui Couw ini tidak pernah lupa untuk menawan gadis-gadis cantik dan menyerahkan kesempatan pertama kepada Kaisar Yang Ti untuk meilih di antara gadis-gadis itu yang di senanginya. Karena 'jasa' inilah maka kedudukan Lui Couw cepat naik dan kini setelah menjadi panglima besar maka kekuasaanyapun bertambah kuat.
Lui Couw ini mempunyai seorang putera bernama Lui Sun Ek, yang telah berusia dua puluh satu tahun. Lui Couw sendiri sudah berusia empat puluh lima tahun. Dari para selirnya yang banyak Lui Couw hanya mendapatkan seorang putera itulah, sedangkan istrinya juga tidak mempunyai keturunan. Maka biarpun hanya putera selir, Lui Sun Ek di manja dan di hormat sebagai keturunan tunggal. Bahkan ibunya juga naik 'pangkat' tidak lagi menjadi selir, melainkan menjadi isteri kedua yang dalam kehidupan sehari-hari mendorong kedudukan isteri pertama dan meiliki kekuasaan lebih besar dalam keluarga Lui Couw.
Lui Couw adalah seorang yang selain pandai dalam ilmu perang, juga ahli silat yang tangguh. Demikian pula puteranya, Lui Sun Ek, telah di gemblengnya sendiri sejak anak itu masih kecil sehingga kini Sun Ek menjadi seorang pemuda dewasa yang lihai sekali. Sebagai seorang panglima tinggi yang kedudukannya sudah sama dengan seorang menteri, Lui Couw memiliki sebuah rumah gedung yang megah.
Pada suatu pagi, para menteri dan panglima menghadap Kaisar Yang Ti karena Kaisar mengundang mereka dalam sebuah sidang pertemuan. Para pembesar itu sudah lama menghadap ketika Kaisar masih bersenang-senang dengan para wanitanya dalam taman istana. Setelah para pembesar itu merasa kesal menanti, barulah kaisar keluar diiringkan para thaikam (sida-sida) dan pengawal pribadi.
“Hidup Yang Mulia Kaisar!“ terdengar seruan mereka yang segera menjatuhkan diri berlutut menghadap kaisar.
Kaisar Yang Ti memandang kepada semua pejabat itu, mengangguk senang karena mereka semua hadir selengkapnya, lalu duduk dan menggerakkan tangannya. “Kalian semua boleh duduk!“
“Terima kasih, Yang Mulia,...“ serentak mereka menjawab lalu bangkit dan duduk di bangku-bangku yang sudah disediakan untuk mereka.
Kemudian Kaisar memberi kesempatan kepada mereka untuk satu demi satu menyampaikan pelaporan tentang jalannya pemerintahan, dan juga tentang gerakan pasukan Sui yang berusaha menundukkan daerah-daerah di Timur Laut. Dengan kecewa dia menerima laporan bahwa gerakan pasukan di Timur Laut mendapat perlawanan yang amat kuat dari mereka, terutama sekali dari bangsa Korea.
“Hemmm, kalau demikian, lebih baik tarik mundur dulu pasukan dari sana karena kami mendengar bahwa daerah utara Shan-si juga para suku bangsa biadab mulai melakukan gerakan. Kami sendiri yang akan memimpin pasukan besar mengadakan pembersihan di Shan-si utara!”
“Ampun Yang Mulia. Akan tetapi hamba kira sebaiknya kalau paduka menyerahkan saja tugas itu kepada hamba atau kepada para panglima lainnya. Tidak perlu paduka berangkat sendiri memimpin pasukan. Daerah sana itu berbahaya sekali bagi paduka dan sebaiknya paduka tidak menempuh bahaya itu...“ kata Lui Couw.
Kaisar Yang Ti mengerutkan alisnya dan wajahnya nampak marah ketika dia memandang kepada panglimanya itu. “Liu-Ciang-kun! Lupakah engkau siapa kami ini...? Mendiang ayah kami adalah seorang pejuang yang gagah perkasa, dan sejak muda kami juga sudah bergelimang dengan pertempuran. Apa artinya bahaya bagi seorang kaisar yang memimpin pasukannya sendiri melakukan pembersihan? Kami akan berangkat sendiri...!“
“Ampun, Yang Mulia. Hamba hanya mengkhawatirkan keselamatan paduka saja maka mengusulkan agar kami para panglima yang diperintahkan pergi. Akan tetapi kalau demikian kehendak paduka, hamba tentu saja tidak berani membantah...“ kata Liu Couw.
“Pendeknya laksanakan perintah kami, yaitu, tarik mundur pasukan yang berperang di timur laut, dan kerahkan pasukan besar yang akan kami bawa sendiri ke utara Shan-si. Berapa lamakah pasukan itu dapat berkumpul...?”
Lui Couw saling pandang dengan para panglima yang hadir, kemudian setelah menghitung-hitung, dia menjawab, “kalau pasukan yang berada di timur laut itu di haruskan kembali ke kot a raja lebih dahulu, maka hal itu akan makan waktu lama, Yang Mulia. Akan tetapi kalau di kirim perintah agar pasukan itu langsung saja pergi ke Tai-goan di Shan-si dan bertemu dengan pasukan dari sini, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama pasukan dapat terkumpul di Tai-goan.
“Baik, laksanakan perintah itu agar mereka segera di tarik ke Tai-goan...“
“Hamba siap melaksanakan perintah paduka!“ jawab Lui Couw.
Setelah menerima laporan hal-hal lain dari berbagai menterinya, kaisar lalu berkata, ”Nah, sekarang kami hendak membicarakan sebuah persoalan penting...“
Dia memberi isyarat kepada seorang Thaikam yang maju berlutut dan menyerahkan sebatang pedang bersarung kepada Kaisar Yang Ti. Setelah menerima pedang itu dari seorang thai-kam, Kaisar Yang Ti lalu mengangkat pedang itu ke atas, memperlihatkannya kepada semua yang hadir lalu bertanya, “Tahukah kalian pedang apa ini...?”
Semua orang memandang penuh perhatian. Pedang itu memiliki sarung yang indah terukir sebuah naga, juga gagang pedangnya di ukir kepada naga dan warnanya putih seperti perak. Para menteri yang sudah menghambakan diri sejak dahulu tentu saja mengenal pedang itu.
“Pek-liong-kiam (Pedang Naga Putih)...!“ terdengar seruan beberapa orang.
Kaisar Yang Ti mengangguk. “Benar ini adalah Pek-liong-kiam, Pedang pusaka milik mendiang ayah yang telah berjasa besar. Lihatlah baik -baik!” Kaisar menghunus pedang itu dan nampak sinar berkilauan yang menyeramkan. “Sekarang pedang ini menjadi milik kami, maka kami juga harus berani bertindak tegas, membasmi semua pemberontakan dan kerusuhan dengan pedang ini. Akan tetapi ada satu hal yang merisaukan hati kami. Pedang ini mempunyai saudara yang di sebut Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam). Hek-liong-kiam itu dahulu menjadi milik mendiang panglima besar Cian Kauw Cu. Kami menghendaki agar pedang itu dapat menjadi pusaka negara. Karena itu, kami memerintahkan engkau, panglima muda Coa Hong Bu, untuk mencari Hek-liong-kiam dan membawanya ke sini, menyerahkan kepada kami..."
Coa Hong Bu adalah seorang panglima muda yang bertugas di istana. Dia seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun yang bertubuh jangkung kurus. Sebagai seorang murid yang pandai dari Hoa-san-pai, dia memiliki ilmu silat yang tinggi. Ketika mendengar perintah ini, Coa Hong Bu memberi hormat dan berkata dengan suara tegas seorang panglima.
“Hamba akan melaksanakan perintah paduka, hamba hanya mohon petunjuk, siapa yang kini memiliki pedang pusaka itu...“
Kaisar memandang kepadanya dengan marah. “Hek-liong-kiam adalah milik mendiang Panglima Cian Kauw Cu. Setelah meninggal dunia, tentu saja pusaka itu berada di tangan keluarganya! Dan ada satu hal lagi. Ingat baik-baik, di dunia ini hanya dua orang yang mengenal ilmu yang ditemukan bersama sepasang pedang Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam. Ilmu itu hanya dikenal oleh mendiang ayah dan mendiang Panglima Cian Kauw Cu. Karena ayah tidak meninggalkan kitab ilmu itu kepada kami, maka sangat boleh jadi bahwa kitab itu pun tadinya berada di tangan Panglima Cian. Maka, engkau, Panglima Coa Hong Bu, kalau sudah menemukan Hek-liong-kiam, tanyakan pula adanya sebuah kitab yang di tinggalkan oleh Cian-Ciangkun dan serahkan padaku. Kalau pemegangnya menuntut penebusan uang, berikan kepadanya berapa saja yang dia minta...“
“Akan hamba laksanakan, Yang Mulia. Dapatkah Paduka memberitahu kepada hamba nama ilmu itu...?”
“Kitab itu berisi ilmu yang di sebut Bu-tek-cin-keng. Usahakan sampai pedang dan kitab dapat kau serahkan kepada kami, Coa-ciangkun. Engkau akan mendapat hadiah besar dari kami...“
Setelah berkata demikian, Kaisar Yang Ti membubarkan pertemuan itu. Para pembesar, menteri dan panglima mengundurkan diri dan bersiap melaksanakan semua perintah yang dikeluarkan pada pertemuan itu oleh kaisar.
Semua perintah yang diberikan kaisar dapat dilakukan dengan mudah oleh para pembesar, kecuali tugas yang diberikan kepada Panglima Coa Hong Bu. Panglima yang biarpun sudah berusia tiga puluh lima tahun akan tetapi masih hidup membujang ini setelah meninggalkan istana tidak langsung pulang ke rumahnya, akan tetapi segera melakukan penyelidikan untuk mengetahui dimana adanya Nyonya Cian Kauw Cu yang sudah pindah meninggalkan kota raja itu bersama puteranya.
Setelah mengetahui kemana pindahnya keluarga Cian yang di carinya itu, Panglima Coa Hong Bu lalu membuat persiapan untuk pergi berkunjung ke rumah janda itu yang menurut keterangan yang dia peroleh telah pindah keluar kota dekat kuil Siuw-lim-si.
Ji Goat, yaitu Nyonya Cian Kauw Cu yang hidup menyendiri di bukit dekat kuil, merasa prihatin dan kesepian sejak puteranya ia suruh pergi ke utara untuk mencari pedang pusaka Naga Hitam dan pembunuh suaminya. Kini ia hidup kesepian, hidup sederhana dari sisa bekal peninggalan suaminya, bercocok tanam seperti seorang petani.
Namun, wanita yang kini sudah berusia lima puluh lima tahun itu tidak pernah merasa berduka. Ia hanya berdoa setiap hari agar puteranya selamat dan berhasil melaksanakan kewajibannya membalaskan kematian ayahnya. Satu-satunya orang yang menemani dan membantunya, adalah seorang wanita dusun sebelah yang sudah berusia lima puluh tahun.
Wanita pembantu itu datang di waktu pagi sekali dan pulang ke rumahnya sendiri setelah hari menjadi gelap. Cio Si, demikian nama pembantu itu, adalah seorang dusun sederhana yang dapat menghibur hati Ji Goat di kala ia merasa kesepian teringat kepada puteranya.
Biarpun kini hidup menyendiri, Ji Goat tidak pernah melupakan ilmu silatnya. Hampir setiap hari sekali ia berlatih silat sehingga tubuhnya tetap sehat dan kuat dan gerakannya tetap lincah. Biasanya ia berlatih di waktu pagi sekali, di belakang rumahnya yang merupakan kebun dan ladang yang cukup luas dan udaranya segar sejuk karena terpencil, jauh dari tetangga.
Pada suatu pagi yang sejuk, ketika ayam jantan mulai berkokok dan matari sendiri belum keluar walaupun sinarnya sudah mulai mengusir kegelapan malam, seperti biasa Ji Goat berlatih silat di belakang rumahnya. Dan pada saat yang sama, Cio Si, wanita pembantu itupun meninggalkan rumah keluarganya menuju ke rumah Ji Goat yang tidak terlalu jauh letaknya dari rumah keluarganya.
Karena pintu depan masih tertutup, seperti biasa Cio Si menuju ke kebun belakang karena ia tahu bahwa pada saat seperti itu nyonya majikannya tentu sedang berlatih silat di kebun belakang dan pintu belakang sudah dibuka. Akan tetapi ketika pembantu rumah tangga itu tiba di kebun belakang ia terkejut bukan main melihat nyonya majikannya sedang berkelahi melawan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya. Ia menjadi ketakutan, kedua kakinya terasa lemas dan iapun berjongkok di belakang semak-semak.
Apa yang telah terjadi dengan nyonya janda itu? Ketika Ji Goat sedang berlatih silat, seperti biasa ia memainkan ilmu silat Lo-hai-kun. Ilmu silat ini merupakan ilmu silatnya yang dahsyat dan yang dipelajarinya ketika ia masih muda dahulu dari gurunya, Toat beng Giam Ong yang menjadi Kok-su (Guru Negara) dari Kerajaan Toba. Ketika Ji Goat berlatih, daun-daun pohon yang berdekatan bergoyang-goyang karena sambaran angin yang timbul dari gerakan kedua tangan Ji Goat. Tiba-tiba saja terdengar seruan orang.
“Bagus! Lo-hai-kun yang kau kuasai semakin lihai saja, suci...!”
Ji Goat terkejut dan menghentikan gerakannya. Ketika ia menengok, ia melihat seorang pria berusia empat puluh lima tahun, bertubuh sedang dan tegap, telah berdiri di situ. Ia tidak mengenal pria ini dan tentu saja ia merasa heran di sebut suci (kakak seperguruan) oleh orang itu.
“Siapa engkau...?“ tanyanya curiga.
Pria itu tertawa pendek. “Ha-ha suci, lupakah engkau kepadaku? Aku Lui Couw...“
“Lui Couw...?“ Ji Goat mengulang nama itu sambil mengerutkan alisnya mengingat-ingat. Kemudian teringatlah ia. Ketika ia masih menjadi murid Toat beng Giam Ong Lui Tat, gurunya yang berpangkat tinggi itu mempunyai seorang putra dari seorang selirnya bernama Lui Couw. Ketika itu Lui Couw baru berusia enam tujuh tahun!
“Kau... putera suhu Toat Beng Giam Ong...? Hemmm, apa maksud kedatanganmu ini, Lui-sute?”
“Suci, sudah lama aku menjadi seorang panglima dari Kerajaan Sui...“
Ji Goat mengerutkan alisnya. Ia sama sekali tidak tahu dan tidak mengira bahwa putera gurunya itu kini menjadi panglima. “Lalu ... apa maksud kedatangamu ke sini...?“
“Suci, Kaisar bermaksud untuk merampas kitab Bu-tek Cin-keng dari tanganmu, karena itu aku mendahului mereka datang ke sini menemui suci. Ku harap suci suka menyerahkan kitab itu kepadaku...“
Mereka saling berpandangan dengan sinar mata penuh selidik. “Sute, kitab itu tidak ada padaku...“ jawab Ji Goat dengan tegas.
“Suci, ingatlah Kaisar dan Kerajaan Sui adalah musuh kita. Mendiang ayahmu adalah Perdana Menteri Kerajaan Toba dan ayahku adalah Kok-su-nya. Maka Kerajaan Sui adalah musuh kita. Maka harap jangan ragu, serahkan kitab itu kepadaku agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kaisar Yang Ti...!“ suara Lui Couw terdengar keras dan mendesak.
“Sudah kukatakan, kitab itu tidak ada padaku...!“
“Kalau begitu, katakan dimana kitab itu...? Ah, ya! Engkau mempunyai seorang putera, bukan? Dimana dia? Apakah kitab itu kau berikan kepadanya...?“
Kerut di antara alis Ji Goat makin mendalam dan ia menggeleng kepalanya keras -keras. “Tidak, aku tidak akan memberitahukan kepadamu atau kepada siapapun juga!“
“Suci...! Sekali lagi kuminta engkau memberitahu dimana adanya kitab Bu-tek Cin-keng!” kini Lui Couw membentak marah.
Akan tetapi Ji Goat memandang dengan mata berapi dan menjawab tegas. Tidak akan kuberitahu...!“
“Kalau begitu apakah aku harus mempergunakan kekerasan...?”
“Terserah. Jangan di kira aku takut kepada mu atau kepada siapapun juga!“ Ji Goat marah bagaikan seekor singa betina. Wataknya yang dahulu di waktu ia masih gadis muncul kembali dan ia sudah mengepal kedua tinjunya.
“Engkau perempuan bandel...!“ Lui Couw sudah menyerang dengan pukulan dahsyat kearah muka Ji Goat. Wanita ini mengelak dan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Lui Couw menangkis pukulan itu dan keduanya segera bertanding dengan seru. Karena kedua orang ini menggunakan ilmu yang sama, yaitu Lo-hai-kun, tentu saja keduanya sudah saling mengenal gerakan masing-masing dan perkelahian yang sesungguhnya itu nampak seperti dua orang sedang berlatih saja.
Ketika mereka bertanding inilah Cio Si, pembantu rumah tangga itu memasuki kebun dan segera bersembunyi dengan tubuh gemetar. Akan tetapi ia dapat menonton perkelahian itu lewat celah-celah daun semak-semak.
Setelah lewat tiga puluh jurus, mulailah Lui Couw terdesak. Bagaimanapun juga, dia masih kalah pengalaman oleh Ji Goat dan terutama sekali karena Ji Goat rajin berlatih setiap hari. Dalam hal kegesitan gerakan, Lui Couw kalah maka mulailah dia terdesak mundur.
Tiba-tiba Lui Couw meloncat kebelakang dan ketika dia maju lagi tangannya sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar hitam yang menyeramkan. Ji Goat terbelalak dan menudingkan telunjuknya kearah muka Lui Couw.
“Lui-sute...! Jadi engkaukah pengkhianat itu? Engkau pembunuh suamiku dan pencuri Hek-liong-kiam?” teriak Ji Goat penuh perasaan terkejut, heran dan marah sekali.
“Karena engkau tidak mau menyerahkan kitab itu, engkaupun akan ku kirim ke akhirat menyusul suamimu...!“ bentak Lui Couw yang segera menerjang dengan pedangnya.
Ji Goat memang sedang berlatih silat tangan kosong, maka ia tidak bersenjata. Pedangnya tertinggal di dalam kamarnya. Menghadapi serangan itu, iapun mengelak cepat dan terjadilah perkelahian lagi. Akan tetapi sekarang Ji Goat yang terdesak hebat. Pedang suaminya itu terlalu ampuh baginya dan setelah lewat belasan jurus, akhirnya ia kewalahan juga.
“Mampuslah kau...!“ bentak Lui Couw dan pedangnya menyambar seperti kilat kearah kedua kaki Ji Goat. Wanita itu melompat ke atas, akan tetapi Lui Couw juga melompat mengejar dan sekali pedang Hek-liong-pang menyambar, tanpa dapat di hindarkan lagi pedang itu telah menusuk lambung Ji Goat.
“Cappp…!“ Ji Goat terkulai dan roboh mandi darah.
Lui Couw menyerengai, menyimpan kembali pedangnya, memandang kepada wanita yang sudah roboh tak berkutik lagi itu dan memasuki rumah melalui pintu belakang. Dia hendak mencari Kitab Bu-tek Cin-keng, juga putera sucinya itu. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan keduanya, maka segera pergi meninggalkan rumah yang sunyi itu.
Setelah Lui Couw pergi, barulah Cio Si berani keluar dari balik semak-semak. Ia menghampiri nyonya majikannya, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Melihat nyonya majikannya menggeletak mandi darah dan sudah tidak bergerak lagi, tahulah ia bahwa Ji Goat telah tewas. Maka dengan kedua kaki gemetaran ia lalu lari ke rumah tetangga yang agak jauh dari situ sambil menangis.
Sebentar saja semua penduduk di lereng bukit itu berlari-lari menuju ke rumah Ji Goat. Dari mulut ke mulut mereka bercerita tentang kematian Ji Goat seperti yang di ceritakan oleh Cio Si tadi, bahwa nyonya janda itu di bunuh orang. Hanya itu yang dapat di ceritakan Cio Si.
Wanita dusun ini takut untuk mengatakan apa yang ia dengar dalam percakapan dua orang tadi. Ia takut kalau-kalau pembunuh itu akan mencarinya dan membunuhnya pula. Maka ia hanya bercerita bahwa majikannya terbunuh oleh seorang laki-laki yang tidak di kenalnya.
Tiong Gi Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si yang berada di puncak bukit itu segera datang ketika mendengar berita itu. Dia merasa ikut bersedih atas kematian ibu dari muridnya itu mati di bunuh orang selagi puteranya, Han Sin tidak berada di rumah. Karena dia mengenal baik wanita yang tewas itu sebagai ibu dari muridnya, maka Tiong Gi Hwesio mengatur pemakamannya. Kemudian rumah dan sawah ladang itu oleh Tiong Gi Hwesio di serahkan kepada Cio Si untuk di urus dan di rawat sampai kembalinya Han Sin...
Tubuhnya bergerak, tongkat dan pedang rampasan meluncur dari kedua tangannya sedangkan begitu pinggangnya di gerakkan, rantai baja itupun meluncur bagaikan seekor ular terbang menyambar mangsanya. Tiga macam senjata itu meluncur ke arah pemilik masing-masing dan terdengar teriakan-teriakan mengerikan ketika tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang itu baru saja bangkit terkena senjata mereka sendiri.
Demikian kuatnya tenaga yang mendorong senjata-senjata itu sehingga tongkat baja itu menembus dada Hek-mo-ko, pedang menancap di leher Gu Ma It dan rantai baja mengenai kepala Su Ciong Kun sehingga kepala itu menjadi remuk. Ketiganya tewas di saat itu juga!
Semua anak buah Huang-ho Kwi-pang yang melihat betapa tiga orang pimpinan mereka tewas sedemikian mudahnya oleh kakek botak itu, menjadi terkejut dan ketakutan. Mereka serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu sambil minta ampun.
“He-he-he-he!“ Pak-te-ong tertawa mengelak sambil mencabut tongkatnya dan mengelus perutnya yang gendut. Boleh aku mengampuni kalian, akan tetapi mulai saat ini, kalian hanya taat kepada Pak-te-ong! Akulah satu-satunya pemimpin di seluruh wilayah Lembah Huang-ho ini. Kalian mengerti?”
Puluhan orang yang ketakutan itu mengangguk-angguk seperti sekumpulan ayam memasuki beras dan menyatakan kesanggupan mereka. Pak-te-ong kembali tertawa bergelak sehingga mukanya di tengadahkan. Akan tetapi tiba-tiba tawanya terhenti karena matanya dapat melihat Cu Sian yang masih duduk menggoyang kaki di atas cabang pohon.
“Heeiiii, engkau! Turunlah engkau! Apakah engkau ingin membalas kematian tiga orang sahabat mu ini?”
Cu Sian tahu benar bahwa kakek botak itu memiliki kesaktian yang luar biasa. Dari cara dia menewaskan tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang saja tahulah dia bahwa kakek itu sama sekali bukan lawannya. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan sikap takut, dia meloncat turun dari atas cabang pohon dan berkata sambil lalu saja.
"Aku bukan sahabat mereka dan urusanmu dengan mereka tidak ada sangkut pautnya dengan aku...!“ Setelah berkata demikian Cu Sian menyeret tongkat bambunya dan melangkah pergi dari situ.
Melihat pengemis muda itu pergi seenaknya saja, Pak-te-ong berseru kepadanya. “Heiii, jembel muda. Sebelum pergi engkau harus berlutut dan menyatakan takluk kepadaku, baru engkau boleh pergi...!“
Cu Sian memiliki watak yang lincah jenaka dan gembira, akan tetapi di samping itu juga tabah sekali dan tidak mengenal rasa takut. Mendengar ucapan kakek itu, dia berhenti melangkah dan memutar tubuhnya memandang kakek itu dengan sepasang mata yang bersinar.
“Pak-te-ong, aku bukan perampok dan aku tidak akan menakluk kepadamu atau kepada siapa pun juga!“ Setelah berkata demikian, dia melanjutkan langkahnya.
“Heh! Kalian! Perintahku pertama kepada kalian. Tangkap dan seret jembel itu ke depan kakiku...!“
Kurang lebih lima puluh orang anggota Huang-ho Kwi-pang itu tidak berani membantah. Dengan senjata di tangan mereka lalu bangkit dan lari menyerbu ke arah Cu Sian.
Melihat ini Cu Sian menjadi marah. Dia menyambut dan dengan gerakan cepat tongkatnya, dia telah merobohkan empat orang pengeroyok yang datang paling depan. Akan tetapi para pengeroyok itu mengepung dan menyerangnya dari semua penjuru. Cu Sian menjadi marah dan dia memainkan tongkatnya sedemikian rupa sehingga tongkat bambu itu berubah menjadi gulungan sinar kuning yang menyelimuti tubuhnya sehingga semua serangan itu terpental kembali. Bahkan dia mampu merobohkan lagi delapan orang.
Melihat betapa lihainya pengemis muda itu, Pak-te-ong terkejut dan marah sekali. Baru saja mengumumkan diri menjadi pemimpin tunggal di Lembah Huang-ho, sudah ada seorang yang berani menentangnya dan orang itu hanya seorang pengemis muda! Mata Pak-te-ong terbelalak dan mukanya berubah kemerahan karena marahnya.
“Kalian semua mundur!“ bentaknya sengan suara mengeledek. Biar aku sendiri yang akan menghajar jembel busuk ini!“
Para anggota Huang-ho Kwi-pang memang sudah merasa jerih kepada Cu Sian yang amat lihai ilmu tongkatnya itu, maka ketika kakek botak itu menyuruh mereka mundur, mereka pun dengan cepat mengundurkan diri.
Pak-te-ong maju beberapa langkah dan setelah jarak antara dia dan Cu Sian tinggal sepuluh meteran, dia mendorongkan tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka ke arah pemuda jembel itu. Angin yang kuat menyambar ke arah Cu Sian. Pemuda itu mengenal pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Dia segera mengelak ke samping akan tetapi tetap saja dia terhuyung ke belakang. Maklum bahwa dia bukan lawan kakek sakti itu, Cu Sian lalu meloncat jauh dan melarikan diri.
“Jembel busuk...!“ teriak Pak-te-ong sambil melakukan pengejaran. Akan tetapi Cu Sian berlari semakin cepat dan menghilang di balik pohon-pohon besar. Pak-te-ong juga mengerahkan ginkangnya dengan penasaran. “Pengemis muda, engkau tidak akan dapat melepaskan diri dari tanganku!“ cepat sekali tubuh kakek ini berkelebat di depan.
Akan tetapi, setelah dia memperpendek jarak antara dia dan yang dikejarnya, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan di depannya berdiri seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, sinar matanya lembut dan mulutnya tersenyum-senyum.
“Sungguh memalukan seorang datuk besar mendesak seorang pemuda remaja!“ kata pemuda itu yang bukan lain adalah Han Sin.
Pak-te-ong terpaksa berhenti dan dia memandang kepada Han Sin dengan marah. “Minggir atau engkau akan kubunuh lebih dulu!“ bentaknya.
“He-he, bukan main galaknya. Pak-te-ong, hentikan pengejaranmu. Lawan yang sudah lari tidak baik di kejar...“ Han Sin berkata dengan lagak menasehati.
“Keparat, mampuslah...“ bentak Pak-te-ong sambil mendorongkan tangan kirinya ke arah Han Sin dengan ilmu pukulan jarak jauh. Han Sin juga mendorong tangan kanannya.
“Deeesss...!“ keduanya terdorong ke belakang dan Pak-te-ong terkejut bukan main. Pemuda ini mampu menolak pukulan jarak jauhnya dan membuat dia terdorong ke belakang! Dari bukti ini saja dapat di ketahui bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Maka, dengan hati penasaran dan marah, dia mengegerakkan tongkat kepala naganya menyerang bagaikan badai mengamuk dan setiap pukulannya dahsyat sekali.
Akan tetapi untuk kedua kalinya kakek itu merasa terkejut bukan main. Semua pukulannya mengenai tempat kosong dan dua kali pemuda itu bahkan berani menangkis tongkatnya dengan tangan kosong! Jarang ada lawan yang akan mampu bertahan lebih dari lima jurus kalau dengan tangan kosong menghadapi tongkatnya. Apalagi lawan itu seorang pemuda seperti ini. Setelah belasan jurus dia menyerang tanpa hasil. Tiba-tiba Han Sin melompat ke kiri dan melarikan diri.
“Heeiii, jangan lari!“ Pak-te-ong membentak dan mengejar, akan tetapi pemuda itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Han Sin memang tidak ingin berkelahi. Kalau tadi dia menghalangi Pak-te-ong, hal itu dia lakukan untuk memberi kesempatan Cu Sian melarikan diri, setelah dia merasa bahwa Cu Sian telah berlari jauh dan kakek itu tidak akan dapat mengejarnya lagi, diapun meninggalkan lawan yang amat lihai itu.
Setelah gagal mencari kedua orang pemuda itu, dia melampiaskan kekecewaannya dan kemarahannya dengan mengobrak-abrik hutan, menumbangkan banyak pohon-pohon dengan tongkatnya, akhirnya Pak-te-ong kembali ke tempat dimana anggota Huang-ho Kwi-pang masih berkumpul.
Dan sejak hari itu, gegerlah daerah Lembah Huang-ho dengan munculnya seorang tokoh baru yang menundukkan semua golongan sesat dengan kepandaiannya yang tinggi. Mereka yang mau tunduk dan menakluk, menjadi anak buahnya dan mereka yang berani menentang di bunuhnya. Terkenallah nama Pak-te-ong di dunia kang-ouw sebagai seorang datuk utara yang sakti.
********************
Harus di akui bahwa Kaisar Yang Ti meneruskan politik lebih tegas dari mendiang Yang Chien, ayahnya. Terusan-terusan yang menghungkan kedua sungai Huang-ho dan Yang-ce di lanjutkan dan diperluas, bahkan diteruskan sampai ke Hang-couw. Pekerjaan besar yang di mulai oleh Kaisar Yang Chien ini di lanjut kan oleh Kaisar Yang Ti. Juga politik luar negerinya melanjutkan apa yang telah di lakukan oleh kaisar Yang Chien, yaitu menundukkan kembali daerah-daerah yang dahulu memberontak dan memisahkan diri. Bahkan lebih luas lagi dia bertindak, bukan saja Tong-kin dan Tong-nam di tundukkan, juga dia melakukan gerakan di utara dan barat.
Kaisar Yang Ti mengirim pasukannya ke daerah yang kini di namakan Mongolia Dalam, Mongolia Luar, Kokonor, Sin-kiang, bahkan ke Asia Tengah yang pada waktu itu di diami bangsa-bangsa Toba, Turki dan Mongol dengan banyak suku-sukunya. Di antara suku-suku bangsa itu terdapat banyak pertikaian dan permusuhan karena memperebutkan wilayah dan kekuasaan.
Kaisar Yang Ti mengirim banyak mata-mata memasuki daerah itu yang bertugas untuk meniup-niupkan permusuhan dan pertentangan itu. Maka bertambah panaslah suasana di antara suku-suku bangsa itu dan karena adanya perpecahan ini, maka pasukan Sui dapat menguasai daerah-daerah itu yang kemudian di beri nama Sin-kiang atau daerah baru.
Usaha perluasan wilayah ini juga di tujukan ke Timur Laut, yaitu daerah Mancuria Selatan dan Korea. Namun di sini Kaisar Yang Ti mengalami pukulan berturut-turut yang menyuramkan sinar kemenangannya di daerah lain. Sayang sekali, Kaisar Yang Ti tidak menuruni watak ayahnya yang menunjukkan seorang pendekar sejati, dahulu Kaisar Yang Chien selalu mengesampingkan kepentingan sendiri, tidak gila kedudukan dan gila kekuasaan, biarpun kaisar hidupnya sederhana dan selalu mengambil tindakan tegas terhadap siapa saja yang melakukan penyelewengan dan kesalahan.
Sebaliknya, Kaisar Yang Ti mengumbar nafsu kesenangannya secara berlebihan. Dia gemar sekali mengumpulkan wanita-wanita cantik untuk menjadi selir dan dayang, dan membangun istana-istana yang luar biasa indahnya. Kegemaran ini menghamburkan banyak sekali uang negara dan dia banyak menerima protes dari pejabat-pejabat tinggi yang setia. Namun, kedua telinganya seperti tuli terhadap semua protes dan kritik itu.
Untuk memuaskan nafsunya, dia mempunyai seorang permaisuri, dua orang wakil permaisuri, enam kepala selir dan tujuh puluh dua selir. Semua itu masih belum memuaskan hatinya dan dia mengumpulkan gadis-gadis dari segalal penjuru dan suku, untuk dijadikan dayang yang jumlahnya mencapai tiga ribu orang! Kalau semua ini hanya di sembunyikan di istana saja masih belum terlalu mencolok, akan tetapi Kaisar Yang Ti memiliki cara yang mencolok untuk menyenangkan hatinya dan memuaskan nafsunya.
Ketika pembangunan Terusan Besar yang menghubungkan utara dan selatan selesai dan dapat dipergunakan, maka untuk pembukaan pertama dia memerintahkan membuat sebuah perahu naga yang besar, kemudian, beberapa ratus gadis dayang di suruh menarik tambang yang mengikat perahu itu untuk menggerakkan perahu melawan arus.
Sambil menarik tambang, para dayang itu bernyanyi. Di atas perahu naga, dayang-dayang cantik memainkan seruling dan Yang-kim (siter) mengiringkan nyanyian merdu. Dalam kamar perahu itu, kaisar Yang Ti dilayani oleh selir dan dayang yang di pilihnya untuk menemaninya dalam perahu itu. Tentu saja rakyat menonton peristiwa itu dengan takjub. Dan para menteri setia hanya menarik napas panjang dan menggeleng kepala.
Keroyalan Kaisar Yang Ti mencapai puncaknya ketika dia memerintahkan Hsiang Sheng, pembuat bangunan terbesar di waktu itu, untuk membangun sebuah istana yang amat indah di Lok-Yang. Untuk membuat bangunan raksasa yang indah dan megah mewah ini dipergunakan tenaga pekerja lebih dari lima puluh ribu orang dan pekerjaan di selesaikan dalam waktu delapan belas bulan.
Tentu saja bangunan ini memakan biaya yang luar biasa besarnya. Di bangun di tanah yang luas, istana atau bangunan utama di kelilingi oleh tiga puluh enam istana yang lebih kecil, semua tersembunyi di dalam hutan-hutan bunga beraneka macam dan warna. Pemandangan di sekitar istana mengingatkan orang akan dongeng tentang taman sorga!
Akan tetapi karena istana itu mempunyai banyak bangunan dan lorong bunga yang berliku-liku dan simpang siur, maka Kaisar Yang Ti memberi nama aneh kepada istana itu, yaitu Istana Lorong Menyesatkan. Memang bagi orang yang belum mengenal betul daerah kumpulan istana ini, dia tentu akan tersesat di dalamnya dan sukar mencari jalan keluar lagi.
Bangunan utama merupakan sebuah istana yang bertingkat tiga, berkilauan dalam sinar matahari bagaikan sebuah Pagoda emas yang luar biasa besarnya. Di dalam bangunan ini terdapat banyak kamar berbagai ukuran yang amat indah, di pisahkan oleh pintu-pintu yang berukiran halus. Yang terbesar adalah kamar utama yang menjadi tempat tidur kaisar Yang Ti.
Kamar ini luar biasa besarnya, bisa muat seratus meja untuk berpesta. Dinding-dindingnya di hias dengan cermin dari sudut ke sudut. Asap dupa harum yang tipis selalu mengepul sehingga kamar besar itu berbau harum. Tirai-tirai sutera bermacam warna bergantungan dan lentera-lentera berbagai warna yang bergantungan dengan hiasan yang mengandung daya seni tinggi.
Sungguh sayang sekali, ketika kaisar pertama Kerajaan Sui, yaitu Kaisar Yang Chien, memegang kendali pemerintahan, persatuan dapat di bina karena para pembesar di daerah tunduk dan taat kepada kaisar Yang Chien yang bijaksana, akan tetapi setelah Kaisar Yang Ti hidup bergelimang dengan kesenangan dan kemewahan, maka mulailah orang merasa tidak senang kepadanya. Rasa tidak senang ini, terutama sekali dari pembesar-pembesar daerah, merupakan bibit-bibit pemberontakan.
Sudah berulang kali tercatat dalam sejarah, apabila kaisarnya mulai terpengaruh kesenangan duniawi dan mementingkan kesenangan sendiri saja, maka tentu akan bermunculan pembesar-pembesar 'durna' alias penjilat- penjilat yang berhati palsu. Demikian pula dengan waktu itu.
Ketika Kaisar Yang Chien berkuasa, tidak ada seorangpun penjilat berani mendekatinya, atau lebih tepat, tidak muncul pembesar yang berwatak penjilat karena kaisarnya bijaksana dan adil lagi tegas. Akan tetapi ketika Kaisar Yang Ti berkuasa, mulailah berdatangan pembesar-pembesar penjilat yang maklum akan kelemahan Kaisar Yang Ti.
Pembesar-pembesar penjilat inilah yang bersikap penuh perhatian terhadap kebutuhan kaisar untuk memenuhi kesenangannya. Mereka ini yang menawar-nawarkan gadis baru yang cantik dan mendorong semua keinginan kaisar untuk beroyal-royal menghamburkan uang negara.
Banyak pembesar tua yang dahulu membantu Yang Chien dengan setianya, dipensiun oleh Yang Ti, dan di gantikan dengan orang-orang muda yang lebih cocok dengan dia. Di antara mereka ini seorang pejabat tinggi bernama Lui Couw. Dia telah banyak berjasa dalam perang menundukkan daerah-daerah utara dan barat, maka diapun kini di angkat menjadi panglima besar. Bukan hanya karena dia berjasa, akan tetapi diapun pandai menyenangkan hati Kaisar Yang Ti.
Dalam perang menundukkan daerah-daerah, Lui Couw ini tidak pernah lupa untuk menawan gadis-gadis cantik dan menyerahkan kesempatan pertama kepada Kaisar Yang Ti untuk meilih di antara gadis-gadis itu yang di senanginya. Karena 'jasa' inilah maka kedudukan Lui Couw cepat naik dan kini setelah menjadi panglima besar maka kekuasaanyapun bertambah kuat.
Lui Couw ini mempunyai seorang putera bernama Lui Sun Ek, yang telah berusia dua puluh satu tahun. Lui Couw sendiri sudah berusia empat puluh lima tahun. Dari para selirnya yang banyak Lui Couw hanya mendapatkan seorang putera itulah, sedangkan istrinya juga tidak mempunyai keturunan. Maka biarpun hanya putera selir, Lui Sun Ek di manja dan di hormat sebagai keturunan tunggal. Bahkan ibunya juga naik 'pangkat' tidak lagi menjadi selir, melainkan menjadi isteri kedua yang dalam kehidupan sehari-hari mendorong kedudukan isteri pertama dan meiliki kekuasaan lebih besar dalam keluarga Lui Couw.
Lui Couw adalah seorang yang selain pandai dalam ilmu perang, juga ahli silat yang tangguh. Demikian pula puteranya, Lui Sun Ek, telah di gemblengnya sendiri sejak anak itu masih kecil sehingga kini Sun Ek menjadi seorang pemuda dewasa yang lihai sekali. Sebagai seorang panglima tinggi yang kedudukannya sudah sama dengan seorang menteri, Lui Couw memiliki sebuah rumah gedung yang megah.
Pada suatu pagi, para menteri dan panglima menghadap Kaisar Yang Ti karena Kaisar mengundang mereka dalam sebuah sidang pertemuan. Para pembesar itu sudah lama menghadap ketika Kaisar masih bersenang-senang dengan para wanitanya dalam taman istana. Setelah para pembesar itu merasa kesal menanti, barulah kaisar keluar diiringkan para thaikam (sida-sida) dan pengawal pribadi.
“Hidup Yang Mulia Kaisar!“ terdengar seruan mereka yang segera menjatuhkan diri berlutut menghadap kaisar.
Kaisar Yang Ti memandang kepada semua pejabat itu, mengangguk senang karena mereka semua hadir selengkapnya, lalu duduk dan menggerakkan tangannya. “Kalian semua boleh duduk!“
“Terima kasih, Yang Mulia,...“ serentak mereka menjawab lalu bangkit dan duduk di bangku-bangku yang sudah disediakan untuk mereka.
Kemudian Kaisar memberi kesempatan kepada mereka untuk satu demi satu menyampaikan pelaporan tentang jalannya pemerintahan, dan juga tentang gerakan pasukan Sui yang berusaha menundukkan daerah-daerah di Timur Laut. Dengan kecewa dia menerima laporan bahwa gerakan pasukan di Timur Laut mendapat perlawanan yang amat kuat dari mereka, terutama sekali dari bangsa Korea.
“Hemmm, kalau demikian, lebih baik tarik mundur dulu pasukan dari sana karena kami mendengar bahwa daerah utara Shan-si juga para suku bangsa biadab mulai melakukan gerakan. Kami sendiri yang akan memimpin pasukan besar mengadakan pembersihan di Shan-si utara!”
“Ampun Yang Mulia. Akan tetapi hamba kira sebaiknya kalau paduka menyerahkan saja tugas itu kepada hamba atau kepada para panglima lainnya. Tidak perlu paduka berangkat sendiri memimpin pasukan. Daerah sana itu berbahaya sekali bagi paduka dan sebaiknya paduka tidak menempuh bahaya itu...“ kata Lui Couw.
Kaisar Yang Ti mengerutkan alisnya dan wajahnya nampak marah ketika dia memandang kepada panglimanya itu. “Liu-Ciang-kun! Lupakah engkau siapa kami ini...? Mendiang ayah kami adalah seorang pejuang yang gagah perkasa, dan sejak muda kami juga sudah bergelimang dengan pertempuran. Apa artinya bahaya bagi seorang kaisar yang memimpin pasukannya sendiri melakukan pembersihan? Kami akan berangkat sendiri...!“
“Ampun, Yang Mulia. Hamba hanya mengkhawatirkan keselamatan paduka saja maka mengusulkan agar kami para panglima yang diperintahkan pergi. Akan tetapi kalau demikian kehendak paduka, hamba tentu saja tidak berani membantah...“ kata Liu Couw.
“Pendeknya laksanakan perintah kami, yaitu, tarik mundur pasukan yang berperang di timur laut, dan kerahkan pasukan besar yang akan kami bawa sendiri ke utara Shan-si. Berapa lamakah pasukan itu dapat berkumpul...?”
Lui Couw saling pandang dengan para panglima yang hadir, kemudian setelah menghitung-hitung, dia menjawab, “kalau pasukan yang berada di timur laut itu di haruskan kembali ke kot a raja lebih dahulu, maka hal itu akan makan waktu lama, Yang Mulia. Akan tetapi kalau di kirim perintah agar pasukan itu langsung saja pergi ke Tai-goan di Shan-si dan bertemu dengan pasukan dari sini, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama pasukan dapat terkumpul di Tai-goan.
“Baik, laksanakan perintah itu agar mereka segera di tarik ke Tai-goan...“
“Hamba siap melaksanakan perintah paduka!“ jawab Lui Couw.
Setelah menerima laporan hal-hal lain dari berbagai menterinya, kaisar lalu berkata, ”Nah, sekarang kami hendak membicarakan sebuah persoalan penting...“
Dia memberi isyarat kepada seorang Thaikam yang maju berlutut dan menyerahkan sebatang pedang bersarung kepada Kaisar Yang Ti. Setelah menerima pedang itu dari seorang thai-kam, Kaisar Yang Ti lalu mengangkat pedang itu ke atas, memperlihatkannya kepada semua yang hadir lalu bertanya, “Tahukah kalian pedang apa ini...?”
Semua orang memandang penuh perhatian. Pedang itu memiliki sarung yang indah terukir sebuah naga, juga gagang pedangnya di ukir kepada naga dan warnanya putih seperti perak. Para menteri yang sudah menghambakan diri sejak dahulu tentu saja mengenal pedang itu.
“Pek-liong-kiam (Pedang Naga Putih)...!“ terdengar seruan beberapa orang.
Kaisar Yang Ti mengangguk. “Benar ini adalah Pek-liong-kiam, Pedang pusaka milik mendiang ayah yang telah berjasa besar. Lihatlah baik -baik!” Kaisar menghunus pedang itu dan nampak sinar berkilauan yang menyeramkan. “Sekarang pedang ini menjadi milik kami, maka kami juga harus berani bertindak tegas, membasmi semua pemberontakan dan kerusuhan dengan pedang ini. Akan tetapi ada satu hal yang merisaukan hati kami. Pedang ini mempunyai saudara yang di sebut Hek-liong-kiam (Pedang Naga Hitam). Hek-liong-kiam itu dahulu menjadi milik mendiang panglima besar Cian Kauw Cu. Kami menghendaki agar pedang itu dapat menjadi pusaka negara. Karena itu, kami memerintahkan engkau, panglima muda Coa Hong Bu, untuk mencari Hek-liong-kiam dan membawanya ke sini, menyerahkan kepada kami..."
Coa Hong Bu adalah seorang panglima muda yang bertugas di istana. Dia seorang laki-laki berusia tiga puluh lima tahun yang bertubuh jangkung kurus. Sebagai seorang murid yang pandai dari Hoa-san-pai, dia memiliki ilmu silat yang tinggi. Ketika mendengar perintah ini, Coa Hong Bu memberi hormat dan berkata dengan suara tegas seorang panglima.
“Hamba akan melaksanakan perintah paduka, hamba hanya mohon petunjuk, siapa yang kini memiliki pedang pusaka itu...“
Kaisar memandang kepadanya dengan marah. “Hek-liong-kiam adalah milik mendiang Panglima Cian Kauw Cu. Setelah meninggal dunia, tentu saja pusaka itu berada di tangan keluarganya! Dan ada satu hal lagi. Ingat baik-baik, di dunia ini hanya dua orang yang mengenal ilmu yang ditemukan bersama sepasang pedang Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam. Ilmu itu hanya dikenal oleh mendiang ayah dan mendiang Panglima Cian Kauw Cu. Karena ayah tidak meninggalkan kitab ilmu itu kepada kami, maka sangat boleh jadi bahwa kitab itu pun tadinya berada di tangan Panglima Cian. Maka, engkau, Panglima Coa Hong Bu, kalau sudah menemukan Hek-liong-kiam, tanyakan pula adanya sebuah kitab yang di tinggalkan oleh Cian-Ciangkun dan serahkan padaku. Kalau pemegangnya menuntut penebusan uang, berikan kepadanya berapa saja yang dia minta...“
“Akan hamba laksanakan, Yang Mulia. Dapatkah Paduka memberitahu kepada hamba nama ilmu itu...?”
“Kitab itu berisi ilmu yang di sebut Bu-tek-cin-keng. Usahakan sampai pedang dan kitab dapat kau serahkan kepada kami, Coa-ciangkun. Engkau akan mendapat hadiah besar dari kami...“
Setelah berkata demikian, Kaisar Yang Ti membubarkan pertemuan itu. Para pembesar, menteri dan panglima mengundurkan diri dan bersiap melaksanakan semua perintah yang dikeluarkan pada pertemuan itu oleh kaisar.
Semua perintah yang diberikan kaisar dapat dilakukan dengan mudah oleh para pembesar, kecuali tugas yang diberikan kepada Panglima Coa Hong Bu. Panglima yang biarpun sudah berusia tiga puluh lima tahun akan tetapi masih hidup membujang ini setelah meninggalkan istana tidak langsung pulang ke rumahnya, akan tetapi segera melakukan penyelidikan untuk mengetahui dimana adanya Nyonya Cian Kauw Cu yang sudah pindah meninggalkan kota raja itu bersama puteranya.
Setelah mengetahui kemana pindahnya keluarga Cian yang di carinya itu, Panglima Coa Hong Bu lalu membuat persiapan untuk pergi berkunjung ke rumah janda itu yang menurut keterangan yang dia peroleh telah pindah keluar kota dekat kuil Siuw-lim-si.
********************
Ji Goat, yaitu Nyonya Cian Kauw Cu yang hidup menyendiri di bukit dekat kuil, merasa prihatin dan kesepian sejak puteranya ia suruh pergi ke utara untuk mencari pedang pusaka Naga Hitam dan pembunuh suaminya. Kini ia hidup kesepian, hidup sederhana dari sisa bekal peninggalan suaminya, bercocok tanam seperti seorang petani.
Namun, wanita yang kini sudah berusia lima puluh lima tahun itu tidak pernah merasa berduka. Ia hanya berdoa setiap hari agar puteranya selamat dan berhasil melaksanakan kewajibannya membalaskan kematian ayahnya. Satu-satunya orang yang menemani dan membantunya, adalah seorang wanita dusun sebelah yang sudah berusia lima puluh tahun.
Wanita pembantu itu datang di waktu pagi sekali dan pulang ke rumahnya sendiri setelah hari menjadi gelap. Cio Si, demikian nama pembantu itu, adalah seorang dusun sederhana yang dapat menghibur hati Ji Goat di kala ia merasa kesepian teringat kepada puteranya.
Biarpun kini hidup menyendiri, Ji Goat tidak pernah melupakan ilmu silatnya. Hampir setiap hari sekali ia berlatih silat sehingga tubuhnya tetap sehat dan kuat dan gerakannya tetap lincah. Biasanya ia berlatih di waktu pagi sekali, di belakang rumahnya yang merupakan kebun dan ladang yang cukup luas dan udaranya segar sejuk karena terpencil, jauh dari tetangga.
Pada suatu pagi yang sejuk, ketika ayam jantan mulai berkokok dan matari sendiri belum keluar walaupun sinarnya sudah mulai mengusir kegelapan malam, seperti biasa Ji Goat berlatih silat di belakang rumahnya. Dan pada saat yang sama, Cio Si, wanita pembantu itupun meninggalkan rumah keluarganya menuju ke rumah Ji Goat yang tidak terlalu jauh letaknya dari rumah keluarganya.
Karena pintu depan masih tertutup, seperti biasa Cio Si menuju ke kebun belakang karena ia tahu bahwa pada saat seperti itu nyonya majikannya tentu sedang berlatih silat di kebun belakang dan pintu belakang sudah dibuka. Akan tetapi ketika pembantu rumah tangga itu tiba di kebun belakang ia terkejut bukan main melihat nyonya majikannya sedang berkelahi melawan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya. Ia menjadi ketakutan, kedua kakinya terasa lemas dan iapun berjongkok di belakang semak-semak.
Apa yang telah terjadi dengan nyonya janda itu? Ketika Ji Goat sedang berlatih silat, seperti biasa ia memainkan ilmu silat Lo-hai-kun. Ilmu silat ini merupakan ilmu silatnya yang dahsyat dan yang dipelajarinya ketika ia masih muda dahulu dari gurunya, Toat beng Giam Ong yang menjadi Kok-su (Guru Negara) dari Kerajaan Toba. Ketika Ji Goat berlatih, daun-daun pohon yang berdekatan bergoyang-goyang karena sambaran angin yang timbul dari gerakan kedua tangan Ji Goat. Tiba-tiba saja terdengar seruan orang.
“Bagus! Lo-hai-kun yang kau kuasai semakin lihai saja, suci...!”
Ji Goat terkejut dan menghentikan gerakannya. Ketika ia menengok, ia melihat seorang pria berusia empat puluh lima tahun, bertubuh sedang dan tegap, telah berdiri di situ. Ia tidak mengenal pria ini dan tentu saja ia merasa heran di sebut suci (kakak seperguruan) oleh orang itu.
“Siapa engkau...?“ tanyanya curiga.
Pria itu tertawa pendek. “Ha-ha suci, lupakah engkau kepadaku? Aku Lui Couw...“
“Lui Couw...?“ Ji Goat mengulang nama itu sambil mengerutkan alisnya mengingat-ingat. Kemudian teringatlah ia. Ketika ia masih menjadi murid Toat beng Giam Ong Lui Tat, gurunya yang berpangkat tinggi itu mempunyai seorang putra dari seorang selirnya bernama Lui Couw. Ketika itu Lui Couw baru berusia enam tujuh tahun!
“Kau... putera suhu Toat Beng Giam Ong...? Hemmm, apa maksud kedatanganmu ini, Lui-sute?”
“Suci, sudah lama aku menjadi seorang panglima dari Kerajaan Sui...“
Ji Goat mengerutkan alisnya. Ia sama sekali tidak tahu dan tidak mengira bahwa putera gurunya itu kini menjadi panglima. “Lalu ... apa maksud kedatangamu ke sini...?“
“Suci, Kaisar bermaksud untuk merampas kitab Bu-tek Cin-keng dari tanganmu, karena itu aku mendahului mereka datang ke sini menemui suci. Ku harap suci suka menyerahkan kitab itu kepadaku...“
Mereka saling berpandangan dengan sinar mata penuh selidik. “Sute, kitab itu tidak ada padaku...“ jawab Ji Goat dengan tegas.
“Suci, ingatlah Kaisar dan Kerajaan Sui adalah musuh kita. Mendiang ayahmu adalah Perdana Menteri Kerajaan Toba dan ayahku adalah Kok-su-nya. Maka Kerajaan Sui adalah musuh kita. Maka harap jangan ragu, serahkan kitab itu kepadaku agar jangan sampai terjatuh ke tangan Kaisar Yang Ti...!“ suara Lui Couw terdengar keras dan mendesak.
“Sudah kukatakan, kitab itu tidak ada padaku...!“
“Kalau begitu, katakan dimana kitab itu...? Ah, ya! Engkau mempunyai seorang putera, bukan? Dimana dia? Apakah kitab itu kau berikan kepadanya...?“
Kerut di antara alis Ji Goat makin mendalam dan ia menggeleng kepalanya keras -keras. “Tidak, aku tidak akan memberitahukan kepadamu atau kepada siapapun juga!“
“Suci...! Sekali lagi kuminta engkau memberitahu dimana adanya kitab Bu-tek Cin-keng!” kini Lui Couw membentak marah.
Akan tetapi Ji Goat memandang dengan mata berapi dan menjawab tegas. Tidak akan kuberitahu...!“
“Kalau begitu apakah aku harus mempergunakan kekerasan...?”
“Terserah. Jangan di kira aku takut kepada mu atau kepada siapapun juga!“ Ji Goat marah bagaikan seekor singa betina. Wataknya yang dahulu di waktu ia masih gadis muncul kembali dan ia sudah mengepal kedua tinjunya.
“Engkau perempuan bandel...!“ Lui Couw sudah menyerang dengan pukulan dahsyat kearah muka Ji Goat. Wanita ini mengelak dan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Lui Couw menangkis pukulan itu dan keduanya segera bertanding dengan seru. Karena kedua orang ini menggunakan ilmu yang sama, yaitu Lo-hai-kun, tentu saja keduanya sudah saling mengenal gerakan masing-masing dan perkelahian yang sesungguhnya itu nampak seperti dua orang sedang berlatih saja.
Ketika mereka bertanding inilah Cio Si, pembantu rumah tangga itu memasuki kebun dan segera bersembunyi dengan tubuh gemetar. Akan tetapi ia dapat menonton perkelahian itu lewat celah-celah daun semak-semak.
Setelah lewat tiga puluh jurus, mulailah Lui Couw terdesak. Bagaimanapun juga, dia masih kalah pengalaman oleh Ji Goat dan terutama sekali karena Ji Goat rajin berlatih setiap hari. Dalam hal kegesitan gerakan, Lui Couw kalah maka mulailah dia terdesak mundur.
Tiba-tiba Lui Couw meloncat kebelakang dan ketika dia maju lagi tangannya sudah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar hitam yang menyeramkan. Ji Goat terbelalak dan menudingkan telunjuknya kearah muka Lui Couw.
“Lui-sute...! Jadi engkaukah pengkhianat itu? Engkau pembunuh suamiku dan pencuri Hek-liong-kiam?” teriak Ji Goat penuh perasaan terkejut, heran dan marah sekali.
“Karena engkau tidak mau menyerahkan kitab itu, engkaupun akan ku kirim ke akhirat menyusul suamimu...!“ bentak Lui Couw yang segera menerjang dengan pedangnya.
Ji Goat memang sedang berlatih silat tangan kosong, maka ia tidak bersenjata. Pedangnya tertinggal di dalam kamarnya. Menghadapi serangan itu, iapun mengelak cepat dan terjadilah perkelahian lagi. Akan tetapi sekarang Ji Goat yang terdesak hebat. Pedang suaminya itu terlalu ampuh baginya dan setelah lewat belasan jurus, akhirnya ia kewalahan juga.
“Mampuslah kau...!“ bentak Lui Couw dan pedangnya menyambar seperti kilat kearah kedua kaki Ji Goat. Wanita itu melompat ke atas, akan tetapi Lui Couw juga melompat mengejar dan sekali pedang Hek-liong-pang menyambar, tanpa dapat di hindarkan lagi pedang itu telah menusuk lambung Ji Goat.
“Cappp…!“ Ji Goat terkulai dan roboh mandi darah.
Lui Couw menyerengai, menyimpan kembali pedangnya, memandang kepada wanita yang sudah roboh tak berkutik lagi itu dan memasuki rumah melalui pintu belakang. Dia hendak mencari Kitab Bu-tek Cin-keng, juga putera sucinya itu. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan keduanya, maka segera pergi meninggalkan rumah yang sunyi itu.
Setelah Lui Couw pergi, barulah Cio Si berani keluar dari balik semak-semak. Ia menghampiri nyonya majikannya, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Melihat nyonya majikannya menggeletak mandi darah dan sudah tidak bergerak lagi, tahulah ia bahwa Ji Goat telah tewas. Maka dengan kedua kaki gemetaran ia lalu lari ke rumah tetangga yang agak jauh dari situ sambil menangis.
Sebentar saja semua penduduk di lereng bukit itu berlari-lari menuju ke rumah Ji Goat. Dari mulut ke mulut mereka bercerita tentang kematian Ji Goat seperti yang di ceritakan oleh Cio Si tadi, bahwa nyonya janda itu di bunuh orang. Hanya itu yang dapat di ceritakan Cio Si.
Wanita dusun ini takut untuk mengatakan apa yang ia dengar dalam percakapan dua orang tadi. Ia takut kalau-kalau pembunuh itu akan mencarinya dan membunuhnya pula. Maka ia hanya bercerita bahwa majikannya terbunuh oleh seorang laki-laki yang tidak di kenalnya.
Tiong Gi Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si yang berada di puncak bukit itu segera datang ketika mendengar berita itu. Dia merasa ikut bersedih atas kematian ibu dari muridnya itu mati di bunuh orang selagi puteranya, Han Sin tidak berada di rumah. Karena dia mengenal baik wanita yang tewas itu sebagai ibu dari muridnya, maka Tiong Gi Hwesio mengatur pemakamannya. Kemudian rumah dan sawah ladang itu oleh Tiong Gi Hwesio di serahkan kepada Cio Si untuk di urus dan di rawat sampai kembalinya Han Sin...