PADA keesokan harinya, muncullah Coa Hong Bu, Panglima yang di tugaskan oleh Kaisar untuk mencari Hek-liong-kiam dan kitab Bu-tek Cin-keng, dirumah nyonya Cian Kauw Cu. Dapat di bayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat peti mati di rumah itu, dan sejumlah orang yang melayat. Sebagai orang yang berpendidikan, dia memberi hormat kepada peti jenazah dan mengangkat hio. Setelah selesai upacara penghormatan itu, dia di sambut oleh Tiong Gi Hwesio yang yang mengenalnya sebagai seorang panglima istana.
“Lo-suhu, apa yang telah terjadi dengan Nyonya Cian?“ Tanya panglima itu kepada Tiong Gi Hwesio.
“Omitohud! Hanya seorang saja yang mengetahui dan orang itu adalah Cio Si, Cian-hujin berkelahi dengan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya dan Cian-hujin roboh terbunuh oleh laki-laki itu...“
Tentu saja Coa Hong Bu menjadi penasaran sekali. “Lo-suhu, terus terang saja, aku di utus oleh Sri baginda Kaisar untuk menemui Nyonya Cian dan minta beberapa benda darinya. Karena itu, maka tentu saja peristiwa pembunuhan ini penting sekali bagiku. Dapatkah aku bicara dengan wanita pembantu itu?“
“Omitohud! Ternyata Ciang-kun membawa tugas yang demikian pentingnya. Tentu saja Cian-kun dapat berbicara sendiri dengan Cio Si. Mari, Ciang-kun, silahkan masuk ke dalam dan pin-ceng akan memanggil Cio Si...“
Coa Hong Bu melangkah masuk dan duduk di ruangan dalam rumah itu. Tak lama kemudian seorang wanita tua memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepadanya.
“Apakah… Apakah ciangkun memanggil saya…?“ Tanya Cio Si dengan suara gemetar.
“Benar, akan tetapi jangan takut, bibi. Duduklah, aku hanya ingin mendengar cerita bibi tentang peristiwa pembunuhan itu. Apa bibi mengenal orang yang berkelahi dengan majikanmu...?“
Cio Si duduk dan mengusap air matanya. “Saya tidak mengenalnya, Ciang-kun. Saya belum pernah melihat orang itu...“
“Bagaimana air mukanya dan bentuk tubuhnya...?”
“Wajahnya gagah dan tubuhnya tegap...“
“Usianya...?”
“Tentu lebih dari empat puluh tahun, ciangkun...“
“Bagaimana pakaiannya...?”
“Dia berpakaian biasa, warna… kalau tidak salah ingat biru...“
“Coba ceritakan dari awal ketika engkau melihat peristiwa pembunuhan itu bibi...“ kata Coa Hong Bu dengan lembut sehingga wanita itu tidak lagi ketakutan.
“Seperti biasa setiap pagi, kemarin pagi-pagi sekali saya berangkat dari rumah menuju ke rumah Cian-toanio dimana saya sudah bertahun-tahun bekerja sebagai seorang pembantu. Dan seperti biasa pula, karena pintu depan belum di buka, saya menuju ke kebun belakang untuk memasuki rumah lewat pintu belakang. Biasanya setiap pagi toanio tentu berada di kebun berlatih silat. Akan tetapi kemarin pagi saya melihat toanio berkelahi dengan seorang laki-laki yang memegang pedang. Saya ketakutan dan hanya bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintai dan saya melihat toanio roboh mandi darah terkena tusukan pedang lawannya itu...“
Coa Hong Bu mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa janda Cian itu adalah seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi dan tidak sembarangan orang dapat mengalahkannya. Akan tetapi diapun maklum bahwa wanita itu di waktu mudanya membantu perjuangan Kaisar Yang Chien, maka tentu saja mempunyai banyak musuh.
“Setelah membunuh Cian-toanio, lalu apa yang dilakukan laki-laki itu...?”
“Dia memasuki rumah ini lewat pintu belakang. Setelah dia keluar kembali dan melarikan diri barulah saya berani keluar dari tempat persembunyian saya dan lari minta tolong kepada para tetangga...“
“Lamakah dia memasuki rumah ini...?”
“Lama juga, ciangkun...“
“Ketika dia keluar, dia membawa apa...?”
“Tidak membawa apa-apa, dan pedangnya juga sudah di sarungkan di punggung...“
Tiba-tiba Coa Hong Bu teringat akan sesuatu. “ketika mereka berkelahi, orang itu memegang pedang, bagaimana dengan Cian-toanio...? Ia memegang senjat aapa...?”
“Cian-toanio tidak memegang senjata, ciangkun...“
“Hemmm, dan pedang orang itu, adakah sesuatu yang aneh pada pedang itu...? Bagaimana bentuknya?”
Cio Si ragu-ragu sejenak. “ Seperti pedang biasa… akan tetapi, saya pernah melihat pedang-pedang itu putih mengkilat, akan tetapi pedang orang itu, warna hitam dan mengerikan...!“
Hampir Coa Hong Bu terlonjak dari tempat duduknya. Dia menenangkan hatinya dan bertanya pula. “Apakah ketika berkelahi mereka tidak mengeluarkan kata-kata...?”
Kembali Cio Si ragu-ragu sampai lama. Ia masih merasa takut. Kalau ia membuka rahasia pembunuh itu dengan menceritakan apa yang di dengarnya, ia takut kalau pembunuh itu marah kepadanya dan membunuhnya. “Tidak, ciangkun...“ akhirnya ia berkata.
Coa Hong Bu merasa heran sekali. Pedang itu agaknya Hek-liong-kiam yang di carinya. Akan tetapi kenapa pedang itu tidak berada pada Nyonya Cian, melainkan berada ditangan pembunuh itu? Dan pembunuh itu setelah melakukan pembunuhan lalu memasuki rumah, tentu hendak mencari sesuatu. Kitab Bu-tek Cin-keng! Apalagi yang di cari pembunuh itu selain kitab ini?
“Bibi. mari tunjukkan padaku kamar-kamar di rumah ini, akan ku periksa...“
Di temani Cio Si sebagai penunjuk jalan, Coa Hong Bu lalu mengadakan penggeledahan dalam usahanya mencari kitab Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi dia tidak menemukan kitab itu dan akhirnya dia bertanya lagi kepada Cio Si.
“Bibi, setahuku Cian-toanio mempunyai seorang putera...?“
“Benar, ciangkun. Namanya Cian Han Sin...“
“Dimanakah dia...?”
“Sudah setengah tahun ini Cian-Kongcu pergi. Menurut keterangan dari mendiang Cian-toanio, kong-cu pergi merantau ke utara...“
Coa Hong Bu mengangguk-angguk. “Berapa usia Cian-kongcu...?”
“Kurang lebih dua puluh tahun, Ciangkun...“
Coa Hong Bu termenung. Pemuda itu sudah dewasa, tentu ilmu silatnya juga tinggi karena suami isteri Cian terkenal sebagai orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sangat boleh jadi kalau pedang dan kitab oleh Cian-toanio diberikan kepada puteranya yang telah dewasa itu. Akan tetapi bagaimana pedang itu dapat berada di tangan si pembunuh? Setelah selesai dengan pemeriksaannya, Coa Hong Bu keluar dan menemui Tiong Gi Hwesio yang masih berada di luar. Dia dipersilahkan duduk dan mereka bercakap-cakap.
“Lo-suhu tentu mengenal Cian Han Sin, putera keluarga Cian ini, bukan...?”
“Omitohud! Tentu saja mengenalnya, seorang pemuda yang baik seorang murid yang baik...“
“Ah, jadi dia itu murid lo-suhu...?”
“Dulu ibunya menitipkan Han Sin di kuil kami untuk diberi pelajaran silat, sastra dan agama...“
“Lo-suhu, saya di utus oleh Sribaginda Kaisar untuk mencari tahu tentang pedang Hek-liong-kiam milik mendiang Cian-ciangkun dan tentang sebuah kitab yang bernama Bu-tek Cinkeng, pernahkah lo-suhu melihat pedang dan kitab ini...?”
“Omitohud! Apalagi melihat, mendengarpun belum pernah...?”
“Lo-suhu, saya mendengar dari Cio Si bahwa Han Sin pergi merantau. Tentu lo-suhu mengetahui kemana dia pergi...“
"Han Sin memang berpamit kepada pin-ceng ketika setengah tahun yang lalu dia hendak berangkat merantau. Katanya dia hendak merantau untuk meluaskan pengalamannya dan selain itu dia hendak menyelidiki tentang kematian ayahnya...“
Coa Hung Bu termenung. Dia masih ingat akan kematian Panglima Cian Kauw Cu. Dia tewas ketika memimpin pasukannya ke utara, gugur dalam pertempuran. Hanya itu yang di ketahuinya. “Bukankah Cian-ciangkun tewas dalam pertempuran...?”
“Benar, akan tetapi menurut Cian-toanio, kematian suaminya itu mencurigakan terkena anak panah yang datang dari belakang. Berarti pembunuhnya bukan pihak musuh, dan itulah yang akan di selidiki oleh Han Sin...“
Coa Hong Bu mengangguk-angguk. Dengan kematian Nyonya Cian, maka tinggal Cian Han Sin orang satu-satunya yang mungkin dapat menerangkan tentang kitab dan pedang. Akan tetapi pemuda itu kini sedang merantau ke utara untuk mencari pembunuh ayahnya! Karena tidak ada hal lain lagi yang perlu di selidiki, Hong Bu segera kembali ke istana dan menghadap Kaisar untuk melaporkan semua hasil penyelidikannya itu.
“Kalau begitu, rahasia kitab dan pedang itu tentu di ketahui oleh putera mereka. Coa-ciangkun, carilah pemuda itu dan tanya dimana adanya kitab dan pedang...!“ perintah Kaisar.
“Hamba siap melaksanakannya perintah paduka. Akan tetapi karena Cian Han Sin itu pergi ke utara, maka hamba juga harus menyusul ke sana dan akan memakan waktu agak lama...“
“Tidak mengapa, cari dia sampai dapat dan kembalilah ke sin setelah membawa kitab dan pedang...!“
Coa Hong Bu mengundurkan diri, karena dia hidup membujang, maka pada keesokan harinya dia berangkat melaksanakan tugasnya yang tidak mudah. Mencari seseorang di daerah utara merupakan pekerjaan yang sukar sekali. Dan agar memudahkan perjalanannya, dia mengenakan pakaian rakyat biasa, membawa buntalan pakaian dan pedangnya, lalu berangkat meninggalkan kota raja.
Cu Sian berhenti berlari setelah kakek yang amat lihai itu tidak mengejarnya. Dia menyusup-nyusup hutan menuju ke tepi sungai Huang Ho. Kepuasan hatinya setelah berhasil membalaskan kematian ayah bundanya terganggu oleh kekecewaan bahwa Han Sin tidak membolehkan dia menemani sahabat itu dan membantunya mencari Hek-liong-kiam dan pembunuh ayahnya.
Teringat akan pemuda itu, hatinya merasa resah dan kesepian. Juga terkandung kekhawatiran besar dalam hatinya. Baru menghadapi orang-orang Huang-ho Kwi-pang saja, Han Sin sudah dapat tertawan dengan mudah. Apalagi kalau menghadapi lawan lebih tangguh, pemuda itu pasti celaka, pikirnya, ingin dia membantu Han Sin, ingin dia melindunginya.
Ayah dan kakeknya dulu seringkali bercerita tentang kehebatan dan kegagahan ayah pemuda itu. Kakeknya merupakan sahabat karib Panglima Cian Kauw Cu, bahkan teman seperjuangan. Akan tetapi kini puteranya tidak mau bersahabat dengannya, buktinya tidak mau di temaninya mencari pedang dan musuh ke utara.
“Sudahlah...!“ dia mendengus marah. “Mau apa kalau dia tidak mau? Dasar orang tak tahu diri, orang lemah seperti dia bagaimana dapat merantau ke utara mencari msuuh besarnya? Dia mencari celaka sendiri! Untuk apa aku harus memikirkan orang yang tinggi hati seperti dia? Lebih baik aku kembali ke selatan...“
Dia lalu melangkah cepat menuju ke tepi sungai untuk mencari perahu yang berlayar ke hilir untuk menumpang pergi ke selatan. Akan tetapi kebetulan pada hari itu t lidak ada perahu yang lewat minggir. Semua berada di tengah dan jarang. Percuma saja meneriaki perahu yang berada jauh di tengah itu.
Selain belum tentu terdengar, juga tukang perahu tidak akan mau meminggirkan perahu. Tempat itu merupakan hutan, bagaimana mungkin perahu yang muat barang-barang dagangan itu mau berhenti hanya untuk mengangkut seorang penumpang tambahan? Jangan-jangan dia akan di sangka penjahat.
Cu Sian duduk di atas batu di tepi sungai dengan hati kesal. Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi dan Cu Sian menjadi tertarik sekali. Dia mendengarkan dan memperhatikan kata-kata dalam nyanyian itu.
“Kata-kata yang jujur tidak bagus.
Kata-kata yang bagus tidak jujur.
Orang yang cerdik tidak banyak bicara.
Orang yang banyak bicara tidak cerdik.
Orang yang tahu tidak sombong
Orang yang sombong tidak tahu.
Orang bijaksana tidak menyimpan.
Dia menyumbang sehabis-habisnya.
Tapi semakin menjadi kaya.
Dia memberi sehabis-habisnya.
Tapi semakin berlebihan.
Jalan yang di tempuh langit.
Menguntungkan, tidak merugikan.
Jalan yang di tempuh orang bijaksana.
Memberi, tidak merebut...“
Cu Sian segera mengenal kata-kata dalam nyanyian itu. Itu adalah kata-kata pelajaran agama To, bagian terakhir dari Kitab To-tek-keng. Hemmm, tentu penyanyinya seorang Pendeta To, seorang Tosu. Di samping pelajaran ilmu silat, sejak kecil Cu Sian juga belajar sastra dan membaca kitab-kitab agama To dan Budha.
Andaikata dia mendengar sajak itu dinyanyikan orang di dalam kota, tentu dia tidak akan tertarik. Apa anehnya kalau seorang tosu mengulang ujar-ujar dalam kitab agama mereka? Akan tetapi karena nyanyian itu di dengarnya di tempat yang sunyi selagi dia duduk termenung dengan hati kesal, maka hatinya menjadi tertarik dan diapun turun dari atas batu, lalu melangkah kearah suara itu.
Setelah tiba di tepi sungai, dia tertegun. Bukan tosu yang di dapatkannya seperti yang di sangkanya semula, melainkan seorang pemuda yang duduk di atas batu tepi sungai memegangi sebatang bambu panjang dengan tali kail menggantung di ujungnya. Pemuda itu sedang memancing ikan di tepi sungai. Akan tetapi bukan itu yang membuatnya terkejut heran dan juga girang, melainkan ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Cian Han Sin.
Timbul wataknya yang ugal-ugalan. Saking gembiranya dapat bertemu dengan Han Sin di tempat yang tidak di sangka-sangkanya itu, dia lalu berjalan perlahan, berindap-indap menghampiri pemuda yang sedang tenggelam dalam lamunan, perhatiannya sepenuhnya di arahkan kepada ujung joran. Kemudian Cu Sian mengambil sebongkah batu dan melemparkannya ke air, tepat ke ujung joran pancing Han Sin.
“Byyuurrrr...!“ air muncrat dan Han Sin tersentak kaget sambil menarik tangkai pancingnya, agaknya mengira bahwa suara itu adalah berkecopaknya seekor ikan yang besar! Tentu saja kailnya terangkat tanpa membawa hasil apapun dan ketika mendengar suara tawa di belakangnya, dia menoleh. Ketika Han Sin melihat Cu Sian yang tertawa-tawa di belakangnya, tahulah dia apa yang telah terjadi.
“Ah, Sian-te, kiranya engkau! Ku kira tadi ada ikan besar hendak menyambar umpanku...!“ kata Han Sin.
“He-he-he, Sin-ko, memang umpanmu telah menarik datangnya ikan besar. Akan tetapi bukan umpan di ujung kailmu itu, melainkan umpan berupa nyanyian dari To-tek-keng tadi. Dan akulah ikannya yang tertarik oleh nyanyianmu dan datang ke sini...!“
“Aih, engkau mengejutkan hatiku Sian-te. Bagaimana engkau tiba-tiba saja meninggalkan Huang-ho Kwi-pang itu...?“ Han Sin melepaskan pancingnya di atas tanah dan memandang sahabat itu.
Cu Sian memandangnya dengan mata bersinar-sinar. “Ah, aku telah berhasil membalas kematian ayah ibuku, Sin-ko. Aku telah membunuh Sin-to-kw i Ban Koan. Dialah yang dahulu membunuh ayahku. Juga para pembantunya dan semua anak buahnya di basmi oleh Huang-ho Kwi-pang...“
“Hemmm, sudah puaskah hatimu? Tahukah engkau bahwa engkau telah bekerja sama dan membantu Huang-ho Kwi-pang padahal perkumpulan itu hanya gerombolan perampok dan bajak sungai...?”
“Aku tidak membantu mereka. Ketika mereka di basmi kakek yang amat sakti itu, aku tidak membantu mereka. Ah, kakek itu sungguh mengerikan Sin-ko . Pernahkan engkau mendengar akan seorang datuk berjuluk Pak-te-ong...?”
“Belum. Mengapa dia...?“
“Dia muncul setelah Huang-ho Kwi-pang membasmi gerombolan Kwi-to-pang, dan tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang itu di bunuhnya dengan mudah. Aku sendiripun akan celaka di tangannya kalau saja aku tidak dapat berlari cepat sekali...“
Han Sin tersenyum. Kalau dia tidak turun tangan menghadang kakek itu belum tentu Cu Sian dapat lolos dari pengejarannya. “Wah, kalau begitu engkau jago lari, Sian-te...“ katanya menggoda.
Wajah pemuda remaja itu menjadi merah. “Habis, apakah aku harus mati konyol...? Melarikan diri dari ancaman bahaya yang tidak dapat dilawannya adalah perbuatan cerdik, bukan karena takut. Sebaliknya kalau sudah tahu diri tidak mampu menandingi lawan akan tetapi nekat terus, dia akan mati konyol karena kebodohannya...“
Melihat sahabatnya itu berbicara keras dan matanya menyinarkan kemarahan, Han Sin berkata, “Aku tidak bermaksud mengejekmu, Sian-te. Maafkan aku. Setelah engkau berhasil membalas dendam orang tuamu, bahagiakah rasa hatimu...?“
Cu Sian menjatuhkan diri duduk di atas batu di depan Han Sin lalu dia menghela napas panjang dan menggeleng kepala. Aku tidak mengerti apa itu yang dinamakan bahagia, Sin-ko. Ku rasa kebahagiaan hanya menjadi sebutan, buah bibir belaka. Aku meragukan apakah ada di dunia ini seorang yang berbahagia benar-benar, sudah bebas daripada segala masalah dan kedukaan. Sudah wajar kalau hidup ini seperti permukaan samudera yang sebentar ke kanan sebentar ke kiri, sebentar suka dan sebentar duka...“
“Engkau benar, Sian-te, Tak kusangka semua ini engkau sudah pandai berfilsafat. Hati akal pikiran kitalah yang menjadi gelombang itu, yang mengacaukan batin dengan kesenangan dan kesusahan. Kita biasanya keliru mengenal kesenangan sebagai kebahagiaan. Padahal kesenangan itu hanyalah terpuaskannya nafsu dan bersifat sementara saja karena kesenangan mempunyai saudara kembar yaitu kesusahan yang sewaktu-waktu akan menggantikan kedudukannya. Kalau ada senang tentu ada susah dan sebaliknya, seperti gelombang tentu ke kanan dan ke kiri, berganti-ganti. Kebahagiaan tidak mengenal senang dan susah seperti itu, kesenangan dan kesusahan hanya permainan pikiran sendiri belaka...“
“Aduh, kalau saja aku tidak melihat mu, mendengar ucapanmu tadi tentu aku mengira seorang pertapa yang tua renta yang bicara! Sin-ko, engkau ini orang aneh. usiamu tidak berselisih banyak dengan usiaku, akan tetapi bicara mu seperti kakek pertapa yang berusia seratus tahun...!“ kata Cu Sian sambil tertawa.
Han Sin juga tertawa. Heran dia, setiap bertemu dengan pemuda remaja ini, dia merasakan kegembiraan yang luar biasa. Seolah kelincahan dan kejenakaan pemuda yang menyamar sebagai pengemis itu menular kepadanya!
“Aih, Sian-te. Aku juga sama dengan engkau, hanya membacakan dari kitab-kitab. Akan tetapi aku tidak berhenti mempelajarinya, mencari bukti kebenarannya...“
“Hemmm, bagaimana caranya...?”
“Dengan mengalaminya sendiri. Dengan mengamati kehidupan sendiri dan kehidupan di sekeliling kita karena kenyataan itu hanya dapat di alami bukan hanya diketahui melalui ajaran kitab. Pelajaran dari Kitab tentang kehidupan hanya mengenal kulitnya saja. Isinya kita dapatkan dengan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Kita selalu harus meragukan kebenaran apa yang diajarkan kitab...“
“Meragukan? Kitab-kitab itu ditulis oleh orang-orang jaman dahulu yang bijaksana...“
“keraguan akan kenyataan hidup perlu selalu terdapat dalam hati, karena tanpa keraguan tidak akan ada usaha pencarian tentang kebenaran itu...“
“Wah, wah! kau memang hebat, Sin-ko. Tadipun ketika aku mendengar nyanyian tentang To-te-keng, aku mengira yang bernyanyi itu seorang kakek pendeta To. Kiranya engkau! Sekarang kita bicara tentang hal lain, Sin-ko. Kalau terus kau ajak bicara tentang kehidupan dan filsafatnya, aku khawatir sebentar saja rambutku akan berubah putih...!“
Han Sin tertawa. “Tanpa kau sengaja engkau sudah melakukan hal yang terbaik dalam hidup, yaitu selalu bergembira! memang, pada akhirnya kita akan menemukan bahwa kita ini mahkluk yang berbahagia. karena Tuhan telah memberikan segalanya untuk kita. Kita harus menikmati dan mensyukuri pemberian Tuhan yang berlimpah untuk kita. Nah, kau hendak bicara tentang apa, Sian-te?“
“Begini, Sin-ko. aku telah berhasil membalas dendam atas kematian ayah bundaku. Karena itu, sekarang tidak ada lagi penghalang bagiku untuk membantumu. Aku akan membantumu mencari pedang pusaka Hek-liong-kiam milik ayahmu yang hilang itu. aku akan mencarinya sampai dapat dan menyerahkannya kepadamu...“
Han Sin terkejut, akan tetapi tidak diperlihatkannya. “Akan tetapi dimana hendak kau cari pedang itu?”
“Tentu saja di daerah utara, dimana ayahmu dahulu gugur dalam pertempuran. Kurasa pasti ada yang mengetahuinya siapa yang mengambil pedang itu...“
“Hemm, Kalau Cu Sian mencarinya sendiri, amat berbahaya bagi pemuda itu, pikir Han Sin. Dia sudah melihat akan kelihaian, keberanian dan kecerdikan Cu Sian ketika berhadapan dengan Huang-ho Kwi-pang. Cu Sian dapat menjadi seorang kawan dan pembantu yang boleh di andalkan.
“Sian-te, mencari pedang pusaka ayahku itu merupakan tugasku, tidak semestinya engkau menjadi repot karenanya. Biarlah aku yang mencarinya sendiri...“
“Sin-ko, kenapakah engkau selalu menolak uluran tanganku untuk membantumu? Apakah engkau tidak suka bersahabat denganku? Atau barangkali engkau tidak percaya kepadaku?“
“Ah, sama sekali tidak, Sian-te. Aku senang sekali dapat bersahabat denganmu. Dan tentu saja aku percaya sepenuhnya kepadamu, bukankah engkau cucu Lo-kai yang menjadi sahabat karib mendiang ayahku? Dan bukankah engkau sudah berulang kali menolongku, dari tangan keluarga gila kemudian dari tangan para pimpinan Huang-ho Kwi-pang? Aku hanya tidak ingin membikin susah kepadamu, merepotkanmu...“
“Lo-suhu, apa yang telah terjadi dengan Nyonya Cian?“ Tanya panglima itu kepada Tiong Gi Hwesio.
“Omitohud! Hanya seorang saja yang mengetahui dan orang itu adalah Cio Si, Cian-hujin berkelahi dengan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya dan Cian-hujin roboh terbunuh oleh laki-laki itu...“
Tentu saja Coa Hong Bu menjadi penasaran sekali. “Lo-suhu, terus terang saja, aku di utus oleh Sri baginda Kaisar untuk menemui Nyonya Cian dan minta beberapa benda darinya. Karena itu, maka tentu saja peristiwa pembunuhan ini penting sekali bagiku. Dapatkah aku bicara dengan wanita pembantu itu?“
“Omitohud! Ternyata Ciang-kun membawa tugas yang demikian pentingnya. Tentu saja Cian-kun dapat berbicara sendiri dengan Cio Si. Mari, Ciang-kun, silahkan masuk ke dalam dan pin-ceng akan memanggil Cio Si...“
Coa Hong Bu melangkah masuk dan duduk di ruangan dalam rumah itu. Tak lama kemudian seorang wanita tua memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepadanya.
“Apakah… Apakah ciangkun memanggil saya…?“ Tanya Cio Si dengan suara gemetar.
“Benar, akan tetapi jangan takut, bibi. Duduklah, aku hanya ingin mendengar cerita bibi tentang peristiwa pembunuhan itu. Apa bibi mengenal orang yang berkelahi dengan majikanmu...?“
Cio Si duduk dan mengusap air matanya. “Saya tidak mengenalnya, Ciang-kun. Saya belum pernah melihat orang itu...“
“Bagaimana air mukanya dan bentuk tubuhnya...?”
“Wajahnya gagah dan tubuhnya tegap...“
“Usianya...?”
“Tentu lebih dari empat puluh tahun, ciangkun...“
“Bagaimana pakaiannya...?”
“Dia berpakaian biasa, warna… kalau tidak salah ingat biru...“
“Coba ceritakan dari awal ketika engkau melihat peristiwa pembunuhan itu bibi...“ kata Coa Hong Bu dengan lembut sehingga wanita itu tidak lagi ketakutan.
“Seperti biasa setiap pagi, kemarin pagi-pagi sekali saya berangkat dari rumah menuju ke rumah Cian-toanio dimana saya sudah bertahun-tahun bekerja sebagai seorang pembantu. Dan seperti biasa pula, karena pintu depan belum di buka, saya menuju ke kebun belakang untuk memasuki rumah lewat pintu belakang. Biasanya setiap pagi toanio tentu berada di kebun berlatih silat. Akan tetapi kemarin pagi saya melihat toanio berkelahi dengan seorang laki-laki yang memegang pedang. Saya ketakutan dan hanya bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintai dan saya melihat toanio roboh mandi darah terkena tusukan pedang lawannya itu...“
Coa Hong Bu mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa janda Cian itu adalah seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi dan tidak sembarangan orang dapat mengalahkannya. Akan tetapi diapun maklum bahwa wanita itu di waktu mudanya membantu perjuangan Kaisar Yang Chien, maka tentu saja mempunyai banyak musuh.
“Setelah membunuh Cian-toanio, lalu apa yang dilakukan laki-laki itu...?”
“Dia memasuki rumah ini lewat pintu belakang. Setelah dia keluar kembali dan melarikan diri barulah saya berani keluar dari tempat persembunyian saya dan lari minta tolong kepada para tetangga...“
“Lamakah dia memasuki rumah ini...?”
“Lama juga, ciangkun...“
“Ketika dia keluar, dia membawa apa...?”
“Tidak membawa apa-apa, dan pedangnya juga sudah di sarungkan di punggung...“
Tiba-tiba Coa Hong Bu teringat akan sesuatu. “ketika mereka berkelahi, orang itu memegang pedang, bagaimana dengan Cian-toanio...? Ia memegang senjat aapa...?”
“Cian-toanio tidak memegang senjata, ciangkun...“
“Hemmm, dan pedang orang itu, adakah sesuatu yang aneh pada pedang itu...? Bagaimana bentuknya?”
Cio Si ragu-ragu sejenak. “ Seperti pedang biasa… akan tetapi, saya pernah melihat pedang-pedang itu putih mengkilat, akan tetapi pedang orang itu, warna hitam dan mengerikan...!“
Hampir Coa Hong Bu terlonjak dari tempat duduknya. Dia menenangkan hatinya dan bertanya pula. “Apakah ketika berkelahi mereka tidak mengeluarkan kata-kata...?”
Kembali Cio Si ragu-ragu sampai lama. Ia masih merasa takut. Kalau ia membuka rahasia pembunuh itu dengan menceritakan apa yang di dengarnya, ia takut kalau pembunuh itu marah kepadanya dan membunuhnya. “Tidak, ciangkun...“ akhirnya ia berkata.
Coa Hong Bu merasa heran sekali. Pedang itu agaknya Hek-liong-kiam yang di carinya. Akan tetapi kenapa pedang itu tidak berada pada Nyonya Cian, melainkan berada ditangan pembunuh itu? Dan pembunuh itu setelah melakukan pembunuhan lalu memasuki rumah, tentu hendak mencari sesuatu. Kitab Bu-tek Cin-keng! Apalagi yang di cari pembunuh itu selain kitab ini?
“Bibi. mari tunjukkan padaku kamar-kamar di rumah ini, akan ku periksa...“
Di temani Cio Si sebagai penunjuk jalan, Coa Hong Bu lalu mengadakan penggeledahan dalam usahanya mencari kitab Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi dia tidak menemukan kitab itu dan akhirnya dia bertanya lagi kepada Cio Si.
“Bibi, setahuku Cian-toanio mempunyai seorang putera...?“
“Benar, ciangkun. Namanya Cian Han Sin...“
“Dimanakah dia...?”
“Sudah setengah tahun ini Cian-Kongcu pergi. Menurut keterangan dari mendiang Cian-toanio, kong-cu pergi merantau ke utara...“
Coa Hong Bu mengangguk-angguk. “Berapa usia Cian-kongcu...?”
“Kurang lebih dua puluh tahun, Ciangkun...“
Coa Hong Bu termenung. Pemuda itu sudah dewasa, tentu ilmu silatnya juga tinggi karena suami isteri Cian terkenal sebagai orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sangat boleh jadi kalau pedang dan kitab oleh Cian-toanio diberikan kepada puteranya yang telah dewasa itu. Akan tetapi bagaimana pedang itu dapat berada di tangan si pembunuh? Setelah selesai dengan pemeriksaannya, Coa Hong Bu keluar dan menemui Tiong Gi Hwesio yang masih berada di luar. Dia dipersilahkan duduk dan mereka bercakap-cakap.
“Lo-suhu tentu mengenal Cian Han Sin, putera keluarga Cian ini, bukan...?”
“Omitohud! Tentu saja mengenalnya, seorang pemuda yang baik seorang murid yang baik...“
“Ah, jadi dia itu murid lo-suhu...?”
“Dulu ibunya menitipkan Han Sin di kuil kami untuk diberi pelajaran silat, sastra dan agama...“
“Lo-suhu, saya di utus oleh Sribaginda Kaisar untuk mencari tahu tentang pedang Hek-liong-kiam milik mendiang Cian-ciangkun dan tentang sebuah kitab yang bernama Bu-tek Cinkeng, pernahkah lo-suhu melihat pedang dan kitab ini...?”
“Omitohud! Apalagi melihat, mendengarpun belum pernah...?”
“Lo-suhu, saya mendengar dari Cio Si bahwa Han Sin pergi merantau. Tentu lo-suhu mengetahui kemana dia pergi...“
"Han Sin memang berpamit kepada pin-ceng ketika setengah tahun yang lalu dia hendak berangkat merantau. Katanya dia hendak merantau untuk meluaskan pengalamannya dan selain itu dia hendak menyelidiki tentang kematian ayahnya...“
Coa Hung Bu termenung. Dia masih ingat akan kematian Panglima Cian Kauw Cu. Dia tewas ketika memimpin pasukannya ke utara, gugur dalam pertempuran. Hanya itu yang di ketahuinya. “Bukankah Cian-ciangkun tewas dalam pertempuran...?”
“Benar, akan tetapi menurut Cian-toanio, kematian suaminya itu mencurigakan terkena anak panah yang datang dari belakang. Berarti pembunuhnya bukan pihak musuh, dan itulah yang akan di selidiki oleh Han Sin...“
Coa Hong Bu mengangguk-angguk. Dengan kematian Nyonya Cian, maka tinggal Cian Han Sin orang satu-satunya yang mungkin dapat menerangkan tentang kitab dan pedang. Akan tetapi pemuda itu kini sedang merantau ke utara untuk mencari pembunuh ayahnya! Karena tidak ada hal lain lagi yang perlu di selidiki, Hong Bu segera kembali ke istana dan menghadap Kaisar untuk melaporkan semua hasil penyelidikannya itu.
“Kalau begitu, rahasia kitab dan pedang itu tentu di ketahui oleh putera mereka. Coa-ciangkun, carilah pemuda itu dan tanya dimana adanya kitab dan pedang...!“ perintah Kaisar.
“Hamba siap melaksanakannya perintah paduka. Akan tetapi karena Cian Han Sin itu pergi ke utara, maka hamba juga harus menyusul ke sana dan akan memakan waktu agak lama...“
“Tidak mengapa, cari dia sampai dapat dan kembalilah ke sin setelah membawa kitab dan pedang...!“
Coa Hong Bu mengundurkan diri, karena dia hidup membujang, maka pada keesokan harinya dia berangkat melaksanakan tugasnya yang tidak mudah. Mencari seseorang di daerah utara merupakan pekerjaan yang sukar sekali. Dan agar memudahkan perjalanannya, dia mengenakan pakaian rakyat biasa, membawa buntalan pakaian dan pedangnya, lalu berangkat meninggalkan kota raja.
********************
Cu Sian berhenti berlari setelah kakek yang amat lihai itu tidak mengejarnya. Dia menyusup-nyusup hutan menuju ke tepi sungai Huang Ho. Kepuasan hatinya setelah berhasil membalaskan kematian ayah bundanya terganggu oleh kekecewaan bahwa Han Sin tidak membolehkan dia menemani sahabat itu dan membantunya mencari Hek-liong-kiam dan pembunuh ayahnya.
Teringat akan pemuda itu, hatinya merasa resah dan kesepian. Juga terkandung kekhawatiran besar dalam hatinya. Baru menghadapi orang-orang Huang-ho Kwi-pang saja, Han Sin sudah dapat tertawan dengan mudah. Apalagi kalau menghadapi lawan lebih tangguh, pemuda itu pasti celaka, pikirnya, ingin dia membantu Han Sin, ingin dia melindunginya.
Ayah dan kakeknya dulu seringkali bercerita tentang kehebatan dan kegagahan ayah pemuda itu. Kakeknya merupakan sahabat karib Panglima Cian Kauw Cu, bahkan teman seperjuangan. Akan tetapi kini puteranya tidak mau bersahabat dengannya, buktinya tidak mau di temaninya mencari pedang dan musuh ke utara.
“Sudahlah...!“ dia mendengus marah. “Mau apa kalau dia tidak mau? Dasar orang tak tahu diri, orang lemah seperti dia bagaimana dapat merantau ke utara mencari msuuh besarnya? Dia mencari celaka sendiri! Untuk apa aku harus memikirkan orang yang tinggi hati seperti dia? Lebih baik aku kembali ke selatan...“
Dia lalu melangkah cepat menuju ke tepi sungai untuk mencari perahu yang berlayar ke hilir untuk menumpang pergi ke selatan. Akan tetapi kebetulan pada hari itu t lidak ada perahu yang lewat minggir. Semua berada di tengah dan jarang. Percuma saja meneriaki perahu yang berada jauh di tengah itu.
Selain belum tentu terdengar, juga tukang perahu tidak akan mau meminggirkan perahu. Tempat itu merupakan hutan, bagaimana mungkin perahu yang muat barang-barang dagangan itu mau berhenti hanya untuk mengangkut seorang penumpang tambahan? Jangan-jangan dia akan di sangka penjahat.
Cu Sian duduk di atas batu di tepi sungai dengan hati kesal. Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi dan Cu Sian menjadi tertarik sekali. Dia mendengarkan dan memperhatikan kata-kata dalam nyanyian itu.
“Kata-kata yang jujur tidak bagus.
Kata-kata yang bagus tidak jujur.
Orang yang cerdik tidak banyak bicara.
Orang yang banyak bicara tidak cerdik.
Orang yang tahu tidak sombong
Orang yang sombong tidak tahu.
Orang bijaksana tidak menyimpan.
Dia menyumbang sehabis-habisnya.
Tapi semakin menjadi kaya.
Dia memberi sehabis-habisnya.
Tapi semakin berlebihan.
Jalan yang di tempuh langit.
Menguntungkan, tidak merugikan.
Jalan yang di tempuh orang bijaksana.
Memberi, tidak merebut...“
Cu Sian segera mengenal kata-kata dalam nyanyian itu. Itu adalah kata-kata pelajaran agama To, bagian terakhir dari Kitab To-tek-keng. Hemmm, tentu penyanyinya seorang Pendeta To, seorang Tosu. Di samping pelajaran ilmu silat, sejak kecil Cu Sian juga belajar sastra dan membaca kitab-kitab agama To dan Budha.
Andaikata dia mendengar sajak itu dinyanyikan orang di dalam kota, tentu dia tidak akan tertarik. Apa anehnya kalau seorang tosu mengulang ujar-ujar dalam kitab agama mereka? Akan tetapi karena nyanyian itu di dengarnya di tempat yang sunyi selagi dia duduk termenung dengan hati kesal, maka hatinya menjadi tertarik dan diapun turun dari atas batu, lalu melangkah kearah suara itu.
Setelah tiba di tepi sungai, dia tertegun. Bukan tosu yang di dapatkannya seperti yang di sangkanya semula, melainkan seorang pemuda yang duduk di atas batu tepi sungai memegangi sebatang bambu panjang dengan tali kail menggantung di ujungnya. Pemuda itu sedang memancing ikan di tepi sungai. Akan tetapi bukan itu yang membuatnya terkejut heran dan juga girang, melainkan ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Cian Han Sin.
Timbul wataknya yang ugal-ugalan. Saking gembiranya dapat bertemu dengan Han Sin di tempat yang tidak di sangka-sangkanya itu, dia lalu berjalan perlahan, berindap-indap menghampiri pemuda yang sedang tenggelam dalam lamunan, perhatiannya sepenuhnya di arahkan kepada ujung joran. Kemudian Cu Sian mengambil sebongkah batu dan melemparkannya ke air, tepat ke ujung joran pancing Han Sin.
“Byyuurrrr...!“ air muncrat dan Han Sin tersentak kaget sambil menarik tangkai pancingnya, agaknya mengira bahwa suara itu adalah berkecopaknya seekor ikan yang besar! Tentu saja kailnya terangkat tanpa membawa hasil apapun dan ketika mendengar suara tawa di belakangnya, dia menoleh. Ketika Han Sin melihat Cu Sian yang tertawa-tawa di belakangnya, tahulah dia apa yang telah terjadi.
“Ah, Sian-te, kiranya engkau! Ku kira tadi ada ikan besar hendak menyambar umpanku...!“ kata Han Sin.
“He-he-he, Sin-ko, memang umpanmu telah menarik datangnya ikan besar. Akan tetapi bukan umpan di ujung kailmu itu, melainkan umpan berupa nyanyian dari To-tek-keng tadi. Dan akulah ikannya yang tertarik oleh nyanyianmu dan datang ke sini...!“
“Aih, engkau mengejutkan hatiku Sian-te. Bagaimana engkau tiba-tiba saja meninggalkan Huang-ho Kwi-pang itu...?“ Han Sin melepaskan pancingnya di atas tanah dan memandang sahabat itu.
Cu Sian memandangnya dengan mata bersinar-sinar. “Ah, aku telah berhasil membalas kematian ayah ibuku, Sin-ko. Aku telah membunuh Sin-to-kw i Ban Koan. Dialah yang dahulu membunuh ayahku. Juga para pembantunya dan semua anak buahnya di basmi oleh Huang-ho Kwi-pang...“
“Hemmm, sudah puaskah hatimu? Tahukah engkau bahwa engkau telah bekerja sama dan membantu Huang-ho Kwi-pang padahal perkumpulan itu hanya gerombolan perampok dan bajak sungai...?”
“Aku tidak membantu mereka. Ketika mereka di basmi kakek yang amat sakti itu, aku tidak membantu mereka. Ah, kakek itu sungguh mengerikan Sin-ko . Pernahkan engkau mendengar akan seorang datuk berjuluk Pak-te-ong...?”
“Belum. Mengapa dia...?“
“Dia muncul setelah Huang-ho Kwi-pang membasmi gerombolan Kwi-to-pang, dan tiga orang pimpinan Huang-ho Kwi-pang itu di bunuhnya dengan mudah. Aku sendiripun akan celaka di tangannya kalau saja aku tidak dapat berlari cepat sekali...“
Han Sin tersenyum. Kalau dia tidak turun tangan menghadang kakek itu belum tentu Cu Sian dapat lolos dari pengejarannya. “Wah, kalau begitu engkau jago lari, Sian-te...“ katanya menggoda.
Wajah pemuda remaja itu menjadi merah. “Habis, apakah aku harus mati konyol...? Melarikan diri dari ancaman bahaya yang tidak dapat dilawannya adalah perbuatan cerdik, bukan karena takut. Sebaliknya kalau sudah tahu diri tidak mampu menandingi lawan akan tetapi nekat terus, dia akan mati konyol karena kebodohannya...“
Melihat sahabatnya itu berbicara keras dan matanya menyinarkan kemarahan, Han Sin berkata, “Aku tidak bermaksud mengejekmu, Sian-te. Maafkan aku. Setelah engkau berhasil membalas dendam orang tuamu, bahagiakah rasa hatimu...?“
Cu Sian menjatuhkan diri duduk di atas batu di depan Han Sin lalu dia menghela napas panjang dan menggeleng kepala. Aku tidak mengerti apa itu yang dinamakan bahagia, Sin-ko. Ku rasa kebahagiaan hanya menjadi sebutan, buah bibir belaka. Aku meragukan apakah ada di dunia ini seorang yang berbahagia benar-benar, sudah bebas daripada segala masalah dan kedukaan. Sudah wajar kalau hidup ini seperti permukaan samudera yang sebentar ke kanan sebentar ke kiri, sebentar suka dan sebentar duka...“
“Engkau benar, Sian-te, Tak kusangka semua ini engkau sudah pandai berfilsafat. Hati akal pikiran kitalah yang menjadi gelombang itu, yang mengacaukan batin dengan kesenangan dan kesusahan. Kita biasanya keliru mengenal kesenangan sebagai kebahagiaan. Padahal kesenangan itu hanyalah terpuaskannya nafsu dan bersifat sementara saja karena kesenangan mempunyai saudara kembar yaitu kesusahan yang sewaktu-waktu akan menggantikan kedudukannya. Kalau ada senang tentu ada susah dan sebaliknya, seperti gelombang tentu ke kanan dan ke kiri, berganti-ganti. Kebahagiaan tidak mengenal senang dan susah seperti itu, kesenangan dan kesusahan hanya permainan pikiran sendiri belaka...“
“Aduh, kalau saja aku tidak melihat mu, mendengar ucapanmu tadi tentu aku mengira seorang pertapa yang tua renta yang bicara! Sin-ko, engkau ini orang aneh. usiamu tidak berselisih banyak dengan usiaku, akan tetapi bicara mu seperti kakek pertapa yang berusia seratus tahun...!“ kata Cu Sian sambil tertawa.
Han Sin juga tertawa. Heran dia, setiap bertemu dengan pemuda remaja ini, dia merasakan kegembiraan yang luar biasa. Seolah kelincahan dan kejenakaan pemuda yang menyamar sebagai pengemis itu menular kepadanya!
“Aih, Sian-te. Aku juga sama dengan engkau, hanya membacakan dari kitab-kitab. Akan tetapi aku tidak berhenti mempelajarinya, mencari bukti kebenarannya...“
“Hemmm, bagaimana caranya...?”
“Dengan mengalaminya sendiri. Dengan mengamati kehidupan sendiri dan kehidupan di sekeliling kita karena kenyataan itu hanya dapat di alami bukan hanya diketahui melalui ajaran kitab. Pelajaran dari Kitab tentang kehidupan hanya mengenal kulitnya saja. Isinya kita dapatkan dengan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari. Kita selalu harus meragukan kebenaran apa yang diajarkan kitab...“
“Meragukan? Kitab-kitab itu ditulis oleh orang-orang jaman dahulu yang bijaksana...“
“keraguan akan kenyataan hidup perlu selalu terdapat dalam hati, karena tanpa keraguan tidak akan ada usaha pencarian tentang kebenaran itu...“
“Wah, wah! kau memang hebat, Sin-ko. Tadipun ketika aku mendengar nyanyian tentang To-te-keng, aku mengira yang bernyanyi itu seorang kakek pendeta To. Kiranya engkau! Sekarang kita bicara tentang hal lain, Sin-ko. Kalau terus kau ajak bicara tentang kehidupan dan filsafatnya, aku khawatir sebentar saja rambutku akan berubah putih...!“
Han Sin tertawa. “Tanpa kau sengaja engkau sudah melakukan hal yang terbaik dalam hidup, yaitu selalu bergembira! memang, pada akhirnya kita akan menemukan bahwa kita ini mahkluk yang berbahagia. karena Tuhan telah memberikan segalanya untuk kita. Kita harus menikmati dan mensyukuri pemberian Tuhan yang berlimpah untuk kita. Nah, kau hendak bicara tentang apa, Sian-te?“
“Begini, Sin-ko. aku telah berhasil membalas dendam atas kematian ayah bundaku. Karena itu, sekarang tidak ada lagi penghalang bagiku untuk membantumu. Aku akan membantumu mencari pedang pusaka Hek-liong-kiam milik ayahmu yang hilang itu. aku akan mencarinya sampai dapat dan menyerahkannya kepadamu...“
Han Sin terkejut, akan tetapi tidak diperlihatkannya. “Akan tetapi dimana hendak kau cari pedang itu?”
“Tentu saja di daerah utara, dimana ayahmu dahulu gugur dalam pertempuran. Kurasa pasti ada yang mengetahuinya siapa yang mengambil pedang itu...“
“Hemm, Kalau Cu Sian mencarinya sendiri, amat berbahaya bagi pemuda itu, pikir Han Sin. Dia sudah melihat akan kelihaian, keberanian dan kecerdikan Cu Sian ketika berhadapan dengan Huang-ho Kwi-pang. Cu Sian dapat menjadi seorang kawan dan pembantu yang boleh di andalkan.
“Sian-te, mencari pedang pusaka ayahku itu merupakan tugasku, tidak semestinya engkau menjadi repot karenanya. Biarlah aku yang mencarinya sendiri...“
“Sin-ko, kenapakah engkau selalu menolak uluran tanganku untuk membantumu? Apakah engkau tidak suka bersahabat denganku? Atau barangkali engkau tidak percaya kepadaku?“
“Ah, sama sekali tidak, Sian-te. Aku senang sekali dapat bersahabat denganmu. Dan tentu saja aku percaya sepenuhnya kepadamu, bukankah engkau cucu Lo-kai yang menjadi sahabat karib mendiang ayahku? Dan bukankah engkau sudah berulang kali menolongku, dari tangan keluarga gila kemudian dari tangan para pimpinan Huang-ho Kwi-pang? Aku hanya tidak ingin membikin susah kepadamu, merepotkanmu...“