“Kalau aku tidak merasa dibuat susah dan merasa tidak merepotkan, bagaimana...? Kalau aku dengan suka rela ingin membantumu mencari pusaka itu sampai engkau mendapatkannya, bagaimana...? Apakah engkau juga masih menolakku...?“
Han Sin menghela napas. Memang lebih baik membiarkan pemuda remaja itu bersama dia agar dia dapat melindunginya kalau ada marabahaya. “Tentu saja tidak, Sian-te. Aku akan berterima kasih sekali, akan tetapi…“
“Akan tetapi apa...?“
“Ku harap engkau tidak melakukan penyamaran lagi...“
Cu Sian menatap wajah Han Sin penuh selidik, seolah hendak menjenguk isi hati pemuda itu. “Apa maksudmu, Sin-ko...?“ akhirnya dia bertanya.
“Engkau bukan seorang pengemis, mengapa menyamar sebagai seorang pengemis...? Lebih baik memakai pakaian biasa saja, tidak usah berpakaian pengemis...“
Cu Sian mengerutkan alisnya. “Akan tetapi itu perlu untuk menyembunyikan keadaan asliku. Eh Sin-ko, apakah engkau merasa jijik dan malu bersahabat dengan seorang yang berpakaian seperti pengemis...?”
“Sama sekali tidak, Sian-te. Akan tetapi justeru dengan penyamaranmu ini, engkau menarik perhatian banyak orang. Coba pikir dengan baik, bukankah orang-orang akan tertarik melihat kita bersahabat dan melakukan perjalanan bersama karena keadaan kita yang berbeda...? Kalau engkau berpakaian biasa seperti aku, tentu tidak akan menarik perhatian orang. memang benar kalau engkau melakukan perjalanan seorang diri, mungkin saja engkau tidak akan menarik perhatian orang...“
“Hemm, benar juga pendapat mu, Sin-ko. baiklah, aku akan menanggalkan penyamaranku dan berpakaian seperti orang biasa...“ Cu Sian akhirnya mengalah.
Han Sin tersenyum senang. “Kalau begitu mari kita menyusuri sungai ini ke utara sampai kita tiba di sebuah kota dimana kita dapat membeli pakaian untukmu. aku juga membawa bekal pakaian, akan tetapi terntu terlalu besar kalau kau pakai...“
“Tidak perlu repot-repot, Sin-ko. Aku sudah mempersiapkan segalanya. Kau tunggu sebentar...!“ pemuda remaja itu lalu berlari dan lenyap di balik semak belukar dalam hutan di tepi pantai sungai itu.
Han Sin mengikutinya dengan pandang heran. Kalau Cu Sian sudah mempersiapkan segalanya, juga pakaian biasa, hal itu berarti bahwa memang pemuda remaja itu sudah bermaksud untuk menanggalkan penyamarannya. Dia tersenyum duduk lagi di atas batu, kini tidak memancing lagi hanya memandangi air yang mengalir tiada putusnya itu, menghayutkan segala macam benda dipermukaannya. Han Sin termenung. Pikirannya seolah ikut hanyut bersama air, sampai jauh. Kehidupan seperti mengalir air sungai itu. Mengalir terus, bergerak terus sampai berakhir di samudera.
“Sin-ko, dengan melamun seperti itu mana bisa engkau memperoleh ikan...?”
Teguran dengan suara nyaring ini mengejutkan Han Sin dan menyeretnya kembali kepada kenyataan. Dia segera menoleh dan memandang pemuda remaja yang berdiri di depannya dan dia terpesona! Demikian tampan dan eloknya pemuda remaja itu, seperti seorang pangeran dalam dongeng, walaupun pakaiannya hanya sederhana.
“Eh, Sin-ko! Apakah ada yang tidak benar dengan pakaianku...?” Cu ian mengamati pakaiannya dan tidak menemukan sesuatu yang aneh.
“Sian-te… hamper aku tidak mengenalmu! Engkau begitu! Engkau begitu tampan, engkau seperti… seorang putera bangsawan tinggi. Eh, Sian-te, engkau tentu seorang pengeran atau putera bangsawan tinggi...!“
Cu Sian tersenyum dan Han Sin semakin kagum. Bukan main tampannya pemuda ini kalau tersenyum, pikirnya.
“He-he, Sin-ko. Engkau mimpi! Sudah kau ketahui bahwa aku cucu seorang ketua pengemis. Kalaupun aku pangeran, barangkali pangeran pengemis, putera dari raja pengemis, ha-ha-ha...“
Han Sin juga tertawa, dan dia menjadi tenang kembali. Hilang sudah pesona yang tadi sempat membuatnya tertegun. “Ah, Sian-te, kalau saja aku ini seorang wanita, tentu aku sudah jatuh hati kepadamu...!“
Cu Sian juga tertawa geli, “Dan aku akan melarikan diri, seperti engkau ketika melarikan diri dari keluarga gila yang hendak memaksamu kawin...“
“Uhhh! Kau anggap aku sama dengan gadis gila itu...?”
“Biarpun tidak gila, engkau jauh lebih tua dariku. Sudahlah, simpan saja pujian itu untuk lain kali. Sekarang katakan bagaimana pendapat mu setelah aku mengenakan pakaian biasa...? Engkau tidak keberatan lagi melakukan perjalanan bersamaku...?”
“Aku tidak pernah merasa keberatan, Sian-te. Hanya canggung kalau engkau menyamar sebagai pengemis. Kalau seperti ini, aku tidak ragu lagi, bahkan bangga mengaku engkau sebagai adik ku...“
“Sebagai adik, atau sebagai pengawalmu, Sin-ko...?”
“Pengawal...?“ Han Sin memandang wajah tampan itu penuh selidik.
“Ya, pengawal. Tanpa pengawalanku, engkau tentu akan menghadapi banyak bahaya dalam perjalanan. Akan tetapi dengan adanya aku di dekat mu, jangan khawatir, Sin-ko. Aku yang akan membasmi semua halangan yang akan mencelakaimu...“ kata Cu Sian dengan sikap gagah.
Han Sin tersenyum. “Benar sekali, Sian-te. Engkau ku anggap adikku, juga pengawal dan pelindungku. Akan tetapi aku pesan agar engkau tidak terlalu keras hati sehingga dimana-mana engkau menghadapi keributan dan perkelahian seperti yang terjadi dalam rumah makan itu...“
Cu Sian berdiri di depan Han Sin dan mengangguk sampai dalam seperti sikap seorang hamba terhadap majikannya. “Baik, Sin-ko. Akan kulaksanakan perintahmu...“
Mau tidak mau Han Sin tertawa melihat sikap pemuda remaja itu. Hatinya merasa senang sekali. Cu Sian bagaikan sinar matahari yang membuat dunia nampak cerah dan indah. Sejak berpisah dari pemuda itu, hatinya selalu merasa tidak enak dan khawatir kalau-kalau sahabt muda ini akan terancam bahaya karena wataknya yang nakal dan terlalu berani.
Maka diam-diam dia selalu membayanginya sehingga dia berhasil melindunginya ketika pemuda remaja itu terancam oleh Pak-te-ong. Setelah itu, dia sengaja menghadangnya, sambil memancing ikan dan menyanyikan sajak tadi. Kini, dia tidak perlu merasa khawatir lagi. Dengan melakukan perjalanan bersama, diam-diam dia dapat melindungi Cu Sian.
“Nah, sekarang sebelum kita melanjutkan perjalanan, aku ingin mengetahui kemana kita akan pergi, sin-ko...?“
“Seperti telah kuceritakan kepadamu, Sian-te, aku hendak mencari pedang pusaka ayahku yang hilang ketika ayah memimpin pasukan di Shan-si utara. Karena aku tidak tahu persis dimana pertempuran itu terjadi ketika itu, maka aku harus mencari keterangan di Tai-goan. Peristiwa itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu, maka untuk menyelidikinya hanya para pejabat tinggi di Tai-goan saja yang dapat memberi keterangan...“
”Jadi kita pergi ke Tai-goan sekarang...? Hayo kita berangkat Sin-ko...!“ kata Cu Sian penuh semangat.
“Ah, engkau kelihatan amat bergembira, Sian-te. Ada apakah...?“
“Bagaimana hatiku tidak akan bergembira dapat melakukan perjalanan bersamamu, Sin-ko...? Tadinya aku selalu mengkhawatirkan keselamatanmu. Untuk melakukan perjalanan berbahaya ini orang harus membekali dirinya dengan ilmu silat tinggi. Engkau yang tidak memiliki itu, tentu setiap saat terancam bahaya. akan tetapi sekarang aku tidak khawatir lagi. Engkau dekat dengan aku yang selalu dapat melindungimu..."
Han Sin tersenyum. Sungguh terdapat persamaan dalam hati mereka. Dia pun selalu mengkhawatirkan keselamatan pemuda remaja itu.
Tiba-tiba mereka melihat sebuah perahu meluncur di atas air sungai, tidak terlalu jauh dari tepi sehingga mereka dapat melihatnya dengan jelas. Seorang pria muda mendayung perahu itu, seorang diri saja, akan tetapi perahu itu dapat meluncur cepat melawan arus.
“Hemmm, dapat mendayung perahu melawan arus secepat itu menunjukkan bahwa orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali...“ kata Han Sin. “Dia tentu seorang yang berkepandaian tinggi...“
Cu Sian memandang penuh perhatian. Orang yang mendayung itu seorang pemuda yang gagah, bertubuh tinggi besar dan kekar, kulit mukanya agak hitam, hidungnya besar, matanya lebar dan mulutnya juga lebar. Dipunggungnya tergantung sebatang pedang bersarung indah.
“Dia tentu bukan orang baik-baik...“ kata Cu Sian lirih, kemudian dia bangkit berdiri dari atas batu yang di dudukinya. “Ah, aku ingat sekarang! Dia adalah pemuda sombong yang menghinaku di rumah makan tempo hari...“
Han Sin memperhatikan dan kini diapun teringat. Pemuda yang pernah ribut mulut dengan Cu Sian di rumah makan, yang mengatakan bahwa sepantasnya semua pengemis di basmi itu! Kini makin yakinlah dia bahwa pemuda tinggi besar itu tentu seorang yang berkepandaian tinggi.
“Heiii…!“ Cu Sian berteriak kearah penunggang perahu itu, akan tetapi Han Sin menarik lengannya.
“Sssttt, Sian-te. Biarkan dia berlalu, jangan mencari keributan di sini...!“ tegurnya.
“Akan tetapi si sombong itu…!“
“Sudahlah, perjalanan kita masih jauh, untuk apa mencari gara-gara...? Dan ingat akan janjimu, katanya engkau akan menaati semua perintahku...“
Cu Sian yang tadinya masih penasaran, kini tersenyum mengangguk. “Baiklah, Sin-ko. Maafkan aku...“
“Nah, begitu baru namanya adik yang baik...“ kata Han Sin senang dan tersenyum.
“Dan pengawal yang taat...!“ sambung Cu Sian.
Ke duanya tertawa lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke ke kota Taigoan yang dari situ terletak di Timur laut.
Pada waktu itu, propinsi Shan-si merupakan daerah perbatasan paling utara dari Kerajaan Sui. Di sebelah utara Shan-si adalah daerah luas dan menjadi perebutan antara bangsa dan suku yang hidupnya mengembara tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Mereka adalah bangsa dan suku Tar-tar, Mongol, Merkit, Karait, Naiman dan Ugur serta masih banyak lagi suku-suku bangsa yang kecil. Para suku bangsa dari utara inilah yang oleh Kerajaan Sui di anggap sebagai ancaman dari utara sehingga di sepanjang perbatasan itu di bangun benteng pertahanan yang kokoh.
Propinsi Shan-si di pimpin oleh seorang gubernur atau kepala daerah yang telah memegang kedudukan itu sejak Kaisar Yang Chien masih hidup. Gubernur itu bernama Li Goan. Dia mempunyai lima orang anak laki-laki dan empat orang anak perempuan. Akan tetapi yang paling di sayangnya justeru puteranya yang dilahirkan oleh seorang selirnya, yaitu Puteri seorang kepala suku bangsa Turki. Puteranya itu bernama Li Si Bin dan memang putera inilah yang paling menonjol di antara saudara-saudaranya.
Keadaan di utara selama ini tenang saja. Hal ini berkat hubungan baik antara Gubernur Li Goan dengan suku-suku bangsa di utara, terutama sekali dengan suku bangsa Turki yang di pimpin oleh keluarga isterinya, karena masih ada hubungan keluarga inilah maka banga Turki menghentikan gerakannya yang mengganggu keamanan perbatasan utara. Juga dengan suku-suku lain, Gubernur Li Goan mengambil sikap bersahabat sehingga orang-orang dari selatan dapat melakukan hubungan perdagangan dengan suku-suku bangsa itu tanpa ada gangguan.
Gubernur Li Goan maklum bahwa kedudukannya sebagai kepala daerah di perbatasan utara itu merupakan kedudukan yang berbahaya. Dialah yang bertanggung jawab atas keamanan daerah itu, dan kalau sampai daerah itu di kuasai oleh suku asing, tentu kerajaan akan menyalahkan dia. Oleh karena itu, Gubernur Li Goan selalu memperkuat pasukannya untuk menjaga keamanan di daerahnya, walaupun perbatasan telah ada perbentengan Pasukan Sui yang menjaga.
Dia memerlukan banyak pembantu yang pandai, maka hampir setiap tahun dia mengadakan pemilihan bagi tenaga-tenaga baru untuk di jadikan opsir-opsir atau tentara. Dia memberi kedudukan yang cukup tinggi sesuai dengan kepandaian masing-masing. Karena ini, dia berhasil menarik perhatian banyak tokoh persilatan yang ingin memperoleh kedudukan tinggi dalam pasukan gubernur itu.
Dengan adanya banyak ahli silat yang berilmu tinggi menjadi perwira-perwira pasukan ayahnya, Li Si Bin yang sejak kecil gemar mempelajari ilmu silat itu, dengan mudah memperdalam ilmu silatnya dengan belajar dari para perwira itu. Bahkan lebih dari itu, pemuda ini sering berkelana mengunjungi gurun-gurun dan bukit-bukit sunyi di utara, menjumpai para pertapa sakti dan kalau menemukan seorang yang sakti dan ahli dalam ilmu silat, dia lalu menjadi muridnya. Dengan cara demikian, setelah dia menjadi seorang pemuda dewasa, dia telah memilik iilmu silat yang tinggi. Selain ilmu silat, Li Si Bin juga mempelajari ilmu perang dan sastra.
Gubernur Li Goan yang merasa bangga akan kelihaian puteranya, lalu menyerahkan kepada Li Si Bin bilamana diadakan pemilihan perwira. Pemuda itulah yang mengatur ujian bagi para peserta. Dan sejak Li Si Bin yang mengatur ujian, jaranglah ada calon yang berhasil di angkat menjadi perwira. Kebanyakan hanya berhasil lulus sebagai tentara saja karena untuk menjadi perwira, syaratnya amat berat dan harus memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi kalau ada yang lulus, tentulah dia menjadi seorang perwira yang gagah perkasa dan dapat di andalkan.
Pada suatu pagi, dua orang pemuda tampan memasuki pintu gerbang kota Taigoan. Mereka ini adalah Cian Han Sin dan Cu Sian. Setelah melakukan perjalanan berhari-hari lamanya, meninggalkan Huang-ho menuju ke timur, sampailah mereka berdua di kota terbesar di daerah Shan-si itu. Begitu memasuki kota Taigoan mereka sudah melihat keadaan yang ramai seolah-olah di kota itu sedang diadakan pesta.
Cu Sian bertanya kepada seorang dengan bahasa daerah utara dengan lancar sehingga diam-diam Han Sin kagum sekali. Agaknya sahabat mudanya ini mengenal pula bahasa daerah utara. Mereka mendapatkan penjelasan orang itu bahwa dilapangan depan gedung Gubernur memang sedang di adakan semacam pesta, yaitu ujian bagi mereka atau tentara.
“Ah, paman. Tontonan apa saja yang di adakan di sana...?“ Tanya Cu Sian, sementara itu Han Sin hanya mendengarkan dan memandang sahabatnya yang kelihatan gembira sekali.
“Tentu saja seperti biasa, ada pertunjukan kekuatan, keahlian menunggang kuda dan memanah, dan yang terakhir pertunjukkan ilmu silat. Bagi mereka yang ingin menjadi perwira harus bertanding melawan Li-Kong-cu sebagai pengujinya..."
Sepasang mata Cu Sian bersinar-sinar dan Han Sin memaklumi hal ini. Semua pendekar tentu saja gembira mendengar akan ada pertunjukkan ilmu silat. Dia sendiri pun tertarik. “ Siapa sih Li-kongcu itu...?“ Cu Sian bertanya.
“Hemm, tentu ji-wi (Kalian berdua) datang dari jauh sekali maka tidak mengenal Li Kong-cu...“ kata orang itu. “Kalau ji-wi tinggal di daerah Shan-si tentu sudah mengenal atau setidaknya mendengar nama ini. Li Kong-cu adalah seorang pemuda yang paling hebat dan paling tangguh ilmu silatnya akan tetapi paling popular dan dekat dengan rakyat jelata. Dia adalah putera Kepala Daerah Shan-si, yaitu Gubernur Li Goan...“
“Wah, tentu ramai sekali! Sin-ko, kita harus nonton pertunjukkan itu...!“ kata Cu Sian gembira, lalu tanpa menanti jawaban sahabatnya, dia sudah menarik tangan Han Sin di ajak pergi kearah lapangan seperti yang di tunjukkan orang tadi.
Han Sin tersenyum dan menurut saja. Kalau sedang bergembira seperti itu, Cu Sian sungguh kelihatan seperti seorang kanak-kanak. Selama melakukan perjalanan bersama Cu Sian, dia semakin tidak mengerti akan sikap Cu Sian yang suka berubah-ubah. Kadang begitu akrab, akan tetapi kadang-kadang juga seperti orang asing baginya. Selama dalam perjalanan itu, Cu Sian tidak pernah mau tidur dekat dengannya.
Juga kalau membersihkan badan di sumber air atau anak sungai, selalu dia ingin menyendiri dan mencari tempat yang agak jauh. Tingkahnya kadang-kadang seperti seorang kanak-kanak yang manja dan mudah tersinggung. Maka ketika diajak nonton pertunjukkan itu, dia tidak membantah karena bantahan hanya akan membuat pemuda remaja itu ngambek!
Ketika mereka tiba di lapangan rumput yang luas, di depan sebuah bangunan besar, mereka mendengar tambun dan gendering di pukul orang sehingga suasana menjadi ramai meriah. Ratusan orang sudah berkumpul untuk menonton. Akan tetapi tempat itu dilingkari tali karena untuk ujian itu di butuhkan tempat yang luas. Di tengah-tengah lapangan terdapat sebuah panggung dari papan setinggi dua meter.
Di dekat panggung itu terdapat dua kelompok orang. Mereka semua adalah orang-orang muda yang gagah. Kelompok pertama terdiri dari seratus orang lebih, sedangkan kelompok kedua hanya ada dua belas orang. Setelah bertanya-tanya, Cu Sian mendapat keterangan dari seorang penonton bahwa kelompok besar itu adalah mereka yang ingin menempuh ujian sebagai tentara, sedangkan kelompok kecil itulah calon-calon perwira.
Tiba-tiba Cu Sian memegang lengan han Sin, kuat sekali sehingga Han Sin terkejut dan memandang kepadanya. sahabatnya itu sedang memandang kearah tengah lapangan dimana dua kelompok calon itu berkumpul dekat panggung maka diapun memandang ke sana. Setelah memandang dengan teliti barulah dia tahu mengapa sahabatnya mencengkram lengannya demikian kuatnya.
Ternyata di dalam kelompok dua belas orang itu terdapat pemuda tinggi besar yang sudah dua kali mereka lihat. Pertama di dalam rumah makan ketika pemuda itu rebut mulut dengan Cu Sian, dan kedua kalinya ketika mereka berdua melihat pemuda itu mendayung perahu melawan arus.
“Dia ada di sini...“ bisik Cu Sian demikian sungguh-sungguh sehingga Han Sin menjadi geli.
“Kalau di sini mau apa...?“ katanya tersenyum. “Tenanglah Sian-te. kita lihat saja sampai dimana kelihaian pemuda itu nanti...“
Cu Sian mengangguk, akan tetapi alisnya berkerut. “Hemm, aku ingin menandinginya dalam ujian ini...“ bisiknya.
“Hushh, apa-apaan engkau ini...? apakah engkau ingin masuk menjadi perwira di Shan-si...?”
“Tidak, aku hanya ingin mengukur kepandaian orang sombong itu...!”
“Ingat, Sian-te, kita ini hanya penonton saja. Jangan membikin ribut di sini. Apalagi aku membutuhkan bantuan Gubernur Li. Ibuku berpesan agar aku menghadap Gubernur Li dan minta keterangan darinya. Siapa tahu dia akan dapat memberi banyak keterangan tentang kematian ayahku, karena menurut ibuku, Gubernur Li adalah seorang sahabat baik mendiang ayah...“
“Hemmm, baiklah, Sin-ko...“
Ratusan orang yang menjadi penonton dan yang tadi ramai saling bercakap sendiri, tiba-tiba menjadi diam ketika ujian itu di mulai. Ujian bagi para calon tentara tidaklah terlalu menarik bagi Han Sin dan Cu Sian. Ujian itu hanyalah ujian tenaga mengangkat sebuah arca singa dari batu, kemudian ujian memanah orang-orangan dari jerami dalam jarak seratus li, kemudian ujian ilmu silat yaitu setiap orang calon di haruskan memainkan ilmu silatnya menggunakan senjata golok atau tombak. Hampir seluruh calon lulus dengan baik.
Agaknya para penonton juga tidak begitu memperhatikan ujian bagi para calon tentara ini karena merekapun ingin sekali nonton ujian bagi calon perwira yang lebih seru.
Akhirnya, setelah calon tentara sudah di uji semua dan lulus lalu dikumpulkan dan di ajak masuk rumah gedung lewat jalan samping untuk di daftar sebagai tentara, maka ujian perwira di mulai. Dua belas orang calon itu di uji satu demi satu. Mula-mula mereka di haruskan melompat ke atas panggung yang dua meter tingginya itu. Di atas panggung sudah tersedia sebuah busur yang besar dan berat dan mereka di haruskan menggunakan busur itu unt uk memanah orang-orangan dari jerami dalam jarak dua ratus kaki!
Singa batu yang tadi di angkat oleh para calon tentara juga sudah di taruh di panggung dan para calon perwira di haruskan mengangkat arca singa itu dan melemparkannya ke atas dan di terima lagi dengan tangan. Setelah itu mereka diharuskan menunggang kuda sambil melepaskan anak panah pada orang-orangan jerami dalam jarak lima puluh kaki. Setelah semua itu lulus, barulah si calon akan di uji oleh Li Kong-cu sendiri dengan bertanding ilmu silat.
Satu demi satu maju untuk menempuh ujian itu. Akan tetapi ternyata bahwa ujian itu amat berat. Delapan orang dari mereka gugur. ada yang gagal baru dalam babak kedua ketika menggunakan busur yang berat itu untuk memanah orang-orangan jerami. Ada pula yang gugur ketika melemparkan arca singa dan menerimanya kembali, karena mereka tidak kuat dan terpaksa melepaskan singa itu.
Ada pula yang gugur ketika menunggang kuda sambil melepaskan anak panah. Tiga orang dari mereka, dengan susah payah, berhasil lulus, tinggal menanti ujian ilmu silat dan mereka di persilahkan menunggu di sudut panggung. Orang kesebelas adalah pemuda tinggi besar yang selalu diperhatikan Cu Sian.
Ketika orang ini melompat ke atas panggung, jelas kelihatan bahwa dia memiliki gin-kang yang jauh lebih baik daripada para peserta lainnya. Dia melompat tinggi, jauh lebih tinggi dari panggung itu dan berjungkir balik dua kali baru turun ke atas panggung tanpa mengeluarkan suara ketika kakinya menginjak panggung, seolah tubuhnya itu ringan sekali. Tentu saja lompatan istimewa ini mendapat sambutan paling meriah dari para penonton.
“Huh, lompatan begitu saja apa artinya...?” Cu Sian mengomel tak senang melihat orang yang tidak di sukainya itu mendapat sambutan dan pujian begitu meriah.
Peserta terakhir itu lalu berjalan dengan lenggang seperti harimau menghampiri busur dan anak panah yang berada di atas meja. Tiga orang peserta yang berhasil tadi, ketika menarik busur melepaskan anak panah kelihatan berat sekali dan mereka mengerahkan seluruh tenaga mereka.
Akan tetapi peserta terakhir dengan mulut tersenyum memasang anak panah pada busur berat dan berat itu dengan sekali tarik dengan seenaknya, dia telah berhasil membuat busur itu melengkung dan ketika dia melepaskan anak panah, anak panah itu meluncur bagaikan kilat kearah orang-orangan dari jerami dan… Menembus badan orang jerami itu, bahkan setelah menembus masih melayang cukup jauh. Sorak sorai menggegap gempita menyambut pameran memanah yang istimewa itu. Tak dapat di ragukan lagi, pemuda tinggi besar itu memiliki tenaga yang hebat!
Pemuda itu tersenyum bangga dan mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat agar semua orang tidak membuat gaduh. Kemudian dia menghampiri singa batu dan semua orang mengikuti gerak geriknya tanpa berkedip. Pemuda itu memegang singa batu dengan kedua tangan lalu mengangkatnya ke atas, melemparkannya dan menerimanya kembali sampai tiga kali, kelihatan demikian ringannya! Kembali orang-orang bersorak sorai dan bertepuk tangan.
“Huh, apa sih anehnya pertujunkkan seperti itu...? Sombongnya...!“ Cu Sian mendengus marah sehingga Han Sin menoleh kepadanya dan tersenyum.
“Sian-te, kau lihat...? Orang itu boleh juga...“ kat a Han Sin. “Tenaganya seperti gajah. Dia pasti lulus dengan baik...“
Mendengar ini, Cu Sian menjadi semakin gemas. “Hemm , apa hebatnya semua itu...? Permainan anak kecil...!”
“Sssttt, lihat, Sian-te, lihat gayanya menunggang kuda...“ bisik Han Sin.
Peserta terakhir itu sudah meloncat ke atas punggung kuda yang disediakan untuk ujian itu sambil membawa busur dan anak panah. Kuda dibalapkan kearah orang-orangan jerami dan setelah jaraknya lima puluh kaki seperti telah ditentukan dia melepas anak panah yang menyambar cepat dan menancap tepat di ulu hati orang-orangan itu. Kembali para penonton menyambut dengan tepuk tangan. Tak usah di sangsikan lagi, peserta terakhir ini lulus dengan baik dan diapun dipersilahkan berkumpul dengan tiga orang yang lain di sudut panggung.
Seorang yang berpakaian perwira dan menjadi juru bicara, melangkah ke tengah panggung dan mengangkat kedua tangan, suaranya terdengar lantang sekali. “Para penonton harap jangan gaduh. Sekarang ujian ilmu silat akan dimulai! Empat orang yang telah lulus dan akan menghadapi ujian ilmu silat, peserta pertama di minta maju...!“
Peserta pertama itu seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun dan dia melangkah maju ke tengah lapangan, siap menghadapi ujian. Semua penonton kini nampak gembira dan kagum karena dari bawah panggung melompat seorang pemuda yang amat gagah dan tampan.
Pemuda ini masih muda sekali, paling banyak delapan belas tahun usianya, akan tetapi tubuhnya tegap dan dadanya bidang, sepasang matanya mencorong seperti mata naga. Pakaiannya dari sutera, akan tetapi tidak terlalu mewah dan pakaian itu ringkas. Begitu dia berada di atas panggung, terdengar orang-orang berseru.
“Hidup Li-kongcu…!“
Han Sin dan Cu Sian memperhatikan ketika mendengar orang menyebut pemuda itu Li Kong-cu. Jadi pemuda itulah putera Gubernur Li. Mengapa pakaiannya tidak mewah dan mentereng...? Juga sikapnya sederhana sehingga mendatangkan rasa kagum dalam hati Han Sin dan Cu Sian.
Pemuda itu memang Li Si Bin atau lebih dikenal dengan sebutan Li-Kongcu (Tuan muda Li) oleh rakyat. Ketika dia mendengar teriakan menyambutnya, dia lalu menghadapi penonton dan membungkuk sambil berkata, “Harap saudara sekalian menonton dengan tenang. Ini bukan pertandingan, melainkan ujian bagi calon perwira...“
Suaranya nyaring namun lembut dan mendengar ucapannya itu, semua penonton diam. Han Sin juga dapat merasakan suatu wibawa yang besar terkandung dalam suara itu. Dia semakin kagum. Pemuda ini sungguh bukan orang biasa. Gerak geriknya demikian matang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, wibawanya amat besar.
Kini Li Si Bin berhadapan dengan peserta pertama yang bertubuh pendek tegap. “Saudara menghendaki ujian tangan kosong ataukah senjata...? Silahkan pilih...!“ terdengar Li Si Bin bertanya ramah. Sama sekali tidak nampak sikap congkak seperti layaknya putera bangsawan tinggi.
Peserta pendek itu memberi hormat. Agaknya dia adalah orang daerah Shan-si yang sudah tahu dengan siapa dia berhadapan. “Saya bertangan kosong saja, kong-cu...“
“Baiklah, mudah-mudahan engkau berhasil...!“ kata Li Si Bin, lalu setelah melihat peserta itu memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, dia berseru. “Lihat seranganku...!“
Li Si Bin menyerang dengan tamparan tangannya ke arah pundak lawan. Peserta pendek itu cepat mengelak dan membalas dengan tendangan kakinya. Akan tetapi Li Kong-cu dapat pula menangkis tendangan itu dan melancarkan serangan kedua. Kedua orang ini sudah cepat saling menukar serangan...
Han Sin menghela napas. Memang lebih baik membiarkan pemuda remaja itu bersama dia agar dia dapat melindunginya kalau ada marabahaya. “Tentu saja tidak, Sian-te. Aku akan berterima kasih sekali, akan tetapi…“
“Akan tetapi apa...?“
“Ku harap engkau tidak melakukan penyamaran lagi...“
Cu Sian menatap wajah Han Sin penuh selidik, seolah hendak menjenguk isi hati pemuda itu. “Apa maksudmu, Sin-ko...?“ akhirnya dia bertanya.
“Engkau bukan seorang pengemis, mengapa menyamar sebagai seorang pengemis...? Lebih baik memakai pakaian biasa saja, tidak usah berpakaian pengemis...“
Cu Sian mengerutkan alisnya. “Akan tetapi itu perlu untuk menyembunyikan keadaan asliku. Eh Sin-ko, apakah engkau merasa jijik dan malu bersahabat dengan seorang yang berpakaian seperti pengemis...?”
“Sama sekali tidak, Sian-te. Akan tetapi justeru dengan penyamaranmu ini, engkau menarik perhatian banyak orang. Coba pikir dengan baik, bukankah orang-orang akan tertarik melihat kita bersahabat dan melakukan perjalanan bersama karena keadaan kita yang berbeda...? Kalau engkau berpakaian biasa seperti aku, tentu tidak akan menarik perhatian orang. memang benar kalau engkau melakukan perjalanan seorang diri, mungkin saja engkau tidak akan menarik perhatian orang...“
“Hemm, benar juga pendapat mu, Sin-ko. baiklah, aku akan menanggalkan penyamaranku dan berpakaian seperti orang biasa...“ Cu Sian akhirnya mengalah.
Han Sin tersenyum senang. “Kalau begitu mari kita menyusuri sungai ini ke utara sampai kita tiba di sebuah kota dimana kita dapat membeli pakaian untukmu. aku juga membawa bekal pakaian, akan tetapi terntu terlalu besar kalau kau pakai...“
“Tidak perlu repot-repot, Sin-ko. Aku sudah mempersiapkan segalanya. Kau tunggu sebentar...!“ pemuda remaja itu lalu berlari dan lenyap di balik semak belukar dalam hutan di tepi pantai sungai itu.
Han Sin mengikutinya dengan pandang heran. Kalau Cu Sian sudah mempersiapkan segalanya, juga pakaian biasa, hal itu berarti bahwa memang pemuda remaja itu sudah bermaksud untuk menanggalkan penyamarannya. Dia tersenyum duduk lagi di atas batu, kini tidak memancing lagi hanya memandangi air yang mengalir tiada putusnya itu, menghayutkan segala macam benda dipermukaannya. Han Sin termenung. Pikirannya seolah ikut hanyut bersama air, sampai jauh. Kehidupan seperti mengalir air sungai itu. Mengalir terus, bergerak terus sampai berakhir di samudera.
“Sin-ko, dengan melamun seperti itu mana bisa engkau memperoleh ikan...?”
Teguran dengan suara nyaring ini mengejutkan Han Sin dan menyeretnya kembali kepada kenyataan. Dia segera menoleh dan memandang pemuda remaja yang berdiri di depannya dan dia terpesona! Demikian tampan dan eloknya pemuda remaja itu, seperti seorang pangeran dalam dongeng, walaupun pakaiannya hanya sederhana.
“Eh, Sin-ko! Apakah ada yang tidak benar dengan pakaianku...?” Cu ian mengamati pakaiannya dan tidak menemukan sesuatu yang aneh.
“Sian-te… hamper aku tidak mengenalmu! Engkau begitu! Engkau begitu tampan, engkau seperti… seorang putera bangsawan tinggi. Eh, Sian-te, engkau tentu seorang pengeran atau putera bangsawan tinggi...!“
Cu Sian tersenyum dan Han Sin semakin kagum. Bukan main tampannya pemuda ini kalau tersenyum, pikirnya.
“He-he, Sin-ko. Engkau mimpi! Sudah kau ketahui bahwa aku cucu seorang ketua pengemis. Kalaupun aku pangeran, barangkali pangeran pengemis, putera dari raja pengemis, ha-ha-ha...“
Han Sin juga tertawa, dan dia menjadi tenang kembali. Hilang sudah pesona yang tadi sempat membuatnya tertegun. “Ah, Sian-te, kalau saja aku ini seorang wanita, tentu aku sudah jatuh hati kepadamu...!“
Cu Sian juga tertawa geli, “Dan aku akan melarikan diri, seperti engkau ketika melarikan diri dari keluarga gila yang hendak memaksamu kawin...“
“Uhhh! Kau anggap aku sama dengan gadis gila itu...?”
“Biarpun tidak gila, engkau jauh lebih tua dariku. Sudahlah, simpan saja pujian itu untuk lain kali. Sekarang katakan bagaimana pendapat mu setelah aku mengenakan pakaian biasa...? Engkau tidak keberatan lagi melakukan perjalanan bersamaku...?”
“Aku tidak pernah merasa keberatan, Sian-te. Hanya canggung kalau engkau menyamar sebagai pengemis. Kalau seperti ini, aku tidak ragu lagi, bahkan bangga mengaku engkau sebagai adik ku...“
“Sebagai adik, atau sebagai pengawalmu, Sin-ko...?”
“Pengawal...?“ Han Sin memandang wajah tampan itu penuh selidik.
“Ya, pengawal. Tanpa pengawalanku, engkau tentu akan menghadapi banyak bahaya dalam perjalanan. Akan tetapi dengan adanya aku di dekat mu, jangan khawatir, Sin-ko. Aku yang akan membasmi semua halangan yang akan mencelakaimu...“ kata Cu Sian dengan sikap gagah.
Han Sin tersenyum. “Benar sekali, Sian-te. Engkau ku anggap adikku, juga pengawal dan pelindungku. Akan tetapi aku pesan agar engkau tidak terlalu keras hati sehingga dimana-mana engkau menghadapi keributan dan perkelahian seperti yang terjadi dalam rumah makan itu...“
Cu Sian berdiri di depan Han Sin dan mengangguk sampai dalam seperti sikap seorang hamba terhadap majikannya. “Baik, Sin-ko. Akan kulaksanakan perintahmu...“
Mau tidak mau Han Sin tertawa melihat sikap pemuda remaja itu. Hatinya merasa senang sekali. Cu Sian bagaikan sinar matahari yang membuat dunia nampak cerah dan indah. Sejak berpisah dari pemuda itu, hatinya selalu merasa tidak enak dan khawatir kalau-kalau sahabt muda ini akan terancam bahaya karena wataknya yang nakal dan terlalu berani.
Maka diam-diam dia selalu membayanginya sehingga dia berhasil melindunginya ketika pemuda remaja itu terancam oleh Pak-te-ong. Setelah itu, dia sengaja menghadangnya, sambil memancing ikan dan menyanyikan sajak tadi. Kini, dia tidak perlu merasa khawatir lagi. Dengan melakukan perjalanan bersama, diam-diam dia dapat melindungi Cu Sian.
“Nah, sekarang sebelum kita melanjutkan perjalanan, aku ingin mengetahui kemana kita akan pergi, sin-ko...?“
“Seperti telah kuceritakan kepadamu, Sian-te, aku hendak mencari pedang pusaka ayahku yang hilang ketika ayah memimpin pasukan di Shan-si utara. Karena aku tidak tahu persis dimana pertempuran itu terjadi ketika itu, maka aku harus mencari keterangan di Tai-goan. Peristiwa itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu, maka untuk menyelidikinya hanya para pejabat tinggi di Tai-goan saja yang dapat memberi keterangan...“
”Jadi kita pergi ke Tai-goan sekarang...? Hayo kita berangkat Sin-ko...!“ kata Cu Sian penuh semangat.
“Ah, engkau kelihatan amat bergembira, Sian-te. Ada apakah...?“
“Bagaimana hatiku tidak akan bergembira dapat melakukan perjalanan bersamamu, Sin-ko...? Tadinya aku selalu mengkhawatirkan keselamatanmu. Untuk melakukan perjalanan berbahaya ini orang harus membekali dirinya dengan ilmu silat tinggi. Engkau yang tidak memiliki itu, tentu setiap saat terancam bahaya. akan tetapi sekarang aku tidak khawatir lagi. Engkau dekat dengan aku yang selalu dapat melindungimu..."
Han Sin tersenyum. Sungguh terdapat persamaan dalam hati mereka. Dia pun selalu mengkhawatirkan keselamatan pemuda remaja itu.
Tiba-tiba mereka melihat sebuah perahu meluncur di atas air sungai, tidak terlalu jauh dari tepi sehingga mereka dapat melihatnya dengan jelas. Seorang pria muda mendayung perahu itu, seorang diri saja, akan tetapi perahu itu dapat meluncur cepat melawan arus.
“Hemmm, dapat mendayung perahu melawan arus secepat itu menunjukkan bahwa orang itu memiliki tenaga yang kuat sekali...“ kata Han Sin. “Dia tentu seorang yang berkepandaian tinggi...“
Cu Sian memandang penuh perhatian. Orang yang mendayung itu seorang pemuda yang gagah, bertubuh tinggi besar dan kekar, kulit mukanya agak hitam, hidungnya besar, matanya lebar dan mulutnya juga lebar. Dipunggungnya tergantung sebatang pedang bersarung indah.
“Dia tentu bukan orang baik-baik...“ kata Cu Sian lirih, kemudian dia bangkit berdiri dari atas batu yang di dudukinya. “Ah, aku ingat sekarang! Dia adalah pemuda sombong yang menghinaku di rumah makan tempo hari...“
Han Sin memperhatikan dan kini diapun teringat. Pemuda yang pernah ribut mulut dengan Cu Sian di rumah makan, yang mengatakan bahwa sepantasnya semua pengemis di basmi itu! Kini makin yakinlah dia bahwa pemuda tinggi besar itu tentu seorang yang berkepandaian tinggi.
“Heiii…!“ Cu Sian berteriak kearah penunggang perahu itu, akan tetapi Han Sin menarik lengannya.
“Sssttt, Sian-te. Biarkan dia berlalu, jangan mencari keributan di sini...!“ tegurnya.
“Akan tetapi si sombong itu…!“
“Sudahlah, perjalanan kita masih jauh, untuk apa mencari gara-gara...? Dan ingat akan janjimu, katanya engkau akan menaati semua perintahku...“
Cu Sian yang tadinya masih penasaran, kini tersenyum mengangguk. “Baiklah, Sin-ko. Maafkan aku...“
“Nah, begitu baru namanya adik yang baik...“ kata Han Sin senang dan tersenyum.
“Dan pengawal yang taat...!“ sambung Cu Sian.
Ke duanya tertawa lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke ke kota Taigoan yang dari situ terletak di Timur laut.
********************
Pada waktu itu, propinsi Shan-si merupakan daerah perbatasan paling utara dari Kerajaan Sui. Di sebelah utara Shan-si adalah daerah luas dan menjadi perebutan antara bangsa dan suku yang hidupnya mengembara tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Mereka adalah bangsa dan suku Tar-tar, Mongol, Merkit, Karait, Naiman dan Ugur serta masih banyak lagi suku-suku bangsa yang kecil. Para suku bangsa dari utara inilah yang oleh Kerajaan Sui di anggap sebagai ancaman dari utara sehingga di sepanjang perbatasan itu di bangun benteng pertahanan yang kokoh.
Propinsi Shan-si di pimpin oleh seorang gubernur atau kepala daerah yang telah memegang kedudukan itu sejak Kaisar Yang Chien masih hidup. Gubernur itu bernama Li Goan. Dia mempunyai lima orang anak laki-laki dan empat orang anak perempuan. Akan tetapi yang paling di sayangnya justeru puteranya yang dilahirkan oleh seorang selirnya, yaitu Puteri seorang kepala suku bangsa Turki. Puteranya itu bernama Li Si Bin dan memang putera inilah yang paling menonjol di antara saudara-saudaranya.
Keadaan di utara selama ini tenang saja. Hal ini berkat hubungan baik antara Gubernur Li Goan dengan suku-suku bangsa di utara, terutama sekali dengan suku bangsa Turki yang di pimpin oleh keluarga isterinya, karena masih ada hubungan keluarga inilah maka banga Turki menghentikan gerakannya yang mengganggu keamanan perbatasan utara. Juga dengan suku-suku lain, Gubernur Li Goan mengambil sikap bersahabat sehingga orang-orang dari selatan dapat melakukan hubungan perdagangan dengan suku-suku bangsa itu tanpa ada gangguan.
Gubernur Li Goan maklum bahwa kedudukannya sebagai kepala daerah di perbatasan utara itu merupakan kedudukan yang berbahaya. Dialah yang bertanggung jawab atas keamanan daerah itu, dan kalau sampai daerah itu di kuasai oleh suku asing, tentu kerajaan akan menyalahkan dia. Oleh karena itu, Gubernur Li Goan selalu memperkuat pasukannya untuk menjaga keamanan di daerahnya, walaupun perbatasan telah ada perbentengan Pasukan Sui yang menjaga.
Dia memerlukan banyak pembantu yang pandai, maka hampir setiap tahun dia mengadakan pemilihan bagi tenaga-tenaga baru untuk di jadikan opsir-opsir atau tentara. Dia memberi kedudukan yang cukup tinggi sesuai dengan kepandaian masing-masing. Karena ini, dia berhasil menarik perhatian banyak tokoh persilatan yang ingin memperoleh kedudukan tinggi dalam pasukan gubernur itu.
Dengan adanya banyak ahli silat yang berilmu tinggi menjadi perwira-perwira pasukan ayahnya, Li Si Bin yang sejak kecil gemar mempelajari ilmu silat itu, dengan mudah memperdalam ilmu silatnya dengan belajar dari para perwira itu. Bahkan lebih dari itu, pemuda ini sering berkelana mengunjungi gurun-gurun dan bukit-bukit sunyi di utara, menjumpai para pertapa sakti dan kalau menemukan seorang yang sakti dan ahli dalam ilmu silat, dia lalu menjadi muridnya. Dengan cara demikian, setelah dia menjadi seorang pemuda dewasa, dia telah memilik iilmu silat yang tinggi. Selain ilmu silat, Li Si Bin juga mempelajari ilmu perang dan sastra.
Gubernur Li Goan yang merasa bangga akan kelihaian puteranya, lalu menyerahkan kepada Li Si Bin bilamana diadakan pemilihan perwira. Pemuda itulah yang mengatur ujian bagi para peserta. Dan sejak Li Si Bin yang mengatur ujian, jaranglah ada calon yang berhasil di angkat menjadi perwira. Kebanyakan hanya berhasil lulus sebagai tentara saja karena untuk menjadi perwira, syaratnya amat berat dan harus memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi kalau ada yang lulus, tentulah dia menjadi seorang perwira yang gagah perkasa dan dapat di andalkan.
Pada suatu pagi, dua orang pemuda tampan memasuki pintu gerbang kota Taigoan. Mereka ini adalah Cian Han Sin dan Cu Sian. Setelah melakukan perjalanan berhari-hari lamanya, meninggalkan Huang-ho menuju ke timur, sampailah mereka berdua di kota terbesar di daerah Shan-si itu. Begitu memasuki kota Taigoan mereka sudah melihat keadaan yang ramai seolah-olah di kota itu sedang diadakan pesta.
Cu Sian bertanya kepada seorang dengan bahasa daerah utara dengan lancar sehingga diam-diam Han Sin kagum sekali. Agaknya sahabat mudanya ini mengenal pula bahasa daerah utara. Mereka mendapatkan penjelasan orang itu bahwa dilapangan depan gedung Gubernur memang sedang di adakan semacam pesta, yaitu ujian bagi mereka atau tentara.
“Ah, paman. Tontonan apa saja yang di adakan di sana...?“ Tanya Cu Sian, sementara itu Han Sin hanya mendengarkan dan memandang sahabatnya yang kelihatan gembira sekali.
“Tentu saja seperti biasa, ada pertunjukan kekuatan, keahlian menunggang kuda dan memanah, dan yang terakhir pertunjukkan ilmu silat. Bagi mereka yang ingin menjadi perwira harus bertanding melawan Li-Kong-cu sebagai pengujinya..."
Sepasang mata Cu Sian bersinar-sinar dan Han Sin memaklumi hal ini. Semua pendekar tentu saja gembira mendengar akan ada pertunjukkan ilmu silat. Dia sendiri pun tertarik. “ Siapa sih Li-kongcu itu...?“ Cu Sian bertanya.
“Hemm, tentu ji-wi (Kalian berdua) datang dari jauh sekali maka tidak mengenal Li Kong-cu...“ kata orang itu. “Kalau ji-wi tinggal di daerah Shan-si tentu sudah mengenal atau setidaknya mendengar nama ini. Li Kong-cu adalah seorang pemuda yang paling hebat dan paling tangguh ilmu silatnya akan tetapi paling popular dan dekat dengan rakyat jelata. Dia adalah putera Kepala Daerah Shan-si, yaitu Gubernur Li Goan...“
“Wah, tentu ramai sekali! Sin-ko, kita harus nonton pertunjukkan itu...!“ kata Cu Sian gembira, lalu tanpa menanti jawaban sahabatnya, dia sudah menarik tangan Han Sin di ajak pergi kearah lapangan seperti yang di tunjukkan orang tadi.
Han Sin tersenyum dan menurut saja. Kalau sedang bergembira seperti itu, Cu Sian sungguh kelihatan seperti seorang kanak-kanak. Selama melakukan perjalanan bersama Cu Sian, dia semakin tidak mengerti akan sikap Cu Sian yang suka berubah-ubah. Kadang begitu akrab, akan tetapi kadang-kadang juga seperti orang asing baginya. Selama dalam perjalanan itu, Cu Sian tidak pernah mau tidur dekat dengannya.
Juga kalau membersihkan badan di sumber air atau anak sungai, selalu dia ingin menyendiri dan mencari tempat yang agak jauh. Tingkahnya kadang-kadang seperti seorang kanak-kanak yang manja dan mudah tersinggung. Maka ketika diajak nonton pertunjukkan itu, dia tidak membantah karena bantahan hanya akan membuat pemuda remaja itu ngambek!
Ketika mereka tiba di lapangan rumput yang luas, di depan sebuah bangunan besar, mereka mendengar tambun dan gendering di pukul orang sehingga suasana menjadi ramai meriah. Ratusan orang sudah berkumpul untuk menonton. Akan tetapi tempat itu dilingkari tali karena untuk ujian itu di butuhkan tempat yang luas. Di tengah-tengah lapangan terdapat sebuah panggung dari papan setinggi dua meter.
Di dekat panggung itu terdapat dua kelompok orang. Mereka semua adalah orang-orang muda yang gagah. Kelompok pertama terdiri dari seratus orang lebih, sedangkan kelompok kedua hanya ada dua belas orang. Setelah bertanya-tanya, Cu Sian mendapat keterangan dari seorang penonton bahwa kelompok besar itu adalah mereka yang ingin menempuh ujian sebagai tentara, sedangkan kelompok kecil itulah calon-calon perwira.
Tiba-tiba Cu Sian memegang lengan han Sin, kuat sekali sehingga Han Sin terkejut dan memandang kepadanya. sahabatnya itu sedang memandang kearah tengah lapangan dimana dua kelompok calon itu berkumpul dekat panggung maka diapun memandang ke sana. Setelah memandang dengan teliti barulah dia tahu mengapa sahabatnya mencengkram lengannya demikian kuatnya.
Ternyata di dalam kelompok dua belas orang itu terdapat pemuda tinggi besar yang sudah dua kali mereka lihat. Pertama di dalam rumah makan ketika pemuda itu rebut mulut dengan Cu Sian, dan kedua kalinya ketika mereka berdua melihat pemuda itu mendayung perahu melawan arus.
“Dia ada di sini...“ bisik Cu Sian demikian sungguh-sungguh sehingga Han Sin menjadi geli.
“Kalau di sini mau apa...?“ katanya tersenyum. “Tenanglah Sian-te. kita lihat saja sampai dimana kelihaian pemuda itu nanti...“
Cu Sian mengangguk, akan tetapi alisnya berkerut. “Hemm, aku ingin menandinginya dalam ujian ini...“ bisiknya.
“Hushh, apa-apaan engkau ini...? apakah engkau ingin masuk menjadi perwira di Shan-si...?”
“Tidak, aku hanya ingin mengukur kepandaian orang sombong itu...!”
“Ingat, Sian-te, kita ini hanya penonton saja. Jangan membikin ribut di sini. Apalagi aku membutuhkan bantuan Gubernur Li. Ibuku berpesan agar aku menghadap Gubernur Li dan minta keterangan darinya. Siapa tahu dia akan dapat memberi banyak keterangan tentang kematian ayahku, karena menurut ibuku, Gubernur Li adalah seorang sahabat baik mendiang ayah...“
“Hemmm, baiklah, Sin-ko...“
Ratusan orang yang menjadi penonton dan yang tadi ramai saling bercakap sendiri, tiba-tiba menjadi diam ketika ujian itu di mulai. Ujian bagi para calon tentara tidaklah terlalu menarik bagi Han Sin dan Cu Sian. Ujian itu hanyalah ujian tenaga mengangkat sebuah arca singa dari batu, kemudian ujian memanah orang-orangan dari jerami dalam jarak seratus li, kemudian ujian ilmu silat yaitu setiap orang calon di haruskan memainkan ilmu silatnya menggunakan senjata golok atau tombak. Hampir seluruh calon lulus dengan baik.
Agaknya para penonton juga tidak begitu memperhatikan ujian bagi para calon tentara ini karena merekapun ingin sekali nonton ujian bagi calon perwira yang lebih seru.
Akhirnya, setelah calon tentara sudah di uji semua dan lulus lalu dikumpulkan dan di ajak masuk rumah gedung lewat jalan samping untuk di daftar sebagai tentara, maka ujian perwira di mulai. Dua belas orang calon itu di uji satu demi satu. Mula-mula mereka di haruskan melompat ke atas panggung yang dua meter tingginya itu. Di atas panggung sudah tersedia sebuah busur yang besar dan berat dan mereka di haruskan menggunakan busur itu unt uk memanah orang-orangan dari jerami dalam jarak dua ratus kaki!
Singa batu yang tadi di angkat oleh para calon tentara juga sudah di taruh di panggung dan para calon perwira di haruskan mengangkat arca singa itu dan melemparkannya ke atas dan di terima lagi dengan tangan. Setelah itu mereka diharuskan menunggang kuda sambil melepaskan anak panah pada orang-orangan jerami dalam jarak lima puluh kaki. Setelah semua itu lulus, barulah si calon akan di uji oleh Li Kong-cu sendiri dengan bertanding ilmu silat.
Satu demi satu maju untuk menempuh ujian itu. Akan tetapi ternyata bahwa ujian itu amat berat. Delapan orang dari mereka gugur. ada yang gagal baru dalam babak kedua ketika menggunakan busur yang berat itu untuk memanah orang-orangan jerami. Ada pula yang gugur ketika melemparkan arca singa dan menerimanya kembali, karena mereka tidak kuat dan terpaksa melepaskan singa itu.
Ada pula yang gugur ketika menunggang kuda sambil melepaskan anak panah. Tiga orang dari mereka, dengan susah payah, berhasil lulus, tinggal menanti ujian ilmu silat dan mereka di persilahkan menunggu di sudut panggung. Orang kesebelas adalah pemuda tinggi besar yang selalu diperhatikan Cu Sian.
Ketika orang ini melompat ke atas panggung, jelas kelihatan bahwa dia memiliki gin-kang yang jauh lebih baik daripada para peserta lainnya. Dia melompat tinggi, jauh lebih tinggi dari panggung itu dan berjungkir balik dua kali baru turun ke atas panggung tanpa mengeluarkan suara ketika kakinya menginjak panggung, seolah tubuhnya itu ringan sekali. Tentu saja lompatan istimewa ini mendapat sambutan paling meriah dari para penonton.
“Huh, lompatan begitu saja apa artinya...?” Cu Sian mengomel tak senang melihat orang yang tidak di sukainya itu mendapat sambutan dan pujian begitu meriah.
Peserta terakhir itu lalu berjalan dengan lenggang seperti harimau menghampiri busur dan anak panah yang berada di atas meja. Tiga orang peserta yang berhasil tadi, ketika menarik busur melepaskan anak panah kelihatan berat sekali dan mereka mengerahkan seluruh tenaga mereka.
Akan tetapi peserta terakhir dengan mulut tersenyum memasang anak panah pada busur berat dan berat itu dengan sekali tarik dengan seenaknya, dia telah berhasil membuat busur itu melengkung dan ketika dia melepaskan anak panah, anak panah itu meluncur bagaikan kilat kearah orang-orangan dari jerami dan… Menembus badan orang jerami itu, bahkan setelah menembus masih melayang cukup jauh. Sorak sorai menggegap gempita menyambut pameran memanah yang istimewa itu. Tak dapat di ragukan lagi, pemuda tinggi besar itu memiliki tenaga yang hebat!
Pemuda itu tersenyum bangga dan mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat agar semua orang tidak membuat gaduh. Kemudian dia menghampiri singa batu dan semua orang mengikuti gerak geriknya tanpa berkedip. Pemuda itu memegang singa batu dengan kedua tangan lalu mengangkatnya ke atas, melemparkannya dan menerimanya kembali sampai tiga kali, kelihatan demikian ringannya! Kembali orang-orang bersorak sorai dan bertepuk tangan.
“Huh, apa sih anehnya pertujunkkan seperti itu...? Sombongnya...!“ Cu Sian mendengus marah sehingga Han Sin menoleh kepadanya dan tersenyum.
“Sian-te, kau lihat...? Orang itu boleh juga...“ kat a Han Sin. “Tenaganya seperti gajah. Dia pasti lulus dengan baik...“
Mendengar ini, Cu Sian menjadi semakin gemas. “Hemm , apa hebatnya semua itu...? Permainan anak kecil...!”
“Sssttt, lihat, Sian-te, lihat gayanya menunggang kuda...“ bisik Han Sin.
Peserta terakhir itu sudah meloncat ke atas punggung kuda yang disediakan untuk ujian itu sambil membawa busur dan anak panah. Kuda dibalapkan kearah orang-orangan jerami dan setelah jaraknya lima puluh kaki seperti telah ditentukan dia melepas anak panah yang menyambar cepat dan menancap tepat di ulu hati orang-orangan itu. Kembali para penonton menyambut dengan tepuk tangan. Tak usah di sangsikan lagi, peserta terakhir ini lulus dengan baik dan diapun dipersilahkan berkumpul dengan tiga orang yang lain di sudut panggung.
Seorang yang berpakaian perwira dan menjadi juru bicara, melangkah ke tengah panggung dan mengangkat kedua tangan, suaranya terdengar lantang sekali. “Para penonton harap jangan gaduh. Sekarang ujian ilmu silat akan dimulai! Empat orang yang telah lulus dan akan menghadapi ujian ilmu silat, peserta pertama di minta maju...!“
Peserta pertama itu seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun dan dia melangkah maju ke tengah lapangan, siap menghadapi ujian. Semua penonton kini nampak gembira dan kagum karena dari bawah panggung melompat seorang pemuda yang amat gagah dan tampan.
Pemuda ini masih muda sekali, paling banyak delapan belas tahun usianya, akan tetapi tubuhnya tegap dan dadanya bidang, sepasang matanya mencorong seperti mata naga. Pakaiannya dari sutera, akan tetapi tidak terlalu mewah dan pakaian itu ringkas. Begitu dia berada di atas panggung, terdengar orang-orang berseru.
“Hidup Li-kongcu…!“
Han Sin dan Cu Sian memperhatikan ketika mendengar orang menyebut pemuda itu Li Kong-cu. Jadi pemuda itulah putera Gubernur Li. Mengapa pakaiannya tidak mewah dan mentereng...? Juga sikapnya sederhana sehingga mendatangkan rasa kagum dalam hati Han Sin dan Cu Sian.
Pemuda itu memang Li Si Bin atau lebih dikenal dengan sebutan Li-Kongcu (Tuan muda Li) oleh rakyat. Ketika dia mendengar teriakan menyambutnya, dia lalu menghadapi penonton dan membungkuk sambil berkata, “Harap saudara sekalian menonton dengan tenang. Ini bukan pertandingan, melainkan ujian bagi calon perwira...“
Suaranya nyaring namun lembut dan mendengar ucapannya itu, semua penonton diam. Han Sin juga dapat merasakan suatu wibawa yang besar terkandung dalam suara itu. Dia semakin kagum. Pemuda ini sungguh bukan orang biasa. Gerak geriknya demikian matang dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, wibawanya amat besar.
Kini Li Si Bin berhadapan dengan peserta pertama yang bertubuh pendek tegap. “Saudara menghendaki ujian tangan kosong ataukah senjata...? Silahkan pilih...!“ terdengar Li Si Bin bertanya ramah. Sama sekali tidak nampak sikap congkak seperti layaknya putera bangsawan tinggi.
Peserta pendek itu memberi hormat. Agaknya dia adalah orang daerah Shan-si yang sudah tahu dengan siapa dia berhadapan. “Saya bertangan kosong saja, kong-cu...“
“Baiklah, mudah-mudahan engkau berhasil...!“ kata Li Si Bin, lalu setelah melihat peserta itu memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, dia berseru. “Lihat seranganku...!“
Li Si Bin menyerang dengan tamparan tangannya ke arah pundak lawan. Peserta pendek itu cepat mengelak dan membalas dengan tendangan kakinya. Akan tetapi Li Kong-cu dapat pula menangkis tendangan itu dan melancarkan serangan kedua. Kedua orang ini sudah cepat saling menukar serangan...