Sementara itu, Cu Sian sibuk bertanya kepada seorang penonton yang berdiri di sebelahnya tentang peraturan ujian ilmu silat itu.
“Yang kalah sebelum dua puluh lima jurus dinyatakan gagal dan harus di terima sebagai prajurit kelas satu. Yang dapat melampaui dua puluh lima jurus akan tetapi tidak sampai empat puluh jurus akan di angkat menjadi seorang perwira, yang mampu bertahan sampai empat puluh jurus akan tetapi tidak melampaui lima puluh jurus menjadi perwira yang lebih tinggi kedudukannya, akan tetapi yang mampu bertahan sampai lima puluh jurus lebih, diberi kedudukan perwira yang paling tinggi. Akan tetapi selama dua tahun ini, tidak ada peserta yang mampu bertahan sampai lebih dari lima puluh jurus melawan Li Kong-cu...“
Cu Sian mengangguk-angguk dan kembali melihat ke atas panggung. Dia kagum sekali melihat gerakan Li Si Bin. Jelas bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang hebat, akan tetapi putera gubernur itu membatasi tenaga dan kecepatannya. Agaknya dia memberi kelonggaran kepada lawannya karena menurut perhitungan Cu Sian, kalau Li kong-cu itu menghendaki, dalam sepuluh jurus saja peserta pendek itu akan terjungkal!
Dugaan Cu sian memang benar, Li Kong-cu memberi kelonggaran, akan tetapi tidak lebih dari dua puluh empat jurus. Pada jurus ke dua puluh empat, tiba-tiba saja peserta pendek itu terkulai roboh, cepat Li Kong-cu menjulurkan tangan kanannya, memegang tangan orang itu dan mengangkatnya bangun. Dia tersenyum ramah ketika berkata,
“sayang engkau gagal. Akan tetapi dengan bekal tenaga dan kepandaianmu, kalau engkau mau masuk menjadi prajurit kelas satu, dalam waktu singkat engkau tentu akan memperoleh kenaikan pangkat asal engkau suka berlatih dengan baik..."
Peserta pendek itu memberi hormat. Dia tidak nampak terpukul perasaannya karena dikalahkan Li Kong-cu, bahkan sikap Li Kong-cu yang demikian ramah dan baik, membuat dia menjawab dengan suara tegas,
“saya mau menjadi prajurit, kong-cu, dengan harapan mendapat petunjuk kong-cu untuk memperoleh kemajuan...“
Peserta pertama mundur di gantikan peserta kedua yang seperti juga peserta pertama, memilih bertanding dengan tangan kosong. Akan tetapi, tidak seperti peserta pertama, peserta kedua yang bertubuh jangkung kurus ini ternyata memiliki sin-kang yang cukup kuat dan juga ilmu silatnya tangguh sekali.
Cu Sian yang memperhatikan gerakan Li Kong-cu, mendapat kenyataan bahwa pemuda bangsawan itu menambah takaran tenaga dan kecepatannya, namun sampai lewat dua puluh lima jurus si jangkung itu masih bertahan dan akhirnya dia tertotok lemas dalam jurus ke tiga puluh. Dia lulus sebagai perwira pertama dan juga seperti perserta pertama dia di kalahkan tanpa menderita luka dan Li Kong-cu bersikap bersahabat dengannya. Maka, peserta ini pun tidak menderita malu dan dia lalu mengundurkan diri setelah mengucapkan terima kasih.
Peserta ke tiga adalah seorang pemuda berusia hampir tiga puluh tahun, berkumis dan perawakannya sedang saja, namun dari gerak geriknya jelas nampak oleh Cu Sian bahwa peserta ke tiga ini lebih lihai dari pada dua peserta terdahulu. Dugaannya tepat karena setelah mereka bergebrak, pertandingan kini berjalan dengan ramai dan seru. Peserta ke tiga dapat mengimbangi gerakan Li Kong-cu sehingga penonton memandang dengan gembira dan dengan hati tegang.
Akan kalahkah jago mereka, yaitu Li Kong-cu...? Akan tetapi Cu Sian dengan kagum dapat menilai gerakan mereka berdua dan dia tahu bahwa Li Kong-cu tidak akan dapat di kalahkan orang itu. Perhitungannya memang tepat. Peserta ketiga ini memang lihai dan mampu bertahan sampai lima puluh jurus! Akan tetapi tetap saja dia harus mengakui ke unggulan Li Kong-cu karena dalam jurus ke lima puluh lima, dia pun terpelanting jatuh.
Walaupun dia tidak menderita luka, tetap saja kejatuhannya sudah menunjukkan bahwa dia memang kalah. Li kong-cu nampak gembira sekali. Dia mengangkat bangun peserta itu dan memberinya kedudukan perwira menengah, tidak seperti dua orang peserta terdahulu yang mendapatkan kedudukan perwira rendah.
Kini peserta ke empat yang maju. Cu Sian yang tidak senang melihat pemuda tinggi besar yang di anggapnya sombong itu memandang dengan mata bersinar-sinar. Dia melihat betapa pemuda tinggi besar itu menghadapi Li Kong-cu dengan lagak yang angkuh, tidak mau tunduk.
Li Si Bin hanya tersenyum melihat lagak pemuda tinggi besar itu dan setelah mereka berdua mengangkat kedua tangan depan dada sebagai salam, Li Si Bin bertanya, “sobat, engkau memilih ujian silat dengan senjata apa...?”
Berbeda dengan tiga orang peserta yang memilih di uji ilmu silat tangan kosong, pemuda tinggi besar itu menjawab lantang. “Setiap orang pendekar sejati tidak akan pernah melepaskan pedangnya, demikian pula seorang panglima harus pandai menggunakan berbagai macam senjata. Aku memilih pedang untuk bertanding ilmu...“ Setelah berkata demikian, si tinggi besar itu menggerakkan tangan kanannya ke belakang punggung dan... “sing…!“ dia telah memegang sebatang pedang yang berkilauan.
Para penonton memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang, akan tetapi Li Si Bin masih tersenyum dengan tenang. Sementara itu Cu Sian sudah tidak mampu menahan kemarahannya melihat sikap congkak itu. Dia tahu bahwa Li Si Bin adalah seorang yang bijaksana. Ketika mengalahkan tiga orang lawannya tadi saja sudah menunjukkan bahwa dia seorang yang rendah hati dan baik budi.
Kini melihat si congkak itu mencabut pedang yang berkilauan, dia merasa khawatir akan keselamatan putera gubernur itu. Tanpa dapat di cegah Han Sin yang sama sekali tidak menduganya, Cu Sian sudah melompat memasuki batas tali, kemudian dengan mengerahkan ginkangnya dia melompat tinggi dan membuat poksai (salto) sampai tiga kali baru turun ke atas panggung dengan ringan sekali. Tentu saja perbuatannya itu mengejutkan semua orang, dan Li Si Bin sendiri memandang dengan heran.
“Siapakah engkau dan apa artinya engkau naik ke atas panggung ini...?” tanya Li Si Bin sambil memandang tajam, suaranya penuh wibawa. Sementara itu Han Sin terkejut sekali karena dia dapat menduga bahwa sahabatnya itu tentu akan menimbulkan keributan. Akan tetapi sudah terlambat dan dia tidak dapat berbuat lain kecuali menonton dengan hati tegang dan khawatir.
Cu Sian mengangkat kedua tangan kedepan dada untuk memberi hormat kepada putera gubernur itu lalu berkata, “Maafkan aku, kong-cu. Karena kulihat kong-cu sudah melayani bertanding sampai tiga kali berturut-turut, maka perkenankanlah aku untuk mewakili kongcu dalam pertandingan ini. Dengan melihat jalannya pertandingan antara orang sombong ini dan aku, tentu kong-cu sudah dapat menilai apakah dia pantas di terima ataukah tidak...“
Li Si Bin menjadi tertarik sekali. Belum pernah dia melihat seorang pemuda remaja yang tampan dan halus seperti ini memperlihatkan keberanian yang luar biasa. Dia ingin sekali melihat bagaimana lihainya pemuda ini, maka sambil tersenyum dia menoleh kepada peserta ke empat yang tinggi besar itu.
“Tentu saja aku tidak keberatan dan pertandingan itu tentu akan menarik sekali dan menambah semaraknya ujian ini. Akan tetapi entah bagaimana dengan pendapat peserta keempat ini...“
Pemuda tinggi besar itu mengerutkan alisnya karena dia tidak mengenal Cu Sian, lalu menjawab ucapan Li Si Bin, dia berkata dengan lantang. “Li Kong-cu, saya tidak takut menghadapi siapapun juga, akan tetapi yang berhak naik ke panggung adalah mereka yang lulus ujian yang telah di tetapkan. Karena itu, saya ingin melihat apakah bocah ini mampu melakukan syarat yang telah di tentukan. Kalau dia dapat melakukan itu semua dengan baik, baru dia ada harganya untuk menguji ilmu silat saya. Kalau tidak, sebaiknya kong-cu melemparkan bocah pengacau ini keluar panggung...“
Li Si Bin menoleh kepada Cu Sian sambil tersenyum.
“Apa sih sukarnya melakukan itu semua...? Aku dapat memenuhi persyaratan itu jauh lebih baik daripada yang dia lakukan tadi...!“
Mendengar ini, Li Si Bin lalu berkata, "Baiklah, sekarang ditetapkan begini. Saudara ini akan memenuhi semua persyaratan, yaitu ujian tenaga dan ketangkasan, kemudian kalau dia lulus, kalian berdua akan saling menguji ilmu silat. Bagaimana, apakah kalian berdua setuju...?”
Pemuda tinggi besar itu menjawab hampir berbareng dengan jawaban Cu Sian. “Aku setuju...!”
Li Si Bin lalu meninggalkan panggung dan duduk di kursinya, sedangkan pemuda tinggi besar itu berkata mengejek, “Bocah pengacau, sekarang perlihatkan kemampuanmu, hendak kulihat apakah kemampuan tenaga dan kecekatanmu sama besarnya dengan mulut mu...!“ Setelah berkata demikian, diapun mundur dan berdiri di sudut panggung sambil bertolak pinggang dan mulutnya tersenyum mengejek.
Cu Sian kini menghadapi penonton dan tersenyum geli ketika dari situ dia melihat wajah Han Sin yang kerut merut dan matanya melotot kepadanya. “Saudara sekalian, saudara yang menjadi saksi apakah saya dapat lulus lebih baik daripada manusia sombong ini ataukah tidak. Pertama, melompat ke panggung. Tadi sudah kulakukan dan semua orang telah menyaksikannya. Sekarang akan kulakukan ujian kedua, memanah dengan busur itu. Silahkan kalian semua melihat...!“
Dengan langkah gagah Cu Sian menghampiri meja dan mengambil busur yang besar dan berat itu. Para penonton melihat betapa pemuda remaja yang bertubuh kecil dan gerak geriknya halus itu mengerahkan tenaga pada kedua tangannya untuk mengangkat busur itu! Pemuda tinggi besar itu tertawa terkekeh melihat ini dan para penonton juga mengerutkan alis karena kecewa. Bagaimana mungkin pemuda itu mampu memanah orang jerami yang jauh itu dengan busur yang demikian beratnya...? Mengangkat busur itu saja dia harus menggunakan kedua tangannya!
Semua penonton memandang dengan hati tegang dan suasana menjadi hening sekali. Ketika Cu Sian menahan busur dengan tangan kirinya lalu mengambil tiga batang anak panah, memasang tiga batang anak panah itu kepada busurnya, semua orang mulai terbelalak. Cu Sian lalu memasang kuda-kuda, mengangkat kaki kiri tinggi lalu dilangkahkan ke depan lebar-lebar, membentuk pasangan kaki menunggang kuda, kemudian dia mementangtali busur sepenuhnya.
“Kena...!“ serunya sambil melepas anak panah. Tiga batang anak panah itu menyambar ke depan secepat kilat dan menancap di orangan jerami itu, tepat mengenai leher, dada dan pusar!
“Ahhhh…!“ Penonton berseru dan meledaklah sorak sorai dan tepuk tangan mereka. Kiranya ketika mengangkat busur dengan kedua tangannya, Cu Sian hanya berpura-pura saja. Dan tentu hebat dan menganggumkan. Li Si Bin sendiri sampai bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan mata bersinar-sinar. Bukan main pemuda remaja itu pikirnya. Melepas tiga batang anak panah dengan sekali luncuran merupakan ilmu memanah tingkat tinggi! Di daerah Shansi ini mungkin hanya dia seorang yang mampu melakukannya!
Han Sin yang tadinya marah dan gelisah melihat ulah sahabatnya itu, juga merasa amat kagum. Tak di sangkanya bahwa Cu Sian memiliki ilmu memanah yang demikian hebat dan melihat semua orang bersorak dan bertepuk tangan, tak dapat di tahannya lagi diapun ikut-ikutan bertepuk tangan!
Kegaduhan penonton itu tiba-tiba berhenti dan suasana menjadi sunyi kembali ketika semua orang melihat pemuda remaja itu kini menghampiri singa batu yang berada di sudut panggung. Cu Sian mengangkat singa batu itu dengan sebelah tangan saja, lalu melontarkan ke atas, tinggi dan menerimanya kembali lalu melontarkan kembali lagi sampai lima kali. yang hebat, pada lemparan terakhir, ketika singa batu itu meluncur turun, bukan di sambut dengan tangannya melainkan dengan kepalanya!
Dengan menggunakan tenaga lembut, kepala itu menempel singa batu dari samping lalu membuat gerakan melengkung kebawah lalu ke kiri sehingga daya luncur singa batu itu dapat di salurkan ke atas dan hilang. Beberapa saat lamanya singa batu itu tertahan di atas kepala Cu Sian, baru di ambil oleh kedua tangan dan di turunkan di atas panggung.
Sorak sorai menyambut demonstrasi yang luar biasa ini dan tanpa di ucapkan dengan suara, semua orang juga sudah tahu bahwa apa yang diperlihatkan pemuda remaja ini jauh lebih hebat daripada apa yang tadi dipamerkan pemuda tinggi besar.
Cu Sian tersenyum, mengangguk kepada penonton di empat penjuru lalu tiba-tiba tubuhnya melayang turun dan tahu-tahu dia sudah berada di atas punggung kuda, di atas mana telah tersedia anak panah dan busurnya. Cu Sian menggebrak kuda itu sehingga kuda berlari congklang menuju ke orang jerami. Dalam jarak lima puluh kaki, tiba-tiba Cu Sian melompat dan berdiri di atas punggung kuda yang berlari itu, dan anak panahnya dengan tepat menancap di dada orang jerami!
Kembali penonton menyambut dengan gembira. Cu Sian lalu melompat lagi ke atas panggung dan menghadapi si pemuda tinggi besar sambil tersenyum-senyum. “Nah, semua persyaratan telah ku penuhi, bukan...? sekarang kita harus saling menguji ilmu silat dan aku ingin sekali melihat apakah ilmu silat mu setingkat dengan kesombonganmu...!“
Pemuda tinggi besar itu berseru, “Bagus! Keluarkan senjatamu aku akan menggunakan pedangku ini...!" Pemuda itu kembali mencabut pedang yang tadi sudah di simpannya kembali.
“Hemmm, aku menghadapimu tidak perlu aku mengggunakan senjata yang tajam dan runcing. Cukup sebatang tongkat saja. Eh, Sin-ko, tolong carikan sebatang tongkat untukku...!“ Dia berteriak ke arah Han Sin.
Pemuda itu bersungut-sungut. Ulah Cu Sian mendat ngkan kekhawatiran dalam hati Han Sin, kalau-kalau ulah itu akan menggagalkan niatnya bertemu dengan gubernur Li dan minta keterangan tentang ayahnya. Akan tetapi sebelum dia menanggapi permintaan Cu Sian, seorang perwira atas perintah Li Si Bin sudah naik ke panggung dan menyerahkan sebatang toya. Toya itu merupakan senjata tongkat yang terbuat daripada besi.
“Terima kasih, ciangkun. Aku hanya membutuhkan sebatang tongkat bambu atau kayu saja, yaitu t ongkat pemukul anjing. Kalau menggunakan toya ini, anjing yang ku pukul bisa mati...!“
Tentu saja ucapan ini merupakan ejekan dan sekaligus makian terhadap pemuda tinggi besar yang di anggapnya sebagai anjing yang layak di pukul! Para penonton merasakan hal ini dan mereka semua tertawa. Seorang penonton kebetulan melihat sebatang bambu di bawah lalu di ambilnya bambu itu dan di lemparkannya ke atas panggung.
Cu Sian menyambut bambu itu dan memutarnya dengan tangan kanan, menghadapi pemuda tinggi besar sambil berkata, “Nah, inilah senjataku...!“
Sebelum mereka bergerak saling serang, Li Si Bin berseru dari bawah panggung, suaranya terdengar gembira karena peristiwa ini sungguh belum pernah terjadi dan membuat penyelenggaraan ujian pemilihan perwira yang menjadi meriah. “Kedua orang saudara yang hendak bertanding, di minta memperkenalkan diri masing-masing...!”
Cu Sian segera menyambut seruan ini dengan suara lantang sambil melintangkan tongkat bambunya di depan dada. “Aku bernama Cu Sian dari Tiang-an...!”
“Saya bernama Bong Sek Toan, dari Nan-king...!“ pemuda tinggi besar itu berseru pula dengan suaranya yang mengguntur dari Tiang-an dan Nan-king, suasana menjadi semakin ramai karena para penonton mengerti bahwa dua orang muda itu datang dari luar daerah Shansi.
“Sekarang kalian mulailah...“ seru Li Si Bin, “akan tetapi ingat bahwa pertandingan ini hanya untuk menguji kepandaian silat, bukan perkelahian...!“
Cu Sian tersenyum memandang lawannya lalu berkata, “Orang she Bong, sudah siapkah engkau untuk di pukul dengan tongkatku...!“
Sejak tadi pemuda tinggi besar bernama Bong Sek Toan itu sudah merasa panas hatinya dan marah bukan main. Dia merasa dipandang rendah dan dipermainkan pemuda remaja itu. Akan tetapi agaknya diapun maklum bahwa pemuda remaja yang ugal-ugalan itu merupakan seorang lawan tangguh, dapat dilihat dari cara dia memperlihatkan tenaga dan kecepatannya tadi.
“Sambut pedangku ini...!“ katanya dan menyerang dengan dahsyat sekali. Bagaimanapun juga dia merasa lebih untung karena dia memegang sebatang pedang sedangkan lawannya hanya memegang sebatang tongkat bambu.
Akan tetapi dengan gerakan yang gesit sekali Cu Sian dapat mengelak dan diapun menggerakkan tongkatnya menotok kearah pinggang lawan. Bong Sek Toan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga, bermaksud untuk mematahkan tongkat itu, akan tetapi tongkat itu hanya terpental dan sama sekali tidak menjadi rusak oleh pedang yang tajam itu.
Segera terjadi serang menyerang yang amat seru. Biarpun kalah untung dalam hal senjata, namun Cu Sian dapat mengimbangi lawannya dengan kecepatan gerakannya. Tubuhnya berkelebat diantara sinar pedang dan ujung tongkat bambunya menotok ke tempat berbahaya sehingga Bong Sek Toan tidak mampu mendesak lawannya itu.
Saling serang sudah berlangsung tiga puluh jurus lebih dan belum ada diantara mereka mereka yang terdesak. Tiba-tiba Bong Sek Toan mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya berputar menyambar-nyambar kearah tubuh bagian atas dari lawannya. Hebat bukan main serangan ini, bagaikan gelombang samudera yang menerjang kearah Cu Sian.
Pemuda remaja inipun terkejut dan maklum akan hebatnya serangan pedang, maka diapun bergulingan di atas papan panggung sehingga pedang itu menyambar-nyambar di atas tubuhnya. Dari bawah, tongkat Cu Sian mengirim serangan balasan ke arah kaki dan perut. Dengan perlawanan seperti ini, terpaksa Bong Sek Toan mengubah lagi gerakan pedangnya. Diam-diam dia terkejut sekali. Ternyata tongkat bambu yang di pandang rendah itu menrupakan senjata istimewa di tangan lawannya.
Sebaliknya, Cu Sian juga terkejut. Tak disangkanya bahwa lawannya yang di anggap sombong itu ternyata tangguh bukan main. Keduanya mengeluarkan seluruh kemampuan dan mengerahkan seluruh tenaga sehingga pertandingan itu berlangsung seru, bukan lagi merupakan pertandingan menguji ilmu, melainkan perkelahian yang sungguh-sungguh untuk merobohkan lawan. Jurus-jurus terampuh dari mereka dikeluarkan.
Penonton menahan napas menyaksikan pertandingan yang amat seru itu. Li Si Bin sendiripun sampai bangkit dari kursinya. Dia merasa girang dan juga khawatir. Girang karena dia merasa mendapatkan dua orang calon perwira yang akan menjadi pembantu-pembantu yang boleh diandalkan. Akan tetapi khawatir karena pertandingan itu menjadi sungguh-sungguh menjadi perkelahian untuk saling bunuh!
Yang merasa amat kaget dan heran adalan Cian Han Sin. Ketika Bong Sek Toan mengeluarkan ilmu pedang mendesak Cu Sian dengan jurus yang seperti gelombang, dia segera mengenal ilmu pedang itu. Bahkan semua gerakan ilmu silat Bong Sek Toan itu tidak asing baginya karena bersumber pada ilmu silat Lo-hai-kun! Padahal ilmu silat Lo-hai-kun (Silat Pengacau Lautan) adalah ilmu ibunya yang pernah diajarkan kepadanya. Berarti masih ada hubungan antara orang bernama Bong Sek Toan ini dengan ibunya.
“Haiiiittt...!“ Tongkat di tangan Cu Sian bergerak seperti ular dan mematuk–matuk ke arah kedua mata lawan. Bong Sek Toan terkejut dan dia harus berlompatan ke belakang untuk menghindarkan matanya dari bahaya.
“Yaahhhhh...!“ Dia membentak dan pedangnya menyambar dengan sapuan ke arah kedua kaki Cu Sian. Pemuda remaja itu meloncat tinggi sehingga pedang itu lewat di bawah kakinya, kemudian tubuhnya berjungkir balik dan menukik sambil menusukkan tongkatnya kearah ubun-ubun lawan.
“Hiaatttt… traanggg…!“ Pedang itu menangkis tongkat dan keduanya melompat mundur setelah pertemuan antara tongkat dan pedang itu membuat Bong Sek Toan terhuyung dan Cu Sian juga melayang turun hampir terjatuh. Akan tetapi setelah keduanya melompat mundur, kini mereka sudah siap lagi untuk saling serang.
Pertandingan sudah berlangsung tujuh puluh jurus lebih dan Han Sin yang merasa khawatir kalau-kalau kedua orang itu celaka, padahal Bong Sek Toan itu masih mempunyai hubungan dengan ibunya. Maka diapun memasuki lapangan yang di lingkari tali dan berlari menuju ke panggung.
Pada saat itu, Li Si Bin juga mengangap bahwa pertandingan itu sudah lebih dari cukup dan kedua orang itu dapat di terima sebagai perwira maka diapun melompat ke atas panggung. Pada saat itu, kedua orang itu sudah mulai menyerang lagi. Ketika Li Si Bin melompat dan tiba di antara keduanya, dengan sendirinya dialah yang menjadi sasaran tongkat dan pedang!
Akan tetapi dengan tenang Li Si Bin menangkap tongkat dan menangkis pedang dari samping sehingga pedang terpental dan Cu Sian tidak mampu menarik lepas tongkatnya! Dari gerakan melerai ini saja sudah dapat diketahui bahwa ilmu kepandaian Li Si Bin memang hebat dan lebih tinggi tingkatnya dibandingkan kedua orang yang sedang bertanding itu.
“Cukup, kalian sudah cukup bertanding...!“ kata Li Si Bin sambil tersenyum ramah.
“Akan tetapi aku belum kalah...!“ kata Cu Sian penasaran.
“Sian-te! Turunlah dan jangan bertanding lagi atau aku akan marah kepadamu...!“ terdengar teriakan Han Sin dari bawah panggung.
Bong Sek Toan juga menoleh dan memandang kepada Han Sin. Melihat pemuda ini, dia teringat. Tadi dia sudah berpikir siapakah pemuda remaja yang bertanding dengannya itu. Dia merasa sudah pernah bertemu. Setelah kini melihat Han Sin, maka diapun teringat bahwa lawannya bukan lain adalah pengemis muda yang kurang ajar itu.
“Ah, kiranya engkau jembel itu...!“ bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Cu Sian.
Cu Sian membelalakan matanya dengan marah. “Dan engkau anjing sombong itu...!“ dia balas memaki. “Mari kita lanjutkan pert andingan sampai seorang diantara kita roboh tak bernyawa...!“
“Sudahlah, harap ji-wi (anda berdua) bersabar. Pertandingan ini hanya untuk ujian bukan berkelahi...!“ kata Li Si Bin.
Bong Sek Toan yang juga sudah marah sekali memandang kepada Cu Sian dengan mata mendelik. Pada saat itu, Han Sin dari bawah panggung berseru.
“Saudara Bong Sek Toan, engkau ada hubungan apakah dengan mendiang Toat-beng Giam-ong...?” Han Sin bertanya demikian karena melihat ilmu pedang Lo-hai Kiam-Sut tadi dan menduga bahwa pemuda itu tentu ada hubungan dengan mendiang Toat-beng Giam-ong, guru dari ibunya.
Bong Sek Toan terkejut bukan main, wajahnya berubah kemerahan dan dia memberi hormat kepada Li Si Bin, berkata, “Kong-cu, sebaiknya saya pergi saja...!“ Dan dia melompat turun dari panggung, setelah tiba di bawah dia memandang kepada Cu Sian sambil berseru, “Bocah setan, lain kali aku aku tidak memberi ampun lagi kepadamu...!“ Setelah berkata demikian dia meloncat jauh dan lenyap di antara penonton yang banyak itu.
Melihat ini, Li Si Bin menjadi heran dan menyesal karena pemuda tinggi besar itu dapat menjadi perwira yang tangguh. Dia lalu menghadapi Cu Sian dan berkata, “Biarlah, kalau dia tidak ingin menjadi perwira, kamipun tidak akan memaksanya. Dengan mendapatkan engkau sebagai perwira, kami sudah cukup puas, saudara Cu Sian...“
“Tapi… Tapi… Aku sama sekali tidak ingin menjadi perwira, kong-cu...“
Li Si Bin mengerutkan alisnya dan merasa dipermainkan. “Apa artinya semua ini...? tanyanya dengan suara tidak senang.
Pada saat itu Han Sin yang berada di bawah panggung segera berkata dengan suara lembut dan penuh hormat. “Kami mohon agar Li-Kongcu suka memberi kesempatan kepada kami untuk menceritakan semua ini, tanpa di dengar banyak orang...“
Li Si Bin menjadi semakin heran dan penasaran. Akan tetapi melihat sikap Han Sin yang penuh hormat itu dan sikap Cu Sian yang seperti orang kebingungan, diapun tersenyum. “Baiklah, mari jiwi ikut bersamaku...“
Li Si Bin lalu melangkah pergi menuju gedung di depan lapangan itu. Cu Sian mengikutinya dan Han Sin mengambil jalan mengitari panggung dan mengikuti pula. Dia melirik kearah Cu Sian yang juga sedang melirik kepadanya. Han Sin melihat Cu Sian cengar cengir sehingga mau tidak mau hatinya yang sedang mendongkol itu agak mencair.
“Kau jangan buka mulut sembarangan, biar aku saja yang bicara...“ kata Han Sin lirih dan singkat.
“Baiklah, Sin-ko. Aku menaati perintahmu...!“ jawaban itu demikian di buat-buat untuk melucu sehingga Han Sin terpaksa tersenyum gemas.
Setelah memerintahkan para pembantunya untuk membubarkan ujian itu dan menampung para calon yang lulus, Li Si Bin mengajak kedua orang muda itu memasuki sebuah ruangan di bagian samping gedung besar itu. Ruangan itu cukup luas dan hanya terisi kursi– kursi dan meja, agaknya ruangan pertemuan atau ruangan rapat.
Setelah mempersilahkan kedua orang tamunya duduk, Li Si Bin segera berkata, “Nah, sekarang kalian ceritakan sebetulnya apa artinya saudara Cu Sian ingin naik ke panggung kalau bukan untuk mengikuti ujian sebagai calon perwira...“
Pandanga matanya mencorong penuh selidik. Diam-diam Cu Sian merasa ngeri juga. Pandang mata pemuda bangsawan ini sungguh penuh wibawa. Han Sin menoleh kepada sahabatnya dengan pandang mata memperingatkan agar Cu Sian tidak sembarangan bicara. Dia khawatir sekali Cu Sian bicara seenaknya, akan terjadi keributan pula.
“Sebelumnya kami mohon maaf sebesarnya kepada kong-cu bahwa tanpa disengaja kami telah merepotkan kong-cu dan mengacaukan ujian tadi. saya bernama Cian Han Sin dan adik Cu Sian ini adalah sahabat saya. Sebetulnya kedatangan kami ke Shan-si ini sama sekali tidak mempunyai maksud untuk ujian perwira. Akan tetapi, dalam perjalanan kami ke sini, kami pernah bertemu dengan pemuda bernama Bong Sek Toan tadi dan dia bersikap kasar terhadap Sian-te. Inilah sebabnya mengapa Sian-te, ketika melihat Bong Sek Toan tadi berlagak di atas panggung, lalu nekat naik untuk menandinginya. Jadi yang mendorong dia naik ke panggung semata-mata karena ingin menandingi Bong Sek Toan. Untuk itu, sekali lagi kami mohon maaf kepada kong-cu..."
Li Si Bin mengangguk-anggukkan kepalanya. Biarpun dia seorang putera bangsawan, akan tetapi dia mengetahui akan watak para pendekar yang kadang aneh. Dia memang tidak suka akan sikap Cu Sian yang ugal-ugalan itu, akan tetapi mendengar ucapan Han Sin dan melihat sikap pemuda ini merasa suka dan tertarik.
“Hemmm, begitukah...? Kami amat mengagumi ilmu kepandaian saudara Cu, akan tetapi engkau tentu memiliki ilmu yang lebih lihai lagi...“
“Ah, saya tidak dapat dibandingkan dengan Sian-te, kong-cu...“
"Sin-ko adalah seorang ahli sastra yang lemah dan sayalah yang menjadi pengawal yang melindunginya, kong-cu...“ kata Cu Sian tanpa dapat di cegah lagi oleh Han Sin.
Li Si Bin mengangguk-angguk, akan tetapi pandang matanya meragukan kebenarannya ucapan Cu Sian tadi. “Karena ayah kami menjadi kepala daerah di Shan-si, sudah sepatutnya kalau aku bertanya kepada kalian apa maksud kunjungan kalian ke Shan-si...?”
“Terus terang saja Li Kong-cu, yang mempunyai kepentingan di sini adalah saya sedangkan Sian-te ini hanya mengawal dan menemani saya. Saya bermaksud untuk mencari keterangan tentang tewasnya mendiang ayah saya dalam pertempuran di daerah Shan-si...“
Li Si Bin memandang tajam. “Hemmm, siapakah ayahmu...?”
“Kong-cu, kakak Cian Han Sin ini adalah putera mendiang Panglima besar Cian Kauw Cu...“
“Ahhhh…!!” Li Si Bin bengkit berdiri. “Panglima besar Cian Kauw Cu yang telah berjasa besar dalam mendirikan Kerajaan Sui itu...? Teman seperjuangan mendiang Kaisar Yang Chien...?”
Karena sudah di dahului Cu Sian, terpaksa Han Sin bangkit berdiri dan mengangguk. “Mendiang Panglima Cian Kauw Cu adalah ayah saya, kong-cu...“
“Ah, senang sekali dapat berkenalan denganmu, saudara Cian...!“ kata Li Si in sambil mengangkat kedua tangan depan dada yang cepat di balas oleh Han Sin. “Silahkan duduk dan ceritakan apa yang kau kehendaki. Apa yang hendak kau tanyakan kepada ayah...?”
Han Sin duduk kembali. “Menurut keterangan ibuku, mendiang ayah tewas dalam pertempuran di daerah Shan-si ini, gugur ketika terkena anak panah musuh. Akan tetapi ibu mendengar desas-desus di kalangan prajurit pasukan yang dipimpin ayah bahwa anak panah itu mengenai punggung ayah, yang berarti bahwa anak panah itu dilepaskan dari belakang. Tidak mungkin pihak musuh melepaskan anak panah dari belakangnya. Maka saya ingin menyelidiki, apa yang sebenarnya terjadi dengan kematian ayah itu...“
“Hemmm, maksudmu engkau hendak mencari pembunuhnya untuk membalas dendam kematian ayahmu...?“ Tanya Li Si Bin.
“Sama sekali tidak, kong-cu...“ Han Sin kagum kepada pemuda bangsawan itu dan menaruh kepercayaan sepenuhnya. “Sebetulnya saya ingin mencari pedang pusaka Hek-liong-kiam milik ayah yang lenyap ketika ayah gugur. Kalau saya dapat menemukan siapa yang membunuh ayah, agaknya saya dapat menemukan siapa pencuri Hek-Liong-Kiam...“
“Yang kalah sebelum dua puluh lima jurus dinyatakan gagal dan harus di terima sebagai prajurit kelas satu. Yang dapat melampaui dua puluh lima jurus akan tetapi tidak sampai empat puluh jurus akan di angkat menjadi seorang perwira, yang mampu bertahan sampai empat puluh jurus akan tetapi tidak melampaui lima puluh jurus menjadi perwira yang lebih tinggi kedudukannya, akan tetapi yang mampu bertahan sampai lima puluh jurus lebih, diberi kedudukan perwira yang paling tinggi. Akan tetapi selama dua tahun ini, tidak ada peserta yang mampu bertahan sampai lebih dari lima puluh jurus melawan Li Kong-cu...“
Cu Sian mengangguk-angguk dan kembali melihat ke atas panggung. Dia kagum sekali melihat gerakan Li Si Bin. Jelas bahwa pemuda itu memiliki ilmu silat yang hebat, akan tetapi putera gubernur itu membatasi tenaga dan kecepatannya. Agaknya dia memberi kelonggaran kepada lawannya karena menurut perhitungan Cu Sian, kalau Li kong-cu itu menghendaki, dalam sepuluh jurus saja peserta pendek itu akan terjungkal!
Dugaan Cu sian memang benar, Li Kong-cu memberi kelonggaran, akan tetapi tidak lebih dari dua puluh empat jurus. Pada jurus ke dua puluh empat, tiba-tiba saja peserta pendek itu terkulai roboh, cepat Li Kong-cu menjulurkan tangan kanannya, memegang tangan orang itu dan mengangkatnya bangun. Dia tersenyum ramah ketika berkata,
“sayang engkau gagal. Akan tetapi dengan bekal tenaga dan kepandaianmu, kalau engkau mau masuk menjadi prajurit kelas satu, dalam waktu singkat engkau tentu akan memperoleh kenaikan pangkat asal engkau suka berlatih dengan baik..."
Peserta pendek itu memberi hormat. Dia tidak nampak terpukul perasaannya karena dikalahkan Li Kong-cu, bahkan sikap Li Kong-cu yang demikian ramah dan baik, membuat dia menjawab dengan suara tegas,
“saya mau menjadi prajurit, kong-cu, dengan harapan mendapat petunjuk kong-cu untuk memperoleh kemajuan...“
Peserta pertama mundur di gantikan peserta kedua yang seperti juga peserta pertama, memilih bertanding dengan tangan kosong. Akan tetapi, tidak seperti peserta pertama, peserta kedua yang bertubuh jangkung kurus ini ternyata memiliki sin-kang yang cukup kuat dan juga ilmu silatnya tangguh sekali.
Cu Sian yang memperhatikan gerakan Li Kong-cu, mendapat kenyataan bahwa pemuda bangsawan itu menambah takaran tenaga dan kecepatannya, namun sampai lewat dua puluh lima jurus si jangkung itu masih bertahan dan akhirnya dia tertotok lemas dalam jurus ke tiga puluh. Dia lulus sebagai perwira pertama dan juga seperti perserta pertama dia di kalahkan tanpa menderita luka dan Li Kong-cu bersikap bersahabat dengannya. Maka, peserta ini pun tidak menderita malu dan dia lalu mengundurkan diri setelah mengucapkan terima kasih.
Peserta ke tiga adalah seorang pemuda berusia hampir tiga puluh tahun, berkumis dan perawakannya sedang saja, namun dari gerak geriknya jelas nampak oleh Cu Sian bahwa peserta ke tiga ini lebih lihai dari pada dua peserta terdahulu. Dugaannya tepat karena setelah mereka bergebrak, pertandingan kini berjalan dengan ramai dan seru. Peserta ke tiga dapat mengimbangi gerakan Li Kong-cu sehingga penonton memandang dengan gembira dan dengan hati tegang.
Akan kalahkah jago mereka, yaitu Li Kong-cu...? Akan tetapi Cu Sian dengan kagum dapat menilai gerakan mereka berdua dan dia tahu bahwa Li Kong-cu tidak akan dapat di kalahkan orang itu. Perhitungannya memang tepat. Peserta ketiga ini memang lihai dan mampu bertahan sampai lima puluh jurus! Akan tetapi tetap saja dia harus mengakui ke unggulan Li Kong-cu karena dalam jurus ke lima puluh lima, dia pun terpelanting jatuh.
Walaupun dia tidak menderita luka, tetap saja kejatuhannya sudah menunjukkan bahwa dia memang kalah. Li kong-cu nampak gembira sekali. Dia mengangkat bangun peserta itu dan memberinya kedudukan perwira menengah, tidak seperti dua orang peserta terdahulu yang mendapatkan kedudukan perwira rendah.
Kini peserta ke empat yang maju. Cu Sian yang tidak senang melihat pemuda tinggi besar yang di anggapnya sombong itu memandang dengan mata bersinar-sinar. Dia melihat betapa pemuda tinggi besar itu menghadapi Li Kong-cu dengan lagak yang angkuh, tidak mau tunduk.
Li Si Bin hanya tersenyum melihat lagak pemuda tinggi besar itu dan setelah mereka berdua mengangkat kedua tangan depan dada sebagai salam, Li Si Bin bertanya, “sobat, engkau memilih ujian silat dengan senjata apa...?”
Berbeda dengan tiga orang peserta yang memilih di uji ilmu silat tangan kosong, pemuda tinggi besar itu menjawab lantang. “Setiap orang pendekar sejati tidak akan pernah melepaskan pedangnya, demikian pula seorang panglima harus pandai menggunakan berbagai macam senjata. Aku memilih pedang untuk bertanding ilmu...“ Setelah berkata demikian, si tinggi besar itu menggerakkan tangan kanannya ke belakang punggung dan... “sing…!“ dia telah memegang sebatang pedang yang berkilauan.
Para penonton memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang, akan tetapi Li Si Bin masih tersenyum dengan tenang. Sementara itu Cu Sian sudah tidak mampu menahan kemarahannya melihat sikap congkak itu. Dia tahu bahwa Li Si Bin adalah seorang yang bijaksana. Ketika mengalahkan tiga orang lawannya tadi saja sudah menunjukkan bahwa dia seorang yang rendah hati dan baik budi.
Kini melihat si congkak itu mencabut pedang yang berkilauan, dia merasa khawatir akan keselamatan putera gubernur itu. Tanpa dapat di cegah Han Sin yang sama sekali tidak menduganya, Cu Sian sudah melompat memasuki batas tali, kemudian dengan mengerahkan ginkangnya dia melompat tinggi dan membuat poksai (salto) sampai tiga kali baru turun ke atas panggung dengan ringan sekali. Tentu saja perbuatannya itu mengejutkan semua orang, dan Li Si Bin sendiri memandang dengan heran.
“Siapakah engkau dan apa artinya engkau naik ke atas panggung ini...?” tanya Li Si Bin sambil memandang tajam, suaranya penuh wibawa. Sementara itu Han Sin terkejut sekali karena dia dapat menduga bahwa sahabatnya itu tentu akan menimbulkan keributan. Akan tetapi sudah terlambat dan dia tidak dapat berbuat lain kecuali menonton dengan hati tegang dan khawatir.
Cu Sian mengangkat kedua tangan kedepan dada untuk memberi hormat kepada putera gubernur itu lalu berkata, “Maafkan aku, kong-cu. Karena kulihat kong-cu sudah melayani bertanding sampai tiga kali berturut-turut, maka perkenankanlah aku untuk mewakili kongcu dalam pertandingan ini. Dengan melihat jalannya pertandingan antara orang sombong ini dan aku, tentu kong-cu sudah dapat menilai apakah dia pantas di terima ataukah tidak...“
Li Si Bin menjadi tertarik sekali. Belum pernah dia melihat seorang pemuda remaja yang tampan dan halus seperti ini memperlihatkan keberanian yang luar biasa. Dia ingin sekali melihat bagaimana lihainya pemuda ini, maka sambil tersenyum dia menoleh kepada peserta ke empat yang tinggi besar itu.
“Tentu saja aku tidak keberatan dan pertandingan itu tentu akan menarik sekali dan menambah semaraknya ujian ini. Akan tetapi entah bagaimana dengan pendapat peserta keempat ini...“
Pemuda tinggi besar itu mengerutkan alisnya karena dia tidak mengenal Cu Sian, lalu menjawab ucapan Li Si Bin, dia berkata dengan lantang. “Li Kong-cu, saya tidak takut menghadapi siapapun juga, akan tetapi yang berhak naik ke panggung adalah mereka yang lulus ujian yang telah di tetapkan. Karena itu, saya ingin melihat apakah bocah ini mampu melakukan syarat yang telah di tentukan. Kalau dia dapat melakukan itu semua dengan baik, baru dia ada harganya untuk menguji ilmu silat saya. Kalau tidak, sebaiknya kong-cu melemparkan bocah pengacau ini keluar panggung...“
Li Si Bin menoleh kepada Cu Sian sambil tersenyum.
“Apa sih sukarnya melakukan itu semua...? Aku dapat memenuhi persyaratan itu jauh lebih baik daripada yang dia lakukan tadi...!“
Mendengar ini, Li Si Bin lalu berkata, "Baiklah, sekarang ditetapkan begini. Saudara ini akan memenuhi semua persyaratan, yaitu ujian tenaga dan ketangkasan, kemudian kalau dia lulus, kalian berdua akan saling menguji ilmu silat. Bagaimana, apakah kalian berdua setuju...?”
Pemuda tinggi besar itu menjawab hampir berbareng dengan jawaban Cu Sian. “Aku setuju...!”
Li Si Bin lalu meninggalkan panggung dan duduk di kursinya, sedangkan pemuda tinggi besar itu berkata mengejek, “Bocah pengacau, sekarang perlihatkan kemampuanmu, hendak kulihat apakah kemampuan tenaga dan kecekatanmu sama besarnya dengan mulut mu...!“ Setelah berkata demikian, diapun mundur dan berdiri di sudut panggung sambil bertolak pinggang dan mulutnya tersenyum mengejek.
Cu Sian kini menghadapi penonton dan tersenyum geli ketika dari situ dia melihat wajah Han Sin yang kerut merut dan matanya melotot kepadanya. “Saudara sekalian, saudara yang menjadi saksi apakah saya dapat lulus lebih baik daripada manusia sombong ini ataukah tidak. Pertama, melompat ke panggung. Tadi sudah kulakukan dan semua orang telah menyaksikannya. Sekarang akan kulakukan ujian kedua, memanah dengan busur itu. Silahkan kalian semua melihat...!“
Dengan langkah gagah Cu Sian menghampiri meja dan mengambil busur yang besar dan berat itu. Para penonton melihat betapa pemuda remaja yang bertubuh kecil dan gerak geriknya halus itu mengerahkan tenaga pada kedua tangannya untuk mengangkat busur itu! Pemuda tinggi besar itu tertawa terkekeh melihat ini dan para penonton juga mengerutkan alis karena kecewa. Bagaimana mungkin pemuda itu mampu memanah orang jerami yang jauh itu dengan busur yang demikian beratnya...? Mengangkat busur itu saja dia harus menggunakan kedua tangannya!
Semua penonton memandang dengan hati tegang dan suasana menjadi hening sekali. Ketika Cu Sian menahan busur dengan tangan kirinya lalu mengambil tiga batang anak panah, memasang tiga batang anak panah itu kepada busurnya, semua orang mulai terbelalak. Cu Sian lalu memasang kuda-kuda, mengangkat kaki kiri tinggi lalu dilangkahkan ke depan lebar-lebar, membentuk pasangan kaki menunggang kuda, kemudian dia mementangtali busur sepenuhnya.
“Kena...!“ serunya sambil melepas anak panah. Tiga batang anak panah itu menyambar ke depan secepat kilat dan menancap di orangan jerami itu, tepat mengenai leher, dada dan pusar!
“Ahhhh…!“ Penonton berseru dan meledaklah sorak sorai dan tepuk tangan mereka. Kiranya ketika mengangkat busur dengan kedua tangannya, Cu Sian hanya berpura-pura saja. Dan tentu hebat dan menganggumkan. Li Si Bin sendiri sampai bangkit dari tempat duduknya dan memandang dengan mata bersinar-sinar. Bukan main pemuda remaja itu pikirnya. Melepas tiga batang anak panah dengan sekali luncuran merupakan ilmu memanah tingkat tinggi! Di daerah Shansi ini mungkin hanya dia seorang yang mampu melakukannya!
Han Sin yang tadinya marah dan gelisah melihat ulah sahabatnya itu, juga merasa amat kagum. Tak di sangkanya bahwa Cu Sian memiliki ilmu memanah yang demikian hebat dan melihat semua orang bersorak dan bertepuk tangan, tak dapat di tahannya lagi diapun ikut-ikutan bertepuk tangan!
Kegaduhan penonton itu tiba-tiba berhenti dan suasana menjadi sunyi kembali ketika semua orang melihat pemuda remaja itu kini menghampiri singa batu yang berada di sudut panggung. Cu Sian mengangkat singa batu itu dengan sebelah tangan saja, lalu melontarkan ke atas, tinggi dan menerimanya kembali lalu melontarkan kembali lagi sampai lima kali. yang hebat, pada lemparan terakhir, ketika singa batu itu meluncur turun, bukan di sambut dengan tangannya melainkan dengan kepalanya!
Dengan menggunakan tenaga lembut, kepala itu menempel singa batu dari samping lalu membuat gerakan melengkung kebawah lalu ke kiri sehingga daya luncur singa batu itu dapat di salurkan ke atas dan hilang. Beberapa saat lamanya singa batu itu tertahan di atas kepala Cu Sian, baru di ambil oleh kedua tangan dan di turunkan di atas panggung.
Sorak sorai menyambut demonstrasi yang luar biasa ini dan tanpa di ucapkan dengan suara, semua orang juga sudah tahu bahwa apa yang diperlihatkan pemuda remaja ini jauh lebih hebat daripada apa yang tadi dipamerkan pemuda tinggi besar.
Cu Sian tersenyum, mengangguk kepada penonton di empat penjuru lalu tiba-tiba tubuhnya melayang turun dan tahu-tahu dia sudah berada di atas punggung kuda, di atas mana telah tersedia anak panah dan busurnya. Cu Sian menggebrak kuda itu sehingga kuda berlari congklang menuju ke orang jerami. Dalam jarak lima puluh kaki, tiba-tiba Cu Sian melompat dan berdiri di atas punggung kuda yang berlari itu, dan anak panahnya dengan tepat menancap di dada orang jerami!
Kembali penonton menyambut dengan gembira. Cu Sian lalu melompat lagi ke atas panggung dan menghadapi si pemuda tinggi besar sambil tersenyum-senyum. “Nah, semua persyaratan telah ku penuhi, bukan...? sekarang kita harus saling menguji ilmu silat dan aku ingin sekali melihat apakah ilmu silat mu setingkat dengan kesombonganmu...!“
Pemuda tinggi besar itu berseru, “Bagus! Keluarkan senjatamu aku akan menggunakan pedangku ini...!" Pemuda itu kembali mencabut pedang yang tadi sudah di simpannya kembali.
“Hemmm, aku menghadapimu tidak perlu aku mengggunakan senjata yang tajam dan runcing. Cukup sebatang tongkat saja. Eh, Sin-ko, tolong carikan sebatang tongkat untukku...!“ Dia berteriak ke arah Han Sin.
Pemuda itu bersungut-sungut. Ulah Cu Sian mendat ngkan kekhawatiran dalam hati Han Sin, kalau-kalau ulah itu akan menggagalkan niatnya bertemu dengan gubernur Li dan minta keterangan tentang ayahnya. Akan tetapi sebelum dia menanggapi permintaan Cu Sian, seorang perwira atas perintah Li Si Bin sudah naik ke panggung dan menyerahkan sebatang toya. Toya itu merupakan senjata tongkat yang terbuat daripada besi.
“Terima kasih, ciangkun. Aku hanya membutuhkan sebatang tongkat bambu atau kayu saja, yaitu t ongkat pemukul anjing. Kalau menggunakan toya ini, anjing yang ku pukul bisa mati...!“
Tentu saja ucapan ini merupakan ejekan dan sekaligus makian terhadap pemuda tinggi besar yang di anggapnya sebagai anjing yang layak di pukul! Para penonton merasakan hal ini dan mereka semua tertawa. Seorang penonton kebetulan melihat sebatang bambu di bawah lalu di ambilnya bambu itu dan di lemparkannya ke atas panggung.
Cu Sian menyambut bambu itu dan memutarnya dengan tangan kanan, menghadapi pemuda tinggi besar sambil berkata, “Nah, inilah senjataku...!“
Sebelum mereka bergerak saling serang, Li Si Bin berseru dari bawah panggung, suaranya terdengar gembira karena peristiwa ini sungguh belum pernah terjadi dan membuat penyelenggaraan ujian pemilihan perwira yang menjadi meriah. “Kedua orang saudara yang hendak bertanding, di minta memperkenalkan diri masing-masing...!”
Cu Sian segera menyambut seruan ini dengan suara lantang sambil melintangkan tongkat bambunya di depan dada. “Aku bernama Cu Sian dari Tiang-an...!”
“Saya bernama Bong Sek Toan, dari Nan-king...!“ pemuda tinggi besar itu berseru pula dengan suaranya yang mengguntur dari Tiang-an dan Nan-king, suasana menjadi semakin ramai karena para penonton mengerti bahwa dua orang muda itu datang dari luar daerah Shansi.
“Sekarang kalian mulailah...“ seru Li Si Bin, “akan tetapi ingat bahwa pertandingan ini hanya untuk menguji kepandaian silat, bukan perkelahian...!“
Cu Sian tersenyum memandang lawannya lalu berkata, “Orang she Bong, sudah siapkah engkau untuk di pukul dengan tongkatku...!“
Sejak tadi pemuda tinggi besar bernama Bong Sek Toan itu sudah merasa panas hatinya dan marah bukan main. Dia merasa dipandang rendah dan dipermainkan pemuda remaja itu. Akan tetapi agaknya diapun maklum bahwa pemuda remaja yang ugal-ugalan itu merupakan seorang lawan tangguh, dapat dilihat dari cara dia memperlihatkan tenaga dan kecepatannya tadi.
“Sambut pedangku ini...!“ katanya dan menyerang dengan dahsyat sekali. Bagaimanapun juga dia merasa lebih untung karena dia memegang sebatang pedang sedangkan lawannya hanya memegang sebatang tongkat bambu.
Akan tetapi dengan gerakan yang gesit sekali Cu Sian dapat mengelak dan diapun menggerakkan tongkatnya menotok kearah pinggang lawan. Bong Sek Toan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga, bermaksud untuk mematahkan tongkat itu, akan tetapi tongkat itu hanya terpental dan sama sekali tidak menjadi rusak oleh pedang yang tajam itu.
Segera terjadi serang menyerang yang amat seru. Biarpun kalah untung dalam hal senjata, namun Cu Sian dapat mengimbangi lawannya dengan kecepatan gerakannya. Tubuhnya berkelebat diantara sinar pedang dan ujung tongkat bambunya menotok ke tempat berbahaya sehingga Bong Sek Toan tidak mampu mendesak lawannya itu.
Saling serang sudah berlangsung tiga puluh jurus lebih dan belum ada diantara mereka mereka yang terdesak. Tiba-tiba Bong Sek Toan mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya berputar menyambar-nyambar kearah tubuh bagian atas dari lawannya. Hebat bukan main serangan ini, bagaikan gelombang samudera yang menerjang kearah Cu Sian.
Pemuda remaja inipun terkejut dan maklum akan hebatnya serangan pedang, maka diapun bergulingan di atas papan panggung sehingga pedang itu menyambar-nyambar di atas tubuhnya. Dari bawah, tongkat Cu Sian mengirim serangan balasan ke arah kaki dan perut. Dengan perlawanan seperti ini, terpaksa Bong Sek Toan mengubah lagi gerakan pedangnya. Diam-diam dia terkejut sekali. Ternyata tongkat bambu yang di pandang rendah itu menrupakan senjata istimewa di tangan lawannya.
Sebaliknya, Cu Sian juga terkejut. Tak disangkanya bahwa lawannya yang di anggap sombong itu ternyata tangguh bukan main. Keduanya mengeluarkan seluruh kemampuan dan mengerahkan seluruh tenaga sehingga pertandingan itu berlangsung seru, bukan lagi merupakan pertandingan menguji ilmu, melainkan perkelahian yang sungguh-sungguh untuk merobohkan lawan. Jurus-jurus terampuh dari mereka dikeluarkan.
Penonton menahan napas menyaksikan pertandingan yang amat seru itu. Li Si Bin sendiripun sampai bangkit dari kursinya. Dia merasa girang dan juga khawatir. Girang karena dia merasa mendapatkan dua orang calon perwira yang akan menjadi pembantu-pembantu yang boleh diandalkan. Akan tetapi khawatir karena pertandingan itu menjadi sungguh-sungguh menjadi perkelahian untuk saling bunuh!
Yang merasa amat kaget dan heran adalan Cian Han Sin. Ketika Bong Sek Toan mengeluarkan ilmu pedang mendesak Cu Sian dengan jurus yang seperti gelombang, dia segera mengenal ilmu pedang itu. Bahkan semua gerakan ilmu silat Bong Sek Toan itu tidak asing baginya karena bersumber pada ilmu silat Lo-hai-kun! Padahal ilmu silat Lo-hai-kun (Silat Pengacau Lautan) adalah ilmu ibunya yang pernah diajarkan kepadanya. Berarti masih ada hubungan antara orang bernama Bong Sek Toan ini dengan ibunya.
“Haiiiittt...!“ Tongkat di tangan Cu Sian bergerak seperti ular dan mematuk–matuk ke arah kedua mata lawan. Bong Sek Toan terkejut dan dia harus berlompatan ke belakang untuk menghindarkan matanya dari bahaya.
“Yaahhhhh...!“ Dia membentak dan pedangnya menyambar dengan sapuan ke arah kedua kaki Cu Sian. Pemuda remaja itu meloncat tinggi sehingga pedang itu lewat di bawah kakinya, kemudian tubuhnya berjungkir balik dan menukik sambil menusukkan tongkatnya kearah ubun-ubun lawan.
“Hiaatttt… traanggg…!“ Pedang itu menangkis tongkat dan keduanya melompat mundur setelah pertemuan antara tongkat dan pedang itu membuat Bong Sek Toan terhuyung dan Cu Sian juga melayang turun hampir terjatuh. Akan tetapi setelah keduanya melompat mundur, kini mereka sudah siap lagi untuk saling serang.
Pertandingan sudah berlangsung tujuh puluh jurus lebih dan Han Sin yang merasa khawatir kalau-kalau kedua orang itu celaka, padahal Bong Sek Toan itu masih mempunyai hubungan dengan ibunya. Maka diapun memasuki lapangan yang di lingkari tali dan berlari menuju ke panggung.
Pada saat itu, Li Si Bin juga mengangap bahwa pertandingan itu sudah lebih dari cukup dan kedua orang itu dapat di terima sebagai perwira maka diapun melompat ke atas panggung. Pada saat itu, kedua orang itu sudah mulai menyerang lagi. Ketika Li Si Bin melompat dan tiba di antara keduanya, dengan sendirinya dialah yang menjadi sasaran tongkat dan pedang!
Akan tetapi dengan tenang Li Si Bin menangkap tongkat dan menangkis pedang dari samping sehingga pedang terpental dan Cu Sian tidak mampu menarik lepas tongkatnya! Dari gerakan melerai ini saja sudah dapat diketahui bahwa ilmu kepandaian Li Si Bin memang hebat dan lebih tinggi tingkatnya dibandingkan kedua orang yang sedang bertanding itu.
“Cukup, kalian sudah cukup bertanding...!“ kata Li Si Bin sambil tersenyum ramah.
“Akan tetapi aku belum kalah...!“ kata Cu Sian penasaran.
“Sian-te! Turunlah dan jangan bertanding lagi atau aku akan marah kepadamu...!“ terdengar teriakan Han Sin dari bawah panggung.
Bong Sek Toan juga menoleh dan memandang kepada Han Sin. Melihat pemuda ini, dia teringat. Tadi dia sudah berpikir siapakah pemuda remaja yang bertanding dengannya itu. Dia merasa sudah pernah bertemu. Setelah kini melihat Han Sin, maka diapun teringat bahwa lawannya bukan lain adalah pengemis muda yang kurang ajar itu.
“Ah, kiranya engkau jembel itu...!“ bentaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Cu Sian.
Cu Sian membelalakan matanya dengan marah. “Dan engkau anjing sombong itu...!“ dia balas memaki. “Mari kita lanjutkan pert andingan sampai seorang diantara kita roboh tak bernyawa...!“
“Sudahlah, harap ji-wi (anda berdua) bersabar. Pertandingan ini hanya untuk ujian bukan berkelahi...!“ kata Li Si Bin.
Bong Sek Toan yang juga sudah marah sekali memandang kepada Cu Sian dengan mata mendelik. Pada saat itu, Han Sin dari bawah panggung berseru.
“Saudara Bong Sek Toan, engkau ada hubungan apakah dengan mendiang Toat-beng Giam-ong...?” Han Sin bertanya demikian karena melihat ilmu pedang Lo-hai Kiam-Sut tadi dan menduga bahwa pemuda itu tentu ada hubungan dengan mendiang Toat-beng Giam-ong, guru dari ibunya.
Bong Sek Toan terkejut bukan main, wajahnya berubah kemerahan dan dia memberi hormat kepada Li Si Bin, berkata, “Kong-cu, sebaiknya saya pergi saja...!“ Dan dia melompat turun dari panggung, setelah tiba di bawah dia memandang kepada Cu Sian sambil berseru, “Bocah setan, lain kali aku aku tidak memberi ampun lagi kepadamu...!“ Setelah berkata demikian dia meloncat jauh dan lenyap di antara penonton yang banyak itu.
Melihat ini, Li Si Bin menjadi heran dan menyesal karena pemuda tinggi besar itu dapat menjadi perwira yang tangguh. Dia lalu menghadapi Cu Sian dan berkata, “Biarlah, kalau dia tidak ingin menjadi perwira, kamipun tidak akan memaksanya. Dengan mendapatkan engkau sebagai perwira, kami sudah cukup puas, saudara Cu Sian...“
“Tapi… Tapi… Aku sama sekali tidak ingin menjadi perwira, kong-cu...“
Li Si Bin mengerutkan alisnya dan merasa dipermainkan. “Apa artinya semua ini...? tanyanya dengan suara tidak senang.
Pada saat itu Han Sin yang berada di bawah panggung segera berkata dengan suara lembut dan penuh hormat. “Kami mohon agar Li-Kongcu suka memberi kesempatan kepada kami untuk menceritakan semua ini, tanpa di dengar banyak orang...“
Li Si Bin menjadi semakin heran dan penasaran. Akan tetapi melihat sikap Han Sin yang penuh hormat itu dan sikap Cu Sian yang seperti orang kebingungan, diapun tersenyum. “Baiklah, mari jiwi ikut bersamaku...“
Li Si Bin lalu melangkah pergi menuju gedung di depan lapangan itu. Cu Sian mengikutinya dan Han Sin mengambil jalan mengitari panggung dan mengikuti pula. Dia melirik kearah Cu Sian yang juga sedang melirik kepadanya. Han Sin melihat Cu Sian cengar cengir sehingga mau tidak mau hatinya yang sedang mendongkol itu agak mencair.
“Kau jangan buka mulut sembarangan, biar aku saja yang bicara...“ kata Han Sin lirih dan singkat.
“Baiklah, Sin-ko. Aku menaati perintahmu...!“ jawaban itu demikian di buat-buat untuk melucu sehingga Han Sin terpaksa tersenyum gemas.
Setelah memerintahkan para pembantunya untuk membubarkan ujian itu dan menampung para calon yang lulus, Li Si Bin mengajak kedua orang muda itu memasuki sebuah ruangan di bagian samping gedung besar itu. Ruangan itu cukup luas dan hanya terisi kursi– kursi dan meja, agaknya ruangan pertemuan atau ruangan rapat.
Setelah mempersilahkan kedua orang tamunya duduk, Li Si Bin segera berkata, “Nah, sekarang kalian ceritakan sebetulnya apa artinya saudara Cu Sian ingin naik ke panggung kalau bukan untuk mengikuti ujian sebagai calon perwira...“
Pandanga matanya mencorong penuh selidik. Diam-diam Cu Sian merasa ngeri juga. Pandang mata pemuda bangsawan ini sungguh penuh wibawa. Han Sin menoleh kepada sahabatnya dengan pandang mata memperingatkan agar Cu Sian tidak sembarangan bicara. Dia khawatir sekali Cu Sian bicara seenaknya, akan terjadi keributan pula.
“Sebelumnya kami mohon maaf sebesarnya kepada kong-cu bahwa tanpa disengaja kami telah merepotkan kong-cu dan mengacaukan ujian tadi. saya bernama Cian Han Sin dan adik Cu Sian ini adalah sahabat saya. Sebetulnya kedatangan kami ke Shan-si ini sama sekali tidak mempunyai maksud untuk ujian perwira. Akan tetapi, dalam perjalanan kami ke sini, kami pernah bertemu dengan pemuda bernama Bong Sek Toan tadi dan dia bersikap kasar terhadap Sian-te. Inilah sebabnya mengapa Sian-te, ketika melihat Bong Sek Toan tadi berlagak di atas panggung, lalu nekat naik untuk menandinginya. Jadi yang mendorong dia naik ke panggung semata-mata karena ingin menandingi Bong Sek Toan. Untuk itu, sekali lagi kami mohon maaf kepada kong-cu..."
Li Si Bin mengangguk-anggukkan kepalanya. Biarpun dia seorang putera bangsawan, akan tetapi dia mengetahui akan watak para pendekar yang kadang aneh. Dia memang tidak suka akan sikap Cu Sian yang ugal-ugalan itu, akan tetapi mendengar ucapan Han Sin dan melihat sikap pemuda ini merasa suka dan tertarik.
“Hemmm, begitukah...? Kami amat mengagumi ilmu kepandaian saudara Cu, akan tetapi engkau tentu memiliki ilmu yang lebih lihai lagi...“
“Ah, saya tidak dapat dibandingkan dengan Sian-te, kong-cu...“
"Sin-ko adalah seorang ahli sastra yang lemah dan sayalah yang menjadi pengawal yang melindunginya, kong-cu...“ kata Cu Sian tanpa dapat di cegah lagi oleh Han Sin.
Li Si Bin mengangguk-angguk, akan tetapi pandang matanya meragukan kebenarannya ucapan Cu Sian tadi. “Karena ayah kami menjadi kepala daerah di Shan-si, sudah sepatutnya kalau aku bertanya kepada kalian apa maksud kunjungan kalian ke Shan-si...?”
“Terus terang saja Li Kong-cu, yang mempunyai kepentingan di sini adalah saya sedangkan Sian-te ini hanya mengawal dan menemani saya. Saya bermaksud untuk mencari keterangan tentang tewasnya mendiang ayah saya dalam pertempuran di daerah Shan-si...“
Li Si Bin memandang tajam. “Hemmm, siapakah ayahmu...?”
“Kong-cu, kakak Cian Han Sin ini adalah putera mendiang Panglima besar Cian Kauw Cu...“
“Ahhhh…!!” Li Si Bin bengkit berdiri. “Panglima besar Cian Kauw Cu yang telah berjasa besar dalam mendirikan Kerajaan Sui itu...? Teman seperjuangan mendiang Kaisar Yang Chien...?”
Karena sudah di dahului Cu Sian, terpaksa Han Sin bangkit berdiri dan mengangguk. “Mendiang Panglima Cian Kauw Cu adalah ayah saya, kong-cu...“
“Ah, senang sekali dapat berkenalan denganmu, saudara Cian...!“ kata Li Si in sambil mengangkat kedua tangan depan dada yang cepat di balas oleh Han Sin. “Silahkan duduk dan ceritakan apa yang kau kehendaki. Apa yang hendak kau tanyakan kepada ayah...?”
Han Sin duduk kembali. “Menurut keterangan ibuku, mendiang ayah tewas dalam pertempuran di daerah Shan-si ini, gugur ketika terkena anak panah musuh. Akan tetapi ibu mendengar desas-desus di kalangan prajurit pasukan yang dipimpin ayah bahwa anak panah itu mengenai punggung ayah, yang berarti bahwa anak panah itu dilepaskan dari belakang. Tidak mungkin pihak musuh melepaskan anak panah dari belakangnya. Maka saya ingin menyelidiki, apa yang sebenarnya terjadi dengan kematian ayah itu...“
“Hemmm, maksudmu engkau hendak mencari pembunuhnya untuk membalas dendam kematian ayahmu...?“ Tanya Li Si Bin.
“Sama sekali tidak, kong-cu...“ Han Sin kagum kepada pemuda bangsawan itu dan menaruh kepercayaan sepenuhnya. “Sebetulnya saya ingin mencari pedang pusaka Hek-liong-kiam milik ayah yang lenyap ketika ayah gugur. Kalau saya dapat menemukan siapa yang membunuh ayah, agaknya saya dapat menemukan siapa pencuri Hek-Liong-Kiam...“