Li Si Bin mengangguk-angguk. “Peristiwa itu telah terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu maka aku sendiri tidak dapat menceritakan apa-apa. Ketika itu usiaku masih kecil, tidak jauh bedanya denganmu, saudara Cian. Sebaiknya kalau engkau bertanya kepada ayahku...“
“Memang demikianlah maksud saya, kong-cu. Menurut ibu, Gubernur Li dahulu juga teman seperjuangan ayah dan karena dia bertugas di sini, sangat boleh jadi ayahmu itu akan dapat memberi keterangan yang lebih jelas...“
“Memang benar perkiraanmu itu, saudara Cian. Marilah kalian ikut denganku menghadap ayah...“
Kembali dua orang muda itu mengikuti Li Si Bin memasuki gedung besar itu dan akhirnya mereka memasuki sebuah ruangan yang penuh kitab, agaknya ruangan baca dan Gubernur Li berada di ruangan itu. Han Sin memandang penuh perhatian. Gubernur itu seorang laki-laki yang berusia lima puluh tahun berwajah tenang dan penyabar, berbeda dengan wajah puteranya yang penuh semangat.
“Ayah, coba ayah terka siapa yang ku bawa menghadap ayah ini...!“ kata Li Si Bin.
Gubernur Li memandang kepada Han Sin dan Cu Sian, alisnya berkerut dan dia menggeleng kepalanya.
“Ayah, saudara ini adalah Cian Han Sin, putera dari mendiang Panglima Besar Cian Kauw Cu...!”
Sepasang alis berkerut itu terangkat, sepasang mata itu berseri. Han Sin yang diperkenalkan cepat memberi hormat, di turut pula oleh Cu Sian.
“Ah, begitukah?” kata Gubernur itu sambil mengamati Han Sin dari kepala sampai ke kaki.
Cu Sian yang tidak diperkenalkan merasa dikesampingkan, segera memperkenalkan dirinya sendiri. “Dan saya bernama Cu Sian, sahabat dan pengawal dari Kakak Cian Han Sin...“
Gubernur itu memandang Cu Sian sejenak dengan heran, lalu menggerakkan tangan mempersilahkan mereka duduk. “Aih, betapa cepatnya waktu berlalu. Bagaimana kabarnya dengan keadaan ibumu yang gagah perkasa itu, Han Sin...?”
“Terima kasih, tai-jin, keadaan ibu saya baik-baik saja, “jawab Han Sin dengan sikap hormat. “Dan mohon tai-jin suka memaafkan kalau kunjungan saya ini mengganggu kesibukan tai-jin...“
“Ah, tidak mengapa. Apakah keperluanmu datang menemuiku? Apa yang dapat kami Bantu untuk putera sahabat baik kami, Cian-ciangkun...?”
“Saya mohon keterangan tai-jin tentang kematian mendiang ayah saya ketika memimpin pasukan di daerah Shansi ini. Ibu menyuruh saya untuk menhgadap tai-jin dan mohon keterangan dari tai-jin...“
“Apakah ibumu belum mendapat pelaporan tentang kematian ayahmu...?”
“Sudah tai-jin. Akan tetapi laporan resmi itu hanya mengatakan bahwa ayah gugur dalam pertempuran. Desas-desus di kalangan pasukan mengatakan bahwa kematian ayah tidak wajar, terkena anak panah yang datangnya dari belakang. Ibu mencurigai dan menyuruh saya mohon penjelasan dari tai-jin...“
Gubernur Li menghela napas panjang. “Peristiwa itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu. Kenapa ibumu baru menyelidikinya sekarang...?”
“Agaknya ibu menanti sampai saya dewasa sehingga dapat melakukan penyelidikannya sekarang...?”
“Akan tetapi peristiwa itu telah terjadi sepuluh tahun yang lalu. Apa yang kau kehendaki… aahhh, aku mengerti, agaknya engkau hendak menyelidiki siapa pembunuh ayahmu dan hendak membalas dendam...?” Tanya Gubernur Li.
“Bukan itu sebenarnya yang penting bagi saudara Han Sin, ayah. Dahulu, mendiang Cian-ciangkun memiliki sebatang pedang pusaka yang di sebut Hek-Liong-kiam. Nah ketika dia gugur, pedang pusaka itu lenyap di curi orang. Saudara Han Sin ingin menyelidiki siapa pencuri pedang itu ayah, agar dia dapat merampasnya kembali,” kata Li Si Bin menjelaskan. “Dan, dengan menyelidiki siapa pembunuh ayahnya, dia mengharapkan akan dapat menemukan kembali pedang pusaka itu...“
Gubernur Li mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. “Hemmm, begitukah...?”
“Benar, tai-jin dan saya mohon petunjuk tai-jin mengingat bahwa mendiang ayah adalah sahabat tai-jin, mungkin tai-jin mengetahui tentang peristiwa itu...“
Gubernur Li mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Pada waktu itu kami juga menerima laporan dari Panglima Lui yang menjadi pembantu mendiang Panglima Cian, yang melaporkan bahwa Panglima Cian telah tewas dalam pertempuran. Kami juga mendengar desas-desus itu bahwa Panglima Cian tewas karena terkena anak panah di punggungnya. Akan tetapi pada waktu itu kami tidak menaruh curiga. Sedangkan tentang pedang pusaka milik Panglima Cian, kami tidak pernah mendengarnya. Sayang sekali, Han Sin, kami tidak dapat banyak membantu dalam hal ini. Apalagi terjadinya sudah sepuluh tahun yang lalu...“
Biarpun hatinya kecewa, Han Sin tidak memperlihatkannya. Dia lalu berpamit dari Gubernur Li. Han Sin dan Cu Sian mengundurkan diri dan di antar oleh Li Si Bin sampai keluar gedung.
”Sayang sekali bahwa ayah tidak dapat memberi keterangan tentang kematian ayahmu dan pedang pusaka itu, saudara Han Sin. Akupun merasa prihatin dan ikut memikirkan hal itu. Dan menurut pendapat ku, ada beberapa macam cara bagimu untuk dapat menyelidiki siapa pembunuh ayahmu itu...“
“Ah, Li kong-cu, saya akan berterima kasih sekali kalau engkau suka memberi petunjuk kepada saya...“ kata Han Sin.
“Tolonglah, Li kong-cu!” Cu Sian juga memohon. “Sin-ko sudah jauh-jauh dari selatan pergi ke sini, kasihan kalau dia tidak mendapatkan petujunk...“
Li Si Bin tersenyum dan memandang Cu Sian dengan kagum. “Aku kagum kepadamu, saudara Cu Sian. Engkau seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali, juga ternyata merupakan seorang sahabat yang setia dan baik. Begini, saudara Han Sin, setelah engkau tiba disini, sebaiknya kalau engkau melakukan penyelidikan di tempat dimana dahulu terjadi pertempuran yang mengorbankan nyawa ayahmu itu. Banyak suku-suku mongol berada di daerah utara itu, akan tetapi pada saat ini, yang menguasai daerah itu adalah suku Yakka. Mereka juga ikut bertempur melawan pasukan pasukan Sui pada waktu itu, siapa tahu dari mereka engkau bias memperoleh keterangan. Sekarang suku Yakka itu bersikap baik dan tidak pernah mengganggu, bahkan terdapat jalur yang menghubungkan para pedagang yang menuju ke sana. Aku tahu bahwa para pimpinan suku Yakka yang tua-tua semua mengenal nama mendiang ayahmu dan mengangguminya..."
"Akan saya perhatikan nasihat Li kong-cu ini. Apakah masih terdapat petunjuk lain...?”
“Masih ada dua cara, sepanjang yang ku dengar, mendiang Panglima Cian kauw cu adalah seorang yang memperoleh kedudukan tertinggi dalam pasukan, menjadi sahabat mendiang Kaisar Yang Chien dan merupakan tangan kanan beliau. Hal ini mungkin saja menimbulkan iri hati kepada para tokoh perjuangan lainnnya sehingga sangat boleh jadi ayahmu itu terbunuh oleh usaha perebutan kedudukan. Maka engkau dapat melakukan penyelidikan di antara para panglima dan perwira kerajaan. Dan Kenyataan kedua adalah bahwa sewaktu muda, menurut yang ku dengar, ayahmu adalah seorang pendekar kang-ouw. Dengan sendirinya ayahmu tentu mempunyai banyak musuh dari kalangan sesat, maka dapat juga engkau melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. nah, hanya itulah yang dapat ku Bantu...“
Han Sin merasa kagum dan senang sekali. Sungguh seorang pemuda yang bijaksana sekali Li Si Bin ini, memiliki pandangan yang tajam dan tepat. Dia cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat. “Sungguh tepat semua nasihat kong-cu. Saya tentu akan melaksanakan semua petunjuk itu!”
“Ahh, Saudara Han Sin terlalu memuji. Aku akan ikut merasa gembira kalau engkau dapat menemukan siapa pembunuh ayahmu yang curang itu dan mendapat kan kembali pedang pusaka ayahmu...“
“Li Kong-cu sungguh seorang yang amat cerdas dan bijaksana. Sekarang aku baru mengerti mengapa rakyat Shansi menyangjung-nyanjungmu...“ kata Cu Sian.
Dua orang pemuda itu lalu berpamit dan mereka meninggalkan kota Taigoan menuju ke utara. Set elah melihat sepak terjang Cu Sian ketika bertanding melawan pemuda bernama Bong Sek Toan itu, Han Sin lebih percaya bahwa Cu Sian memiliki kepandaian yang cukup untuk menjaga dan melindungi diri. Dia tidak merasa khawatir lagi dan mereka melakukan perjalanan ke utara dengan gembira. Tidak mungkin bagi Han Sin untuk tidak terbawa gembira melakukan perjalanan bersama Cu Sian yang selalu lincah dan riang itu.
Jalan yang di lalui para pedagang yang membawa barang dagangan dari dan ke daerah utara ada dua jalur. Kalau para pedagang itu membawa dagangan ke utara, mereka melalui jalan darat yang melalui bukit-bukit. Akan tetapi kalau mereka membawa dagangan dari utara, mereka lebih suka mempergunakan jalan air Sungai Huang-ho yang mengalir ke selatan.
Baik jalan melalui darat maupun melalui sungai, sama saja resikonya. Kadang muncul perampok atau bajak sungai yang mengganggu para pedagang itu. Maka, biasanya rombongan pedagang itu membayar piauw-su (pengawal barang) untuk melindungi mereka dari gangguan penjahat. Tentu saja terdapat semacam permusuhan di antara para piauw-su dan para penjahat itu. Akan tetapi akhir-akhir ini mereka menempuh jalan damai. Para gerombolan itu tidak lagi mengganggu rombongan para pedagang asal saja mereka di beri imbalan sebagai “pajak jalanan“.
Para piauw-su tentu saja lebih suka kehilangan sebagian dari penghasilan mereka untuk diberikan kepada penjahat -penjahat itu daripada mereka harus bertempur. Demikian pula para penjahat itu, lebih baik menerima imbalan dari mereka yang lewat. Pertempuran hanya akan merugikan kedua pihak, ada yang luka-luka, bahkan tidak jarang ada kematian di antara mereka.
Pada suatu pagi yang cerah serombongan orang menunggang kuda melewati jalan yang sunyi itu. Mereka terdiri dari belasan orang yang dari pakaiannya menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang suku Yakka Mongol. rata-rata bertubuh ramping kokoh menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kuat yang biasa bergerak atau bekerja keras.
Yang menunggang kuda terdepan adalah dua orang gadis berusia tujuh belas dan dua puluh tahun. Mereka berpakaian indah, baju dan topi dari bulu dan wajah mereka cantik sekali. Akan tetapi dilihat dari sikap mereka menunggang kuda, dapat diket ahui bahwa dua orang gadis ini juga sudah biasa menunggang kuda dan bertubuh kuat.
Hal ini tidaklah aneh karena para wanita yakka juga biasa melakukan pekerjaan kasar, rata-rata pandai berburu binatang mempergunakan anak panah, tombak maupun pedang bengkok model Turki. Dua orang gadis itu adalah kakak beradik, puteri ketua suku Yakka.
Ayah mereka adalah kepala suku Yakka yang terkenal karena kuat dan pandai memimpin sukunya, bernama Tar-sukai. Adapun dua orang puterinya itu, yang pertama bernama Loana, berusia dua puluh tahun, sedangkan yang kedua bernama Hailun, berusia tujuh belas tahun.
Suku Yakka menguasai daerah yang luas dan subur. Mereka berpusat di lembah antara sungai Kerulon dan Sungai Onon yang amat subur. Bukit-bukit di sini di tumbuhi hutan yang lebat, penuh binatang perburuan. Air yang berasal dari salju di gunung-gunung berlimpah, tak pernah kering. Daerah ini selalu menjadi perebutan antara suku-suku di utara, akan tetapi akhirnya dikuasai oleh suku Yakka yang terkenal gagah berani dan mempunyai pasukan yang cukup besar jumlahnya. Bahkan suku Yakka ini mengembangkan kekuasaan mereka sampai ke selatan, ke perbatasan propinsi Shan-si.
Mula-mula memang terjadi pertempuran besar-besaran diantara suku Yakka dan pasukan Sui, akan tetapi akhir-akhir ini, setelah Gubernur Li mengambil seorang wanita Turki sebagai istrinya, keadaan berubah. Gubernur Li mengambil sikap bersahabat dengan semua suku bangsa Turki dan yakka. Bahkan dibukalah hubungan dagang dengan suku-suku bangsa di utara itu.
Pada suatu hari, Tar sukai, kepala suku Yakka, berhasil mengumpulkan banyak bulu biruang yang di dapatkan oleh para pemburu dan juga banyak batu permata yang khas. Maka, diapun memilih bulu terbaik dan batu-batu yang langka, lalu bermaksud mengirim barang berharga itu sebagai hadiah kepada Gubernur Li. Mendengar bahwa ada rombongan hendak pergi ke selatan, dua orang puterinya merengek menyatakan ingin pergi bersama rombongan.
Tar sukai amat menyayang kedua orang puterinya ini, maka diapun tidak tega menolak. Demikianlah, kedua orang puterinya itu bahkan ditugaskan mewakilinya mengahturkan bingkisan itu kepada Gubernur Li. Mereka dikawal oleh tujuh belas orang perwira jagoan dari Suku Yakka, melakukan perjalanan ke selatan yang cukup jauh dan akan memakan waktu beberapa pekan dengan menunggang kuda.
Bukan main gembiranya hati Loana dan Hailun melakukan perjalanan itu. Bagi mereka, perjalanan itu bukan sekedar membawa tugas mengantar barang bingkisan, melainkan terutama sekali merupakan pesiar yang menggembirakan. Bahkan kalau mereka melewati sebuah hutan yang banyak binatangnya. Mereka berdua melakukan perburuan. Kalau melewati telaga, dua orang kakak beradik itu memerintahkan para pengawalnya untuk berhenti dan mereka lalu berpesiar di telaga.
Tujuh belas orang jagoan pengawal itu selalu tunduk dan memenuhi kehendak Loana dan Hailun. mereka semua maklum betapa sayangnya pemimpin mereka kepada dua orang puterinya ini. Apalagi yang memimpin para pengawal itu adalah Temugu, adik kandung Tarsukai sendiri, atau paman dari kedua orang gadis itu. Temugu juga amat sayang dan memanjakan kedua orang keponakannya itu.
Loana berwatak lembut dan agak pendiam, berbeda dengan adiknya, Hailun yang wataknya riang dan lincah jenaka. Banyak sekali orang muda bangsa Mongol yang tergila-gila kepada dua orang gadis ini dan banyak putera kepala suku lain yang mengajukan pinangan, akan tetapi tidak satupun pinangan di terima oleh Tarsukai. Bukan berarti bahwa Tarsukai tidak ingin kedua puterinya memperoleh jodoh, akan tetapi semua pinangan di tolak keras oleh kedua orang puterinya itu.
Karena ini pula maka ketika kedua orang puterinya hendak mewakilinya menyerahkan hadiah kepada Gubernur Li di Shansi, dia mengijinkan dengan harapan mudah-mudahan kedua orang puterinya itu akan menemukan jodoh yang seimbang dan baik di Shansi. Gubernur Li di Shansi mempunyai banyak putera dan di sana terdapat pula panglima-panglima muda yang gagah perkasa. Siapa tahu Loana dan Hailun akan bertemu jodoh mereka.
Pada pagi hari yang cerah itu, rombongan orang suku Yakka Mongol itu tibalah di daerah pegunungan yang menjadi perbatasan dengan daerah Shansi. Dua orang gadis yang menunggang kuda paling depan itu tiba-tiba melihat sekelompok kijang melarikan diri memasuki hutan. Bukan main gembira hati mereka dan dengan anak panah siap di tangan mereka membalapkan kuda mereka mengejar ke dalam hutan.
Melihat ini, Temugu berteriak. “Heiii, Loana, Hailun, tunggu! Kembalilah...!“
Dia sudah banyak mendengar tentang gerombolan-gerombolan perampok yang bermarkas di dalam hutan lebat. Akan tetapi dua orang gadis yang sedang gembira itu terus membalapkan kuda mereka.
“Heiii, tunggu kami…!“ Temugu berteriak dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melakukan pengejaran ke dalam hutan.
Tujuh belas orang itu lalu melarikan kuda mereka memasuki hutan lebat itu. Akan tetapi dua orang gadis itu sudah jauh meninggalkan mereka sehingga mereka terpaksa harus mencari-cari jejak kuda dua orang gadis itu.
Sambil membalapkan kuda mereka, Loana dan Hailun melepaskan anak panah berulang kali. Mereka tidak mampu mendekati kijang-kijang itu yang larinya pesat bukan main.
“Panahku mengena...!“ teriak Hailun.
“Panahku juga!“ kata Loana.
Akan tetapi karena jaraknya jauh anak panah mereka tidak dapat merobohkan kijang-kijang yang terlalu cepat larinya itu. Mereka mengejar secepatnya sehingga meninggalkan rombongan pengawal mereka.
Selagi kedua orang gadis Mongol itu membalapkan kuda, tiba-tiba kuda mereka meringkik kaget dan ketakutan ketika dari balik pohon dan semak berloncatan belasan orang dari sikapnya mereka yang kasar dapat di duga bahwa mereka adalah orang-orang jahat. Lima belas orang itu di pimpin oleh seorang yang usianya sekitar empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan wajah penuh brewok dan kulit mukanya hitam.
Melihat dua orang gadis yang cantik manis itu, si kepala perampok tertawa bergelak. “Biar aku sendiri yang menangkap mereka, kalian hadang pasukan berkuda itu, bunuh mereka dan rampas kuda dan barang-barang mereka...!“ teriaknya dan bagaikan seekor orang utan besar, dia sudah meloncat dan menerkam kearah Loana yang duduk di atas kuda berusaha menenangkan kudanya.
Terkaman itu demikian hebat sehingga tubuh Loana terseret turun dari atas kuda. Sebelum ia sempat bangkit berdiri, tubuhnya sudah menjadi lemas dan lumpuh karena di totok oleh kepala perampok itu. melihat ini Hailun menjadi marah dan ia sempat melepaskan anak panah kearah kepala perampok itu. Akan tetapi kepala perampok itu ternyata lihai sekali. Anak panah itu dapat di tangkisnya dengan tangan sehingga melesat jauh dan sebelum Hailun dapat memanah lagi, kakinya telah di tangkap dan di tarik turun dari atas kuda.
Sebagai seorang gadis Mongol yang sejak kecil mempelajari ilmu bela diri, ia melawan. akan tetapi kepala perampok itu jauh lebih kuat dan lebih cepat. Dia lihai sekali dan sebelum Hailun dapat berbuat banyak, iapun sudah roboh terkulai oleh totokan kepala perampok brewok itu.
“Ha-ha-ha-ha! hari ini beruntung sekali aku, mendapatkan dua orang nona yang cantik jelita! Ha-ha-ha...“ sambil tertawa-tawa dia lalu memanggul tubuh kedua orang gadis itu dan di kedua pundaknya dan membawa mereka menyusup hutan belukar menuju ke kelompok bangunan dari kayu dan bambu yang menjadi sarang gerombolan perampok itu.
Sementara itu, secara kebetulan Han Sin dan Cu Sian tiba pula di jalan yang melalui hutan itu dalam perjalanan mereka ke utara. Mereka berjalan santai sambil bercakap-cakap.
“Eh, Sin-ko. Engkau belum menceritakan bagaimana engkau dapat menduga bahwa Bong Sek Toan itu mempunyai hubungan dengan nama Toat Beng Giam-Ong. Aku pernah mendengar dari para pamanku bahwa Toat-beng Giam-Ong adalah seorang datuk yang dahulu menjadi Kok-su Kerajaan Toba...“
"Dari ibuku aku mengenal ilmu silat Lo-han-kun dan orang she Bong itu ketika melawanmu menggunakan ilmu pedang Lo-hai kiam-hoat. Maka aku dapat menduga demikian...“
“Dan dugaanmu itu ternyata tepat. Buktinya, ketika dia dikenal sebagai orang yang ada hubungannya dengan bekas Kok-su Kerajaan Toba itu, dia terus melarikan diri...“
“Ssssttt, Sian-te. Ada suara rebut-ribut dari dalam hutan itu...?“ Han Sin menunjuk ke arah kiri darimana terdengar suara pertempuran.
Cu Sian juga mendengar itu dan cepat dia meloncat dan berlari memasuki hutan, di ikuti oleh Han Sin. Tak lama mereka berlari dan mereka melihat ada dua kelompok orang yang berkelahi. Yang sekelompok adalah orang-orang Mongol dan yang kedua adalah orang-orang yang melihat pakaiannya tentu orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, mungkin perampok. Orang-orang Mongol itu berlompatan turun dari kuda mereka dan terjadilah pertempuran yang hebat.
Han Sin melihat seorang laki-laki tinggi besar memanggul tubuh dua orang wanita muda. “Sian-te, gadis-gadis itu di culik...!”
Cu Sian menengok dan ketika dia melihat seorang laki-laki tinggi besar melarikan dua orang gadis yang di panggulnya, dia lalu berkata. “Sin-ko, biar aku menolong mereka...!“ Dan diapun sudah berlari cepat melakukan pengejaran terhadap pria tinggi besar yang melarikan dua orang gadis mongol itu.
Han Sin membiarkan saja Cu Sian yang melakukan pengejaran karena dia yakin bahwa sahabatnya itu tentu akan mampu menolong dua orang gadis itu. Dia sendiri lalu menghampiri tempat pertempuran dan memperhatikan. Tidak lama dia meragu harus membantu siapa karena dia segera mendengar seruan orang-orang kasar itu.
“Bunuh dan rampas kuda mereka...!”
Dari teriakan-teriakan ini tahulah dia bahwa orang-orang kasar itu tentu segerombolan perampok yang menyerang segerombolan orang mongol ini. Dan dua orang gadis tadi pun gadis mongol. Dia tidak ragu lagi harus membantu siapa.
“Perampok jahat...!“ serunya dan dia pun sudah terjun ke dalam gelanggang pertempuran itu. Walaupun Han Sin hanya bertangan kosong, namun setiap orang perampok yang menyerangnya, tentu senjata mereka terpental dan orangnya terjengkang oleh tamparan tangan mau pun tendangan kaki Han Sin.
Masuknya Han Sin yang membantu orang-orang mongol itu membuat gerombolan perampok menjadi panik. Sebentar saja Han Sin telah merobohkan tujuh orang perampok. Walaupun dia tidak melukai berat para perampok itu dan mereka dapat bangkit kembali namun mereka telah jerih dan larilah mereka cerai berai di kejar oleh orang-orang mongol.
Melihat bahwa para perampok telah melarikan diri, Han Sin lalu berkelebat cepat melakukan pengejaran kearah larinya perampok yang menculik dua orang gadis dan sedang di kejar oleh Cu Sian. Dia khawatir kalau-kalau Cu Sian terjebak atau menghadapi ancaman bahaya.
Sementara itu, sebentar saja Cu Sian sudah berhasil menyusul kepala perampok yang melarikan dua orang gadis Mongol. Loana dan Hailun yang tertotok tidak mampu bergerak, t lidak dapat meronta, akan tetapi mereka berseru marah.
“Lepaskan aku...!“ seru Loana
“Lepaskan kami, kau anjing bedebah busuk...!“ Hailun memaki.
Akan tetapi kepala perampok itu hanya tertawa-tawa, seolah seruan marah dan makian kedua gadis itu terdengar nyanyian merdu bagi telinganya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang pemuda tampan telah berdiri menghadang di depan kepala perampok itu. Pemuda itu adalah Cu Sian. Dia membawa sepotong tongkat kayu dari ranting pohon dan menudingkan tongkat itu ke arah muka si kepala perampok.
“He, monyet muka hitam! Berani engkau menculik dua orang gadis ini...? Hayo engkau bebaskan mereka kalau tidak ingin ku tusuk hidungmu yang besar dan jelek itu sampai hancur dengan tongkat ini...!” Dengan sikap mengejek Cu Sian menudingkan tongkatnya ke arah hidung kepala perampok itu.
Kepala perampok itu adalah orang yang terbiasa di taati oleh anak buahnya dan selama ini belum pernah ada orang berani menentang kehendaknya. Maka, kini melihat seorang pemuda remaja berani memaki dan menghinanya, tentu saja dia menjadi marah bukan main. Di turunkannya dua orang gadis itu ke bawah sebatang pohon dan dia meloncat dengan sigapnya ke depan Cu Sian sambil membelalakan matanya, sikapnya penuh ancaman. Sepasang mata kepala perampok itu terbuka sedemikian lebarnya seolah-olah dia hendak menelan pemuda remaja yang berani menentangnya itu dengan matanya.
“Hemmm…!“ Ia menggeram seperti seekor biruang marah. “Tikus kecil, engkau sudah bosan hidup...!"
Akan tetapi Cu Sian malah tertawa. “Ha-ha-ha, monyet muka hitam. Aku tidak bosan hidup. Aku akan hidup seribu tahun lagi untuk melaksanakan tugas hidupku, yaitu membasmi monyet-monyet jahat seperti engkau inilah...!”
Pada saat itu, han Sin tiba di tempat itu. “Sian-te, berhati-hatilah...“ katanya.
Cu Sian menoleh dan tersenyum melihat Han Sin sudah menyusul ke situ. “Ahhh, jangan khawatir, Sin-ko. Kalau hanya monyet hitam seperti ini, biar ada selusin pun aku tidak akan kalah...!”
Mendengar ucapan pemuda remaja itu, kepala perampok tadi menjadi semakin marah. Apalagi telah muncul seorang pemuda lain. Dia merasa terganggu sekali dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerkam kepada Cu Sian seperti seekor harimau menerkam seekor domba, Namun Cu Sian mengelak cepat dan terkaman itupun mengenai tempat kosong. Dia menjadi semakin marah dan melakukan penyerangan secara bertubi-tubi, akan tetapi semua serangan dapat di elakkan dengan mudah oleh Cu Sian.
Melihat bahwa kepala perampok itu hanya meiliki tenaga besar saja akan tetapi gerakannya terlalu lamban bagi Cu Sian. Han Sin tidak merasa khawatir lagi dan dia segera menghampiri dua orang gadis Mongol yang masih rebah tak mampu bergerak. Dia menggerakkan tangan dengan cepat sehingga tidak nampak oleh dua orang gadis itu, akan tetapi dia telah menotok mereka dan tiba-t iba saja Loana dan Hailun dapat menggerakkan kaki tangan mereka.
Loana dan hailun segera bangkit berdiri. Kedua orang gadis itu memandang kearah Cu Sian yang sedang bertanding melawan kepala perampok itu dan keduanya nampak gelisah karena kapala perampok itu menyerang bertubi-tubi sambil mengeluarkan suara geraman seperti seekor binatang buas. Dia nampak buah dan menyeramkan sekali.
“Harap nona berdua tidak khawatir, adikku Cu Sian tidak akan kalah melawan kepala perampok itu...“ kata Han Sin menenangkan mereka. Kedua orang gadis itu menoleh dah mengetahui bahwa pemuda inipun bukan orang jahat melainkan kakak dari pemuda yang telah menolong mereka, mereka lalu mendekati seolah hendak minta perlindungan.
Loana berkata kepada Han Sin dengan suara memohon, “Sobat yang baik, kenapa engkau tidak cepat membantu adikmu menghadapi orang jahat itu...?”
Han Sin memandangi kedua orang gadis itu sejak tadi dan dia merasa kagum sekali. Loana memiliki wajah yang bulat telur, cantik manis sekali. Sepasang matanya seperti mata rajawali, demikian tajam namun lembut dan ketika bicara timbul lesung pipi di sebelah kiri. Sikapnya halus dan ketika bertanya kepadanya, suaranya merdu dan lembut dan ketika bicara timbul lesung pipi di sebelah kiri. Sikapnya halus dan ketika bertanya kepadanya, suaranya merdu dan lembut. Gadis kedua yang lebih muda, memiliki bentuk wajah yang bulat, hidungnya mancung dan mulutnya merupakan daya tarik paling kuat. Mulut itu manis menggairahkan.
“Jangan kalian khawatir, adikku tidak akan kalah dan seorang laki-laki sejati tidak akan bersikap curang melakukan pengeroyokkan...“ jawab Han Sin.
Dan mendengar jawaban ini Loana menjadi kagum. Jaw aban itu menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan seorang pendekar yang gagah perkasa. Kalau adiknya saja sudah demikian gagah. kakaknya ini tentu lebih hebat pula pikirnya. Akan tetapi, melihat Han Sin dan Hailun memandang ke arah perkelahian itu penuh perhatian, Loana lalu memandang pula.
Kepala perampok itu menjadi semakin beringas ketika beberapa kali tubrukannya dan serangannya hanya mengenai tempat kosong. Dia mengerahkan tenaganya dan menerjang kembali dengan kedua lengan di buka seperti seekor beruang menyerang calon mangsanya sambil mengeluarkan teriakan keras.
“Haiiittttt…!“ Kedua tangan itu membuat gerakan memeluk. Cu Sian cepat menghindarkan diri dan langkah ke samping belakang, lalu kakinya mencuat dengan tendangan yang cepat seperti kilat menyambar.
“Dukkk… aaggghh…! Kaki bersepatu itu kecil saja akan tetapi karena sambarannya cepat dan mengenai lambung, raksasa muka hitam itu terjengkang dan mengaduh. Ketika dia merangkak bangun, dia memegangi perutnya yang seketika terasa mulas. Kini kemarahannya memuncak dan dia tidak lagi berani memandang rendah pemuda remaja itu. Tangannya meraih ke punggung dan dia sudah mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.
Melihat ini, Loana dan Hailun menjadi ngeri dan khawatir sekali, apalagi melihat kepala perampok itu tanpa peringatan lagi sudah mengayun goloknya menyerang. Golok menyambar ke arah leher Cu Sian. Loana sudah memejamkan matanya dan Hailun mengepal tinjunya. Akan tetapi dengan cepat dan ringan sekali tubuh Cu Sian sudah mengelak ke belakang dan golok itu membacok angin.
“Curang! Pengecut! Biar aku membantunya...!“ terdengar Hailun berteriak dan gadis mongol yang licah ini sudah mencabut sebatang pisau belati bengkok dari balik ikat pinggangnya. Agaknya ia akan nekat maju mengeroyok kepala perampok itu, akan tetapi Han Sin cepat mencegahnya.
“Jangan, nona. Adikku tidak akan kalah. Kalau engkau membantunya, engkau malah akan membikin dia repot melindungimu. Lihatlah, dia tidak akan kalah...“
“Tapi dia di serang dengan senjata oleh pengecut curang itu...!“ Hailun membantah dan masih hendak nekat menyerbu.
“Hailun, sobat ini benar. Jangan mencampuri, engkau akan terancam bahaya. Dia tidak akan kalah. Lihatlah...!”
Hailun memandang dan iapun bernapas lega, Kiranya Cu Sian sudah memegang sebatang tongkat yang tadi dia tancapkan di atas tanah dan kini dengan tongkatnya itu dia melawan kepala perampok yang memegang golok.
“Ha-ha-ha, monyet hitam. Golokmu penyembelih ayam itu tidak menakutkan aku...!” Cu Sian mengejek dan begitu dia memutar tongkatnya, lawan yang tinggi besar itu baginya demikian aneh, tongkat seolah berubah menjadi belasan banyaknya, menyerang dari segenap penjuru.
Dia mencoba untuk melindungi tubuhnya dengan putaran goloknya, namun tetap saja tongkat itu dapat menyelinap di antara gulungan sinar goloknya dan dua kali tubuhnya berkenalan dengan tongkat itu. Pertama kali, kepalanya di ketuk sedemikian kerasnya sampai timbul benjolan sebesar telur ayam di dahinya, dan kedua kali, dadanya tertotok ujung tongkat yang membuat dia terjengkang dan dadanya terasa sesak bernapas...
“Memang demikianlah maksud saya, kong-cu. Menurut ibu, Gubernur Li dahulu juga teman seperjuangan ayah dan karena dia bertugas di sini, sangat boleh jadi ayahmu itu akan dapat memberi keterangan yang lebih jelas...“
“Memang benar perkiraanmu itu, saudara Cian. Marilah kalian ikut denganku menghadap ayah...“
Kembali dua orang muda itu mengikuti Li Si Bin memasuki gedung besar itu dan akhirnya mereka memasuki sebuah ruangan yang penuh kitab, agaknya ruangan baca dan Gubernur Li berada di ruangan itu. Han Sin memandang penuh perhatian. Gubernur itu seorang laki-laki yang berusia lima puluh tahun berwajah tenang dan penyabar, berbeda dengan wajah puteranya yang penuh semangat.
“Ayah, coba ayah terka siapa yang ku bawa menghadap ayah ini...!“ kata Li Si Bin.
Gubernur Li memandang kepada Han Sin dan Cu Sian, alisnya berkerut dan dia menggeleng kepalanya.
“Ayah, saudara ini adalah Cian Han Sin, putera dari mendiang Panglima Besar Cian Kauw Cu...!”
Sepasang alis berkerut itu terangkat, sepasang mata itu berseri. Han Sin yang diperkenalkan cepat memberi hormat, di turut pula oleh Cu Sian.
“Ah, begitukah?” kata Gubernur itu sambil mengamati Han Sin dari kepala sampai ke kaki.
Cu Sian yang tidak diperkenalkan merasa dikesampingkan, segera memperkenalkan dirinya sendiri. “Dan saya bernama Cu Sian, sahabat dan pengawal dari Kakak Cian Han Sin...“
Gubernur itu memandang Cu Sian sejenak dengan heran, lalu menggerakkan tangan mempersilahkan mereka duduk. “Aih, betapa cepatnya waktu berlalu. Bagaimana kabarnya dengan keadaan ibumu yang gagah perkasa itu, Han Sin...?”
“Terima kasih, tai-jin, keadaan ibu saya baik-baik saja, “jawab Han Sin dengan sikap hormat. “Dan mohon tai-jin suka memaafkan kalau kunjungan saya ini mengganggu kesibukan tai-jin...“
“Ah, tidak mengapa. Apakah keperluanmu datang menemuiku? Apa yang dapat kami Bantu untuk putera sahabat baik kami, Cian-ciangkun...?”
“Saya mohon keterangan tai-jin tentang kematian mendiang ayah saya ketika memimpin pasukan di daerah Shansi ini. Ibu menyuruh saya untuk menhgadap tai-jin dan mohon keterangan dari tai-jin...“
“Apakah ibumu belum mendapat pelaporan tentang kematian ayahmu...?”
“Sudah tai-jin. Akan tetapi laporan resmi itu hanya mengatakan bahwa ayah gugur dalam pertempuran. Desas-desus di kalangan pasukan mengatakan bahwa kematian ayah tidak wajar, terkena anak panah yang datangnya dari belakang. Ibu mencurigai dan menyuruh saya mohon penjelasan dari tai-jin...“
Gubernur Li menghela napas panjang. “Peristiwa itu sudah terjadi sepuluh tahun yang lalu. Kenapa ibumu baru menyelidikinya sekarang...?”
“Agaknya ibu menanti sampai saya dewasa sehingga dapat melakukan penyelidikannya sekarang...?”
“Akan tetapi peristiwa itu telah terjadi sepuluh tahun yang lalu. Apa yang kau kehendaki… aahhh, aku mengerti, agaknya engkau hendak menyelidiki siapa pembunuh ayahmu dan hendak membalas dendam...?” Tanya Gubernur Li.
“Bukan itu sebenarnya yang penting bagi saudara Han Sin, ayah. Dahulu, mendiang Cian-ciangkun memiliki sebatang pedang pusaka yang di sebut Hek-Liong-kiam. Nah ketika dia gugur, pedang pusaka itu lenyap di curi orang. Saudara Han Sin ingin menyelidiki siapa pencuri pedang itu ayah, agar dia dapat merampasnya kembali,” kata Li Si Bin menjelaskan. “Dan, dengan menyelidiki siapa pembunuh ayahnya, dia mengharapkan akan dapat menemukan kembali pedang pusaka itu...“
Gubernur Li mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. “Hemmm, begitukah...?”
“Benar, tai-jin dan saya mohon petunjuk tai-jin mengingat bahwa mendiang ayah adalah sahabat tai-jin, mungkin tai-jin mengetahui tentang peristiwa itu...“
Gubernur Li mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Pada waktu itu kami juga menerima laporan dari Panglima Lui yang menjadi pembantu mendiang Panglima Cian, yang melaporkan bahwa Panglima Cian telah tewas dalam pertempuran. Kami juga mendengar desas-desus itu bahwa Panglima Cian tewas karena terkena anak panah di punggungnya. Akan tetapi pada waktu itu kami tidak menaruh curiga. Sedangkan tentang pedang pusaka milik Panglima Cian, kami tidak pernah mendengarnya. Sayang sekali, Han Sin, kami tidak dapat banyak membantu dalam hal ini. Apalagi terjadinya sudah sepuluh tahun yang lalu...“
Biarpun hatinya kecewa, Han Sin tidak memperlihatkannya. Dia lalu berpamit dari Gubernur Li. Han Sin dan Cu Sian mengundurkan diri dan di antar oleh Li Si Bin sampai keluar gedung.
”Sayang sekali bahwa ayah tidak dapat memberi keterangan tentang kematian ayahmu dan pedang pusaka itu, saudara Han Sin. Akupun merasa prihatin dan ikut memikirkan hal itu. Dan menurut pendapat ku, ada beberapa macam cara bagimu untuk dapat menyelidiki siapa pembunuh ayahmu itu...“
“Ah, Li kong-cu, saya akan berterima kasih sekali kalau engkau suka memberi petunjuk kepada saya...“ kata Han Sin.
“Tolonglah, Li kong-cu!” Cu Sian juga memohon. “Sin-ko sudah jauh-jauh dari selatan pergi ke sini, kasihan kalau dia tidak mendapatkan petujunk...“
Li Si Bin tersenyum dan memandang Cu Sian dengan kagum. “Aku kagum kepadamu, saudara Cu Sian. Engkau seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali, juga ternyata merupakan seorang sahabat yang setia dan baik. Begini, saudara Han Sin, setelah engkau tiba disini, sebaiknya kalau engkau melakukan penyelidikan di tempat dimana dahulu terjadi pertempuran yang mengorbankan nyawa ayahmu itu. Banyak suku-suku mongol berada di daerah utara itu, akan tetapi pada saat ini, yang menguasai daerah itu adalah suku Yakka. Mereka juga ikut bertempur melawan pasukan pasukan Sui pada waktu itu, siapa tahu dari mereka engkau bias memperoleh keterangan. Sekarang suku Yakka itu bersikap baik dan tidak pernah mengganggu, bahkan terdapat jalur yang menghubungkan para pedagang yang menuju ke sana. Aku tahu bahwa para pimpinan suku Yakka yang tua-tua semua mengenal nama mendiang ayahmu dan mengangguminya..."
"Akan saya perhatikan nasihat Li kong-cu ini. Apakah masih terdapat petunjuk lain...?”
“Masih ada dua cara, sepanjang yang ku dengar, mendiang Panglima Cian kauw cu adalah seorang yang memperoleh kedudukan tertinggi dalam pasukan, menjadi sahabat mendiang Kaisar Yang Chien dan merupakan tangan kanan beliau. Hal ini mungkin saja menimbulkan iri hati kepada para tokoh perjuangan lainnnya sehingga sangat boleh jadi ayahmu itu terbunuh oleh usaha perebutan kedudukan. Maka engkau dapat melakukan penyelidikan di antara para panglima dan perwira kerajaan. Dan Kenyataan kedua adalah bahwa sewaktu muda, menurut yang ku dengar, ayahmu adalah seorang pendekar kang-ouw. Dengan sendirinya ayahmu tentu mempunyai banyak musuh dari kalangan sesat, maka dapat juga engkau melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. nah, hanya itulah yang dapat ku Bantu...“
Han Sin merasa kagum dan senang sekali. Sungguh seorang pemuda yang bijaksana sekali Li Si Bin ini, memiliki pandangan yang tajam dan tepat. Dia cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat. “Sungguh tepat semua nasihat kong-cu. Saya tentu akan melaksanakan semua petunjuk itu!”
“Ahh, Saudara Han Sin terlalu memuji. Aku akan ikut merasa gembira kalau engkau dapat menemukan siapa pembunuh ayahmu yang curang itu dan mendapat kan kembali pedang pusaka ayahmu...“
“Li Kong-cu sungguh seorang yang amat cerdas dan bijaksana. Sekarang aku baru mengerti mengapa rakyat Shansi menyangjung-nyanjungmu...“ kata Cu Sian.
Dua orang pemuda itu lalu berpamit dan mereka meninggalkan kota Taigoan menuju ke utara. Set elah melihat sepak terjang Cu Sian ketika bertanding melawan pemuda bernama Bong Sek Toan itu, Han Sin lebih percaya bahwa Cu Sian memiliki kepandaian yang cukup untuk menjaga dan melindungi diri. Dia tidak merasa khawatir lagi dan mereka melakukan perjalanan ke utara dengan gembira. Tidak mungkin bagi Han Sin untuk tidak terbawa gembira melakukan perjalanan bersama Cu Sian yang selalu lincah dan riang itu.
********************
Jalan yang di lalui para pedagang yang membawa barang dagangan dari dan ke daerah utara ada dua jalur. Kalau para pedagang itu membawa dagangan ke utara, mereka melalui jalan darat yang melalui bukit-bukit. Akan tetapi kalau mereka membawa dagangan dari utara, mereka lebih suka mempergunakan jalan air Sungai Huang-ho yang mengalir ke selatan.
Baik jalan melalui darat maupun melalui sungai, sama saja resikonya. Kadang muncul perampok atau bajak sungai yang mengganggu para pedagang itu. Maka, biasanya rombongan pedagang itu membayar piauw-su (pengawal barang) untuk melindungi mereka dari gangguan penjahat. Tentu saja terdapat semacam permusuhan di antara para piauw-su dan para penjahat itu. Akan tetapi akhir-akhir ini mereka menempuh jalan damai. Para gerombolan itu tidak lagi mengganggu rombongan para pedagang asal saja mereka di beri imbalan sebagai “pajak jalanan“.
Para piauw-su tentu saja lebih suka kehilangan sebagian dari penghasilan mereka untuk diberikan kepada penjahat -penjahat itu daripada mereka harus bertempur. Demikian pula para penjahat itu, lebih baik menerima imbalan dari mereka yang lewat. Pertempuran hanya akan merugikan kedua pihak, ada yang luka-luka, bahkan tidak jarang ada kematian di antara mereka.
Pada suatu pagi yang cerah serombongan orang menunggang kuda melewati jalan yang sunyi itu. Mereka terdiri dari belasan orang yang dari pakaiannya menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang suku Yakka Mongol. rata-rata bertubuh ramping kokoh menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kuat yang biasa bergerak atau bekerja keras.
Yang menunggang kuda terdepan adalah dua orang gadis berusia tujuh belas dan dua puluh tahun. Mereka berpakaian indah, baju dan topi dari bulu dan wajah mereka cantik sekali. Akan tetapi dilihat dari sikap mereka menunggang kuda, dapat diket ahui bahwa dua orang gadis ini juga sudah biasa menunggang kuda dan bertubuh kuat.
Hal ini tidaklah aneh karena para wanita yakka juga biasa melakukan pekerjaan kasar, rata-rata pandai berburu binatang mempergunakan anak panah, tombak maupun pedang bengkok model Turki. Dua orang gadis itu adalah kakak beradik, puteri ketua suku Yakka.
Ayah mereka adalah kepala suku Yakka yang terkenal karena kuat dan pandai memimpin sukunya, bernama Tar-sukai. Adapun dua orang puterinya itu, yang pertama bernama Loana, berusia dua puluh tahun, sedangkan yang kedua bernama Hailun, berusia tujuh belas tahun.
Suku Yakka menguasai daerah yang luas dan subur. Mereka berpusat di lembah antara sungai Kerulon dan Sungai Onon yang amat subur. Bukit-bukit di sini di tumbuhi hutan yang lebat, penuh binatang perburuan. Air yang berasal dari salju di gunung-gunung berlimpah, tak pernah kering. Daerah ini selalu menjadi perebutan antara suku-suku di utara, akan tetapi akhirnya dikuasai oleh suku Yakka yang terkenal gagah berani dan mempunyai pasukan yang cukup besar jumlahnya. Bahkan suku Yakka ini mengembangkan kekuasaan mereka sampai ke selatan, ke perbatasan propinsi Shan-si.
Mula-mula memang terjadi pertempuran besar-besaran diantara suku Yakka dan pasukan Sui, akan tetapi akhir-akhir ini, setelah Gubernur Li mengambil seorang wanita Turki sebagai istrinya, keadaan berubah. Gubernur Li mengambil sikap bersahabat dengan semua suku bangsa Turki dan yakka. Bahkan dibukalah hubungan dagang dengan suku-suku bangsa di utara itu.
Pada suatu hari, Tar sukai, kepala suku Yakka, berhasil mengumpulkan banyak bulu biruang yang di dapatkan oleh para pemburu dan juga banyak batu permata yang khas. Maka, diapun memilih bulu terbaik dan batu-batu yang langka, lalu bermaksud mengirim barang berharga itu sebagai hadiah kepada Gubernur Li. Mendengar bahwa ada rombongan hendak pergi ke selatan, dua orang puterinya merengek menyatakan ingin pergi bersama rombongan.
Tar sukai amat menyayang kedua orang puterinya ini, maka diapun tidak tega menolak. Demikianlah, kedua orang puterinya itu bahkan ditugaskan mewakilinya mengahturkan bingkisan itu kepada Gubernur Li. Mereka dikawal oleh tujuh belas orang perwira jagoan dari Suku Yakka, melakukan perjalanan ke selatan yang cukup jauh dan akan memakan waktu beberapa pekan dengan menunggang kuda.
Bukan main gembiranya hati Loana dan Hailun melakukan perjalanan itu. Bagi mereka, perjalanan itu bukan sekedar membawa tugas mengantar barang bingkisan, melainkan terutama sekali merupakan pesiar yang menggembirakan. Bahkan kalau mereka melewati sebuah hutan yang banyak binatangnya. Mereka berdua melakukan perburuan. Kalau melewati telaga, dua orang kakak beradik itu memerintahkan para pengawalnya untuk berhenti dan mereka lalu berpesiar di telaga.
Tujuh belas orang jagoan pengawal itu selalu tunduk dan memenuhi kehendak Loana dan Hailun. mereka semua maklum betapa sayangnya pemimpin mereka kepada dua orang puterinya ini. Apalagi yang memimpin para pengawal itu adalah Temugu, adik kandung Tarsukai sendiri, atau paman dari kedua orang gadis itu. Temugu juga amat sayang dan memanjakan kedua orang keponakannya itu.
Loana berwatak lembut dan agak pendiam, berbeda dengan adiknya, Hailun yang wataknya riang dan lincah jenaka. Banyak sekali orang muda bangsa Mongol yang tergila-gila kepada dua orang gadis ini dan banyak putera kepala suku lain yang mengajukan pinangan, akan tetapi tidak satupun pinangan di terima oleh Tarsukai. Bukan berarti bahwa Tarsukai tidak ingin kedua puterinya memperoleh jodoh, akan tetapi semua pinangan di tolak keras oleh kedua orang puterinya itu.
Karena ini pula maka ketika kedua orang puterinya hendak mewakilinya menyerahkan hadiah kepada Gubernur Li di Shansi, dia mengijinkan dengan harapan mudah-mudahan kedua orang puterinya itu akan menemukan jodoh yang seimbang dan baik di Shansi. Gubernur Li di Shansi mempunyai banyak putera dan di sana terdapat pula panglima-panglima muda yang gagah perkasa. Siapa tahu Loana dan Hailun akan bertemu jodoh mereka.
Pada pagi hari yang cerah itu, rombongan orang suku Yakka Mongol itu tibalah di daerah pegunungan yang menjadi perbatasan dengan daerah Shansi. Dua orang gadis yang menunggang kuda paling depan itu tiba-tiba melihat sekelompok kijang melarikan diri memasuki hutan. Bukan main gembira hati mereka dan dengan anak panah siap di tangan mereka membalapkan kuda mereka mengejar ke dalam hutan.
Melihat ini, Temugu berteriak. “Heiii, Loana, Hailun, tunggu! Kembalilah...!“
Dia sudah banyak mendengar tentang gerombolan-gerombolan perampok yang bermarkas di dalam hutan lebat. Akan tetapi dua orang gadis yang sedang gembira itu terus membalapkan kuda mereka.
“Heiii, tunggu kami…!“ Temugu berteriak dan memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melakukan pengejaran ke dalam hutan.
Tujuh belas orang itu lalu melarikan kuda mereka memasuki hutan lebat itu. Akan tetapi dua orang gadis itu sudah jauh meninggalkan mereka sehingga mereka terpaksa harus mencari-cari jejak kuda dua orang gadis itu.
Sambil membalapkan kuda mereka, Loana dan Hailun melepaskan anak panah berulang kali. Mereka tidak mampu mendekati kijang-kijang itu yang larinya pesat bukan main.
“Panahku mengena...!“ teriak Hailun.
“Panahku juga!“ kata Loana.
Akan tetapi karena jaraknya jauh anak panah mereka tidak dapat merobohkan kijang-kijang yang terlalu cepat larinya itu. Mereka mengejar secepatnya sehingga meninggalkan rombongan pengawal mereka.
Selagi kedua orang gadis Mongol itu membalapkan kuda, tiba-tiba kuda mereka meringkik kaget dan ketakutan ketika dari balik pohon dan semak berloncatan belasan orang dari sikapnya mereka yang kasar dapat di duga bahwa mereka adalah orang-orang jahat. Lima belas orang itu di pimpin oleh seorang yang usianya sekitar empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan wajah penuh brewok dan kulit mukanya hitam.
Melihat dua orang gadis yang cantik manis itu, si kepala perampok tertawa bergelak. “Biar aku sendiri yang menangkap mereka, kalian hadang pasukan berkuda itu, bunuh mereka dan rampas kuda dan barang-barang mereka...!“ teriaknya dan bagaikan seekor orang utan besar, dia sudah meloncat dan menerkam kearah Loana yang duduk di atas kuda berusaha menenangkan kudanya.
Terkaman itu demikian hebat sehingga tubuh Loana terseret turun dari atas kuda. Sebelum ia sempat bangkit berdiri, tubuhnya sudah menjadi lemas dan lumpuh karena di totok oleh kepala perampok itu. melihat ini Hailun menjadi marah dan ia sempat melepaskan anak panah kearah kepala perampok itu. Akan tetapi kepala perampok itu ternyata lihai sekali. Anak panah itu dapat di tangkisnya dengan tangan sehingga melesat jauh dan sebelum Hailun dapat memanah lagi, kakinya telah di tangkap dan di tarik turun dari atas kuda.
Sebagai seorang gadis Mongol yang sejak kecil mempelajari ilmu bela diri, ia melawan. akan tetapi kepala perampok itu jauh lebih kuat dan lebih cepat. Dia lihai sekali dan sebelum Hailun dapat berbuat banyak, iapun sudah roboh terkulai oleh totokan kepala perampok brewok itu.
“Ha-ha-ha-ha! hari ini beruntung sekali aku, mendapatkan dua orang nona yang cantik jelita! Ha-ha-ha...“ sambil tertawa-tawa dia lalu memanggul tubuh kedua orang gadis itu dan di kedua pundaknya dan membawa mereka menyusup hutan belukar menuju ke kelompok bangunan dari kayu dan bambu yang menjadi sarang gerombolan perampok itu.
Sementara itu, secara kebetulan Han Sin dan Cu Sian tiba pula di jalan yang melalui hutan itu dalam perjalanan mereka ke utara. Mereka berjalan santai sambil bercakap-cakap.
“Eh, Sin-ko. Engkau belum menceritakan bagaimana engkau dapat menduga bahwa Bong Sek Toan itu mempunyai hubungan dengan nama Toat Beng Giam-Ong. Aku pernah mendengar dari para pamanku bahwa Toat-beng Giam-Ong adalah seorang datuk yang dahulu menjadi Kok-su Kerajaan Toba...“
"Dari ibuku aku mengenal ilmu silat Lo-han-kun dan orang she Bong itu ketika melawanmu menggunakan ilmu pedang Lo-hai kiam-hoat. Maka aku dapat menduga demikian...“
“Dan dugaanmu itu ternyata tepat. Buktinya, ketika dia dikenal sebagai orang yang ada hubungannya dengan bekas Kok-su Kerajaan Toba itu, dia terus melarikan diri...“
“Ssssttt, Sian-te. Ada suara rebut-ribut dari dalam hutan itu...?“ Han Sin menunjuk ke arah kiri darimana terdengar suara pertempuran.
Cu Sian juga mendengar itu dan cepat dia meloncat dan berlari memasuki hutan, di ikuti oleh Han Sin. Tak lama mereka berlari dan mereka melihat ada dua kelompok orang yang berkelahi. Yang sekelompok adalah orang-orang Mongol dan yang kedua adalah orang-orang yang melihat pakaiannya tentu orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, mungkin perampok. Orang-orang Mongol itu berlompatan turun dari kuda mereka dan terjadilah pertempuran yang hebat.
Han Sin melihat seorang laki-laki tinggi besar memanggul tubuh dua orang wanita muda. “Sian-te, gadis-gadis itu di culik...!”
Cu Sian menengok dan ketika dia melihat seorang laki-laki tinggi besar melarikan dua orang gadis yang di panggulnya, dia lalu berkata. “Sin-ko, biar aku menolong mereka...!“ Dan diapun sudah berlari cepat melakukan pengejaran terhadap pria tinggi besar yang melarikan dua orang gadis mongol itu.
Han Sin membiarkan saja Cu Sian yang melakukan pengejaran karena dia yakin bahwa sahabatnya itu tentu akan mampu menolong dua orang gadis itu. Dia sendiri lalu menghampiri tempat pertempuran dan memperhatikan. Tidak lama dia meragu harus membantu siapa karena dia segera mendengar seruan orang-orang kasar itu.
“Bunuh dan rampas kuda mereka...!”
Dari teriakan-teriakan ini tahulah dia bahwa orang-orang kasar itu tentu segerombolan perampok yang menyerang segerombolan orang mongol ini. Dan dua orang gadis tadi pun gadis mongol. Dia tidak ragu lagi harus membantu siapa.
“Perampok jahat...!“ serunya dan dia pun sudah terjun ke dalam gelanggang pertempuran itu. Walaupun Han Sin hanya bertangan kosong, namun setiap orang perampok yang menyerangnya, tentu senjata mereka terpental dan orangnya terjengkang oleh tamparan tangan mau pun tendangan kaki Han Sin.
Masuknya Han Sin yang membantu orang-orang mongol itu membuat gerombolan perampok menjadi panik. Sebentar saja Han Sin telah merobohkan tujuh orang perampok. Walaupun dia tidak melukai berat para perampok itu dan mereka dapat bangkit kembali namun mereka telah jerih dan larilah mereka cerai berai di kejar oleh orang-orang mongol.
Melihat bahwa para perampok telah melarikan diri, Han Sin lalu berkelebat cepat melakukan pengejaran kearah larinya perampok yang menculik dua orang gadis dan sedang di kejar oleh Cu Sian. Dia khawatir kalau-kalau Cu Sian terjebak atau menghadapi ancaman bahaya.
Sementara itu, sebentar saja Cu Sian sudah berhasil menyusul kepala perampok yang melarikan dua orang gadis Mongol. Loana dan Hailun yang tertotok tidak mampu bergerak, t lidak dapat meronta, akan tetapi mereka berseru marah.
“Lepaskan aku...!“ seru Loana
“Lepaskan kami, kau anjing bedebah busuk...!“ Hailun memaki.
Akan tetapi kepala perampok itu hanya tertawa-tawa, seolah seruan marah dan makian kedua gadis itu terdengar nyanyian merdu bagi telinganya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang pemuda tampan telah berdiri menghadang di depan kepala perampok itu. Pemuda itu adalah Cu Sian. Dia membawa sepotong tongkat kayu dari ranting pohon dan menudingkan tongkat itu ke arah muka si kepala perampok.
“He, monyet muka hitam! Berani engkau menculik dua orang gadis ini...? Hayo engkau bebaskan mereka kalau tidak ingin ku tusuk hidungmu yang besar dan jelek itu sampai hancur dengan tongkat ini...!” Dengan sikap mengejek Cu Sian menudingkan tongkatnya ke arah hidung kepala perampok itu.
Kepala perampok itu adalah orang yang terbiasa di taati oleh anak buahnya dan selama ini belum pernah ada orang berani menentang kehendaknya. Maka, kini melihat seorang pemuda remaja berani memaki dan menghinanya, tentu saja dia menjadi marah bukan main. Di turunkannya dua orang gadis itu ke bawah sebatang pohon dan dia meloncat dengan sigapnya ke depan Cu Sian sambil membelalakan matanya, sikapnya penuh ancaman. Sepasang mata kepala perampok itu terbuka sedemikian lebarnya seolah-olah dia hendak menelan pemuda remaja yang berani menentangnya itu dengan matanya.
“Hemmm…!“ Ia menggeram seperti seekor biruang marah. “Tikus kecil, engkau sudah bosan hidup...!"
Akan tetapi Cu Sian malah tertawa. “Ha-ha-ha, monyet muka hitam. Aku tidak bosan hidup. Aku akan hidup seribu tahun lagi untuk melaksanakan tugas hidupku, yaitu membasmi monyet-monyet jahat seperti engkau inilah...!”
Pada saat itu, han Sin tiba di tempat itu. “Sian-te, berhati-hatilah...“ katanya.
Cu Sian menoleh dan tersenyum melihat Han Sin sudah menyusul ke situ. “Ahhh, jangan khawatir, Sin-ko. Kalau hanya monyet hitam seperti ini, biar ada selusin pun aku tidak akan kalah...!”
Mendengar ucapan pemuda remaja itu, kepala perampok tadi menjadi semakin marah. Apalagi telah muncul seorang pemuda lain. Dia merasa terganggu sekali dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerkam kepada Cu Sian seperti seekor harimau menerkam seekor domba, Namun Cu Sian mengelak cepat dan terkaman itupun mengenai tempat kosong. Dia menjadi semakin marah dan melakukan penyerangan secara bertubi-tubi, akan tetapi semua serangan dapat di elakkan dengan mudah oleh Cu Sian.
Melihat bahwa kepala perampok itu hanya meiliki tenaga besar saja akan tetapi gerakannya terlalu lamban bagi Cu Sian. Han Sin tidak merasa khawatir lagi dan dia segera menghampiri dua orang gadis Mongol yang masih rebah tak mampu bergerak. Dia menggerakkan tangan dengan cepat sehingga tidak nampak oleh dua orang gadis itu, akan tetapi dia telah menotok mereka dan tiba-t iba saja Loana dan Hailun dapat menggerakkan kaki tangan mereka.
Loana dan hailun segera bangkit berdiri. Kedua orang gadis itu memandang kearah Cu Sian yang sedang bertanding melawan kepala perampok itu dan keduanya nampak gelisah karena kapala perampok itu menyerang bertubi-tubi sambil mengeluarkan suara geraman seperti seekor binatang buas. Dia nampak buah dan menyeramkan sekali.
“Harap nona berdua tidak khawatir, adikku Cu Sian tidak akan kalah melawan kepala perampok itu...“ kata Han Sin menenangkan mereka. Kedua orang gadis itu menoleh dah mengetahui bahwa pemuda inipun bukan orang jahat melainkan kakak dari pemuda yang telah menolong mereka, mereka lalu mendekati seolah hendak minta perlindungan.
Loana berkata kepada Han Sin dengan suara memohon, “Sobat yang baik, kenapa engkau tidak cepat membantu adikmu menghadapi orang jahat itu...?”
Han Sin memandangi kedua orang gadis itu sejak tadi dan dia merasa kagum sekali. Loana memiliki wajah yang bulat telur, cantik manis sekali. Sepasang matanya seperti mata rajawali, demikian tajam namun lembut dan ketika bicara timbul lesung pipi di sebelah kiri. Sikapnya halus dan ketika bertanya kepadanya, suaranya merdu dan lembut dan ketika bicara timbul lesung pipi di sebelah kiri. Sikapnya halus dan ketika bertanya kepadanya, suaranya merdu dan lembut. Gadis kedua yang lebih muda, memiliki bentuk wajah yang bulat, hidungnya mancung dan mulutnya merupakan daya tarik paling kuat. Mulut itu manis menggairahkan.
“Jangan kalian khawatir, adikku tidak akan kalah dan seorang laki-laki sejati tidak akan bersikap curang melakukan pengeroyokkan...“ jawab Han Sin.
Dan mendengar jawaban ini Loana menjadi kagum. Jaw aban itu menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan seorang pendekar yang gagah perkasa. Kalau adiknya saja sudah demikian gagah. kakaknya ini tentu lebih hebat pula pikirnya. Akan tetapi, melihat Han Sin dan Hailun memandang ke arah perkelahian itu penuh perhatian, Loana lalu memandang pula.
Kepala perampok itu menjadi semakin beringas ketika beberapa kali tubrukannya dan serangannya hanya mengenai tempat kosong. Dia mengerahkan tenaganya dan menerjang kembali dengan kedua lengan di buka seperti seekor beruang menyerang calon mangsanya sambil mengeluarkan teriakan keras.
“Haiiittttt…!“ Kedua tangan itu membuat gerakan memeluk. Cu Sian cepat menghindarkan diri dan langkah ke samping belakang, lalu kakinya mencuat dengan tendangan yang cepat seperti kilat menyambar.
“Dukkk… aaggghh…! Kaki bersepatu itu kecil saja akan tetapi karena sambarannya cepat dan mengenai lambung, raksasa muka hitam itu terjengkang dan mengaduh. Ketika dia merangkak bangun, dia memegangi perutnya yang seketika terasa mulas. Kini kemarahannya memuncak dan dia tidak lagi berani memandang rendah pemuda remaja itu. Tangannya meraih ke punggung dan dia sudah mencabut sebatang golok besar yang berkilauan saking tajamnya.
Melihat ini, Loana dan Hailun menjadi ngeri dan khawatir sekali, apalagi melihat kepala perampok itu tanpa peringatan lagi sudah mengayun goloknya menyerang. Golok menyambar ke arah leher Cu Sian. Loana sudah memejamkan matanya dan Hailun mengepal tinjunya. Akan tetapi dengan cepat dan ringan sekali tubuh Cu Sian sudah mengelak ke belakang dan golok itu membacok angin.
“Curang! Pengecut! Biar aku membantunya...!“ terdengar Hailun berteriak dan gadis mongol yang licah ini sudah mencabut sebatang pisau belati bengkok dari balik ikat pinggangnya. Agaknya ia akan nekat maju mengeroyok kepala perampok itu, akan tetapi Han Sin cepat mencegahnya.
“Jangan, nona. Adikku tidak akan kalah. Kalau engkau membantunya, engkau malah akan membikin dia repot melindungimu. Lihatlah, dia tidak akan kalah...“
“Tapi dia di serang dengan senjata oleh pengecut curang itu...!“ Hailun membantah dan masih hendak nekat menyerbu.
“Hailun, sobat ini benar. Jangan mencampuri, engkau akan terancam bahaya. Dia tidak akan kalah. Lihatlah...!”
Hailun memandang dan iapun bernapas lega, Kiranya Cu Sian sudah memegang sebatang tongkat yang tadi dia tancapkan di atas tanah dan kini dengan tongkatnya itu dia melawan kepala perampok yang memegang golok.
“Ha-ha-ha, monyet hitam. Golokmu penyembelih ayam itu tidak menakutkan aku...!” Cu Sian mengejek dan begitu dia memutar tongkatnya, lawan yang tinggi besar itu baginya demikian aneh, tongkat seolah berubah menjadi belasan banyaknya, menyerang dari segenap penjuru.
Dia mencoba untuk melindungi tubuhnya dengan putaran goloknya, namun tetap saja tongkat itu dapat menyelinap di antara gulungan sinar goloknya dan dua kali tubuhnya berkenalan dengan tongkat itu. Pertama kali, kepalanya di ketuk sedemikian kerasnya sampai timbul benjolan sebesar telur ayam di dahinya, dan kedua kali, dadanya tertotok ujung tongkat yang membuat dia terjengkang dan dadanya terasa sesak bernapas...