“Cepat, hayo kalian berlari lebih cepat...!” teriak Ma Goat kepada anak buahnya.
Tentu saja para anggota Te-kwi-pai terengah-engah mengejar, karena ilmu berlari cepat Ma Goat tidak mungkin dapat mereka tandingi. Biarpun mereka sudah berlari secepatnya, tetap saja mereka tertinggal jauh sehingga terpaksa Ma Goat menghentikan larinya dan beberapa kali menanti sampai mereka datang dekat.
Mereka telah melakukan pengejaran sampai jauh namun belum juga berhasil menemukan orang yang di cari, yaitu Han Sin. Ma Goat sudah menjadi jengkel sekali dan hampir putus asa ketika tiba-tiba ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih berjalan seorang diri di sebelah depan. ia mengerutkan alisnya dan teringat akan gadis berpakaian serba putih yang telah mengobati dan menyembuhkan Han Sin.
Cepat ia melakukan pengejaran dan setelah wanita baju putih itu tinggal belasan meter di depannya, Ma Goat lalu menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) meloncat tinggi melampaui kepala wanita itu dan turun berjungkir balik di depannya. Ia melihat bahwa benar dugaannya, wanita itu bukan lain adalah Kim Lan, gadis yang telah mengobati Han Sin.
Kim Lan atau lan Lan sendiri tersenyum ketika melihat Ma Goat. Dara berpakaian putih ini memang selalu tenang dan ia tidak terkejut atau heran melihat Ma Goat muncul begitu saja, meloncat turun dari udara. Akan tetapi Ma Goat sudah memandang dengan muka merah dan hati panas. Teringat ia betapa Han Sin menyebut- nyebut nama gadis ini ketika siuman dari pingsannya, mencari 'Lan-moi'.
“Lan-Lan!” bentak Ma Goat. “Hayo katakan dimana engkau menyembunyikan Han Sin!” Ia mengangkat sulingnya dengan sikap penuh ancaman.
Lan-Lan memandang dengan sinar mata heran dan mulut tersenyum sabar. “Ma Goat, apa yang engkau maksudkan dengan pertanyaan itu? Aku tidak menyembunyikan Han Sin atau siapapun. Bukankah ketika itu dia bersamamu...?”
“Katakan dimana dia atau kubunuh engkau!” kembali Ma Goat yang sudah marah karena cemburu itu membentak, sementara itu dua puluh orang anak buah Te-kwi-pai sudah tiba di situ pula dan mengepung Lan Lan.
Gadis itu masih saja bersikap tenang seperti biasa. Ia tidak merasa melakukan kesalahan apapun, maka orang yang merasa dirinya bersih selalu tenang. “Ma Goat, tenangkanlah hatimu. Sejak aku meninggalkan engkau dan Han Sin, aku tidak melihatnya lagi...“
Akan tetapi Ma Goat sudah membenci dara baju putih itu karena cemburu, maka baik Lan Lan mengetahui dimana adanya Han Sin atau tidak, tidak ada bedanya baginya. Lan Lan harus di bunuhnya untuk melampiaskan cemburu dan kebenciannya.
“Mampuslah...!” bentaknya dan sulingnya sudah menyambar bagaikan kilat kearah leher Lan Lan yang putih mulus itu. Serangan ini hebat sekali. Karena kehebatan dan keganasan sulingnya. Ma Goat sampai di juluki Suling Maut! Sulingnya memang ganas sekali dan biasanya jarang ada lawan yang mampu terhindar dari serangan suling mautnya.
Namun ternyata Lan Lan bukan seorang gadis yang lemah, biarpun nampaknya ia lemah lembut. Dengan gerakan indah dan halus sekali ia dapat mengelak dari serangan suling maut itu. Ia menarik tubuh bagian atas ke belakang dan ketika suling itu terus menyambarnya dengan serangan berikutnya, yaitu menotok kearah dadanya, iapun melompat ke samping sejauh dua meter sehingga totokan itupun luput.
“Ma Goat, tahan dulu! Apa kesalahanku kepadamu maka engkau hendak membunuhku? Jelaskan dulu agar andaikata engkau dapat membunuhku, aku dapat mati dengan mata terpejam...“
Ma Goat menudingkan sulingnya dan tanpa malu-malu lagi diapun berkata ketus, “Han Sin lari meninggalkan aku! Ketika siuman dari pingsan, ia menyebut-nyebut namamu, maka tentu engkau hendak merebut dia dari tanganku! Engkau yang menyembunyikannya...!”
Wajah Lan Lan berubah kemerahan. Andaikata benar hatinya tertarik dan merasa suka kepada Han Sin, ia tidak mungkin akan merebut seorang laki-laki dari tangan gagis lain. Dengan suara penuh kesabaran ia pun berkata,
“Ma Goat, aku tidak menyembunyikannya dan juga tidak tahu dia berada dimana. Kalau aku bertemu dengan dia akan kuberitahukan padanya bahwa engkau mencarinya. Akan tetapi dengar nasehat ku. Ma Goat, cinta tidak mungkin dapat dipaksakan. kalau dia tidak mencintaimu, sebaiknya kalau dia pergi karena kalau engkau memaksanya, kelak engkau hanya akan menderita kekecewaan dan kesengsaraan...“
“Persetan dengan nasehatmu! Aku menginginkan dia dan tidak ada seorangpun manusia boleh menghalangiku!” Dan Ma Goat sudah menyerang lagi dengan lebih hebat. Bahkan kini tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka dan hawa panas menyambar kearah tubuh Lan Lan. Itulah pukulan Tian-Ciang (Tangan Halilintar) yang sangat ampuh.
Lan Lan mengenal pukulan ampuh dan iapun mengelak ke samping dan tiba-tiba kakinya mencuat dengan tendangan memutar. Ia harus membalas serangan lawan kalau tidak ingin terdesak. Ma Goat juga dapat menghindarkan diri dari tendangan itu dan terjadilah pertandingan yang seru dan mati-matian karena agaknya Ma Goat berusaha benar untuk membunuh Lan Lan.
Sungguh tidak di sangka-sangka oleh Ma Goat sendiri bahwa dara berpakaian putih yang pandai ilmu pengobatan itu ternyata memiliki kepandaian silat yang tinggi pula! Buktinya Lan Lan mampu menandinginya bahkan sama sekali tidak dapat ia mendesaknya. Hal ini memang tidak mengherankan. Lan Lan adalah murid terkasih dari Thian Ho Hwesio yang berjuluk Siauw Bin Yok Sian (Dewa Obat Muka Tertawa), seorang kakek sakti yang dikenal semua datuk di dunia persilatan sebagai seorang yang pandai ilmu silat dan ilmu pengobatan.
Thian Ho Hwesio amat sayang kepada Lan Lan, maka diapun mewariskan semua ilmu silat dan ilmu pengobatannya kepada gadis ini. Dan Lan Lan sendiri memiliki otak yang cerdik dan juga amat berbakat, maka ia kini menjadi seorang gadis yang lihai sekali, walaupun ia tidak pernah memperlihatkannya karena ia lebih senang mempraktekkan kepandaiannya dalam hal pengobatan untuk menolong orang ketimbang mempraktekkan silatnya untuk berkelahi!
Setelah tiga puluh jurus lebih lewat tanpa dapat mendesak Lan Lan, Ma Goat menjadi marah dan ia berseru kepada anak buah Te-kwi-pai untuk mengeroyok. Majulah mereka semua dan dua puluh orang anak buah itupun menggerakkan senjata mereka mengeroyok Lan Lan.
Gadis ini diam-diam terkejut. Tak di sangkanya bahwa Ma Goat demikian bernafsu untuk membunuhnya sehingga tak malu untuk melakukan pengeroyokan. Ia tahu bahwa semua ini adalah gara-gara cinta gadis liar itu kepada Han Sin. Ia menggerakkan tubuhnya berkelebatan di antara para pengeroyoknya untuk melepaskan diri dari kepungan dan kalau mungkin melarikan diri. Akan tetapi pengeroyokan itu ketat sekali sehingga Lan Lan berada dalam keadaan gawat. Terutama sekali serangan Ma Goat yang selalu mengancam nyawanya.
Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba para pengeroyok manjadi kacau ketika datang seorang yang menerjang mareka dari luar. Beberapa orang roboh oleh terjangan ini dan muncullah seorang pemuda tampan yang mengamuk dengan sepotong tongkat dari ranting pohon itu. Biarpun senjatanya hanya sepotong tongkat kayu, namun pemuda tampan itu hebat sekali gerakannya.
Ketika melihat pemuda tampan ini, Lan Lan merasa gembira sekali. Biarpun pemuda itu kini sudah mengenakan pakaian yang bagus seperti pakaian seorang sastrawan muda yang terbuat dari sutera halus dan mahal, namun ia masih dapat mengenalnya sebagai pemuda yang dulu berpakaian seperti seorang pengemis dan yang bersamanya menolong Han Sin dari tangan keluarga gila!
Melihat betapa Cu Sian, pemuda tampan itu, mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok, Lan Lan khawatir kalau-kalau akan banyak orang dibunuhnya, maka ia lalu bergerak mendekati dan berseru, “Sobat, tidak perlu melayani mereka. Bantulah aku lolos dari kepungan ini!“
Mendengar ucapan ini, Cu Sian menjawab, “Baiklah...!” Dia tidak tahu urusannya yang terjadi antara Lan Lan dan para pengeroyoknya itu, dan diapun melihat betapa lihainya gadis yang memegang suling, yang agaknya menjadi pemimpin para pengeroyok. Dia membantu Lan Lan hanya karena sudah pernah bertemu dan bekerjasama menolong Han Sin. Maka diapun memutar tongkatnya dan membantu Lan Lan untuk lolos dari kepungan dan tak lama kemudian mereka berdua sudah melarikan diri dengan cepat.
Ma Goat marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan memaki-maki para anak buah Te-kwi-pai karena tidak berhasil membunuh Lan Lan. Ia maklum bahwa mengejar kedua orang itu tidak ada gunanya. Anak buahnya pasti tidak akan mampu menyusul. Hanya ia yang dapat menandingi ilmu berlari cepat kedua orang itu, akan tetapi ia seorang diri tidak mungkin menang menghadapi kedua orang itu, karena pemuda remaja tadipun amat lihai. Dengan wajah murung iapun meninggalkan tempat itu bersama anak buahnya.
Mereka berdua mepergunakan ilmu berlari cepat dan seperti dulu, ketika mereka pada malam hari di atas kuil Hwa-li-pang saling berkejaran mengadu ginkang, kini mereka seolah berlumba lari untuk mengetahui siapa di antara mereka yang lebih cepat larinya!
Sampai jauh mereka berlari dan ternyata mereka memiliki ilmu berlari cepat yang seimbang tingkatnya. Akhirnya Cu Sian berhenti di dalam sebuah hutan dan dia agak terengah. Dia berhenti memandang Lan Lan dan pernapasannya biasa saja. Maka dengan terkejut Cu Sian diam-diam harus mengakui bahwa dia masih kalah setingkat!
“Hemmm, engkau enci… eh… siapa lagi namamu...?”
Lan Lan tersenyum. “namaku Kim Lan, panggil saja Lan Lan...“
“Dan aku Cu Sian, engkau masih ingat kepadaku, enci Lan?”
Lan Lan tersenyum ramah. “Tentu saja aku masih ingat kepadamu, biarpun kini engkau menjadi seorang kong-cu yang kaya raya dan dahulu engkau seorang jembel muda yang nakal...“
Keduanya tertawa dan Cu Sian merasa suka sekali kepada gadis berpakaian putih yang lembut ini. “Akupun mengenalmu. Mudah saja ingat kembali kepada gadis berpakaian putih yang cantik jelita seperti bidadari, lihai dalam ilmu pengobatan dan juga ilmu silat!”
“Hai, perayu benar engkau!” cela Lan Lan sambil tersenyum polos. Ia tidak merasa tersipu mendengar pujian muluk ini dari mulut seorang pemuda tampan, karena pandang mata yang tajam dari Lan Lan sudah membuat ia menyadari bahwa pemuda tampan ini adalah seorang gadis yang nakal dan suka menggoda orang!
Cu Sian tertawa senang, “Begitu melihat engkau di keroyok, aku langsung turun tangan membantumu. Eh, enci Lan, kenapa sih engkau dikeroyok begitu banyaknya orang? Siapakah mereka dan siapa pula gadis memegang suling yang galak tadi?”
“Panjang ceritanya, Cu Sian. Mari kita mencari tempat yang bersih untuk duduk dan bicara...“
Mereka lalu mencari tempat yang bersih di dekat sebuah anak sungai dimana terdapat batu-batu besar yang bersih. Mereka duduk di atas batu yang rata dan bercakap-cakap dengan santai.
“Nah, sekarang berceritalah, enci Lan. Aku menyebut mu enci karena usia kita tentu sebaya...“
“Boleh saja. Dan apakah aku harus menyebut koko (kanda) kepadamu?”
Cu Sian tertawa. “Sebut saja namaku, itu lebih akrab. Nah, lanjutkan ceritamu, enci Lan...“
“Tadi pagi secara kebetulan aku melihat Han Sin…“
“Ah, benarkah? Dimana dia? Apa yang dikerjakan dan dimana dia sekarang?”
Melihat Cu Sian memberondongnya dengan pert anyaan tent ang han Sin , Kim Lan tertawa, akan tetapi didalam hatinya ia mencatat bahwa gadis yang menyamar pria ini agaknya menaruh banyak perhatian terhadap pemuda itu.
“Dengarkan dulu ceritaku, Cu Sian. Aku melihat Han Sin bersama seorang gadis di tepi sungai. Akan tetapi aku lihat Han Sin dalam keadaan sekarat, keracunan pukulan ampuh...“
“Wah, celaka...! Lalu… Lalu bagaimana?”
“Aku menawarkan bantuan kepada gadis itu untuk mengobati Han Sin. Dan kebetulan aku mengenal hawa beracun yang menyebabkan dia sekarat itu. Aku berhasil menyembuhkannya dan sebelum Han Sin sadar, aku sudah meninggalkan mereka. Akan tetapi, tiba-tiba tadi muncul gadis yang bersama Han Sin itu, bersama anak buahnya dan ia menuduh aku melarikan dan menyembunyikan Han Sin. Tentu saja aku menyangkal karena sesudah mengobatinya, aku lalu meninggalkan mereka dan tidak bertemu lagi dengan Han Sin. gadis itu tidak percaya, bahkan lalu menyerangku dan mengeroyokku bersama anak buahnya. Untung engkau datang membantuku kalau tidak tentu aku celaka karena gadis itu lihai bukan main...“
“Hemmm, aneh. Siapakah gadis itu dan mengapa pula ia mencari Han Sin kalau engkau meninggalkan Han Sin bersamanya...?”
“Namanya Ma Goat, demikian menurut pengakuannya. Dan karena ayahnya ahli ilmu pukulan Tangan Halilintar, aku ingat bahwa yang memiliki ilmu itu adalah datuk Pak-te-ong Ma Giok. Jadi ia tentu puteri Pak-te-ong. Akan tetapi menurut penuturannya, Han Sin menderita karena pukulan Tangan Halilintar ayahnya, kemudian juga terkena pukulan Tangan Salju dari See-thian-mo. Agaknya melihat Han Sin menjadi korban kedua pukulan itu, Ma Goat lalu menolongnya, akan tetapi, ia hanya dapat mengobati akibat pukulan Tangan Halilintar, tidak mampu mengobati bekas Tangan Salju. Dan aku tidak tahu apa hubungan gadis itu dengan Han Sin...“
Cu Sian mengerutkan alisnya dan merenung, lalu bicara kepada diri sendiri, “Ma Goat itu membela dan menolong Han Sin, biarpun agaknya Han Sin dimusuhi ayahnya. Agaknya Han Sin meninggalkannya dan ia mencari-carinya. Tak salah lagi, tentu gadis liar itu jatuh cinta kepada Han Sin!” Ketika mengucapkan kalimat terakhir itu ia menoleh dan memandang wajah Lan Lan.
Lan Lan tersenyum melihat Cu Sian mengerutkan alisnya dan pandang matanya demikian serius. “Mungkin benar dugaanmu itu.” katanya.
“Tentu saja benar! Gadis liar itu telah menolong Han Sin, kenapa kemudian ia lalu mencarinya? Tentu ia telah jatuh cinta dan ingin memiliki Han Sin. Akan tetapi…“ ia lalu bicara lirih lagi sambil mengingat-ingat, “Kenapa ia ingin membunuhmu, kenapa ia menduga engkau melarikan dan menyembunyikan Han Sin?” Dia diam sebentar dan mengelus dagunya yang halus tanpa selembarpun jenggot, kemudian tiba-tiba ia memandang lagi kepada Lan Lan dan berkata, “Ah, tentu saja! Ia mengira bahwa engkau juga mencinta Han Sin! Ia ingin membunuhmu karena cemburu...!”
“Hemmmm…“ Lan Lan hanya menggumam, biarpun didalam hatinya ia membenarkan pula dugaan Cu Sian yang cerdik itu.
Tiba-tiba Cu Sian menatap wajah gadis itu dengan tajam dan bertanya. “Enci Lan, benarkah dugaan itu bahwa engkau mencinta Han Sin?” Sinar mata Cu Sian demikian tajam memandang wajah Lan Lan penuh selidik.
Mendapat pertanyaan yang di tujukkan tiba-tiba ini, Lan Lan merasa seolah-olah dadanya di todong ujung pedang. Ia tergagap menjawab. “Aku… Eh, aku tidak tahu, Cu Sian. Belum pernah aku berpikir tentang itu…“
“Syukurlah kalau begitu. enci Lan. Aku kasihan kepadamu kalau sampai engkau jatuh cinta kepada Han Sin. Pemuda seperti itu tidak patut menerima cinta seorang gadis seperti engkau...“
“Eh… kenapa begitu Cu Sian?”
“Dia… dia tidak berharga! Dia seorang pemuda mata keranjang dan di mana-mana ia mempunyai kekasih. Hatimu akan hancur dan patah-patah kalau engkau mencintanya...“
“Bagaimana engkau tahu...?”
“Tentu saja aku tahu. Aku sudah melakukan perjalanan bersamanya ke utara. Dia merayu dan menggoda puteri kepala suku, bahkan merayu kedua-duanya sehingga mereka jatuh cinta kepadanya, memperebutkannya. Akan tetapi apa jadinya? Dia tinggalkan mereka begitu saja! Huh, dia laki-laki yang tidak boleh dicint la seorang gadis!”
Lan Lan tersenyum. “Hem, dan bagaimana dengan engkau sendiri...?”
Cu Sian memandang dengan mata terbelalak. “Aku...? Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?”
Lan Lan masih tersenyum. “Maksudku, kalau engkau tentu bukan seorang pemuda seperti itu. Engkau tidak akan mempermainkan orang yang jatuh cinta kepadamu, bukan?”
“Tentu saja tidak! Kalau aku jatuh cinta, aku akan mencinta dengan sepenuh jiwa ragaku, dan aku siap untuk membelanya dengan taruhan nyawa sekalipun. Aku akan bersetia sampai mati!”
Kata-kata ini diucapkan penuh semangat dan diam-diam Lan Lan merasa terharu. Ia percaya bahwa kata-kata itu keluar dari lubuk hati dan bukan sekedar membual. “Mudah-mudahan saja orang yang kau cinta itu akan membalas pula cintamu Cu Sian...“
“Mudah-mudahan, enci Lan. Engkau… Sungguh baik sekali. Agaknya, Aku akan mudah jatuh cinta kepadamu kalau saja aku belum mempunyai seorang pilihan hati...“
Lan Lan tersenyum lalu bangkit berdiri. “Nah, sudah cukup kita bicara, Cu Sian. Aku harus melanjutkan perjalananku dan selamat berpisah...!”
“Eh, nanti dulu, enci Lan. Menurut pendapat mu, kemanakah perginya Han Sin? Aku ingin bertemu dan bicara dengannya...“
“Bagaimana aku tahu? Ketika aku mengobatinya, bahkan aku tidak sempat bicara dengannya. Akan tetapi mengingat aku menemukannya di bukit Kwi-san di pantai Huang-Ho, mungkin ia berada di sekitar lembah sungai itu. Nah, sampai jumpa, Cu Sian...“
“Selamat jalan, enci Lan dan terima kasih...“
Mereka berpisah dan di sepanjang perjalanan, Kim Lan tersenyum-senyum seorang diri. Jelas bagaikan sebuah kitab terbuka, Cu Sian adalah seorang gadis dan gadis itu mencinta Han Sin! Akan tetapi senyumnya agak berubah ketika ia merasa betapa hatinya seperti tertusuk. Pedih rasanya, cepat ia mengusir perasaan itu, dan melanjutkan perjalanannya sambil berlari secepat terbang.
Han Sin menuju ke Shan-si. Dia hendak singgah dulu di tai-goan, hendak mencari keterangan dimana adanya kuburan ayahnya. Dari Tarsukai dia mendapat keterangan bahwa ayahnya yang tewas di pertempuran itu dimakamkan oleh Gubernur Li Goan.
Ketika dia menghadap Gubernur, dia di terima oleh Li Kongcu, yaitu Li Si Bin yang mewakili ayahnya. Pemuda putera Gubernur itu girang sekali melihat Han Sin, apalagi ketika Han Sin bercerita bahwa dia telah bertemu dan tinggal beberapa hari lamanya di perkampungan suku Yak-ka. Dalam kesempatan itu Han Sin bertanya tentang makam ayahnya.
“Ah, maafkan kami bahwa ketika itu kami lupa memberitahu kepadamu, Cian-twako. Jenazah ayahmu memang di makamkan di sini, bahkan upacara pemakaman di sini, bahkan upacara pemakaman di lakukan secara besar-besaran seperti layaknya pemakaman seorang pahlawan besar. Semua itu di urus oleh ayah. Mari kuantarkan engkau mengunjungi makam...“
Li Si Bin sendiri yang mengantar Han Sin berkunjung ke makam ayahnya. Dia memandang kagum melihat Han Sin berlutut menyembahyangi makam ayahnya tanpa bercucuran air mata seperti kebiasaan orang-orang yang berkunjung ke makam. Pemuda yang tinggi tegap itu ternyata memiliki ketabahan dan kekerasan hati. Setelah selesai sembahyang, Li Si Bin lalu mengajak Han Sin bercakap-cakap tentang kegagahan ayahnya seperti yang di dengarnya dari cerita orang-orang tua.
“Ayahmu bukan hanya seorang pahlawan negeri, Cian-twako. Akan tetapi menurut cerita para tokoh kang-ouw, dia juga seorang pendekar yang amat gagah perkasa dan di takuti para penjahat. Engkau patut merasa bangga mempunyai seorang ayah seperti dia...“ demikian kata Li Si Bin.
“Sayang dia terbunuh secara pengecut dari belakang ketika dia sedang memimpin pasukan berperang, dan lebih sayang lagi sampai sekarang aku belum dapat mengetahui siapa pembunuhnya...“ kata Han Sin.
"Akan tetapi, tentu di utara engkau sudah mendapatkan keterangan tentang itu, bukan...?”
“Ketarangan yang belum jelas menyebutkan siapa pelakunya, kong-cu. Aku masih harus menyelidikinya ke kota raja...“
“Aku percaya penyelidikanmu akan berhasil, Cian-twako...“
Pada saat itu, empat orang pengawal menemani seorang berpakaian panglima menghampiri Li Si Bin dan Cian Han Sin. Empat orang pengawal itu memberi hormat kepada Li Si Bin dan berkata, “kami di utus oleh Tai-jin untuk mengantarkan ciang-kun yang datang dari kota raja ini ke sini karena dia hendak bertemu dengan pemuda ini...“ Pengawal itu menundingkan telunjuknya kearah Han Sin.
Tentu saja Han Sin merasa heran sekali dan dia memandang kepada perwira itu dengan penuh perhatian. Panglima itu berusia tiga puluh lima tahun, tubuhnya jangkung kurus dan sikapnya gagah. Mendengar laporan pengawal itu, panglima itu segera memberi hormat kepada Li Si Bin dan berkata, “Harap kong-cu maafkan kalau saya mengganggu...“
Li Si Bin menatap wajah perwira itu penuh selidik, lalu bertanya. “Ciang-kun, siapakah dan ada keperluan apa mencari saudara Cian Han Sin...?”
Perwira itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang merupakan sebuah leng-ki (Bendera utusan raja), memperlihatkannya kepada Li Si Bin lalu menyimpannya kembali. “Kong-cu, saya bernama Coa Hong Bu, seorang panglima istana dan saya melaksanakan sebuah tugas yang di berikan Yang Mulia Kaisar kepada saya. Untuk keperluan itu saya harus bertemu dan bicara dengan saudara Cian Han Sin...“
Melihat leng-ki itu, Li Si Bin memberi hormat. “Kalau begitu silahkan ciangkun bicara dengannya dan saya akan pulang terlebih dahulu. Cian-twako, engkau bicaralah dengan Coa-ciangkun, aku hendak pulang lebih dulu...“ Li Si Bin lalu pergi diikuti para pengawal tadi, meninggalkan Han Sin berdua saja dengan Coa Hong Bu di makam ayahnya itu.
Setelah mereka berdua saja, Han Sin berkata, “Coa-ciangkun, ada urusan apakah ciangkun mencariku...?”
“Cian-kongcu, aku di utus oleh Sri Baginda Kaisar untuk mendapatkan dua buah benda. Yang pertama adalah pedang pusaka Hek-liong-kiam, dan yang kedua adalah Kitab ilmu Bu-tek-cin-keng, Karena aku tidak bisa mendapatkan kedua benda itu dirumah ibu kong-cu dan mendengar kong-cu pergi ke utara, maka aku menyusul ke sini untuk menanyakan kepadamu tentang kedua benda itu...“
Han Sin mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah panglima itu. “Hemmm… Pedang Naga Hitam adalah Pusaka milik mendiang ayahku, sedangkan kitab ilmu Bu-tek-cin-keng adalah pemberian mendiang kaisar Yang Cien kepadaku, kenapa sekarang Sri Baginda Kaisar Yang Ti hendak memintanya...?”
“Entahlah, kong-cu. Aku hanya seorang utusan dan kehendak Sri Baginda harus dilaksanakan...“
“Akan tetapi, Pedang Naga Hitam tidak ada padaku, pedang itu lenyap ketika mendiang ayah gugur di medan perang dan tentang kitab ilmu Bu-tek-cin-keng, telah kubakar agar tidak terjatuh ke tangan orang lain. Kalau Sri Baginda kaisar menghendaki belajar itu, aku dapat mengajarinya, asalkan mendapat perkenan ibuku...“
Panglima Coa mengangguk-angguk lalu menghela napas panjang dan memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh iba. “Aku mengerti, Cian-kongcu. Aku sudah tahu bahwa Hek-liong-kiam tidak ada padamu. Bahkan… aku membawa sebuah berita duka untukmu, kong-cu...“
Han Sin mengerutkan alisnya lagi dan memandang tajam. “Berita duka? Apa maksudmu, Coa-ciangkun?”
“Berita duka mengenai ibumu, kongcu...“
“Ibuku? Ada apa dengan ibuku?” wajah Han Sin berubah agak pucat dan dia memandang panglima itu dengan kedua mata terbelalak.
“Beberapa bulan yang lalu, ibumu tewas terbunuh orang…“
Andaikata bumi di depannya terbelah, belum tentu Han Sin akan sekaget itu. Matanya terbelalak lebar, wajahnya pucat sekali dan sesaat dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, bahkan tidak mampu berpikir. Pikirannya menjadi gelap oleh guncangan batin yang amat hebat. Kemudian setelah dapat menguasai dirinya, dia berteriak.
“Ibu…?? Siapa pembunuhnya...?”
"Tidak ada yang mengetahuinya, kongcu. Hanya ada bibi Cio Si, pelayan itu...“ yang mengetahui, akan tetapi iapun tidak mengenal si pembunuh. Ia hanya dapat mengatakan bahwa pembunuh itu memegang sebatang pedang hitam yang berkilauan.
“Hek-liong-kiam…!“
“Kukira juga demikian, kongcu. Pembunuh ibumu itu menggunakan pedang Naga Hitam. Setelah mendapatkan kenyataan itu, aku lalu berangkat mencarimu ke sini...“
“Ibu…!“ Han Sin terhuyung dan menutupi mukanya dengan kedua tangan kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan makam ayahnya. Tak dapat dia menahan air matanya yang bercucuran keluar saking pedih rasa hatinya mengenang kematian ibunya tercinta. “Ayah... Maafkan anakmu, ayah. Kematian ayah belum juga terbalas, pembunuh ayah belum juga kutemukan, Hek-liong-kiam juga masih di tangan pembunuh, kini ibuku bahkan terbunuh pula. Ayah, aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum pembunuh ayah dan ibu dapat di hukum dan Hek-liong-kiam belum dapat ku temukan!”
Coa Hong Bu hanya melihat dan mendengarkan, dalam hatinya merasa iba sekali kepada pemuda ini. Sungguh tidak dapat di sangka, nasib keluarga Panglima Besar Cian Kauw Cu begini menyedihkan. Panglima itu terbunuh secara curang, dan isterinya terbunuh pula. Padahal mendiang Cian Kauw Cu adalah seorang panglima besar yang banyak jasanya dalam mendirikan Kerajaan Sui dan berjasa besar pula sebagai seorang pendekar yang menentang segala macam bentuk kejahatan...
Tentu saja para anggota Te-kwi-pai terengah-engah mengejar, karena ilmu berlari cepat Ma Goat tidak mungkin dapat mereka tandingi. Biarpun mereka sudah berlari secepatnya, tetap saja mereka tertinggal jauh sehingga terpaksa Ma Goat menghentikan larinya dan beberapa kali menanti sampai mereka datang dekat.
Mereka telah melakukan pengejaran sampai jauh namun belum juga berhasil menemukan orang yang di cari, yaitu Han Sin. Ma Goat sudah menjadi jengkel sekali dan hampir putus asa ketika tiba-tiba ia melihat seorang wanita berpakaian serba putih berjalan seorang diri di sebelah depan. ia mengerutkan alisnya dan teringat akan gadis berpakaian serba putih yang telah mengobati dan menyembuhkan Han Sin.
Cepat ia melakukan pengejaran dan setelah wanita baju putih itu tinggal belasan meter di depannya, Ma Goat lalu menggunakan ginkang (ilmu meringankan tubuh) meloncat tinggi melampaui kepala wanita itu dan turun berjungkir balik di depannya. Ia melihat bahwa benar dugaannya, wanita itu bukan lain adalah Kim Lan, gadis yang telah mengobati Han Sin.
Kim Lan atau lan Lan sendiri tersenyum ketika melihat Ma Goat. Dara berpakaian putih ini memang selalu tenang dan ia tidak terkejut atau heran melihat Ma Goat muncul begitu saja, meloncat turun dari udara. Akan tetapi Ma Goat sudah memandang dengan muka merah dan hati panas. Teringat ia betapa Han Sin menyebut- nyebut nama gadis ini ketika siuman dari pingsannya, mencari 'Lan-moi'.
“Lan-Lan!” bentak Ma Goat. “Hayo katakan dimana engkau menyembunyikan Han Sin!” Ia mengangkat sulingnya dengan sikap penuh ancaman.
Lan-Lan memandang dengan sinar mata heran dan mulut tersenyum sabar. “Ma Goat, apa yang engkau maksudkan dengan pertanyaan itu? Aku tidak menyembunyikan Han Sin atau siapapun. Bukankah ketika itu dia bersamamu...?”
“Katakan dimana dia atau kubunuh engkau!” kembali Ma Goat yang sudah marah karena cemburu itu membentak, sementara itu dua puluh orang anak buah Te-kwi-pai sudah tiba di situ pula dan mengepung Lan Lan.
Gadis itu masih saja bersikap tenang seperti biasa. Ia tidak merasa melakukan kesalahan apapun, maka orang yang merasa dirinya bersih selalu tenang. “Ma Goat, tenangkanlah hatimu. Sejak aku meninggalkan engkau dan Han Sin, aku tidak melihatnya lagi...“
Akan tetapi Ma Goat sudah membenci dara baju putih itu karena cemburu, maka baik Lan Lan mengetahui dimana adanya Han Sin atau tidak, tidak ada bedanya baginya. Lan Lan harus di bunuhnya untuk melampiaskan cemburu dan kebenciannya.
“Mampuslah...!” bentaknya dan sulingnya sudah menyambar bagaikan kilat kearah leher Lan Lan yang putih mulus itu. Serangan ini hebat sekali. Karena kehebatan dan keganasan sulingnya. Ma Goat sampai di juluki Suling Maut! Sulingnya memang ganas sekali dan biasanya jarang ada lawan yang mampu terhindar dari serangan suling mautnya.
Namun ternyata Lan Lan bukan seorang gadis yang lemah, biarpun nampaknya ia lemah lembut. Dengan gerakan indah dan halus sekali ia dapat mengelak dari serangan suling maut itu. Ia menarik tubuh bagian atas ke belakang dan ketika suling itu terus menyambarnya dengan serangan berikutnya, yaitu menotok kearah dadanya, iapun melompat ke samping sejauh dua meter sehingga totokan itupun luput.
“Ma Goat, tahan dulu! Apa kesalahanku kepadamu maka engkau hendak membunuhku? Jelaskan dulu agar andaikata engkau dapat membunuhku, aku dapat mati dengan mata terpejam...“
Ma Goat menudingkan sulingnya dan tanpa malu-malu lagi diapun berkata ketus, “Han Sin lari meninggalkan aku! Ketika siuman dari pingsan, ia menyebut-nyebut namamu, maka tentu engkau hendak merebut dia dari tanganku! Engkau yang menyembunyikannya...!”
Wajah Lan Lan berubah kemerahan. Andaikata benar hatinya tertarik dan merasa suka kepada Han Sin, ia tidak mungkin akan merebut seorang laki-laki dari tangan gagis lain. Dengan suara penuh kesabaran ia pun berkata,
“Ma Goat, aku tidak menyembunyikannya dan juga tidak tahu dia berada dimana. Kalau aku bertemu dengan dia akan kuberitahukan padanya bahwa engkau mencarinya. Akan tetapi dengar nasehat ku. Ma Goat, cinta tidak mungkin dapat dipaksakan. kalau dia tidak mencintaimu, sebaiknya kalau dia pergi karena kalau engkau memaksanya, kelak engkau hanya akan menderita kekecewaan dan kesengsaraan...“
“Persetan dengan nasehatmu! Aku menginginkan dia dan tidak ada seorangpun manusia boleh menghalangiku!” Dan Ma Goat sudah menyerang lagi dengan lebih hebat. Bahkan kini tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka dan hawa panas menyambar kearah tubuh Lan Lan. Itulah pukulan Tian-Ciang (Tangan Halilintar) yang sangat ampuh.
Lan Lan mengenal pukulan ampuh dan iapun mengelak ke samping dan tiba-tiba kakinya mencuat dengan tendangan memutar. Ia harus membalas serangan lawan kalau tidak ingin terdesak. Ma Goat juga dapat menghindarkan diri dari tendangan itu dan terjadilah pertandingan yang seru dan mati-matian karena agaknya Ma Goat berusaha benar untuk membunuh Lan Lan.
Sungguh tidak di sangka-sangka oleh Ma Goat sendiri bahwa dara berpakaian putih yang pandai ilmu pengobatan itu ternyata memiliki kepandaian silat yang tinggi pula! Buktinya Lan Lan mampu menandinginya bahkan sama sekali tidak dapat ia mendesaknya. Hal ini memang tidak mengherankan. Lan Lan adalah murid terkasih dari Thian Ho Hwesio yang berjuluk Siauw Bin Yok Sian (Dewa Obat Muka Tertawa), seorang kakek sakti yang dikenal semua datuk di dunia persilatan sebagai seorang yang pandai ilmu silat dan ilmu pengobatan.
Thian Ho Hwesio amat sayang kepada Lan Lan, maka diapun mewariskan semua ilmu silat dan ilmu pengobatannya kepada gadis ini. Dan Lan Lan sendiri memiliki otak yang cerdik dan juga amat berbakat, maka ia kini menjadi seorang gadis yang lihai sekali, walaupun ia tidak pernah memperlihatkannya karena ia lebih senang mempraktekkan kepandaiannya dalam hal pengobatan untuk menolong orang ketimbang mempraktekkan silatnya untuk berkelahi!
Setelah tiga puluh jurus lebih lewat tanpa dapat mendesak Lan Lan, Ma Goat menjadi marah dan ia berseru kepada anak buah Te-kwi-pai untuk mengeroyok. Majulah mereka semua dan dua puluh orang anak buah itupun menggerakkan senjata mereka mengeroyok Lan Lan.
Gadis ini diam-diam terkejut. Tak di sangkanya bahwa Ma Goat demikian bernafsu untuk membunuhnya sehingga tak malu untuk melakukan pengeroyokan. Ia tahu bahwa semua ini adalah gara-gara cinta gadis liar itu kepada Han Sin. Ia menggerakkan tubuhnya berkelebatan di antara para pengeroyoknya untuk melepaskan diri dari kepungan dan kalau mungkin melarikan diri. Akan tetapi pengeroyokan itu ketat sekali sehingga Lan Lan berada dalam keadaan gawat. Terutama sekali serangan Ma Goat yang selalu mengancam nyawanya.
Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba para pengeroyok manjadi kacau ketika datang seorang yang menerjang mareka dari luar. Beberapa orang roboh oleh terjangan ini dan muncullah seorang pemuda tampan yang mengamuk dengan sepotong tongkat dari ranting pohon itu. Biarpun senjatanya hanya sepotong tongkat kayu, namun pemuda tampan itu hebat sekali gerakannya.
Ketika melihat pemuda tampan ini, Lan Lan merasa gembira sekali. Biarpun pemuda itu kini sudah mengenakan pakaian yang bagus seperti pakaian seorang sastrawan muda yang terbuat dari sutera halus dan mahal, namun ia masih dapat mengenalnya sebagai pemuda yang dulu berpakaian seperti seorang pengemis dan yang bersamanya menolong Han Sin dari tangan keluarga gila!
Melihat betapa Cu Sian, pemuda tampan itu, mengamuk dan merobohkan banyak pengeroyok, Lan Lan khawatir kalau-kalau akan banyak orang dibunuhnya, maka ia lalu bergerak mendekati dan berseru, “Sobat, tidak perlu melayani mereka. Bantulah aku lolos dari kepungan ini!“
Mendengar ucapan ini, Cu Sian menjawab, “Baiklah...!” Dia tidak tahu urusannya yang terjadi antara Lan Lan dan para pengeroyoknya itu, dan diapun melihat betapa lihainya gadis yang memegang suling, yang agaknya menjadi pemimpin para pengeroyok. Dia membantu Lan Lan hanya karena sudah pernah bertemu dan bekerjasama menolong Han Sin. Maka diapun memutar tongkatnya dan membantu Lan Lan untuk lolos dari kepungan dan tak lama kemudian mereka berdua sudah melarikan diri dengan cepat.
Ma Goat marah sekali. Ia membanting-banting kakinya dan memaki-maki para anak buah Te-kwi-pai karena tidak berhasil membunuh Lan Lan. Ia maklum bahwa mengejar kedua orang itu tidak ada gunanya. Anak buahnya pasti tidak akan mampu menyusul. Hanya ia yang dapat menandingi ilmu berlari cepat kedua orang itu, akan tetapi ia seorang diri tidak mungkin menang menghadapi kedua orang itu, karena pemuda remaja tadipun amat lihai. Dengan wajah murung iapun meninggalkan tempat itu bersama anak buahnya.
********************
Mereka berdua mepergunakan ilmu berlari cepat dan seperti dulu, ketika mereka pada malam hari di atas kuil Hwa-li-pang saling berkejaran mengadu ginkang, kini mereka seolah berlumba lari untuk mengetahui siapa di antara mereka yang lebih cepat larinya!
Sampai jauh mereka berlari dan ternyata mereka memiliki ilmu berlari cepat yang seimbang tingkatnya. Akhirnya Cu Sian berhenti di dalam sebuah hutan dan dia agak terengah. Dia berhenti memandang Lan Lan dan pernapasannya biasa saja. Maka dengan terkejut Cu Sian diam-diam harus mengakui bahwa dia masih kalah setingkat!
“Hemmm, engkau enci… eh… siapa lagi namamu...?”
Lan Lan tersenyum. “namaku Kim Lan, panggil saja Lan Lan...“
“Dan aku Cu Sian, engkau masih ingat kepadaku, enci Lan?”
Lan Lan tersenyum ramah. “Tentu saja aku masih ingat kepadamu, biarpun kini engkau menjadi seorang kong-cu yang kaya raya dan dahulu engkau seorang jembel muda yang nakal...“
Keduanya tertawa dan Cu Sian merasa suka sekali kepada gadis berpakaian putih yang lembut ini. “Akupun mengenalmu. Mudah saja ingat kembali kepada gadis berpakaian putih yang cantik jelita seperti bidadari, lihai dalam ilmu pengobatan dan juga ilmu silat!”
“Hai, perayu benar engkau!” cela Lan Lan sambil tersenyum polos. Ia tidak merasa tersipu mendengar pujian muluk ini dari mulut seorang pemuda tampan, karena pandang mata yang tajam dari Lan Lan sudah membuat ia menyadari bahwa pemuda tampan ini adalah seorang gadis yang nakal dan suka menggoda orang!
Cu Sian tertawa senang, “Begitu melihat engkau di keroyok, aku langsung turun tangan membantumu. Eh, enci Lan, kenapa sih engkau dikeroyok begitu banyaknya orang? Siapakah mereka dan siapa pula gadis memegang suling yang galak tadi?”
“Panjang ceritanya, Cu Sian. Mari kita mencari tempat yang bersih untuk duduk dan bicara...“
Mereka lalu mencari tempat yang bersih di dekat sebuah anak sungai dimana terdapat batu-batu besar yang bersih. Mereka duduk di atas batu yang rata dan bercakap-cakap dengan santai.
“Nah, sekarang berceritalah, enci Lan. Aku menyebut mu enci karena usia kita tentu sebaya...“
“Boleh saja. Dan apakah aku harus menyebut koko (kanda) kepadamu?”
Cu Sian tertawa. “Sebut saja namaku, itu lebih akrab. Nah, lanjutkan ceritamu, enci Lan...“
“Tadi pagi secara kebetulan aku melihat Han Sin…“
“Ah, benarkah? Dimana dia? Apa yang dikerjakan dan dimana dia sekarang?”
Melihat Cu Sian memberondongnya dengan pert anyaan tent ang han Sin , Kim Lan tertawa, akan tetapi didalam hatinya ia mencatat bahwa gadis yang menyamar pria ini agaknya menaruh banyak perhatian terhadap pemuda itu.
“Dengarkan dulu ceritaku, Cu Sian. Aku melihat Han Sin bersama seorang gadis di tepi sungai. Akan tetapi aku lihat Han Sin dalam keadaan sekarat, keracunan pukulan ampuh...“
“Wah, celaka...! Lalu… Lalu bagaimana?”
“Aku menawarkan bantuan kepada gadis itu untuk mengobati Han Sin. Dan kebetulan aku mengenal hawa beracun yang menyebabkan dia sekarat itu. Aku berhasil menyembuhkannya dan sebelum Han Sin sadar, aku sudah meninggalkan mereka. Akan tetapi, tiba-tiba tadi muncul gadis yang bersama Han Sin itu, bersama anak buahnya dan ia menuduh aku melarikan dan menyembunyikan Han Sin. Tentu saja aku menyangkal karena sesudah mengobatinya, aku lalu meninggalkan mereka dan tidak bertemu lagi dengan Han Sin. gadis itu tidak percaya, bahkan lalu menyerangku dan mengeroyokku bersama anak buahnya. Untung engkau datang membantuku kalau tidak tentu aku celaka karena gadis itu lihai bukan main...“
“Hemmm, aneh. Siapakah gadis itu dan mengapa pula ia mencari Han Sin kalau engkau meninggalkan Han Sin bersamanya...?”
“Namanya Ma Goat, demikian menurut pengakuannya. Dan karena ayahnya ahli ilmu pukulan Tangan Halilintar, aku ingat bahwa yang memiliki ilmu itu adalah datuk Pak-te-ong Ma Giok. Jadi ia tentu puteri Pak-te-ong. Akan tetapi menurut penuturannya, Han Sin menderita karena pukulan Tangan Halilintar ayahnya, kemudian juga terkena pukulan Tangan Salju dari See-thian-mo. Agaknya melihat Han Sin menjadi korban kedua pukulan itu, Ma Goat lalu menolongnya, akan tetapi, ia hanya dapat mengobati akibat pukulan Tangan Halilintar, tidak mampu mengobati bekas Tangan Salju. Dan aku tidak tahu apa hubungan gadis itu dengan Han Sin...“
Cu Sian mengerutkan alisnya dan merenung, lalu bicara kepada diri sendiri, “Ma Goat itu membela dan menolong Han Sin, biarpun agaknya Han Sin dimusuhi ayahnya. Agaknya Han Sin meninggalkannya dan ia mencari-carinya. Tak salah lagi, tentu gadis liar itu jatuh cinta kepada Han Sin!” Ketika mengucapkan kalimat terakhir itu ia menoleh dan memandang wajah Lan Lan.
Lan Lan tersenyum melihat Cu Sian mengerutkan alisnya dan pandang matanya demikian serius. “Mungkin benar dugaanmu itu.” katanya.
“Tentu saja benar! Gadis liar itu telah menolong Han Sin, kenapa kemudian ia lalu mencarinya? Tentu ia telah jatuh cinta dan ingin memiliki Han Sin. Akan tetapi…“ ia lalu bicara lirih lagi sambil mengingat-ingat, “Kenapa ia ingin membunuhmu, kenapa ia menduga engkau melarikan dan menyembunyikan Han Sin?” Dia diam sebentar dan mengelus dagunya yang halus tanpa selembarpun jenggot, kemudian tiba-tiba ia memandang lagi kepada Lan Lan dan berkata, “Ah, tentu saja! Ia mengira bahwa engkau juga mencinta Han Sin! Ia ingin membunuhmu karena cemburu...!”
“Hemmmm…“ Lan Lan hanya menggumam, biarpun didalam hatinya ia membenarkan pula dugaan Cu Sian yang cerdik itu.
Tiba-tiba Cu Sian menatap wajah gadis itu dengan tajam dan bertanya. “Enci Lan, benarkah dugaan itu bahwa engkau mencinta Han Sin?” Sinar mata Cu Sian demikian tajam memandang wajah Lan Lan penuh selidik.
Mendapat pertanyaan yang di tujukkan tiba-tiba ini, Lan Lan merasa seolah-olah dadanya di todong ujung pedang. Ia tergagap menjawab. “Aku… Eh, aku tidak tahu, Cu Sian. Belum pernah aku berpikir tentang itu…“
“Syukurlah kalau begitu. enci Lan. Aku kasihan kepadamu kalau sampai engkau jatuh cinta kepada Han Sin. Pemuda seperti itu tidak patut menerima cinta seorang gadis seperti engkau...“
“Eh… kenapa begitu Cu Sian?”
“Dia… dia tidak berharga! Dia seorang pemuda mata keranjang dan di mana-mana ia mempunyai kekasih. Hatimu akan hancur dan patah-patah kalau engkau mencintanya...“
“Bagaimana engkau tahu...?”
“Tentu saja aku tahu. Aku sudah melakukan perjalanan bersamanya ke utara. Dia merayu dan menggoda puteri kepala suku, bahkan merayu kedua-duanya sehingga mereka jatuh cinta kepadanya, memperebutkannya. Akan tetapi apa jadinya? Dia tinggalkan mereka begitu saja! Huh, dia laki-laki yang tidak boleh dicint la seorang gadis!”
Lan Lan tersenyum. “Hem, dan bagaimana dengan engkau sendiri...?”
Cu Sian memandang dengan mata terbelalak. “Aku...? Apa maksudmu dengan pertanyaan itu?”
Lan Lan masih tersenyum. “Maksudku, kalau engkau tentu bukan seorang pemuda seperti itu. Engkau tidak akan mempermainkan orang yang jatuh cinta kepadamu, bukan?”
“Tentu saja tidak! Kalau aku jatuh cinta, aku akan mencinta dengan sepenuh jiwa ragaku, dan aku siap untuk membelanya dengan taruhan nyawa sekalipun. Aku akan bersetia sampai mati!”
Kata-kata ini diucapkan penuh semangat dan diam-diam Lan Lan merasa terharu. Ia percaya bahwa kata-kata itu keluar dari lubuk hati dan bukan sekedar membual. “Mudah-mudahan saja orang yang kau cinta itu akan membalas pula cintamu Cu Sian...“
“Mudah-mudahan, enci Lan. Engkau… Sungguh baik sekali. Agaknya, Aku akan mudah jatuh cinta kepadamu kalau saja aku belum mempunyai seorang pilihan hati...“
Lan Lan tersenyum lalu bangkit berdiri. “Nah, sudah cukup kita bicara, Cu Sian. Aku harus melanjutkan perjalananku dan selamat berpisah...!”
“Eh, nanti dulu, enci Lan. Menurut pendapat mu, kemanakah perginya Han Sin? Aku ingin bertemu dan bicara dengannya...“
“Bagaimana aku tahu? Ketika aku mengobatinya, bahkan aku tidak sempat bicara dengannya. Akan tetapi mengingat aku menemukannya di bukit Kwi-san di pantai Huang-Ho, mungkin ia berada di sekitar lembah sungai itu. Nah, sampai jumpa, Cu Sian...“
“Selamat jalan, enci Lan dan terima kasih...“
Mereka berpisah dan di sepanjang perjalanan, Kim Lan tersenyum-senyum seorang diri. Jelas bagaikan sebuah kitab terbuka, Cu Sian adalah seorang gadis dan gadis itu mencinta Han Sin! Akan tetapi senyumnya agak berubah ketika ia merasa betapa hatinya seperti tertusuk. Pedih rasanya, cepat ia mengusir perasaan itu, dan melanjutkan perjalanannya sambil berlari secepat terbang.
********************
Han Sin menuju ke Shan-si. Dia hendak singgah dulu di tai-goan, hendak mencari keterangan dimana adanya kuburan ayahnya. Dari Tarsukai dia mendapat keterangan bahwa ayahnya yang tewas di pertempuran itu dimakamkan oleh Gubernur Li Goan.
Ketika dia menghadap Gubernur, dia di terima oleh Li Kongcu, yaitu Li Si Bin yang mewakili ayahnya. Pemuda putera Gubernur itu girang sekali melihat Han Sin, apalagi ketika Han Sin bercerita bahwa dia telah bertemu dan tinggal beberapa hari lamanya di perkampungan suku Yak-ka. Dalam kesempatan itu Han Sin bertanya tentang makam ayahnya.
“Ah, maafkan kami bahwa ketika itu kami lupa memberitahu kepadamu, Cian-twako. Jenazah ayahmu memang di makamkan di sini, bahkan upacara pemakaman di sini, bahkan upacara pemakaman di lakukan secara besar-besaran seperti layaknya pemakaman seorang pahlawan besar. Semua itu di urus oleh ayah. Mari kuantarkan engkau mengunjungi makam...“
Li Si Bin sendiri yang mengantar Han Sin berkunjung ke makam ayahnya. Dia memandang kagum melihat Han Sin berlutut menyembahyangi makam ayahnya tanpa bercucuran air mata seperti kebiasaan orang-orang yang berkunjung ke makam. Pemuda yang tinggi tegap itu ternyata memiliki ketabahan dan kekerasan hati. Setelah selesai sembahyang, Li Si Bin lalu mengajak Han Sin bercakap-cakap tentang kegagahan ayahnya seperti yang di dengarnya dari cerita orang-orang tua.
“Ayahmu bukan hanya seorang pahlawan negeri, Cian-twako. Akan tetapi menurut cerita para tokoh kang-ouw, dia juga seorang pendekar yang amat gagah perkasa dan di takuti para penjahat. Engkau patut merasa bangga mempunyai seorang ayah seperti dia...“ demikian kata Li Si Bin.
“Sayang dia terbunuh secara pengecut dari belakang ketika dia sedang memimpin pasukan berperang, dan lebih sayang lagi sampai sekarang aku belum dapat mengetahui siapa pembunuhnya...“ kata Han Sin.
"Akan tetapi, tentu di utara engkau sudah mendapatkan keterangan tentang itu, bukan...?”
“Ketarangan yang belum jelas menyebutkan siapa pelakunya, kong-cu. Aku masih harus menyelidikinya ke kota raja...“
“Aku percaya penyelidikanmu akan berhasil, Cian-twako...“
Pada saat itu, empat orang pengawal menemani seorang berpakaian panglima menghampiri Li Si Bin dan Cian Han Sin. Empat orang pengawal itu memberi hormat kepada Li Si Bin dan berkata, “kami di utus oleh Tai-jin untuk mengantarkan ciang-kun yang datang dari kota raja ini ke sini karena dia hendak bertemu dengan pemuda ini...“ Pengawal itu menundingkan telunjuknya kearah Han Sin.
Tentu saja Han Sin merasa heran sekali dan dia memandang kepada perwira itu dengan penuh perhatian. Panglima itu berusia tiga puluh lima tahun, tubuhnya jangkung kurus dan sikapnya gagah. Mendengar laporan pengawal itu, panglima itu segera memberi hormat kepada Li Si Bin dan berkata, “Harap kong-cu maafkan kalau saya mengganggu...“
Li Si Bin menatap wajah perwira itu penuh selidik, lalu bertanya. “Ciang-kun, siapakah dan ada keperluan apa mencari saudara Cian Han Sin...?”
Perwira itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang merupakan sebuah leng-ki (Bendera utusan raja), memperlihatkannya kepada Li Si Bin lalu menyimpannya kembali. “Kong-cu, saya bernama Coa Hong Bu, seorang panglima istana dan saya melaksanakan sebuah tugas yang di berikan Yang Mulia Kaisar kepada saya. Untuk keperluan itu saya harus bertemu dan bicara dengan saudara Cian Han Sin...“
Melihat leng-ki itu, Li Si Bin memberi hormat. “Kalau begitu silahkan ciangkun bicara dengannya dan saya akan pulang terlebih dahulu. Cian-twako, engkau bicaralah dengan Coa-ciangkun, aku hendak pulang lebih dulu...“ Li Si Bin lalu pergi diikuti para pengawal tadi, meninggalkan Han Sin berdua saja dengan Coa Hong Bu di makam ayahnya itu.
Setelah mereka berdua saja, Han Sin berkata, “Coa-ciangkun, ada urusan apakah ciangkun mencariku...?”
“Cian-kongcu, aku di utus oleh Sri Baginda Kaisar untuk mendapatkan dua buah benda. Yang pertama adalah pedang pusaka Hek-liong-kiam, dan yang kedua adalah Kitab ilmu Bu-tek-cin-keng, Karena aku tidak bisa mendapatkan kedua benda itu dirumah ibu kong-cu dan mendengar kong-cu pergi ke utara, maka aku menyusul ke sini untuk menanyakan kepadamu tentang kedua benda itu...“
Han Sin mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah panglima itu. “Hemmm… Pedang Naga Hitam adalah Pusaka milik mendiang ayahku, sedangkan kitab ilmu Bu-tek-cin-keng adalah pemberian mendiang kaisar Yang Cien kepadaku, kenapa sekarang Sri Baginda Kaisar Yang Ti hendak memintanya...?”
“Entahlah, kong-cu. Aku hanya seorang utusan dan kehendak Sri Baginda harus dilaksanakan...“
“Akan tetapi, Pedang Naga Hitam tidak ada padaku, pedang itu lenyap ketika mendiang ayah gugur di medan perang dan tentang kitab ilmu Bu-tek-cin-keng, telah kubakar agar tidak terjatuh ke tangan orang lain. Kalau Sri Baginda kaisar menghendaki belajar itu, aku dapat mengajarinya, asalkan mendapat perkenan ibuku...“
Panglima Coa mengangguk-angguk lalu menghela napas panjang dan memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh iba. “Aku mengerti, Cian-kongcu. Aku sudah tahu bahwa Hek-liong-kiam tidak ada padamu. Bahkan… aku membawa sebuah berita duka untukmu, kong-cu...“
Han Sin mengerutkan alisnya lagi dan memandang tajam. “Berita duka? Apa maksudmu, Coa-ciangkun?”
“Berita duka mengenai ibumu, kongcu...“
“Ibuku? Ada apa dengan ibuku?” wajah Han Sin berubah agak pucat dan dia memandang panglima itu dengan kedua mata terbelalak.
“Beberapa bulan yang lalu, ibumu tewas terbunuh orang…“
Andaikata bumi di depannya terbelah, belum tentu Han Sin akan sekaget itu. Matanya terbelalak lebar, wajahnya pucat sekali dan sesaat dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata, bahkan tidak mampu berpikir. Pikirannya menjadi gelap oleh guncangan batin yang amat hebat. Kemudian setelah dapat menguasai dirinya, dia berteriak.
“Ibu…?? Siapa pembunuhnya...?”
"Tidak ada yang mengetahuinya, kongcu. Hanya ada bibi Cio Si, pelayan itu...“ yang mengetahui, akan tetapi iapun tidak mengenal si pembunuh. Ia hanya dapat mengatakan bahwa pembunuh itu memegang sebatang pedang hitam yang berkilauan.
“Hek-liong-kiam…!“
“Kukira juga demikian, kongcu. Pembunuh ibumu itu menggunakan pedang Naga Hitam. Setelah mendapatkan kenyataan itu, aku lalu berangkat mencarimu ke sini...“
“Ibu…!“ Han Sin terhuyung dan menutupi mukanya dengan kedua tangan kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan makam ayahnya. Tak dapat dia menahan air matanya yang bercucuran keluar saking pedih rasa hatinya mengenang kematian ibunya tercinta. “Ayah... Maafkan anakmu, ayah. Kematian ayah belum juga terbalas, pembunuh ayah belum juga kutemukan, Hek-liong-kiam juga masih di tangan pembunuh, kini ibuku bahkan terbunuh pula. Ayah, aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum pembunuh ayah dan ibu dapat di hukum dan Hek-liong-kiam belum dapat ku temukan!”
Coa Hong Bu hanya melihat dan mendengarkan, dalam hatinya merasa iba sekali kepada pemuda ini. Sungguh tidak dapat di sangka, nasib keluarga Panglima Besar Cian Kauw Cu begini menyedihkan. Panglima itu terbunuh secara curang, dan isterinya terbunuh pula. Padahal mendiang Cian Kauw Cu adalah seorang panglima besar yang banyak jasanya dalam mendirikan Kerajaan Sui dan berjasa besar pula sebagai seorang pendekar yang menentang segala macam bentuk kejahatan...