SETELAH pemuda itu menjadi tenang kembali, Coa Hong Bu berkata kepada Han Sin, “Cian-kongcu, seorang laki-laki sejati tidak tenggelam dalam kedukaan peristiwa yang lalu. Aku percaya kelak kong-cu pasti akan dapat menemukan pembunuh orang tua kong-cu dan mendapatkan kembali Hek-liong-kiam...“
Han Sin bangkit berdiri dan dengan ujung lengan bajunya menghapus sisa airmatanya. Lalu dia mengepal tinju. “Aku yakin pasti akan dapat menemukannya dan kukira tempatnya adalah di kota raja! Aku akan kembali ke kota raja mencari musuh besarku...“
“Ku rasa duganmu benar, kong-cu. Dan kalau engkau dapat menemukan pembunuh itu, berarti engkau akan menemukan pula Hek-liong-kiam. Akan tetapi, bagaimana tentang kehendak Sribaginda itu, kong-cu? Bagaimanapun juga aku harus membuat pelaporan kepada Yang Mulia Kaisar...“
"Laporkan saja bahwa aku bersedia menghadap Sri Baginda kalau aku sudah menemukan musuh besarku. Aku akan menyerahkan Pedang Naga Hitam dan juga mengajarkan Bu Tek Cin Keng kalau memang Sri Baginda menghendaki...“
“Baik, kong-cu. Nah, aku akan berangkat dulu kembali ke kota raja melaporkan kepada Sri Baginda kaisar...“
“Baik, Ciangkun dan selamat jalan...“ kata Han Sin.
Panglima Coa Hong Bu lalu meninggalkan makam itu dan Han Sin duduk bersila di depan makam ayahnya, termenung memikirkan nasibnya. Diam-diam dia memikirkan mengapa ibunya terbunuh orang. Kalau ayahnya, mungkin ayahnya memiliki banyak musuh, atau orang membunuhnya untuk merampas Pedang Naga Hitam? Akan tetapi mengapa ibunya juga di bunuh oleh perampas Pedang Naga Hitam?
Hampir dia yakin bahwa pembunuh ibunya juga pembunuh ayahnya. Dan menurut keterangan yang dia dapatkan dari Tarsukai ketua suku Yakka, ketika ayahnya tewas, jenazahnya di dekati seorang perwira Sui berusia tiga puluh tahun lebih. Mungkin perwira itulah pembunuh ayahnya. Perwira yang menjadi pembantu ayahnya sendiri.
Mengingat bahwa kematian ayahnya di sebabkan oleh anak panah yang dilepas dari belakang, besar kemungkinan perwira itu yang memanahnya dari belakang kemudian mendekati jenazahnya dan mengambil pedang Naga Hitam. Akan tetapi kenapa pembunuh itu, kalau benar dia si perwira membunuh pula ibunya? Ibunya adalah seorang wanita perkasa. Tidak mudah terbunuh begitu saja. Tentu pembunuhnya seorang yang lihai ilmu silatnya.
Akhirnya dia meninggalkan makam itu dan singgah di rumah Gubernur Li Goan untuk berpamit. Li Si Bin menemuinya dan tanpa ditanya Han Sin menceritakan kepada Li Si Bin tentang apa yang di dengarnya dari Coa Hong Bu. Li Si Bin terkejut dan maju memegang lengan Han Sin.
“Ah, betapa buruk nasibmu, Cian-twako. Akan tetapi tabahlah, seorang jantan harus tabah menghadapi segala cobaan hidup. Ibumu sudah bersatu dengan ayahmu, tentu beliau telah berbahagia...“
Han Sin menghela napas. “Terima kasih, Li-kongcu. Aku sudah bersumpah di depan makam ayahku bahwa aku pasti akan menemukan pembunuh ayah dan ibu dan menemukan kembali Pedang Naga Hitam...“
“Engkau seorang laki-laki yang gagah dan berilmu tinggi, toako. Aku percaya usahamu akan berhasil. Selamat jalan dan kuharap kelak kita akan dapat bertemu kembali. Di antara kita harus ada perhubungan erat dan saling bantu. Aku mengharap kelak akan dapat memperoleh banyak akan dapat bantuan tenagamu yang amat berharga...“
“Terima kasih, kongcu. Mudah-mudahan saja begitu dan selamat tinggal...“
Han Sin menolak ketika dibekali uang karena bakal uangnya masih cukup akan tetapi dia menerima ketika diberi seekor kuda. Dengan menunggang kuda dia lalu cepat melakukan perjalanan untuk kembali ke selatan. Dari Tai-goan, Han Sin melarikan kudanya dengan cepat menuju ke lembah Sungai Huang-ho. Perjalanan yang memakan waktu berhari-hari itu berjalan lancar tanpa ada gangguan. Setelah tiba di tepi Sungau Huang ho, dia menukarkan kudanya dengan sebuah perahu yang kuat dan baik, lalu melanjutkan perjalanan melalui air sungai yang mengalir ke selatan.
Perjalanan melalui air sungai ini selain cepat, juga tidak melelahkan. Berhari-hari hanya duduk saja mengemudikan perahu yang hanyut oleh arus sungai. Karena menganggur ini membuat Han Sin banyak melamun. Dia mengenangkan semua peristiwa yang terjadi dan menimpa dirinya, Ketika kenangan tentang kematian ibunya muncul mengganggu hatinya dan menimbulkan kedukaan, dia cepat mengenangkan kembali semua peristiwa lain yang di alaminya selama meninggalkan rumah dan pergi ke utara mencari Hek-liong-kiam yang belum juga dapat ditemukan.
Banyak peristiwa yang membuatnya risau. Gadis gila Kui Ji itu tergila-gila kepadanya. Kemudian gadis mongol puteri Ketua suku Yakka. Dia merasa heran mengapa dia bertemu gadis-gadis yang mencintanya. Padahal dia sama sekali tidak menyukai gadis-gadis itu. Bahkan hatinya belum pernah tertarik kepada wanita, kecuali hanya satu kali hatinya tertarik kepada Kim Lan. Ini pun hanya menimbulkan rasa rindu saja untuk bertemu dan bercakap-cakap. Dia belum yakin apakah perasaan rindu ini ada hubungannya dengan cinta, ataukah hanya rasa suka karena tertarik akan kepribadian gadis itu yang lemah lembut.
Tanpa terasa, perahu Han Sin setelah melakukan pelayaran berhari-hari, pada suatu siang tiba di dekat kota Loan. Melihat seorang nelayan sedang menjemur dan menjahit jala ikan di tepi pantai. Han Sin menepikan perahunya.
“Sobat, apakah kota Lo-an jauh dari sini?” tanyanya.
“Ah, tidak, kong-cu. Hanya dua tiga mil dari sini...“ jawab nelayan itu.
Han Sin mengikat perahunya pada sebatang pohon. Dia memang bermaksud pergi ke kota Lo-an untuk membeli perbekalan makan. Bekal makanannya sudah habis. Karena khawatir kalau perahunya di curi orang dia lalu menitipkannya kepada nelayan itu dengan memberi upah sekedarnya. Setelah itu, dia menggendong buntalan pakaiannya dan melangkah menuju ke kota Lo-an.
Cu Sian bersungut-sungut. Dia telah melakukan perjalanan secepatnya untuk mengejar Han Sin. Akan tetapi dia kehilangan jejak dan tak pernah dapat menyusul pemuda itu. Hatinya kesal bukan main! Sejak ditinggalkan pemuda itu di perkampungan suku Yakka, dia melakukan pengejaran. Meninggalkan keluarga Tar-sukai tanpa pamit, akan tetapi Han Sin seperti lenyap di telan bumi. Hatinya kesal bukan main. Tanpa adanya pemuda itu di sisinya, dia merasa seolah-olah hidupnya sepi, tidak lengkap dan tidak menyenangkan. Tidak ada lagi yang dapat di godanya!
Dia berhenti di kota Lo-an, bermalam di kota itu sampai dua hari, akan tetapi tidak ada bayangan Han Sin. Bahkan ketika dia bertanya-tanya, tidak seorangpun melihat pemuda yang mirip Han Sin. Agaknya Han Sin tidak melalui Lo-an dan kembali dia menyadari bahwa dia telah salah memilih jalan. Mungkin Han Sin mengambil jalan lewat sungai, dan mungkin sekali sekarang sudah hampir tiba di daerah selatan!
“Sialan!” gerutunya sambil berjalan cepat hendak pergi ke sungai Huang-ho karena dia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan lewat air. Tiba-tiba wajah yang cemberut itu berubah seketika. Kepalanya di angkat dan dia memandang ke depan. Ada seorang pemuda berjalan santai bersama seorang laki-laki yang sudah tua yang bertubuh tinggi kurus dan dari pakaiannya dan rambutnya dia pasti seorang to-su (pendeta agama To).
“Itu pasti Han sin!” pikirnya dan Cu Sian segera berlari mengejar dua orang itu. Untuk menggodanya, dia menghampiri perlahan lalu menepuk pundak pemuda itu. “Akhirnya dapat kutemukan juga kau!”
Pemuda itu cepat menoleh dan Cu Sian terbelalak. Pemuda itu ternyata bukan Cian Han Sin, bahkan lebih celaka lagi, pemuda itu bukan lain adalah Bong Sek Toan, pemuda yang pernah ribut dengan dia sebanyak dua kali. Pertama kali ketika dia sebagai seorang pengemis muda bertemu dengan Bong Sek Toan di sebuah rumah makan dan Bong Sek Toan hendak memukulnya akan tetapi di lerai oleh Han Sin. Dan untuk kedua kalinya dia bertemu Bong Sek Toan, bahkan sempat bertanding dengannya ketika mereka ikut terlibat dalam pemilihan perwira tentara di Shan-si.
Biarpun kaget bertemu dengan Bong Sek Toan, bukan dengan Han Sin seperti disangkanya, namun Cu Sian tidak merasa takut dan dia segera melepaskan pegangannya pada pundak dan meloncat kebelakang, mengomel, “kiranya engkau!”
Bong Sek Toan ternyata segera mengenal Cu Sian. Wajahnya berubah merah karena marahnya. Cu Sian pernah menggoda dan menggangunya. Kalau tempo hari bukan merupakan pertandingan di panggung ujian, tentu dia sudah membunuh Cu Sian.
“Hemmm, engkau jembel busuk!” bentaknya marah. “Sekali ini aku tidak akan mengampunimu lagi!” Setelah berkata demikian, Bong Sek Toan langsung saja menyerang dengan pukulannya.
Akan tetapi Cu Sian sudah siap siaga dan karena kemanapun dia pergi, dia tidak pernah ketinggalan sebatang tongkatnya, maka kini dia mengelak sambil menotok tongkatnya kearah perut lawan. “Aku juga tidak akan mengampunimu, monyet hitam!” bentak Cu Sian.
Dan Bong Sek Toan terpaksa meloncat ke belakang kalau dia tidak ingin perutnya menjadi korban tusukan tongkat. Bagaimanapun juga, dia sudah tahu akan kelihaian pemuda remaja yang tadinya menyamar sebagai pengemis ini dan dia tidak berani memandang rendah. Sambil melompat ke belakang, tangannya meraba punggung dan dia sudah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Setelah bergerak, dia langsung saja memainkan pedang yang menjadi andalannya, yaitu Lo-hai Kiam-hoat (Ilmu Pedang Pengacau Lautan)
Cu Sian memutar tongkatnya dan segera memainkan Hek-tung-hoat (Ilmu Tongkat Hitam). Biarpun tongkatnya tidak berwarna hitam akan tetapi ilmu tongkat itu memang dinamakan Ilmu tongkat hitam karena dahulu, kakek Cu Sian yang di sebut Cu Lokai adalah pendiri Hek I Kaipang dan terkenal dengan tongkat hitamnya.
Segera terjadi pertandingan hebat sekali. Seru dan setiap serangan merupakan serangan maut. Kedua orang ini memang memiliki tingkat kepandaian yang seimbang. Mungkin Bong Sek Toan lebih menang dalam hal tenaga, akan tetapi kemenangan ini dikurangi kekalahannya dalam hal kecepatan gerakan. Bong Sek Toan lebih kuat tenaganya, namun Cu Sian lebih cepat gerakannya sehingga dua macam kelebihan yang berlawanan ini menguntungkan Cu sian. Karena lebih cepat serangan-serangan yang bertubi-tubi, totokan-totokan yang amat berbahaya sehingga Bong Sek Toan lebih banyak menangkis ketimbang menyerang.
Lima puluh jurus telah lewat dan Cu Sian berhasil mendesaklawannya. “Monyet hitam, bersiaplah untuk mampus! Sebentar lagi engkau mampus di ujung tongkat ku!” Cu Sian menyerang sambil mengejek, membuat Bong Sek Toan yang menjadi marah itu semakin kacau permainan pedangnya.
“Lo-cian-pwe, bantulah aku…“ Akhirnya dia berteriak minta bantuan.
Tosu tua itu sejak tadi hanya menonton dengan tertarik sekali. Dia mengenal ilmu pedang dan ilmu tongkat itu sebagai warisan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. “Sian-cai…! Lo-hai kiam-hoat bertemu dengan Hek-tung-pang, sungguh seru dan menganggumkan. Bong-sicu, apa sih sukarnya menundukkan pengemis liar ini?”
Biarpun Cu Sian tidak berpakaian sebagai pengemis, akan tetapi karena ilmu tongkatnya itu terkenal sebagai ilmu tongkat ketua perkumpulan pengemis yang terkenal, maka to-su itu menyebut pengemis liar! Tosu itu melangkah maju menghampiri, kebutan di tangan kirinya menyambar ke depan dengan kecepatan kilat dan mengeluarkan suara bersuitan.
Tentu saja Cu Sian terkejut sekali. Dia mengelak dari pedang Bong Sek Toan yang menyambar, meloncat ke samping dan pada saat itulah kebutan di tangan kiri tosu itu menyambar kearah kepalanya! Dia cepat memutar tongkatnya menangkis, akan tetapi tiba-t iba tosu itu menggerakkan tangan kanannya dan sebatang tongkat putih meluncur dan menahan tongkat Cu Sian. Begitu kedua tongkat bertemu, Cu Sian merasakan tongkatnya melekat pada tongkat putih itu dan tidak dapat di tarik kembali. Padahal kebutan itu sudah menyambar kearah kepalanya. Dia hanya dapat miringkan kepalanya untuk mengelak.
“Breett…!“ sutera pengikat rambutnya terlepas dan rambutnya menjadi riap-riapan. Rambut yang hitam panjang!
“Sian-cai…! To-su itu berseru dan kini kebut annya menyambar lagi kearah dada Cu Sian. Dengan tenaga sepenuhnya Cu Sian menarik tongkatnya dan berhasil melepaskan tongkatnya dari lekatan tongkat putih, lalu menangkis kebut an yang menyerang kea rah dadanya itu.
“Wuuukk… pllaakk...!“ kini tongkat itu terlibat ujung kebutan dan tidak dapat terlepas.
Pada saat itu Bong Sek Toan menusukkan pedangnya kea rah dadanya. Cu Sian tidak dapat menghindar diri lagi kecuali miringkan tubuhnya.
“Breeettt...!” Bajunya terobek pedang dan untuk sekejap nampaklah bukit dada yang menonjol ketika baju itu terobek dan pundaknya terluka.
“Aha! Kiranya engkau seorang wanita...? “Bong Sek Toan mengejek.
“Ha-ha-ha, sejak rambutnya terurai pinto sudah mengetahuinya...“
"Tangkap dia lo-cian-pwe...!" kata Bong Sek Toan.
“Ha-ha-ha, jangan khawatir, mudah saja!” kata to-su itu sambil tertawa-tawa dan diapun menggerakkan tongkat dan kebutannya yang lihai.
Akan tetapi Cu Sian menggigit giginya dan mengamuk. Tongkatnya di putar cepat dan dia tidak akan menyerah sampai titik darah terakhir. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaiannya jauh sekali dibandingkan tingkat to-su itu. Apalagi di situ masih ada Bong Sek Toan yang membantu si tosu lihai. Setelah lewat belasan jurus, sebuah sapuan tongkat putih mengenai mata kakinya dan Cu Sian terpelanting.
Pada saat Bong Sek Toan hendak menubruknya, nampak bayangan berkelebat dan Bong Sek Toan terhuyung ke belakang karena ada kekuatan dahsyat yang mendorongnya mundur. Ketika dia melihatnya, ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda yang membantu Cu Sian berdiri lagi. Pemuda itu bukan lain adalah Cian Han Sin!
Melihat Han Sin, Cu Sian girang sekali akan tetapi segera kegirangannya itu berubah menjadi kekhawatiran. Teringatlah dara yang menyamar pria ini bahwa Han Sin adalah seorang pemuda lemah, atau kalaupun memiliki ilmu silat, kepandaiannya itu tidak seberapa, masih jauh dibawah tingkatnya sehingga dahulu ialah yang menjadi 'pengawal' Han Sin. Timbul kekhawatirannya kalau-kalau Han Sin akan menjadi korban dan mati konyol.
“Sin-ko… cepat, larilah selagi masih mungkin. Larilah, mereka ini lihai sekali. Engkau dapat terbunuh…!” katanya sambil siap menggunakan tongkatnya untuk melindungi Han Sin.
Han Sin kebetulan lewat di situ dalam perjalanannya dari tepi sungai menuju ke Lo-an untuk mencari bekal makanan ketika dia melihat Cu Sian di keroyok oleh seorang pemuda dan seorang to-su. Kekagetannya itu bertumpuk-tumpuk ketika dia mengenal Bong Sek Toan dan lebih lagi ketika dia mengenal tosu itu sebagai Ngo-heng-thian-cu, pembunuh gurunya, Hek-liong-ong atau Ho-beng Hwesio! Dan rasa kagetnya itu menjadi lebih hebat ketika ia melihat bahwa Cu Sian adalah seorang wanita! Nyaris Cu Sian celaka karena semua kenyataan ini membuatnya bengong sesaat.
Akan tetapi dia segera menyadari bahwa kalau dia tidak cepat turun tangan. Cu Sian tentu akan celaka, maka dia lalu meloncat, mendorong Bong Sek Toan dan membantu Cu Sian bangkit berdiri. Ketika dia mendengar permintaan Cu Sian agar dia melarikan diri agar selamat, diam-diam dia merasa terharu. Dalam keadaan terancam seperti itu, Cu Sian masih mengkhawatirkan dirinya dan minta agar dia melarikan diri.
“Tidak, aku tidak akan lari. Biar aku menghadapi to-su Iblis ini...“ katanya dan dia segera mengerahkan tenaga dari Bu-tek Cin-keng. “Kau lawanlah pemuda itu...!”
Melihat ada orang yang menolong gadis yang menyamar pria itu, Ngo-heng Thian-cu menjadi penasaran. Kini Han Sin bukan pemuda remaja lagi, melainkan seorang pemuda dewasa. Kurang lebih empat tahun yang lalu, dia mencoba menyerang to-su ini ketika melihat gurunya tewas dan to-su ini tidak mau melayaninya karena mengira dia murid Siauw-li-pai. Agaknya Ngo-heng Thian-cu gentar menghadapi permusuhan dengan perguruan silat yang terkenal itu. Maka to-su itu tidak mengenalnya dan dengan kebutan di tangan kiri, tongkat putih di tangan kanan, dia melangkah maju dan siap untuk menyerang.
“Hiattt…!” Han Sin menyerang dengan Bu-tek Cin-keng, mendorongkan kedua tangannya dengan jari terbuka ke depan. Angin dahsyat menyambar.
To-su itu terkejut dan berusaha untuk menangkis, akan tetapi tetap saja tubuhnya terdorong dan terpental sampai beberapa meter jauhnya. Dia terbanting keras, akan tetapi dia segera dapat bangkit berdiri lagi. Kenyataan ini saja membuktikan betapa kuatnya kakek tua ini. Sementara itu, Cu Sian sudah bergebrak lagi melawan Bong Sek Toan.
Melihat Kakek itu dapat berdiri dengan cepat, dan Cu Sian sudah terluka, Han Sin segera menyambar lengan tangan Cu Sian dan sekali melompat dia segera berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bong Sek Toan tidak berani mengejar dan ketika dia mengajak to-su itu untuk melakukan pengejaran, Ngo-heng Thian-cu menghela napas panjang.
“Aihh siapa dapat menduga bahwa ada seorang pemuda memiliki kekuatan seperti itu...? Siancai, jangan mengejar mereka, Bong-sicu, berbahaya sekali!”
Biarpun hatinya amat penasaran dan kecewa, Bong Sek Toan terpaksa tidak berani mengejar sendiri dan mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.
Han Sin membawa lari Cu Sian dan baru berhenti setelah tiba di tepi pantai. Dia segera menuntun Cu Sian memasuki perahunya dan menjalankan perahunya mengikuti aliran sungai menuju ke selatan. Barulah kini mereka saling pandang sambil duduk di dalam perahu itu. Tangan kanan Han Sin memegang kemudi perahu. Mereka saling pandang dengan penuh keheranan sehingga sampai lama mereka hanya saling tatap tanpa dapat berkata-kata.
“Luar biasa…!“ Ucapan ini keluar dengan berbareng dari mulut mereka, seperti di komando saja dan kejadian yang kebetulan ini membuat keduanya tertawa lepas, karena merasa lucu sekali.
“Apanya yang luar biasa...?” Tanya Han Sin.
“Engkau yang luar biasa! Biasanya, engkau hanya seorang pemuda yang lemah, bahkan aku menjadi pengawalmu. Akan tetapi sekarang ternyata engkau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai dibandingkan aku...!”
“Ah, biasa-biasa saja…“ kata Han Sin merendah.
“Tidak, Sin-ko, engkau hebat! Engkau dapat merobohkan to-su sakti itu dalam segebrakan saja. Dan tadi engkau mengatakan luar biasa, nah apanya yang luar biasa...?”
“Engkaulah yang luar biasa...!” kata Han Sin dan baru sekarang dia melihat betapa cantiknya Cu Sian. Padahal, biasanya dia menganggap Cu Sian seorang pemuda remaja yang Bengal dan liar! “Ternyata engkau seorang wanita. Bukankah itu luar biasa sekali...?”
Cu Sian tersenyum. “Sejak lahir aku memang perempuan, apanya yang luar biasa...?” Akan tetapi senyumnya kini berubah, ia menyerengai kesakitan.
Han Sin terbelalak dan cepat minggirkan perahunya, menghentikan perahu dengan mengikatkan talinya ke sebuah batu besar di tepi sungai yang sepi. Lalu dia menghampiri Cu Sian yang masih menyeringai kesakitan sambil memegangi pundak kirinya.
“Kenapa engkau, Sian-te…?“
Biarpun ia sedang kesakitan, Cu Sian kini tertawa, menertawakan Han Sin. “Kau masih menyebutku Sian-te (adik laki-laki Sian)?”
Han Sin tercengang baru teringat akan kesalahanya. “Eh… ohh… habis, aku harus menyebut apa? Oya, Sian-moi (adik perempuan Sian)! Engkau terluka? Biarkan aku memeriksanya...!”
Han Sin memegang pundak kiri dara itu dan membuaka baju di bagian itu yang memang sudah robek. Akan tetapi Cu Sian menepiskan tangannya. “Hemm , engkau mau apa...? kenapa buka-buka baju...?”
Wajah Han Sin menjadi kemerahan. "Habis, kalau tidak dibuka, bagaimana aku dapat memeriksa lukanya...?”
Cu Sian lalu dengan hati-hati membuka sedikit baju yang robek itu, hanya cukup untuk memperlihatkan luka dipundaknya. Han Sin memeriksa dan hatinya lega. Luka itu tidak terlalu besar, hanya luka kulit dan juga nampak bersih tidak ada tanda-tanda keracunan. Tentu saja nyeri, yaitu pedih karena kulit itu terobek.
“Syukur lukamu tidak berbahaya, Sian-mo. Hanya luka kulit dan tidak beracun. Biar ku obati dengan obat luka ini...“
Dia mengeluarkan sebuah bungkusan dari buntalan pakaiannya dan menaburkan obat bubuk warna merah kepada luka itu. Cu Sian memejamkan matanya, tadinya ia khawatir kalau obat itu menimbulkan rasa pedih, akan tetapi ternyata tidak, bahkan rasa pedih pada lukanya hilang, tertutup rasa dingin nyaman. Ia lalu menutupkan lagi robekan bajunya, lalu bangkit berdiri dan menyambar buntalan pakaiannya.
“Engkau tunggu di sini, aku mau berganti bajuku yang robek!” katanya dan iapun melompat ke darat dan lenyap di balik semak belukar. Tak lama kemudian ia sudah muncul lagi ke dalam perahu. Han Sin melepas tali perahu dan perahu itu kembali meluncur mengikuti aliran air sungai.
“Sungguh mati tak pernah aku bermimpi bahwa engkau adalah seorang wanita, Sian-moi...“ kata Han Sin sambil tersenyum memandang kepada gadis itu. Biarpun masih mengenakan pakaian seorang pemuda remaja, akan tetapi karena dia sudah tahu bahwa Cu Sian seorang wanita, gadis itu kelihatan cantik manis, bukan lagi tampan seperti biasa dia melihatnya.
Cu Sian tersenyum lebar dan lesung pipitnya bermain-main di kanan kiri mulutnya. “Akupun tidak pernah mimpi bahwa engkau ternyata seorang pendekar yang berilmu tinggi, Sin-ko...“ katanya.
Han Sin menatap wajah itu dan dia pun tertawa geli. Cu Sian mengerutkan alisnya dan cemberut, bertanya, “kenapa engkau tertawa? Apanya yang lucu pada diriku...?”
“Ha-ha-ha kau… seorang wanita! Sungguh aneh sekali! Kalau ku ingat akan sikapmu selama ini terhadap Loana dan Hailun! Sungguh luar biasa! Kenapa engkau mempermainkan kedua orang gadis Mongol itu, Sian-moi?”
Cu Sian menundukkan mukanya yang berubah kemerahan. Kemudian ia mengangkat mukanya dan memandang kepada Han Sin dengan sinar mata menantang! Agaknya ia tadi tersipu dan dengan kekerasan hatinya ia malah menantang.
“Aku hanya bermaksud menjauhkan mereka darimu, Sin-ko...“
“Ah, kenapa...?”
“Aku… aku takut engkau jatuh cinta kepada Loana. Aku tidak ingin melihat engkau terpikat oleh Loana atau gadis lainnya...!”
Sejenak mereka saling pandang dan akhirnya Cu Sian menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali karena ia menyadari bahwa baru ia membuka rahasia hatinya. Han Sin tertegun. Gadis ini cemburu! Dan tidak ingin melihat dia jatuh cinta kepada gadis lain. Jawaban ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Cu Sian juga jatuh cinta kepadanya!
Han Sin termenung. Dia harus mengakui bahwa dia amat suka kepada Cu Sian yang di sangkanya seorang pemuda remaja, bahkan dia selalu merindukan kehadiran sahabat itu. Alangkah mudah baginya untuk mengubah rasa suka kepada Cu Sian pria itu menjadi rasa cinta kepada Cu Sian wanita. Akan tetapi, perubahan atas diri Cu Sian itu demikian tiba-tiba datangnya dan dia sama sekali tidak tahu perasaan apa yang berada di dalah hatinya terhadap Cu Sian wanita. Hatinya sudah di penuhi oleh bayangan Kim Lan, dan agaknya sukar baginya untuk menukar bayangan itu dengan gadis lain!
Kini dia merasa tidak enak hati sekali dan salah tingkah ketika Cu Sian membuka perasaan hatinya kepadanya. Segera dia hendak mengalihkan percakapan mereka kepada hal-hal lain. “Oya, kau maafkanlah aku ketika aku meninggalkan engkau tanpa pamit itu, Sian-moi...“
“Ah, tidak, Sin-ko. Aku tahu bahwa tentu engkau menganggap aku seorang pemuda mata keranjang yang hendak mempermainkan dua orang gadis. Akan tetapi setengah mati aku mengejar dan mencarimu! Untung bahwa kita dapat bertemu di tempat aku terancam maut itu...“
“Sian-moi, engkau hendak pergi kemanakah...?”
Cu Sian memandang kepadanya, “Kemana engkau pergi ke sanalah aku pergi pula, Sin-ko. Bukankah selama ini kita melakukan perjalanan bersama? Aku ingin melakukan perjalanan bersamamu, Sin-ko. Kemanakah engkau hendak pergi? Aku ikut denganmu...“
Han Sin tersenyum. Gadis ini sikapnya masih sama dengan ketika ia menjadi pemuda remaja. Bengal, nakal, keras hati dan nekat! Dia lalu menggeleng kepalanya. “Hal itu tidak mungkin kita lakukan, Sian-moi. Ingatlah, engkau seorang gadis dan aku seorang pemuda, mana mungkin melakukan perjalanan berdua saja...?”
“Apa salahnya? Kalau aku menyamar sebagai pria, siapa yang akan tahu? Engkau sendiri juga tidak tahu. Biarkan aku menyertaimu dan aku akan tetap menyamar sebagai pria, Sin-ko...“
“Hemm, biarpun selama ini aku dapat kau kelabui, akan tetapi ku rasa lambat laun aku tentu akan mengetahui juga. Banyak kejanggalan kau perlihatkan selama ini. Engkau dekat namun jauh. Bahkan bermalam pun menggunakan dua kamar. Tentu akan ketahuan orang dan amat tidak baik bagi nama dan kehormatanmu sebagai seorang gadis, Sian-moi, kita terpaksa harus mengambil jalan masing-masing. Apalagi aku sendiri mempunyai urusan pribadi yang amat penting.
“Apakah engkau telah mendapat tahu siapa pembunuh ayahmu dan pencuri pedang hek-liong-kiam itu...?”
“Belum, akan tetapi aku sudah mendapat petunjuk-petunjuk. Apalagi, aku menerima kabar duka bahwa ibuku pun baru saja di bunuh orang…“ suara Han Sin terdengar sedih.
Cu Sian terkejut. “Ahhhh…! Siapa pembunuh keparat itu?”
“Tidak ada yang tahu, akan tetapi aku mendengar bahwa pembunuh ibuku menggunakan pedang hitam bersinar..."
“Wahhh, jangan-jangan pembunuh ibumu adalah juga pembunuh ayahmu dan pencuri hek-liong-kiam...!"
Han Sin mengangguk-angguk. "Akupun berpendapat begitu maka aku akan melakukan penyelidikan ke kota raja...“
“Wah, ke Tiang-an...?”
“Ya, menengok rumah di luar kota raja dan mengunjungi makam ibuku, dan menyelidiki musuh yang ku kira berada di kota raja...“
“Bagus, kalau begitu aku pun akan pulang...“
“Kemana...?”
“Tiang-an! Kau tahu, Hek I Kaipang berpusat di Tiang-an, Sin-ko. Jadi kita sama-sama menuju ke Tiang-an. Satu tujuan. Engkau tentu tidak keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama, bukan...?”
Apa yang dapat dikatakan Han Sin untuk menolak? Tidak ada alasan sama sekali baginya untuk menolak dan kalau dia mau berterus terang kepada diri sendiri, dia pun sebenarnya senang dapat melakukan perjalanan dengan Cu Sian, walaupun kini Cu Sian telah berubah menjadi seorang gadis. Diapun tersenyum.
“Kalau memang tujuan perjalanam kita sama, mengapa keberatan, Sian-moi?”
Bukan main girangnya hati Cu Sian nampak pada wajahnya yang kemerahan dan berseri-seri, matanya yang bersinar-sinar. “Terima kasih, Sin-ko. Aku tahu, engkau memang seorang yang baik sekali...!”
“Ada satu syarat, Sian-moi, yaitu mulai sekarang engkau harus menuruti petunjukku dan jangan bersikap ugal-ugalan lagi!” kata Han Sin dengan sikap galak sehingga Cu Sian tertawa geli.
“Baik, kakakku yang budiman. Dan aku pun mempunyai syarat yang harus kau penuhi!”
“Ehhh? Kenapa jadi engkau yang menentukkan syarat? Engkau mulai ugal-ugalan lagi?"
“Tidak! Sekali ini engkau harus menurut, yaitu mulai sekarang jangan menyebut aku Sian-moi! Bagaiamana nanti orang-orang yang mendengar seorang pemuda di sebut Sian- moi? Tentu mereka akan mengira kita ini berotak miring!”
Han Sin tertawa bergelak. Hidup selalu nampak gembira kalau Cu Sian berada di dekatnya. Bocah ini memang lincah jenaka dan selalu mendatangkan kegembiraan. “Baik, Sian-te. Dan maafkan kelupaanku...“ Tiba-tiba Han Sin teringat akan sesuatu. “Wah, payah ini...!”
“Kenapa Sin-ko...?”
Han Sin bangkit berdiri dan dengan ujung lengan bajunya menghapus sisa airmatanya. Lalu dia mengepal tinju. “Aku yakin pasti akan dapat menemukannya dan kukira tempatnya adalah di kota raja! Aku akan kembali ke kota raja mencari musuh besarku...“
“Ku rasa duganmu benar, kong-cu. Dan kalau engkau dapat menemukan pembunuh itu, berarti engkau akan menemukan pula Hek-liong-kiam. Akan tetapi, bagaimana tentang kehendak Sribaginda itu, kong-cu? Bagaimanapun juga aku harus membuat pelaporan kepada Yang Mulia Kaisar...“
"Laporkan saja bahwa aku bersedia menghadap Sri Baginda kalau aku sudah menemukan musuh besarku. Aku akan menyerahkan Pedang Naga Hitam dan juga mengajarkan Bu Tek Cin Keng kalau memang Sri Baginda menghendaki...“
“Baik, kong-cu. Nah, aku akan berangkat dulu kembali ke kota raja melaporkan kepada Sri Baginda kaisar...“
“Baik, Ciangkun dan selamat jalan...“ kata Han Sin.
Panglima Coa Hong Bu lalu meninggalkan makam itu dan Han Sin duduk bersila di depan makam ayahnya, termenung memikirkan nasibnya. Diam-diam dia memikirkan mengapa ibunya terbunuh orang. Kalau ayahnya, mungkin ayahnya memiliki banyak musuh, atau orang membunuhnya untuk merampas Pedang Naga Hitam? Akan tetapi mengapa ibunya juga di bunuh oleh perampas Pedang Naga Hitam?
Hampir dia yakin bahwa pembunuh ibunya juga pembunuh ayahnya. Dan menurut keterangan yang dia dapatkan dari Tarsukai ketua suku Yakka, ketika ayahnya tewas, jenazahnya di dekati seorang perwira Sui berusia tiga puluh tahun lebih. Mungkin perwira itulah pembunuh ayahnya. Perwira yang menjadi pembantu ayahnya sendiri.
Mengingat bahwa kematian ayahnya di sebabkan oleh anak panah yang dilepas dari belakang, besar kemungkinan perwira itu yang memanahnya dari belakang kemudian mendekati jenazahnya dan mengambil pedang Naga Hitam. Akan tetapi kenapa pembunuh itu, kalau benar dia si perwira membunuh pula ibunya? Ibunya adalah seorang wanita perkasa. Tidak mudah terbunuh begitu saja. Tentu pembunuhnya seorang yang lihai ilmu silatnya.
Akhirnya dia meninggalkan makam itu dan singgah di rumah Gubernur Li Goan untuk berpamit. Li Si Bin menemuinya dan tanpa ditanya Han Sin menceritakan kepada Li Si Bin tentang apa yang di dengarnya dari Coa Hong Bu. Li Si Bin terkejut dan maju memegang lengan Han Sin.
“Ah, betapa buruk nasibmu, Cian-twako. Akan tetapi tabahlah, seorang jantan harus tabah menghadapi segala cobaan hidup. Ibumu sudah bersatu dengan ayahmu, tentu beliau telah berbahagia...“
Han Sin menghela napas. “Terima kasih, Li-kongcu. Aku sudah bersumpah di depan makam ayahku bahwa aku pasti akan menemukan pembunuh ayah dan ibu dan menemukan kembali Pedang Naga Hitam...“
“Engkau seorang laki-laki yang gagah dan berilmu tinggi, toako. Aku percaya usahamu akan berhasil. Selamat jalan dan kuharap kelak kita akan dapat bertemu kembali. Di antara kita harus ada perhubungan erat dan saling bantu. Aku mengharap kelak akan dapat memperoleh banyak akan dapat bantuan tenagamu yang amat berharga...“
“Terima kasih, kongcu. Mudah-mudahan saja begitu dan selamat tinggal...“
Han Sin menolak ketika dibekali uang karena bakal uangnya masih cukup akan tetapi dia menerima ketika diberi seekor kuda. Dengan menunggang kuda dia lalu cepat melakukan perjalanan untuk kembali ke selatan. Dari Tai-goan, Han Sin melarikan kudanya dengan cepat menuju ke lembah Sungai Huang-ho. Perjalanan yang memakan waktu berhari-hari itu berjalan lancar tanpa ada gangguan. Setelah tiba di tepi Sungau Huang ho, dia menukarkan kudanya dengan sebuah perahu yang kuat dan baik, lalu melanjutkan perjalanan melalui air sungai yang mengalir ke selatan.
Perjalanan melalui air sungai ini selain cepat, juga tidak melelahkan. Berhari-hari hanya duduk saja mengemudikan perahu yang hanyut oleh arus sungai. Karena menganggur ini membuat Han Sin banyak melamun. Dia mengenangkan semua peristiwa yang terjadi dan menimpa dirinya, Ketika kenangan tentang kematian ibunya muncul mengganggu hatinya dan menimbulkan kedukaan, dia cepat mengenangkan kembali semua peristiwa lain yang di alaminya selama meninggalkan rumah dan pergi ke utara mencari Hek-liong-kiam yang belum juga dapat ditemukan.
Banyak peristiwa yang membuatnya risau. Gadis gila Kui Ji itu tergila-gila kepadanya. Kemudian gadis mongol puteri Ketua suku Yakka. Dia merasa heran mengapa dia bertemu gadis-gadis yang mencintanya. Padahal dia sama sekali tidak menyukai gadis-gadis itu. Bahkan hatinya belum pernah tertarik kepada wanita, kecuali hanya satu kali hatinya tertarik kepada Kim Lan. Ini pun hanya menimbulkan rasa rindu saja untuk bertemu dan bercakap-cakap. Dia belum yakin apakah perasaan rindu ini ada hubungannya dengan cinta, ataukah hanya rasa suka karena tertarik akan kepribadian gadis itu yang lemah lembut.
Tanpa terasa, perahu Han Sin setelah melakukan pelayaran berhari-hari, pada suatu siang tiba di dekat kota Loan. Melihat seorang nelayan sedang menjemur dan menjahit jala ikan di tepi pantai. Han Sin menepikan perahunya.
“Sobat, apakah kota Lo-an jauh dari sini?” tanyanya.
“Ah, tidak, kong-cu. Hanya dua tiga mil dari sini...“ jawab nelayan itu.
Han Sin mengikat perahunya pada sebatang pohon. Dia memang bermaksud pergi ke kota Lo-an untuk membeli perbekalan makan. Bekal makanannya sudah habis. Karena khawatir kalau perahunya di curi orang dia lalu menitipkannya kepada nelayan itu dengan memberi upah sekedarnya. Setelah itu, dia menggendong buntalan pakaiannya dan melangkah menuju ke kota Lo-an.
********************
Cu Sian bersungut-sungut. Dia telah melakukan perjalanan secepatnya untuk mengejar Han Sin. Akan tetapi dia kehilangan jejak dan tak pernah dapat menyusul pemuda itu. Hatinya kesal bukan main! Sejak ditinggalkan pemuda itu di perkampungan suku Yakka, dia melakukan pengejaran. Meninggalkan keluarga Tar-sukai tanpa pamit, akan tetapi Han Sin seperti lenyap di telan bumi. Hatinya kesal bukan main. Tanpa adanya pemuda itu di sisinya, dia merasa seolah-olah hidupnya sepi, tidak lengkap dan tidak menyenangkan. Tidak ada lagi yang dapat di godanya!
Dia berhenti di kota Lo-an, bermalam di kota itu sampai dua hari, akan tetapi tidak ada bayangan Han Sin. Bahkan ketika dia bertanya-tanya, tidak seorangpun melihat pemuda yang mirip Han Sin. Agaknya Han Sin tidak melalui Lo-an dan kembali dia menyadari bahwa dia telah salah memilih jalan. Mungkin Han Sin mengambil jalan lewat sungai, dan mungkin sekali sekarang sudah hampir tiba di daerah selatan!
“Sialan!” gerutunya sambil berjalan cepat hendak pergi ke sungai Huang-ho karena dia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan lewat air. Tiba-tiba wajah yang cemberut itu berubah seketika. Kepalanya di angkat dan dia memandang ke depan. Ada seorang pemuda berjalan santai bersama seorang laki-laki yang sudah tua yang bertubuh tinggi kurus dan dari pakaiannya dan rambutnya dia pasti seorang to-su (pendeta agama To).
“Itu pasti Han sin!” pikirnya dan Cu Sian segera berlari mengejar dua orang itu. Untuk menggodanya, dia menghampiri perlahan lalu menepuk pundak pemuda itu. “Akhirnya dapat kutemukan juga kau!”
Pemuda itu cepat menoleh dan Cu Sian terbelalak. Pemuda itu ternyata bukan Cian Han Sin, bahkan lebih celaka lagi, pemuda itu bukan lain adalah Bong Sek Toan, pemuda yang pernah ribut dengan dia sebanyak dua kali. Pertama kali ketika dia sebagai seorang pengemis muda bertemu dengan Bong Sek Toan di sebuah rumah makan dan Bong Sek Toan hendak memukulnya akan tetapi di lerai oleh Han Sin. Dan untuk kedua kalinya dia bertemu Bong Sek Toan, bahkan sempat bertanding dengannya ketika mereka ikut terlibat dalam pemilihan perwira tentara di Shan-si.
Biarpun kaget bertemu dengan Bong Sek Toan, bukan dengan Han Sin seperti disangkanya, namun Cu Sian tidak merasa takut dan dia segera melepaskan pegangannya pada pundak dan meloncat kebelakang, mengomel, “kiranya engkau!”
Bong Sek Toan ternyata segera mengenal Cu Sian. Wajahnya berubah merah karena marahnya. Cu Sian pernah menggoda dan menggangunya. Kalau tempo hari bukan merupakan pertandingan di panggung ujian, tentu dia sudah membunuh Cu Sian.
“Hemmm, engkau jembel busuk!” bentaknya marah. “Sekali ini aku tidak akan mengampunimu lagi!” Setelah berkata demikian, Bong Sek Toan langsung saja menyerang dengan pukulannya.
Akan tetapi Cu Sian sudah siap siaga dan karena kemanapun dia pergi, dia tidak pernah ketinggalan sebatang tongkatnya, maka kini dia mengelak sambil menotok tongkatnya kearah perut lawan. “Aku juga tidak akan mengampunimu, monyet hitam!” bentak Cu Sian.
Dan Bong Sek Toan terpaksa meloncat ke belakang kalau dia tidak ingin perutnya menjadi korban tusukan tongkat. Bagaimanapun juga, dia sudah tahu akan kelihaian pemuda remaja yang tadinya menyamar sebagai pengemis ini dan dia tidak berani memandang rendah. Sambil melompat ke belakang, tangannya meraba punggung dan dia sudah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Setelah bergerak, dia langsung saja memainkan pedang yang menjadi andalannya, yaitu Lo-hai Kiam-hoat (Ilmu Pedang Pengacau Lautan)
Cu Sian memutar tongkatnya dan segera memainkan Hek-tung-hoat (Ilmu Tongkat Hitam). Biarpun tongkatnya tidak berwarna hitam akan tetapi ilmu tongkat itu memang dinamakan Ilmu tongkat hitam karena dahulu, kakek Cu Sian yang di sebut Cu Lokai adalah pendiri Hek I Kaipang dan terkenal dengan tongkat hitamnya.
Segera terjadi pertandingan hebat sekali. Seru dan setiap serangan merupakan serangan maut. Kedua orang ini memang memiliki tingkat kepandaian yang seimbang. Mungkin Bong Sek Toan lebih menang dalam hal tenaga, akan tetapi kemenangan ini dikurangi kekalahannya dalam hal kecepatan gerakan. Bong Sek Toan lebih kuat tenaganya, namun Cu Sian lebih cepat gerakannya sehingga dua macam kelebihan yang berlawanan ini menguntungkan Cu sian. Karena lebih cepat serangan-serangan yang bertubi-tubi, totokan-totokan yang amat berbahaya sehingga Bong Sek Toan lebih banyak menangkis ketimbang menyerang.
Lima puluh jurus telah lewat dan Cu Sian berhasil mendesaklawannya. “Monyet hitam, bersiaplah untuk mampus! Sebentar lagi engkau mampus di ujung tongkat ku!” Cu Sian menyerang sambil mengejek, membuat Bong Sek Toan yang menjadi marah itu semakin kacau permainan pedangnya.
“Lo-cian-pwe, bantulah aku…“ Akhirnya dia berteriak minta bantuan.
Tosu tua itu sejak tadi hanya menonton dengan tertarik sekali. Dia mengenal ilmu pedang dan ilmu tongkat itu sebagai warisan tokoh-tokoh besar dunia persilatan. “Sian-cai…! Lo-hai kiam-hoat bertemu dengan Hek-tung-pang, sungguh seru dan menganggumkan. Bong-sicu, apa sih sukarnya menundukkan pengemis liar ini?”
Biarpun Cu Sian tidak berpakaian sebagai pengemis, akan tetapi karena ilmu tongkatnya itu terkenal sebagai ilmu tongkat ketua perkumpulan pengemis yang terkenal, maka to-su itu menyebut pengemis liar! Tosu itu melangkah maju menghampiri, kebutan di tangan kirinya menyambar ke depan dengan kecepatan kilat dan mengeluarkan suara bersuitan.
Tentu saja Cu Sian terkejut sekali. Dia mengelak dari pedang Bong Sek Toan yang menyambar, meloncat ke samping dan pada saat itulah kebutan di tangan kiri tosu itu menyambar kearah kepalanya! Dia cepat memutar tongkatnya menangkis, akan tetapi tiba-t iba tosu itu menggerakkan tangan kanannya dan sebatang tongkat putih meluncur dan menahan tongkat Cu Sian. Begitu kedua tongkat bertemu, Cu Sian merasakan tongkatnya melekat pada tongkat putih itu dan tidak dapat di tarik kembali. Padahal kebutan itu sudah menyambar kearah kepalanya. Dia hanya dapat miringkan kepalanya untuk mengelak.
“Breett…!“ sutera pengikat rambutnya terlepas dan rambutnya menjadi riap-riapan. Rambut yang hitam panjang!
“Sian-cai…! To-su itu berseru dan kini kebut annya menyambar lagi kearah dada Cu Sian. Dengan tenaga sepenuhnya Cu Sian menarik tongkatnya dan berhasil melepaskan tongkatnya dari lekatan tongkat putih, lalu menangkis kebut an yang menyerang kea rah dadanya itu.
“Wuuukk… pllaakk...!“ kini tongkat itu terlibat ujung kebutan dan tidak dapat terlepas.
Pada saat itu Bong Sek Toan menusukkan pedangnya kea rah dadanya. Cu Sian tidak dapat menghindar diri lagi kecuali miringkan tubuhnya.
“Breeettt...!” Bajunya terobek pedang dan untuk sekejap nampaklah bukit dada yang menonjol ketika baju itu terobek dan pundaknya terluka.
“Aha! Kiranya engkau seorang wanita...? “Bong Sek Toan mengejek.
“Ha-ha-ha, sejak rambutnya terurai pinto sudah mengetahuinya...“
"Tangkap dia lo-cian-pwe...!" kata Bong Sek Toan.
“Ha-ha-ha, jangan khawatir, mudah saja!” kata to-su itu sambil tertawa-tawa dan diapun menggerakkan tongkat dan kebutannya yang lihai.
Akan tetapi Cu Sian menggigit giginya dan mengamuk. Tongkatnya di putar cepat dan dia tidak akan menyerah sampai titik darah terakhir. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaiannya jauh sekali dibandingkan tingkat to-su itu. Apalagi di situ masih ada Bong Sek Toan yang membantu si tosu lihai. Setelah lewat belasan jurus, sebuah sapuan tongkat putih mengenai mata kakinya dan Cu Sian terpelanting.
Pada saat Bong Sek Toan hendak menubruknya, nampak bayangan berkelebat dan Bong Sek Toan terhuyung ke belakang karena ada kekuatan dahsyat yang mendorongnya mundur. Ketika dia melihatnya, ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda yang membantu Cu Sian berdiri lagi. Pemuda itu bukan lain adalah Cian Han Sin!
Melihat Han Sin, Cu Sian girang sekali akan tetapi segera kegirangannya itu berubah menjadi kekhawatiran. Teringatlah dara yang menyamar pria ini bahwa Han Sin adalah seorang pemuda lemah, atau kalaupun memiliki ilmu silat, kepandaiannya itu tidak seberapa, masih jauh dibawah tingkatnya sehingga dahulu ialah yang menjadi 'pengawal' Han Sin. Timbul kekhawatirannya kalau-kalau Han Sin akan menjadi korban dan mati konyol.
“Sin-ko… cepat, larilah selagi masih mungkin. Larilah, mereka ini lihai sekali. Engkau dapat terbunuh…!” katanya sambil siap menggunakan tongkatnya untuk melindungi Han Sin.
Han Sin kebetulan lewat di situ dalam perjalanannya dari tepi sungai menuju ke Lo-an untuk mencari bekal makanan ketika dia melihat Cu Sian di keroyok oleh seorang pemuda dan seorang to-su. Kekagetannya itu bertumpuk-tumpuk ketika dia mengenal Bong Sek Toan dan lebih lagi ketika dia mengenal tosu itu sebagai Ngo-heng-thian-cu, pembunuh gurunya, Hek-liong-ong atau Ho-beng Hwesio! Dan rasa kagetnya itu menjadi lebih hebat ketika ia melihat bahwa Cu Sian adalah seorang wanita! Nyaris Cu Sian celaka karena semua kenyataan ini membuatnya bengong sesaat.
Akan tetapi dia segera menyadari bahwa kalau dia tidak cepat turun tangan. Cu Sian tentu akan celaka, maka dia lalu meloncat, mendorong Bong Sek Toan dan membantu Cu Sian bangkit berdiri. Ketika dia mendengar permintaan Cu Sian agar dia melarikan diri agar selamat, diam-diam dia merasa terharu. Dalam keadaan terancam seperti itu, Cu Sian masih mengkhawatirkan dirinya dan minta agar dia melarikan diri.
“Tidak, aku tidak akan lari. Biar aku menghadapi to-su Iblis ini...“ katanya dan dia segera mengerahkan tenaga dari Bu-tek Cin-keng. “Kau lawanlah pemuda itu...!”
Melihat ada orang yang menolong gadis yang menyamar pria itu, Ngo-heng Thian-cu menjadi penasaran. Kini Han Sin bukan pemuda remaja lagi, melainkan seorang pemuda dewasa. Kurang lebih empat tahun yang lalu, dia mencoba menyerang to-su ini ketika melihat gurunya tewas dan to-su ini tidak mau melayaninya karena mengira dia murid Siauw-li-pai. Agaknya Ngo-heng Thian-cu gentar menghadapi permusuhan dengan perguruan silat yang terkenal itu. Maka to-su itu tidak mengenalnya dan dengan kebutan di tangan kiri, tongkat putih di tangan kanan, dia melangkah maju dan siap untuk menyerang.
“Hiattt…!” Han Sin menyerang dengan Bu-tek Cin-keng, mendorongkan kedua tangannya dengan jari terbuka ke depan. Angin dahsyat menyambar.
To-su itu terkejut dan berusaha untuk menangkis, akan tetapi tetap saja tubuhnya terdorong dan terpental sampai beberapa meter jauhnya. Dia terbanting keras, akan tetapi dia segera dapat bangkit berdiri lagi. Kenyataan ini saja membuktikan betapa kuatnya kakek tua ini. Sementara itu, Cu Sian sudah bergebrak lagi melawan Bong Sek Toan.
Melihat Kakek itu dapat berdiri dengan cepat, dan Cu Sian sudah terluka, Han Sin segera menyambar lengan tangan Cu Sian dan sekali melompat dia segera berlari cepat meninggalkan tempat itu. Bong Sek Toan tidak berani mengejar dan ketika dia mengajak to-su itu untuk melakukan pengejaran, Ngo-heng Thian-cu menghela napas panjang.
“Aihh siapa dapat menduga bahwa ada seorang pemuda memiliki kekuatan seperti itu...? Siancai, jangan mengejar mereka, Bong-sicu, berbahaya sekali!”
Biarpun hatinya amat penasaran dan kecewa, Bong Sek Toan terpaksa tidak berani mengejar sendiri dan mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan.
********************
Han Sin membawa lari Cu Sian dan baru berhenti setelah tiba di tepi pantai. Dia segera menuntun Cu Sian memasuki perahunya dan menjalankan perahunya mengikuti aliran sungai menuju ke selatan. Barulah kini mereka saling pandang sambil duduk di dalam perahu itu. Tangan kanan Han Sin memegang kemudi perahu. Mereka saling pandang dengan penuh keheranan sehingga sampai lama mereka hanya saling tatap tanpa dapat berkata-kata.
“Luar biasa…!“ Ucapan ini keluar dengan berbareng dari mulut mereka, seperti di komando saja dan kejadian yang kebetulan ini membuat keduanya tertawa lepas, karena merasa lucu sekali.
“Apanya yang luar biasa...?” Tanya Han Sin.
“Engkau yang luar biasa! Biasanya, engkau hanya seorang pemuda yang lemah, bahkan aku menjadi pengawalmu. Akan tetapi sekarang ternyata engkau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai dibandingkan aku...!”
“Ah, biasa-biasa saja…“ kata Han Sin merendah.
“Tidak, Sin-ko, engkau hebat! Engkau dapat merobohkan to-su sakti itu dalam segebrakan saja. Dan tadi engkau mengatakan luar biasa, nah apanya yang luar biasa...?”
“Engkaulah yang luar biasa...!” kata Han Sin dan baru sekarang dia melihat betapa cantiknya Cu Sian. Padahal, biasanya dia menganggap Cu Sian seorang pemuda remaja yang Bengal dan liar! “Ternyata engkau seorang wanita. Bukankah itu luar biasa sekali...?”
Cu Sian tersenyum. “Sejak lahir aku memang perempuan, apanya yang luar biasa...?” Akan tetapi senyumnya kini berubah, ia menyerengai kesakitan.
Han Sin terbelalak dan cepat minggirkan perahunya, menghentikan perahu dengan mengikatkan talinya ke sebuah batu besar di tepi sungai yang sepi. Lalu dia menghampiri Cu Sian yang masih menyeringai kesakitan sambil memegangi pundak kirinya.
“Kenapa engkau, Sian-te…?“
Biarpun ia sedang kesakitan, Cu Sian kini tertawa, menertawakan Han Sin. “Kau masih menyebutku Sian-te (adik laki-laki Sian)?”
Han Sin tercengang baru teringat akan kesalahanya. “Eh… ohh… habis, aku harus menyebut apa? Oya, Sian-moi (adik perempuan Sian)! Engkau terluka? Biarkan aku memeriksanya...!”
Han Sin memegang pundak kiri dara itu dan membuaka baju di bagian itu yang memang sudah robek. Akan tetapi Cu Sian menepiskan tangannya. “Hemm , engkau mau apa...? kenapa buka-buka baju...?”
Wajah Han Sin menjadi kemerahan. "Habis, kalau tidak dibuka, bagaimana aku dapat memeriksa lukanya...?”
Cu Sian lalu dengan hati-hati membuka sedikit baju yang robek itu, hanya cukup untuk memperlihatkan luka dipundaknya. Han Sin memeriksa dan hatinya lega. Luka itu tidak terlalu besar, hanya luka kulit dan juga nampak bersih tidak ada tanda-tanda keracunan. Tentu saja nyeri, yaitu pedih karena kulit itu terobek.
“Syukur lukamu tidak berbahaya, Sian-mo. Hanya luka kulit dan tidak beracun. Biar ku obati dengan obat luka ini...“
Dia mengeluarkan sebuah bungkusan dari buntalan pakaiannya dan menaburkan obat bubuk warna merah kepada luka itu. Cu Sian memejamkan matanya, tadinya ia khawatir kalau obat itu menimbulkan rasa pedih, akan tetapi ternyata tidak, bahkan rasa pedih pada lukanya hilang, tertutup rasa dingin nyaman. Ia lalu menutupkan lagi robekan bajunya, lalu bangkit berdiri dan menyambar buntalan pakaiannya.
“Engkau tunggu di sini, aku mau berganti bajuku yang robek!” katanya dan iapun melompat ke darat dan lenyap di balik semak belukar. Tak lama kemudian ia sudah muncul lagi ke dalam perahu. Han Sin melepas tali perahu dan perahu itu kembali meluncur mengikuti aliran air sungai.
“Sungguh mati tak pernah aku bermimpi bahwa engkau adalah seorang wanita, Sian-moi...“ kata Han Sin sambil tersenyum memandang kepada gadis itu. Biarpun masih mengenakan pakaian seorang pemuda remaja, akan tetapi karena dia sudah tahu bahwa Cu Sian seorang wanita, gadis itu kelihatan cantik manis, bukan lagi tampan seperti biasa dia melihatnya.
Cu Sian tersenyum lebar dan lesung pipitnya bermain-main di kanan kiri mulutnya. “Akupun tidak pernah mimpi bahwa engkau ternyata seorang pendekar yang berilmu tinggi, Sin-ko...“ katanya.
Han Sin menatap wajah itu dan dia pun tertawa geli. Cu Sian mengerutkan alisnya dan cemberut, bertanya, “kenapa engkau tertawa? Apanya yang lucu pada diriku...?”
“Ha-ha-ha kau… seorang wanita! Sungguh aneh sekali! Kalau ku ingat akan sikapmu selama ini terhadap Loana dan Hailun! Sungguh luar biasa! Kenapa engkau mempermainkan kedua orang gadis Mongol itu, Sian-moi?”
Cu Sian menundukkan mukanya yang berubah kemerahan. Kemudian ia mengangkat mukanya dan memandang kepada Han Sin dengan sinar mata menantang! Agaknya ia tadi tersipu dan dengan kekerasan hatinya ia malah menantang.
“Aku hanya bermaksud menjauhkan mereka darimu, Sin-ko...“
“Ah, kenapa...?”
“Aku… aku takut engkau jatuh cinta kepada Loana. Aku tidak ingin melihat engkau terpikat oleh Loana atau gadis lainnya...!”
Sejenak mereka saling pandang dan akhirnya Cu Sian menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali karena ia menyadari bahwa baru ia membuka rahasia hatinya. Han Sin tertegun. Gadis ini cemburu! Dan tidak ingin melihat dia jatuh cinta kepada gadis lain. Jawaban ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Cu Sian juga jatuh cinta kepadanya!
Han Sin termenung. Dia harus mengakui bahwa dia amat suka kepada Cu Sian yang di sangkanya seorang pemuda remaja, bahkan dia selalu merindukan kehadiran sahabat itu. Alangkah mudah baginya untuk mengubah rasa suka kepada Cu Sian pria itu menjadi rasa cinta kepada Cu Sian wanita. Akan tetapi, perubahan atas diri Cu Sian itu demikian tiba-tiba datangnya dan dia sama sekali tidak tahu perasaan apa yang berada di dalah hatinya terhadap Cu Sian wanita. Hatinya sudah di penuhi oleh bayangan Kim Lan, dan agaknya sukar baginya untuk menukar bayangan itu dengan gadis lain!
Kini dia merasa tidak enak hati sekali dan salah tingkah ketika Cu Sian membuka perasaan hatinya kepadanya. Segera dia hendak mengalihkan percakapan mereka kepada hal-hal lain. “Oya, kau maafkanlah aku ketika aku meninggalkan engkau tanpa pamit itu, Sian-moi...“
“Ah, tidak, Sin-ko. Aku tahu bahwa tentu engkau menganggap aku seorang pemuda mata keranjang yang hendak mempermainkan dua orang gadis. Akan tetapi setengah mati aku mengejar dan mencarimu! Untung bahwa kita dapat bertemu di tempat aku terancam maut itu...“
“Sian-moi, engkau hendak pergi kemanakah...?”
Cu Sian memandang kepadanya, “Kemana engkau pergi ke sanalah aku pergi pula, Sin-ko. Bukankah selama ini kita melakukan perjalanan bersama? Aku ingin melakukan perjalanan bersamamu, Sin-ko. Kemanakah engkau hendak pergi? Aku ikut denganmu...“
Han Sin tersenyum. Gadis ini sikapnya masih sama dengan ketika ia menjadi pemuda remaja. Bengal, nakal, keras hati dan nekat! Dia lalu menggeleng kepalanya. “Hal itu tidak mungkin kita lakukan, Sian-moi. Ingatlah, engkau seorang gadis dan aku seorang pemuda, mana mungkin melakukan perjalanan berdua saja...?”
“Apa salahnya? Kalau aku menyamar sebagai pria, siapa yang akan tahu? Engkau sendiri juga tidak tahu. Biarkan aku menyertaimu dan aku akan tetap menyamar sebagai pria, Sin-ko...“
“Hemm, biarpun selama ini aku dapat kau kelabui, akan tetapi ku rasa lambat laun aku tentu akan mengetahui juga. Banyak kejanggalan kau perlihatkan selama ini. Engkau dekat namun jauh. Bahkan bermalam pun menggunakan dua kamar. Tentu akan ketahuan orang dan amat tidak baik bagi nama dan kehormatanmu sebagai seorang gadis, Sian-moi, kita terpaksa harus mengambil jalan masing-masing. Apalagi aku sendiri mempunyai urusan pribadi yang amat penting.
“Apakah engkau telah mendapat tahu siapa pembunuh ayahmu dan pencuri pedang hek-liong-kiam itu...?”
“Belum, akan tetapi aku sudah mendapat petunjuk-petunjuk. Apalagi, aku menerima kabar duka bahwa ibuku pun baru saja di bunuh orang…“ suara Han Sin terdengar sedih.
Cu Sian terkejut. “Ahhhh…! Siapa pembunuh keparat itu?”
“Tidak ada yang tahu, akan tetapi aku mendengar bahwa pembunuh ibuku menggunakan pedang hitam bersinar..."
“Wahhh, jangan-jangan pembunuh ibumu adalah juga pembunuh ayahmu dan pencuri hek-liong-kiam...!"
Han Sin mengangguk-angguk. "Akupun berpendapat begitu maka aku akan melakukan penyelidikan ke kota raja...“
“Wah, ke Tiang-an...?”
“Ya, menengok rumah di luar kota raja dan mengunjungi makam ibuku, dan menyelidiki musuh yang ku kira berada di kota raja...“
“Bagus, kalau begitu aku pun akan pulang...“
“Kemana...?”
“Tiang-an! Kau tahu, Hek I Kaipang berpusat di Tiang-an, Sin-ko. Jadi kita sama-sama menuju ke Tiang-an. Satu tujuan. Engkau tentu tidak keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama, bukan...?”
Apa yang dapat dikatakan Han Sin untuk menolak? Tidak ada alasan sama sekali baginya untuk menolak dan kalau dia mau berterus terang kepada diri sendiri, dia pun sebenarnya senang dapat melakukan perjalanan dengan Cu Sian, walaupun kini Cu Sian telah berubah menjadi seorang gadis. Diapun tersenyum.
“Kalau memang tujuan perjalanam kita sama, mengapa keberatan, Sian-moi?”
Bukan main girangnya hati Cu Sian nampak pada wajahnya yang kemerahan dan berseri-seri, matanya yang bersinar-sinar. “Terima kasih, Sin-ko. Aku tahu, engkau memang seorang yang baik sekali...!”
“Ada satu syarat, Sian-moi, yaitu mulai sekarang engkau harus menuruti petunjukku dan jangan bersikap ugal-ugalan lagi!” kata Han Sin dengan sikap galak sehingga Cu Sian tertawa geli.
“Baik, kakakku yang budiman. Dan aku pun mempunyai syarat yang harus kau penuhi!”
“Ehhh? Kenapa jadi engkau yang menentukkan syarat? Engkau mulai ugal-ugalan lagi?"
“Tidak! Sekali ini engkau harus menurut, yaitu mulai sekarang jangan menyebut aku Sian-moi! Bagaiamana nanti orang-orang yang mendengar seorang pemuda di sebut Sian- moi? Tentu mereka akan mengira kita ini berotak miring!”
Han Sin tertawa bergelak. Hidup selalu nampak gembira kalau Cu Sian berada di dekatnya. Bocah ini memang lincah jenaka dan selalu mendatangkan kegembiraan. “Baik, Sian-te. Dan maafkan kelupaanku...“ Tiba-tiba Han Sin teringat akan sesuatu. “Wah, payah ini...!”
“Kenapa Sin-ko...?”