MEREKA meninggalkan kuburan itu dan duduk di bawah pohon besar di atas batu-batu gunung yang banyak terdapat di situ. “Nah, ceritakanlah apa artinya semua ini, Sin-ko...“
“Secara kebetulan sekali aku bertemu dengan seorang yang menceritakan keadaan dirimu di waktu masih kecil. Engkau di temukan orang itu dalam sebuah hutan, di tinggalkan oleh seorang wanita dan orang itu mengetahui siapa wanita yang mebuangmu di hutan itu...?”
“Siapa orang itu...?”
“Dia bukan lain adalah mendiang Thian Ho Hwesio…“
“Suhu…? Mendiang…! Jadi suhu telah… Telah…“
“Gurumu itu telah tewas dalam pelukanku, Lan-moi...“
“Aih, Suhu…!” Kim Lan menahan sesengukan.
Dan Han Sin membiarkannya saja karena dalam menerima berita yang mengejutkan dan mendukakan itu memang paling baik bagi Kim Lan untuk menangis. Pelampiasan rasa duka yang terbaik adalah melalui cucuran air mata. Akan tetapi tidak lama Kim Lan menangis. Ia sudah dapat menguasai lagi dirinya dan ia berhenti menangis, memandang Han Sin dengan kedua mata kemerahan dan bertanya,
“Bagaimana suhu meninggal dunia, Sin-ko? Apakah dia mati karena sakit?”
“Dia terluka parah, Lan-moi. Dia bertemu dengan see-thian-mo dan Pak-te-ong, dua orang datuk yang berkelahi denganku tadi. Dua orang datuk itu sudah mengenalnya dan mereka membujuk suhumu agar membantu mereka bersekongkol dengan Lui Couw untuk membunuh kaisar. Akan tetapi suhumu tidak sudi dan dia lalu di serang dan di keroyok dua sehinggah terluka parah. Dialah yang bercerita tentang dirimu kepadaku...“
“Aihhh, suhu, betapa malang nasibmu…“ Kim Lan menghela napas panjang. “Lalu bagaimana, Sin-ko? Lanjutkan ceritamu. Menurut suhu, siapakah wanita yang telah membuangku di hutan itu? Apakah ia itu ibu kandungku...?”
"Sama sekali bukan, Lan-moi. Bagaimana ibu kandungmu bisa begitu jahat? Ibu kandungmu adalah seorang wanita yang bijaksana dan baik hati, seperti engkau! Yang membuangmu di hutan itu dan terlihat oleh gurumu adalah seorang tokouw bernama Kang Sim To-kouw, ketua Thian-li-pang dari Thian-san...“
“Hemmm, mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia menculik aku...?” .
"Aku pun bertanya seperti itu dalam hatiku, karena merasa penasaran aku lalu pergi ke Thian-li-pang menemuinya. Kami sempat bertanding dan aku berhasil mengalahkannya. Sesuai dengan janjinya bahwa kalau kalah ia akan bercerita tentang dirimu, maka berceritalah Kang Sin To-kouw akan perbuatannya yang kejam, yang timbul karena perasaan iri hati...“
“Iri hati? Kepada siapa?”
“Kepada ibumu. Dengarlah, Lan-moi. Ibumu adalah sumoi dari Kang Sim To-kouw. Mereka sama-sama menjadi murid Thian-li-pang yang sebetulnya tidak membolehkan para muridnya menikah. Karena ibumu melanggar, maka ia dikeluarkan dari Thian-li-pang. Melihat ibumu hidup bahagia dengan suaminya dan melahirkan engkau, maka Kang Sim To-kouw menjadi iri hati. Ia tidak saja menculikmu bahkan ia telah membunuh ayah kandungmu karena iri...“
“Aih, betapa kejam dan jahatnya...!”
“Akan tetapi ia telah sadar dan menyesali perbuatannya. Bersamaku lalu ia pergi menemui ibumu dan mengakui segala perbuatannya, baik mengenai pembunuhan suami ibumu maupun tentang penculikan atas dirimu. Ia bukan hanya mohon ampun, melainkan bersedia menerima hukuman dan rela di bunuh. Akan tetapi ibumu adalah seorang wanita yang bijaksana dan baik hati sekali, ia tidak marah hanya menyesal mengapa sucinya berbuat sekejam itu dan ia memaafkannya! Nah, dari ibumu itulah aku dapat mengetahui bahwa sesungguhnya namamu adalah Ang Swi Lan. Aku sudah berjanji kepada ibumu untuk mencarimu sampai dapat dan membawamu pulang kepada ibumu...“
“Siapakah ibuku, Sin-ko?”
“Engkau tentu tidak pernah menduganya, Lan-moi. Engkau pernah bertemu dengannya bahkan berkenalan. Ia adalah Pek Mau To-kouw ketua Hwa-li-pang di Hwa-san...“
“Ahhhh…!“ Kim Lan membayangkan wanita tua dengan rambutnya yang sudah putih semua itu. Seorang nenek yang baik hati dan budiman. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya. “Sin-ko, bagaimana aku dapat yakin akan semua ceritamu ini? Biarpun suhu sudah bercerita, biarpun mereka semua sudah mengaku, akan tetapi apa buktinya bahwa aku adalah puteri Pek Mau To-kouw dari Hwa-li-pang...?”
Han Sin tersenyum. Dia tidak ragu lagi. “Akupun sudah bertanya akan hal itu kepada Pek Mau To-kouw dan ia mengatakan bahwa pada tubuhmu terdapat tanda-tanda khas yang tidak mungkin terdapat pada orang lain...“
Wajah Kim Lan menjadi merah. “Tanda-tanda khas? Apakah itu...?”
“Kata Pek Mau To-kouw, di telapak kaki kananmu terdapat bercak hitam. Nah, benar atau tidakkah, Lan-moi...?”
Mendengar ini, wajah Kim Lan menjadi merah sekali dan ia menutupi mukanya dengan kedua tangan.”Ah, ibuuuu…“
“Mari kita ke Hwa-San, Lan-moi. Kita temui ibumu yang tentu sudah mengharapkan dan menunggu-nunggu...“
“Baiklah, Sin-ko. Akan tetapi... Bagaimana dengan Cu Sian?”
“Bagaimana dengan ia tergantung kepada keputusanmu, Lan-moi, Kalau engkau dapat memenuhi syaratnya dan syarat ku, tentu semua menjadi beres...!”
“Hemmm, berarti engkau hendak mengawini kami berdua...?”
“Bukankah itu syarat dari Cu Sian? Kalau engkau menghendaki agar ia berbahagia, dan kita berdua juga berbahagia, tidak ada jalan lain bagimu kecuali menyetujui, bukan...?”
“Ihhh, engkau laki-laki mau enaknya saja! “kata Kim Lan akan tetapi ia tersenyum. Han Sin tertawa dan mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju Hwa-San.
Setelah meninggalkan tempat itu, Han Sin teringat akan pedang Hek-liong-kiam. “Lan-moi, bagaimana pendapat mu? Apakah sebaiknya kalau pedang ini kuserahkan dulu kepada kaisar?”
“Hemmm, jangan bodoh, Sin-ko. Kalau engkau pergi ke kota raja dan menghadap kaisar, engkau seperti ular mencari penggebuk saja. Para perwira tentu sudah melapor bahwa engkau telah membunuh Lui-ciangkun dan engkau akan ditangkap sebagai pemberontak. Pula, bukankah Hek-liong-kiam itu peninggalan ayahmu sendiri. Tidak semestinya kalau diserahkan kepada kaisar. Aku mendengar berita yang banyak tentang diri kaisar dan berita itu menyatakan bahwa dia adalah seorang yang kurang bijaksana, bahkan melakukan banyak hal yang merugikan rakyat. Kita tidak perlu kesana dan sebaiknya engkau menjauhkan diri dari kota raja, Sin-ko...“
Han Sin mengangguk-angguk. “Pendapat mu memang tepat sekali. Kalau selalu bersamamu, aku mempunyai seorang penasehat yang amat bijaksana. Nah, mari kita berangkat menuju ke Hwa-san...“
Mereka melakukan perjalanan dengan cepat tanpa halangan sesuatu dan tibalah mereka di kuil Hwa-li-pang di pegunungan Hwa-san itu. Kedatangan mereka di sambut sendiri olah Pak-Mau To-kouw. Pendeta wanita ini berdiri termangu-mangu melihat gadis berpakaian putih yang datang bersama Han Sin.
Demikian pula Kim Lan atau Ang Swi Lan atau Lan Lan berdiri seperti terpesona memandang wanita yang sebetulnya belum begitu tua, belum lima puluh tahun akan tetapi yang rambutnya sudah putih semua seperti benang-benang kapas itu. Kemudian, keduanya seperti di tarik oleh besi sembrani, saling menghampiri dan saling rangkul sambil menangis…!”
“Swi Lan…! Lan-Lan, engkau Lan-Lan ku… ah, benar-benar engkau Swi Lan! Terima kasih kepada Tuhan…“ Tokouw itu mencium muka anaknya sambil menangis kegirangan, penuh bahagia terasa di hatinya.
“Ibu, maafkan anakmu yang telah membuat ibu selalu bersedih hati...“ kata Lan-Lan sambil mencium pipi ibunya yang masih montok dan belum terganggu keriput itu.
Ibunya merangkulnya, lalu membawanya duduk di kursi. Mereka bertiga duduk menghadap meja. Lan-Lan dekat sekali dengan ibunya dan Han Sin berhadapan dengan mereka. “Bukan salahmu, anakku. Engkau masih kecil ketika di culik orang, dan tentu baru sekarang engkau mendengar semua tentang riwayat mu dari Han Sin...“
“Kang Sim To-kouw itu sungguh kejam dan jahat sekali, ibu. Bukan hanya menculikku, memisahkan aku dari ibu, akan tetapi ia juga membunuh ayahku...“
“Bukan kejam dan jahat, anakku. Melainkan iri hati. Nafsu iri memang dapat membutakan mata bathin manusia dan menghilangkan segala pertimbangan dan perasaan halus. Akan tetapi suci sudah menginsafi kesalahannya, bahkan jauh sebelum bertemu dengan Han Sin ia sudah tersiksa, terhukum karena dikejar-kejar oleh nuraninya sendiri yang merasa berdosa. Dan akupun sudah memaafkannya anakku...“
“Ibu bijaksana sekali dan aku bangga mempunyai ibu begini bijaksana...“ kata Lan Lan sambil memandangi wajah ibunya dengan penuh kasih sayang.
“Semua ini berkat bantuan Han Sin. Kalau tidak ada dia, sampai sekarang pun kita belum akan dapat saling bertemu dan berkumpul kembali. Entah apa yang dapat kami lakukan untukmu, Han Sin. Untuk membalas budimu yang amat besar...“
“Tidak perlu sungkan, bibi. Karena kita adalah orang-orang sendiri. Harap bibi ketahui bahwa kalau aku bersusah payah menolong Lan-moi, itu berarti aku menolong calon istriku sendiri...“
“Ahhhh…? Begitukah…?” Pek Mau To-kouw memandang kepada mereka bergantian dengan wajah berseri.
Lan Lan menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan dan Han Sin tertawa lalu berkata, “Kami berdua saling mencinta dan sudah berjanji untuk menjadi suami istri, bibi...“
“Siancai…! bagus, bagus! Wah, hari ini pinni mendapat kebahagiaan ganda. Menemukan kembali puteriku dan sekaligus memperoleh mantu yang baik sekali. Ini harus di rayakan...!” ia lalu memanggil para muridnya untuk mempersiapakn sebuah pesta untuk menyambut kembalinya anak yang hilang sejak kecil itu.
Semua anggota Hwa-li-pang ikut bergembira dengan peristiwa itu. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa puteri ketua mereka adalah gadis baju putih yang sudah lama mereka kagumi dan calon mantunya adalah pemuda gagah yang dulu hampir dipaksa keluarga gila untuk menjadi mantu mereka.
Malam itu, ibu dan anak ini melepas rindu dan saling bercakap sampai semalam suntuk. menceritakan semua pengalamannya kepada ibunya yang merasa bangga sekali kepada puterinya. Puterinya bukan saja telah menjadi pendekar wanita yang memiliki ilmu silat lebih tinggi darinya, akan tetapi juga pandai ilmu pengobatan dan ilmu sihir! Akan tetapi ketika ia menceritakan kepada ibunya tentang Cu Sian, pendeta wanita itu menjadi heran.
“Cu Sian, yang kau maksudkan pemuda pengemis yang gagah perkasa itu...?”
“Ia bukan pemuda, Ibu, ia adalah seorang gadis yang manis sekali. Dan ia… ia amat mencinta Sin-ko jauh hari sebelum aku bertemu dengan Sin-ko...“
“Ahhhh…! Dan bagaimana dengan Han Sin? Apakah dia juga mencintainya...?”
“Sin-ko sayang kepadanya, sejak ia menyamar sebagai pria dan di sayang seperti adik sendiri, akan tetapi…“
“Akan tetapi apa...?”
“Cu Sian sungguh amat mencinta Sin-ko, dan hatiku tidak tega membiarkan ia merana kalau ia sampai tidak dapat menikah dengan Sin-ko, apalagi setelah malapetaka itu menimpa dirinya...“
Dengan terus terang Lan Lan bercerita kepada ibunya tentang apa yang menimpa diri Cu Sian, betapa Cu Sian telah diperkosa oleh Lui Sun Ek yang kemudian dibunuhnya. Dan ia bercerita pula kepada ibunya bahwa ia telah mengalah dan menganjurkan kepada Han Sin untuk menikah dengan Cu Sian.
“Ah, engkau keliru anakku. Kebijaksanaan ada batasnya, mengalahpun ada batasnya. Engkau hendak memaksakan sesuatu yang tidak mungkin...“
“Akan tetapi aku rela mengalah demi kebahagiaan Cu Sian ibu. Aku merasa kasihan sekali kepadanya...“
“Memang itu salah satu perasaan yang baik. Akan tetapi mengalah dengan mengorbankan diri sendiri? Dan apa kau kira bahwa perbuatanmu itu, pengorbananmu itu, akan mendatangkan kebahagiaan bagi Cu Sian sendiri? Bagaimana mungkin ia dapat berbahagia bersuamikan seorang yang hanya menyayangnya seperti adik sendiri? Engkau harus ingat pula akan perasaan hati Han Sin. Apakah dia akan dapat hidup berbahagia, berpisah dari engkau yang di cintanya dan terpaksa menikah dengan gadis yang hanya di sayangnya seperti adik? Dan engkau sendiri! Ah, pengorbananmu yang kau anggap mulia itu akhirnya bahkan akan membuat kalian bertiga menderita kesengsaraan dan kekecewaan hati yang menimbulkan penyesalan selama hidup...“
Lan Lan tertegun dan ucapan ibunya itu meresap benar ke dalam sanubarinya. Ia seolah baru terbuka matanya dan melihat kemungkinan dalam pandangan yang benar dan tepat itu. “Akan tetapi sudah terlanjur, Ibu. Sudah kukatakan kepada Han Sin bahwa kalau dia tidak mau mengawini Cu Sian... aku akan membencinya. Semua itu kukatakan hanya untuk mendorongnya mengaw ini Cu Sian...“
“Anak bodoh! Dan Cu Sian sendiri? Apa katanya? Apakah ia mau diperisteri oleh Han Sin setelah dirinya ternoda? Apakah ia tidak akan merasa rendah diri...?”
“Mula-mula Cu Sian memang tidak mau, akan tetapi akhirnya ia mengatakan bahwa ia mau menjadi isteri Han Sin dengan satu syarat yaitu setelah Han Sin menikah dengan aku...!”
Pak Mau To-kouw tersenyum dan mengangguk-angguk. Gadis itu berbudi baik. Agaknya ia tahu bahwa engkau mencinta Han Sin, maka ia mengajukan syarat seperti itu. Akan tetapi bagaimana dengan Han Sin sendiri? Maukah dia menikah dengan Cu Sian?”
“Itulah ibu yang menjadi persoalan. Sin-ko juga mengajukan syarat. Dia mau menikah dengan Cu Sian asal boleh menikah dengan aku lebih dulu!”
“Hemmm, syarat yang sama! Dengan demikian maka mau tidak mau engkau terpaksa menikah dengan Han Sin, begitukah?”
“Agaknya demikianlah ibu, demi kebahagiaan mereka...“
“Lan-lan, engkau selalu memikirkan kebahagiaan orang lain. Itu memang baik dan benar, akan tetapi kalau engkau mengabaikan kebahagiaanmu sendiri, hal itu merupakan tindakan yang bodoh sekali. Apakah engkau akan berbahagia kalau menjadi isteri Han Sin dengan dimadu bersama Cu Sian?”
“Aku sayang kepada Cu Sian, Ibu. Aku tidak keberatan dan aku akan berbahagia sekali. Tentu saja kalau bukan Cu Sian, aku tidak akan sudi...“
“Baiklah kalau begitu, akan tetapi aku tidak membenarkan tindakan Cu Sian itu. Kalau memang Han Sin tidak mencintanya, mengapa ia memaksa diri menjadi isterinya? Hal itu hanya akan mendatangkan perasaan kecewa kelak. Ia masih muda, cantik dan aib itu tidak diketahui orang lain. Kelak tentu ia masih akan bertemu dengan seseorang pria yang benar-benar mencintanya. Akan tetapi kalau kalian bertiga sudah mengambil keputusan, akupun tidak dapat berbuat apa-apa lagi...“
“Jadi ibu setuju kalau aku menikah dengan Sin-ko...?”
“Tentu saja aku setuju. Dia seorang pemuda yang baik sekali...“
“Biarpun dia akan menikah pula dengan Cu Sian?”
“Hemmm, aku tahu perasaannya. Dia mau menikah dengan Cu Sian karena engkau memaksanya. Mungkin engkaupun akan mengajukan syarat gila yang sama pula, yaitu, baru mau menikah dengan Han Sin kalau Han Sin berjanji hendak menikahi Cu Sian, bukan begitu...?”
Wajah Lan Lan menjadi kemerahan dan ia merangkul ibunya. “Ibu tahu saja akan isi hatiku..."
“Hemm, lalu bagaimana seandaianya Cu Sian kelak tidak mau menikah dengan Han Sin?”
“Ah, ibu ia amat mencinta Han Sin...“
“Mungkin saja ia mengubah pikirannya dan tidak mau menikah dengan Han Sin yang hanya sayang kepadanya seperti seorang adik, lalu bagaimana...?”
“Kalau ia yang tidak mau apa boleh buat. Akan tetapi kalau Sin-ko yang menolak. Akupun tidak mau menikah dengannya. Aku tidak mau mengecap kebahagiaan di atas penderitaan batin Cu Sian...“
“Kalau begitu, persoalannya tergantung kepada Han Sin, sudahlah, sudah cukup kita bicara. Hari sudah hampir pagi, engkau belum tidur. Engkau perlu mengaso, Lan-Lan...“
“Wah, aku yang lupa diri, ibu. Ibu yang harus mengaso. Ibu sudah tua dan tentu kelelahan...“
Kedua ibu dan anak ini tidur, akan tetapi sampai lama Lan Lan termenung memikirkan percakapan yang dilakukan bersama ibunya tadi.
Sebulan kemudian, Hwa-li-pang mengadakan perayaan pernikahan antara Han Sin dan Lan Lan. Atas permintaan Han Sin, maka perayaan itu dilakukan dengan sederhana, hanya mengundang para penduduk yang menjadi tetangga. Han Sin mengajukan alasan kepada ibu mertuanya bahwa setelah dia membunuh Lui Couw, tentu dia akan di cari oleh pasukan Kerajaan dan dianggap sebagai pemberontak.
Maka, kalau pesta pernikahan itu dirayakan secara meriah dan mengundang tokoh-tokoh kang-ouw, tentu akan ketahuan dan dapat mendatangkan keributan. Biarpun perayaan dilangsungkan dengan sederhana, namun cukup meriah dan membahagiakan hati sepasang mempelai yang saling mencinta itu.
Baru tiga hari berpengantenan, Lan Lan mendesak suaminya agar mereka berdua pergi berkunjung kepada Cu Sian untuk melamar Cu Sian menjadi isteri kedua Han Sin! Han Sin tidak berani membantah biarpun hatinya merasa enggan sekali. Dia telah berjanji! Maka berangkatlah mereka menuju ke Tiang-an, kota raja, mereka menyamar sebagai suami isteri dusun yang berpakaian sederhana sekali.
Dengan hati-hati mereka memasuki pintu gerbang kota raja di waktu senja setelah cuaca remang-remang sehingga mereka tidak dapat dikenali oleh para penjaga. Dan memang sesungguhnya mereka berdua terutama sekali Cian Han Sin sudah masuk catatan sebagai pemberontak yang di cari-cari! Dengan berhati-hati sekali mereka memasuki pintu gerbang bersama rombongan orang-orang dusun lainnya sehingga tidak dikenali dan akhirnya mereka dapat masuk dengan selamat.
Mereka segera mencari Hek-i Kai-pang yang pusatnya berada di Tiang-an dan mempunyai rumah besar di daerah selatan kota. Akan tetapi ketika mereka melihat rumah besar itu di tutup dan papan perkumpulan Hek I Kaipang telah tidak ada lagi. Di situ bahkan terdapat tulisan tertempel di pintu depan bahwa Hek I Kaipang telah di bubarkan dan rumah itu di sita oleh pemerintah!
Selagi mereka kebingungan, seorang kakek berpakaian sederhana menghampiri mereka dan berbisik. “Apakah sicu yang bernama Cian Han Sin?”
Han Sin terkejut dan menoleh. Kakek itu berbisik lagi, “Saya adalah utusan Cu-pangcu yang di tugaskan menghadang sicu di sini. Mari silahkan mengikuti saya dari jauh...“
Setelah berkata demikian kakek itu berjalan pergi seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Han Sin dan Swi Lan segera mengikutinya dari jarak jauh agar jangan kentara dan kakek itu membawa mereka memasuki lorong yang berliku-liku dan ternyata lorong itu menuju ke sebuah tanah kuburan! Tentu saja tempat itu sepi sekali, apa lagi hari telah mulai malam.
Mereka lalu duduk di depan sebuah kuburan tanpa menggunakan api agar tidak diketahui orang lain. Akan tetapi memang tidak perlu ada api penerangan karena bulan purnama muncul sore-sore dan cuaca tidaklah amat gelap. Setelah merasa yakin, bahwa di situ tidak terdapat orang lain, kakek itu memperkenalkan diri.
“Saya bernama Lo Kian, dahulu menjadi pembantu dari nona Cu yang menjadi pangcu kami. Ketika Cu-pangcu pulang dari perantauannya, pada suatu hari datang ratusan prajurit yang menyerbu dan menyerang kami, dengan maksud menangkap pangcu. Kami semua tentu saja mengadakan perlawanan, akan tetapi jumlah prajurit terus bertambah sehingga banyak di antara kami yang tewas...“
“Bagaimana dengan Cu Sian?” Tanya Swi Lan khawatir.
“Cu-pangcu berhasil melarikan diri bersama sisa anggota kami. Juga saya berhasil melarikan diri. Kami lalu menanggalkan pakaian hitam dan mengenakan pakaian biasa sehingga tidak dapat di temukan para prajurit. Tempat kami ini di sita dan kami tidak berani menampakkan diri sebagai anggota Hek I Kaipang lagi. Kemudian Cu-pangcu mengambil keputusan untuk membawa para anggota melarikan diri ke Shansi di utara...“
“Hemmm, mengapa ke Shansi?” Tanya Han Sin, teringat akan pengalamannya dengan Cu Sian ketika mereka merantau ke utara mengalami banyak hal yang aneh-aneh, terutama ketika mereka berdua menjadi tamu suku Yakka.
“Karena pang-cu mendengar bahwa di utara ada pergolakan. Kaisar kabarnya mencurigai Li-kongcu putera Gubernur Li di Shansi yang di dakwa mempunyai hubungan dan bersekutu dengan orang Turki. Kaisar memanggil Li-kongcu, akan tetapi Li-Kongcu tidak mau datang sehingga dia di anggap pemberontak. Maka Cu-pangcu pergi ke sana untuk membantu kalau-kalau Gubernur Shansi mengadakan pemberontakan terhadap kaisar yang di kuasai orang-orang jahat. Banyak durna berkuasa di istana kaisar sehingga kami, perkumpulan pengemis yang tidak bersalah di anggap pemberontak...“
“Lalu engkau disuruh menhadang kami di sini, apa pesan pangcu-mu untuk kami...?”
“Pangcu mengirim surat untuk Cian-sicu dan harus di terima oleh Cian-sicu sendiri. Oleh karena itu berpekan-pekan saya menanti di sini dan kebetulan sekali tadi saya melihat sicu...“ Lo Kian lalu mengeluarkan sepucuk surat bersampul untuk Han Sin.
Bulan purnama bersinar dengan cerahnya. Karena tidak ada awan yang merintangi, maka sinarnya cukup terang bagi Han Sin untuk membaca surat itu. Dia memperlihatkan kepada Swi Lan dan mereka berdua membaca bersama-sama di saksikan oleh Lo Kian. Surat itu di tulis indah dan jelas.
Sin-ko dan Lan-ci yang baik,
Kalau kalian datang, aku sudah pergi ke utara. Perkumpulanku di serbu pasukan, agaknya aku sudah masuk daftar hitam mereka. Aku dan kawan-kawan akan membantu Gubernur Li menentang kaisar yang lalim.
Tentang janjiku, dengan ini kunyatakan bahwa aku menarik kembali janji itu. Maafkan aku, enci Lan. Aku tidak dapat menikah dengan Sin-ko yang ku sayang sebagai kakakku sendiri. Aku telah salah sangka terhadap perasaan hatiku sendiri. Dan pesanku bagimu, Sin-ko. Bahagiakanlah enci Lan, aku sangat sayang dan berhutang budi kepadanya.
Sekianlah, semoga kalian menjadi suami isteri yang berbahagia. Sampai berjumpa lagi kalau Tuhan menghendaki.
Hormat dari aku,
Cu Sian
Han Sin dan Swi Lan saling pandang dalam keremangan cuaca itu. Han Sin melihat betapa sepasang mata isterinya basah oleh air mata. Dia sendiri merasa amat terharu akan tetapi juga berbahagia dan lega. Akhirnya Cu Sian menyadari bahwa cinta di antara mereka adalah kasih sayang antara saudara dan tidaklah baik kalau mereka berdua jadi menikah.
“Nah, sicu, setelah saya menyerahkan surat, saya mohon diri. Saya harus kembali ke utara bergabung dengan kawan-kawan yang berada di sana...“
Han Sin dan Swi Lan mengucapkan terima kasih dan merekapun saling berpisah. Suami isteri ini melewatkan malam di sebuah kuil tua dimana banyak terdapat pula orang-orang dusun yang tidak kuat menyewa kamar. Dan pada keesokan harinya, mereka berdua keluar dari kota raja untuk kembali ke Hwa-li-pang.
Sebetulnya apakah yang terjadi dengan pergolakan di utara? Kaisar Yang Ti yang masih dikelilingi banyak durna itu mendapat hasutan dari mereka. Mereka mengatakan bahwa Gubernur Li, terutama sekali puteranya, yaitu Li Si Bin pasti mempunyai hubungan persekongkolan dengan orang Turki. Kalau tidak demikian, bagaimana mungkin dia dapat membebaskan kaisar ketika di tawan oleh mereka. Dan persekongkolan itu amatlah berbahaya. Siapa tahu Guebernur Li mengadakan rencana untuk memberontak, bergabung dengan orang-orang Mongol dan Turki yang menjadi musuh lama kerajaan.
Mendengar hasutan ini, kaisar lalu menjadi curiga kepada Li Si Bin dan dia mengutus orang untuk memanggil Li Si Bin datang menghadap. Tentu saja dengan rencana kalau sudah menghadap, pemuda itu akan di tangkap dan di paksa mengaku tentang persekutuannya dengan orang-orang Turki. Akan tetapi di antara perwira yang menjadi utusan ini ada yang berpihak kepada Li Si Bin dan diam-diam dia memberi peringatan kepada Li Si Bin. Pemuda ini tentu saja menolak dan tidak mau menghadap. Para utusan tidak berani melakukan kekerasan dan kembali dengan tangan kosong.
Peristiwa itu bagaikan api kecil yang membakar dan yang kemudian menjadi api besar yang menimbulkan perang pemberontakan. Li Si Bin memang sudah beberapa kali menganjurkan ayahnya untuk memberontak sejak mendengar ketidak-adilan kaisar. Mendengar tentang kaisar yang hanya berfoya-foya dan menekan rakyat, yang di kelilingi oleh para durna atau pembesar yang jahat.
Akan tetapi Gubernur Li Goan masih menolak, ketika terjadi peristiwa itu, yaitu ketika Li Si Bin hendak di tangkap oleh kaisar, Gubernur Li Goan tidak lagi dapat di cegah kehendak puteranya. Mulailah Li Si Bin bangkit, memimpin pasukan yang di dukung banyak golongan rakyat itu dan di bantu oleh pasukan dari Mongol dan Turki, menyerbu ke selatan. Terjadilah perang saudara yang hebat sampai akhirnya Kerajaan Sui jatuh dalam tahun 618. Akan tetapi ini merupakan kisah lain lagi.
Kerajaan Sui yang di bangun dengan susah payah oleh Mendiang Yang Cien yang gagah perkasa, hancur di tangan puteranya yang tidak becus, Yang Ti 604–618 merupakan kaisar yang lemah dan menuruti kesenangan diri sendiri saja, sehingga Kerajaan Sui itu hanya mampu dan bertahan berdiri selama tahun 581 sampai 618 saja.
Cu Sian dan anak buahnya, yaitu para anggota Hek I Kaipang, merupakan satu di antara golongan yang banyak membantu perjuangan Li Si Bin. Bahkan Cian Han Sin dan isterinya, Ang Swi Lan, akhirnya juga bergabung dan membantu menggulingkan Kaisar Yang Ti yang semakin lemah. Melalui perang selama hampir sepuluh tahun. Akhirnya Kerajaan Sui dapat di jatuhkan dan Li Si Bin mengangkat ayahnya sendiri, Guebernur Li Goan menjadi Kaisar dari sebuah kerajaan baru yang diberi nama Kerajaan Tang!
Demikianlah, kisah ini selesai sampai di sini dan kalau dulu, pedang Naga Hitam di tangan Cian Kauw Cu membantu berdirinya Kerajaan Sui, kini di tangan Cian Han Sin, bahkan membantu meruntuhkan Kerajaan Sui dan membantu berdirinya Kerajaan Tang.
Mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi para pembaca dan sampai jumpa lagi di lain kisah.
“Secara kebetulan sekali aku bertemu dengan seorang yang menceritakan keadaan dirimu di waktu masih kecil. Engkau di temukan orang itu dalam sebuah hutan, di tinggalkan oleh seorang wanita dan orang itu mengetahui siapa wanita yang mebuangmu di hutan itu...?”
“Siapa orang itu...?”
“Dia bukan lain adalah mendiang Thian Ho Hwesio…“
“Suhu…? Mendiang…! Jadi suhu telah… Telah…“
“Gurumu itu telah tewas dalam pelukanku, Lan-moi...“
“Aih, Suhu…!” Kim Lan menahan sesengukan.
Dan Han Sin membiarkannya saja karena dalam menerima berita yang mengejutkan dan mendukakan itu memang paling baik bagi Kim Lan untuk menangis. Pelampiasan rasa duka yang terbaik adalah melalui cucuran air mata. Akan tetapi tidak lama Kim Lan menangis. Ia sudah dapat menguasai lagi dirinya dan ia berhenti menangis, memandang Han Sin dengan kedua mata kemerahan dan bertanya,
“Bagaimana suhu meninggal dunia, Sin-ko? Apakah dia mati karena sakit?”
“Dia terluka parah, Lan-moi. Dia bertemu dengan see-thian-mo dan Pak-te-ong, dua orang datuk yang berkelahi denganku tadi. Dua orang datuk itu sudah mengenalnya dan mereka membujuk suhumu agar membantu mereka bersekongkol dengan Lui Couw untuk membunuh kaisar. Akan tetapi suhumu tidak sudi dan dia lalu di serang dan di keroyok dua sehinggah terluka parah. Dialah yang bercerita tentang dirimu kepadaku...“
“Aihhh, suhu, betapa malang nasibmu…“ Kim Lan menghela napas panjang. “Lalu bagaimana, Sin-ko? Lanjutkan ceritamu. Menurut suhu, siapakah wanita yang telah membuangku di hutan itu? Apakah ia itu ibu kandungku...?”
"Sama sekali bukan, Lan-moi. Bagaimana ibu kandungmu bisa begitu jahat? Ibu kandungmu adalah seorang wanita yang bijaksana dan baik hati, seperti engkau! Yang membuangmu di hutan itu dan terlihat oleh gurumu adalah seorang tokouw bernama Kang Sim To-kouw, ketua Thian-li-pang dari Thian-san...“
“Hemmm, mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia menculik aku...?” .
"Aku pun bertanya seperti itu dalam hatiku, karena merasa penasaran aku lalu pergi ke Thian-li-pang menemuinya. Kami sempat bertanding dan aku berhasil mengalahkannya. Sesuai dengan janjinya bahwa kalau kalah ia akan bercerita tentang dirimu, maka berceritalah Kang Sin To-kouw akan perbuatannya yang kejam, yang timbul karena perasaan iri hati...“
“Iri hati? Kepada siapa?”
“Kepada ibumu. Dengarlah, Lan-moi. Ibumu adalah sumoi dari Kang Sim To-kouw. Mereka sama-sama menjadi murid Thian-li-pang yang sebetulnya tidak membolehkan para muridnya menikah. Karena ibumu melanggar, maka ia dikeluarkan dari Thian-li-pang. Melihat ibumu hidup bahagia dengan suaminya dan melahirkan engkau, maka Kang Sim To-kouw menjadi iri hati. Ia tidak saja menculikmu bahkan ia telah membunuh ayah kandungmu karena iri...“
“Aih, betapa kejam dan jahatnya...!”
“Akan tetapi ia telah sadar dan menyesali perbuatannya. Bersamaku lalu ia pergi menemui ibumu dan mengakui segala perbuatannya, baik mengenai pembunuhan suami ibumu maupun tentang penculikan atas dirimu. Ia bukan hanya mohon ampun, melainkan bersedia menerima hukuman dan rela di bunuh. Akan tetapi ibumu adalah seorang wanita yang bijaksana dan baik hati sekali, ia tidak marah hanya menyesal mengapa sucinya berbuat sekejam itu dan ia memaafkannya! Nah, dari ibumu itulah aku dapat mengetahui bahwa sesungguhnya namamu adalah Ang Swi Lan. Aku sudah berjanji kepada ibumu untuk mencarimu sampai dapat dan membawamu pulang kepada ibumu...“
“Siapakah ibuku, Sin-ko?”
“Engkau tentu tidak pernah menduganya, Lan-moi. Engkau pernah bertemu dengannya bahkan berkenalan. Ia adalah Pek Mau To-kouw ketua Hwa-li-pang di Hwa-san...“
“Ahhhh…!“ Kim Lan membayangkan wanita tua dengan rambutnya yang sudah putih semua itu. Seorang nenek yang baik hati dan budiman. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya. “Sin-ko, bagaimana aku dapat yakin akan semua ceritamu ini? Biarpun suhu sudah bercerita, biarpun mereka semua sudah mengaku, akan tetapi apa buktinya bahwa aku adalah puteri Pek Mau To-kouw dari Hwa-li-pang...?”
Han Sin tersenyum. Dia tidak ragu lagi. “Akupun sudah bertanya akan hal itu kepada Pek Mau To-kouw dan ia mengatakan bahwa pada tubuhmu terdapat tanda-tanda khas yang tidak mungkin terdapat pada orang lain...“
Wajah Kim Lan menjadi merah. “Tanda-tanda khas? Apakah itu...?”
“Kata Pek Mau To-kouw, di telapak kaki kananmu terdapat bercak hitam. Nah, benar atau tidakkah, Lan-moi...?”
Mendengar ini, wajah Kim Lan menjadi merah sekali dan ia menutupi mukanya dengan kedua tangan.”Ah, ibuuuu…“
“Mari kita ke Hwa-San, Lan-moi. Kita temui ibumu yang tentu sudah mengharapkan dan menunggu-nunggu...“
“Baiklah, Sin-ko. Akan tetapi... Bagaimana dengan Cu Sian?”
“Bagaimana dengan ia tergantung kepada keputusanmu, Lan-moi, Kalau engkau dapat memenuhi syaratnya dan syarat ku, tentu semua menjadi beres...!”
“Hemmm, berarti engkau hendak mengawini kami berdua...?”
“Bukankah itu syarat dari Cu Sian? Kalau engkau menghendaki agar ia berbahagia, dan kita berdua juga berbahagia, tidak ada jalan lain bagimu kecuali menyetujui, bukan...?”
“Ihhh, engkau laki-laki mau enaknya saja! “kata Kim Lan akan tetapi ia tersenyum. Han Sin tertawa dan mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju Hwa-San.
********************
Setelah meninggalkan tempat itu, Han Sin teringat akan pedang Hek-liong-kiam. “Lan-moi, bagaimana pendapat mu? Apakah sebaiknya kalau pedang ini kuserahkan dulu kepada kaisar?”
“Hemmm, jangan bodoh, Sin-ko. Kalau engkau pergi ke kota raja dan menghadap kaisar, engkau seperti ular mencari penggebuk saja. Para perwira tentu sudah melapor bahwa engkau telah membunuh Lui-ciangkun dan engkau akan ditangkap sebagai pemberontak. Pula, bukankah Hek-liong-kiam itu peninggalan ayahmu sendiri. Tidak semestinya kalau diserahkan kepada kaisar. Aku mendengar berita yang banyak tentang diri kaisar dan berita itu menyatakan bahwa dia adalah seorang yang kurang bijaksana, bahkan melakukan banyak hal yang merugikan rakyat. Kita tidak perlu kesana dan sebaiknya engkau menjauhkan diri dari kota raja, Sin-ko...“
Han Sin mengangguk-angguk. “Pendapat mu memang tepat sekali. Kalau selalu bersamamu, aku mempunyai seorang penasehat yang amat bijaksana. Nah, mari kita berangkat menuju ke Hwa-san...“
Mereka melakukan perjalanan dengan cepat tanpa halangan sesuatu dan tibalah mereka di kuil Hwa-li-pang di pegunungan Hwa-san itu. Kedatangan mereka di sambut sendiri olah Pak-Mau To-kouw. Pendeta wanita ini berdiri termangu-mangu melihat gadis berpakaian putih yang datang bersama Han Sin.
Demikian pula Kim Lan atau Ang Swi Lan atau Lan Lan berdiri seperti terpesona memandang wanita yang sebetulnya belum begitu tua, belum lima puluh tahun akan tetapi yang rambutnya sudah putih semua seperti benang-benang kapas itu. Kemudian, keduanya seperti di tarik oleh besi sembrani, saling menghampiri dan saling rangkul sambil menangis…!”
“Swi Lan…! Lan-Lan, engkau Lan-Lan ku… ah, benar-benar engkau Swi Lan! Terima kasih kepada Tuhan…“ Tokouw itu mencium muka anaknya sambil menangis kegirangan, penuh bahagia terasa di hatinya.
“Ibu, maafkan anakmu yang telah membuat ibu selalu bersedih hati...“ kata Lan-Lan sambil mencium pipi ibunya yang masih montok dan belum terganggu keriput itu.
Ibunya merangkulnya, lalu membawanya duduk di kursi. Mereka bertiga duduk menghadap meja. Lan-Lan dekat sekali dengan ibunya dan Han Sin berhadapan dengan mereka. “Bukan salahmu, anakku. Engkau masih kecil ketika di culik orang, dan tentu baru sekarang engkau mendengar semua tentang riwayat mu dari Han Sin...“
“Kang Sim To-kouw itu sungguh kejam dan jahat sekali, ibu. Bukan hanya menculikku, memisahkan aku dari ibu, akan tetapi ia juga membunuh ayahku...“
“Bukan kejam dan jahat, anakku. Melainkan iri hati. Nafsu iri memang dapat membutakan mata bathin manusia dan menghilangkan segala pertimbangan dan perasaan halus. Akan tetapi suci sudah menginsafi kesalahannya, bahkan jauh sebelum bertemu dengan Han Sin ia sudah tersiksa, terhukum karena dikejar-kejar oleh nuraninya sendiri yang merasa berdosa. Dan akupun sudah memaafkannya anakku...“
“Ibu bijaksana sekali dan aku bangga mempunyai ibu begini bijaksana...“ kata Lan Lan sambil memandangi wajah ibunya dengan penuh kasih sayang.
“Semua ini berkat bantuan Han Sin. Kalau tidak ada dia, sampai sekarang pun kita belum akan dapat saling bertemu dan berkumpul kembali. Entah apa yang dapat kami lakukan untukmu, Han Sin. Untuk membalas budimu yang amat besar...“
“Tidak perlu sungkan, bibi. Karena kita adalah orang-orang sendiri. Harap bibi ketahui bahwa kalau aku bersusah payah menolong Lan-moi, itu berarti aku menolong calon istriku sendiri...“
“Ahhhh…? Begitukah…?” Pek Mau To-kouw memandang kepada mereka bergantian dengan wajah berseri.
Lan Lan menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan dan Han Sin tertawa lalu berkata, “Kami berdua saling mencinta dan sudah berjanji untuk menjadi suami istri, bibi...“
“Siancai…! bagus, bagus! Wah, hari ini pinni mendapat kebahagiaan ganda. Menemukan kembali puteriku dan sekaligus memperoleh mantu yang baik sekali. Ini harus di rayakan...!” ia lalu memanggil para muridnya untuk mempersiapakn sebuah pesta untuk menyambut kembalinya anak yang hilang sejak kecil itu.
Semua anggota Hwa-li-pang ikut bergembira dengan peristiwa itu. Apalagi ketika mereka mengetahui bahwa puteri ketua mereka adalah gadis baju putih yang sudah lama mereka kagumi dan calon mantunya adalah pemuda gagah yang dulu hampir dipaksa keluarga gila untuk menjadi mantu mereka.
Malam itu, ibu dan anak ini melepas rindu dan saling bercakap sampai semalam suntuk. menceritakan semua pengalamannya kepada ibunya yang merasa bangga sekali kepada puterinya. Puterinya bukan saja telah menjadi pendekar wanita yang memiliki ilmu silat lebih tinggi darinya, akan tetapi juga pandai ilmu pengobatan dan ilmu sihir! Akan tetapi ketika ia menceritakan kepada ibunya tentang Cu Sian, pendeta wanita itu menjadi heran.
“Cu Sian, yang kau maksudkan pemuda pengemis yang gagah perkasa itu...?”
“Ia bukan pemuda, Ibu, ia adalah seorang gadis yang manis sekali. Dan ia… ia amat mencinta Sin-ko jauh hari sebelum aku bertemu dengan Sin-ko...“
“Ahhhh…! Dan bagaimana dengan Han Sin? Apakah dia juga mencintainya...?”
“Sin-ko sayang kepadanya, sejak ia menyamar sebagai pria dan di sayang seperti adik sendiri, akan tetapi…“
“Akan tetapi apa...?”
“Cu Sian sungguh amat mencinta Sin-ko, dan hatiku tidak tega membiarkan ia merana kalau ia sampai tidak dapat menikah dengan Sin-ko, apalagi setelah malapetaka itu menimpa dirinya...“
Dengan terus terang Lan Lan bercerita kepada ibunya tentang apa yang menimpa diri Cu Sian, betapa Cu Sian telah diperkosa oleh Lui Sun Ek yang kemudian dibunuhnya. Dan ia bercerita pula kepada ibunya bahwa ia telah mengalah dan menganjurkan kepada Han Sin untuk menikah dengan Cu Sian.
“Ah, engkau keliru anakku. Kebijaksanaan ada batasnya, mengalahpun ada batasnya. Engkau hendak memaksakan sesuatu yang tidak mungkin...“
“Akan tetapi aku rela mengalah demi kebahagiaan Cu Sian ibu. Aku merasa kasihan sekali kepadanya...“
“Memang itu salah satu perasaan yang baik. Akan tetapi mengalah dengan mengorbankan diri sendiri? Dan apa kau kira bahwa perbuatanmu itu, pengorbananmu itu, akan mendatangkan kebahagiaan bagi Cu Sian sendiri? Bagaimana mungkin ia dapat berbahagia bersuamikan seorang yang hanya menyayangnya seperti adik sendiri? Engkau harus ingat pula akan perasaan hati Han Sin. Apakah dia akan dapat hidup berbahagia, berpisah dari engkau yang di cintanya dan terpaksa menikah dengan gadis yang hanya di sayangnya seperti adik? Dan engkau sendiri! Ah, pengorbananmu yang kau anggap mulia itu akhirnya bahkan akan membuat kalian bertiga menderita kesengsaraan dan kekecewaan hati yang menimbulkan penyesalan selama hidup...“
Lan Lan tertegun dan ucapan ibunya itu meresap benar ke dalam sanubarinya. Ia seolah baru terbuka matanya dan melihat kemungkinan dalam pandangan yang benar dan tepat itu. “Akan tetapi sudah terlanjur, Ibu. Sudah kukatakan kepada Han Sin bahwa kalau dia tidak mau mengawini Cu Sian... aku akan membencinya. Semua itu kukatakan hanya untuk mendorongnya mengaw ini Cu Sian...“
“Anak bodoh! Dan Cu Sian sendiri? Apa katanya? Apakah ia mau diperisteri oleh Han Sin setelah dirinya ternoda? Apakah ia tidak akan merasa rendah diri...?”
“Mula-mula Cu Sian memang tidak mau, akan tetapi akhirnya ia mengatakan bahwa ia mau menjadi isteri Han Sin dengan satu syarat yaitu setelah Han Sin menikah dengan aku...!”
Pak Mau To-kouw tersenyum dan mengangguk-angguk. Gadis itu berbudi baik. Agaknya ia tahu bahwa engkau mencinta Han Sin, maka ia mengajukan syarat seperti itu. Akan tetapi bagaimana dengan Han Sin sendiri? Maukah dia menikah dengan Cu Sian?”
“Itulah ibu yang menjadi persoalan. Sin-ko juga mengajukan syarat. Dia mau menikah dengan Cu Sian asal boleh menikah dengan aku lebih dulu!”
“Hemmm, syarat yang sama! Dengan demikian maka mau tidak mau engkau terpaksa menikah dengan Han Sin, begitukah?”
“Agaknya demikianlah ibu, demi kebahagiaan mereka...“
“Lan-lan, engkau selalu memikirkan kebahagiaan orang lain. Itu memang baik dan benar, akan tetapi kalau engkau mengabaikan kebahagiaanmu sendiri, hal itu merupakan tindakan yang bodoh sekali. Apakah engkau akan berbahagia kalau menjadi isteri Han Sin dengan dimadu bersama Cu Sian?”
“Aku sayang kepada Cu Sian, Ibu. Aku tidak keberatan dan aku akan berbahagia sekali. Tentu saja kalau bukan Cu Sian, aku tidak akan sudi...“
“Baiklah kalau begitu, akan tetapi aku tidak membenarkan tindakan Cu Sian itu. Kalau memang Han Sin tidak mencintanya, mengapa ia memaksa diri menjadi isterinya? Hal itu hanya akan mendatangkan perasaan kecewa kelak. Ia masih muda, cantik dan aib itu tidak diketahui orang lain. Kelak tentu ia masih akan bertemu dengan seseorang pria yang benar-benar mencintanya. Akan tetapi kalau kalian bertiga sudah mengambil keputusan, akupun tidak dapat berbuat apa-apa lagi...“
“Jadi ibu setuju kalau aku menikah dengan Sin-ko...?”
“Tentu saja aku setuju. Dia seorang pemuda yang baik sekali...“
“Biarpun dia akan menikah pula dengan Cu Sian?”
“Hemmm, aku tahu perasaannya. Dia mau menikah dengan Cu Sian karena engkau memaksanya. Mungkin engkaupun akan mengajukan syarat gila yang sama pula, yaitu, baru mau menikah dengan Han Sin kalau Han Sin berjanji hendak menikahi Cu Sian, bukan begitu...?”
Wajah Lan Lan menjadi kemerahan dan ia merangkul ibunya. “Ibu tahu saja akan isi hatiku..."
“Hemm, lalu bagaimana seandaianya Cu Sian kelak tidak mau menikah dengan Han Sin?”
“Ah, ibu ia amat mencinta Han Sin...“
“Mungkin saja ia mengubah pikirannya dan tidak mau menikah dengan Han Sin yang hanya sayang kepadanya seperti seorang adik, lalu bagaimana...?”
“Kalau ia yang tidak mau apa boleh buat. Akan tetapi kalau Sin-ko yang menolak. Akupun tidak mau menikah dengannya. Aku tidak mau mengecap kebahagiaan di atas penderitaan batin Cu Sian...“
“Kalau begitu, persoalannya tergantung kepada Han Sin, sudahlah, sudah cukup kita bicara. Hari sudah hampir pagi, engkau belum tidur. Engkau perlu mengaso, Lan-Lan...“
“Wah, aku yang lupa diri, ibu. Ibu yang harus mengaso. Ibu sudah tua dan tentu kelelahan...“
Kedua ibu dan anak ini tidur, akan tetapi sampai lama Lan Lan termenung memikirkan percakapan yang dilakukan bersama ibunya tadi.
********************
Sebulan kemudian, Hwa-li-pang mengadakan perayaan pernikahan antara Han Sin dan Lan Lan. Atas permintaan Han Sin, maka perayaan itu dilakukan dengan sederhana, hanya mengundang para penduduk yang menjadi tetangga. Han Sin mengajukan alasan kepada ibu mertuanya bahwa setelah dia membunuh Lui Couw, tentu dia akan di cari oleh pasukan Kerajaan dan dianggap sebagai pemberontak.
Maka, kalau pesta pernikahan itu dirayakan secara meriah dan mengundang tokoh-tokoh kang-ouw, tentu akan ketahuan dan dapat mendatangkan keributan. Biarpun perayaan dilangsungkan dengan sederhana, namun cukup meriah dan membahagiakan hati sepasang mempelai yang saling mencinta itu.
Baru tiga hari berpengantenan, Lan Lan mendesak suaminya agar mereka berdua pergi berkunjung kepada Cu Sian untuk melamar Cu Sian menjadi isteri kedua Han Sin! Han Sin tidak berani membantah biarpun hatinya merasa enggan sekali. Dia telah berjanji! Maka berangkatlah mereka menuju ke Tiang-an, kota raja, mereka menyamar sebagai suami isteri dusun yang berpakaian sederhana sekali.
Dengan hati-hati mereka memasuki pintu gerbang kota raja di waktu senja setelah cuaca remang-remang sehingga mereka tidak dapat dikenali oleh para penjaga. Dan memang sesungguhnya mereka berdua terutama sekali Cian Han Sin sudah masuk catatan sebagai pemberontak yang di cari-cari! Dengan berhati-hati sekali mereka memasuki pintu gerbang bersama rombongan orang-orang dusun lainnya sehingga tidak dikenali dan akhirnya mereka dapat masuk dengan selamat.
Mereka segera mencari Hek-i Kai-pang yang pusatnya berada di Tiang-an dan mempunyai rumah besar di daerah selatan kota. Akan tetapi ketika mereka melihat rumah besar itu di tutup dan papan perkumpulan Hek I Kaipang telah tidak ada lagi. Di situ bahkan terdapat tulisan tertempel di pintu depan bahwa Hek I Kaipang telah di bubarkan dan rumah itu di sita oleh pemerintah!
Selagi mereka kebingungan, seorang kakek berpakaian sederhana menghampiri mereka dan berbisik. “Apakah sicu yang bernama Cian Han Sin?”
Han Sin terkejut dan menoleh. Kakek itu berbisik lagi, “Saya adalah utusan Cu-pangcu yang di tugaskan menghadang sicu di sini. Mari silahkan mengikuti saya dari jauh...“
Setelah berkata demikian kakek itu berjalan pergi seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Han Sin dan Swi Lan segera mengikutinya dari jarak jauh agar jangan kentara dan kakek itu membawa mereka memasuki lorong yang berliku-liku dan ternyata lorong itu menuju ke sebuah tanah kuburan! Tentu saja tempat itu sepi sekali, apa lagi hari telah mulai malam.
Mereka lalu duduk di depan sebuah kuburan tanpa menggunakan api agar tidak diketahui orang lain. Akan tetapi memang tidak perlu ada api penerangan karena bulan purnama muncul sore-sore dan cuaca tidaklah amat gelap. Setelah merasa yakin, bahwa di situ tidak terdapat orang lain, kakek itu memperkenalkan diri.
“Saya bernama Lo Kian, dahulu menjadi pembantu dari nona Cu yang menjadi pangcu kami. Ketika Cu-pangcu pulang dari perantauannya, pada suatu hari datang ratusan prajurit yang menyerbu dan menyerang kami, dengan maksud menangkap pangcu. Kami semua tentu saja mengadakan perlawanan, akan tetapi jumlah prajurit terus bertambah sehingga banyak di antara kami yang tewas...“
“Bagaimana dengan Cu Sian?” Tanya Swi Lan khawatir.
“Cu-pangcu berhasil melarikan diri bersama sisa anggota kami. Juga saya berhasil melarikan diri. Kami lalu menanggalkan pakaian hitam dan mengenakan pakaian biasa sehingga tidak dapat di temukan para prajurit. Tempat kami ini di sita dan kami tidak berani menampakkan diri sebagai anggota Hek I Kaipang lagi. Kemudian Cu-pangcu mengambil keputusan untuk membawa para anggota melarikan diri ke Shansi di utara...“
“Hemmm, mengapa ke Shansi?” Tanya Han Sin, teringat akan pengalamannya dengan Cu Sian ketika mereka merantau ke utara mengalami banyak hal yang aneh-aneh, terutama ketika mereka berdua menjadi tamu suku Yakka.
“Karena pang-cu mendengar bahwa di utara ada pergolakan. Kaisar kabarnya mencurigai Li-kongcu putera Gubernur Li di Shansi yang di dakwa mempunyai hubungan dan bersekutu dengan orang Turki. Kaisar memanggil Li-kongcu, akan tetapi Li-Kongcu tidak mau datang sehingga dia di anggap pemberontak. Maka Cu-pangcu pergi ke sana untuk membantu kalau-kalau Gubernur Shansi mengadakan pemberontakan terhadap kaisar yang di kuasai orang-orang jahat. Banyak durna berkuasa di istana kaisar sehingga kami, perkumpulan pengemis yang tidak bersalah di anggap pemberontak...“
“Lalu engkau disuruh menhadang kami di sini, apa pesan pangcu-mu untuk kami...?”
“Pangcu mengirim surat untuk Cian-sicu dan harus di terima oleh Cian-sicu sendiri. Oleh karena itu berpekan-pekan saya menanti di sini dan kebetulan sekali tadi saya melihat sicu...“ Lo Kian lalu mengeluarkan sepucuk surat bersampul untuk Han Sin.
Bulan purnama bersinar dengan cerahnya. Karena tidak ada awan yang merintangi, maka sinarnya cukup terang bagi Han Sin untuk membaca surat itu. Dia memperlihatkan kepada Swi Lan dan mereka berdua membaca bersama-sama di saksikan oleh Lo Kian. Surat itu di tulis indah dan jelas.
Sin-ko dan Lan-ci yang baik,
Kalau kalian datang, aku sudah pergi ke utara. Perkumpulanku di serbu pasukan, agaknya aku sudah masuk daftar hitam mereka. Aku dan kawan-kawan akan membantu Gubernur Li menentang kaisar yang lalim.
Tentang janjiku, dengan ini kunyatakan bahwa aku menarik kembali janji itu. Maafkan aku, enci Lan. Aku tidak dapat menikah dengan Sin-ko yang ku sayang sebagai kakakku sendiri. Aku telah salah sangka terhadap perasaan hatiku sendiri. Dan pesanku bagimu, Sin-ko. Bahagiakanlah enci Lan, aku sangat sayang dan berhutang budi kepadanya.
Sekianlah, semoga kalian menjadi suami isteri yang berbahagia. Sampai berjumpa lagi kalau Tuhan menghendaki.
Hormat dari aku,
Cu Sian
Han Sin dan Swi Lan saling pandang dalam keremangan cuaca itu. Han Sin melihat betapa sepasang mata isterinya basah oleh air mata. Dia sendiri merasa amat terharu akan tetapi juga berbahagia dan lega. Akhirnya Cu Sian menyadari bahwa cinta di antara mereka adalah kasih sayang antara saudara dan tidaklah baik kalau mereka berdua jadi menikah.
“Nah, sicu, setelah saya menyerahkan surat, saya mohon diri. Saya harus kembali ke utara bergabung dengan kawan-kawan yang berada di sana...“
Han Sin dan Swi Lan mengucapkan terima kasih dan merekapun saling berpisah. Suami isteri ini melewatkan malam di sebuah kuil tua dimana banyak terdapat pula orang-orang dusun yang tidak kuat menyewa kamar. Dan pada keesokan harinya, mereka berdua keluar dari kota raja untuk kembali ke Hwa-li-pang.
Sebetulnya apakah yang terjadi dengan pergolakan di utara? Kaisar Yang Ti yang masih dikelilingi banyak durna itu mendapat hasutan dari mereka. Mereka mengatakan bahwa Gubernur Li, terutama sekali puteranya, yaitu Li Si Bin pasti mempunyai hubungan persekongkolan dengan orang Turki. Kalau tidak demikian, bagaimana mungkin dia dapat membebaskan kaisar ketika di tawan oleh mereka. Dan persekongkolan itu amatlah berbahaya. Siapa tahu Guebernur Li mengadakan rencana untuk memberontak, bergabung dengan orang-orang Mongol dan Turki yang menjadi musuh lama kerajaan.
Mendengar hasutan ini, kaisar lalu menjadi curiga kepada Li Si Bin dan dia mengutus orang untuk memanggil Li Si Bin datang menghadap. Tentu saja dengan rencana kalau sudah menghadap, pemuda itu akan di tangkap dan di paksa mengaku tentang persekutuannya dengan orang-orang Turki. Akan tetapi di antara perwira yang menjadi utusan ini ada yang berpihak kepada Li Si Bin dan diam-diam dia memberi peringatan kepada Li Si Bin. Pemuda ini tentu saja menolak dan tidak mau menghadap. Para utusan tidak berani melakukan kekerasan dan kembali dengan tangan kosong.
Peristiwa itu bagaikan api kecil yang membakar dan yang kemudian menjadi api besar yang menimbulkan perang pemberontakan. Li Si Bin memang sudah beberapa kali menganjurkan ayahnya untuk memberontak sejak mendengar ketidak-adilan kaisar. Mendengar tentang kaisar yang hanya berfoya-foya dan menekan rakyat, yang di kelilingi oleh para durna atau pembesar yang jahat.
Akan tetapi Gubernur Li Goan masih menolak, ketika terjadi peristiwa itu, yaitu ketika Li Si Bin hendak di tangkap oleh kaisar, Gubernur Li Goan tidak lagi dapat di cegah kehendak puteranya. Mulailah Li Si Bin bangkit, memimpin pasukan yang di dukung banyak golongan rakyat itu dan di bantu oleh pasukan dari Mongol dan Turki, menyerbu ke selatan. Terjadilah perang saudara yang hebat sampai akhirnya Kerajaan Sui jatuh dalam tahun 618. Akan tetapi ini merupakan kisah lain lagi.
Kerajaan Sui yang di bangun dengan susah payah oleh Mendiang Yang Cien yang gagah perkasa, hancur di tangan puteranya yang tidak becus, Yang Ti 604–618 merupakan kaisar yang lemah dan menuruti kesenangan diri sendiri saja, sehingga Kerajaan Sui itu hanya mampu dan bertahan berdiri selama tahun 581 sampai 618 saja.
Cu Sian dan anak buahnya, yaitu para anggota Hek I Kaipang, merupakan satu di antara golongan yang banyak membantu perjuangan Li Si Bin. Bahkan Cian Han Sin dan isterinya, Ang Swi Lan, akhirnya juga bergabung dan membantu menggulingkan Kaisar Yang Ti yang semakin lemah. Melalui perang selama hampir sepuluh tahun. Akhirnya Kerajaan Sui dapat di jatuhkan dan Li Si Bin mengangkat ayahnya sendiri, Guebernur Li Goan menjadi Kaisar dari sebuah kerajaan baru yang diberi nama Kerajaan Tang!
Demikianlah, kisah ini selesai sampai di sini dan kalau dulu, pedang Naga Hitam di tangan Cian Kauw Cu membantu berdirinya Kerajaan Sui, kini di tangan Cian Han Sin, bahkan membantu meruntuhkan Kerajaan Sui dan membantu berdirinya Kerajaan Tang.
Mudah-mudahan kisah ini ada manfaatnya bagi para pembaca dan sampai jumpa lagi di lain kisah.
T A M A T
KISAH SELANJUTNYA SERIAL SEPASANG NAGA PENAKLUK IBLIS