Telaga Se-ouw merupakan telaga yang amat indah. See-ouw atau Telaga Barat ini adalah satu di antara telaga-telaga yang terbesar dan terkenal di seluruh daratan Tiongkok. Hampir setiap hari telaga itu ramai dikunjungi orang dari dekat maupun jauh, untuk berperahu atau hanya menikmati keindahan alam di sekitar telaga. Terutama sekali pada hari besar dan hari pesta. Telaga itu penuh dengan perahu besar kecil yang dihias serba indah, dan terdengarlah musik bersaingan hiruk pikuk dari perahu-perahu besar dan dari tepi telaga.
Banyak seniman mengagumi keindahan See-ouw. Pelukis-pelukis berdatangan untuk mengabadikan keindahan telaga dengan lukisan mereka, di waktu pagi, siang atau senja di mana terjadi perubahan keindahan pada telaga itu. Para penyair juga berdatangan dan mengungkapkan kekaguman mereka terhadap keindahan telaga dalam bentuk sajak-sajak.
Alam memang indah, baik itu di sekitar telaga, di tepi laut, atau di puncak gunung. Keindahan yang hidup, bukan seperti keindahan benda buatan manusia yang mati dan membosankan, karena keindahan alam tidak dibuat-buat, wajar, sedangkan keindahan buatan manusia hanya ciptaan yang berdasarkan selera nafsu sementara saja. Keindahan alam semesta tidak pernah sama, tidak mati, setiap saat berubah, dan mengandung kedalaman yang tidak terukur oleh pikiran manusia.
Menghadapi kebesaran dan keindahan alam, apa lagi ketika berada seorang diri, baru terasalah betapa kecil tiada artinya diri kita ini. Kita hanya sebagian kecil saja dari semua keindahan itu, kita termasuk di dalamnya. Akan tetapi kalau kita sudah menempatkan diri di luar, sebagai penonton dan menikmati keindahan, maka keindahan itupun akan mati seperti keindahan selera nafsu, dan akan menjadi membosankan.
Pada pagi hari itu, tidak begitu banyak tamu mengunjungi telaga. Hanya ada belasan buah perahu saja, itupun perahu-perahu kecil, dan hanya ada sebuah perahu besar dari mana terdengar suara musik dan nyanyian. Namun, kesunyian itu bahkan menambah menonjolnya keindahan See-ouw. Biasanya, kalau terlalu ramai, keadaan menjadi terlalu gaduh dan sibuk sehingga buyarlah keindahan itu, terganti oleh kesenangan manusia yang membisingkan.
Dan banyaklah manusia yang mengeluh dan kecewa kalau keadaan sepi seperti itu. Mereka adalah para pedagang makanan dan minuman, para tukang perahu yang menyewakan perahunya, para gadis penyanyi dan pelacur yang biasa disewa oleh mereka yang beruang dan yang menghibur hati dengan cara mereka sendiri, yaitu ditemani gadis-gadis penghibur yang cantik.
Hanya sebuah perahu besar yang membuat suasana agak meriah karena perahu besar itu milik Koan Tai-jin seorang pembesar yang terkenal dengan keroyalannya. Koan Tai-jin adalah seorang pembesar yang sudah pensiun dan kini tinggal di dusun Tiang-cin, menjadi seorang hartawan besar di dusun tempat asalnya itu. Rumahnya besar dan megah, dan hampir seluruh sawah ladang yang paling baik tanahnya di daerah itu adalah miliknya.
Dia hidup seperti seorang raja muda saja di daerah Tiang-cin. Bahkan lurah dusun sendiri menjadi kaki tangannya, tunduk kepadanya! Hal ini tidaklah mengherankan karena Koan Tai-jin, selain amat kaya raya sehingga mampu membeli kepala orang-orang yang menjadi lawannya, juga mampu membeli bantuan pembesar manapun juga, selain itu, dia mempunyai banyak kenalan baik yang menjadi pembesar di kota raja!
Semua orang mengejar kekuasaan! Demikian penting kekuasaan agaknya bagi semua orang. Dengan kekuasaan, orang akan merasa dirinya besar, penting, menonjol, dan juga aman! Dengan kekuasaan orang akan mampu menuruti segala kehendaknya, melampiaskan segala nafsunya, dan karena itulah maka orang-orang berlumba untuk memperoleh kekuasaan selagi hidup di dunia.
Kekuasaan mereka anggap dapat diperoleh melalui kedudukan, melalui harta kekayaan, melalui kekuatan dan kepandaian, dan sebagainya. Pada hal, kekuasaanlah yang menyeret manusia ke dalam lembah kesengsaraan, ke dalam pertentangan, permusuhan, kebencian, bahkan perang!
Koan Tai-jin bernama Koan Ki Sek, seorang laki-laki yang berusia kurang lebih limapuluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus dengan punggung agak bongkok. Sepasang matanya sipit sekali, hidungnya besar dan mulutnya selalu menyeringai, dengan bibir dan gigi menghitam karena racun tembakau yang selalu dibakar dan diisapnya dengan sebatang huncwe (pipa tembakau) dari emas. Di dalam rumahnya yang seperti istana itu, sudah terdapat seorang isteri yang usianya empatpuluhan tahun, masih cantik, juga ada lima orang selir yang muda-muda dan cantik manis.
Namun, Koan Ki Sek yang kini lebih terkenal dengan sebutan Koan Wan-gwe (Hartawan Koan) memang seorang hidung belang yang selain mata keranjang, juga bernafsu besar sekali sehingga belum akan puas rasa hatinya kalau belum berhasil meniduri wanita yang memikat hatinya. Banyak sudah isteri atau gadis orang menjadi korban nafsunya dan dia lebih sering berhasil menyeret wanita yang disukainya, dengan pengaruh uangnya atau kekuasaannya.
Wanita-wanita yang menjadi korbannya hanya mampu menangis, suami dan ayah mereka hanya mampu mengepal tinju. Namun, kepada siapa penghuni dusun Tiang-cin harus mengadu kalau kepala dusun sendiri menjadi kaki tangan hartawan itu?
Seperti biasa, senjata kaum lemah tertindas hanya mengadu kepada Langit dan Bumi, kepada Tuhan dengan tangis mereka, namun nampaknya, seperti juga Langit dan Bumi, Tuhanpun diam saja! Demikian memang kalau kita mengukur kekuasaan Tuhan secara manusiawi, mengukur keadilan Tuhan seperti keadilan yang kita kenal!
Tuhan Maha Kuasa dan Maha Adil, namun kekuasaan dan keadilannya itu maha besar, tak terjangkau oleh akal budi kita. Karena itu, apabila timbul penafsiran manusia, akan terjadi salah tafsir. Rahasia Gaib tersembunyi di dalam kekuasaan Tuhan, dan bagaimanapun nampaknya dalam pengertian manusiawi, kekuasaan Tuhan adalah Maha Benar dan Maha Adil!
Dan pada pagi hari itu, selagi keadaan telaga sunyi, Koan Ki Sek sudah pelesir dengan perahunya yang besar dan megah. Dia tidak perduli akan kesepian telaga karena dia sama sekali tidak merasa sepi dengan adanya tiga orang gadis panggilan yang menghiburnya, menemaninya berpesta, makan enak dan minum arak, ada yang menyuapinya, ada yang duduk di pangkuannya, ada pula yang memijatinya, sedangkan serombongan gadis penghibur lain bermain musik, menyanyi dan menari!
Dalam bersenang-senang ini, Koan Wan-gwe ditemani oleh tiga orang jagoannya yang juga menjadi pengawal-pengawal pribadinya. Tiga orang jagoan inilah membuat Koan Wan-gwe ditakuti orang, karena sekali saja hartawan itu memberi isyarat, maka tiga orang jagoan itu tentu akan turun tangan dan akan celakalah lawannya!
Tiga orang jagoan ini amat terkenal di daerah See-ouw karena mereka merupakan tokoh atau datuk golongan hitam yang merajalela di daerah itu. Dikenal dengan juiukan See-ouw Sam-houw (Tiga Harimau See-ouw). Mereka bertiga itu masih saudara seperguruan.
Yang pertama bernama Ban Sun usianya empatpuluh tahun, bermuka hitam maka dijuluki Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam), tubuhnya pendek gendut dan sikapnya kasar, selalu tertawa lebar dan amat sombongnya. Dia merupakan saudara tertua dan paling lihai di antara mereka bertiga, terkenal sekali dengan permainan goloknya yang lebar panjang dan berat.
Orang kedua bernama Kim Lok, usianya tigapuluh delapan tahun, mukanya kuning seperti berpenyakitan, tubuhnya tinggi kurus dan matanya yang sipit itu liar dan tajam seperti mata burung elang, sikapnya pendiam namun dalam hal kekejaman, dia paling terkenal. Kim Lok ini pandai sekali bermain sepasang pedang yang selalu tergantung di punggungnya.
Adapun orang ketiga bernama Phang Ek, usianya tigapuluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar dan gagah, nampak kuat sekali, dengan wajah yang menyeramkan, penuh berewok. Phang Ek ini tidak nampak memegang atau menyimpan senjata besar seperti kedua orang suhengnya, akan tetapi di balik jubahnya, kalau disingkap, akan nampak bahwa ikat pinggangnya dari kulit itu penuh dengan pisau-pisau yang belasan batang banyaknya.
Pisau-pisau inilah yang membuat dia terkenal dan ditakuti, karena selain dia dapat memainkan pisau-pisau yang panjangnya hanya satu kaki itu sebagai senjata yang ampuh, juga dia dapat menyambitkan pisau-pisau itu menjadi pisau terbang yang dapat mencabut nyawa lawan. Dia dijuluki Hui-to (Pisau Terbang), sedangkan Kim Lok dijuluki Siang-kiam-houw (Harimau Berpedang Dua).
See-ouw Sam-bouw ini tadinya merupakan tokoh-tokoh hitam di telaga besar itu, dengan memungut semacam pajak liar dari para tukang perahu, rumah makan, bahkan ada kalanya berani membajak para tamu yang sedang pesiar di telaga. Akan tetapi, setelah mereka ditarik oleh Koan Wan-gwe menjadi kaki tangannya tiga tahun yang lalu, See-ouw Sam-houw tidak lagi mau mengganggu Telaga See-ouw. Kehidupan mereka sudah lebih dari cukup, mewah dan semua keperluan mereka dipenuhi belaka oleh majikan mereka.
Sesuai dengan keadaan hidup mereka sebagai penjahat dan kini sebagai tukang-tukang pukul, See-ouw Sam-how tidak pernah kawin dan menjadi langganan rumah-rumah pelesir di kota-kota. Juga dalam hal mengganggu wanita baik-baik, mereka hanya kalah oleh majikan mereka saja.
Pagi hari itu Koan Wan-gwe mengajak tiga orang jagoannya untuk menemaninya pelesir, bukan sekedar untuk menjaganya di telaga itu. Untuk tiga orang jagoan itu, dia juga mendatangkan tiga orang perempuan panggilan yang kini masing-masing dipangku oleh para jagoan yang sudah mulai mabok-mabokan itu.
Pagi ini Koan Wan-gwe memang mengadakan pesta untuk menyenangkan hati See-ouw Sam-houw karena mereka bertiga dianggap telah berhasil melaksanakan tugas mereka baru-baru ini. Selama hampir satu bulan tiga orang jagoannya itu melaksanakan tugas dan baru kemarin mereka pulang dengan hasil yang amat memuaskan, karena buktinya ada sepucuk surat pribadi yang ditandatangani oleh Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam) sendiri yang menyatakan bahwa Koan Wan-gwe diterima menjadi “sahabat” dan dilindungi oleh Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang semenjak beberapa bulan ini menguasai atau merajai dunia sesat!
Bukan main girangnya hati hartawan itu, karena tanpa perlindungan para datuk baru itu, tidak ada artinya segala kekayaan dan kekuasaannya. Bahkan dia tidak mungkin dapat mempergunakan kekuasaan para pembesar untuk melindungi dirinya, kekayaan dan keluarganya. Sebaliknya, begitu Kiu Lo-mo menyatakan bahwa dia adalah seorang yang dilindungi, tidak ada seekorpun setan berani mengganggunya!
Inilah yang menggirangkan hatinya walaupun dia telah mengeluarkan banyak sekali emas dan perak yang dibawa oleh tiga orang jagoannya untuk tanda hormat kepada para datuk sesat itu. Dunia kang-ouw memang baru saja sempat dibuat geger oleh berita tentang Kiu Lo-mo itu. Sembilan Iblis Tua itu adalah datuk-datuk sesat yang sudah belasan tahun tidak pernah memperlihatkan diri sehingga banyak orang mengira bahwa mereka telah tiada.
Kiranya mereka itu bertapa di tempat masing-masing dan kini mereka keluar dari pertapaan dan bersekutu, membentuk pimpinan di atas semua kelompok sesat, dan kabarnya Sembilan Iblis Tua itu kini menjadi semakin sakti dan galak.
Munculnya Kiu Lo-mo ini disambut dengan gembira oleh dunia hitam, karena dengan adanya para datuk ini, kaum sesat tidak lagi harus tunduk dan takut terhadap para pendekar yang selalu menentang semua perbuatan jahat mereka. Kini ada Kiu Lo-mo yang melindungi mereka dan kemunculan sembilan orang datuk ini disambut dengan pesta pora berupa kejahatan-kejahatan yang dilakukan secara serentak di mana-mana, membuat para pendekar menjadi terkejut bukan main.
Koan Wan-gwe dan tiga orang jagoannya itu kini semakin gembira karena perut mereka kenyang dan kepala mereka penuh hawa arak. Mereka tertawa-tawa dan tangan mereka semakin berani membuat para wanita panggilan itu menggeliat dan tertawa cekikikan dan kecabulanpun terjadilah di depan para gadis penabuh musik dan penyanyi, tanpa ada lagi sopan santun. Kesusilaan tidak berlaku lagi bagi empat orang yang menjadi hamba nafsu kesenangan ini, bahkan mereka tidak perduli akan pandang mata segan dan takut namun ingin tahu dari para penghuni perahu-perahu kecil yang kadang-kadang mendekati perahu besar mereka.
Agak jauh dari perahu besar itu, nampak sebuah perahu lain. Perahu ini kecil hanya dimuati dua orang saja, dengan payon rendah dan di atas perahu kecil inipun terjadi kemesraan antara seorang pria dan seorang wanita. Namun, sungguh sama sekali berbeda dengan kemesraan mesum yang terjadi di atas perahu besar, antara pria-pria pengejar nafsu jalang dan wanita-wanita pengejar uang. Yang terjadi di atas perahu kecil itu adalah kemesraan yang terjadi antara dua orang yang saling mencinta.
Pencurahan kemesraan karena kasih sayang ini nampak halus dan mengharukan. Mereka duduk berdampingan, saling berpegang tangan, jari-jari tangan mereka saling cengkeram dan saling bergelut, memancarkan getaran-getaran kasih dan setiap kali mereka bertemu pandang, bibir mereka tersenyum dan dari pandang mata itu terpancar cinta kasih yang amat dalam, jauh melebihi air telaga itu dalamnya.
Mereka seakan lupa diri dan lupa keadaan, bukan karena nafsu berahi dan kesenangan, melainkan karena kebahagiaan. Bagi pria dan wanita yang saling mencinta, nafsu berahi menjadi alat pencurahan kasih sayang dan kemesraan, tidak seperti mereka yang di atas perahu, yang menjadikan nafsu berahi sebagai majikan yang menguasai dan membutakan mereka.
Pria dan wanita dalam perahu kecil itu masih amat muda. Pria itu baru berusia delapanbelas tahun, dan wanita itu tujuh belas tahun. Dari sikap mereka yang tidak canggung dalam pernyataan cinta mereka, walaupun dalam batas-batas yang sopan karena di dalam cinta kasih mereka terdapat pula saling menghargai dan saling menghormati, mudah diduga bahwa mereka itu adalah suami isteri.
Dan hal ini memang benar. Mereka itu suami isteri, bahkan masih pengantin baru karena baru lima bulan mereka menikah. Kini, isteri muda itu telah mengandung hampir tiga bulan!
Suami muda itu bernama Tan Cin Hay, putera seorang guru dusun yang miskin, dan isterinya bernama Gu Ci Sian, puteri seorang kepala dusun sederhana pula. Selain mempelajari ilmu surat dari ayahnya sendiri sejak kecil, juga Cin Hay pernah menjadi murid kuil Siauw-lim-si, mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai yang terkenal hebat. Selama lima tahun dia mempelajari ilmu silat dengan tekun dan kini dia telah memiliki ilmu silat yang cukup lumayan, yang membuat dia menjadi seorang pemuda yang bukan saja pandai baca tulis, akan tetapi juga pandai ilmu silat dan bertubuh kuat.
Sejak tadi Cin Hay memandang wajah isterinya. Makin dipandang semakin mempesona wajah itu, cantik manis bagaikan setangkai bunga mawar yang baru saja disiram embun, segar kemerahan tertimpa sinar matahari pagi. Dia menoleh ke kanan kiri. Tidak ada lain perahu dekat situ, maka tanpa dapat menahan rasa cintanya yang mendalam, dia lalu merangkul dan mencium mulut isterinya dengan sepenuh kasih sayangnya.
Ci Sian gelagapan, akan tetapi membalas ciuman suaminya. Ketika mereka saling melepaskan ciuman dengan napas memburu, wajah isteri muda itu menjadi semakin kemerahan dan sambil cemberut manja ia berkata,
“Ih, bagaimana kalau kelihatan orang lain?” Ia menoleh ke kanan kiri dan merasa lega bahwa di situ tidak nampak perahu lain dekat.
Cin Hay tersenyum, “Maafkan, aku tadi lupa diri. Habis melihat bibirmu demikian segar kemerahan...”
Isterinya menghela napas penuh kebahagiaan dan menyandarkan kepalanya di pundak suaminya, matanya menatap jauh penuh lamunan. Cin Hay mendekap erat.
“Isteriku sayang, bahagiakah hatimu?” bisiknya.
Sang isteri mengangguk, akan tetapi alisnya berkerut. “Aku... aku merasa khawatir, Koko...”
“Khawatir? Mengapa?”
“Aku khawatir kalau keadaan ini akan berubah, tidak akan seterusnya begini, koko...”
“Ihh, kenapa kau berkata demikian, moi-moi? Bukankah aku cinta padamu dan kau cinta padaku? Dan di dalam perutmu ini terdapat calon anak kita! Ingat, calon anak kita pertama, isteriku. Matahari akan selalu cerah, kehidupan kita akan selalu berbahagia, penuh cinta kasih...”
Namun Ci Sian menggeleng kepalanya yang masih bersandar pada pundak suaminya, matanya memandang jauh ke atas dan telunjuk kirinya menuding, “Lihat itu, koko. Matahari tidak selalu cerah...”
Cin Hay cepat mengangkat mukanya dan diapun melihat adanya awan mendung yang cukup tebal datang mengancam matahari. Agaknya gumpalan-gumpalan awan hitam tipis itu berkumpul menjadi mendung yang tebal dan tak lama kemudian, sinar matahari yang tadinya cerah mulai menjadi redup.
Melihat datangnya mendung hitam, bahkan kini mulai turun hujan gerimis, para penghuni perahu-perahu kecil menjadi panik. Bagaikan anak-anak ayam berlari-larian, mereka mendayung perahu-perahu mereka ke tepi telaga. Melihat ini, mereka yang berpesta di perahu besar dan yang mulai bosan dengan gadis-gadis panggilan mereka yang sudah mulai mabok-mabokan pula, mendapatkan kegembiraan baru.
Koan Wan-gwe dan tiga orang jagoannya sudah meninggalkan meja, berdiri di tepi perahu yang terlindung, menyoraki perahu perahu kecil yang kehujanan itu. Mereka sendiri merasa aman di perahu besar, aman dari air hujan, juga aman kalau-kalau air telaga akan bergelombang. Akan tetapi para gadis panggilan itu ikut pula merasa panik, apa lagi mereka sudah terlalu banyak minum dan di antaranya ada yang sudah muntah-muntah. Mereka ingin segera menerima upah untuk kembali ke tempat penampungan mereka.
Tiba-tiba mata Koan Wan-gwe menangkap perahu kecil yang ditumpangi Cin Hay dan Ci Sian. Biarpun dia sudah tiga perempat mabok, namun matanya selalu masih tajam untuk dapat melihat seorang wanita yang amat memikat hatinya. Dan Ci Sian memang seorang wanita muda yang amat menarik hati, cantik jelita dan lembut. Sungguh jauh bedanya dengan para gadis panggilan yang merupakan boneka-boneka hidup dengan bedak dan yan-ci (pemerah) yang terlalu tebal itu. Mata hartawan hidung belang ini terbelalak dan dia mengambil huncwe emas dari mulutnya yang ternganga ketika dia melihat Ci Sian di atas perahu kecil itu.
“Wah, bukan main...! Hayaaa... betapa manisnya...” berulangkali hartawan itu berseru kagum.
Sikapnya ini menarik perhatian tiga orang jagoannya dan merekapun memandang dan segera mereka tahu apa yang membuat majikan mereka demikian terkagum-kagum. Kiranya seorang wanita muda dalam perahu itu yang seperti perahu-perahu lain, sedang didayung oleh seorang laki-laki muda menyingkir ke pantai.
“Ha-ha-ha, kiranya lo-ya (tuan besar) naksir, ya?” Hek-bin-houw Ban Sun tertawa-tawa.
“Kalau naksir, ambil saja ia ke sini!” kata Kim Lok Si Harimau Berpedang Dua.
“Majukan perahu, kejar perahu kecil itu!” kata Phang Ek, Harimau Pisau Terbang memerintah kepada tukang perahu.
Koan Ki Sek tersenyum menyeringai, mengangguk-angguk sebagai jawaban atas pertanyaan Ban Sun dan kawan-kawannya, mulutnya menggumam, “Bagus sekali, perempuan-perempuan panggilan itu membosankan. Undang saja penghuni perahu itu naik ke sini, biar menjadi tamuku, tamu kehormatan yang manis, heh-heh-heh!”
Sebentar saia perahu kecil yang didayung menuju ke tepi oleh Cin Hay itu dapat disusul dan Cin Hay terkejut dan marah ketika tiba-tiba saja ada perahu besar mendahuluinya dan perahu itu melintang di depannya, membuat dia cepat memutar perahu kalau tidak mau bertabrakan dan terguling.
“Heiii...! Mengapa kalian lakukan ini?” bentaknya marah sambil menuding dengan telunjuknya ke arah beberapa orang yang menjenguk dari atas perahu besar itu sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi tidak ada yang menjawabnya, bahkan tiba-tiba perahu kecil itu terkait dari atas! Cin Hay makin kaget, akan tetapi ketika perahunya itu ditarik ke atas, dan melihat isterinya ketakutan dan merangkulnya, diapun hanya dapat melindungi isterinya dan memeluknya sambil menghiburnya.
Perahu kecil terus ditarik ke atas oleh beberapa orang, disambut suara ketawa bergelak. “Aha, sekali ini kita dapat ikan besar!”
“Ikannya cantik dan mulus, tentu lezat sekali!”
“Wah, ini tanda bahwa rezeki lo-ya memang hebat!”
Cin Hay melompat keluar dari perahunya sambil memeluk tubuh isterinya. Dia melihat bahwa di perahu besar itu terdapat seorang laki-laki tinggi kurus agak bongkok yang memegang huncwe emas, dan melihat pakaiannya yang mewah, mudah diduga bahwa dialah majikannya. Dan tiga orang itu tentu tukang pukul karena sikap mereka yang kasar dan sombong. Sedangkan selebihnya adalah anak buah. Ada pula perempuan-perempuan berbedak tebal berkumpul di sudut, nampaknya ketakutan.
“Sebetulnya apakah artinya semua ini? Mengapa kalian melakukan hal ini kepada kami, padahal kami sama sekali tidak mengenal kalian?” Cin Hay kembali bertanya, menahan kemarahannya dan kini memandang kepada laki-laki yang memegang huncwe emas itu.
See-ouw Sam-houw yang tadi menarik perahu kecil ke atas, hanya menyeringai dan menanti majikan mereka untuk mengambil keputusan dan menjawab pertanyaan Cin Hay. Koan Wan-gwe menghisap huncwe itu, lalu mengepulkan asap tembakau ke atas, lalu matanya melirik ke arah Ci Sian yang masih merangkul suaminya, kemudian berkata,
“Tadi aku melihat nona ini kehujanan dalam perahu kecil, maka aku merasa kasihan dan aku yang sedang kesepian ingin mengundang ia minum arak hangat di perahuku ini. Marilah, nona.”
Cin Hay merasa seolah-olah dadanya akan meledak saking marahnya. “Ia adalah seorang wanita sopan dan baik-baik, tidak sepatutnya menghadapi sikap yang begini kurang ajar dan tidak mengenal kesusilaan! Kalian anggap siapa kalian ini?”
Koan Wan-gwe mengerutkan sepasang alisnya dan dengan sikap congkak, dia memandang pemuda itu dari atas, seperti seorang bangsawan memandang kepada seorang budak belian saja. “Huh, orang tak tahu diri. Apamukah nona ini?”
“Ia isteriku!” jawab Cin Hay marah.
Pada saat itu, Hek-bin-houw Ban Sun sudah melangkah maju menghadapi Cin Hay seperti hendak melindungi majikannya. “Orang muda! ketahuilah bahwa majikan kami ini adalah Koan Wan-gwe yang dulu pernah menjadi Koan Tai-jin. Siapa tidak mengenal Koan Wan-gwe dari dusun Tiang-cin? Harap engkau suka tahu diri sedikit dan bersikap hormat kepada beliau.”
Cin Hay maklum bahwa dia berada di tempat berbahaya, apa lagi dia harus melindungi isterinya. Akan tetapi, selama lima tahun dia belajar silat di kuil Siauw-lim-si yang selain menggemblengnya dengan ilmu silat pilihan, juga telah menanamkan watak pendekar pada batinnya. Di samping itu, kemarahannya karena isterinya dihina orang membuat dia merasa sukar untuk mengalah.
“Akan tetapi, kami tidak bersalah. Kami tidak mengenal kalian dan kami tidak melakukan kesalahan apapun. Kalian membawa kami ke sini dengan paksa, bahkan kalian menghina isteriku. Bagaimana aku harus bersikap hormat?” bentaknya dan dia sudah mengepal kedua tinjunya, siap untuk melawan.
“Bocah sombong! Majikan kami telah mengundang isterimu untuk menemaninya minum arak, itu suatu kehormatan dan engkau sepatutnya menghaturkan terirna kasih!” bentak Kim Lok sambil mengerutkan alisnya.
“Kalau majikan kami hendak meminjam sebentar isterimu, engkau boleh merasa bangga!” Phang Ek juga berteriak marah.
Cin Hay melotot memandang kepada mereka. “Kenapa kalian tidak meminjamkan saja isteri kalian kepadanya? Kalau aku, jangan harap dapat menyentuh isteriku sebelum melewati mayatku!” Cin Hay mendorong dengan lembut agar isterinya mundur dan menjauh di belakangnya.
Dengan ketakutan Ci Sian lalu mundur sampai menyentuh langkan di tepi perahu besar di mana ia berdiri merangkul papan langkan dengan tubuh gemetar dan muka pucat.
“Heh-heh, agaknya anjing kecil ini baru mulai belajar menggonggong maka dia berani!” kata Hek-bin-houw Ban Sun dan laki-laki muka hitam perut gendut ini sudah menerjang maju, tangan kanannya menyambar ke arah kepala Cin Hay dengan cengkeraman kuat, disusul hantaman ke arah perut pemuda itu. Serangan ini cepat dan kuat sekali dan kalau satu di antara serangan itu mengenai sasaran, agaknya akan celakalah pemuda itu.
Namun, tidak percuma Cin Hay mempelajari ilmu silat selama lima tahun dalam kuil Siauw-lim. Cepat dia sudah mengangkat lengan kirinya menangkis ke atas. Dan tangan kanannya juga menangkis ke bawah, lalu tangan kanan itu begitu bertemu lengan lawan, diteruskan ke bawah dan tangannya yang terbuka menusuk ke arah perut lawan.
“Hukkk!” Otomatis Hek-bin-houw membungkuk ketika perutnya tertusuk tangan yang miring, dan pada saat itu, Cin Hay mengangkat kaki kirinya sehingga lututnya menghajar dagu si gendut pendek.
“Dukkk!” Tubuh gendut pendek itu hampir terjengkang, terhuyung dan matanya terbelalak, mukanya yang hitam menjadi lebih hitam karena darah telah naik ke mukanya.
Sebetulnya, satu di antara See-ouw Sam-houw ini bukan orang lemah dan kalau tadi dengan amat mudahnya dia terkena tusukan tangan dan tendangan lutut adalah karena dia terlalu memandang rendah lawannya. Memandang rendah lawan merupakan pantangan besar bagi seorang ahli silat, karena hal ini mendatangkan kelengahan pada diri sendiri.
“Aha, kiranya bukan hanya menggonggong, akan tetapi sudah belajar menggigit pula anjing cilik ini!” teriaknya untuk menutupi rasa malu, dan dengan marah tangannya sudah mencabut golok besarnya. Nampak sinar berkilauan ketika dia memutar golok besar itu di atas kepalanya.
Melihat ini, Cin Hay maklum bahwa perkelahian mati-matian tak dapat dihindarkan lagi. Dia harus membela keselamatan dirinya, juga membela kehormatan isterinya, maka karena dia tidak membawa senjata, cepat dia menyambar dayung kayu yang tadi dia pakai mendayung perahu kecil. Dia memegang dayung itu seperti sebatang toya, senjata yang pernah dipelajarinya secara tekun di kuil Siauw-lim.
Datanglah serangan golok itu, bertubi-tubi. Sinar golok bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dahsyat, namun Cin Hay dapat mengelak dan menangkis dengan baiknya, bahkan membalas dengan dayungnya. Permainan silat nya mantap dan sukarlah bagi Hek-bin-houw untuk mendesaknya. Bahkan belasan jurus kemudian, sapuan dayung itu menyerempet tulang kering kaki kiri Ban Sun yang berteriak kesakitan sambil terpincang-pincang.
Melihat ini, Kim Lok sudah membantu temannya, menyerang dengan sepasang pedangnya. Gerakannya cepat dan kuat, mengejutkan hati Cin Hay yang maklum bahwa lawan baru ini tidak kalah hebatnya dibandingkan lawan pertama. Apa lagi Phang Ek juga sudah mengeroyoknya pula, kedua tangannya memegang masing-masing sebatang pisau yang panjangnya satu kaki, runcing dan tajam sekali sehingga ketika dimainkan kedua pisau itu mengeluarkan suara berdesing.
Kini Cin Hay dikeroyok tiga! Karena pemuda ini hanya bersenjatakan sebuah dayung, tentu saja dia mulai kewalahan menghadapi pengeroyokan tiga orang jagoan yang tingkat kepandaiannya masing-masing sudah cukup tinggi dan tidak kalah olehnya itu. Sedapat mungkin dia membela diri, namun makin lama dia semakin terdesak. Dia teringat akan isterinya dan hal ini membuat dia menjadi semakin gugup dan semakin kacau pertahanannya.
Ketika dia harus menangkis golok dan sepasang pedang sekaligus, dayungnya tidak kuat bertahan dan patah menjadi dua, tubuhnya terhuyung dan pada saat itu, sinar pedang, golok dan pisau menyambar-nyambar. Cin Hay berusaha mengelak, namun sebuah bacokan golok merobek kulit pahanya dan sebuah tusukan pedang menyerempet pundaknya. Dia terjungkal mandi darah. Saat itu, sambil tertawa Hek-bin-houw Ban Sun menendangnya, keras sekali dan tubuh Cin Hay terlempar keluar perahu dan tercebur ke dalam air telaga.
“Hay-koooo...” Ci Sian yang sejak tadi berpegang pada langkan dan nonton pertandingan dengan muka pucat dan tubuh gemetar, begitu melihat suaminya roboh dan ditendang keluar perahu, menjerit dan berusaha untuk meloncat keluar, menyusul suaminya. Akan tetapi pada saat itu, dengan lagak seorang pendekar menolong orang, kedua tangan Koan Ki Sek sudah merangkul pinggangnya dan menariknya dari langkan.
“Sudahlah, manis, jangan perdulikan dia lagi. Mari bersenang dengan aku, heh-heh.” Dan Koan Wan-gwe terus menariknya.
Ci Sian menjerit dan meronta, bahkan lalu menjatuhkan diri di atas lantai perahu, namun hartawan itu sambil tertawa-tawa lalu menyeretnya, dan memerintahkan dua orang gadis panggilan untuk membantunya. Tubuh Ci Sian yang masih meronta dan menjerit itupun diseret ke dalam bilik perahu.
Sementara itu, biarpun paha dan pundaknya sudah terluka, Cin Hay masih berhasil memegang tali perahu besar dan berusaha memanjat naik lagi. Melihat ini, Hui-to-houw Phang Ek lalu menggerakkan kedua tangannya.
“Sing! Sing!” Dua batang pisau terbang ke bawah dan menancap pada betis kiri dan bahu kanan Cin Hay yang mulai memanjat tali besar itu. Tentu saja pemuda itu harus melepaskan pegangannya dan terjatuh lagi ke dalam air, dengan dua luka tambahan karena kedua pisau itu masih menancap di tubuhnya.
Namun, begitu tubuhnya menimpa air, hanya sebentar Cin Hay tenggelam. Semua orang yang nonton dari langkan perahu melihat betapa pemuda yang tahan derita itu sudah muncul kembali dan masih berusaha untuk menangkap tali perahu! Melihat ini, Hek-bin-houw Ban Sun tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, anjing tolol! Dari pada menerima hadiah besar dari Koan Wan-gwe, engkau memilih mampus. Baru tahu sekarang kelihaian See-ouw Sam-houw!” Dia lalu mengambil perahu kecil yang tadi ditumpangi Cin Hay dan isterinya, mengangkatnya dengan kedua tangannya yang kuat lalu melemparkan perahu itu ke arah Cin Hay!
Semua orang melihat betapa perahu itu menimpa tepat di atas kepala pemuda itu dan Cin Hay tidak nampak lagi. Tiga orang jagoan itu tertawa-tawa ketika mendengar jerit tangis Ci Sian dari bilik perahu makin melemah, sementara hujan turun dengan amat derasnya. Perahu besar bergerak perlahan menjauh dan di bawah hujan deras, keadaan di atas telaga indah itu menjadi menyeramkan sekali. Keindahannya lenyap berganti keadaan yang penuh dengan kekejian manusia. Di atas telaga tidak nampak perahu lain kecuali perahu besar yang masih bergerak perlahan.
Kurang lebih dua jam kemudian, Koan Ki Sek membuka daun pintu bilik perahu dari dalam dan masih terdengar isak lemah dari dalam bilik. Pakaian hartawan ini tidak karuan dan yang lebih hebat lagi, rambutnya awut-awutan dan mukanya berdarah, ada bekas-bekas guratan dan cakaran kuku pada seluruh mukanya. Wajahnya membayangkan kemarahan ketika dia memanggil tiga orang jagoannya yang masih menggeluti para gadis panggilan.
Ketika tiga orang jagoan itu tergesa-gesa datang, dia berkata seram, “Anjing betina itu menyakiti aku, kuberikan kepada kalian!”
Mendengar ini, tiga orang jagoan itu menyeringai dan Hek-bin-houw Ban Sun meloncat ke dalam dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi memondong tubuh Ci Sian yang hanya mampu mengerang dengan tubuh terbungkus pakaiannya yang tadi, pakaian warna kuning yang kini sudah robek-robek. Tiga orang jagoan itu lalu pergi menuju ke bilik kedua dan terjadilah kekejaman yang melampaui segala batas prikemanusiaan.
Biarpun mereka semua itu mengetahui bahwa isteri muda itu dalam keadaan hamil, namun Koan Ki Sek dan tiga orang jagoannya sama sekali tidak ambil pusing, sama sekali tidak menaruh hati kasihan. Mereka itu tiada ubahnya segerombolan srigala yang haus darah, dan Ci Sian bagaikan seekor domba muda yang terjatuh ke dalam cengkeraman gerombolan srigala itu!
Setiap orang manusia harus selalu ingat dan waspada. Ingat selalu kepada Tuhannya, kepada yang menciptakan dirinya, yang menghidupkannya dan yang kelak menentukan kematiannya, ingat bahwa Tuhan tidak pernah membenarkan setiap perbuatan yang jahat dam kejam terhadap sesama hidup. Dan selalu harus waspada terhadap dirinya sendiri, terhadap setiap langkah hidupnya, setiap perbuatannya. Setan berada di dalam diri sendiri, di dalam pikiran.
Suara setan selalu membisikkan bujuk rayu mengejar kesenangan. Pikiran selalu mengenang dan membayangkan kesenangan sehingga kita terlena, kita menjadi budak dari nafsu. Dan sekali kita menjadi budak nafsu, maka kita tidak melihat lagi bahwa keadaan ini membuat kita menjadi kejam. Kita seperti buta, tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan itu sungguh sesat.
Seperti juga Koan Ki Sek dan tiga orang jagoannya itu. Mereka tidak lagi menyadari bahwa mereka telah melakukan hal amat jahat. Mereka hanya menganggap bahwa mereka berhak bersenang-senang selagi masih hidup! Mereka adalah budak-budak nafsu mereka sendiri.
Kita tengok kembali keadaan Tan Cin Hay, suami muda yang bernasib malang itu. Benarkah seperti dugaan mereka yang berada di atas perahu besar bahwa pemuda itu tewas dengan kepala remuk tertimpa perahunya sendiri yang dilontarkan oleh Hek-bin-houw Ban Sun dari atas perahu besar?
Nampaknya memang demikian, namun mati hidup seseorang sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki bahwa orang itu masih hidup, diusahakan bagaimanapun juga, orang itu akan tetap hidup. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki dia mati, tidak diapa-apakan pun dia akan mati sendiri!
Ketika perahu kecil itu melayang turun dari atas, Cin Hay masih dalam keadaan sadar dan diapun maklum akan datangnya bahaya maut atas dirinya. Maka, hanya beberapa sentimeter selisihnya sebelum perahu itu menimpa kepalanya, diapun menyelam dan perahu itu menimpa air. Cin Hay lalu bersembunyi di bawah perahu yang kebetulan jatuhnya menelungkup dan berpegang kepada tepi perahu yang perlahan-lahan terbawa ombak dan pergi menjauh di bawah siraman air hujan yang semakin deras.
Banyak darah yang keluar dari luka-lukanya, membuat tubuhnya terasa lemas dan rasa nyeri yang amat sangat, membuat kesadarannya hampir hilang. Dalam keadaan setengah pingsan, Cin Hay bergantung dengan sisa tenaganya pada perahu menelungkup itu. Ombak mendorong perahu itu menuju ke sebuah tepian.
Bunyi guntur menggelegar dibarengi kilat menyambar mengejutkan Cin Hay dan membuatnya kembali ke alam sadar. Begitu sadar sepenuhnya, dia terkejut dan berteriak sekuatnya karena dia teringat akan semua yang telah dialaminya, terutama sekali teringat betapa isterinya, Ci Sian, tertinggal di alas perahu besar bersama para penjahat itu! Akan tetapi, teriakannya tidak mengeluarkan suara keras, hanya rintihan.
“Sian-moi... Sian-moi... isteriku...!”
Dia mengeluh dan hampir menangis. Dipandangnya ke kanan kiri, cuaca sudah gelap karena kiranya siang telah berganti malam, dan dia tidak melihat sebuahpun perahu, juga perahu besar yang dicarinya tidak nampak. Sebaliknya, remang-remang dia melihat daratan dengan pohon-pohon yang menggelantung dan menjulurkan dahan-dahan dan daun-daunnya ke air.
Timbul semangatnya. Dia harus menyelamatkan diri ke daratan, dia harus berusaha mencari perahu besar itu, mencari isterinya. Kalau dibiarkan terlalu lama dia di air, dia tidak akan kuat dan tentu akan tenggelam. Teringat akan isterinya, semangat untuk mencari dan berusaha menyelamatkan isterinya, memberi kekuatan baru kepada Cin Hay dan diapun berenang ke tepi.
Biarpun tepi tidak jauh lagi, namun dia merasa tenaganya habis dan akhirnya, terengah-engah dia dapat menjangkau dahan pohon itu, menarik tubuhnya ke tepi dan berhasil merangkak naik ke darat. Akan tetapi, napasnya terengah-engah, dadanya nyeri, pandang matanya berkunang dan diapun tidak ingat apa-apa lagi, menggeletak pingsan, terlentang di atas tanah dengan kedua kakinya masih di dalam air.
Dia tertidur atau pingsan sampai pagi. Sinar matahari telah mengusir embun dan halimun di permukaan air telaga ketika sayup-sayup Cin Hay mendengar suara isterinya memanggil-manggil namanya. Anehnya, suara isterinya itu amat merdu, dan memanggil-manggilnya seperti orang bernyanyi, dengan suara naik turun, tinggi rendah.
Cin Hay mendengar dengan jelas, akan tetapi merasa tubuhnya sedemikian lemahnya sehingga tidak mampu bangkit. Jangankan bangkit, menggerakkan kaki atau tangan saja dia tidak kuat, tenaganya habis. Dia lalu mengumpulkan sisa tenaganya, membuka mulutnya dan memanggil, sekali ini berhasil. Terdengar teriakan dari mulutnya, walaupun lemah namun cukup lantang.
“Sian-moi...!” Dan dia terkulai lagi.
Yang disangkanya suara isterinya memanggil-manggil tadi tiba-tiba berhenti. Itu bukanlah suara isterinya memanggil, melainkan suara suling yang ditiup orang. Peniupnya seorang kakek tua renta yang rambut, kumis dan jenggot panjangnya sudah putih semua. Agaknya teriakan Cin Hay terdengar olehnya dan kakek itu yang tadi berjalan perlahan sambil meniup suling, menghentikan tiupan sulingnya dan menghampiri tepi danau...
Banyak seniman mengagumi keindahan See-ouw. Pelukis-pelukis berdatangan untuk mengabadikan keindahan telaga dengan lukisan mereka, di waktu pagi, siang atau senja di mana terjadi perubahan keindahan pada telaga itu. Para penyair juga berdatangan dan mengungkapkan kekaguman mereka terhadap keindahan telaga dalam bentuk sajak-sajak.
Alam memang indah, baik itu di sekitar telaga, di tepi laut, atau di puncak gunung. Keindahan yang hidup, bukan seperti keindahan benda buatan manusia yang mati dan membosankan, karena keindahan alam tidak dibuat-buat, wajar, sedangkan keindahan buatan manusia hanya ciptaan yang berdasarkan selera nafsu sementara saja. Keindahan alam semesta tidak pernah sama, tidak mati, setiap saat berubah, dan mengandung kedalaman yang tidak terukur oleh pikiran manusia.
Menghadapi kebesaran dan keindahan alam, apa lagi ketika berada seorang diri, baru terasalah betapa kecil tiada artinya diri kita ini. Kita hanya sebagian kecil saja dari semua keindahan itu, kita termasuk di dalamnya. Akan tetapi kalau kita sudah menempatkan diri di luar, sebagai penonton dan menikmati keindahan, maka keindahan itupun akan mati seperti keindahan selera nafsu, dan akan menjadi membosankan.
Pada pagi hari itu, tidak begitu banyak tamu mengunjungi telaga. Hanya ada belasan buah perahu saja, itupun perahu-perahu kecil, dan hanya ada sebuah perahu besar dari mana terdengar suara musik dan nyanyian. Namun, kesunyian itu bahkan menambah menonjolnya keindahan See-ouw. Biasanya, kalau terlalu ramai, keadaan menjadi terlalu gaduh dan sibuk sehingga buyarlah keindahan itu, terganti oleh kesenangan manusia yang membisingkan.
Dan banyaklah manusia yang mengeluh dan kecewa kalau keadaan sepi seperti itu. Mereka adalah para pedagang makanan dan minuman, para tukang perahu yang menyewakan perahunya, para gadis penyanyi dan pelacur yang biasa disewa oleh mereka yang beruang dan yang menghibur hati dengan cara mereka sendiri, yaitu ditemani gadis-gadis penghibur yang cantik.
Hanya sebuah perahu besar yang membuat suasana agak meriah karena perahu besar itu milik Koan Tai-jin seorang pembesar yang terkenal dengan keroyalannya. Koan Tai-jin adalah seorang pembesar yang sudah pensiun dan kini tinggal di dusun Tiang-cin, menjadi seorang hartawan besar di dusun tempat asalnya itu. Rumahnya besar dan megah, dan hampir seluruh sawah ladang yang paling baik tanahnya di daerah itu adalah miliknya.
Dia hidup seperti seorang raja muda saja di daerah Tiang-cin. Bahkan lurah dusun sendiri menjadi kaki tangannya, tunduk kepadanya! Hal ini tidaklah mengherankan karena Koan Tai-jin, selain amat kaya raya sehingga mampu membeli kepala orang-orang yang menjadi lawannya, juga mampu membeli bantuan pembesar manapun juga, selain itu, dia mempunyai banyak kenalan baik yang menjadi pembesar di kota raja!
Semua orang mengejar kekuasaan! Demikian penting kekuasaan agaknya bagi semua orang. Dengan kekuasaan, orang akan merasa dirinya besar, penting, menonjol, dan juga aman! Dengan kekuasaan orang akan mampu menuruti segala kehendaknya, melampiaskan segala nafsunya, dan karena itulah maka orang-orang berlumba untuk memperoleh kekuasaan selagi hidup di dunia.
Kekuasaan mereka anggap dapat diperoleh melalui kedudukan, melalui harta kekayaan, melalui kekuatan dan kepandaian, dan sebagainya. Pada hal, kekuasaanlah yang menyeret manusia ke dalam lembah kesengsaraan, ke dalam pertentangan, permusuhan, kebencian, bahkan perang!
Koan Tai-jin bernama Koan Ki Sek, seorang laki-laki yang berusia kurang lebih limapuluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus dengan punggung agak bongkok. Sepasang matanya sipit sekali, hidungnya besar dan mulutnya selalu menyeringai, dengan bibir dan gigi menghitam karena racun tembakau yang selalu dibakar dan diisapnya dengan sebatang huncwe (pipa tembakau) dari emas. Di dalam rumahnya yang seperti istana itu, sudah terdapat seorang isteri yang usianya empatpuluhan tahun, masih cantik, juga ada lima orang selir yang muda-muda dan cantik manis.
Namun, Koan Ki Sek yang kini lebih terkenal dengan sebutan Koan Wan-gwe (Hartawan Koan) memang seorang hidung belang yang selain mata keranjang, juga bernafsu besar sekali sehingga belum akan puas rasa hatinya kalau belum berhasil meniduri wanita yang memikat hatinya. Banyak sudah isteri atau gadis orang menjadi korban nafsunya dan dia lebih sering berhasil menyeret wanita yang disukainya, dengan pengaruh uangnya atau kekuasaannya.
Wanita-wanita yang menjadi korbannya hanya mampu menangis, suami dan ayah mereka hanya mampu mengepal tinju. Namun, kepada siapa penghuni dusun Tiang-cin harus mengadu kalau kepala dusun sendiri menjadi kaki tangan hartawan itu?
Seperti biasa, senjata kaum lemah tertindas hanya mengadu kepada Langit dan Bumi, kepada Tuhan dengan tangis mereka, namun nampaknya, seperti juga Langit dan Bumi, Tuhanpun diam saja! Demikian memang kalau kita mengukur kekuasaan Tuhan secara manusiawi, mengukur keadilan Tuhan seperti keadilan yang kita kenal!
Tuhan Maha Kuasa dan Maha Adil, namun kekuasaan dan keadilannya itu maha besar, tak terjangkau oleh akal budi kita. Karena itu, apabila timbul penafsiran manusia, akan terjadi salah tafsir. Rahasia Gaib tersembunyi di dalam kekuasaan Tuhan, dan bagaimanapun nampaknya dalam pengertian manusiawi, kekuasaan Tuhan adalah Maha Benar dan Maha Adil!
Dan pada pagi hari itu, selagi keadaan telaga sunyi, Koan Ki Sek sudah pelesir dengan perahunya yang besar dan megah. Dia tidak perduli akan kesepian telaga karena dia sama sekali tidak merasa sepi dengan adanya tiga orang gadis panggilan yang menghiburnya, menemaninya berpesta, makan enak dan minum arak, ada yang menyuapinya, ada yang duduk di pangkuannya, ada pula yang memijatinya, sedangkan serombongan gadis penghibur lain bermain musik, menyanyi dan menari!
Dalam bersenang-senang ini, Koan Wan-gwe ditemani oleh tiga orang jagoannya yang juga menjadi pengawal-pengawal pribadinya. Tiga orang jagoan inilah membuat Koan Wan-gwe ditakuti orang, karena sekali saja hartawan itu memberi isyarat, maka tiga orang jagoan itu tentu akan turun tangan dan akan celakalah lawannya!
Tiga orang jagoan ini amat terkenal di daerah See-ouw karena mereka merupakan tokoh atau datuk golongan hitam yang merajalela di daerah itu. Dikenal dengan juiukan See-ouw Sam-houw (Tiga Harimau See-ouw). Mereka bertiga itu masih saudara seperguruan.
Yang pertama bernama Ban Sun usianya empatpuluh tahun, bermuka hitam maka dijuluki Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam), tubuhnya pendek gendut dan sikapnya kasar, selalu tertawa lebar dan amat sombongnya. Dia merupakan saudara tertua dan paling lihai di antara mereka bertiga, terkenal sekali dengan permainan goloknya yang lebar panjang dan berat.
Orang kedua bernama Kim Lok, usianya tigapuluh delapan tahun, mukanya kuning seperti berpenyakitan, tubuhnya tinggi kurus dan matanya yang sipit itu liar dan tajam seperti mata burung elang, sikapnya pendiam namun dalam hal kekejaman, dia paling terkenal. Kim Lok ini pandai sekali bermain sepasang pedang yang selalu tergantung di punggungnya.
Adapun orang ketiga bernama Phang Ek, usianya tigapuluh enam tahun, tubuhnya tinggi besar dan gagah, nampak kuat sekali, dengan wajah yang menyeramkan, penuh berewok. Phang Ek ini tidak nampak memegang atau menyimpan senjata besar seperti kedua orang suhengnya, akan tetapi di balik jubahnya, kalau disingkap, akan nampak bahwa ikat pinggangnya dari kulit itu penuh dengan pisau-pisau yang belasan batang banyaknya.
Pisau-pisau inilah yang membuat dia terkenal dan ditakuti, karena selain dia dapat memainkan pisau-pisau yang panjangnya hanya satu kaki itu sebagai senjata yang ampuh, juga dia dapat menyambitkan pisau-pisau itu menjadi pisau terbang yang dapat mencabut nyawa lawan. Dia dijuluki Hui-to (Pisau Terbang), sedangkan Kim Lok dijuluki Siang-kiam-houw (Harimau Berpedang Dua).
See-ouw Sam-bouw ini tadinya merupakan tokoh-tokoh hitam di telaga besar itu, dengan memungut semacam pajak liar dari para tukang perahu, rumah makan, bahkan ada kalanya berani membajak para tamu yang sedang pesiar di telaga. Akan tetapi, setelah mereka ditarik oleh Koan Wan-gwe menjadi kaki tangannya tiga tahun yang lalu, See-ouw Sam-houw tidak lagi mau mengganggu Telaga See-ouw. Kehidupan mereka sudah lebih dari cukup, mewah dan semua keperluan mereka dipenuhi belaka oleh majikan mereka.
Sesuai dengan keadaan hidup mereka sebagai penjahat dan kini sebagai tukang-tukang pukul, See-ouw Sam-how tidak pernah kawin dan menjadi langganan rumah-rumah pelesir di kota-kota. Juga dalam hal mengganggu wanita baik-baik, mereka hanya kalah oleh majikan mereka saja.
Pagi hari itu Koan Wan-gwe mengajak tiga orang jagoannya untuk menemaninya pelesir, bukan sekedar untuk menjaganya di telaga itu. Untuk tiga orang jagoan itu, dia juga mendatangkan tiga orang perempuan panggilan yang kini masing-masing dipangku oleh para jagoan yang sudah mulai mabok-mabokan itu.
Pagi ini Koan Wan-gwe memang mengadakan pesta untuk menyenangkan hati See-ouw Sam-houw karena mereka bertiga dianggap telah berhasil melaksanakan tugas mereka baru-baru ini. Selama hampir satu bulan tiga orang jagoannya itu melaksanakan tugas dan baru kemarin mereka pulang dengan hasil yang amat memuaskan, karena buktinya ada sepucuk surat pribadi yang ditandatangani oleh Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam) sendiri yang menyatakan bahwa Koan Wan-gwe diterima menjadi “sahabat” dan dilindungi oleh Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua) yang semenjak beberapa bulan ini menguasai atau merajai dunia sesat!
Bukan main girangnya hati hartawan itu, karena tanpa perlindungan para datuk baru itu, tidak ada artinya segala kekayaan dan kekuasaannya. Bahkan dia tidak mungkin dapat mempergunakan kekuasaan para pembesar untuk melindungi dirinya, kekayaan dan keluarganya. Sebaliknya, begitu Kiu Lo-mo menyatakan bahwa dia adalah seorang yang dilindungi, tidak ada seekorpun setan berani mengganggunya!
Inilah yang menggirangkan hatinya walaupun dia telah mengeluarkan banyak sekali emas dan perak yang dibawa oleh tiga orang jagoannya untuk tanda hormat kepada para datuk sesat itu. Dunia kang-ouw memang baru saja sempat dibuat geger oleh berita tentang Kiu Lo-mo itu. Sembilan Iblis Tua itu adalah datuk-datuk sesat yang sudah belasan tahun tidak pernah memperlihatkan diri sehingga banyak orang mengira bahwa mereka telah tiada.
Kiranya mereka itu bertapa di tempat masing-masing dan kini mereka keluar dari pertapaan dan bersekutu, membentuk pimpinan di atas semua kelompok sesat, dan kabarnya Sembilan Iblis Tua itu kini menjadi semakin sakti dan galak.
Munculnya Kiu Lo-mo ini disambut dengan gembira oleh dunia hitam, karena dengan adanya para datuk ini, kaum sesat tidak lagi harus tunduk dan takut terhadap para pendekar yang selalu menentang semua perbuatan jahat mereka. Kini ada Kiu Lo-mo yang melindungi mereka dan kemunculan sembilan orang datuk ini disambut dengan pesta pora berupa kejahatan-kejahatan yang dilakukan secara serentak di mana-mana, membuat para pendekar menjadi terkejut bukan main.
Koan Wan-gwe dan tiga orang jagoannya itu kini semakin gembira karena perut mereka kenyang dan kepala mereka penuh hawa arak. Mereka tertawa-tawa dan tangan mereka semakin berani membuat para wanita panggilan itu menggeliat dan tertawa cekikikan dan kecabulanpun terjadilah di depan para gadis penabuh musik dan penyanyi, tanpa ada lagi sopan santun. Kesusilaan tidak berlaku lagi bagi empat orang yang menjadi hamba nafsu kesenangan ini, bahkan mereka tidak perduli akan pandang mata segan dan takut namun ingin tahu dari para penghuni perahu-perahu kecil yang kadang-kadang mendekati perahu besar mereka.
Agak jauh dari perahu besar itu, nampak sebuah perahu lain. Perahu ini kecil hanya dimuati dua orang saja, dengan payon rendah dan di atas perahu kecil inipun terjadi kemesraan antara seorang pria dan seorang wanita. Namun, sungguh sama sekali berbeda dengan kemesraan mesum yang terjadi di atas perahu besar, antara pria-pria pengejar nafsu jalang dan wanita-wanita pengejar uang. Yang terjadi di atas perahu kecil itu adalah kemesraan yang terjadi antara dua orang yang saling mencinta.
Pencurahan kemesraan karena kasih sayang ini nampak halus dan mengharukan. Mereka duduk berdampingan, saling berpegang tangan, jari-jari tangan mereka saling cengkeram dan saling bergelut, memancarkan getaran-getaran kasih dan setiap kali mereka bertemu pandang, bibir mereka tersenyum dan dari pandang mata itu terpancar cinta kasih yang amat dalam, jauh melebihi air telaga itu dalamnya.
Mereka seakan lupa diri dan lupa keadaan, bukan karena nafsu berahi dan kesenangan, melainkan karena kebahagiaan. Bagi pria dan wanita yang saling mencinta, nafsu berahi menjadi alat pencurahan kasih sayang dan kemesraan, tidak seperti mereka yang di atas perahu, yang menjadikan nafsu berahi sebagai majikan yang menguasai dan membutakan mereka.
Pria dan wanita dalam perahu kecil itu masih amat muda. Pria itu baru berusia delapanbelas tahun, dan wanita itu tujuh belas tahun. Dari sikap mereka yang tidak canggung dalam pernyataan cinta mereka, walaupun dalam batas-batas yang sopan karena di dalam cinta kasih mereka terdapat pula saling menghargai dan saling menghormati, mudah diduga bahwa mereka itu adalah suami isteri.
Dan hal ini memang benar. Mereka itu suami isteri, bahkan masih pengantin baru karena baru lima bulan mereka menikah. Kini, isteri muda itu telah mengandung hampir tiga bulan!
Suami muda itu bernama Tan Cin Hay, putera seorang guru dusun yang miskin, dan isterinya bernama Gu Ci Sian, puteri seorang kepala dusun sederhana pula. Selain mempelajari ilmu surat dari ayahnya sendiri sejak kecil, juga Cin Hay pernah menjadi murid kuil Siauw-lim-si, mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai yang terkenal hebat. Selama lima tahun dia mempelajari ilmu silat dengan tekun dan kini dia telah memiliki ilmu silat yang cukup lumayan, yang membuat dia menjadi seorang pemuda yang bukan saja pandai baca tulis, akan tetapi juga pandai ilmu silat dan bertubuh kuat.
Sejak tadi Cin Hay memandang wajah isterinya. Makin dipandang semakin mempesona wajah itu, cantik manis bagaikan setangkai bunga mawar yang baru saja disiram embun, segar kemerahan tertimpa sinar matahari pagi. Dia menoleh ke kanan kiri. Tidak ada lain perahu dekat situ, maka tanpa dapat menahan rasa cintanya yang mendalam, dia lalu merangkul dan mencium mulut isterinya dengan sepenuh kasih sayangnya.
Ci Sian gelagapan, akan tetapi membalas ciuman suaminya. Ketika mereka saling melepaskan ciuman dengan napas memburu, wajah isteri muda itu menjadi semakin kemerahan dan sambil cemberut manja ia berkata,
“Ih, bagaimana kalau kelihatan orang lain?” Ia menoleh ke kanan kiri dan merasa lega bahwa di situ tidak nampak perahu lain dekat.
Cin Hay tersenyum, “Maafkan, aku tadi lupa diri. Habis melihat bibirmu demikian segar kemerahan...”
Isterinya menghela napas penuh kebahagiaan dan menyandarkan kepalanya di pundak suaminya, matanya menatap jauh penuh lamunan. Cin Hay mendekap erat.
“Isteriku sayang, bahagiakah hatimu?” bisiknya.
Sang isteri mengangguk, akan tetapi alisnya berkerut. “Aku... aku merasa khawatir, Koko...”
“Khawatir? Mengapa?”
“Aku khawatir kalau keadaan ini akan berubah, tidak akan seterusnya begini, koko...”
“Ihh, kenapa kau berkata demikian, moi-moi? Bukankah aku cinta padamu dan kau cinta padaku? Dan di dalam perutmu ini terdapat calon anak kita! Ingat, calon anak kita pertama, isteriku. Matahari akan selalu cerah, kehidupan kita akan selalu berbahagia, penuh cinta kasih...”
Namun Ci Sian menggeleng kepalanya yang masih bersandar pada pundak suaminya, matanya memandang jauh ke atas dan telunjuk kirinya menuding, “Lihat itu, koko. Matahari tidak selalu cerah...”
Cin Hay cepat mengangkat mukanya dan diapun melihat adanya awan mendung yang cukup tebal datang mengancam matahari. Agaknya gumpalan-gumpalan awan hitam tipis itu berkumpul menjadi mendung yang tebal dan tak lama kemudian, sinar matahari yang tadinya cerah mulai menjadi redup.
Melihat datangnya mendung hitam, bahkan kini mulai turun hujan gerimis, para penghuni perahu-perahu kecil menjadi panik. Bagaikan anak-anak ayam berlari-larian, mereka mendayung perahu-perahu mereka ke tepi telaga. Melihat ini, mereka yang berpesta di perahu besar dan yang mulai bosan dengan gadis-gadis panggilan mereka yang sudah mulai mabok-mabokan pula, mendapatkan kegembiraan baru.
Koan Wan-gwe dan tiga orang jagoannya sudah meninggalkan meja, berdiri di tepi perahu yang terlindung, menyoraki perahu perahu kecil yang kehujanan itu. Mereka sendiri merasa aman di perahu besar, aman dari air hujan, juga aman kalau-kalau air telaga akan bergelombang. Akan tetapi para gadis panggilan itu ikut pula merasa panik, apa lagi mereka sudah terlalu banyak minum dan di antaranya ada yang sudah muntah-muntah. Mereka ingin segera menerima upah untuk kembali ke tempat penampungan mereka.
Tiba-tiba mata Koan Wan-gwe menangkap perahu kecil yang ditumpangi Cin Hay dan Ci Sian. Biarpun dia sudah tiga perempat mabok, namun matanya selalu masih tajam untuk dapat melihat seorang wanita yang amat memikat hatinya. Dan Ci Sian memang seorang wanita muda yang amat menarik hati, cantik jelita dan lembut. Sungguh jauh bedanya dengan para gadis panggilan yang merupakan boneka-boneka hidup dengan bedak dan yan-ci (pemerah) yang terlalu tebal itu. Mata hartawan hidung belang ini terbelalak dan dia mengambil huncwe emas dari mulutnya yang ternganga ketika dia melihat Ci Sian di atas perahu kecil itu.
“Wah, bukan main...! Hayaaa... betapa manisnya...” berulangkali hartawan itu berseru kagum.
Sikapnya ini menarik perhatian tiga orang jagoannya dan merekapun memandang dan segera mereka tahu apa yang membuat majikan mereka demikian terkagum-kagum. Kiranya seorang wanita muda dalam perahu itu yang seperti perahu-perahu lain, sedang didayung oleh seorang laki-laki muda menyingkir ke pantai.
“Ha-ha-ha, kiranya lo-ya (tuan besar) naksir, ya?” Hek-bin-houw Ban Sun tertawa-tawa.
“Kalau naksir, ambil saja ia ke sini!” kata Kim Lok Si Harimau Berpedang Dua.
“Majukan perahu, kejar perahu kecil itu!” kata Phang Ek, Harimau Pisau Terbang memerintah kepada tukang perahu.
Koan Ki Sek tersenyum menyeringai, mengangguk-angguk sebagai jawaban atas pertanyaan Ban Sun dan kawan-kawannya, mulutnya menggumam, “Bagus sekali, perempuan-perempuan panggilan itu membosankan. Undang saja penghuni perahu itu naik ke sini, biar menjadi tamuku, tamu kehormatan yang manis, heh-heh-heh!”
Sebentar saia perahu kecil yang didayung menuju ke tepi oleh Cin Hay itu dapat disusul dan Cin Hay terkejut dan marah ketika tiba-tiba saja ada perahu besar mendahuluinya dan perahu itu melintang di depannya, membuat dia cepat memutar perahu kalau tidak mau bertabrakan dan terguling.
“Heiii...! Mengapa kalian lakukan ini?” bentaknya marah sambil menuding dengan telunjuknya ke arah beberapa orang yang menjenguk dari atas perahu besar itu sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi tidak ada yang menjawabnya, bahkan tiba-tiba perahu kecil itu terkait dari atas! Cin Hay makin kaget, akan tetapi ketika perahunya itu ditarik ke atas, dan melihat isterinya ketakutan dan merangkulnya, diapun hanya dapat melindungi isterinya dan memeluknya sambil menghiburnya.
Perahu kecil terus ditarik ke atas oleh beberapa orang, disambut suara ketawa bergelak. “Aha, sekali ini kita dapat ikan besar!”
“Ikannya cantik dan mulus, tentu lezat sekali!”
“Wah, ini tanda bahwa rezeki lo-ya memang hebat!”
Cin Hay melompat keluar dari perahunya sambil memeluk tubuh isterinya. Dia melihat bahwa di perahu besar itu terdapat seorang laki-laki tinggi kurus agak bongkok yang memegang huncwe emas, dan melihat pakaiannya yang mewah, mudah diduga bahwa dialah majikannya. Dan tiga orang itu tentu tukang pukul karena sikap mereka yang kasar dan sombong. Sedangkan selebihnya adalah anak buah. Ada pula perempuan-perempuan berbedak tebal berkumpul di sudut, nampaknya ketakutan.
“Sebetulnya apakah artinya semua ini? Mengapa kalian melakukan hal ini kepada kami, padahal kami sama sekali tidak mengenal kalian?” Cin Hay kembali bertanya, menahan kemarahannya dan kini memandang kepada laki-laki yang memegang huncwe emas itu.
See-ouw Sam-houw yang tadi menarik perahu kecil ke atas, hanya menyeringai dan menanti majikan mereka untuk mengambil keputusan dan menjawab pertanyaan Cin Hay. Koan Wan-gwe menghisap huncwe itu, lalu mengepulkan asap tembakau ke atas, lalu matanya melirik ke arah Ci Sian yang masih merangkul suaminya, kemudian berkata,
“Tadi aku melihat nona ini kehujanan dalam perahu kecil, maka aku merasa kasihan dan aku yang sedang kesepian ingin mengundang ia minum arak hangat di perahuku ini. Marilah, nona.”
Cin Hay merasa seolah-olah dadanya akan meledak saking marahnya. “Ia adalah seorang wanita sopan dan baik-baik, tidak sepatutnya menghadapi sikap yang begini kurang ajar dan tidak mengenal kesusilaan! Kalian anggap siapa kalian ini?”
Koan Wan-gwe mengerutkan sepasang alisnya dan dengan sikap congkak, dia memandang pemuda itu dari atas, seperti seorang bangsawan memandang kepada seorang budak belian saja. “Huh, orang tak tahu diri. Apamukah nona ini?”
“Ia isteriku!” jawab Cin Hay marah.
Pada saat itu, Hek-bin-houw Ban Sun sudah melangkah maju menghadapi Cin Hay seperti hendak melindungi majikannya. “Orang muda! ketahuilah bahwa majikan kami ini adalah Koan Wan-gwe yang dulu pernah menjadi Koan Tai-jin. Siapa tidak mengenal Koan Wan-gwe dari dusun Tiang-cin? Harap engkau suka tahu diri sedikit dan bersikap hormat kepada beliau.”
Cin Hay maklum bahwa dia berada di tempat berbahaya, apa lagi dia harus melindungi isterinya. Akan tetapi, selama lima tahun dia belajar silat di kuil Siauw-lim-si yang selain menggemblengnya dengan ilmu silat pilihan, juga telah menanamkan watak pendekar pada batinnya. Di samping itu, kemarahannya karena isterinya dihina orang membuat dia merasa sukar untuk mengalah.
“Akan tetapi, kami tidak bersalah. Kami tidak mengenal kalian dan kami tidak melakukan kesalahan apapun. Kalian membawa kami ke sini dengan paksa, bahkan kalian menghina isteriku. Bagaimana aku harus bersikap hormat?” bentaknya dan dia sudah mengepal kedua tinjunya, siap untuk melawan.
“Bocah sombong! Majikan kami telah mengundang isterimu untuk menemaninya minum arak, itu suatu kehormatan dan engkau sepatutnya menghaturkan terirna kasih!” bentak Kim Lok sambil mengerutkan alisnya.
“Kalau majikan kami hendak meminjam sebentar isterimu, engkau boleh merasa bangga!” Phang Ek juga berteriak marah.
Cin Hay melotot memandang kepada mereka. “Kenapa kalian tidak meminjamkan saja isteri kalian kepadanya? Kalau aku, jangan harap dapat menyentuh isteriku sebelum melewati mayatku!” Cin Hay mendorong dengan lembut agar isterinya mundur dan menjauh di belakangnya.
Dengan ketakutan Ci Sian lalu mundur sampai menyentuh langkan di tepi perahu besar di mana ia berdiri merangkul papan langkan dengan tubuh gemetar dan muka pucat.
“Heh-heh, agaknya anjing kecil ini baru mulai belajar menggonggong maka dia berani!” kata Hek-bin-houw Ban Sun dan laki-laki muka hitam perut gendut ini sudah menerjang maju, tangan kanannya menyambar ke arah kepala Cin Hay dengan cengkeraman kuat, disusul hantaman ke arah perut pemuda itu. Serangan ini cepat dan kuat sekali dan kalau satu di antara serangan itu mengenai sasaran, agaknya akan celakalah pemuda itu.
Namun, tidak percuma Cin Hay mempelajari ilmu silat selama lima tahun dalam kuil Siauw-lim. Cepat dia sudah mengangkat lengan kirinya menangkis ke atas. Dan tangan kanannya juga menangkis ke bawah, lalu tangan kanan itu begitu bertemu lengan lawan, diteruskan ke bawah dan tangannya yang terbuka menusuk ke arah perut lawan.
“Hukkk!” Otomatis Hek-bin-houw membungkuk ketika perutnya tertusuk tangan yang miring, dan pada saat itu, Cin Hay mengangkat kaki kirinya sehingga lututnya menghajar dagu si gendut pendek.
“Dukkk!” Tubuh gendut pendek itu hampir terjengkang, terhuyung dan matanya terbelalak, mukanya yang hitam menjadi lebih hitam karena darah telah naik ke mukanya.
Sebetulnya, satu di antara See-ouw Sam-houw ini bukan orang lemah dan kalau tadi dengan amat mudahnya dia terkena tusukan tangan dan tendangan lutut adalah karena dia terlalu memandang rendah lawannya. Memandang rendah lawan merupakan pantangan besar bagi seorang ahli silat, karena hal ini mendatangkan kelengahan pada diri sendiri.
“Aha, kiranya bukan hanya menggonggong, akan tetapi sudah belajar menggigit pula anjing cilik ini!” teriaknya untuk menutupi rasa malu, dan dengan marah tangannya sudah mencabut golok besarnya. Nampak sinar berkilauan ketika dia memutar golok besar itu di atas kepalanya.
Melihat ini, Cin Hay maklum bahwa perkelahian mati-matian tak dapat dihindarkan lagi. Dia harus membela keselamatan dirinya, juga membela kehormatan isterinya, maka karena dia tidak membawa senjata, cepat dia menyambar dayung kayu yang tadi dia pakai mendayung perahu kecil. Dia memegang dayung itu seperti sebatang toya, senjata yang pernah dipelajarinya secara tekun di kuil Siauw-lim.
Datanglah serangan golok itu, bertubi-tubi. Sinar golok bergulung-gulung dan menyambar-nyambar dahsyat, namun Cin Hay dapat mengelak dan menangkis dengan baiknya, bahkan membalas dengan dayungnya. Permainan silat nya mantap dan sukarlah bagi Hek-bin-houw untuk mendesaknya. Bahkan belasan jurus kemudian, sapuan dayung itu menyerempet tulang kering kaki kiri Ban Sun yang berteriak kesakitan sambil terpincang-pincang.
Melihat ini, Kim Lok sudah membantu temannya, menyerang dengan sepasang pedangnya. Gerakannya cepat dan kuat, mengejutkan hati Cin Hay yang maklum bahwa lawan baru ini tidak kalah hebatnya dibandingkan lawan pertama. Apa lagi Phang Ek juga sudah mengeroyoknya pula, kedua tangannya memegang masing-masing sebatang pisau yang panjangnya satu kaki, runcing dan tajam sekali sehingga ketika dimainkan kedua pisau itu mengeluarkan suara berdesing.
Kini Cin Hay dikeroyok tiga! Karena pemuda ini hanya bersenjatakan sebuah dayung, tentu saja dia mulai kewalahan menghadapi pengeroyokan tiga orang jagoan yang tingkat kepandaiannya masing-masing sudah cukup tinggi dan tidak kalah olehnya itu. Sedapat mungkin dia membela diri, namun makin lama dia semakin terdesak. Dia teringat akan isterinya dan hal ini membuat dia menjadi semakin gugup dan semakin kacau pertahanannya.
Ketika dia harus menangkis golok dan sepasang pedang sekaligus, dayungnya tidak kuat bertahan dan patah menjadi dua, tubuhnya terhuyung dan pada saat itu, sinar pedang, golok dan pisau menyambar-nyambar. Cin Hay berusaha mengelak, namun sebuah bacokan golok merobek kulit pahanya dan sebuah tusukan pedang menyerempet pundaknya. Dia terjungkal mandi darah. Saat itu, sambil tertawa Hek-bin-houw Ban Sun menendangnya, keras sekali dan tubuh Cin Hay terlempar keluar perahu dan tercebur ke dalam air telaga.
“Hay-koooo...” Ci Sian yang sejak tadi berpegang pada langkan dan nonton pertandingan dengan muka pucat dan tubuh gemetar, begitu melihat suaminya roboh dan ditendang keluar perahu, menjerit dan berusaha untuk meloncat keluar, menyusul suaminya. Akan tetapi pada saat itu, dengan lagak seorang pendekar menolong orang, kedua tangan Koan Ki Sek sudah merangkul pinggangnya dan menariknya dari langkan.
“Sudahlah, manis, jangan perdulikan dia lagi. Mari bersenang dengan aku, heh-heh.” Dan Koan Wan-gwe terus menariknya.
Ci Sian menjerit dan meronta, bahkan lalu menjatuhkan diri di atas lantai perahu, namun hartawan itu sambil tertawa-tawa lalu menyeretnya, dan memerintahkan dua orang gadis panggilan untuk membantunya. Tubuh Ci Sian yang masih meronta dan menjerit itupun diseret ke dalam bilik perahu.
Sementara itu, biarpun paha dan pundaknya sudah terluka, Cin Hay masih berhasil memegang tali perahu besar dan berusaha memanjat naik lagi. Melihat ini, Hui-to-houw Phang Ek lalu menggerakkan kedua tangannya.
“Sing! Sing!” Dua batang pisau terbang ke bawah dan menancap pada betis kiri dan bahu kanan Cin Hay yang mulai memanjat tali besar itu. Tentu saja pemuda itu harus melepaskan pegangannya dan terjatuh lagi ke dalam air, dengan dua luka tambahan karena kedua pisau itu masih menancap di tubuhnya.
Namun, begitu tubuhnya menimpa air, hanya sebentar Cin Hay tenggelam. Semua orang yang nonton dari langkan perahu melihat betapa pemuda yang tahan derita itu sudah muncul kembali dan masih berusaha untuk menangkap tali perahu! Melihat ini, Hek-bin-houw Ban Sun tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, anjing tolol! Dari pada menerima hadiah besar dari Koan Wan-gwe, engkau memilih mampus. Baru tahu sekarang kelihaian See-ouw Sam-houw!” Dia lalu mengambil perahu kecil yang tadi ditumpangi Cin Hay dan isterinya, mengangkatnya dengan kedua tangannya yang kuat lalu melemparkan perahu itu ke arah Cin Hay!
Semua orang melihat betapa perahu itu menimpa tepat di atas kepala pemuda itu dan Cin Hay tidak nampak lagi. Tiga orang jagoan itu tertawa-tawa ketika mendengar jerit tangis Ci Sian dari bilik perahu makin melemah, sementara hujan turun dengan amat derasnya. Perahu besar bergerak perlahan menjauh dan di bawah hujan deras, keadaan di atas telaga indah itu menjadi menyeramkan sekali. Keindahannya lenyap berganti keadaan yang penuh dengan kekejian manusia. Di atas telaga tidak nampak perahu lain kecuali perahu besar yang masih bergerak perlahan.
Kurang lebih dua jam kemudian, Koan Ki Sek membuka daun pintu bilik perahu dari dalam dan masih terdengar isak lemah dari dalam bilik. Pakaian hartawan ini tidak karuan dan yang lebih hebat lagi, rambutnya awut-awutan dan mukanya berdarah, ada bekas-bekas guratan dan cakaran kuku pada seluruh mukanya. Wajahnya membayangkan kemarahan ketika dia memanggil tiga orang jagoannya yang masih menggeluti para gadis panggilan.
Ketika tiga orang jagoan itu tergesa-gesa datang, dia berkata seram, “Anjing betina itu menyakiti aku, kuberikan kepada kalian!”
Mendengar ini, tiga orang jagoan itu menyeringai dan Hek-bin-houw Ban Sun meloncat ke dalam dan tak lama kemudian dia sudah keluar lagi memondong tubuh Ci Sian yang hanya mampu mengerang dengan tubuh terbungkus pakaiannya yang tadi, pakaian warna kuning yang kini sudah robek-robek. Tiga orang jagoan itu lalu pergi menuju ke bilik kedua dan terjadilah kekejaman yang melampaui segala batas prikemanusiaan.
Biarpun mereka semua itu mengetahui bahwa isteri muda itu dalam keadaan hamil, namun Koan Ki Sek dan tiga orang jagoannya sama sekali tidak ambil pusing, sama sekali tidak menaruh hati kasihan. Mereka itu tiada ubahnya segerombolan srigala yang haus darah, dan Ci Sian bagaikan seekor domba muda yang terjatuh ke dalam cengkeraman gerombolan srigala itu!
Setiap orang manusia harus selalu ingat dan waspada. Ingat selalu kepada Tuhannya, kepada yang menciptakan dirinya, yang menghidupkannya dan yang kelak menentukan kematiannya, ingat bahwa Tuhan tidak pernah membenarkan setiap perbuatan yang jahat dam kejam terhadap sesama hidup. Dan selalu harus waspada terhadap dirinya sendiri, terhadap setiap langkah hidupnya, setiap perbuatannya. Setan berada di dalam diri sendiri, di dalam pikiran.
Suara setan selalu membisikkan bujuk rayu mengejar kesenangan. Pikiran selalu mengenang dan membayangkan kesenangan sehingga kita terlena, kita menjadi budak dari nafsu. Dan sekali kita menjadi budak nafsu, maka kita tidak melihat lagi bahwa keadaan ini membuat kita menjadi kejam. Kita seperti buta, tidak menyadari bahwa apa yang kita lakukan itu sungguh sesat.
Seperti juga Koan Ki Sek dan tiga orang jagoannya itu. Mereka tidak lagi menyadari bahwa mereka telah melakukan hal amat jahat. Mereka hanya menganggap bahwa mereka berhak bersenang-senang selagi masih hidup! Mereka adalah budak-budak nafsu mereka sendiri.
Kita tengok kembali keadaan Tan Cin Hay, suami muda yang bernasib malang itu. Benarkah seperti dugaan mereka yang berada di atas perahu besar bahwa pemuda itu tewas dengan kepala remuk tertimpa perahunya sendiri yang dilontarkan oleh Hek-bin-houw Ban Sun dari atas perahu besar?
Nampaknya memang demikian, namun mati hidup seseorang sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki bahwa orang itu masih hidup, diusahakan bagaimanapun juga, orang itu akan tetap hidup. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki dia mati, tidak diapa-apakan pun dia akan mati sendiri!
Ketika perahu kecil itu melayang turun dari atas, Cin Hay masih dalam keadaan sadar dan diapun maklum akan datangnya bahaya maut atas dirinya. Maka, hanya beberapa sentimeter selisihnya sebelum perahu itu menimpa kepalanya, diapun menyelam dan perahu itu menimpa air. Cin Hay lalu bersembunyi di bawah perahu yang kebetulan jatuhnya menelungkup dan berpegang kepada tepi perahu yang perlahan-lahan terbawa ombak dan pergi menjauh di bawah siraman air hujan yang semakin deras.
Banyak darah yang keluar dari luka-lukanya, membuat tubuhnya terasa lemas dan rasa nyeri yang amat sangat, membuat kesadarannya hampir hilang. Dalam keadaan setengah pingsan, Cin Hay bergantung dengan sisa tenaganya pada perahu menelungkup itu. Ombak mendorong perahu itu menuju ke sebuah tepian.
Bunyi guntur menggelegar dibarengi kilat menyambar mengejutkan Cin Hay dan membuatnya kembali ke alam sadar. Begitu sadar sepenuhnya, dia terkejut dan berteriak sekuatnya karena dia teringat akan semua yang telah dialaminya, terutama sekali teringat betapa isterinya, Ci Sian, tertinggal di alas perahu besar bersama para penjahat itu! Akan tetapi, teriakannya tidak mengeluarkan suara keras, hanya rintihan.
“Sian-moi... Sian-moi... isteriku...!”
Dia mengeluh dan hampir menangis. Dipandangnya ke kanan kiri, cuaca sudah gelap karena kiranya siang telah berganti malam, dan dia tidak melihat sebuahpun perahu, juga perahu besar yang dicarinya tidak nampak. Sebaliknya, remang-remang dia melihat daratan dengan pohon-pohon yang menggelantung dan menjulurkan dahan-dahan dan daun-daunnya ke air.
Timbul semangatnya. Dia harus menyelamatkan diri ke daratan, dia harus berusaha mencari perahu besar itu, mencari isterinya. Kalau dibiarkan terlalu lama dia di air, dia tidak akan kuat dan tentu akan tenggelam. Teringat akan isterinya, semangat untuk mencari dan berusaha menyelamatkan isterinya, memberi kekuatan baru kepada Cin Hay dan diapun berenang ke tepi.
Biarpun tepi tidak jauh lagi, namun dia merasa tenaganya habis dan akhirnya, terengah-engah dia dapat menjangkau dahan pohon itu, menarik tubuhnya ke tepi dan berhasil merangkak naik ke darat. Akan tetapi, napasnya terengah-engah, dadanya nyeri, pandang matanya berkunang dan diapun tidak ingat apa-apa lagi, menggeletak pingsan, terlentang di atas tanah dengan kedua kakinya masih di dalam air.
Dia tertidur atau pingsan sampai pagi. Sinar matahari telah mengusir embun dan halimun di permukaan air telaga ketika sayup-sayup Cin Hay mendengar suara isterinya memanggil-manggil namanya. Anehnya, suara isterinya itu amat merdu, dan memanggil-manggilnya seperti orang bernyanyi, dengan suara naik turun, tinggi rendah.
Cin Hay mendengar dengan jelas, akan tetapi merasa tubuhnya sedemikian lemahnya sehingga tidak mampu bangkit. Jangankan bangkit, menggerakkan kaki atau tangan saja dia tidak kuat, tenaganya habis. Dia lalu mengumpulkan sisa tenaganya, membuka mulutnya dan memanggil, sekali ini berhasil. Terdengar teriakan dari mulutnya, walaupun lemah namun cukup lantang.
“Sian-moi...!” Dan dia terkulai lagi.
Yang disangkanya suara isterinya memanggil-manggil tadi tiba-tiba berhenti. Itu bukanlah suara isterinya memanggil, melainkan suara suling yang ditiup orang. Peniupnya seorang kakek tua renta yang rambut, kumis dan jenggot panjangnya sudah putih semua. Agaknya teriakan Cin Hay terdengar olehnya dan kakek itu yang tadi berjalan perlahan sambil meniup suling, menghentikan tiupan sulingnya dan menghampiri tepi danau...