SEPASANG NAGA PENAKLUK IBLIS
JILID 02
KETIKA dia melihat tubuh Cin Hay yang menggeletak seperti tak bernyawa lagi itu, dia menyelipkan sulingnya di ikat pinggang, lalu berjongkok, mulutnya berkata lirih, “Ya Tuhan, apakah yang telah terjadi denganmu, orang muda?” Dengan lembut dan cepat, kakek itu memeriksa keadaan tubuh Cin Hay, pemuda yang pakaiannya robek-robek, tubuhnya luka-luka dan ada dua batang pisau menancap di betis kaki kiri dan di bahu kanan. Wajah Cin Hay pucat seperti mayat, pernapasannya lemah dan tinggal satu-satu, megap-megap seperti ikan sekarat di daratan.
Setelah memeriksa nadi pemuda itu beberapa lamanya, kakek tadi mengangguk-angguk. “Bagus, hanya kehabisan darah, tidak ada luka di dalam...” katanya dan dia menurunkan ciu-ouw (tempat arak) yang terbuat dari kulit waluh yang dikeringkan, juga mengeluarkan bungkusan kain terisi pel-pel merah. Diambilnya tiga butir pel merah, lalu dia membantu Cin Hay menelan pel-pel itu, dimasukkan ke mulut pemuda itu dan didorong oleh arak yang memancar keluar dari tempat arak dengan kuat ketika tempat arak itu dipencetnya. Tiga butir pel itu tertelan.
Kemudian, dengan hati-hati kakek itu mencabut dua batang pisau, diperiksanya sebentar pisau-pisau itu lalu dilemparkannya ke dalam telaga, lalu diobatinya luka-luka di tubuh Cin Hay dengan semacam obat bubuk putih. Yang terakhir, dia menempelkan telapak tangan kirinya di dada Cin Hay dan dari telapak tangan itupun mengalir keluar hawa yang panas dan yang membuat seluruh tubuh Cin Hay tergetar hebat. Tak lama kemudian terdengar Cin Hay smengeluh dan dia membuka kedua matanya. Kakek itu kembali mengangguk-angguk dan tersenyum, lalu berkata,
“Bagus, engkau memang memiliki tubuh yang kuat. Engkau telah terhindar dari maut, orang muda.”
Cin Hay segera sadar dan dapat menduga bahwa kakek ini tentulah orang yang menolongnya. Dia teringat akan isterinya dan memandang ke kanan kiri. Melihat ini, kakek itu membantu Cin Hay bangkit duduk dan bertanya lembut,
“Siapa yang kau cari, orang muda?”
“Isteri saya... ah, isteri saya dilarikan orang...” Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu, “Locianpwe, tolonglah saya, selamatkan isteri saya...”
“Isterimu dilarikan orang? Di mana? Oleh siapa?” kakek itu bertanya.
Sikapnya tenang sekali sehingga Cin Hay yang merasa khawatir akan nasib isterinya, menjadi tidak sabar dan mencoba bangkit berdiri. Akan tetapi dia terhuyung dan tentu roboh kalau tidak cepat dirangkul kakek itu. Cin Hay merasa betapa rangkulan lembut itu mengandung tenaga yang amat kuat.
“Mereka... orang-orang jahat di perahu besar... mereka melarikan isteriku... ohhhh...”
“Tunggu, kuambil perahu itu,” kata kakek itu ketika melihat sebuah perahu kecil mengapung tak jauh dari tepi, hanya dalam jarak belasan meter saja. Dia membantu Cin Hay duduk kembali, lalu meninggalkan pemuda itu.
Cin Hay memandang dengan heran ketika melihat kakek itu mematahkan dua batang dahan pohon, kemudian melepaskan dua batang dahan itu ke atas air dan kakek itupun melompat ke atas dua batang dahan yang besarnya hanya sebetis kaki. Kemudian, kakek itu menggerak-gerakkan kedua lengannya seperti burung yang hendak terbang dan tubuhnya meluncur ke depan, ke arah perahu!
Cin Hay bengong. Bagaimana mungkin orang dapat menggunakan dua batang dahan untuk mengambang di atas air dan bahkan meluncur secepat itu? Kakek yang bertubuh tinggi kurus itu kini sudah memegang perahu, dibalikkannya perahu itu dan diapun meloncat ke dalam perahu, lalu menggunakan sebatang di antara dua dahan itu untuk mendayung perahu ke tepi. Dia meloncat ke darat menarik perahu ke darat pula, kemudian dengan mudah sekali dia memondong tubuh Cin Hay dan membawanya ke perahu, mendudukkan tubuh pemuda itu di dalam perahu. Dan diapun mendorong kembali perahu ke air dan didayungnya ke tengah.
Cin Hay merasa seperti dalam mimpi. Perahu itu meluncur dengan kecepatan yang tak masuk akal rasanya! Perahu itu berkeliling ke seluruh permukaan telaga, dan akhirnya kakek itu meluncurkan perahunya ke arah perahu besar yang berlabuh di pusat pelesiran Telaga See-ouw, di mana terdapat rumah-rumah makan dan pedusunan.
Ketika kakek itu mendaratkan perahunya dan menuntun Cin Hay turun, ternyata perahu besar itu telah kosong. Tubuh Cin Hay telah mulai agak kuat dan ternyata pcngobatan yang diberikan kakek itu sungguh mujarab sekali. Cin Hay melakukan penyelidikan, bertanya-tanya tentang para penghuni perahu besar.
Seorang nelayan tua tergopoh menghampirinya. “Orang muda, siapakah yang kau cari?”
“Para penghuni perahu besar itu. Kemana mereka?” tanya Cin Hay, sedangkan kakek tua penolongnya hanya berdiri memandang.
“Maksudmu, Koan Wan-gwe dan anak buahnya? Mereka telah pergi, pagi tadi, pagi sekali mereka telah pergi.”
“Dan... wanita muda itu...?”” tanya Cin Hay, hatinya penuh kegelisahan.
“Huh, perempuan-perempuan panggilan itu? Merekapun sudah pergi semua...!”
“Bukan, bukan mereka maksudku. Wanita muda... yang menjadi tawanan mereka!”
“Wanita... wanita muda...? Pakaian... pakaian kuning?” nelayan tua itu menegaskan, mukanya berubah dan suaranya agak gemetar.
“Benar! Benar ia! Di manakah ia, paman? Apakah mereka itu membawanya pergi?”
Dengan mata terbelalak nelayan tua itu menjawab, suaranya lirih dan gemetar. “Wanita muda berpakaian kuning itu... bukankah ada tahi lalat kecil didagunya...?”
“Benar! Benar ia, isteriku!”
“Isterimu orang muda? Ya Tuhan...! Isterimu...?”
Cin Hay tidak sabar lagi. Dia memegang lengan nelayan tua itu dan biarpun dia baru saja sembuh, namun tenaganya memang besar sehingga ketika dia memegang dengan pengerahan tenaga, nelayan itu menyeringai kesakitan dan mengaduh. Cin Hay baru menyadari, make cepat dia mengendurkan pegangannya.
“Maaf, paman, akan tetapi cepat katakanlah, apa yang telah terjadi dengan Ci Sian, isteriku, wanita muda berbaju kuning itu? Di mana ia?”
Dengan tangan gemetar, nelayan tua itu menunjuk ke arah bukit kecil, tak jauh dari situ. “Ia... ia di sana...”
Cin Hay menoleh ke arah bukit itu, terbelalak. “Paman, tunjukkanlah di mana ia berada...”
Dan tersaruk-saruk diapun mengikuti nelayan tua itu mendaki bukit kecil. Di belakangnya, bagaikan bayangan saja, kakek penolongnya mengikuti. Cin Hay agaknya sudah melupakan kakek itu, saking tegangnya ingin bertemu dengan isterinya yang menurut nelayan tua itu berada di bukit.
Akan tetapi, nelayan tua itu berhenti di lereng bukit kecil, berhenti di depan sebuah gundukan tanah yang masih baru, dan suaranya seperti berbisik ketika dia berkata sambil menunjuk ke arah gundukan tanah itu, “Ia... ia berada di sini, terkubur di sini...”
Wajah yang sudah pucat itu kini semakin pucat seperti mayat, matanya terbelalak, kedua lengannya terpentang dan mulutnya mengeluarkan jerit menyayat hati, “Sian moi...!!!” dan tubuh Cin Hay terkulai dan diapun terjatuh ke dalam rangkulan kakek yang berdiri di belakangnya dalam keadaan pingsan. Ketika dia siuman kembali, Cin Hay segera teringat dan diapun bangkit duduk. Sebuah tangan dengan lembut menyentuh pundaknya dan suara kakek yang lembut itu berkata,
“Orang muda, bersikaplah tenang. Seorang laki-laki bagaimanapun juga tidak boleh terseret oleh duka dan memperlihatkan kelemahan. Tenang dan tegaklah menghadapi kenyataan hidup!”
Cin Hay merasa seolah-olah kepalanya disiram air dingin. Teringat dia akan gemblengan batin yang pernah diterimanya di kuil Siauw-lim, maka diapun menahan perasaannya, memandang ke arah gundukan tanah, lalu menoleh kepada nelayan tua yang masih duduk berjongkok dekat kuburan baru itu. Kata-kata lembut kakek tua renta itu menyadarkannya dan kini dia dapat menenteramkan hatinya.
“Paman,” katanya kepada nelayan tua itu, “yang terkubur di sini adalah isteriku. Tolonglah paman ceritakan, apa yang telah terjadi pagi tadi di sini.”
Nelayan itu memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh rasa iba, lalu dia menarik napas panjang dan bercerita, “Pagi tadi, baru saja terang tanah, perahu besar itu minggir. Pemiliknya, Koan Wan-gwe, tergesa-gesa turun bersama para gadis panggilan dan penyanyi itu, naik dua kereta yang sudah menunggu di sini dan mereka lalu pergi. Tak lama kemudian, muncul See-ouw Sam-houw, tiga orang jagoan yang kami takuti itu. Mereka adalah kaki tangan Koan Wan-gwe, akan tetapi dahulu pernah menjadi jagoan di telaga ini. Mereka lalu memerintahkan kami, yaitu aku sendiri dan tiga orang kawan nelayan untuk membantu mereka. Kami disuruh mengangkat jenazah seorang wanita muda yang cantik, berpakaian kuning. Karena aku mengangkat bagian kaki, aku melihat tahi lalat kecil di dagunya itu...”
“Sudahlah, paman, ia isteriku. Akan tetapi tahukah paman mengapa ia... ia mati...? Adakah luka-luka...?”
Nelayan itu menggeleng kepala. “Aku tidak tahu, tidak nampak luka-luka, akan tetapi pakaiannya bagian bawah penuh darah...”
“Ahhh...!” Cin Hay menutupi kedua mukanya, seolah-olah dia tidak ingin melihat pemandangan yang membayang di depan matanya. Isterinya sedang hamil tiga bulan, dan banyak darah itu hanya punya satu arti, yaitu isterinya keguguran! Sebuah tangan menepuk pundaknya dan Cin Hay kembali dapat mengusai hatinya dan dia mengangkat muka memandang nelayan itu dengan wajah pucat.
“Lalu bagaimana, paman? Teruskanlah ceritamu,” katanya lirih.
“Tiga orang jagoan itu memaksa kami untuk menggotong jenazah itu ke tempat ini, menyuruh kami menggali lubang dan mengubur jenazah itu setelah kami dipaksa untuk mencari sebuah peti mati sederhana. Semua kami terpaksa melakukannya karena kami takut kepada mereka. Setelah penguburan selesai, mereka pergi begitu saja tanpa ucapan terima kasih kepada kami.”
Suara itu bernada marah dan jelaslah bahwa dengan menceritakan semua ini, nelayan tua itu melampiaskan dendam dan kemarahannya kepada See-ouw Sam-houw. Cin Hay merasa berterima kasih sekali kepada nelayan tua itu dan tiga orang temannya. Dia mengeluarkan semua sisa uang yang disimpannya dalam saku bajunya, menyerahkannya kepada nelayan tua itu sambil berkata,
“Paman, tolong belikan bahan sembahyang sederhana, dan sisa uangnya harap paman bagikan dengan tiga orang teman paman yang telah membantu pemakaman jenazan isteriku.”
Nelayan miskin itu tentu saja menjadi girang sekali. Jumlah uang itu, setelah dibelikan alat sembahyang, masih bersisa amat banyak bagi dia dan kawan-kawannya. Maka sambil berterima kasih dan membungkuk-bungkuk, dia cepat pergi untuk mencari dan membeli bahan sembahyang seperti hio, hidangan sederhana, dan lain-lain keperluan sembahyang.
Setelah nelayan itu pergi, Cin Hay berlutut di depan makam isterinya dan tenggelam dalam samadhi, tidak teringat lagi kepada kakek tua renta yang masih duduk dengan tenang tak jauh dari situ, di atas sebuah batu datar sambil mengamati pemuda yang baru tertimpa malapetaka itu. Ketika nelayan tua itu datang membawa bahan sembahyangan yang sederhana. Cin Hay segera bersembahyang di depan makam isterinya, dan terdengar bisikannya yang penuh duka,
“Ampunkan aku, isteriku. Aku suamimu yang tidak berharga telah gagal melindungimu dari tangan para penjahat terkutuk itu...”
Setelah selesai bersembahyang, Cin Hay bersila di depan makam, memandang ke arah asap hio yang mengepul ke atas dan tenggelam dalam lamunan. Nelayan tua itu telah pergi, namun kakek tua renta masih duduk bersila di atas batu tadi.
“Orang muda, apakah yang akan kau lakukan sekarang?” Suara yang lembut itu memecah kesunyian dan seolah-olah mempunyai kekuatan gaib yang menarik semangat Cin Hay kembali ke alam kenyataan yang pahit ini.
Cin Hay bangkit berdiri, lalu menghampiri kakek itu dan menjatuhkan diri berlutut. Baru teringat dia bahwa kakek ini yang telah menyelamatkannya, juga telah membawanya ke sini sehingga dia berhasil menemukan isterinya, walaupun hanya tinggal makamnya.
“Locianpwe, saya menghaturkan terima kasih atas segala pertolongan locianpwe kepada saya yang malang ini. Apakah yang dapat saya lakukan sekarang, locianpwe? Saya telah kehilangan segalanya. Satu-satunya keinginan hati saya hanyalah mencari penjahat-penjahat yang menganiaya dan membunuh isteri saya, mengadu nyawa dengan mereka!”
“Hemm, orang muda. Apakah engkau merasa bahwa kepandaianmu sudah cukup untuk menentang mereka?”
Mendengar ini, Cin Hay menarik napas panjang. “Saya tidak akan mampu mengalahkan mereka, locianpwe, dan saya tentu akan mati di tangan mereka pula. Akan tetapi, itulah yang saya kehendaki, agar saya dapat mati dan menyusul isteri saya...”
“Kalau begitu berarti engkau hanya ingin membunuh diri, dan bunuh diri adalah suatu pekerjaan terkutuk dan pengecut.”
Cin Hay terkejut, mengangkat muka memandang dan makin kagetlah dia melihat betapa sepasang mata kakek itu mengeluarkan sinar mencorong yang menakutkan. “Maaf, locianpwe, bukan niat saya untuk bunuh diri, akan tetapi apa lagi yang dapat saya lakukan untuk membalas dendam kematian isteri saya?“
“Tahu akan kelemahan diri namun nekat menempuh maut merupakan bunuh diri yang konyol, bodoh dan sama sekali bukan sikap seorang gagah. Orang muda, para korban kejahatan seperti isterimu dan orang-orang lain, mengharapkan orang-orang gagah untuk menentang kejahatan di dunia ini, bukan orang-orang lemah yang nekat saja. Dan bukanlah orang gagah dia yang hatinya diracuni dendam. Ada dua hal yang harus kaulakukan kalau engkau ingin menjadi orang gagah, yaitu pertama memperdalam ilmu silatmu, dan kedua melenyapkan dendam dari hatimu. Kalau engkau sanggup, aku suka sekali untuk membimbingmu, orang muda.”
Mendengar ini, sadarlah Cin Hay bahwa kakek yang sakti ini berkenan mengambilnya sebagai murid. Melihat betapa hidupnya kosong dan dia akan merana tanpa isterinya, Cin Hay melihat kemungkinan hidup baru sebagai murid orang sakti ini. Maka dia lalu menjatuhkan diri memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah.
“Teecu berterima kasih sekali dan bersumpah untuk menjadi seorang murid yang baik. Akan tetapi untuk melenyapkan dendam, teecu masih harus banyak belajar dan menerima petunjuk suhu.”
Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya yang putih panjang lalu mengangguk. Engkau jujur, dan memang tidak mudah untuk membebaskan diri dari nafsu sendiri. Engkau masih harus belajar banyak sekali, muridku. Akan tetapi kiranya sudah sepatutnya kalau engkau memperkenalkan namamu kepadaku.”
Cin Hay lalu menceritakan riwayatnya secara singkat. Dia bernama Tan Cin Hay, sudah yatim karena ayah meninggal dunia ketika ada wabah mengamuk di dusun mereka. Ayahnya seorang guru dusun yang miskin sederhana, meninggal beberapa tahun yang lalu. Cin Hay hidup sebatang kara dan dia pernah belajar selama lima tahun di kuil Siauw-lim-si.
Baru setengah tahun dia menikah dengan Gu Ci Sian, puteri seorang lurah dusun. Kemarin, dia bersama isterinya berpesiar ke telaga itu untuk memenuhi keinginan hati isterinya yang sudah lama ingin melihat dan pesiar di Telaga See-ouw yang terkenal indah, dan ternyata terjadi malapetaka yang membuat isterinya tewas dan selamanya terkubur di dekat telaga itu, di sebuah lereng bukit dari mana kuburan itu dapat melihat keindahan telaga setiap hari!
Mendengar cerita Cin Hay, kakek itu mengangguk-angguk. “Engkau memang agaknya ditakdirkan untuk menjadi muridku, Cin Hay. Engkau berbakat, bertulang baik dan memiliki semangat pendekar, mudah menguasai dan merobah diri, sudah yatim pula dan dengan kematian isterimu maka engkau menjadi bebas tanpa ada ikatan apapun. Ketahuilah, aku disebut Pek I Lojin (Kakek Baju Putih) karena aku selalu mengenakan baju putih. Siapa nama aseliku, aku sendiri sudah lupa. Akan tetapi, apa artinya nama? Setelah engkau menjadi muridku, marilah engkau ikut bersamaku, ke tempat tinggal sementara yang kupilih. Lihat di puncak bukit itu, puncak Bukit Bambu Sisik Naga.”
Cin Hay memberi hormat dan ikut berdiri ketika gurunya bangkit berdiri. “Maaf, suhu. Bukankah sepatutnya kalau teccu berkunjung kepada mertua teecu untuk memberi kabar tentang kematian isteri teecu?”
Pek I Lojin mengangguk-angguk, “Memang sepatutnya demikian. Akan tetapi, marilah ikut ke pondokku lebih dulu, baru dari sana engkau pergi berkunjung dan memberi kabar kepada keluarga mertuamu.”
Setelah beberapa kali menoleh, memandang ke makam isterinya, akhirnya Cin Hay melangkah dengan lebar mengejar Pek I Lojin yang sudah berjalan pergi tanpa menengok-nengok lagi. Guru dan murid ini tanpa banyak cakap pergi mendaki bukit yang cukup tinggi dan penuh dengan hutan bambu itu.
Pek I Lojin tinggal di puncak bukit itu, di tengah hutan bambu yang bentuknya aneh. Bambu yang disebut Bambu Sisik Naga ini bentuknya seperti badan ular, ruasnya pendek-pendek dan bentuknya seperti sisik ikan dengan warna hijau kekuningan. Di tengah hutan bambu itu Pek I Lojin mendirikan sebuah pondok bambu yang sederhana, namun tempat itu bersih dan pemandangannya pun indah sekali, hawanya sejuk menyenangkan dan tak jauh dari hutan bambu itu terdapat ladang yang subur di mana kakek tua renta ini menanam sayur-sayuran dan padi-padian yang hasilnya cukup untuk dimakan sekeluarga.
Setelah tiba di pondok gurunya, Cin Hay diperkenankan turun bukit untuk memberi kabar kepada mertuanya tentang malapetaka yang menimpa isterinya. Ketika dia tiba di rumah mertuanya. Tiba-tiba dia merasa kasihan sekali kepada keluarga isterinya itu dan Cin Hay mendapat pikiran untuk tidak bercerita terus terang mengenai kematian isterinya. Ayah dan ibu mertuanya menyambutnya dengan heran mengapa mantu mereka datang sendirian saja dan wajahnya nampak pucat dan lesu.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka ketika Cin Hay menceritakan bahwa isterinya telah meninggal dunia karena korban pembajakan di Telaga See-ouw! Ibu mertuanya langsung pingsan mendengar ini sehingga sekeluarga itu menjadi repot dan dilanda kedukaan.
Setelah ibu mertuanya sadar, barulah Cin Hay disuruh menceritakan apa yang telah terjadi. Cin Hay bercerita bahwa ketika dia dan isterinya sedang berpesiar di telaga, tiba-tiba saja mereka diserang oleh bajak telaga itu. Dia melakukan perlawanan dan dipukul sampai terjatuh ke air dan dia terbawa hanyut dalam keadaan pingsan.
“Untung saya dapat diselamatkan oleh seorang tua yang sakti, akan tetapi Ci Sian...” dia menarik napas panjang. “Isteri saya terkasih itu tewas karena perahu terbalik. Karena kami berpisah, dan jenazah isteri saya ditemukan oleh para nelayan, maka mereka lalu mengubur jenazah isteri saya di sebuah bukit dekat telaga. Baru pada keesokan paginya saya mendapat keterangan tentang ini dan saya telah bersembahyang di kuburan Ci Sian...”
Hujan tangis terjadi di rumah keluarga lurah dusun itu. “Siapakah bajak-bajak itu? Kita harus bertindak! Akan kukerahkan semua penjaga dan pemuda dusun ini!”
Cin Hay sudah menduga bahwa ayah mertuanya yang menjadi kepala dusun tentu marah dan hendak menuntut balas. Dia tahu bahwa para penjaga keamanan dusun dan para pemuda bukanlah lawan orang-orang yang berilmu tinggi seperti See-ouw Sam-houw, apalagi kemungkinan besar Koan Wan-gwe masih mempunyai lebih banyak lagi kaki tangan yang pandai.
Kalau mertuanya melakukan hal itu, tentu akan jatuh lebih banyak korban di pihak keluarga mertuanya. Pula, kedudukan ayah mertuanya pun dapat terancam kalau bermusuhan deagan seorang hartawan berpengaruh seperti Koan Wan-gwe. Maka, dia memang sudah siap untuk berbohong demi keselamatan mertuanya.
“Saya tidak mengenal mereka, dan begitu mereka membalikkan perahu kami, mereka lalu pergi dengan perahu-perahu mereka.”
Cin Hay lalu mendapat tugas untuk mengantar ayah dan ibu mertuanya mengunjungi kuburan isterinya, di mana kedua orang tua itu menangisi kematian puteri mereka. Kemudian, setelah mereka kembali ke dusun, Cin Hay berpamit kepada ayah dan ibu mertuanya untuk memperdalam ilmu silatnya.
“Saya harus belajar sampai pandai agar kelak saya dapat membasmi atau menantang penjahat-penjahat seperti mereka yang telah menyebabkan kematian isteri saya.”
Ayah dan ibu mertuanya tentu saja tidak dapat bersikap lain kecuali menyetujui dan memberi ijin. Maka pergilah Cin Hay ke rumahnya sendiri di dusun lain, berpamit kepada ibunya, kemudian diapun membawa pakaian pergi ke bukit Bambu Sisik Naga untuk mulai berguru kepada Pek I Lojin.
********************
Kita tinggalkan dulu Cin Hay yang mulai berlatih silat dengan penuh semangat, untuk mengikuti peristiwa lain yang melibatkan diri seorang gadis yang kelak akan menjadi tokoh utama pula dalam kisah ini.
Waktu itu yang menjadi kaisar adalah Tang Kao Cung (650-683) dari Dinasti Tang (618-907). Kota Lok-yang merupakan kota besar kedua setelah Tiang-an yang menjadi ibu kota atau kota rajanya. Akan tetapi karena kota Lok-yang merupakan kota besar kedua, di sini tinggal pula banyak bangsawan, pangeran dan keluarga mereka, juga bangsawan tinggi yang menjadi pejabat-pejabat penting.
Lie Kim Cu adalah seorang gadis yang amat cantik jelita dan manis. Dalam usia enambelas tahun, ia bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar semerbak mengharum. Nampaknya ia lemah lembut, dengan wajah cantik manis dan tubuh lemah gemulai, namun sesungguhnya, sejak kecil ia suka akan ilmu silat. Ketika masih kecil, diam-diam ia memaksa kepala pengawal ayahnya untuk mengajarkan ilmu silat kepadanya. Ketika ayahnya mengetahui, melihat bakat puterinya, ayah ini lalu mengundang seorang ahli silat wanita untuk memberi pelajaran kepada Lie Kim Cu.
Maka, setelah berusia enambelas tahun, gadis yang nampak cantik jelita dan lemah lembut, pandai membuat sajak dan membuat lukisan atau tulisan halus, pandai bermain yang-kim dan meniup suling, pandai menyulam, sebetulnya juga memiliki kepandaian silat yang lumayan. Dua orang laki-laki biasa saja jangan harap akan mampu menangkapnya, dan seorang laki-laki bertubuh kuat yang memiliki ilmu silat pasaran saja akan mudah dapat ia robohkan!
Ayah Lie Kim Cu seorang pejabat menengah. Sebagai seorang pejabat menengah di dalam jaman yang penuh dengan pejabat korup itu, keadaan keluarga Lie-taijin cukup kaya raya. Penghasilan sampingan karena kekuasaannya jauh berlipat kali lebih besar dari pada gajinya. Dan Lie-taijin seorang pejabat yang cakap sehingga menyenangkan hati Pangeran Coan Siu Ong, yaitu bangsawan tinggi yang menjadi atasannya.
Lie-taijin hanya mempunyai seorang anak, yaitu Lie Kim Cu. Dari beberapa orang selirnyapun dia tidak memperoleh keturunan sehingga tidaklah mengherankan bila Kim Cu disayang oleh seluruh keluarga sebagai anak tunggal, biarpun wanita. Karena dimanja, maka sampai usia enambelas tahun, ia belum juga bertunangan walaupun pinangan sudah datang amat banyaknya, karena gadis itu selalu menolak dan orang tuanya tidak mau memaksanya.
Kecantikan Kim Cu terkenal di Lok-yang dan banyak sekali pemuda tergila-gila padanya walaupun banyak di antara mereka belum sempat melihat sendiri gadis itu, hanya mendengar kecantikannya dipuji-puji setinggi langit oleh mereka yang pernah melihat Kim Cu. Akan tetapi, keadaan hidup manusia tidaklah abadi, ada pasang surutnya seperti air lautan, ada terang gelapnya seperti cuaca. Demikian pula dengan keadaan keluarga Lie-taijin. Semenjak setahun yang lalu, pejabat yang cakap ini terjerat kesenangan yang amat berbahaya dan merusak, yaitu berjudi!
Judi adalah satu di antara kemaksiatan yang paling berbahaya di antara segala kemaksiatan yang lain. Di dalam perjudian, banyak sifat buruk bermunculan dan bermaharajajela. Kemurkaan, keinginan memperoleh uang sebanyaknya dengan cara yang paling mudah meracuni hati, membuat orang mencandu dan lupa diri, sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya telah dicengkeram iblis yang amat jahat, bahkan sampai habis-habisan pun belum sadar. Kesadaran datang setelah terlambat, dan biasanya, kalau keadaan sudah mending, kesenangan itu akan menggerogoti hatinya lagi dan menyeretnya kepada kebiasaan perjudian lagi.
Dalam perjudian hati kita dipermainkan oleh harapan-harapan yang amat merangsang, digoda oleh kemenangan-kemenangan sementara yang amat memuaskan hati. Kalau kita kalah, timbul harapan besar untuk meraih kembali uang kita yang hilang akibat kekalahan kita. Kalau kita menang, timbul harapan besar untuk meraih kemenangan yang lebih besar lagi. Dengan demikian, kalah menang sama saja akibatnya, menyeret kita lebih dalam lagi terperosok ke dalam lumpur perjudian.
Dalam perjudian kitapun menjadi sadis dan kejam sekali. Dengan hati enak dan senang kita mentertawakan seorang kawan yang ludes dan kalah! Kalau kita kalah, kita terhibur oleh kekalahan seorang sahabat yang lebih banyak lagi. Kalau kita menang, kita merasa iri karena kemenangan teman lebih besar dari pada kemenangan kita. Iri, dengki, tamak, kejam, semua ini bermunculan di dalam perjudian.
Lebih jahat lagi, perjudian membuat pikiran menjadi gelap, lupa segala, dan siap mengorbankan segala yang kita sayangi demi berlangsungnya kesenangan yang disebut perjudian itu. Tercatat di dalam sejarah ataupun dongeng, betapa sejak jaman dahulu sekali manusia telah dipermainkan kesenangan judi ini. Ada raja kehilangan mahkotanya karena dipertaruhkan dalam perjudian. Suami kehilangan isterinya atau bapak kehilangan puterinya yang dipertaruhkan dalam perjudian!
Apa lagi perjudian tingkat tinggi seperti yang dimasuki Lie-taijin. Karena yang berjudi adalah para bangsawan dan hartawan, maka tempatnyapun mewah, serba menyenangkan, dengan hidangan yang lezat, arak yang harum, musik dan nyanyi oleh gadis-gadis cantik, dan dilayani oleh gadis-gadis panggilan kelas tinggi. Suasananya serba mewah, nikmat, dan menyenangkan!
Lie-taijin yang belum berpengalaman itu menjadi korban ular-ular perjudian yang bermain curang. Dia habis-habisan dan karena haus akan uang untuk modal judi, mulailah dia memakai uang pemerintah, mencuri, melakukan kecurangan dan korupsi! Perhiasan para isterinya satu demi satu dimintanya, bahkan perhiasan yang menempel di tubuh Kim Cu juga dikorbankan dalam perjudian. Ini semua masih belum memuaskan iblis perjudian yang melahap kesemuanya tanpa mengenal cukup.
Lie-taijin masih terlibat hutang ke sana-sini. Aneh memang, dalam perjudian, orang mudah sekali mendapatkan hutang, seolah-olah semua teman seperjudian siap untuk memberi pinjaman. Sebaliknya, untuk modal bekerja, jauh lebih sulit untuk memperoleh hutang!
Seperti telah kita ketahui, Kim Cu adalah seorang gadis yang mulai dewasa dengan kecantikan yang mengguncangkan banyak hati pria di kota Lok-yang. Hal inipun akhirnya terdengar oleh Pangeran Coan Siu Ong, atasan Lie-taijin. Pangeran Coan Siu Ong yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam itu sudah berusia limapuluh tahun, akan tetapi dia terkenal sebagai seorang laki-laki bangsawan yang gila perempuan.
Dengan kekayaannya, juga dengan kebangsawanannya dan kedudukannya, banyak sudah wanita cantik terjatuh ke dalam pelukannya, dengan suka rela maupun dengan paksa. Ketika mendengar akan kecantikan Kim Cu, pangeran ini mencari jalan untuk membuktikannya dengan mata sendiri. Sebagai atasan Lie-taijin, tentu saja mudah baginya untuk dapat melihat Kim Cu dan sekali melihat gadis itu, diapun menahan air liurnya dan tergila-gila!
Akan tetapi, tentu saja dia tidak dapat berbuat sembarangan saja terhadap puteri bawahannya ini. Dia hanya menahan rindu di dalam hatinya dan beberapa malam sekali tentu bermimpi tentang gadis jelita itu yang berhasil didekapnya. Kemudian, para penyelidiknya menyampaikan tentang keadaan Lie-taijin kepada Pangeran Coan Siu Ong. Betapa Lie-taijin kini menjadi seorang penjudi kelas berat, betapa pejabat itu habis-habisan, berkorupsi dan mempunyai banyak sekali hutang!
Mendengar ini, Pangeran Coan Siu Ong hampir saja menari kegirangan? Terbukalah jalan yang amat lebar baginya untuk mendapatkan bunga yang sudah lama dirindukannya itu. Dia lalu mengutus kaki tangannya untuk menghubungi para ular judi dan dengan imbalan yang cukup, Pangeran Coan Sin Ong memerintahkan mereka untuk memeras habis-habisan Lie-taijin sehingga semakin dalam pejabat itu akan terperosok ke dalam lumpur!
Pada suatu hari, Pangeran Coan Siu Ong pergi mengunjungi Lie-taijin yang menyambutnya dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan rasa gelisah. Sudah terlalu banyak dia menggunakan uang negara, dan terlalu banyak hutangnya di luar. Dia takut kalau-kalau atasannya ini mengetahuinya atau mengadakan pemeriksaan. Namun, hatinya menjadi lega ketika Pangeran Coan Siu Ong yang berpura-pura tidak tahu akan keadaannya, bahkan menitipkan sekantung uang emas kepadanya.
“Emas seratus tail ini milikku pribadi untuk keperluanku pribadi. Karena aku hendak pergi ke kota raja selama beberapa hari, maka kutitipkan kepadamu. Sepulangku dari kota raja, akan kuambil kembali.” Demikian kata Pangeran Coan Siu Ong dan penitipan uang emas seratus tail itu disaksikan oleh dua orang pengawal pangeran itu, dan oleh seorang pembantu Lie-taijin.
Lie-taijin menerima kantung itu, menghitung isinya dan berjanji akan menyimpannya dengan hati-hati. Setelah Pangeran Coan Siu Ong pergi, maka para ular judi lalu berdatangan membujuk Lie-taijin untuk berjudi. Mula-mula, Lie-taijin tidak berani mengusik emas titipan itu, akan tetapi setan judi yang sudah menghuni kepalanya tiada hentinya berbisik-bisik dan akhirnya karena oleh setan judi itu digambarkan kemenangan besar.
Lie-taijin tidak dapat menahan keinginan hatinya. Karena sudah kehabisan modal, dia lalu mengambil beberapa tail emas untuk modal berjudi. Tentu saja dia kalah. Karena khawatir akan hilangnya beberapa tail yang ludes di meja judi, Lie-taijin ingin menarik kembali kekalahannya dengan melanjutkan perjudian, dengan modal baru yang diambilnya dari kantung terisi emas itu. Kalah lagi dan demikian selanjutnya sehingga seminggu kemudian, kantung itu telah kosong!
Dan tepat setelah kantung kosong, muncullah Pangeran Coan Siu Ong yang tentu saja sudah tahu belaka akan semua yang terjadi menimpa diri Lie-taijin! Lie-taijin menyambut kedatangan Pangeran Coan Siu Ong dengan muka pucat dan tubuh gemetar. Ketika pangeran itu mengatakan bahwa kedatangannya untuk mengambil emas yang dititipkannya, Lie-taijin segera menjatuhkan berlutut dengan tubuh gemetar.
Dia mengaku terus terang bahwa emas titipan itu telah habis dan dikalahkan di medan perjudian, dan dia berjanji dengan sumpah akan mengembalikan uang emas itu. Pangeran Coan Siu Ong bangkit dari tempat duduknya dan menggebrak meja.
“Ah, jadi yang selama ini kudengar sebagai desas desus ternyata benar? Bahwa engkau telah menjadi seorang penjudi sehingga hartamu ludes, bahkan engkau korupsi, menggunakan uang pemerintah dan berhutang di sana-sini? Sungguh celaka! Aku harus mengadakan pemeriksaan sekarang juga di kantormu!”
Dengan muka semakin pucat, terpaksa Lie-taijin mengantar atasannya dan beberapa orang pejabat pemeriksa pembukuan dan keuangan untuk mengadakan perhitungan dan pemeriksaan di kantornya. Tidak sukar bagi para pemeriksa itu untuk menemukan bahwa Lie-taijin memang benar telah korupsi, menggunakan uang negara dalam jumlah yang banyak sekali!
Dan Pangeran Coan Siu Ong dengan marah lalu memerintahkan petugas untuk menangkap Lie-taijin dan memasukkan ke dalam tahanan! Tentu saja keluarga Lie-taijin menjadi geger. Para isterinya menangis. Lie Kim Cu membanting-banting kakinya.
“Sungguh celaka, mengapa ayah menjadi terperosok sedalam ini?” kata Lie Kim Cu sambil memukul-mukulkan tangan kanan terkepal ke atas telapak tangan kirinya sendiri dan beberapa kali membanting kaki kanan saking jengkelnya. “Sudah berkali-kali kuperingatkan ayah, akan tetapi dia malah marah-marah. Sungguh heran sekali, mengapa watak ayah menjadi berubah seperti itu setelah dia gemar berjudi?”
Mereka tak dapat berbuat sesuatu kecuali menangis dan mengeluh. Sementara itu, Pangeran Coan Siu Ong lalu menyuruh seorang kepercayaannya untuk mengunjungi Lie-taijin di dalam kamar tahanannya. Utusan ini adalah seorang laki-laki yang biasa menjadi comblang (perantara perjodohan) dan pandai sekali berbicara dan membujuk. Setelah mengeluarkan basa-basi seperti merasa iba, ikut prihatin dan sebagainya, comblang itu lalu berkata dengan lirih,
“Lie-taijin, keadaan ini sukar untuk dapat ditolong lagi. Taijin akan dijatuhi hukuman berat, semua rumah dan isinya akan disita untuk mengembalikan uang negara dan membayar hutang. Keluarga Taijin akan terpaksa keluar dan tidak membawa barang apapun, dan akan terlantar...”
“Ahhh...!” Lie-taijin menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dari sela-sela jari tangannya menitik air matanya. “Semua karena perbuatanku, semua karena kesalahanku...”
“Lie-taijin, penyesalan saja saya kira tidak ada gunanya. Yang penting haruslah mencari jalan bagaimana baiknya agar keluarga Taijin jangan sampai terlantar, dan kalau mungkin, agar nama baik Taijin pulih kembali dan Taijin dapat menduduki jabatan lama...”