BAGAIKAN seekor laba-laba menjerat mangsanya, Kim Cu mempergunakan segala keahliannya yang diperolehnya selama hampir satu bulan itu, mengeluarkan semua kemanjaan dan kemesraan yang hangat, untuk memikat hati Bhok Hin yang menjadi semakin tergila-gila. Bahkan Bhok Hin membujuk Kim Cu untuk mau menjadi selirnya dan dia bersedia untuk menebusnya dari Bibi Ciok.
Akan tetapi, dengan cerdik Kim Cu masih mengulur waktu, mengatakan bahwa hutangnya kepada Bibi Ciok terlalu besar, bukan hanya hutang uang, melainkan hutang budi sehingga ia belum tega untuk meninggalkannya. Ia minta waktu sebulan lagi dan tentu saja Bhok Hin yang sedang tergila-gila itu berbaik hati untuk menanti dengan sabar.
Malam itu, Kim Cu memperlihatkan kesedihan pada mukanya. Hal ini segera diketahui oleh Bhok Hin. Tergesa-gesa dia bertanya apa yang menyusahkan hati kekasihnya. Dia siap menolong. Uangkah? Atau apa?
“Biarpun saya hidup serba kecukupan di sini, dan menerima budi kecintaan yang berlimpahan dari kongcu, akan tetapi, saya kadang-kadang merasa seperti seekor burung dalam kurungan. Saya sejak kecil mendengar betapa indahnya Lembah Sungai Kuning, dengan taman alamnya yang mempesona, dengan ribuan macam bunga. Ingin sekali saya merasakan betapa nikmatnya naik perahu di tepi sungai itu, dan berjalan-jalan di taman alam di Lembah Huang-ho (Sungai Kuning). Akan tetapi, ahhh... itu hanya mimpi dan sampai matipun takkan dapat terlaksana...”
Bhok Hin merangkul sambil tertawa. “Ha-ha, apa sukarnya untuk berpesiar ke sana? Besok, kalau engkau menghendaki, aku akan mengajakmu ke sana, naik kereta!”
“Benarkah?” Kim Cu nampak gembira bukan main dan ia segera merangkul dan menciumi kedua pipi itu dengan mesra. “Ah, terima kasih, kongcu! Akan tetapi, jangan... jangan katakan kepada Bibi Ciok bahwa kita berpesiar ke sana...!”
“Kenapa? Kalau aku yang mengajakmu, apakah dia berani menghalangi?”
“Bukan begitu, kongcu. Tentu saja ia tidak berani, akan tetapi kalau mendengar bahwa kita pergi terlalu jauh, tentu ia akan merasa khawatir dan kelak saya yang akan mendapat marah.”
“Hemm, begitukah? Lalu bagaimana?”
“Sebaiknya kalau kongcu katakan bahwa kongcu mengajak saya jalan-jalan untuk seharian besok, terserah kepada kongcu mau diajak jalan-jalan ke mana.”
Kembali Kim Cu merangkul dan menciumi sehingga sambil tertawa dan merangkul kekasihnya itu, Bhok Hin menyetujui. Malam itu Kim Cu menghadiahi kemesraan yang lebih dari biasanya kepada Bhok Hin sehingga tentu saja orang ini merasa puas dan senang sehingga pagi-pagi sekali dia sudah menemui Bibi Ciok untuk menyampaikan niatnya, yaitu ingin mengajak Kim Cu berjalan-jalan dengan keretanya. Mendengar ini, Bibi Ciok mengerutkan alisnya. Tentu saja ia tidak setuju mendengar bahwa Kim Cu hendak keluar dari rumahnya, akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani.
“Ke manakah, kongcu?”
“Putar-putar saja, ke taman-taman, mungkin singgah ke rumahku. Sore nanti kami kembali ke sini, harap bibi jangan khawatir.”
“Khawatir tidak. Bhok kongcu, hanya saya perlu memberitahukan kongcu bahwa nona Lie itu pernah memberontak dan kalau sudah begitu, ia bisa berbahaya sekali.”
Mendengar ini, Bhok Hin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, makin hebat ia memberontak di pembaringan, makin hebat pula, bibi! Jangan khawatir, Kim Cu telah menjadi kekasihku, dan iapun cinta padaku. Tidak akan mengherankan kalau pada suatu hari aku akan menebusnya dari tanganmu, berapapun tinggi harganya.”
Bibi Ciok senang sekali mendengar ini. Tentu ia akan minta uang tebusan yang luar biasa tingginya, yang akan dapat membuat ia kaya raya dan uang itu dapat ia pakai untuk modal berusaha. Akan tetapi, wanita yang cerdik tidak mau lengah begitu saja.
Ketika Bhok Hin menggandeng tangan Kim Cu yang sudah berdandan memasuki keretanya, diam-diam Bibi Ciok ini menyuruh lima orang tukang pukulnya yang pilihan dan jagoan, untuk membayangi kereta itu dari jauh, menjaga segala kemungkinan kalau-kalau Kim Cu akan memberontak dan melarikan diri Bagaimanapun juga, ia harus menjaga agar sumber emas berupa gadis cantik itu jangan sampai terlepas dari tangannya!
Lima orang jagoan ini mengikuti dari jauh dengan menunggang kuda, dan mereka mulai khawatir ketika melihat betapa kereta yang ditumpangi Bhok Hin dan Kim Cu bersama seorang kusir itu dilarikan keluar kota sebelah utara. Keluar kota. Tentu saja lima orang jagoan yang diutus Bibi Ciok menjadi semakin curiga dan mereka terus membayangi dari jauh. Bahkan ketika kereta tiba di Lembah Huang-ho, karena khawatir kehilangan, mereka berlima membayangi dari jarak lebih dekat sehingga mereka dapat terus mengamati kereta.
Girang bukan main rasa hati Kim Cu karena berhasil membujuk Bhok Hin untuk membawanya keluar dari rumah pelacuran milik Bibi Ciok, bahkan membawanya keluar kota yang sunyi, berdua saja, bertiga dengan kusir. Kesempatan yang amat baik dan lebar untuk membebaskan diri, melarikan diri dan orang lelaki tukang pelesir yang lemah seperti Bhok Hin, dan kusirnya yang kerempeng itu tentu tidak akan mampu menghalanginya melarikan diri.
Ia sudah bersiap-siap ketika kereta memasuki daerah lembah yang luas dan banyak hutannya itu. Tentu saja ia berbohong ketika mengatakan kepada Bhok Hin bahwa ia tidak pernah melihat lembah ini. Ia ketika kecil seringkali diajak ayahnya untuk berburu di daerah ini sehingga ia hapal dan mengenal betul daerah ini! Akan tetapi, Kim Cu kini telah menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan, cerdik bukan main dan kecerdikannya ini membuat ia selalu waspada dan hati-hati.
Sebelum ia melaksanakan rencananya melarikan diri, ia pura-pura melongok keluar kereta, melihat ke arah belakang dan terkejutlah ia melihat ada lima orang penunggang kuda membayangi kereta itu! Celaka, pikirnya. Ulah siapakah ini? Apakah diam diam Bhok Hin menyuruh para pengawalnya untuk melindunginya? Kalau benar demikian, lenyaplah harapannya. Ataukah mereka itu utusan Bibi Ciok?
“Ihhh...!” Ia sengaja menjerit kecil dan Bhok Hin cepat memegang lengannya.
“Ada apakah?”
“Bhok-kongcu... aku takut... dibelakang itu ada lima orang penunggang kuda. Jangan-jangan mereka itu perampok!”
Dan memang ada dugaan ketiga dalam hati Kim Cu, yaitu bahwa lima orang itu mungkin saja perampok yang hendak mengganggu mereka. Dan kalau benar demikian, ia sudah siap melawan untuk membela diri. Kalau ia berhasil mengusir perampok, berarti ia akan memperoleh kepercayaan dan perhatian yang lebih besar dari Bhok Hin.
Mendengar ucapan itu, Bhok Hin melongok keluar dan diapun melihat lima orang itu. Dia lalu bertanya kepada kusirnya yang duduk di depan, di tempat terbuka sehingga mungkin kusirnya lebih tahu akan lima orang itu.
Kusirnya segera menjawab. “Sejak tadi hamba telah melihat mereka, kongcu. Dan melihat betapa seorang di antara mereka yang berkumis itu hamba kenal sebagai jagoan pengawal Bibi Ciok, maka hamba yakin mereka adalah orang-orangnya Bibi Ciok yang sengaja diutus oleh majikan mereka untuk mengawal perjalanan kongcu dan nona.”
Bhok Hin mengangguk-angguk. Hatinya senang mendengar ini karena dia merasa aman dengan adanya pengawalan. Akan tetapi Kim Cu memperlihatkan wajah tak senang, bahkan marah.
“Ini namanya penghinaan bagi kongcu!” katanya setengah berteriak.
“Eh? Apa maksudmu? Mengapa penghinaan?” Bhok Hin bertanya heran.
“Tentu saja! Bibi Ciok sungguh tidak memandang orang! Jelas bahwa ia tidak percaya kepada kongcu, mengira bahwa kongcu tentu akan membawa lari saya, maka karena tidak percaya itulah ia menyuruh lima orang jagoannya untuk selalu membayangi kereta ini. Kalau memang hendak mengawal, kenapa tidak terang-terangan saja?”
Ucapan ini membakar hati Bhok Hin dan dia meneriaki kusir untuk berhenti. Dia menjenguk keluar, memandang ke belakang dan benar saja, begitu kereta berhenti, lima orang penunggang kuda itupun berhenti. Bhok Hin lalu turun dari kereta, memandang ke arah lima orang jagoan itu, lalu memanggil mereka dengan teriakan nyaring sambil melambaikan tangan, menggapai agar mereka datang dekat. Melihat ini, lima orang jagoan itu lalu melarikan kuda mereka menghampiri dan sama sekali mereka tidak mengira bahwa mantu jaksa tinggi itu memanggil mereka untuk marah-marah!
“Heii! Kenapa kalian membayangi dan memata-matai aku? Hayo katakan, mengapa kalian membayangi kereta ini?” bentak Bhok Hin marah.
Lima orang itu saling pandang, meloncat turun dari punggung kuda dan mereka memberi hormat. Si kumis tebal, pemimpin mereka segera berkata dengan suara penuh hormat karena dia mengenal siapa adanya kongcu ini. “Harap kongcu sudi memaafkan karena kami hanya menerima perintah Bibi Ciok untuk mengawal kereta ini agar selamat di dalam perjalanan.”
“Bohong! Apakah kalian ingin merasakan hukum cambuk sampai kulit punggung kalian terkupas semua? Hayo katakan! Bukankah kalian disuruh Bibi Ciok untuk mengamati kereta ini agar aku tidak melarikan nona Lie Kim Cu?”
“Hamba... hamba hanya diperintah...”
Lima orang jagoan itu kini saling pandang dengan muka pucat mendengar ancaman hukum cambuk itu. Mereka maklum bahwa ancaman mantu jaksa tinggi bukan hanya gertak kosong belaka. Melihat betapa siasatnya berhasil, Kim Cu lalu berkata seolah-olah di depan Bhok Hin ia membela lima orang jagoan yang sudah dikenalnya sebagai orang-orang kepercayaan Bibi Ciok dan mereka berlima itu memiliki ilmu silat yang tak mungkin dapat dilawannya.
“Sudahlah, kongcu. Biarkan mereka pulang„ kelak kongcu dapat menegur Bibi Ciok. Mereka ini hanyalah petugas.”
Bhok Hin mengangguk. “Nah, kalian pergilah dan awas, jangan membayangi kami lagi!”
Lima orang itu mengangguk menyanggupi dan Bhok Hin lalu naik lagi ke dalam keretanya. Kereta meluncur perlahan, diikuti pandang mata lima orang jagoan itu.
“Sialan!” dengus seorang di antara mereka. “Bagaimana baiknya sekarang?”
“Bagaimana lagi? Pulang tentu saja!” kata orang kedua.
“Dan kita mendapat marah besar dari Bibi Ciok? Mungkin dipecat?” cela orang ketiga.
“Jangan ribut!” kata si kumis tebal pemimpin mereka. “Aku tetap curiga kepada wanita itu. Ia cerdik dan juga kuat. Kita bukan membayangi Bhok-kongcu, melainkan wanita itu. Kalau-kalau ia melarikan diri. Kalau ia melarikan diri di tempat sunyi ini, siapa yang akan mampu menghalanginya? Siapa tahu ia membujuk Bhok-kongcu membawanya ke sini agar ia dapat melarikan diri.”
“Wah, celaka kalau begitu!”
“Dan Bhok-kongcu melarang kita mengawal, dengan ancaman hukuman cambuk!”
“Jangan bodoh,” kata pula si kumis tebal. ”Kita tinggalkan kuda kita di sini, seorang di antara kita menjaga kuda dan menyembunyikannya dari jalan raya, dan empat dari kita melanjutkan pengamatan dengan jalan kaki dan secara diam-diam.”
Demikianlah, si kumis tebal dan tiga orang temannya melanjutkan tugas mereka membayangi kereta dengan jalan kaki, dan seorang di antara mereka menjaga lima ekor kuda di dalam hutan. Sementara itu, semenjak meninggalkan lima orang penunggang kuda, beberapa kali Kim Cu menjenguk dan melihat ke belakang, sehingga kelakuannya ini menjadi bahan tertawaan dan godaan Bhok Hin. Kini kereta mereka tiba di hutan cemara yang amat sunyi, sudah termasuk Lembah Huang-ho. Sungai itu tidak berapa jauh lagi dari situ. Tiba-tiba Kim Cu berseru kepada kusir kereta.
“Berhenti dulu! Hentikan kereta!”
Bhok Hin dan kusirnya memandang heran, akan tetapi kusir yang menoleh ke belakang itu segera menghentikan kudanya yang menarik kereta. Kim Cu lalu meloncat keluar dari kereta.
“Bhok-kongcu, aku berhenti di sini. Pergilah engkau dengan keretamu!” kata Kim Cu. Kini suaranya terdengar kaku dingin, lenyap semua kemesraan dan kehangatan dari suaranya.
Tentu saja Bhok Hin terkejut bukan main, juga terheran-heran. Dia juga meloncat keluar dari dalam kereta. Teringat dia akan kata-kata peringatan Bibi Ciok yang mengatakan bahwa Kim Cu pernah berontak! Akan tetapi dia tetap tidak percaya dan mengira bahwa Kim Cu hanya main-main dan menggodanya saja.
“Eh, Kim Cu, nanti kalau engkau hendak berontak, di dalam kamar. Bukan di sini tempatnya...” katanya sambil tertawa.
Kim Cu mengerutkan alisnya. Semua kemuakannya selama ia diharuskan melayani pria-pria itu, termasuk Bhok Hin, kini memenuhi dadanya. Ingin rasanya ia membunuh laki-laki yang menyeringai di depannya ini. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan kanannya.
“Plakk...!” Tangan kanannya dengan amat kerasnya menyambar dan menampar pipi Bhok Hin.
“Aduhhh...!” Bhok Hin terhuyung dan tangan kirinya cepat meraba pipi kirinya yang terasa nyeri sekali. Mulutnya berdarah dan tiga buah giginya tanggal, juga pipinya menjadi matang biru!
“Kau... kau...!”
“Dukkkk!” Kini kaki Kim Cu menyambar, menendang dan mengenai perut yang agak gendut itu, dan tubuh Bhok Hin terjengkang.
Melihat ini, kusir kereta menjadi marah. Tadi dia terkejut dan terheran-heran, memandang dengan mata terbelalak. Kini, melihat majikannya ditampar dan ditendang sampai roboh, diapun meloncat turun. “Heiii, apa yang kau lakukan ini...?” bentaknya.
Akan tetapi, ia disambut dengan tamparan dua kali yang mengenai leher dan mukanya dan tubuh yang kerempeng itupun terpelanting roboh. Pada saat itu, muncullah si kumis tebal dengan tiga orang kawannya. Mereka berempat masih membayangi kereta dan ketika kereta itu berhenti, mereka berempat mempercepat lari mereka menghampiri dan mereka dapat melihat betapa Kim Cu merobohkan Bhok Hin dan kusir kereta, tepat seperti yang mereka khawatirkan.
“Ia benar memberontak seperti yang kuduga!” teriak si kumis tebal dan empat orang jagoan itu lalu mengepung dan menyerang. Mereka menyerang untuk menangkap, maka mereka tidak mempergunakan senjata, hanya mempergunakan tangan kosong untuk mencengkeram dan menangkap.
Melihat munculnya empat orang jagoan itu, Kim Cu terkejut bukan main. Ternyata perhitungannya meleset dan para jagoan itu ternyata juga cerdik sekali. Ia tidak memperhitungkan kecerdikan mereka dan kemungkinan mereka akan melanjutkan pengintaian secara diam-diam seperti itu. Melihat dirinya dikepung dan si kumis tebal yang paling lihai di depannya, tiba-tiba Kim Cu membalik dan kakinya menendang dengan cepat dan kuatnya ke arah jagoan yang tadinya berada di belakangnya.
“Plak! Plak! Desss...!”
Dua kali jagoan itu menangkis, akan tetapi tendangan bertubi yang ketiga kalinya mengenai pahanya sehingga jagoan itu terhuyung kehilangan keseimbangannya. Pada saat itu, seorang di antara mereka berhasil menangkap lengan kiri Kim Cu. Wanita ini mencoba menarik lengannya, sia-sia saja. Maka iapun lalu menunduk dan menggigit tangan yang memegang lengannya. Jagoan itu berteriak kesakitan, pegangannya terlepas dan Kim Cu lalu meloncat keluar kepungan dan lari secepatnya!
“Kejar! Tangkap!” teriak si kumis tebal dan empat orang jagoan itupun lalu melakukan pengejaran.
Kim Cu menyumpahi pakaiannya yang mewah dan merasa menyesal mengapa ia tidak siap dengan pakaiannya. Pakaian ini terlalu sempit sehingga ketika ia pakai untuk berlari dengan langkah lebar, gaun sempit itu terkuak dan robek-robek di bagian bawahnya, memperlihatkan kulit pahanya yang putih mulus. Namun ia tidak perduli dan berlari terus secepatnya. Namun, empat orang pengejarnya itu dapat bertari lebih cepat sehingga kurang lebih satu lie dari kereta tadi, mereka sudah dapat menyusulnya. Ia dikepung lagi dan kini mereka berada di daerah yang berbatu-batu.
“Ha-ha-ha, nona manis. Tidak ada gunanya engkau lari, dan tidak ada gunanya engkau melawan. Lebih baik menyerah dan kami bawa kembali kepada Bibi Ciok untuk mempertanggungjawabkan kelakuanmu ini!” Si kumis tebal mengejek.
Diam-diam Kim Cu bergidik, teringat akan ancaman Bibi Ciok bahwa, kalau memberontak lagi, ia tentu akan dijual obral dan diserahkan kepada siapa saja yang mau membayar murah untuk memperkosanya! Ia akan diperkosa bertubi-tubi oleh banyak orang sampai mati.
“Tidak! Lebih baik aku mati!” teriaknya dan iapun mengamuk, menyerang si kumis tebal itu dengan sekuat tenaganya.
Dengan mudah si kumis tebal mengelak dan tangan kanannya mencengkeram ke arah pundak Kim Cu. Wanita yang sudah nekat ini dapat meloncat ke samping, mengelak dari cengkeraman itu. Akan tetapi dari belakang, tiba-tiba rambutnya dicengkeram orang dan ketika ia meronta, cengkeraman itu terlepas berikut sanggul rambutnya yang terlepas pula. Rambut yang hitam panjang itu terurai sampai ke pinggang.
Sambil berteriak-teriak marah Kim Cu mengamuk lagi dan kini ia menggunakan segala kemampuannya untuk melawan. Menampar, menghantam, menendang, mencakar bahkan menggigit! Empat orang jagoan itu yang tidak berniat merobohkannya atau melukainya, menjadi kerepotan juga melihat kenekatan wanita yang sudah berubah seperti seekor harimau betina buas yang sukar ditangkap itu. Kembali Kim Cu berhasil melompat keluar dari kepungan.
Empat orang lawannya mengejar dan kaki Kim Cu tergelincir pada batu-batu kerikil. Ia roboh bergulingan. Kini bukan hanya rambutnya yang terurai, juga pakaiannya sudah robek di sana-sini. Sambil bergulingan, wanita yang cerdik ini menggunakan kedua tangannya untuk meraih batu-batu kerikil dan begitu empat orang lawan mendekat hendak menubruknya, iapun melompat bangun sambil melempar-lemparkan batu ke arah kepala empat orang lawannya!
Sambitan itu tentu saja ngawur, akan tetapi sebuah batu sebesar telur ayam tepat mengenai dahi seorang jagoan sehingga dahi itu tumbuh telur yang rasanya berdenyut-denyut, membuat orang itu marah bukan main. Kim Cu berhasil lari lagi dan kini mereka tiba di lembah di mana terdapat banyak batu gunung dan juga guha-guha. Dan empat orang lawannya sudah pula menyusul dan mengepungnya.
“Biar kurobohkan ia dengan totokan!” kata si kumis tebal yang merasa penasaran juga. Empat orang jagoan seperti mereka mengalami kesulitan untuk menangkap seorang wanita saja! Kini, mereka berempat mengepung ketat dan mengambil keputusan untuk tidak memberi kesempatan kepada Kim Cu untuk melarikan diri lagi!
Bahkan ketika Kim Cu hendak mengamuk dan menerobos kepungan, mereka tidak segan-segan untuk mendorong atau menampar sehingga beberapa kali Kim Cu terhuyung, bahkan pernah terjatuh. Akan tetapi wanita ini meloncat bangkit kembali. Rambutnya riap-riapan, mukanya babak belur, pakaiannya robek-robek. Ia kini berteriak dengan suara lantang dan penuh amarah.
“Kalian laki-laki semuanya adalah binatang buas! Iblis bertampang manusia! Akan kubunuh kalian semua, atau aku yang akan mati!”
Teriakan ini bergema di sekitar tempat itu, agaknya suaranya dipantulkan kembali oleh guha-guha yang banyak terdapat di situ. Di antara pantulan suara itu, ada suara lain, suara wanita tertawa terkekeh-kekeh, lalu disambung dengan suaranya yang mencicit seperti suara tikus terjepit.
“Hi-hi-hi-hik, benar sekali! Laki-laki adalah binatang buas dan kita wanita selalu menjadi mangsa dan korbannya, hi-hi-hik!”
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah muncul seorang nenek tua renta yang pakaiannya serba hitam. Nenek ini sudah keriputan, tubuhnya kecil kurus seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja. Tangan kirinya bertopang pada sebuah tongkat hitam yang bentuknya melingkar-lingkar seperti ular kering.
“Jangan khawatir, anakku. Jangan takut! Hajar saja mereka, binatang-binatang buas itu, hi-hi-hik!” katanya sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya, ke arah Kim Cu dan empat orang pengeroyoknya.
Dan terjadilah hal yang luar biasa anehnya! Kim Cu mengamuk dan kini semua tamparannya, semua tendangannya, semua pukulannya, tepat mengenai sasaran! Sedangkan gerakan balasan empat orang itu, setiap kali hendak menangkapnya, mencengkeramnya, atau menotoknya, gerakan itu tiba-tiba tertahan seolah-olah ada dinding tak nampak yang melindungi tubuh Kim Cu!
Tentu saja Kim Cu menjadi girang bukan main. Ia sendiri tidak tahu mengapa empat orang lawannya tiba-tiba saja berubah seperti orang-orang tolol yang memberikan tubuh mereka untuk ia hajar tanpa mereka membalas sedikitpun juga.
“Mampuslah!” bentaknya ketika kakinya menendang ke arah perut si kumis tebal.
“Desss...!” tendangan itu tepat mengenai sasaran dan si kumis tebal yang biasanya lihai sekali itu mengaduh dan tubuhnya terjengkang.
Kim Cu membagi-bagi pukulan dan tendangan dan anehnya, semua serangan itu mengenai sasaran dengan tepat sekali. Maka bercucuran darah dari hidung, sebuah mata menjadi hitam, beberapa buah gigi tanggal dan ada perut yang mulas mendadak karena dimasuki ujung sepatu dengan keras!
Empat orang itu dihajar jatuh bangun dan akhirnya, walaupun dengan penuh rasa penasaran, mereka berempat yakin bahwa mereka menghadapi hal yang tidak wajar, dan bahwa kemunculan nenek seperti iblis itulah yang menjadi sebabnya. Maka, mereka merasa ketakutan dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan tanpa mampu membalas sama sekali, akhirnya mereka mungkin mati di tangan Kim Cu! Mereka lalu merangkak dan melarikan diri, jatuh bangun dengan ketakutan seperti dikejar setan!
Kim Cu sudah kehabisan tenaga, maka iapun tidak mengejar. Ia membalik dan memandang kepada nenek itu. Iapun bukan orang bodoh. Ia maklum bahwa tentu nenek aneh ini telah membantunya secara aneh sehingga ia yang tadinya sudah terancam dan nyaris tertangkap kembali, tiba-tiba saja keadaannya terbalik dan ia yang menghajar empat orang yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi dari padanya itu. Dengan tubuh lemas dan lelah sekali, juga nyeri di sana-sini, Kim Cu terhuyung menghampiri nenek itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek berpakaian hitam, dan roboh pingsan.
Ketika Kim Cu siuman kembali, ia mendapatkan dirinya rebah di lantai sebuah guha yang lebar dan tinggi, di ruangan dalam karena ia tidak melihat mulut guha. Akan tetapi ada sinar matahari masuk dari langit-langit guha yang tinggi itu, melalui celah-celah yang banyak terdapat di antara batu-batu pedang yang bergantungan di langit-langit guha itu. Seluruh tubuhnya masih terasa nyeri dan ketika ia hendak bangkit duduk, suara mencicit seperti tikus itu terdengar.
“Jangan bergerak, aku sedang merawatmu.”
Kim Cu melihat nenek itu duduk bersila di belakangnya karena ia tadi rebah miring, dan ternyata nenek itu menempelkan telapak tangan kirinya pada punggungnya, sedangkan telapak tangan kanan nenek itu menempel pada lantai guha. Ada hawa panas-panas hangat keluar dari telapak tangan kiri nenek itu, menjalar ke dalam tubuhnya! Aneh sekali, ia merasa seolah-olah ada uap panas masuk ke dalam tubuhnya, menjalar ke seluruh bagian tubuhnya dan semua rasa nyeri yang diterjang uap itu lenyap, terganti oleh rasa nyaman yang makin lama semakin panas. Hampir ia tidak tahan dan akan bergerak kalau saja suara nenek itu tidak melarangnya.
“Pertahankan, aku akan mengisi kekuatan pada pusat-pusat jalan darah di tubuhmu!”
Kim Cu merasa heran sekali dan tidak mengerti. Memang pernah ketika kecil ia belajar silat dengan tekun dan penuh semangat, namun yang dipelajarinya hanyalah ilmu silat luar, dan para gurunya belum pernah menceritakan kepadanya tentang tenaga-tenaga yang dapat dibangkitkan dari dalam tubuh, kecuali tenaga otot dan kelenturan, juga kekuatan yang timbul karena latihan.
Ia diam saja dan merasakan betapa hawa panas itu kini memenuhi seluruh tubuhnya, membuat kepalanya berdenyut-denyut dan semakin panas, seolah-olah kepalanya dimasukkan ke dalam perapian besar! Terdengar bunyi berkeretekan pada tulang-tulangnya, akan tetapi, Kim Cu pasrah. Ia percaya kepada nenek yang jelas telah menolongnya itu, seorang nenek yang entah manusia, dewa ataukah setan karena memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Ia sudah pasrah dan andaikata ia harus matipun, ia akan menerimanya tanpa membantah!
Akhirnya, siksaan itupun berhenti dan hawa panas itu berangsur turun, kembali menjadi hangat dan nyaman sekali. Dan akhirnya nenek itu melepaskan tempelan telapak tangan kirinya, terkekeh dan berkata,
“Sekarang barulah engkau pantas untuk mempelajari ilmu dariku. Bangkit dan duduklah.”
Kim Cu bangkit dan merasa heran karena tubuhnya terasa ringan dan segar sekali, seperti ada kekuatan yang luar biasa terkandung di dalam semua anggauta tubuhnya. Maka, tanpa banyak cakap lagi iapun berlutut di depan nenek itu, membenturkan dahinya berkali-kali pada lantai guha.
“Nenek yang baik, saya menghaturkan banyak terima kasih atas semua pertolongan nenek, dan kalau nenek sudi mengambil saya sebagai murid, saya bersumpah, selama hidup saya akan mentaati perintah nenek dan akan berbakti kepada nenek sampai titik darah terakhir!”
Nenek itu terkekeh-kekeh, nampaknya girang sekali. “Hi-hi-hik! Memang kau sudah menjadi muridku sejak aku mendengar engkau memaki-maki kaum pria itu, hi-hik!”
Bukan main girangnya rasa hati Kim Cu. Ia kini telah bebas dari cengkeraman manusia-manusia berhati iblis seperti Bibi Ciok dan kaki tangannya, dari cengkeraman kaum pria yang hanya menganggap wanita sebagai benda permainan saja, bebas dari penghinaan yang dialaminya setiap hari, harus melayani tiap orang pria yang tidak dikenalnya, apa lagi dicintanya, melayani dengan menyerahkan seluruh badannya, kehormatannya! Ia telah bebas!
Kenyataan ini saja selalu bersorak di dalam hatinya. Apa lagi ditambah bahwa ia kini menjadi murid seorang yang sakti. Kalau ia dapat memiliki ilmu seperti ilmu yang dimiliki nenek ini, ia akan mampu menghadapi semua tantangan di dunia ini! Ia akan menghajar semua orang, terutama kaum pria, yang jahat! Akan menumpas mereka, membasmi mereka yang suka berbuat jahat! Saking girangnya, Kim Cu lalu merangkul nenek itu dan dengan air mata berlinangan, ia menciumi pipi yang keriput itu.
Nenek itu menjerit kecil. “Ihhhhhh...! Apa-apaan ini? Jangan berbuat cabul kau! Masa seorang murid berbuat begini kepada subonya?”
Kim Cu cepat berlutut, “Subo (Ibu Guru), harap maafkan teecu (murid). Saking girang dan berterima kasih, maka teecu merangkul dan menciumi subo!”
Nenek itu mengusap kepala Kim Cu. “Murid macam apa kau ini?” nadanya menegur, namun di dalam suara itu terkandung keharuan oleh kelakuan Kim Cu tadi. “Hal pertama yang paling penting belum kau lakukan, yaitu memperkenalkan diri, memperkenalkan nama dan menceritakan riwayat hidupmu kepada gurumu.”
Kim Cu tertawa dan mendengar suara ketawanya, iapun merasa heran bukan main, bahkan terkejut! Belum pernah ia mendengar suara ketawanya seperti itu! Begitu bebas, begitu terlepas, bahkan terdengar binal! Dan ia teringat betapa sesungguhnya, semenjak ia diboyong oleh Pangeran Coan Siu Ong, ia telah kehilangan semua kegembiraan hidup, sudah kehilangan semua tawa. Kalau ia tersenyum manis dan tertawa merdu selama ini di rumah pelacuran milik Bibi Ciok, suara ketawa itu adalah buatan, hanya menutupi rintih dan tangis sanubarinya. Dan kini, secara tiba-tiba saja, ia telah menemukan kembali kehidupannya, harapannya, kegembiraannya, dan juga tawanya!
“Aih, maafkan teecu, subo. Teecu sampai lupa, saking gembiranya hati ini! Subo, teecu bernama Lie Kim Cu...”
“Hemmm! Kim Cu (Mustika Emas)? Menjadi mustika emas hanya menjadi rebutan orang, terutama para pria saja. Tidak, namamu terlalu lemah. Setelah menjadi muridku, engkau tidak boleh menjadi wanita lemah, namamu juga harus diganti agar sesuai dengan keadaan dirimu dan watakmu kelak. Namamu mulai sekarang adalah Liong Li (Wanita Naga), seperti seekor naga yang menaklukkan semua iblis di dunia ini!”
Kim Cu girang sekali dan ia cepat memberi hormat. “Teccu menerima dengan gembira, subo. Mulai sekarang, teecu akan dikenal sebagai Liong Li, sedangkan nama Kim Cu tidak akan teecu perkenalkan sebagai nama teecu, kecuali untuk keperluan yang penting.”
“Bagus, teruskan cerita tentang dirimu.”
Kim Cu menceritakan tentang keluarganya, kemudian betapa ayahnya tergila-gila dengan permainan judi sampai habis-habisan. “Akhirnya, karena ayah korupsi, mempergunakan uang negara dan banyak hutang bahkan semua itu diketahui oleh atasannya, Pangeran Coan Siu Ong, maka pangeran itu menekan dan menggertaknya akan menuntutnya. Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan keluarga ayah, yaitu kalau dia menyerahkan teecu sebagai selir Pangeran Coan Siu Ong.”
“Heh-heh-heh, cerita lama itu. Sejak jaman dahulu kala, semua kaum bangsawan seperti itu, haus kedudukan, haus kemuliaan, haus kekayaan dan haus wanita cantik.”
Kim Cu menceritakan segala hal yang terjadi di dalam kamar mewah sang pangeran itu. Betapa setelah melihat pangeran itu, timbul kejijikannya dan ia melawan, memukul pangeran itu. Karena marah, pangeran itu lalu menyuruh para pengawalnya untuk membelenggu kaki tangannya dan iapun diperkosa sampai pingsan.
“Karena sakit badan dan batin, teecu menggunakan akal. Teecu pura-pura menyerah sehingga pangeran jahanam itu melepaskan ikatan kaki tangan teecu. Begitu bebas, teecu menghajarnya dan tentu akan membunuhnya kalau saja tidak muncul para pengawalnya. Pangeran Coan marah. Teecu dihajar, diikat dan dijual murah ke rumah pelacuran milik Bibi Ciok.”
Nenek itu menyeringai, memandang kepada Kim Cu dengan sinar mata kadang-kadang kagum karena dalam menceritakan semua pengalaman pahit ini, Kim Cu sama sekali tidak menangis. Seorang gadis yang amat tabah, pikirnya, makin suka kepada muridnya ini...
Akan tetapi, dengan cerdik Kim Cu masih mengulur waktu, mengatakan bahwa hutangnya kepada Bibi Ciok terlalu besar, bukan hanya hutang uang, melainkan hutang budi sehingga ia belum tega untuk meninggalkannya. Ia minta waktu sebulan lagi dan tentu saja Bhok Hin yang sedang tergila-gila itu berbaik hati untuk menanti dengan sabar.
Malam itu, Kim Cu memperlihatkan kesedihan pada mukanya. Hal ini segera diketahui oleh Bhok Hin. Tergesa-gesa dia bertanya apa yang menyusahkan hati kekasihnya. Dia siap menolong. Uangkah? Atau apa?
“Biarpun saya hidup serba kecukupan di sini, dan menerima budi kecintaan yang berlimpahan dari kongcu, akan tetapi, saya kadang-kadang merasa seperti seekor burung dalam kurungan. Saya sejak kecil mendengar betapa indahnya Lembah Sungai Kuning, dengan taman alamnya yang mempesona, dengan ribuan macam bunga. Ingin sekali saya merasakan betapa nikmatnya naik perahu di tepi sungai itu, dan berjalan-jalan di taman alam di Lembah Huang-ho (Sungai Kuning). Akan tetapi, ahhh... itu hanya mimpi dan sampai matipun takkan dapat terlaksana...”
Bhok Hin merangkul sambil tertawa. “Ha-ha, apa sukarnya untuk berpesiar ke sana? Besok, kalau engkau menghendaki, aku akan mengajakmu ke sana, naik kereta!”
“Benarkah?” Kim Cu nampak gembira bukan main dan ia segera merangkul dan menciumi kedua pipi itu dengan mesra. “Ah, terima kasih, kongcu! Akan tetapi, jangan... jangan katakan kepada Bibi Ciok bahwa kita berpesiar ke sana...!”
“Kenapa? Kalau aku yang mengajakmu, apakah dia berani menghalangi?”
“Bukan begitu, kongcu. Tentu saja ia tidak berani, akan tetapi kalau mendengar bahwa kita pergi terlalu jauh, tentu ia akan merasa khawatir dan kelak saya yang akan mendapat marah.”
“Hemm, begitukah? Lalu bagaimana?”
“Sebaiknya kalau kongcu katakan bahwa kongcu mengajak saya jalan-jalan untuk seharian besok, terserah kepada kongcu mau diajak jalan-jalan ke mana.”
Kembali Kim Cu merangkul dan menciumi sehingga sambil tertawa dan merangkul kekasihnya itu, Bhok Hin menyetujui. Malam itu Kim Cu menghadiahi kemesraan yang lebih dari biasanya kepada Bhok Hin sehingga tentu saja orang ini merasa puas dan senang sehingga pagi-pagi sekali dia sudah menemui Bibi Ciok untuk menyampaikan niatnya, yaitu ingin mengajak Kim Cu berjalan-jalan dengan keretanya. Mendengar ini, Bibi Ciok mengerutkan alisnya. Tentu saja ia tidak setuju mendengar bahwa Kim Cu hendak keluar dari rumahnya, akan tetapi untuk membantah, ia tidak berani.
“Ke manakah, kongcu?”
“Putar-putar saja, ke taman-taman, mungkin singgah ke rumahku. Sore nanti kami kembali ke sini, harap bibi jangan khawatir.”
“Khawatir tidak. Bhok kongcu, hanya saya perlu memberitahukan kongcu bahwa nona Lie itu pernah memberontak dan kalau sudah begitu, ia bisa berbahaya sekali.”
Mendengar ini, Bhok Hin tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, makin hebat ia memberontak di pembaringan, makin hebat pula, bibi! Jangan khawatir, Kim Cu telah menjadi kekasihku, dan iapun cinta padaku. Tidak akan mengherankan kalau pada suatu hari aku akan menebusnya dari tanganmu, berapapun tinggi harganya.”
Bibi Ciok senang sekali mendengar ini. Tentu ia akan minta uang tebusan yang luar biasa tingginya, yang akan dapat membuat ia kaya raya dan uang itu dapat ia pakai untuk modal berusaha. Akan tetapi, wanita yang cerdik tidak mau lengah begitu saja.
Ketika Bhok Hin menggandeng tangan Kim Cu yang sudah berdandan memasuki keretanya, diam-diam Bibi Ciok ini menyuruh lima orang tukang pukulnya yang pilihan dan jagoan, untuk membayangi kereta itu dari jauh, menjaga segala kemungkinan kalau-kalau Kim Cu akan memberontak dan melarikan diri Bagaimanapun juga, ia harus menjaga agar sumber emas berupa gadis cantik itu jangan sampai terlepas dari tangannya!
Lima orang jagoan ini mengikuti dari jauh dengan menunggang kuda, dan mereka mulai khawatir ketika melihat betapa kereta yang ditumpangi Bhok Hin dan Kim Cu bersama seorang kusir itu dilarikan keluar kota sebelah utara. Keluar kota. Tentu saja lima orang jagoan yang diutus Bibi Ciok menjadi semakin curiga dan mereka terus membayangi dari jauh. Bahkan ketika kereta tiba di Lembah Huang-ho, karena khawatir kehilangan, mereka berlima membayangi dari jarak lebih dekat sehingga mereka dapat terus mengamati kereta.
Girang bukan main rasa hati Kim Cu karena berhasil membujuk Bhok Hin untuk membawanya keluar dari rumah pelacuran milik Bibi Ciok, bahkan membawanya keluar kota yang sunyi, berdua saja, bertiga dengan kusir. Kesempatan yang amat baik dan lebar untuk membebaskan diri, melarikan diri dan orang lelaki tukang pelesir yang lemah seperti Bhok Hin, dan kusirnya yang kerempeng itu tentu tidak akan mampu menghalanginya melarikan diri.
Ia sudah bersiap-siap ketika kereta memasuki daerah lembah yang luas dan banyak hutannya itu. Tentu saja ia berbohong ketika mengatakan kepada Bhok Hin bahwa ia tidak pernah melihat lembah ini. Ia ketika kecil seringkali diajak ayahnya untuk berburu di daerah ini sehingga ia hapal dan mengenal betul daerah ini! Akan tetapi, Kim Cu kini telah menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan, cerdik bukan main dan kecerdikannya ini membuat ia selalu waspada dan hati-hati.
Sebelum ia melaksanakan rencananya melarikan diri, ia pura-pura melongok keluar kereta, melihat ke arah belakang dan terkejutlah ia melihat ada lima orang penunggang kuda membayangi kereta itu! Celaka, pikirnya. Ulah siapakah ini? Apakah diam diam Bhok Hin menyuruh para pengawalnya untuk melindunginya? Kalau benar demikian, lenyaplah harapannya. Ataukah mereka itu utusan Bibi Ciok?
“Ihhh...!” Ia sengaja menjerit kecil dan Bhok Hin cepat memegang lengannya.
“Ada apakah?”
“Bhok-kongcu... aku takut... dibelakang itu ada lima orang penunggang kuda. Jangan-jangan mereka itu perampok!”
Dan memang ada dugaan ketiga dalam hati Kim Cu, yaitu bahwa lima orang itu mungkin saja perampok yang hendak mengganggu mereka. Dan kalau benar demikian, ia sudah siap melawan untuk membela diri. Kalau ia berhasil mengusir perampok, berarti ia akan memperoleh kepercayaan dan perhatian yang lebih besar dari Bhok Hin.
Mendengar ucapan itu, Bhok Hin melongok keluar dan diapun melihat lima orang itu. Dia lalu bertanya kepada kusirnya yang duduk di depan, di tempat terbuka sehingga mungkin kusirnya lebih tahu akan lima orang itu.
Kusirnya segera menjawab. “Sejak tadi hamba telah melihat mereka, kongcu. Dan melihat betapa seorang di antara mereka yang berkumis itu hamba kenal sebagai jagoan pengawal Bibi Ciok, maka hamba yakin mereka adalah orang-orangnya Bibi Ciok yang sengaja diutus oleh majikan mereka untuk mengawal perjalanan kongcu dan nona.”
Bhok Hin mengangguk-angguk. Hatinya senang mendengar ini karena dia merasa aman dengan adanya pengawalan. Akan tetapi Kim Cu memperlihatkan wajah tak senang, bahkan marah.
“Ini namanya penghinaan bagi kongcu!” katanya setengah berteriak.
“Eh? Apa maksudmu? Mengapa penghinaan?” Bhok Hin bertanya heran.
“Tentu saja! Bibi Ciok sungguh tidak memandang orang! Jelas bahwa ia tidak percaya kepada kongcu, mengira bahwa kongcu tentu akan membawa lari saya, maka karena tidak percaya itulah ia menyuruh lima orang jagoannya untuk selalu membayangi kereta ini. Kalau memang hendak mengawal, kenapa tidak terang-terangan saja?”
Ucapan ini membakar hati Bhok Hin dan dia meneriaki kusir untuk berhenti. Dia menjenguk keluar, memandang ke belakang dan benar saja, begitu kereta berhenti, lima orang penunggang kuda itupun berhenti. Bhok Hin lalu turun dari kereta, memandang ke arah lima orang jagoan itu, lalu memanggil mereka dengan teriakan nyaring sambil melambaikan tangan, menggapai agar mereka datang dekat. Melihat ini, lima orang jagoan itu lalu melarikan kuda mereka menghampiri dan sama sekali mereka tidak mengira bahwa mantu jaksa tinggi itu memanggil mereka untuk marah-marah!
“Heii! Kenapa kalian membayangi dan memata-matai aku? Hayo katakan, mengapa kalian membayangi kereta ini?” bentak Bhok Hin marah.
Lima orang itu saling pandang, meloncat turun dari punggung kuda dan mereka memberi hormat. Si kumis tebal, pemimpin mereka segera berkata dengan suara penuh hormat karena dia mengenal siapa adanya kongcu ini. “Harap kongcu sudi memaafkan karena kami hanya menerima perintah Bibi Ciok untuk mengawal kereta ini agar selamat di dalam perjalanan.”
“Bohong! Apakah kalian ingin merasakan hukum cambuk sampai kulit punggung kalian terkupas semua? Hayo katakan! Bukankah kalian disuruh Bibi Ciok untuk mengamati kereta ini agar aku tidak melarikan nona Lie Kim Cu?”
“Hamba... hamba hanya diperintah...”
Lima orang jagoan itu kini saling pandang dengan muka pucat mendengar ancaman hukum cambuk itu. Mereka maklum bahwa ancaman mantu jaksa tinggi bukan hanya gertak kosong belaka. Melihat betapa siasatnya berhasil, Kim Cu lalu berkata seolah-olah di depan Bhok Hin ia membela lima orang jagoan yang sudah dikenalnya sebagai orang-orang kepercayaan Bibi Ciok dan mereka berlima itu memiliki ilmu silat yang tak mungkin dapat dilawannya.
“Sudahlah, kongcu. Biarkan mereka pulang„ kelak kongcu dapat menegur Bibi Ciok. Mereka ini hanyalah petugas.”
Bhok Hin mengangguk. “Nah, kalian pergilah dan awas, jangan membayangi kami lagi!”
Lima orang itu mengangguk menyanggupi dan Bhok Hin lalu naik lagi ke dalam keretanya. Kereta meluncur perlahan, diikuti pandang mata lima orang jagoan itu.
“Sialan!” dengus seorang di antara mereka. “Bagaimana baiknya sekarang?”
“Bagaimana lagi? Pulang tentu saja!” kata orang kedua.
“Dan kita mendapat marah besar dari Bibi Ciok? Mungkin dipecat?” cela orang ketiga.
“Jangan ribut!” kata si kumis tebal pemimpin mereka. “Aku tetap curiga kepada wanita itu. Ia cerdik dan juga kuat. Kita bukan membayangi Bhok-kongcu, melainkan wanita itu. Kalau-kalau ia melarikan diri. Kalau ia melarikan diri di tempat sunyi ini, siapa yang akan mampu menghalanginya? Siapa tahu ia membujuk Bhok-kongcu membawanya ke sini agar ia dapat melarikan diri.”
“Wah, celaka kalau begitu!”
“Dan Bhok-kongcu melarang kita mengawal, dengan ancaman hukuman cambuk!”
“Jangan bodoh,” kata pula si kumis tebal. ”Kita tinggalkan kuda kita di sini, seorang di antara kita menjaga kuda dan menyembunyikannya dari jalan raya, dan empat dari kita melanjutkan pengamatan dengan jalan kaki dan secara diam-diam.”
Demikianlah, si kumis tebal dan tiga orang temannya melanjutkan tugas mereka membayangi kereta dengan jalan kaki, dan seorang di antara mereka menjaga lima ekor kuda di dalam hutan. Sementara itu, semenjak meninggalkan lima orang penunggang kuda, beberapa kali Kim Cu menjenguk dan melihat ke belakang, sehingga kelakuannya ini menjadi bahan tertawaan dan godaan Bhok Hin. Kini kereta mereka tiba di hutan cemara yang amat sunyi, sudah termasuk Lembah Huang-ho. Sungai itu tidak berapa jauh lagi dari situ. Tiba-tiba Kim Cu berseru kepada kusir kereta.
“Berhenti dulu! Hentikan kereta!”
Bhok Hin dan kusirnya memandang heran, akan tetapi kusir yang menoleh ke belakang itu segera menghentikan kudanya yang menarik kereta. Kim Cu lalu meloncat keluar dari kereta.
“Bhok-kongcu, aku berhenti di sini. Pergilah engkau dengan keretamu!” kata Kim Cu. Kini suaranya terdengar kaku dingin, lenyap semua kemesraan dan kehangatan dari suaranya.
Tentu saja Bhok Hin terkejut bukan main, juga terheran-heran. Dia juga meloncat keluar dari dalam kereta. Teringat dia akan kata-kata peringatan Bibi Ciok yang mengatakan bahwa Kim Cu pernah berontak! Akan tetapi dia tetap tidak percaya dan mengira bahwa Kim Cu hanya main-main dan menggodanya saja.
“Eh, Kim Cu, nanti kalau engkau hendak berontak, di dalam kamar. Bukan di sini tempatnya...” katanya sambil tertawa.
Kim Cu mengerutkan alisnya. Semua kemuakannya selama ia diharuskan melayani pria-pria itu, termasuk Bhok Hin, kini memenuhi dadanya. Ingin rasanya ia membunuh laki-laki yang menyeringai di depannya ini. Tiba-tiba ia menggerakkan tangan kanannya.
“Plakk...!” Tangan kanannya dengan amat kerasnya menyambar dan menampar pipi Bhok Hin.
“Aduhhh...!” Bhok Hin terhuyung dan tangan kirinya cepat meraba pipi kirinya yang terasa nyeri sekali. Mulutnya berdarah dan tiga buah giginya tanggal, juga pipinya menjadi matang biru!
“Kau... kau...!”
“Dukkkk!” Kini kaki Kim Cu menyambar, menendang dan mengenai perut yang agak gendut itu, dan tubuh Bhok Hin terjengkang.
Melihat ini, kusir kereta menjadi marah. Tadi dia terkejut dan terheran-heran, memandang dengan mata terbelalak. Kini, melihat majikannya ditampar dan ditendang sampai roboh, diapun meloncat turun. “Heiii, apa yang kau lakukan ini...?” bentaknya.
Akan tetapi, ia disambut dengan tamparan dua kali yang mengenai leher dan mukanya dan tubuh yang kerempeng itupun terpelanting roboh. Pada saat itu, muncullah si kumis tebal dengan tiga orang kawannya. Mereka berempat masih membayangi kereta dan ketika kereta itu berhenti, mereka berempat mempercepat lari mereka menghampiri dan mereka dapat melihat betapa Kim Cu merobohkan Bhok Hin dan kusir kereta, tepat seperti yang mereka khawatirkan.
“Ia benar memberontak seperti yang kuduga!” teriak si kumis tebal dan empat orang jagoan itu lalu mengepung dan menyerang. Mereka menyerang untuk menangkap, maka mereka tidak mempergunakan senjata, hanya mempergunakan tangan kosong untuk mencengkeram dan menangkap.
Melihat munculnya empat orang jagoan itu, Kim Cu terkejut bukan main. Ternyata perhitungannya meleset dan para jagoan itu ternyata juga cerdik sekali. Ia tidak memperhitungkan kecerdikan mereka dan kemungkinan mereka akan melanjutkan pengintaian secara diam-diam seperti itu. Melihat dirinya dikepung dan si kumis tebal yang paling lihai di depannya, tiba-tiba Kim Cu membalik dan kakinya menendang dengan cepat dan kuatnya ke arah jagoan yang tadinya berada di belakangnya.
“Plak! Plak! Desss...!”
Dua kali jagoan itu menangkis, akan tetapi tendangan bertubi yang ketiga kalinya mengenai pahanya sehingga jagoan itu terhuyung kehilangan keseimbangannya. Pada saat itu, seorang di antara mereka berhasil menangkap lengan kiri Kim Cu. Wanita ini mencoba menarik lengannya, sia-sia saja. Maka iapun lalu menunduk dan menggigit tangan yang memegang lengannya. Jagoan itu berteriak kesakitan, pegangannya terlepas dan Kim Cu lalu meloncat keluar kepungan dan lari secepatnya!
“Kejar! Tangkap!” teriak si kumis tebal dan empat orang jagoan itupun lalu melakukan pengejaran.
Kim Cu menyumpahi pakaiannya yang mewah dan merasa menyesal mengapa ia tidak siap dengan pakaiannya. Pakaian ini terlalu sempit sehingga ketika ia pakai untuk berlari dengan langkah lebar, gaun sempit itu terkuak dan robek-robek di bagian bawahnya, memperlihatkan kulit pahanya yang putih mulus. Namun ia tidak perduli dan berlari terus secepatnya. Namun, empat orang pengejarnya itu dapat bertari lebih cepat sehingga kurang lebih satu lie dari kereta tadi, mereka sudah dapat menyusulnya. Ia dikepung lagi dan kini mereka berada di daerah yang berbatu-batu.
“Ha-ha-ha, nona manis. Tidak ada gunanya engkau lari, dan tidak ada gunanya engkau melawan. Lebih baik menyerah dan kami bawa kembali kepada Bibi Ciok untuk mempertanggungjawabkan kelakuanmu ini!” Si kumis tebal mengejek.
Diam-diam Kim Cu bergidik, teringat akan ancaman Bibi Ciok bahwa, kalau memberontak lagi, ia tentu akan dijual obral dan diserahkan kepada siapa saja yang mau membayar murah untuk memperkosanya! Ia akan diperkosa bertubi-tubi oleh banyak orang sampai mati.
“Tidak! Lebih baik aku mati!” teriaknya dan iapun mengamuk, menyerang si kumis tebal itu dengan sekuat tenaganya.
Dengan mudah si kumis tebal mengelak dan tangan kanannya mencengkeram ke arah pundak Kim Cu. Wanita yang sudah nekat ini dapat meloncat ke samping, mengelak dari cengkeraman itu. Akan tetapi dari belakang, tiba-tiba rambutnya dicengkeram orang dan ketika ia meronta, cengkeraman itu terlepas berikut sanggul rambutnya yang terlepas pula. Rambut yang hitam panjang itu terurai sampai ke pinggang.
Sambil berteriak-teriak marah Kim Cu mengamuk lagi dan kini ia menggunakan segala kemampuannya untuk melawan. Menampar, menghantam, menendang, mencakar bahkan menggigit! Empat orang jagoan itu yang tidak berniat merobohkannya atau melukainya, menjadi kerepotan juga melihat kenekatan wanita yang sudah berubah seperti seekor harimau betina buas yang sukar ditangkap itu. Kembali Kim Cu berhasil melompat keluar dari kepungan.
Empat orang lawannya mengejar dan kaki Kim Cu tergelincir pada batu-batu kerikil. Ia roboh bergulingan. Kini bukan hanya rambutnya yang terurai, juga pakaiannya sudah robek di sana-sini. Sambil bergulingan, wanita yang cerdik ini menggunakan kedua tangannya untuk meraih batu-batu kerikil dan begitu empat orang lawan mendekat hendak menubruknya, iapun melompat bangun sambil melempar-lemparkan batu ke arah kepala empat orang lawannya!
Sambitan itu tentu saja ngawur, akan tetapi sebuah batu sebesar telur ayam tepat mengenai dahi seorang jagoan sehingga dahi itu tumbuh telur yang rasanya berdenyut-denyut, membuat orang itu marah bukan main. Kim Cu berhasil lari lagi dan kini mereka tiba di lembah di mana terdapat banyak batu gunung dan juga guha-guha. Dan empat orang lawannya sudah pula menyusul dan mengepungnya.
“Biar kurobohkan ia dengan totokan!” kata si kumis tebal yang merasa penasaran juga. Empat orang jagoan seperti mereka mengalami kesulitan untuk menangkap seorang wanita saja! Kini, mereka berempat mengepung ketat dan mengambil keputusan untuk tidak memberi kesempatan kepada Kim Cu untuk melarikan diri lagi!
Bahkan ketika Kim Cu hendak mengamuk dan menerobos kepungan, mereka tidak segan-segan untuk mendorong atau menampar sehingga beberapa kali Kim Cu terhuyung, bahkan pernah terjatuh. Akan tetapi wanita ini meloncat bangkit kembali. Rambutnya riap-riapan, mukanya babak belur, pakaiannya robek-robek. Ia kini berteriak dengan suara lantang dan penuh amarah.
“Kalian laki-laki semuanya adalah binatang buas! Iblis bertampang manusia! Akan kubunuh kalian semua, atau aku yang akan mati!”
Teriakan ini bergema di sekitar tempat itu, agaknya suaranya dipantulkan kembali oleh guha-guha yang banyak terdapat di situ. Di antara pantulan suara itu, ada suara lain, suara wanita tertawa terkekeh-kekeh, lalu disambung dengan suaranya yang mencicit seperti suara tikus terjepit.
“Hi-hi-hi-hik, benar sekali! Laki-laki adalah binatang buas dan kita wanita selalu menjadi mangsa dan korbannya, hi-hi-hik!”
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah muncul seorang nenek tua renta yang pakaiannya serba hitam. Nenek ini sudah keriputan, tubuhnya kecil kurus seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja. Tangan kirinya bertopang pada sebuah tongkat hitam yang bentuknya melingkar-lingkar seperti ular kering.
“Jangan khawatir, anakku. Jangan takut! Hajar saja mereka, binatang-binatang buas itu, hi-hi-hik!” katanya sambil menggerak-gerakkan tangan kanannya, ke arah Kim Cu dan empat orang pengeroyoknya.
Dan terjadilah hal yang luar biasa anehnya! Kim Cu mengamuk dan kini semua tamparannya, semua tendangannya, semua pukulannya, tepat mengenai sasaran! Sedangkan gerakan balasan empat orang itu, setiap kali hendak menangkapnya, mencengkeramnya, atau menotoknya, gerakan itu tiba-tiba tertahan seolah-olah ada dinding tak nampak yang melindungi tubuh Kim Cu!
Tentu saja Kim Cu menjadi girang bukan main. Ia sendiri tidak tahu mengapa empat orang lawannya tiba-tiba saja berubah seperti orang-orang tolol yang memberikan tubuh mereka untuk ia hajar tanpa mereka membalas sedikitpun juga.
“Mampuslah!” bentaknya ketika kakinya menendang ke arah perut si kumis tebal.
“Desss...!” tendangan itu tepat mengenai sasaran dan si kumis tebal yang biasanya lihai sekali itu mengaduh dan tubuhnya terjengkang.
Kim Cu membagi-bagi pukulan dan tendangan dan anehnya, semua serangan itu mengenai sasaran dengan tepat sekali. Maka bercucuran darah dari hidung, sebuah mata menjadi hitam, beberapa buah gigi tanggal dan ada perut yang mulas mendadak karena dimasuki ujung sepatu dengan keras!
Empat orang itu dihajar jatuh bangun dan akhirnya, walaupun dengan penuh rasa penasaran, mereka berempat yakin bahwa mereka menghadapi hal yang tidak wajar, dan bahwa kemunculan nenek seperti iblis itulah yang menjadi sebabnya. Maka, mereka merasa ketakutan dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, menjadi bulan-bulan pukulan dan tendangan tanpa mampu membalas sama sekali, akhirnya mereka mungkin mati di tangan Kim Cu! Mereka lalu merangkak dan melarikan diri, jatuh bangun dengan ketakutan seperti dikejar setan!
Kim Cu sudah kehabisan tenaga, maka iapun tidak mengejar. Ia membalik dan memandang kepada nenek itu. Iapun bukan orang bodoh. Ia maklum bahwa tentu nenek aneh ini telah membantunya secara aneh sehingga ia yang tadinya sudah terancam dan nyaris tertangkap kembali, tiba-tiba saja keadaannya terbalik dan ia yang menghajar empat orang yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi dari padanya itu. Dengan tubuh lemas dan lelah sekali, juga nyeri di sana-sini, Kim Cu terhuyung menghampiri nenek itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek berpakaian hitam, dan roboh pingsan.
Ketika Kim Cu siuman kembali, ia mendapatkan dirinya rebah di lantai sebuah guha yang lebar dan tinggi, di ruangan dalam karena ia tidak melihat mulut guha. Akan tetapi ada sinar matahari masuk dari langit-langit guha yang tinggi itu, melalui celah-celah yang banyak terdapat di antara batu-batu pedang yang bergantungan di langit-langit guha itu. Seluruh tubuhnya masih terasa nyeri dan ketika ia hendak bangkit duduk, suara mencicit seperti tikus itu terdengar.
“Jangan bergerak, aku sedang merawatmu.”
Kim Cu melihat nenek itu duduk bersila di belakangnya karena ia tadi rebah miring, dan ternyata nenek itu menempelkan telapak tangan kirinya pada punggungnya, sedangkan telapak tangan kanan nenek itu menempel pada lantai guha. Ada hawa panas-panas hangat keluar dari telapak tangan kiri nenek itu, menjalar ke dalam tubuhnya! Aneh sekali, ia merasa seolah-olah ada uap panas masuk ke dalam tubuhnya, menjalar ke seluruh bagian tubuhnya dan semua rasa nyeri yang diterjang uap itu lenyap, terganti oleh rasa nyaman yang makin lama semakin panas. Hampir ia tidak tahan dan akan bergerak kalau saja suara nenek itu tidak melarangnya.
“Pertahankan, aku akan mengisi kekuatan pada pusat-pusat jalan darah di tubuhmu!”
Kim Cu merasa heran sekali dan tidak mengerti. Memang pernah ketika kecil ia belajar silat dengan tekun dan penuh semangat, namun yang dipelajarinya hanyalah ilmu silat luar, dan para gurunya belum pernah menceritakan kepadanya tentang tenaga-tenaga yang dapat dibangkitkan dari dalam tubuh, kecuali tenaga otot dan kelenturan, juga kekuatan yang timbul karena latihan.
Ia diam saja dan merasakan betapa hawa panas itu kini memenuhi seluruh tubuhnya, membuat kepalanya berdenyut-denyut dan semakin panas, seolah-olah kepalanya dimasukkan ke dalam perapian besar! Terdengar bunyi berkeretekan pada tulang-tulangnya, akan tetapi, Kim Cu pasrah. Ia percaya kepada nenek yang jelas telah menolongnya itu, seorang nenek yang entah manusia, dewa ataukah setan karena memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Ia sudah pasrah dan andaikata ia harus matipun, ia akan menerimanya tanpa membantah!
Akhirnya, siksaan itupun berhenti dan hawa panas itu berangsur turun, kembali menjadi hangat dan nyaman sekali. Dan akhirnya nenek itu melepaskan tempelan telapak tangan kirinya, terkekeh dan berkata,
“Sekarang barulah engkau pantas untuk mempelajari ilmu dariku. Bangkit dan duduklah.”
Kim Cu bangkit dan merasa heran karena tubuhnya terasa ringan dan segar sekali, seperti ada kekuatan yang luar biasa terkandung di dalam semua anggauta tubuhnya. Maka, tanpa banyak cakap lagi iapun berlutut di depan nenek itu, membenturkan dahinya berkali-kali pada lantai guha.
“Nenek yang baik, saya menghaturkan banyak terima kasih atas semua pertolongan nenek, dan kalau nenek sudi mengambil saya sebagai murid, saya bersumpah, selama hidup saya akan mentaati perintah nenek dan akan berbakti kepada nenek sampai titik darah terakhir!”
Nenek itu terkekeh-kekeh, nampaknya girang sekali. “Hi-hi-hik! Memang kau sudah menjadi muridku sejak aku mendengar engkau memaki-maki kaum pria itu, hi-hik!”
Bukan main girangnya rasa hati Kim Cu. Ia kini telah bebas dari cengkeraman manusia-manusia berhati iblis seperti Bibi Ciok dan kaki tangannya, dari cengkeraman kaum pria yang hanya menganggap wanita sebagai benda permainan saja, bebas dari penghinaan yang dialaminya setiap hari, harus melayani tiap orang pria yang tidak dikenalnya, apa lagi dicintanya, melayani dengan menyerahkan seluruh badannya, kehormatannya! Ia telah bebas!
Kenyataan ini saja selalu bersorak di dalam hatinya. Apa lagi ditambah bahwa ia kini menjadi murid seorang yang sakti. Kalau ia dapat memiliki ilmu seperti ilmu yang dimiliki nenek ini, ia akan mampu menghadapi semua tantangan di dunia ini! Ia akan menghajar semua orang, terutama kaum pria, yang jahat! Akan menumpas mereka, membasmi mereka yang suka berbuat jahat! Saking girangnya, Kim Cu lalu merangkul nenek itu dan dengan air mata berlinangan, ia menciumi pipi yang keriput itu.
Nenek itu menjerit kecil. “Ihhhhhh...! Apa-apaan ini? Jangan berbuat cabul kau! Masa seorang murid berbuat begini kepada subonya?”
Kim Cu cepat berlutut, “Subo (Ibu Guru), harap maafkan teecu (murid). Saking girang dan berterima kasih, maka teecu merangkul dan menciumi subo!”
Nenek itu mengusap kepala Kim Cu. “Murid macam apa kau ini?” nadanya menegur, namun di dalam suara itu terkandung keharuan oleh kelakuan Kim Cu tadi. “Hal pertama yang paling penting belum kau lakukan, yaitu memperkenalkan diri, memperkenalkan nama dan menceritakan riwayat hidupmu kepada gurumu.”
Kim Cu tertawa dan mendengar suara ketawanya, iapun merasa heran bukan main, bahkan terkejut! Belum pernah ia mendengar suara ketawanya seperti itu! Begitu bebas, begitu terlepas, bahkan terdengar binal! Dan ia teringat betapa sesungguhnya, semenjak ia diboyong oleh Pangeran Coan Siu Ong, ia telah kehilangan semua kegembiraan hidup, sudah kehilangan semua tawa. Kalau ia tersenyum manis dan tertawa merdu selama ini di rumah pelacuran milik Bibi Ciok, suara ketawa itu adalah buatan, hanya menutupi rintih dan tangis sanubarinya. Dan kini, secara tiba-tiba saja, ia telah menemukan kembali kehidupannya, harapannya, kegembiraannya, dan juga tawanya!
“Aih, maafkan teecu, subo. Teecu sampai lupa, saking gembiranya hati ini! Subo, teecu bernama Lie Kim Cu...”
“Hemmm! Kim Cu (Mustika Emas)? Menjadi mustika emas hanya menjadi rebutan orang, terutama para pria saja. Tidak, namamu terlalu lemah. Setelah menjadi muridku, engkau tidak boleh menjadi wanita lemah, namamu juga harus diganti agar sesuai dengan keadaan dirimu dan watakmu kelak. Namamu mulai sekarang adalah Liong Li (Wanita Naga), seperti seekor naga yang menaklukkan semua iblis di dunia ini!”
Kim Cu girang sekali dan ia cepat memberi hormat. “Teccu menerima dengan gembira, subo. Mulai sekarang, teecu akan dikenal sebagai Liong Li, sedangkan nama Kim Cu tidak akan teecu perkenalkan sebagai nama teecu, kecuali untuk keperluan yang penting.”
“Bagus, teruskan cerita tentang dirimu.”
Kim Cu menceritakan tentang keluarganya, kemudian betapa ayahnya tergila-gila dengan permainan judi sampai habis-habisan. “Akhirnya, karena ayah korupsi, mempergunakan uang negara dan banyak hutang bahkan semua itu diketahui oleh atasannya, Pangeran Coan Siu Ong, maka pangeran itu menekan dan menggertaknya akan menuntutnya. Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan keluarga ayah, yaitu kalau dia menyerahkan teecu sebagai selir Pangeran Coan Siu Ong.”
“Heh-heh-heh, cerita lama itu. Sejak jaman dahulu kala, semua kaum bangsawan seperti itu, haus kedudukan, haus kemuliaan, haus kekayaan dan haus wanita cantik.”
Kim Cu menceritakan segala hal yang terjadi di dalam kamar mewah sang pangeran itu. Betapa setelah melihat pangeran itu, timbul kejijikannya dan ia melawan, memukul pangeran itu. Karena marah, pangeran itu lalu menyuruh para pengawalnya untuk membelenggu kaki tangannya dan iapun diperkosa sampai pingsan.
“Karena sakit badan dan batin, teecu menggunakan akal. Teecu pura-pura menyerah sehingga pangeran jahanam itu melepaskan ikatan kaki tangan teecu. Begitu bebas, teecu menghajarnya dan tentu akan membunuhnya kalau saja tidak muncul para pengawalnya. Pangeran Coan marah. Teecu dihajar, diikat dan dijual murah ke rumah pelacuran milik Bibi Ciok.”
Nenek itu menyeringai, memandang kepada Kim Cu dengan sinar mata kadang-kadang kagum karena dalam menceritakan semua pengalaman pahit ini, Kim Cu sama sekali tidak menangis. Seorang gadis yang amat tabah, pikirnya, makin suka kepada muridnya ini...