“DI SANA, teecu disiksa dan diancam akan dijual murah agar diperkosa mereka yang mau membayar sampai teecu mati. Untuk memberontak, tidak ada gunanya karena Bibi Ciok juga mempunyai tukang-tukang pukul yang kuat. Terpaksa, untuk mencari peluang agar dapat membebaskan diri dan tidak mati konyol, teecu menyerah. Ah, betapa tersiksanya hati ini, betapa terhinanya badan ini ketika teecu harus melayani para tamu selama hampir satu bulan! Teecu terpaksa menjual senyum dan pelayanan yang mesra, pada hal di dalam hati, teecu menjerit dan menangis, apa lagi ketika dari para langganan itu teecu mendengar akan nasib ayah dan ibu teecu...”
Sampai di sini, kedua mata yang jeli dan bagus itu menjadi basah dan beberapa titik air mata menetes turun ke atas sepasang pipi. Akan tetapi, tetap saja Kim Cu tidak mengeluarkan suara tangisan.
“Apa yang terjadi dengan mereka? Bukankah setelah kau diserahkan kepada pangeran itu, orang tuamu telah bebas?”
“Tidak, subo. Agaknya pangeran itu sakit hati kepada teccu dan bukan saja ia menjual teecu kepada rumah pelacuran, juga ayah ditangkap lagi dan dihukum buang. Di dalam perjalanan, demikian teecu dengar, ayah nekat membunuh diri dengan terjun ke dalam jurang. Adapun ibu teecu, karena diusir keluar dari rumah dan tidak kuat menahan derita, jatuh sakit dan meninggal pula.”
Nenek itu mengangguk-angguk, di dalam hatinya merasa gembira karena dengan kenyataan bahwa gadis ini telah yatim piatu, tidak mempunyai siapapun di dunia ini, berarti ialah yang memilikinya. Sebagai murid, juga sebagai keluarga! “Lalu, pelarian sekarang ini yang kau rencanakan?”
“Benar, subo. Teecu berhasil memikat hati putera mantu jaksa tinggi, dan membujuknya untuk mengajak teecu pesiar ke tempat di lembah Huang-ho. Dan di sini teecu berhasil melarikan diri. Akan tetapi, tiba-tiba muncul empat orang jagoan kaki tangan Bibi Ciok melakukan pengejaran. Kalau tidak ada subo, tentu sekarang teecu sudah dipaksa kembali ke rumah pelacuran itu dan mengalami siksaan yang lebih hebat dari pada maut. Karena itu, terima kasih, subo.”
Kembali Kim Cu merangkul dan mencium pipi keriput itu dan sekali ini nenek itu tidak menolak, hanya mendorong tubuh Kim Cu untuk duduk kembali ke atas lantai. “Muridku, engkau sungguh seorang gadis yang beruntung telah dapat bertemu dengan aku di sini. Bukan hanya beruntung karena dapat terhindar dari penangkapan mereka, akan tetapi beruntung karena engkau dapat menjadi muridku karena ribuan orang gagah di dunia ini yang ingin sekali menjadi muridku dan mewarisi ilmu kepandaian dari Huang-ho Kuibo (Nenek Iblis Sungai Kuning)!” Nenek itu terkekeh. “Heh-heh-heh, memang engkau anak yang beruntung sekali, Liong-li!”
Kim Cu atau yang kini bernama atau berjuluk Liong-li (Wanita Naga) mengamati wajah nenek itu penuh perhatian. Wajah itu masih memperlihatkan bekas wanita cantik. Biarpun pakaiannya serba hitam sederhana dan tubuh itu kurus sekali, namun nenek itu agaknya menjaga diri sehingga bersih, bahkan tidak berbau apak.
“Subo, mengapa subo disebut Kuibo (Nenek Iblis)? Subo sama sekali tidak kelihatan seperti nenek iblis! Siapakah nama subo yang sesungguhnya?”
”Hik-hik, aku sudah lupa lagi siapa namaku. Orang-orang menyebutku Huang-ho Kuibo karena aku selalu berkeliaran di sepanjang sungai ini, dan karena aku tidak pernah mau mengampuni orang-orang jahat, maka kaum kang-ouw menjuluki aku Kuibo. Mulai sekarang, engkau harus berlatih dengan tekun, Liong-li. Aku akan membuat engkau menjadi seorang wanita yang ditakuti, dan tidak ada seorangpun laki-laki di dunia ini yang akan mampu menghina dan mempermainkanmu lagi, heh-heh-heh!”
Demikianlah, mulai hari itu, Kim Cu atau Long Li menjadi murid Huang-ho Kuibo, seorang nenek yang sakti dan berilmu tinggi. Dan tepat seperti julukannya, nenek itu mengajak muridnya berkeliaran di sepanjang lembah Huang-ho.
Waktu tujuh tahun bukan merupakan waktu yang cukup panjang bagi seseorang untuk mempelajari ilmu silat tinggi sampai berhasil dengan baik. Akan tetapi, menjadi murid seorang sakti seperti Pek I Lojin lain lagi. Dalam waktu tujuh tahun, Cin Hay digembleng oleh Pek I Lojin dengan ilmu silat yang bermacam-macam dan yang kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat tinggi.
Memang Cin Hay telah memiliki dasar yang kuat dan bakat yang amat baik. Maka, setelah selama setahun penuh siang malam dia digembleng ilmu menghimpun, memperkuat dan mempergunakan tenaga dalam dengan hawa sakti yang dibangkitkan dalam tubuh sehingga dalam waktu setahun itu dia telah mengumpulkan kekuatan yang dahsyat, yang dapat dipergunakan sebagai dasar atau modal mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang serba sukar, maka enam tahun selanjutnya dia dengan amat tekunnya melatih diri dengan ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pek I Lojin kepadanya!
Bukan hanya ilmu silat tingkat tinggi yang diajarkan oleh kakek tua renta itu kepada Cin Hay, akan tetapi juga gemblengan batin sehingga terbentuklah watak penuh kesabaran, tahan derita, tidak terbawa oleh perasaan, dalam diri Cin Hay dan menjadikan dia seorang laki-laki yang jantan, pendiam, tenang, tabah dan matang. Gurunya juga mengajarkan dia ilmu untuk melakukan penyamaran, beralih rupa dengan alat-alat istimewa, mengubah suara dan sebagainya. Pendeknya, dalam waktu tujuh tahun, kakek ita menurunkan semua ilmunya yang paling hebat kepada Cin Hay.
Pada suatu pagi, selagi memberi petunjuk untuk jurus terakhir yang amat sukar dari ilmu silat Naga Terbang, Pek I Lojin memberi contoh kepada Cin Hay bagaimana memainkan jurus terakhir itu dengan baik. Untuk jurus ini, harus dikerahkan tenaga sekuatnya dan kakek itu bersilat dengan penuh semangat. Cin Hay memperhatikan dan mengerti, lalu dia menirukan gerakan gurunya, memainkan jurus itu dengan baiknya.
“Bagaimana, suhu? Apakah sekarang sudah tepat?” tanyanya begitu dia selesai menggerakkan bagian terakhir.
Akan tetapi gurunya tidak menjawab dan ketika dia menengok, dia terkejut sekali melihat gurunya sudah duduk bersila dengan muka pucat dan napas terengah-engah. Ketika dia berlutut mendekati, gurunya masih dapat memberi isyarat dengan tangan agar murid itu memondongnya dan membawanya pulang ke pondok. Cin Hay dengan hati-hati dan cepat melaksanakan permintaan ini dan tak lama kemudian kakek itu sudah rebah di atas pembaringannya di dalam kamar pondok itu.
Cin Hay melakukan pemeriksaan dengan teliti. Dia telah menerima pelajaran dari gurunya untuk memeriksa dan mengobati luka-luka sebelah dalam akibat pukulan atau salah penggunaan hawa sakti. Dan dia mendapat kenyataan betapa gurunya seperti orang yang kehabisan tenaga dan keadaannya lemah sekali. Dia merasa heran dan tidak mengerti.
“Sudahlah... Cin Hay... salahku sendiri...”
“Tapi, mengapakah, suhu?” Dia bertanya.
“Tidak semestinya aku... aku yang tua... memainkan jurus itu... tapi ini agaknya sudah kehendak Tuhan... sudah tiba saatku...”
“Suhu...!”
Tiba-tiba kakek itu mengangkat tangannya dan telunjuknya memperingatkan. Cin Hay segera teringat bahwa tanpa disadarinya, dia telah menunjukkan kelemahan! Maka, dalam waktu sedetik saja telah dapat melenyapkan perasaan khawatir dan dukanya.
“Maafkan teecu, suhu.”
“Ingatlah, jangan sekali-kali engkau menunjukkan kelemahan dalam keadaan apapun juga,” tiba-tiba saja kakek itu bersemangat. “Nyawa manusia bukan berada di tangannya, melainkan di tangan Tuhan. Agaknya memang latihan tadi yang menjadi jalan ke arah kematianku. Aku sudah tua sekali, sudah sepatutnya meninggalkan dunia ini, akan tetapi ada pesanku...” kakek itu nampak lemah kembali.
Cin Hay mendekatkan mukanya. “Suhu, tee-cu mendengarkan. Apakah pesan suhu itu?”
“Masukilah dunia sebagai seorang jantan, seorang gagah yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Dan jangan lupa, engkau pergilah ke Kim-san (Gunung Emas) yang berada di lembah Huang-ho di perbatasan Propinsi Honan sebelah utara... di sana ada sebuah kuburan tua seorang pangeran dari jaman Dinasti Han, ratusan tahun yang lalu. Dalam kuburan itulah terdapat mustika naga yang disebut Kim-san Liong-cu, sebuah pusaka yang amat luar biasa. Dahulu pernah menjadi perebutan para pendekar, dan aku telah gagal. Sekarang, engkau wakili aku pergilah ke sana, carilah sampai dapat... Kim-san Liong-cu...”
Kakek itu telah terlalu banyak bicara, agaknya dia telah menggunakan seluruh tenaga terakhir dan kini dia terkulai. Ketika Cin Hay memeriksanya, maka ternyata jantungnya tidak berdetak lagi, napasnya putus dan nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.
Cin Hay bersila sambil termenung sampai lama, tetap memegang nadi pergelangan tangan gurunya, memejamkan mata dalam samadhi, seolah-olah dengan semangatnya dia hendak mengantar suhunya yang berangkat pulang ke tempat asalnya itu. Kemudian dia sadar dan dia teringat betapa suhunya pernah berpesan bahwa kalau dia mati, ia ingin jenazahnya diperabukan, dan abu jenazahnya di buang ke sungai manapun juga. Semua sungai menuju ke lautan, demikian kata gurunya, maka membuang abu ke sungai berarti juga membuangnya ke lautan.
Dengan tabah, Cin Hay lalu mengatur pembakaran jenazah gurunya. Diletakkan jenazah gurunya di atas pembaringannya, di tengah pondok. Dikumpulkannya semua milik suhunya yang tidak banyak, hanya beberapa potong pakaian, kemudian mengumpulkan kayu kering, menumpuknya di dalam pondok dan di sekeliling pembaringan, menutupi jenazah gurunya dengan pakaiannya.
Dia memilih kayu yang mengandung damar agar pembakaran itu dapat sempurna. Diruntuhkan dan dibuangnya atap pondok agar jangan menimpa dan merusak abu jenazah suhunya. Setelah siap dan melakukan sembahyang terakhir untuk menghormati gurunya, Cin Hay lalu membakar pondok itu. Sehari penuh pondok itu terbakar. Cin Hay duduk bersila agak jauh, mengenang suhunya.
Semua manusia akan mengalami hal yang sama, yaitu kematian. Karena itu, setiap kematian adalah hal yang wajar saja. Siapa terlalu membesarkan akunya, terlalu menghargai akunya, dialah yang takut akan kematian dan akan menderita kalau menghadapi kematian, menderita karena khawatir membayangkan bahwa aku-nya yang amat dijunjung tinggi itu akan hilang begitu saja!
Padahal, sepandai-pandainya orang, sebaik-baiknya orang, sesakti-saktinya orang, dia hanyalah seorang manusia biasa yang lahir kemudian mati menurut kekuasaan Alam yang mengaturnya. Manusia timbul tenggelam seperti ombak-ombak lautan, nampak kemudian menghilang tanpa bekas, dan terlupakan!
Suhunya pernah bicara mengenai ini. Yang penting adalah karya yang baik, demikian kata suhunya. Karya yang baik dapat dinikmati orang lain, baik si karyawan masih hidup ataupun sudah mati. Jangan mengira bahwa nama atau orangnya yang akan dikenang, melainkan karyanya yang baik. Orangnya akan dilupakan. Mungkin akan dikenang, secara paksa, oleh sekelompok orang, akan tetapi itupun hanya merupakan suatu upacara belaka, yang hanya berlaku beberapa menit. Kemudian terlupa sudah!
Maka, siapa mengharapkan nama kekal, siapa mengharapkan agar aku-nya selalu diingat, dia akan kecewa kelak! Karya baikpun bukanlah ciptaan si orang itu. Orang itu hanyalah menyalurkan berkah Tuhan melalui tangannya, melalui pikirannya. Tanpa berkah dan kekuasaan Tuhan, manusia tidak ada artinya sama sekali.
Setelah api padam, Cin Hay mencari abu jenazah gurunya. Dia merasa gembira bahwa pembakaran itu ternyata sempurna, tidak ada sepotong pun tulang yang tidak menjadi arang dan mudah dia hancurkan, kemudian dibungkusnya abu jenazah itu dengan sebuah jubah lebar. Setelah itu, berangkatlah dia meninggalkan tempat itu, membawa miliknya yang juga tidak berapa banyak, hanya beberapa potong pakaian, dan memanggul bungkusan abu dan pakaiannya, lalu melangkah lebar dengan wajah tenang, tanpa menengok lagi. Masa lalunya di pondok itu sudah lewat dan tidak akan dikenangnya kembali!
Beberapa hari kemudian, nampak Cin Hay duduk bersila di depan sebuah makam, di lereng bukit kecil yang menghadap ke Telaga See-ouw. Makam tunggal yang sunyi, makam Gu Ci Sian, isterinya yang tewas secara menyedihkan di waktu mereka berperahu di telaga itu. Tujuh tahun yang lalu! Ketika hal itu terjadi, dia baru berusia delapanbelas tahun dan kini dia telah berusia duapuluh lima tahun.
Cin Hay tidak bersedih, apa lagi menangis. Dia hanya duduk bersila dengan wajah tetap tenang, termenung untuk mengingat isterinya dengan penghormatan, dengan doa semoga isterinya sekarang, di manapun ia berada, dalam keadaan bahagia dan damai. Tanpa dirasakannya, sudah dua jam dia berada di depan makam isterinya, dan tahu-tahu ada air hujan menitik turun dari atas. Hal ini menyadarkan Cin Hay dan diapun bangkit, di dalam batin berpamit kepada isterinya lalu meninggalkan makam itu dengan cepat menuruni bukit untuk mencari tempat duduk di tepi telaga.
Ketika tiba di bandar di mana perahu-perahu berkumpul untuk menampung para pelancong yang hendak pelesir di telaga dengan perahu, dia melihat ribut-ribut. Bukan keributan karena turunnya hujan gerimis, melainkan keributan terjadi, bahkan dia melihat seorang wanita meronta-ronta ketika ditarik oleh seorang laki-laki menuju ke sebuah kereta.
Wanita itu masih muda sekali, baru belasan tahun usianya dan agaknya ia bukan seorang pelancong, melainkan seorang gadis kampung di sekitar telaga, dan ia meronta sambil menjerit-jerit, namun tidak berdaya karena pria yang menyeretnya itu kuat sekali. Akhirnya gadis itu dilemparkan ke dalam kereta yang tertutup dan agaknya ada yang menerima dan meringkusnya dari dalam. Hanya tangisnya yang terdengar dan kereta itupun lalu bergerak pergi. Tiga orang laki-laki berkuda mengikuti dari belakang sambil tertawa-tawa.
Melihat tiga orang itu, berkerut alis Cin Hay. Tak salah lagi, kini dia mengenal laki-laki muka hitam. gendut pendek yang tadi menyeret gadis itu. Dan si muka kuning pucat yang tinggi kurus, dan seorang lagi yang tinggi besar dan mukanya penuh berewok. Biarpun mereka itu kini lebih tua dari pada dahulu, namun dia masih ingat wajah ketiga orang jagoan yang pernah mengeroyoknya di atas perahu besar milik Koan Ki Sek!
Merekalah See-ouw Sam-houw dan mungkin Koan Wan-gwe berada pula di dalam kereta itu. Mereka berempat yang telah menyebabkan kematian isterinya dan yang nyaris membunuhnya pula. Dan kini, agaknya mereka menculik seorang gadis kampung! Gemblengan batin yang diterimanya dari Pek I Lojin membuat semua bentuk dendam hilang dari dalam hatinya.
Akan tetapi kini melihat mereka melakukan kejahatan di depan matanya, tentu saja Cin Hay tidak mau tinggal diam. Kedua kakinya berloncatan dan bagaikan seekor kijang muda, diapun berlari cepat melakukan pengejaran ke arah kereta yang dilarikan cepat meninggalkan bandar itu tanpa ada seorangpun yang berani melakukan pengejaran.
Kereta itu telah tiba di tengah hutan ketika tiba-tiba dua ekor kuda yang menarik kereta, meringkik kaget dan berhenti berlari, mengangkat kaki depan ketakutan. Kusir kereta itu terkejut, apa lagi melihat bahwa tiba-tiba saja nampak seorang pemuda berpakaian serba putih yang menahan kuda itu dari depan.
“Heii! Mau apa kau?” bentak kusir itu mengangkat cambuknya mengancam untuk memukul. Ketika cambuk menyambar, Cin Hay menyambut, menangkap ujung cambuk dan sekali tarik dengan sentakan kaget, kusir itu berteriak dan tubuhnya tertarik jatuh dari atas kereta!
“Ada apa...?” bentak suara dari dalam kereta. Tiba-tiba pintu kereta yang sudah berhenti itu terbuka dari luar dan tirainya tersingkap.
Cin Hay melihat seorang laki-laki setengah tua sedang menggeluti gadis tadi yang pakaiannya sudah tidak karuan. Gadis itu meronta dan menangis. Cin Hay tidak pangling melihat laki-laki ini, maka sekali sambar, tangannya sudah menangkap lengan Koan Ki Sek dan ditariknya orang itu keluar dari dalam kereta.
“Ehhh...! Ohhh...! Tolong...!” teriak Koan Ki Sek ketika tubuhnya terbanting ke atas tanah. Gadis itupun cepat turun, dengan ketakutan mencoba untuk membereskan pakaiannya yang cabik-cabik.
“Dukkk!” Kaki kiri Cin Hay melayang dan tepat menyambar dagu Koan Ki Sek yang sedang merangkak hendak bangun. Tendangan itu keras sekali, mematahkan tulang rahang dan membuat gigi di sebelah kiri copot semua. Koan Ki Sek menjerit dan hendak lari, akan tetapi sambaran kaki Cin Hay tepat mengenai lututnya dan diapun terjengkang dan terpelanting tak dapat bangkit kembali karena sambungan lututnya terlepas!
“Heiii...! Siapakah engkau berani mati memukul majikan kami? Apakah engkau sudah bosan hidup?”
Tiga orang jagoan yang bukan lain adalah See-ouw Sam-houw sudah berloncatan turun dari atas kuda mereka dan mengepung Cin Hay. Cin Hay memandang mereka dengan alis berkerut. Tiga orang ini jahat bukan main, pikirnya. Tujuh tahun yang lalu sudah menjadi penjahat kejam, sekarang sama sekali tidak berubah, bahkan semakin jahat, berani di tempat ramai menculik seorang gadis dusun! Koan Wan-gwe juga seorang yang berwatak jahat dan kejam, akan tetapi tanpa adanya jagoan-jagoannya seperti tiga orang ini, belum tentu hartawan itu berani melakukan kejahatan seperti itu.
“Hemm, tujuh tahun yang lalu kalian hampir membunuhku, dan kalian berhasil membunuh isteriku. Kini, setelah tujuh tahun, ternyata kalian semakin jahat saja. Entah berapa banyak sudah orang-orang tak berdosa menjadi korban kekejian kalian.”
“Siapa engkau?” bentak Hek-bin-houw Ban Sun yang bermuka hitam, masih memandang rendah lawannya. “Mengakulah sebelum kami mencabut nyawamu!”
Cin Hay tidak ingin memperkenalkan namanya. Dia ingin meniru gurunya yang hanya mempunyai nama julukan, seperti juga dia meniru gurunya yang suka mengenakan pakaian serba putih. Teringat akan pakaiannya yang serba putih, dan akan tugasnya mencari Mutiara Naga dari Gunung Emas, diapun segera memperkenalkan diri,
“Sebut saja aku Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) selagi kalian masih sempat, karena tugasku adalah melenyapkan manusia-manusia jahat macam See-ouw Sam-houw!”
“Wah, bukankah dia ini orang yang naik perahu kecil bersama isterinya beberapa tahun yang lalu itu?” Phang Ek berseru, “Ban-toako, apakah engkau lupa? Engkau melemparkan perahu kecilnya kepadanya setelah dia kulukai dengan pisau terbangku. Dan kita mengira dia mampus!”
“Ha-ha-ha, benar sekali!” Siang-kiam-houw Kim Lok tertawa. “Dan isterinya yang cantik dan seperti kuda binal, kuda yang bunting muda... ha-ha, sayang sekali, ia tidak kuat dan...”
“Wuuuutttt, plakkk!” Kim Lok menangkis ketika Cin Hay maju menyerang dengan tamparan tangannya. Tangkisan itu mengenai tangan Cin Hay, akan tetapi akibatnya, tubuh Kim Lok terpelanting saking kerasnya tamparan itu dan lengannya terasa seperti akan patah! Dia terbanting keras dan selain terkejut, diapun merasa heran bukan main melihat betapa kuatnya tamparan pemuda itu.
Melihat betapa dalam segebrakan saja Kim Lok terbanting keras, Ban Sun dan Phang Ek juga terkejut. Maklumlah tiga orang jagoan ini bahwa pemuda yang berada di depan mereka kini tidak boleh disamakan dengan ketika mereka menghajarnya tujuh tahun yang lalu.
“Singgg...!” Hek-bin-houw Ban Sun sudah mencabut golok besarnya.
“Srattt...!” juga Siang-kiam-houw Kim Lok mencabut sepasang pedangnya dan Hui-to-houw Phang Ek mencabut dua batang pisau yang dipegang oleh kedua tangannya. Mereka mengepung Cin Hay dengan senjata di tangan, siap untuk mencincang tubuh lawan ini.
Sementara itu, Koan Ki Sek masih merintih-rintih, ditolong oleh kusirnya yang juga babak bundas ketika terlempar dari atas kereta tadi. Mereka hanya menonton, mengharapkan tiga orang jagoan mereka akan dapat membunuh pemuda berpakaian putih itu.
Cin Hay mengeraskan hatinya, menulikan telinganya yang masih saja mendengar ucapan-ucapan tiga orang jagoan itu tadi. Kini dia mengerti betapa isterinya dahulu tewas. Tentu setelah diperkosa oleh Koan-wangwe, lalu diberikan kepada tiga orang jagoan ini yang memperkosa isterinya sampai tewas, pada hal mereka tahu bahwa isterinya mengandung!
Dia mengusir dendamnya. Orang-orang ini amat jahat, kalau tidak disingkirkan, tentu kelak hanya akan mencelakakan kehidupan orang-orang lain yang tidak berdosa, demikian suara hatinya, sedikitpun tidak mengingat atau mengenang lagi akan perbuatan mereka terhadap dirinya dan terhadap isterinya.
“Mampus kau...!” Hek-bin-houw Ban Sun sudah menyerang dengan bacokan goloknya. Bacokannya itu cepat dan kuat sekali, dari atas ke bawah, mengarah kepala Cin Hay, agaknya dalam kemarahannya, si muka hitam itu ingin membacok kepala pemuda baju putih itu agar terbelah menjadi dua! Dan pada detik berikutnya, sepasang pedang di tangan Kim Lok juga menusuk ke arah leher dan lambung!
Cin Hay mengelak dengan mudah terhadap bacokan golok dan melihat tusukan dua batang pedang itu, kakinya menendang, mendahului tangan kanan lawan sehingga sebelum pedang datang menusuk, pergelangan tangan Kim Lok tertendang, tepat mengenai urat nadinya sehingga pedangnya terlepas, tepat pada saat Cin Hay mengelak dari tusukan kedua. Cepat tangan Cin Hay menyambar pedang yang terpental lepas dari tangan kanan Kim Lok.
Pada saat itu, Phang Ek datang menyerang dari belakangnya, menusukkan kedua batang pisaunya ke arah lambung dan punggung. Gerakannya cepat dan kuat sekali. Cin Hay mendengar gerakan ini dan dia memutar tubuh, mendahului dengan sambaran pedang rampasannya.
“Cring! Trang...!” Dua batang pisau di tangan Phang Ek itu terpental dan patah-patah ketika bertemu dengan sambaran pedang yang amat kuat itu. Phang Ek mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang dengan mata terbelalak.
Saat itu, Ban Sun sudah menyerang lagi dengan bacokan golok besarnya, membacok ke arah leher. Golok itu membabat dengan cepat, mengeluarkan suara berdesing saking kuatnya. Cin Hay menggerakkan pedang rampasannya, menangkis dan memutar pedang itu sambil mengerahkan sin-kangnya untuk menempel.
Ban Sun terkejut. Goloknya seperti melekat dan ikut terputar walaupun dia mencoba untuk mempertahankan sekuatnya. Tiba-tiba Cin Hay mengeluarkan bentakan pendek, pedangnya membuat gerakan memutar dan menyentak dan... golok itu membalik, tidak dapat dikuasai oleh tangan Ban Sun dan tanpa dapat dicegah lagi, golok yang membalik itu menyambar ke arah perut yang gendut itu.
“Cappp...!” Ban Sun terbelalak memandang ke arah perutnya yang dimakan goloknya sendiri, lalu terjengkang!
Melihat ini, Kim Lok menusukkan pedangnya yang tinggal sebatang, akan tetapi tusukan itu dapat ditangkis oleh pedang Cin Hay yang membuat lengan Kim Lok tergetar hebat dan dia terpaksa melangkah mundur agar tidak sampai jatuh.
Phang Ek sudah mengambil dua batang pisau lagi dan kini dia menyambitkan dua batang pisau itu ke arah Cin Hay sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Cin Hay menangkis sebatang pisau sehingga runtuh ke atas tanah, dan pisau kedua disambarnya dengan tangan, kemudian, dengan tangan kiri yang menyambut pisau tadi, dia menyambit. Nampak sinar terang berkelebat dan tahu-tahu pisau itu telah menembus leher Phang Ek. Orang ini mengeluarkan suara aneh, mencoba untuk mencabut pissu itu, namun agaknya pisau itu terjepit tulang kerongkongan, dan diapun roboh terkulai!
Kim Lok terbelalak dengan muka pucat. Dalam satu dua gebrakan saja, dua orang kawannya telah roboh dan tewas, sedangkan majikannya masih mengerang kesakitan bersama kusir yang ketakutan. Dia maklum bahwa nyawanya terancam maut, maka tanpa banyak pikir lagi, secara pengecut Kim Lok lalu membalikkan tubuhnya dan mengambil langkah seribu, melarikan diri!
Akan tetapi baru saja kakinya melangkah beberapa kali, nampak sinar terang berkelebat dan sebatang pedang, pedangnya sendiri yang tadi terampas lawan, telah meluncur dan menghujam punggungnya sampai tembus ke dadanya! Dia tersentak, terbelalak, lalu jatuh menelungkup.
Melihat betapa tiga orang jagoannya tewas semua, Koan Ki Sek yang sudah menderita nyeri dan ketakutan itu hampir pingsan. Kusir kereta juga ketakutan dan dia sudah berdiri dan hendak melarikan diri, akan tetapi Cin Hay membentak.
“]angan lari!”
Kusir kereta itu berhenti dan celananya menjadi basah! Dia terkencing-kencing saking takutnya. Koan Wan-gwe sendiri lalu merangkak dan berlutut menghadap pemuda itu, mulutnya berkeluh kesah minta dikasihani dan diampuni.
Cin Hay tersenyum dingin. “Kau masih ingat padaku?” tanyanya.
Koan Ki Sek merasa mulutnya remuk dan nyeri sekali, akan tetapi dia memaksa diri mengangguk dan berkata, “...ampunkan... aku... ampunkan...”
“Engkau masih ingat isteriku... wanita muda berpakaian kuning yang mengandung muda itu?”
Koan Ki Sek semakin ketakutan. “Ampun... ampun... bukan aku yang membunuhnya... ia... ia mencakari aku... kuberikan kepada mereka bertiga dan... dan... ampunkan aku...”
Hemm, orang semacam ini memang tidak ada gunanya diberi kesempatan hidup lagi. Paling-paling akan mengulangi perbuatannya yang sesat. Tidak akan sukar bagi hartawan itu untuk mencari pengganti jagoan yang lebih kuat lagi karena dia mampu membayar, dan makin merajalela mengumbar nafsu-nafsunya. Akan tetapi dia teringat akan keadaannya. Dia melakukan perjalanan jauh dan dia membutuhkan biaya. Dari mana dia akan memperoleh uang? Paling baik memperoleh dari hartawan kejam ini!
“Hayo naik ke kereta!” bentaknya, lalu menoleh kepada kusir. “Engkau juga! Bawa aku ke rumahmu, Koan Wan-gwe dan aku ingin menukar nyawamu dengan tiga ratus tail emas!”
“Baik... baik... terima kasih...” Hartawan itu mengangguk, lalu dengan tubuh gemetar dia naik ke dalam kereta, seperti seekor tikus berdekatan dengan kucing ketika dia duduk berdampingan dengan Cin Hay yang nampak tenang saja. Kereta lalu dijalankan oleh kusir yang juga ketakutan itu.
Setelah kereta berhenti di depan gedung tempat tinggal Koan Ki Sek, Cin Hay memegang lengan pria berusia hampir enam puluh tahun itu dan berkata dengan nada suara mengancam, “Cepat suruh orang mengambilkan tiga ratus tail emas. Kalau engkau banyak tingkah, akan kubunuh seketika!” Setelah berkata demikian, Cin Hay menarik hartawan itu turun dari keretanya.
Melihat betapa majikan mereka turun bersama seorang pemuda sederhana yang tampan, dan majikan itu nampak ketakutan, para penjaga dan pelayan saling pandang dengan heran dan bingung. Setelah tiba di rumahnya sendiri, walaupun masih takut menghadapi Cin Hay, namun hartawan itu memperoleh kembali kegalakannya dan dia mendamprat para pelayannya.
“Kenapa kalian bengong saja seperti orang-orang tolol? Cepat panggil nyonya majikan!” Dengan muka manis dia mempersilakan Cin Hay ikut masuk ke ruangan depan.
Ketika seorang wanita berusia hampir lima puluh tahun yang berpakaian mewah, yaitu isteri dari hartawan itu muncul dari dalam, Koan Wan-gwe cepat berkata, “Kumpulkan tiga ratus tail emas dan bawa ke sini. Cepat!”
Agaknya hartawan ini memang biasa bersikap keras, karena biarpun di wajah wanita itu jelas menunjukkan keheranan besar, namun ia tidak berani banyak bertanya, hanya mengangguk dan mengundurkan diri lagi. Hartawan itu duduk dan menyusut keringatnya di muka dan lehernya dengan ujung lengan baju, sedangkan Cin Hay berdiri termenung, tidak memperdulikan penawaran tuan rumah yang mempersilakan dia duduk. Dia terkenang kepada isterinya dan kebenciannya terhadap Koan Ki Sek timbul. Akan tetapi kesadarannya membuat dia melihat kenyataan bahwa hartawan ini hanyalah seorang yang lemah, yang menjadi hamba nafsunya sendiri.
Tak lama kemudian, isteri hartawan itu muncul lagi, diikuti oleh dua orang pelayan pria yang menggotong sebuah karung yang agaknya terisi benda yang berat. Nyonya majikan itu berkata kepada suaminya, nada suaranya takut-takut. “Sudah kukumpulkan semua, hanya ada seratus enam puluh tail emas, tidak ada lagi...”
Koan Wan-gwe nampak pucat ketika dia menoleh kepada Cin Hay dan sambil mengangkat kedua tangan di depan dada diapun berkata. “Harap tai... taihiap maafkan... kami hanya mempunyai seratus enam puluh tail... harap taihiap bersabar, akan kami usahakan... dalam beberapa hari ini... meminjam dari teman-teman dikota...”
Cin Hay merasa bahwa jumlah itu sudah lebih dari cukup untuk bekal hidupnya. Dia menghampiri karung itu, membukanya dan setelah memeriksa bahwa isinya memang benar potongan-potongan emas yang berkilauan, dia lalu memanggul karung itu dengan tangan kirinya. Benda yang beratnya dua puluh kati itu, nampak ringan saja baginya ketika dia mengangkat karung itu ke atas pundaknya, kemudian dia berkata, suaranya lantang.
“Koan Ki Sek, sekarang di depan isterimu, ceritakan apa yang telah kau lakukan terhadap isteriku, tujuh tahun yang lalu.”
Hartawan itu mengerutkan alisnya, memandang kepada isterinya dan kepada dua orang pelayannya, lalu menghardik dua orang pelayan itu, “Kalian pergilah dari sini!” Tentu saja dia tidak menghendaki ceritanya yang memalukan itu akan didengar oleh oleh dua orang pelayan itu.
“Tidak! Kalian juga mendengarkan di sini!” Cin Hay berkata kepada mereka.
Akan tetapi, dua orang pelayan itu tidak mengenal Cin Hay, tentu saja mereka lebih taat kepada majikan mereka dan mereka membalikkan tubuh hendak pergi dari ruangan itu. Cin Hay melompat dan kedua tangannya memegang pundak mereka, sekali tarik dia membuat mereka terpelanting dan di lain saat, dua orang itu sudah tidak mampu menggerakkan kaki karena telah ditotok oleh Cin Hay.
Barulah mereka ketakutan dan maklum bahwa pemuda itu lihai sekali, dan mereka kini dengan tubuh rebah miring terpaksa ikut mendengarkan. Nyonya Koan terkejut melihat kekerasan yang dilakukan Cin Hay dan iapun lari mendekati suaminya.
“Nah, Koan Ki Sek, sekarang berceritalah!” Cin Hay berkata lagi dengan suara keren.
Dengan suara gemetar dan muka pucat akan tetapi penuh keringat, Koan Wan-gwe lalu menceritakan peristiwa tujuh tahun yang lalu di Telaga See-ouw. Kadang-kadang dibantu dan diingatkan oleh Cin Hay, hartawan itu dengan singkat namun jelas menceritakan apa yang telah dilakukannya terhadap Cin Hay dan isterinya.
Betapa See-ouw Sam-houw atas perintahnya telah melukai dan melempar Cin Hay ke dalam telaga, dan merampas isterinya yang cantik. Betapa dia memperkosa wanita muda yang sedang mengandung muda itu di dalam bilik perahu, kemudian menyerahkan wanita yang melawan itu kepada See-ouw Sam-houw. Kemudian betapa tiga orang jagoannya itu memperkosa isterinya Cin Hay bergantian sampai mati dan menguburkan jenazah nyonya muda itu di lereng bukit dekat telaga.
Mendengar cerita yang mengerikan itu, Nyonya Koan menjerit dan menangis. Dia tahu betapa suaminya hidung belang dan mata keranjang, akan tetapi tidak pernah menyangka suaminya akan melakukan perbuatan yang demikian kejamnya.
“Dan tujuh tahun kemudian, baru tadi, dia telah menculik pula seorang gadis dusun yang hendak diperkosanya di dalam kereta!” kata Cin Hay yang kemudian bertanya, “Nyonya, apakah tidak adil namanya kalau sekarang aku datang, merampok hartanya dan mencabut nyawanya?”
Sambil menangis nyonya itu mengangguk-angguk. “Adil... sudah adil... akan tetapi ampunkanlah suamiku ini, tai-hiap...”
Cin Hay menghela napas panjang, lalu memandang hartawan itu. “Manusia tak kenal budi! Isterimu demikian setia dan baik, akan tetapi engkau melakukan perbuatan yang kejam dan jahat di luar rumah! Sepatutnya engkau kubunuh, akan tetapi mengingat isterimu, biarlah kuampuni nyawamu, akan tetapi engkau harus diberi hukuman yang setimpal dengan kejahatanmu!” Berkata demikian, dengan perhitungan yang tepat, Cin Hay menggerakkan kedua tangannya, menotok pinggang dan punggung Koan Ki Sek. Hartawan itu mengeluarkan teriakan panjang dan diapun roboh terpelanting, pingsan. Isterinya menjerit dan menubruknya sambil menangis.
“Nyonya, jangan khawatir, dia tidak akan mati, akan tetapi tidak akan mampu mengganggu wanita lagi. Selamat tinggal,” kata Cin Hay yang melangkah keluar sambil memanggul karung berisi dua puluh kati emas itu. Tak seorangpun penjaga berani menghalangi pemuda yang datang bersama majikan mereka itu.
Tubuh Koan Ki Sek lalu diangkat ke dalam kamarnya dan benar seperti yang diucapkan Cin Hay kepada isteri hartawan itu, Koan Ki Sek tidak mati melainkan jatuh sakit sampai hampir sebulan lamanya dan setelah sembuh, ternyata bahwa anggauta kelaminnya menjadi lumpuh!
Hal ini membuat dia terkejut dan berduka sekali, dan berusaha mengobati dirinya. Dipanggilnya semua tabib pandai, bahkan dia pergi ke kota raja untuk berobat, namun sia-sia saja karena urat syarafnya telah hancur dan rusak oleh totokan yang dilakukan Cin Hay. Selamanya dia tidak akan dapat lagi menggauli wanita dan akhirnya, hartawan inipun sadar akan semua dosanya dan dia merobah cara hidupnya sama sekali.
Semua jagoannya dia keluarkan, dan dia hidup damai dengan para penghuni dusun, bahkan dia kemudian terkenal sebagai seorang dermawan yang agaknya hendak menghabiskan hartanya untuk menolong sesama manusia. Perlahan-lahan, terhapuslah nama buruknya. Kalau tadinya dia ditakuti semua orang, kini mulai berubah pandang mata orang-orang kepadanya, tidak lagi takut, melainkan hormat dan segan, juga berterima kasih...!
Sampai di sini, kedua mata yang jeli dan bagus itu menjadi basah dan beberapa titik air mata menetes turun ke atas sepasang pipi. Akan tetapi, tetap saja Kim Cu tidak mengeluarkan suara tangisan.
“Apa yang terjadi dengan mereka? Bukankah setelah kau diserahkan kepada pangeran itu, orang tuamu telah bebas?”
“Tidak, subo. Agaknya pangeran itu sakit hati kepada teccu dan bukan saja ia menjual teecu kepada rumah pelacuran, juga ayah ditangkap lagi dan dihukum buang. Di dalam perjalanan, demikian teecu dengar, ayah nekat membunuh diri dengan terjun ke dalam jurang. Adapun ibu teecu, karena diusir keluar dari rumah dan tidak kuat menahan derita, jatuh sakit dan meninggal pula.”
Nenek itu mengangguk-angguk, di dalam hatinya merasa gembira karena dengan kenyataan bahwa gadis ini telah yatim piatu, tidak mempunyai siapapun di dunia ini, berarti ialah yang memilikinya. Sebagai murid, juga sebagai keluarga! “Lalu, pelarian sekarang ini yang kau rencanakan?”
“Benar, subo. Teecu berhasil memikat hati putera mantu jaksa tinggi, dan membujuknya untuk mengajak teecu pesiar ke tempat di lembah Huang-ho. Dan di sini teecu berhasil melarikan diri. Akan tetapi, tiba-tiba muncul empat orang jagoan kaki tangan Bibi Ciok melakukan pengejaran. Kalau tidak ada subo, tentu sekarang teecu sudah dipaksa kembali ke rumah pelacuran itu dan mengalami siksaan yang lebih hebat dari pada maut. Karena itu, terima kasih, subo.”
Kembali Kim Cu merangkul dan mencium pipi keriput itu dan sekali ini nenek itu tidak menolak, hanya mendorong tubuh Kim Cu untuk duduk kembali ke atas lantai. “Muridku, engkau sungguh seorang gadis yang beruntung telah dapat bertemu dengan aku di sini. Bukan hanya beruntung karena dapat terhindar dari penangkapan mereka, akan tetapi beruntung karena engkau dapat menjadi muridku karena ribuan orang gagah di dunia ini yang ingin sekali menjadi muridku dan mewarisi ilmu kepandaian dari Huang-ho Kuibo (Nenek Iblis Sungai Kuning)!” Nenek itu terkekeh. “Heh-heh-heh, memang engkau anak yang beruntung sekali, Liong-li!”
Kim Cu atau yang kini bernama atau berjuluk Liong-li (Wanita Naga) mengamati wajah nenek itu penuh perhatian. Wajah itu masih memperlihatkan bekas wanita cantik. Biarpun pakaiannya serba hitam sederhana dan tubuh itu kurus sekali, namun nenek itu agaknya menjaga diri sehingga bersih, bahkan tidak berbau apak.
“Subo, mengapa subo disebut Kuibo (Nenek Iblis)? Subo sama sekali tidak kelihatan seperti nenek iblis! Siapakah nama subo yang sesungguhnya?”
”Hik-hik, aku sudah lupa lagi siapa namaku. Orang-orang menyebutku Huang-ho Kuibo karena aku selalu berkeliaran di sepanjang sungai ini, dan karena aku tidak pernah mau mengampuni orang-orang jahat, maka kaum kang-ouw menjuluki aku Kuibo. Mulai sekarang, engkau harus berlatih dengan tekun, Liong-li. Aku akan membuat engkau menjadi seorang wanita yang ditakuti, dan tidak ada seorangpun laki-laki di dunia ini yang akan mampu menghina dan mempermainkanmu lagi, heh-heh-heh!”
Demikianlah, mulai hari itu, Kim Cu atau Long Li menjadi murid Huang-ho Kuibo, seorang nenek yang sakti dan berilmu tinggi. Dan tepat seperti julukannya, nenek itu mengajak muridnya berkeliaran di sepanjang lembah Huang-ho.
********************
Waktu tujuh tahun bukan merupakan waktu yang cukup panjang bagi seseorang untuk mempelajari ilmu silat tinggi sampai berhasil dengan baik. Akan tetapi, menjadi murid seorang sakti seperti Pek I Lojin lain lagi. Dalam waktu tujuh tahun, Cin Hay digembleng oleh Pek I Lojin dengan ilmu silat yang bermacam-macam dan yang kesemuanya merupakan ilmu-ilmu silat tinggi.
Memang Cin Hay telah memiliki dasar yang kuat dan bakat yang amat baik. Maka, setelah selama setahun penuh siang malam dia digembleng ilmu menghimpun, memperkuat dan mempergunakan tenaga dalam dengan hawa sakti yang dibangkitkan dalam tubuh sehingga dalam waktu setahun itu dia telah mengumpulkan kekuatan yang dahsyat, yang dapat dipergunakan sebagai dasar atau modal mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi yang serba sukar, maka enam tahun selanjutnya dia dengan amat tekunnya melatih diri dengan ilmu-ilmu yang diwariskan oleh Pek I Lojin kepadanya!
Bukan hanya ilmu silat tingkat tinggi yang diajarkan oleh kakek tua renta itu kepada Cin Hay, akan tetapi juga gemblengan batin sehingga terbentuklah watak penuh kesabaran, tahan derita, tidak terbawa oleh perasaan, dalam diri Cin Hay dan menjadikan dia seorang laki-laki yang jantan, pendiam, tenang, tabah dan matang. Gurunya juga mengajarkan dia ilmu untuk melakukan penyamaran, beralih rupa dengan alat-alat istimewa, mengubah suara dan sebagainya. Pendeknya, dalam waktu tujuh tahun, kakek ita menurunkan semua ilmunya yang paling hebat kepada Cin Hay.
Pada suatu pagi, selagi memberi petunjuk untuk jurus terakhir yang amat sukar dari ilmu silat Naga Terbang, Pek I Lojin memberi contoh kepada Cin Hay bagaimana memainkan jurus terakhir itu dengan baik. Untuk jurus ini, harus dikerahkan tenaga sekuatnya dan kakek itu bersilat dengan penuh semangat. Cin Hay memperhatikan dan mengerti, lalu dia menirukan gerakan gurunya, memainkan jurus itu dengan baiknya.
“Bagaimana, suhu? Apakah sekarang sudah tepat?” tanyanya begitu dia selesai menggerakkan bagian terakhir.
Akan tetapi gurunya tidak menjawab dan ketika dia menengok, dia terkejut sekali melihat gurunya sudah duduk bersila dengan muka pucat dan napas terengah-engah. Ketika dia berlutut mendekati, gurunya masih dapat memberi isyarat dengan tangan agar murid itu memondongnya dan membawanya pulang ke pondok. Cin Hay dengan hati-hati dan cepat melaksanakan permintaan ini dan tak lama kemudian kakek itu sudah rebah di atas pembaringannya di dalam kamar pondok itu.
Cin Hay melakukan pemeriksaan dengan teliti. Dia telah menerima pelajaran dari gurunya untuk memeriksa dan mengobati luka-luka sebelah dalam akibat pukulan atau salah penggunaan hawa sakti. Dan dia mendapat kenyataan betapa gurunya seperti orang yang kehabisan tenaga dan keadaannya lemah sekali. Dia merasa heran dan tidak mengerti.
“Sudahlah... Cin Hay... salahku sendiri...”
“Tapi, mengapakah, suhu?” Dia bertanya.
“Tidak semestinya aku... aku yang tua... memainkan jurus itu... tapi ini agaknya sudah kehendak Tuhan... sudah tiba saatku...”
“Suhu...!”
Tiba-tiba kakek itu mengangkat tangannya dan telunjuknya memperingatkan. Cin Hay segera teringat bahwa tanpa disadarinya, dia telah menunjukkan kelemahan! Maka, dalam waktu sedetik saja telah dapat melenyapkan perasaan khawatir dan dukanya.
“Maafkan teecu, suhu.”
“Ingatlah, jangan sekali-kali engkau menunjukkan kelemahan dalam keadaan apapun juga,” tiba-tiba saja kakek itu bersemangat. “Nyawa manusia bukan berada di tangannya, melainkan di tangan Tuhan. Agaknya memang latihan tadi yang menjadi jalan ke arah kematianku. Aku sudah tua sekali, sudah sepatutnya meninggalkan dunia ini, akan tetapi ada pesanku...” kakek itu nampak lemah kembali.
Cin Hay mendekatkan mukanya. “Suhu, tee-cu mendengarkan. Apakah pesan suhu itu?”
“Masukilah dunia sebagai seorang jantan, seorang gagah yang selalu membela kebenaran dan keadilan. Dan jangan lupa, engkau pergilah ke Kim-san (Gunung Emas) yang berada di lembah Huang-ho di perbatasan Propinsi Honan sebelah utara... di sana ada sebuah kuburan tua seorang pangeran dari jaman Dinasti Han, ratusan tahun yang lalu. Dalam kuburan itulah terdapat mustika naga yang disebut Kim-san Liong-cu, sebuah pusaka yang amat luar biasa. Dahulu pernah menjadi perebutan para pendekar, dan aku telah gagal. Sekarang, engkau wakili aku pergilah ke sana, carilah sampai dapat... Kim-san Liong-cu...”
Kakek itu telah terlalu banyak bicara, agaknya dia telah menggunakan seluruh tenaga terakhir dan kini dia terkulai. Ketika Cin Hay memeriksanya, maka ternyata jantungnya tidak berdetak lagi, napasnya putus dan nyawanya telah melayang meninggalkan raganya.
Cin Hay bersila sambil termenung sampai lama, tetap memegang nadi pergelangan tangan gurunya, memejamkan mata dalam samadhi, seolah-olah dengan semangatnya dia hendak mengantar suhunya yang berangkat pulang ke tempat asalnya itu. Kemudian dia sadar dan dia teringat betapa suhunya pernah berpesan bahwa kalau dia mati, ia ingin jenazahnya diperabukan, dan abu jenazahnya di buang ke sungai manapun juga. Semua sungai menuju ke lautan, demikian kata gurunya, maka membuang abu ke sungai berarti juga membuangnya ke lautan.
Dengan tabah, Cin Hay lalu mengatur pembakaran jenazah gurunya. Diletakkan jenazah gurunya di atas pembaringannya, di tengah pondok. Dikumpulkannya semua milik suhunya yang tidak banyak, hanya beberapa potong pakaian, kemudian mengumpulkan kayu kering, menumpuknya di dalam pondok dan di sekeliling pembaringan, menutupi jenazah gurunya dengan pakaiannya.
Dia memilih kayu yang mengandung damar agar pembakaran itu dapat sempurna. Diruntuhkan dan dibuangnya atap pondok agar jangan menimpa dan merusak abu jenazah suhunya. Setelah siap dan melakukan sembahyang terakhir untuk menghormati gurunya, Cin Hay lalu membakar pondok itu. Sehari penuh pondok itu terbakar. Cin Hay duduk bersila agak jauh, mengenang suhunya.
Semua manusia akan mengalami hal yang sama, yaitu kematian. Karena itu, setiap kematian adalah hal yang wajar saja. Siapa terlalu membesarkan akunya, terlalu menghargai akunya, dialah yang takut akan kematian dan akan menderita kalau menghadapi kematian, menderita karena khawatir membayangkan bahwa aku-nya yang amat dijunjung tinggi itu akan hilang begitu saja!
Padahal, sepandai-pandainya orang, sebaik-baiknya orang, sesakti-saktinya orang, dia hanyalah seorang manusia biasa yang lahir kemudian mati menurut kekuasaan Alam yang mengaturnya. Manusia timbul tenggelam seperti ombak-ombak lautan, nampak kemudian menghilang tanpa bekas, dan terlupakan!
Suhunya pernah bicara mengenai ini. Yang penting adalah karya yang baik, demikian kata suhunya. Karya yang baik dapat dinikmati orang lain, baik si karyawan masih hidup ataupun sudah mati. Jangan mengira bahwa nama atau orangnya yang akan dikenang, melainkan karyanya yang baik. Orangnya akan dilupakan. Mungkin akan dikenang, secara paksa, oleh sekelompok orang, akan tetapi itupun hanya merupakan suatu upacara belaka, yang hanya berlaku beberapa menit. Kemudian terlupa sudah!
Maka, siapa mengharapkan nama kekal, siapa mengharapkan agar aku-nya selalu diingat, dia akan kecewa kelak! Karya baikpun bukanlah ciptaan si orang itu. Orang itu hanyalah menyalurkan berkah Tuhan melalui tangannya, melalui pikirannya. Tanpa berkah dan kekuasaan Tuhan, manusia tidak ada artinya sama sekali.
Setelah api padam, Cin Hay mencari abu jenazah gurunya. Dia merasa gembira bahwa pembakaran itu ternyata sempurna, tidak ada sepotong pun tulang yang tidak menjadi arang dan mudah dia hancurkan, kemudian dibungkusnya abu jenazah itu dengan sebuah jubah lebar. Setelah itu, berangkatlah dia meninggalkan tempat itu, membawa miliknya yang juga tidak berapa banyak, hanya beberapa potong pakaian, dan memanggul bungkusan abu dan pakaiannya, lalu melangkah lebar dengan wajah tenang, tanpa menengok lagi. Masa lalunya di pondok itu sudah lewat dan tidak akan dikenangnya kembali!
Beberapa hari kemudian, nampak Cin Hay duduk bersila di depan sebuah makam, di lereng bukit kecil yang menghadap ke Telaga See-ouw. Makam tunggal yang sunyi, makam Gu Ci Sian, isterinya yang tewas secara menyedihkan di waktu mereka berperahu di telaga itu. Tujuh tahun yang lalu! Ketika hal itu terjadi, dia baru berusia delapanbelas tahun dan kini dia telah berusia duapuluh lima tahun.
Cin Hay tidak bersedih, apa lagi menangis. Dia hanya duduk bersila dengan wajah tetap tenang, termenung untuk mengingat isterinya dengan penghormatan, dengan doa semoga isterinya sekarang, di manapun ia berada, dalam keadaan bahagia dan damai. Tanpa dirasakannya, sudah dua jam dia berada di depan makam isterinya, dan tahu-tahu ada air hujan menitik turun dari atas. Hal ini menyadarkan Cin Hay dan diapun bangkit, di dalam batin berpamit kepada isterinya lalu meninggalkan makam itu dengan cepat menuruni bukit untuk mencari tempat duduk di tepi telaga.
Ketika tiba di bandar di mana perahu-perahu berkumpul untuk menampung para pelancong yang hendak pelesir di telaga dengan perahu, dia melihat ribut-ribut. Bukan keributan karena turunnya hujan gerimis, melainkan keributan terjadi, bahkan dia melihat seorang wanita meronta-ronta ketika ditarik oleh seorang laki-laki menuju ke sebuah kereta.
Wanita itu masih muda sekali, baru belasan tahun usianya dan agaknya ia bukan seorang pelancong, melainkan seorang gadis kampung di sekitar telaga, dan ia meronta sambil menjerit-jerit, namun tidak berdaya karena pria yang menyeretnya itu kuat sekali. Akhirnya gadis itu dilemparkan ke dalam kereta yang tertutup dan agaknya ada yang menerima dan meringkusnya dari dalam. Hanya tangisnya yang terdengar dan kereta itupun lalu bergerak pergi. Tiga orang laki-laki berkuda mengikuti dari belakang sambil tertawa-tawa.
Melihat tiga orang itu, berkerut alis Cin Hay. Tak salah lagi, kini dia mengenal laki-laki muka hitam. gendut pendek yang tadi menyeret gadis itu. Dan si muka kuning pucat yang tinggi kurus, dan seorang lagi yang tinggi besar dan mukanya penuh berewok. Biarpun mereka itu kini lebih tua dari pada dahulu, namun dia masih ingat wajah ketiga orang jagoan yang pernah mengeroyoknya di atas perahu besar milik Koan Ki Sek!
Merekalah See-ouw Sam-houw dan mungkin Koan Wan-gwe berada pula di dalam kereta itu. Mereka berempat yang telah menyebabkan kematian isterinya dan yang nyaris membunuhnya pula. Dan kini, agaknya mereka menculik seorang gadis kampung! Gemblengan batin yang diterimanya dari Pek I Lojin membuat semua bentuk dendam hilang dari dalam hatinya.
Akan tetapi kini melihat mereka melakukan kejahatan di depan matanya, tentu saja Cin Hay tidak mau tinggal diam. Kedua kakinya berloncatan dan bagaikan seekor kijang muda, diapun berlari cepat melakukan pengejaran ke arah kereta yang dilarikan cepat meninggalkan bandar itu tanpa ada seorangpun yang berani melakukan pengejaran.
Kereta itu telah tiba di tengah hutan ketika tiba-tiba dua ekor kuda yang menarik kereta, meringkik kaget dan berhenti berlari, mengangkat kaki depan ketakutan. Kusir kereta itu terkejut, apa lagi melihat bahwa tiba-tiba saja nampak seorang pemuda berpakaian serba putih yang menahan kuda itu dari depan.
“Heii! Mau apa kau?” bentak kusir itu mengangkat cambuknya mengancam untuk memukul. Ketika cambuk menyambar, Cin Hay menyambut, menangkap ujung cambuk dan sekali tarik dengan sentakan kaget, kusir itu berteriak dan tubuhnya tertarik jatuh dari atas kereta!
“Ada apa...?” bentak suara dari dalam kereta. Tiba-tiba pintu kereta yang sudah berhenti itu terbuka dari luar dan tirainya tersingkap.
Cin Hay melihat seorang laki-laki setengah tua sedang menggeluti gadis tadi yang pakaiannya sudah tidak karuan. Gadis itu meronta dan menangis. Cin Hay tidak pangling melihat laki-laki ini, maka sekali sambar, tangannya sudah menangkap lengan Koan Ki Sek dan ditariknya orang itu keluar dari dalam kereta.
“Ehhh...! Ohhh...! Tolong...!” teriak Koan Ki Sek ketika tubuhnya terbanting ke atas tanah. Gadis itupun cepat turun, dengan ketakutan mencoba untuk membereskan pakaiannya yang cabik-cabik.
“Dukkk!” Kaki kiri Cin Hay melayang dan tepat menyambar dagu Koan Ki Sek yang sedang merangkak hendak bangun. Tendangan itu keras sekali, mematahkan tulang rahang dan membuat gigi di sebelah kiri copot semua. Koan Ki Sek menjerit dan hendak lari, akan tetapi sambaran kaki Cin Hay tepat mengenai lututnya dan diapun terjengkang dan terpelanting tak dapat bangkit kembali karena sambungan lututnya terlepas!
“Heiii...! Siapakah engkau berani mati memukul majikan kami? Apakah engkau sudah bosan hidup?”
Tiga orang jagoan yang bukan lain adalah See-ouw Sam-houw sudah berloncatan turun dari atas kuda mereka dan mengepung Cin Hay. Cin Hay memandang mereka dengan alis berkerut. Tiga orang ini jahat bukan main, pikirnya. Tujuh tahun yang lalu sudah menjadi penjahat kejam, sekarang sama sekali tidak berubah, bahkan semakin jahat, berani di tempat ramai menculik seorang gadis dusun! Koan Wan-gwe juga seorang yang berwatak jahat dan kejam, akan tetapi tanpa adanya jagoan-jagoannya seperti tiga orang ini, belum tentu hartawan itu berani melakukan kejahatan seperti itu.
“Hemm, tujuh tahun yang lalu kalian hampir membunuhku, dan kalian berhasil membunuh isteriku. Kini, setelah tujuh tahun, ternyata kalian semakin jahat saja. Entah berapa banyak sudah orang-orang tak berdosa menjadi korban kekejian kalian.”
“Siapa engkau?” bentak Hek-bin-houw Ban Sun yang bermuka hitam, masih memandang rendah lawannya. “Mengakulah sebelum kami mencabut nyawamu!”
Cin Hay tidak ingin memperkenalkan namanya. Dia ingin meniru gurunya yang hanya mempunyai nama julukan, seperti juga dia meniru gurunya yang suka mengenakan pakaian serba putih. Teringat akan pakaiannya yang serba putih, dan akan tugasnya mencari Mutiara Naga dari Gunung Emas, diapun segera memperkenalkan diri,
“Sebut saja aku Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) selagi kalian masih sempat, karena tugasku adalah melenyapkan manusia-manusia jahat macam See-ouw Sam-houw!”
“Wah, bukankah dia ini orang yang naik perahu kecil bersama isterinya beberapa tahun yang lalu itu?” Phang Ek berseru, “Ban-toako, apakah engkau lupa? Engkau melemparkan perahu kecilnya kepadanya setelah dia kulukai dengan pisau terbangku. Dan kita mengira dia mampus!”
“Ha-ha-ha, benar sekali!” Siang-kiam-houw Kim Lok tertawa. “Dan isterinya yang cantik dan seperti kuda binal, kuda yang bunting muda... ha-ha, sayang sekali, ia tidak kuat dan...”
“Wuuuutttt, plakkk!” Kim Lok menangkis ketika Cin Hay maju menyerang dengan tamparan tangannya. Tangkisan itu mengenai tangan Cin Hay, akan tetapi akibatnya, tubuh Kim Lok terpelanting saking kerasnya tamparan itu dan lengannya terasa seperti akan patah! Dia terbanting keras dan selain terkejut, diapun merasa heran bukan main melihat betapa kuatnya tamparan pemuda itu.
Melihat betapa dalam segebrakan saja Kim Lok terbanting keras, Ban Sun dan Phang Ek juga terkejut. Maklumlah tiga orang jagoan ini bahwa pemuda yang berada di depan mereka kini tidak boleh disamakan dengan ketika mereka menghajarnya tujuh tahun yang lalu.
“Singgg...!” Hek-bin-houw Ban Sun sudah mencabut golok besarnya.
“Srattt...!” juga Siang-kiam-houw Kim Lok mencabut sepasang pedangnya dan Hui-to-houw Phang Ek mencabut dua batang pisau yang dipegang oleh kedua tangannya. Mereka mengepung Cin Hay dengan senjata di tangan, siap untuk mencincang tubuh lawan ini.
Sementara itu, Koan Ki Sek masih merintih-rintih, ditolong oleh kusirnya yang juga babak bundas ketika terlempar dari atas kereta tadi. Mereka hanya menonton, mengharapkan tiga orang jagoan mereka akan dapat membunuh pemuda berpakaian putih itu.
Cin Hay mengeraskan hatinya, menulikan telinganya yang masih saja mendengar ucapan-ucapan tiga orang jagoan itu tadi. Kini dia mengerti betapa isterinya dahulu tewas. Tentu setelah diperkosa oleh Koan-wangwe, lalu diberikan kepada tiga orang jagoan ini yang memperkosa isterinya sampai tewas, pada hal mereka tahu bahwa isterinya mengandung!
Dia mengusir dendamnya. Orang-orang ini amat jahat, kalau tidak disingkirkan, tentu kelak hanya akan mencelakakan kehidupan orang-orang lain yang tidak berdosa, demikian suara hatinya, sedikitpun tidak mengingat atau mengenang lagi akan perbuatan mereka terhadap dirinya dan terhadap isterinya.
“Mampus kau...!” Hek-bin-houw Ban Sun sudah menyerang dengan bacokan goloknya. Bacokannya itu cepat dan kuat sekali, dari atas ke bawah, mengarah kepala Cin Hay, agaknya dalam kemarahannya, si muka hitam itu ingin membacok kepala pemuda baju putih itu agar terbelah menjadi dua! Dan pada detik berikutnya, sepasang pedang di tangan Kim Lok juga menusuk ke arah leher dan lambung!
Cin Hay mengelak dengan mudah terhadap bacokan golok dan melihat tusukan dua batang pedang itu, kakinya menendang, mendahului tangan kanan lawan sehingga sebelum pedang datang menusuk, pergelangan tangan Kim Lok tertendang, tepat mengenai urat nadinya sehingga pedangnya terlepas, tepat pada saat Cin Hay mengelak dari tusukan kedua. Cepat tangan Cin Hay menyambar pedang yang terpental lepas dari tangan kanan Kim Lok.
Pada saat itu, Phang Ek datang menyerang dari belakangnya, menusukkan kedua batang pisaunya ke arah lambung dan punggung. Gerakannya cepat dan kuat sekali. Cin Hay mendengar gerakan ini dan dia memutar tubuh, mendahului dengan sambaran pedang rampasannya.
“Cring! Trang...!” Dua batang pisau di tangan Phang Ek itu terpental dan patah-patah ketika bertemu dengan sambaran pedang yang amat kuat itu. Phang Ek mengeluarkan seruan kaget dan meloncat ke belakang dengan mata terbelalak.
Saat itu, Ban Sun sudah menyerang lagi dengan bacokan golok besarnya, membacok ke arah leher. Golok itu membabat dengan cepat, mengeluarkan suara berdesing saking kuatnya. Cin Hay menggerakkan pedang rampasannya, menangkis dan memutar pedang itu sambil mengerahkan sin-kangnya untuk menempel.
Ban Sun terkejut. Goloknya seperti melekat dan ikut terputar walaupun dia mencoba untuk mempertahankan sekuatnya. Tiba-tiba Cin Hay mengeluarkan bentakan pendek, pedangnya membuat gerakan memutar dan menyentak dan... golok itu membalik, tidak dapat dikuasai oleh tangan Ban Sun dan tanpa dapat dicegah lagi, golok yang membalik itu menyambar ke arah perut yang gendut itu.
“Cappp...!” Ban Sun terbelalak memandang ke arah perutnya yang dimakan goloknya sendiri, lalu terjengkang!
Melihat ini, Kim Lok menusukkan pedangnya yang tinggal sebatang, akan tetapi tusukan itu dapat ditangkis oleh pedang Cin Hay yang membuat lengan Kim Lok tergetar hebat dan dia terpaksa melangkah mundur agar tidak sampai jatuh.
Phang Ek sudah mengambil dua batang pisau lagi dan kini dia menyambitkan dua batang pisau itu ke arah Cin Hay sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Cin Hay menangkis sebatang pisau sehingga runtuh ke atas tanah, dan pisau kedua disambarnya dengan tangan, kemudian, dengan tangan kiri yang menyambut pisau tadi, dia menyambit. Nampak sinar terang berkelebat dan tahu-tahu pisau itu telah menembus leher Phang Ek. Orang ini mengeluarkan suara aneh, mencoba untuk mencabut pissu itu, namun agaknya pisau itu terjepit tulang kerongkongan, dan diapun roboh terkulai!
Kim Lok terbelalak dengan muka pucat. Dalam satu dua gebrakan saja, dua orang kawannya telah roboh dan tewas, sedangkan majikannya masih mengerang kesakitan bersama kusir yang ketakutan. Dia maklum bahwa nyawanya terancam maut, maka tanpa banyak pikir lagi, secara pengecut Kim Lok lalu membalikkan tubuhnya dan mengambil langkah seribu, melarikan diri!
Akan tetapi baru saja kakinya melangkah beberapa kali, nampak sinar terang berkelebat dan sebatang pedang, pedangnya sendiri yang tadi terampas lawan, telah meluncur dan menghujam punggungnya sampai tembus ke dadanya! Dia tersentak, terbelalak, lalu jatuh menelungkup.
Melihat betapa tiga orang jagoannya tewas semua, Koan Ki Sek yang sudah menderita nyeri dan ketakutan itu hampir pingsan. Kusir kereta juga ketakutan dan dia sudah berdiri dan hendak melarikan diri, akan tetapi Cin Hay membentak.
“]angan lari!”
Kusir kereta itu berhenti dan celananya menjadi basah! Dia terkencing-kencing saking takutnya. Koan Wan-gwe sendiri lalu merangkak dan berlutut menghadap pemuda itu, mulutnya berkeluh kesah minta dikasihani dan diampuni.
Cin Hay tersenyum dingin. “Kau masih ingat padaku?” tanyanya.
Koan Ki Sek merasa mulutnya remuk dan nyeri sekali, akan tetapi dia memaksa diri mengangguk dan berkata, “...ampunkan... aku... ampunkan...”
“Engkau masih ingat isteriku... wanita muda berpakaian kuning yang mengandung muda itu?”
Koan Ki Sek semakin ketakutan. “Ampun... ampun... bukan aku yang membunuhnya... ia... ia mencakari aku... kuberikan kepada mereka bertiga dan... dan... ampunkan aku...”
Hemm, orang semacam ini memang tidak ada gunanya diberi kesempatan hidup lagi. Paling-paling akan mengulangi perbuatannya yang sesat. Tidak akan sukar bagi hartawan itu untuk mencari pengganti jagoan yang lebih kuat lagi karena dia mampu membayar, dan makin merajalela mengumbar nafsu-nafsunya. Akan tetapi dia teringat akan keadaannya. Dia melakukan perjalanan jauh dan dia membutuhkan biaya. Dari mana dia akan memperoleh uang? Paling baik memperoleh dari hartawan kejam ini!
“Hayo naik ke kereta!” bentaknya, lalu menoleh kepada kusir. “Engkau juga! Bawa aku ke rumahmu, Koan Wan-gwe dan aku ingin menukar nyawamu dengan tiga ratus tail emas!”
“Baik... baik... terima kasih...” Hartawan itu mengangguk, lalu dengan tubuh gemetar dia naik ke dalam kereta, seperti seekor tikus berdekatan dengan kucing ketika dia duduk berdampingan dengan Cin Hay yang nampak tenang saja. Kereta lalu dijalankan oleh kusir yang juga ketakutan itu.
Setelah kereta berhenti di depan gedung tempat tinggal Koan Ki Sek, Cin Hay memegang lengan pria berusia hampir enam puluh tahun itu dan berkata dengan nada suara mengancam, “Cepat suruh orang mengambilkan tiga ratus tail emas. Kalau engkau banyak tingkah, akan kubunuh seketika!” Setelah berkata demikian, Cin Hay menarik hartawan itu turun dari keretanya.
Melihat betapa majikan mereka turun bersama seorang pemuda sederhana yang tampan, dan majikan itu nampak ketakutan, para penjaga dan pelayan saling pandang dengan heran dan bingung. Setelah tiba di rumahnya sendiri, walaupun masih takut menghadapi Cin Hay, namun hartawan itu memperoleh kembali kegalakannya dan dia mendamprat para pelayannya.
“Kenapa kalian bengong saja seperti orang-orang tolol? Cepat panggil nyonya majikan!” Dengan muka manis dia mempersilakan Cin Hay ikut masuk ke ruangan depan.
Ketika seorang wanita berusia hampir lima puluh tahun yang berpakaian mewah, yaitu isteri dari hartawan itu muncul dari dalam, Koan Wan-gwe cepat berkata, “Kumpulkan tiga ratus tail emas dan bawa ke sini. Cepat!”
Agaknya hartawan ini memang biasa bersikap keras, karena biarpun di wajah wanita itu jelas menunjukkan keheranan besar, namun ia tidak berani banyak bertanya, hanya mengangguk dan mengundurkan diri lagi. Hartawan itu duduk dan menyusut keringatnya di muka dan lehernya dengan ujung lengan baju, sedangkan Cin Hay berdiri termenung, tidak memperdulikan penawaran tuan rumah yang mempersilakan dia duduk. Dia terkenang kepada isterinya dan kebenciannya terhadap Koan Ki Sek timbul. Akan tetapi kesadarannya membuat dia melihat kenyataan bahwa hartawan ini hanyalah seorang yang lemah, yang menjadi hamba nafsunya sendiri.
Tak lama kemudian, isteri hartawan itu muncul lagi, diikuti oleh dua orang pelayan pria yang menggotong sebuah karung yang agaknya terisi benda yang berat. Nyonya majikan itu berkata kepada suaminya, nada suaranya takut-takut. “Sudah kukumpulkan semua, hanya ada seratus enam puluh tail emas, tidak ada lagi...”
Koan Wan-gwe nampak pucat ketika dia menoleh kepada Cin Hay dan sambil mengangkat kedua tangan di depan dada diapun berkata. “Harap tai... taihiap maafkan... kami hanya mempunyai seratus enam puluh tail... harap taihiap bersabar, akan kami usahakan... dalam beberapa hari ini... meminjam dari teman-teman dikota...”
Cin Hay merasa bahwa jumlah itu sudah lebih dari cukup untuk bekal hidupnya. Dia menghampiri karung itu, membukanya dan setelah memeriksa bahwa isinya memang benar potongan-potongan emas yang berkilauan, dia lalu memanggul karung itu dengan tangan kirinya. Benda yang beratnya dua puluh kati itu, nampak ringan saja baginya ketika dia mengangkat karung itu ke atas pundaknya, kemudian dia berkata, suaranya lantang.
“Koan Ki Sek, sekarang di depan isterimu, ceritakan apa yang telah kau lakukan terhadap isteriku, tujuh tahun yang lalu.”
Hartawan itu mengerutkan alisnya, memandang kepada isterinya dan kepada dua orang pelayannya, lalu menghardik dua orang pelayan itu, “Kalian pergilah dari sini!” Tentu saja dia tidak menghendaki ceritanya yang memalukan itu akan didengar oleh oleh dua orang pelayan itu.
“Tidak! Kalian juga mendengarkan di sini!” Cin Hay berkata kepada mereka.
Akan tetapi, dua orang pelayan itu tidak mengenal Cin Hay, tentu saja mereka lebih taat kepada majikan mereka dan mereka membalikkan tubuh hendak pergi dari ruangan itu. Cin Hay melompat dan kedua tangannya memegang pundak mereka, sekali tarik dia membuat mereka terpelanting dan di lain saat, dua orang itu sudah tidak mampu menggerakkan kaki karena telah ditotok oleh Cin Hay.
Barulah mereka ketakutan dan maklum bahwa pemuda itu lihai sekali, dan mereka kini dengan tubuh rebah miring terpaksa ikut mendengarkan. Nyonya Koan terkejut melihat kekerasan yang dilakukan Cin Hay dan iapun lari mendekati suaminya.
“Nah, Koan Ki Sek, sekarang berceritalah!” Cin Hay berkata lagi dengan suara keren.
Dengan suara gemetar dan muka pucat akan tetapi penuh keringat, Koan Wan-gwe lalu menceritakan peristiwa tujuh tahun yang lalu di Telaga See-ouw. Kadang-kadang dibantu dan diingatkan oleh Cin Hay, hartawan itu dengan singkat namun jelas menceritakan apa yang telah dilakukannya terhadap Cin Hay dan isterinya.
Betapa See-ouw Sam-houw atas perintahnya telah melukai dan melempar Cin Hay ke dalam telaga, dan merampas isterinya yang cantik. Betapa dia memperkosa wanita muda yang sedang mengandung muda itu di dalam bilik perahu, kemudian menyerahkan wanita yang melawan itu kepada See-ouw Sam-houw. Kemudian betapa tiga orang jagoannya itu memperkosa isterinya Cin Hay bergantian sampai mati dan menguburkan jenazah nyonya muda itu di lereng bukit dekat telaga.
Mendengar cerita yang mengerikan itu, Nyonya Koan menjerit dan menangis. Dia tahu betapa suaminya hidung belang dan mata keranjang, akan tetapi tidak pernah menyangka suaminya akan melakukan perbuatan yang demikian kejamnya.
“Dan tujuh tahun kemudian, baru tadi, dia telah menculik pula seorang gadis dusun yang hendak diperkosanya di dalam kereta!” kata Cin Hay yang kemudian bertanya, “Nyonya, apakah tidak adil namanya kalau sekarang aku datang, merampok hartanya dan mencabut nyawanya?”
Sambil menangis nyonya itu mengangguk-angguk. “Adil... sudah adil... akan tetapi ampunkanlah suamiku ini, tai-hiap...”
Cin Hay menghela napas panjang, lalu memandang hartawan itu. “Manusia tak kenal budi! Isterimu demikian setia dan baik, akan tetapi engkau melakukan perbuatan yang kejam dan jahat di luar rumah! Sepatutnya engkau kubunuh, akan tetapi mengingat isterimu, biarlah kuampuni nyawamu, akan tetapi engkau harus diberi hukuman yang setimpal dengan kejahatanmu!” Berkata demikian, dengan perhitungan yang tepat, Cin Hay menggerakkan kedua tangannya, menotok pinggang dan punggung Koan Ki Sek. Hartawan itu mengeluarkan teriakan panjang dan diapun roboh terpelanting, pingsan. Isterinya menjerit dan menubruknya sambil menangis.
“Nyonya, jangan khawatir, dia tidak akan mati, akan tetapi tidak akan mampu mengganggu wanita lagi. Selamat tinggal,” kata Cin Hay yang melangkah keluar sambil memanggul karung berisi dua puluh kati emas itu. Tak seorangpun penjaga berani menghalangi pemuda yang datang bersama majikan mereka itu.
Tubuh Koan Ki Sek lalu diangkat ke dalam kamarnya dan benar seperti yang diucapkan Cin Hay kepada isteri hartawan itu, Koan Ki Sek tidak mati melainkan jatuh sakit sampai hampir sebulan lamanya dan setelah sembuh, ternyata bahwa anggauta kelaminnya menjadi lumpuh!
Hal ini membuat dia terkejut dan berduka sekali, dan berusaha mengobati dirinya. Dipanggilnya semua tabib pandai, bahkan dia pergi ke kota raja untuk berobat, namun sia-sia saja karena urat syarafnya telah hancur dan rusak oleh totokan yang dilakukan Cin Hay. Selamanya dia tidak akan dapat lagi menggauli wanita dan akhirnya, hartawan inipun sadar akan semua dosanya dan dia merobah cara hidupnya sama sekali.
Semua jagoannya dia keluarkan, dan dia hidup damai dengan para penghuni dusun, bahkan dia kemudian terkenal sebagai seorang dermawan yang agaknya hendak menghabiskan hartanya untuk menolong sesama manusia. Perlahan-lahan, terhapuslah nama buruknya. Kalau tadinya dia ditakuti semua orang, kini mulai berubah pandang mata orang-orang kepadanya, tidak lagi takut, melainkan hormat dan segan, juga berterima kasih...!