SEMENTARA itu, sejak tadi Hek-sim Lo-mo menonton saja dengan sikap tenang. Pembantunya, Tok-gan-liong Yauw Ban juga diam saja. Orang ini tidak akan berani bergerak tanpa perintah dari kepalanya dan dia hanya menanti saja sampai Hek-sim Lo-mo memberi perintah dan petunjuk.
Tadi, melihat gerakan tuan dan nyonya rumah, Hek-sim Lo-mo tertarik dan diam-diam mentertawakan tigabelas orang yang agaknya tidak melihat kenyataan bahwa tuan dan nyonya rumah itu tidak boleh dibuat main-main. Kini, melihat cara mereka membentuk barisan mengepung, timbul kekhawatirannya kalau-kalau tiga belas orang kasar itu akan mengeroyok dan membunuh Thio Wi Han yang amat dibutuhkan tenaganya untuk membuatkan pedang pusaka. Hek-sim Lo-mo lalu berkata kepada pembantu utamanya.
“Cegah mereka membunuh kakek itu!”
Mendengar perintah atasannya ini, Tok-gan-liong Yauw Ban mengangguk dan sekali dia meloncat, tubuhnya sudah melayang dan bagaikan seekor burung terbang saja, dia sudah melewati atas kepala para pengepung lalu tubuhnya melayang turun di tengah kepungan, di depan suami isteri yang siap menghadapi pengeroyokan itu. Tiga belas orang itu terkejut sekali melihat kehebatan gin-kang (Ilmu meringankan tubuh) dari orang ini.
Sementara itu, Yauw Ban menjura kepada Thio Wi Han dan isterinya sambil berkata, “Harap Saudara Thio dan nyonya suka mundur, biarkan aku menghadapi setan-setan ini!”
Tok-gan-liong Yauw Ban adalah seorang tokoh sesat yang terkenal sekali, apa lagi orangnya mudah dikenal, yaitu dari keadaan matanya yang tinggal sebuah saja. Maka, biarpun belum pernah saling bertemu, melihat laki-laki tinggi kurus bermata satu, yang membawa sebatang pedang di punggungnya dan memiliki gin-kang yang luar biasa itu, Kwa Ti yang memimpin rombongan Cap-sha-kwi segera berkata dengan suaranya yang kasar.
“Benarkah dugaan kami bahwa engkau adalah Tok-gan-liong Yauw Ban?”
Yauw Ban memandang tajam dengan mata tunggalnya yang mengeluarkan sinar mencorong. “Benar, akulah Yauw Ban. Sekali ini Cap-sha-kwi bertindak ngawur! Saudara Thio Wi Han adalah seorang yang dihormati dan dibutuhkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan, dari golongan manapun juga. Jasanya sudah amat banyak, kenapa kalian begitu rendah untuk mengganggu dia dan isterinya? Kalau kalian tidak mampu memenuhi syarat yang diajukannya, sepatutnya kalian mundur, tidak memaksanya seperti ini!”
Kwa Ti sudah mendengar akan kelihaian Naga Mata Satu ini, akan tetapi dia berbesar hati karena dia bersama dua belas orang saudaranya, dan kalau mereka maju bersama, mereka tidak gentar menghadapi siapapun juga.
“Tok-gan-liong, jangan sombong engkau! Di antara kita mempunyai wilayah kekuasaan sendiri-sendiri, dan selama ini kita tidak saling mengganggu! Bagaimana sekarang engkau hendak mengganggu kami dan menghalangi kami yang hendak memaksa orang she Thio itu membuatkan golok untuk kami? Harap jangan engkau ikut-ikut! Kami tidak ingin bermusuhan dengan orang segolongan, akan tetapi kalau engkau memaksa, jangan dikira kami takut menghadapi Tok-gan-liong!”
“Singggg...!” Nampak sinar berkilat dan tahu-tahu Tok-gan-liong Yauw Ban sudah mencabut pedangnya, melintangkan pedang di depan dada dan dua jari tangan kirinya menuding ke arah muka Kwa Ti sambil membentak, suaranya nyaring.
“Wie-ho Cap-sha-kwi, hari ini kalian akan runtuh!”
Kwa Ti marah dan sambil memberi isyarat kepada kawan-kawannya, diapun menyerang dengan goloknya. Golok itu digerakkan dengan cepat dan kuat sekali, membacok ke arah leher lawan. Namun, dengan gerakan ringan sekali Yauw Ban mengelak, menarik tubuh kebelakang lalu cepat membalik sambil memutar pedang ketika mendengar suara angin dari belakang. Benar saja, dua orang teman Kwa Ti sudah menyerang dengan golok mereka secara berbareng, hampir bersamaan waktunya dengan serangan yang dilakukan Kwa Ti tadi.
“Trang... tranggg...!” Bunga api berpijar dan dua orang itu meloncat ke belakang karena merasa betapa telapak tangan mereka tergetar hebat. Begitu mereka meloncat ke belakang, tempat mereka sudah diduduki dua orang kawan dan merekapun memutar berganti tempat. Sementara itu, empat batang golok sudah menyambar dari kanan kiri depan dan belakang Yauw Ban!
Hebat bukan main kerja sama dari Cap-sha-kwi itu, namun, Yauw Ban tidak memalukan menjadi pembantu pertama Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Sembilan Setan Tua! Sambil berlompatan dia mengelak, kadang-kadang tubuhnya mencelat ke atas dan setiap kali pedangnya menangkis, tentu golok lawan terpental dan diapun masih sempat pula untuk membalas serangan lawan dengan tusukan atau bacokan pedangnya!
Namun, penjagaan Cap-sha-kwi amat rapat karena mereka saling membantu. Setiap serangan pedang Yauw Ban pasti ditangkis oleh sedikitnya tiga batang golok dan empat batang yang lain sudah menyerangnya dari berbagai sudut, masih dilapis oleh enam orang lain di kepungan belakang yang siap menggantikan kepungan depan kalau sampai terdesak atau terancam!
Golok-golok itu bersimpangan dan menggunting dari kanan kiri dan depan belakang, makin lama semakin cepat dan bertubi-tubi sehingga betapapun lihainya permainan pedang di tangan Tok-gan-liong Yauw Ban, tetap saja dia mulai terdesak dan terhimpit, sukar mendapatkan kesempatan untuk membalas serangan pihak pengeroyok yang mendatangkan gelombang serangan bertubi-tubi dan susul menyusul itu.
Melihat betapa pembantu utamanya terdesak, sepasang alis tebal di muka hitam Hek-sim Lo-mo berkerut, dan sepasang mata yang besar itu mengeluarkan sinar merah. “Yauw Ban, mundurlah!” bentaknya.
Mendengar perintah ini, Yauw Ban cepat meloncat ke belakang. Semua lawannya mendapat angin dan dengan garang tigabelas orang Cap-sha-kwi memainkan golok mereka dan membentuk barisan tiga lapis, setiap jajar empat orang dan Kwa Ti si gendut bopeng itu berada di samping sebagai pemimpin dan pengatur barisan.
Memang Wei-ho Cap-sha-kwi ini selain terkenal sebagai tiga belas orang yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga kalau mereka maju berbareng, maka, mereka membentuk barisan Cap-sha-kwi-tin (Barisan Tiga belas Setan) yang amat tangguh! Karena barisan ini dapat bekerja sama dengan baik, maka Yauw Ban yang memiliki tingkat lebih tinggi dari masing-masing anggauta Wei-ho Cap-sha-kwi juga tidak kuat menahan pengeroyokan mereka.
Hek-sim Lo-mo diam-diam mengerahkan tenaga sakti di tubuhnya dan mempergunakan pula kekuatan sihir yang terkandung dalam suara dan pandang matanya. Datuk sesat peranakan Nepal ini memang selain pandai ilmu silat, juga pandai ilmu sihir!
“Wei-ho Cap-sha-kwi!” terdengar dia berkata, suaranya berwibawa dan sikapnya angkuh. “Apakah mata kalian sudah buta maka tidak mau tunduk kepadaku? Berlututlah kalian dan minta ampun sebelum aku turun tangan dan terlambat bagi kalian!”
Akan tetapi tiga belas orang yang sudah biasa melakukan kekerasan itu tentu saja tidak memperdulikan ancaman kakek tinggi besar muka hitam yang tidak mereka kenal ini. Di dalam dunia ini, kalau mereka maju bersama, tidak ada yang mereka takuti, apa lagi hanya seorang kakek asing yang mukanya jelas menunjukkan bahwa dia seorang dari barat itu.
“Siapakah engkau!” Si gendut Kwa Ti membentak dan mengelebatkan goloknya dengan sikap mengancam. “Sombongmu bukan main, berani menghina kami, berarti engkau akan mampus dengan tubuh menjadi empat belas potong!” Dengan ucapan ini Kwa Ti hendak mengatakan bahwa masing-masing temannya akan membacok satu kali sehingga dengan tigabelas kali bacokan, tubuh kakek hitam itu akan menjadi empat belas potong.
Setelah berkata demikian, dia memberi isyarat kepada para temannya dan merekapun menyerbu dengan teratur karena bagaimanapun juga, melihat sikap sombong kakek hitam itu, Kwa Ti dan teman-temannya dapat menduga hahwa kakek hitam itu tentu lihai. Maka, begitu maju, Wei-ho Cap-sha-kwi sudah menyerang dengan bentuk barisan yang teratur dan saling melindungi, juga saling melanjutkan atau menyambung serangan teman di depan.
Akan tetapi, begitu Hek-sim Lo-mo bergerak, terjadilah keanehan. Kakek ini berdiri tegak dengan kedua kaki terbentang lebar, kedua lutut agak ditekuk, kepala ditegakkan dan kedua lengannya saja yang bergerak. Kedua tangan terbuka dengan telapak tangan menghadap ke depan, membuat gerakan-gerakan seperti mendorong-dorong dan dari mulutnya keluar pekik yang dahsyat seperti gerengan binatang buas dan setiap orang anggauta Cap-sha-kwi yang menyerangnya, dimulai oleh Kwa Ti, begitu terkena dorongan dari jauh ini, terpental dan terjengkang roboh seperti ditumbuk kekuatan yang amat hebat!
Gerengan itu membuat jantung mereka tergetar dan tubuh mereka seperti lumpuh, kemudian angin dorongan yang menyambar keluar dari kedua telapak tangan kakek hitam itu membuat mereka terjengkang dan terbanting keras! Berturut-turut, tiga belas orang itu bergelimpangan dan tentu saja mereka terkejut bukan main.
Kwa Ti adalah seorang tokoh sesat yang banyak pengalaman. Melihat kenyataan ini, diapun maklum bahwa dia dan kawan-kawannya berhadapan dengan orang yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga kalau mereka masih nekat melakukan perlawanan, akhirnya mereka akan mati konyol! Karena itu, diapun mendahului teman-temannya, bangkit dan berlutut di depan kakek hitam itu dan tanpa ragu-ragu lagi diapun berkata dengan suara lantang.
“Locianpwe, mohon ampun... kami takluk dan menyerah... harap lociapwe sudi mengampuni kami...”
Dua belas orang saudara seperguruannya itu terkejut dan heran. Akan tetapi merekapun maklum bahwa kakek hitam itu memang hebat, apa lagi orang selihai Tok-gan-liong Yauw Ban saja agaknya hanya menjadi pembantu orang itu dan nampaknya demikian taat dan takut. Merekapun ikut berlutut minta ampun.
Sejenak Hek-sim Lo-mo tidak bergerak, kedua lengannya tetap diluruskan ke depan, kedua tangan terbuka, siap untuk memukul. Akan tetapi dia memandang kepada tiga belas orang yang berlutut itu dan perlahan-lahan kemarahannya mereda. Bagaimanapun juga, dia membutuhkan pembantu-pembantu yang pandai dan Wei-ho Cap-sha-kwi ini dapat menjadi pembantu yang berguna. Dia lalu berdiri tegak kembali, kemudian menurunkan kedua lengannya dan berkata kepada Tok-gan-liong Yauw Ban.
“Urus dan nasihati mereka sebagai bawahanmu!”
Yauw Ban mengangguk dan diapun melangkah maju, lalu berkata kepada Kwa Ti, “Kalian sungguh masih untung bahwa Beng-cu mengampuni kalian. Ketahuilah bahwa Beng-cu adalah Hek-sim Lo-mo yang kini menjadi Beng-cu di seluruh wilayah He-nan dan Shan-tung. Mulai sekarang, kalian menjadi pembantunya dan bekerja di bawah perintahku. Nah, sekarang beri hormat kepada Beng-cu kita!”
Yauw Ban memimpin mereka menghadap ke arah Hek-sim Lo-mo dan memberi hormat sambil menyebut “Beng-cu”. Cap-sha-kwi mentaati karena mereka terkejut dan takluk benar ketika mendengar disebutnya nama Hek-sim Lo-mo. Tanpa dijelaskanpun mereka mengerti bahwa mereka berhadapan dengan seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua).
“Bagus, sekarang menjauhlah dan menanti perintah Beng-cu selanjutnya di bawah pohon-pohon di sana itu!” kata Yauw Ban.
Tiga belas orang itupun memberi hormat dan dengan taat mereka menjauh dan duduk di atas rumput di bawah segerombolan pohon. Melihat ini, Hek-sim Lo-mo tersenyum puas. Pembantunya, Yauw Ban, memang pandai dan dapat diandalkan.
Sementara itu, kakek Thio Wi Han dan isterinya masih berdiri di pinggir dan sejak tadi mengikuti perkelahian antara Wei-ho Cap-sha-kwi dengan dua orang pendatang baru itu. Ketika mendengar bahwa kakek tinggi besar muka hitam itu adalah Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Sembilan Iblis Tua, diam-diam Thio Wi Han terkejut sekali walaupun tidak nampak perubahan pada wajahnya. Apa lagi melihat cara kakek hitam itu menundukkan Wei-ho Cap-sha-kwi, tahulah dia bahwa Iblis Tua ini benar-benar lihai bukan main dan dia berada dalam kesulitan.
Namun, bukan watak Thio Wi Han untuk merasa gentar menghadapi setiap kesulitan hidup, maka diapun bersikap tenang saja ketika kini Hek-sim Lo-mo dan Yauw Ban menghadapi dia dan isterinya, dan sepasang mata Iblis Tua yang tajam dan liar seperti mata binatang buas itu memandang penuh selidik. Thio Wi Han diam saja, tidak menegur, seolah-olah hendak memperlihatkan bahwa dia berada di rumah sendiri dan dia tidak kalah berwibawa dibandingkan dua orang tamunya yang tidak diundang.
Melihat betapa suami isteri di depannya itu tidak bergerak dan tidak menyapa, kerut merut nampak di kening Hek-sim Lo-mo. Akhirnya dia mengalah dan bertanya dengan suaranya yang berat dan dalam. “Engkau yang bernama Thio Wi Han?”
“Benar, aku Thio Wi Han.”
Kerut merut di antara kedua alis kakek hitam itu makin jelas. Dia yang selama beberapa tahun ini sudah terbiasa ditaati dan dihormati orang, kini melihat sikap Thio Wi Han yang begitu tenang bersahaja, sedikitpun tidak merendah, menjilat atau takut-takut, merasa tidak enak hatinya. “Engkau ahli pembuat senjata pusaka?”
Thio Wi Han mengangguk, sekali ini bahkan tidak menjawab.
Betapa angkuhnya! Melihat ini, Yauw Ban merasa khawatir kalau ketuanya marah, dan dia sendiripun merasa penasaran melihat sikap kakek itu, maka diapun membentak, “Thio Wi Han! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Beliau ini adalah Beng-cu kami, Hek-sim Lo-mo yang disembah oleh ribuan tokoh kang-ouw!”
Thio Wi Han tersenyum. “Tentu saja aku tahu dengan siapa aku berhadapan, yaitu dengan seorang tamu yang tidak diundang. Aku berada di rumahku sendiri, dan aku tidak mengundang kalian semua untuk datang ke sini. Tidak perlu berbelit-belit, ada keperluan apakah kalian datang berkunjung ke sini dan membikin ribut di tempatku ini?”
Sikapnya tenang sekali dan diam-diam Hek-sim Lo-mo kagum. Bukan main kakek ini. Sikap yang dimilikinya itu adalah sikap seseorang yang yakin akan kekuatan dirinya, dan dalam hal ini, agaknya Thio Wi Han yakin akan kemampuannya membuat senjata pusaka dan tahu pula bahwa orang-orang lain membutuhkan dia, sedangkan dia sama sekali tidak membutuhkan kehadiran semua orang itu.
Tiba-tiba Hek-sim Lo-mo tertawa bergelak. Memang watak datuk ini aneh sekali. Sukar menyelami wataknya karena dia dapat berubah-ubah sesuai dengan jalan pikirannya di saat itu. “Thio Wi Han, engkau memang pantas menjadi seorang ahli. Aku kagum kepadamu dan kedatanganku ini adalah untuk minta bantuanmu membuatkan sebuah pedang pusaka untukku.”
Diam-diam Tok-gan-liong Yauw Ban mendengarkan dengan mata terbelalak keheranan. Belum pernah dia melihat sikap dan mendengar kata-kata yang demikian halus merendah dari ketuanya seperti sekarang ini! Dan agaknya Thio Wi Han bukan seorang sombong, melainkan seorang yang memiliki harga diri tinggi dan tidak suka membedakan orang, tidak suka merendahkan diri atau menghina terhadap siapapun. Kini, melihat sikap tamunya ramah dan halus, diapun segera merobah sikap, tersenyum ramah.
“Hek-sim Lo-mo, aku suka membuatkan pedang untuk siapa saja asal memenuhi syarat yang sudah kuadakan selama puluhan tahun. Syarat pertama, pemesan pedang harus membawa bahan yang baik dan dapat kuterima dan kunilai sebagai cukup berharga untuk kutangani. Syarat kedua, pemesan harus memperlihatkan kemampuannya apakah dia patut memiliki pedang pusaka buatanku!”
Kembali datuk itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Thio Wi Han, syaratmu memang tepat. Dan sebaiknya kalau lebih dulu engkau melihat apakah aku pantas memiliki sebuah pedang pusaka buatanmu. Yauw Ban, beri pinjam pedangmu!”
Yauw Ban mencabut pedangnya dan begitu dicabut, tangan Hek-sim Lo-mo bergerak dan tahu-tahu lengan kanannya itu mulur sampai hampir dua meter panjang dan sebelum Yauw Ban sempat mengelak, pedangnya sudah dapat dirampas oleh tangan kanan Hek-sim Lo-mo! Ini saja sudah membuat Thio Wi Han mengangguk-angguk, maklum bahwa datuk itu memang sakti. Yauw Ban sendiri yang biarpun sudah maklum akan kesaktian ketuanya, namun baru pertama kali itu melihat betapa lengan datuk itu dapat mulur demikian panjang dan pedangnya terampas tanpa dia dapat berkutik sama sekali, terbelalak penuh kaget dan kagum.
“Thio Wi Han, lihatlah ilmu pedangku!” Berkata demikian, Hek-sim Lo-mo lalu menggerakkan pedang di tangannya. Pedang itu lenyap menjadi gulungan sinar pedang yang berkilauan, makin lama gulungan sinar itu semakin lebar dan tiba-tiba gulungan itu berubah menjadi sinar meluncur ke atas. Terdengar bunyi keras dan dahan sebatang pohon di situ patah, sedangkan pedang yang sudah meluncur mematahkan dahan itu kini turun kembali dan sudah disambut oleh Hek-sim Lo-mo.
“Bagaimana? Cukup memenuhi syaratkah?” tanyanya kepada Thio Wi Han sambil tersenyum.
“Kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus, cukup memenuhi syarat!” kata Thio Wi Han dengan jujur karena diam-diam diapun kagum sekali melihat ilmu pedang tadi, walaupun dia tahu bahwa ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang golongan sesat yang penuh dengan gerakan tipu muslihat dan kecurangan. “Akan tetapi, syarat pertama harus dipenuhi, yaitu bahan untuk membuat pedang pusaka, dan terus terang saja, Lo-mo, aku agak cerewet dan pilihan dalam hal ini.”
Hek-sim Lo-mo kembali tertawa. Agaknya dia gembira sekali karena dia bertemu dengan orang yang memang patut berhubungan dengan dia. Seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, semangat tinggi dan sikap yang gagah perkasa pula. Sungguh, Thio Wi Han patut disejajarkan dengan para datuk dan mereka yang berkedudukan tinggi. Dia tidak tahu bahwa Thio Wi Han memang seorang yang mempunyai harga diri amat tinggi sehingga kalau ada seorang pembesar tinggi tingkat menteri dari kota raja datang untuk pemesan senjata, diapun menerimanya biasa saja! Bahkan diundang ke kota raja diapun tidak mau pergi!
“Thio Wi Han, kalau engkau menganggap bahan yang kubawa ini kurang pantas untuk dijadikan pedang pusaka, maka aku percaya bahwa engkau sudah menjadi gila! Nah, lihatlah, bahan apakah ini? Aku ingin mengujimu, apakah engkau mengenal benda ini!” Dikeluarkannya sebuah benda bulat sebesar kepalan tangannya. Benda itu warnanya abu-abu, seperti batu akan tetapi agak berat dan ketika digerakkan mengeluarkan sinar aneh.
Melihat benda itu, Thio Wi Han menahan seruannya. “Ahhh... mungkinkah ini...?” bisiknya dan diapun menerima benda itu di atas telapak tangannya. Diperiksanya benda itu, diciumnya, bahkan didekatkan telinga kirinya sambil dipukul-pukul dengan kuku jari tangannya. Sementara itu, Hek-sim Lo-mo, memandang sambil tersenyum bangga. Akhirnya Thio Wi Han memandang wajah kakek hitam itu yang menyeringai kepadanya.
“Thio Wi Han, dapatkah engkau mengenal benda ini?”
Thio Wi Han mengangguk. “Demi Tuhan! Entah bagaimana benda ini dapat terjatuh ke tanganmu, Hek-sim Lo-mo. Padahal, seluruh pendekar dan tokoh kang-ouw memperebutkannya dan mencarinya selama puluhan tahun! Ini adalah Liong-cu, kalau tidak salah inilah Kim-san Liong-cu yang diperebutkan itu!”
“Hebat! Engkau sudah tua akan tetapi penglihatanmu semakin tajam saja, Thio Wi Han. Hal ini menunjukkan bahwa engkau memang ahli dan aku semakin percaya untuk menyerahkan benda ini kepadamu agar dibuatkan sebatang pedang pusaka yang ampuh.” Dia berhenti sebentar lalu menatap wajah kakek itu, “Katakanlah, apakah benda ini memenuhi syaratmu yang pertama tadi?”
Thio Wi Han mengangguk-angguk. “Tentu saja memenuhi syarat! Lebih dari itu malah. Aku merasa terhormat untuk menangani benda mustika keramat ini! Akan tetapi, untuk menentukan benda ini sebaiknya dibuat menjadi senjata apa, lebih dulu akan kuuji dia. Mari, ikutlah dengan aku ke dalam tempat kerjaku, Lo-mo.”
Hek-sim Lo-mo mengangguk dan berkata dengan lantang kepada pembantunya, “Yauw Ban, engkau tunggu di sini saja!”
Yauw Ban mengangguk dan Hek-sim Lo-mo mengikuti tuan rumah memasuki pondok itu, diantar pula oleh isteri Thio Wi Han yang sejak tadi diam saja akan tetapi ikut mengagumi Liong-cu (mustika naga) yang dibawa tamu itu untuk dibuatkan pedang pusaka. Mereka memasuki bagian dapur atau bagian bengkel pembuatan senjata pusaka. Alat-alatnya sederhana saja di tempat itu. Perapian, martil, landasan baja, penjepit, dan lain-lain peralatan pandai besi.
“Liok Hwa, kau nyalakan api,” kata kakek itu kepada isterinya.
Nyonya berusia empat puluh dua tahun yang masih cantik ini tanpa bicara mentaati perintah suaminya dan menyalakan api di perapian. Sedangkan Thio Wi Han yang meletakkan mustika naga itu dengan hati-hati di atas meja kerjanya, lalu mengambil sepanci air dingin. Hek-sim Lo-mo hanya berdiri saja dan mengikuti semua gerak gerik suami isteri itu dengan pandang matanya yang tajam.
Thio Wi Han lalu memegang mustika naga itu dengan jepitan baja, dan menaruhnya di atas nyala api untuk beberapa menit lamanya. Kemudian dia mengangkatnya kembali dan mendekatkan benda itu di bawah hidungnya, dicium-ciumnya uap yang keluar dari situ. Lalu dibenamkan benda itu ke dalam air di panci, dan kembali dia mencium-cium bau benda itu. Setelah benda itu menjadi dingin, dipegangnya dan dikepal-kepal, ditekan-tekan dan diperiksa di bawah sinar matahari yang menyorot masuk melalui jendela.
Barulah dia menarik napas panjang dan duduk di atas bangku, mempersilakan tamunya duduk pula di atas bangku di depannya. Hek-sim Lo-mo duduk dan mereka berhadapan, sama-sama memandang benda yang berada di atas telapak tangan kanan Thio Wi Han. Kembali Thio Wi Han menarik napas, lalu berkata lirih, suaranya seperti orang terharu.
“Tepat seperti yang pernah kubaca dalam kitab kuno mengenai benda yang disebut mustika naga ini, Lo-mo. Entah dia terdapat dalam kepala naga atau tidak, tidak ada yang tahu, akan tetapi kalau benar dia terdapat dalam kepala naga, maka tidak mengherankan kalau naga menjadi mahluk suci yang sakti. Benda ini merupakan campuran dari dua logam yang saling berbedaan, bahkan berlawanan, yaitu logam yang telah menyerap kekuatan Im selama ribuan tahun dan mengandung warna hitam, dan logam kedua telah menyerap kekuatan Yang selama ribuan tahun dan mengandung warna putih. Untuk dijadikan sebatang pedang pusaka, logam ini terlalu banyak karena harus dicampur dengan baja biru yang aseli. Pula, kalau dicampur, tidak akan menjadi sebuah pusaka yang baik.”
“Lalu, bagaimana baiknya?” tanya Hek-sim Lo-mo.
“Sebaiknya harus dipisahkan dulu sehingga merupakan dua logam terpisah. Dan sebaiknya kalau dibuat menjadi dua batang pedang, satu bersifat jantan dan yang kedua bersifat betina. Barulah akan menjadi dua batang pedang pusaka yang amat ampuh dan baik sekali.”
“Bagus, kalau begitu, buatkanlah dua pedang itu untukku!”
“Harus dicampur dengan baja biru yang baik. Logam itu agak sukar didapat akan tetapi kau tentu bisa memperolehnya, Lo-mo..."
“Baja biru? Seperti yang dibawa oleh Wei-ho Cap-sha-kwi tadi.”
Kakek hitam itu melompat keluar dan beberapa lompatan saja membuat dia berdiri dekat tiga belas orang yang menanti di bawah gerombolan pohon. Mereka terkejut melihat kakek hitam ita tiba-tiba muncul dan berada di dekat mereka.
“Beng-cu, ada... ada perintah apakah?” Kwa Ti bertanya dengan muka agak pucat ketakutan.
“Kalian tadi membawa baja biru? Keluarkan!”
Kwa Ti membuka sebuah buntalan dan nampaklah lempengan baja yang warnanya kebiruan.
“Benda ini kuperlukan!” kata Hek-sim Lo-mo sambil matanya memandang tajam kepada Kwa Ti dan kawan-kawan.
“Ah, kalau Beng-cu memerlukannya, silakan ambil saja, Beng-cu.”
Hek-sim Lo-mo mengangguk-angguk. “Bagus, kalian tidak akan menyesal telah membantu aku.” Berkata demikian, dia menyambar buntalan baja biru itu dan sekali berkelebat dia telah melompat ke dalam rumah kembali, meletakkan buntalan itu di atas meja. “Inikah benda itu?”
Thio Wi Han tidak perduli dari mana kakek hitam itu mendapatkannya. Dia membukanya dan mengangguk-angguk, “Benar, inilah baja biru dan sudah cukup untuk campuran dua batang pedang. Baiklah, Lo-mo, aku akan membuatkan dua batang pedang itu dari benda keramat ini.”
“Kapan selesainya?” tanya Hek-sim Lo-mo penuh gairah. Dia membayangkan betapa kalau dia sudah memiliki sepasang pedang pusaka itu, bagaikan harimau dia akan mendapatkan sayap! Kekuasaannya tentu akan semakin meluas dan kelihaiannya bertambah. Tidak akan ada senjata lawan yang akan mampu menandingi dua batang pedang yang dibuat dari Mustika Naga Gunung Emas!
Thio Wi Han mengerutkan alisnya, berpikir sejenak lalu menjawab. “Sedikitnya tiga bulan, Lo-mo.”
“Begitu lamanya!” Hek-sim Lo-mo nampak kecewa.
“Hemm, kau kira membuat dua batang pedang pusaka seperti membuat dua batang pisau dapur saja yang akan selesai dalam waktu beberapa jam? Baru menghancurkan mustika naga ini di atas api membutuhkan waktu lama dan ramu-ramuan yang sukar didapatkan. Belum lagi memisahkan dua logam Im dan Yang itu, dan mencampurinya dengan baja biru. Setelah itu barulah membentuk dua batang pedang dan lain-lain. Kalau bagimu terlalu lama, bawalah kembali benda ini dan cari saja orang lain yang akan mampu membuatkan lebih cepat.”
Kalau saja orang lain yang bicara kepadanya seperti itu, tentu Hek-sim Lo-mo akan menggunakan tangan saktinya mencabut nyawa pembicara itu. Akan tetapi dia membutuhkan tenaga Thio Wi Han, maka diapun tersenyum dan mengalah. “Baiklah! Orang-orangku akan berjaga di luar dan sekitar rumahmu untuk menjaga keamanan mustika naga yang kuserahkan kepadamu. Dan awas kalau sampai benda milikku ini hilang atau kalau sampai dua batang pedang yang kau janjikan itu tidak jadi!”
“Huh, aku bukan orang yang suka melanggar janji seperti kamu!” bentak Thio Wi Han.
Dan isterinya lalu berkata dengan sinar mata marah. “Lo-mo, sudah cukup kau bicara. Pergilah dan tinggalkan suamiku bekerja!”
Hek-sim Lo-mo menyeringai dan mengangguk sambil bangkit berdiri. “Baiklah. Aku pergi sekarang. Tiga bulan lagi aku datang ke sini untuk mengambil dua batang pedangku itu atau... dua batang nyawa kalian!” Tanpa berkata apa-apa lagi diapun meloncat keluar dan Yauw Ban segera menyambutnya.
“Bagaimana, Beng-cu?”
“Suruh Wei-ho Cap-sha-kwi berjaga di sekeliling rumah ini setiap hari, jangan sampai Thio Wi Han terganggu pekerjaannya dan jangan sampai mustika naga itu dirampas orang. Ingat, mereka harus tutup mulut dan tidak boleh banyak bicara tentang kunjungan kita ke sini. Dan engkau sendiri, sedikitnya seminggu dua kali harus menjenguk dan melihat keadaan di sini. Setelah tiga bulan, dua pedang itu selesai dan barulah aku sendiri yang akan datang mengambilnya. Mengerti?”
“Baik, Beng-cu!” kata Yauw Ban.
Hek-sim Lo-mo lalu berkelebat lenyap dan Yauw Ban segera memanggil Wei-ho Cap-sha-kwi yang kini menjadi anak buah Hek-sim Lo-mo, memerintahkan mereka untuk melaksanakan tugas pertama mereka dengan baik.
“Ingat, menjadi pembantu-pembantu Beng-cu hanya ada dua pilihan. Bekerja dengan baik akan mendapatkan imbalan yang amat berharga dan kalian akan dapat hidup berkecukupan, juga terhormat dan terpandang. Sebaliknya, kalau kalian berkhianat, biar kalian lari ke dalam neraka sekalipun, Beng-cu akan dapat menangkap kalian dan kalian akan mengalami siksaan yang akan membuat kalian merasa menyesal telah hidup di dunia ini. Mengerti?”
Demikianlah, Wei-ho Cap-sha-kwi membuat gubuk darurat tak jauh dari rumah Thio Wi Han dan mereka itu setiap saat berjaga dengan bergiliran sehingga tidak pernah gerak gerik suami isteri itu luput dari pengamatan mereka. Tiga-empat hari sekali, Yauw Ban muncul dan menjenguk mereka dan baru pergi lagi setelah merasa puas bahwa tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan, dan bahwa Thio Wi Han setiap hari sibuk di dalam bengkelnya.
Kita tinggalkan dulu Thio Wi Han yang sedang sibuk memenuhi pesanan Hek-sim Lo-mo membuatkan dua batang pedang dari benda keramat bernama Liong-cu itu dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Kim Cu atau yang kini dikenal di daerah Lok-yang sebagai Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam)!
Setelah melakukan balas dendam kepada musuh-musuhnya, Hek-liong-li meninggalkan Lok-yang dan hendak pergi ke Kim-san (Bukit Emas) untuk mencari kuburan tua di mana menurut subonya dahulu disimpan Kim-san Liong-cu yang diperebutkan.bKim Cu melakukan perjalanan dengan wajah cerah. Hatinya dipenuhi kegembiraan karena dengan hasil yang baik sekali baginya, ia telah melakukan balas dendam dan menghajar orang-orang yang dahulu membuat hidupnya sengsara.
Kini ia mengambil keputusan untuk mencari mustika naga seperti yang dipesankan gurunya dan kalau sudah mendapatkannya, ia akan menyuruh seorang ahli membuatkan sebatang pedang dari mustika naga seperti yang pernah didengar dari subonya. Kalau sudah begitu, ia benar-benar siap untuk menentang segala kejahatan di dunia ini. Ia sengsara, kehilangan ayah ibu karena kejahatan yang dilakukan manusia. Kini ia tidak mempunyai apa-apa lagi, tiada sanak keluarga, tiada rumah tinggal, hidup bebas lepas seperti seekor burung di udara.
Dan ia akan menempuh segala macam petualangan hidup dan akan selalu menentang penjahat-penjahat, juga untuk menyenangkan dirinya yang sudah banyak mengalami pahit getir kehidupan dunia. Wajahnya cerah dan langkahnya ringan karena kini tidak ada beban dalam batinnya. Ia benar benar merasa seperti seekor burung yang beterbangan melayang-layang di angkasa!
Kalau orang berjumpa di jalan dengan wanita ini, tentu dia tidak akan menyangka sedikitpun juga bahwa ia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, seorang yang sakti, murid tunggal Huang-ho Kui-bo, seorang datuk wanita yang namanya sudah hampir dilupakan orang karena puluhan tahun wanita tua renta ini bertapa.
Siapa yang akan mengira bahwa wanita cantik jelita, yang usianya baru duapuluh tiga tahun itu, memiliki ilmu kepandaian yang hebat? Tubuh ramping dengan lekuk lengkung tubuh wanita yang sudah matang, padat berisi, dengan kulit yang putih mulus dihias warna kemerahan dan kekuningan.
Kulit yang nampaknya tipis dan halus namun yang sesungguhnya kalau sudah dialiri sinkang yang dikuasai wanita itu, akan menjadi kebal dan tidak akan mudah terluka oleh bacokan senjata tajam! Rambutnya hitam panjang dan halus, agak ikal dan digelung secara sederhana di atas kepala, ditusuk dengan tusuk sanggul dari perak yang dihias ukiran naga kecil di antara bunga teratai.
Wajahnya berbentuk bulat telur, dagunya agak meruncing dengan mulut yang kecil dan manis bentuknya. Sepasang bibir itu, terutama yang bawah, nampak selalu merah membasah, merah aseli bukan karena gincu pemerah bibir. Bibir yang selalu tersenyum itu dihias lesung pipit yang menjadi semakin dalam dan jelas kalau senyumnya melebar, dan di bawah mata kiri terdapat sebuah tahi lalat hitam kecil di atas pipi. Lesung pipit dan tahi lalat kecil menjadi penambah kemanisan yang menggairahkan hati setiap orang pria yang melihatnya.
Sepasang mata yang kadang-kadang mencorong penuh wibawa dan kekuatan itu, hampir selalu nampak bersinar dan jeli sehingga wajahnya seperti orang yang gembira, berseri-seri. Namun, lekukan kecil di tengah dagu membayangkan betapa di balik semua keramahan dan kemanisan itu terdapat kekerasan yang menggiriskan.
Ia tidak membawa senjata apapun, maka orang takkan mengira bahwa ia adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, walaupun kenyataan bahwa seorang wanita muda cantik jelita melakukan perjalanan seorang diri sudah menunjukkan bahwa wanita itu tentulah seorang kang-ouw dan tentu pandai ilmu silat untuk menjaga diri.
Dari Lok-yang ia menuju ke tepi Sungai Kuning dan dari sini ia lalu menyusuri sepanjang pantai sungai yang besar dan panjang ini karena Kim-san atau Bukit Emas berada di lembah Sungai Kuning. Tidak ada peristiwa penting terjadi selama ia melakukan perjalanan itu, akan tetapi pada suatu hari, tibalah ia di dusun Cia-siang teng, sebuah dusun yang menjadi bandar sungai karena di situ orang mengangkut segala macam dagangan seperti rempa-rempa, kayu, bambu dan hasil pertanian lain yang diangkut dengan perahu menuju ke kota-kota di sebelah hilir. Juga terdapat banyak perahu nelayan karena di daerah itu terdapat banyak ikannya.
Karena kesibukan para pengangkut barang dagangan dan para nelayan, maka dusun itu cukup ramai dan pada hari itu, masih cukup pagi, ketika Kim Cu tiba di Cia-siang-teng. Orang-orang sedang sibuk mengangkat barang dagangan ke dalam perahu-perahu dan para nelayan juga sibuk mempersiapkan perahu mereka untuk pergi berlayar mencari ikan.
Karena perkampungan itu juga merupakan perkampungan nelayan, maka ketika memasuki dusun itu, oleh Kim Cu sudah tercium bau amis ikan membusuk, dan nampak banyak ikan-ikan kecil dijemur di depan rumah untuk dijadikan ikan asin. Melihat ini, Kim Cu membayangkan adanya ikan segar dan perutnya yang sejak kemarin siang tidak diisi itu mendadak terasa lapar. Ia lalu pergi ke tepi sungai yang ramai dengan maksud mencari dan membeli ikan segar yang baru ditangkap nelayan.
Begitu Kim Cu tiba di tempat ramai, banyak pasang mata laki-laki melekat kepadanya, bahkan ada pula yang berbisik-bisik dan mereka yang agak nakal dan berani ada yang mengeluarkan suara suitan kagum. Namun, sambil tersenyum manis, Kim Cu tidak memperdulikan mereka semua dan mencari-cari sampai akhirnya ia melihat seorang wanita tua menghadap sekeranjang ikan-ikan segar.
Ketika Kim Cu melihat betapa di dalam keranjang itu, selain ikan, juga terdapat belasan ekor udang besar, timbul seleranya. Sudah lama ia tidak makan udang seperti itu dan ia tahu betapa lezatnya daging udang itu, kalau pandai memasaknya. Ia membungkuk untuk memeriksa apakah udang-udang itu masih segar, disambut oleh nenek yang memuji-muji dagangannya.
Pada saat itu, tak jauh dari situ Kim Cu mendengar suara ribut-ribut. Ia memutar tubuh memandang dan ternyata seorang laki-laki tinggi kurus sedang memukuli seorang laki-laki setengah tua berpakaian nelayan. Laki-laki tinggi kurus itu berpakaian ringkas seperti pakaian japo silat, dan melihat cara dia memukul dan menendang, Kim Cu maklum bahwa orang itu sedikit banyak menguasai ilmu silat.
Laki-laki yang dipukuli itu berusia kurang lebih lima puluh tahun dan dia kini berlutut dalam keadaan babak belur sambil minta ampun. Laki-laki tinggi kurus yang usianya sekitar tiga puluh lima tahun, berdiri di depannya, bertolak pinggang. Sebuah tas tergantung di pinggangnya. Melihat orang yang dipukulinya berlutut minta ampun, dia menyeringai.
“Heh-heh, setelah dihajar, baru minta ampun, ya? Tidak ada ampun, engkau telah menipuku! Kau bilang semalam hanya memperoleh dua keranjang ikan dan kau hanya menyerahkan harga sekeranjang ikan kepadaku! Padahal, menurut penyelidikanku, engkau semalam memperoleh tiga keranjang! Engkau harus dihajar dan dipatahkan kaki tanganmu agar semua nelayan melihatnya dan hukuman ini menjadi contoh!” Berkata demikian, si tinggi kurus itu kembali menendang.
“Bukkk!” dada nelayan itu tertendang, tubuhnya terjengkang dan terguling-guling. Nelayan itu merangkak bangkit dan berlutut kembali. Dari mulutnya keluar darah segar. “Ampunkan saya... benar memang saya telah menyembunyikan hasil yang sekeranjang itu. Akan tetapi... saya butuh uang, anak saya sakit dan sekeranjang ikan itu untuk membeli obat...”
“Alasan! Sesudah mencuri dan ketahuan baru mencari alasan!”
“Saya... saya tidak mencuri... ikan itu hasil pekerjaan saya sendiri semalam suntuk...”
“Mulut busuk! Semua hasil di sungai ini, setengah bagian adalah milik Beng-cu, mengerti? Kami hanya petugas untuk mengumpulkan hasil dan bagian itu, dan engkau berani sekali mencuri, menipu!” Dan kini tangan kaki orang tinggi kurus itu bekerja dengan cepat, memukul dan menendang sehingga nelayan setengah tua itu kembali terguling-guling dan mukanya bengkak-bengkak...
Tadi, melihat gerakan tuan dan nyonya rumah, Hek-sim Lo-mo tertarik dan diam-diam mentertawakan tigabelas orang yang agaknya tidak melihat kenyataan bahwa tuan dan nyonya rumah itu tidak boleh dibuat main-main. Kini, melihat cara mereka membentuk barisan mengepung, timbul kekhawatirannya kalau-kalau tiga belas orang kasar itu akan mengeroyok dan membunuh Thio Wi Han yang amat dibutuhkan tenaganya untuk membuatkan pedang pusaka. Hek-sim Lo-mo lalu berkata kepada pembantu utamanya.
“Cegah mereka membunuh kakek itu!”
Mendengar perintah atasannya ini, Tok-gan-liong Yauw Ban mengangguk dan sekali dia meloncat, tubuhnya sudah melayang dan bagaikan seekor burung terbang saja, dia sudah melewati atas kepala para pengepung lalu tubuhnya melayang turun di tengah kepungan, di depan suami isteri yang siap menghadapi pengeroyokan itu. Tiga belas orang itu terkejut sekali melihat kehebatan gin-kang (Ilmu meringankan tubuh) dari orang ini.
Sementara itu, Yauw Ban menjura kepada Thio Wi Han dan isterinya sambil berkata, “Harap Saudara Thio dan nyonya suka mundur, biarkan aku menghadapi setan-setan ini!”
Tok-gan-liong Yauw Ban adalah seorang tokoh sesat yang terkenal sekali, apa lagi orangnya mudah dikenal, yaitu dari keadaan matanya yang tinggal sebuah saja. Maka, biarpun belum pernah saling bertemu, melihat laki-laki tinggi kurus bermata satu, yang membawa sebatang pedang di punggungnya dan memiliki gin-kang yang luar biasa itu, Kwa Ti yang memimpin rombongan Cap-sha-kwi segera berkata dengan suaranya yang kasar.
“Benarkah dugaan kami bahwa engkau adalah Tok-gan-liong Yauw Ban?”
Yauw Ban memandang tajam dengan mata tunggalnya yang mengeluarkan sinar mencorong. “Benar, akulah Yauw Ban. Sekali ini Cap-sha-kwi bertindak ngawur! Saudara Thio Wi Han adalah seorang yang dihormati dan dibutuhkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan, dari golongan manapun juga. Jasanya sudah amat banyak, kenapa kalian begitu rendah untuk mengganggu dia dan isterinya? Kalau kalian tidak mampu memenuhi syarat yang diajukannya, sepatutnya kalian mundur, tidak memaksanya seperti ini!”
Kwa Ti sudah mendengar akan kelihaian Naga Mata Satu ini, akan tetapi dia berbesar hati karena dia bersama dua belas orang saudaranya, dan kalau mereka maju bersama, mereka tidak gentar menghadapi siapapun juga.
“Tok-gan-liong, jangan sombong engkau! Di antara kita mempunyai wilayah kekuasaan sendiri-sendiri, dan selama ini kita tidak saling mengganggu! Bagaimana sekarang engkau hendak mengganggu kami dan menghalangi kami yang hendak memaksa orang she Thio itu membuatkan golok untuk kami? Harap jangan engkau ikut-ikut! Kami tidak ingin bermusuhan dengan orang segolongan, akan tetapi kalau engkau memaksa, jangan dikira kami takut menghadapi Tok-gan-liong!”
“Singggg...!” Nampak sinar berkilat dan tahu-tahu Tok-gan-liong Yauw Ban sudah mencabut pedangnya, melintangkan pedang di depan dada dan dua jari tangan kirinya menuding ke arah muka Kwa Ti sambil membentak, suaranya nyaring.
“Wie-ho Cap-sha-kwi, hari ini kalian akan runtuh!”
Kwa Ti marah dan sambil memberi isyarat kepada kawan-kawannya, diapun menyerang dengan goloknya. Golok itu digerakkan dengan cepat dan kuat sekali, membacok ke arah leher lawan. Namun, dengan gerakan ringan sekali Yauw Ban mengelak, menarik tubuh kebelakang lalu cepat membalik sambil memutar pedang ketika mendengar suara angin dari belakang. Benar saja, dua orang teman Kwa Ti sudah menyerang dengan golok mereka secara berbareng, hampir bersamaan waktunya dengan serangan yang dilakukan Kwa Ti tadi.
“Trang... tranggg...!” Bunga api berpijar dan dua orang itu meloncat ke belakang karena merasa betapa telapak tangan mereka tergetar hebat. Begitu mereka meloncat ke belakang, tempat mereka sudah diduduki dua orang kawan dan merekapun memutar berganti tempat. Sementara itu, empat batang golok sudah menyambar dari kanan kiri depan dan belakang Yauw Ban!
Hebat bukan main kerja sama dari Cap-sha-kwi itu, namun, Yauw Ban tidak memalukan menjadi pembantu pertama Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Sembilan Setan Tua! Sambil berlompatan dia mengelak, kadang-kadang tubuhnya mencelat ke atas dan setiap kali pedangnya menangkis, tentu golok lawan terpental dan diapun masih sempat pula untuk membalas serangan lawan dengan tusukan atau bacokan pedangnya!
Namun, penjagaan Cap-sha-kwi amat rapat karena mereka saling membantu. Setiap serangan pedang Yauw Ban pasti ditangkis oleh sedikitnya tiga batang golok dan empat batang yang lain sudah menyerangnya dari berbagai sudut, masih dilapis oleh enam orang lain di kepungan belakang yang siap menggantikan kepungan depan kalau sampai terdesak atau terancam!
Golok-golok itu bersimpangan dan menggunting dari kanan kiri dan depan belakang, makin lama semakin cepat dan bertubi-tubi sehingga betapapun lihainya permainan pedang di tangan Tok-gan-liong Yauw Ban, tetap saja dia mulai terdesak dan terhimpit, sukar mendapatkan kesempatan untuk membalas serangan pihak pengeroyok yang mendatangkan gelombang serangan bertubi-tubi dan susul menyusul itu.
Melihat betapa pembantu utamanya terdesak, sepasang alis tebal di muka hitam Hek-sim Lo-mo berkerut, dan sepasang mata yang besar itu mengeluarkan sinar merah. “Yauw Ban, mundurlah!” bentaknya.
Mendengar perintah ini, Yauw Ban cepat meloncat ke belakang. Semua lawannya mendapat angin dan dengan garang tigabelas orang Cap-sha-kwi memainkan golok mereka dan membentuk barisan tiga lapis, setiap jajar empat orang dan Kwa Ti si gendut bopeng itu berada di samping sebagai pemimpin dan pengatur barisan.
Memang Wei-ho Cap-sha-kwi ini selain terkenal sebagai tiga belas orang yang masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga kalau mereka maju berbareng, maka, mereka membentuk barisan Cap-sha-kwi-tin (Barisan Tiga belas Setan) yang amat tangguh! Karena barisan ini dapat bekerja sama dengan baik, maka Yauw Ban yang memiliki tingkat lebih tinggi dari masing-masing anggauta Wei-ho Cap-sha-kwi juga tidak kuat menahan pengeroyokan mereka.
Hek-sim Lo-mo diam-diam mengerahkan tenaga sakti di tubuhnya dan mempergunakan pula kekuatan sihir yang terkandung dalam suara dan pandang matanya. Datuk sesat peranakan Nepal ini memang selain pandai ilmu silat, juga pandai ilmu sihir!
“Wei-ho Cap-sha-kwi!” terdengar dia berkata, suaranya berwibawa dan sikapnya angkuh. “Apakah mata kalian sudah buta maka tidak mau tunduk kepadaku? Berlututlah kalian dan minta ampun sebelum aku turun tangan dan terlambat bagi kalian!”
Akan tetapi tiga belas orang yang sudah biasa melakukan kekerasan itu tentu saja tidak memperdulikan ancaman kakek tinggi besar muka hitam yang tidak mereka kenal ini. Di dalam dunia ini, kalau mereka maju bersama, tidak ada yang mereka takuti, apa lagi hanya seorang kakek asing yang mukanya jelas menunjukkan bahwa dia seorang dari barat itu.
“Siapakah engkau!” Si gendut Kwa Ti membentak dan mengelebatkan goloknya dengan sikap mengancam. “Sombongmu bukan main, berani menghina kami, berarti engkau akan mampus dengan tubuh menjadi empat belas potong!” Dengan ucapan ini Kwa Ti hendak mengatakan bahwa masing-masing temannya akan membacok satu kali sehingga dengan tigabelas kali bacokan, tubuh kakek hitam itu akan menjadi empat belas potong.
Setelah berkata demikian, dia memberi isyarat kepada para temannya dan merekapun menyerbu dengan teratur karena bagaimanapun juga, melihat sikap sombong kakek hitam itu, Kwa Ti dan teman-temannya dapat menduga hahwa kakek hitam itu tentu lihai. Maka, begitu maju, Wei-ho Cap-sha-kwi sudah menyerang dengan bentuk barisan yang teratur dan saling melindungi, juga saling melanjutkan atau menyambung serangan teman di depan.
Akan tetapi, begitu Hek-sim Lo-mo bergerak, terjadilah keanehan. Kakek ini berdiri tegak dengan kedua kaki terbentang lebar, kedua lutut agak ditekuk, kepala ditegakkan dan kedua lengannya saja yang bergerak. Kedua tangan terbuka dengan telapak tangan menghadap ke depan, membuat gerakan-gerakan seperti mendorong-dorong dan dari mulutnya keluar pekik yang dahsyat seperti gerengan binatang buas dan setiap orang anggauta Cap-sha-kwi yang menyerangnya, dimulai oleh Kwa Ti, begitu terkena dorongan dari jauh ini, terpental dan terjengkang roboh seperti ditumbuk kekuatan yang amat hebat!
Gerengan itu membuat jantung mereka tergetar dan tubuh mereka seperti lumpuh, kemudian angin dorongan yang menyambar keluar dari kedua telapak tangan kakek hitam itu membuat mereka terjengkang dan terbanting keras! Berturut-turut, tiga belas orang itu bergelimpangan dan tentu saja mereka terkejut bukan main.
Kwa Ti adalah seorang tokoh sesat yang banyak pengalaman. Melihat kenyataan ini, diapun maklum bahwa dia dan kawan-kawannya berhadapan dengan orang yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga kalau mereka masih nekat melakukan perlawanan, akhirnya mereka akan mati konyol! Karena itu, diapun mendahului teman-temannya, bangkit dan berlutut di depan kakek hitam itu dan tanpa ragu-ragu lagi diapun berkata dengan suara lantang.
“Locianpwe, mohon ampun... kami takluk dan menyerah... harap lociapwe sudi mengampuni kami...”
Dua belas orang saudara seperguruannya itu terkejut dan heran. Akan tetapi merekapun maklum bahwa kakek hitam itu memang hebat, apa lagi orang selihai Tok-gan-liong Yauw Ban saja agaknya hanya menjadi pembantu orang itu dan nampaknya demikian taat dan takut. Merekapun ikut berlutut minta ampun.
Sejenak Hek-sim Lo-mo tidak bergerak, kedua lengannya tetap diluruskan ke depan, kedua tangan terbuka, siap untuk memukul. Akan tetapi dia memandang kepada tiga belas orang yang berlutut itu dan perlahan-lahan kemarahannya mereda. Bagaimanapun juga, dia membutuhkan pembantu-pembantu yang pandai dan Wei-ho Cap-sha-kwi ini dapat menjadi pembantu yang berguna. Dia lalu berdiri tegak kembali, kemudian menurunkan kedua lengannya dan berkata kepada Tok-gan-liong Yauw Ban.
“Urus dan nasihati mereka sebagai bawahanmu!”
Yauw Ban mengangguk dan diapun melangkah maju, lalu berkata kepada Kwa Ti, “Kalian sungguh masih untung bahwa Beng-cu mengampuni kalian. Ketahuilah bahwa Beng-cu adalah Hek-sim Lo-mo yang kini menjadi Beng-cu di seluruh wilayah He-nan dan Shan-tung. Mulai sekarang, kalian menjadi pembantunya dan bekerja di bawah perintahku. Nah, sekarang beri hormat kepada Beng-cu kita!”
Yauw Ban memimpin mereka menghadap ke arah Hek-sim Lo-mo dan memberi hormat sambil menyebut “Beng-cu”. Cap-sha-kwi mentaati karena mereka terkejut dan takluk benar ketika mendengar disebutnya nama Hek-sim Lo-mo. Tanpa dijelaskanpun mereka mengerti bahwa mereka berhadapan dengan seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua).
“Bagus, sekarang menjauhlah dan menanti perintah Beng-cu selanjutnya di bawah pohon-pohon di sana itu!” kata Yauw Ban.
Tiga belas orang itupun memberi hormat dan dengan taat mereka menjauh dan duduk di atas rumput di bawah segerombolan pohon. Melihat ini, Hek-sim Lo-mo tersenyum puas. Pembantunya, Yauw Ban, memang pandai dan dapat diandalkan.
Sementara itu, kakek Thio Wi Han dan isterinya masih berdiri di pinggir dan sejak tadi mengikuti perkelahian antara Wei-ho Cap-sha-kwi dengan dua orang pendatang baru itu. Ketika mendengar bahwa kakek tinggi besar muka hitam itu adalah Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Sembilan Iblis Tua, diam-diam Thio Wi Han terkejut sekali walaupun tidak nampak perubahan pada wajahnya. Apa lagi melihat cara kakek hitam itu menundukkan Wei-ho Cap-sha-kwi, tahulah dia bahwa Iblis Tua ini benar-benar lihai bukan main dan dia berada dalam kesulitan.
Namun, bukan watak Thio Wi Han untuk merasa gentar menghadapi setiap kesulitan hidup, maka diapun bersikap tenang saja ketika kini Hek-sim Lo-mo dan Yauw Ban menghadapi dia dan isterinya, dan sepasang mata Iblis Tua yang tajam dan liar seperti mata binatang buas itu memandang penuh selidik. Thio Wi Han diam saja, tidak menegur, seolah-olah hendak memperlihatkan bahwa dia berada di rumah sendiri dan dia tidak kalah berwibawa dibandingkan dua orang tamunya yang tidak diundang.
Melihat betapa suami isteri di depannya itu tidak bergerak dan tidak menyapa, kerut merut nampak di kening Hek-sim Lo-mo. Akhirnya dia mengalah dan bertanya dengan suaranya yang berat dan dalam. “Engkau yang bernama Thio Wi Han?”
“Benar, aku Thio Wi Han.”
Kerut merut di antara kedua alis kakek hitam itu makin jelas. Dia yang selama beberapa tahun ini sudah terbiasa ditaati dan dihormati orang, kini melihat sikap Thio Wi Han yang begitu tenang bersahaja, sedikitpun tidak merendah, menjilat atau takut-takut, merasa tidak enak hatinya. “Engkau ahli pembuat senjata pusaka?”
Thio Wi Han mengangguk, sekali ini bahkan tidak menjawab.
Betapa angkuhnya! Melihat ini, Yauw Ban merasa khawatir kalau ketuanya marah, dan dia sendiripun merasa penasaran melihat sikap kakek itu, maka diapun membentak, “Thio Wi Han! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Beliau ini adalah Beng-cu kami, Hek-sim Lo-mo yang disembah oleh ribuan tokoh kang-ouw!”
Thio Wi Han tersenyum. “Tentu saja aku tahu dengan siapa aku berhadapan, yaitu dengan seorang tamu yang tidak diundang. Aku berada di rumahku sendiri, dan aku tidak mengundang kalian semua untuk datang ke sini. Tidak perlu berbelit-belit, ada keperluan apakah kalian datang berkunjung ke sini dan membikin ribut di tempatku ini?”
Sikapnya tenang sekali dan diam-diam Hek-sim Lo-mo kagum. Bukan main kakek ini. Sikap yang dimilikinya itu adalah sikap seseorang yang yakin akan kekuatan dirinya, dan dalam hal ini, agaknya Thio Wi Han yakin akan kemampuannya membuat senjata pusaka dan tahu pula bahwa orang-orang lain membutuhkan dia, sedangkan dia sama sekali tidak membutuhkan kehadiran semua orang itu.
Tiba-tiba Hek-sim Lo-mo tertawa bergelak. Memang watak datuk ini aneh sekali. Sukar menyelami wataknya karena dia dapat berubah-ubah sesuai dengan jalan pikirannya di saat itu. “Thio Wi Han, engkau memang pantas menjadi seorang ahli. Aku kagum kepadamu dan kedatanganku ini adalah untuk minta bantuanmu membuatkan sebuah pedang pusaka untukku.”
Diam-diam Tok-gan-liong Yauw Ban mendengarkan dengan mata terbelalak keheranan. Belum pernah dia melihat sikap dan mendengar kata-kata yang demikian halus merendah dari ketuanya seperti sekarang ini! Dan agaknya Thio Wi Han bukan seorang sombong, melainkan seorang yang memiliki harga diri tinggi dan tidak suka membedakan orang, tidak suka merendahkan diri atau menghina terhadap siapapun. Kini, melihat sikap tamunya ramah dan halus, diapun segera merobah sikap, tersenyum ramah.
“Hek-sim Lo-mo, aku suka membuatkan pedang untuk siapa saja asal memenuhi syarat yang sudah kuadakan selama puluhan tahun. Syarat pertama, pemesan pedang harus membawa bahan yang baik dan dapat kuterima dan kunilai sebagai cukup berharga untuk kutangani. Syarat kedua, pemesan harus memperlihatkan kemampuannya apakah dia patut memiliki pedang pusaka buatanku!”
Kembali datuk itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Thio Wi Han, syaratmu memang tepat. Dan sebaiknya kalau lebih dulu engkau melihat apakah aku pantas memiliki sebuah pedang pusaka buatanmu. Yauw Ban, beri pinjam pedangmu!”
Yauw Ban mencabut pedangnya dan begitu dicabut, tangan Hek-sim Lo-mo bergerak dan tahu-tahu lengan kanannya itu mulur sampai hampir dua meter panjang dan sebelum Yauw Ban sempat mengelak, pedangnya sudah dapat dirampas oleh tangan kanan Hek-sim Lo-mo! Ini saja sudah membuat Thio Wi Han mengangguk-angguk, maklum bahwa datuk itu memang sakti. Yauw Ban sendiri yang biarpun sudah maklum akan kesaktian ketuanya, namun baru pertama kali itu melihat betapa lengan datuk itu dapat mulur demikian panjang dan pedangnya terampas tanpa dia dapat berkutik sama sekali, terbelalak penuh kaget dan kagum.
“Thio Wi Han, lihatlah ilmu pedangku!” Berkata demikian, Hek-sim Lo-mo lalu menggerakkan pedang di tangannya. Pedang itu lenyap menjadi gulungan sinar pedang yang berkilauan, makin lama gulungan sinar itu semakin lebar dan tiba-tiba gulungan itu berubah menjadi sinar meluncur ke atas. Terdengar bunyi keras dan dahan sebatang pohon di situ patah, sedangkan pedang yang sudah meluncur mematahkan dahan itu kini turun kembali dan sudah disambut oleh Hek-sim Lo-mo.
“Bagaimana? Cukup memenuhi syaratkah?” tanyanya kepada Thio Wi Han sambil tersenyum.
“Kiam-sut (ilmu pedang) yang bagus, cukup memenuhi syarat!” kata Thio Wi Han dengan jujur karena diam-diam diapun kagum sekali melihat ilmu pedang tadi, walaupun dia tahu bahwa ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang golongan sesat yang penuh dengan gerakan tipu muslihat dan kecurangan. “Akan tetapi, syarat pertama harus dipenuhi, yaitu bahan untuk membuat pedang pusaka, dan terus terang saja, Lo-mo, aku agak cerewet dan pilihan dalam hal ini.”
Hek-sim Lo-mo kembali tertawa. Agaknya dia gembira sekali karena dia bertemu dengan orang yang memang patut berhubungan dengan dia. Seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, semangat tinggi dan sikap yang gagah perkasa pula. Sungguh, Thio Wi Han patut disejajarkan dengan para datuk dan mereka yang berkedudukan tinggi. Dia tidak tahu bahwa Thio Wi Han memang seorang yang mempunyai harga diri amat tinggi sehingga kalau ada seorang pembesar tinggi tingkat menteri dari kota raja datang untuk pemesan senjata, diapun menerimanya biasa saja! Bahkan diundang ke kota raja diapun tidak mau pergi!
“Thio Wi Han, kalau engkau menganggap bahan yang kubawa ini kurang pantas untuk dijadikan pedang pusaka, maka aku percaya bahwa engkau sudah menjadi gila! Nah, lihatlah, bahan apakah ini? Aku ingin mengujimu, apakah engkau mengenal benda ini!” Dikeluarkannya sebuah benda bulat sebesar kepalan tangannya. Benda itu warnanya abu-abu, seperti batu akan tetapi agak berat dan ketika digerakkan mengeluarkan sinar aneh.
Melihat benda itu, Thio Wi Han menahan seruannya. “Ahhh... mungkinkah ini...?” bisiknya dan diapun menerima benda itu di atas telapak tangannya. Diperiksanya benda itu, diciumnya, bahkan didekatkan telinga kirinya sambil dipukul-pukul dengan kuku jari tangannya. Sementara itu, Hek-sim Lo-mo, memandang sambil tersenyum bangga. Akhirnya Thio Wi Han memandang wajah kakek hitam itu yang menyeringai kepadanya.
“Thio Wi Han, dapatkah engkau mengenal benda ini?”
Thio Wi Han mengangguk. “Demi Tuhan! Entah bagaimana benda ini dapat terjatuh ke tanganmu, Hek-sim Lo-mo. Padahal, seluruh pendekar dan tokoh kang-ouw memperebutkannya dan mencarinya selama puluhan tahun! Ini adalah Liong-cu, kalau tidak salah inilah Kim-san Liong-cu yang diperebutkan itu!”
“Hebat! Engkau sudah tua akan tetapi penglihatanmu semakin tajam saja, Thio Wi Han. Hal ini menunjukkan bahwa engkau memang ahli dan aku semakin percaya untuk menyerahkan benda ini kepadamu agar dibuatkan sebatang pedang pusaka yang ampuh.” Dia berhenti sebentar lalu menatap wajah kakek itu, “Katakanlah, apakah benda ini memenuhi syaratmu yang pertama tadi?”
Thio Wi Han mengangguk-angguk. “Tentu saja memenuhi syarat! Lebih dari itu malah. Aku merasa terhormat untuk menangani benda mustika keramat ini! Akan tetapi, untuk menentukan benda ini sebaiknya dibuat menjadi senjata apa, lebih dulu akan kuuji dia. Mari, ikutlah dengan aku ke dalam tempat kerjaku, Lo-mo.”
Hek-sim Lo-mo mengangguk dan berkata dengan lantang kepada pembantunya, “Yauw Ban, engkau tunggu di sini saja!”
Yauw Ban mengangguk dan Hek-sim Lo-mo mengikuti tuan rumah memasuki pondok itu, diantar pula oleh isteri Thio Wi Han yang sejak tadi diam saja akan tetapi ikut mengagumi Liong-cu (mustika naga) yang dibawa tamu itu untuk dibuatkan pedang pusaka. Mereka memasuki bagian dapur atau bagian bengkel pembuatan senjata pusaka. Alat-alatnya sederhana saja di tempat itu. Perapian, martil, landasan baja, penjepit, dan lain-lain peralatan pandai besi.
“Liok Hwa, kau nyalakan api,” kata kakek itu kepada isterinya.
Nyonya berusia empat puluh dua tahun yang masih cantik ini tanpa bicara mentaati perintah suaminya dan menyalakan api di perapian. Sedangkan Thio Wi Han yang meletakkan mustika naga itu dengan hati-hati di atas meja kerjanya, lalu mengambil sepanci air dingin. Hek-sim Lo-mo hanya berdiri saja dan mengikuti semua gerak gerik suami isteri itu dengan pandang matanya yang tajam.
Thio Wi Han lalu memegang mustika naga itu dengan jepitan baja, dan menaruhnya di atas nyala api untuk beberapa menit lamanya. Kemudian dia mengangkatnya kembali dan mendekatkan benda itu di bawah hidungnya, dicium-ciumnya uap yang keluar dari situ. Lalu dibenamkan benda itu ke dalam air di panci, dan kembali dia mencium-cium bau benda itu. Setelah benda itu menjadi dingin, dipegangnya dan dikepal-kepal, ditekan-tekan dan diperiksa di bawah sinar matahari yang menyorot masuk melalui jendela.
Barulah dia menarik napas panjang dan duduk di atas bangku, mempersilakan tamunya duduk pula di atas bangku di depannya. Hek-sim Lo-mo duduk dan mereka berhadapan, sama-sama memandang benda yang berada di atas telapak tangan kanan Thio Wi Han. Kembali Thio Wi Han menarik napas, lalu berkata lirih, suaranya seperti orang terharu.
“Tepat seperti yang pernah kubaca dalam kitab kuno mengenai benda yang disebut mustika naga ini, Lo-mo. Entah dia terdapat dalam kepala naga atau tidak, tidak ada yang tahu, akan tetapi kalau benar dia terdapat dalam kepala naga, maka tidak mengherankan kalau naga menjadi mahluk suci yang sakti. Benda ini merupakan campuran dari dua logam yang saling berbedaan, bahkan berlawanan, yaitu logam yang telah menyerap kekuatan Im selama ribuan tahun dan mengandung warna hitam, dan logam kedua telah menyerap kekuatan Yang selama ribuan tahun dan mengandung warna putih. Untuk dijadikan sebatang pedang pusaka, logam ini terlalu banyak karena harus dicampur dengan baja biru yang aseli. Pula, kalau dicampur, tidak akan menjadi sebuah pusaka yang baik.”
“Lalu, bagaimana baiknya?” tanya Hek-sim Lo-mo.
“Sebaiknya harus dipisahkan dulu sehingga merupakan dua logam terpisah. Dan sebaiknya kalau dibuat menjadi dua batang pedang, satu bersifat jantan dan yang kedua bersifat betina. Barulah akan menjadi dua batang pedang pusaka yang amat ampuh dan baik sekali.”
“Bagus, kalau begitu, buatkanlah dua pedang itu untukku!”
“Harus dicampur dengan baja biru yang baik. Logam itu agak sukar didapat akan tetapi kau tentu bisa memperolehnya, Lo-mo..."
“Baja biru? Seperti yang dibawa oleh Wei-ho Cap-sha-kwi tadi.”
Kakek hitam itu melompat keluar dan beberapa lompatan saja membuat dia berdiri dekat tiga belas orang yang menanti di bawah gerombolan pohon. Mereka terkejut melihat kakek hitam ita tiba-tiba muncul dan berada di dekat mereka.
“Beng-cu, ada... ada perintah apakah?” Kwa Ti bertanya dengan muka agak pucat ketakutan.
“Kalian tadi membawa baja biru? Keluarkan!”
Kwa Ti membuka sebuah buntalan dan nampaklah lempengan baja yang warnanya kebiruan.
“Benda ini kuperlukan!” kata Hek-sim Lo-mo sambil matanya memandang tajam kepada Kwa Ti dan kawan-kawan.
“Ah, kalau Beng-cu memerlukannya, silakan ambil saja, Beng-cu.”
Hek-sim Lo-mo mengangguk-angguk. “Bagus, kalian tidak akan menyesal telah membantu aku.” Berkata demikian, dia menyambar buntalan baja biru itu dan sekali berkelebat dia telah melompat ke dalam rumah kembali, meletakkan buntalan itu di atas meja. “Inikah benda itu?”
Thio Wi Han tidak perduli dari mana kakek hitam itu mendapatkannya. Dia membukanya dan mengangguk-angguk, “Benar, inilah baja biru dan sudah cukup untuk campuran dua batang pedang. Baiklah, Lo-mo, aku akan membuatkan dua batang pedang itu dari benda keramat ini.”
“Kapan selesainya?” tanya Hek-sim Lo-mo penuh gairah. Dia membayangkan betapa kalau dia sudah memiliki sepasang pedang pusaka itu, bagaikan harimau dia akan mendapatkan sayap! Kekuasaannya tentu akan semakin meluas dan kelihaiannya bertambah. Tidak akan ada senjata lawan yang akan mampu menandingi dua batang pedang yang dibuat dari Mustika Naga Gunung Emas!
Thio Wi Han mengerutkan alisnya, berpikir sejenak lalu menjawab. “Sedikitnya tiga bulan, Lo-mo.”
“Begitu lamanya!” Hek-sim Lo-mo nampak kecewa.
“Hemm, kau kira membuat dua batang pedang pusaka seperti membuat dua batang pisau dapur saja yang akan selesai dalam waktu beberapa jam? Baru menghancurkan mustika naga ini di atas api membutuhkan waktu lama dan ramu-ramuan yang sukar didapatkan. Belum lagi memisahkan dua logam Im dan Yang itu, dan mencampurinya dengan baja biru. Setelah itu barulah membentuk dua batang pedang dan lain-lain. Kalau bagimu terlalu lama, bawalah kembali benda ini dan cari saja orang lain yang akan mampu membuatkan lebih cepat.”
Kalau saja orang lain yang bicara kepadanya seperti itu, tentu Hek-sim Lo-mo akan menggunakan tangan saktinya mencabut nyawa pembicara itu. Akan tetapi dia membutuhkan tenaga Thio Wi Han, maka diapun tersenyum dan mengalah. “Baiklah! Orang-orangku akan berjaga di luar dan sekitar rumahmu untuk menjaga keamanan mustika naga yang kuserahkan kepadamu. Dan awas kalau sampai benda milikku ini hilang atau kalau sampai dua batang pedang yang kau janjikan itu tidak jadi!”
“Huh, aku bukan orang yang suka melanggar janji seperti kamu!” bentak Thio Wi Han.
Dan isterinya lalu berkata dengan sinar mata marah. “Lo-mo, sudah cukup kau bicara. Pergilah dan tinggalkan suamiku bekerja!”
Hek-sim Lo-mo menyeringai dan mengangguk sambil bangkit berdiri. “Baiklah. Aku pergi sekarang. Tiga bulan lagi aku datang ke sini untuk mengambil dua batang pedangku itu atau... dua batang nyawa kalian!” Tanpa berkata apa-apa lagi diapun meloncat keluar dan Yauw Ban segera menyambutnya.
“Bagaimana, Beng-cu?”
“Suruh Wei-ho Cap-sha-kwi berjaga di sekeliling rumah ini setiap hari, jangan sampai Thio Wi Han terganggu pekerjaannya dan jangan sampai mustika naga itu dirampas orang. Ingat, mereka harus tutup mulut dan tidak boleh banyak bicara tentang kunjungan kita ke sini. Dan engkau sendiri, sedikitnya seminggu dua kali harus menjenguk dan melihat keadaan di sini. Setelah tiga bulan, dua pedang itu selesai dan barulah aku sendiri yang akan datang mengambilnya. Mengerti?”
“Baik, Beng-cu!” kata Yauw Ban.
Hek-sim Lo-mo lalu berkelebat lenyap dan Yauw Ban segera memanggil Wei-ho Cap-sha-kwi yang kini menjadi anak buah Hek-sim Lo-mo, memerintahkan mereka untuk melaksanakan tugas pertama mereka dengan baik.
“Ingat, menjadi pembantu-pembantu Beng-cu hanya ada dua pilihan. Bekerja dengan baik akan mendapatkan imbalan yang amat berharga dan kalian akan dapat hidup berkecukupan, juga terhormat dan terpandang. Sebaliknya, kalau kalian berkhianat, biar kalian lari ke dalam neraka sekalipun, Beng-cu akan dapat menangkap kalian dan kalian akan mengalami siksaan yang akan membuat kalian merasa menyesal telah hidup di dunia ini. Mengerti?”
Demikianlah, Wei-ho Cap-sha-kwi membuat gubuk darurat tak jauh dari rumah Thio Wi Han dan mereka itu setiap saat berjaga dengan bergiliran sehingga tidak pernah gerak gerik suami isteri itu luput dari pengamatan mereka. Tiga-empat hari sekali, Yauw Ban muncul dan menjenguk mereka dan baru pergi lagi setelah merasa puas bahwa tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan, dan bahwa Thio Wi Han setiap hari sibuk di dalam bengkelnya.
********************
Kita tinggalkan dulu Thio Wi Han yang sedang sibuk memenuhi pesanan Hek-sim Lo-mo membuatkan dua batang pedang dari benda keramat bernama Liong-cu itu dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Kim Cu atau yang kini dikenal di daerah Lok-yang sebagai Hek-liong-li (Dewi Naga Hitam)!
Setelah melakukan balas dendam kepada musuh-musuhnya, Hek-liong-li meninggalkan Lok-yang dan hendak pergi ke Kim-san (Bukit Emas) untuk mencari kuburan tua di mana menurut subonya dahulu disimpan Kim-san Liong-cu yang diperebutkan.bKim Cu melakukan perjalanan dengan wajah cerah. Hatinya dipenuhi kegembiraan karena dengan hasil yang baik sekali baginya, ia telah melakukan balas dendam dan menghajar orang-orang yang dahulu membuat hidupnya sengsara.
Kini ia mengambil keputusan untuk mencari mustika naga seperti yang dipesankan gurunya dan kalau sudah mendapatkannya, ia akan menyuruh seorang ahli membuatkan sebatang pedang dari mustika naga seperti yang pernah didengar dari subonya. Kalau sudah begitu, ia benar-benar siap untuk menentang segala kejahatan di dunia ini. Ia sengsara, kehilangan ayah ibu karena kejahatan yang dilakukan manusia. Kini ia tidak mempunyai apa-apa lagi, tiada sanak keluarga, tiada rumah tinggal, hidup bebas lepas seperti seekor burung di udara.
Dan ia akan menempuh segala macam petualangan hidup dan akan selalu menentang penjahat-penjahat, juga untuk menyenangkan dirinya yang sudah banyak mengalami pahit getir kehidupan dunia. Wajahnya cerah dan langkahnya ringan karena kini tidak ada beban dalam batinnya. Ia benar benar merasa seperti seekor burung yang beterbangan melayang-layang di angkasa!
Kalau orang berjumpa di jalan dengan wanita ini, tentu dia tidak akan menyangka sedikitpun juga bahwa ia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, seorang yang sakti, murid tunggal Huang-ho Kui-bo, seorang datuk wanita yang namanya sudah hampir dilupakan orang karena puluhan tahun wanita tua renta ini bertapa.
Siapa yang akan mengira bahwa wanita cantik jelita, yang usianya baru duapuluh tiga tahun itu, memiliki ilmu kepandaian yang hebat? Tubuh ramping dengan lekuk lengkung tubuh wanita yang sudah matang, padat berisi, dengan kulit yang putih mulus dihias warna kemerahan dan kekuningan.
Kulit yang nampaknya tipis dan halus namun yang sesungguhnya kalau sudah dialiri sinkang yang dikuasai wanita itu, akan menjadi kebal dan tidak akan mudah terluka oleh bacokan senjata tajam! Rambutnya hitam panjang dan halus, agak ikal dan digelung secara sederhana di atas kepala, ditusuk dengan tusuk sanggul dari perak yang dihias ukiran naga kecil di antara bunga teratai.
Wajahnya berbentuk bulat telur, dagunya agak meruncing dengan mulut yang kecil dan manis bentuknya. Sepasang bibir itu, terutama yang bawah, nampak selalu merah membasah, merah aseli bukan karena gincu pemerah bibir. Bibir yang selalu tersenyum itu dihias lesung pipit yang menjadi semakin dalam dan jelas kalau senyumnya melebar, dan di bawah mata kiri terdapat sebuah tahi lalat hitam kecil di atas pipi. Lesung pipit dan tahi lalat kecil menjadi penambah kemanisan yang menggairahkan hati setiap orang pria yang melihatnya.
Sepasang mata yang kadang-kadang mencorong penuh wibawa dan kekuatan itu, hampir selalu nampak bersinar dan jeli sehingga wajahnya seperti orang yang gembira, berseri-seri. Namun, lekukan kecil di tengah dagu membayangkan betapa di balik semua keramahan dan kemanisan itu terdapat kekerasan yang menggiriskan.
Ia tidak membawa senjata apapun, maka orang takkan mengira bahwa ia adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, walaupun kenyataan bahwa seorang wanita muda cantik jelita melakukan perjalanan seorang diri sudah menunjukkan bahwa wanita itu tentulah seorang kang-ouw dan tentu pandai ilmu silat untuk menjaga diri.
Dari Lok-yang ia menuju ke tepi Sungai Kuning dan dari sini ia lalu menyusuri sepanjang pantai sungai yang besar dan panjang ini karena Kim-san atau Bukit Emas berada di lembah Sungai Kuning. Tidak ada peristiwa penting terjadi selama ia melakukan perjalanan itu, akan tetapi pada suatu hari, tibalah ia di dusun Cia-siang teng, sebuah dusun yang menjadi bandar sungai karena di situ orang mengangkut segala macam dagangan seperti rempa-rempa, kayu, bambu dan hasil pertanian lain yang diangkut dengan perahu menuju ke kota-kota di sebelah hilir. Juga terdapat banyak perahu nelayan karena di daerah itu terdapat banyak ikannya.
Karena kesibukan para pengangkut barang dagangan dan para nelayan, maka dusun itu cukup ramai dan pada hari itu, masih cukup pagi, ketika Kim Cu tiba di Cia-siang-teng. Orang-orang sedang sibuk mengangkat barang dagangan ke dalam perahu-perahu dan para nelayan juga sibuk mempersiapkan perahu mereka untuk pergi berlayar mencari ikan.
Karena perkampungan itu juga merupakan perkampungan nelayan, maka ketika memasuki dusun itu, oleh Kim Cu sudah tercium bau amis ikan membusuk, dan nampak banyak ikan-ikan kecil dijemur di depan rumah untuk dijadikan ikan asin. Melihat ini, Kim Cu membayangkan adanya ikan segar dan perutnya yang sejak kemarin siang tidak diisi itu mendadak terasa lapar. Ia lalu pergi ke tepi sungai yang ramai dengan maksud mencari dan membeli ikan segar yang baru ditangkap nelayan.
Begitu Kim Cu tiba di tempat ramai, banyak pasang mata laki-laki melekat kepadanya, bahkan ada pula yang berbisik-bisik dan mereka yang agak nakal dan berani ada yang mengeluarkan suara suitan kagum. Namun, sambil tersenyum manis, Kim Cu tidak memperdulikan mereka semua dan mencari-cari sampai akhirnya ia melihat seorang wanita tua menghadap sekeranjang ikan-ikan segar.
Ketika Kim Cu melihat betapa di dalam keranjang itu, selain ikan, juga terdapat belasan ekor udang besar, timbul seleranya. Sudah lama ia tidak makan udang seperti itu dan ia tahu betapa lezatnya daging udang itu, kalau pandai memasaknya. Ia membungkuk untuk memeriksa apakah udang-udang itu masih segar, disambut oleh nenek yang memuji-muji dagangannya.
Pada saat itu, tak jauh dari situ Kim Cu mendengar suara ribut-ribut. Ia memutar tubuh memandang dan ternyata seorang laki-laki tinggi kurus sedang memukuli seorang laki-laki setengah tua berpakaian nelayan. Laki-laki tinggi kurus itu berpakaian ringkas seperti pakaian japo silat, dan melihat cara dia memukul dan menendang, Kim Cu maklum bahwa orang itu sedikit banyak menguasai ilmu silat.
Laki-laki yang dipukuli itu berusia kurang lebih lima puluh tahun dan dia kini berlutut dalam keadaan babak belur sambil minta ampun. Laki-laki tinggi kurus yang usianya sekitar tiga puluh lima tahun, berdiri di depannya, bertolak pinggang. Sebuah tas tergantung di pinggangnya. Melihat orang yang dipukulinya berlutut minta ampun, dia menyeringai.
“Heh-heh, setelah dihajar, baru minta ampun, ya? Tidak ada ampun, engkau telah menipuku! Kau bilang semalam hanya memperoleh dua keranjang ikan dan kau hanya menyerahkan harga sekeranjang ikan kepadaku! Padahal, menurut penyelidikanku, engkau semalam memperoleh tiga keranjang! Engkau harus dihajar dan dipatahkan kaki tanganmu agar semua nelayan melihatnya dan hukuman ini menjadi contoh!” Berkata demikian, si tinggi kurus itu kembali menendang.
“Bukkk!” dada nelayan itu tertendang, tubuhnya terjengkang dan terguling-guling. Nelayan itu merangkak bangkit dan berlutut kembali. Dari mulutnya keluar darah segar. “Ampunkan saya... benar memang saya telah menyembunyikan hasil yang sekeranjang itu. Akan tetapi... saya butuh uang, anak saya sakit dan sekeranjang ikan itu untuk membeli obat...”
“Alasan! Sesudah mencuri dan ketahuan baru mencari alasan!”
“Saya... saya tidak mencuri... ikan itu hasil pekerjaan saya sendiri semalam suntuk...”
“Mulut busuk! Semua hasil di sungai ini, setengah bagian adalah milik Beng-cu, mengerti? Kami hanya petugas untuk mengumpulkan hasil dan bagian itu, dan engkau berani sekali mencuri, menipu!” Dan kini tangan kaki orang tinggi kurus itu bekerja dengan cepat, memukul dan menendang sehingga nelayan setengah tua itu kembali terguling-guling dan mukanya bengkak-bengkak...