LIONG-LI tersenyum simpul, senyum yang mengejek dibarengi pandang mata marah dan benci. Ia memang paling benci kepada pria yang mata keranjang dan tidak sopan, kurang ajar terhadap wanita dan tidak menghargai wanita. Maka, melihat orang-orang, kurang ajar ini berlomba untuk menangkapnya, iapun cepat menggerakkan kaki tangannya.
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang roboh dengan gigi rontok dan mulut berdarah terkena tamparan dan tendangan kaki Liong-li! Tentu saja yang lain menjadi terkejut dan marah, lalu mereka semua menyambar senjata dan mengepung Liong-li dengan senjata di tangan. Mereka melangkah mengitari gadis itu yang berdiri di tengah-tengah dengan tenang saja dan senyumnya sejak tadi tidak pernah meninggalkan mulutnya.
Akan kuhajar mereka semua ini, pikirnya. Akan kuhajar seluruh anak buah Hek-sim Lo-mo. Tidak perlu membunuh mereka ini yang hanya merupakan kaki tangan. Yang perlu dibunuh adalah Hek-sim Lo-mo dan para pembantu utamanya yang jahat dan berbahaya bagi kehidupan rakyat jelata. Para anak buah rendahan ini hanyalah orang-orang yang tersesat dan terpengaruh oleh para pimpinan mereka, cukup hanya menerima hajaran keras agar bertobat.
Ada empat belas orang penjaga yang mengepungnya. Mereka memegang bermacam senjata, ada yang memegang golok, pedang, tombak dan ruyung. Sikap mereka ganas dan penuh ancaman. Kini mereka tidak lagi memandang dengan mata penuh gairah berahi, sudah terganti dengan gairah membunuh! Tiba-tiba si gendut yang memegang sebatang pedang itu menyerang dengan dahsyat dan agaknya gerakannya ini merupakan aba-aba atau isyarat karena serentak belasan orang itu menggerakkan senjata masing-masing dan menyerang Liong-li yang terkepung itu dari segala jurusan.
Namun, mereka terkejut ketika tiba-tiba tubuh gadis itu berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebatan cepat sekali dan terdengarlah teriakan-teriakan beruntun, nampak segala macam senjata beterbangan dan disusul robohnya empat orang lagi. Mereka, roboh tak mampu bangkit kembali karena mengalami luka patah tulang yang cukup berat!
Hal ini membuat para pengeroyok menjadi jerih dan mereka hanya mengepung dari jarak empat-lima meter sambil mengacung-acungkan senjata untuk mengancam, akan tetapi tidak ada yang berani menyerang setelah si gendut itu tadi juga roboh bersama tiga orang kawan mereka. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari dalam rumah.
“Heiii! Ada apa ribut-ribut itu?”
Mendengar bentakan itu, para pengepung semakin mundur dan Liong-li segera membalikkan tubuh memandang ke dalam rumah, mengharapkan munculnya orang yang disebut Hek-sim Lo-mo. Akan tetapi, yang muncul adalah seorang laki-laki yang lebih mirip seekor lutung atau kingkong dari pada seorang manusia. Orang itu mukanya seperti monyet, usianya empatpuluh tahun lebih, tinggi besar kedua lengannya, juga dadanya yang terbuka, penuh dengan bulu seperti kera. Mukanya hitam dan nampak otot melingkar-lingkar di tubuhnya. Sungguh seorang yang amat buruk dan menyeramkan!
Liong-li tidak tahu siapa orang itu, akan tetapi tidak mungkin orang ini yang disebut Hek-sim Lo-mo, pikirnya. Tentu seorang di antara kaki tangannya dan agaknya orang ini, tidak boleh dipandang ringan. Yang jelas, dia memiliki tenaga luar yang amat kuat, kekuatan dari otot-otot terlatih.
Memang orang itu adalah Tiat-pi Hek-wan (Lutung Hitam Berlengan Besi) dan bernama Lu Sek Kwa, seorang di antara kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang berwatak kejam dan sadis, dijadikan algojo tukang siksa orang oleh Hek-sim Lo-mo. Memang luar biasa sekali orang yang satu ini. Dia mendapatkan kenikmatan dalam menyiksa orang! Makin tersiksa orang itu, meratap, merintih dan menangis, makin gembiralah hatinya. Dia pula yang menyiksa mendiang Pouw Bi Hwa, puteri mendiang Pouw Sianseng sasterawan yang mendapatkan Kim-san Liong-cu yang dirampas oleh Hek-sim Lo-mo itu.
Hek-sim Lo-mo yang merasa girang sekali berhasil merampas mustika naga itu dari tangan Pouw Sianseng, membunuh sasterawan itu dan memberikan puterinya, Bi Hwa, kepada manusia berwatak iblis ini. Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa girang sekali dan dia memperkosa dan mempermainkan gadis itu sampai mati!
Dia melakukannya bukan karena dia seorang yang suka memperkosa wanita, melainkan karena dia tahu bahwa itulah cara menyiksa gadis yang paling hebat dan karenanya paling memuaskan hatinya melihat betapa gadis itu meratap, merintih dan mati sedikit demi sedikit di bawah pandang matanya yang menikmati kesengsaraan yang diderita korbannya!
Ketika Tiat-pi Hek-wan yang bertugas menjaga rumah kediaman pemimpinnya mendengar suara ribut-ribut, dia segera keluar. Matanya melebar dan alisnya berkerut ketika dia melihat delapan orang penjaga roboh dan masih mengaduh-aduh kesakitan, sementara para penjaga lain dengan senjata di tangan mengepung seorang gadis berpakaian hitam yang agaknya mengamuk di situ.
“Lu-toako, ia adalah Hek-liong-li yang dicari oleh Beng-cu!” teriak seorang di antara para penjaga.
“Aha, benarkah itu?” Dengan dua kali loncatan, Lutung Hitam itu sudah tiba di depan Liong-li dan dia mengamati gadis itu dari kepala sampai ke kakinya. Dan dia menyeringai lebar, di dalam hatinya dia tidak percaya bahwa gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau para penjaga itu roboh adalah karena ketololan mereka.
“Ha-ha-ha, nona. Sebaiknya engkau berlutut dan menyerah agar kubawa menghadap Beng-cu. Mungkin melihat engkau begini cantik Beng-cu tidak akan membunuhmu. Kalau engkau tidak mau menyerah, aku akan menyiksamu sampai setengah mati, baru akan kuhadapkan Beng-cu! Nah, kau pilih yang mana?”
Liong-li melihat betapa sinar mata orang yang buruk ini mengeluarkan pandang mata yang demikian buas dan kejamnya sehingga ia bergidik. Orang ini tentu kejam setengah mati, pikirnya. Entah sudah berapa banyak nyawa orang tak berdosa melayang karena tangan yang berbulu dan berotot itu.
Baru melihat saja, ia sudah merasa amat benci kepada orang itu, akan tetapi ia menahan diri dan masih tersenyum. Pengalaman-pengalaman hebat dalam hidupnya, ditambah gemblengan yang diperolehnya dari Huang-ho Kui-bo, membuat Lie Kim Cu kini menjadi Hek-liong-li yang memiliki batin dan hati yang amat kuat, tidak mudab terguncang perasaan apapun juga.
“Siapakah engkau?” tanyanya singkat karena sebelum turun tangan ia ingin tahu dulu siapa lawannya dan apa kedudukannya di bawah pimpinan “beng-cu” Hek-sim Lo-mo.
“Heh-heh-heh, engkau ingin berkenalan dengan aku? Namaku Lu Sek Kwa dan orang lebih mengenal aku sebagai Tiat-pi Hek-wan! Dan nama julukanku bukan kosong belaka, nona. Lihat ini!”
Dia mengambil sebatang golok yang terlempar ke bawah, lalu menggunakan golok di tangan kanan itu untuk membacok lengan kirinya sendiri. Terdengar bunyi “takkk!” nyaring sekali dan lengan itu seperti besi saja, tidak luka sama sekali. Kemudian, sekali dia menekuk golok itu dengan kedua tangan, maka golok itupun patah menjadi dua potong dan sambil tertawa dia melemparkan dua potongan golok itu ke atas lantai!
Melihat ini, tahulah Lioag-li bahwa dugaannya benar. Orang ini seorang ahli gwakang (tenaga luar) yang amat kuat dan mempunyai kekebalan, terutama pada kedua lengannya.
“Nona, sebaiknya engkau menyerah saja!” seorang di antara para penjaga tadi berseru. “Sayang kalau sampai orang secantik engkau menerima siksaannya. Dia adalah algojo dari Beng-cu kami, nona dan kalau engkau sampai disiksanya, engkau akan merasa menyesal hidup di dunia ini!”
Mendengar ucapan itu, Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa tertawa bergelak, seolah merasa gembira sekali karena mendapatkan pujian atas kekejamannya. Kini Liong-li sudah berhasil mengenal orang itu, baik namanya maupun kedudukannya di dalam gerombolan penjahat itu. Kiranya seorang algojo! Tentu sudah banyak sekali orang tidak berdosa yang tewas di tangan orang ini, pikirnya. Sudah sepatutnya kalau orang macam ini, seperti Twa-to Ngo-houw, dihukum mati!
“Bagus, kalau begitu biarlah aku mewakili para korbanmu untuk membalaskan sakit hati mereka yang telah kausiksa dan kaubunuh!” kata Liong-li sambil melangkah maju, mendekati manusia iblis itu, dipandang oleh para penjaga dengan khawatir karena mereka seperti melihat seekor kelinci yang menghampiri seekor harimau.
Kalau mereka merasa khawatir akan keselamatan Liong-li, hal ini bukan karena kelemahan hati atau kebaikan hati mereka. Sama sekali tidak! Mereka hanya merasa sayang kalau gadis secantik itu akan disiksa habis-habisan oleh Tiat-pi Hek-wan! Akan lebih menyenangkan kalau diserahkan kepada mereka! Tiat-pi Hek-wan mengeluarkan gerengan marah mendengar ucapan Liong-li itu. Dia mengembangkan kedua lengannya, seperti seekor king-kong, lalu menerkam ke depan untuk menangkap Liong-li.
“Wuuuuttt...!!” Tubrukan itu dielakkan dengan mudah oleh Liong-li sehingga mengenai angin saja. Namun, Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa bukan hanya memiliki tenaga kuat, melainkan juga pandai ilmu silat. Dia sudah membalik dan cepat tangan kanannya yang berlengan panjang itu meluncur ke depan, mencengkeram ke arah kepala Liong-li, sedangkan tangan kirinya menyusul dengan cengkeraman pula ke arah dada.
Kalau Liong-li menangkis cengkeraman pertama, tentu cengkeraman kedua itu akan berubah dan menangkap lengannya. Akan tetapi, Liong-li kembali mengelak. Ia tidak mau menangkis, bukan karena takut kalah tenaga, melainkan ia enggan bersentuhan dengan orang yang menjijikkan itu.
Lutung Hitam itu menjadi semakin marah. Bertubi-tubi dia menyerang, kini bukan hanya mencengkeram dan menubruk untuk menangkap, melainkan diseling dengan tamparan, pukulan dan tendangan untuk merobohkan gadis itu! Namun, sampai lebih dari dua puluh kali dia menyerang, selalu mengenai angin kosong saja!
“Perempuan setan, jangan harap dapat lolos dari tanganku!” bentaknya dan tiba-tiba dia bergulingan dan mengejar Liong-li. Sambil bergulingan, kaki dan tangannya menyerang, menendang, mencengkeram dan gerakannya cepat sekali.
Liong-li sudah siap. Kalau ia mau, dapat ia sekali hantam menewaskan orang ini. Akan tetapi ia teringat betapa orang ini telah menyiksa banyak orang yang tidak berdosa, maka terlalu enak kalau dia dibikin tewas seketika. Setidaknya dia harus mengalami penderitaan siksaan! Begitu tubuh itu mendekat dan mencengkeram, ujung kaki Liong-li meluncur dan tepat mengenai pergelangan tangan yang mencengkeram. Seketika lengan itu seperti lumpuh dan kembali ujung sepatu Liong-li menendang dan mengenai pundak.
“Tukkk!” Tendangan itu merupakan totokan pada jalan darah hong-hu-hiat di belakang pundak. Sudah diatur tenaganya sehingga tendangan yang seharusnya mematikan itu, kini hanya mendatangkan rasa nyeri yang hebat. Terdengar Si Lutung Hitam meraung kesakitan. Akan tetapi memang dia bandel dan kuat. Dia meloncat bangkit dan dengan muka beringas menahan nyeri, dia sudah menyerang lagi, kedua lengannya kembali dikembangkan dan menyambar dari kanan kiri!
Liong-li tidak mundur, bahkan melihat kedua lengan itu berkembang dan dada orang itu terbuka, didahuluinyalah lawan itu dengan kecepatan gerakannya yang luar biasa. Ia menerjang ke depan dan sebelum kedua lengan itu sempat bergerak, ia sudah “memasuki” dada itu dengan pukulan tangan kosong.
“Dessss...!” Liong-li sengaja tidak mempergunakan Hiat-tok-ciang. Kalau ia menggunakan ilmu ini, tentu lawannya roboh dan tewas. Ia hanya menggunakan tenaga sin-kang, itupun dengan ukuran agar jangan meremukkan isi dada lawan. Tubuh Si Lutung Hitam terjengkang dan dia terbanting keras. Kembali dia mengaduh dan sebelum dia bangkit berdiri, Liong-li sudah menyusulkan tendangan.
“Desss...!” Tubuh itu terguling-guling, ketika hendak bangun, disambut tendangan lagi dan terguling lagi sampai empat kali!
Melihat ini, belasan orang penjaga tadi lalu berteriak-teriak mengepung dan menyerang lagi dengan senjata mereka. Beberapa orang penjaga keluar dari dalam dan ikut mengeroyok sehingga kembali Liong-li dikeroyok oleh kurang lebih dua puluh orang!
Liong-li sudah menyambar sebatang tombak yang dapat dirampasnya, mematahkan bagian ujung yang runcing dan kini ia memegang sebatang toya yang dapat dimainkannya sebagai tongkat. Tentu saja ia tidak takut menghadapi mereka dengan tangan kosong, akan tetapi ia tidak ingin membiarkan pakaiannya terancam robek oleh hujan senjata.
Dengan toya itu di tangan, dengan mudah ia menangkis semua senjata yang menghujaninya, dan dengan kedua ujung toyanya, ia merobohkan para pengeroyok satu demi satu. Akan tetapi yang menjadi sasarannya adalah Si Lutung Hitam yang kini maklum akan kelihaian gadis itu dan dia sudah mengambil sebatang ruyung besi yang berat dan besar. Karena dibantu oleh banyak anak buah, Tiat-pi Hek-wan masih berani menerjang dengan ruyungnya sambil menahan rasa nyeri di beberapa bagian tubuhnya yang tadi kena dihantam dan ditendang oleh Liong-li.
Liong-li memutar toyanya sedemikian rupa sehingga kembali ada dua orang pengeroyok terjungkal. Yang seorang kena dihantam sambungan lututnya, yang seorang lagi tersodok perutnya. Ketika ia merasakan angin pukulan yang amat dahsyat menyambar dari belakang, tahulah ia bahwa Si Lutung Hitam yang menyerangnya dengan ruyung. Ruyung itu menyambar dari atas, mengarah kepalanya yang tentu akan hancur lebur kalau terkena. Liong-li miringkan tubuhnya, membiarkan ruyung lewat dan ujung toyanya sudah menotok ke arah siku kanan dari tangan yang memegang ruyung.
“Tukkk... auhhh...” Ruyung itu terlepas dan jatuh berdentang di atas lantai ketika Tiat-pi Hek-wan melompat mundur sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kiri. Sambungan siku kanannya terlepas dan lengan kanan itu menjadi lumpuh. Maklum bahwa dia tidak akan mungkin menang, walaupun dibantu banyak orang, Si Lutung Hitam lalu meloncat dan melarikan diri hendak keluar dari pekarangan depan itu!
Liong-li melihat ini. Ia meloncat jauh menghindarkan diri dari pengeroyokan para penjaga, dan melihat tubuh tinggi besar itu melarikan diri, iapun lalu melontarkan toya di tangannya. Toya itu meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya dan tak dapat dihindarkan lagi, toya itu menusuk punggung Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa.
Demikian kuatnya lontaran toya itu sehingga menembus punggung sampai ke dada! Robohlah Si Lutung Hitam tanpa dapat bersuara lagi, roboh dan tewas seketika, menelungkup akan tetapi dadanya tidak menyentuh tanah karena terganjal oleh ujung toya yang menembus dadanya!
Melihat robohnya jagoan ini, para anak buah yang berada di tempat itu menjadi ketakutan dan tanpa dikomando lagi, merekapun melarikan diri, meninggalkan teman-teman mereka yang terluka parah.
Hek-liong-li berdiri sambil tersenyum memandang kepada mereka, lalu dengan tenang ia memasuki rumah itu untuk mencari Kiu-bwe Mo-li, Hek-sim Lo-mo atau anak buahnya. Akan tetapi rumah itu sudah kosong, kecuali wanita-wanita dan para pelayan yang sama sekali tidak diganggu oleh Liong-li. Ia menangkap seorang pelayan wanita yang nampak ketakutan, menghardiknya.
“Hayo katakan di mana adanya Hek-sim Lo-mo, Kiu-bwe Mo-li dan yang lainnya lagi. Di mana mereka?”
Pelayan itu dengan muka pucat dan tubuh gemetar menggelengkan kepalanya, dan hanya berkata, “Tidak tahu... saya tidak tahu...” berkali-kali.
Tahulah Liong-li bahwa semua orang di situ tentu saja takut setengah mati kepada Hek-sim Lo-mo dan tidak akan berani mengaku, atau memang benar tidak tahu karena mereka ini hanyalah para pembantu rumah tangga dan para wanita yang agaknya menjadi para penghibur tokoh-tokoh sesat itu. Ia teringat akan keterangan orang pertama Twa-to Ngo-houw, maka tanpa banyak cakap lagi iapun meninggalkan tempat itu.
Untung bahwa ia cepat pergi karena tidak lama kemudian, ada pasukan keamanan kota Lok-yang yang datang ke tempat itu. Mereka ini menerima laporan dari anak buah Hek-sim Lo-mo bahwa ada wanita “jahat” yang mengamuk dan membunuhi orang, maka pembesar setempat segera mengirim perwira yang memimpin pasukan untuk menangkapnya.
Memang pengaruh Hek-sim Lo-mo amat besar, bukan saja terhadap semua orang golongan hitam, bahkan diapun dengan cerdik mengadakan hubungan baik dengan para pejabat dan pembesar setempat. Tentu saja dia harus membeli hubungan baik ini dengan harta benda yang cukup banyak. Dengan adanya hubungan baik ini maka kedudukannya terlindung.
Semua rumah pelesir, rumah judi dan segala macam tempat maksiat di mana orang-orang bersenang-senang dan membuang uang, dikuasai oleh Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya. Tempat-tempat seperti itu menghasilkan banyak uang, maka tentu saja mudah baginya untuk mengeluarkan harta benda yang cukup besar untuk dibagi-bagikan kepada para pembesar, sekedar “bagi hasil”. Semua usahanya itu terlindung dan keadaan aman baginya.
Dan kini, ketika Liong-li melakukan penyerbuan, anak buah Hek-sim Lo-mo tanpa ragu-ragu lari melapor kepada pembesar komandan keamanan Lok-yang dan pembesar ini cepat mengirim pasukan untuk menangkap si “penjahat”.
Keadaan seperti ini terjadi kapan saja dan di mana saja selama manusia masih menjadi hamba dari pada nafsu keinginannya sendiri yang selalu mengejar kesenangan melalui uang atau harta. Pengejaran inilah yang mendatangkan segala macam penyelewengan dalam kehidupan manusia, tidak perduli apapun kedudukannya maupun pangkatnya.
Pengejaran membuat kita menjadi buta, tidak lagi melihat bahwa cara yang kita pergunakan adalah buruk dan tidak sehat. Yang menentukan adalah caranya, bukan tujuannya, karena pelaksanaan cara inilah isi kehidupan. Cara yang buruk sudah pasti mendatangkan hasil yang buruk pula, tidak perduli betapa mulukpun gambaran cita-cita atau tujuan itu.
Sayang sekali bahwa kebanyakan dari kita terlalu mementingkan cita-cita, terlalu mementingkan tujuan sehingga dalam banyak hal terjadi kepincangan di mana tujuan menghalalkan segala cara! Cita-cita dan tujuan hanyalah permainan pikiran yang menggambarkan gagasan-gagasan muluk, sebaliknya cara adalah derap langkah kehidupan sehari-hari.
Derap langkah atau perbuatan sehari-hari inilah yang penting, bukan gagasan dan lamunan yang muluk- muluk. Kalau cara yang kita tempuh setiap saat ini baik, sudah tidak ada persoalan lagi apakah hasilnya baik atau tidak baik yang hanya merupakan penilaian saja, dan cara yang baik hanya satu, yaitu apabila berlandaskan cinta kasih.
Dan cinta kasih ini tak mungkin ada selama si AKU merajalela, selama yang ada hanya pementingan diri pribadi, demi kesenangan diri pribadi. Pementingan diri pribadi ini menimbulkan konflik, pertentangan, kemarahan, kekecewaan, kebencian dan permusuhan. Dan dalam keadaan seperti itu, bagaimana mungkin ada cinta kasih?
Tempayan air yang kotor tidak mungkin dapat menampung air yang jernih. Bersihkan dulu tempayan itu dari segala kotoran, dan air yang ditampungnya akan bersih dan jernih!
Lie Kim Cu atau Hek-liong-li dengan cepat melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Fu-niu-san. Ia akan pergi ke dusun Gi-bo-cung di kaki Fu-niu-san, seperti yang diceritakan oleh orang pertama Twa-to Ngo-houw dalam pesan terakhirnya, bukan saja untuk mencari Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya, akan tetapi juga untuk menyelidiki tentang mustika naga yang kabarnya terjatuh ke tangan Hek-sim Lo-mo itu.
Kuburan itu kuno sekali, akan tetapi masih nampak megah dan kokoh kuat. Tembok-temboknya sudah penuh lumut, dan lantainya sudah banyak yang rusak, namun bangunan bong-pai dan empat tiang penyangga bangunan yang bentuknya seperti kuil itu masih kokoh. Itulah kuburan kuno yang amat terkenal di antara orang-orang dunia persilatan. Sudah puluhan tahun lamanya, tempat ini menjadi sasaran pencarian sebuah benda ajaib yang disebut mustika naga.
Kuburan itu terletak di bukit Kim-san (Bukit Emas) di lembah Huang-ho dan terkenallah sebutan Kim-san Liong-cu (Mustika Naga Gunung Emas) yang diperebutkan oleh semua orang gagah di dunia persilatan. Dikabarkan dari mulut ke mulut bahwa mustika naga itu disembunyikan di tempat itu, di sekitar kuburan kuno seorang pangeran itu.
Banyak sudah tokoh kang-ouw yang tewas dalam perebutan ini, dan kuburan itu sendiri sudah dibongkar, diobrak-abrik, tulang-tulang kerangka tua itupun diobrak-abrik, namun tidak ada yang dapat menemukan benda pusaka itu! Tak seorangpun tahu siapa yang telah menemukan benda itu, dan di mana tempatnya.
Cin Hay berjalan seorang diri mendaki bukit Kim-san. Sunyi lengang saja di sekitar tempat itu dan ketika dia tiba di puncak, dia melihat bangunan kuburan kuno itu berdiri megah dan tua, juga amat sunyi. Cin Hay teringat akan dongeng dari mendiang gurunya, yaitu Pek I Lojin yang menceritakan bahwa di tempat ini pernah terjadi perebutan mustika itu antara orang-orang pandai sehingga banyak jatuh korban.
Sukar membayangkan tempat yang kini amat sunyi itu pernah menjadi medan perkelahian antara orang-orang sakti yang memperebutkan benda yang disebut Kim-san Liong-cu. Gurunya memesan agar dia pergi ke tempat itu dan menyelidiki di mana adanya Kim-san Liong-cu! Bagaimana mungkin? Bukankah sudah puluhan orang sakti di dunia persilatan mencari dan hasilnya sia-sia belaka, bahkan banyak yang mengorbankan nyawa?
Cin Hay menarik napas panjang kalau teringat gurunya yang amat baik itu. Dia dapat menduga bahwa tentu gurunya ingin sekali mendapatkan Kim-san Liong-cu, dan karena tidak berhasil, maka gurunya itu memesan kepada dia, murid tunggalnya, untuk melanjutkan cita-citanya yang tidak tercapai itu! Dia sendiri tidak mempunyai keinginan mendapatkan benda ajaib itu, akan tetapi mengingat akan pesan terakhir suhunya, maka Cin Hay datang juga ke tempat ini.
Dengan perlahan-lahan Cin Hay menghampiri bangunan kuburan yang seperti kuil bentuknya itu. Temboknya sudah berlumut, gentengnya sudah banyak yang pecah dan bangunan itu nampak menyeramkan. Akan tetapi ketika dia tiba di depan kuburan itu, cepat dia menyelinap di balik dinding bangunan karena dia melihat seorang laki-laki muda sedang berdiri menghadapi makam dengan kepala tunduk.
Tidak ada orang lain kecuali laki-laki muda yang berpakaian sastrawan itu dan Cin Hay merasa heran sekali apa yang akan dilakukan orang itu, seorang diri saja di tempat yang menyeramkan ini. Apakah orang itupun mempunyai niat yang sama dengan dia, menyelidiki dan berusaha mencari Kim-san Liong-cu yang kabarnya hilang itu? Dia menyelinap mendekati dan mengintai, ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan orang itu.
Orang itu kini berubah sikapnya, tidak lagi menunduk, melainkan mengangkat muka memandang ke arah makam, mengepal tinju dan wajahnya yang tadi pucat itu kini nampak marah. Dia seorang pemuda yang usianya sebaya dengan Cin Hay, kurang lebih dua puluh lima tahun, tubuhnya tinggi kurus dan pakaian sastrawan yang menutupi tubuhnya itu longgar dan kusut. Wajahnya agak pucat dan matanya tadi membayangkan kedukaan walaupun kini mata itu bersinar marah.
“Kiang-sun-ong, engkau sungguh orang yang terlalu banyak dosa! Setelah matipun engkau masih saja mendatangkan malapetaka bagi orang-orang lain sehingga banyak sekali orang yang mati karena engkau! Sungguh, aku kutuk engkau, semoga nyawamu mendapat hukuman yang paling berat di alam sana!”
Setelah mengeluarkan umpatan itu, dia nampak lemas lalu menjatuhkan diri berlutut dan dia menangis, mulutnya mengeluh dan menyebut nama, “Bi Hwa... Bi Hwa...!” Dia secara tiba-tiba bangkit berdiri kembali, dan matanya menjadi beringas. “Bi Hwa, tunggulah, aku menyusulmu...!” Tiba-tiba dia lari ke depan dan membenturkan kepalanya ke arah dinding dengan jalan melompat ke depan.
“Plakkk!” Kepala itu tidak mengenai dinding dan tidak hancur seperti yang diharapkannya! Kepala itu bertemu dengan telapak tangan dan pemuda berpakaian putih itu telah berdiri di depannya setelah mendorongnya dengan halus ke belakang. Cin Hay yang tadi bersembunyi dan mengintai, telah cepat meloncat dan menghalangi pemuda sastrawan itu membunuh diri!
“Kau... kau... lancang mencampuri urusanku!” bentak pemuda sastrawan itu dan diapun menyerang Cin Hay dengan pukulan yang cukup dahsyat!
Cin Hay terkejut dan heran sambil mengelak dengan cepatnya. Orang itu melanjutkan serangannya, mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah Cin Hay yang mempergunakan kelincahan gerakan kakinya untuk mengelak dan juga menangkis sambil membatasi tenaganya. Dia tahu bahwa orang ini sedang putus asa dan marah karena niatnya membunuh diri dihalangi, maka dia tidak menjadi marah melihat orang itu menyerangnya, bahkan merasa semakin kasihan.
“Nanti dulu, sobat. Tahan dulu seranganmu. Orang pemarah seperti engkau ini, bagaimana bisa mempunyai keinginan nekat membunuh diri? Engkau masih mempunyai keinginan besar membunuh orang lain, kenapa ingin bunuh diri secara pengecut?”
“Keparat! Engkau lancang dan berani memaki aku pengecut? Biarlah kubunuh dulu engkau, baru aku akan bunuh diri!” bentak pemuda sastrawan itu dan dia sudah mencabut pedang dan menyerang dengan pedangnya.
Seperti serangan tangan kosong tadi, serangan pedangnyapun hebat! Cin Hay mengerutkan alisnya. Orang ini memang sudah nekat dan agaknya kedukaan yang besar membuat jalan pikirannya tidak sehat lagi dan kalau dibiarkan begitu akan berbahaya. Dia miringkan tubuh dan dari samping dia menotok pergelangan tangan, terus merampas pedang dan sebelum sastrawan muda itu bergerak, Cin Hay sudah merobohkan orang itu dengan totokan yang melumpuhkan kaki tangannya!
“Bagus, kau lihai. Bunuh saja aku! Aku tidak ingin hidup lebih lama lagi!” kata sastrawan muda itu, kini kemarahan lenyap dan mukanya, terganti kedukaan seperti tadi.
Cin Hay menarik napas panjang, lalu dia duduk di atas lantai di depan pria itu, meletakkan pedang rampasannya di atas lantai dan dengan cepat dia membebaskan totokannya sehingga orang itu dapat bergerak kembali.
“Nah, marilah kita bicara baik-baik, sobat. Kulihat engkau memiliki ilmu silat yang lumayan, dan melihat pakaianmu, tentu engkau seorang yang terpelajar pula. Sebagai seorang ahli silat dan ahli sastra, mustahil engkau tidak tahu bahwa bunuh diri merupakan perbuatan yang rendah, hina dan pengecut. Hidup adalah tantangan dan kita harus menghadapinya, pahit maupun manis. Nah, mari kita bicara, siapa tahu, aku akan dapat membantumu, sobat. Namaku Tan Cin Hay dan sebut saja aku Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) karena aku lebih suka dikenal dengan nama julukan itu.”
Pemuda sastrawan itu sejenak mengamati wajah Cin Hay, lalu dia menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. “Engkau boleh jadi seorang pendekar besar yang budiman, tai-hiap (pendekar besar), akan tetapi aku sangsi apakah engkau akan mampu menolongku untuk membalas semua dendam ini. Musuhku adalah orang yang menjadi datuk kaum sesat dan biar ada seratus orang seperti aku masih belum cukup untuk dapat melakukan balas dendam!”
Mendengar ini, diam-diam Cin Hay terkejut. Kalau benar kata orang itu, tentu musuhnya itu sakti bukan main! “Sobat, sudah menjadi kewajibanku untuk membantu yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat. Kalau memang engkau mempunyai penasaran dan patut dibela, percayalah, betapapun saktinya musuhmu itu, aku tentu akan mencoba untuk menentangnya. Nah, maukah engkau bercerita tentang keadaanmu?”
“Nanti dulu, tai-hiap. Sebelumnya aku ingin bertanya, bagaimana engkau dapat berada di tempat ini dan apa maksudmu datang ke kuburan Kiang-sun-ong ini?”
“Aku baru sekarang tahu bahwa ini kuburan seorang yang bernama Kiang-sun-ong. Aku hanya memenuhi pesan mendiang guruku untuk datang ke kuburan seorang pangeran yang kuno ini dan melakukan penyelidikan tentang benda yang disebut Kim-san Liong-cu.”
“Ah, benda keparat itu! Dan terkutuk Pangeran Kiang-sun-ong yang setelah mati masih menyimpan benda itu sehingga menimbulkan korban banyak orang, dan yang terakhir... tunanganku yang tercinta...”
Pemuda itu nampak berduka sekali. Cin Hay membiarkan pemuda itu menghanyutkan diri dalam duka dan sejenak dia mengamati wajah yang kini memejamkan mata dan nampak layu itu. Setelah pemuda itu membuka mata kembali, Cin Hay segera berkata,
“Sobat, jangan mengira bahwa hanya engkau seorang saja yang pernah menderita duka kehilangan seorang tunangan yang tercinta! Banyak sekali manusia di dunia ini yang menderita seperti engkau, bahkan lebih menderita lagi, akan tetapi jarang yang mengambil keputusan pendek seperti engkau. Aku sendiri juga kehilangan isteriku yang tercinta dan anak dalam kandungannya. Banyak teman sependeritaanmu, sobat, dan kurasa setiap orang manusia mempunyai kesengsaraan dan penderitaan masing-masing.”
“Akan tetapi tentu isterimu itu tidak terbunuh seperti tunanganku, ternoda dan terbunuh!”
“Hemm, siapa bilang tidak? Isteriku juga menjadi korban perkosaan dan penghinaan sampai mati,” kata Cin Hay dan mendengar ini, pemuda itu membelalakkan matanya lalu memegang lengan Cin Hay.
“Maafkan aku... ah, aku memang pengecut dan terlalu besar iba diriku. Akan tetapi, engkau begini lihai, kenapa tidak menuntut balas atas nasib yang menimpa isterimu?”
Cin Hay mengangguk. “Aku sudah membalas dendam itu.”
“Ah, kalau begitu, mungkin saja engkau akan mampu membantuku, tai-hiap. Aku bernama Song Tek Hin. Tunanganku bernama Pouw Bi Hwa dan ayahnya bernama Pouw Sianseng, seorang sastrawan yang pandai dan cukup terkenal. Calon mertuaku itu pada suatu hari menemukan sebuah peta kuno di mana terdapat tulisan kuno yang sukar dibaca. Ayah mertuaku itu dapat membacanya dan ternyata itu adalah peta rahasia penyimpanan Kim-san Liong-cu.”
Cin Hay tertarik sekali, tak disangkanya bahwa orang muda yang hampir membunuh diri ini membawa cerita yang amat penting dan menarik mengenai Kim-san Liong-cu yang dicarinya seperti yang dipesankan oleh mendiang suhunya.
“Menurut petunjuk peta, akhirnya dia dapat menemukan mustika naga itu. Bukan di kuburan ini disimpannya, melainkan di satu tempat di bukit ini. Karena maklum bahwa mustika itu dijadikan rebutan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, maka ayah mertuaku itu menyimpannya di bawah kulit perutnya! Akan tetapi malang baginya, rahasia itu ketahuan oleh Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang kini menjadi datuk sesat yang memiliki kekuasaan besar. Ayah mertuaku lalu diculik, dan tunanganku juga diculik! Karena aku tidak mampu melawan mereka, aku hanya dapat melakukan penyelidikan saja dan membayangi ke mana mereka dibawa pergi. Kiranya mereka dihadapkan kepada Hek-sim Lo-mo seperti yang dapat kudengar dari hasil penyelidikanku. Ah, untuk mengetahui tentang nasib mereka saja, aku harus menyogok banyak anggauta penjahat sehingga menghabiskan semua harta bendaku, baru aku dapat memperoleh keterangan yang jelas tentang mereka...” Dan wajah itupun diliputi kedukaan kembali.
Cin Hay tertarik sekali. Pantas para tokoh kang-ouw tidak berhasil menemukan Liong-cu di kuburan itu. Kiranya telah didahului oleh Pouw Sianseng, seorang sastrawan yang berhasil mendapatkannya melalui peta kuno yang menunjukkan di mana mustika itu disembunyikan!
“Kemudian, apa yang terjadi dengan mereka dan Liong-cu itu!”
“Datuk sesat yang seperti iblis itu memaksa ayah mertuaku mengaku dengan jalan menyiksa tunanganku. Mustika itu diambil dengan paksa dari perut ayah mertuaku, dan keparat jahanam itu lalu menyuruh anak buahnya yang berjuluk Tiat-pi Hek-wan untuk memperkosa Bi Hwa sampai mati... ah, Bi Hwa...” Pemuda itu menggigit bibir menahan kepedihan hatinya membayangkan apa yang terjadi dengan tunangannya. “Dan ayah mertuaku akhirnya juga dibunuh.”
“Hemm, lalu apa yang telah kau lakukan selama ini?”
“Aku telah mencari Tiat-pi Hek-wan di Lok-yang dan dalam perkelahian, aku kalah karena dikeroyok oleh dia dan anak buah lain. Baru menghadapi dia saja aku kalah dan hampir mati, apa lagi harus menghadapi Hek-sim Lo-mo dan para kaki tangannya yang kabarnya amat lihai, jauh lebih lihai dari pada Tiat-pi Hek-wan. Aku menjadi putus asa dan dari pada menanggung derita batin seperti ini, tadi aku... aku...”
“Sudahlah, saudara Song Tek Hin. Aku akan membantumu menghadapi mereka! Sudah menjadi kewajibanku untuk menentang Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya dan terus terang saja kuberitahukan padamu bahwa selain menentang mereka karena mereka jahat, juga aku akan mencoba untuk merampas mustika naga itu, seperti dipesan oleh mendiang guruku.”
Wajah Song Tek Hin nampak bercahaya, agaknya dia memperoleh harapan baru. “Aku sama sekali tidak menghendaki mustika naga yang hanya akan menimbulkan banyak gangguan dalam hidup itu. Aku hanya ingin melihat orang-orang jahat itu tertumpas dan menerima hukuman mereka. Marilah, tai-hiap. Aku tahu di mana adanya Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya. Sudah kuselidiki dan mereka itu pergi ke dusun Gi-ho-cung di kaki Gunung Fu-niu-san, di rumah seorang ahli pembuat pedang bernama Thio Wi Han.”
“Eh, kenapa mereka ke sana?”
“Apa lagi kalau bukan membuatkan pedang dari mustika naga itu?”
Diam-diam Cin Hay dapat pula menduga karena mendiang gurunya pernah bercerita tentang Liong-cu itu yang dapat menjadi bahan senjata yang ampuh sekali. Berangkatlah mereka meninggalkan Bukit Emas, menuju ke pegunungan Fu-niu-san, dan dalam perjalanan ini Cin Hay mengenal Song Tek Hin sebagai seorang pemuda yang ahli dalam ilmu sastra dan juga memiliki ilmu silat yang cukup lumayan, dan watak yang pendiam dan serius.
Keterangan yang didapat Song Tek Hin tentang Hek-sim Lo-mo memang benar. Pada waktu itu, Hek-sim Lo-mo memang berada di dusun Gi-ho-cung di kaki Pegunungan Fu- niu-san. Hampir tiga bulan telah lewat sejak dia menyerahkan Liong-cu kepada Thio Wi Han dan kini mustika naga itu telah menjadi dua batang pedang yang sudah hampir selesai...!
Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan empat orang roboh dengan gigi rontok dan mulut berdarah terkena tamparan dan tendangan kaki Liong-li! Tentu saja yang lain menjadi terkejut dan marah, lalu mereka semua menyambar senjata dan mengepung Liong-li dengan senjata di tangan. Mereka melangkah mengitari gadis itu yang berdiri di tengah-tengah dengan tenang saja dan senyumnya sejak tadi tidak pernah meninggalkan mulutnya.
Akan kuhajar mereka semua ini, pikirnya. Akan kuhajar seluruh anak buah Hek-sim Lo-mo. Tidak perlu membunuh mereka ini yang hanya merupakan kaki tangan. Yang perlu dibunuh adalah Hek-sim Lo-mo dan para pembantu utamanya yang jahat dan berbahaya bagi kehidupan rakyat jelata. Para anak buah rendahan ini hanyalah orang-orang yang tersesat dan terpengaruh oleh para pimpinan mereka, cukup hanya menerima hajaran keras agar bertobat.
Ada empat belas orang penjaga yang mengepungnya. Mereka memegang bermacam senjata, ada yang memegang golok, pedang, tombak dan ruyung. Sikap mereka ganas dan penuh ancaman. Kini mereka tidak lagi memandang dengan mata penuh gairah berahi, sudah terganti dengan gairah membunuh! Tiba-tiba si gendut yang memegang sebatang pedang itu menyerang dengan dahsyat dan agaknya gerakannya ini merupakan aba-aba atau isyarat karena serentak belasan orang itu menggerakkan senjata masing-masing dan menyerang Liong-li yang terkepung itu dari segala jurusan.
Namun, mereka terkejut ketika tiba-tiba tubuh gadis itu berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebatan cepat sekali dan terdengarlah teriakan-teriakan beruntun, nampak segala macam senjata beterbangan dan disusul robohnya empat orang lagi. Mereka, roboh tak mampu bangkit kembali karena mengalami luka patah tulang yang cukup berat!
Hal ini membuat para pengeroyok menjadi jerih dan mereka hanya mengepung dari jarak empat-lima meter sambil mengacung-acungkan senjata untuk mengancam, akan tetapi tidak ada yang berani menyerang setelah si gendut itu tadi juga roboh bersama tiga orang kawan mereka. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari dalam rumah.
“Heiii! Ada apa ribut-ribut itu?”
Mendengar bentakan itu, para pengepung semakin mundur dan Liong-li segera membalikkan tubuh memandang ke dalam rumah, mengharapkan munculnya orang yang disebut Hek-sim Lo-mo. Akan tetapi, yang muncul adalah seorang laki-laki yang lebih mirip seekor lutung atau kingkong dari pada seorang manusia. Orang itu mukanya seperti monyet, usianya empatpuluh tahun lebih, tinggi besar kedua lengannya, juga dadanya yang terbuka, penuh dengan bulu seperti kera. Mukanya hitam dan nampak otot melingkar-lingkar di tubuhnya. Sungguh seorang yang amat buruk dan menyeramkan!
Liong-li tidak tahu siapa orang itu, akan tetapi tidak mungkin orang ini yang disebut Hek-sim Lo-mo, pikirnya. Tentu seorang di antara kaki tangannya dan agaknya orang ini, tidak boleh dipandang ringan. Yang jelas, dia memiliki tenaga luar yang amat kuat, kekuatan dari otot-otot terlatih.
Memang orang itu adalah Tiat-pi Hek-wan (Lutung Hitam Berlengan Besi) dan bernama Lu Sek Kwa, seorang di antara kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang berwatak kejam dan sadis, dijadikan algojo tukang siksa orang oleh Hek-sim Lo-mo. Memang luar biasa sekali orang yang satu ini. Dia mendapatkan kenikmatan dalam menyiksa orang! Makin tersiksa orang itu, meratap, merintih dan menangis, makin gembiralah hatinya. Dia pula yang menyiksa mendiang Pouw Bi Hwa, puteri mendiang Pouw Sianseng sasterawan yang mendapatkan Kim-san Liong-cu yang dirampas oleh Hek-sim Lo-mo itu.
Hek-sim Lo-mo yang merasa girang sekali berhasil merampas mustika naga itu dari tangan Pouw Sianseng, membunuh sasterawan itu dan memberikan puterinya, Bi Hwa, kepada manusia berwatak iblis ini. Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa girang sekali dan dia memperkosa dan mempermainkan gadis itu sampai mati!
Dia melakukannya bukan karena dia seorang yang suka memperkosa wanita, melainkan karena dia tahu bahwa itulah cara menyiksa gadis yang paling hebat dan karenanya paling memuaskan hatinya melihat betapa gadis itu meratap, merintih dan mati sedikit demi sedikit di bawah pandang matanya yang menikmati kesengsaraan yang diderita korbannya!
Ketika Tiat-pi Hek-wan yang bertugas menjaga rumah kediaman pemimpinnya mendengar suara ribut-ribut, dia segera keluar. Matanya melebar dan alisnya berkerut ketika dia melihat delapan orang penjaga roboh dan masih mengaduh-aduh kesakitan, sementara para penjaga lain dengan senjata di tangan mengepung seorang gadis berpakaian hitam yang agaknya mengamuk di situ.
“Lu-toako, ia adalah Hek-liong-li yang dicari oleh Beng-cu!” teriak seorang di antara para penjaga.
“Aha, benarkah itu?” Dengan dua kali loncatan, Lutung Hitam itu sudah tiba di depan Liong-li dan dia mengamati gadis itu dari kepala sampai ke kakinya. Dan dia menyeringai lebar, di dalam hatinya dia tidak percaya bahwa gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau para penjaga itu roboh adalah karena ketololan mereka.
“Ha-ha-ha, nona. Sebaiknya engkau berlutut dan menyerah agar kubawa menghadap Beng-cu. Mungkin melihat engkau begini cantik Beng-cu tidak akan membunuhmu. Kalau engkau tidak mau menyerah, aku akan menyiksamu sampai setengah mati, baru akan kuhadapkan Beng-cu! Nah, kau pilih yang mana?”
Liong-li melihat betapa sinar mata orang yang buruk ini mengeluarkan pandang mata yang demikian buas dan kejamnya sehingga ia bergidik. Orang ini tentu kejam setengah mati, pikirnya. Entah sudah berapa banyak nyawa orang tak berdosa melayang karena tangan yang berbulu dan berotot itu.
Baru melihat saja, ia sudah merasa amat benci kepada orang itu, akan tetapi ia menahan diri dan masih tersenyum. Pengalaman-pengalaman hebat dalam hidupnya, ditambah gemblengan yang diperolehnya dari Huang-ho Kui-bo, membuat Lie Kim Cu kini menjadi Hek-liong-li yang memiliki batin dan hati yang amat kuat, tidak mudab terguncang perasaan apapun juga.
“Siapakah engkau?” tanyanya singkat karena sebelum turun tangan ia ingin tahu dulu siapa lawannya dan apa kedudukannya di bawah pimpinan “beng-cu” Hek-sim Lo-mo.
“Heh-heh-heh, engkau ingin berkenalan dengan aku? Namaku Lu Sek Kwa dan orang lebih mengenal aku sebagai Tiat-pi Hek-wan! Dan nama julukanku bukan kosong belaka, nona. Lihat ini!”
Dia mengambil sebatang golok yang terlempar ke bawah, lalu menggunakan golok di tangan kanan itu untuk membacok lengan kirinya sendiri. Terdengar bunyi “takkk!” nyaring sekali dan lengan itu seperti besi saja, tidak luka sama sekali. Kemudian, sekali dia menekuk golok itu dengan kedua tangan, maka golok itupun patah menjadi dua potong dan sambil tertawa dia melemparkan dua potongan golok itu ke atas lantai!
Melihat ini, tahulah Lioag-li bahwa dugaannya benar. Orang ini seorang ahli gwakang (tenaga luar) yang amat kuat dan mempunyai kekebalan, terutama pada kedua lengannya.
“Nona, sebaiknya engkau menyerah saja!” seorang di antara para penjaga tadi berseru. “Sayang kalau sampai orang secantik engkau menerima siksaannya. Dia adalah algojo dari Beng-cu kami, nona dan kalau engkau sampai disiksanya, engkau akan merasa menyesal hidup di dunia ini!”
Mendengar ucapan itu, Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa tertawa bergelak, seolah merasa gembira sekali karena mendapatkan pujian atas kekejamannya. Kini Liong-li sudah berhasil mengenal orang itu, baik namanya maupun kedudukannya di dalam gerombolan penjahat itu. Kiranya seorang algojo! Tentu sudah banyak sekali orang tidak berdosa yang tewas di tangan orang ini, pikirnya. Sudah sepatutnya kalau orang macam ini, seperti Twa-to Ngo-houw, dihukum mati!
“Bagus, kalau begitu biarlah aku mewakili para korbanmu untuk membalaskan sakit hati mereka yang telah kausiksa dan kaubunuh!” kata Liong-li sambil melangkah maju, mendekati manusia iblis itu, dipandang oleh para penjaga dengan khawatir karena mereka seperti melihat seekor kelinci yang menghampiri seekor harimau.
Kalau mereka merasa khawatir akan keselamatan Liong-li, hal ini bukan karena kelemahan hati atau kebaikan hati mereka. Sama sekali tidak! Mereka hanya merasa sayang kalau gadis secantik itu akan disiksa habis-habisan oleh Tiat-pi Hek-wan! Akan lebih menyenangkan kalau diserahkan kepada mereka! Tiat-pi Hek-wan mengeluarkan gerengan marah mendengar ucapan Liong-li itu. Dia mengembangkan kedua lengannya, seperti seekor king-kong, lalu menerkam ke depan untuk menangkap Liong-li.
“Wuuuuttt...!!” Tubrukan itu dielakkan dengan mudah oleh Liong-li sehingga mengenai angin saja. Namun, Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa bukan hanya memiliki tenaga kuat, melainkan juga pandai ilmu silat. Dia sudah membalik dan cepat tangan kanannya yang berlengan panjang itu meluncur ke depan, mencengkeram ke arah kepala Liong-li, sedangkan tangan kirinya menyusul dengan cengkeraman pula ke arah dada.
Kalau Liong-li menangkis cengkeraman pertama, tentu cengkeraman kedua itu akan berubah dan menangkap lengannya. Akan tetapi, Liong-li kembali mengelak. Ia tidak mau menangkis, bukan karena takut kalah tenaga, melainkan ia enggan bersentuhan dengan orang yang menjijikkan itu.
Lutung Hitam itu menjadi semakin marah. Bertubi-tubi dia menyerang, kini bukan hanya mencengkeram dan menubruk untuk menangkap, melainkan diseling dengan tamparan, pukulan dan tendangan untuk merobohkan gadis itu! Namun, sampai lebih dari dua puluh kali dia menyerang, selalu mengenai angin kosong saja!
“Perempuan setan, jangan harap dapat lolos dari tanganku!” bentaknya dan tiba-tiba dia bergulingan dan mengejar Liong-li. Sambil bergulingan, kaki dan tangannya menyerang, menendang, mencengkeram dan gerakannya cepat sekali.
Liong-li sudah siap. Kalau ia mau, dapat ia sekali hantam menewaskan orang ini. Akan tetapi ia teringat betapa orang ini telah menyiksa banyak orang yang tidak berdosa, maka terlalu enak kalau dia dibikin tewas seketika. Setidaknya dia harus mengalami penderitaan siksaan! Begitu tubuh itu mendekat dan mencengkeram, ujung kaki Liong-li meluncur dan tepat mengenai pergelangan tangan yang mencengkeram. Seketika lengan itu seperti lumpuh dan kembali ujung sepatu Liong-li menendang dan mengenai pundak.
“Tukkk!” Tendangan itu merupakan totokan pada jalan darah hong-hu-hiat di belakang pundak. Sudah diatur tenaganya sehingga tendangan yang seharusnya mematikan itu, kini hanya mendatangkan rasa nyeri yang hebat. Terdengar Si Lutung Hitam meraung kesakitan. Akan tetapi memang dia bandel dan kuat. Dia meloncat bangkit dan dengan muka beringas menahan nyeri, dia sudah menyerang lagi, kedua lengannya kembali dikembangkan dan menyambar dari kanan kiri!
Liong-li tidak mundur, bahkan melihat kedua lengan itu berkembang dan dada orang itu terbuka, didahuluinyalah lawan itu dengan kecepatan gerakannya yang luar biasa. Ia menerjang ke depan dan sebelum kedua lengan itu sempat bergerak, ia sudah “memasuki” dada itu dengan pukulan tangan kosong.
“Dessss...!” Liong-li sengaja tidak mempergunakan Hiat-tok-ciang. Kalau ia menggunakan ilmu ini, tentu lawannya roboh dan tewas. Ia hanya menggunakan tenaga sin-kang, itupun dengan ukuran agar jangan meremukkan isi dada lawan. Tubuh Si Lutung Hitam terjengkang dan dia terbanting keras. Kembali dia mengaduh dan sebelum dia bangkit berdiri, Liong-li sudah menyusulkan tendangan.
“Desss...!” Tubuh itu terguling-guling, ketika hendak bangun, disambut tendangan lagi dan terguling lagi sampai empat kali!
Melihat ini, belasan orang penjaga tadi lalu berteriak-teriak mengepung dan menyerang lagi dengan senjata mereka. Beberapa orang penjaga keluar dari dalam dan ikut mengeroyok sehingga kembali Liong-li dikeroyok oleh kurang lebih dua puluh orang!
Liong-li sudah menyambar sebatang tombak yang dapat dirampasnya, mematahkan bagian ujung yang runcing dan kini ia memegang sebatang toya yang dapat dimainkannya sebagai tongkat. Tentu saja ia tidak takut menghadapi mereka dengan tangan kosong, akan tetapi ia tidak ingin membiarkan pakaiannya terancam robek oleh hujan senjata.
Dengan toya itu di tangan, dengan mudah ia menangkis semua senjata yang menghujaninya, dan dengan kedua ujung toyanya, ia merobohkan para pengeroyok satu demi satu. Akan tetapi yang menjadi sasarannya adalah Si Lutung Hitam yang kini maklum akan kelihaian gadis itu dan dia sudah mengambil sebatang ruyung besi yang berat dan besar. Karena dibantu oleh banyak anak buah, Tiat-pi Hek-wan masih berani menerjang dengan ruyungnya sambil menahan rasa nyeri di beberapa bagian tubuhnya yang tadi kena dihantam dan ditendang oleh Liong-li.
Liong-li memutar toyanya sedemikian rupa sehingga kembali ada dua orang pengeroyok terjungkal. Yang seorang kena dihantam sambungan lututnya, yang seorang lagi tersodok perutnya. Ketika ia merasakan angin pukulan yang amat dahsyat menyambar dari belakang, tahulah ia bahwa Si Lutung Hitam yang menyerangnya dengan ruyung. Ruyung itu menyambar dari atas, mengarah kepalanya yang tentu akan hancur lebur kalau terkena. Liong-li miringkan tubuhnya, membiarkan ruyung lewat dan ujung toyanya sudah menotok ke arah siku kanan dari tangan yang memegang ruyung.
“Tukkk... auhhh...” Ruyung itu terlepas dan jatuh berdentang di atas lantai ketika Tiat-pi Hek-wan melompat mundur sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kiri. Sambungan siku kanannya terlepas dan lengan kanan itu menjadi lumpuh. Maklum bahwa dia tidak akan mungkin menang, walaupun dibantu banyak orang, Si Lutung Hitam lalu meloncat dan melarikan diri hendak keluar dari pekarangan depan itu!
Liong-li melihat ini. Ia meloncat jauh menghindarkan diri dari pengeroyokan para penjaga, dan melihat tubuh tinggi besar itu melarikan diri, iapun lalu melontarkan toya di tangannya. Toya itu meluncur seperti anak panah terlepas dari busurnya dan tak dapat dihindarkan lagi, toya itu menusuk punggung Tiat-pi Hek-wan Lu Sek Kwa.
Demikian kuatnya lontaran toya itu sehingga menembus punggung sampai ke dada! Robohlah Si Lutung Hitam tanpa dapat bersuara lagi, roboh dan tewas seketika, menelungkup akan tetapi dadanya tidak menyentuh tanah karena terganjal oleh ujung toya yang menembus dadanya!
Melihat robohnya jagoan ini, para anak buah yang berada di tempat itu menjadi ketakutan dan tanpa dikomando lagi, merekapun melarikan diri, meninggalkan teman-teman mereka yang terluka parah.
Hek-liong-li berdiri sambil tersenyum memandang kepada mereka, lalu dengan tenang ia memasuki rumah itu untuk mencari Kiu-bwe Mo-li, Hek-sim Lo-mo atau anak buahnya. Akan tetapi rumah itu sudah kosong, kecuali wanita-wanita dan para pelayan yang sama sekali tidak diganggu oleh Liong-li. Ia menangkap seorang pelayan wanita yang nampak ketakutan, menghardiknya.
“Hayo katakan di mana adanya Hek-sim Lo-mo, Kiu-bwe Mo-li dan yang lainnya lagi. Di mana mereka?”
Pelayan itu dengan muka pucat dan tubuh gemetar menggelengkan kepalanya, dan hanya berkata, “Tidak tahu... saya tidak tahu...” berkali-kali.
Tahulah Liong-li bahwa semua orang di situ tentu saja takut setengah mati kepada Hek-sim Lo-mo dan tidak akan berani mengaku, atau memang benar tidak tahu karena mereka ini hanyalah para pembantu rumah tangga dan para wanita yang agaknya menjadi para penghibur tokoh-tokoh sesat itu. Ia teringat akan keterangan orang pertama Twa-to Ngo-houw, maka tanpa banyak cakap lagi iapun meninggalkan tempat itu.
Untung bahwa ia cepat pergi karena tidak lama kemudian, ada pasukan keamanan kota Lok-yang yang datang ke tempat itu. Mereka ini menerima laporan dari anak buah Hek-sim Lo-mo bahwa ada wanita “jahat” yang mengamuk dan membunuhi orang, maka pembesar setempat segera mengirim perwira yang memimpin pasukan untuk menangkapnya.
Memang pengaruh Hek-sim Lo-mo amat besar, bukan saja terhadap semua orang golongan hitam, bahkan diapun dengan cerdik mengadakan hubungan baik dengan para pejabat dan pembesar setempat. Tentu saja dia harus membeli hubungan baik ini dengan harta benda yang cukup banyak. Dengan adanya hubungan baik ini maka kedudukannya terlindung.
Semua rumah pelesir, rumah judi dan segala macam tempat maksiat di mana orang-orang bersenang-senang dan membuang uang, dikuasai oleh Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya. Tempat-tempat seperti itu menghasilkan banyak uang, maka tentu saja mudah baginya untuk mengeluarkan harta benda yang cukup besar untuk dibagi-bagikan kepada para pembesar, sekedar “bagi hasil”. Semua usahanya itu terlindung dan keadaan aman baginya.
Dan kini, ketika Liong-li melakukan penyerbuan, anak buah Hek-sim Lo-mo tanpa ragu-ragu lari melapor kepada pembesar komandan keamanan Lok-yang dan pembesar ini cepat mengirim pasukan untuk menangkap si “penjahat”.
Keadaan seperti ini terjadi kapan saja dan di mana saja selama manusia masih menjadi hamba dari pada nafsu keinginannya sendiri yang selalu mengejar kesenangan melalui uang atau harta. Pengejaran inilah yang mendatangkan segala macam penyelewengan dalam kehidupan manusia, tidak perduli apapun kedudukannya maupun pangkatnya.
Pengejaran membuat kita menjadi buta, tidak lagi melihat bahwa cara yang kita pergunakan adalah buruk dan tidak sehat. Yang menentukan adalah caranya, bukan tujuannya, karena pelaksanaan cara inilah isi kehidupan. Cara yang buruk sudah pasti mendatangkan hasil yang buruk pula, tidak perduli betapa mulukpun gambaran cita-cita atau tujuan itu.
Sayang sekali bahwa kebanyakan dari kita terlalu mementingkan cita-cita, terlalu mementingkan tujuan sehingga dalam banyak hal terjadi kepincangan di mana tujuan menghalalkan segala cara! Cita-cita dan tujuan hanyalah permainan pikiran yang menggambarkan gagasan-gagasan muluk, sebaliknya cara adalah derap langkah kehidupan sehari-hari.
Derap langkah atau perbuatan sehari-hari inilah yang penting, bukan gagasan dan lamunan yang muluk- muluk. Kalau cara yang kita tempuh setiap saat ini baik, sudah tidak ada persoalan lagi apakah hasilnya baik atau tidak baik yang hanya merupakan penilaian saja, dan cara yang baik hanya satu, yaitu apabila berlandaskan cinta kasih.
Dan cinta kasih ini tak mungkin ada selama si AKU merajalela, selama yang ada hanya pementingan diri pribadi, demi kesenangan diri pribadi. Pementingan diri pribadi ini menimbulkan konflik, pertentangan, kemarahan, kekecewaan, kebencian dan permusuhan. Dan dalam keadaan seperti itu, bagaimana mungkin ada cinta kasih?
Tempayan air yang kotor tidak mungkin dapat menampung air yang jernih. Bersihkan dulu tempayan itu dari segala kotoran, dan air yang ditampungnya akan bersih dan jernih!
Lie Kim Cu atau Hek-liong-li dengan cepat melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Fu-niu-san. Ia akan pergi ke dusun Gi-bo-cung di kaki Fu-niu-san, seperti yang diceritakan oleh orang pertama Twa-to Ngo-houw dalam pesan terakhirnya, bukan saja untuk mencari Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya, akan tetapi juga untuk menyelidiki tentang mustika naga yang kabarnya terjatuh ke tangan Hek-sim Lo-mo itu.
********************
Kuburan itu kuno sekali, akan tetapi masih nampak megah dan kokoh kuat. Tembok-temboknya sudah penuh lumut, dan lantainya sudah banyak yang rusak, namun bangunan bong-pai dan empat tiang penyangga bangunan yang bentuknya seperti kuil itu masih kokoh. Itulah kuburan kuno yang amat terkenal di antara orang-orang dunia persilatan. Sudah puluhan tahun lamanya, tempat ini menjadi sasaran pencarian sebuah benda ajaib yang disebut mustika naga.
Kuburan itu terletak di bukit Kim-san (Bukit Emas) di lembah Huang-ho dan terkenallah sebutan Kim-san Liong-cu (Mustika Naga Gunung Emas) yang diperebutkan oleh semua orang gagah di dunia persilatan. Dikabarkan dari mulut ke mulut bahwa mustika naga itu disembunyikan di tempat itu, di sekitar kuburan kuno seorang pangeran itu.
Banyak sudah tokoh kang-ouw yang tewas dalam perebutan ini, dan kuburan itu sendiri sudah dibongkar, diobrak-abrik, tulang-tulang kerangka tua itupun diobrak-abrik, namun tidak ada yang dapat menemukan benda pusaka itu! Tak seorangpun tahu siapa yang telah menemukan benda itu, dan di mana tempatnya.
Cin Hay berjalan seorang diri mendaki bukit Kim-san. Sunyi lengang saja di sekitar tempat itu dan ketika dia tiba di puncak, dia melihat bangunan kuburan kuno itu berdiri megah dan tua, juga amat sunyi. Cin Hay teringat akan dongeng dari mendiang gurunya, yaitu Pek I Lojin yang menceritakan bahwa di tempat ini pernah terjadi perebutan mustika itu antara orang-orang pandai sehingga banyak jatuh korban.
Sukar membayangkan tempat yang kini amat sunyi itu pernah menjadi medan perkelahian antara orang-orang sakti yang memperebutkan benda yang disebut Kim-san Liong-cu. Gurunya memesan agar dia pergi ke tempat itu dan menyelidiki di mana adanya Kim-san Liong-cu! Bagaimana mungkin? Bukankah sudah puluhan orang sakti di dunia persilatan mencari dan hasilnya sia-sia belaka, bahkan banyak yang mengorbankan nyawa?
Cin Hay menarik napas panjang kalau teringat gurunya yang amat baik itu. Dia dapat menduga bahwa tentu gurunya ingin sekali mendapatkan Kim-san Liong-cu, dan karena tidak berhasil, maka gurunya itu memesan kepada dia, murid tunggalnya, untuk melanjutkan cita-citanya yang tidak tercapai itu! Dia sendiri tidak mempunyai keinginan mendapatkan benda ajaib itu, akan tetapi mengingat akan pesan terakhir suhunya, maka Cin Hay datang juga ke tempat ini.
Dengan perlahan-lahan Cin Hay menghampiri bangunan kuburan yang seperti kuil bentuknya itu. Temboknya sudah berlumut, gentengnya sudah banyak yang pecah dan bangunan itu nampak menyeramkan. Akan tetapi ketika dia tiba di depan kuburan itu, cepat dia menyelinap di balik dinding bangunan karena dia melihat seorang laki-laki muda sedang berdiri menghadapi makam dengan kepala tunduk.
Tidak ada orang lain kecuali laki-laki muda yang berpakaian sastrawan itu dan Cin Hay merasa heran sekali apa yang akan dilakukan orang itu, seorang diri saja di tempat yang menyeramkan ini. Apakah orang itupun mempunyai niat yang sama dengan dia, menyelidiki dan berusaha mencari Kim-san Liong-cu yang kabarnya hilang itu? Dia menyelinap mendekati dan mengintai, ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan orang itu.
Orang itu kini berubah sikapnya, tidak lagi menunduk, melainkan mengangkat muka memandang ke arah makam, mengepal tinju dan wajahnya yang tadi pucat itu kini nampak marah. Dia seorang pemuda yang usianya sebaya dengan Cin Hay, kurang lebih dua puluh lima tahun, tubuhnya tinggi kurus dan pakaian sastrawan yang menutupi tubuhnya itu longgar dan kusut. Wajahnya agak pucat dan matanya tadi membayangkan kedukaan walaupun kini mata itu bersinar marah.
“Kiang-sun-ong, engkau sungguh orang yang terlalu banyak dosa! Setelah matipun engkau masih saja mendatangkan malapetaka bagi orang-orang lain sehingga banyak sekali orang yang mati karena engkau! Sungguh, aku kutuk engkau, semoga nyawamu mendapat hukuman yang paling berat di alam sana!”
Setelah mengeluarkan umpatan itu, dia nampak lemas lalu menjatuhkan diri berlutut dan dia menangis, mulutnya mengeluh dan menyebut nama, “Bi Hwa... Bi Hwa...!” Dia secara tiba-tiba bangkit berdiri kembali, dan matanya menjadi beringas. “Bi Hwa, tunggulah, aku menyusulmu...!” Tiba-tiba dia lari ke depan dan membenturkan kepalanya ke arah dinding dengan jalan melompat ke depan.
“Plakkk!” Kepala itu tidak mengenai dinding dan tidak hancur seperti yang diharapkannya! Kepala itu bertemu dengan telapak tangan dan pemuda berpakaian putih itu telah berdiri di depannya setelah mendorongnya dengan halus ke belakang. Cin Hay yang tadi bersembunyi dan mengintai, telah cepat meloncat dan menghalangi pemuda sastrawan itu membunuh diri!
“Kau... kau... lancang mencampuri urusanku!” bentak pemuda sastrawan itu dan diapun menyerang Cin Hay dengan pukulan yang cukup dahsyat!
Cin Hay terkejut dan heran sambil mengelak dengan cepatnya. Orang itu melanjutkan serangannya, mengirim pukulan bertubi-tubi ke arah Cin Hay yang mempergunakan kelincahan gerakan kakinya untuk mengelak dan juga menangkis sambil membatasi tenaganya. Dia tahu bahwa orang ini sedang putus asa dan marah karena niatnya membunuh diri dihalangi, maka dia tidak menjadi marah melihat orang itu menyerangnya, bahkan merasa semakin kasihan.
“Nanti dulu, sobat. Tahan dulu seranganmu. Orang pemarah seperti engkau ini, bagaimana bisa mempunyai keinginan nekat membunuh diri? Engkau masih mempunyai keinginan besar membunuh orang lain, kenapa ingin bunuh diri secara pengecut?”
“Keparat! Engkau lancang dan berani memaki aku pengecut? Biarlah kubunuh dulu engkau, baru aku akan bunuh diri!” bentak pemuda sastrawan itu dan dia sudah mencabut pedang dan menyerang dengan pedangnya.
Seperti serangan tangan kosong tadi, serangan pedangnyapun hebat! Cin Hay mengerutkan alisnya. Orang ini memang sudah nekat dan agaknya kedukaan yang besar membuat jalan pikirannya tidak sehat lagi dan kalau dibiarkan begitu akan berbahaya. Dia miringkan tubuh dan dari samping dia menotok pergelangan tangan, terus merampas pedang dan sebelum sastrawan muda itu bergerak, Cin Hay sudah merobohkan orang itu dengan totokan yang melumpuhkan kaki tangannya!
“Bagus, kau lihai. Bunuh saja aku! Aku tidak ingin hidup lebih lama lagi!” kata sastrawan muda itu, kini kemarahan lenyap dan mukanya, terganti kedukaan seperti tadi.
Cin Hay menarik napas panjang, lalu dia duduk di atas lantai di depan pria itu, meletakkan pedang rampasannya di atas lantai dan dengan cepat dia membebaskan totokannya sehingga orang itu dapat bergerak kembali.
“Nah, marilah kita bicara baik-baik, sobat. Kulihat engkau memiliki ilmu silat yang lumayan, dan melihat pakaianmu, tentu engkau seorang yang terpelajar pula. Sebagai seorang ahli silat dan ahli sastra, mustahil engkau tidak tahu bahwa bunuh diri merupakan perbuatan yang rendah, hina dan pengecut. Hidup adalah tantangan dan kita harus menghadapinya, pahit maupun manis. Nah, mari kita bicara, siapa tahu, aku akan dapat membantumu, sobat. Namaku Tan Cin Hay dan sebut saja aku Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) karena aku lebih suka dikenal dengan nama julukan itu.”
Pemuda sastrawan itu sejenak mengamati wajah Cin Hay, lalu dia menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang. “Engkau boleh jadi seorang pendekar besar yang budiman, tai-hiap (pendekar besar), akan tetapi aku sangsi apakah engkau akan mampu menolongku untuk membalas semua dendam ini. Musuhku adalah orang yang menjadi datuk kaum sesat dan biar ada seratus orang seperti aku masih belum cukup untuk dapat melakukan balas dendam!”
Mendengar ini, diam-diam Cin Hay terkejut. Kalau benar kata orang itu, tentu musuhnya itu sakti bukan main! “Sobat, sudah menjadi kewajibanku untuk membantu yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat. Kalau memang engkau mempunyai penasaran dan patut dibela, percayalah, betapapun saktinya musuhmu itu, aku tentu akan mencoba untuk menentangnya. Nah, maukah engkau bercerita tentang keadaanmu?”
“Nanti dulu, tai-hiap. Sebelumnya aku ingin bertanya, bagaimana engkau dapat berada di tempat ini dan apa maksudmu datang ke kuburan Kiang-sun-ong ini?”
“Aku baru sekarang tahu bahwa ini kuburan seorang yang bernama Kiang-sun-ong. Aku hanya memenuhi pesan mendiang guruku untuk datang ke kuburan seorang pangeran yang kuno ini dan melakukan penyelidikan tentang benda yang disebut Kim-san Liong-cu.”
“Ah, benda keparat itu! Dan terkutuk Pangeran Kiang-sun-ong yang setelah mati masih menyimpan benda itu sehingga menimbulkan korban banyak orang, dan yang terakhir... tunanganku yang tercinta...”
Pemuda itu nampak berduka sekali. Cin Hay membiarkan pemuda itu menghanyutkan diri dalam duka dan sejenak dia mengamati wajah yang kini memejamkan mata dan nampak layu itu. Setelah pemuda itu membuka mata kembali, Cin Hay segera berkata,
“Sobat, jangan mengira bahwa hanya engkau seorang saja yang pernah menderita duka kehilangan seorang tunangan yang tercinta! Banyak sekali manusia di dunia ini yang menderita seperti engkau, bahkan lebih menderita lagi, akan tetapi jarang yang mengambil keputusan pendek seperti engkau. Aku sendiri juga kehilangan isteriku yang tercinta dan anak dalam kandungannya. Banyak teman sependeritaanmu, sobat, dan kurasa setiap orang manusia mempunyai kesengsaraan dan penderitaan masing-masing.”
“Akan tetapi tentu isterimu itu tidak terbunuh seperti tunanganku, ternoda dan terbunuh!”
“Hemm, siapa bilang tidak? Isteriku juga menjadi korban perkosaan dan penghinaan sampai mati,” kata Cin Hay dan mendengar ini, pemuda itu membelalakkan matanya lalu memegang lengan Cin Hay.
“Maafkan aku... ah, aku memang pengecut dan terlalu besar iba diriku. Akan tetapi, engkau begini lihai, kenapa tidak menuntut balas atas nasib yang menimpa isterimu?”
Cin Hay mengangguk. “Aku sudah membalas dendam itu.”
“Ah, kalau begitu, mungkin saja engkau akan mampu membantuku, tai-hiap. Aku bernama Song Tek Hin. Tunanganku bernama Pouw Bi Hwa dan ayahnya bernama Pouw Sianseng, seorang sastrawan yang pandai dan cukup terkenal. Calon mertuaku itu pada suatu hari menemukan sebuah peta kuno di mana terdapat tulisan kuno yang sukar dibaca. Ayah mertuaku itu dapat membacanya dan ternyata itu adalah peta rahasia penyimpanan Kim-san Liong-cu.”
Cin Hay tertarik sekali, tak disangkanya bahwa orang muda yang hampir membunuh diri ini membawa cerita yang amat penting dan menarik mengenai Kim-san Liong-cu yang dicarinya seperti yang dipesankan oleh mendiang suhunya.
“Menurut petunjuk peta, akhirnya dia dapat menemukan mustika naga itu. Bukan di kuburan ini disimpannya, melainkan di satu tempat di bukit ini. Karena maklum bahwa mustika itu dijadikan rebutan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, maka ayah mertuaku itu menyimpannya di bawah kulit perutnya! Akan tetapi malang baginya, rahasia itu ketahuan oleh Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang kini menjadi datuk sesat yang memiliki kekuasaan besar. Ayah mertuaku lalu diculik, dan tunanganku juga diculik! Karena aku tidak mampu melawan mereka, aku hanya dapat melakukan penyelidikan saja dan membayangi ke mana mereka dibawa pergi. Kiranya mereka dihadapkan kepada Hek-sim Lo-mo seperti yang dapat kudengar dari hasil penyelidikanku. Ah, untuk mengetahui tentang nasib mereka saja, aku harus menyogok banyak anggauta penjahat sehingga menghabiskan semua harta bendaku, baru aku dapat memperoleh keterangan yang jelas tentang mereka...” Dan wajah itupun diliputi kedukaan kembali.
Cin Hay tertarik sekali. Pantas para tokoh kang-ouw tidak berhasil menemukan Liong-cu di kuburan itu. Kiranya telah didahului oleh Pouw Sianseng, seorang sastrawan yang berhasil mendapatkannya melalui peta kuno yang menunjukkan di mana mustika itu disembunyikan!
“Kemudian, apa yang terjadi dengan mereka dan Liong-cu itu!”
“Datuk sesat yang seperti iblis itu memaksa ayah mertuaku mengaku dengan jalan menyiksa tunanganku. Mustika itu diambil dengan paksa dari perut ayah mertuaku, dan keparat jahanam itu lalu menyuruh anak buahnya yang berjuluk Tiat-pi Hek-wan untuk memperkosa Bi Hwa sampai mati... ah, Bi Hwa...” Pemuda itu menggigit bibir menahan kepedihan hatinya membayangkan apa yang terjadi dengan tunangannya. “Dan ayah mertuaku akhirnya juga dibunuh.”
“Hemm, lalu apa yang telah kau lakukan selama ini?”
“Aku telah mencari Tiat-pi Hek-wan di Lok-yang dan dalam perkelahian, aku kalah karena dikeroyok oleh dia dan anak buah lain. Baru menghadapi dia saja aku kalah dan hampir mati, apa lagi harus menghadapi Hek-sim Lo-mo dan para kaki tangannya yang kabarnya amat lihai, jauh lebih lihai dari pada Tiat-pi Hek-wan. Aku menjadi putus asa dan dari pada menanggung derita batin seperti ini, tadi aku... aku...”
“Sudahlah, saudara Song Tek Hin. Aku akan membantumu menghadapi mereka! Sudah menjadi kewajibanku untuk menentang Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya dan terus terang saja kuberitahukan padamu bahwa selain menentang mereka karena mereka jahat, juga aku akan mencoba untuk merampas mustika naga itu, seperti dipesan oleh mendiang guruku.”
Wajah Song Tek Hin nampak bercahaya, agaknya dia memperoleh harapan baru. “Aku sama sekali tidak menghendaki mustika naga yang hanya akan menimbulkan banyak gangguan dalam hidup itu. Aku hanya ingin melihat orang-orang jahat itu tertumpas dan menerima hukuman mereka. Marilah, tai-hiap. Aku tahu di mana adanya Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya. Sudah kuselidiki dan mereka itu pergi ke dusun Gi-ho-cung di kaki Gunung Fu-niu-san, di rumah seorang ahli pembuat pedang bernama Thio Wi Han.”
“Eh, kenapa mereka ke sana?”
“Apa lagi kalau bukan membuatkan pedang dari mustika naga itu?”
Diam-diam Cin Hay dapat pula menduga karena mendiang gurunya pernah bercerita tentang Liong-cu itu yang dapat menjadi bahan senjata yang ampuh sekali. Berangkatlah mereka meninggalkan Bukit Emas, menuju ke pegunungan Fu-niu-san, dan dalam perjalanan ini Cin Hay mengenal Song Tek Hin sebagai seorang pemuda yang ahli dalam ilmu sastra dan juga memiliki ilmu silat yang cukup lumayan, dan watak yang pendiam dan serius.
********************
Keterangan yang didapat Song Tek Hin tentang Hek-sim Lo-mo memang benar. Pada waktu itu, Hek-sim Lo-mo memang berada di dusun Gi-ho-cung di kaki Pegunungan Fu- niu-san. Hampir tiga bulan telah lewat sejak dia menyerahkan Liong-cu kepada Thio Wi Han dan kini mustika naga itu telah menjadi dua batang pedang yang sudah hampir selesai...!