TOK-GAN-LIONG Yauw Ban, pembantu utamanya, juga berada di dusun itu dan Yauw Ban inilah yang sering mengunjungi pondok si ahli pembuat pedang, dan mengepalai Wei-ho Cap-sha-kwi yang masih terus berjaga di dalam bangunan darurat yang mereka buat tak jauh dari rumah kakek pembuat pedang. Selain Tok-gan-liong Yauw Ban dan Cap-sha-kwi, juga para pembantu utama lain dari Hek-sim Lo-mo berada di situ.
Mereka adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng, si pelajar sesat yang gila perempuan, dan He-nan Siang-mo (Sepasang Iblis He-nan), dua orang saudara kembar yang lihai dengan golok mereka itu. Mereka semua berada di situ atas perintah Hek-sim Lo-mo yang maklum betapa pentingnya menjaga Liong-cu yang sedang dibuat pedang itu.
Dia tahu bahwa kalau sampai rahasia pembuatan pedang itu bocor, seluruh jagoan dunia persilatan tentu akan datang dan berusaha merampas mustika naga itu! Maka, dia tidak mau mengambil resiko dan mengumpulkan para pembantu utamanya di dusun itu untuk berjaga-jaga. Dan tak lama kemudian bahkan Kiu-bwe Mo-li muncul di dusun itu, menyusul pemimpinnya.
Akan tetapi laporan wanita iblis ini membuat Hek-sim Lo-mo marah sekali. Begitu Kiu-bwe Mo-li melaporkan bahwa Hek-liong-li telah menewaskan Twa-to Ngo-houw dan bahwa Kiu-bwe Mo-li terpaksa melarikan diri karena tidak mampu mengalahkan gadis itu, Hek-sim Lo-mo mengeluarkan suara gerengan marah dan dia menggerakkan tangannya ke arah wanita itu, dan angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah Kiu-bwe Mo-li. Wanita iblis ini terkejut bukan main, berusaha mengelak akan tetapi tetap saja angin pukulan membuat ia terpelanting keras sekali.
Untunglah bahwa Hek-sim Lo-mo tidak melanjutkan serangannya karena segera teringat bahwa tidak ada gunanya marah dan menghukum pembantunya yang diandalkan itu. Tadi dia hanya merasa kecewa dan marah mendengar betapa ada gadis muda yang berani menentangnya, bahkan sudah membunuh lima orang pembantunya, yaitu Twa-to Ngo-houw.
“Keparat kau, Kiu-bwe Mo-li! Tidak malukah engkau melaporkan bahwa engkau kalah oleh seorang gadis muda saja? Sungguh aku merasa ikut malu mempunyai seorang pembantu yang lemah macam engkau! Disuruh membunuh seorang gadis saja tidak becus, bahkan kalah olehnya! Hemm, apakah gadis itu memiliki tiga kepala dan enam tangan?”
“Maaf, Beng-cu, ia memang lihai sekali bagiku, akan tetapi aku yakin bahwa ia bukan apa-apa kalau berhadapan dengan Beng-cu. Ia adalah murid dari bibi guruku sendiri, yaitu Huang-ho Kui-bo. Ia ahli ilmu langkah ajaib Liu-seng-pouw, ilmu silat tangan kosong Bi-jin-kun, pukulan sakti Hiat-tok-ciang dan di samping itu, ia agaknya mewarisi keahlian permainan tongkat dari bibi guru Huang-ho Kui-bo.”
“Hemm, sudahlah, kita lupakan dulu gadis itu. Kalau sepasang po-kiam (pedang pusaka) itu telah selesai, baru kita cari lagi gadis itu dan biarlah aku yang akan menangkapnya sendiri.”
”Beng-cu, serahkan saja nona manis itu kepadaku, akan kutangkap ia dan akan kutaklukkan ia!” kata Jai-hwa Kongcu Lui Teng sambil tersenyum. Wajahnya yang tampan nampak manis akan tetapi juga kejam sekali sinar matanya,
“Biarkan kami yang akan menghancurkan gadis sombong itu, Beng-cu!” kata pula Can Siang dan Can Siong, dua orang kembar itu hampir berbareng.
“Kalian jangan takabur,” kata Tok-gan-liong Yauw Ban yang lebih berhati-hati. “Kalau ia dapat mengalahkan Kiu-bwe Mo-li, berarti ia memang lihai sekali dan kita lihat saja nanti kalau sampai kita berhadapan dengannya. Bagaimanapun juga, kita harus membasminya karena ia telah berani menentang dan melanggar wibawa Beng-cu kita.”
Demikianlah, Hek-sim Lo-mo tidak mau diganggu oleh urusan lain lagi sebelum sepasang pedangnya itu selesai dibuat dan dia bersama semua pembantu utamanya yang berkumpul di dusun Gi-ho-cung, mengamati gerak-gerik kakek Thio Wi Han dan isterinya dan menjaga dengan ketat agar jangan sampai sepasang pedang itu diganggu orang lain.
Memang terjadi hal yang amat aneh di dusun Gi-ho-cung itu. Demikian banyaknya para tokoh sesat, bahkan datuknya yang ditakuti semua orang kang-ouw, berada di dusun itu, akan tetapi anehnya, tidak ada seorangpun penghuni dusun itu yang tahu bahwa di dusun mereka terdapat seorang datuk sesat seperti raja setan dengan lima orang pembantu utamanya seperti iblis, dan tigabelas orang anak buah seperti binatang-binatang liar yang buas, yaitu Cap-sha-kwi! Hal ini adalah karena mereka semua tidak pernah melakukan suatu kejahatan atau kekerasan dalam bentuk apapun!
Dan hal ini tentu saja berkat sikap Thio Wi Han! Kakek ahli pembuat pedang yang gagah perkasa dan tidak mengenal takut ini memesan dengan sungguh kepada Hek-sim Lo-mo bahwa dia dan anak buahnya tidak boleh sedikitpun mengganggu penduduk dusun itu. Kalau sampai terjadi gangguan, pedang itu tidak akan diselesaikan bahkan akan dihancurkan!
Karena ancaman ini, betapupun mendongkol rasa hati Hek-sim Lo-mo, namun dia khawatir kalau sampai kakek yang keras hati itu akan melaksanakan ancamannya, maka dia pun mengancam semua anak buahnya agar tidak mengganggu sedikitpun keamanan di dusun itu. Bahkan dilarang memperkenalkan diri kepada mereka.
Larangan ini dipatuhi oleh semua kaki tangan Hek-sim Lo-mo, akan tetapi amat menyiksa hati Jai-hwa Kongcu Lui Teng. Penjahat muda yang amat lihai ini memang mempunyai satu kelemahan, yaitu dia tidak tahan hidup tanpa wanita, dan sekali dia melihat wanita yang menarik hatinya, dia tidak akan berhenti berusaha sebelum wanita itu jatuh ke dalam pelukannya. Watak inilah yang membuat dia menjadi gila perempuan dan entah berapa banyaknya wanita yang diganggunya, baik dengan halus maupun secara kasar sehingga dia dijuluki Jai-hwa Kongcu (Pemuda Pemetik Bunga).
Larangan Hek-sim Lo-mo agar dia tidak mengganggu penduduk dusun itu sama saja dengan melarangnya mengganggu wanita dan dia mulai merasa gelisah. Boleh saja menyuruh dia menganggur berbulan-bulan asal ada wanita di dekatnya! Tanpa adanya wanita, baru beberapa hari saja dia sudah merasa tersiksa, apa lagi ketika pada suatu hari dia melihat dua orang wanita dusun itu sedang mencuci pakaian di sungai kecil yang mengalir bening di luar dusun.
Seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih dan puterinya berusia limabelas tahun. Ibu muda dan puterinya itu nampak menarik sekali dalam pakaian mereka yang basah dan dengan jantung berdebar dan gairah mulai merangsang batinnya, Lui Teng menghampiri mereka.
Dua orang wanita itu terkejut melihat munculnya seorang laki-laki asing dan mereka tahu bahwa pria itu tentulah seorang di antara beberapa orang asing yang kabarnya menjadi tamu kakek Thio untuk memesan pembuatan senjata tajam. Karena selama ini mereka tidak pernah mengganggu penduduk, dua orang wanita inipun tidak merasa takut, hanya malu dan cepat mereka berusaha menutupi dada mereka dengan kain yang mereka cuci karena basahnya baju mereka membuat pakaian itu melekat ketat dan buah dada mereka nampak membayang.
Jai-hwa Kongcu Lui Teng tersenyum dan memang dia berwajah tampan, bersikap halus dan senyumnya amat menarik hati wanita. Dengan sopan dia memberi hormat kepada mereka. “Maafkan, kedua nona-nona manis yang baik budi, bukan maksudku untuk mengganggu kalian, akan tetapi aku ingin mandi dan aku tidak akan mengganggu kalian. Teruskan saja pekerjaan kalian, nona-nona manis...”
Dua orang wanita itu saling pandang, kemudian yang lebih tua tersenyum geli dan menutupi muka dengan tangan. Gerakan ini membuat pakaian yang menutupi dadanya pindah ke mulut dan nampaklah buah dadanya membayang, membuat Jai-hwa Kongcu Lui Teng menelan ludah dan memandang kagum.
“Hi-hi, kongcu, jangan panggil aku nona. Aku sudah bersuami dan ini adalah A Kim, puteriku, anak tunggal kami.”
Lui Teng bukan seorang laki-laki bodoh yang tidak berpengalaman. Tentu saja dia tahu bahwa wanita ini sudah bersuami walaupun dia tidak mengira bahwa yang remaja puteri itu anaknya. Akan tetapi dia berpura-pura nampak terkejut dan heran, dan dengan pandang mata penuh kagum diapun berseru.
“Aihhh... sungguh mati! Siapa dapat menyangka hal itu? Siapapun akan mengira bahwa engkau masih seorang gadis yang sudah dewasa, dan usiamu tentu takkan lebih dari duapuluh tahun lebih sedikit, enci! Siapa akan percaya kalau engkau sudah bersuami, bahkan sudah mempunyai seorang anak seperti nona yang cantik manis ini?”
Sikap dan ucapan itu saja sudah amat menarik hati kedua orang wanita itu. Mereka adalah dua orang wanita dusun sederhana dan selamanya mereka belum pernah mendengar rayuan semanis itu keluar dari mulut seorang pria, apa lagi pria ini seorang pemuda kota yang demikian tampan dan berpakaian indah! Seketika wajah wanita itu menjadi kemerahan, dan puterinya juga memandang dengan malu-malu.
“Ah, kongcu sungguh terlalu memuji...!” kata wanita itu dengan suara merdu dan kerling serta senyumnya memberi tanda kepada Lui Teng yang berpengalaman bahwa umpannya mengena dan kalau dia mau, “ikan” itu tinggal menariknya saja.
Akan tetapi dia tidak mau tergesa-gesa, dan dia harus bermain dengan hati-hati dan aman agar jangan sampai ada orang tahu, karena dia sungguh ngeri kalau membayangkan kemarahan Hek-sim Lo-mo kepadanya kalau sampai dia melanggar larangannya.
Memang sudah memuncak berahinya dan kalau saja menuruti suara hatinya, tentu sudah ditubruknya dua orang wanita ibu dan anak itu untuk memuaskan hatinya, seperti seekor harimau yang menerkam dua ekor kelinci gemuk. Akan tetapi, dia menahan diri. Dua orang wanita ini harus ditundukkannya sehingga mereka tidak menolak, dan pula, dia harus dapat memiliki mereka tanpa ada orang tahu, secara rahasia dan hal ini baru mungkin dilakukan kalau mereka berdua itu sudah tunduk dan takluk kepadanya!
“Ah, tidak, enci, aku tidak terlalu memuji. Kalian seperti enci dan adik saja, dan memiliki persamaan, keduanya cantik jelita seperti bunga yang mulai dan sudah mekar, kalau puteri enci ini, adik A Kim ini, seperti buah yang ranum dan segar, maka enci seperti buah yang sudah matang, keduanya membuat orang kegilaan. Bukan main seperti dua orang dewi dari kahyangan yang sedang bermain-main di air.”
Sambil berkata demikian, Lui Teng sudah menanggalkan bajunya dan mau tidak mau, dua orang wanita itu memandangnya dengan kagum. Pemuda kota itu bukan saja tampan wajahnya, akan tetapi juga memiliki tubuh yang indah, kekar berotot namun kulitnya putih halus!
Akan tetapi ketika mereka melihat betapa pemuda tampan itu hendak menanggalkan celana, sudah meraba ke arah ikat pinggang, keduanya tergesa-gesa menyambar cucian mereka dan sambil menahan ketawa karena geli, mereka lalu lari ke tepi dan hendak meninggalkan anak sungai itu.
Melihat betapa ibu dan anak itu melarikan diri karena malu melihat dia hendak mandi telanjang, dengan beberapa langkah saja Lui Teng sudah mengejar dan mendahului mereka, dan dua orang wanita itu terpaksa berhenti ketika melihat Lui Teng sudah berdiri di depan mereka, dengan wajah memperlihatkan penyesalan. Dia segera menjura kepada ibu dan anak itu dan suaranya terdengar memelas.
“Aih, enci yang baik, dan kau nona yang manis. Sungguh mati, aku merasa menyesal sekali telah mengganggu kalian dan membuat kalian lari meninggalkan sungai ini. Aku mengaku telah berdosa besar dan biarlah kalian menghukum aku kalau kalian menganggap aku mengganggu dan kurang ajar.” Berkata demikian, Lui Teng menjatuh diri berlutut di depan mereka!
Tentu saja dua orang wanita itu terkejut dan si ibu muda cepat membalas penghormatan itu dengan gugup, “Jangan, kongcu... berdirilah dan jangan berlutut kepada kami seperti itu...”
“Tidak, aku merasa berdosa dan kalau kalian belum mau mengampuni aku, biar aku akan berlutut di sini sampai mati! Sebagai tanda bahwa kalian benar-benar sudi mengampuni aku, hanya kalian berdualah yang dapat membuat aku bangun dari sini...” Lui Teng lalu mengulurkan kedua tangannya yang direntang ke kanan kiri.
Ibu dan anak itu saling pandang, lalu sang ibu muda mengangguk dan kedua orang wanita itu menurunkan keranjang cucian mereka, masing-masing memegang tangan Lui Teng dan menariknya bangun. Lui Teng bangkit berdiri, matanya melahap pakaian bagian dada mereka yang basah itu.
“Terima kasih... ah, terima kasih! Kalian adalah dewi-dewi cantik penolongku!” Dan dengan hati-hati dia lalu menarik kedua tangan itu dan menciumi jari-jari tangan mereka itu bergantian.
Ibu muda itu menjadi malu, dan puterinya ketakutan. Mereka menarik kembali tangan mereka dan dilepas oleh Lui Teng yang bersikap hati-hati.
“Aku telah berhutang budi kepada kalian. Nah, sedikit tanda peringatan ini, tanda terima kasih dan tanda cintaku kepada kalian, terimalah sedikit hadiah ini!” Dan diapun sudah mempersiapkan dua buah hiasan rambut dari emas berbentuk bunga, memberikannya kepada ibu dan anak itu, masing-masing sebuah.
Ibu dan puterinya itu, wanita-wanita dusun yang belum pernah menerima pemberian seindah itu, menerimanya dengan wajah berseri dan mereka sudah lupa lagi akan kekagetan mereka ketika jari tangan mereka diciumi hergantian oleh pemuda itu.
“Terima kasih, kongcu...” kata sang ibu muda yang diturut oleh puterinya.
“Tidak usah berterima kasih... malam nanti saja aku akan berkunjung ke kamar kalian dan aku akan menerima terima kasih kalian. Usahakan agar kalian tinggal sekamar, tanpa ada orang lain. Tunggulah kunjunganku, malam nanti...” Setelah membisikkan kata-kata itu, Lui Teng lalu lari meninggalkan mereka, kembali ke sungai dan menanggalkan semua pakaiannya lalu mandi.
Dua orang wanita itu terbelalak, wajah mereka berubah merah sekali, dan mereka saling pandang. Kalau ada sedikit rasa takut dan tidak setuju sehingga mereka ingin menolak, perasaan itu dihilangkan oleh rasa malu kalau harus menghampiri pemuda yang mandi telanjang itu. Akhirnya, keduanya pulang dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Di tengah jalan, sang ibu memesan kepada puterinya agar peristiwa itu tidak diceritakan kepada siapapun juga, bahkan kepada ayahnyapun jangan sekali-kali diceritakan.
Lui Teng merasa yakin akan kemenangannya. Ketika dia menciumi tangan kedua orang wanita itu dan melihat mereka tidak menjerit atau menolak, dia sudah tahu bahwa mereka itu sudah bertekuk lutut, dan takkan menolak, atau setidaknya, takkan melawan kalau dia mencurahkan rasa cinta berahinya kepada mereka!
Ketika A Kim dan ibunya tiba di rumah mereka, ternyata suami ibu muda yang bernama Souw Kun sedang menerima dua orang tamu. Mereka adalah dua orang laki-laki muda yang berwajah tampan dan berpakaian seperti sastrawan. Perasaan ibu muda dan puterinya menjadi semakin berdebar karena dua orang itu mengingatkan mereka akan orang muda yang mereka jumpai di tepi sungai dan yang bersikap manis kepada mereka, bahkan telah menghadiahkan hiasan rambut dari emas dan berjanji akan datang menjenguk mereka malam nanti!
Akan tetapi, dua orang muda ini bersikap amat sopan dan sinar mata mereka sama sekali tidak “nakal” seperti sinar mata pemuda yang mereka jumpai di sungai. Dua orang pemuda ini cepat bangkit dan memberi hormat kepada ibu dan anak itu, dan Souw Kun segera memperkenalkan isteri dan anaknya kepada mereka, sebaliknya dia memberitahu kepada isterinya untuk cepat mempersiapkan masakan dan menyembelih ayam untuk hidangan dua orang tamu mereka.
Dia memperkenalkan dua orang tamu itu kepada isterinya sebagai dua orang dari kota raja yang melakukan perjalanan dan singgah di dusun itu. Karena di dusun itu tidak ada rumah penginapan, maka mereka tadi bertanya kepada Souw Kun yang sedang bekerja di ladang, berkenalan, kemudian mereka berdua menyatakan ingin bermalam di rumahnya selama beberapa hari dengan membayar sewa secukupnya karena mereka berdua tertarik oleh pemandangan indah dan hawa sejuk dusun di kaki Pegunungan Fu-niu-san itu.
Dua orang itu bukan lain adalah Cin Hay dan Tek Hin. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Cin Hay mencegah Song Tek Hin yang membunuh diri, kemudian dia mendengar dari Tek Hin tentang mustika naga yang dirampas oleh Hek-sim Lo-mo dari tangan calon mertua pemuda pelajar itu, dan betapa tunangan Tek Hin yang bernama Bi Hwa diperkosa sampai tewas, sedangkan ayahnya juga dibunuh Hek-sim Lo-mo.
Kemudian dua orang muda itu menuju ke dusun Gi-ho-cung untuk mencari Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya yang menurut hasil penyelidikan Tek Hin, kabarnya berada di dusun itu. Karena ingin bersikap hati-hati, maklum akan kelihaian pihak lawan, Cin Hay mengajak Tek Hin untuk memasuki dusun itu tanpa membuat banyak gaduh.
Mereka lalu berkenalan dengan seorang petani yang sedang menggarap sawahnya, dan kebetulan petani itu adalah Souw Kun. Dengan sikap yang sopan dan ramah, juga dengan memberikan uang muka yang cukup banyak, mereka berhasil menarik simpati petani itu yang segera mengajak mereka ke rumahnya dan menjamu mereka sebagai tamu-tamu agung. Dalam percakapan antara mereka, dengan cerdik Cin Hay menyinggung tentang keadaan di dusun itu.
“Dusun yang begini indah dengan pemandangan alamnya dan sejuk nyaman hawanya, tentu sering dikunjungi tamu dari luar daerah. Tidakkah begitu, Souw-toako?”
Souw Kun mengerutkan alisnya, lalu mengangguk. “Memang seringkali ada tamu luar daerah datang berkunjung, akan tetapi sama sekali bukan karena keindahan pemandangan alam atau kesejukan hawa di dusun ini.”
“Ehh? Kalau bukan untuk itu, lalu untuk apa mereka datang berkunjung ke sebuah dusun yang sunyi ini?” Song Tek Hin yang mengerti akan pancingan Cin Hay, menyambung.
“Ah, yang datang bukanlah pelancong-pelancong seperti ji-wi (anda berdua) yang suka akan tempat indah, melainkan orang-orang kang-ouw, ahli-ahli silat dan orang-orang kasar.”
Jelas bahwa petani itu tidak suka mereka yang suka berdatangan ke dusun mereka. Dia adalah seorang petani sederhana yang usianya sudah empatpuluh tahun dan sudah banyak ulah orang-orang kang-ouw yang merugikan penduduk dusun dengan tingkah laku mereka yang kasar dan kadang-kadang sewenang-wenang dan kejam.
Tentu saja Souw Kun sama sekali tidak tahu bahwa dua orang tamunya yang kelihatan demikian halus dan seperti dua orang terpelajar yang tidak mengenal kekerasan, adalah dua orang muda yang ahli dalam ilmu silat, apa lagi yang berpakaian serba putih itu! Mereka berdua juga tidak membawa senjata apapun.
“Orang-orang kang-ouw? Ahli-ahli silat? Mau apa mereka datang ke sini?” tanya Cin Hay pura-pura heran.
“Di dusun kami tinggal seorang ahli pembuat senjata tajam yang amat terkenal, namanya Thio Wi Han. Dia tinggal di tepi dusun, berdua saja dengan isterinya dan dialah yang seringkali didatangi orang-orang kang-ouw yang hendak membuatkan senjata. Bahkan sekarang inipun di dusun kami terdapat banyak orang kang-ouw yang agaknya sedang menunggu senjata pesanan mereka. Sudah berpekan-pekan mereka tinggal di sini.”
Souw Kun lalu menceritakan tentang orang-orang kang-ouw yang berkeliaran di dusun itu, juga tentang adanya tiga belas orang yang kelihatan buas, yang membuat pondok darurat tak jauh dari rumah Thio Wi Han, juga tentang seorang kakek raksasa yang menyewa sebuah rumah terbesar di dusun itu di mana dia tinggal bersama beberapa orang yang kelihatannya aneh dan buas, akan tetapi yang tidak pernah mengganggu penghuni dusun.
Dari mulut Souw Kun, Cin Hay dan Tek Hin mendapatkan keterangan yang cukup jelas, akan tetapi petani itu tidak tahu senjata apa yang dipesan oleh orang-orang kang-ouw itu. Juga dia sama sekali tidak tahu tentang Hek-sim Lo-mo, apa lagi tentang mustika naga.
Dalam rumah sederhana dari Souw Kun itu hanya terdapat dua buah kamar. Sebuah kamar besar dari Souw Kun dan isterinya, dan sebuah kamar yang tidak begitu besar dari A Kim, puteri mereka. Dengan adanya dua orang tamu itu, isteri Souw Kun mendapat alasan yang cukup baik untuk tidur di kamar puterinya, bahkan hal ini dikehendaki oleh suaminya karena kamar besar dipergunakan oleh Souw Kun dan dua orang tamunya.
Souw Kun memberikan pembaringannya kepada dua orang tamunya sedangkan dia sendiri tidur di kursi panjang di sudut kamarnya itu. Isterinya tidur bersama puterinya dan dua orang wanita itu merasa tegang sekali, teringat akan pesan pemuda tampan yang memberi hadiah kepada mereka.
Malam itu sunyi sekali. Malam yang gelap dan hawa udara di luar rumah amatlah dinginnya. Cin Hay dan Tek Hin yang sehari tadi melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah, sudah rebah di atas pembaringan, bahkan Tek Hin segera jatuh pulas. Cin Hay masih belum dapat pulas, rebah dengan gelisah. Dia melihat kehidupan tuan rumah dan diam-diam dia merasa agak iri.
Betapa bahagianya kehidupan keluarga petani dusun miskin seperti Souw Kun itu! Memang miskin sekali untuk ukuran kota, akan tetapi jelas bahwa tidak banyak persoalan yang harus mereka pikirkan kecuali bekerja setiap hari mencari makan, dan tidak ada kesulitan apapun dalam kehidupan mereka. Tidak ada yang mereka butuhkan kecuali makan kenyang setiap hari, pakaian yang setiap hari dapat diganti, tempat tinggal yang cukup melindungi mereka dari panas, angin dan hujan. Apa lagi?
Di dusun tidak ada restoran besar yang serba mahal, tidak ada toko-toko yang memamerkan barang-barang mewah pakaian indah, tidak ada tontonan-tontonan yang menghamburkan uang, tidak ada tempat perjudian dan lain kesenangan lagi yang hanya akan menambah besar kebutuhan manusia hidup. Lalu dia ingat akan keadaannya sendiri. Diapun tidak butuh apa-apa, akan tetapi juga tidak punya apa-apa! Tidak ada keluarga, tidak ada orang-orang yang dicintanya, dan hidupnya terasa hampa.
Dia menoleh kepada Tek Hin yang tidur pulas. Orang inipun tidak bahagia, pikirnya. Kehilangan orang yang dicintanya, dan kini hatinya hanya penuh dengan dendam! Hanya dendam yang masih membuat dia mempertahankan hidupnya, dendam dan harapan karena bertemu dengan dia yang menimbulkan harapan akan dapat membalas dendamnya! Kasihan Song Tek Hin ini, pikir Cin Hay, lupa akan keadaan dirinya sendiri.
Duka timbul dari iba diri sebagai hasil dari pementingan diri pribadi. Karena itu, begitu pikiran ditujukan kepada orang lain sehingga timbul rasa iba kepada orang lain, dengan sendirinya duka yang timbul dari iba diri itupun menghilang atau menipis. Perubahan dan jalan pikiran ini, ulah tingkah pikiran seperti ini, seyogianya selalu diperhatikan, diamati tanpa pamrih, tanpa tindakan apapun, hanya pengamatan saja yang ada.
Pengamatan inilah yang akan mendatangkan suatu keadaan yang lain sama sekali, pengamatan tanpa si-aku yang mengamati karena si-aku, yaitu pikiran, sudah lebur dan bersatu ke dalam pengamatan itu, seluruh pikiran, hati dan perasaan menjadi satu dalam pengamatan sehingga tidak ada lagi si-aku yang menimbang, yang menilai, yang ingin menyenangkan dan ingin disenangkan yang keduanya berpamrih dan bersumber kepada pementingan si-aku pula.
Tidak adanya si-aku ini bukan berarti diri menjadi kosong dan tumpul. Sebaliknya malah! Tanpa adanya si-aku, maka pengamatan itu murni dan penuh, tidak diselewengkan oleh si-aku yang berpendapat. seperti penuhnya pengamatan seorang tukang jam yang sedang menyelidiki kerusakan jam itu. Yang ada hanya pengamatan yang mendalam, yang menimbulkan pengertian dan kewaspadaan.
Cin Hay menoleh kepada tuan rumah. Juga sudah tidur pulas, bahkan dalam tidurnya pun, terdapat perbedaan antara pulasnya Tek Hin dan pulasnya Souw Kun petani itu. Dari cahaya sinar lilin, Cin Hay dapat melihat betapa garis-garis wajah Tek Hin yang tampan itu masih dibayangi sisa keruwetan pikiran, dan mungkin saja dalam keadaan seperti itu, di dalam tidurnya Tek Hin akan bermimpi sebagai sisa celoteh pikiran di siang hari, tidak seperti Souw Kun yang tidur demikian nyenyak, dengan wajah yang polos dan begitu bebas!
Malam semakin larut dan akhirnya Cin Hay mulai diselimuti ketidaksadaran orang yang menyeberang ke alam tidur. Akan tetapi, belum lama dia tertidur, dia yang memiliki pendengaran amat tajam berkat latihan yang tekun, tergugah oleh suara yang tidak wajar. Kelopak matanya tergetar, lalu terbuka dan kesadarannya mulai masuk. Dia tidak bergerak, melirik ke arah dua orang kawan sekamar itu. Terdengar dengkur halus Souw Kun, dan Tek Hin juga masih tidur pulas, kini miring ke kiri.
Kesadarannya sudah pulih dan dia memasang telinganya. Terdengar isak tangis tertahan! Tangis wanita yang ditahan-tahan, datangnya dari kamar sebelah! Memang lirih sekali, namun cukup menembus dinding dan tertangkap oleh pendengarannya yang tajam.
Dua orang wanita, ibu dan anak itu, sejak memasuki kamar sudah merasa gelisah dan tegang. Kalau mengenangkan pesan pemuda yang menarik itu, mereka menjadi tegang, dan si ibu muda yang merasa amat tertarik kepada orang muda tampan dan pandai merayu itu, diam-diam mengharapkan kedatangannya. Akan tetapi kalau ia teringat akan suaminya dan dua orang tamunya yang tidur di kamar sebelah, ia merasa ngeri kalau sampai kedatangan pemuda tampan itu ketahuan dan diam-diam ia mengharapkan orang itu agar jangan muncul dan bahwa pesannya tadi hanya bualan saja!
Adapun A Kim yang baru berusia limabelas tahun, masih gadis remaja, hanya menduga-duga dengan jantung berdebar tegang, apakah pemuda itu benar akan datang ke dalam kamarnya dan apa gerangan yang akan dilakukan oleh pemuda itu kepadanya dan kepada ibunya. Sampai tengah malam, keduanya belum juga tidur, menanti dengan jantung berdebar.
Akan tetapi, semakin larut malam, hati mereka menjadi semakin lega karena pemuda itu tidak muncul. Tentu hanya bualan saja, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba jendela kamar mereka terbuka dari luar tanpa mengeluarkan suara! Dan sebuah kepala nampak di jendela itu, diterangi lampu gantung di sudut rumah, dan terdengar suara.
“Sssssshhhh...!” isyarat bagi mereka agar jangan bersuara.
Ibu muda dan gadisnya itu terbelalak, dan A Kim merasa betapa jantungnya berdetak keras sampai terdengar meledak-ledak di telinganya. Ia tidak tahu bahwa ibunya juga mengalami hal yang sama ketika ia memegang tangan ibunya. Tangan mereka dingin dan gemetar! Mereka mengenal kepala dan muka itu, muka pemuda tampan yang berjumpa dengan mereka di sungai siang tadi! Wajah yang tampan tersenyum manis dan pandang matanya yang nakal!
Bagaikan seekor kucing saja, tanpa menimbulkan suara, pemuda yang bukan lain adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng, sudah melompat ke dalam kamar itu. “Sstttt, aku datang memenuhi janji...” bisiknya lirih, “harap jangan mengeluarkan suara...”
Dan diapun langsung saja menutupkan kembali daun jendela yang tadi dibukanya dari luar dengan mudah, mempergunakan tenaga dan kepandaiannya. Kamar itu kembali menjadi gelap seperti tadi, hanya remang-remang saja karena ada sedikit sinar lampu menyorot masuk dari ruangan di luar kamar itu melalui celah-celah di atas daun pintu yang tinggi.
Nyonya Souw Kun, ibu A Kim, dengan tubuh gemetar menurut saja seperti seekor domba digiring ke jagal ketika Lui Teng merangkulnya dan menariknya ke pembaringan. Tangan ibu ini memegang lengan A Kim yang ikut pula terbawa dan begitu mereka berada di atas pembaringan, Lui Teng menerkam wanita itu dengan penuh gairah, namun juga dengan kelembutan, disertai bisikan-bisikan merayu yang memang menjadi keahliannya.
Ibu muda itu seperti lumpuh. Bermacam perasaan membuatnya lumpuh. Perasaan gembira, malu, ingin tahu, juga tegang dan takut, semua itu didorong oleh rangsangan yang timbul oleh rayuan dan cumbuan Lui Teng yang berpengalaman, berubah menjadi penyerahan dengan penuh kepasrahan seorang yang mabok nafsu! Ibu ini lupa keadaan, lupa di mana ia berada, lupa siapa dirinya, dan lupa bahwa di dekatnya ada puterinya yang masih remaja, yang menggigil karena ia sudah cukup besar untuk mengerti apa yang sedang terjadi.
Dan Lui Teng tidak akan dijuluki Jai-hwa Kongcu kalau dia merasa puas dengan hasil yang diperolehnya, puas dengan penyerahan diri Nyonya Souw Kun penuh kepasrahan itu. Tidak, dia sama sekali belum puas. Masih ada A Kim di situ, setangkai bunga yang sedang mekar, belum tersentuh tangan, setangkai kembang yang belum tercium kumbang.
Setelah menaklukkan sang ibu, diapun mulai menerkam puterinya! Dan ibu A Kim tidak dapat berbuat apapun, tidak berani melarang karena khawatir kalau rahasianya terbuka. Terpaksa ia harus merelakan puterinya digauli Jai-hwa Kongcu, bahkan ia membujuk-bujuk agar puterinya tidak menangis terlalu keras, agar jangan sampai diketahui suaminya bahwa di kamar itu, ibu dan anak sedang tidur bersama seorang laki-laki asing!
Dan tangis tertahan-tahan dari A kim itulah yang terdengar oleh telinga Cin Hay yang peka terlatih. Setelah dia merasa yakin bahwa yang merintih dan menangis lirih itu adalah suara seorang wanita di kamar sebelah, Cin Hay lalu bangkit duduk, dengan hati-hati dia turun dari atas pembaringan lalu menghampiri Souw Kun yang masih tidur nyenyak. Dirabanya pundak orang itu dan diguncangnya perlahan sampai Souw Kun terbangun. Cin Hay menaruh telunjuknya di depan mulut lalu berkata lirih,
“Souw-toako, aku mendengar suara tangisan di kamar sebelah. Sebaiknya kalau engkau jenguk anak isterimu, jangan-jangan ada yang sedang sakit. Tangis itu merintih seperti orang kesakitan.”
Souw Kun bangkit duduk dan dia mencoba mendengarkan, akan tetapi pendengarannya tidak setajam pendengaran Cin Hay, maka dia menggeleng kepalanya. “Aku tidak mendengar apa-apa,” katanya.
“Coba kautempelkan telingamu di dinding itu, mungkin kau akan mendengar juga,” kata Cin Hay.
Souw Kun lalu menghampiri dinding yang memisahkan kamar itu dengan kamar puterinya, lalu menempelkan telinganya. Benar saja lapat-lapat dia mendengar suara rintihan dalam tangisan lirih, bahkan lapat-lapat dia mengenal tangis itu seperti suara puterinya.
“Ah, aku dapat mendengarnya sekarang! Anakku tentu sakit...” katanya.
“Toako, sebaiknya kalau engkau menjenguk mereka, siapa tahu anakmu membutuhkan pertolonganmu,” kata Cin Hay yang merasa tidak enak hatinya.
Puteri tuan rumah itu jelas menangis dengan tertahan-tahan, seolah-olah ia merasa malu untuk mengganggu para tamunya. Hal ini membuat hatinya tidak enak, karena ia merasa telah mengganggu keluarga tuan rumah yang demikian ramahnya. Mungkin gadis itu mengalami sakit yang hebat, dan menahan tangisnya agar jangan mengganggu para tamu.
Souw Kun merasa khawatir juga mendengar ucapan Cin Hay. Dia lalu membuka pintu kamar itu dan keluar. Tak lama kemudian Cin Hay yang masih berada di dalam kamar mendengar tuan rumah menggedor daun pintu kamar sebelah dan memanggil-manggil isteri dan anaknya. Dia tidak ikut karena merasa tidak patut untuk menjenguk ke kamar isteri dan gadis tuan rumah.
Tiba-tiba Cin Hay terkejut. Terdengar suara gaduh di kamar sebelah itu, dan yang terakhir terdengar teriakan Souw Kun, disusul robohnya tubuh orang dan selanjutnya sunyi. Cin Hay cepat melompat keluar dari dalam kamar dan dia masih melihat berkelebatnya orang, cepat sekali, keluar dari ruangan itu. Dia hendak mengejar, akan tetapi melihat tubuh Souw Kun menggeletak di ambang pintu kamar yang terbuka lebar, sebuah lampu gantung yang agaknya tadi dibawa Souw Kun, menggeletak miring dan hampir padam di sebelahnya.
Cin Hay tidak jadi mengejar, melainkan cepat menyambar lampu gantung itu sehingga tidak jadi mati, dan ketika dia mengangkat lampu itu mendekati tubuh Souw Kun, dia terkejut melihat betapa orang itu telah tewas dengan leher terluka lebar hampir putus! Agaknya leher itu terbabat senjata tajam yang dilakukan dengan tenaga besar sehingga Souw Kun tewas seketika. Tentu teriakan tadi dilakukan Souw Kun sebelum dia roboh, dan mungkin karena dia melihat sesuatu di dalam kamar.
Dengan hati berdebar tegang, Cin Hay melangkah ke dalam kamar, mengangkat lampu itu tinggi-tinggi di tangannya dan dia menahan teriakannya! Ibu dan gadis itu menggeletak di atas pembaringan, dengan telanjang bulat dan tubuh mereka penuh berlepotan darah!
Sepintas lalu saja Cin Hay tahu bahwa mereka telah tewas dengan dada tertusuk senjata tajam dan mungkin menembus jantung dan mereka tewas seketika tanpa sempat mengeluarkan suara! Cin Hay menjadi pening. Wajah ibu dan gadisnya itu nampak seperti wajah mendiang isterinya, Ci Sian, yang juga tewas dalam keadaan yang tidak jauh berbeda dari ibu dan anak itu!
“Keparat...!” bentaknya dan tubuhnya berkelebat keluar dari rumah itu, untuk mengejar bayangan yang tadi dilihatnya berlari keluar.
Akan tetapi, sunyi saja di luar. Sunyi dan gelap. Dia tidak tahu ke mana penjahat biadab itu melarikan diri. Souw Kun telah tewas, demikian pula isterinya dan puterinya. Mereka bertiga tewas terbunuh di depan hidungnya tanpa dia mampu mencegahnya. Dalam sekelebatan saja dia tahu apa yang terjadi.
Tentu penjahat itu tadi mengganggu ibu dan anak gadisnya itu di dalam kamar mereka, mungkin memperkosanya. Kemudian Souw Kun menggedor daun pintu, mengejutkan penjahat itu dan untuk menghilangkan jejak, penjahat keji itu membunuh dua orang wanita yang menjadi korbannya, kemudian membunuh pula Souw Kun. Dengan demikian, tidak ada orang yang sempat melihat mukanya dan tidak akan ada yang tahu siapa yang memperkosa dua orang wanita itu dan melakukan pembunuhan atas diri mereka dan Souw Kun.
Cin Hay kembali ke rumah Souw Kun, lalu menyelinap ke dalam kamar di mana dia melihat Song Tek Hin baru saja terbangun dan pemuda itu memandang kepadanya dengan heran.
“Tai-hiap, dari mana engkau dan apakah yang terjadi? Aku seperti mendengar suara ribut-ribut di sebelah,” katanya.
“Saudara Song, telah terjadi hal yang hebat dalam rumah ini,” kata Cin Hay dan dengan singkat namun jelas dia menceritakan apa yang terjadi.
“Ahhh! Souw-toako, isterinya, dan puterinya dibunuh orang?” Song Tek Hin terbelalak. “Akan tetapi, mengapa?” Lalu dia meloncat turun dari atas pembaringan dalam keadaan siap siaga, “Apakah karena kita menginap di sini? Apakah penjahat itu sebetulnya menginginkan nyawa kita?”
Cin Hay menggeleng kepala dan menceritakan pendapatnya. “Agaknya penjahat itu memperkosa ibu dan anak itu. Aku mendengar rintihan mereka dan aku membangunkan Souw-toako yang segera menggedor pintu kamar mereka. Penjahat itu lalu membunuh dua orang wanita itu, keluar dari kamar dan membunuh pula Souw-toako. Aku sempat melihat bayangannya berkelebat melarikan diri. Tentu dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika aku mencari jejaknya keluar, aku tidak menemukan lagi bayangannya.”
“Ah, tidak salah lagi! Tentu ini perbuatan kaki tangan Hek-sim Lo-mo! Mereka memang tokoh-tokoh sesat yang jahat seperti iblis! Dan melihat kejahatan ini, tentu keselamatan kakek ahli pembuat pedang itu terancam bahaya pula.”
“Memang sebaiknya kalau kita pergi menemuinya, selain untuk menjaga keselamatannya, juga untuk melihat apakah benar Hek-sim Lo-mo membawa mustika naga yang dirampas dari Pouw Sianseng untuk dibuatkan senjata oleh kakek Thio Wi Han,” kata Cin Hay.
“Lalu mereka itu...” Song Tek Hin menunjuk ke luar kamar, “Bagaimana dengan mayat-mayat mereka?”
Cin Hay menarik napas panjang. “Tidak ada orang lain melihat kita di sini, sebaiknya kita pergi diam-diam agar tidak mendatangkan banyak ribut dan prasangka buruk. Biarlah besok mayat mereka ditemukan para tetangga. Kita sekarang juga pergi menyelidiki keadaan rumah kakek Thio Wi Han.”
Song Tek Hin mengangguk dan mereka lalu membawa semua bekal pakaian dan meninggalkan kamar itu. Mereka berhenti sebentar di depan kamar sebelah dan Song Tek Hin mengerutkan alisnya ketika melihat mayat-mayat itu, terutama keadaan mayat ibu dan anak yang telanjang bulat itu. Diapun membayangkan keadaan tunangannya yang juga tewas diperkosa oleh anak buah Hek-sim Lo-mo, maka sambil mengepal tinju dia menyumpahi datuk sesat dan kaki tangannya.
Cin Hay dan Tek Hin menyelidiki keadaan sekitar rumah tinggal kakek Thio Wi Han. Pondok itu sunyi dan gelap, tanda bahwa penghuninya sedang tidur. Cin Hay dan Tek Hin melihat bahwa kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang membuat bangunan darurat yang tidak jauh dari pondok ahli pembuat pedang itu berada di dalam pondok darurat mereka.
Ada dua orang yang duduk berjaga, yang lain agaknya juga tertidur di sebelah dalam. Karena merasa tidak enak mengganggu kakek Thio Wi Han dan isterinya yang masih tidur, dua orang pemuda itu tidak mau berkunjung, melainkan menanti sampai pada pagi harinya. Setelah kelihatan kesibukan di pondok itu, barulah Cin Hay dan Tek Hin berjalan menuju ke pondok. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari belakang mereka.
“Haiiii! Siapa kalian? Berhenti dan perkenalkan diri kepada kami lebih dulu!”
Cin Hay dan Tek Hin membalik dan mereka melihat ada tigabelas orang yang bersikap kasar dan rata-rata memiliki wajah bengis, berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun, telah berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam. Pemimpin mereka yang berperut gendut dan bermuka bopeng, maju menghampiri dan sikapnya angkuh sekali ketika dia memandang Cin Hay dan Tek Hin. Agaknya, orang inilah yang tadi membentak kepada mereka.
Song Tek Hin yang dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang jahat dan berbahaya, membiarkan Cin Hay maju melayani mereka. Dia hanya mengandalkan kepada Pendekar Naga Putih ini untuk melawan Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya, maklum betapa lihainya pendekar ini...
Mereka adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng, si pelajar sesat yang gila perempuan, dan He-nan Siang-mo (Sepasang Iblis He-nan), dua orang saudara kembar yang lihai dengan golok mereka itu. Mereka semua berada di situ atas perintah Hek-sim Lo-mo yang maklum betapa pentingnya menjaga Liong-cu yang sedang dibuat pedang itu.
Dia tahu bahwa kalau sampai rahasia pembuatan pedang itu bocor, seluruh jagoan dunia persilatan tentu akan datang dan berusaha merampas mustika naga itu! Maka, dia tidak mau mengambil resiko dan mengumpulkan para pembantu utamanya di dusun itu untuk berjaga-jaga. Dan tak lama kemudian bahkan Kiu-bwe Mo-li muncul di dusun itu, menyusul pemimpinnya.
Akan tetapi laporan wanita iblis ini membuat Hek-sim Lo-mo marah sekali. Begitu Kiu-bwe Mo-li melaporkan bahwa Hek-liong-li telah menewaskan Twa-to Ngo-houw dan bahwa Kiu-bwe Mo-li terpaksa melarikan diri karena tidak mampu mengalahkan gadis itu, Hek-sim Lo-mo mengeluarkan suara gerengan marah dan dia menggerakkan tangannya ke arah wanita itu, dan angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah Kiu-bwe Mo-li. Wanita iblis ini terkejut bukan main, berusaha mengelak akan tetapi tetap saja angin pukulan membuat ia terpelanting keras sekali.
Untunglah bahwa Hek-sim Lo-mo tidak melanjutkan serangannya karena segera teringat bahwa tidak ada gunanya marah dan menghukum pembantunya yang diandalkan itu. Tadi dia hanya merasa kecewa dan marah mendengar betapa ada gadis muda yang berani menentangnya, bahkan sudah membunuh lima orang pembantunya, yaitu Twa-to Ngo-houw.
“Keparat kau, Kiu-bwe Mo-li! Tidak malukah engkau melaporkan bahwa engkau kalah oleh seorang gadis muda saja? Sungguh aku merasa ikut malu mempunyai seorang pembantu yang lemah macam engkau! Disuruh membunuh seorang gadis saja tidak becus, bahkan kalah olehnya! Hemm, apakah gadis itu memiliki tiga kepala dan enam tangan?”
“Maaf, Beng-cu, ia memang lihai sekali bagiku, akan tetapi aku yakin bahwa ia bukan apa-apa kalau berhadapan dengan Beng-cu. Ia adalah murid dari bibi guruku sendiri, yaitu Huang-ho Kui-bo. Ia ahli ilmu langkah ajaib Liu-seng-pouw, ilmu silat tangan kosong Bi-jin-kun, pukulan sakti Hiat-tok-ciang dan di samping itu, ia agaknya mewarisi keahlian permainan tongkat dari bibi guru Huang-ho Kui-bo.”
“Hemm, sudahlah, kita lupakan dulu gadis itu. Kalau sepasang po-kiam (pedang pusaka) itu telah selesai, baru kita cari lagi gadis itu dan biarlah aku yang akan menangkapnya sendiri.”
”Beng-cu, serahkan saja nona manis itu kepadaku, akan kutangkap ia dan akan kutaklukkan ia!” kata Jai-hwa Kongcu Lui Teng sambil tersenyum. Wajahnya yang tampan nampak manis akan tetapi juga kejam sekali sinar matanya,
“Biarkan kami yang akan menghancurkan gadis sombong itu, Beng-cu!” kata pula Can Siang dan Can Siong, dua orang kembar itu hampir berbareng.
“Kalian jangan takabur,” kata Tok-gan-liong Yauw Ban yang lebih berhati-hati. “Kalau ia dapat mengalahkan Kiu-bwe Mo-li, berarti ia memang lihai sekali dan kita lihat saja nanti kalau sampai kita berhadapan dengannya. Bagaimanapun juga, kita harus membasminya karena ia telah berani menentang dan melanggar wibawa Beng-cu kita.”
Demikianlah, Hek-sim Lo-mo tidak mau diganggu oleh urusan lain lagi sebelum sepasang pedangnya itu selesai dibuat dan dia bersama semua pembantu utamanya yang berkumpul di dusun Gi-ho-cung, mengamati gerak-gerik kakek Thio Wi Han dan isterinya dan menjaga dengan ketat agar jangan sampai sepasang pedang itu diganggu orang lain.
Memang terjadi hal yang amat aneh di dusun Gi-ho-cung itu. Demikian banyaknya para tokoh sesat, bahkan datuknya yang ditakuti semua orang kang-ouw, berada di dusun itu, akan tetapi anehnya, tidak ada seorangpun penghuni dusun itu yang tahu bahwa di dusun mereka terdapat seorang datuk sesat seperti raja setan dengan lima orang pembantu utamanya seperti iblis, dan tigabelas orang anak buah seperti binatang-binatang liar yang buas, yaitu Cap-sha-kwi! Hal ini adalah karena mereka semua tidak pernah melakukan suatu kejahatan atau kekerasan dalam bentuk apapun!
Dan hal ini tentu saja berkat sikap Thio Wi Han! Kakek ahli pembuat pedang yang gagah perkasa dan tidak mengenal takut ini memesan dengan sungguh kepada Hek-sim Lo-mo bahwa dia dan anak buahnya tidak boleh sedikitpun mengganggu penduduk dusun itu. Kalau sampai terjadi gangguan, pedang itu tidak akan diselesaikan bahkan akan dihancurkan!
Karena ancaman ini, betapupun mendongkol rasa hati Hek-sim Lo-mo, namun dia khawatir kalau sampai kakek yang keras hati itu akan melaksanakan ancamannya, maka dia pun mengancam semua anak buahnya agar tidak mengganggu sedikitpun keamanan di dusun itu. Bahkan dilarang memperkenalkan diri kepada mereka.
Larangan ini dipatuhi oleh semua kaki tangan Hek-sim Lo-mo, akan tetapi amat menyiksa hati Jai-hwa Kongcu Lui Teng. Penjahat muda yang amat lihai ini memang mempunyai satu kelemahan, yaitu dia tidak tahan hidup tanpa wanita, dan sekali dia melihat wanita yang menarik hatinya, dia tidak akan berhenti berusaha sebelum wanita itu jatuh ke dalam pelukannya. Watak inilah yang membuat dia menjadi gila perempuan dan entah berapa banyaknya wanita yang diganggunya, baik dengan halus maupun secara kasar sehingga dia dijuluki Jai-hwa Kongcu (Pemuda Pemetik Bunga).
Larangan Hek-sim Lo-mo agar dia tidak mengganggu penduduk dusun itu sama saja dengan melarangnya mengganggu wanita dan dia mulai merasa gelisah. Boleh saja menyuruh dia menganggur berbulan-bulan asal ada wanita di dekatnya! Tanpa adanya wanita, baru beberapa hari saja dia sudah merasa tersiksa, apa lagi ketika pada suatu hari dia melihat dua orang wanita dusun itu sedang mencuci pakaian di sungai kecil yang mengalir bening di luar dusun.
Seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih dan puterinya berusia limabelas tahun. Ibu muda dan puterinya itu nampak menarik sekali dalam pakaian mereka yang basah dan dengan jantung berdebar dan gairah mulai merangsang batinnya, Lui Teng menghampiri mereka.
Dua orang wanita itu terkejut melihat munculnya seorang laki-laki asing dan mereka tahu bahwa pria itu tentulah seorang di antara beberapa orang asing yang kabarnya menjadi tamu kakek Thio untuk memesan pembuatan senjata tajam. Karena selama ini mereka tidak pernah mengganggu penduduk, dua orang wanita inipun tidak merasa takut, hanya malu dan cepat mereka berusaha menutupi dada mereka dengan kain yang mereka cuci karena basahnya baju mereka membuat pakaian itu melekat ketat dan buah dada mereka nampak membayang.
Jai-hwa Kongcu Lui Teng tersenyum dan memang dia berwajah tampan, bersikap halus dan senyumnya amat menarik hati wanita. Dengan sopan dia memberi hormat kepada mereka. “Maafkan, kedua nona-nona manis yang baik budi, bukan maksudku untuk mengganggu kalian, akan tetapi aku ingin mandi dan aku tidak akan mengganggu kalian. Teruskan saja pekerjaan kalian, nona-nona manis...”
Dua orang wanita itu saling pandang, kemudian yang lebih tua tersenyum geli dan menutupi muka dengan tangan. Gerakan ini membuat pakaian yang menutupi dadanya pindah ke mulut dan nampaklah buah dadanya membayang, membuat Jai-hwa Kongcu Lui Teng menelan ludah dan memandang kagum.
“Hi-hi, kongcu, jangan panggil aku nona. Aku sudah bersuami dan ini adalah A Kim, puteriku, anak tunggal kami.”
Lui Teng bukan seorang laki-laki bodoh yang tidak berpengalaman. Tentu saja dia tahu bahwa wanita ini sudah bersuami walaupun dia tidak mengira bahwa yang remaja puteri itu anaknya. Akan tetapi dia berpura-pura nampak terkejut dan heran, dan dengan pandang mata penuh kagum diapun berseru.
“Aihhh... sungguh mati! Siapa dapat menyangka hal itu? Siapapun akan mengira bahwa engkau masih seorang gadis yang sudah dewasa, dan usiamu tentu takkan lebih dari duapuluh tahun lebih sedikit, enci! Siapa akan percaya kalau engkau sudah bersuami, bahkan sudah mempunyai seorang anak seperti nona yang cantik manis ini?”
Sikap dan ucapan itu saja sudah amat menarik hati kedua orang wanita itu. Mereka adalah dua orang wanita dusun sederhana dan selamanya mereka belum pernah mendengar rayuan semanis itu keluar dari mulut seorang pria, apa lagi pria ini seorang pemuda kota yang demikian tampan dan berpakaian indah! Seketika wajah wanita itu menjadi kemerahan, dan puterinya juga memandang dengan malu-malu.
“Ah, kongcu sungguh terlalu memuji...!” kata wanita itu dengan suara merdu dan kerling serta senyumnya memberi tanda kepada Lui Teng yang berpengalaman bahwa umpannya mengena dan kalau dia mau, “ikan” itu tinggal menariknya saja.
Akan tetapi dia tidak mau tergesa-gesa, dan dia harus bermain dengan hati-hati dan aman agar jangan sampai ada orang tahu, karena dia sungguh ngeri kalau membayangkan kemarahan Hek-sim Lo-mo kepadanya kalau sampai dia melanggar larangannya.
Memang sudah memuncak berahinya dan kalau saja menuruti suara hatinya, tentu sudah ditubruknya dua orang wanita ibu dan anak itu untuk memuaskan hatinya, seperti seekor harimau yang menerkam dua ekor kelinci gemuk. Akan tetapi, dia menahan diri. Dua orang wanita ini harus ditundukkannya sehingga mereka tidak menolak, dan pula, dia harus dapat memiliki mereka tanpa ada orang tahu, secara rahasia dan hal ini baru mungkin dilakukan kalau mereka berdua itu sudah tunduk dan takluk kepadanya!
“Ah, tidak, enci, aku tidak terlalu memuji. Kalian seperti enci dan adik saja, dan memiliki persamaan, keduanya cantik jelita seperti bunga yang mulai dan sudah mekar, kalau puteri enci ini, adik A Kim ini, seperti buah yang ranum dan segar, maka enci seperti buah yang sudah matang, keduanya membuat orang kegilaan. Bukan main seperti dua orang dewi dari kahyangan yang sedang bermain-main di air.”
Sambil berkata demikian, Lui Teng sudah menanggalkan bajunya dan mau tidak mau, dua orang wanita itu memandangnya dengan kagum. Pemuda kota itu bukan saja tampan wajahnya, akan tetapi juga memiliki tubuh yang indah, kekar berotot namun kulitnya putih halus!
Akan tetapi ketika mereka melihat betapa pemuda tampan itu hendak menanggalkan celana, sudah meraba ke arah ikat pinggang, keduanya tergesa-gesa menyambar cucian mereka dan sambil menahan ketawa karena geli, mereka lalu lari ke tepi dan hendak meninggalkan anak sungai itu.
Melihat betapa ibu dan anak itu melarikan diri karena malu melihat dia hendak mandi telanjang, dengan beberapa langkah saja Lui Teng sudah mengejar dan mendahului mereka, dan dua orang wanita itu terpaksa berhenti ketika melihat Lui Teng sudah berdiri di depan mereka, dengan wajah memperlihatkan penyesalan. Dia segera menjura kepada ibu dan anak itu dan suaranya terdengar memelas.
“Aih, enci yang baik, dan kau nona yang manis. Sungguh mati, aku merasa menyesal sekali telah mengganggu kalian dan membuat kalian lari meninggalkan sungai ini. Aku mengaku telah berdosa besar dan biarlah kalian menghukum aku kalau kalian menganggap aku mengganggu dan kurang ajar.” Berkata demikian, Lui Teng menjatuh diri berlutut di depan mereka!
Tentu saja dua orang wanita itu terkejut dan si ibu muda cepat membalas penghormatan itu dengan gugup, “Jangan, kongcu... berdirilah dan jangan berlutut kepada kami seperti itu...”
“Tidak, aku merasa berdosa dan kalau kalian belum mau mengampuni aku, biar aku akan berlutut di sini sampai mati! Sebagai tanda bahwa kalian benar-benar sudi mengampuni aku, hanya kalian berdualah yang dapat membuat aku bangun dari sini...” Lui Teng lalu mengulurkan kedua tangannya yang direntang ke kanan kiri.
Ibu dan anak itu saling pandang, lalu sang ibu muda mengangguk dan kedua orang wanita itu menurunkan keranjang cucian mereka, masing-masing memegang tangan Lui Teng dan menariknya bangun. Lui Teng bangkit berdiri, matanya melahap pakaian bagian dada mereka yang basah itu.
“Terima kasih... ah, terima kasih! Kalian adalah dewi-dewi cantik penolongku!” Dan dengan hati-hati dia lalu menarik kedua tangan itu dan menciumi jari-jari tangan mereka itu bergantian.
Ibu muda itu menjadi malu, dan puterinya ketakutan. Mereka menarik kembali tangan mereka dan dilepas oleh Lui Teng yang bersikap hati-hati.
“Aku telah berhutang budi kepada kalian. Nah, sedikit tanda peringatan ini, tanda terima kasih dan tanda cintaku kepada kalian, terimalah sedikit hadiah ini!” Dan diapun sudah mempersiapkan dua buah hiasan rambut dari emas berbentuk bunga, memberikannya kepada ibu dan anak itu, masing-masing sebuah.
Ibu dan puterinya itu, wanita-wanita dusun yang belum pernah menerima pemberian seindah itu, menerimanya dengan wajah berseri dan mereka sudah lupa lagi akan kekagetan mereka ketika jari tangan mereka diciumi hergantian oleh pemuda itu.
“Terima kasih, kongcu...” kata sang ibu muda yang diturut oleh puterinya.
“Tidak usah berterima kasih... malam nanti saja aku akan berkunjung ke kamar kalian dan aku akan menerima terima kasih kalian. Usahakan agar kalian tinggal sekamar, tanpa ada orang lain. Tunggulah kunjunganku, malam nanti...” Setelah membisikkan kata-kata itu, Lui Teng lalu lari meninggalkan mereka, kembali ke sungai dan menanggalkan semua pakaiannya lalu mandi.
Dua orang wanita itu terbelalak, wajah mereka berubah merah sekali, dan mereka saling pandang. Kalau ada sedikit rasa takut dan tidak setuju sehingga mereka ingin menolak, perasaan itu dihilangkan oleh rasa malu kalau harus menghampiri pemuda yang mandi telanjang itu. Akhirnya, keduanya pulang dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Di tengah jalan, sang ibu memesan kepada puterinya agar peristiwa itu tidak diceritakan kepada siapapun juga, bahkan kepada ayahnyapun jangan sekali-kali diceritakan.
Lui Teng merasa yakin akan kemenangannya. Ketika dia menciumi tangan kedua orang wanita itu dan melihat mereka tidak menjerit atau menolak, dia sudah tahu bahwa mereka itu sudah bertekuk lutut, dan takkan menolak, atau setidaknya, takkan melawan kalau dia mencurahkan rasa cinta berahinya kepada mereka!
Ketika A Kim dan ibunya tiba di rumah mereka, ternyata suami ibu muda yang bernama Souw Kun sedang menerima dua orang tamu. Mereka adalah dua orang laki-laki muda yang berwajah tampan dan berpakaian seperti sastrawan. Perasaan ibu muda dan puterinya menjadi semakin berdebar karena dua orang itu mengingatkan mereka akan orang muda yang mereka jumpai di tepi sungai dan yang bersikap manis kepada mereka, bahkan telah menghadiahkan hiasan rambut dari emas dan berjanji akan datang menjenguk mereka malam nanti!
Akan tetapi, dua orang muda ini bersikap amat sopan dan sinar mata mereka sama sekali tidak “nakal” seperti sinar mata pemuda yang mereka jumpai di sungai. Dua orang pemuda ini cepat bangkit dan memberi hormat kepada ibu dan anak itu, dan Souw Kun segera memperkenalkan isteri dan anaknya kepada mereka, sebaliknya dia memberitahu kepada isterinya untuk cepat mempersiapkan masakan dan menyembelih ayam untuk hidangan dua orang tamu mereka.
Dia memperkenalkan dua orang tamu itu kepada isterinya sebagai dua orang dari kota raja yang melakukan perjalanan dan singgah di dusun itu. Karena di dusun itu tidak ada rumah penginapan, maka mereka tadi bertanya kepada Souw Kun yang sedang bekerja di ladang, berkenalan, kemudian mereka berdua menyatakan ingin bermalam di rumahnya selama beberapa hari dengan membayar sewa secukupnya karena mereka berdua tertarik oleh pemandangan indah dan hawa sejuk dusun di kaki Pegunungan Fu-niu-san itu.
Dua orang itu bukan lain adalah Cin Hay dan Tek Hin. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Cin Hay mencegah Song Tek Hin yang membunuh diri, kemudian dia mendengar dari Tek Hin tentang mustika naga yang dirampas oleh Hek-sim Lo-mo dari tangan calon mertua pemuda pelajar itu, dan betapa tunangan Tek Hin yang bernama Bi Hwa diperkosa sampai tewas, sedangkan ayahnya juga dibunuh Hek-sim Lo-mo.
Kemudian dua orang muda itu menuju ke dusun Gi-ho-cung untuk mencari Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya yang menurut hasil penyelidikan Tek Hin, kabarnya berada di dusun itu. Karena ingin bersikap hati-hati, maklum akan kelihaian pihak lawan, Cin Hay mengajak Tek Hin untuk memasuki dusun itu tanpa membuat banyak gaduh.
Mereka lalu berkenalan dengan seorang petani yang sedang menggarap sawahnya, dan kebetulan petani itu adalah Souw Kun. Dengan sikap yang sopan dan ramah, juga dengan memberikan uang muka yang cukup banyak, mereka berhasil menarik simpati petani itu yang segera mengajak mereka ke rumahnya dan menjamu mereka sebagai tamu-tamu agung. Dalam percakapan antara mereka, dengan cerdik Cin Hay menyinggung tentang keadaan di dusun itu.
“Dusun yang begini indah dengan pemandangan alamnya dan sejuk nyaman hawanya, tentu sering dikunjungi tamu dari luar daerah. Tidakkah begitu, Souw-toako?”
Souw Kun mengerutkan alisnya, lalu mengangguk. “Memang seringkali ada tamu luar daerah datang berkunjung, akan tetapi sama sekali bukan karena keindahan pemandangan alam atau kesejukan hawa di dusun ini.”
“Ehh? Kalau bukan untuk itu, lalu untuk apa mereka datang berkunjung ke sebuah dusun yang sunyi ini?” Song Tek Hin yang mengerti akan pancingan Cin Hay, menyambung.
“Ah, yang datang bukanlah pelancong-pelancong seperti ji-wi (anda berdua) yang suka akan tempat indah, melainkan orang-orang kang-ouw, ahli-ahli silat dan orang-orang kasar.”
Jelas bahwa petani itu tidak suka mereka yang suka berdatangan ke dusun mereka. Dia adalah seorang petani sederhana yang usianya sudah empatpuluh tahun dan sudah banyak ulah orang-orang kang-ouw yang merugikan penduduk dusun dengan tingkah laku mereka yang kasar dan kadang-kadang sewenang-wenang dan kejam.
Tentu saja Souw Kun sama sekali tidak tahu bahwa dua orang tamunya yang kelihatan demikian halus dan seperti dua orang terpelajar yang tidak mengenal kekerasan, adalah dua orang muda yang ahli dalam ilmu silat, apa lagi yang berpakaian serba putih itu! Mereka berdua juga tidak membawa senjata apapun.
“Orang-orang kang-ouw? Ahli-ahli silat? Mau apa mereka datang ke sini?” tanya Cin Hay pura-pura heran.
“Di dusun kami tinggal seorang ahli pembuat senjata tajam yang amat terkenal, namanya Thio Wi Han. Dia tinggal di tepi dusun, berdua saja dengan isterinya dan dialah yang seringkali didatangi orang-orang kang-ouw yang hendak membuatkan senjata. Bahkan sekarang inipun di dusun kami terdapat banyak orang kang-ouw yang agaknya sedang menunggu senjata pesanan mereka. Sudah berpekan-pekan mereka tinggal di sini.”
Souw Kun lalu menceritakan tentang orang-orang kang-ouw yang berkeliaran di dusun itu, juga tentang adanya tiga belas orang yang kelihatan buas, yang membuat pondok darurat tak jauh dari rumah Thio Wi Han, juga tentang seorang kakek raksasa yang menyewa sebuah rumah terbesar di dusun itu di mana dia tinggal bersama beberapa orang yang kelihatannya aneh dan buas, akan tetapi yang tidak pernah mengganggu penghuni dusun.
Dari mulut Souw Kun, Cin Hay dan Tek Hin mendapatkan keterangan yang cukup jelas, akan tetapi petani itu tidak tahu senjata apa yang dipesan oleh orang-orang kang-ouw itu. Juga dia sama sekali tidak tahu tentang Hek-sim Lo-mo, apa lagi tentang mustika naga.
Dalam rumah sederhana dari Souw Kun itu hanya terdapat dua buah kamar. Sebuah kamar besar dari Souw Kun dan isterinya, dan sebuah kamar yang tidak begitu besar dari A Kim, puteri mereka. Dengan adanya dua orang tamu itu, isteri Souw Kun mendapat alasan yang cukup baik untuk tidur di kamar puterinya, bahkan hal ini dikehendaki oleh suaminya karena kamar besar dipergunakan oleh Souw Kun dan dua orang tamunya.
Souw Kun memberikan pembaringannya kepada dua orang tamunya sedangkan dia sendiri tidur di kursi panjang di sudut kamarnya itu. Isterinya tidur bersama puterinya dan dua orang wanita itu merasa tegang sekali, teringat akan pesan pemuda tampan yang memberi hadiah kepada mereka.
Malam itu sunyi sekali. Malam yang gelap dan hawa udara di luar rumah amatlah dinginnya. Cin Hay dan Tek Hin yang sehari tadi melakukan perjalanan jauh dan merasa lelah, sudah rebah di atas pembaringan, bahkan Tek Hin segera jatuh pulas. Cin Hay masih belum dapat pulas, rebah dengan gelisah. Dia melihat kehidupan tuan rumah dan diam-diam dia merasa agak iri.
Betapa bahagianya kehidupan keluarga petani dusun miskin seperti Souw Kun itu! Memang miskin sekali untuk ukuran kota, akan tetapi jelas bahwa tidak banyak persoalan yang harus mereka pikirkan kecuali bekerja setiap hari mencari makan, dan tidak ada kesulitan apapun dalam kehidupan mereka. Tidak ada yang mereka butuhkan kecuali makan kenyang setiap hari, pakaian yang setiap hari dapat diganti, tempat tinggal yang cukup melindungi mereka dari panas, angin dan hujan. Apa lagi?
Di dusun tidak ada restoran besar yang serba mahal, tidak ada toko-toko yang memamerkan barang-barang mewah pakaian indah, tidak ada tontonan-tontonan yang menghamburkan uang, tidak ada tempat perjudian dan lain kesenangan lagi yang hanya akan menambah besar kebutuhan manusia hidup. Lalu dia ingat akan keadaannya sendiri. Diapun tidak butuh apa-apa, akan tetapi juga tidak punya apa-apa! Tidak ada keluarga, tidak ada orang-orang yang dicintanya, dan hidupnya terasa hampa.
Dia menoleh kepada Tek Hin yang tidur pulas. Orang inipun tidak bahagia, pikirnya. Kehilangan orang yang dicintanya, dan kini hatinya hanya penuh dengan dendam! Hanya dendam yang masih membuat dia mempertahankan hidupnya, dendam dan harapan karena bertemu dengan dia yang menimbulkan harapan akan dapat membalas dendamnya! Kasihan Song Tek Hin ini, pikir Cin Hay, lupa akan keadaan dirinya sendiri.
Duka timbul dari iba diri sebagai hasil dari pementingan diri pribadi. Karena itu, begitu pikiran ditujukan kepada orang lain sehingga timbul rasa iba kepada orang lain, dengan sendirinya duka yang timbul dari iba diri itupun menghilang atau menipis. Perubahan dan jalan pikiran ini, ulah tingkah pikiran seperti ini, seyogianya selalu diperhatikan, diamati tanpa pamrih, tanpa tindakan apapun, hanya pengamatan saja yang ada.
Pengamatan inilah yang akan mendatangkan suatu keadaan yang lain sama sekali, pengamatan tanpa si-aku yang mengamati karena si-aku, yaitu pikiran, sudah lebur dan bersatu ke dalam pengamatan itu, seluruh pikiran, hati dan perasaan menjadi satu dalam pengamatan sehingga tidak ada lagi si-aku yang menimbang, yang menilai, yang ingin menyenangkan dan ingin disenangkan yang keduanya berpamrih dan bersumber kepada pementingan si-aku pula.
Tidak adanya si-aku ini bukan berarti diri menjadi kosong dan tumpul. Sebaliknya malah! Tanpa adanya si-aku, maka pengamatan itu murni dan penuh, tidak diselewengkan oleh si-aku yang berpendapat. seperti penuhnya pengamatan seorang tukang jam yang sedang menyelidiki kerusakan jam itu. Yang ada hanya pengamatan yang mendalam, yang menimbulkan pengertian dan kewaspadaan.
Cin Hay menoleh kepada tuan rumah. Juga sudah tidur pulas, bahkan dalam tidurnya pun, terdapat perbedaan antara pulasnya Tek Hin dan pulasnya Souw Kun petani itu. Dari cahaya sinar lilin, Cin Hay dapat melihat betapa garis-garis wajah Tek Hin yang tampan itu masih dibayangi sisa keruwetan pikiran, dan mungkin saja dalam keadaan seperti itu, di dalam tidurnya Tek Hin akan bermimpi sebagai sisa celoteh pikiran di siang hari, tidak seperti Souw Kun yang tidur demikian nyenyak, dengan wajah yang polos dan begitu bebas!
Malam semakin larut dan akhirnya Cin Hay mulai diselimuti ketidaksadaran orang yang menyeberang ke alam tidur. Akan tetapi, belum lama dia tertidur, dia yang memiliki pendengaran amat tajam berkat latihan yang tekun, tergugah oleh suara yang tidak wajar. Kelopak matanya tergetar, lalu terbuka dan kesadarannya mulai masuk. Dia tidak bergerak, melirik ke arah dua orang kawan sekamar itu. Terdengar dengkur halus Souw Kun, dan Tek Hin juga masih tidur pulas, kini miring ke kiri.
Kesadarannya sudah pulih dan dia memasang telinganya. Terdengar isak tangis tertahan! Tangis wanita yang ditahan-tahan, datangnya dari kamar sebelah! Memang lirih sekali, namun cukup menembus dinding dan tertangkap oleh pendengarannya yang tajam.
Dua orang wanita, ibu dan anak itu, sejak memasuki kamar sudah merasa gelisah dan tegang. Kalau mengenangkan pesan pemuda yang menarik itu, mereka menjadi tegang, dan si ibu muda yang merasa amat tertarik kepada orang muda tampan dan pandai merayu itu, diam-diam mengharapkan kedatangannya. Akan tetapi kalau ia teringat akan suaminya dan dua orang tamunya yang tidur di kamar sebelah, ia merasa ngeri kalau sampai kedatangan pemuda tampan itu ketahuan dan diam-diam ia mengharapkan orang itu agar jangan muncul dan bahwa pesannya tadi hanya bualan saja!
Adapun A Kim yang baru berusia limabelas tahun, masih gadis remaja, hanya menduga-duga dengan jantung berdebar tegang, apakah pemuda itu benar akan datang ke dalam kamarnya dan apa gerangan yang akan dilakukan oleh pemuda itu kepadanya dan kepada ibunya. Sampai tengah malam, keduanya belum juga tidur, menanti dengan jantung berdebar.
Akan tetapi, semakin larut malam, hati mereka menjadi semakin lega karena pemuda itu tidak muncul. Tentu hanya bualan saja, pikir mereka. Akan tetapi, tiba-tiba jendela kamar mereka terbuka dari luar tanpa mengeluarkan suara! Dan sebuah kepala nampak di jendela itu, diterangi lampu gantung di sudut rumah, dan terdengar suara.
“Sssssshhhh...!” isyarat bagi mereka agar jangan bersuara.
Ibu muda dan gadisnya itu terbelalak, dan A Kim merasa betapa jantungnya berdetak keras sampai terdengar meledak-ledak di telinganya. Ia tidak tahu bahwa ibunya juga mengalami hal yang sama ketika ia memegang tangan ibunya. Tangan mereka dingin dan gemetar! Mereka mengenal kepala dan muka itu, muka pemuda tampan yang berjumpa dengan mereka di sungai siang tadi! Wajah yang tampan tersenyum manis dan pandang matanya yang nakal!
Bagaikan seekor kucing saja, tanpa menimbulkan suara, pemuda yang bukan lain adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng, sudah melompat ke dalam kamar itu. “Sstttt, aku datang memenuhi janji...” bisiknya lirih, “harap jangan mengeluarkan suara...”
Dan diapun langsung saja menutupkan kembali daun jendela yang tadi dibukanya dari luar dengan mudah, mempergunakan tenaga dan kepandaiannya. Kamar itu kembali menjadi gelap seperti tadi, hanya remang-remang saja karena ada sedikit sinar lampu menyorot masuk dari ruangan di luar kamar itu melalui celah-celah di atas daun pintu yang tinggi.
Nyonya Souw Kun, ibu A Kim, dengan tubuh gemetar menurut saja seperti seekor domba digiring ke jagal ketika Lui Teng merangkulnya dan menariknya ke pembaringan. Tangan ibu ini memegang lengan A Kim yang ikut pula terbawa dan begitu mereka berada di atas pembaringan, Lui Teng menerkam wanita itu dengan penuh gairah, namun juga dengan kelembutan, disertai bisikan-bisikan merayu yang memang menjadi keahliannya.
Ibu muda itu seperti lumpuh. Bermacam perasaan membuatnya lumpuh. Perasaan gembira, malu, ingin tahu, juga tegang dan takut, semua itu didorong oleh rangsangan yang timbul oleh rayuan dan cumbuan Lui Teng yang berpengalaman, berubah menjadi penyerahan dengan penuh kepasrahan seorang yang mabok nafsu! Ibu ini lupa keadaan, lupa di mana ia berada, lupa siapa dirinya, dan lupa bahwa di dekatnya ada puterinya yang masih remaja, yang menggigil karena ia sudah cukup besar untuk mengerti apa yang sedang terjadi.
Dan Lui Teng tidak akan dijuluki Jai-hwa Kongcu kalau dia merasa puas dengan hasil yang diperolehnya, puas dengan penyerahan diri Nyonya Souw Kun penuh kepasrahan itu. Tidak, dia sama sekali belum puas. Masih ada A Kim di situ, setangkai bunga yang sedang mekar, belum tersentuh tangan, setangkai kembang yang belum tercium kumbang.
Setelah menaklukkan sang ibu, diapun mulai menerkam puterinya! Dan ibu A Kim tidak dapat berbuat apapun, tidak berani melarang karena khawatir kalau rahasianya terbuka. Terpaksa ia harus merelakan puterinya digauli Jai-hwa Kongcu, bahkan ia membujuk-bujuk agar puterinya tidak menangis terlalu keras, agar jangan sampai diketahui suaminya bahwa di kamar itu, ibu dan anak sedang tidur bersama seorang laki-laki asing!
Dan tangis tertahan-tahan dari A kim itulah yang terdengar oleh telinga Cin Hay yang peka terlatih. Setelah dia merasa yakin bahwa yang merintih dan menangis lirih itu adalah suara seorang wanita di kamar sebelah, Cin Hay lalu bangkit duduk, dengan hati-hati dia turun dari atas pembaringan lalu menghampiri Souw Kun yang masih tidur nyenyak. Dirabanya pundak orang itu dan diguncangnya perlahan sampai Souw Kun terbangun. Cin Hay menaruh telunjuknya di depan mulut lalu berkata lirih,
“Souw-toako, aku mendengar suara tangisan di kamar sebelah. Sebaiknya kalau engkau jenguk anak isterimu, jangan-jangan ada yang sedang sakit. Tangis itu merintih seperti orang kesakitan.”
Souw Kun bangkit duduk dan dia mencoba mendengarkan, akan tetapi pendengarannya tidak setajam pendengaran Cin Hay, maka dia menggeleng kepalanya. “Aku tidak mendengar apa-apa,” katanya.
“Coba kautempelkan telingamu di dinding itu, mungkin kau akan mendengar juga,” kata Cin Hay.
Souw Kun lalu menghampiri dinding yang memisahkan kamar itu dengan kamar puterinya, lalu menempelkan telinganya. Benar saja lapat-lapat dia mendengar suara rintihan dalam tangisan lirih, bahkan lapat-lapat dia mengenal tangis itu seperti suara puterinya.
“Ah, aku dapat mendengarnya sekarang! Anakku tentu sakit...” katanya.
“Toako, sebaiknya kalau engkau menjenguk mereka, siapa tahu anakmu membutuhkan pertolonganmu,” kata Cin Hay yang merasa tidak enak hatinya.
Puteri tuan rumah itu jelas menangis dengan tertahan-tahan, seolah-olah ia merasa malu untuk mengganggu para tamunya. Hal ini membuat hatinya tidak enak, karena ia merasa telah mengganggu keluarga tuan rumah yang demikian ramahnya. Mungkin gadis itu mengalami sakit yang hebat, dan menahan tangisnya agar jangan mengganggu para tamu.
Souw Kun merasa khawatir juga mendengar ucapan Cin Hay. Dia lalu membuka pintu kamar itu dan keluar. Tak lama kemudian Cin Hay yang masih berada di dalam kamar mendengar tuan rumah menggedor daun pintu kamar sebelah dan memanggil-manggil isteri dan anaknya. Dia tidak ikut karena merasa tidak patut untuk menjenguk ke kamar isteri dan gadis tuan rumah.
Tiba-tiba Cin Hay terkejut. Terdengar suara gaduh di kamar sebelah itu, dan yang terakhir terdengar teriakan Souw Kun, disusul robohnya tubuh orang dan selanjutnya sunyi. Cin Hay cepat melompat keluar dari dalam kamar dan dia masih melihat berkelebatnya orang, cepat sekali, keluar dari ruangan itu. Dia hendak mengejar, akan tetapi melihat tubuh Souw Kun menggeletak di ambang pintu kamar yang terbuka lebar, sebuah lampu gantung yang agaknya tadi dibawa Souw Kun, menggeletak miring dan hampir padam di sebelahnya.
Cin Hay tidak jadi mengejar, melainkan cepat menyambar lampu gantung itu sehingga tidak jadi mati, dan ketika dia mengangkat lampu itu mendekati tubuh Souw Kun, dia terkejut melihat betapa orang itu telah tewas dengan leher terluka lebar hampir putus! Agaknya leher itu terbabat senjata tajam yang dilakukan dengan tenaga besar sehingga Souw Kun tewas seketika. Tentu teriakan tadi dilakukan Souw Kun sebelum dia roboh, dan mungkin karena dia melihat sesuatu di dalam kamar.
Dengan hati berdebar tegang, Cin Hay melangkah ke dalam kamar, mengangkat lampu itu tinggi-tinggi di tangannya dan dia menahan teriakannya! Ibu dan gadis itu menggeletak di atas pembaringan, dengan telanjang bulat dan tubuh mereka penuh berlepotan darah!
Sepintas lalu saja Cin Hay tahu bahwa mereka telah tewas dengan dada tertusuk senjata tajam dan mungkin menembus jantung dan mereka tewas seketika tanpa sempat mengeluarkan suara! Cin Hay menjadi pening. Wajah ibu dan gadisnya itu nampak seperti wajah mendiang isterinya, Ci Sian, yang juga tewas dalam keadaan yang tidak jauh berbeda dari ibu dan anak itu!
“Keparat...!” bentaknya dan tubuhnya berkelebat keluar dari rumah itu, untuk mengejar bayangan yang tadi dilihatnya berlari keluar.
Akan tetapi, sunyi saja di luar. Sunyi dan gelap. Dia tidak tahu ke mana penjahat biadab itu melarikan diri. Souw Kun telah tewas, demikian pula isterinya dan puterinya. Mereka bertiga tewas terbunuh di depan hidungnya tanpa dia mampu mencegahnya. Dalam sekelebatan saja dia tahu apa yang terjadi.
Tentu penjahat itu tadi mengganggu ibu dan anak gadisnya itu di dalam kamar mereka, mungkin memperkosanya. Kemudian Souw Kun menggedor daun pintu, mengejutkan penjahat itu dan untuk menghilangkan jejak, penjahat keji itu membunuh dua orang wanita yang menjadi korbannya, kemudian membunuh pula Souw Kun. Dengan demikian, tidak ada orang yang sempat melihat mukanya dan tidak akan ada yang tahu siapa yang memperkosa dua orang wanita itu dan melakukan pembunuhan atas diri mereka dan Souw Kun.
Cin Hay kembali ke rumah Souw Kun, lalu menyelinap ke dalam kamar di mana dia melihat Song Tek Hin baru saja terbangun dan pemuda itu memandang kepadanya dengan heran.
“Tai-hiap, dari mana engkau dan apakah yang terjadi? Aku seperti mendengar suara ribut-ribut di sebelah,” katanya.
“Saudara Song, telah terjadi hal yang hebat dalam rumah ini,” kata Cin Hay dan dengan singkat namun jelas dia menceritakan apa yang terjadi.
“Ahhh! Souw-toako, isterinya, dan puterinya dibunuh orang?” Song Tek Hin terbelalak. “Akan tetapi, mengapa?” Lalu dia meloncat turun dari atas pembaringan dalam keadaan siap siaga, “Apakah karena kita menginap di sini? Apakah penjahat itu sebetulnya menginginkan nyawa kita?”
Cin Hay menggeleng kepala dan menceritakan pendapatnya. “Agaknya penjahat itu memperkosa ibu dan anak itu. Aku mendengar rintihan mereka dan aku membangunkan Souw-toako yang segera menggedor pintu kamar mereka. Penjahat itu lalu membunuh dua orang wanita itu, keluar dari kamar dan membunuh pula Souw-toako. Aku sempat melihat bayangannya berkelebat melarikan diri. Tentu dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika aku mencari jejaknya keluar, aku tidak menemukan lagi bayangannya.”
“Ah, tidak salah lagi! Tentu ini perbuatan kaki tangan Hek-sim Lo-mo! Mereka memang tokoh-tokoh sesat yang jahat seperti iblis! Dan melihat kejahatan ini, tentu keselamatan kakek ahli pembuat pedang itu terancam bahaya pula.”
“Memang sebaiknya kalau kita pergi menemuinya, selain untuk menjaga keselamatannya, juga untuk melihat apakah benar Hek-sim Lo-mo membawa mustika naga yang dirampas dari Pouw Sianseng untuk dibuatkan senjata oleh kakek Thio Wi Han,” kata Cin Hay.
“Lalu mereka itu...” Song Tek Hin menunjuk ke luar kamar, “Bagaimana dengan mayat-mayat mereka?”
Cin Hay menarik napas panjang. “Tidak ada orang lain melihat kita di sini, sebaiknya kita pergi diam-diam agar tidak mendatangkan banyak ribut dan prasangka buruk. Biarlah besok mayat mereka ditemukan para tetangga. Kita sekarang juga pergi menyelidiki keadaan rumah kakek Thio Wi Han.”
Song Tek Hin mengangguk dan mereka lalu membawa semua bekal pakaian dan meninggalkan kamar itu. Mereka berhenti sebentar di depan kamar sebelah dan Song Tek Hin mengerutkan alisnya ketika melihat mayat-mayat itu, terutama keadaan mayat ibu dan anak yang telanjang bulat itu. Diapun membayangkan keadaan tunangannya yang juga tewas diperkosa oleh anak buah Hek-sim Lo-mo, maka sambil mengepal tinju dia menyumpahi datuk sesat dan kaki tangannya.
Cin Hay dan Tek Hin menyelidiki keadaan sekitar rumah tinggal kakek Thio Wi Han. Pondok itu sunyi dan gelap, tanda bahwa penghuninya sedang tidur. Cin Hay dan Tek Hin melihat bahwa kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang membuat bangunan darurat yang tidak jauh dari pondok ahli pembuat pedang itu berada di dalam pondok darurat mereka.
Ada dua orang yang duduk berjaga, yang lain agaknya juga tertidur di sebelah dalam. Karena merasa tidak enak mengganggu kakek Thio Wi Han dan isterinya yang masih tidur, dua orang pemuda itu tidak mau berkunjung, melainkan menanti sampai pada pagi harinya. Setelah kelihatan kesibukan di pondok itu, barulah Cin Hay dan Tek Hin berjalan menuju ke pondok. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari belakang mereka.
“Haiiii! Siapa kalian? Berhenti dan perkenalkan diri kepada kami lebih dulu!”
Cin Hay dan Tek Hin membalik dan mereka melihat ada tigabelas orang yang bersikap kasar dan rata-rata memiliki wajah bengis, berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun, telah berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam. Pemimpin mereka yang berperut gendut dan bermuka bopeng, maju menghampiri dan sikapnya angkuh sekali ketika dia memandang Cin Hay dan Tek Hin. Agaknya, orang inilah yang tadi membentak kepada mereka.
Song Tek Hin yang dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan kaki tangan Hek-sim Lo-mo yang jahat dan berbahaya, membiarkan Cin Hay maju melayani mereka. Dia hanya mengandalkan kepada Pendekar Naga Putih ini untuk melawan Hek-sim Lo-mo dan kaki tangannya, maklum betapa lihainya pendekar ini...