Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 17

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 17
Sonny Ogawa
“GOBLOK semua!” bentaknya dengan suara parau. “Kalian begini banyak orang tidak mampu mencegah mereka lari? Yauw Ban, engkau yang herjuluk Tok-gan-liong, mana kelihaianmu yang kau banggakan itu? Dan kalian He-nan Siang-mo, mana keampuhan golok kalian? Kiu-bwe Mo-li, Jai-hwa Kongcu, dan ini tiga belas orang Setan Wei-ho, kalian semua juga hanyalah gentong-gentong nasi yang kosong belaka! Hayo jawab, mana pertanggungan jawab kalian! Kalau tidak jelas keterangan kalian, jangan salahkan aku kalau kedua tanganku ini bergerak mencabuti nyawa kalian yang tidak ada harganya itu!”

Kiu-bwe Mo-li bermain mata dengan Jai-hwa Kongcu Lui Teng. Mereka tersenyum-senyum dengan terbuka sehingga kelihatan oleh Hek-sim Lo-mo yang menjadi semakin marah.

“Keparat! Kalian berdua berani mempermainkan aku dan berani mentertawakan aku?” bentaknya, tangannya sudah gatal-gatal untuk menyerang dua orang pembantu yang biasanya menjadi orang-orang kepercayaannya itu.

Melihat ini, Kiu-bwe Mo-li menjadi pucat wajahnya dan cepat-cepat ia melangkah maju dan memberi hormat kepada Hek-sim Lo-mo. Biarpun ia sendiri dijuluki Mo-li (Iblis Betina) dan memiliki watak yang amat kejam, liar dan ganas, namun wanita ini amat takut kepada Hek-sim Lo-mo. Terhadap datuk yang satu ini ia memang mati kutu. Menggunakan ilmu kepandaian kalah jauh, mengandalkan kecantikan dan kegenitan tidak mempan.

“Ampun, Beng-cu. Harap Beng-cu menenangkan hati karena tidak percuma Beng-cu mempunyai pembantu-pembantu seperti Kiu-bwe Mo-li dan Jai-hwa Kongcu!”

Berkata demikian, dengan lagak bangga Kiu-bwe Mo-li melirik ke kanan kiri. Yauw Ban dan para pembantu lain terkejut mendengar ucapan itu dan mereka menduga-duga apa yang dimaksudkan oleh iblis betina itu, demikian beraninya bicara besar di depan Hek-sim Lo-mo.

Akan tetapi Hek-sim Lo-mo bukan seorang bodoh. Biarpun tadi dia marah besar mendengar betapa Thio Wi Han dan isterinya berhasil melarikan diri, bahkan seorang di antara dua tawanan, yaitu pemuda berpakaian putih yang amat lihai itupun lolos, kini mendengat ucapan Kiu-bwe Mo-li, dia mengharapkan sesuatu yang menyenangkan.

“Hemm, katakanlah, Mo-li. Hasil baik apakah yang telah dilakukan olehmu dan Jai-hwa Kongcu?”

Dua orang pembantu utama itu menggerakkan tangan mengambil pedang mereka dari balik jubah dan melihat dua batang pedang itu, wajah Hek-sim Lo-mo menjadi cerah berseri. Tentu saja dia mengenal sepasang pedang naga yang dibuat oleh kakek Thio Wi Han, yang dibuat dari Kim-san Liong-cu itu! Kalau tadi dia marah besar adalah karena dia merasa kehilangan sepasang pedang pusaka itu.

“Ahhh! Kiranya kalian dapat menyelamatkan sepasang pedang itu!” katanya gembira dan dia menerima sepasang pedang itu dari tangan dua orang pembantunya. Sambil mengamati kedua pedang itu setelah mencabut dari sarungnya dengan wajah gembira, Hek-sim Lo-mo lalu berkata kepada mereka semua, “Sekarang ceritakan apa yang tetah terjadi dan bagaimana mereka itu sampai dapat lolos.”

Wei-ho Cap-sha-kwi diwakili oleh Kwa Ti bercerita, “Pagi hari itu, muncul kakek Thio Wi Han di dalam ruangan tahanan, katanya hendak menengok keadaan dua orang keponakannya yang menjadi tawanan. Ketika tiba di depan kamar tahanan itu, dia mengamuk mempergunakan sepasang pedang pusaka itu. Dua orang tawanan itupun keluar dan mengamuk, dan kami berhasil menangkap kembali yang seorang ini!” Dia menuding kepada Song Tek Hin yang masih duduk di atas lantai sambil memandang mereka semua dengan tersenyum mengejek, sebagai seorang penonton yang penuh perhatian, Kiu-bwe Mo-li melanjutkan, “Untung bahwa kami berdua segera datang menghadapi Thio Wi Han. Tentu saja kami berdua akan mampu menangkap kembali kakek itu kalau saja tidak ada pemuda berpakaian putih yang lihai itu. Dia keluar dari tempat tahanan dan dialah yang membantu kakek Thio Wi Han, bahkan dia pula yang melarikan kakek itu. Akan tetapi, kami telah berhasil melukai Thio Wi Han, luka parah, dan kami berdua berhasil pula merampas sepasang pedang pusaka ini dari tangannya.”

Hek-sim Lo-mo mengangguk-angguk. “Memang pemuda itu lihai, lawannya hanyalah aku. Tidak aneh kalau kalian tidak mampu menandinginya. Akan tetapi syukur bahwa pedang-pedang ini dapat kalian rampas. Dan bagaimana dengan engkau, Tok-gan-liong Yauw Ban?”

Datuk iblis itu menoleh kepada para pembantunya yang lain. “Bukankah engkau dibantu oleh He-nan Siang-mo? Engkau sudah mendengar sendiri. Bagaimanapun juga, Cap-sha-kwi telah berhasil menangkap kembali seorang tawanan, sedangkan Mo-li dan Jai-hwa Kongcu telah berhasil merampas kembali sepasang pedang pusaka. Bagaimana dengan kalian bertiga?”

Wajah Yauw Ban berubah agak kemerahan. Mata tunggalnya mencorong, tanda bahwa dia marah sekali kepada pihak musuh yang telah membuat dia tersudut dan harus mengecewakan pimpinannya. “Maafkan kami, Beng-cu. Kami bertiga bertemu dengan isteri Thio Wi Han. Kami merasa curiga dan menegurnya, akan tetapi tiba-tiba ia menyerang kami. Tentu kami akan mampu menangkapnya kembali kalau tidak ada gadis berpakaian hitam itu yang tiba-tiba muncul dan membantu nenek itu...”

“Gadis berpakaian hitam...?” Kiu-bwe Mo-li berseru. “Maksudmu Hek-liong-li...?”

“Benar, gadis yang pernah membuat engkau kewalahan itu, Mo-li,” kata Yauw Ban dengan senyum mengejek.

“Teruskan ceritamu!” kata Hek-sim Lo-mo tidak sabar melihat dua orang pembantunya ini agaknya saling mengejek.

“Kami bertiga berhasil melukai isteri Thio Wi Han, ia menderita luka parah dan tak mungkin dapat hidup lagi. Akan tetapi kami tidak dapat menawannya karena ia dilarikan oleh gadis berpakaian hitam itu.”

Hek-sim Lo-mo mengangguk-angguk. Dia tidak memusingkan lolosnya suami isteri itu. Yang penting baginya adalah sepasang pedang itu yang kini telah terjatuh ke tangannya. “Sudahlah, bagaimanapun juga, kita tidak rugi banyak. Sepasang pusakaku dapat kembali kepadaku, dan suami isteri itu biarpun tidak tertangkap namun terluka parah.”

“]uga masih ada keuntungan kita, Beng-cu, yaitu tertawannya kembali pemuda itu!” kata Kwa Ti pemimpin Wei-ho Cap-sha-kwi untuk menonjolkan jasa mereka. “Apakah kami boleh menyiksanya sampai mati untuk melampiaskan rasa penasaran Beng-cu dan kita semua?”

Hek-sim Lo-mo menoleh kepada Song Tek Hin. Pemuda ini tersenyum mengejek kepadanya. “Kalian bunuh membunuh aku seribu kali, aku tidak takut! Kalian telah menyiksa tunanganku sampai mati, telah membunuh calon mertuaku dan merampas Kim-san Liong-cu. Kejahatan kalian bertumpuk-tumpuk, tak mungkin dapat terlepas dari hukuman Tuhan!”

“Beng-cu, biar kusiksa dia!” kata Kiu-bwe Mo-li.

Hek-sim Lo-mo tersenyum menyeringai kepada wanita iblis itu. “Heh, akan kau hisap dia dulu sampai habis seperti seekor laba-laba menghisap korbannya, baru akan kaubunuh?”

“Biar kusiksa dia sekarang juga di sini Beng-cu!” kata pula Kwa Ti.

Hek-sim Lo-mo mengangkat tangannya. “Bodoh! Orang-orang yang bijaksana seperti kita tidak melakukan perbuatan hanya menurutkan perasaan hati saja, akan tetapi harus memakai perhitungan. Apa untungnya kalau kita menyiksa dan membunuhnya? Seperti kanak-kanak saja. Tidak, dia masih ada gunanya untuk kita, setidaknya untuk aku!”

“Eh, masih ada gunanya? Untuk apa anjing ini, Beng-cu?” tanya Jai-hwa Kongcu yang membenci pemuda itu karena tadi jelas Kiu-bwe Mo-li membutuhkan pemuda itu untuk melampiaskan nafsunya. Dia tidak merasa cemburu, karena bagaimanapun juga, seorang jai-hwa-cat seperti dia tentu saja tidak tergila-gila kepada seorang wanita keriputan seperti Kiu-bwe Mo-li.

“Kalian ini kurang panjang akal. Memang sepasang pedang pusaka sudah berada di tanganku, akan tetapi apakah aku akan membiarkan saja dua ekor anjing cilik itu, Hek-liong-li dan Tan Cin Hay, menghinaku dengan tindakan mereka yang berani menantangku? Mencari mereka bukan hal yang mudah, oleh karena itu satu-satunya jalan untuk dapat membalas hinaan mereka, untuk dapat menumpas mereka, adalah memancing mereka datang! Dan pemuda ini merupakan umpan yang baik sekali. Kalau mereka tahu bahwa dia ini masih hidup dan menjadi tawanan kita, pada suatu hari pasti dua orang itu akan muncul dan tibalah kesempatan bagiku untuk menghantam mereka!”

“Aih, itu akal bagus sekali, Beng-cu. Biar aku yang menjaganya agar dia jangan sampai lolos!” kata Kiu-bwe Mo-li yang memandang pemuda itu seperti seekor kucing kelaparan melihat daging segar.

“Ho-ho, kalau kucing disuruh menjaga ikan, tentu akan digerogotinya sendiri sampai habis!” tiba-tiba Gan Siang berseru sambil tertawa. Adik kembarnya ikut pula tertawa dan berkata.

“Kalau engkau yang menjaga, Mo-li, umpan itu tentu akan menjadi busuk dan rusak sebelum ikan yang dipancing datang mendekatinya, ha-ha!”

Semua orang tersenyum dan Kiu-bwe Mo-li memandang kepada si kembar itu dengan sinar mata berkilat marah. Akan tetapi Hek-sim Lo-mo meredakan mereka dengan suaranya yang parau berwibawa,

“Sudahlah, tidak perlu ribut-ribut. Pemuda itu untuk sementara ini tidak boleh diganggu, tidak boleh mati, bahkan harus kelihatan sehat agar dua orang yang kutunggu-tunggu itu muncul. Sekarang kita kembali ke Lok-yang dan sebelum dua orang itu datang dan dibinasakan, kalian para pembantu utamaku yang lima orang, dibantu oleh Wei-ho Cap-sha-kwi, harus melakukan penjagaan dengan ketat!”

Tiba-tiba Song Tek Hin tertawa sehingga semua orang menoleh kepadanya. “Bagus sekali! Orang tidak menghendaki kematianku, justeru aku yang ingin mati! Kalau mulai saat ini aku tidak diperlakukan sebagai seorang tamu agung terhormat, tidak mendapat makanan yang enak, kamar yang bersih, ganti pakaian yang bersih, aku akan mogok makan minum dan akan membunuh diri saja!”

“Jangan khawatir, Song Tek Hin. Semua permintaanmu itu akan kami penuhi asal engkau tidak berusaha meloloskan diri,” kata Hek-sim Lo-mo.

“Mengapa meloloskan diri? Kawan-kawanku tentu akan datang membebaskan aku!” kata Song Tek Hin menyombong.

Dia meragukan apakah Pek-liong-eng akan mau datang menolongnya, dan andaikata mau juga, apakah mungkin pendekar itu seorang diri saja menghadapi Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya? Sedikit sekali harapan baginya untuk lobos dari kematian di tangan para penjahat ini. Diapun tidak mengharapkan dapat lolos, hanya lebih baik mati wajar dari pada mati tersiksa, dan sebaiknya lagi kalau sebelum mati dia menikmati kehidupan yang menyenangkan, menjadi tamu agung di rumah seorang datuk iblis seperti Hek-sim Lo-mo! Dan siapa tahu, dia mendapat kesempatan untuk meloloskan diri.

Hek-sim Lo-mo lalu mengajak semua anak buahnya pulang ke Lok-yang, di mana dia hidup sebagai seorang hartawan besar di dalam gedungnya yang luas dan megah. Dia gembira sekali dapat membawa pulang sepasang pedang pusaka itu dan dia menepati janjinya.

Song Tek Hin hidup di dalam gedung itu sehagai seorang tamu terhormat, mendapatkan sebuah kamar yang bersih dan indah, mendapatkan ganti pakaian dan hidangan makanan untuknya juga yang serba enak. Akan tetapi dia sama sekali tidak boleh bebas dan selalu berada dalam pengawasan para anak buah Hek-sim Lo-mo.

Song Tek Hin juga seorang yang cukup cerdik. Dia maklum bahwa dia menjadi tamu terhormat bukan karena dimanja, bukan karena disuka, melainkan karena dia dijadikan umpan. Dia maklum bahwa selama Tan Cin Hay belum muncul, dia akan selamat. Kalau pendekar itu sudah muncul, barulah dia terancam bahaya dan hanya ada dua kemungkinan baginya.

Pertama, dia akan dapat diselamatkan pendekar itu dan lolos dari rumah penjara mewah ini. Kedua, dia akan tewas terbunuh sebelum Cin Hay mampu menolongnya. Maka, diapun tidak tergesa-gesa mencari kesempatan untuk melarikan diri, maklum bahwa hal itu selain amat sukar, juga amat berbahaya. Sekali saja dia berusaha melarikan diri dan sampai tertangkap kembali, dia pasti akan dibunuh dengan siksaan!

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 17 karya kho ping hoo

Malam itu bulan bersinar terang. Kota Lok-yang bermandikan sinar bulan dan sejak bulan muncul tadi, orang-orang berjalan-jalan dan keluar dari rumah masing-masing untuk menikmati malam terang bulan yang indah. Akan tetapi, hawa udara dingin sekali, tanda bahwa musim dingin sudah di ambang pintu. Saking dinginnya hawa udara, maka belum tengah malam orang-orang sudah masuk ke rumah masing-masing. Lebih nyaman di dalam rumah dengan perapian menghangatkan tubuh dan menikmati sinar bulan sambil memandang keluar jendela kaca saja.

Malam itu memang indah, namun amat dingin dan karenanya sunyi sekali. Dari pintu gerbang sebelah barat kota Lok-yang, berkelebat bayangan hitam yang gerakannya seperti seekor burung saja. Bayangan ini menyusup ke dalam bayangan-bayangan yang redup, agaknya menghindari pertemuan dengan orang dan ia menghampiri sebuah rumah gedung besar yang berdiri di pinggir kota. Rumah gedung itu adalah tempat tinggal Hek-sim Lo-mo!

Sejenak bayangan itu mengelilingi luar tembok dan setelah bayangan itu merasa yakin bahwa tidak ada orang melihatnya, sekali tubuhnya bergerak, ia telah melompat ke atas tembok dan melayang ke dalam. Bayangan hitam itu adalah Hek-liong-li Lie Kim Cu. Wanita ini merasa penasaran sekali kalau belum dapat membasmi Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya. Setelah malam tiba, ia memasuki kota Lok-yang dari pintu barat dan langsung saja ia mengunjungi tempat tinggal datuk sesat itu.

Liong-li memang seorang wanita yang amat tabah. Ia tahu siapa adanya Hek-sim Lo-mo, maklum bahwa seorang di antara Kiu Lo-mo atau Sembilan Ihlis Tua yang turun ke dunia ramai dan membuat geger dunia persilatan itu, bukanlah seorang lawan yang boleh dipandang ringan. Dan iapun dapat menduga bahwa di rumah datuk itu tentu terdapat pula, para pembantunya yang pandai, di antaranya adalah Kiu-bwe Mo-li yang masih terhitung sucinya atau kakak seperguruannya sendiri karena Kiu-bwe Mo-li adalah murid keponakan dari gurunya. Akan tetapi, ia tidak takut. Apa lagi sekarang di pinggangnya tergantung Hek-liong-kiam!

Memang tepat dugaan Liong-li. Di rumah besar itu, selain Hek-sim Lo-mo sendiri, tinggal pula belasan orang pelayan wanita yang rata-rata muda, cantik dan pandai silat dan beberapa orang di antara mereka juga melayani majikan mereka sebagai selir-selir. Selain mereka, di situ, seperti pernah diperintahkan Hek-sim Lo-mo, tinggal pula para pembantu utamanya, yaitu Yauw Ban, Kiu-bwe Mo-li, Jai-hwa Kongcu, dan dua orang kembar He-nan Siang-mo.

. Selain mereka berlima, masih ditambah lagi Wei-ho Cap-sha-kwi yang merupakan pasukan penjaga keamanan di gedung itu. Jelaslah betapa kuatnya keadaan di rumah besar mewah milik Hek-sim Lo-mo itu. Karena keadaan yang kuat ini agaknya yang membuat mereka menjadi lengah. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Baru Wei-ho Cap-sha-kwi saja sudah merupakan tigabelas orang yang sukar dicari lawannya, apa lagi lima orang pembantu utama Hek-sim Lo-mo.

Belum lagi diingat bahwa Hek-sim Lo-mo sendiri adalah seorang sakti yang agaknya tanpa dikawal atau dijagapun takkan ada orang yang berani mengganggunya. Hanya orang gila sajalah yang akan berani mati mengganggu kediaman datuk iblis ini! Pendapat inilah yang membuat para pembantu Hek-sim Lo-mo menjadi lengah dan hanya melakukan penjagaan setengah hati saja, tidak bersungguh-sungguh.

Pada malam yang dingin itu apa lagi! Wei-ho Cap-sha-kwi merasa malas untuk berjaga di luar, apa lagi di dalam gardu penjagaan yang terbuka sehingga mereka tidak dapat berlindung terhadap serangan hawa udara yang amat dingin itu. Tentang keindahan sinar bulan di malam itu, bagi orang-orang seperti mereka, mana ada keindahan kecuali hal-hal yang menyenangkan mereka dan memuaskan nafsu-nafsu mereka?

Sesungguhnyalah, hanya orang orang yang wataknya jahat, atau orang-orang tak berperasaan, atau orang-orang yang condong berpenyakit jiwa sajalah yang tidak mampu lagi menikmati keindahan alam. Tidak mampu menikmati keindahan bentuk-bentuk dan warna-warna bunga, hijaunya rumput dan daun-daunan, indahnya burung-burung dan merdunya nyanyian mereka, nyamannya udara jernih di tempat sunyi, nikmatnya dendang air sungai dan segala keindahan alam yang luar biasa ini.

Lima orang pembantu utama Hek-sim Lo-mo sudah sejak tadi memasuki kamar masing-masing. Jai-hwa Kongcu Lui Teng berhasil menggandeng seorang di antara para pelayan wanita tuan rumah dan mengajaknya masuk ke dalam kamarnya. Kiu-bwe Mo-li yang merasa kesepian, meninggalkan kamarnya dan berkunjung ke kamar Song Tek Hin, untuk ke sekian kalinya membujuk rayu pemuda itu yang tak pernah mau melayaninya. Untuk mempergunakan kekerasan, Kiu-bwe Mo-li tentu saja tidak berani, takut akan larangan Hek-sim Lo-mo.

Wei-ho Cap-sha-kwi yang bertugas jaga dan bahkan bertanggung jawab akan keamanan di sekitar rumah gedung itu, berkumpul di ruangan belakang, menghadapi meja, daging dan kacang goreng, juga beberapa guci arak. Mereka berusaha menghangatkan tubuh yang diserang hawa dingin itu dengan minum arak!

Tiga belas orang kasar ini sama sekali tidak tahu betapa ada sepasang mata yang jeli dan tajam mengintai dari balik jendela ke arah mereka. Kalau saja mereka tidak begitu lengah, tentu sebagai orang-orang yang berilmu tinggi, mereka akan menjadi penjaga- penjaga yang sukar ditembus penjagaan mereka.

Orang yang mengintai dari balik jendela itu adalah Liong-li! Ia segera dapat menduga bahwa tiga belas orang kasar ini adalah anak buah Hek-sim Lo-mo. Biarpun ia tidak gentar menghadapi keroyokan tiga belas orang itu, akan tetapi Liong-li bersikap hati-hati. Ia ingin mencari Hek-sim Lo-mo lebih dulu dan ia ingin menyelidiki siapa saja yang berada di rumah itu dan yang akan menjadi lawannya. Setelah melihat betapa tiga belas orang itu makan minum dengan lahapnya, ia menyelinap pergi. Biarkan mereka itu minum sepuasnya sampai mabok, makin mabok makin mudah dibasminya nanti, pikirnya.

Melihat sebuah kamar masih terang dan ada suara orang bicara di dalamnya, Liong-li menyelinap ke balik jendela kamar itu dan melubangi kertas jendela. Ia dapat melihat dengan jelas, dan dapat menangkap percakapan itu dengan jelas pula. Mula-mula, mukanya berubah merah karena muak dan marah melihat betapa wanita yang sudah dikenalnya, yaitu Kiu-bwe Mo-li, sedang duduk berhadapan dengan seorang pemuda tampan!

Pemuda itu makan minum dan mereka duduk dihalangi meja makan. Wanita cabul itu nampak genit bukan main, dengan muka yang tebal oleh bedak, putih seperti tembok, mengingatkan Liong-li akan pemain wayang yang menghias mukanya seperti kedok. Dan wanita cabul itu bicara merengek-rengek, penuh bujuk rayu kepada pemuda yang kelihatannya tenang-tenang saja sambil makan paha ayam yang digerogotinya. Kelihatannya enak benar pemuda itu makan, sehingga di luar kehendaknya sendiri, Liong-li menelan ludah karena timbul seleranya.

“Orang she Song yang tampan, kurang baik apakah kami di sini terhadap dirimu? Kami melayanimu, memberimu makan enak, pakaian yang baik, kamar yang bersih dan menyenangkan pula. Engkau dianggap sebagai seorang tamu terhormat. Bukankah aku juga selalu bersikap ramah kepadamu?”

Pemuda itu tersenyum dan dari tempat sembunyinya, Liong-li harus mengakui bahwa pemuda itu ganteng dan sikapnya tenang, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut, akan tetapi jelas dia tidak tertarik oleh bujuk rayu si cabul Mo-li.

“Mo-li, memang kuakui bahwa kalian bersikap baik. Akan tetapi itu hanya karena Hek-sim Lo-mo memegang janjinya kepadaku. Bukankah aku juga bersikap tidak melawan dan tidak pernah berusaha melarikan diri? Bukankah aku telah menjadi umpan yang amat baik? Hanya sayang, Mo-li, tidak ada ikan yang tertarik oleh umpan macam aku.”

“Hemm, kami masih merasa yakin bahwa sekali waktu, Pek-liong-eng Tan Cin Hay pasti akan muncul untuk menolongmu.”

Tek Hin, pemuda itu, tertawa. Dia memang sedang berusaha agar penjagaan terhadap dirinya makin lengah lagi agar dia memperoleh kesempatan untuk melarikan diri, “Ha-ha-ha, mana mungkin? Untuk apa dia datang menolongku? Dia bukan orang tolol yang tidak tahu bahwa aku dijadikan umpan untuk memancing kedatangannya! Tidak, aku sudah mengatakan bahwa aku tidak takut mati, dan tidak perlu dia mengorbankan dirinya untuk keselamatanku!”

Mendengar semua itu. diam-diam Liong-li terkejut. Kiranya pemuda ini teman dari pemuda berpakaian putih yang lihai itu, Pek-liong-eng Tan Cin Hay! Dan pemuda ini ditahan di sini sebagai umpan agar Cin Hay datang menolongnya, tentu saja untuk ditangkap atau dibunuh!

“Kalau bukan dia, tentu Hek-liong-li akan datang!” kata pula Mo-li.

Tentu saja Liong-li terkejut mendengar ini, hampir saja ia lupa dan hampir mengeluarkan seruan kaget mendengar namanya disebut. Akan tetapi untung bahwa ia masih mampu mengendalikan dirinya sehingga ia tidak bergerak, hanya jantungnya saja yang berdetak keras karena tegang.

“Sudah beberapa kali engkau menyebut Hek-liong-li! Wanita macam apa sih ia itu? Aku mengenalnyapun tidak! Andaikata ia mau juga menolongku, apa bisa? kuharap ia tidak datang agar tidak sampai menyerahkan nyawanya kepada orang-orang jahat di sini!”

Liong-li cemberut mendengar kalimat pertama, akan tetapi tersenyum mendengar kalimat terakhir. Pemuda ini boleh juga, pikirnya. Begitu tabah dan penuh keberanian, dan tidak ingin orang lain celaka untuk menolongnya. Semangat seperti ini hanya dimiliki seorang pendekar. Akan tetapi kalau dia pendekar, mengapa mau menjadi tamu terhormat di rumah Hek-sim Lo-mo? Siapakah dia?

Kini ia melihat Kiu-bwe Mo-li bangkit dan mengitari meja, menghampiri pemuda itu, “Song Tek Hin, pemuda yang ganteng. Betapa rinduku kepadamu selama ini. Kalau-kalau engkau mau menyenangkan aku, semalam ini saja, besok pagi-pagi engkau sudah akan kubawa jauh meninggalkan tempat ini dan bebas!”

Wajah Liong-li kembali menjadi merah. Sungguh tak tahu malu, wanita hampir nenek-nenek itu membujuk rayu pemuda itu. Akan tetapi janjinya sungguh muluk, memberi kebebasan pada keesokan harinya! Akan maukah pemuda itu? Akan jatuhkah? Andaikata pemuda itu mau menerima ajakan Mo-li, ia tidak terlalu menyalahkannya karena imbalannya adalah kebebasan yang berarti mungkin juga keselamatan nyawanya. Akan tetapi, dengan penglihatannya yang awas dan berpengalaman, Liong-li dapat menduga bahwa kalau pemuda itu mau melayani hasrat kotor nenek itu, tentu dia akan tertipu dan tidak akan mungkin Mo-li berani membebaskannya!

Semua itu hanya tipuan belaka, rayuan kosong. Hati Liong-li tertarik sekali. Dia seperti melihat sebuah sandiwara, dimainkan dua orang pemain yang ahli dan pandai. Dia seperti melihat seorang pemuda diuji ketahanan batinnya. Sembilan dari sepuluh orang pemuda tentu akan menuruti kemauan Mo-li, mengingat bahwa itu merupakan tebusan nyawa, tebusan kebebasan!

Liong-li melihat betapa kedua tangan Mo-li telah merayap ke pundak kanan kiri pemuda itu, kedua lengan itu siap merangkul dan wanita itu sudah mendekatkan mukanya. Tiba-tiba pemuda itu menggerakkan tangan kanannya, menyambar ke arah muka Mo-li. Gerakan pemuda itu jelas menunjukkan bahwa dia mengerti ilmu silat, walaupun tidak terlalu tinggi. Mo-li terkejut dan hendak mengelak, akan tetapi mukanya terlampau dekat.

“Plakkk!” Muka nenek itu telah kena ditampar, cukup keras sampai ujung bibirnya berdarah dan pipi yang kempot itu kini kelihatan merah bekas tangan si pemuda! Hampir saja Liong-li bersorak saking girangnya. Puas rasa hatinya melihat nenek itu ditampar pipinya, ingin ia bersorak dan bertepuk tangan.

“Nenek tak tahu malu!” Tek Hin membentak sambil bangkit berdiri. “Kau kira aku ini orang macam kamu yang tidak malu melakukan perbuatan hina apapun? Aku tidak sudi menuruti kemauanmu yang busuk dan kotor!”

Muka nenek itu sebentar pucat sebentar merah, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat. Melihat ini, Liong-li sendiri diam-diam sudah siap-siap untuk menolong kalau-kalau pemuda itu akan dibunuh, hal yang sangat boleh jadi mengingat akan penghinaan hebat yang diterima nenek itu.

“Anjing kecil... keparat busuk, kau... kau berani menamparku dan menghinaku?” bentak Kiu-bwe Mo-li, tangannya gemetar karena sudah gatal-gatal ia hendak menjatuhkan tangan maut kepada pemuda itu. Selama hidupnya belum pernah ia menerima penghinaan seperti itu dari seorang pria. Kebanyakan pria tentu menuruti keinginannya, kalaupun ada yang menolak, maka penolakan itu dilakukan dengan takut-takut dan penuh hormat, bukan secara menghina seperti yang dilakukan Tek Hin, bahkan dengan menamparnya!

“Kubunuh kau... hemmm, kusiksa kau...!” Kiu-bwe Mo-li mendesis-desis, kedua tangannya sudah gemetar, dari mulut yang mendesis itu keluar busa, mengerikan sekali sikapnya.

Akan tetapi Tek Hin tersenyum saja, bukan senyum dibuat-buat, melainkan senyum penuh ketenangan dan kemenangan. “Mo-li, apa gunanya engkau mengancam? Sejak dulupun aku sudah siap menghadapi mati. Siapa takut mati? Mau bunuh, silakan, lakukanlah karena akhirnya engkaupun akan mampus di tangan Hek-sim Lo-mo. Nah, siksalah, hendak kulihat sampai di mana keberanianmu melanggar perintah dan larangan Lo-mo!”

Wajah itu menjadi pucat, sampai beberapa lamanya wanita itu berdiri seperti patung, tak tahu apa yang harus dilakukan, kemudian ia mendengus dan sekali meloncat ia sudah keluar dari dalam kamar itu melalui pintu dan membanting daun pintunya. Tek Hin tertawa-tawa senang dan melanjutkan makan daging ayam.

Diam-diam Liong-li kagum bukan main. Hebat memang pemuda itu! Nyawanya terancam, namun masih mampu main-main, mempermainkan Kiu-bwe Mo-li dan iblis betina itu sama sekali tidak berkutik karena takut kepada Hek-sim Lo-mo. Diam-diam Liong-li membayangkan dengan hati gentar juga. Kalau seorang iblis betina seperti Kiu-bwe Mo-li sampai demikian takutnya terhadap Hek-sim Lo-mo, dapat dibayangkan betapa hebat dan kejamnya datuk sesat itu.

Ketika itu, dengan perasaan mendongkol dan hati yang sakit sekali, Kiu-bwe Mo-li meninggalkan kamar Tek Hin. Ketika ia melewati ruangan dalam, Wei-ho Cap-sha-kwi masih minum-minum. Mereka tadi mengetahui bahwa wanita itu mengunjungi Tek Hin. Sudah berulang kali wanita itu membujuk rayu namun tak pernah dilayani oleh tawanan terhormat itu. Maka kini melihat wanita itu lewat dengan muka keruh, diam-diam mereka mentertawainya.

Akan tetapi, mereka juga heran melihat mengapa sekali ini Kiu-bwe Mo-li kelihatan marah bukan main, bahkan tadi merekapun mendengar suara daun pintu dibanting oleh Mo-li. Karena sudah menjadi tugas mereka mengamati tawanan yang seperti tamu agung itu, Kwa Ti merasa tidak enak dan menyuruh tiga orang anak buahnya untuk melihat keadaan Tek Hin.

“Coba lihat bagaimana dia, akan tetapi lihat saja dari jendela, tidak perlu masuk,” katanya.

Tiga orang anggauta Wei-ho Cap-sha-kwi itu berindap-indap menghampiri kamar Tek Hin dan mereka terkejut melihat bayangan hitam berkelebat meninggalkan jendela kamar itu. Ada orang luar rupanya yang berada di dalam gedung dan tadi agaknya berdiri diluar jendela kamar Tek Hin! Mereka segera mencabut senjata masing-masing dan mengejar bayangan hitam itu.

Bayangan itu agaknya sengaja mempermainkan mereka bertiga karena ia tidak segera melarikan diri melainkan berputaran di serambi samping yang menembus ke kebun samping. Tiga orang itu makin berbesar hati karena agaknya orang itu tidak dapat bergerak dengan sangat gesit, maka tak lama kemudian mereka berhasil menyusul dan mengepung bayangan hitam itu. Mereka tidak dapat mengenalnya, hanya melihat bayangan hitam yang bentuk tubuhnya ramping, pakaiannya serba hitam. Dengan garang seorang di antara mereka membentak.

“Siapa engkau? Hayo cepat menyerah dan berlutut sebelum senjata kami minum darahmu!”

Bayangan itu adalah Liong-li. Mendengar bentakan ini, tiba-tiba ia membalik dengan kedua tangan kosong dan senyum mengejek. “Monyet kecil bermulut besar!” katanya.

Begitu wanita itu membalik dan tiga orang itu dapat melihat wajahnya, mereka terkejut bukan main karena tentu saja mereka mengenal Liong-li yang pernah mereka dengar sebagai seorang yang sakti sekali. Mereka tidak mampu menandingi gadis berpakaian hitam ini, apa lagi kini mereka hanya bertiga!

Orang-orang yang berhati kejam biasanya memang berwatak pengecut. Mereka hanya berani berlagak dan sewenang-wenang kalau mengandalkan jumlah banyak, atau kalau merasa yakin bahwa mereka lebih kuat. Kalau bertemu lawan kuat, segera hati mereka menguncup dan mereka menjadi ketakutan.

Tanpa banyak cakap lagi, biarpun golok mereka masih berada di tangan, tiga orang itu membalikkan tubuh, tanpa dikomando lagi mereka melarikan diri seperti bertemu dengan setan yang amat menakutkan. Akan tetapi, bayangan hitam itu berkelebat cepat sekali, bergerak ke arah mereka dan satu demi satu, tiga orang itu roboh terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali karena mereka telah tewas, terkena tamparan Hiat-tok-ciang pada tengkuk mereka!

Kwa Ti merasa khawatir juga setelah menunggu beberapa lamanya, tiga orang rekannya belum juga kembali. Biarpun dalam keadaan agak pening karena terlalu banyak minum arak, dia masih ada kecurigaan, maka dia lalu memerintahkan lima orang rekannya lagi untuk keluar melihat dan menyusul tiga orang rekan pertama. Lima orang yang gerakannya agak terhuyung karena terlampau banyak minum arak, sambil tertawa-tawa keluar dari ruangan itu.

“Ha-ha-ha, gara-gara Mo-li yang gila laki-laki itu, membikin repot kita saja!” kata seorang di antara mereka.

“Jangan-jangan tiga orang kawan kitapun disuruhnya melayani perempuan haus laki-laki itu!” kata orang kedua.

Sambil tertawa-tawa, mereka lalu menuju ke kamar Song Tek Hin yang kini sudah kelihatan gelap. Akan tetapi sesungguhnya, pemuda itu belum tidur. Tadi ketika mendengar bentakan seorang diantara anggauta-anggauta Wei-ho Cap-sha-kwi, dia terkejut, cepat memadamkan lampu dan dia mengintai dari balik jendela keluar. Maka diapun melihat apa yang telah terjadi di luar kamarnya.

Seorang gadis cantik jelita berpakaian hitam telah merobohkan tiga orang di antara Wei-ho Cap-sha-kwi dengan demikian mudahnya, dengan tangan kosong saja! Tek Hin juga seorang yang memiliki kepandaian silat lumayan, akan tetapi baru sekarang ia melihat seorang gadis muda yang demikian lihainya. Kiu-bwe Mo-li memang lihai, akan tetapi kiranya nenek itu tidaklah sehebat gadis ini, pikirnya dengan girang akan tetapi juga heran mengapa gadis itu datang dan membunuh tiga orang dari Cap-sha-kwi itu.

Tentu akan terjadi kegemparan dan semua iblis itu akan keluar, pikirnya. Diapun keluar dari kamarnya. Melihat orang meloncat keluar dari kamar itu, Liong-li sudah siap untuk mengirim pukulan mautnya. Akan tetapi ketika ia melihat bahwa yang keluar adalah pemuda yang dikaguminya tadi, iapun menahan senyumnya.

“Mau apa kau keluar?” tanyanya sambil tersenyum.

Sejenak Song Tek Hin terkesima. Gadis itu sedemikian cantik manisnya ketika tersenyum! Bukan main. Demikian cantik manis, demikian tinggi ilmunya. Dan tiba-tiba dia teringat akan percakapan antara para pimpinan kaum sesat itu. “Apakah nona yang disebut Hek-liong-li?”

Kini Liong-li yang mengerutkan alisnya. “Bagaimana engkau dapat mengenalku?” ia bertanya balik.

“Nona, harap kau cepat pergi dari sini. Mereka semua akan keluar, engkau akan dikeroyok dan mereka itu lihai sekali! Pergilah, nona, sebelum terlambat.”

“Tapi engkau sendiri?” Liong-li bertanya, semakin heran melihat sikap pemuda itu.

“Aku? Ah, biarlah, jangan pusingkan aku. Aku akan akui telah membunuh mereka ini. Cepatlah, nona...!”

Makin kagum rasa hati Liong-li kepada pemuda itu. Begitu saja pemuda itu yang agaknya menjadi tawanan terhormat di tempat itu, hendak mengorbankan diri untuk keselamatannya dan menasihatkan agar ia cepat menyelamatkan diri, tanpa memperdulikan dirinya sendiri.

Tiba-tiba bermunculan lima orang di antara Cap-sha-kwi. Melihat ini, Tek Hin cepat mengambil sebatang golok, milik seorang di antara tiga Cap-sha-kwi yang tewas itu. Sementara itu, melihat betapa tiga orang kawan mereka telah menjadi mayat, tentu saja lima orang itu terkejut sekali. Tek Hin sudah meloncat ke depan dan berkata dengan suara lantang.

“Aku yang telah membunuh mereka!”

Akan tetapi, lima orang .itu seperti tidak memperdulikannya karena mereka semua kini memandang kepada Liong-li dan wajah mereka berubah pucat, mata mereka terbelalak seperti melihat setan di siang hari!

“Hek-liong-li...!” seorang di antara mereka berteriak ketakutan.

Akan tetapi Liong-li sudah menerjang ke depan, membagi-bagi pukulan maut Hiat-tok-ciang. Melihat ini, Tek Hin juga memutar goloknya dan dia sudah bertanding mati-matian melawan seorang di antara lima anggauta Cap-sha-kwi itu. Dalam waktu singkat saja, biarpun hanya dengan tangan kosong, Liong-li telah merobohkan tiga orang lagi, Tek Hin juga berhasil menusukkan goloknya memasuki perut lawan dan orang itupun roboh dan tewas. Seorang lagi hendak melarikan diri, akan tetapi Tek Hin melontarkan goloknya dan senjata itu menancap di punggung lawan yang roboh dan tewas pula.

Tek Hin sudah mengambil dua batang golok lawan, menyerahkan sebatang kepada Liong-li. “Kepalang, tinggal lima orang lagi di antara Cap-sha-kwi, mari kita serbu mereka di dalam!”

Pemuda ini tidak mau mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri, agaknya dia lupa saking gembiranya melihat betapa ada orang yaqg mampu membasmi Cap-sha-kwi demikian mudahnya, bahkan diapun kebagian dua orang lawan. Hal ini sedikit banyak membuat dia mampu membalas atas kematian keluarga tunangannya, yaitu Pouw Sianseng dan Pouw Bi Hwa.

Melihat sikap pemuda ini yang berubah, dan nampaknya demikian gagah, Liong-li hanya mengangguk dan iapun mengikuti pemuda itu yang menyerbu ke dalam ruangan di mana sisa Cap-sha-kwi masih minum-minum. Tinggal lima orang anggauta Wei-ho Cap-sha-kwi yang tinggal, dipimpin oleh Kwa Ti.

“Heii, Kwa Ti babi gendut! Sekarang tiba saatnya bagi kamu dan gerombolanmu Cap-sha-kwi mampus dan menghadap Giam-ong untuk menerima hukuman di neraka!” bentak Tek Hin sambil meloncat masuk melalui pintu, diikuti oleh Liong-li yang juga memegang sebatang golok rampasan.

Melihat masuknya Tek Hin yang memegang sebatang golok, lima orang itu terkejut, akan tetapi mereka lebih kaget lagi, bahkan gentar ketika melihat gadis pakaian hitam yang ikut melompat masuk di belakang pemuda itu.

“Liong-li...!” Kwa Ti berseru kaget dan mereka berlima sudah cepat mencabut golok masing-masing.

Dengan sikap gagah, Tek Hin yang merasa gembira karena melihat betapa delapan orang Cap-sha-kwi telah tewas, dengan penuh semangat lalu menerjang maju dan menggerakkan goloknya menyerang Kwa Ti, orang pertama dari Cap-sha-kwi!

“Trang-trang...!” Kwa Ti yang berperut gendut itu menangkis sambil mengerahkan tenaganya dan akibatnya, tubuh Tek Hin terdorong ke belakang dan dia merasa tangan yang memegang golok tergetar hebat. Akan tetapi, Tek Hin tidak menjadi gentar dan diapun cepat memutar lagi goloknya dan menyerang lagi lebih dahsyat.

Kwa Ti mengelak dan membalas, dia dibantu oleh seorang rekan dari kiri. Desakan mereka membuat Tek Hin terhuyung dan tentu golok di tangan Kwa Ti akan mengenai tubuhnya kalau saja pada saat itu tidak berkelebat bayangan hitam. Tangan Liong-li bergerak, sinar golok berkelebat dan tubuh Kwa Ti terjengkang, darah mengucur dari lehernya dan diapun tewas seketika!

Empat orang yang lain menjadi panik. Mereka ada yang berteriak-teriak minta tolong. Akan tetapi Tek Hin sudah merobohkan seorang lagi, sedangkan amukan golok di tangan Liong-li membuat tiga orang yang lain roboh pula. Kini habislah Wei-ho Cap-sha-kwi, semua tewas di tangan Liong-li yang dibantu Tek Hin.

“Lihiap (pendekar wanita), engkau sungguh hebat... aku kagum sekali, engkau sungguh luar biasa sekali!” Tek Hin menjura dan memuji dengan pandang mata penuh kagum.

Mau tak mau Liong-li tertawa. Pemuda ini gagah dan lucu, juga pemberani dan tidak begitu mementingkan diri pribadi, seolah-olah berani menentang maut dengan sikap terbuka. Akan tetapi pada saat itu, nampak banyak bayangan orang berkelebat masuk dan di situ telah berdiri Yauw Ban, Kiu-bwe Mo-li, Jai-hwa Kongcu, dan dua orang kembar He-nan Siang-mo! Mereka berlima telah memegang senjata masing-masing dan sikap mereka mengancam sekali. Mereka semua marah melihat mayat-mayat bergelimpangan dan tahulah mereka bahwa Wei-ho Cap-sha-kwi telah tewas semua di tangan gadis pakaian hitam yang amat lihai itu.

“Awas, lihiap. Inilah para pembantu utama Hek-sim Lo-mo!” kata Tek Hin, hatinya gentar karena dia membayangkan betapa akan beratnya kalau nona itu harus melawan pengeroyokan lima orang ini.

“Minggirlah, biar kuhadapi mereka!” kata Liong-li dengan sikap tenang walaupun ia maklum bahwa lima orang lawannya ini tentu merupakan lawan yang amat berat.

Kiu-bwe Mo-li terkekeh. “Heh-he-he-be, sumoi, kiranya engkau datang juga untuk menyerahkan nyawamu!”

“Aku tidak mempunyai suci macam engkau,” bentak Liong-li dengan perasaan sebal.

“Tar-tar-tarrr...!” Cambuk ekor sembilan di tangan Kiu-bwe Mo-li meledak-ledak ketika ia menggerakkan cambuk itu di atas kepalanya.

“Sumoi atau bukan, engkau akan mampus di tangan kami!” Dan iapun sudah menerjang dengan cambuk hitamnya, mengirim serangan yang dabsyat kepada Liong-li yang masih memegang golok.

Liong-li tidak tergesa mempergunakan pedang pusakanya karena bagaimanapun juga, ia tidak begitu memandang tinggi para lawannya. Kalau Hek-sim Lo-mo yang keluar, barulah ia akan mempergunakan pedang pusakanya itu. Maka, menghadapi serangan Kiu-bwe Mo-li, ia menggerakkan goloknya menangkis.

Sementara itu, melihat betapa gadis perkasa itu menghadapi banyak lawan, Song Tek Hin tidak mau tinggal diam saja. “Lihiap, aku akan membantumu sedapat mungkin!” teriaknya dan dengan goloknya, diapun terjun ke dalam perkelahian itu dan menyerang Kiu-bwe Mo-li dengan bacokan sekuat tenaga.

“Tranggg!” goloknya tertangkis di udara dan terpental lepas dari tangannya ketika pedang di tangan Yauw Ban menangkis golok itu. Dan sebelum Tek Hin dapat mengelak, jari tangan kiri Yauw Ban meluncur dan sebuah totokan membuat Tek Hin terguling dan tak mampu berkutik lagi...!

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.