“TIBA-TIBA terdengar suara tertawa dari luar jendela. “Ha-ha-ha, nona manis masuk tanpa diundang, tidak boleh pergi begitu saja sebelum berkenalan dengan aku!”
Tek Hin mengenal suara Jai-hwa Kongcu Lui Teng dan dia terkejut sekali. Si mata keranjang itu merupakan seorang pembantu Hek-sim Lo-mo, seorang di antara para pembantu yang paling lihai!
“Celaka, dia lihai sekali,” bisiknya kepada Hong Ing, lalu dia menjengguk keluar jendela dan berkata dengan suara lantang, “Saudara Lui Teng, harap jangan ganggu. Yang datang ini adalah adikku sendiri yang ingin menjengukku, tidak mempunyai iktikad buruk. Biarkan ia pergi dan harap jangan diganggu!”
“Ha-ha-ha, bagus! Kalau ia adikmu sendiri, maka berarti ia adalah tamu kami. Marilah, nona, mari kuantar engkau menghadap Beng-cu yang menjadi tuan rumah. Silakan keluar!”
Hong Ing mengerutkan alisnya. Ia menyelundup ke tempat itu hanya dengan satu tujuan, yaitu membunuh Hek-sim Lo-mo yang telah membunuh pamannya, Pouw Sianseng dan adik misannya Pouw Bi Hwa. Ia mengandalkan ilmu silatnya sebagai seorang murid Bu-tong-pai yang lihai dan ia percaya bahwa dengan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu sepasang pedang, ia akan mampu membunuh datuk sesat itu.
Tak disangkanya sama sekali bahwa Song Tek Hin, calon ipar misannya yang ia tahu juga amat lihai, telah menjadi seorang tawanan di situ, kelihatannya amat tidak berdaya walaupun tidak dibelenggu! Kini, mendengar suara orang di luar itu, tentu saja ia tidak merasa gentar.
“Aku datang hendak bertemu dan membuat perhitungan dengan Hek-sim Lo-mo, bukan ingin bertemu dengan Beng-cu atau siapapun juga!” bentaknya.
Jai-hwa Kongcu Lui Teng tertawa. “Ha-ha-ha, Song Tek Hin, apakah engkau tidak memberitahu kepada adikmu bahwa locianpwe Hek-sim Lo-mo itu adalah Beng-cu?”
Mendengar ini, Hong Ing menoleh kepada Tek Hin dan pemuda itu mengangguk membenarkan. “Ing-moi, engkau cepat menerobos keluar dan lari!” bisiknya dengan hati khawatir sekali.
“Tidak, aku harus bertemu dengan Hek-sim Lo-mo!” jawab Hong Ing yang memiliki keberanian luar biasa, tiada bedanya dengan Tek Hin sendiri.
Hanya bedanya, kalau sekarang Tek Hin sudah tahu benar akan keadaan pihak lawan yang sungguh amat lihai sehingga dia sama sekali bukan lawan mereka, sebaliknya Hong Ing yang belum mengetahui keadaan dan kekuatan Hek-sim Lo-mo, masih memandang rendah mereka dan mengira bahwa dengan ilmu kepandaiannya, ia akan mampu membunuh datuk itu untuk membalaskan kematian paman dan adik misannya!
Setelah berkata demikian, dengan kedua tangan masih memegang sepasang pedangnya, Hong Ing melompat keluar dari kamar itu melalui jendela. Di luar jendela, dia disambut oleh seorang laki-laki yang berwajah tampan, memakai pakaian seperti pelajar, sikapnya ramah dan laki-laki itu telah menjura dengan hormat kepadanya.
“Nona, namaku Lui Teng dan marilah kuantar nona untuk bertemu dengan Beng-cu Hek-sim Lo-mo yang tentu akan menyambut nona dengan baik,” katanya dengan halus.
Su Hong Ing hanya mengangguk, lalu ia mengikuti Lui Teng melalui lorong menuju ke sebuah ruangan di mana Hek-sim Lo-mo yang sudah dilapori tentang penyusupan seorang gadis baju hijau itu telah duduk menanti. Ruangan itu luas dan ketika Hong Ing yang mengikuti Lui Teng dari belakang tiba di situ, ia melihat seorang kakek tinggi besar bermuka hitam, matanya lebar, kumis dan jenggotnya lebat, pakaiannya seperti hartawan dan sikapnya berwibawa. Ia menduga bahwa tentu itulah yang disebut Hek-sim Lo-mo, maka begitu berdiri di depan kakek itu, ia lalu bicara dengan suara lantang.
“Apakah engkau yang bernama Hek-sim Lo-mo dan engkau yang telah membunuh paman Pouw dan puterinya, Pouw Bi Hwa?”
Mendengar pertanyaan ini, Hek-sim Lo-mo memandang gadis itu tanpa menjawab, lalu dia berbalik dengan sebuah pertanyaan dengan suaranya yang besar parau, “Dan engkau siapakah, nona?”
“Namaku Su Hong Ing, aku seorang murid Bu-tong-pai dan aku datang untuk membalaskan kematian pamanku dan adik misanku. Kalau benar engkau Hek-sim Lo-mo, bangkitlah dan mari kita membuat perhitungan!”
Berkata demikian, gadis itu sudah memasang kuda-kuda dengan sepasang pedangnya. Ilmu pedang Bu-tong-pai memang terkenal indah dan kuat. Akan tetapi, sikap gadis itu menimbulkan perasaan geli di dalam hati Hek-sim Lo-mo. Bagaimanapun juga, dia harus memuji bahwa gadis ini memiliki keberanian yang hebat, seperti yang diperlihatkan oleh Song Tek Hin, tawanannya itu.
Gadis seperti ini bukan orang sembarangan dan alangkah baiknya kalau ia dijadikan tawanan pula, sehingga dengan demikian, dua orang musuh yang amat dibencinya itu. Liong-li dan Tan Cin Hay, tentu semakin tertarik untuk datang dan berusaha membebaskan Tek Hin dan gadis bernama Su Hong Ing ini!
“Hemm, engkau ini gadis yang masih hijau dan tak tahu diri. Engkau menantang aku? Biar orang nomor satu dari Bu-tong-pai sekalipun, belum tentu akan mampu menandingi aku, apa lagi engkau seorang murid yang masih rendah tingkatmu. Lui Teng, wakililah aku untuk menundukkan gadis angkuh ini, akan tetapi jangan lukai karena ia harus menjadi tawanan kita pula!”
Tentu saja Lui Teng merasa girang sekali diberi perintah untuk menundukkan gadis yang telah menarik hatinya ini. Sekali menggerakkan tubuhnya, dia telah berada di depan Hong Ing sambil tersenyum. Wajahnya memang tampan dan senyumnya menarik, akan tetapi melihat sinar matanya yang genit itu, Hong Ing mengerutkan alisnya dan menjadi marah.
“Hek-sim Lo-mo, engkau majulah sendiri untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang telah membunuh pamanku dan adik misanku yang tidak berdosa, dan jangan menyuruh segala macam manusia tidak berguna untuk menghadapiku!”
Lui Teng tidak menjadi marah dan diapun tertawa. “Aduh-aduh, orangnya cantik manis sekali, akan tetapi tinggi hati, sombong dan seperti seekor kuda betina liar. Alangkah akan menyenangkan kalau aku dapat menundukkan kuda liar ini. Majulah, nona dan mari kita lihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau berani bersikap seangkuh ini!”
Kini Hong Ing menjadi marah sekali. Mukanya menjadi merah dan ini menambah kemanisan wajahnya. Dengan gerakan yang cepat dan kuat, iapun tanpa banyak cakap lagi sudah maju menyerang, sepasang pedangnya membabat dari kanan kiri untuk menggunting lawan.
Namun, dengan gerakan lincah sekali Lui Teng sudah meloncat ke belakang sehingga serangan sepasang pedang itu tidak mengenai sasaran, kemudian dari arah samping, dengan gerakan cepat dan tidak tersangka-sangka, tangan kanan Lui Teng menjulur ke arah pipinya dengan gerakan menampar atau mencolek. Hong Ing cepat miringkan tubuhnya ke kanan dan hendak menggerakkan sepasang pedangnya untuk membalas, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Lui Teng sudah menyelonong ke depan mencengkeram ke arah dadanya!
“Ihhh...!” Hong Ing menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu memutar pedangnya di depan tubuh. Wajahnya menjadi merah sekali karena hampir saja buah dadanya kena dicengkeram lawan yang kurang ajar itu. Kemarahannya memuncak ketika ia melihat Lui Teng tertawa-tawa senang, akan tetapi iapun tahu bahwa ternyata pria yang tampan dan genit kurang ajar ini lihai sekali! Iapun memutar sepasang pedangnya dan menyerang lagi dengan bertubi-tubi.
Akan tetapi, tingkat kepandaian gadis baju hijau ini memang kalah jauh dibandingkan tingkat kepandaian Jai-hwa Kongcu Lui Teng yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari perguruan Pek-tiauw-pang (Rajawali Putih) di Lu-san. Andaikata ada lima orang Hong Ing, belum tentu akan mampu mengalahkan penjahat cabul ini.
Betapapun juga, tidak mudah bagi Lui Teng untuk menundukkan gadis yang bersenjata sepasang pedang dan yang memiliki keberanian yang nekat itu tanpa melukainya. Setelah dilarang oleh Beng-cu, dia sendiripun tidak ingin melukai gadis ini yang telah diperhitungkannya akan menjadi korbannya dan dia ingin mendapatkan gadis ini dalam keadaan utuh dan tidak terluka.
Sepasang pedang gadis itu menyambar-nyambar, memang tidak terlalu berbahaya baginya, namun menyukarkan dia untuk dapat menundukkan tanpa melukainya. Maka, Lui Teng lalu melolos sabuk putihnya, sabuk sutera putih yang merupakan senjatanya amat ampuh. Begitu sabuk ini dilolosnya, nampak sinar putih bergulung-gulung dan tiba-tiba saja Hong Ing mengeluarkan suara menjerit karena sepasang pedangnya telah terlibat-libat oleh sabuk putih dan tidak dapat ia gerakkan!
Selagi ia menarik-narik sepasang pedang itu untuk melepaskannya, tiba-tiba tangan kiri Lui Teng menyambar dan menotok pundaknya. Gadis itu mengeluh dan terguling dengan kaki tangan lumpuh. Ia tentu akan terbanting jatuh kalau saja Lui Teng tidak dengan cepat menyambut tubuhnya dan memeluknya dengan mesra!
“Beng-cu, apa yang harus saya lakukan dengan ia. Apakah Beng-cu menyerahkannya kepada saya?” tanya Lui Teng sambil mendekatkan mukanya pada wajah yang putih mulus dan berpipi halus itu. Hong Ing hampir pingsan saking ngerinya dan iapun memejamkan matanya.
“Hemm, jangan engkau main-main, Lui Teng!” Hek-sim Lo-mo membentak sehingga mengejutkan Lui Teng dan dia segera menjauhkan mukanya dari muka gadis yang ditawannya.
“Awas, engkau tidak boleh mangganggunya! Ia harus diperlakukan baik-baik seperti tawanan pemuda itu. Biar ia memperkuat umpan yang kita pasang. Akan tetapi masukkan mereka dalam satu kamar dan jaga baik-baik agar mereka tidak lolos. Akan terlalu merepotkan kalau mereka dipisahkan. Sekali lagi, perlakukan mereka berdua baik-baik sampai umpan itu berhasil mendatangkan ikan-ikan yang kita kehendaki. Kalau sudah begitu, ia akan kuserahkan kepadamu!”
Jai-hwa Kongcu Lui Teng menjadi girang sekali. “Hemm, nona manis, engkau sungguh beruntung. Beng-cu akan menganggapmu sebagai seorang tamu agung, dan kelak engkau akan menjadi milikku, hidup berbahagia bersama aku, manis.”
Hong Ing adalah seorang gadis yang selain pemberani juga amat cerdik. Ia telah mendengar semua percakapan mereka dan tahulah ia bahwa pemuda lihai ini amat takut kepada “beng-cu” itu. Karena jelas bahwa Hek-sim Lo-mo tidak menghendaki ia diganggu, maka iapun berkata dengan galak, “Bebaskan aku dan jangan pondong aku! Aku mampu berjalan sendiri!”
Lui Teng memandang dengan ragu-ragu, akan tetapi terdengar suara Hek-sim Lo-mo. “Lui Teng, lepaskan ia dan simpan sepasang pedangnya!”
Lui Teng merasa kecewa sekali. Biarpun dia belum boleh mengganggu gadis itu, setidaknya dia ingin memandang dan mendekapnya, membawanya ke kamar tahanan, bahkan kalau ada kesempatan dia dapat mencumbunya. Akan tetapi, Beng-cu telah memerintahkan agar dia membebaskan gadis itu, maka diapun tidak berani membantah dan dua kali dia menepuk punggung Hong Ing yang segera dapat menggerakkan kaki tangannya. Ia cukup cerdik untuk tidak mengamuk lagi, maklum bahwa di tangan orang-orang pandai ini ia tidak berdaya.
Sekarang tahulah ia mengapa Tek Hin mau dijadikan tawanan dan sama sekali tidak melawan. Melawanpun tidak akan ada gunanya. Baru menghadapi seorang pembantu Hek-sim Lo-mo saja, ia sama sekali tidak berdaya. Apa lagi kalau banyak pembantunya maju. Apa lagi kalau kakek raksasa itu sendiri yang maju! Oleh karena itu, setelah ia mampu bergerak, iapun tidak mau mengamuk lagi dan menurut saja ketika disuruh berjalan dan dikawal oleh Lui Teng menuju ke kamar di mana Tek Hin berada.
Melihat gadis itu dibawa masuk ke dalam kamarnya, Tek Hin mengerutkan alisnya dan segera dia tahu bahwa Hong Ing juga sudah ditaklukkan oleh gerombolan penjahat itu.
“Song Tek Hin, engkau memperoleh seorang teman, gadis cantik manis ini. Akan tetapi awas, jangan engkau mengganggunya. Ia adalah calonku, tahu?” kata Lui Teng sambil meninggalkan mereka dan tertawa mengejek.
Hong Ing menjatuhkan dirinya di atas kursi, tidak menangis melainkan cemberut. Tek Hin juga duduk di atas pembaringannya, memandang kepada gadis itu. Seorang gadis yang cantik manis seperti yang dikatakan Lui Teng tadi, pemberani akan tetapi tinggi hati sehingga memandang rendah lawan.
“Hemm, tentu mereka telah menundukkanmu, bukan?” tanyanya tanpa nada mengejek, hanya menyesal mengapa gadis itu demikian bodoh melakukan penyerbuan terhadap gerombolan penjahat yang amat lihai tanpa perhitungan sama sekali.
Hong Ing menarik napas panjang. “Tidak kusangka bahwa mereka selihai itu,” dan ia memandang kepada Tek Hin. “Song-toako, apa artinya bahwa engkau dan aku, kita dijadikan umpan? Siapa yang hendak dipancing datang ke sini?”
Tek Hin lalu menceritakan dengan singkat tentang Tan Cin Hay dan Liong-li. “Tanpa adanya engkau menjadi tawananpun, aku yakin bahwa saudara Tan Cin Hay, terutama sekali nona Liong-li, pasti akhirnya akan muncul untuk membebaskan aku. Tan-taihiap dan nona Liong-li adalah dua orang muda yang amat hebat, terutama sekali nona Liong-li! Mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kiranya hanya mereka berdua itulah yang akan mampu menandingi Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya.”
“Toako. engkau selalu memuji-muji nona Liong-li! Orang macam apakah ia itu?”
“Wah, selama hidupku baru satu kali ini aku melihat seorang gadis seperti nona Liong-li! Ia cantik jelita seperti seorang bidadari, ia pemberani dan cerdik bukan main, dan ia memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. Sungguh, aku kagum sekali pada gadis hebat itu, Ing-moi!”
Diam-diam Hong Ing merasa mendongkol. Teringat ia betapa ia pernah merasa iri kepada mendiang Pouw Bi Hwa yang memperoleh seorang calon suami seperti Song Tek Hin yang tampan, terpelajar dan pandai ilmu silat. Akan tetapi, kiranya pemuda ini tidak memiliki kesetiaan! Baru saja tunangannya mati, dia sudah tergila-gila kepada seorang gadis lain!
“Hemmm, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyanya dengan suara yang kurang puas.
“Tidak apa-apa, hanya menanti saja. Mudah-mudahan tidak terlalu lama mereka akan muncul untuk membebaskan kita.”
“Tinggal sekamar begini? Kita berdua? Aku tidak mau!”
“Eh, Ing-moi, mengapa engkau begitu? Kita tidak ada pilihan lain. Kita diperlakukan dengan baik hanya karena mereka mempergunakan kita sebagai umpan! Kalau tidak karena adanya nona Liong-li dan Tan Taihiap, belum tentu kita dapat diperlakukan begini baik. Bagaimanapun juga, kita adalah tawanan.”
“Enak saja bagimu! Engkau seorang laki-laki, akan tetapi aku seorang wanita! Bagaimana mungkin aku tinggal sekamar denganmu? Bagaimana mungkin kita tidur sekamar?”
“Mengapa tidak, Ing-moi? Aih, aku tahu apa yang kau pikirkan! Ing-moi, kita dalam keadaan terpaksa, kita senasib! Kau kira aku ini orang laki-laki macam apa? Jangan khawatir, engkau boleh tidur di atas pembaringan ini dan aku akan tidur di kursi, atau di lantai!”
Mendengar suara pemuda itu agaknya penasaran dan marah, Hong Ing merasa tidak enak hati juga. Ia sudah lama mengenal pemuda ini, seorang pemuda yang gagah dan baik, sehingga tidak mungkin melakukan hal yang tidak pantas terhadap dirinya. Wajahnya berubah merah.
“Bukan maksudku tidak percaya kepadamu, Song-toako. Akan tetapi apakah kita berdua harus mandah begini saja, hanya menunggu dan menerima nasib tanpa berusaha untuk membela diri sama sekali?”
“Hong Ing, aku yakin benar bahwa kita berdua bukanlah lawan mereka. Kalau kita nekat memberontak, hal itu sama saja dengan membunuh diri dan kita tentu akan disiksa sebelum dibunuh. Dari pada begitu, kita menanti saat yang baik. Kalau mereka berdua muncul, kita langsung membantu mereka, sehingga mereka berdua menjadi lebih kuat dan kita memperlihatkan bahwa kita bukanlah orang-orang yang hanya menunggu pertolongan atau menunggu mati saja.”
Barulah hati Hong Ing tidak penasaran lagi. Tek Hin lalu turun dari pembaringan, mempersilakan gadis itu duduk di sana dan dia sendiri lalu duduk di atas kursi.
“Orang yang genit tadi sungguh lihai sekali,” kata Hong Ing, “dan aku ngeri melihat sikapnya. Apakah masih ada lagi para pembantu yang lihai seperti itu dari Hek-sim Lo-mo?”
“Ah, dia tadi adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng dan dia hanya seorang di antara para pembantu Hek-sim Lo-mo. Masih ada yang lebih lihai dari dia! Ada Tok-gan-liong Yauw Ban, kemudian Kiu-bwe Mo-li, dan dua orang saudara kembar He-nan Siang-mo dan penjahat cabul tadi. Mereka berlima adalah para pembantu utama yang amat lihai. Melawan mereka seorang saja, kita berdua masih tidak mampu menang, dan belum lagi kurang lebih dua puluh orang penjaga yang rata-rata juga pandai ilmu silat. Dan yang lebih hebat lagi adalah Hek-sim Lo-mo sendiri. Kepandaiannya seperti iblis!” Lalu pemuda itu menceritakan tentang gerombolan penjahat itu seorang demi seorang, mengenai kekejaman dan kelihaian mereka.
Mendengar keterangan ini, Hong Ing bergidik, dan baru ia tahu betapa sembrono dan bodohnya ia, berani memasuki guha harimau yang didiami begitu banyaknya penjahat yang lihai sekali. Mulailah ia merasa khawatir. “Kalau mereka begitu hebat, bagaimana mungkin Liong-li mu itu akan dapat mengalahkan mereka?”
Mendengar sebutan “Liong-li mu” itu, Tek Hin tersenyum dan baru dia menyadari bahwa gadis ini merasa tidak senang mendengar dia tadi begitu memuji-muji seorang gadis bernama Liong-li! “Tenangkanlah hatimu, Ing-moi. Aku bukan hanya memuji secara gegabah saja! Gadis yang berjuluk Liong-li itu sungguh hebat dan ilmu kepandaiannya amat tinggi. Tahukah engkau? Aku sendiri menyaksikan betapa ia seorang diri telah membasmi Wei-ho Cap-sha-kwi, yaitu tiga belas orang yang tadinya juga menjadi pembantu utama Hek-sim Lo-mo. Padahal mereka itu cukup lihai, tingkat kepandaian mereka itu masing-masing mungkin seimbang dengan tingkat kepandaianku. Dan dalam waktu singkat sekali mereka semua tewas di tangan Liong-li, dan aku hanya membantunya sedikit saja! Kemudian, Liong-li dikeroyok oleh lima orang pembantu utama Hek-sim Lo-mo itu! Bayangkan saja! Lima orang yang kepandaiannya rata-rata seperti si penjahat cabul tadi, bahkan lebih lihai, mengeroyok Liong-li dan ia tidak sampai terdesak!”
Hong Ing diam-diam terkejut bukan main dan mulai merasa kagum. Sukar dipercaya ada seorang gadis yang sedemikian lihainya! “Lalu bagaimana?” desaknya, tertarik.
“Kemudian muncul Hek-sim Lo-mo dan tentu saja Liong-li terdesak. Baiknya muncul Tan-taihiap dan mereka berhasil meloloskan diri dengan selamat. Aku tidak dapat mereka bebaskan karena aku sudah terjatuh ke tangan mereka lebih dulu. Dasar aku yang bodoh dan lemah...”
“Ah, kalau begitu, Liong-li itu benar-benar hebat. Apakah wanita itu sudah tua, toako?”
“Tua? Takkan lebih dari dua puluh dua tahun usianya!”
“Bukan main! Masih begitu muda akan tetapi memiliki kelihaian yang demikian hebat! Dan Tan-taihiap itu? Sudah tuakah dia?”
“Tan-taihiap juga masih muda, mungkin sebaya dengan aku. Dia tampan, terpelajar, halus budi pekertinya, bijaksana, mulia hatinya dan ilmu kepandaiannya amat hebat! Bayangkan saja, karena aku dijadikan sandera, karena dia tidak ingin melihat aku celaka, maka dia pernah menyerahkan diri untuk ditawan oleh gerombolan ini, hanya untuk menyelamatkan aku...”
“Aduh! Kalau begitu dia tentu hebat bukan main! Tidak kalah hebatnya oleh Liong-li mu itu!” Hong Ing berseru kagum.
“Ya, mereka berdua memang sepasang orang muda yang hebat sekali! Entah siapa di antara mereka yang lebih hebat. Kalau mereka maju bersama, tentu Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya akan dapat dibasmi, dan kita akan membantu sekuat tenaga kita.”
Terhiburlah rasa hati Hong Ing dan ternyata mereka berdua mendapatkan perlayanan yang amat baik, mendapatkan hidangan yang lezat, bahkan disediakan air untuk mandi oleh para penjaga. Dan seperti telah diduganya, sikap Tek Hin amat baik terhadap dirinya, selalu sopan dan sama sekali tidak pernah menggodanya.
Hal ini membuat Hong Ing diam-diam amat bersyukur dan berterima kasih, dan kembalilah perasaan kagumnya terhadap pemuda itu. Di pihak Tek Hin, diam-diam diapun merasa tertarik dan kagum kepada gadis yang ternyata amat gagah, pemberani dan sedikitpun tidak cengeng ini. Mendapatkan seorang kawan senasib seperti gadis ini sungguh membesarkan hati.
“Keparat jahanam!!” Hek-sim Lo-mo memaki dan tangannya yang kanan mengepal-ngepal sampai terdengar bunyi berkerotokan, tangan kirinya memegangi sehelai kertas yang bertuliskan tinta merah. Sebuah tantangan! Ditulis dengan tinta merah, dengan huruf-huruf yang menyolok dan nadanya menghina pula!
Kami, Hek-liong-li dan Pek-liong-eng menantang Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya, kalau mereka bukan pengecut-pengecut untuk mengadu ilmu menentukan siapa yang lebih pandai. Kalau berani, datanglah di petak rumput tepi sungai dalam hutan sebelah timur kota, besok jam 9.00 pagi. Kalau takut pergilah kalian ke neraka.
Tertanda:
Hek-liong-li dan Pek-liong-eng.
Hek-sim Lo-mo memandang kepada lima orang pembantu utamanya yang nampak gentar melihat pimpinan mereka marah besar. Kiu-bwe Mo-li memberanikan diri bertanya.
“Beng-cu, apakah yang terjadi dan surat apakah itu yang membuat Beng-cu marah¬marah?”
“Siapa yang tidak marah? Anjing-anjing cilik itu berani menantangku dengan nada menghina!” Hek-sim Lo-mo melemparkan surat itu kepada Kiu-bwe Mo-li.
Kalau bukan wanita ini yang dilempari surat, bisa celaka karena saking marahnya, Hek-sim Lo-mo mengerahkan tenaga ketika melemparkan surat sehingga kertas yang merupakan benda ringan itu meluncur bagaikan anak panah cepatnya ke arah Kiu-bwe Mo-li. Namun wanita ini dapat menangkapnya dari samping, lalu dengan tenang membacanya.
Empat orang rekannya yang tidak sabar dan ingin sekali tahu, mendekatinya dan ikut pula membaca surat yang membuat pemimpin mereka marah-marah itu. Dan begitu membaca, merekapun melotot dengan muka merah karena marah. Yang ditantang bukan hanya Hek-sim Lo-mo seorang, akan tetapi termasuk mereka!
“Beng-cu, harap berhati-hati menghadapi tantangan ini dan tidak baik kalau terburu nafsu. Siapa tahu dengan tantangan ini, mereka menggunakan siasat untuk memancing harimau keluar dari sarang,” kata Kiu-bwe Mo-li yang cerdik.
“Aih, Mo-li, mengapa takut? Baru Beng-cu seorang diri saja, mereka berdua tidak akan mampu menandinginya, apa lagi Beng-cu maju bersama kita yang juga ditantang? Kalau dua orang muda itu diam-diam mempersiapkan bantuan, berarti merekalah yang pengecut karena yang menantang hanya mereka berdua! Mari kita bunuh mereka!” kata Gan Siang dengan nada penasaran, sedangkan Gan Siong, adik kembarnya, mengangguk-angguk.
Hek-sim Lo-mo mengangkat tangan melarang mereka ribut mulut sendiri, lalu berkata, “Kalian semua benar. Kita harus berhati-hati menghadapi tantangan ini kalau-kalau menyembunyikan siasat. Akan tetapi kalaupun mereka bersiasat, maka tentu siasat itu dipergunakan untuk mencoba membebaskan dua orang tawanan kita. Juga kita harus memenuhi tantangan itu, dan kita hancurkan mereka, dua budak sombong itu. Kita harus maju serentak untuk membunuh mereka, akan tetapi dua orang tawanan juga tidak boleh ditinggalkan sendiri begitu saja sehingga memudahkan orang luar untuk membebaskan mereka.”
“Sebaiknya kita bunuh saja dulu dua orang tawanan itu!” kata Yauw Ban Si Naga Mata Satu mengajukan rencananya.
“Serahkan saja mereka kepadaku!” kata Kiu-bwe Mo-li penuh gairah.
“Tidak, biar aku yang menghabisi mereka!” kata Jai-hwa Kongcu tidak kalah gairahnya.
“Ha-ha, kalau diserahkan Mo-li, tentu hanya yang wanita dibunuh seketika, akan tetapi yang pria akan dikeramnya dan dihisapnya sampai kering! Kalau diserahkan Jai-hwa Kongcu, yang pria akan seketika dibunuh, akan tetapi yang wanita tentu akan dipermainkan dulu sepuasnya!”
Kembali Hek-sim Lo-mo mengangkat tangan melarang mereka ribut sendiri, dan diapun berkata, “Mereka tidak perlu dibunuh sekarang. Kita bawa saja serta ke tempat tantangan itu! Kalau mereka itu menyerbu di perjalanan, kita hadapi bersama dan Jai-hwa Kongcu Lui Teng bersama semua anak buah harus membawa para tawanan kembali ke gedung selagi kita mengepung dua orang musuh itu. Dua orang tawanan itu masih berguna bagi kita, merupakan kelemahan dua orang musuh kita yang hendak membebaskan mereka, maka bodohlah kalau kita bunuh sekarang. Mereka dapat kita manfaatkan sewaktu-waktu kalau keadaan mendesak.”
Lima orang pembantu itu mengangguk maklum dan merekapun tahu bahwa diam-diam pemimpin mereka ini mulai merasa gentar juga menghadapi dua orang muda yang berani menentangnya itu sehingga perlu membiarkan dua orang tawanan tetap hidup untuk dijadikan sandera, kalau-kalau usaha mereka membunuh dua orang musuh itu gagal.
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi Hek-sim Lo-mo sudah keluar dari gedungnya, ditemani lima orang pembantu dan duapuluh orang anak buah yang menggiring dua orang tawanan itu di tengah-tengah mereka. Tentu saja Liong-li dan Cin Hay yang sudah melakukan pengintaian di dekat tempat itu, menjadi gemas sekali. Kiranya pihak musuh sedemikian cerdiknya sehingga tidak meninggalkan dua orang tawanan itu! Bukan hanya membawanya ke tempat tantangan, bahkan juga mengepung dengan sekian banyaknya penjaga dan pengawal!
Melihat betapa Tek Hin yang menjadi tawanan itu kini berjalan bersama seorang gadis berpakaian hijau yang cantik dan gagah yang kelihatan juga sebagai tawanan, Cin Hay dan Liong-li memandang heran.
“Siapa gadis itu?” bisik Liong-li.
Cin Hay menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. “Aku tidak tahu, baru sekarang melihatnya.” Dia memperhatikan gadis berbaju hijau yang cantik manis itu, akan tetapi tetap saja dia belum merasa pernah melihat gadis itu. “Akan tetapi, ia agaknya menjadi tawanan juga. Lihat, ia agaknya akrab dengan Tek Hin.”
Liong-li mengerutkan alisnya, berpikir dan mengelus dagunya yang putih mulus. “Hemm, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka begitu banyak.”
“Tidak ada jalan lain, kita melanjutkan rencana kita,” kata Cin Hay. “Yang terpenting adalah menyelamatkan Tek Hin dan agaknya gadis itu juga. Seperti telah kita rencanakan, kita membagi tugas. Aku menyerbu Hek-sim Lo-mo dan teman-temannya, dan engkau menyerbu dari belakang untuk membebaskan Tek Hin dan gadis baju hijau itu.”
Liong-li mengangguk. “Sudah pasti aku akan membebaskan Song Tek Hin, akan tetapi gadis itu? Aku belum tahu siapa dia, kawan atau lawan.”
“Kalau engkau sudah turun tangan, tentu Tek Hin akan memberitahu siapa gadis itu dan perlu diselamatkan atau tidak,” kata Cin Hay.
Kini rombongan itu sudah keluar dari kota Lok-yang, melalui pintu gerbang sebelah timur. Cin Hay dan Liong-li hanya membayangi saja dan setelah rombongan itu memasuki hutan menuju ke sungai yang dimaksud dalam surat tantangan, tepat seperti yang telah mereka rencanakan, tiba-tiba saja Cin Hay meloncat keluar dan menghadang di depan Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya.
“Hek-sim Lo-mo, saat ini aku akan menamatkan riwayat hidupmu yang penuh dosa dan kekotoran!” kata Cin Hay dengan sikap gagah.
Melihat munculnya musuh besar ini, Hek-sim Lo-mo menjadi marah sekali. “Jahanam sombong, engkau menantang bertanding di tepi sungai akan tetapi menghadang di sini!” bentaknya.
“Beng-cu, biarkan kami menghajarnya!” kata Yauw Ban yang memang merasa benci sekali kepada pemuda berpakaian putih itu. Dia memberi isyarat kepada teman-temannya dan bersama Kiu-bwe Mo-li, Jai-hwa Kongcu Lui Teng, dan sepasang saudara kembar He-nan Siang-mo, dia lalu menerjang Cin Hay. Yauw Ban sudah mencabut pedangnya, Kiu-bwe Mo-li mengeluarkan cambuk hitam ekor sembilan, Jai-hwa kongcu Lui Teng menggunakan sabuk sutera putih, sedangkan si kembar He-nan Siang-mo masing-masing mencabut golok besar mereka.
Segera Cin Hay dikepung dan pemuda ini dengan tenang sekali menghadapi pengepungan mereka dan mencabut pedang Pek-liong-kiam dari sarung pedang. Nampak sinar putih berkelebat ketika dia mencabut pedangnya, dan dengan pedang melintang di depan dada. Cin Hay menanti serangan mereka karena tadi Yauw Ban ternyata tidak jadi menyerangnya, hanya melakukan gerakan isyarat dan mereka berlima kini sudah mengepungnya. Agaknya lima orang itu, maklum betapa lihainya pemuda berpakaian putih, bersikap hati-hati dan mengepung penuh perhitungan.
Pada saat itu, dibagian belakang rombongan itu terjadi kegemparan. Seorang gadis berpakaian hitam-hitam mengamuk dan dalam beberapa kali gebrakan saja, empat orang pengawal telah roboh!
“Liong-li...” Tek Hin berseru dengan girang bukan main kepada Hong Ing.
Akan tetapi gadis ini hanya menengok sebentar kepada gadis berpakaian hitam yang mengamuk di antara para pengawal karena perhatiannya amat tertarik kepada pemuda berpakaian putih yang kini dikepung oleh lima orang pembantu Hek-sim Lo-mo!
“Itukah yang bernama Tan Cin Hay?” Ia bertanya seperti orang mimpi dan matanya tak pernah berkedip memandang kepada pemuda berpakaian putih yang menghadapi pengepungan lima orang musuh lihai itu dengan sikap tenang sekali. Betapa tenangnya, betapa gagahnya, betapa tampannya, demikian Hong Ing berbisik dalam hatinya.
“Mereka telah datang! Mari, Ing-moi, kita bantu mereka!” kata Tek dan pemuda ini sudah bergerak menghantam kepada seorang pengawal yang berdiri paling dekat dengannya.
Pengawal itu terpelanting dan melihat ini, Hong Ing juga membalikkan tubuhnya dan sebuah tendangannya membuat seorang pengawal terjungkal pula. Melihat betapa gadis berpakaian hijau itu bersama Tek Hin sudah pula mengamuk, tahulah Liong-li bahwa gadis baju hijau itu memang seorang kawan yang perlu diselamatkan.
Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan si raksasa Hek-sim Lo-mo telah berdiri di depannya, tangan kirinya membuat gerakan mendorong dan ada angin pukulan yang amat hebat menyambar ke arah Liong-li. Gadis ini cepat mengerahkan tenaganya dan menghindar ke samping, namun tetap saja ia agak terhuyung oleh dorongan angin pukulan yang amat dahsyat! Tahulah ia bahwa memang benar, seperti yang dikatakan Cin Hay, iblis tua ini lihai bukan main.
“Lui Teng, bawa dua tawanan kembali!” teriak Hek-sim Lo-mo sambil menghadang di depan Liong-li.
Mendengar ini, Jai-hwa Kongcu Lui Teng yang memang sudah mendapat tugas sebelumnya, lalu meninggalkan teman-temannya yang mulai mengeroyok Cin Hay, lalu dia melompat ke tengah kerumunan para pengawal yang mengeroyok Tek Hin dan Hong Ing yang sedang mengamuk. Dengan mudah saja, Lui Teng merobohkan dua orang muda ini dengan totokannya yang ampuh dan dengan dikawal oleh sisa pasukan pengawal yang menjadi anak buahnya, dia lalu bergegas membawa Tek Hin dan Hong Ing yang sudah tidak mampu bergerak itu kembali ke dalam kota Lok-yang!
Liong-li dan Cin Hay mendongkol sekali dan tidak mampu mencegah, karena Liong-li sudah harus membela diri terhadap serangan-serangan Hek-sim Lo-mo, sedangkan Cin Hay juga dikeroyok oleh empat orang lawan yang amat lihai. Terpaksa kedua orang muda ini mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada para lawan yang amat berbahaya itu.
Cin Hay yang dikeroyok empat orang itu harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena empat orang pengeroyoknya merupakan datuk-datuk sesat yang amat lihai. Untung bahwa dia memegang Pek-liong-kiam karena dengan pedang ini dia sempat membuat empat orang pengeroyoknya terkejut bukan main. Ujung pedang Yauw Ban patah ketika bertemu dengan Pek-liong-kiam, juga cambuk ekor sembilan dari Kiu-bwe Mo-li rontok bulunya. Golok di tangan dua orang kembar He-nan Siang-mo juga rusak ujungnya.
Empat orang itupun maklum bahwa pedang pemuda berpakaian putih itu ampuh bukan main maka merekapun sebagai ahli-ahli silat pandai dan sudah banyak pengalaman, tidak lagi berani mengadu senjata secara langsung. Yang membuat mereka heran sekali adalah ketika melihat pedang di tangan Cin Hay. Mereka semua mengenal baik pedang itu. Pedang yang pernah mereka lihat ketika sedang dibuat oleh kakek Thio Wi Han! Bagaimana sekarang pedang itu, sebatang di antara sepasang pedang, berada di tangan pemuda berpakaian putih ini? Bukankah kedua pedang itu telah berada di tangan pemimpin mereka, Hek-sim Lo-mo?
Bukan hanya empat orang itu saja yang merasa heran. Juga Hek-sim Lo-mo yang angkuh dan yang belum menggunakan sepasang pedang pusakanya, karena diapun memandang rendah kepada Liong-li, datuk ini terkejut dan heran melihat pedang hitam di tangan gadis berpakaian hitam itu. Pedang itu amat ampuh, hal ini dapat dia rasakan dari sambaran pedang, dan pedang itu serupa benar dengan sebatang di antara sepasang pedangnya!
Melihat betapa gadis itu berbahaya sekali dengan pedangnya yang ampuh, tiba-tiba Hek-sim Lo-mo mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan jantung, disusul pandang mata yang mencorong dan teriakan yang seperti guntur memasuki telinga Liong-li.
“Hek-liong-li, hentikan seranganmu dan berikan pedang itu kepadaku! Cepat...!”
Sungguh aneh sekali. Ada kekuasaan yang amat kuat mencengkeram batin Liong-li, membuat ia mau tidak mau menuruti perintah itu dan seketika menahan gerakan tubuhnya dan menghentikan serangannya! Akan tetapi, ia masih belum menuruti perintah memberikan pedang, melainkan memandang heran kepada tangan dan pedangnya, seolah-olah ia tidak mengerti mengapa ia tidak lagi menyerang dan mengapa pula ia ingin menyerahkan pedang pusaka itu kepada kakek iblis raksasa itu!
Cin Hay juga merasakan getaran hebat akibat bentakan Hek-sim Lo-mo. Tahulah dia bahwa kakek itu tentu mencoba untuk menggunakan ilmu hitam atau ilmu sihir untuk menundukkan Liong-li, maka cepat diapun berteriak, “Liong-li! Hati-hati terhadap ilmu sihirnya!”
Untung sekali Cin Hay mengeluarkan teriakan ini karena pada saat itu, melihat gadis itu ragu-ragu, Hek-sim Lo-mo sudah menubruk ke depan untuk merampas pedang dan merobohkan gadis itu dengan totokan. Serangan ini hebat sekali, apa lagi terhadap Liong-li yang tadinya kesima seperti patung tak bergerak.
Teriakan Cin Hay menyadarkan gadis itu, maka pada detik terakhir, ketika tangan Hek-sim Lo-mo tinggal beberapa sentimeter lagi, ia sudah melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan menuju ke arah Cin Hay dan begitu ia meloncat, ia lalu memutar pedangnya membantu Cin Hay menghadapi pengeroyokan empat orang lawan yang tangguh itu...!
Tek Hin mengenal suara Jai-hwa Kongcu Lui Teng dan dia terkejut sekali. Si mata keranjang itu merupakan seorang pembantu Hek-sim Lo-mo, seorang di antara para pembantu yang paling lihai!
“Celaka, dia lihai sekali,” bisiknya kepada Hong Ing, lalu dia menjengguk keluar jendela dan berkata dengan suara lantang, “Saudara Lui Teng, harap jangan ganggu. Yang datang ini adalah adikku sendiri yang ingin menjengukku, tidak mempunyai iktikad buruk. Biarkan ia pergi dan harap jangan diganggu!”
“Ha-ha-ha, bagus! Kalau ia adikmu sendiri, maka berarti ia adalah tamu kami. Marilah, nona, mari kuantar engkau menghadap Beng-cu yang menjadi tuan rumah. Silakan keluar!”
Hong Ing mengerutkan alisnya. Ia menyelundup ke tempat itu hanya dengan satu tujuan, yaitu membunuh Hek-sim Lo-mo yang telah membunuh pamannya, Pouw Sianseng dan adik misannya Pouw Bi Hwa. Ia mengandalkan ilmu silatnya sebagai seorang murid Bu-tong-pai yang lihai dan ia percaya bahwa dengan ilmunya yang amat diandalkan, yaitu sepasang pedang, ia akan mampu membunuh datuk sesat itu.
Tak disangkanya sama sekali bahwa Song Tek Hin, calon ipar misannya yang ia tahu juga amat lihai, telah menjadi seorang tawanan di situ, kelihatannya amat tidak berdaya walaupun tidak dibelenggu! Kini, mendengar suara orang di luar itu, tentu saja ia tidak merasa gentar.
“Aku datang hendak bertemu dan membuat perhitungan dengan Hek-sim Lo-mo, bukan ingin bertemu dengan Beng-cu atau siapapun juga!” bentaknya.
Jai-hwa Kongcu Lui Teng tertawa. “Ha-ha-ha, Song Tek Hin, apakah engkau tidak memberitahu kepada adikmu bahwa locianpwe Hek-sim Lo-mo itu adalah Beng-cu?”
Mendengar ini, Hong Ing menoleh kepada Tek Hin dan pemuda itu mengangguk membenarkan. “Ing-moi, engkau cepat menerobos keluar dan lari!” bisiknya dengan hati khawatir sekali.
“Tidak, aku harus bertemu dengan Hek-sim Lo-mo!” jawab Hong Ing yang memiliki keberanian luar biasa, tiada bedanya dengan Tek Hin sendiri.
Hanya bedanya, kalau sekarang Tek Hin sudah tahu benar akan keadaan pihak lawan yang sungguh amat lihai sehingga dia sama sekali bukan lawan mereka, sebaliknya Hong Ing yang belum mengetahui keadaan dan kekuatan Hek-sim Lo-mo, masih memandang rendah mereka dan mengira bahwa dengan ilmu kepandaiannya, ia akan mampu membunuh datuk itu untuk membalaskan kematian paman dan adik misannya!
Setelah berkata demikian, dengan kedua tangan masih memegang sepasang pedangnya, Hong Ing melompat keluar dari kamar itu melalui jendela. Di luar jendela, dia disambut oleh seorang laki-laki yang berwajah tampan, memakai pakaian seperti pelajar, sikapnya ramah dan laki-laki itu telah menjura dengan hormat kepadanya.
“Nona, namaku Lui Teng dan marilah kuantar nona untuk bertemu dengan Beng-cu Hek-sim Lo-mo yang tentu akan menyambut nona dengan baik,” katanya dengan halus.
Su Hong Ing hanya mengangguk, lalu ia mengikuti Lui Teng melalui lorong menuju ke sebuah ruangan di mana Hek-sim Lo-mo yang sudah dilapori tentang penyusupan seorang gadis baju hijau itu telah duduk menanti. Ruangan itu luas dan ketika Hong Ing yang mengikuti Lui Teng dari belakang tiba di situ, ia melihat seorang kakek tinggi besar bermuka hitam, matanya lebar, kumis dan jenggotnya lebat, pakaiannya seperti hartawan dan sikapnya berwibawa. Ia menduga bahwa tentu itulah yang disebut Hek-sim Lo-mo, maka begitu berdiri di depan kakek itu, ia lalu bicara dengan suara lantang.
“Apakah engkau yang bernama Hek-sim Lo-mo dan engkau yang telah membunuh paman Pouw dan puterinya, Pouw Bi Hwa?”
Mendengar pertanyaan ini, Hek-sim Lo-mo memandang gadis itu tanpa menjawab, lalu dia berbalik dengan sebuah pertanyaan dengan suaranya yang besar parau, “Dan engkau siapakah, nona?”
“Namaku Su Hong Ing, aku seorang murid Bu-tong-pai dan aku datang untuk membalaskan kematian pamanku dan adik misanku. Kalau benar engkau Hek-sim Lo-mo, bangkitlah dan mari kita membuat perhitungan!”
Berkata demikian, gadis itu sudah memasang kuda-kuda dengan sepasang pedangnya. Ilmu pedang Bu-tong-pai memang terkenal indah dan kuat. Akan tetapi, sikap gadis itu menimbulkan perasaan geli di dalam hati Hek-sim Lo-mo. Bagaimanapun juga, dia harus memuji bahwa gadis ini memiliki keberanian yang hebat, seperti yang diperlihatkan oleh Song Tek Hin, tawanannya itu.
Gadis seperti ini bukan orang sembarangan dan alangkah baiknya kalau ia dijadikan tawanan pula, sehingga dengan demikian, dua orang musuh yang amat dibencinya itu. Liong-li dan Tan Cin Hay, tentu semakin tertarik untuk datang dan berusaha membebaskan Tek Hin dan gadis bernama Su Hong Ing ini!
“Hemm, engkau ini gadis yang masih hijau dan tak tahu diri. Engkau menantang aku? Biar orang nomor satu dari Bu-tong-pai sekalipun, belum tentu akan mampu menandingi aku, apa lagi engkau seorang murid yang masih rendah tingkatmu. Lui Teng, wakililah aku untuk menundukkan gadis angkuh ini, akan tetapi jangan lukai karena ia harus menjadi tawanan kita pula!”
Tentu saja Lui Teng merasa girang sekali diberi perintah untuk menundukkan gadis yang telah menarik hatinya ini. Sekali menggerakkan tubuhnya, dia telah berada di depan Hong Ing sambil tersenyum. Wajahnya memang tampan dan senyumnya menarik, akan tetapi melihat sinar matanya yang genit itu, Hong Ing mengerutkan alisnya dan menjadi marah.
“Hek-sim Lo-mo, engkau majulah sendiri untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang telah membunuh pamanku dan adik misanku yang tidak berdosa, dan jangan menyuruh segala macam manusia tidak berguna untuk menghadapiku!”
Lui Teng tidak menjadi marah dan diapun tertawa. “Aduh-aduh, orangnya cantik manis sekali, akan tetapi tinggi hati, sombong dan seperti seekor kuda betina liar. Alangkah akan menyenangkan kalau aku dapat menundukkan kuda liar ini. Majulah, nona dan mari kita lihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau berani bersikap seangkuh ini!”
Kini Hong Ing menjadi marah sekali. Mukanya menjadi merah dan ini menambah kemanisan wajahnya. Dengan gerakan yang cepat dan kuat, iapun tanpa banyak cakap lagi sudah maju menyerang, sepasang pedangnya membabat dari kanan kiri untuk menggunting lawan.
Namun, dengan gerakan lincah sekali Lui Teng sudah meloncat ke belakang sehingga serangan sepasang pedang itu tidak mengenai sasaran, kemudian dari arah samping, dengan gerakan cepat dan tidak tersangka-sangka, tangan kanan Lui Teng menjulur ke arah pipinya dengan gerakan menampar atau mencolek. Hong Ing cepat miringkan tubuhnya ke kanan dan hendak menggerakkan sepasang pedangnya untuk membalas, akan tetapi tiba-tiba saja tangan kiri Lui Teng sudah menyelonong ke depan mencengkeram ke arah dadanya!
“Ihhh...!” Hong Ing menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu memutar pedangnya di depan tubuh. Wajahnya menjadi merah sekali karena hampir saja buah dadanya kena dicengkeram lawan yang kurang ajar itu. Kemarahannya memuncak ketika ia melihat Lui Teng tertawa-tawa senang, akan tetapi iapun tahu bahwa ternyata pria yang tampan dan genit kurang ajar ini lihai sekali! Iapun memutar sepasang pedangnya dan menyerang lagi dengan bertubi-tubi.
Akan tetapi, tingkat kepandaian gadis baju hijau ini memang kalah jauh dibandingkan tingkat kepandaian Jai-hwa Kongcu Lui Teng yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari perguruan Pek-tiauw-pang (Rajawali Putih) di Lu-san. Andaikata ada lima orang Hong Ing, belum tentu akan mampu mengalahkan penjahat cabul ini.
Betapapun juga, tidak mudah bagi Lui Teng untuk menundukkan gadis yang bersenjata sepasang pedang dan yang memiliki keberanian yang nekat itu tanpa melukainya. Setelah dilarang oleh Beng-cu, dia sendiripun tidak ingin melukai gadis ini yang telah diperhitungkannya akan menjadi korbannya dan dia ingin mendapatkan gadis ini dalam keadaan utuh dan tidak terluka.
Sepasang pedang gadis itu menyambar-nyambar, memang tidak terlalu berbahaya baginya, namun menyukarkan dia untuk dapat menundukkan tanpa melukainya. Maka, Lui Teng lalu melolos sabuk putihnya, sabuk sutera putih yang merupakan senjatanya amat ampuh. Begitu sabuk ini dilolosnya, nampak sinar putih bergulung-gulung dan tiba-tiba saja Hong Ing mengeluarkan suara menjerit karena sepasang pedangnya telah terlibat-libat oleh sabuk putih dan tidak dapat ia gerakkan!
Selagi ia menarik-narik sepasang pedang itu untuk melepaskannya, tiba-tiba tangan kiri Lui Teng menyambar dan menotok pundaknya. Gadis itu mengeluh dan terguling dengan kaki tangan lumpuh. Ia tentu akan terbanting jatuh kalau saja Lui Teng tidak dengan cepat menyambut tubuhnya dan memeluknya dengan mesra!
“Beng-cu, apa yang harus saya lakukan dengan ia. Apakah Beng-cu menyerahkannya kepada saya?” tanya Lui Teng sambil mendekatkan mukanya pada wajah yang putih mulus dan berpipi halus itu. Hong Ing hampir pingsan saking ngerinya dan iapun memejamkan matanya.
“Hemm, jangan engkau main-main, Lui Teng!” Hek-sim Lo-mo membentak sehingga mengejutkan Lui Teng dan dia segera menjauhkan mukanya dari muka gadis yang ditawannya.
“Awas, engkau tidak boleh mangganggunya! Ia harus diperlakukan baik-baik seperti tawanan pemuda itu. Biar ia memperkuat umpan yang kita pasang. Akan tetapi masukkan mereka dalam satu kamar dan jaga baik-baik agar mereka tidak lolos. Akan terlalu merepotkan kalau mereka dipisahkan. Sekali lagi, perlakukan mereka berdua baik-baik sampai umpan itu berhasil mendatangkan ikan-ikan yang kita kehendaki. Kalau sudah begitu, ia akan kuserahkan kepadamu!”
Jai-hwa Kongcu Lui Teng menjadi girang sekali. “Hemm, nona manis, engkau sungguh beruntung. Beng-cu akan menganggapmu sebagai seorang tamu agung, dan kelak engkau akan menjadi milikku, hidup berbahagia bersama aku, manis.”
Hong Ing adalah seorang gadis yang selain pemberani juga amat cerdik. Ia telah mendengar semua percakapan mereka dan tahulah ia bahwa pemuda lihai ini amat takut kepada “beng-cu” itu. Karena jelas bahwa Hek-sim Lo-mo tidak menghendaki ia diganggu, maka iapun berkata dengan galak, “Bebaskan aku dan jangan pondong aku! Aku mampu berjalan sendiri!”
Lui Teng memandang dengan ragu-ragu, akan tetapi terdengar suara Hek-sim Lo-mo. “Lui Teng, lepaskan ia dan simpan sepasang pedangnya!”
Lui Teng merasa kecewa sekali. Biarpun dia belum boleh mengganggu gadis itu, setidaknya dia ingin memandang dan mendekapnya, membawanya ke kamar tahanan, bahkan kalau ada kesempatan dia dapat mencumbunya. Akan tetapi, Beng-cu telah memerintahkan agar dia membebaskan gadis itu, maka diapun tidak berani membantah dan dua kali dia menepuk punggung Hong Ing yang segera dapat menggerakkan kaki tangannya. Ia cukup cerdik untuk tidak mengamuk lagi, maklum bahwa di tangan orang-orang pandai ini ia tidak berdaya.
Sekarang tahulah ia mengapa Tek Hin mau dijadikan tawanan dan sama sekali tidak melawan. Melawanpun tidak akan ada gunanya. Baru menghadapi seorang pembantu Hek-sim Lo-mo saja, ia sama sekali tidak berdaya. Apa lagi kalau banyak pembantunya maju. Apa lagi kalau kakek raksasa itu sendiri yang maju! Oleh karena itu, setelah ia mampu bergerak, iapun tidak mau mengamuk lagi dan menurut saja ketika disuruh berjalan dan dikawal oleh Lui Teng menuju ke kamar di mana Tek Hin berada.
Melihat gadis itu dibawa masuk ke dalam kamarnya, Tek Hin mengerutkan alisnya dan segera dia tahu bahwa Hong Ing juga sudah ditaklukkan oleh gerombolan penjahat itu.
“Song Tek Hin, engkau memperoleh seorang teman, gadis cantik manis ini. Akan tetapi awas, jangan engkau mengganggunya. Ia adalah calonku, tahu?” kata Lui Teng sambil meninggalkan mereka dan tertawa mengejek.
Hong Ing menjatuhkan dirinya di atas kursi, tidak menangis melainkan cemberut. Tek Hin juga duduk di atas pembaringannya, memandang kepada gadis itu. Seorang gadis yang cantik manis seperti yang dikatakan Lui Teng tadi, pemberani akan tetapi tinggi hati sehingga memandang rendah lawan.
“Hemm, tentu mereka telah menundukkanmu, bukan?” tanyanya tanpa nada mengejek, hanya menyesal mengapa gadis itu demikian bodoh melakukan penyerbuan terhadap gerombolan penjahat yang amat lihai tanpa perhitungan sama sekali.
Hong Ing menarik napas panjang. “Tidak kusangka bahwa mereka selihai itu,” dan ia memandang kepada Tek Hin. “Song-toako, apa artinya bahwa engkau dan aku, kita dijadikan umpan? Siapa yang hendak dipancing datang ke sini?”
Tek Hin lalu menceritakan dengan singkat tentang Tan Cin Hay dan Liong-li. “Tanpa adanya engkau menjadi tawananpun, aku yakin bahwa saudara Tan Cin Hay, terutama sekali nona Liong-li, pasti akhirnya akan muncul untuk membebaskan aku. Tan-taihiap dan nona Liong-li adalah dua orang muda yang amat hebat, terutama sekali nona Liong-li! Mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kiranya hanya mereka berdua itulah yang akan mampu menandingi Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya.”
“Toako. engkau selalu memuji-muji nona Liong-li! Orang macam apakah ia itu?”
“Wah, selama hidupku baru satu kali ini aku melihat seorang gadis seperti nona Liong-li! Ia cantik jelita seperti seorang bidadari, ia pemberani dan cerdik bukan main, dan ia memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. Sungguh, aku kagum sekali pada gadis hebat itu, Ing-moi!”
Diam-diam Hong Ing merasa mendongkol. Teringat ia betapa ia pernah merasa iri kepada mendiang Pouw Bi Hwa yang memperoleh seorang calon suami seperti Song Tek Hin yang tampan, terpelajar dan pandai ilmu silat. Akan tetapi, kiranya pemuda ini tidak memiliki kesetiaan! Baru saja tunangannya mati, dia sudah tergila-gila kepada seorang gadis lain!
“Hemmm, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanyanya dengan suara yang kurang puas.
“Tidak apa-apa, hanya menanti saja. Mudah-mudahan tidak terlalu lama mereka akan muncul untuk membebaskan kita.”
“Tinggal sekamar begini? Kita berdua? Aku tidak mau!”
“Eh, Ing-moi, mengapa engkau begitu? Kita tidak ada pilihan lain. Kita diperlakukan dengan baik hanya karena mereka mempergunakan kita sebagai umpan! Kalau tidak karena adanya nona Liong-li dan Tan Taihiap, belum tentu kita dapat diperlakukan begini baik. Bagaimanapun juga, kita adalah tawanan.”
“Enak saja bagimu! Engkau seorang laki-laki, akan tetapi aku seorang wanita! Bagaimana mungkin aku tinggal sekamar denganmu? Bagaimana mungkin kita tidur sekamar?”
“Mengapa tidak, Ing-moi? Aih, aku tahu apa yang kau pikirkan! Ing-moi, kita dalam keadaan terpaksa, kita senasib! Kau kira aku ini orang laki-laki macam apa? Jangan khawatir, engkau boleh tidur di atas pembaringan ini dan aku akan tidur di kursi, atau di lantai!”
Mendengar suara pemuda itu agaknya penasaran dan marah, Hong Ing merasa tidak enak hati juga. Ia sudah lama mengenal pemuda ini, seorang pemuda yang gagah dan baik, sehingga tidak mungkin melakukan hal yang tidak pantas terhadap dirinya. Wajahnya berubah merah.
“Bukan maksudku tidak percaya kepadamu, Song-toako. Akan tetapi apakah kita berdua harus mandah begini saja, hanya menunggu dan menerima nasib tanpa berusaha untuk membela diri sama sekali?”
“Hong Ing, aku yakin benar bahwa kita berdua bukanlah lawan mereka. Kalau kita nekat memberontak, hal itu sama saja dengan membunuh diri dan kita tentu akan disiksa sebelum dibunuh. Dari pada begitu, kita menanti saat yang baik. Kalau mereka berdua muncul, kita langsung membantu mereka, sehingga mereka berdua menjadi lebih kuat dan kita memperlihatkan bahwa kita bukanlah orang-orang yang hanya menunggu pertolongan atau menunggu mati saja.”
Barulah hati Hong Ing tidak penasaran lagi. Tek Hin lalu turun dari pembaringan, mempersilakan gadis itu duduk di sana dan dia sendiri lalu duduk di atas kursi.
“Orang yang genit tadi sungguh lihai sekali,” kata Hong Ing, “dan aku ngeri melihat sikapnya. Apakah masih ada lagi para pembantu yang lihai seperti itu dari Hek-sim Lo-mo?”
“Ah, dia tadi adalah Jai-hwa Kongcu Lui Teng dan dia hanya seorang di antara para pembantu Hek-sim Lo-mo. Masih ada yang lebih lihai dari dia! Ada Tok-gan-liong Yauw Ban, kemudian Kiu-bwe Mo-li, dan dua orang saudara kembar He-nan Siang-mo dan penjahat cabul tadi. Mereka berlima adalah para pembantu utama yang amat lihai. Melawan mereka seorang saja, kita berdua masih tidak mampu menang, dan belum lagi kurang lebih dua puluh orang penjaga yang rata-rata juga pandai ilmu silat. Dan yang lebih hebat lagi adalah Hek-sim Lo-mo sendiri. Kepandaiannya seperti iblis!” Lalu pemuda itu menceritakan tentang gerombolan penjahat itu seorang demi seorang, mengenai kekejaman dan kelihaian mereka.
Mendengar keterangan ini, Hong Ing bergidik, dan baru ia tahu betapa sembrono dan bodohnya ia, berani memasuki guha harimau yang didiami begitu banyaknya penjahat yang lihai sekali. Mulailah ia merasa khawatir. “Kalau mereka begitu hebat, bagaimana mungkin Liong-li mu itu akan dapat mengalahkan mereka?”
Mendengar sebutan “Liong-li mu” itu, Tek Hin tersenyum dan baru dia menyadari bahwa gadis ini merasa tidak senang mendengar dia tadi begitu memuji-muji seorang gadis bernama Liong-li! “Tenangkanlah hatimu, Ing-moi. Aku bukan hanya memuji secara gegabah saja! Gadis yang berjuluk Liong-li itu sungguh hebat dan ilmu kepandaiannya amat tinggi. Tahukah engkau? Aku sendiri menyaksikan betapa ia seorang diri telah membasmi Wei-ho Cap-sha-kwi, yaitu tiga belas orang yang tadinya juga menjadi pembantu utama Hek-sim Lo-mo. Padahal mereka itu cukup lihai, tingkat kepandaian mereka itu masing-masing mungkin seimbang dengan tingkat kepandaianku. Dan dalam waktu singkat sekali mereka semua tewas di tangan Liong-li, dan aku hanya membantunya sedikit saja! Kemudian, Liong-li dikeroyok oleh lima orang pembantu utama Hek-sim Lo-mo itu! Bayangkan saja! Lima orang yang kepandaiannya rata-rata seperti si penjahat cabul tadi, bahkan lebih lihai, mengeroyok Liong-li dan ia tidak sampai terdesak!”
Hong Ing diam-diam terkejut bukan main dan mulai merasa kagum. Sukar dipercaya ada seorang gadis yang sedemikian lihainya! “Lalu bagaimana?” desaknya, tertarik.
“Kemudian muncul Hek-sim Lo-mo dan tentu saja Liong-li terdesak. Baiknya muncul Tan-taihiap dan mereka berhasil meloloskan diri dengan selamat. Aku tidak dapat mereka bebaskan karena aku sudah terjatuh ke tangan mereka lebih dulu. Dasar aku yang bodoh dan lemah...”
“Ah, kalau begitu, Liong-li itu benar-benar hebat. Apakah wanita itu sudah tua, toako?”
“Tua? Takkan lebih dari dua puluh dua tahun usianya!”
“Bukan main! Masih begitu muda akan tetapi memiliki kelihaian yang demikian hebat! Dan Tan-taihiap itu? Sudah tuakah dia?”
“Tan-taihiap juga masih muda, mungkin sebaya dengan aku. Dia tampan, terpelajar, halus budi pekertinya, bijaksana, mulia hatinya dan ilmu kepandaiannya amat hebat! Bayangkan saja, karena aku dijadikan sandera, karena dia tidak ingin melihat aku celaka, maka dia pernah menyerahkan diri untuk ditawan oleh gerombolan ini, hanya untuk menyelamatkan aku...”
“Aduh! Kalau begitu dia tentu hebat bukan main! Tidak kalah hebatnya oleh Liong-li mu itu!” Hong Ing berseru kagum.
“Ya, mereka berdua memang sepasang orang muda yang hebat sekali! Entah siapa di antara mereka yang lebih hebat. Kalau mereka maju bersama, tentu Hek-sim Lo-mo dan para pembantunya akan dapat dibasmi, dan kita akan membantu sekuat tenaga kita.”
Terhiburlah rasa hati Hong Ing dan ternyata mereka berdua mendapatkan perlayanan yang amat baik, mendapatkan hidangan yang lezat, bahkan disediakan air untuk mandi oleh para penjaga. Dan seperti telah diduganya, sikap Tek Hin amat baik terhadap dirinya, selalu sopan dan sama sekali tidak pernah menggodanya.
Hal ini membuat Hong Ing diam-diam amat bersyukur dan berterima kasih, dan kembalilah perasaan kagumnya terhadap pemuda itu. Di pihak Tek Hin, diam-diam diapun merasa tertarik dan kagum kepada gadis yang ternyata amat gagah, pemberani dan sedikitpun tidak cengeng ini. Mendapatkan seorang kawan senasib seperti gadis ini sungguh membesarkan hati.
********************
“Keparat jahanam!!” Hek-sim Lo-mo memaki dan tangannya yang kanan mengepal-ngepal sampai terdengar bunyi berkerotokan, tangan kirinya memegangi sehelai kertas yang bertuliskan tinta merah. Sebuah tantangan! Ditulis dengan tinta merah, dengan huruf-huruf yang menyolok dan nadanya menghina pula!
Kami, Hek-liong-li dan Pek-liong-eng menantang Hek-sim Lo-mo dan anak buahnya, kalau mereka bukan pengecut-pengecut untuk mengadu ilmu menentukan siapa yang lebih pandai. Kalau berani, datanglah di petak rumput tepi sungai dalam hutan sebelah timur kota, besok jam 9.00 pagi. Kalau takut pergilah kalian ke neraka.
Tertanda:
Hek-liong-li dan Pek-liong-eng.
Hek-sim Lo-mo memandang kepada lima orang pembantu utamanya yang nampak gentar melihat pimpinan mereka marah besar. Kiu-bwe Mo-li memberanikan diri bertanya.
“Beng-cu, apakah yang terjadi dan surat apakah itu yang membuat Beng-cu marah¬marah?”
“Siapa yang tidak marah? Anjing-anjing cilik itu berani menantangku dengan nada menghina!” Hek-sim Lo-mo melemparkan surat itu kepada Kiu-bwe Mo-li.
Kalau bukan wanita ini yang dilempari surat, bisa celaka karena saking marahnya, Hek-sim Lo-mo mengerahkan tenaga ketika melemparkan surat sehingga kertas yang merupakan benda ringan itu meluncur bagaikan anak panah cepatnya ke arah Kiu-bwe Mo-li. Namun wanita ini dapat menangkapnya dari samping, lalu dengan tenang membacanya.
Empat orang rekannya yang tidak sabar dan ingin sekali tahu, mendekatinya dan ikut pula membaca surat yang membuat pemimpin mereka marah-marah itu. Dan begitu membaca, merekapun melotot dengan muka merah karena marah. Yang ditantang bukan hanya Hek-sim Lo-mo seorang, akan tetapi termasuk mereka!
“Beng-cu, harap berhati-hati menghadapi tantangan ini dan tidak baik kalau terburu nafsu. Siapa tahu dengan tantangan ini, mereka menggunakan siasat untuk memancing harimau keluar dari sarang,” kata Kiu-bwe Mo-li yang cerdik.
“Aih, Mo-li, mengapa takut? Baru Beng-cu seorang diri saja, mereka berdua tidak akan mampu menandinginya, apa lagi Beng-cu maju bersama kita yang juga ditantang? Kalau dua orang muda itu diam-diam mempersiapkan bantuan, berarti merekalah yang pengecut karena yang menantang hanya mereka berdua! Mari kita bunuh mereka!” kata Gan Siang dengan nada penasaran, sedangkan Gan Siong, adik kembarnya, mengangguk-angguk.
Hek-sim Lo-mo mengangkat tangan melarang mereka ribut mulut sendiri, lalu berkata, “Kalian semua benar. Kita harus berhati-hati menghadapi tantangan ini kalau-kalau menyembunyikan siasat. Akan tetapi kalaupun mereka bersiasat, maka tentu siasat itu dipergunakan untuk mencoba membebaskan dua orang tawanan kita. Juga kita harus memenuhi tantangan itu, dan kita hancurkan mereka, dua budak sombong itu. Kita harus maju serentak untuk membunuh mereka, akan tetapi dua orang tawanan juga tidak boleh ditinggalkan sendiri begitu saja sehingga memudahkan orang luar untuk membebaskan mereka.”
“Sebaiknya kita bunuh saja dulu dua orang tawanan itu!” kata Yauw Ban Si Naga Mata Satu mengajukan rencananya.
“Serahkan saja mereka kepadaku!” kata Kiu-bwe Mo-li penuh gairah.
“Tidak, biar aku yang menghabisi mereka!” kata Jai-hwa Kongcu tidak kalah gairahnya.
“Ha-ha, kalau diserahkan Mo-li, tentu hanya yang wanita dibunuh seketika, akan tetapi yang pria akan dikeramnya dan dihisapnya sampai kering! Kalau diserahkan Jai-hwa Kongcu, yang pria akan seketika dibunuh, akan tetapi yang wanita tentu akan dipermainkan dulu sepuasnya!”
Kembali Hek-sim Lo-mo mengangkat tangan melarang mereka ribut sendiri, dan diapun berkata, “Mereka tidak perlu dibunuh sekarang. Kita bawa saja serta ke tempat tantangan itu! Kalau mereka itu menyerbu di perjalanan, kita hadapi bersama dan Jai-hwa Kongcu Lui Teng bersama semua anak buah harus membawa para tawanan kembali ke gedung selagi kita mengepung dua orang musuh itu. Dua orang tawanan itu masih berguna bagi kita, merupakan kelemahan dua orang musuh kita yang hendak membebaskan mereka, maka bodohlah kalau kita bunuh sekarang. Mereka dapat kita manfaatkan sewaktu-waktu kalau keadaan mendesak.”
Lima orang pembantu itu mengangguk maklum dan merekapun tahu bahwa diam-diam pemimpin mereka ini mulai merasa gentar juga menghadapi dua orang muda yang berani menentangnya itu sehingga perlu membiarkan dua orang tawanan tetap hidup untuk dijadikan sandera, kalau-kalau usaha mereka membunuh dua orang musuh itu gagal.
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi Hek-sim Lo-mo sudah keluar dari gedungnya, ditemani lima orang pembantu dan duapuluh orang anak buah yang menggiring dua orang tawanan itu di tengah-tengah mereka. Tentu saja Liong-li dan Cin Hay yang sudah melakukan pengintaian di dekat tempat itu, menjadi gemas sekali. Kiranya pihak musuh sedemikian cerdiknya sehingga tidak meninggalkan dua orang tawanan itu! Bukan hanya membawanya ke tempat tantangan, bahkan juga mengepung dengan sekian banyaknya penjaga dan pengawal!
Melihat betapa Tek Hin yang menjadi tawanan itu kini berjalan bersama seorang gadis berpakaian hijau yang cantik dan gagah yang kelihatan juga sebagai tawanan, Cin Hay dan Liong-li memandang heran.
“Siapa gadis itu?” bisik Liong-li.
Cin Hay menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. “Aku tidak tahu, baru sekarang melihatnya.” Dia memperhatikan gadis berbaju hijau yang cantik manis itu, akan tetapi tetap saja dia belum merasa pernah melihat gadis itu. “Akan tetapi, ia agaknya menjadi tawanan juga. Lihat, ia agaknya akrab dengan Tek Hin.”
Liong-li mengerutkan alisnya, berpikir dan mengelus dagunya yang putih mulus. “Hemm, lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Mereka begitu banyak.”
“Tidak ada jalan lain, kita melanjutkan rencana kita,” kata Cin Hay. “Yang terpenting adalah menyelamatkan Tek Hin dan agaknya gadis itu juga. Seperti telah kita rencanakan, kita membagi tugas. Aku menyerbu Hek-sim Lo-mo dan teman-temannya, dan engkau menyerbu dari belakang untuk membebaskan Tek Hin dan gadis baju hijau itu.”
Liong-li mengangguk. “Sudah pasti aku akan membebaskan Song Tek Hin, akan tetapi gadis itu? Aku belum tahu siapa dia, kawan atau lawan.”
“Kalau engkau sudah turun tangan, tentu Tek Hin akan memberitahu siapa gadis itu dan perlu diselamatkan atau tidak,” kata Cin Hay.
Kini rombongan itu sudah keluar dari kota Lok-yang, melalui pintu gerbang sebelah timur. Cin Hay dan Liong-li hanya membayangi saja dan setelah rombongan itu memasuki hutan menuju ke sungai yang dimaksud dalam surat tantangan, tepat seperti yang telah mereka rencanakan, tiba-tiba saja Cin Hay meloncat keluar dan menghadang di depan Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya.
“Hek-sim Lo-mo, saat ini aku akan menamatkan riwayat hidupmu yang penuh dosa dan kekotoran!” kata Cin Hay dengan sikap gagah.
Melihat munculnya musuh besar ini, Hek-sim Lo-mo menjadi marah sekali. “Jahanam sombong, engkau menantang bertanding di tepi sungai akan tetapi menghadang di sini!” bentaknya.
“Beng-cu, biarkan kami menghajarnya!” kata Yauw Ban yang memang merasa benci sekali kepada pemuda berpakaian putih itu. Dia memberi isyarat kepada teman-temannya dan bersama Kiu-bwe Mo-li, Jai-hwa Kongcu Lui Teng, dan sepasang saudara kembar He-nan Siang-mo, dia lalu menerjang Cin Hay. Yauw Ban sudah mencabut pedangnya, Kiu-bwe Mo-li mengeluarkan cambuk hitam ekor sembilan, Jai-hwa kongcu Lui Teng menggunakan sabuk sutera putih, sedangkan si kembar He-nan Siang-mo masing-masing mencabut golok besar mereka.
Segera Cin Hay dikepung dan pemuda ini dengan tenang sekali menghadapi pengepungan mereka dan mencabut pedang Pek-liong-kiam dari sarung pedang. Nampak sinar putih berkelebat ketika dia mencabut pedangnya, dan dengan pedang melintang di depan dada. Cin Hay menanti serangan mereka karena tadi Yauw Ban ternyata tidak jadi menyerangnya, hanya melakukan gerakan isyarat dan mereka berlima kini sudah mengepungnya. Agaknya lima orang itu, maklum betapa lihainya pemuda berpakaian putih, bersikap hati-hati dan mengepung penuh perhitungan.
Pada saat itu, dibagian belakang rombongan itu terjadi kegemparan. Seorang gadis berpakaian hitam-hitam mengamuk dan dalam beberapa kali gebrakan saja, empat orang pengawal telah roboh!
“Liong-li...” Tek Hin berseru dengan girang bukan main kepada Hong Ing.
Akan tetapi gadis ini hanya menengok sebentar kepada gadis berpakaian hitam yang mengamuk di antara para pengawal karena perhatiannya amat tertarik kepada pemuda berpakaian putih yang kini dikepung oleh lima orang pembantu Hek-sim Lo-mo!
“Itukah yang bernama Tan Cin Hay?” Ia bertanya seperti orang mimpi dan matanya tak pernah berkedip memandang kepada pemuda berpakaian putih yang menghadapi pengepungan lima orang musuh lihai itu dengan sikap tenang sekali. Betapa tenangnya, betapa gagahnya, betapa tampannya, demikian Hong Ing berbisik dalam hatinya.
“Mereka telah datang! Mari, Ing-moi, kita bantu mereka!” kata Tek dan pemuda ini sudah bergerak menghantam kepada seorang pengawal yang berdiri paling dekat dengannya.
Pengawal itu terpelanting dan melihat ini, Hong Ing juga membalikkan tubuhnya dan sebuah tendangannya membuat seorang pengawal terjungkal pula. Melihat betapa gadis berpakaian hijau itu bersama Tek Hin sudah pula mengamuk, tahulah Liong-li bahwa gadis baju hijau itu memang seorang kawan yang perlu diselamatkan.
Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan si raksasa Hek-sim Lo-mo telah berdiri di depannya, tangan kirinya membuat gerakan mendorong dan ada angin pukulan yang amat hebat menyambar ke arah Liong-li. Gadis ini cepat mengerahkan tenaganya dan menghindar ke samping, namun tetap saja ia agak terhuyung oleh dorongan angin pukulan yang amat dahsyat! Tahulah ia bahwa memang benar, seperti yang dikatakan Cin Hay, iblis tua ini lihai bukan main.
“Lui Teng, bawa dua tawanan kembali!” teriak Hek-sim Lo-mo sambil menghadang di depan Liong-li.
Mendengar ini, Jai-hwa Kongcu Lui Teng yang memang sudah mendapat tugas sebelumnya, lalu meninggalkan teman-temannya yang mulai mengeroyok Cin Hay, lalu dia melompat ke tengah kerumunan para pengawal yang mengeroyok Tek Hin dan Hong Ing yang sedang mengamuk. Dengan mudah saja, Lui Teng merobohkan dua orang muda ini dengan totokannya yang ampuh dan dengan dikawal oleh sisa pasukan pengawal yang menjadi anak buahnya, dia lalu bergegas membawa Tek Hin dan Hong Ing yang sudah tidak mampu bergerak itu kembali ke dalam kota Lok-yang!
Liong-li dan Cin Hay mendongkol sekali dan tidak mampu mencegah, karena Liong-li sudah harus membela diri terhadap serangan-serangan Hek-sim Lo-mo, sedangkan Cin Hay juga dikeroyok oleh empat orang lawan yang amat lihai. Terpaksa kedua orang muda ini mencurahkan seluruh perhatian mereka kepada para lawan yang amat berbahaya itu.
Cin Hay yang dikeroyok empat orang itu harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena empat orang pengeroyoknya merupakan datuk-datuk sesat yang amat lihai. Untung bahwa dia memegang Pek-liong-kiam karena dengan pedang ini dia sempat membuat empat orang pengeroyoknya terkejut bukan main. Ujung pedang Yauw Ban patah ketika bertemu dengan Pek-liong-kiam, juga cambuk ekor sembilan dari Kiu-bwe Mo-li rontok bulunya. Golok di tangan dua orang kembar He-nan Siang-mo juga rusak ujungnya.
Empat orang itupun maklum bahwa pedang pemuda berpakaian putih itu ampuh bukan main maka merekapun sebagai ahli-ahli silat pandai dan sudah banyak pengalaman, tidak lagi berani mengadu senjata secara langsung. Yang membuat mereka heran sekali adalah ketika melihat pedang di tangan Cin Hay. Mereka semua mengenal baik pedang itu. Pedang yang pernah mereka lihat ketika sedang dibuat oleh kakek Thio Wi Han! Bagaimana sekarang pedang itu, sebatang di antara sepasang pedang, berada di tangan pemuda berpakaian putih ini? Bukankah kedua pedang itu telah berada di tangan pemimpin mereka, Hek-sim Lo-mo?
Bukan hanya empat orang itu saja yang merasa heran. Juga Hek-sim Lo-mo yang angkuh dan yang belum menggunakan sepasang pedang pusakanya, karena diapun memandang rendah kepada Liong-li, datuk ini terkejut dan heran melihat pedang hitam di tangan gadis berpakaian hitam itu. Pedang itu amat ampuh, hal ini dapat dia rasakan dari sambaran pedang, dan pedang itu serupa benar dengan sebatang di antara sepasang pedangnya!
Melihat betapa gadis itu berbahaya sekali dengan pedangnya yang ampuh, tiba-tiba Hek-sim Lo-mo mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan jantung, disusul pandang mata yang mencorong dan teriakan yang seperti guntur memasuki telinga Liong-li.
“Hek-liong-li, hentikan seranganmu dan berikan pedang itu kepadaku! Cepat...!”
Sungguh aneh sekali. Ada kekuasaan yang amat kuat mencengkeram batin Liong-li, membuat ia mau tidak mau menuruti perintah itu dan seketika menahan gerakan tubuhnya dan menghentikan serangannya! Akan tetapi, ia masih belum menuruti perintah memberikan pedang, melainkan memandang heran kepada tangan dan pedangnya, seolah-olah ia tidak mengerti mengapa ia tidak lagi menyerang dan mengapa pula ia ingin menyerahkan pedang pusaka itu kepada kakek iblis raksasa itu!
Cin Hay juga merasakan getaran hebat akibat bentakan Hek-sim Lo-mo. Tahulah dia bahwa kakek itu tentu mencoba untuk menggunakan ilmu hitam atau ilmu sihir untuk menundukkan Liong-li, maka cepat diapun berteriak, “Liong-li! Hati-hati terhadap ilmu sihirnya!”
Untung sekali Cin Hay mengeluarkan teriakan ini karena pada saat itu, melihat gadis itu ragu-ragu, Hek-sim Lo-mo sudah menubruk ke depan untuk merampas pedang dan merobohkan gadis itu dengan totokan. Serangan ini hebat sekali, apa lagi terhadap Liong-li yang tadinya kesima seperti patung tak bergerak.
Teriakan Cin Hay menyadarkan gadis itu, maka pada detik terakhir, ketika tangan Hek-sim Lo-mo tinggal beberapa sentimeter lagi, ia sudah melempar tubuh ke belakang, terus bergulingan menuju ke arah Cin Hay dan begitu ia meloncat, ia lalu memutar pedangnya membantu Cin Hay menghadapi pengeroyokan empat orang lawan yang tangguh itu...!