DUA orang itu terkejut dan cepat sekali mereka melempar tubuh ke kanan kiri sambil memutar senjata. Sinar-sinar hitam lembut itu adalah jarum-jarum hitam halus yang menyambar keluar dari ujung gagang kipas ketika kipas itu dikebutkan!
Karena ketiga orang lawannya terhuyung, Nio-cu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Pedangnya diputar cepat, juga kipasnya menotok dan akibatnya Poa Leng yang kurang cepat mempergunakan tombak pendeknya untuk melindungi diri, telah kena di¬cium pundaknya oleh ujung pedang. Baju bagian pundaknya robek berikut kulit dan sedikit daging. Darah mengalir dan Poa Leng terhuyung ke belakang!
Melihat betapa adiknya terluka, Poa Seng terkejut. Dia memutar goloknya dengan maksud mendesak dan memberi kesempatan kepada kedua adiknya untuk melakukan serangan balasan. Namun, pedang di tangan Nio-cu juga diputar cepat dan membentuk sinar bergulung-gulung yang lebih cepat sehingga gulungan sinar pedang itu dapat memasuki gulungan sinar golok dan tahu-tahu ujung pedang itu sudah menggurat pergelangan tangan yang memegang golok!
“Auhhh...!” Poa Seng terkejut, menarik kembali goloknya, akan tetapi kaki Nio-cu yang dapat bergerak cepat sudah mengirim tendangan.
“Dukk!!” Lutut kanan Poa Seng tercium ujung sepatu dan tanpa dapat dipertahankannya pula, dia jatuh bertekuk lutut!
Dua orang adiknya menyerang membabi buta, namun gerakan mereka itu terlalu kasar dan lamban bagi Nio-cu yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi sehingga semua serangan mereka dapat dielakkan atau ditangkis. Belum lewat tigapuluh jurus, kembali pedang di tangan kanan Nio-cu menemui sasaran, sekali ini paha kiri Poa Teng yang terpelanting roboh. Darah bercucuran dari pahanya yang terobek.
Melibat kenyataan pahit ini, Poa Seng segera berseru, “Tahan senjata!” Dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, pihaknya akan kalah dan tentu akan menderita lebih hebat lagi. Lawan ini terlampau tangguh. Padahal, ia hanya seorang wanita dan seorang pembantu dari Beng-cu. Apa lagi kalau Beng-cu itu maju sendiri. Mengerikan! Pula, dia teringat akan kemesraan dan kehangatan yang diperlihatkan Nio-cu tadi. Kalau mereka berteman, ada harapan sekali waktu dia akan dapat menikmati kemesraan cumbuan wanita cantik itu.
Nio-cu menahan kedua senjatanya dan bagaikan bermain sulap saja, pedang dan kipasnya sudah disimpannya kembali dan ia berdiri sambil bertolak pinggang memandangi tiga orang bekas lawannya sambil tersenyum. “Bagaimana pendapat kalian?”
Poa Seng mewakili kedua orang adiknya yang sudah terluka itu, menjura kepada Nio- cu, menarik napas panjang dan berkata, “Sungguh tidak kosong belaka nama besar Tok-sim Nio-cu, Kami mengaku kalah!” katanya dengan jujur.
“Bagus! Karena aku sendiri adalah utusan dan pembantu Beng-cu, maka kekalahan kalian itu berarti bahwa mulai saat ini kalian harus pula membantu Beng-cu dan melaksanakan semua perintahnya. Setujukah kalian?”
Tiga orang itu maklum bahwa baru melawan seorang pembantu Beng-cu saja mereka kalah, maka kalau mereka menentang Beng-cu sama dengan bunuh diri!
“Kami setuju!” kata mereka serempak.
“Ketahuilah bahwa aku diutus Beng-cu untuk menangkap orang she Thio, karena kami mendengar bahwa orang itu yang menyimpan peta rahasia Patung Emas! Akan tetapi ketika aku tiba di sini, ternyata kalian sudah membunuh dia! Nah, apakan kalian telah merampas peta itu? Kalau sudah, berikan kepadaku dan kalian berarti sudah berjasa besar terhadap Beng-cu.”
Tiga orang raksasa itu saling pandang dan kembali Poa Seng menghela napas panjang. “Kami akan bercerita terus terang kepadamu, Nio-cu. Sesungguhnya sudah lama kami mendengar tentang peta rahasia harta karun bergambar patung emas itu. Namun kami menganggap berita itu hanya semacam dongeng saja. Akan tetapi, pada suatu hari kami mendengar dari seorang anak buah kami yang bertugas sebagai tukang perahu, bahwa dia melihat tanpa sengaja ketika Thio Kee San membuka sebuah gulungan ketika berada di dalam perahunya. Dari belakang, dia melihat bahwa gulungan itu berupa peta dan ada gambarnya patung emas. Thio Kee San segera menyimpan gulungan itu ketika anak buah kami mendekat. Laporan inilah yang membuat kami hari ini memaksa Kee San untuk mengaku. Akan tetapi dia berkeras tidak mau mengaku, mengatakan bahwa dia tidak memiliki peta itu. Saking kecewa dan marah, kami memukulinya dan diapun tewas. Kami tidak berhasil mengetahui di mana adanya peta itu, apa lagi merampasnya!”
Sampai beberapa saat lamanya Nio-cu mengamati wajah tiga orang itu dengan penuh selidik. Akhirnya iapun menarik napas panjang. “Kalian sungguh bodoh dan kasar, tidak mampu membujuk dia agar mengaku. Banyak cara penyiksaan yang akan membuat dia mengaku sebelum dia mampus. Akan tetapi, aku percaya kepada kalian dengan keyakinan bahwa kalian pasti tidak berani berbohong. Membohongi aku berarti membohongi Beng-cu dan kalian tahu apa hukumannya!”
“Nio-cu, untuk apa kami berbohong? Selain kami tidak berani menentang Beng-cu, juga kami tadi sudah berjanji dan kami telah kalah. Kami memukuli Thio Kee San sampai mati karena kami merasa kecewa dan marah sekali. Kami mengira bahwa dia memang benar-benar tidak mempunyai peta itu.”
“Kalian bodoh! Dia memiliki peta itu!”
“Ahhh...??” Tiga orang itu terbelalak dan jelas nampak betapa mereka menyesal sekali telah membunuh orang she Thio itu.
Sikap mereka itu menambah keyakinan hati Nio-cu bahwa mereka tidak berbohong. Tiga orang raksasa tolol itu memang tidak berhasil merampas peta. Mereka bertiga itu hanya memiliki kelebihan otot, akan tetapi kekurangan otak.
“Kini kalian mengerti bahwa perbuatan kalian membunuhnya itu berarti merugikan Beng-cu! Maka, kalian harus bertanggung jawab dan kalian kuserahi tugas untuk mencari peta itu sampai dapat!”
Tiga orang itu terbelalak. “Tapi... tapi, Nio-cu? Bagaimana mungkin? Dia sudah mati... dan peta itu tidak ada padanya. Sudah kami geledah seluruh badannya. Juga sebelum kami menemuinya di telaga, kami sudah menggeledah rumahnya dan tidak berhasil menemukan peta itu!”
Nio-cu tersenyum. ”Kalian memang bodoh, karena itu aku tidak akan meninggalkan kalian. Kalian menjadi pembantu-pembantuku, anak buahku. Aku yang akan mengatur rencananya, kalian tinggal melaksanakannya saja. Aku yakin kita akan dapat menemukan peta itu.”
Tiga orang itu kelihatan lega. Kalau Nio-cu yang menjadi pemimpin, mereka banya pembantu atau anak buah, maka segala kegagalan tentu ditanggung oleh Nio-cu. Akan tetapi Poa Seng masih merasa penasaran. “Nio-cu, kalau Thio Kee San itu sudah mati tanpa memberi keterangan tentang peta, bagaimana kita akan dapat menemukan benda itu? Kepada siapa lagi kita bertanya kalau dia sudah mati? Harap memberi penjelasan agar kami tidak bingung dan tahu apa yang harus kami lakukan.”
“Sam-liong, coba kalian pikir. Andaikata Kee San menyimpan peta itu, setelah kalian menyiksa dan memukuli dia, sudah pasti dia akan mengaku! Untuk apa dia memberatkan peta itu kalau dia akan dibunuh? Tidak ada gunanya bagi dia, dan tidak ada benda yang cukup berharga di dunia ini yang lebih dihargai dari pada nyawa. Tidak, kalau Kee San sampai nekat menutup mulut dan lebih baik mati dari pada membuka rahasia peta itu, hal ini berarti bahwa dia tidak menyimpannya!”
Tiga orang raksasa itu saling pandang, dan pandang mata mereka bodoh, tanda bahwa mereka tidak mengerti. “Nio-cu, kalau tidak disimpannya, lalu di kemanakan? Sungguh aku menjadi bingung,” kata Poa Seng.
“Aku juga!” sambung Poa Leng.
“Akupun tidak mengerti!” kata Poa Teng.
Nio-cu menjebikan bibirnya yang menggairahkan, bukan sekedar gaya melainkan memang ia mendongkol sekali. “Kalian ini orang-orang she Poa memang bodoh sekali. Sepatutnya kalian semua bernama Poa Gong (sinting atau tolol)! Tentu saja peta itu dia serahkan kepada orang lain!”
“Diserahkan kepada orang lain?” seru Poa Seng. “Akan tetapi kalau diserahkannya kepada orang lain, kenapa dia tidak mau mengaku kami gebuki sampai mampus? Kalau dia mengaku, setidaknya dia tidak akan mati, mungkin hanya tiga perempat atau setengah mati saja.”
Nio-cu menarik napas panjang. Ia amat cerdik, maka menghadapi orang-orang yang tidak secerdik dirinya, ia menjadi kurang sabar. “Apakah kalian tidak dapat menggunakan sedikit saja otak dalam kepala kalian? Kalau Kee San memilih mati dari pada membuka rahasia itu, hal ini jelas menunjukkan bahwa dia amat sayang kepada orang yang diserahi peta itu. Untuk melindungi orang itulah maka dia rela kalian gebuki sampai mampus. Nah, sudah jelas, bukan? Kalian kini tinggal cari saja siapa orangnya yang paling dikasihi oleh Kee San, dan tentu kalian akan menemukan peta itu ada padanya!”
Kini Poa Seng dan kedua orang adiknya mengangguk-angguk. Barulah sadar mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita yang selain cantik jelita dan lihai ilmu silatnya, juga amat cerdik! Dan orang sehebat ini hanya menjadi pembantu Beng-cu, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya sang Beng-cu itu!
“Hebat, Nio-cu. Engkau memang hebat bukan main!” kata Poa Seng mengangguk-angguk dan terang-terangan dia mengacungkan kedua ibu jarinya ke atas tanda kagum. Aih, kalau saja aku dapat memiliki seorang wanita seperti engkau ini, beberapa malam saja, puaslah hidupku di dunia ini!”
Biarpun ucapan itu kasar bukan main, akan tetapi wajah Nio-cu menjadi kemerahan saking bangga dan girangnya. Justeru kekasaran Poa Seng itu amat menarik hatinya, dan pujian yang keluar dari mulut kasar itu adalah pujian yang tulus tanpa maksud merayu sedikitpun.
“Bekerjalah dengan baik. Kalau engkau berhasil, siapa tahu aku begitu berterima kasih kepadamu sehingga kuanggap engkau cukup berharga untuk menjadi teman baikku.”
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Bukan hanya janjimu yang manis itu yang membesarkan semangatku, Nio-cu. Akan tetapi mulai saat ini memang kami sudah takluk kepada Beng-cu melalui engkau, dan kami akan bekerja keras untuk membuktikan bahwa kami bukan pembantu-pembantu yang tidak ada gunanya.”
“Ingat, di sini tempat pertemuan kita menyelidiki peta. Selama kita menyelidiki peta itu, setiap senja menjelang malam aku berada di sini dan kalian dapat menemui aku di sini.”
“Kenapa begini rahasia, Nio-cu? Kalau kita bertemu di bandar umpamanya, siapa yang akan berani mengganggu kita?” Poa Seng membantah.
“Bukan begitu, bodoh. Engkau tentu sudah mendengar betapa peta itu dijadikan perebutan oleh orang-orang kang-ouw. Biarpun kami tidak takut, akan tetapi lebih enak bekerja tanpa banyak gangguan yang hanya akan menambah pekerjaan saja. Contohnya, lihat. Bukankah tadinya aku akan dapat menangkap Thio Kee San dengan mudah, akan tetapi karena kalian juga memperebutkan peta maka pekerjaanku menjadi semakin repot?”
“Kau benar... kau benar...!” Poa Seng mengangguk-angguk dan merekapun berpisah.
Setelah mendapatkan keterangan yang amat jelas dari Nio-cu yang cerdik sekali itu, dengan amat mudah Po-yang Sam-liong yang menyebar anak buahnya untuk melakukan penyelidikan siapa orang yang paling disayang oleh mendiang Thio Kee San, dapat menemukan kenyataan bahwa mendiang Thio Kee San sering kali berkunjung ke Rumah Merah, yaitu rumah pelesir milik Bibi Ciang!
Kee San sudah tidak mempunyai keluarga sama sekali, tiada ayah tiada ibu atau saudara, maka tidak ada lagi orang yang disayangnya kecuali teman-temannya. Dan dalam penyelidikan Po-yang Sam-liong, Kee San tidak mempunyai sahabat yang terlalu dekat.
Sahabat-sahahat dalam perjudian bukanlah sahabat dekat dan tidak mungkin ada perasaan sayang di antara para penjudi yang selalu memperebutkan kemenangan uang itu. Satu-satunya tempat hanyalah rumah pelesir itu! Demikian perhitungan Tok-sim Nio-cu ketika mendapat keterangan dari Po-yang Sam-liong.
“Tidak salah lagi!” demikian katanya kepada tiga orang pembantu baru itu. “Rumah Merah itulah tempatnya! Dia pasti mempunyai seorang kekasih atau seorang sahabat yang disayangnya, dan melihat bahwa dia rela mengorbankan nyawa dari pada mencelakai orang yang disayangnya, kiranya orang itu tentu seorang wanita. Carilah sampai dapat siapa orang yang amat disayangnya di rumah pelesir itu. Kalau perlu tangkap semua penghuninya dan paksa mereka mengaku!”
Gegerlah rumah pelesir itu ketika pada suatu malam, Po-yang Sam-liong datang berkunjung. Para tukang pukul di rumah pelesir itu tentu saja kehilangan keberanian dan kegalakan mereka ketika mengenal tiga orang datuk sesat yang menguasai daerah Telaga Po-yang itu, bahkan menyambut mereka seperti kalau menyambut orang-orang berpangkat tinggi saja.
Apa lagi ketika tiga orang raksasa itu mulai menyatakan maksud kedatangan mereka, yaitu untuk mencari tahu siapa kekasih atau sahabat baik Thio Kee San, semua orang menjadi pucat ketakutan. Mereka sudah mendengar bahwa Kee San ditemukan orang mati di atas perahunya di telaga, dan sekarang tiga orang ini bertanya siapa sahabat terbaik dari korban itu! Semua orang mengatakan tidak tahu.
“Kalian tidak tahu? Baik, kami akan memaksa kalian mengaku!” bentak Poa Seng dan semua penghuni rumah pelesir itu, Bibi Ciang, enam orang pelacur, dan lima orang tukang pukul, mereka kumpulkan dalam ruangan belakang. Mereka semua disuruh duduk di atas lantai sedangkan tiga orang raksasa itu duduk di atas kursi.
“Kalian berani menyembunyikan orang itu dari kami, ya? Nah, sekarang akan kami tanya seorang demi seorang!” kata pula Poa Seng.
Dia menyuruh lima orang anak buahnya menjaga para tawanan itu dan bersama dua orang adiknya dia lalu memasuki sebuah kamar. Pertama-tama, Bibi Ciang sendiri yang dipanggil memasuki kamar. Dengan tubuh gemetar ketakutan wanita setengah tua memasuki kamar yang segera ditutup pintunya dari dalam. Semua orang yang menanti di luar merasa tegang sekali dan mereka menjadi semakin ketakutan ketika terdengar jerit kesakitan dan tangis nenek pemilik Rumah Merah itu.
“Aduuuhhh... ampun... ampunkan saya... sungguh mati saya tidak tahu...” nenek itu meratap ketika ia ditanya tentang peta sambil dijambak rambutnya sampai sebagian rambutnya jebol.
“Katakan, siapa kekasih dan teman terbaik dari Thio Kee San dalam rumah pelesir ini!” bentak Poa Seng sambil mengendurkan jambakannya agar wanita itu dapat menjawab.
Poa Teng sudah melibatkan rantai bajanya di leher wanita tua itu, siap untuk mencekiknya! Tentu saja semangat wanita itu sudah terbang dan hampir ia jatuh pingsan saking takutnya. “Kekasihnya? Ah, kekasihnya yang amat disayangnya adalah Bi Hwa... ya Bi Hwa... bunga rumah pelesir kami...”
Rantai itu dilepaskan. Tiga orang raksasa saling pandang, lalu dengan suara agak halus Poa Seng berkata, “Ceritakan tentang hubungan mereka dan yang mana Bi Hwa ini. Cerita sebenarnya, kalau kau tidak ingin kami siksa lebih mengerikan lagi!”
Sambil berlutut dengan muka pucat, rambut awut-awutan dan tubuh gemetar ketakutan, Bibi Ciang lalu bercerita. “Bi Hwa adalah seorang di antara para pelacur, menjadi bunganya karena ia paling cantik dan paling laris. Dan Kee San amat mencintanya, bahkan dia ingin mengumpulkan uang untuk menebus Bi Hwa yang akan diambil sebagai isterinya...”
Bukan main girangnya hati tiga orang tokoh sesat itu mendengar ini. Tak disangkanya akan semudah itu mereka mendapatkan orang yang dimaksudkan oleh Tok-sim Nio-cu dan kembali mereka merasa amat kagum kepada Nio-cu yang memiliki perkiraan dan perhitungan sedemikian tepatnya. Poa Seng berkedip kepada dua orang adiknya, lalu mendorong Bibi Ciang bangkit.
“Hayo tunjukkan kepada kami yang mana pelacur yang bernama Bi Hwa!”
Mereka bertiga lalu mendorong Bibi Ciang keluar dari dalam kamar. Semua orang yang berada di ruangan itu, dengan muka pucat ketakutan melihat betapa Bibi Ciang keluar terhuyung-huyung, dengan rambut awut-awutan, muka pucat dan basah air mata.
Bibi Ciang dengan tangan gemetar lalu menunjuk ke arah Bi Hwa yang berada di situ bersama para pelacur lainnya. Po-yang Sam-liong memandang dan mereka melihat seorang wanita muda yang memang cantik manis, dengan riasan muka tidak setebal para wanita muda yang lain. Bahkan wanita ini menundukkan muka, diam seperti patung, tidak seperti orang-orang lain yang nampak ketakutan. Pelacur ini memang lain dari pada yang lain. Poa Seng lalu memberi isyarat kepada dua orang adiknya dan mereka bertiga lalu mengamuk!
Semua orang, kecuali Bibi Ciang dan Bi Hwa, mereka pukuli dan tendangi sampai mereka itu jatuh bangun dan mengeluh kesakitan. Bahkan lima orang tukang pukul itupun menerima tamparan dan tendangan tanpa berani melawan sama sekali. Setelah puas menyiksa mereka, Poa Seng menghampiri mereka satu demi satu dan bertanya dengan suara lantang.
“Hayo katakan, siapa kekasih Thio Kee San di sini?”
Semua orang yang ditanya menuding ke arah Bi Hwa yang masih berlutut dan menundukkan muka tanpa bergerak. Poa Seng lalu menjambak rambut Bi Hwa dan memaksa waanita muda itu mengangkat muka. Bi Hwa mengangkat mukanya yang pucat, akan tetapi matanya itu memandang penuh sinar kebencian, sama sekali tidak membayangkan rasa takut!
“Engkau yang bernama Bi Hwa dan engkau kekasih Thio Kee San!” bentak Poa Seng, kini melepaskan rambut itu dan tangan yang tadi menjambak, kini mengelus pipi yang halus.
Bi Hwa menjawab dan suaranya mengejutkan semua orang karena gadis ini menjawab dengan suara yang kaku dan penuh kebencian. “Dan kalian bertiga tentu pembunuh-pembunuh koko Thio Kee San! Kalian orang-orang terkutuk, kejam dan jahat! Apa kesalahan San-koko maka kalian membunuhnya?”
Melihat sikap ini, Po-yang Sam-liong saling pandang dan tertawa bergelak. Mereka merasa girang sekali karena sikap itu saja menunjukkan bahwa memang antara wanita ini dan Kee San terdapat hubungan yang erat.
“Ha-ha-ha!” Poa Seng tertawa. “Dan engkaupun akan mampus kalau engkau tidak mau berterus terang kepada kami!”
Berkata demikian, dia mengangkat tubuh wanita itu, dipondongnya ke dalam kamar, diikuti oleh dua orang adiknya, dipandang dengan muka pucat oleh semua orang yang masih merintih dan mengerang kesakitan karena dihajar oleh tiga orang raksasa itu. Lima orang pelacur yang tadi ikut pula dihajar, menangis terisak-isak.
Sementara itu, setelah tiba di dalam kamar, Poa Seng melempar tubuh Si Hwa ke atas pembaringan. Gadis itu pucat sekali, akan tetapi matanya tetap memandang penuh kebencian. Kee San, satu-satunya orang di dunia ini yang mencintanya dengan tulus dan juga dicintanya, yang menjadi gantungan harapan hidupnya, telah dibunuh oleh tiga orang ini! Apa lagi yang perlu ditakuti?
Baginya, bahkan mati menyusul kekasihnya jauh lebih baik dari pada hidup, melanjutkan hidup sebagai seorang: pelacur hina! Karena sakit hati, duka dan kebencian itu membuat Bi Hwa, seorang wanita yang lemah, saat itu tidak mengenal rasa takut sama sekali walaupun ia tahu bahwa ia berada di tangan tiga orang yang amat kejam dan jahat!
“Nah, nona manis. Sekarang katakanlah terus terang, di mana engkau menyimpan peta yang kauterima dari Thio Kee San itu? Berikan kepada kami dan kami tidak akan menyiksamu, tidak akan membunuhmu,” kata Poa Seng, suaranya tidak sekasar tadi dan mengandung bujukan.
Kini mengertilah Bi Hwa mengapa kekasihnya dibunuh. Karena peta itu! Tiga orang manusia iblis ini menghendaki peta bergambar patung emas itu! Dan Kee San menjadi korban karena pernah memiliki peta itu. Dan sekarang, peta itu berada di tangannya, dan iapun terancam maut. Akan tetapi, untuk apa menyerahkan peta itu kepada tiga orang manusia ini? Ia memang sudah mendengar akan peristiwa yang amat menyedihkan itu. Bukan hanya karena kematian kekasihnya, akan tetapi juga ia sudah mendengar akan terculiknya Loan Khi Hwesio, ketua kuil.
Kekasihnya pernah mengatakan bahwa dia menerima peta itu dari Loan Khi Hwesio. Kemudian, Loan Khi Hwesio sebagai pemegang peta pertama diculik orang dan mungkin sekali dibunuh, sesudah itu, Kee San sebagai pemegang peta kedua juga dibunuh! Dan peta itu kini berada di tangannya, maka tidak aneh kalau nyawanya pun terancam.
Oleh karena itu, ia sudah lebih dulu menyingkirkan peta itu, bukan untuk menyelamatkan diri yang sudah putus harapan setelah kematian kekasihnya, melainkan untuk menyelamatkan peta agar jangan terjatuh ke tangan para pembunuh kekasihnya! Tidak! Ia tidak akan mengaku. Biar mereka membunuhnya. Ia tidak rela kalau sampai peta itu terjatuh ke tangan mereka yang membunuh kekasihnya, iapun sudah tidak mengharapkan hidup lebih lama lagi.
“Aku tidak tahu!” jawabnya ketus, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar seolah-olah ia merasa gembira dapat melihat kekecewaan pada pandang mata tiga orang itu.
“Hemm, jangan memaksa kami untuk menggunakan siksaan, nona manis. Sayang kecantikanmu. Lebih baik engkau mengaku terus terang dan kami akan menebusmu bebas dari Bibi Ciang, bahkan kami akan memberi banyak uang kepadamu. Engkau dapat membeli seorang suami yang baik dan...”
“Sudahlah, tidak perlu membujuk dan kalau mau siksa, mau bunuh aku, silakan. Aku tidak tahu!” Bi Hwa berseru dengan nekat.
Poa Seng memandang kedua orang adiknya. “Geledah kamarnya!”
Dua orang raksasa itu keluar dan menyeret Bibi Ciang untuk menunjukkan di mana kamar Bi Hwa. Mereka mengobrak-abrik seluruh isi kamar, bahkan merobek kasur dan bantal untuk mencari peta itu. Namun sia-sia belaka. Mereka tidak dapat menemukan peta itu. Sementara itu, di dalam kamar, Poa Seng juga merobek-robek semua pakaian yang menutupi tubuh Bi Hwa, untuk mencari kalau-kalau peta itu disembunyikan di dalam baju. Namun diapun tidak berhasil.
Ketika Poa Leng dan Poa Teng kembali ke dalam kamar dan melaporkan kepada Poa Seng bahwa mereka tidak berhasil, tiga orang itu menjadi marah dan penasaran. Mulailah mereka menyiksa Bi Hwa. Namun, Bi Hwa tetap membisu dan kalau mengeluarkan suara, ia hanya berkata,
“Aku tidak tahu!” atau kadang-kadang malah ia memaki, “Kalian ini iblis-iblis terkutuk, membunuh kekasihku yang tidak berdosa!”
Po-yang Sam-liong sampai kehabisan kesabaran. Mereka itu menyiksa sejadi-jadinya, memperkosa Bi Hwa secara bergantian, menyayat kulitnya dan sampai keadaannya lebih banyak mati dari pada hidup, Bi Hwa tetap tidak mau mengaku dan mengatakan tidak tahu! Setelah ia tidak mampu bersuara lagi, ia hanya menggeleng kepala dan pandang matanya penuh kebencian kepada tiga orang penyiksanya itu.
Po-yang Sam-liong menjadi semakin penasaran. Akan tetapi mereka khawatir kalau sampai terjadi wanita ini tewas di tangannya sebelum mereka berhasil menemukan peta, maka mereka lalu menggulung tubuh yang sudah sekarat itu dengan selimut, lalu meninggalkan rumah pelesir itu.
Tentu saja Bibi Ciang dan para pelacur, juga para tukang pukul, menjadi geger dan dengan berita tentang diculiknya Bi Hwa oleh orang-orang jahat segera tersiar dengan luas. Akan tetapi, tak seorangpun di antara para penghuni rumah pelesir itu berani mengatakan bahwa pelakunya adalah Po-yang Sam-liong!
Ketika Tok-sim Nio-cu menerima Po-yang Sam-liong yang membawa Bi Hwa yang sudah mendekati mati itu tanpa memperoleh hasil, Nio-cu mengerutkan alisnya dan menjadi marah sekali. “Kalian ini benar-benar poa-gong (tolol)! Sudah kukatakan, jangan melakukan kekerasan sebelum berhasil! Lihat perempuan ini. Di tangannyalah rahasia peta itu, dan kalian membuatnya hampir mati sebelum ia mengaku di mana adanya peta itu! Hayo cepat rawat ia baik-baik sampai ia sembuh benar! Kalau sudah sembuh, nanti aku yang membujuknya.”
Po-yang Sam-liong menggunakan segala daya untuk menyembuhkan kembali Bi Hwa. Mereka tidak mengganggunya, memberi obat dan makan, melayaninya dengan sebaiknya. Akan tetapi tiga hari kemudian, setelah kesehatan wanita itu agak membaik dan kekuatannya pulih, pagi-pagi mereka mendapatkan bahwa wanita itu telah membunuh diri di dalam pondok darurat yang mereka buat di hutan tepi telaga itu! Bi Hwa menggantung diri dengan sabuknya sendiri setelah ia diberi pakaian lengkap oleh Po-yang Sam-liong!
Tentu saja Po-yang Sam-liong menjadi bingung dan ketika Nio-cu datang, iblis betina inipun marah bukan main. “Dasar kalian yang kasar dan tolol! Aih, sungguh menyesal aku menyuruh kalian yang menyelidiki urusan ini. Kalian hanya menggagalkan urusan saja, bukan membantu!”
“Nio-cu, maafkan kami. Maksud kami hendak memaksa Bi Hwa mengaku, akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa ia begitu keras kepala, tidak mau mengaku dan menantang segala siksaan!” Poa Seng mengepal tinju penuh penasaran dan penyesalan.
“Hemm, kalian hanya orang-orang kasar! Sudahlah, kalian boleh pulang. Akan tetapi ingat, bahwa kalian telah menjadi anak buah Beng-cu dan setiap waktu apa bila Beng-cu membutuhkan tenaga kalian, maka kalian harus siap untuk membantu.”
“Baik, Nio-cu dan terima kasih.”
Tok-sim Nio-cu meninggalkan tempat itu untuk memberi laporan kepada Siauw-bin Ciu-kwi. Tentu saja datuk ini merasa kecewa. “Hemm, kenapa tidak kau basmi saja Po-yang Sam-liong yang tolol itu, menggagalkan urusan saja!”
“Kedudukan dan kekuasaan mereka cukup kuat di daerah telaga, Beng-cu. Sayang kalau mereka dibasmi begitu saja. Mereka sekali waktu dapat berguna bagi kita, apa lagi mereka sudah kutaklukkan dan mengakui kekuasaan Beng-cu dan sudah berjanji untuk membantu,” bantah Tok-sim Nio-cu.
Kalau saja bukan Nio-cu yang telah dianggap gagal dalam tugasnya itu, tentu Siauw-bin Ciu-kwi akan marah besar dan menghukum pembantu yang gagal itu. Akan tetapi, di samping sebagai pembantu, Tok-sim Nio-cu juga menjadi kekasihnya, seorang wanita yang amat pandai menyenangkan hatinya. Sementara itu, para pembantu yang mendengar semua cerita Nio-cu, juga merasa penasaran.
“Beng-cu, biarkan aku yang pergi mencari peta itu. Mendengar cerita Nio-cu, aku yakin bahwa peta itu masih berada di sekitar Nan-cang dan Telaga Po-yang. Agaknya pelacur itu telah menyerahkannya kepada orang lain!” kata Pek I Kongcu Ciong Koan.
Siauw-bin Ciu-kwi mengangguk-angguk. “Baik, cari dan temukanlah, Kongcu!”
Julukan Pek I Kongcu ini telah demikian terkenal sehingga Beng-cu sendiri juga lebih suka menyebutnya Kongcu seperti juga para pembantunya. Dengan penuh keyakinan akan kemampuan sendiri, Pek I Kongcu lalu berangkat untuk melaksanakan tugasnya. Jejak itu masih jelas nampak, pikirnya. Yang terakhir peta itu berada di tangan Bi Hwa, bagaimana mungkin dapat lenyap tanpa bekas?
Sudah jelas bahwa agaknya Bi Hwa telah menduga akan datangnya bahaya, maka ia segera menyingkirkan peta itu, dan ke mana lagi wanita itu menyembunyikannya kalau tidak menyerahkannya kepada orang lain? Tentu seseorang yang amat dipercayanya, dan hal inilah yang harus dia selidiki.
Perahu itu meluncur sunyi di Telaga Po-yang. Menjelang senja itu, telaga telah ditinggalkan orang dan hanya ada satu-dua buah perahu saja yang nampak di atas telaga, yaitu perahu para nelayan yang masih mencoba-coba mengadu untung dengan mengail ikan.
Setelah meluncur ke bagian tepi dekat hutan yang rimbun, perahu itu berhenti dan penumpang tunggalnya, seorang pria muda, segera melakukan persiapan memancing ikan. Dia bukan seorang nelayan, juga beberapa buah perahu nelayan itu ditumpangi nelayan yang mengail dengan harapan tipis. Kalau pria berpakaian putih di atas perahu itu seorang nelayan, tentu tidak sebesar itu semangatnya untuk mengail.
Semua nelayan di Telaga Po-yang tahu bahwa sekarang bukan musim mengail ikan, melainkan musim mencari uang melalui penyewaan perahu kepada para pelancong. Di waktu hari cerah musim panas itu, telaga dibanjiri pelancong, bukan ikan. Ikan-ikan itu sudah kenyang karena setiap hari, dari pagi sampai sore, para pelancong membuang banyak sisa makanan ke dalam telaga dan ikan-ikan itu berpesta pora pula sehingga setelah telaga itu ditinggalkan para pelancong, ikan-ikan yang kekenyangan itu sudah terlalu malas untuk mencari makanan di dekat permukaan air.
Beberapa orang nelayan yang mengadu untung itu agaknya memang amat kekurangan, atau mungkin hanya iseng, dari pada tidak ada yang dikerjakan sore itu. bPria muda itu berusia kurang lebih duapuluh enam tahun. Pakaiannya serba putih, sederhana namun bersih. Wajahnya bersih dan tampan, juga amat sederhana dan dia lebih mirip seorang terpelajar yang miskin.
Tubuhnya sedang dan ketika dia bergerak melempar umpan di ujung mata kailnya, tubuh itu mengandung kelenturan. Akan tetapi kalau orang menentang pandang matanya, ada sesuatu pada pandang mata yang berlawanan dengan kelembutan yang nampak pada mukanya, sesuatu yang amat kuat dan berwibawa, sinar mata yang kadang-kadang mencorong, akan tetapi selalu ingin bersembunyi di balik mata yang redup.
Bagaimanapun juga, lekukan di ujung dagunya membayangkan kekuatan hatinya, dan ada tahi lalat hitam kecil di lehernya sebelah kiri. Sebuah buntalan kain berada di atas perahu kecil itu, buntalan yang agak panjang, terbuat dari kain hijau yang tebal dan kuat. Hal ini menunjukkan bahwa dia seorang yang biasa melakukan perjalanan jauh dan buntalan itu adalah bekal dalam perjalanan, pakaian dan lain-lain.
Karena dia bukan nelayan, bukan pula penggemar kesenangan mengail yang biasa memancing di telaga itu, maka diapun tidak tahu bahwa sore hari seperti itu, ikan-ikan lebih senang bermalas-malasan di dasar telaga karena perut mereka sudah kenyang. Dengan sabar dia memegangi joran pancingnya. Akan tetapi setelah lewat setengah jam belum juga ada ikan yang menyambar umpannya, bahkan dia melihat ada bayangan ikan yang lumayan besarnya berenang tak jauh dari tali pancingnya tanpa memperdulikan bahwa ada orang yang memberi umpan enak, kesabarannya mulai menipis.
“Hemm, apakah umpannya yang tidak cocok dengan selera ikan-ikan di sini?” gerutunya.
Kembali ada bayangan ikan berenang di bawah permukaan air, ikan sebesar betisnya. Cepat dia menarik jorannya dan menghadang ikan itu dengan umpannya. Ikan itu hampir menabrak umpan, akan tetapi jangankan mencaplok umpan, bahkan menciumpun tidak, lewat begitu saja tanpa menoleh!
“Wah, ini namanya orang kelaparan diejek dan dipandang rendah oleh ikan!” Dia mengomel lalu mengangkat pancingnya, membuang umpan di mata kail dan diapun bangkit berdiri di dalam perahunya, dengan joran di tangan tanpa tali dan pancing lagi.
Joran itu terbuat dari bambu dan ujungnya runcing, semacam bambu sebesar jari tangan yang kuat. Matanya dengan tajam memandang ke permukaan air yang masih diterangi matahari senja yang kemerahan. Apa yang dinanti-nantikanpun tiba. Tidak perlu dia menanti terlalu lama seperti ketika mencoba menangkap ikan dengan pancing tadi.
Seekor ikan yang sebetis besarnya meluncur lewat, perlahan-lahan dalam jarak dua meter dari perahunya. Seekor ikan yang kepalanya hitam dan ekornya kemerah-merahan, ketika berenang dan membelok, perutnya kelihatan keputihan. Tangan yang memegang joran itu menegang, bergerak dan joran itupun meluncur seperti anak panah ke arah ikan.
“Ceppp...!” Joran itu meluncur masuk ke dalam air. Tentu tidak mengenai sasaran karena ikan dapat bergerak amat cepatnya di dalam air dan menangkap ikan secara demikian tentu saja jauh lebih sukar dari pada mengail seperti tadi! Akan tetapi, joran itu muncul kembali dan diujungnya nampak ikan menggelepar, perutnya ditembusi ujung joran yang runcing!
“Ha-ha, terisi juga perutku yang lapar ini!” Pria itu bicara seorang diri, mendayung perahunya mendekati jorannya dan meraih joran itu. Ikan yang sebesar betis dan cukup gemuk. Dia lalu menaruh ikan dan jorannya ke dalam perahu, mendayung perahu ke arah hutan.
Dari peristiwa itu saja mudah diduga bahwa pria muda itu bukanlah orang sembarangan. Cara dia melempar joran dan tepat mengenai ikan yang sedang berenang di bawah permukaan air, membuktikan bahwa dia seorang yang amat pandai. Dan memang hal ini benar adanya. Pria itu bernama Tan Cin Hay dan di dunia persilatan, dia terkenal dengan julukan Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih). Apa lagi ketika beberapa bulan yang lalu dia berhasil membasmi gerombolan penjahat di bawah pimpinan Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang terkenal jahat!
Hek-sim Lo-mo adalah seorang datuk besar dunia hitam yang amat lihai, dan dia dibantu oleh banyak tokoh-tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi pula. Namun, Pek-liong-eng Tan Cin Hay berhasil membasmi dan membunuh datuk itu dan semua pembantunya, bersama seorang pendekar wanita yang juga menjadi amat terkenal namanya. Pendekar wanita itu adalah Hek-liong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam) dan bernama Lie Kim Cu.
Pendekar Naga Putih ini tinggal di sebuah dusun yang sunyi di dekat kota Hang-kouw, di dekat Telaga See-ouw. Kalau sekarang dia berada di Telaga Po-yang adalah karena dia sedang melakukan perantauan dan lewat dekat telaga itu. Dia memang suka melancong di telaga, maka dia tidak melewatkan kesempatan itu untuk berpesiar di telaga ini dan sorenya, dia memancing ikan karena merasa perutnya lapar dan malas untuk makan di rumah makan. Telaga Po-yang terkenal dengan ikan-ikan ekor merah yang kabarnya amat lezat dagingnya.
Pendekar ini adalah seorang laki-laki yang bernasib malang, menjadi korban kejahatan. Dahulunya dia seorang putera guru yang hidup di dusun dan dia telah mempunyai seorang isteri yang amat dicintanya. Ketika dia dan isterinya yang baru mengandung muda itu berpesiar naik perahu di Telaga See-ouw, muncullah orang-orang jahat yang hendak mengganggu isterinya. Dia melakukan perlawanan, akan tetapi tidak ada gunanya. Dia bahkan dipukul dan dilempar keluar perahu, hampir saja mati tenggelam. Adapun isterinya ditangkap dan diperkosa sampai mati oleh para penjahat! Dengan hati penuh dendam dan duka, Tan Cin Hay menjadi murid mendiang Pek I Lojin, seorang kakek sakti.
Setelah tamat belajar ilmu silat, dia menjadi seorang pemuda gemblengan yang tinggi ilmunya. Dia menuntut balas, menghajar dan membunuh mereka yang pernah menghina, memperkosa dan membunuh isterinya, dan sejak itu dia menjadi seorang pendekar yang setiap saat siap untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan, membela rakyat kecil miskin yang menjadi korban penindasan, pemerasan dan kejahatan.
Pengalaman pertamanya sebagai pendekar yang paling hebat adalah ketika dia menentang gerombolan yang dipimpin Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Dia berhasil membasmi gerombolan itu bersama Hek-liong-li, dan sejak itu, biarpun terpisah jauh, dia menjadi sahabat pendekar wanita itu dan saling berjanji bahwa kalau masing-masing menghadapi bahaya dan membutuhkan bantuan, mereka akan saling mengabari.
Demikianlah sedikit riwayat hidup Pek-liong-eng Tan Cin Hay yang pada senja hari itu seorang diri berada di Telaga Po-yang dan kini dia sudah mendarat sambil membawa seekor ikan gemuk sebesar betis. Perahu kecil itu dia ikat dengan sebatang pohon dan dia sendiri lalu memasuki hutan, berhenti di tempat terbuka di mana rumputnya gemuk dan tempatnya bersih, dilindungi pohon besar dan terdapat banyak batu-batu yang enak dijadikan tempat duduk atau tidur karena batu-batu itu besar, rata dan bersih.
Tak lama kemudian, Liong-eng (Naga Putih) sudah duduk menghadapi api unggun yang terlindung antara dua batu besar, dan memanggang daging ikan segar! Dari dalam buntalannya dia mengeluarkan garam dan sekedar bumbu, sehingga kini daging ikan yang sudah dibumbui itu mengeluarkan bau yang sedap, membuat perutnya yang sudah lapar itu terasa semakin lapar. Dia masih mempunyai bekal roti kering yang cukup banyak. Roti kering dan panggang ikan saja sudah lebih dari mencukupi untuk menenangkan perut lapar.
Ketika ikan itu hampir matang dan tinggal beberapa kali balikan lagi, tiba-tiba pendengaran Liong-eng yang terlatih dan amat tajam itu menangkap gerakan dan langkah orang menghampiri tempat itu. Dia bersikap waspada, akan tetapi melanjutkan pekerjaannya seolah-olah tidak tahu bahwa ada orang menghampiri tempat itu.
“Siancai (damai)...! Sungguh dosamu besar sekali, orang muda!bEngkau menjadi seorang penggoda yang amat kejam...!”
Liong-eng menengok dan dia melihat seorang kakek berusia enam puluh tahunan, berpakaian seperti seorang pendeta dengan rambut digelung ke atas. Biarpun kakek itu mengeluarkan suara teguran, namun wajahnya lembut dan mulutnya tersenyum ramah, dan sepasang matanya itu ditujukan ke arah ikan yang masih dipegang dan dipanggangnya. Tentu saja dia merasa heran mendengar teguran itu.
“Totiang, mengapa begitu? Apa dosaku, dan kenapa totiang mengatakan aku seorang penggoda kejam...?”
Karena ketiga orang lawannya terhuyung, Nio-cu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Pedangnya diputar cepat, juga kipasnya menotok dan akibatnya Poa Leng yang kurang cepat mempergunakan tombak pendeknya untuk melindungi diri, telah kena di¬cium pundaknya oleh ujung pedang. Baju bagian pundaknya robek berikut kulit dan sedikit daging. Darah mengalir dan Poa Leng terhuyung ke belakang!
Melihat betapa adiknya terluka, Poa Seng terkejut. Dia memutar goloknya dengan maksud mendesak dan memberi kesempatan kepada kedua adiknya untuk melakukan serangan balasan. Namun, pedang di tangan Nio-cu juga diputar cepat dan membentuk sinar bergulung-gulung yang lebih cepat sehingga gulungan sinar pedang itu dapat memasuki gulungan sinar golok dan tahu-tahu ujung pedang itu sudah menggurat pergelangan tangan yang memegang golok!
“Auhhh...!” Poa Seng terkejut, menarik kembali goloknya, akan tetapi kaki Nio-cu yang dapat bergerak cepat sudah mengirim tendangan.
“Dukk!!” Lutut kanan Poa Seng tercium ujung sepatu dan tanpa dapat dipertahankannya pula, dia jatuh bertekuk lutut!
Dua orang adiknya menyerang membabi buta, namun gerakan mereka itu terlalu kasar dan lamban bagi Nio-cu yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi sehingga semua serangan mereka dapat dielakkan atau ditangkis. Belum lewat tigapuluh jurus, kembali pedang di tangan kanan Nio-cu menemui sasaran, sekali ini paha kiri Poa Teng yang terpelanting roboh. Darah bercucuran dari pahanya yang terobek.
Melibat kenyataan pahit ini, Poa Seng segera berseru, “Tahan senjata!” Dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, pihaknya akan kalah dan tentu akan menderita lebih hebat lagi. Lawan ini terlampau tangguh. Padahal, ia hanya seorang wanita dan seorang pembantu dari Beng-cu. Apa lagi kalau Beng-cu itu maju sendiri. Mengerikan! Pula, dia teringat akan kemesraan dan kehangatan yang diperlihatkan Nio-cu tadi. Kalau mereka berteman, ada harapan sekali waktu dia akan dapat menikmati kemesraan cumbuan wanita cantik itu.
Nio-cu menahan kedua senjatanya dan bagaikan bermain sulap saja, pedang dan kipasnya sudah disimpannya kembali dan ia berdiri sambil bertolak pinggang memandangi tiga orang bekas lawannya sambil tersenyum. “Bagaimana pendapat kalian?”
Poa Seng mewakili kedua orang adiknya yang sudah terluka itu, menjura kepada Nio- cu, menarik napas panjang dan berkata, “Sungguh tidak kosong belaka nama besar Tok-sim Nio-cu, Kami mengaku kalah!” katanya dengan jujur.
“Bagus! Karena aku sendiri adalah utusan dan pembantu Beng-cu, maka kekalahan kalian itu berarti bahwa mulai saat ini kalian harus pula membantu Beng-cu dan melaksanakan semua perintahnya. Setujukah kalian?”
Tiga orang itu maklum bahwa baru melawan seorang pembantu Beng-cu saja mereka kalah, maka kalau mereka menentang Beng-cu sama dengan bunuh diri!
“Kami setuju!” kata mereka serempak.
“Ketahuilah bahwa aku diutus Beng-cu untuk menangkap orang she Thio, karena kami mendengar bahwa orang itu yang menyimpan peta rahasia Patung Emas! Akan tetapi ketika aku tiba di sini, ternyata kalian sudah membunuh dia! Nah, apakan kalian telah merampas peta itu? Kalau sudah, berikan kepadaku dan kalian berarti sudah berjasa besar terhadap Beng-cu.”
Tiga orang raksasa itu saling pandang dan kembali Poa Seng menghela napas panjang. “Kami akan bercerita terus terang kepadamu, Nio-cu. Sesungguhnya sudah lama kami mendengar tentang peta rahasia harta karun bergambar patung emas itu. Namun kami menganggap berita itu hanya semacam dongeng saja. Akan tetapi, pada suatu hari kami mendengar dari seorang anak buah kami yang bertugas sebagai tukang perahu, bahwa dia melihat tanpa sengaja ketika Thio Kee San membuka sebuah gulungan ketika berada di dalam perahunya. Dari belakang, dia melihat bahwa gulungan itu berupa peta dan ada gambarnya patung emas. Thio Kee San segera menyimpan gulungan itu ketika anak buah kami mendekat. Laporan inilah yang membuat kami hari ini memaksa Kee San untuk mengaku. Akan tetapi dia berkeras tidak mau mengaku, mengatakan bahwa dia tidak memiliki peta itu. Saking kecewa dan marah, kami memukulinya dan diapun tewas. Kami tidak berhasil mengetahui di mana adanya peta itu, apa lagi merampasnya!”
Sampai beberapa saat lamanya Nio-cu mengamati wajah tiga orang itu dengan penuh selidik. Akhirnya iapun menarik napas panjang. “Kalian sungguh bodoh dan kasar, tidak mampu membujuk dia agar mengaku. Banyak cara penyiksaan yang akan membuat dia mengaku sebelum dia mampus. Akan tetapi, aku percaya kepada kalian dengan keyakinan bahwa kalian pasti tidak berani berbohong. Membohongi aku berarti membohongi Beng-cu dan kalian tahu apa hukumannya!”
“Nio-cu, untuk apa kami berbohong? Selain kami tidak berani menentang Beng-cu, juga kami tadi sudah berjanji dan kami telah kalah. Kami memukuli Thio Kee San sampai mati karena kami merasa kecewa dan marah sekali. Kami mengira bahwa dia memang benar-benar tidak mempunyai peta itu.”
“Kalian bodoh! Dia memiliki peta itu!”
“Ahhh...??” Tiga orang itu terbelalak dan jelas nampak betapa mereka menyesal sekali telah membunuh orang she Thio itu.
Sikap mereka itu menambah keyakinan hati Nio-cu bahwa mereka tidak berbohong. Tiga orang raksasa tolol itu memang tidak berhasil merampas peta. Mereka bertiga itu hanya memiliki kelebihan otot, akan tetapi kekurangan otak.
“Kini kalian mengerti bahwa perbuatan kalian membunuhnya itu berarti merugikan Beng-cu! Maka, kalian harus bertanggung jawab dan kalian kuserahi tugas untuk mencari peta itu sampai dapat!”
Tiga orang itu terbelalak. “Tapi... tapi, Nio-cu? Bagaimana mungkin? Dia sudah mati... dan peta itu tidak ada padanya. Sudah kami geledah seluruh badannya. Juga sebelum kami menemuinya di telaga, kami sudah menggeledah rumahnya dan tidak berhasil menemukan peta itu!”
Nio-cu tersenyum. ”Kalian memang bodoh, karena itu aku tidak akan meninggalkan kalian. Kalian menjadi pembantu-pembantuku, anak buahku. Aku yang akan mengatur rencananya, kalian tinggal melaksanakannya saja. Aku yakin kita akan dapat menemukan peta itu.”
Tiga orang itu kelihatan lega. Kalau Nio-cu yang menjadi pemimpin, mereka banya pembantu atau anak buah, maka segala kegagalan tentu ditanggung oleh Nio-cu. Akan tetapi Poa Seng masih merasa penasaran. “Nio-cu, kalau Thio Kee San itu sudah mati tanpa memberi keterangan tentang peta, bagaimana kita akan dapat menemukan benda itu? Kepada siapa lagi kita bertanya kalau dia sudah mati? Harap memberi penjelasan agar kami tidak bingung dan tahu apa yang harus kami lakukan.”
“Sam-liong, coba kalian pikir. Andaikata Kee San menyimpan peta itu, setelah kalian menyiksa dan memukuli dia, sudah pasti dia akan mengaku! Untuk apa dia memberatkan peta itu kalau dia akan dibunuh? Tidak ada gunanya bagi dia, dan tidak ada benda yang cukup berharga di dunia ini yang lebih dihargai dari pada nyawa. Tidak, kalau Kee San sampai nekat menutup mulut dan lebih baik mati dari pada membuka rahasia peta itu, hal ini berarti bahwa dia tidak menyimpannya!”
Tiga orang raksasa itu saling pandang, dan pandang mata mereka bodoh, tanda bahwa mereka tidak mengerti. “Nio-cu, kalau tidak disimpannya, lalu di kemanakan? Sungguh aku menjadi bingung,” kata Poa Seng.
“Aku juga!” sambung Poa Leng.
“Akupun tidak mengerti!” kata Poa Teng.
Nio-cu menjebikan bibirnya yang menggairahkan, bukan sekedar gaya melainkan memang ia mendongkol sekali. “Kalian ini orang-orang she Poa memang bodoh sekali. Sepatutnya kalian semua bernama Poa Gong (sinting atau tolol)! Tentu saja peta itu dia serahkan kepada orang lain!”
“Diserahkan kepada orang lain?” seru Poa Seng. “Akan tetapi kalau diserahkannya kepada orang lain, kenapa dia tidak mau mengaku kami gebuki sampai mampus? Kalau dia mengaku, setidaknya dia tidak akan mati, mungkin hanya tiga perempat atau setengah mati saja.”
Nio-cu menarik napas panjang. Ia amat cerdik, maka menghadapi orang-orang yang tidak secerdik dirinya, ia menjadi kurang sabar. “Apakah kalian tidak dapat menggunakan sedikit saja otak dalam kepala kalian? Kalau Kee San memilih mati dari pada membuka rahasia itu, hal ini jelas menunjukkan bahwa dia amat sayang kepada orang yang diserahi peta itu. Untuk melindungi orang itulah maka dia rela kalian gebuki sampai mampus. Nah, sudah jelas, bukan? Kalian kini tinggal cari saja siapa orangnya yang paling dikasihi oleh Kee San, dan tentu kalian akan menemukan peta itu ada padanya!”
Kini Poa Seng dan kedua orang adiknya mengangguk-angguk. Barulah sadar mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang wanita yang selain cantik jelita dan lihai ilmu silatnya, juga amat cerdik! Dan orang sehebat ini hanya menjadi pembantu Beng-cu, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya sang Beng-cu itu!
“Hebat, Nio-cu. Engkau memang hebat bukan main!” kata Poa Seng mengangguk-angguk dan terang-terangan dia mengacungkan kedua ibu jarinya ke atas tanda kagum. Aih, kalau saja aku dapat memiliki seorang wanita seperti engkau ini, beberapa malam saja, puaslah hidupku di dunia ini!”
Biarpun ucapan itu kasar bukan main, akan tetapi wajah Nio-cu menjadi kemerahan saking bangga dan girangnya. Justeru kekasaran Poa Seng itu amat menarik hatinya, dan pujian yang keluar dari mulut kasar itu adalah pujian yang tulus tanpa maksud merayu sedikitpun.
“Bekerjalah dengan baik. Kalau engkau berhasil, siapa tahu aku begitu berterima kasih kepadamu sehingga kuanggap engkau cukup berharga untuk menjadi teman baikku.”
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Bukan hanya janjimu yang manis itu yang membesarkan semangatku, Nio-cu. Akan tetapi mulai saat ini memang kami sudah takluk kepada Beng-cu melalui engkau, dan kami akan bekerja keras untuk membuktikan bahwa kami bukan pembantu-pembantu yang tidak ada gunanya.”
“Ingat, di sini tempat pertemuan kita menyelidiki peta. Selama kita menyelidiki peta itu, setiap senja menjelang malam aku berada di sini dan kalian dapat menemui aku di sini.”
“Kenapa begini rahasia, Nio-cu? Kalau kita bertemu di bandar umpamanya, siapa yang akan berani mengganggu kita?” Poa Seng membantah.
“Bukan begitu, bodoh. Engkau tentu sudah mendengar betapa peta itu dijadikan perebutan oleh orang-orang kang-ouw. Biarpun kami tidak takut, akan tetapi lebih enak bekerja tanpa banyak gangguan yang hanya akan menambah pekerjaan saja. Contohnya, lihat. Bukankah tadinya aku akan dapat menangkap Thio Kee San dengan mudah, akan tetapi karena kalian juga memperebutkan peta maka pekerjaanku menjadi semakin repot?”
“Kau benar... kau benar...!” Poa Seng mengangguk-angguk dan merekapun berpisah.
********************
Setelah mendapatkan keterangan yang amat jelas dari Nio-cu yang cerdik sekali itu, dengan amat mudah Po-yang Sam-liong yang menyebar anak buahnya untuk melakukan penyelidikan siapa orang yang paling disayang oleh mendiang Thio Kee San, dapat menemukan kenyataan bahwa mendiang Thio Kee San sering kali berkunjung ke Rumah Merah, yaitu rumah pelesir milik Bibi Ciang!
Kee San sudah tidak mempunyai keluarga sama sekali, tiada ayah tiada ibu atau saudara, maka tidak ada lagi orang yang disayangnya kecuali teman-temannya. Dan dalam penyelidikan Po-yang Sam-liong, Kee San tidak mempunyai sahabat yang terlalu dekat.
Sahabat-sahahat dalam perjudian bukanlah sahabat dekat dan tidak mungkin ada perasaan sayang di antara para penjudi yang selalu memperebutkan kemenangan uang itu. Satu-satunya tempat hanyalah rumah pelesir itu! Demikian perhitungan Tok-sim Nio-cu ketika mendapat keterangan dari Po-yang Sam-liong.
“Tidak salah lagi!” demikian katanya kepada tiga orang pembantu baru itu. “Rumah Merah itulah tempatnya! Dia pasti mempunyai seorang kekasih atau seorang sahabat yang disayangnya, dan melihat bahwa dia rela mengorbankan nyawa dari pada mencelakai orang yang disayangnya, kiranya orang itu tentu seorang wanita. Carilah sampai dapat siapa orang yang amat disayangnya di rumah pelesir itu. Kalau perlu tangkap semua penghuninya dan paksa mereka mengaku!”
Gegerlah rumah pelesir itu ketika pada suatu malam, Po-yang Sam-liong datang berkunjung. Para tukang pukul di rumah pelesir itu tentu saja kehilangan keberanian dan kegalakan mereka ketika mengenal tiga orang datuk sesat yang menguasai daerah Telaga Po-yang itu, bahkan menyambut mereka seperti kalau menyambut orang-orang berpangkat tinggi saja.
Apa lagi ketika tiga orang raksasa itu mulai menyatakan maksud kedatangan mereka, yaitu untuk mencari tahu siapa kekasih atau sahabat baik Thio Kee San, semua orang menjadi pucat ketakutan. Mereka sudah mendengar bahwa Kee San ditemukan orang mati di atas perahunya di telaga, dan sekarang tiga orang ini bertanya siapa sahabat terbaik dari korban itu! Semua orang mengatakan tidak tahu.
“Kalian tidak tahu? Baik, kami akan memaksa kalian mengaku!” bentak Poa Seng dan semua penghuni rumah pelesir itu, Bibi Ciang, enam orang pelacur, dan lima orang tukang pukul, mereka kumpulkan dalam ruangan belakang. Mereka semua disuruh duduk di atas lantai sedangkan tiga orang raksasa itu duduk di atas kursi.
“Kalian berani menyembunyikan orang itu dari kami, ya? Nah, sekarang akan kami tanya seorang demi seorang!” kata pula Poa Seng.
Dia menyuruh lima orang anak buahnya menjaga para tawanan itu dan bersama dua orang adiknya dia lalu memasuki sebuah kamar. Pertama-tama, Bibi Ciang sendiri yang dipanggil memasuki kamar. Dengan tubuh gemetar ketakutan wanita setengah tua memasuki kamar yang segera ditutup pintunya dari dalam. Semua orang yang menanti di luar merasa tegang sekali dan mereka menjadi semakin ketakutan ketika terdengar jerit kesakitan dan tangis nenek pemilik Rumah Merah itu.
“Aduuuhhh... ampun... ampunkan saya... sungguh mati saya tidak tahu...” nenek itu meratap ketika ia ditanya tentang peta sambil dijambak rambutnya sampai sebagian rambutnya jebol.
“Katakan, siapa kekasih dan teman terbaik dari Thio Kee San dalam rumah pelesir ini!” bentak Poa Seng sambil mengendurkan jambakannya agar wanita itu dapat menjawab.
Poa Teng sudah melibatkan rantai bajanya di leher wanita tua itu, siap untuk mencekiknya! Tentu saja semangat wanita itu sudah terbang dan hampir ia jatuh pingsan saking takutnya. “Kekasihnya? Ah, kekasihnya yang amat disayangnya adalah Bi Hwa... ya Bi Hwa... bunga rumah pelesir kami...”
Rantai itu dilepaskan. Tiga orang raksasa saling pandang, lalu dengan suara agak halus Poa Seng berkata, “Ceritakan tentang hubungan mereka dan yang mana Bi Hwa ini. Cerita sebenarnya, kalau kau tidak ingin kami siksa lebih mengerikan lagi!”
Sambil berlutut dengan muka pucat, rambut awut-awutan dan tubuh gemetar ketakutan, Bibi Ciang lalu bercerita. “Bi Hwa adalah seorang di antara para pelacur, menjadi bunganya karena ia paling cantik dan paling laris. Dan Kee San amat mencintanya, bahkan dia ingin mengumpulkan uang untuk menebus Bi Hwa yang akan diambil sebagai isterinya...”
Bukan main girangnya hati tiga orang tokoh sesat itu mendengar ini. Tak disangkanya akan semudah itu mereka mendapatkan orang yang dimaksudkan oleh Tok-sim Nio-cu dan kembali mereka merasa amat kagum kepada Nio-cu yang memiliki perkiraan dan perhitungan sedemikian tepatnya. Poa Seng berkedip kepada dua orang adiknya, lalu mendorong Bibi Ciang bangkit.
“Hayo tunjukkan kepada kami yang mana pelacur yang bernama Bi Hwa!”
Mereka bertiga lalu mendorong Bibi Ciang keluar dari dalam kamar. Semua orang yang berada di ruangan itu, dengan muka pucat ketakutan melihat betapa Bibi Ciang keluar terhuyung-huyung, dengan rambut awut-awutan, muka pucat dan basah air mata.
Bibi Ciang dengan tangan gemetar lalu menunjuk ke arah Bi Hwa yang berada di situ bersama para pelacur lainnya. Po-yang Sam-liong memandang dan mereka melihat seorang wanita muda yang memang cantik manis, dengan riasan muka tidak setebal para wanita muda yang lain. Bahkan wanita ini menundukkan muka, diam seperti patung, tidak seperti orang-orang lain yang nampak ketakutan. Pelacur ini memang lain dari pada yang lain. Poa Seng lalu memberi isyarat kepada dua orang adiknya dan mereka bertiga lalu mengamuk!
Semua orang, kecuali Bibi Ciang dan Bi Hwa, mereka pukuli dan tendangi sampai mereka itu jatuh bangun dan mengeluh kesakitan. Bahkan lima orang tukang pukul itupun menerima tamparan dan tendangan tanpa berani melawan sama sekali. Setelah puas menyiksa mereka, Poa Seng menghampiri mereka satu demi satu dan bertanya dengan suara lantang.
“Hayo katakan, siapa kekasih Thio Kee San di sini?”
Semua orang yang ditanya menuding ke arah Bi Hwa yang masih berlutut dan menundukkan muka tanpa bergerak. Poa Seng lalu menjambak rambut Bi Hwa dan memaksa waanita muda itu mengangkat muka. Bi Hwa mengangkat mukanya yang pucat, akan tetapi matanya itu memandang penuh sinar kebencian, sama sekali tidak membayangkan rasa takut!
“Engkau yang bernama Bi Hwa dan engkau kekasih Thio Kee San!” bentak Poa Seng, kini melepaskan rambut itu dan tangan yang tadi menjambak, kini mengelus pipi yang halus.
Bi Hwa menjawab dan suaranya mengejutkan semua orang karena gadis ini menjawab dengan suara yang kaku dan penuh kebencian. “Dan kalian bertiga tentu pembunuh-pembunuh koko Thio Kee San! Kalian orang-orang terkutuk, kejam dan jahat! Apa kesalahan San-koko maka kalian membunuhnya?”
Melihat sikap ini, Po-yang Sam-liong saling pandang dan tertawa bergelak. Mereka merasa girang sekali karena sikap itu saja menunjukkan bahwa memang antara wanita ini dan Kee San terdapat hubungan yang erat.
“Ha-ha-ha!” Poa Seng tertawa. “Dan engkaupun akan mampus kalau engkau tidak mau berterus terang kepada kami!”
Berkata demikian, dia mengangkat tubuh wanita itu, dipondongnya ke dalam kamar, diikuti oleh dua orang adiknya, dipandang dengan muka pucat oleh semua orang yang masih merintih dan mengerang kesakitan karena dihajar oleh tiga orang raksasa itu. Lima orang pelacur yang tadi ikut pula dihajar, menangis terisak-isak.
Sementara itu, setelah tiba di dalam kamar, Poa Seng melempar tubuh Si Hwa ke atas pembaringan. Gadis itu pucat sekali, akan tetapi matanya tetap memandang penuh kebencian. Kee San, satu-satunya orang di dunia ini yang mencintanya dengan tulus dan juga dicintanya, yang menjadi gantungan harapan hidupnya, telah dibunuh oleh tiga orang ini! Apa lagi yang perlu ditakuti?
Baginya, bahkan mati menyusul kekasihnya jauh lebih baik dari pada hidup, melanjutkan hidup sebagai seorang: pelacur hina! Karena sakit hati, duka dan kebencian itu membuat Bi Hwa, seorang wanita yang lemah, saat itu tidak mengenal rasa takut sama sekali walaupun ia tahu bahwa ia berada di tangan tiga orang yang amat kejam dan jahat!
“Nah, nona manis. Sekarang katakanlah terus terang, di mana engkau menyimpan peta yang kauterima dari Thio Kee San itu? Berikan kepada kami dan kami tidak akan menyiksamu, tidak akan membunuhmu,” kata Poa Seng, suaranya tidak sekasar tadi dan mengandung bujukan.
Kini mengertilah Bi Hwa mengapa kekasihnya dibunuh. Karena peta itu! Tiga orang manusia iblis ini menghendaki peta bergambar patung emas itu! Dan Kee San menjadi korban karena pernah memiliki peta itu. Dan sekarang, peta itu berada di tangannya, dan iapun terancam maut. Akan tetapi, untuk apa menyerahkan peta itu kepada tiga orang manusia ini? Ia memang sudah mendengar akan peristiwa yang amat menyedihkan itu. Bukan hanya karena kematian kekasihnya, akan tetapi juga ia sudah mendengar akan terculiknya Loan Khi Hwesio, ketua kuil.
Kekasihnya pernah mengatakan bahwa dia menerima peta itu dari Loan Khi Hwesio. Kemudian, Loan Khi Hwesio sebagai pemegang peta pertama diculik orang dan mungkin sekali dibunuh, sesudah itu, Kee San sebagai pemegang peta kedua juga dibunuh! Dan peta itu kini berada di tangannya, maka tidak aneh kalau nyawanya pun terancam.
Oleh karena itu, ia sudah lebih dulu menyingkirkan peta itu, bukan untuk menyelamatkan diri yang sudah putus harapan setelah kematian kekasihnya, melainkan untuk menyelamatkan peta agar jangan terjatuh ke tangan para pembunuh kekasihnya! Tidak! Ia tidak akan mengaku. Biar mereka membunuhnya. Ia tidak rela kalau sampai peta itu terjatuh ke tangan mereka yang membunuh kekasihnya, iapun sudah tidak mengharapkan hidup lebih lama lagi.
“Aku tidak tahu!” jawabnya ketus, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar seolah-olah ia merasa gembira dapat melihat kekecewaan pada pandang mata tiga orang itu.
“Hemm, jangan memaksa kami untuk menggunakan siksaan, nona manis. Sayang kecantikanmu. Lebih baik engkau mengaku terus terang dan kami akan menebusmu bebas dari Bibi Ciang, bahkan kami akan memberi banyak uang kepadamu. Engkau dapat membeli seorang suami yang baik dan...”
“Sudahlah, tidak perlu membujuk dan kalau mau siksa, mau bunuh aku, silakan. Aku tidak tahu!” Bi Hwa berseru dengan nekat.
Poa Seng memandang kedua orang adiknya. “Geledah kamarnya!”
Dua orang raksasa itu keluar dan menyeret Bibi Ciang untuk menunjukkan di mana kamar Bi Hwa. Mereka mengobrak-abrik seluruh isi kamar, bahkan merobek kasur dan bantal untuk mencari peta itu. Namun sia-sia belaka. Mereka tidak dapat menemukan peta itu. Sementara itu, di dalam kamar, Poa Seng juga merobek-robek semua pakaian yang menutupi tubuh Bi Hwa, untuk mencari kalau-kalau peta itu disembunyikan di dalam baju. Namun diapun tidak berhasil.
Ketika Poa Leng dan Poa Teng kembali ke dalam kamar dan melaporkan kepada Poa Seng bahwa mereka tidak berhasil, tiga orang itu menjadi marah dan penasaran. Mulailah mereka menyiksa Bi Hwa. Namun, Bi Hwa tetap membisu dan kalau mengeluarkan suara, ia hanya berkata,
“Aku tidak tahu!” atau kadang-kadang malah ia memaki, “Kalian ini iblis-iblis terkutuk, membunuh kekasihku yang tidak berdosa!”
Po-yang Sam-liong sampai kehabisan kesabaran. Mereka itu menyiksa sejadi-jadinya, memperkosa Bi Hwa secara bergantian, menyayat kulitnya dan sampai keadaannya lebih banyak mati dari pada hidup, Bi Hwa tetap tidak mau mengaku dan mengatakan tidak tahu! Setelah ia tidak mampu bersuara lagi, ia hanya menggeleng kepala dan pandang matanya penuh kebencian kepada tiga orang penyiksanya itu.
Po-yang Sam-liong menjadi semakin penasaran. Akan tetapi mereka khawatir kalau sampai terjadi wanita ini tewas di tangannya sebelum mereka berhasil menemukan peta, maka mereka lalu menggulung tubuh yang sudah sekarat itu dengan selimut, lalu meninggalkan rumah pelesir itu.
Tentu saja Bibi Ciang dan para pelacur, juga para tukang pukul, menjadi geger dan dengan berita tentang diculiknya Bi Hwa oleh orang-orang jahat segera tersiar dengan luas. Akan tetapi, tak seorangpun di antara para penghuni rumah pelesir itu berani mengatakan bahwa pelakunya adalah Po-yang Sam-liong!
Ketika Tok-sim Nio-cu menerima Po-yang Sam-liong yang membawa Bi Hwa yang sudah mendekati mati itu tanpa memperoleh hasil, Nio-cu mengerutkan alisnya dan menjadi marah sekali. “Kalian ini benar-benar poa-gong (tolol)! Sudah kukatakan, jangan melakukan kekerasan sebelum berhasil! Lihat perempuan ini. Di tangannyalah rahasia peta itu, dan kalian membuatnya hampir mati sebelum ia mengaku di mana adanya peta itu! Hayo cepat rawat ia baik-baik sampai ia sembuh benar! Kalau sudah sembuh, nanti aku yang membujuknya.”
Po-yang Sam-liong menggunakan segala daya untuk menyembuhkan kembali Bi Hwa. Mereka tidak mengganggunya, memberi obat dan makan, melayaninya dengan sebaiknya. Akan tetapi tiga hari kemudian, setelah kesehatan wanita itu agak membaik dan kekuatannya pulih, pagi-pagi mereka mendapatkan bahwa wanita itu telah membunuh diri di dalam pondok darurat yang mereka buat di hutan tepi telaga itu! Bi Hwa menggantung diri dengan sabuknya sendiri setelah ia diberi pakaian lengkap oleh Po-yang Sam-liong!
Tentu saja Po-yang Sam-liong menjadi bingung dan ketika Nio-cu datang, iblis betina inipun marah bukan main. “Dasar kalian yang kasar dan tolol! Aih, sungguh menyesal aku menyuruh kalian yang menyelidiki urusan ini. Kalian hanya menggagalkan urusan saja, bukan membantu!”
“Nio-cu, maafkan kami. Maksud kami hendak memaksa Bi Hwa mengaku, akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa ia begitu keras kepala, tidak mau mengaku dan menantang segala siksaan!” Poa Seng mengepal tinju penuh penasaran dan penyesalan.
“Hemm, kalian hanya orang-orang kasar! Sudahlah, kalian boleh pulang. Akan tetapi ingat, bahwa kalian telah menjadi anak buah Beng-cu dan setiap waktu apa bila Beng-cu membutuhkan tenaga kalian, maka kalian harus siap untuk membantu.”
“Baik, Nio-cu dan terima kasih.”
Tok-sim Nio-cu meninggalkan tempat itu untuk memberi laporan kepada Siauw-bin Ciu-kwi. Tentu saja datuk ini merasa kecewa. “Hemm, kenapa tidak kau basmi saja Po-yang Sam-liong yang tolol itu, menggagalkan urusan saja!”
“Kedudukan dan kekuasaan mereka cukup kuat di daerah telaga, Beng-cu. Sayang kalau mereka dibasmi begitu saja. Mereka sekali waktu dapat berguna bagi kita, apa lagi mereka sudah kutaklukkan dan mengakui kekuasaan Beng-cu dan sudah berjanji untuk membantu,” bantah Tok-sim Nio-cu.
Kalau saja bukan Nio-cu yang telah dianggap gagal dalam tugasnya itu, tentu Siauw-bin Ciu-kwi akan marah besar dan menghukum pembantu yang gagal itu. Akan tetapi, di samping sebagai pembantu, Tok-sim Nio-cu juga menjadi kekasihnya, seorang wanita yang amat pandai menyenangkan hatinya. Sementara itu, para pembantu yang mendengar semua cerita Nio-cu, juga merasa penasaran.
“Beng-cu, biarkan aku yang pergi mencari peta itu. Mendengar cerita Nio-cu, aku yakin bahwa peta itu masih berada di sekitar Nan-cang dan Telaga Po-yang. Agaknya pelacur itu telah menyerahkannya kepada orang lain!” kata Pek I Kongcu Ciong Koan.
Siauw-bin Ciu-kwi mengangguk-angguk. “Baik, cari dan temukanlah, Kongcu!”
Julukan Pek I Kongcu ini telah demikian terkenal sehingga Beng-cu sendiri juga lebih suka menyebutnya Kongcu seperti juga para pembantunya. Dengan penuh keyakinan akan kemampuan sendiri, Pek I Kongcu lalu berangkat untuk melaksanakan tugasnya. Jejak itu masih jelas nampak, pikirnya. Yang terakhir peta itu berada di tangan Bi Hwa, bagaimana mungkin dapat lenyap tanpa bekas?
Sudah jelas bahwa agaknya Bi Hwa telah menduga akan datangnya bahaya, maka ia segera menyingkirkan peta itu, dan ke mana lagi wanita itu menyembunyikannya kalau tidak menyerahkannya kepada orang lain? Tentu seseorang yang amat dipercayanya, dan hal inilah yang harus dia selidiki.
********************
Perahu itu meluncur sunyi di Telaga Po-yang. Menjelang senja itu, telaga telah ditinggalkan orang dan hanya ada satu-dua buah perahu saja yang nampak di atas telaga, yaitu perahu para nelayan yang masih mencoba-coba mengadu untung dengan mengail ikan.
Setelah meluncur ke bagian tepi dekat hutan yang rimbun, perahu itu berhenti dan penumpang tunggalnya, seorang pria muda, segera melakukan persiapan memancing ikan. Dia bukan seorang nelayan, juga beberapa buah perahu nelayan itu ditumpangi nelayan yang mengail dengan harapan tipis. Kalau pria berpakaian putih di atas perahu itu seorang nelayan, tentu tidak sebesar itu semangatnya untuk mengail.
Semua nelayan di Telaga Po-yang tahu bahwa sekarang bukan musim mengail ikan, melainkan musim mencari uang melalui penyewaan perahu kepada para pelancong. Di waktu hari cerah musim panas itu, telaga dibanjiri pelancong, bukan ikan. Ikan-ikan itu sudah kenyang karena setiap hari, dari pagi sampai sore, para pelancong membuang banyak sisa makanan ke dalam telaga dan ikan-ikan itu berpesta pora pula sehingga setelah telaga itu ditinggalkan para pelancong, ikan-ikan yang kekenyangan itu sudah terlalu malas untuk mencari makanan di dekat permukaan air.
Beberapa orang nelayan yang mengadu untung itu agaknya memang amat kekurangan, atau mungkin hanya iseng, dari pada tidak ada yang dikerjakan sore itu. bPria muda itu berusia kurang lebih duapuluh enam tahun. Pakaiannya serba putih, sederhana namun bersih. Wajahnya bersih dan tampan, juga amat sederhana dan dia lebih mirip seorang terpelajar yang miskin.
Tubuhnya sedang dan ketika dia bergerak melempar umpan di ujung mata kailnya, tubuh itu mengandung kelenturan. Akan tetapi kalau orang menentang pandang matanya, ada sesuatu pada pandang mata yang berlawanan dengan kelembutan yang nampak pada mukanya, sesuatu yang amat kuat dan berwibawa, sinar mata yang kadang-kadang mencorong, akan tetapi selalu ingin bersembunyi di balik mata yang redup.
Bagaimanapun juga, lekukan di ujung dagunya membayangkan kekuatan hatinya, dan ada tahi lalat hitam kecil di lehernya sebelah kiri. Sebuah buntalan kain berada di atas perahu kecil itu, buntalan yang agak panjang, terbuat dari kain hijau yang tebal dan kuat. Hal ini menunjukkan bahwa dia seorang yang biasa melakukan perjalanan jauh dan buntalan itu adalah bekal dalam perjalanan, pakaian dan lain-lain.
Karena dia bukan nelayan, bukan pula penggemar kesenangan mengail yang biasa memancing di telaga itu, maka diapun tidak tahu bahwa sore hari seperti itu, ikan-ikan lebih senang bermalas-malasan di dasar telaga karena perut mereka sudah kenyang. Dengan sabar dia memegangi joran pancingnya. Akan tetapi setelah lewat setengah jam belum juga ada ikan yang menyambar umpannya, bahkan dia melihat ada bayangan ikan yang lumayan besarnya berenang tak jauh dari tali pancingnya tanpa memperdulikan bahwa ada orang yang memberi umpan enak, kesabarannya mulai menipis.
“Hemm, apakah umpannya yang tidak cocok dengan selera ikan-ikan di sini?” gerutunya.
Kembali ada bayangan ikan berenang di bawah permukaan air, ikan sebesar betisnya. Cepat dia menarik jorannya dan menghadang ikan itu dengan umpannya. Ikan itu hampir menabrak umpan, akan tetapi jangankan mencaplok umpan, bahkan menciumpun tidak, lewat begitu saja tanpa menoleh!
“Wah, ini namanya orang kelaparan diejek dan dipandang rendah oleh ikan!” Dia mengomel lalu mengangkat pancingnya, membuang umpan di mata kail dan diapun bangkit berdiri di dalam perahunya, dengan joran di tangan tanpa tali dan pancing lagi.
Joran itu terbuat dari bambu dan ujungnya runcing, semacam bambu sebesar jari tangan yang kuat. Matanya dengan tajam memandang ke permukaan air yang masih diterangi matahari senja yang kemerahan. Apa yang dinanti-nantikanpun tiba. Tidak perlu dia menanti terlalu lama seperti ketika mencoba menangkap ikan dengan pancing tadi.
Seekor ikan yang sebetis besarnya meluncur lewat, perlahan-lahan dalam jarak dua meter dari perahunya. Seekor ikan yang kepalanya hitam dan ekornya kemerah-merahan, ketika berenang dan membelok, perutnya kelihatan keputihan. Tangan yang memegang joran itu menegang, bergerak dan joran itupun meluncur seperti anak panah ke arah ikan.
“Ceppp...!” Joran itu meluncur masuk ke dalam air. Tentu tidak mengenai sasaran karena ikan dapat bergerak amat cepatnya di dalam air dan menangkap ikan secara demikian tentu saja jauh lebih sukar dari pada mengail seperti tadi! Akan tetapi, joran itu muncul kembali dan diujungnya nampak ikan menggelepar, perutnya ditembusi ujung joran yang runcing!
“Ha-ha, terisi juga perutku yang lapar ini!” Pria itu bicara seorang diri, mendayung perahunya mendekati jorannya dan meraih joran itu. Ikan yang sebesar betis dan cukup gemuk. Dia lalu menaruh ikan dan jorannya ke dalam perahu, mendayung perahu ke arah hutan.
Dari peristiwa itu saja mudah diduga bahwa pria muda itu bukanlah orang sembarangan. Cara dia melempar joran dan tepat mengenai ikan yang sedang berenang di bawah permukaan air, membuktikan bahwa dia seorang yang amat pandai. Dan memang hal ini benar adanya. Pria itu bernama Tan Cin Hay dan di dunia persilatan, dia terkenal dengan julukan Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih). Apa lagi ketika beberapa bulan yang lalu dia berhasil membasmi gerombolan penjahat di bawah pimpinan Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo yang terkenal jahat!
Hek-sim Lo-mo adalah seorang datuk besar dunia hitam yang amat lihai, dan dia dibantu oleh banyak tokoh-tokoh sesat yang memiliki kepandaian tinggi pula. Namun, Pek-liong-eng Tan Cin Hay berhasil membasmi dan membunuh datuk itu dan semua pembantunya, bersama seorang pendekar wanita yang juga menjadi amat terkenal namanya. Pendekar wanita itu adalah Hek-liong-li (Pendekar Wanita Naga Hitam) dan bernama Lie Kim Cu.
Pendekar Naga Putih ini tinggal di sebuah dusun yang sunyi di dekat kota Hang-kouw, di dekat Telaga See-ouw. Kalau sekarang dia berada di Telaga Po-yang adalah karena dia sedang melakukan perantauan dan lewat dekat telaga itu. Dia memang suka melancong di telaga, maka dia tidak melewatkan kesempatan itu untuk berpesiar di telaga ini dan sorenya, dia memancing ikan karena merasa perutnya lapar dan malas untuk makan di rumah makan. Telaga Po-yang terkenal dengan ikan-ikan ekor merah yang kabarnya amat lezat dagingnya.
Pendekar ini adalah seorang laki-laki yang bernasib malang, menjadi korban kejahatan. Dahulunya dia seorang putera guru yang hidup di dusun dan dia telah mempunyai seorang isteri yang amat dicintanya. Ketika dia dan isterinya yang baru mengandung muda itu berpesiar naik perahu di Telaga See-ouw, muncullah orang-orang jahat yang hendak mengganggu isterinya. Dia melakukan perlawanan, akan tetapi tidak ada gunanya. Dia bahkan dipukul dan dilempar keluar perahu, hampir saja mati tenggelam. Adapun isterinya ditangkap dan diperkosa sampai mati oleh para penjahat! Dengan hati penuh dendam dan duka, Tan Cin Hay menjadi murid mendiang Pek I Lojin, seorang kakek sakti.
Setelah tamat belajar ilmu silat, dia menjadi seorang pemuda gemblengan yang tinggi ilmunya. Dia menuntut balas, menghajar dan membunuh mereka yang pernah menghina, memperkosa dan membunuh isterinya, dan sejak itu dia menjadi seorang pendekar yang setiap saat siap untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan, membela rakyat kecil miskin yang menjadi korban penindasan, pemerasan dan kejahatan.
Pengalaman pertamanya sebagai pendekar yang paling hebat adalah ketika dia menentang gerombolan yang dipimpin Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Dia berhasil membasmi gerombolan itu bersama Hek-liong-li, dan sejak itu, biarpun terpisah jauh, dia menjadi sahabat pendekar wanita itu dan saling berjanji bahwa kalau masing-masing menghadapi bahaya dan membutuhkan bantuan, mereka akan saling mengabari.
Demikianlah sedikit riwayat hidup Pek-liong-eng Tan Cin Hay yang pada senja hari itu seorang diri berada di Telaga Po-yang dan kini dia sudah mendarat sambil membawa seekor ikan gemuk sebesar betis. Perahu kecil itu dia ikat dengan sebatang pohon dan dia sendiri lalu memasuki hutan, berhenti di tempat terbuka di mana rumputnya gemuk dan tempatnya bersih, dilindungi pohon besar dan terdapat banyak batu-batu yang enak dijadikan tempat duduk atau tidur karena batu-batu itu besar, rata dan bersih.
Tak lama kemudian, Liong-eng (Naga Putih) sudah duduk menghadapi api unggun yang terlindung antara dua batu besar, dan memanggang daging ikan segar! Dari dalam buntalannya dia mengeluarkan garam dan sekedar bumbu, sehingga kini daging ikan yang sudah dibumbui itu mengeluarkan bau yang sedap, membuat perutnya yang sudah lapar itu terasa semakin lapar. Dia masih mempunyai bekal roti kering yang cukup banyak. Roti kering dan panggang ikan saja sudah lebih dari mencukupi untuk menenangkan perut lapar.
Ketika ikan itu hampir matang dan tinggal beberapa kali balikan lagi, tiba-tiba pendengaran Liong-eng yang terlatih dan amat tajam itu menangkap gerakan dan langkah orang menghampiri tempat itu. Dia bersikap waspada, akan tetapi melanjutkan pekerjaannya seolah-olah tidak tahu bahwa ada orang menghampiri tempat itu.
“Siancai (damai)...! Sungguh dosamu besar sekali, orang muda!bEngkau menjadi seorang penggoda yang amat kejam...!”
Liong-eng menengok dan dia melihat seorang kakek berusia enam puluh tahunan, berpakaian seperti seorang pendeta dengan rambut digelung ke atas. Biarpun kakek itu mengeluarkan suara teguran, namun wajahnya lembut dan mulutnya tersenyum ramah, dan sepasang matanya itu ditujukan ke arah ikan yang masih dipegang dan dipanggangnya. Tentu saja dia merasa heran mendengar teguran itu.
“Totiang, mengapa begitu? Apa dosaku, dan kenapa totiang mengatakan aku seorang penggoda kejam...?”