Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 26

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 26
Sonny Ogawa
PEK-LIONG sudah berkelebat ke kiri untuk menangkap orang yang telah menyerang mereka. Tiga batang piauw itu tadi menyambar dari kiri, dari balik sebatang pohon besar. Akan tetapi, dia hanya melibat berkelebatnya bayangan putih disusul derap kaki kuda yang lari menjauh. Dia kagum bukan main.

Si penunggang kuda baju putih itu ternyata mampu bergerak luar biasa cepatnya. Mengejar di dalam hutan itu tidak ada gunanya, apa lagi di malam hari. Dia tidak mengenal daerah itu. Maka diapun kembali dan menghampiri dua orang pendeta yang masih berdiri di situ.

“Dia adalah si penunggang kuda tadi. Dapat berlari cepat dan melarikan diri dengan kudanya,” kata Pek-liong. “Nah, sekarang terbukti kekhawatiranku tadi. Harap ji-wi berhati-hati sekali. Baru si penunggang kuda putih itu tadi saja sudah lihai bukan main! Pertama, dia mampu melepaskan tiga batang piauw sekaligus ke arah kita dan lemparannya tadi cukup bertenaga. Lihat, ini yang sebatang menancap di sini!”

Dia mencabut sebatang piauw yang menancap hampir masuk semua ke dalam sebatang pohon. Piauw itu tercabut dan di bawah sinar bulan, Pek-eng mengamati. “Ahh, piauw ini bukan saja dilempar dengan kecepatan tinggi tanda bahwa pelemparnya bertenaga besar, akan tetapi juga ujungnya mengandung racun berbahaya dan mematikan. Serangan tadi dimaksudkan untuk membunuh kita! Dan kedua, orang itu memiliki gin-kang yang amat tinggi sehingga ketika saya tadi mengejar, dia sudah lari jauh.”

Dua orang pendeta itu saling pandang lalu mengangguk-angguk, kemudian mereka berpamit. “Terima kasih atas peringatan Taihiap. Setelah terjadi serangan tadi, kami berpikir untuk memulai dengan penyelidikan kami sekarang juga!” kata Yong Hwesio.

“Benar sekali, Taihiap. Kami akan pergi ke bandar dan di sana mencari keterangan tentang Po-yang Sam-liong, di mana mereka tinggal dan sebagainya.”

Pek-eng membalas penghormatan mereka. “Selamat jalan dan selamat bekerja, ji-wi lo¬cianpwe. Akan tetapi sekali lagi, harap ji-wi berhati-hati.”

Dua orang pendeta itu membawa buntalan mereka dan meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Pek-eng yang diam-diam mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua. Akan tetapi, tentu saja tidak mungkin dia harus menjaga keselamatan semua orang, apa lagi dua orang pendeta itu bukan orang sembarangan dan sudah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi.

Hal ini sudah dibuktikan melihat cara mereka tadi menghindarkan diri dari sambaran piauw, demikian cekatan dan mudah sekali. Tidak sembarang penjahat saja akan mampu mengalahkan mereka, apa lagi kalau mereka maju bersama.

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 26 karya kho ping hoo

Pagi itu indah sekali. Sinar matahari sudah membakar langit di timur, mula-mula sinarnya kemerahan, makin lama semakin pucat dan akhirnya putih seperti perak dan menyilaukan mata. Tadinya cahaya kemerahan ikut membakar permukaan telaga yang tenang, kemudian permukaan itupun menjadi putih menyilaukan dan setelah matahari muncul di ufuk timur, bayangan matahari kemerahan terpantul di situ.

Karena air demikian diam, matahari itu seperti sebutir bola kemerahan besar yang tenggelam ke dasar telaga. Makin terang, makin terbentuklah suatu garis putih kemilau di permukaan air. Bukit-bukit di sekeliling telaga muncul dari kegelapan, pohon-pohon nampak segar menghijau, bagaikan puteri-puteri yang baru saja mandi. Butir-butir embun di ujung daun bagaikan mutiara berkilauan di ujung telinga puteri jelita.

Burung-burung sudah sibuk sekali. Mahluk yang paling sibuk ini menyambut datangnya hari dengan kicau yang hiruk pikuk, bagaikan sekelompok wanita genit yang siap-siap pergi ke pasar. Sambil berkicau mereka beterbangan dan berloncatan dari dahan ke dahan, seolah-olah hendak meninggalkan pesan yang cerewet sebelum berangkat bekerja. Akhirnya, berkelompok-kelompok mereka itu berangkat bekerja! Mencari makan!

Pek-liong-eng Tan Cin Hay menikmati keindahan alam ini. Pagi-pagi sekali dia sudah terbangun dari tidurnya yang nyenyak di tepi telaga, lalu menuju ke tengah telaga dengan perahu kecilnya, mendayung seenaknya dan setelah tiba di tengah telaga, dia membiarkan perahunya bergerak sendiri menurut aliran air yang lemah. Angin bersilir lembut sehingga permukaan telaga tidak terlalu terpengaruh.

Tiba-tiba Pek-liong-eng sadar dari lamunannya. Lorong perak yang dibuat matahari di permukaan telaga itu terguncang dan terputus. Sebuah perahu meluncur dengan cepatnya. Dia mengangkat muka memandang dan diapun terpesona. Pandang matanya bertemu dengan wajah yang amat manis, bentuk tubuh yang amat menggairahkan, dari seorang gadis yang usianya paling banyak sembilanbelas tahun!

Gadis itu mengenakan baju luar semacam mantel atau jubah yang lebar, diselimutkan menutupi tubuhnya. Namun karena di bagian pinggangnya diikat dengan tali sutera, maka masih nampak bentuk tubuhnya yang menggairahkan. Rambutnya digelung ke atas dan diikat kuat-kuat, wajahnya tanpa bedak dan gincu, nampak segar dan wajar. Ia berdiri di tengah perahu sambil bertolak pinggang, tak bergerak bagaikan sebuah patung yang indah.

Jelas bahwa gadis ini sudah biasa berperahu, karena cara ia berdiri tegak dan dapat mengimbangi gerakan perahu itu saja sudah membuktikan bahwa ia pandai menguasai diri di atas perahu. Perahu itu didayung oleh seorang pemuda yang usianya duapuluh dua tahun kurang lebih, seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan pula.

Dan pemuda itu dapat dikata telanjang, karena hanya sebuah celana pendek seperti cawat saja yang menutupi tubuhnya. Nampak betapa otot-otot tubuhnya yang kekar itu menonjol ketika dia mendayung perahu, dan kulitnya yang agak kecoklatan itu menunjukkan bahwa dia banyak membiarkan kulit tubuhnya ditimpa sinar matahari. Tubuh yang amat sehat, penuh dengan gairah hidup, segar dan kokoh kuat.

“Hemm, pasangan yang serasi sekali,” pikir Pek-liong sambil mengelus dagunya mengikuti perahu itu dengan pandang matanya. Entah mengapa dia sendiri tidak tahu, akan tetapi kedua tangannya seperti otomatis menggerakkan dayungnya dan perlahan-lahan diapun mengikuti perahu yang meluncur cepat ke arah utara itu.

Dia melihat perahu di depan itu berhenti tak jauh dari pantai di ujung utara yang amat sunyi. Memang telaga itu amat sunyi pagi itu. Masih terlalu pagi bagi para pelancong, dan terlalu siang bagi nelayan penangkap ikan. Hanya jauh di bandar terdapat banyak perahu yang belum dijalankan, akan tetapi bandar yang berada di ujung selatan itu terlalu jauh sehingga tidak nampak dari situ.

Perahu di depan itu membuang jangkar. Hal ini saja menunjukkan bahwa perahu itu akan lama berhenti di situ. Apakah mereka hendak mengail ikan? Ataukah... dua orang muda yang sedang berpacaran dan mencari tempat sunyi?

Berpikir demikian, berdebar rasa jantung Pek-liong dan mukanya berubah merah. Ih, celanya kepada diri sendiri, mengapa engkau mendadak menjadi iri hati? Tak tahu malu! Dia lalu memutar perahunya, karena dia tidak ingin mengganggu orang yang hendak berpacaran. Bagaimanapun juga, tak dapat dia menahan diri untuk tidak melirik ke arah perahu mereka. Wah! Dia terbelalak dan mulutnya ternganga. Gadis itu telah menanggalkan jubahnya dan apa yang dia lihat?

Sesosok tubuh yang bukan main indahnya, yang dari jauh nampak seperti bertelanjang saja. Akan tetapi tidak, gadis itu tidak telanjang, melainkan mengenakan pakaian yang amat ketat, pakaian berwarna hitam yang menutupi dari leher sampai ke kaki, akan tetapi pakaian itu demikian tipis dan ketat sehingga semua bentuk tubuhnya tidak ada yang tersembunyi!

Melihat keanehan ini, Pek-liong tidak jadi pergi, melainkan mendayung perahunya di sekitar tempat itu saja. Agar tidak menimbulkan kecurigaan, dia tadi sudah mengeluarkan alat pancingnya sehingga seolah-olah dia sedang mencari tempat yang enak untuk memancing ikan.

Andaikata gadis itu tadi benar-benar telanjang, tentu dia akan melarikan diri secepat mungkin, tidak sudi mengintai orang berpacaran. Akan tetapi karena gadis itu sama sekali tidak telanjang, melainkan menutup seluruh tubuhnya dengan pakaian yang amat ketat, timbul keheranannya dan dia ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan dua orang muda di tempat sunyi itu.

Untung dia membawa sebuah caping untuk menahan panas di atas perahu yang tidak terlindung itu. Dia mengenakan caping itu dan dengan mudah dia mengintai ke arah perahu di depan itu dari bawah capingnya sambil berpura-pura memancing ikan.

Pemuda dan gadis itu tentu melihatnya pula, akan tetapi agaknya mereka tidak perduli sama sekali. Kemudian, gadis itu bangkit berdiri, berdiri di kepala perahu. Ia mengeluarkan sebuah pisau belati yang tajam mengkilat, dan Pek-liong melihat betapa pinggang yang ramping itu diikat ujung segulung tali hitam yang kuat.

Gadis itu kini menggigit pisaunya dan iapun terjun ke dalam air. Cara ia terjun saja menunjukkan bahwa ia memang ahli renang. Terjunnya seperti seekor katak saja dan tidak banyak air yang muncrat ketika ia terjun, juga tidak mengeluarkan bunyi nyaring seolah-olah sebatang tombak dilemparkan ke air. Dan pemuda itu duduk di perahu sambil memegangi gulungan tali, mengulur tali itu perlahan-lahan.

Ah, kini mengertilah Pek-liong. Kiranya gadis itu adalah seorang penyelam! Pinggangnya diikat tali yang ujungnya berada di perahu, dan membawa sebatang pisau tajam! Akan tetapi penyelam apakah? Apakah yang diselaminya dan dicarinya? Dia semakin tertarik karena selama hidupnya belum pernah dia melihat penyelam bekerja.

Lama benar gadis itu menyelam sehingga diam-diam Pek-liong menjadi khawatir juga. Bagaimana mungkin orang menahan napas di dalam air sampai demikian lamanya? Dia sendiri, dengan sin-kang dan khi-kangnya, akan mampu menahan napas sampai selama itu, akan tetapi di udara terbuka, bukan di dalam air yang amat dalam dan dingin! Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu menarik tali perlahan-lahan dan tak lama kemudian, sebelum tali itu habis ditarik, kepala gadis itu telah tersembul di permukaan air.

Ia membuka mulut seperti seekor ikan, mengambil pernapasan, baru ia naik ke perahu dibantu oleh pemuda itu. Ternyata gadis itu kini membawa sebuah kantung yang tadi agaknya dilipat dan diselipkan pinggangnya, dan pisau itupun kini terselip di pinggang.

Ketika gadis itu berdiri di perahu, kembali Pek-liong terpesona. Kini pakaian yang ketat dan tipis itu basah lagi! Makin jelaslah bentuk tubuh yang amat indah itu tercetak! Kedua orang itu kini sibuk berjongkok di atas perahu dan membuka kantung. Ternyata terisi batu-batuan! Dan mereka memilih dan memeriksa batu-batuan itu. Akhirnya, mereka menarik napas kecewa dan batu-batuan itu, setelah diteliti, satu demi satu dilempar keluar perahu.

Pek-liong tadinya merasa heran. Akan tetapi lalu dia teringat. Bukankah banyak orang menyukai batu-batu yang indah dan bahkan ada batu-batu indah, setelah digosok, berharga mahal? Tentu mereka itu penyelam batu-batu indah yang mereka dapatkan di dasar telaga! Kini pemuda itu yang menyelam, si gadis manis menjaga di atas perahu. Pek-liong sudah tidak ragu-ragu lagi. Mereka penyelam batu-batu indah. Dan agaknya tidak mudah bagi mereka karena setelah beberapa kali menyelam, mereka agaknya baru memilih beberapa buah batu yang belum digosok. Sebagian besar dilempar kembali ke dalam telaga.

Pek-liong-eng Tan Cin Hay mulai merasa jemu karena kini tidak ada lagi yang perlu diselidiki. Memang, gadis itu merupakan pemandangan yang amat menarik dan menyenangkan, akan tetapi gadis itu sama sekali tidak memperdulikannya dan juga lebih sering berada di dalam air. Kalau timbul di atas, lalu asyik meneliti batu-batuan di atas perahu. Dia mulai menggulung tali pancingnya dan mengambil keputusan untuk pergi saja ke bandar karena matahari mulai menyengat kulit.

Akan tetapi tiba-tiba perhatiannya tertarik kepada sebuah perahu agak besar yang datang dengan kecepatan tinggi. Lima orang laki-laki tinggi besar berada di dalam perahu itu dan jantung dalam dada Pek-liong berdebar tegang. Dia mengenal lima orang laki-laki tinggi besar itu! Bukankah mereka yang semalam lewat dekat pantai dan memandang ke arah dia dan dua orang pendeta dengan penuh perhatian?

Kembali perhatian Pek-liong dibangkitkan dan kini melihat lima orang itu mendayung perahu mereka menuju ke arah perahu dua orang penyelam itu. Dia menjadi semakin tertarik. Kiranya lima orang itu bukan sedang mencarinya, melainkan langsung saja menghampiri pemuda dan gadis itu. Dia segera menyembunyikan mukanya di balik capingnya dan mengintai.

Gadis itu kini sedang mendapat giliran menyelam. Baru saja ia meloncat ke dalam air ketika lima orang itu dengan perahu besar mereka menghampiri dan ketika pemuda yang hanya mengenakan celana dalam itu melihat mereka, dia nampak terbelalak dan kaget. Pek-liong melihat betapa lima orang itu menghentikan perahu mereka dan mengait perahu kecil itu dengan kaitan besi yang bergagang panjang.

“Hayo bawa ke sini semua hasil selamanmu untuk kami pilih yang baik untuk dipersembahkan kepada Beng-cu!” terdengar seorang di antara lima laki-laki tinggi besar itu menghardik.

Pemuda itu mengerutkan alisnya. Agaknya dia bukan seorang penakut, walaupun wajahnya membayangkan kegelisahan karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang jahat.

“Kami baru saja menyelam dan baru mendapatkan sedikit batu-batu yang belum tentu berharga karena belum jelas benar sebelum digosok. Mengapa kalian mengganggu kami yang mencari nafkah dengan susah payah?” terdengar pemuda itu membantah dengan suara lantang.

Sikap pemuda ini saja sudah mendatangkan perasaan suka di hati Pek-liong. Namun dia juga mengkhawatirkan keselamatannya, mengingat bahwa lima orang itu kelihatan begitu bengis dan jahat.

“Apa? Kalian berani membantah? Kami diutus oleh Po-yang Sam-liong!” bentak seorang di antara mereka yang hidungnya besar, seolah-olah baru saja hidung itu disengat lebah.

Mendengar disebutnya nama ini, wajah pemuda itu berubah pucat, “Akan tetapi... biasanya mereka tidak pernah mengganggu kami kakak beradik mencari batu-batu di dasar telaga!” bantahnya dan entah mengapa, hati Pek-liong merasa lebih suka kepada pemuda itu setelah mendengar bahwa pemuda itu dan gadis tadi adalah kakak beradik, bukan pacar! Kini perahunya sudah mendekat tanpa diketahui mereka yang sedang ribut mulut.

“Sudahlah jangan banyak cerewet! Serahkan hasil selamanmu kepada kami, setelah kami pilih yang terbaik untuk Beng-cu, sisanya kami kembalikan padamu!” bentak pula si hidung besar.

Ketika pemuda itu nampak ragu-ragu, si hidung besar memberi aba-aba kepada dua orang temannya, “Tangkap dia dan bawa ke sini bersama hasil selamannya!”

Perahu kecil itu sudah terkait merapat pada perahu besar dan kini dua orang tinggi besar meloncat ke perahu kecil, tangan mereka memegang sebatang golok besar. Melihat ini, pemuda itu menjadi semakin gelisah. Terpaksa dia menyerahkan buntalan kecil berisi batu-batu yang sudah dia pilih bersama adiknya tadi. Seorang di antara mereka yang meloncat ke perahunya, menyambar buntalan itu.

“Wah hanya sedikit dan batu-batu ini seperti tidak ada harganya!” katanya.

Si hidung besar menghardik. “Kalau begitu tendang saja dia ke dalam air, biarkan dia menyelam lagi agar mendapatkan lebih banyak. Kita tunggu di situ!”

Seorang penjahat menendang, akan tetapi pemuda itu sudah menghindarkan tendangan dengan meloncat ke dalam air! Pada saat itu, adiknya, gadis manis tadi muncul di permukaan air, mengambil pernapasan dan tanpa menyangka sesuatu, ia memegangi tepi perahu kecil untuk naik. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia sudah dapat melihat dengan jelas.

Yang menarik tangannya ke atas bukanlah kakaknya, melainkan dua orang laki-laki tinggi besar yang sudah berada di perahunya, sedangkan kakaknya entah berada di mana! Dan sebuah perahu besar merapat dengan perahunya, tiga orang laki-laki tinggi besar lainnya berada di perahu besar itu. Kini, lima pasang mata itu terbelalak seperti hendak menelan bulat-bulat gadis yang berpakaian ketat basah itu.

“Ha-ha-ha, ikan ini sungguh mulus dan segar!” kata laki-laki yang masih memegang lengan gadis itu.

“Bawa ia naik ke sini!” kata si hidung besar, air liurnya membasahi mulut.

Gadis itu meronta, akan tetapi orang yang memegang lengannya amat kuat sehingga lengannya tidak dapat terlepas. Akan tetapi tiba-tiba kakinya bergerak menendang.

“Bukk!” Perut gendut itu terkena tendangan, cengkeramannya melonggar akan tetapi sebelum gadis itu mampu meronta melepaskan diri, orang kedua sudah merangkul dan memeluknya dari belakang. Dua lengan besar panjang yang kuat itu memeluk dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi.

“Lepaskan aku! Ah, lepaskan aku!” bentaknya, meronta-ronta dengan sia-sia.

Laki.laki yang merangkulnya dari belakang itu terbahak senang karena makin keras gadis itu meronta, makin terasa kehangatan dan kelunakan tubuh yang kenyal itu. Perahu kecil itu bergerak sedikit ketika bayangan putih berkelebat dan Pek-liong sudah berada di situ.

“Lepaskan gadis itu!” bentaknya, tangannya menampar pundak laki-laki yang merangkul gadis itu.

“Plakk! Aughhh...!” Laki-laki itu berteriak kesakitan dan rangkulannya terlepas.

Pek-liong menendang dan tubuh orang itupun terlempar keluar dari perahunya, menimpa air telaga. Orang tinggi besar kedua, melihat temannya terlempar ke air, menjadi marah. Dia memang sudah marah karena perutnya ditendang gadis itu. Kini kemarahannya memuncak melihat munculnya seorang laki-laki muda berpakaian putih. Dia menggerakkan goloknya menyerang sambil memaki.

“Jahanam cilik, berani engkau mencampuri urusan kami?” Goloknya menyambar dari kanan ke kiri, akan tetapi hanya mengenai tempat kosong saja dan tiba-tiba tubuhnya juga terlempar oleh tendangan Pek-liong.

“Byurrr...!” untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika tubuh yang tinggi besar itu menimpa air.

Gadis itu lalu meloncat pula, terjun dan berenang ke arah orang tinggi besar yang agaknya hendak menyelamatkan diri berenang ke arah perahunya. Ia tadi melihat bahwa orang tinggi besar pertama telah disambar oleh kakaknya yang ternyata sudah berada di dalam air dan yang itu diseret oleh kakaknya, dibawa menyelam!

Iapun kini berenang dengan kecepatan seperti ikan, memutari tubuh penjahat kedua dan berhasil menangkap rambutnya, lalu iapun menyelam! Orang itu terbelalak, gelagapan dan berusaha untuk meronta, namun dia kalah biasa dan kepalanya berulang kali masuk ke dalam air dan mulut dan hidungnya kemasukan air yang mengalir ke dalam perut. Sementara itu, Pek-liong sudah meloncat ke atas perahu besar. Tiga orang penjahat itu menghadapinya dengan golok di tangan.

“Kau...?” bentak si hidung besar yang agaknya mengenal Pek-liong yang semalam telah dilihatnya di daratan bersama dua orang pendeta “Siapa kau berani mencampuri urusan kami?"

“Kenapa tidak berani? Kalian orang-orang jahat, terjunlah ke air!” kata Pek-liong dan ketika tiga orang itu menggerakkan golok mereka, diapun menyambut dengan tendangan dan tamparan yang amat cepat sehingga sebelum tiga orang itu tahu apa yang telah terjadi, tubuh mereka sudah terlempar dari atas perahu besar dan terbanting ke air telaga!

Dan di situ sudah menunggu dua orang kakak beradik yang menyambutnya dengan cengkeraman dan tariknya sehingga mereka dibawa menyelam! Tiga orang ini, seperti yang dua tadi, meronta-ronta, namun karena mereka itu kalah jauh dalam hal ilmu bermain di dalam air, ketiganya sudah tidak berdaya dan sebentar saja perut mereka sudah membengkak penuh air dan merekapun sudah pingsan!

Melihat betapa dua orang pertama sudah pingsan, dan yang tiga orang lagi dibenam-benamkan ke air dan juga sudah tidak mampu melawan, Pek-liong khawatir kalau-kalau mereka itu tewas. Maka diapun cepat meloncat ke dalam perahu kecilnya sendiri, mendayung perahu dan menyambar pundak dua orang penjahat yang sudah pingsan, lalu melontarkan tubuh mereka ke atas perahu.

“Heiii, saudara-saudara yang baik, jangan bunuh mereka! Jangan bunuh mereka, kataku!” dia berteriak kepada kakak beradik yang masih membenam-benamkan kepala tiga orang itu dengan gemas.

Kakak beradik itu mengangkat muka, memandang kepada Pek-liong. Mereka tahu bah-wa pemuda berpakaian putih itu lihai bukan main, pemuda itulah yang telah melempar-lemparkan lima orang jahat itu ke dalam air. Biarpun wajah mereka masih membayangkan perasaan marah, mereka mentaati permintaan Pek-liong dan sambil menjambak rambut tiga orang penjahat yang sudah pingsan itu, mereka menyeret tiga orang penjahat itu ke dekat perahu Pek-liong.

Pendekar ini kembali mencengkeram pundak mereka satu demi satu dan melempar-lemparkan mereka ke atas perahu besar. Melihat ini, dua orang kakak beradik itu terbelalak kagum. Dibutuhkan tenaga yang luar biasa besarnya untuk melempar-lemparkan tubuh para penjahat yang tinggi besar seperti itu, dan pemuda pakaian putih itu melemparkan mereka seolah-olah melemparkan bangkai ayam saja!

Keduanya kini naik ke perahu mereka. Kembali Pek-liong terpesona. Melihat gadis itu dari dekat, melihat betapa tubuh yang indah itu, nampak lembut namun kuat, naik ke perahu dan sinar matahari membuat lekuk lengkung tubuh itu semakin jelas, dia terpesona. Namun dia cepat menundukkan muka karena tidak mau memandangi tubuh orang seperti orang kelaparan. Gadis itupun cepat mengenakan baju luarnya dan menutupi pakaian ketat tipis yang basah itu.

“Biarkan saja mereka di perahu mereka. Nanti tentu ada orang-orang melihat dan menolong mereka. Dan mari kita cepat menyingkir dari tempat ini, jangan sampai teman-teman mereka datang dan mengganggu kita,” kata pula Pek-liong sambil mendayung perahunya.

Kakak beradik itu mengangguk dan merekapun mendayung perahu mereka mengikuti Pek-liong yang membawa perahunya mendarat di pantai yang sunyi, di ujung utara. Setelah mereka berloncatan ke daratan dan menarik perahu ke tepi, kakak beradik itu lalu memberi hormat kepada Pek-liong dan si kakak mengucapkan terima kasih.

“Tai-hiap telah menyelamatkan kami dari gangguan mereka. Terima kasih atas budi pertolongan tai-hiap.”

Pek-liong tersenyum dan membalas penghormatan mereka, “Sudahlah, tidak perlu hal itu dibicarakan lagi. Aku hanya merasa heran mengapa kalian tadi agaknya berusaha keras untuk membunuh mereka!” Memang di dalam hatinya, Pek-liong merasa penasaran mengapa kakak beradik yang pandai dengan ilmu bermain di air itu tadi bermaksud membunuh para penjahat itu.

Kakak beradik itu saling pandang dan si kakak kembali mewakili mereka menjawab, “Tai-hiap, kami bukanlah pembunuh-pembunuh kejam, bahkan selama hidup kami belum pernah kami membunuh orang. Akan tetapi, lima orang penjahat itu... kalau mereka tidak dibunuh, tentu mereka akan mendedam dan melapor kepada Po-yang Sam-liong dan kami... kami tentu akan dicari dan akhirnya kamilah yang akan mereka bunuh! Itulah sebabnya mengapa tadi kami berusaha membunuh mereka, tai-hiap.”

Lega rasa hati Pek-liong dan pandang matanya tidak penasaran lagi. Bahkan dia kini tersenyum dan pada saat dia tersenyum, pandang matanya bertemu dengan pandang mata gadis itu. Alangkah manisnya! Dan gadis itupun agaknya terkejut ketika pandang matanya bertaut dengan sinar mata pemuda yang gagah perkasa dan tampan itu, dan dengan tersipu ia menundukkan mukanya.

“Ah, kalau begitu kalian tidak merupakan orang-orang yang kejam. Aku melarang kalian membunuh mereka. Pertama karena tidak baik membunuh orang, apa lagi orang-orang yang sudah tidak berdaya seperti mereka tadi. Kedua, karena aku memang ingin menyelidiki mereka yang berjuluk Po-yang Sam-liong itu. Kalian jangan khawatir, tentu lima orang itu akan melaporkan bahwa mereka itu roboh oleh aku, bukan oleh kalian berdua. Siapakah kalian berdua dan mengapa pula lima orang penjahat itu mengganggu kalian? Apakah benar mereka itu pun pembantu Po-yang Sam-liong dan si apakah mereka? Siapa pula yang mereka sebut Beng-cu tadi?”

“Ting-ko, kau berilah keterangan kepada tai-hiap, aku akan mengganti pakaianku yang basah,” kata gadis itu kepada kakaknya yang mengangguk.

Gadis itu lalu membawa buntalan pakaian dan pergi mencari tempat yang dapat melindungi dan menyembunyikan dirinya untuk berganti pakaian karena pakaian ketat yang basah di balik mantel itu sungguh tidak enak. Kakaknya lalu memperkenalkan diri mereka berdua.

“Kami adalah kakak beradik yang sudah yatim piatu. Namaku Kam Sun Ting dan adikku itu bernama Kam Cian Li. Kami tinggal di sebuah dusun luar kota Nan-cang dan pekerjaan kami adalah mencari batu-batu indah di dasar telaga, melanjutkan pekerjaan mendiang ayah kami dan kami mempelajari ilmu menyelam dari mendiang ayah kami. Hasil kami tidak terlalu banyak, namun cukup untuk biaya hidup kami berdua dengan pantas. Kamipun tidak pernah berurusan dengan Po-yang Sam-liong walaupun kami pernah mendengar nama mereka yang tersohor, sampai dengan pagi hari ini kami secara langsung mendapat gangguan dari lima orang yang mengaku sebagai utusan mereka. Untung ada tai-hiap yang dapat menyelamatkan kami.”

Pada saat itu, gadis yang bernama Kam Cian Li itu muncul dan kembali Pek-liong-eng Tan Cin Hay harus mengakui bahwa gadis itu memang manis sekali, manis dan segar, tanpa riasan menyolok dan dengan pakaian yang sederhana saja namun bersih. Melihat adiknya sudah berganti pakaian, Kam Sun Ting lalu berpamit kepada Pek-liong untuk berganti pakaian pula. Diapun menghilang ke balik semak belukar dan kini gadis itu yang berdiri berhadapan dengan Pek-liong dan gadis itu kelihatan malu-malu.

Ketika ia mengangkat muka dan bertemu pandang dengan pemuda berpakaian putih itu, mukanya kembali merah dan warna merah itu menjalar sampai ke leher dan telinganya, ia tersenyum simpul dan menunduk kembali. Gerakan kewanitaan yang sederhana ini menggerakkan hati Pek-liong dan diapun tersenyum, hatinya penuh gairah.

“Nona Cian Li, engkau duduklah,” katanya mempersilakan melihat gadis itu berdiri saja dengan sungkan dan malu.

Cian Li memandang dan senyumnya melebar, memperlihatkan kilatan deretan gigi yang putih. “Terima kasih tai-hiap,” katanya lirih dan iapun memilih tempat duduk di atas sebuah batu datar yang bersih, empat-lima meter di depan Pek-liong.

Pek-liong-eng Tan Cin Hay sendiri sebenarnya seorang pria yang tidak pandai banyak bicara, apa lagi kalau berhadapan dengan seorang wanita. Akan tetapi melihat sikap Cian Li, dia merasa kasihan dan dia maklum bahwa kalau tidak diperlihatkan sikap ramah, tentu gadis itu akan merasa semakin salah tingkah dan canggung.

“Nona, engkau dan kakakmu Kam Sun Ting memiliki ilmu kepandaian renang dan menyelam yang mengagumkan sekali. Apakah kalian juga pernah mempelajari ilmu silat?”

Benar saja. Setelah Pek-liong bersikap ramah, gadis itu lebih terbuka dan berani menentang pandang matanya tanpa canggung lagi. “Ah, kami berdua hanya menerima pendidikan dari mendiang ayah kami, tai-hiap. Karena mata pencaharian kami adalah menyelam ke dalam telaga mencari batu indah, maka kami lebih banyak diajari ilmu renang dan menyelam dan menahan napas di dalam air, dan hanya sedikit saja ilmu silat, sekedar untuk membela diri.”

“Akan tetapi, kalau berada di air, engkau merupakan seorang yang tangguh sekali, nona. Penjahat yang kuat itu sama sekali tidak berdaya, bagaikan anak kecil saja kaubenam-benamkan ke dalam air. Engkau sungguh hebat, dan aku sendiri tidak akan berani melawanmu kalau di dalam air.”

Gadis itu tersenyum cerah dan menutupi mulutnya. “Tai-hiap terlampau merendahkan diri. Melawan tai-hiap, satu juruspun aku tidak akan mampu bertahan!”

Pada saat itu, Kam Sun Ting keluar dari balik semak-semak, sudah mengenakan pakaian kering, dan seperti adiknya, dia berpakaian sederhana walaupun hal itu tidak mengurangi ketampanan dan kegagahannya. Kam Sun Ting adalah seorang pemuda yang ganteng. Kulitnya yang agak kecoklatan karena banyak terbakar matahari itu bahkan membuat dia semakin menarik.

“Li-moi, apakah engkau sudah mengetahui nama penolong kita?” begitu keluar, pemuda itu bertanya kepada adiknya. Yang ditanya menggeleng kepala sambil memandang kepada Pek-liong.

“Aih, benar. Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Tan Cin Hay, dan aku tinggal di dusun dekat Hang-kouw, dekat Telaga See-ouw.”7

“Ah, Telaga See-ouw?” seru Kam Cian Li kagum. “Kami sudah sering mendengar tentang telaga itu, katanya jauh lebih indah dari pada Telaga Po-yang ini, dan bahkan mungkin sekali di sana terdapat batu-batu yang indah dan mahal.”

Pek-liong-eng Tan Cin Hay mengangguk dan memandang gadis itu dengan sinar mata ramah sekali. “Kenapa tidak sekali-kali kalian berdua ke sana dan mengadu untung? Siapa tahu di sana kalian sekali menyelam akan menemukan harta terpendam!”

Tiba-tiba mereka tersentak kaget mendengar suara teriakan yang memanjang dan menyeramkan. Kakak beradik itu semakin terkejut ketika tiba-tiba mereka melihat bayangan putih berkelebat ke arah dalam hutan dari mana jeritan itu tadi terdengar dan pemuda berpakaian putih di depan mereka, yang tadi duduk di atas batu, kini telah lenyap!

Mereka saling pandang, dengan mata terbelalak dan penuh kagum. Pemuda berpakaian putih itu seperti setan saja yang pandai menghilang begitu saja dari depan mereka! Akan tetapi, mereka tadi sudah berkenalan dengan Pek-liong dan mereka tahu bahwa pemuda itu bukan setan, dan mereka semakin yakin bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang sakti!

“Ting-koko, mari kita susul dia...” kata Cian Li dan iapun sudah cepat lari menuju ke arah suara tadi.

Andaikata tidak ada Pek-liong-eng yang tadi lari ke arah suara teriakan, tentu gadis itu tidak akan mengajak kakaknya menyusul. Ternyata gadis yang sampai berusia sembilan belas tahun tidak pernah tertarik kepada pria ini, begitu bertemu dengan Pek-liong seketika telah jatuh cinta! Ia merasa kagum dan tertarik sekali, bukan hanya oleh ketampanan dan kegagahan Tan Cin Hay, melainkan terutama sekali oleh kesaktiannya dan sikapnya yang ramah.

Sementara itu, dengan mempergunakan ilmunya berlari cepat, Pek-liong Si Naga Putih telah tiba di tengah hutan. Teriakan tadi memberitahu kepadanya bahwa tentu terjadi hal yang hebat, setidaknya tentu pembunuhan atau siksaan yang mengerikan. Dan tiba-tiba dia menghentikan larinya, berdiri dan memandang dengan mata terbelalak.

Di depannya, di atas rumput, dia melihat dua sosok tubuh menggeletak mandi darah dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika dia mengenal bahwa mereka itu bukan lain adalah Tiong Tosu dan Yong Hwesio! Dua orang pendeta itu baru semalam bersama dia makan bersama dan mengobrol di tepi pantai telaga, dan kini mereka telah menggeletak mandi darah. Tidak salah lagi, tentu mereka atau seorang di antara mereka yang tadi mengeluarkan teriakan melengking itu.

Dia cepat berlutut dekat tubuh Tiong Tosu yang paling dekat. Ternyata tosu itu telah tewas dengan leher hampir putus, agaknya terbabat senjata yang amat tajam. Dia lalu menghampiri tubuh Yong Hwesio. Pendeta ini terluka tusukan pada dadanya dan darah masih mengucur dari situ. Dan ketika dia berlutut, hwesio itu mengeluh dan membuka matanya.

“Locianpwe, apa yang terjadi...?” Pek-liong-eng bertanya.

“Syukur... engkau mendengar... teriakan pinceng... Po-yang Sam-liong... anak buah Beng-cu... banyak orang pandai...” Hwesio itu tersengal-sengal.

“Locianpwe, siapa itu Beng-cu?” Pek-liong-eng bertanya sambil mengguncang pundak hwesio gendut itu.

“Dia... Siauw-bin Ciu-kwi... sakti banyak yang sakti... oughhh...!”

Leher itu terkulai dan tahulah Pek-liong-eng bahwa hwesio itupun tewas. Dia merebahkannya dan pada saat itu, dia mendengar suara kaki berlari-lari ke arahnya. Dua orang datang berlarian. Dia bangkit berdiri.

“Saudara Sun Ting dan nona Cian Li, ke sini!” teriaknya memberi arah dan tak lama kemudian, mereka muncul. Jelas nampak kelegaan membayang pada wajah manis gadis itu, akan tetapi ia dan kakaknya terbelalak melihat dua sosok tubuh yang sudah tak bernyawa lagi dan yang mandi darah itu.

“Mereka terbunuh oleh teman-teman Po-yang Sam-liong,” katanya singkat.

Dia kini menjadi serius sekali. Kiranya urusan yang dihadapinya ini menjadi semakin hebat. Perebutan peta Patung Emas itu ternyata telah mendatangkan banyak korban nyawa. Dan yang berdiri di belakangnya, yang disebut Beng-cu (Pemimpin) kiranya adalah seorang sakti bernama atau berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Tertawa), seorang di antara Kiu Lo-mo! Keadaan menjadi gawat sekali kalau begini, pikirnya.

Dan menurut keterangan Yong Hwesio tadi, gerombolan penjahat itu mempunyai banyak orang sakti! Hal itu sudah terbukti dengan tewasnya tosu dan hwesio yang berilmu ini secara demikian mengerikan. Mungkin oleh pedang yang sama, oleh seorang di antara mereka. Dan teringatlah dia akan penunggang kuda yang membawa pedang di punggungnya itu!

“Aih, Po-yang Sam-liong demikian jahat...” bisik Kam Cian Li, “Kami berdua yang tidak berdosapun tadi akan mereka bunuh...”

Dalam suara ini terkandung rasa ngeri dan takut. Mengertilah Pek-liong-eng Tan Cin Hay apa yang harus dilakukannya. Dia harus melindungi kakak beradik ini. Dia harus membongkar rahasia peta Patung Emas itu yang agaknya dengan cara bagaimanapun akan dicari oleh gerombolan yang dipimpin oleh Beng-cu, dan sudah terlalu banyak jatuh korban. Kakak beradik inipun mungkin menjadi korban berikutnya walaupun mereka tidak tahu menahu tentang Patung Emas.

Dia harus membongkar rahasia itu, harus menentang gerombolan yang jahat itu. Dan dia tahu bahwa pihak lawan amatlah berbahaya, selain memiliki banyak kaki tangan, juga di antara mereka terdapat banyak orang sakti seperti yang dipesankan oleh mendiang Yong Hwesio.

“Saudara Sun Ting, bantulah aku mengubur dua jenazah ini,” katanya.

Kam Sun Ting mengangguk, bahkan Kam Cian Li juga cepat membantu menggali lubang. “Apakah engkau mengenal mereka, tai-hiap?” tanya Cian Li ketika mereka menggali lubang bersama.

Pek-liong-eng mengangguk. “Aku mengenal mereka, karena itu, aku harus mencari Po-yang Sam-liong dan anak buah mereka.”

Tiba-tiba gadis itu melepaskan pisau yang tadi dipergunakannya untuk menggali tanah dan tanpa disadarinya, tangannya yang kotor berlumpur memegang tangan Pek-liong-eng yang telanjang karena pemuda ini menggulung lengan bajunya.

“Tai-hiap... mereka... mereka itu jahat dan berbahaya sekali! Engkau... akan terancam bencana...”

Pek-liong tersenyum dan gadis itupun menyadari bahwa tangannya telah mengotori lengan itu, maka iapun melepaskan pegangannya dan menggali lagi dengan muka merah.

“Bukan aku yang terancam bahaya, Cian Li, melainkan engkau. Karena itu, aku harus melindungimu pula...” Gadis itu senang sekali disebut namanya tanpa nona.

“Terima kasih, tai-hiap...”

“Hushh, sudahlah, jangan menyebut tai-hiap kepadaku. Kita sudah saling berkenalan, bukan? Namaku Tan Cin Hay, tanpa tai-hiap (pendekar besar).”

“Baik, Hay-twako... dan terima kasih...”

Kam Sun Ting diam saja mendengarkan percakapan mereka. Setelah mereka tidak bicara lagi, dia bertanya, “Tai-hiap...”

“Wah, Ting-ko, kenapa menyebut tai-hiap? Hay-ko tidak suka disebut tai-hiap walaupun dia seorang pendekar yang hebat!” tegur adiknya yang kini mulai berani dan tidak begitu malu-malu lagi.

Mau tidak mau Kam Sun Ting tersenyum dan diapun dapat menduga bahwa hati adiknya sudah jatuh oleh pendekar yang tampan dan gagah ini. “Twako, siapakah mereka ini dan mengapa mereka terbunuh...?”

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.