MEREKA lalu meninggalkan perkampungan itu tanpa dilihat orang, pada saat para penghuni dusun lari berdatangan melihat rumah kakak beradik itu kebakaran bagian belakangnya. Mereka lalu memadamkan sisa api dan memeriksa ke dalam. Akan tetapi, mereka terheran-heran melihat bahwa rumah itu kosong, kakak beradik penyelam batu itu tidak ada dan mereka hanya menemukan keadaan kamar yang berserakan.
Mereka tidak tahu bahwa baru saja seorang tinggi besar memondong sesosok mayat melarikan diri dari rumah itu. Dia adalah penjahat yang tadi dirobohkan Pek-liong. Penjahat ini menemukan mayat si hidung besar dan melarikan mayat itu tanpa diketahui orang.
Pek-liong mengajak Cian Li pergi ke Telaga Po-yang. Dia bertekad untuk mencari keterangan tentang Po-yang Sam-liong karena dia merasa yakin bahwa lima orang penjahat itu adalah anak buah Po-yang Sam-liong, maka tentu tiga orang tokoh sesat itu yang menjadi biang-keladi penyerangan terhadap kakak beradik Kam, juga mereka pula yang mungkin sekali membunuh dua oraug pendeta, tentu saja dengan kawan-kawan mereka yang tergabung sebagai para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi! Dari tiga orang itulah dia mungkin akan dapat membuat kontak dengan beng-cu yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi itu.
Akan tetapi, setiap orang nelayan atau pemilik perahu pelesir di telaga itu juga sama halnya dengan kakak beradik Kam. Tak seorangpun di antara mereka yang tidak mengenal nama Po-yang Sam-liong, akan tetapi tak seorangpun mengetahui di mana mereka tinggal. Mungkin ada yang tahu, akan tetapi siapakah berani membuka rahasia tiga orang tokoh sesat yang amat mereka takuti itu? Penyelidikan yang dilakukan Pek-liong sia-sia belaka.
“Mereka tidak pernah muncul sendiri di sini,” kata seorang nelayan yang agak berani. “Mereka menagih pajak melalui kaki tangan mereka yang banyak sekali. Kami tidak tahu dan tidak pernah berani menanyakan di mana tempat tinggal mereka.”
Ah, tidak ada lain jalan kecuali menanti munculnya seorang kaki tangan mereka, menangkap orang itu dan memaksanya mengaku di mana dia dapat bertemu dengan mereka, pikir Pek-liong. Karena hari mulai gelap, dia lalu mengajak Cian Li pergi ke kota Nan-cang dan mereka menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan kecil agar tidak menyolok dan tidak menarik perhatian.
Bagaimanapun juga, Pek-liong masih mengharapkan bahwa Cian Li tetap merupakan “umpan” yang akan menarik datangnya kakap yang dia kehendaki. Dengan tewasnya si hidung besar oleh gadis itu, tidak mungkin mereka melupakan gadis itu demikian saja dan sekali waktu, pasti mereka yang akan datang mencari Cian Li. Syukur kalau Po-yang Sam-liong yang datang sendiri agar dia tidak usah bersusah payah mencari mereka. Setelah mandi, makan di sebuah restoran terdekat, mereka memasuki kamar masing-masing untuk beristirahat.
“Engkau tidurlah, Li-moi, dan jangan khawatir, aku selalu menjagamu. Kalau engkau mendengar sesuatu yang tidak wajar, berdiam sajalah di kamar, jangan membuka jendela atau daun pintu,” demikian pesan Pek-liong kepada gadis itu yang kelihatan lesu dan sedih ketika memasuki kamarnya.
Bagaimana gadis itu tidak berduka? Kakaknya pergi dan ia tidak dapat kembali ke rumahnya sendiri, selalu terancam keselamatannya oleh gerombolan penjahat, dan pemuda yang diandalkannya itu, yang melindunginya berpisah kamar!
Pek-liong-eng Tan Cin Hay tidak merebahkan badannya, melainkan duduk bersila di atas pembaringan tanpa melepas sepatunya. Dia tahu bahwa dia harus siap sedia menjaga keselamatan gadis di kamar sebelah dan dia tidak boleh lengah. Dengan duduk bersila, dia dapat melepaskan lelah, akan tetapi juga sekaligus dapat berjaga-jaga karena biarpun dia beristirahat, namun pendengarannya menjadi peka dan kalau ada suara yang tidak wajar sedikit saja pasti akan terdengar olehnya dan membuat dia sadar.
Menjelang tengah malam, dia membuka kedua matanya. Telinganya mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Cepat dia turun dari pembaringan dan mendekati jendela. Daun jendela itu hanya dia tutup begitu saja, tidak dipalang agar memudahkan dia keluar kalau perlu. Kini dia mendorong sedikit kedua daun pintu sehingga terdapat kerenggangan di antara dua buah daun pintu itu. Kamarnya gelap, maka dia dapat mengintai ke luar di mana terdapat lampu gantung.
Pek-liong menggigit giginya dengan gemas ketika dia mengenal empat orang laki-laki tinggi besar berada di luar kamar Cian Li! Mereka adalah empat orang penjahat yang tadi telah menyerbu rumah gadis itu. Betapa beraninya mereka itu! Betapa keras kepala dan dia harus memberi hajaran yang keras sekarang, menangkap mereka atau seorang di antara mereka untuk dipaksa mengaku di mana dia dapat bertemu dengan Po-yang Sam-liong.
Jelas bahwa mereka itu datang untuk mengganggu Cian Li. Kasihan gadis itu. Tidak perlu dibikin kaget lagi, Biarkan ia tidur nyenyak, demikian pikir Pek-liong dan sekali dorong, daun jendela terbuka dan di lain saat dia sudah meloncat keluar dari dalam kamarnya.
“Jahanam, kalian agaknya sudah bosan hidup!” bentaknya lirih agar jangan membuat gaduh.
Empat orang itu menengok dan melihat pemuda berpakaian putih itu, mereka lalu melompat dan melarikan diri! Pek-liong tersenyum dan melakukan pengejaran. Memang dia ingin menggertak mereka agar pergi dari situ dan dia akan menghajar mereka di tempat sunyi, bukan di rumah penginapan itu yang akan mengejutkan semua orang, termasuk Cian Li. Dia tidak ingin menjadi pusat perhatian orang.
Seperti yang diharapkannya, empat orang tinggi besar itu melarikan diri keluar kota. Untung pada malam itu udara bersih, bulan bersinar terang sehingga dia dapat terus membayangi empat orang itu. Dia sudah cukup berhati-hati. Karena maklum bahwa dia bermain dengan api yang besar, dan setiap saat ada bahaya mengancam, maka sejak meninggalkan rumah Cian Li, dia selalu meninggalkan tanda rahasia sebagai jejaknya. Siapa tahu, Hek-liong-li mungkin akan membutuhkan tanda-tanda itu!
Empat orang itu membelok memasuki pekarangan sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Kuil itu besar dan kuno, namun kotor karena memang sudah tidak terawat dan tidak dipergunakan, merupakan bangunan kuno peninggalan sejarah. Ketika Pek-liong tiba di pekarangan kuil kuno itu, empat orang yang dibayanginya telah memasuki kuil. Selagi dia mengamati ke arah kuil dengan hati-hati, tiba-tiba dari kanan kiri bermunculan tujuh orang dan mereka itu bukan lain adalah empat orang penjahat tadi, kini ditambah dengan tiga orang yang tubuhnya lebih besar dari pada mereka berempat.
Tiga orang ini dapat disebut sebagai raksasa-raksasa yang menyeramkan! Mereka bertiga berdiri di depan pintu kuil dan seorang di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk dan berewok, berseru kepada empat orang penjahat untuk menyerang. Empat orang itu dengan penuh semangat sudah menggerakkan senjata di tangan mereka, ada yang memegang pedang, ada yang memegang golok dan ada pula yang membawa ruyung besi. Dari empat jurusan, mereka membacok dan menusuk ke arah Pek-liong. Namun, Pek-liong-eng sudah waspada. Gerakan mereka itu tidak ada artinya baginya, mereka hanya mengandalkan tenaga otot saja.
Dengan amat mudahnya, dia mengelak dari sambaran senjata itu, kemudian dengan gerakan amat cepat, dia sudah berkelebatan ke empat penjuru dan empat orang pengeroyok itu terpelanting roboh terkena tamparan dan tendangannya. Sekali ini, mereka roboh pingsan, ada yang menderita tulang patah dan luka dalam yang cukup membuat mereka selama beberapa hari tidak akan dapat berkelahi lagi!
Melihat ini, tiga orang raksasa itu menjadi marah. “Bagus, kiranya engkau memiliki kepandaian lumayan juga, orang muda! Pantas saja engkau berani menentang kami!” kata si berewok. Mereka kini maju menghadapi Pek-liong dan pemuda ini memandang kepada mereka penuh perhatian.
Sinar bulan cukup terang untuk dapat mengamati wajah mereka. Seorang di antara mereka yang brewok itu memegang sebatang golok gergaji yang besar dan mengerikan. Orang kedua berkepala botak dan memegang sebatang pedang pendek. Adapun orang ketiga yang menyeringai dan memperlihatkan mulut ompong, memegang sebatang rantai baja. Ketiganya tinggi besar dan usia mereka kurang lebih empat puluh tahun.
“Hemm, apakah kalian ini yang berjuluk Po-yang Sam-liong?” tanya Pek-liong dengan sikap tenang.
“Benar sekali. Kamilah Po-yang Sam-liong. Namaku Poa Seng, ini adikku Poa Leng dan itu adikku Poa Teng. Engkau siapa, orang muda dan mengapa engkau membela kakak beradik penyelam itu dan berani menentang kami di wilayah kami sendiri?”
“Namaku Tan Cin Hay. Tentu saja aku menentang setiap perbuatan busuk dan jahat. Kakak beradik Kam itu tidak berdosa, mengapa kalian hendak membunuh mereka? Dan mengapa pula Tiong Tosu dan Yong Hwesio itu dibunuh? Bukankah kalian juga ikut campur dalam pembunuhan itu? Bukankah kalian disuruh oleh majikan kalian, yaitu Beng-cu yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi? Hayo katakan terus terang, atau aku akan memaksa kalian mengaku!”
Tiga orang raksasa itu terbelalak, saling pandang lalu si berewok tertawa bergelak, diikuti oleh dua orang adiknya. “Ah, kiranya engkau sudah tahu terlampau banyak, karena itu engkau harus mampus! Engkau hendak memaksa kami mengaku? Ha-ha-ha, alangkah lucunya! Seekor cacing hendak menggertak tiga ekor naga!”
Tiga orang raksasa itu kini mengepung dalam bentuk segi tiga, senjata mereka siap di tangan. Pek-liong-eng maklum bahwa kini para pengepungnya tidak boleh disamakan dengan empat orang tadi. Mereka ini telah membuat nama besar di Po-yang dan tentu mereka telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi.
Dari gerakan mereka saja sudah dapat diduga bahwa mereka setidaknya memiliki tenaga yang amat kuat, karena itu, tiga macam senjata mereka itu cukup berbahaya. Sekarang belum waktunya untuk membunuh mereka, pikirnya. Masih banyak yang harus dikorek dari mereka untuk mengetahui rahasia itu. Rahasia beng-cu mereka dan rahasia peta Patung Emas.
Dia menduga bahwa tentu ada hubungannya dengan semua pembunuhan yang diceritakan oleh Yong Hwesio mengenai perebutan peta Patung Emas dengan beng-cu mereka itu. Maka, dia hendak menggunakan siasat. Kalau mereka maju bertiga, baginya terlalu berbahaya kalau tidak merobohkan mereka dengan keras, kalau perlu membunuh mereka. Sukar menaklukkan tiga orang kuat ini kalau hanya menundukkan saja.
“Hemm, kiranya yang bernama besar Po-yang Sam-liong bukanlah naga-naga sejati, melainkan ular-ular belang yang licik dan curang, beraninya hanya main keroyok seperti pencoleng-pencoleng pasar saja!” katanya dengan nada mengejek.
Mendengar ini, tiga orang tokoh sesat itu menjadi marah sekali. Marah dan malu. Muka mereka berubah merah dan si berewok menghardik. “Siapa hendak mengeroyok? Sam-te, kau tangkap bocah sombong lancang mulut ini!” Si berewok memerintah adiknya, yaitu Poa Teng yang bermulut ompong dan bersenjata rantai baja.
Si ompong ini segera melangkah maju menghadapi Pek-liong. Rantai baja itu diputar-putar dan mengeluarkan suara angin bersiutan. Makin lama, putaran rantai itu semakin kuat dan cepat, dan rantai itupun diulur semakin panjang. “Bocah sombong, mampuslah!” tiba-tiba si ompong membentak dan ujung rantai bajanya menyambar ke arah muka Pek-liong.
Pemuda ini cepat mengelak dengan langkah ke belakang. Akan tetapi, rantai itu membalik dan kini menyambar ke arah pinggangnya. Pek-liong kembali mengelak dengan loncatan ke samping, ujung rantai yang lain kini menyambar, dari bawah ke atas mengarah perut! Memang hebat sekali gerakan Poa Teng itu. Rantai bajanya dapat bergerak cepat, menyerang secara bertubi dari arah yang berlawanan dan tidak terduga-duga. Bukan hanya satu ujung rantai saja yang bergerak, melainkan juga ujung yang lain.
Namun, Pek-liong cukup waspada. Dengan langkah-langkah yang amat cepat, loncatan¬loncatan ringan, dia selalu dapat mengelak. Sampai belasan jurus dia terus mengelak karena rantai itu kini menyerang bergantian dengan kedua ujungnya. Tiba-tiba, ketika Pek-liong melompat agak jauh ke belakang, rantai itu menyerang dan terulur panjang! Saat inilah yang dinanti-nanti oleh Pek-liong.
Dengan terulur panjang, berarti rantai itu hanya dapat dipergunakan satu ujungnya saja, sedangkan ujung yang lain menjadi gagang atau tempat berpegang pemiliknya. Begitu melihat ujung rantai panjang itu menyambar, Pek-liong kini tidak mengelak lagi melainkan menangkis dengan lengannya!
“Plak!” Rantai itu melibat dan memang ini dikehendaki oleh Pek-liong. Tangannya cepat ditekuk dan dia sudah berhasil menangkap ujung rantai, lalu dia mengerahkan tenaga menarik! Betapapun kuatnya Poa Teng, dia tidak mampu bertahan dan tubuhnya ikut tertarik ke depan! Namun, dia mengerahkan tenaga dan bertahan.
Terjadilah tarik menarik dan tubuh Poa Teng yang berat itu bergantung ke belakang agar tarikannya lebih kuat lagi. Tiba-tiba Pek-liong melepaskan ujung rantai yang dipegangnya, bahkan melontarkannya ke arah pemiliknya. Tak dapat ditahan lagi, tubuh Poa Teng terjengkang keras dan begitu dia terbanting, ujung rantai yang dilontarkan Pek-liong datang menimpa dadanya.
“Bukkk!!” Poa Teng mengaduh dan sejenak dia tidak mampu bangkit karena dadanya terasa nyeri bukan main dan berdarah.
“Keparat, berani engkau menghina adikku!” bentak Poa Leng.
Si botak ini sudah menyerang dengan tombak pendeknya, tombak itu menusuk ke arah pelipis Pek-liong dan ketika pemuda itu mengelak dengan menarik kepala ke belakang, tombak itu sudah menyambar lagi ke arah tenggorokannya. Pek-liong terkejut, Si botak ini lihai juga, pikirnya sambil merendahkan tubuhnya ke belakang lagi, kakinya bergeser dan sekali melangkah, dia telah berada di sebelah kanan lawan.
Namun, tombak itu sudah menyambar lagi dan kini diikuti oleh gerakan tangan kiri yang mencengkeram ke arah lambung! Pek-liong meloncat ke kiri dan tiba-tiba ada angin keras menyambar. Kiranya golok gergaji di tangan Poa Seng si berewok telah menyambar. Dia cepat mengelak dan rantai baja Poa Teng kini juga ikut mengeroyoknya. Dia dikeroyok tiga!
Dengan kelincahan tubuhnya, Pek-liong berloncatan ke sana-sini dan mencari kesempatan untuk merobohkan lawannya satu demi satu. Kalau dia menghendaki, tentu saja dia dapat mempergunakan pukulan yang ampuh untuk membunuh mereka, atau kalau dia mengeluarkan pedang pusaka Naga Putih yang disembunyikan di balik bajunya, dengan sekali serang saja dia akan mampu membuat patah semua senjata di tangan mereka. Akan tetapi dia tidak ingin membunuh karena dia masih membutuhkan mereka, dan diapun merasa mampu menandingi mereka tanpa senjata.
Mendadak terdengar bentakan nyaring, “Tahan semua senjata! Sam-liong, mundurlah! Pek-liong-eng, menyerahlah! Lihat siapa yang berada di tanganku!”
Tiga orang raksasa itu menahan senjata lalu mundur dengan patuh. Pek-liong menoleh dan dia terkejut melihat Kam Cian Li sudah ditelikung kedua tangannya ke belakang oleh seorang pemuda tampan, dan pemuda itu menempelkan pedangnya di leher gadis itu! Maklumlah dia bahwa dia telah tertipu. Dia hendak memancing, malah terpancing!
Kiranya empat orang tinggi besar tadi sengaja datang ke rumah penginapan untuk memancingnya keluar dari rumah penginapan, meninggalkan Kam Cian Li seorang diri dan pemuda tampan itu telah menawannya! Diapun menjadi lemas, merasa tertipu dan tidak berdaya! Akan tetapi, dia teringat kepada Hek-liong-li dan tiba-tiba saja Pek-liong membuat lompatan jauh dan diapun menghilang di samping kuil.
Para musuhnya menjadi terkejut dan sejenak tidak tahu harus berbuat apa. Akan tetapi tak lama kemudian, pemuda berpakaian putih tu telah muncul pula di atas wuwungan genteng kuil tua itu, berdiri tegak sambil bertolak pinggang, suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia berseru,
“Kalian orang-orang rendah dan pengecut! Lepaskan gadis tak berdosa itu dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!”
Po-yang Sam-liong diam saja, juga empat orang pembantunya yang tadi dipukul roboh oleh Pek-liong dan kini sudah bangkit kembali, hanya berdiri dan tidak banyak cakap. Pemuda yang menawan Cian Li itulah yang menjawab setelah tertawa mengejek.
“Pek-liong-eng Tan Cin Hay, tidak perlu bersikap gagah-gagahan. Turunlah dan mari kita bicara. Kalau engkau menyerah dengan damai, baik sekali. Kalau tidak, apakah engkau ingin melihat aku menyembelih gadis ini di depan matamu?”
Pek-liong mengukur dengan matanya. Kalau dia menggunakan jurus dari Pek-liong Sin-kun dan menyambar dari bawah menyerang pemuda yang menawan Cian Li itu, terlalu berbahaya bagi Cian Li. Dia belum tahu sampai di mana kelihaian pemuda itu, dan dia tidak boleh mempertaruhkan keselamatan nyawa Cian Li.
“Hay-koko, jangan mau menyerah! Biar mereka membunuhku, jangan kau menyerah!” Gadis itu berteriak.
Dan mendengar teriakan ini, si pemuda itu lalu menggunakan tangan kirinya menotok. Sekali totok, tubuh gadis itu menjadi lemas dan ia tidak dapat meronta atau mengeluarkan suara lagi. Gerakan totokan ini saja sudah cukup bagi Pek-liong untuk mengetahui bahwa pemuda itu lihai bukan main! Akan celakalah keselamatan nyawa Cian Li kalau dia mencoba-coba untuk menyerang. Diapun menarik napas panjang.
“Hemm, sobat. Engkau lihai akan tetapi licik dan curang bukan main. Baiklah, aku akan turun dan bicara denganmu!” Diapun melayang turun ke depan pemuda itu dan keduanya kini saling berhadapan dan saling pandang dengan penuh perhatian.
Pek-liong tidak mengenal pemuda itu. Seorang pemuda yang tidak begitu muda lagi, sedikitnya tentu ada tigapuluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan, matanya tajam dan senyumnya genit. Pakaiannya, sungguh aneh sekali, juga serba putih seperti pakaiannya sendiri. Hanya bedanya, kalau pakaiannya yang putih itu terbuat dari kain yang kuat dan kasar, berpotongan sederhana saja, sebaliknya pakaian putih pemuda itu terbuat dari sutera halus dan disulam.
“Sobat, engkau sudah mengenalku, akan tetapi aku belum pernah bertemu denganmu dan belum mengetahui siapakah engkau ini, dan mengapa pula engkau mempergunakan akal busuk ini untuk memaksa aku menyerah?” tanya Pek-liong dengan senyum mengejek.
Orang itu mengamatinya dan ada sinar kagum membayang di matanya. “Sungguh mengagumkan sekali. Kukira yang berjuluk Pek-liong-eng adalah seorang yang sudah matang dan sudah cukup umur. Kiranya seorang pemuda yang belum dewasa benar! Pek-liong-eng, aku bernama Ciong Koan dan orang menyebut aku Pek I Kongcu (Tuan Muda Pakaian Putih).”
“Ah, kiranya murid Kun-lun-pai yang murtad itu?” Pek-liong berseru karena dia sudah pernah mendengar nama ini, “Seorang kongcu, yang curang dan tidak pantas disebut kongcu, juga wataknya amat hitam walaupun pakaiannya dari sutera putih!”
Sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan mata itu kini memancarkan kemarahan. “Cukup, Pek-liong-eng! Engkau menyerah dengan damai atau harus ku bunuh dulu gadis ini?”
Tahu bahwa orang itu marah dan menjadi berbahaya sekali bagi keselamatan Cian Li, Pek-liong lalu menarik napas panjang kembali. “Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi, apa artinya semua ini? Aku berkenalan dengan Tiong Tosu dan Yong Hwesio, dan kalian membunuh mereka tanpa sebab! Kemudian, aku berkenalan dengan gadis penyelam itu dan kalian juga berusaha membunuhnya. Ada apakah di balik semua permainan kotor ini?” Pertanyaan ini diajukan dengan suara penasaran seolah-olah dia memang merasa penasaran sekali.
Kini Pek I Kongcu Ciong Koan tersenyum mengejek. “Tidak perlu banyak cakap. Engkau menyerah saja, membiarkan kedua tanganmu dibelenggu dan engkau bersama gadis ini akan kami hadapkan kepada Beng-cu! Di sana baru engkau boleh bicara. Tugas kami hanya menawan kalian berdua!”
Cian Li memandang pemuda yang dikaguminya itu. Wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak seperti mata kelinci yang dicengkeram harimau. Mata itu indah sekali, Pek-liong masih sempat kagum. Dan gadis itu menggeleng-geleng kepalanya kepada Pek-liong, seolah-olah hendak memintanya agar dia tidak mau menyerah. Akan tetapi, kalau dia tidak menyerah, belum tentu dia akan mampu menyelamatkan Cian Li, pikir Pek-liong. Pula, kiranya hanya dengan jalan menyerahkan diri saja dia akan dapat menyelidiki dengan baik untuk membongkar rahasia mereka.
“Baiklah, aku menyerah... tapi...” Dia nampak meragu karena tiba-tiba dia teringat bahwa Pedang Naga Putih berada di balik jubahnya. Kalau dia menyerahkan diri, sudah pasti sekali orang-orang sesat itu akan merampasnya dan hal ini amatlah berbahaya. “Nanti dulu, aku khawatir, jangan-jangan kalian ini bertindak curang. Biar aku memberitahu dulu kawanku sehingga kalau kalian curang dan membunuh aku dan nona Kam Cian Li, kawanku itu yang akan membalas dendam dan menumpas kalian!”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja dia meloncat jauh dan dalam beberapa detik saja bayangannya lenyap dari situ. Tentu saja Pek I Kongcu Ciong Koan menjadi terkejut, akan tetapi diapun menjadi ragu-ragu karena tidak dapat menduga apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Pek-liong-eng yang dia tahu amat lihai itu. Untuk melakukan pengejaran dia tidak berani. Maka dia hanya dapat mengerutkan alisnya dan memandang kepada Kam Cian Li yang masih bersikap tabah dan tenang itu.
“Nona, kebohongan dan akal busuk apakah yang sedang dilakukan oleh Pek-liong-eng itu?”
Gadis itu tersenyum mengejek. “Pek-liong-eng tidak pernah berbohong dan tidak pernah menggunakan akal busuk! Kalau dia mengatakan mempunyai kawan baik, hal itu memang benar. Kawan-kawannya adalah bangsa malaikat dan dewa yang tentu kelak akan menumpas kalian kalau kalian bertindak curang!”
Tentu saja Pek I Kongcu bukan seorang bodoh dan tahyul yang mudah saja digertak dan dibohongi. Akan tetapi sebelum dia bicara lagi, tiba-tiba terdengar suara Pek-liong-eng. “Ucapan nona Kam Cian Li memang benar!” Dan muncullah Pek-liong-eng yang tersenyum-senyum.
Pek I Kongcu memandang penuh perhatian, akan tetapi tidak melihat perubahan apapun pada diri pendekar itu yang dapat dicurigai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebatang pedang pusaka ampuh yang tadinya tersembunyi di balik jubah, kini telah tidak ada lagi.
“Nah, aku menyerah dan cepat bawa kami menghadap pemimpin kalian!” kata Pek-liong-eng Tan Cin Hay sambil menjulurkan kedua lengannya ke depan.
Pek I Kongcu memberi isyarat kepada Po-yang Sam-liong yang menjadi pembantunya, “Belenggu kedua lengannya, satukan dengan gadis ini!” katanya.
Karena memang sudah diatur terlebih dahulu, mereka sudah mempersiapkan pula sebuah rantai panjang yang kuat dan di ujung rantai itu terdapat belenggu-belenggu yang kuat pula. Tanpa melawan, Tan Cin Hay membiarkan kedua pergelangannya yang disatukan itu dibelenggu, kemudian belenggu di ujung rantai yang lain dipergunakan membelenggu kedua tangan Cian Li.
Gadis itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan ia tersenyum girang ketika ia berdiri berdampingan dengan Pek-liong-eng. Rantai itu menyatukan mereka, membuat mereka tak dapat saling berpisah jauh dan selalu berdampingan, seperti sepasang pengantin! Pek-liong-eng sendiri sampai merasa heran sekali melihat gadis manis itu tersenyum-senyum demikian gembiranya!
Setelah melihat Pek-liong-eng dibelenggu, Ciong Koan sendiri lalu menggeledah dan memeriksa tubuh Pek-liong-eng untuk mencari senjata yang disembunyikan. Akan tetapi dia tidak menemukan apa-apa dan diam-diam Pek-liong-eng merasa bersyukur bahwa pada saat terakhir dia teringat kepada pedang pusakanya dan masih sempat mengelabuhi mereka dan menyimpan senjata itu di tempat persembunyian yang hanya dia sendiri mengetahuinya.
“Ha-ha, orang she Ciong. Kalau engkau mencari uang dan emas, engkau tidak akan mendapatkannya padaku!” Pek-liong berkata sambil tersenyum mengejek.
Wajah Pek I Kongcu Ciong Koan menjadi kemerahan. Ucapan itu sama dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang yang suka mencopet atau merampas barang orang! Dia dianggap sebagai seorang penjahat pasar yang kecil saja. Akan tetapi, dia tidak mampu membalas karena bagaimanapun juga “kemenangannya” sekali ini adalah kemenangan yang tidak boleh dibanggakan.
Dia memaksa Pek-liong menyerah bukan dengan mengalahkannya dalam perkelahian, melainkan memaksanya dengan menyandera gadis itu. Sebetulnya, diapun ingin sekali menguji kepandaian pendekar itu sampai tuntas dan dia harapkan sekali waktu akan mampu membuat pendekar itu menyerah di bawah todongan pedangnya yang ampuh.
“Mari kita pergi!” Hanya demikian dia mendengus untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, memberi isyarat kepada Po-yang Sam-liong. Dua orang tawanan itu digiring oleh Po-yang Sam-liong, diikuti pula oleh Pek I Kongcu, dan empat orang anak buah mereka yang telah luka-luka itu menyusul di belakang sambil terpincang dan terhuyung.
Kam Cian Li menengok ke kanan kiri, ke belakang, dan ia tersenyum-senyum, nampak gembira sekali. Melihat ini, tentu saja Pek-liong menjadi heran dan khawatir. Jangan-jangan saking takutnya dan gelisahnya, gadis manis ini menjadi sinting, pikirnya.
“Cian Li. kenapa engkau senyum-senyum begini gembira?” Tak dapat dia menahan keinginan tahunya dan dia bertanya dengan suara berbisik.
Dengan wajah berseri dan mulut tersenyum sehingga nampak semakin manis, gadis itu menoleh kepada Pek-liong yang berjalan di samping kirinya. “Hay-ko, apakah engkau tidak merasa seperti yang kurasakan?”
Berbalik ditanya, Pek-liong mengerutkan alisnya dan menjawab. “Yang kurasakan sama sekali bukan kegembiraan. Kita menjadi tawanan, tidak ada alasannya untuk bergembira. Apa sih yang membuatmu begini gembira?”
“Koko, kita berjalan bersanding seperti ini, di belakang kita ada para pengikut kita. Aku merasa seperti menjadi sepasang pengantin! Bukankah menggembirakan sekali?”
Sejenak Pek-liong terbelalak, akan tetapi dia lalu tersenyum, diam-diam dia memuji ketabahan hati gadis manis ini dan ada keharuan karena dia dapat melihat bahwa gadis manis ini agaknya telah jatuh cinta kepadanya. Hanya seorang gadis yang jatuh cinta saja yang menjadi begitu gembira membayangkan dirinya menjadi pengantin dengan pria yang dicintanya, tentu saja!
“Aih, engkau ini ada-ada saja, Li-moi!” katanya sambil tertawa, akan tetapi dia berbisik lirih sekali, menggunakan khi-kang sehingga suaranya hanya dapat didengar oleh telinga gadis itu sendiri. “Engkau harus pandai mengulur waktu dan bersikap sabar sampai munculnya kakakmu dan Liong-li...”
“Apakah... ia akan benar-benar muncul?” balas Cian Li berbisik lirih.
“Sudah pasti, jangan engkau gelisah.”
“Siapa gelisah? Aku gembira malah, koko!”
Pek-liong mengatupkan mulutnya agar tidak bicara lagi. Gadis ini amat pemberani, dan saking beraninya, jangan-jangan malah akan merusak siasat dan rencananya. Dia membiarkan diri ditawan bukan semata untuk menyelamatkan Cian Li, melainkan terutama sekali agar dia dapat mengetahui dengan jelas keadaan gerombolan yang dipimpin seorang di antara Kiu Lo-mo itu.
Dia tahu bahwa dia telah melakukan permainan berbahaya, mempertaruhkan nyawanya. Andaikata dia tidak mengatur rencana siasat, tidak merasa yakin bahwa tentu Hek-liong-li akan muncul, tentu dia tidak akan melakukan permainan gila ini. Menyerah kepada seorang datuk sesat seperti Siauw-bin Ciu-kwi yang baru dikenal namanya saja, seorang di antara datuk-datuk besar Kiu Lo-mo, sungguh merupakan suatu kenekatan dan nyawanya berada dalam ancaman bahaya.
Setelah mereka tiba di kaki Bukit Merak, tidak jauh dari Telaga Po-yang, Pek I Kongcu Ciong Koan menyuruh Po-yang Sam-liong untuk mengikatkan kain hitam di depan mata kedua orang tawanan itu. Selanjutnya, Poa Teng, orang ketiga dari Po-yang Sam-liong memegang rantai diantara dua orang tawanan dan dengan demikian menarik dan menuntun mereka yang tidak dapat melihat itu untuk mendaki Bukit Merak.
Biarpun kedua matanya ditutupi kain hitam dan dia sama sekali tidak dapat melihat, namun diam-diam Pek-liong memperhatikan jalan yang dilaluinya, tanjakan-tanjakannya, macam tanah yang diinjaknya, baru tumbuh-tumbuhan di kanan kirinya dan mencatat semua itu dalam ingatannya. Dia tahu bahwa mereka melalui tebing jurang sebanyak lima kali, memasuki hutan cemara dua kali, hutan pohon-pohon liar dua kali dan menyeberang sungai kecil dua kali. Juga dia dapat mengetahui dari pendengarannya yang tajam bahwa ada lima lapis penjagaan sebelum mereka akhirnya tiba di depan rumah besar yang menjadi tempat tinggal Siauw-bin Ciu-kwi.
Penutup mata hitam itu baru dibuka setelah mereka memasuki sebuah ruangan. Biarpun mereka berada di dalam ruangan, ketika tutup mata itu dibuka, Pek-liong dan Cian Li mengejap-ngejapkan kedua mata beberapa kali sebelum mampu membukanya karena ruangan itu masih terlalu terang bagi mata mereka yang untuk beberapa lamanya tadi ditutup kain hitam. Mereka merasa silau melihat cahaya matahari masuk ruangan itu melalui jendela-jendela ruangan yang dibuka lebar.
Pek-liong mengamati ruangan itu. Mereka berada di sebuah ruangan yang luas sekali, dan tidak banyak perabot terdapat di situ. Tentu sebuah lian-bu-thia (ruangan bermain silat), pikir Pek-liong, melihat adanya sebuah rak besar terisi bermacam senjata di sudut ruangan. Dia dan Cian Li berdiri berdekatan, dan mereka menghadapi beberapa orang yang duduk di atas kursi-kursi berjajar, dengan meja di depan mereka. Banyak cawan dan beberapa guci arak berada di atas meja.
Sepasang mata Pek-liong mengamati orang-orang itu satu demi satu. Mula-mula pandang matanya bertemu dengan pandang mata kekanak-kanakan dari seorang laki-laki berusia kurang lebih limapuluh tahun. Tubuhnya gendut sekali, dan bentuknya pendek sehingga nampaknya bulat seperti bola. Kepalanya yang botak gundul itu juga bulat seperti bola. Mukanya lucu, seperti muka kanak-kanak yang lugu dan murni, selalu tersenyum.
Kalau tidak melihat sinar matanya yang kadang-kadang mencorong kejam itu, tentu orang akan merasa heran melihat orang yang kelihatan begitu “baik budi” berada di sarang gerombolan penjahat itu. Pek-liong tidak pernah mengenal orang ini dan sama sekali tidak tahu bahwa justeru orang berwajah kekanak-kanakan itulah dia Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo.
Orang keduanya yang duduk di sebelah kanan si gendut itu adalah seorang wanita cantik manis yang tubuhnya menggiurkan, matanya genit penuh daya pikat, mulutnya dengan bibir yang merah basah dan rongga mulut merah, deretan gigi putih dan ujung lidah merah jambu yang kadang-kadang menjilat bibir itu penuh gairah. Pakaiannya juga pesolek indah, tangan kiri mengebut-ngebutkan sebuah kipas bulu yang indah.
Wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini memandang kepada Pek-liong dengan sinar mata penuh gairah dan bibir tersenyum manis. Ialah Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dan Pek-liong diam-diam dapat menduga siapa adanya wanita cantik ini. Ia pernah mendengar tentang iblis betina ini, apa lagi melihat kipas bola itu, iapun menduga bahwa mungkin wanita yang belum pernah dijumpainya inilah yang berjuluk Tok-sim Nio-cu itu.
Ketika dia bertemu pandang dengan Lim-kwi Sai-kong, diapun segera dapat menduga siapa adanya kakek berusia enam puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi seperti muka singa, penuh cambang bauk, matanya lebar, pakaian serba hitam ini. Maka diam-diam dia mencatat dalam hatinya.
Dia sudah mendengar akan kelihaian Tok-sim Nio-cu, juga Lim-kwi Sai-kong dan di samping kedua orang ini, di situ masih ada Pek I Kongcu yang tentu amat lihai pula, yang dibantu oleh Po-yang Sam-liong yang biarpun tidaklah selihai tokoh-tokoh sesat ini namun harus diperhitungkan pula karena tiga orang raksasa itu amat kejam dan bertenaga besar.
Dan di samping Pek I Kongcu Ciong Koan, masih ada pula seorang pria tinggi kurus yang kulit mukanya hitam, mukanya yang buruk bengis itu dingin seperti topeng dan usianya empatpuluh lima tahun. Dia tidak tahu siapa orang ini, namun dapat menduga tentu lihai pula mengingat dia duduk pula di situ, sejajar dengan yang lain.
Biarpun belum pernah mengenalnya, dengan mudah Pek-liong-eng dapat menduga siapa adanya Siauw-bin Ciu-kwi. Siapa lagi kalau bukan si gendut bundar itu, pikirnya. Dia sudah pernah mendengar tentang keadaan diri datuk besar ini, namun setelah kini berhadapan, dia diam-diam merasa terkejut dan heran. Tak disangkanya bahwa seorang di antara Kiu Lo-mo belum tua benar dan wajahnya seperti seorang kanak-kanak yang berhati wajar dan bersih.
Namun dia sudah mendengar bahwa seperti para datuk lain yang disebut Kiu Lo-mo, si gendut ini amat lihai, memiliki kesaktian dan merupakan lawan yang amat tangguh. Apa lagi di sampingnya terdapat demikian banyaknya pembantu yang lihai. Yang nampak saja di situ empat orang tokoh sesat, belum lagi Po-yang Sam-liong dan tentu saja banyak anak buah mereka. Sungguh merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi apakah yang sedang mereka cari? Rahasia Patung Emas?
Tiba-tiba terdengar suara ketawa terpingkal-pingkal. Yang tertawa adalah si gendut Siauw-bin Ciu-kwi. Dia tertawa seperti melihat sesuatu yang lucu. Para pembantunya hanya ikut tersenyum karena tidak tahu apa yang ditertawakan oleh Beng-cu mereka. Si gendut mengakhiri ketawanya, lalu menuding ke arah Pek-liong-eng dan tertawa lagi walaupun tidak separah tadi.
“Ha-ha-ha-ha, heh-heh, inikah yang disebut Pek-liong-eng? Ha-ha-ha, seorang pemuda yang masih hijau! Lihat, masih ada ingusnya di bawah hidungnya! Dan bocah ini yang membasmi Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya? Ha-ha-heh-heh-heh, sungguh sukar dipercaya. Tentu Hek-sim Lo-mo kini sudah menjadi terlalu tua bangka dan sudah pikun dan lemah sehingga mudah saja dikalahkan seorang bocah ingusan. Heh, Pek liong-eng Tan Cin Hay! Benarkah engkau memiliki kemampuan untuk mengalahkan mendiang Hek-sim Lo-mo?” Sepasang mata dari wajah kekanak-kanakan itu kini mencorong bengis ketika memandang kepada Pek-liong.
Pek-liong maklum bahwa namanya telah menggemparkan dunia kaum sesat dan agaknya mereka itupun menjadi gentar pula kepadanya. Maka, dia lalu mengambil sikap angkuh, membusungkan dadanya dan dia memandang kepada si gendut itu dengan pandang mata tajam penuh tantangan.
“Engkau agaknya Siauw-bin Ciu-kwi yang disebut Beng-cu. Ciu-kwi, tidak perlu banyak bertanya, kalau engkau ingin mencoba kepandaianku, silakan, aku sudah siap sedia!”
Mendengar ucapan yang nadanya menantang ini, semua orang terbelalak, dan para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi memandang marah. Akan tetapi si gendut itu sendiri tertawa geli walaupun sinar matanya semakin mencorong berbahaya. Cian Li kagum bukan main kepada Pek-liong. Ia tentu saja merasa gelisah dan takut, akan tetapi karena di dekatnya ada Pek-liong, semua rasa takut lenyap dan dara ini bahkan merasa berbahagia sekali bahwa ia dapat menghadapi pengalaman berbahaya itu berdua dengan Pek-liong.
“Hay-koko, engkau sungguh hebat!” katanya tanpa mengecilkan suaranya, tidak perduli bahwa semua orang mendengarnya. “Aku berani bertaruh seekor babi muda bahwa engkau yang akan keluar sebagai pemenang!”
Melihat sikap yang luar biasa tabahnya dari gadis itu, Pek-liong juga kagum. Gadis ini tidak berapa hebat kepandaiannya, namun memiliki keberanian yang mengagumkan. Padahal, ketika pertama kali bertemu dia melihat gadis ini tidaklah begitu tabah.
“Li-moi, apakah engkau mempunyai babi?” tanyanya, berkelakar, untuk mempertahankan wibawanya sebagai seorang tawanan yang lain, yang sama sekali tidak takut bahkan menantang pimpinan gerombolan!
“Tentu saja aku mempunyai peliharaan seekor babi muda, dan belasan ekor ayam dan... aihh, celaka, siapa yang akan memberi makan mereka? Babiku dan ayam-ayamku tentu mati kelaparan! Uh, mereka ini sungguh jahat, menyebabkan babi dan semua ayamku kelaparan...!”
Mereka tidak tahu bahwa baru saja seorang tinggi besar memondong sesosok mayat melarikan diri dari rumah itu. Dia adalah penjahat yang tadi dirobohkan Pek-liong. Penjahat ini menemukan mayat si hidung besar dan melarikan mayat itu tanpa diketahui orang.
Pek-liong mengajak Cian Li pergi ke Telaga Po-yang. Dia bertekad untuk mencari keterangan tentang Po-yang Sam-liong karena dia merasa yakin bahwa lima orang penjahat itu adalah anak buah Po-yang Sam-liong, maka tentu tiga orang tokoh sesat itu yang menjadi biang-keladi penyerangan terhadap kakak beradik Kam, juga mereka pula yang mungkin sekali membunuh dua oraug pendeta, tentu saja dengan kawan-kawan mereka yang tergabung sebagai para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi! Dari tiga orang itulah dia mungkin akan dapat membuat kontak dengan beng-cu yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi itu.
Akan tetapi, setiap orang nelayan atau pemilik perahu pelesir di telaga itu juga sama halnya dengan kakak beradik Kam. Tak seorangpun di antara mereka yang tidak mengenal nama Po-yang Sam-liong, akan tetapi tak seorangpun mengetahui di mana mereka tinggal. Mungkin ada yang tahu, akan tetapi siapakah berani membuka rahasia tiga orang tokoh sesat yang amat mereka takuti itu? Penyelidikan yang dilakukan Pek-liong sia-sia belaka.
“Mereka tidak pernah muncul sendiri di sini,” kata seorang nelayan yang agak berani. “Mereka menagih pajak melalui kaki tangan mereka yang banyak sekali. Kami tidak tahu dan tidak pernah berani menanyakan di mana tempat tinggal mereka.”
Ah, tidak ada lain jalan kecuali menanti munculnya seorang kaki tangan mereka, menangkap orang itu dan memaksanya mengaku di mana dia dapat bertemu dengan mereka, pikir Pek-liong. Karena hari mulai gelap, dia lalu mengajak Cian Li pergi ke kota Nan-cang dan mereka menyewa dua buah kamar di sebuah rumah penginapan kecil agar tidak menyolok dan tidak menarik perhatian.
Bagaimanapun juga, Pek-liong masih mengharapkan bahwa Cian Li tetap merupakan “umpan” yang akan menarik datangnya kakap yang dia kehendaki. Dengan tewasnya si hidung besar oleh gadis itu, tidak mungkin mereka melupakan gadis itu demikian saja dan sekali waktu, pasti mereka yang akan datang mencari Cian Li. Syukur kalau Po-yang Sam-liong yang datang sendiri agar dia tidak usah bersusah payah mencari mereka. Setelah mandi, makan di sebuah restoran terdekat, mereka memasuki kamar masing-masing untuk beristirahat.
“Engkau tidurlah, Li-moi, dan jangan khawatir, aku selalu menjagamu. Kalau engkau mendengar sesuatu yang tidak wajar, berdiam sajalah di kamar, jangan membuka jendela atau daun pintu,” demikian pesan Pek-liong kepada gadis itu yang kelihatan lesu dan sedih ketika memasuki kamarnya.
Bagaimana gadis itu tidak berduka? Kakaknya pergi dan ia tidak dapat kembali ke rumahnya sendiri, selalu terancam keselamatannya oleh gerombolan penjahat, dan pemuda yang diandalkannya itu, yang melindunginya berpisah kamar!
Pek-liong-eng Tan Cin Hay tidak merebahkan badannya, melainkan duduk bersila di atas pembaringan tanpa melepas sepatunya. Dia tahu bahwa dia harus siap sedia menjaga keselamatan gadis di kamar sebelah dan dia tidak boleh lengah. Dengan duduk bersila, dia dapat melepaskan lelah, akan tetapi juga sekaligus dapat berjaga-jaga karena biarpun dia beristirahat, namun pendengarannya menjadi peka dan kalau ada suara yang tidak wajar sedikit saja pasti akan terdengar olehnya dan membuat dia sadar.
Menjelang tengah malam, dia membuka kedua matanya. Telinganya mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Cepat dia turun dari pembaringan dan mendekati jendela. Daun jendela itu hanya dia tutup begitu saja, tidak dipalang agar memudahkan dia keluar kalau perlu. Kini dia mendorong sedikit kedua daun pintu sehingga terdapat kerenggangan di antara dua buah daun pintu itu. Kamarnya gelap, maka dia dapat mengintai ke luar di mana terdapat lampu gantung.
Pek-liong menggigit giginya dengan gemas ketika dia mengenal empat orang laki-laki tinggi besar berada di luar kamar Cian Li! Mereka adalah empat orang penjahat yang tadi telah menyerbu rumah gadis itu. Betapa beraninya mereka itu! Betapa keras kepala dan dia harus memberi hajaran yang keras sekarang, menangkap mereka atau seorang di antara mereka untuk dipaksa mengaku di mana dia dapat bertemu dengan Po-yang Sam-liong.
Jelas bahwa mereka itu datang untuk mengganggu Cian Li. Kasihan gadis itu. Tidak perlu dibikin kaget lagi, Biarkan ia tidur nyenyak, demikian pikir Pek-liong dan sekali dorong, daun jendela terbuka dan di lain saat dia sudah meloncat keluar dari dalam kamarnya.
“Jahanam, kalian agaknya sudah bosan hidup!” bentaknya lirih agar jangan membuat gaduh.
Empat orang itu menengok dan melihat pemuda berpakaian putih itu, mereka lalu melompat dan melarikan diri! Pek-liong tersenyum dan melakukan pengejaran. Memang dia ingin menggertak mereka agar pergi dari situ dan dia akan menghajar mereka di tempat sunyi, bukan di rumah penginapan itu yang akan mengejutkan semua orang, termasuk Cian Li. Dia tidak ingin menjadi pusat perhatian orang.
Seperti yang diharapkannya, empat orang tinggi besar itu melarikan diri keluar kota. Untung pada malam itu udara bersih, bulan bersinar terang sehingga dia dapat terus membayangi empat orang itu. Dia sudah cukup berhati-hati. Karena maklum bahwa dia bermain dengan api yang besar, dan setiap saat ada bahaya mengancam, maka sejak meninggalkan rumah Cian Li, dia selalu meninggalkan tanda rahasia sebagai jejaknya. Siapa tahu, Hek-liong-li mungkin akan membutuhkan tanda-tanda itu!
Empat orang itu membelok memasuki pekarangan sebuah kuil tua yang tidak dipergunakan lagi. Kuil itu besar dan kuno, namun kotor karena memang sudah tidak terawat dan tidak dipergunakan, merupakan bangunan kuno peninggalan sejarah. Ketika Pek-liong tiba di pekarangan kuil kuno itu, empat orang yang dibayanginya telah memasuki kuil. Selagi dia mengamati ke arah kuil dengan hati-hati, tiba-tiba dari kanan kiri bermunculan tujuh orang dan mereka itu bukan lain adalah empat orang penjahat tadi, kini ditambah dengan tiga orang yang tubuhnya lebih besar dari pada mereka berempat.
Tiga orang ini dapat disebut sebagai raksasa-raksasa yang menyeramkan! Mereka bertiga berdiri di depan pintu kuil dan seorang di antara mereka, yang mukanya penuh cambang bauk dan berewok, berseru kepada empat orang penjahat untuk menyerang. Empat orang itu dengan penuh semangat sudah menggerakkan senjata di tangan mereka, ada yang memegang pedang, ada yang memegang golok dan ada pula yang membawa ruyung besi. Dari empat jurusan, mereka membacok dan menusuk ke arah Pek-liong. Namun, Pek-liong-eng sudah waspada. Gerakan mereka itu tidak ada artinya baginya, mereka hanya mengandalkan tenaga otot saja.
Dengan amat mudahnya, dia mengelak dari sambaran senjata itu, kemudian dengan gerakan amat cepat, dia sudah berkelebatan ke empat penjuru dan empat orang pengeroyok itu terpelanting roboh terkena tamparan dan tendangannya. Sekali ini, mereka roboh pingsan, ada yang menderita tulang patah dan luka dalam yang cukup membuat mereka selama beberapa hari tidak akan dapat berkelahi lagi!
Melihat ini, tiga orang raksasa itu menjadi marah. “Bagus, kiranya engkau memiliki kepandaian lumayan juga, orang muda! Pantas saja engkau berani menentang kami!” kata si berewok. Mereka kini maju menghadapi Pek-liong dan pemuda ini memandang kepada mereka penuh perhatian.
Sinar bulan cukup terang untuk dapat mengamati wajah mereka. Seorang di antara mereka yang brewok itu memegang sebatang golok gergaji yang besar dan mengerikan. Orang kedua berkepala botak dan memegang sebatang pedang pendek. Adapun orang ketiga yang menyeringai dan memperlihatkan mulut ompong, memegang sebatang rantai baja. Ketiganya tinggi besar dan usia mereka kurang lebih empat puluh tahun.
“Hemm, apakah kalian ini yang berjuluk Po-yang Sam-liong?” tanya Pek-liong dengan sikap tenang.
“Benar sekali. Kamilah Po-yang Sam-liong. Namaku Poa Seng, ini adikku Poa Leng dan itu adikku Poa Teng. Engkau siapa, orang muda dan mengapa engkau membela kakak beradik penyelam itu dan berani menentang kami di wilayah kami sendiri?”
“Namaku Tan Cin Hay. Tentu saja aku menentang setiap perbuatan busuk dan jahat. Kakak beradik Kam itu tidak berdosa, mengapa kalian hendak membunuh mereka? Dan mengapa pula Tiong Tosu dan Yong Hwesio itu dibunuh? Bukankah kalian juga ikut campur dalam pembunuhan itu? Bukankah kalian disuruh oleh majikan kalian, yaitu Beng-cu yang berjuluk Siauw-bin Ciu-kwi? Hayo katakan terus terang, atau aku akan memaksa kalian mengaku!”
Tiga orang raksasa itu terbelalak, saling pandang lalu si berewok tertawa bergelak, diikuti oleh dua orang adiknya. “Ah, kiranya engkau sudah tahu terlampau banyak, karena itu engkau harus mampus! Engkau hendak memaksa kami mengaku? Ha-ha-ha, alangkah lucunya! Seekor cacing hendak menggertak tiga ekor naga!”
Tiga orang raksasa itu kini mengepung dalam bentuk segi tiga, senjata mereka siap di tangan. Pek-liong-eng maklum bahwa kini para pengepungnya tidak boleh disamakan dengan empat orang tadi. Mereka ini telah membuat nama besar di Po-yang dan tentu mereka telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi.
Dari gerakan mereka saja sudah dapat diduga bahwa mereka setidaknya memiliki tenaga yang amat kuat, karena itu, tiga macam senjata mereka itu cukup berbahaya. Sekarang belum waktunya untuk membunuh mereka, pikirnya. Masih banyak yang harus dikorek dari mereka untuk mengetahui rahasia itu. Rahasia beng-cu mereka dan rahasia peta Patung Emas.
Dia menduga bahwa tentu ada hubungannya dengan semua pembunuhan yang diceritakan oleh Yong Hwesio mengenai perebutan peta Patung Emas dengan beng-cu mereka itu. Maka, dia hendak menggunakan siasat. Kalau mereka maju bertiga, baginya terlalu berbahaya kalau tidak merobohkan mereka dengan keras, kalau perlu membunuh mereka. Sukar menaklukkan tiga orang kuat ini kalau hanya menundukkan saja.
“Hemm, kiranya yang bernama besar Po-yang Sam-liong bukanlah naga-naga sejati, melainkan ular-ular belang yang licik dan curang, beraninya hanya main keroyok seperti pencoleng-pencoleng pasar saja!” katanya dengan nada mengejek.
Mendengar ini, tiga orang tokoh sesat itu menjadi marah sekali. Marah dan malu. Muka mereka berubah merah dan si berewok menghardik. “Siapa hendak mengeroyok? Sam-te, kau tangkap bocah sombong lancang mulut ini!” Si berewok memerintah adiknya, yaitu Poa Teng yang bermulut ompong dan bersenjata rantai baja.
Si ompong ini segera melangkah maju menghadapi Pek-liong. Rantai baja itu diputar-putar dan mengeluarkan suara angin bersiutan. Makin lama, putaran rantai itu semakin kuat dan cepat, dan rantai itupun diulur semakin panjang. “Bocah sombong, mampuslah!” tiba-tiba si ompong membentak dan ujung rantai bajanya menyambar ke arah muka Pek-liong.
Pemuda ini cepat mengelak dengan langkah ke belakang. Akan tetapi, rantai itu membalik dan kini menyambar ke arah pinggangnya. Pek-liong kembali mengelak dengan loncatan ke samping, ujung rantai yang lain kini menyambar, dari bawah ke atas mengarah perut! Memang hebat sekali gerakan Poa Teng itu. Rantai bajanya dapat bergerak cepat, menyerang secara bertubi dari arah yang berlawanan dan tidak terduga-duga. Bukan hanya satu ujung rantai saja yang bergerak, melainkan juga ujung yang lain.
Namun, Pek-liong cukup waspada. Dengan langkah-langkah yang amat cepat, loncatan¬loncatan ringan, dia selalu dapat mengelak. Sampai belasan jurus dia terus mengelak karena rantai itu kini menyerang bergantian dengan kedua ujungnya. Tiba-tiba, ketika Pek-liong melompat agak jauh ke belakang, rantai itu menyerang dan terulur panjang! Saat inilah yang dinanti-nanti oleh Pek-liong.
Dengan terulur panjang, berarti rantai itu hanya dapat dipergunakan satu ujungnya saja, sedangkan ujung yang lain menjadi gagang atau tempat berpegang pemiliknya. Begitu melihat ujung rantai panjang itu menyambar, Pek-liong kini tidak mengelak lagi melainkan menangkis dengan lengannya!
“Plak!” Rantai itu melibat dan memang ini dikehendaki oleh Pek-liong. Tangannya cepat ditekuk dan dia sudah berhasil menangkap ujung rantai, lalu dia mengerahkan tenaga menarik! Betapapun kuatnya Poa Teng, dia tidak mampu bertahan dan tubuhnya ikut tertarik ke depan! Namun, dia mengerahkan tenaga dan bertahan.
Terjadilah tarik menarik dan tubuh Poa Teng yang berat itu bergantung ke belakang agar tarikannya lebih kuat lagi. Tiba-tiba Pek-liong melepaskan ujung rantai yang dipegangnya, bahkan melontarkannya ke arah pemiliknya. Tak dapat ditahan lagi, tubuh Poa Teng terjengkang keras dan begitu dia terbanting, ujung rantai yang dilontarkan Pek-liong datang menimpa dadanya.
“Bukkk!!” Poa Teng mengaduh dan sejenak dia tidak mampu bangkit karena dadanya terasa nyeri bukan main dan berdarah.
“Keparat, berani engkau menghina adikku!” bentak Poa Leng.
Si botak ini sudah menyerang dengan tombak pendeknya, tombak itu menusuk ke arah pelipis Pek-liong dan ketika pemuda itu mengelak dengan menarik kepala ke belakang, tombak itu sudah menyambar lagi ke arah tenggorokannya. Pek-liong terkejut, Si botak ini lihai juga, pikirnya sambil merendahkan tubuhnya ke belakang lagi, kakinya bergeser dan sekali melangkah, dia telah berada di sebelah kanan lawan.
Namun, tombak itu sudah menyambar lagi dan kini diikuti oleh gerakan tangan kiri yang mencengkeram ke arah lambung! Pek-liong meloncat ke kiri dan tiba-tiba ada angin keras menyambar. Kiranya golok gergaji di tangan Poa Seng si berewok telah menyambar. Dia cepat mengelak dan rantai baja Poa Teng kini juga ikut mengeroyoknya. Dia dikeroyok tiga!
Dengan kelincahan tubuhnya, Pek-liong berloncatan ke sana-sini dan mencari kesempatan untuk merobohkan lawannya satu demi satu. Kalau dia menghendaki, tentu saja dia dapat mempergunakan pukulan yang ampuh untuk membunuh mereka, atau kalau dia mengeluarkan pedang pusaka Naga Putih yang disembunyikan di balik bajunya, dengan sekali serang saja dia akan mampu membuat patah semua senjata di tangan mereka. Akan tetapi dia tidak ingin membunuh karena dia masih membutuhkan mereka, dan diapun merasa mampu menandingi mereka tanpa senjata.
Mendadak terdengar bentakan nyaring, “Tahan semua senjata! Sam-liong, mundurlah! Pek-liong-eng, menyerahlah! Lihat siapa yang berada di tanganku!”
Tiga orang raksasa itu menahan senjata lalu mundur dengan patuh. Pek-liong menoleh dan dia terkejut melihat Kam Cian Li sudah ditelikung kedua tangannya ke belakang oleh seorang pemuda tampan, dan pemuda itu menempelkan pedangnya di leher gadis itu! Maklumlah dia bahwa dia telah tertipu. Dia hendak memancing, malah terpancing!
Kiranya empat orang tinggi besar tadi sengaja datang ke rumah penginapan untuk memancingnya keluar dari rumah penginapan, meninggalkan Kam Cian Li seorang diri dan pemuda tampan itu telah menawannya! Diapun menjadi lemas, merasa tertipu dan tidak berdaya! Akan tetapi, dia teringat kepada Hek-liong-li dan tiba-tiba saja Pek-liong membuat lompatan jauh dan diapun menghilang di samping kuil.
Para musuhnya menjadi terkejut dan sejenak tidak tahu harus berbuat apa. Akan tetapi tak lama kemudian, pemuda berpakaian putih tu telah muncul pula di atas wuwungan genteng kuil tua itu, berdiri tegak sambil bertolak pinggang, suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia berseru,
“Kalian orang-orang rendah dan pengecut! Lepaskan gadis tak berdosa itu dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!”
Po-yang Sam-liong diam saja, juga empat orang pembantunya yang tadi dipukul roboh oleh Pek-liong dan kini sudah bangkit kembali, hanya berdiri dan tidak banyak cakap. Pemuda yang menawan Cian Li itulah yang menjawab setelah tertawa mengejek.
“Pek-liong-eng Tan Cin Hay, tidak perlu bersikap gagah-gagahan. Turunlah dan mari kita bicara. Kalau engkau menyerah dengan damai, baik sekali. Kalau tidak, apakah engkau ingin melihat aku menyembelih gadis ini di depan matamu?”
Pek-liong mengukur dengan matanya. Kalau dia menggunakan jurus dari Pek-liong Sin-kun dan menyambar dari bawah menyerang pemuda yang menawan Cian Li itu, terlalu berbahaya bagi Cian Li. Dia belum tahu sampai di mana kelihaian pemuda itu, dan dia tidak boleh mempertaruhkan keselamatan nyawa Cian Li.
“Hay-koko, jangan mau menyerah! Biar mereka membunuhku, jangan kau menyerah!” Gadis itu berteriak.
Dan mendengar teriakan ini, si pemuda itu lalu menggunakan tangan kirinya menotok. Sekali totok, tubuh gadis itu menjadi lemas dan ia tidak dapat meronta atau mengeluarkan suara lagi. Gerakan totokan ini saja sudah cukup bagi Pek-liong untuk mengetahui bahwa pemuda itu lihai bukan main! Akan celakalah keselamatan nyawa Cian Li kalau dia mencoba-coba untuk menyerang. Diapun menarik napas panjang.
“Hemm, sobat. Engkau lihai akan tetapi licik dan curang bukan main. Baiklah, aku akan turun dan bicara denganmu!” Diapun melayang turun ke depan pemuda itu dan keduanya kini saling berhadapan dan saling pandang dengan penuh perhatian.
Pek-liong tidak mengenal pemuda itu. Seorang pemuda yang tidak begitu muda lagi, sedikitnya tentu ada tigapuluh lima tahun usianya. Wajahnya tampan, matanya tajam dan senyumnya genit. Pakaiannya, sungguh aneh sekali, juga serba putih seperti pakaiannya sendiri. Hanya bedanya, kalau pakaiannya yang putih itu terbuat dari kain yang kuat dan kasar, berpotongan sederhana saja, sebaliknya pakaian putih pemuda itu terbuat dari sutera halus dan disulam.
“Sobat, engkau sudah mengenalku, akan tetapi aku belum pernah bertemu denganmu dan belum mengetahui siapakah engkau ini, dan mengapa pula engkau mempergunakan akal busuk ini untuk memaksa aku menyerah?” tanya Pek-liong dengan senyum mengejek.
Orang itu mengamatinya dan ada sinar kagum membayang di matanya. “Sungguh mengagumkan sekali. Kukira yang berjuluk Pek-liong-eng adalah seorang yang sudah matang dan sudah cukup umur. Kiranya seorang pemuda yang belum dewasa benar! Pek-liong-eng, aku bernama Ciong Koan dan orang menyebut aku Pek I Kongcu (Tuan Muda Pakaian Putih).”
“Ah, kiranya murid Kun-lun-pai yang murtad itu?” Pek-liong berseru karena dia sudah pernah mendengar nama ini, “Seorang kongcu, yang curang dan tidak pantas disebut kongcu, juga wataknya amat hitam walaupun pakaiannya dari sutera putih!”
Sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan mata itu kini memancarkan kemarahan. “Cukup, Pek-liong-eng! Engkau menyerah dengan damai atau harus ku bunuh dulu gadis ini?”
Tahu bahwa orang itu marah dan menjadi berbahaya sekali bagi keselamatan Cian Li, Pek-liong lalu menarik napas panjang kembali. “Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi, apa artinya semua ini? Aku berkenalan dengan Tiong Tosu dan Yong Hwesio, dan kalian membunuh mereka tanpa sebab! Kemudian, aku berkenalan dengan gadis penyelam itu dan kalian juga berusaha membunuhnya. Ada apakah di balik semua permainan kotor ini?” Pertanyaan ini diajukan dengan suara penasaran seolah-olah dia memang merasa penasaran sekali.
Kini Pek I Kongcu Ciong Koan tersenyum mengejek. “Tidak perlu banyak cakap. Engkau menyerah saja, membiarkan kedua tanganmu dibelenggu dan engkau bersama gadis ini akan kami hadapkan kepada Beng-cu! Di sana baru engkau boleh bicara. Tugas kami hanya menawan kalian berdua!”
Cian Li memandang pemuda yang dikaguminya itu. Wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak seperti mata kelinci yang dicengkeram harimau. Mata itu indah sekali, Pek-liong masih sempat kagum. Dan gadis itu menggeleng-geleng kepalanya kepada Pek-liong, seolah-olah hendak memintanya agar dia tidak mau menyerah. Akan tetapi, kalau dia tidak menyerah, belum tentu dia akan mampu menyelamatkan Cian Li, pikir Pek-liong. Pula, kiranya hanya dengan jalan menyerahkan diri saja dia akan dapat menyelidiki dengan baik untuk membongkar rahasia mereka.
“Baiklah, aku menyerah... tapi...” Dia nampak meragu karena tiba-tiba dia teringat bahwa Pedang Naga Putih berada di balik jubahnya. Kalau dia menyerahkan diri, sudah pasti sekali orang-orang sesat itu akan merampasnya dan hal ini amatlah berbahaya. “Nanti dulu, aku khawatir, jangan-jangan kalian ini bertindak curang. Biar aku memberitahu dulu kawanku sehingga kalau kalian curang dan membunuh aku dan nona Kam Cian Li, kawanku itu yang akan membalas dendam dan menumpas kalian!”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja dia meloncat jauh dan dalam beberapa detik saja bayangannya lenyap dari situ. Tentu saja Pek I Kongcu Ciong Koan menjadi terkejut, akan tetapi diapun menjadi ragu-ragu karena tidak dapat menduga apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Pek-liong-eng yang dia tahu amat lihai itu. Untuk melakukan pengejaran dia tidak berani. Maka dia hanya dapat mengerutkan alisnya dan memandang kepada Kam Cian Li yang masih bersikap tabah dan tenang itu.
“Nona, kebohongan dan akal busuk apakah yang sedang dilakukan oleh Pek-liong-eng itu?”
Gadis itu tersenyum mengejek. “Pek-liong-eng tidak pernah berbohong dan tidak pernah menggunakan akal busuk! Kalau dia mengatakan mempunyai kawan baik, hal itu memang benar. Kawan-kawannya adalah bangsa malaikat dan dewa yang tentu kelak akan menumpas kalian kalau kalian bertindak curang!”
Tentu saja Pek I Kongcu bukan seorang bodoh dan tahyul yang mudah saja digertak dan dibohongi. Akan tetapi sebelum dia bicara lagi, tiba-tiba terdengar suara Pek-liong-eng. “Ucapan nona Kam Cian Li memang benar!” Dan muncullah Pek-liong-eng yang tersenyum-senyum.
Pek I Kongcu memandang penuh perhatian, akan tetapi tidak melihat perubahan apapun pada diri pendekar itu yang dapat dicurigai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa sebatang pedang pusaka ampuh yang tadinya tersembunyi di balik jubah, kini telah tidak ada lagi.
“Nah, aku menyerah dan cepat bawa kami menghadap pemimpin kalian!” kata Pek-liong-eng Tan Cin Hay sambil menjulurkan kedua lengannya ke depan.
Pek I Kongcu memberi isyarat kepada Po-yang Sam-liong yang menjadi pembantunya, “Belenggu kedua lengannya, satukan dengan gadis ini!” katanya.
Karena memang sudah diatur terlebih dahulu, mereka sudah mempersiapkan pula sebuah rantai panjang yang kuat dan di ujung rantai itu terdapat belenggu-belenggu yang kuat pula. Tanpa melawan, Tan Cin Hay membiarkan kedua pergelangannya yang disatukan itu dibelenggu, kemudian belenggu di ujung rantai yang lain dipergunakan membelenggu kedua tangan Cian Li.
Gadis itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan ia tersenyum girang ketika ia berdiri berdampingan dengan Pek-liong-eng. Rantai itu menyatukan mereka, membuat mereka tak dapat saling berpisah jauh dan selalu berdampingan, seperti sepasang pengantin! Pek-liong-eng sendiri sampai merasa heran sekali melihat gadis manis itu tersenyum-senyum demikian gembiranya!
Setelah melihat Pek-liong-eng dibelenggu, Ciong Koan sendiri lalu menggeledah dan memeriksa tubuh Pek-liong-eng untuk mencari senjata yang disembunyikan. Akan tetapi dia tidak menemukan apa-apa dan diam-diam Pek-liong-eng merasa bersyukur bahwa pada saat terakhir dia teringat kepada pedang pusakanya dan masih sempat mengelabuhi mereka dan menyimpan senjata itu di tempat persembunyian yang hanya dia sendiri mengetahuinya.
“Ha-ha, orang she Ciong. Kalau engkau mencari uang dan emas, engkau tidak akan mendapatkannya padaku!” Pek-liong berkata sambil tersenyum mengejek.
Wajah Pek I Kongcu Ciong Koan menjadi kemerahan. Ucapan itu sama dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang yang suka mencopet atau merampas barang orang! Dia dianggap sebagai seorang penjahat pasar yang kecil saja. Akan tetapi, dia tidak mampu membalas karena bagaimanapun juga “kemenangannya” sekali ini adalah kemenangan yang tidak boleh dibanggakan.
Dia memaksa Pek-liong menyerah bukan dengan mengalahkannya dalam perkelahian, melainkan memaksanya dengan menyandera gadis itu. Sebetulnya, diapun ingin sekali menguji kepandaian pendekar itu sampai tuntas dan dia harapkan sekali waktu akan mampu membuat pendekar itu menyerah di bawah todongan pedangnya yang ampuh.
“Mari kita pergi!” Hanya demikian dia mendengus untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, memberi isyarat kepada Po-yang Sam-liong. Dua orang tawanan itu digiring oleh Po-yang Sam-liong, diikuti pula oleh Pek I Kongcu, dan empat orang anak buah mereka yang telah luka-luka itu menyusul di belakang sambil terpincang dan terhuyung.
Kam Cian Li menengok ke kanan kiri, ke belakang, dan ia tersenyum-senyum, nampak gembira sekali. Melihat ini, tentu saja Pek-liong menjadi heran dan khawatir. Jangan-jangan saking takutnya dan gelisahnya, gadis manis ini menjadi sinting, pikirnya.
“Cian Li. kenapa engkau senyum-senyum begini gembira?” Tak dapat dia menahan keinginan tahunya dan dia bertanya dengan suara berbisik.
Dengan wajah berseri dan mulut tersenyum sehingga nampak semakin manis, gadis itu menoleh kepada Pek-liong yang berjalan di samping kirinya. “Hay-ko, apakah engkau tidak merasa seperti yang kurasakan?”
Berbalik ditanya, Pek-liong mengerutkan alisnya dan menjawab. “Yang kurasakan sama sekali bukan kegembiraan. Kita menjadi tawanan, tidak ada alasannya untuk bergembira. Apa sih yang membuatmu begini gembira?”
“Koko, kita berjalan bersanding seperti ini, di belakang kita ada para pengikut kita. Aku merasa seperti menjadi sepasang pengantin! Bukankah menggembirakan sekali?”
Sejenak Pek-liong terbelalak, akan tetapi dia lalu tersenyum, diam-diam dia memuji ketabahan hati gadis manis ini dan ada keharuan karena dia dapat melihat bahwa gadis manis ini agaknya telah jatuh cinta kepadanya. Hanya seorang gadis yang jatuh cinta saja yang menjadi begitu gembira membayangkan dirinya menjadi pengantin dengan pria yang dicintanya, tentu saja!
“Aih, engkau ini ada-ada saja, Li-moi!” katanya sambil tertawa, akan tetapi dia berbisik lirih sekali, menggunakan khi-kang sehingga suaranya hanya dapat didengar oleh telinga gadis itu sendiri. “Engkau harus pandai mengulur waktu dan bersikap sabar sampai munculnya kakakmu dan Liong-li...”
“Apakah... ia akan benar-benar muncul?” balas Cian Li berbisik lirih.
“Sudah pasti, jangan engkau gelisah.”
“Siapa gelisah? Aku gembira malah, koko!”
Pek-liong mengatupkan mulutnya agar tidak bicara lagi. Gadis ini amat pemberani, dan saking beraninya, jangan-jangan malah akan merusak siasat dan rencananya. Dia membiarkan diri ditawan bukan semata untuk menyelamatkan Cian Li, melainkan terutama sekali agar dia dapat mengetahui dengan jelas keadaan gerombolan yang dipimpin seorang di antara Kiu Lo-mo itu.
Dia tahu bahwa dia telah melakukan permainan berbahaya, mempertaruhkan nyawanya. Andaikata dia tidak mengatur rencana siasat, tidak merasa yakin bahwa tentu Hek-liong-li akan muncul, tentu dia tidak akan melakukan permainan gila ini. Menyerah kepada seorang datuk sesat seperti Siauw-bin Ciu-kwi yang baru dikenal namanya saja, seorang di antara datuk-datuk besar Kiu Lo-mo, sungguh merupakan suatu kenekatan dan nyawanya berada dalam ancaman bahaya.
Setelah mereka tiba di kaki Bukit Merak, tidak jauh dari Telaga Po-yang, Pek I Kongcu Ciong Koan menyuruh Po-yang Sam-liong untuk mengikatkan kain hitam di depan mata kedua orang tawanan itu. Selanjutnya, Poa Teng, orang ketiga dari Po-yang Sam-liong memegang rantai diantara dua orang tawanan dan dengan demikian menarik dan menuntun mereka yang tidak dapat melihat itu untuk mendaki Bukit Merak.
Biarpun kedua matanya ditutupi kain hitam dan dia sama sekali tidak dapat melihat, namun diam-diam Pek-liong memperhatikan jalan yang dilaluinya, tanjakan-tanjakannya, macam tanah yang diinjaknya, baru tumbuh-tumbuhan di kanan kirinya dan mencatat semua itu dalam ingatannya. Dia tahu bahwa mereka melalui tebing jurang sebanyak lima kali, memasuki hutan cemara dua kali, hutan pohon-pohon liar dua kali dan menyeberang sungai kecil dua kali. Juga dia dapat mengetahui dari pendengarannya yang tajam bahwa ada lima lapis penjagaan sebelum mereka akhirnya tiba di depan rumah besar yang menjadi tempat tinggal Siauw-bin Ciu-kwi.
Penutup mata hitam itu baru dibuka setelah mereka memasuki sebuah ruangan. Biarpun mereka berada di dalam ruangan, ketika tutup mata itu dibuka, Pek-liong dan Cian Li mengejap-ngejapkan kedua mata beberapa kali sebelum mampu membukanya karena ruangan itu masih terlalu terang bagi mata mereka yang untuk beberapa lamanya tadi ditutup kain hitam. Mereka merasa silau melihat cahaya matahari masuk ruangan itu melalui jendela-jendela ruangan yang dibuka lebar.
Pek-liong mengamati ruangan itu. Mereka berada di sebuah ruangan yang luas sekali, dan tidak banyak perabot terdapat di situ. Tentu sebuah lian-bu-thia (ruangan bermain silat), pikir Pek-liong, melihat adanya sebuah rak besar terisi bermacam senjata di sudut ruangan. Dia dan Cian Li berdiri berdekatan, dan mereka menghadapi beberapa orang yang duduk di atas kursi-kursi berjajar, dengan meja di depan mereka. Banyak cawan dan beberapa guci arak berada di atas meja.
Sepasang mata Pek-liong mengamati orang-orang itu satu demi satu. Mula-mula pandang matanya bertemu dengan pandang mata kekanak-kanakan dari seorang laki-laki berusia kurang lebih limapuluh tahun. Tubuhnya gendut sekali, dan bentuknya pendek sehingga nampaknya bulat seperti bola. Kepalanya yang botak gundul itu juga bulat seperti bola. Mukanya lucu, seperti muka kanak-kanak yang lugu dan murni, selalu tersenyum.
Kalau tidak melihat sinar matanya yang kadang-kadang mencorong kejam itu, tentu orang akan merasa heran melihat orang yang kelihatan begitu “baik budi” berada di sarang gerombolan penjahat itu. Pek-liong tidak pernah mengenal orang ini dan sama sekali tidak tahu bahwa justeru orang berwajah kekanak-kanakan itulah dia Siauw-bin Ciu-kwi, seorang di antara Kiu Lo-mo.
Orang keduanya yang duduk di sebelah kanan si gendut itu adalah seorang wanita cantik manis yang tubuhnya menggiurkan, matanya genit penuh daya pikat, mulutnya dengan bibir yang merah basah dan rongga mulut merah, deretan gigi putih dan ujung lidah merah jambu yang kadang-kadang menjilat bibir itu penuh gairah. Pakaiannya juga pesolek indah, tangan kiri mengebut-ngebutkan sebuah kipas bulu yang indah.
Wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini memandang kepada Pek-liong dengan sinar mata penuh gairah dan bibir tersenyum manis. Ialah Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dan Pek-liong diam-diam dapat menduga siapa adanya wanita cantik ini. Ia pernah mendengar tentang iblis betina ini, apa lagi melihat kipas bola itu, iapun menduga bahwa mungkin wanita yang belum pernah dijumpainya inilah yang berjuluk Tok-sim Nio-cu itu.
Ketika dia bertemu pandang dengan Lim-kwi Sai-kong, diapun segera dapat menduga siapa adanya kakek berusia enam puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dengan muka persegi seperti muka singa, penuh cambang bauk, matanya lebar, pakaian serba hitam ini. Maka diam-diam dia mencatat dalam hatinya.
Dia sudah mendengar akan kelihaian Tok-sim Nio-cu, juga Lim-kwi Sai-kong dan di samping kedua orang ini, di situ masih ada Pek I Kongcu yang tentu amat lihai pula, yang dibantu oleh Po-yang Sam-liong yang biarpun tidaklah selihai tokoh-tokoh sesat ini namun harus diperhitungkan pula karena tiga orang raksasa itu amat kejam dan bertenaga besar.
Dan di samping Pek I Kongcu Ciong Koan, masih ada pula seorang pria tinggi kurus yang kulit mukanya hitam, mukanya yang buruk bengis itu dingin seperti topeng dan usianya empatpuluh lima tahun. Dia tidak tahu siapa orang ini, namun dapat menduga tentu lihai pula mengingat dia duduk pula di situ, sejajar dengan yang lain.
Biarpun belum pernah mengenalnya, dengan mudah Pek-liong-eng dapat menduga siapa adanya Siauw-bin Ciu-kwi. Siapa lagi kalau bukan si gendut bundar itu, pikirnya. Dia sudah pernah mendengar tentang keadaan diri datuk besar ini, namun setelah kini berhadapan, dia diam-diam merasa terkejut dan heran. Tak disangkanya bahwa seorang di antara Kiu Lo-mo belum tua benar dan wajahnya seperti seorang kanak-kanak yang berhati wajar dan bersih.
Namun dia sudah mendengar bahwa seperti para datuk lain yang disebut Kiu Lo-mo, si gendut ini amat lihai, memiliki kesaktian dan merupakan lawan yang amat tangguh. Apa lagi di sampingnya terdapat demikian banyaknya pembantu yang lihai. Yang nampak saja di situ empat orang tokoh sesat, belum lagi Po-yang Sam-liong dan tentu saja banyak anak buah mereka. Sungguh merupakan lawan yang amat tangguh. Akan tetapi apakah yang sedang mereka cari? Rahasia Patung Emas?
Tiba-tiba terdengar suara ketawa terpingkal-pingkal. Yang tertawa adalah si gendut Siauw-bin Ciu-kwi. Dia tertawa seperti melihat sesuatu yang lucu. Para pembantunya hanya ikut tersenyum karena tidak tahu apa yang ditertawakan oleh Beng-cu mereka. Si gendut mengakhiri ketawanya, lalu menuding ke arah Pek-liong-eng dan tertawa lagi walaupun tidak separah tadi.
“Ha-ha-ha-ha, heh-heh, inikah yang disebut Pek-liong-eng? Ha-ha-ha, seorang pemuda yang masih hijau! Lihat, masih ada ingusnya di bawah hidungnya! Dan bocah ini yang membasmi Hek-sim Lo-mo dan kawan-kawannya? Ha-ha-heh-heh-heh, sungguh sukar dipercaya. Tentu Hek-sim Lo-mo kini sudah menjadi terlalu tua bangka dan sudah pikun dan lemah sehingga mudah saja dikalahkan seorang bocah ingusan. Heh, Pek liong-eng Tan Cin Hay! Benarkah engkau memiliki kemampuan untuk mengalahkan mendiang Hek-sim Lo-mo?” Sepasang mata dari wajah kekanak-kanakan itu kini mencorong bengis ketika memandang kepada Pek-liong.
Pek-liong maklum bahwa namanya telah menggemparkan dunia kaum sesat dan agaknya mereka itupun menjadi gentar pula kepadanya. Maka, dia lalu mengambil sikap angkuh, membusungkan dadanya dan dia memandang kepada si gendut itu dengan pandang mata tajam penuh tantangan.
“Engkau agaknya Siauw-bin Ciu-kwi yang disebut Beng-cu. Ciu-kwi, tidak perlu banyak bertanya, kalau engkau ingin mencoba kepandaianku, silakan, aku sudah siap sedia!”
Mendengar ucapan yang nadanya menantang ini, semua orang terbelalak, dan para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi memandang marah. Akan tetapi si gendut itu sendiri tertawa geli walaupun sinar matanya semakin mencorong berbahaya. Cian Li kagum bukan main kepada Pek-liong. Ia tentu saja merasa gelisah dan takut, akan tetapi karena di dekatnya ada Pek-liong, semua rasa takut lenyap dan dara ini bahkan merasa berbahagia sekali bahwa ia dapat menghadapi pengalaman berbahaya itu berdua dengan Pek-liong.
“Hay-koko, engkau sungguh hebat!” katanya tanpa mengecilkan suaranya, tidak perduli bahwa semua orang mendengarnya. “Aku berani bertaruh seekor babi muda bahwa engkau yang akan keluar sebagai pemenang!”
Melihat sikap yang luar biasa tabahnya dari gadis itu, Pek-liong juga kagum. Gadis ini tidak berapa hebat kepandaiannya, namun memiliki keberanian yang mengagumkan. Padahal, ketika pertama kali bertemu dia melihat gadis ini tidaklah begitu tabah.
“Li-moi, apakah engkau mempunyai babi?” tanyanya, berkelakar, untuk mempertahankan wibawanya sebagai seorang tawanan yang lain, yang sama sekali tidak takut bahkan menantang pimpinan gerombolan!
“Tentu saja aku mempunyai peliharaan seekor babi muda, dan belasan ekor ayam dan... aihh, celaka, siapa yang akan memberi makan mereka? Babiku dan ayam-ayamku tentu mati kelaparan! Uh, mereka ini sungguh jahat, menyebabkan babi dan semua ayamku kelaparan...!”