SIKAP kedua orang tawanan yang sama sekali tidak menghormati Beng-cu mereka, bahkan pemuda itu berani secara terbuka menantang Beng-cu mereka!
“Beng-cu, biarkan aku mematahkan tulang punggung bocah sombong ini,” Lim-kwi Sai-kong berteriak marah.
“Hemm, akupun ingin menghancurkan kepala manusia sombong ini, Beng-cu. Serahkan saja kepadaku!” Hek-giam-ong Lok Hun juga berseru garang.
“Aku yang lebih dulu menemukannya dan membawanya ke sini. Beng-cu tentu akan membiarkan aku mewakilinya untuk menghajar bocah lancang ini!” kata Pek I Kongcu.
Mendengar kesanggupan para pembantunya, Siauw-bin Ciu-kwi tertawa gembira, lalu tiba-tiba dia menoleh kepada Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si yang duduk di sebelahnya. Dia melihat betapa wanita cantik itu sedang mengamati Pek-liong dengan penuh selidik, dan dia merasa seolah-olah pembantu utamanya itu sedang menaksir seekor kuda jantan untuk dibelinya.
“Dan engkau bagaimana, Nio-cu? Sanggupkah engkau menandingi Pek-liong-eng?”
Tanpa menoleh kepada Beng-cu itu, Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si masih mengamati Pek-liong dari kepala sampai ke kaki, menjawab, “Hemm sebelum membunuhnya, aku ingin melihat kejantanannya lebih dulu. Nampaknya dia jantan...”
Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. Biarpun pembantu utamanya ini juga menjadi kekasihnya, namun dia mengenal benar watak pembantunya ini yang cabul, genit dan gila pria, maka dia tidak pernah merasa cemburu kalau melihat pembantunya ini mengeram laki-laki muda di dalam kamarnya. Dan wanita itupun tak pernah menyembunyikan “hobby” itu dari siapa saja.
Bahkan dengan Pek I Kongcu Ciong Koan iapun sudah melakukan hubungan mesra tanpa memperdulikan Beng-cu yang juga hanya menyeringai saja. Kalau melihat seorang pria muda yang tampan dan gagah, wanita ini seketika bangkit gairahnya, maka jawabannya itupun tidak mengejutkan semua rekannya.
“Ha-ha-ha, kalau tiba saatnya kita akan membunuh dia, tentu lebih dulu kau akan kuberi kesempatan untuk menghisap darahnya sampai habis, Nio-cu. Ha-ha-ha!” kata Siauw-bin Ciu-kwi, “Akan tetapi sekarang belum boleh, aku ingin bicara dengan dia. Hei, Pek-liong-eng, aku minta engkau bicara terus terang atau terpaksa kami akan membunuh engkau dan gadis itu setelah menyiksa kalian!”
Pek-liong membusungkan dadanya. “Siauw-bin Ciu-kwi, engkau adalah seorang datuk besar yang amat terkenal sebagai seorang di antara Kiu Lo-mo, dan engkau di sini dibantu pula oleh banyak tokoh yang lihai, banyak pula memiliki anak buah. Akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa engkau demikian penakut sehingga tidak berani menerima aku tanpa membelenggu tanganku. Apakah engkau khawatir kalau aku memberontak dan membunuh kalian semua?”
Kembali ucapan Pek-liong ini membuat semua anak buah Beng-cu menjadi marah, kecuali Tok-sim Nio-cu yang mengangguk-angguk kagum. Seorang pria segagah Pek-liong belum pernah terjatuh ke dalam pelukannya dan kini ia memandang penuh kagum. Diam-diam Cian Li sejak tadi memperhatikan wanita itu, apa lagi setelah mendengar ucapannya tadi. Ia cemberut dan marah bukan main, diam-diam membenci wanita cantik genit itu. Perasaan cemburu meledak-ledak di hatinya dan kalau saja ia diberi kesempatan, mau rasanya ia menyerang dan mencakar muka cantik yang genit itu!
“Beng-cu, dia terlalu menghina Beng-cu. Biar kuhajar mampus dia!” kata Hek-giam-ong Lok Hun sambil mengamangkan ruyungnya.
“Ha-ha, belum waktunya, Hek-giam-ong. Pek I Kongcu, kau lepaskan belenggu tangan mereka berdua agar Pek-liong-eng melihat bahwa aku sama sekali tidak takut kepadanya!”
Pek I Kongcu tentu saja juga tidak takut. Kalau tadi dia mempergunakan Cian Li untuk memaksa Pek-liong menyerah adalah karena dia tidak ingin repot-repot, pula dia tidak mempunyai teman yang boleh diandalkan kecuali Po-yang Sam-liong. Sekarang, rekan-rekannya lengkap, ada pula Beng-cu, tentu saja dia tidak takut kalau tawanan itu akan dapat lolos. Dia lalu memberi isyarat kepada Po-yang Sam-liong. Poa Seng, orang tertua dari tiga raksasa Po-yang itu, segera melangkah maju dan menggunakan kunci membuka belenggu tangan yang disambung rantai mempersatukan Cian Li dan Pek-liong itu.
Pek-liong tersenyum, juga Cian Li menjadi lega, menggosok-gosok pergelangan tangan bekas belenggu. “Terima kasih, Siauw-bin Ciu-kwi. Sikapmu ini saja membuat engkau semakin pantas menjadi Beng-cu, tidak berjiwa penakut,” kata Pek-liong.
Senyum ketua itu makin melebar, agaknya senang juga dia kini dipuji oleh pendekar yang pernah membasmi kelompok yang dipimpin seorang rekannya yang lebih tua, yaitu Hek-sim Lo-mo. “Ha-ha-ha, duduklah, Pek-liong, dan kau juga, nona penyelam! Kami dapat menjadi tuan rumah bagi seorang tamu dan sahabat yang baik, Pek-liong, akan tetapi juga dapat menjadi seorang musuh yang amat bengis. Terserah kepadamu engkau ingin menjadi tamu dan sahabat, ataukah menjadi seorang musuh. Tergantung dari jawaban-jawabanmu.”
Dengan sikap tenang sekali Pek-liong mengambil tempat duduk di atas kursi, dan Cian Li, walaupun hatinya terasa kecut dan tidak senang, ikut pula duduk di samping kiri pemuda itu.
“Siauw-bin Ciu-kwi... atau lebih baik kusebut Beng-cu karena engkau telah diterima sebagai Beng-cu di sini. Nah, Beng-cu, kau ajukanlah pertanyaan-pertanyaan itu, tentu akan kujawab sebagaimana mestinya.”
“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Lebih dulu terimalah ucapan selamat datang dari kami dengan secawan arak, Pek-liong!”
Akan tetapi sebelum Beng-cu itu menuangkan secawan arak, lebih dahulu Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si bangkit dan menghampiri Pek-liong, dengan gaya yang lembut dan menawan ia menuangkan arak dari guci ke sebuah cawan. Kemudian dengan senyum manis sekali ia menyerahkan cawan arak itu kepada Pek-liong sambil berkata dengan suara merdu seperti orang bernyanyi.
“Pek-liong-eng, sudah lama sekali aku mengagumi kegagahanmu. Terimalah secawan arak dari Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si!”
Pek-liong tak dapat menolak dan ketika dia menerima cawan arak itu, tangannya bertemu dengan tangan wanita itu yang sengaja memegang tangannya, dan terciumlah keharuman keluar dari dada wanita itu ketika tangan Pek-liong bersentuhan dengan tangan yang berkulit lembut dan hangat. Cian Li bangkit dengan muka merah dan gerakannya itu membuat kursi yang didudukinya terpelanting jatuh.
“Li-moi, engkau kenapakah?” Pek-liong bertanya heran.
Gadis itu bersungut-sungut lalu membuang muka dan mendengus marah. “Huh, muak aku...!”
Melihat ini, Beng-cu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya nona penyelam ini adalah pacarmu, Pek-liong? Ha-ha-ha, bagus sekali...”
Pek-liong mengerutkan alisnya. Diapun kini tahu bahwa Cian Li marah-marah karena sikap Tok-sim Nio-cu tadi, kemarahan yang timbul dari cemburu. Dia tahu bahwa gadis itu agaknya telah jatuh hati kepadanya. Akan tetapi andaikata hal ini benar, merupakan kenyataan yang amat berbahaya kalau diketahui oleh Beng-cu, karena ikatan batin itu dapat dipergunakan Beng-cu untuk memaksakan kehendaknya dengan mengancam seorang di antara mereka.
“Beng-cu, harap jangan bicara sembarangan! Aku baru saja mengenal nona Kam Cian Li ini, kami sama sekali bukan pacaran!”
“Ha-ha, setidaknya ia mencintamu, Pek-liong. Sudahlah, terimalah ucapan selamat datang dengan minum cawan arak kita. Mari!”
Tuan rumah itu minum araknya dan sebagai penerimaan penghormatan itu, mau tidak mau Pek-liong juga minum habis arak yang disuguhkan Tok-sim Nio-cu. Cian Li sudah duduk kembali dengan mulut cemberut.
“Pek-liong, kami tahu bahwa engkau tinggal di daerah Telaga See-ouw. Akan tetapi kini engkau berada di Po-yang? Nah, katakan kepadaku, apa keperluanmu berkeliaran di daerah Po-yang? Engkau bersama-sama dengan Tiong Tosu dan Yong Hwesio, kemudian engkaupun bersama-sama dengan kakak beradik Kam ahli penyelam. Nah, apa maksudmu berada di sini!”
“Aku hanya melancong ke Po-yang,” jawab Pek-liong dengan cepat dan jawabannya itu memang bukan bohong. “Hanya secara kebetulan saja aku bertemu dengan tosu dan hwesio itu, juga kebetulan saja aku bertemu dengan kakak beradik Kam. Sekarang, aku yang ingin berbalik bertanya, Beng-cu. Kenapa engkau menyuruh bunuh Tosu dan Hwesio itu, dan kenapa pula orang-orangmu mengganggu kakak beradik Kam? Aku tadi sudah menjawab sejujurnya, maka kuharap engkaupun suka menjawab sejujurnya.”
Beng-cu itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, sikapmu memang angkuh sekali, Pek-liong. Engkau memancing keinginan tahuku sampai di mana sesungguhnya kehebatan ilmu silatmu maka engkau berani mengambil sikap seperti ini. Sekarang, jawablah, karena pertanyaanku belum habis. Engkau sebagai tawanan tidak berhak mengajukan pertanyaan. Nah, pertanyaan selanjutnya. Engkau selama ini bekerja sama dengan Hek-liong-li, kenapa sekarang ia tidak ikut datang? Di mana Hek-liong-li?”
Pek-liong tersenyum. “Ha, jangan khawatir, Beng-cu. Kalau aku terancam bahaya di sini, sudah pasti ia akan muncul dan membasmimu.”
Beng-cu itu mengerutkan alisnya. “Hemm, aku tahu. Kakak nona ini tidak nampak bersama kalian. Tentu dia kau suruh memanggil Hek-liong-li, bukan?”
Diam-diam Pek-liong terkejut juga dan memuji kecerdikan si gendut itu. Seorang lawan yang bukan saja tangguh, akan tetapi juga amat cerdik, pikirnya. “Kalau engkau sudah menduganya, tentu engkau tidak akan berani sembarangan mengganggu kami, Beng-cu. Dengar baik-baik. Engkau tentu tahu bahwa aku menyerah kepada pembantumu yang tampan itu bukan karena aku telah dikalahkan, melainkan karena dengan curang dia telah menawan nona Kam Cian Li. Akan tetapi, kalau aku menghendaki, aku dapat saja melarikan diri dari sini. Paling-paling kalian akan membunuh nona Kam. Akan tetapi kalian akan menerima pembalasan kami, yaitu aku dan Liong-li! Sebaiknya, kau bebaskan kami karena sesungguhnya kami tidak mempunyai urusan dengan kalian.”
“Hemm, Pek-liong. Engkaupun dengar baik-baik. Saat ini engkau adalah tawanan kami. Tak perlu engkau mengancam. Kalau aku menghendaki, sekarangpun kami akan dapat mengeroyok dan membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku membutuhkan bantuanmu, membutuhkan bantuan kalian. Pek-liong, katakan saja, bukankah engkau sudah mendapatkan sepotong dari peta rahasia Patung Emas itu?”
Pek-liong mengerutkan alisnya dan dia melihat betapa Cian Li memandang kepadanya dengan sinar mata penuh pertanyaan. Dia menggeleng kepala. “Peta rahasia Patung Emas? Aku sama sekali tidak tahu tentang itu, Beng-cu. Bagaimana engkau menduga bahwa aku sudah mendapatkan sepotong dari peta itu?”
Kini mulut Beng-cu tidak tersenyum, melainkan cemberut. “Semua orang memperebutkannya. Kalau engkau berkeliaran di sini, apa lagi yang kau lakukan kalau tidak ikut memperebutkan? Pek-liong, demi keselamatanmu dan keselamatan gadis ini, lebih baik engkau bekerja sama dengan kami. Terus terang saja, yang sepotong lagi berada di tanganku. Sudah lama aku mencari potongan yang lain dari peta itu. Mula-mula berada di tangan Loan Khi Hwesio, hwesio tolol itu telah menyerahkan peta itu kepada Thio Kee San. Akan tetapi, orang she Thio itupun menyerahkan lagi peta itu kepada pelacur Bi Hwa. Sampai mampus, Bi Hwa tidak mengaku di mana adanya peta itu. Kami mencurigai Tiong Tosu dan Yong Hwesio yang mengadakan penyelidikan terhadap kami, dan kami mencurigai kakak beradik Kam yang pekerjaannya menyelam dan mengumpulkan batu-batuan. Nah, karena engkau berada bersama mereka, maka sudah pasti engkau telah menemukan peta itu. Mengakulah saja, Pek-liong dan mari kita bekerja sama, kalau berhasil mendapatkan harta karun itu, kita bagi rata...”
“Beng-cu, sungguh mati aku tidak pernah menemukan peta itu, melihatnyapun belum pernah. Bagaimana aku dapat menyerahkannya kepadamu?”
“Beng-cu, dia bohong! Kalau dia muncul di sini, pantas saja peta itu lenyap. Tentu dia yang telah mengambilnya dari tangan pelacur itu. Biarkan aku menyiksa dan memaksanya agar dia mengaku!” Hek-giam-ong Lok Hun sudah meloncat ke depan dengan ruyung di tangan.
Si gendut itu bangkit berdiri dan tertawa pula, lalu melangkah mendekati Pek-liong. “Engkau keras kepala, Pek-liong. Akan tetapi, kalau memang engkau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, engkau boleh menjadi pembantuku. Pasti engkau akan memperoleh bagian kalau usahaku berhasil, seperti para pembantu lain. Maka, aku ingin sekali mengujimu!”
Tiba-tiba saja, luar biasa cepat gerakannya sehingga sama sekali tidak sepadan dengan tubuhnya yang gendut bundar, dia sudah menerjang dan mengirim pukulan bertubi ke arah tubuh Pek-liong. Pukulan berantai itu memang hebat, selain cepat sekali, juga mengandung tenaga dahsyat. Pek-liong mengenal serangan berbahaya, maka diapun cepat menggeser kakinya dan menghindarkan diri dengan mundur untuk memasang kuda-kuda dan siap balas menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba saja si gendut tertawa dan di lain saat, dia telah menangkap lengan Cian Li. Gadis ini menjerit, meronta, namun sama sekali tidak mampu berkutik.
“Ha-ha-ha, Pek-liong. Sudah kukatakan bahwa aku hanya ingin mengujimu, menguji kepandaianmu, oleh karena itu engkau tidak boleh membunuh seorang di antara para pembantuku. Hek-giam-ong, kini engkau boleh mencoba dia!” Berkata demikian, Beng-cu itu duduk kembali dan mendorong Cian Li kearah Pek I Kongcu yang menyambutnya, menotok tengkuknya dan mendudukkan gadis yang sudah lemas tak mampu meronta itu ke atas sebuah kursi.
“Beng-cu, engkau selalu curang!” bentak Pek-liong marah.
“Hem, tenanglah. Aku hanya ingin menguji kepandaianmu. Kalau kuanggap pantas menjadi pembantuku, kau akan kuangkat menjadi pembantu. Kalau tidak, engkau akan mati sekarang juga. Kalau engkau membunuh orangku, gadis ini akan kami bunuh dulu sebelum kami keroyok dan bunuh engkau!”
Hek-giam-ong Lok Hun sudah mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang. Dia tidak khawatir, karena kalau dia menang, dia boleh menyiksa dan membunuh pemuda berpakaian putih itu. Sebaliknya, andaikata dia kalah, pemuda itu tentu tidak akan berani membunuhnya. Hatinya menjadi besar, apa lagi memang dia memandang remeh kepada pemuda itu. Ruyung di tangannya diputar sehingga membentuk lingkaran seperti payung, dan terdengar suara angin bersiutan saking cepatnya senjata yang berat itu terputar.
Namun, Pek-liong menghadapinya dengan sikap tenang saja. Sementara itu otaknya berputar keras. Melihat gerakan lawan, dia merasa yakin bahwa tidak sukar baginya untuk membunuh si tinggi kurus yang kulitnya hitam kasar ini. Bahkan dia dapat mengamuk dan membunuh banyak orang di tempat itu. Akan tetapi dia maklum bahwa orang-orang jahat itu tentu akan membunuh Cian Li dan dia tidak akan mampu mencegahnya.
Tidak, gadis itu tidak boleh dibunuh. Dia terpaksa harus menyerah, sambil menanti munculnya Hek-liong-li. Dia merasa tidak berdaya dan baru dia merasa betapa dia amat membutuhkan Hek-liong-li. Wanita itu amat cerdik dan memiliki banyak akal dan muslihat. Kalau ada Hek-liong-li tentu wanita itu akan mampu mencari akal yang baik menghadapi penekanan Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya.
Kini, yang terpenting, menjaga agar Cian Li tidak dibunuh. Dia harus dapat mengalahkan mereka semua tanpa membunuh! Dan tentu saja hal ini membuat dia menghadapi tugas yang amat sukar. Mereka itu menyerangnya dengan niat membunuh, sebaliknya dia tidak boleh membunuh. Tentu akan amat sukar, namun dia tidak menjadi gentar dan merasa yakin akan mampu menaklukkan lawan tanpa membunuh.
“Wirrrr...!” Ruyung itu menyambar dari atas ke bawah. Kalau terkena sambaran ruyung yang amat berat dan kuat itu, tentu akan pecah kepalanya. Diapun mengelak dengan mudahnya. Ruyung menyambar lagi setelah menghantam lantai dan menimbulkan muncratnya bunga api, kini memantul ke atas dan menyambar ke arah kakinya! Pek-liong melompat ke samping dan ruyung itu lewat dengan cepat.
“Wuuuttt...!” Kembali ruyung itu sudah menyambar lagi dengan dahsyatnya dan ketika Pek-liong mengelak, tiba-tiba kaki Hek-giam-ong menendang dari samping.
“Siuuuuttt...!” Hampir saja lambung Pek-liong terkena tendangan. Namun, pemuda ini memang sengaja memperlambat gerakannya, namun dia sudah memperhitungkan sehingga tendangan itupun luput. Sampai belasan kali dia tetap mengelak. Ketika ruyung itu menyambar lagi, dia miringkan tubuh dan begitu ruyung lewat, dia menangkap lengan kanan lawan yang memegang ruyung, memutarnya dan tangan kanannya menampar pundak.
“Plakkk...!” Tubuh yang tinggi kurus itu terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Akan tetapi, Hek-giam-ong yang tidak terluka parah itu menjadi marah lalu meloncat lagi dan menyerang membabi-buta!
Pek-liong mendongkol sekali. Kalau dia menghendaki, tamparan itu menjadi lebih keras bahkan dapat naik mengenai tengkuk atau kepala dan lawan itu akan mampus, akan tetapi dia hanya menggunakan sedikit tenaga, hanya untuk menunjukkan bahwa Hek-giam-ong sudah kalah. Siapa kira, orang itu nekat, bahkan kini menyerang dengan dahsyat, sedangkan Beng-cu juga diam saja. Padahal, sudah jelas bahwa dia tadi memperlihatkan keunggulannya!
“Lim-kwi Sai-kong, majulah!” terdengar suara Beng-cu itu dan kini raksasa bermuka singa itu mengeluarkan suara seperti harimau mengaum dan dia sudah meloncat ke dalam medan pertandingan, tangan kanannya memegang sebatang golok besar yang gagangnya diikat dengan sebatang rantai baja yang panjang.
Memang raksasa muka singa ini memiliki senjata yang amat lihai dan ampuh. Golok itu dapat dimainkan dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri memutar rantai baja. Atau, golok itu dapat menjangkau jauh, seperti terbang kalau rantai itu dimainkan dan golok menjadi ujung rantai. Dan raksasa ini lihai sekali dalam permainan senjata itu.
Pek-liong mengerutkan alisnya. Beng-cu itu memang licik sekali. Dia yang bertangan kosong harus menghadapi dua orang lawan yang bersenjata berat, dua orang yang seperti binatang haus darah, yang menyerangnya untuk membunuh. Dan dia harus membela diri dengan syarat tidak boleh membunuh lawan, dengan ancaman kalau dia membunuh, maka Cian Li akan dibunuh lebih dulu sebelum dia dikeroyok!
Setelah Lim-kwi Sai-kong menerjangnya dengan dahsyat, membantu Hek-giam-ong yang juga marah sekali karena tadi dirobohkan, Pek-liong terpaksa harus memperlihatkan kepandaian yang sesungguhnya! Tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuk tubuhnya berubah menjadi bayangan yang amat gesitnya, bagaikan seekor burung walet beterbangan di antara gulungan sinar senjata kedua orang pengeroyoknya!
Melihat ini, Siauw-bin Ciu-kwi mengangguk-angguk kagum dan berbisik, “Pantas saja Hek-sim Lo-mo kalah olehnya...”
Dan diapun maklum betapa berbahayanya mempunyai seorang musuh seperti Pek-liong-eng. Orang ini harus ditarik sebagai sekutu atau dihancurkan sekarang juga! Terlalu berbahaya kalau menjadi lawan, pikir Beng-cu yang cerdik itu.
“Pek I Kongcu, majulah engkau!” katanya dan diapun berpindah ke kursi dekat Cian Li.
Gadis itu masih duduk tak mampu berperak. Sekali si gendut menggerakkan jari tangan menyentuh tengkuk, gadis itu dapat bergerak kembali, akan tetapi karena si gendut itu berada di dekatnya, iapun tidak berani bergerak. Ia hanya memandang ke arah perkelahian itu dan matanya terbelalak penuh kekhawatiran. Apa lagi setelah kini Pek I Kongcu maju mengeroyok dengan pedangnya.
Pek-liong memang mulai repot menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Pedang di tangan Pek I Kongcu Ciong Koan amat berbahaya, bersama dua orang pengeroyok pertama, pedang itu sungguh merupakan ancaman maut! Ilmu pedang Kun-lun-kiam-sut memang hebat dan Pek I Kongcu sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baiknya. Pedang itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung, mengeluarkan suara berdesing.
“Singgg...!” Sebagian ujung rambut kepala Pek-liong berhamburan terkena sambaran sinar pedang. Pek-liong terkejut. Kalau dia memegang pedang pusakanya, walaupun dia tidak boleh membunuh, kiranya dia akan dapat melindungi dirinya dengan baik dan membuat para pengeroyoknya tidak berdaya dengan mematahkan senjata mereka. Akan tetapi, jangankan Pek-liong-kiam yang sudah disembunyikannya itu, bahkan senjata biasapun dia tidak punya.
Dia harus menghadapi pengeroyokan tiga orang yang lihai ini dengan tangan kosong! Dan diapun dapat melihat betapa Cian Li duduk dekat dengan Siauw-bin Ciu-kwi, maka dia tidak berdaya, tidak mungkin dapat membawa lari gadis itu. Sekali dia melakukan gerakan mencurigakan, betapa mudahnya si gendut itu membunuh Cian Li!
Menghadapi pengeroyokan tiga orang tokoh sesat yang ilmunya sudah tinggi itu, dengan tangan kosong menghadapi senjata-senjata mereka, dan tidak boleh membunuh, sungguh merupakan hal yang amat sukar. Pek-liong sudah mengerahkan seluruh gin-kangnya, mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk menyelinap di antara sinar senjata yang menyambar-nyambar, namun dia tidak memperoleh kesempatan untuk merobohkan mereka tanpa melukai parah atau membunuh.
“Crattt...!” Tiba-tiba ujung pedang Pek I Kongcu menyerempet pangkal lengan kirinya dan bajunya terobek berikut kulit dan sedikit daging bahunya. Darah mulai mengucur membasahi bajunya. Melihat darah, agaknya tiga orang pengeroyoknya menjadi semakin buas. Sambil bergerak cepat dan kuat, mereka menghujankan serangan sambil kadang-kadang mengeluarkan gerengan atau teriakan dahsyat!
“Bukkk!” Ruyung itu menghantam punggung Pek-liong. Pemuda ini sempat melindungi diri dengan sin-kang, akan tetapi hantaman yang amat kuat itu tetap saja membuat dia terpelanting. Selagi dia roboh, golok berantai itu menyambar ke arah lehernya. Pek-liong masih dapat menggulingkan tubuhnya sehingga terlepas dari cengkeranan maut, namun kaki Pek I Kongcu menendang dan mengenai pahanya sehingga tubuhnya bergulingan semakin cepat.
Melihat betapa pria yang dikaguminya itu dikeroyok dan kini menjadi bulan-bulan serangan tiga orang pengeroyoknya, lebih lagi melihat darah membasahi baju Pek-liong-eng, tiba-tiba Cian Li menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan dan dengan suara merintih iapun berseru, “Cukup...! Hentikan itu...! Aku tahu di mana peta itu...!”
Mendengar ini, Beng-cu itu bangkit berdiri dan mengangkat tangan ke atas, suaranya mengguntur ketika memerintahkan para pembantunya. “Berhenti! Jangan menyerang lagi!”
Lim-kwi Sai-kong, Hek-giam-ong dan Pek I Kongcu tentu saja merasa kecewa sekali. Lawan mereka sudah mulai terdesak hebat dan dalam waktu dekat tentu mereka bertiga akan dapat menyiksa dan membunuhnya. Akan tetapi mereka tidak berani membangkang terhadap perintah Beng-cu, apa lagi merekapun mendengar seruan gadis itu dan merasa tertarik sekali. Mereka semua lalu mendekati Beng-cu, akan akan tetapi Beng-cu berkata kepada mereka bertiga.
“Pek-liong harus dibelenggu dulu kaki tangannya dengan belenggu rantai yang paling berat. Pek-liong, aku sudah melihat kepandaianmu dan aku suka menerimamu sebagai pembantu. Akan tetapi, karena kami belum percaya benar, terpaksa engkau kami belenggu dan gadis ini menjadi jaminan bahwa engkau tidak akan melarikan diri dan memberontak!”
Pek-liong hanya mengangguk dan membiarkan kaki dan tangannya dibelenggu dengan belenggu rantai yang memungkinkan dia berjalan dengan melangkah perlahan-lahan, juga kedua lengannya dapat bergerak karena rantainya cukup panjang, akan tetapi tentu saja tidak mungkin dia memberontak karena gerakan kaki tangannya akan terhalang oleh belenggu-belenggu rantai.
Dia lalu melangkah perlahan menghampiri sebuah kursi dan duduk, matanya tiada hentinya menatap ke arah wajah Cian Li. Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa gadis itu tidak dapat menahan diri dan mengaku. Kiranya, gadis itu malah yang tahu akan rahasia peta itu! Sungguh sama sekali tidak disangkanya!
“Nah, nona manis, sekarang ceritakan yang betul tentang peta itu. Kami memang sudah menaruh kecurigaan kepada engkau dan kakakmu, dan ternyata benar. Di mana peta itu? Serahkan kepada kami! Ah, tidak, lebih dulu ceritakan tentang peta itu, dari mana engkau mendapatkan peta itu?”
Wajah kekanak-kanakan itu nampak kegirangan bukan main dan agaknya dia ingin menikmati kegirangan ini sedikit demi sedikit, tidak langsung menerima peta itu dari Cian Li. Dia persis seperti seorang kanak-kanak yang mendapatkan sebuah kembang gula, lalu makan kembang gula itu sedikit demi sedikit, menjilat-jilati dan tidak langsung memakannya.
Cian Li mengangkat muka, memandang kepada Pek-liong. Ketika melihat pandang mata pemuda itu penuh penyesalan, ia menarik napas panjang. Apa lagi hanya mengorbankan peta itu, biar harus mengorbankan apapun ia tentu akan berikan untuk menyelamatkan pendekar itu! Aih, tidak tahukah engkau betapa aku mau mengorbankan apapun untukmu, betapa aku mencintaimu? Demikian hatinya berbisik. Akan tetapi sinar mata pendekar itu tetap penuh penyesalan dan iapun menundukkan mukanya.
“Aku mendapatkan peta itu dari seorang wanita cantik,” demikian ia berkata dengan muka menunduk. “Pada suatu siang ketika aku dan kakakku mencari batu-batu telaga, ketika kakakku menyelam dan aku berjaga di perahu, lewat sebuah perahu lain. Seorang wanita cantik menyuruh tukang perahunya mendekati perahuku, kemudian ia menyerahkan sebuah guci yang tertutup rapat. Ia menyerahkan guci itu kepadaku dan berkata bahwa ia titip barang itu kepadaku karena dikejar orang jahat hendak dirampas. Tentu saja aku bertanya apa adanya benda itu. Ia berterus terang mengatakan bahwa barang yang berada di dalam guci itu adalah sebuah peta rahasia Patung Emas...”
“Ah, tentu si pelacur Bi Hwa!” seru Siauw-bin Ciu-kwi dengan girang sekali dan Pek-liong-eng yang ikut mendengarkan menjadi semakin menyesal. Tak disangkanya bahwa datuk sesat itu akan mendapatkan peta itu semudah itu! Dan semua itu karena seorang gadis sederhana menaruh hati cinta kepadanya, suka menyerahkan benda berharga itu demi untuk menyelamatkannya!
“Di mana sekarang guci itu? Nona manis, di mana benda itu kausimpan?” Siauw-bin Ciu-kwi bertanya dengan penuh nafsu, suaranya terdengar ramah dan manis.
“Kusimpan di dasar telaga...” katanya lirih.
Mendengar ini, di dalam hatinya Pek-liong bersorak. Bagus, Cian Li, teriaknya dalam hati. Keteranganmu itu tentu akan memaksa mereka membawamu keluar dari tempat ini, dan kalau nasib baik, diapun akan terbawa. Kalau mereka berada di luar sarang ini, tentu akan lebih mudah untuk meloloskan diri, dan lebih mudah lagi untuk dapat herhubungan dengan Hek-liong-li. Menurut perhitungannya, paling lambat besok siang Hek-liong-li tentu sudah tiba di Telaga Po-yang!
Mendengar keterangan itu, Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya, dan senyumnya menghilang. Agaknya dia seperti dapat membaca isi hati Pek-liong. Dia memegang kedua pundak gadis itu dan membentak, “Engkau berani membohongi aku?”
Gadis itu terkejut karena merasa betapa pundaknya seperti ditindih benda yang luar biasa beratnya. Ia terbelalak, wajahnya pucat dan ia menggeleng kepala. “Aku tidak berbohong!”
Siauw-bin Ciu-kwi melepaskan kedua tangannya. “Bagus, dan engkau tentu memberitahukan kakakmu?”
“Tidak! Wanita itu memesan agar aku tidak memberitahukan kepada siapapun dan aku sudah berjanji padanya. Aku selalu memegang teguh janjiku.”
“Jadi jelas bahwa hanya engkau sendiri yang tahu di mana tempat kau sembunyikan guci itu?”
Cian Li mengangguk. “Di mana tempatnya?”
“Di tengah telaga, di mana kami suka mencari kerang hijau.”
“Bagus! Sekarang juga kita pergi ke sana! Dan awas engkau, nona manis, kalau engkau berbohong kepada kami, kalau engkau tidak berhasil mendapatkan guci itu, engkau akan menyesal bahwa engkau pernah hidup! Kami akan menyiksamu dan membikin engkau mati perlahan-lahan dalam keadaan tersiksa lahir batin! Mari kita berangkat!” Dia mengangkat muka memandang kepada para pembantunya. “Siapkan kereta dan perahu, kita berangkat sekarang juga ke telaga!”
“Tidak mungkin diambil sekarang!” tiba Pek-liong berkata, suaranya seperti sambil lalu dan acuh tak acuh.
“Apa maksudmu?” Siauw-bin Ciu-kwi yang gendut itu sekali menggerakkan tubuh sudah tiba di depan Pek-liong yang terbelenggu dan duduk di kursi. Tangan kirinya bergerak menyambar.
“Plakkk!” Tamparan itu keras sekali, membuat pipi kanan Pek-liong menjadi kebiruan dan ada sedikit darah di ujung bibirnya. Cian Li mengeluarkan jeritan lirih melihat betapa pria yang dikasihinya itu ditampar.
“Hati-hati kau dengan mulutmu, Pek-liong, atau mungkin tangan ini menyeleweng ke arah kepalamu dan engkau akan tewas seketika!” bentak Siauw-bin Ciu-kwi.
Biarpun hatinya mendongkol bukan main, namun Pek-liong, masih dapat tersenyum ketika dia mengangkat mukanya memandang kepada orang yang menamparnya. “Tentu saja aku sudah berhati-hati, Beng-cu. Sayang engkau yang bodoh. Kalau memang ingin mengadu ilmu, lepaskan belenggu ini dan kita sama lihat siapa yang lebih lihai di antara kita, jangan main tampar selagi aku tidak dapat melawan. Kalau engkau mendengarkan omonganku, maka engkau juga yang akan mendapat untung. Kau tahu, orang menyelam mencari sesuatu di dasar telaga haruslah di waktu siang hari, karena membutuhkan sinar matahari yang cukup kuat sehingga sinar itu dapat menerangi permukaan telaga. Sekarang sudah hampir sore, bagaimana mungkin adik Kam Cian Li dapat menemukan benda itu di dasar telaga? Pula, perlu apa tergesa-gesa. Besok siang baru bisa dilakukan penyelaman itu. Pula, kakaknya baru pada hari lusa akan pulang, tidak perlu kau takut akan kedatangan Hek-liong-li!” Ucapan itu sekaligus mengandung kebenaran akan tetapi juga ejekan bahwa Beng-cu itu takut kalau kalau Hek-liong-li muncul sebelum dia memperoleh peta itu.
Cian Li mendengar ucapan itu berpikir. Pendekar itu pernah memberitahu kepadanya bahwa menurut perhitungannya, kakaknya dan Hek-liong-li akan dapat tiba di telaga besok siang! Kenapa pendekar itu mengatakan bahwa Hek-liong-li baru akan dapat muncul lusa? Ia seorang gadis cerdik, dan tahu bahwa ucapan itu merupakan isyarat baginya. Ia harus dapat mengulur waktu mendapatkan peta itu sampai Hek-liong-li dan kakaknya muncul.
“Dia berkata benar, Beng-cu,” kata gadis itu. “Memang penyelaman baru dapat dilakukan setelah matahari naik tinggi, bahkan setelah lewat tengah hari karena tempat penyimpanan itu menghadap ke barat dan tempatnya sukar, merupakan daerah yang berlubang-lubang. Tanpa penerangan matahari yang kuat, sukar untuk menemukan tempat itu kembali.”
“Hemm, begitukah?” Sepasang mata dari wajah kekanak-kanakan itu kini mengamati wajah Pek-liong dan Cian Li dengan tajam penuh selidik. Akan tetapi karena Cian Li tidak berbobong, maka iapun berani menentang pandang mata itu dengan tabah sehingga akhirnya Beng-cu itu merasa puas.
“Baiklah, kalian malam ini menjadi tamu kami dan besok baru kita lihat apakah keterangan nona ini benar,” katanya lalu berkata kepada Tok-sim Nio-cu, “Kau persiapkan kamar untuk mereka. Dan jangan engkau main gila dengan Pek-liong, Nio-cu. Sebelum urusan ini selesai, aku tidak ingin melihat siapapun mempermainkan Pek-liong dan nona Kam ini. Mereka harus dijamu dengan baik, dijaga ketat dan tidak boleh diganggu!”
Berkata demikian, sepasang mata Beng-cu itu ditujukan dengan penuh ancaman kepada Tok-sim Nio-cu dan Hek-giam-ong. Dia tahu benar bahwa wanita itu adalah seorang yang haus laki-laki, sedangkan Hek-giam-ong memiliki suatu kekejaman istimewa terhadap wanita. Tentu kedua orang tawanan itu bagi mereka merupakan daging-daging segar yang menimbulkan gairah dan membangkitkan selera aneh mereka.
“Tidak perlu khawatir, Beng-cu. Aku cukup sabar menanti. Akhirnya dia akan kuuji kejantanannya!” kata Tok-sim Nio-cu sambil melirik ke arah Pek-liong dengan matanya yang genit. Sedangkan Hek-giam-ong memandang ke arah Cian Li dengan senyum dingin menyeramkan.
“Marilah, Pek-liong dan kau juga, nona penyelam. Mari kalian ikut dengan kami ke kamar kalian. Tapi tidak boleh sekamar, ya? Berbahaya kalau sekamar!” kata Tok-sim Nio-cu sambil tertawa genit.
Bukan hanya wanita ini yang sudah bangkit dengan pedang terhunus di tangan untuk mengawal dua orang tawanan itu, melainkan atas isyarat Beng-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu, Hek-giam-ong dan tiga orang Po-yang Sam-liong juga ikut mengawal dengan senjata siap di tangan. Pek I Kongcu cepat berjalan di antara Pek-liong dan Cian Li, memisahkan kedua orang itu sehingga agak berjauhan. Hal ini saja menunjukkan betapa cerdiknya pembantu Beng-cu itu.
Juga kamar mereka terpisah, walaupun berdampingan dan biarpun kaki dan tangan Pek-liong sudah dibelenggu kuat, namun para pembantu Beng-cu itu masih bergilir menjaga di depan kamarnya bersama belasan orang anak buah. Yang berjaga di luar kamar Cian Li hanya ketiga Po-yang Sam-liong, namun mereka itu sudah jauh melebihi cukup untuk membuat gadis itu tidak berani keluar kamar walaupun ia tidak dibelenggu lagi.
Setelah mereka mendapatkan hidangan makan dan minum yang cukup dan enak, keduanya merebahkan diri mengaso. Pek-liong sengaja mengaso untuk memulihkan tenaga, karena dia tahu bahwa dia membutuhkan tenaga yang segar untuk sewaktu-waktu menghadapi gerombolan penjahat yang amat lihai itu.
“Kita berhenti di sini, malam terlalu gelap untuk melanjutkan perjalanan,” kata Hek-liong-li sambil menahan kudanya.
Kam Sun Ting juga menahan kudanya dan dia memandang ke sekeliling. Mereka tiba di tepi hutan yang amat sunyi. Memang malam gelap sekali. Langit merupakan dasar hitam yang ditaburi bintang-bintang, seperti beledu hitam yang dihias jutaan buah permata. Indah sekali. Tempat itu sunyi.
Tak nampak seorangpun manusia kecuali mereka berdua. Tidak sebuahpun rumah di sekitarnya. Hawa udara teramat dinginnya, sehingga dia sendiri sejak tadi sedang menggigil. Namun dia tahu, perjalanan masih amat jauh, mungkin besok pagi atau siang baru tiba di Telaga Po-yang.
“Akan tetapi, li-hiap. Bagaimana mungkin kita melewatkan malam di tempat seperti ini?” tanyanya ragu sambil menoleh ke arah gadis itu. Biarpun cuaca hanya remang-remang, namun dari garis-garis wajah dan tubuh gadis itu, dia dapat melihat jelas wajah yang amat jelita, tubuh yang amat menggairahkan, yang sudah amat dikenalnya karena telah tergores ke dalam kalbunya itu!
Gadis itu tersenyum. Keremangan tidak mampu menyembunyikan kilatan gigi yang putih rapi itu. “Engkau takut?”
Dengan tegas Sun Ting menggeleng kepalanya. “Tidak, aku tidak takut, lihiap. Apa lagi, dengan adanya lihiap di sini, apa yang harus kutakutkan? Akan tetapi... tempat ini... tidak ada rumah, tidak ada tempat tidur, di tempat terbuka yang gelap, dan hawa udara begini dinginnya, bagaimana lihiap dapat melewatkan malam di sini? Bagiku sih tidak mengapa, aku laki-laki dan sudah biasa hidup menghadapi kesukaran. Akan tetapi bagimu, seorang wanita muda belia yang...!”
Sun Ting tidak melanjutkan kata-katanya karena Liong-li kini tertawa sambil melompat turun dari atas punggung kudanya. “Hi-hi-hik, engkau lucu sekali, saudara Kam Sun Ting! Kaukira aku ini orang macam apa? Seorang puteri istana yang tidak biasa menghadapi kesukaran? Turunlah, kita mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam!”
Sun Ting terpaksa meloncat turun dari atas kudanya. Tak lama kemudian mereka telah mendapatkan sebuah tempat yang enak, di bawah sebatang pohon besar, bertilamkan rumput hijau yang tebal. Mereka menambatkan tali dua ekor kuda mereka pada akar pohon dan membiarkan kedua binatang itu makan rumput.
“Sekarang kita membagi tugas,” kata Liong-li sambil tersenyum. “Engkau mengumpulkan kayu bakar untuk membuat perapian, dan aku mengumpulkan daun kering untuk alas duduk dan tidur.”
“Sudahlah, lihiap. Engkau duduk saja beristirahat, biar aku yang akan mengumpulkan semua itu. Ini pekerjaan laki-laki!” kata Sun Ting gagah.
Tanpa menanti jawaban diapun segera pergi mencari barang yang mereka butuhkan. Sebentar saja dia sudah mengumpulkan kayu kering yang cukup banyak. Akan tetapi ketika dia tiba kembali ke tempat itu, ternyata rumput yang tebal, lunak dan basah itu telah tertutup daun-daun kering sehingga mereka dapat duduk di situ dengan enak. Seperti orang duduk di atas kasur saja. Kiranya wanita jelita itu telah mengumpulkan daun kering dan menutupi rumput hijau yang basah dengan daun-daun kering.
“Bagus, sebegini sudah cukup,” kata Liong-li.
Dengan cekatan ia lalu membuat api unggun, dibantu oleh Sun Ting dan melihat kecekatan wanita itu, percayalah Sun Ting bahwa memang pendekar wanita itu agaknya tidak asing dengan kehidupan di tempat terbuka seperti ini. Sebentar saja, mereka duduk di atas rumput yang ditilami daun kering, menghadapi api unggun yang hangat, nyaman sekali rasanya sehabis melakukan perjalanan jauh yang melelahkan...
“Beng-cu, biarkan aku mematahkan tulang punggung bocah sombong ini,” Lim-kwi Sai-kong berteriak marah.
“Hemm, akupun ingin menghancurkan kepala manusia sombong ini, Beng-cu. Serahkan saja kepadaku!” Hek-giam-ong Lok Hun juga berseru garang.
“Aku yang lebih dulu menemukannya dan membawanya ke sini. Beng-cu tentu akan membiarkan aku mewakilinya untuk menghajar bocah lancang ini!” kata Pek I Kongcu.
Mendengar kesanggupan para pembantunya, Siauw-bin Ciu-kwi tertawa gembira, lalu tiba-tiba dia menoleh kepada Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si yang duduk di sebelahnya. Dia melihat betapa wanita cantik itu sedang mengamati Pek-liong dengan penuh selidik, dan dia merasa seolah-olah pembantu utamanya itu sedang menaksir seekor kuda jantan untuk dibelinya.
“Dan engkau bagaimana, Nio-cu? Sanggupkah engkau menandingi Pek-liong-eng?”
Tanpa menoleh kepada Beng-cu itu, Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si masih mengamati Pek-liong dari kepala sampai ke kaki, menjawab, “Hemm sebelum membunuhnya, aku ingin melihat kejantanannya lebih dulu. Nampaknya dia jantan...”
Siauw-bin Ciu-kwi tertawa bergelak. Biarpun pembantu utamanya ini juga menjadi kekasihnya, namun dia mengenal benar watak pembantunya ini yang cabul, genit dan gila pria, maka dia tidak pernah merasa cemburu kalau melihat pembantunya ini mengeram laki-laki muda di dalam kamarnya. Dan wanita itupun tak pernah menyembunyikan “hobby” itu dari siapa saja.
Bahkan dengan Pek I Kongcu Ciong Koan iapun sudah melakukan hubungan mesra tanpa memperdulikan Beng-cu yang juga hanya menyeringai saja. Kalau melihat seorang pria muda yang tampan dan gagah, wanita ini seketika bangkit gairahnya, maka jawabannya itupun tidak mengejutkan semua rekannya.
“Ha-ha-ha, kalau tiba saatnya kita akan membunuh dia, tentu lebih dulu kau akan kuberi kesempatan untuk menghisap darahnya sampai habis, Nio-cu. Ha-ha-ha!” kata Siauw-bin Ciu-kwi, “Akan tetapi sekarang belum boleh, aku ingin bicara dengan dia. Hei, Pek-liong-eng, aku minta engkau bicara terus terang atau terpaksa kami akan membunuh engkau dan gadis itu setelah menyiksa kalian!”
Pek-liong membusungkan dadanya. “Siauw-bin Ciu-kwi, engkau adalah seorang datuk besar yang amat terkenal sebagai seorang di antara Kiu Lo-mo, dan engkau di sini dibantu pula oleh banyak tokoh yang lihai, banyak pula memiliki anak buah. Akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa engkau demikian penakut sehingga tidak berani menerima aku tanpa membelenggu tanganku. Apakah engkau khawatir kalau aku memberontak dan membunuh kalian semua?”
Kembali ucapan Pek-liong ini membuat semua anak buah Beng-cu menjadi marah, kecuali Tok-sim Nio-cu yang mengangguk-angguk kagum. Seorang pria segagah Pek-liong belum pernah terjatuh ke dalam pelukannya dan kini ia memandang penuh kagum. Diam-diam Cian Li sejak tadi memperhatikan wanita itu, apa lagi setelah mendengar ucapannya tadi. Ia cemberut dan marah bukan main, diam-diam membenci wanita cantik genit itu. Perasaan cemburu meledak-ledak di hatinya dan kalau saja ia diberi kesempatan, mau rasanya ia menyerang dan mencakar muka cantik yang genit itu!
“Beng-cu, dia terlalu menghina Beng-cu. Biar kuhajar mampus dia!” kata Hek-giam-ong Lok Hun sambil mengamangkan ruyungnya.
“Ha-ha, belum waktunya, Hek-giam-ong. Pek I Kongcu, kau lepaskan belenggu tangan mereka berdua agar Pek-liong-eng melihat bahwa aku sama sekali tidak takut kepadanya!”
Pek I Kongcu tentu saja juga tidak takut. Kalau tadi dia mempergunakan Cian Li untuk memaksa Pek-liong menyerah adalah karena dia tidak ingin repot-repot, pula dia tidak mempunyai teman yang boleh diandalkan kecuali Po-yang Sam-liong. Sekarang, rekan-rekannya lengkap, ada pula Beng-cu, tentu saja dia tidak takut kalau tawanan itu akan dapat lolos. Dia lalu memberi isyarat kepada Po-yang Sam-liong. Poa Seng, orang tertua dari tiga raksasa Po-yang itu, segera melangkah maju dan menggunakan kunci membuka belenggu tangan yang disambung rantai mempersatukan Cian Li dan Pek-liong itu.
Pek-liong tersenyum, juga Cian Li menjadi lega, menggosok-gosok pergelangan tangan bekas belenggu. “Terima kasih, Siauw-bin Ciu-kwi. Sikapmu ini saja membuat engkau semakin pantas menjadi Beng-cu, tidak berjiwa penakut,” kata Pek-liong.
Senyum ketua itu makin melebar, agaknya senang juga dia kini dipuji oleh pendekar yang pernah membasmi kelompok yang dipimpin seorang rekannya yang lebih tua, yaitu Hek-sim Lo-mo. “Ha-ha-ha, duduklah, Pek-liong, dan kau juga, nona penyelam! Kami dapat menjadi tuan rumah bagi seorang tamu dan sahabat yang baik, Pek-liong, akan tetapi juga dapat menjadi seorang musuh yang amat bengis. Terserah kepadamu engkau ingin menjadi tamu dan sahabat, ataukah menjadi seorang musuh. Tergantung dari jawaban-jawabanmu.”
Dengan sikap tenang sekali Pek-liong mengambil tempat duduk di atas kursi, dan Cian Li, walaupun hatinya terasa kecut dan tidak senang, ikut pula duduk di samping kiri pemuda itu.
“Siauw-bin Ciu-kwi... atau lebih baik kusebut Beng-cu karena engkau telah diterima sebagai Beng-cu di sini. Nah, Beng-cu, kau ajukanlah pertanyaan-pertanyaan itu, tentu akan kujawab sebagaimana mestinya.”
“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Lebih dulu terimalah ucapan selamat datang dari kami dengan secawan arak, Pek-liong!”
Akan tetapi sebelum Beng-cu itu menuangkan secawan arak, lebih dahulu Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si bangkit dan menghampiri Pek-liong, dengan gaya yang lembut dan menawan ia menuangkan arak dari guci ke sebuah cawan. Kemudian dengan senyum manis sekali ia menyerahkan cawan arak itu kepada Pek-liong sambil berkata dengan suara merdu seperti orang bernyanyi.
“Pek-liong-eng, sudah lama sekali aku mengagumi kegagahanmu. Terimalah secawan arak dari Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si!”
Pek-liong tak dapat menolak dan ketika dia menerima cawan arak itu, tangannya bertemu dengan tangan wanita itu yang sengaja memegang tangannya, dan terciumlah keharuman keluar dari dada wanita itu ketika tangan Pek-liong bersentuhan dengan tangan yang berkulit lembut dan hangat. Cian Li bangkit dengan muka merah dan gerakannya itu membuat kursi yang didudukinya terpelanting jatuh.
“Li-moi, engkau kenapakah?” Pek-liong bertanya heran.
Gadis itu bersungut-sungut lalu membuang muka dan mendengus marah. “Huh, muak aku...!”
Melihat ini, Beng-cu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kiranya nona penyelam ini adalah pacarmu, Pek-liong? Ha-ha-ha, bagus sekali...”
Pek-liong mengerutkan alisnya. Diapun kini tahu bahwa Cian Li marah-marah karena sikap Tok-sim Nio-cu tadi, kemarahan yang timbul dari cemburu. Dia tahu bahwa gadis itu agaknya telah jatuh hati kepadanya. Akan tetapi andaikata hal ini benar, merupakan kenyataan yang amat berbahaya kalau diketahui oleh Beng-cu, karena ikatan batin itu dapat dipergunakan Beng-cu untuk memaksakan kehendaknya dengan mengancam seorang di antara mereka.
“Beng-cu, harap jangan bicara sembarangan! Aku baru saja mengenal nona Kam Cian Li ini, kami sama sekali bukan pacaran!”
“Ha-ha, setidaknya ia mencintamu, Pek-liong. Sudahlah, terimalah ucapan selamat datang dengan minum cawan arak kita. Mari!”
Tuan rumah itu minum araknya dan sebagai penerimaan penghormatan itu, mau tidak mau Pek-liong juga minum habis arak yang disuguhkan Tok-sim Nio-cu. Cian Li sudah duduk kembali dengan mulut cemberut.
“Pek-liong, kami tahu bahwa engkau tinggal di daerah Telaga See-ouw. Akan tetapi kini engkau berada di Po-yang? Nah, katakan kepadaku, apa keperluanmu berkeliaran di daerah Po-yang? Engkau bersama-sama dengan Tiong Tosu dan Yong Hwesio, kemudian engkaupun bersama-sama dengan kakak beradik Kam ahli penyelam. Nah, apa maksudmu berada di sini!”
“Aku hanya melancong ke Po-yang,” jawab Pek-liong dengan cepat dan jawabannya itu memang bukan bohong. “Hanya secara kebetulan saja aku bertemu dengan tosu dan hwesio itu, juga kebetulan saja aku bertemu dengan kakak beradik Kam. Sekarang, aku yang ingin berbalik bertanya, Beng-cu. Kenapa engkau menyuruh bunuh Tosu dan Hwesio itu, dan kenapa pula orang-orangmu mengganggu kakak beradik Kam? Aku tadi sudah menjawab sejujurnya, maka kuharap engkaupun suka menjawab sejujurnya.”
Beng-cu itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, sikapmu memang angkuh sekali, Pek-liong. Engkau memancing keinginan tahuku sampai di mana sesungguhnya kehebatan ilmu silatmu maka engkau berani mengambil sikap seperti ini. Sekarang, jawablah, karena pertanyaanku belum habis. Engkau sebagai tawanan tidak berhak mengajukan pertanyaan. Nah, pertanyaan selanjutnya. Engkau selama ini bekerja sama dengan Hek-liong-li, kenapa sekarang ia tidak ikut datang? Di mana Hek-liong-li?”
Pek-liong tersenyum. “Ha, jangan khawatir, Beng-cu. Kalau aku terancam bahaya di sini, sudah pasti ia akan muncul dan membasmimu.”
Beng-cu itu mengerutkan alisnya. “Hemm, aku tahu. Kakak nona ini tidak nampak bersama kalian. Tentu dia kau suruh memanggil Hek-liong-li, bukan?”
Diam-diam Pek-liong terkejut juga dan memuji kecerdikan si gendut itu. Seorang lawan yang bukan saja tangguh, akan tetapi juga amat cerdik, pikirnya. “Kalau engkau sudah menduganya, tentu engkau tidak akan berani sembarangan mengganggu kami, Beng-cu. Dengar baik-baik. Engkau tentu tahu bahwa aku menyerah kepada pembantumu yang tampan itu bukan karena aku telah dikalahkan, melainkan karena dengan curang dia telah menawan nona Kam Cian Li. Akan tetapi, kalau aku menghendaki, aku dapat saja melarikan diri dari sini. Paling-paling kalian akan membunuh nona Kam. Akan tetapi kalian akan menerima pembalasan kami, yaitu aku dan Liong-li! Sebaiknya, kau bebaskan kami karena sesungguhnya kami tidak mempunyai urusan dengan kalian.”
“Hemm, Pek-liong. Engkaupun dengar baik-baik. Saat ini engkau adalah tawanan kami. Tak perlu engkau mengancam. Kalau aku menghendaki, sekarangpun kami akan dapat mengeroyok dan membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku membutuhkan bantuanmu, membutuhkan bantuan kalian. Pek-liong, katakan saja, bukankah engkau sudah mendapatkan sepotong dari peta rahasia Patung Emas itu?”
Pek-liong mengerutkan alisnya dan dia melihat betapa Cian Li memandang kepadanya dengan sinar mata penuh pertanyaan. Dia menggeleng kepala. “Peta rahasia Patung Emas? Aku sama sekali tidak tahu tentang itu, Beng-cu. Bagaimana engkau menduga bahwa aku sudah mendapatkan sepotong dari peta itu?”
Kini mulut Beng-cu tidak tersenyum, melainkan cemberut. “Semua orang memperebutkannya. Kalau engkau berkeliaran di sini, apa lagi yang kau lakukan kalau tidak ikut memperebutkan? Pek-liong, demi keselamatanmu dan keselamatan gadis ini, lebih baik engkau bekerja sama dengan kami. Terus terang saja, yang sepotong lagi berada di tanganku. Sudah lama aku mencari potongan yang lain dari peta itu. Mula-mula berada di tangan Loan Khi Hwesio, hwesio tolol itu telah menyerahkan peta itu kepada Thio Kee San. Akan tetapi, orang she Thio itupun menyerahkan lagi peta itu kepada pelacur Bi Hwa. Sampai mampus, Bi Hwa tidak mengaku di mana adanya peta itu. Kami mencurigai Tiong Tosu dan Yong Hwesio yang mengadakan penyelidikan terhadap kami, dan kami mencurigai kakak beradik Kam yang pekerjaannya menyelam dan mengumpulkan batu-batuan. Nah, karena engkau berada bersama mereka, maka sudah pasti engkau telah menemukan peta itu. Mengakulah saja, Pek-liong dan mari kita bekerja sama, kalau berhasil mendapatkan harta karun itu, kita bagi rata...”
“Beng-cu, sungguh mati aku tidak pernah menemukan peta itu, melihatnyapun belum pernah. Bagaimana aku dapat menyerahkannya kepadamu?”
“Beng-cu, dia bohong! Kalau dia muncul di sini, pantas saja peta itu lenyap. Tentu dia yang telah mengambilnya dari tangan pelacur itu. Biarkan aku menyiksa dan memaksanya agar dia mengaku!” Hek-giam-ong Lok Hun sudah meloncat ke depan dengan ruyung di tangan.
Si gendut itu bangkit berdiri dan tertawa pula, lalu melangkah mendekati Pek-liong. “Engkau keras kepala, Pek-liong. Akan tetapi, kalau memang engkau memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, engkau boleh menjadi pembantuku. Pasti engkau akan memperoleh bagian kalau usahaku berhasil, seperti para pembantu lain. Maka, aku ingin sekali mengujimu!”
Tiba-tiba saja, luar biasa cepat gerakannya sehingga sama sekali tidak sepadan dengan tubuhnya yang gendut bundar, dia sudah menerjang dan mengirim pukulan bertubi ke arah tubuh Pek-liong. Pukulan berantai itu memang hebat, selain cepat sekali, juga mengandung tenaga dahsyat. Pek-liong mengenal serangan berbahaya, maka diapun cepat menggeser kakinya dan menghindarkan diri dengan mundur untuk memasang kuda-kuda dan siap balas menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba saja si gendut tertawa dan di lain saat, dia telah menangkap lengan Cian Li. Gadis ini menjerit, meronta, namun sama sekali tidak mampu berkutik.
“Ha-ha-ha, Pek-liong. Sudah kukatakan bahwa aku hanya ingin mengujimu, menguji kepandaianmu, oleh karena itu engkau tidak boleh membunuh seorang di antara para pembantuku. Hek-giam-ong, kini engkau boleh mencoba dia!” Berkata demikian, Beng-cu itu duduk kembali dan mendorong Cian Li kearah Pek I Kongcu yang menyambutnya, menotok tengkuknya dan mendudukkan gadis yang sudah lemas tak mampu meronta itu ke atas sebuah kursi.
“Beng-cu, engkau selalu curang!” bentak Pek-liong marah.
“Hem, tenanglah. Aku hanya ingin menguji kepandaianmu. Kalau kuanggap pantas menjadi pembantuku, kau akan kuangkat menjadi pembantu. Kalau tidak, engkau akan mati sekarang juga. Kalau engkau membunuh orangku, gadis ini akan kami bunuh dulu sebelum kami keroyok dan bunuh engkau!”
Hek-giam-ong Lok Hun sudah mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang. Dia tidak khawatir, karena kalau dia menang, dia boleh menyiksa dan membunuh pemuda berpakaian putih itu. Sebaliknya, andaikata dia kalah, pemuda itu tentu tidak akan berani membunuhnya. Hatinya menjadi besar, apa lagi memang dia memandang remeh kepada pemuda itu. Ruyung di tangannya diputar sehingga membentuk lingkaran seperti payung, dan terdengar suara angin bersiutan saking cepatnya senjata yang berat itu terputar.
Namun, Pek-liong menghadapinya dengan sikap tenang saja. Sementara itu otaknya berputar keras. Melihat gerakan lawan, dia merasa yakin bahwa tidak sukar baginya untuk membunuh si tinggi kurus yang kulitnya hitam kasar ini. Bahkan dia dapat mengamuk dan membunuh banyak orang di tempat itu. Akan tetapi dia maklum bahwa orang-orang jahat itu tentu akan membunuh Cian Li dan dia tidak akan mampu mencegahnya.
Tidak, gadis itu tidak boleh dibunuh. Dia terpaksa harus menyerah, sambil menanti munculnya Hek-liong-li. Dia merasa tidak berdaya dan baru dia merasa betapa dia amat membutuhkan Hek-liong-li. Wanita itu amat cerdik dan memiliki banyak akal dan muslihat. Kalau ada Hek-liong-li tentu wanita itu akan mampu mencari akal yang baik menghadapi penekanan Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya.
Kini, yang terpenting, menjaga agar Cian Li tidak dibunuh. Dia harus dapat mengalahkan mereka semua tanpa membunuh! Dan tentu saja hal ini membuat dia menghadapi tugas yang amat sukar. Mereka itu menyerangnya dengan niat membunuh, sebaliknya dia tidak boleh membunuh. Tentu akan amat sukar, namun dia tidak menjadi gentar dan merasa yakin akan mampu menaklukkan lawan tanpa membunuh.
“Wirrrr...!” Ruyung itu menyambar dari atas ke bawah. Kalau terkena sambaran ruyung yang amat berat dan kuat itu, tentu akan pecah kepalanya. Diapun mengelak dengan mudahnya. Ruyung menyambar lagi setelah menghantam lantai dan menimbulkan muncratnya bunga api, kini memantul ke atas dan menyambar ke arah kakinya! Pek-liong melompat ke samping dan ruyung itu lewat dengan cepat.
“Wuuuttt...!” Kembali ruyung itu sudah menyambar lagi dengan dahsyatnya dan ketika Pek-liong mengelak, tiba-tiba kaki Hek-giam-ong menendang dari samping.
“Siuuuuttt...!” Hampir saja lambung Pek-liong terkena tendangan. Namun, pemuda ini memang sengaja memperlambat gerakannya, namun dia sudah memperhitungkan sehingga tendangan itupun luput. Sampai belasan kali dia tetap mengelak. Ketika ruyung itu menyambar lagi, dia miringkan tubuh dan begitu ruyung lewat, dia menangkap lengan kanan lawan yang memegang ruyung, memutarnya dan tangan kanannya menampar pundak.
“Plakkk...!” Tubuh yang tinggi kurus itu terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Akan tetapi, Hek-giam-ong yang tidak terluka parah itu menjadi marah lalu meloncat lagi dan menyerang membabi-buta!
Pek-liong mendongkol sekali. Kalau dia menghendaki, tamparan itu menjadi lebih keras bahkan dapat naik mengenai tengkuk atau kepala dan lawan itu akan mampus, akan tetapi dia hanya menggunakan sedikit tenaga, hanya untuk menunjukkan bahwa Hek-giam-ong sudah kalah. Siapa kira, orang itu nekat, bahkan kini menyerang dengan dahsyat, sedangkan Beng-cu juga diam saja. Padahal, sudah jelas bahwa dia tadi memperlihatkan keunggulannya!
“Lim-kwi Sai-kong, majulah!” terdengar suara Beng-cu itu dan kini raksasa bermuka singa itu mengeluarkan suara seperti harimau mengaum dan dia sudah meloncat ke dalam medan pertandingan, tangan kanannya memegang sebatang golok besar yang gagangnya diikat dengan sebatang rantai baja yang panjang.
Memang raksasa muka singa ini memiliki senjata yang amat lihai dan ampuh. Golok itu dapat dimainkan dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri memutar rantai baja. Atau, golok itu dapat menjangkau jauh, seperti terbang kalau rantai itu dimainkan dan golok menjadi ujung rantai. Dan raksasa ini lihai sekali dalam permainan senjata itu.
Pek-liong mengerutkan alisnya. Beng-cu itu memang licik sekali. Dia yang bertangan kosong harus menghadapi dua orang lawan yang bersenjata berat, dua orang yang seperti binatang haus darah, yang menyerangnya untuk membunuh. Dan dia harus membela diri dengan syarat tidak boleh membunuh lawan, dengan ancaman kalau dia membunuh, maka Cian Li akan dibunuh lebih dulu sebelum dia dikeroyok!
Setelah Lim-kwi Sai-kong menerjangnya dengan dahsyat, membantu Hek-giam-ong yang juga marah sekali karena tadi dirobohkan, Pek-liong terpaksa harus memperlihatkan kepandaian yang sesungguhnya! Tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuk tubuhnya berubah menjadi bayangan yang amat gesitnya, bagaikan seekor burung walet beterbangan di antara gulungan sinar senjata kedua orang pengeroyoknya!
Melihat ini, Siauw-bin Ciu-kwi mengangguk-angguk kagum dan berbisik, “Pantas saja Hek-sim Lo-mo kalah olehnya...”
Dan diapun maklum betapa berbahayanya mempunyai seorang musuh seperti Pek-liong-eng. Orang ini harus ditarik sebagai sekutu atau dihancurkan sekarang juga! Terlalu berbahaya kalau menjadi lawan, pikir Beng-cu yang cerdik itu.
“Pek I Kongcu, majulah engkau!” katanya dan diapun berpindah ke kursi dekat Cian Li.
Gadis itu masih duduk tak mampu berperak. Sekali si gendut menggerakkan jari tangan menyentuh tengkuk, gadis itu dapat bergerak kembali, akan tetapi karena si gendut itu berada di dekatnya, iapun tidak berani bergerak. Ia hanya memandang ke arah perkelahian itu dan matanya terbelalak penuh kekhawatiran. Apa lagi setelah kini Pek I Kongcu maju mengeroyok dengan pedangnya.
Pek-liong memang mulai repot menghadapi pengeroyokan tiga orang itu. Pedang di tangan Pek I Kongcu Ciong Koan amat berbahaya, bersama dua orang pengeroyok pertama, pedang itu sungguh merupakan ancaman maut! Ilmu pedang Kun-lun-kiam-sut memang hebat dan Pek I Kongcu sudah menguasai ilmu pedang itu dengan baiknya. Pedang itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung, mengeluarkan suara berdesing.
“Singgg...!” Sebagian ujung rambut kepala Pek-liong berhamburan terkena sambaran sinar pedang. Pek-liong terkejut. Kalau dia memegang pedang pusakanya, walaupun dia tidak boleh membunuh, kiranya dia akan dapat melindungi dirinya dengan baik dan membuat para pengeroyoknya tidak berdaya dengan mematahkan senjata mereka. Akan tetapi, jangankan Pek-liong-kiam yang sudah disembunyikannya itu, bahkan senjata biasapun dia tidak punya.
Dia harus menghadapi pengeroyokan tiga orang yang lihai ini dengan tangan kosong! Dan diapun dapat melihat betapa Cian Li duduk dekat dengan Siauw-bin Ciu-kwi, maka dia tidak berdaya, tidak mungkin dapat membawa lari gadis itu. Sekali dia melakukan gerakan mencurigakan, betapa mudahnya si gendut itu membunuh Cian Li!
Menghadapi pengeroyokan tiga orang tokoh sesat yang ilmunya sudah tinggi itu, dengan tangan kosong menghadapi senjata-senjata mereka, dan tidak boleh membunuh, sungguh merupakan hal yang amat sukar. Pek-liong sudah mengerahkan seluruh gin-kangnya, mempergunakan kecepatan gerakan tubuhnya untuk menyelinap di antara sinar senjata yang menyambar-nyambar, namun dia tidak memperoleh kesempatan untuk merobohkan mereka tanpa melukai parah atau membunuh.
“Crattt...!” Tiba-tiba ujung pedang Pek I Kongcu menyerempet pangkal lengan kirinya dan bajunya terobek berikut kulit dan sedikit daging bahunya. Darah mulai mengucur membasahi bajunya. Melihat darah, agaknya tiga orang pengeroyoknya menjadi semakin buas. Sambil bergerak cepat dan kuat, mereka menghujankan serangan sambil kadang-kadang mengeluarkan gerengan atau teriakan dahsyat!
“Bukkk!” Ruyung itu menghantam punggung Pek-liong. Pemuda ini sempat melindungi diri dengan sin-kang, akan tetapi hantaman yang amat kuat itu tetap saja membuat dia terpelanting. Selagi dia roboh, golok berantai itu menyambar ke arah lehernya. Pek-liong masih dapat menggulingkan tubuhnya sehingga terlepas dari cengkeranan maut, namun kaki Pek I Kongcu menendang dan mengenai pahanya sehingga tubuhnya bergulingan semakin cepat.
Melihat betapa pria yang dikaguminya itu dikeroyok dan kini menjadi bulan-bulan serangan tiga orang pengeroyoknya, lebih lagi melihat darah membasahi baju Pek-liong-eng, tiba-tiba Cian Li menutupi mukanya dengan kedua telapak tangan dan dengan suara merintih iapun berseru, “Cukup...! Hentikan itu...! Aku tahu di mana peta itu...!”
Mendengar ini, Beng-cu itu bangkit berdiri dan mengangkat tangan ke atas, suaranya mengguntur ketika memerintahkan para pembantunya. “Berhenti! Jangan menyerang lagi!”
Lim-kwi Sai-kong, Hek-giam-ong dan Pek I Kongcu tentu saja merasa kecewa sekali. Lawan mereka sudah mulai terdesak hebat dan dalam waktu dekat tentu mereka bertiga akan dapat menyiksa dan membunuhnya. Akan tetapi mereka tidak berani membangkang terhadap perintah Beng-cu, apa lagi merekapun mendengar seruan gadis itu dan merasa tertarik sekali. Mereka semua lalu mendekati Beng-cu, akan akan tetapi Beng-cu berkata kepada mereka bertiga.
“Pek-liong harus dibelenggu dulu kaki tangannya dengan belenggu rantai yang paling berat. Pek-liong, aku sudah melihat kepandaianmu dan aku suka menerimamu sebagai pembantu. Akan tetapi, karena kami belum percaya benar, terpaksa engkau kami belenggu dan gadis ini menjadi jaminan bahwa engkau tidak akan melarikan diri dan memberontak!”
Pek-liong hanya mengangguk dan membiarkan kaki dan tangannya dibelenggu dengan belenggu rantai yang memungkinkan dia berjalan dengan melangkah perlahan-lahan, juga kedua lengannya dapat bergerak karena rantainya cukup panjang, akan tetapi tentu saja tidak mungkin dia memberontak karena gerakan kaki tangannya akan terhalang oleh belenggu-belenggu rantai.
Dia lalu melangkah perlahan menghampiri sebuah kursi dan duduk, matanya tiada hentinya menatap ke arah wajah Cian Li. Diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa gadis itu tidak dapat menahan diri dan mengaku. Kiranya, gadis itu malah yang tahu akan rahasia peta itu! Sungguh sama sekali tidak disangkanya!
“Nah, nona manis, sekarang ceritakan yang betul tentang peta itu. Kami memang sudah menaruh kecurigaan kepada engkau dan kakakmu, dan ternyata benar. Di mana peta itu? Serahkan kepada kami! Ah, tidak, lebih dulu ceritakan tentang peta itu, dari mana engkau mendapatkan peta itu?”
Wajah kekanak-kanakan itu nampak kegirangan bukan main dan agaknya dia ingin menikmati kegirangan ini sedikit demi sedikit, tidak langsung menerima peta itu dari Cian Li. Dia persis seperti seorang kanak-kanak yang mendapatkan sebuah kembang gula, lalu makan kembang gula itu sedikit demi sedikit, menjilat-jilati dan tidak langsung memakannya.
Cian Li mengangkat muka, memandang kepada Pek-liong. Ketika melihat pandang mata pemuda itu penuh penyesalan, ia menarik napas panjang. Apa lagi hanya mengorbankan peta itu, biar harus mengorbankan apapun ia tentu akan berikan untuk menyelamatkan pendekar itu! Aih, tidak tahukah engkau betapa aku mau mengorbankan apapun untukmu, betapa aku mencintaimu? Demikian hatinya berbisik. Akan tetapi sinar mata pendekar itu tetap penuh penyesalan dan iapun menundukkan mukanya.
“Aku mendapatkan peta itu dari seorang wanita cantik,” demikian ia berkata dengan muka menunduk. “Pada suatu siang ketika aku dan kakakku mencari batu-batu telaga, ketika kakakku menyelam dan aku berjaga di perahu, lewat sebuah perahu lain. Seorang wanita cantik menyuruh tukang perahunya mendekati perahuku, kemudian ia menyerahkan sebuah guci yang tertutup rapat. Ia menyerahkan guci itu kepadaku dan berkata bahwa ia titip barang itu kepadaku karena dikejar orang jahat hendak dirampas. Tentu saja aku bertanya apa adanya benda itu. Ia berterus terang mengatakan bahwa barang yang berada di dalam guci itu adalah sebuah peta rahasia Patung Emas...”
“Ah, tentu si pelacur Bi Hwa!” seru Siauw-bin Ciu-kwi dengan girang sekali dan Pek-liong-eng yang ikut mendengarkan menjadi semakin menyesal. Tak disangkanya bahwa datuk sesat itu akan mendapatkan peta itu semudah itu! Dan semua itu karena seorang gadis sederhana menaruh hati cinta kepadanya, suka menyerahkan benda berharga itu demi untuk menyelamatkannya!
“Di mana sekarang guci itu? Nona manis, di mana benda itu kausimpan?” Siauw-bin Ciu-kwi bertanya dengan penuh nafsu, suaranya terdengar ramah dan manis.
“Kusimpan di dasar telaga...” katanya lirih.
Mendengar ini, di dalam hatinya Pek-liong bersorak. Bagus, Cian Li, teriaknya dalam hati. Keteranganmu itu tentu akan memaksa mereka membawamu keluar dari tempat ini, dan kalau nasib baik, diapun akan terbawa. Kalau mereka berada di luar sarang ini, tentu akan lebih mudah untuk meloloskan diri, dan lebih mudah lagi untuk dapat herhubungan dengan Hek-liong-li. Menurut perhitungannya, paling lambat besok siang Hek-liong-li tentu sudah tiba di Telaga Po-yang!
Mendengar keterangan itu, Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya, dan senyumnya menghilang. Agaknya dia seperti dapat membaca isi hati Pek-liong. Dia memegang kedua pundak gadis itu dan membentak, “Engkau berani membohongi aku?”
Gadis itu terkejut karena merasa betapa pundaknya seperti ditindih benda yang luar biasa beratnya. Ia terbelalak, wajahnya pucat dan ia menggeleng kepala. “Aku tidak berbohong!”
Siauw-bin Ciu-kwi melepaskan kedua tangannya. “Bagus, dan engkau tentu memberitahukan kakakmu?”
“Tidak! Wanita itu memesan agar aku tidak memberitahukan kepada siapapun dan aku sudah berjanji padanya. Aku selalu memegang teguh janjiku.”
“Jadi jelas bahwa hanya engkau sendiri yang tahu di mana tempat kau sembunyikan guci itu?”
Cian Li mengangguk. “Di mana tempatnya?”
“Di tengah telaga, di mana kami suka mencari kerang hijau.”
“Bagus! Sekarang juga kita pergi ke sana! Dan awas engkau, nona manis, kalau engkau berbohong kepada kami, kalau engkau tidak berhasil mendapatkan guci itu, engkau akan menyesal bahwa engkau pernah hidup! Kami akan menyiksamu dan membikin engkau mati perlahan-lahan dalam keadaan tersiksa lahir batin! Mari kita berangkat!” Dia mengangkat muka memandang kepada para pembantunya. “Siapkan kereta dan perahu, kita berangkat sekarang juga ke telaga!”
“Tidak mungkin diambil sekarang!” tiba Pek-liong berkata, suaranya seperti sambil lalu dan acuh tak acuh.
“Apa maksudmu?” Siauw-bin Ciu-kwi yang gendut itu sekali menggerakkan tubuh sudah tiba di depan Pek-liong yang terbelenggu dan duduk di kursi. Tangan kirinya bergerak menyambar.
“Plakkk!” Tamparan itu keras sekali, membuat pipi kanan Pek-liong menjadi kebiruan dan ada sedikit darah di ujung bibirnya. Cian Li mengeluarkan jeritan lirih melihat betapa pria yang dikasihinya itu ditampar.
“Hati-hati kau dengan mulutmu, Pek-liong, atau mungkin tangan ini menyeleweng ke arah kepalamu dan engkau akan tewas seketika!” bentak Siauw-bin Ciu-kwi.
Biarpun hatinya mendongkol bukan main, namun Pek-liong, masih dapat tersenyum ketika dia mengangkat mukanya memandang kepada orang yang menamparnya. “Tentu saja aku sudah berhati-hati, Beng-cu. Sayang engkau yang bodoh. Kalau memang ingin mengadu ilmu, lepaskan belenggu ini dan kita sama lihat siapa yang lebih lihai di antara kita, jangan main tampar selagi aku tidak dapat melawan. Kalau engkau mendengarkan omonganku, maka engkau juga yang akan mendapat untung. Kau tahu, orang menyelam mencari sesuatu di dasar telaga haruslah di waktu siang hari, karena membutuhkan sinar matahari yang cukup kuat sehingga sinar itu dapat menerangi permukaan telaga. Sekarang sudah hampir sore, bagaimana mungkin adik Kam Cian Li dapat menemukan benda itu di dasar telaga? Pula, perlu apa tergesa-gesa. Besok siang baru bisa dilakukan penyelaman itu. Pula, kakaknya baru pada hari lusa akan pulang, tidak perlu kau takut akan kedatangan Hek-liong-li!” Ucapan itu sekaligus mengandung kebenaran akan tetapi juga ejekan bahwa Beng-cu itu takut kalau kalau Hek-liong-li muncul sebelum dia memperoleh peta itu.
Cian Li mendengar ucapan itu berpikir. Pendekar itu pernah memberitahu kepadanya bahwa menurut perhitungannya, kakaknya dan Hek-liong-li akan dapat tiba di telaga besok siang! Kenapa pendekar itu mengatakan bahwa Hek-liong-li baru akan dapat muncul lusa? Ia seorang gadis cerdik, dan tahu bahwa ucapan itu merupakan isyarat baginya. Ia harus dapat mengulur waktu mendapatkan peta itu sampai Hek-liong-li dan kakaknya muncul.
“Dia berkata benar, Beng-cu,” kata gadis itu. “Memang penyelaman baru dapat dilakukan setelah matahari naik tinggi, bahkan setelah lewat tengah hari karena tempat penyimpanan itu menghadap ke barat dan tempatnya sukar, merupakan daerah yang berlubang-lubang. Tanpa penerangan matahari yang kuat, sukar untuk menemukan tempat itu kembali.”
“Hemm, begitukah?” Sepasang mata dari wajah kekanak-kanakan itu kini mengamati wajah Pek-liong dan Cian Li dengan tajam penuh selidik. Akan tetapi karena Cian Li tidak berbobong, maka iapun berani menentang pandang mata itu dengan tabah sehingga akhirnya Beng-cu itu merasa puas.
“Baiklah, kalian malam ini menjadi tamu kami dan besok baru kita lihat apakah keterangan nona ini benar,” katanya lalu berkata kepada Tok-sim Nio-cu, “Kau persiapkan kamar untuk mereka. Dan jangan engkau main gila dengan Pek-liong, Nio-cu. Sebelum urusan ini selesai, aku tidak ingin melihat siapapun mempermainkan Pek-liong dan nona Kam ini. Mereka harus dijamu dengan baik, dijaga ketat dan tidak boleh diganggu!”
Berkata demikian, sepasang mata Beng-cu itu ditujukan dengan penuh ancaman kepada Tok-sim Nio-cu dan Hek-giam-ong. Dia tahu benar bahwa wanita itu adalah seorang yang haus laki-laki, sedangkan Hek-giam-ong memiliki suatu kekejaman istimewa terhadap wanita. Tentu kedua orang tawanan itu bagi mereka merupakan daging-daging segar yang menimbulkan gairah dan membangkitkan selera aneh mereka.
“Tidak perlu khawatir, Beng-cu. Aku cukup sabar menanti. Akhirnya dia akan kuuji kejantanannya!” kata Tok-sim Nio-cu sambil melirik ke arah Pek-liong dengan matanya yang genit. Sedangkan Hek-giam-ong memandang ke arah Cian Li dengan senyum dingin menyeramkan.
“Marilah, Pek-liong dan kau juga, nona penyelam. Mari kalian ikut dengan kami ke kamar kalian. Tapi tidak boleh sekamar, ya? Berbahaya kalau sekamar!” kata Tok-sim Nio-cu sambil tertawa genit.
Bukan hanya wanita ini yang sudah bangkit dengan pedang terhunus di tangan untuk mengawal dua orang tawanan itu, melainkan atas isyarat Beng-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu, Hek-giam-ong dan tiga orang Po-yang Sam-liong juga ikut mengawal dengan senjata siap di tangan. Pek I Kongcu cepat berjalan di antara Pek-liong dan Cian Li, memisahkan kedua orang itu sehingga agak berjauhan. Hal ini saja menunjukkan betapa cerdiknya pembantu Beng-cu itu.
Juga kamar mereka terpisah, walaupun berdampingan dan biarpun kaki dan tangan Pek-liong sudah dibelenggu kuat, namun para pembantu Beng-cu itu masih bergilir menjaga di depan kamarnya bersama belasan orang anak buah. Yang berjaga di luar kamar Cian Li hanya ketiga Po-yang Sam-liong, namun mereka itu sudah jauh melebihi cukup untuk membuat gadis itu tidak berani keluar kamar walaupun ia tidak dibelenggu lagi.
Setelah mereka mendapatkan hidangan makan dan minum yang cukup dan enak, keduanya merebahkan diri mengaso. Pek-liong sengaja mengaso untuk memulihkan tenaga, karena dia tahu bahwa dia membutuhkan tenaga yang segar untuk sewaktu-waktu menghadapi gerombolan penjahat yang amat lihai itu.
********************
“Kita berhenti di sini, malam terlalu gelap untuk melanjutkan perjalanan,” kata Hek-liong-li sambil menahan kudanya.
Kam Sun Ting juga menahan kudanya dan dia memandang ke sekeliling. Mereka tiba di tepi hutan yang amat sunyi. Memang malam gelap sekali. Langit merupakan dasar hitam yang ditaburi bintang-bintang, seperti beledu hitam yang dihias jutaan buah permata. Indah sekali. Tempat itu sunyi.
Tak nampak seorangpun manusia kecuali mereka berdua. Tidak sebuahpun rumah di sekitarnya. Hawa udara teramat dinginnya, sehingga dia sendiri sejak tadi sedang menggigil. Namun dia tahu, perjalanan masih amat jauh, mungkin besok pagi atau siang baru tiba di Telaga Po-yang.
“Akan tetapi, li-hiap. Bagaimana mungkin kita melewatkan malam di tempat seperti ini?” tanyanya ragu sambil menoleh ke arah gadis itu. Biarpun cuaca hanya remang-remang, namun dari garis-garis wajah dan tubuh gadis itu, dia dapat melihat jelas wajah yang amat jelita, tubuh yang amat menggairahkan, yang sudah amat dikenalnya karena telah tergores ke dalam kalbunya itu!
Gadis itu tersenyum. Keremangan tidak mampu menyembunyikan kilatan gigi yang putih rapi itu. “Engkau takut?”
Dengan tegas Sun Ting menggeleng kepalanya. “Tidak, aku tidak takut, lihiap. Apa lagi, dengan adanya lihiap di sini, apa yang harus kutakutkan? Akan tetapi... tempat ini... tidak ada rumah, tidak ada tempat tidur, di tempat terbuka yang gelap, dan hawa udara begini dinginnya, bagaimana lihiap dapat melewatkan malam di sini? Bagiku sih tidak mengapa, aku laki-laki dan sudah biasa hidup menghadapi kesukaran. Akan tetapi bagimu, seorang wanita muda belia yang...!”
Sun Ting tidak melanjutkan kata-katanya karena Liong-li kini tertawa sambil melompat turun dari atas punggung kudanya. “Hi-hi-hik, engkau lucu sekali, saudara Kam Sun Ting! Kaukira aku ini orang macam apa? Seorang puteri istana yang tidak biasa menghadapi kesukaran? Turunlah, kita mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam!”
Sun Ting terpaksa meloncat turun dari atas kudanya. Tak lama kemudian mereka telah mendapatkan sebuah tempat yang enak, di bawah sebatang pohon besar, bertilamkan rumput hijau yang tebal. Mereka menambatkan tali dua ekor kuda mereka pada akar pohon dan membiarkan kedua binatang itu makan rumput.
“Sekarang kita membagi tugas,” kata Liong-li sambil tersenyum. “Engkau mengumpulkan kayu bakar untuk membuat perapian, dan aku mengumpulkan daun kering untuk alas duduk dan tidur.”
“Sudahlah, lihiap. Engkau duduk saja beristirahat, biar aku yang akan mengumpulkan semua itu. Ini pekerjaan laki-laki!” kata Sun Ting gagah.
Tanpa menanti jawaban diapun segera pergi mencari barang yang mereka butuhkan. Sebentar saja dia sudah mengumpulkan kayu kering yang cukup banyak. Akan tetapi ketika dia tiba kembali ke tempat itu, ternyata rumput yang tebal, lunak dan basah itu telah tertutup daun-daun kering sehingga mereka dapat duduk di situ dengan enak. Seperti orang duduk di atas kasur saja. Kiranya wanita jelita itu telah mengumpulkan daun kering dan menutupi rumput hijau yang basah dengan daun-daun kering.
“Bagus, sebegini sudah cukup,” kata Liong-li.
Dengan cekatan ia lalu membuat api unggun, dibantu oleh Sun Ting dan melihat kecekatan wanita itu, percayalah Sun Ting bahwa memang pendekar wanita itu agaknya tidak asing dengan kehidupan di tempat terbuka seperti ini. Sebentar saja, mereka duduk di atas rumput yang ditilami daun kering, menghadapi api unggun yang hangat, nyaman sekali rasanya sehabis melakukan perjalanan jauh yang melelahkan...