MEREKA duduk saling berhadapan, terhalang api unggun, dapat saling pandang dengan jelas karena wajah mereka diterangi cahaya api unggun yang kemerahan. Beberapa kali Sun Ting terpesona. Cahaya api yang hidup itu, bermain pada wajah yang jelita, membuat wanita itu nampak seperti bukan manusia, seperti seorang bidadari! Rambut yang agak kusut itu, mata yang bersinar-sinar, bibir yang merah basah, bagian kedua pipi di bawah mata, nampak kemerahan. Betapa indahnya! Betapa cantik jelitanya!
Pada saat Liong-li mengangkat muka, pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sun Ting yang kebetulan menatap padanya dengan pandang mata terpesona. “Hemm, kenapa engkau memandang kepadaku seperti itu? Apa yang aneh pada mukaku?” tanya Liong-li sambil meraba pipi dengan tangan kirinya, takut kalau-kalau mukanya terkena kotoran.
“Lihiap... maafkan aku...” Sun Ting menundukkan lagi mukanya yang berubah kemerahan.
Dia tidak tahu betapa wanita itu memandang kepadanya dengan senyum aneh, dan betapa sepasang mata itu memandang kepadanya dengan kagum. Seorang pemuda yang hebat, pikir Liong-li. Begitu penuh perhatian, begitu romantis, begitu sopan! Dan kekaguman yang terpancar dari sepasang mata itu, kekaguman bercampur rasa sayang, begitu jelas membayang, membuat hatinya berdebar kencang dan girang.
“Saudara Sun Ting, berapakah usiamu sekarang, dan berapa pula usia adikmu itu? Bagaimana keadaan keluarga kalian?” Ia bertanya.
Dan diam-diam Sun Ting bersyukur karena pertanyaan itu membuka jalan untuk percakapan, dan mengusir pergi perasaan tidak enak dan salah tingkahnya tadi karena dia tertangkap basah ketika memandang penuh pesona. “Usiaku dua puluh dua...”
“Aih, kalau begitu, aku lebih tua dua tahun darimu!” Liong-li memotong.
Kini Sun Ting memandang tajam, lalu menggeleng kepalanya. “Aku tidak percaya, lihiap!”
Liong-li mengerutkan alisnya. “Tidak percaya? Engkau tidak percaya padaku?”
“Eh, maksudku... aku tidak percaya bahwa usiamu sudah dua puluh empat tahun!”
Lenyap kerutan itu dan kini Liong-li tersenyum semakin lebar, sehingga wajahnya menjadi cantik manis sekali, gemilang di bawah timpaan cahaya api unggun yang bermain di wajahnya. “Hemm, lalu kau kira berapa semestinya usiaku?”
“Menurut penglihatanku, engkau tidak akan lebih dari sembilan belas tahun, lihiap!”
Dan wanita itu tertawa. Tertawa lepas bebas, tidak seperti wanita lain yang kalau tertawa menjadi tersipu, menutupi mulut dan tertawa dengan sembunyi-sembunyi. Wanita ini tertawa lepas, wajahnya agak tengadah, mulutnya terbuka sehingga nampak rongga mulut yang kemerahan, gigi yang berderet putih, lidah yang ujungnya runcing dan merah jambu, dan ketawanya mengeluarkan suara merdu seperti nyanyian.
Kembali Sun Ting terpesona. Akan tetapi hanya sebentar Liong-li tertawa, lalu mulut itu tertutup kembali akan tetapi masih tersenyum manis, dan mata itu semakin bercahaya dan berseri penuh kegembiraan. “Saudara Kam Sun Ting, apakah engkau tidak tahu bahwa setiap orang wanita dewasa selalu menyembunyikan jumlah usianya, dan kalau terpaksa mengaku selalu mengurangi jumlahnya? Tidak ada wanita yang menambah jumlah usianya dalam pengakuannya, demikian pula aku. Tidak mungkin aku menambah tua usiaku, walaupun aku tidak suka pula menguranginya. Aku memang sudah berusia dua puluh empat tahun!”
“Sungguh sukar dipercaya, lihiap!”
“Percaya atau tidak, itulah kenyataannya. Dan sudah tiba saatnya engkau tidak menyebut lihiap kepadaku. Ketahuilah bahwa aku dan Pek-liong-eng bukan hanya sahabat, melainkan lebih erat dari pada saudara sekandung. Engkau sudah dipercaya olehnya, berarti kini menjadi sahabat baik, maka sudah sepatutnya engkau menyebut enci (kakak perempuan) padaku, dan aku menyebut engkau... namamu saja karena engkau pantas menjadi saudara mudaku!”
Akan tetapi Sun Ting mengerutkan alisnya. Setelah saling pandang beberapa lamanya, diapun menarik napas panjang dan tersenyum. “Baiklah... enci, walaupun aku akan lebih suka kalau boleh menyebutmu... adik!”
Liong-li tersenyum lebar. Pernyataan ini semakin menyenangkan hatinya. “Tidak boleh! Kalau engkau menyebut aku moi-moi (adik perempuan), dalam pandanganku engkau menjadi agak kurang ajar. Nah, apakah engkau ingin aku memandangmu sebagai seorang yang tidak tahu aturan?”
Sun Ting terkejut, lalu cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Liong-li dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu membungkuk. “Maafkan, maafkan aku, enci yang baik.”
Melihat ini, Liong-li tertawa lagi. Sun Ting juga tertawa dan mereka merasa semakin akrab. Ketika Sun Ting duduk kembali, tiba-tiba Liong-li tertawa lagi, sekali ini tertawa geli sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sun Ting.
“Ih, engkau sungguh tidak tahu malu, Sun Ting!”
“Ehh?” Pemuda itu mulai terkejut. “Aku? Tidak tahu malu? Kenapa, li... eh, enci?”
“Bukan engkau yang tidak tahu malu, kumaksudkan perutmu!”
“Perutku? Mengapa perutku...?” Sun Ting memandang ke arah perutnya.
“Perutmu berkeruyuk tadi, sungguh tak tahu malu!”
Sun Ting terbelalak dan mukanya lalu berubah merah. Memang perutnya tadi berkeruyuk akan tetapi bagaimana wanita ini mampu mendengarnya? Melihat pemuda itu menjadi salah tingkah karena malu, Liong-li tertawa lagi.
“Bukan hanya perutmu yang berkeruyuk Sun Ting. Perutku juga! Apakah engkau tidak mendengarnya? Hi-hik, perut kita memang tak tahu malu!”
Tentu saja ucapan ini mengusir rasa malu yang diderita Sun Ting, dan teringatlah dia bahwa sejak sebelum tengah hari tadi sampai sekarang mereka belum makan apa-apa. Pantas saja perutnya lapar, dan perut Liong-li juga! Kasihan sekali!
“Ah, aku tadi lupa membeli bekal makanan. Bagaimana ini? Kalau saja kita berada di dekat telaga atau sungai, tentu aku akan mampu menangkap beberapa ekor ikan untukmu, enci. Aku lupa bahwa engkau belum makan malam. Bagaimana ini? Biar aku akan pergi mencari makanan untukmu.” Dia bangkit berdiri, siap untuk pergi ke mana saja untuk mencari makanan.
“Sstt... jangan bergerak, jangan berisik, Sun Ting! Duduklah lagi dan jangan bergerak...!”
Tentu saja pemuda itu terkejut sekali dan diapun duduk kembali, memandang kepada pendekar wanita itu penuh pertanyaan. Liong-li menunjuk ke atas pohon. “Di sana ada makanan!”
Sun Ting terbelalak dan memandang kepada gadis itu dengan sinar mata heran dan khawatir. Sintingkah wanita ini, pikirnya. “Di mana? Di atas pohon?” bisiknya.
Liong-li mengangguk. “Ada daging burung panggang di sana... ssstt, diam saja kau...”
Sepasang mata pemuda itu menjadi semakin lebar, dan kekhawatirannya bahwa gadis ini menjadi sinting semakin membesar. Mana mungkin ada daging burung panggang di atas pohon? Akan tetapi tiba-tiba Liong-li memandang ke atas, kedua tangannya bergerak dan nampak sinar-sinar hitam kecil berkelebat ke atas.
Kiranya ia sudah menyambitkan beberapa potong kayu ke arah pohon besar itu. Sun Ting memandang heran dan... berbareng dengan suara ketawa Liong-li, dari atas pohon meluncur jatuh dua ekor burung, sejenis burung kepodang yang besarnya seperti ayam muda, dan dua ekor burung itu telah tewas dengan tubuh tertusuk kayu meruncing!
Kini mengertilah Sun Ting dan dia kagum bukan main. Kiranya bukan daging burung panggang yang dimaksudkan pendekar wanita itu, melainkan burung yang setelah tertangkap, tentu saja nanti akan menjadi daging burung panggang! Dia bersorak dan cepat menyambar dua ekor burung itu, mengamatinya dengan penuh kagum.
“Aih, lihiap... eh, enci yang baik! Bagaimana engkau bisa tahu di sana ada burung dan bagaimana pula dapat menyambit jatuh mereka ini, pada hal burung-burung itu tidak nampak dari sini?”
Dia menengadah. Pohon itu nampak gelap karena semua sinar bintang tertangkis oleh daun-daun lebat sebagai perisai, juga sinar api unggun tidak mencapai ketinggian pohon.
Liong-li tersenyum, “Pengalaman hidup di alam bebas yang mengajarkan aku, Sun Ting. Sudahlah, mari kita cepat membuat daging burung panggang, perut kita sudah lapar, bukan?”
Mereka bekerja dengan gembira, mencabuti semua bulu burung, kemudian mengeluarkan isi perutnya dan memanggang dagingnya setelah Liong-li menyulap keluar bumbu-bumbu yang dibawanya dalam buntalan pakaiannya. Segera tercium bau sedap yang membuat perut mereka kini berkeruyuk tanpa malu-malu lagi?
Dan tak lama kemudian, perut mereka itupun menjadi tenang dan lega setelah semua daging burung yang lunak, segar dan sedap itu masuk ke dalamnya, didorong oleh anggur manis yang kembali disulap keluar dari dalam buntalan pakaian pendekar wanita itu.
“Nah, sekarang engkau beristirahatlah, Sun Ting. Biar aku yang berjaga di sini agar api unggun tidak padam. Nyamuk dan mungkin binatang hutan akan datang mengganggu kalau api unggunnya padam. Engkau beristirahat dan tidurlah.”
Pemuda itu mengerutkan alisnya.” Aih, enci, sungguh engkau terlalu memanjakan aku, membuat aku malu saja. Aku bukan seorang anak kecil yang perlu dilayani dan dijaga. Aku seorang laki-laki, enci! Dan engkau biarpun engkau lebih tua sedikit dariku, dan biarpun engkau seorang wanita perkasa yang berkepandaian tinggi, engkau tetap saja seorang wanita, sehingga sudah sepatutnya kalau engkau yang beristirahat dan tidur, sedangkan aku sebagai laki-laki yang berjaga!”
Melihat sikap tegas dan jantan itu, mau tidak mau Liong-li memandang kagum lagi. Sun Ting ini memang seorang laki-laki pilihan, pikirnya dengan hati senang. Iapun tersenyum manis sekali, lalu mengangguk. “Baiklah, Sun Ting. Aku akan beristirahat sebentar dan nanti kugantikan engkau berjaga. Kita perlu mengaso dan menyimpan tenaga karena siapa tahu, besok kita akan menghadapi pekerjaan sukar dan lawan tangguh.”
Wanita itu lalu merebahkan diri miring membelakangi api unggun dan Sun Ting, pemuda itu duduk menghadap api unggun dan mengamati tubuh itu dengan hati penuh kekaguman. Sungguh seorang wanita yang hebat! Belum pernah selama hidupnya dia merasa kagum terhadap seorang wanita seperti perasaan hatinya terhadap Liong-li ini. Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada pendekar wanita ini. Dan dia tahu pula bahwa dirinya sungguh tidak berharga, sungguh tidak sepadan dengan Liong-li, bagaikan burung gagak merindukan burung Hong!
Betapa mungkin seorang laki-laki seperti dia, miskin dan yatim piatu, tidak memiliki apa-apa dan bahkan hanya seorang laki-laki lemah kalau dibandingkan Liong-li, dapat mengharapkan balasan cinta dari seorang pendekar wanita sehebat ini? Kenyataan ini membuat dia berulang kali menarik napas panjang, sedih.
Hidup tak mungkin bebas dari pada nafsu. Nafsu adalah pelengkap hidup. Nafsu adalah pemberian dan anugerah Tuhan yang terbawa lahir oleh kita. Merupakan pelengkap karena hidup ini takkan dapat berlangsung tanpa adanya nafsu. Nafsu yang memelihara badan ini sehingga dapat menjadi sehat dan hidup.
Nafsu pula yang membuat kita manusia mampu menemukan banyak rahasia alam, membuat barang-barang yang berguna bagi kehidupan lahiriah. Nafsu yang kita dapat menikmati hidup melalui panca indra kita. Bahkan nafsu pula yang mendorong manusia memungkinkan berkembang biakan.
Nafsu merupakan seorang pembantu yang amat baik, merupakan kebutuhan hidup yang mutlak dan penting sekali. Akan tetapi, nafsu juga dapat menjadi majikan yang amat jahat, kejam dan menyeret kita ke dalam lumpur kesengsaraan!
Oleh karena itu, kita membutuhkan berkah dan bimbingan Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta dan Sang Maha Kasih, agar kita tidak sampai diperalat oleh nafsu, sebaliknya kitalah yang memperalat nafsu demi kesejahteraan hidup, demi memenuhi semua kebutuhan hidup, yaitu kepentingan lahiriah! Kalau sampai kita yang diperalat nafsu, maka mulailah kita menjadi permainannya, dan timbullah segala macam kesengsaraan yang menenggelamkan kita ke dalam duka!
Hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu yang timbul dari daya-daya rendah. Apapun yang menjadi hasil pikiran, sudah pasti mengandung nafsu. Satu-satunya jalan untuk membebaskan jiwa dari cengkeraman nafsu daya rendah hanyalah penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa!
Pikiran, dengan sejuta akalnya, tidak mungkin dapat membebaskan jiwa dari belenggu, karena pikiran hanya alat, sama dengan nafsu. Hanya kekuasaan Tuhan jualah yang dapat membebaskan jiwa dari belenggu. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu membersihkan jiwa sehingga tidak lagi menjadi abdi nafsu, melainkan menjadi bebas, sedangkan nafsu yang tadinya menjadi penguasa, lalu hanya sekadar menjadi alat pelengkap saja.
Kembali Sun Ting menghela napas panjang. Gairah berahinya bangkit ketika dia melihat lekuk lengkung tubuh yang rebah miring itu. Betapa akan bahagianya dia kalau dapat mencurahkan cinta kasihnya kepada wanita luar biasa itu! Tiba-tiba dia terkejut sendiri. Celaka, ada hasrat yang demikian kuat mendorong agar dia mendekat, agar dia meraba, membelai dan mendekap tubuh itu.
Dan kesadarannya memperingatkannya bahwa kalau hal itu dia lakukan, maka dia akan menghadapi seorang pendekar wanita yang tentu akan marah sekali. Mungkin dia akan dihajarnya, bahkan mungkin dibunuhnya! Maka, dengan cepat dia membuang pandang matanya, menunduk dan melupakan Liong-li dengan memikirkan keadaan adiknya yang dia tinggalkan bersama Pek-liong.
Dia tidak tahu bahwa ucapan terakhir dari Liong-li tadi, bahwa mungkin besok mereka akan menghadapi pekerjaan sukar dan lawan tangguh, ternyata menjadi ramalan yang benar-benar akan terjadi!
Perahu besar itu meluncur ke Telaga Po-yang. Tidak ada perahu lain berani mendekat perahu besar itu, bahkan perahu-perahu nelayan dan pelancong yang tadinya berada di tengah telaga, segera menyingkir cepat-cepat, ketika perahu besar itu meluncur datang. Yang membuat semua orang menyingkir ketakutan adalah ketika mereka melihat tiga orang laki-laki bertubuh raksasa berdiri di kepala perahu.
Mereka itu bukan lain adalah Po-yang Sam-liong, tiga orang tokoh sesat yang menguasai seluruh telaga itu. Tidak ada orang yang tidak gentar melihat mereka, maka perahu-perahu lain menyingkir karena mereka merasa lebih baik menjauhi tiga orang tokoh besar itu. Karena ketakutan dan cepat menyingkir ini, maka tidak ada orang lain melihat siapa yang berada di dalam perahu besar, yang terlindung oleh atap perahu.
Padahal, yang berada di dalam perahu besar itu adalah tokoh-tokoh yang lebih menyeramkan dari pada Po-yang Sam-liong. Mereka adalah Siauw-bin Ciu-kwi sendiri bersama para pembantunya lengkap, yaitu Tok-sim Nio-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu dan Hek-giam-ong. Mereka berlima ini mengepung Pek-liong dan Cian Li.
Pek-liong masih dalam keadaan dibelenggu kaki tangannya, sedangkan Cian Li duduk dengan bebas. Gadis itu sejak tadi cemberut, mukanya sebentar pucat sebentar merah dan matanya tiada hentinya melirik ke arah Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dengan penuh kebencian.
Wanita cantik genit ini memang sejak tadi duduk di dekat Pek-liong. Tanpa menghirau- kan orang lain, wanita ini duduk mepet dan lengannya merangkul pinggang atau kadang juga naik ke pundak Pek-liong. Sikapnya merayu dan memikat, beberapa kali jari-jari tangannya meraba leher dan dagu pendekar itu yang diam saja.
Sikap wanita ini tidak dihiraukan oleh Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantu yang lain. Juga Pek-liong, biarpun hatinya merasa mendongkol sekali atas sikap tak sopan dan tak tahu malu wanita iblis itu, mendiamkannya saja karena dia tidak mau mencari keributan hanya soal kecil seperti itu. Akan tetapi yang paling menderita karenanya adalah Cian Li. Ia marah sekali, muak dan benci, akan tetapi iapun merasa tidak berdaya dan hanya dapat bersikap cemberut saja.
“Kam Cian Li, sekali ini engkau harus bekerja dengan benar-benar dan sama sekali tidak boleh membohongi kami. Ingat, kalau engkau menyelam nanti, Pek-liong berada di sini bersama kami. Engkau tidak ingin melihat dia disiksa sampai mati, bukan?” demikian Tok-sim Nio-cu berkata sambil meraba ke arah leher terus turun ke dada Pek-liong dengan sikap merayu dan membelai.
“Huhh!” Cian Li membuang muka, mendengus marah.
Akhirnya perahu tiba di tempat yang dimaksudkan oleh Cian Li dan perahu dihentikan, jangkar dilempar. “Nona Kam, bersiaplah untuk menyelam, dan sekali lagi kuperingatkan, jangan engkau membuat ulah yang bukan-bukan, jangan mencoba untuk melarikan diri atau menipu kami, karena selain akhirnya engkau akan dapat kami tangkap, juga Pek-liong akan tersiksa sampai mati kalau engkau melarikan diri!” kata Siauw-bin Ciu-kwi. Gadis itu mengangguk dan sudah bangkit berdiri.
“Nanti dulu, Li-moi!” Tiba-tiba Pek-liong berkata.
Gadis itu cepat menoleh kepadanya, dan semua orang juga memandang pendekar itu, dan mereka sudah siap dengan senjata mereka untuk menjaga kalau-kalau pendekar itu akan memberontak walaupun kaki dan tangannya sudah terbelenggu dengan rantai yang kuat.
“Peraturan ini sungguh tidak adil!” kata Pek-liong sambil memandang kepada Siauw-bin Ciu-kwi. “Li-moi, jangan engkau mau menyelam sebelum Beng-cu berjanji bahwa engkau akan segera dibebaskan begitu menemukan peta rahasia itu! Itu hakmu dan jangan takut. Mereka ini membutuhkanmu, Li-moi. Mereka tidak akan mengganggumu sebelum engkau memperoleh peta itu!”
Siauw-bin Ciu-kwi marah sekali, akan tetapi tepat seperti yang dikatakan Pek-liong, dia tidak berani bermain kasar, takut kalau-kalau gadis itu menjadi nekat dan tidak mau mengambilkan petanya.
“Hemm, Pek-liong, engkau tidak percaya kepada kami? Apa maksudmu mencegah nona Kam bekerja?”
“Tidak! Lebih dulu engkau harus berjanji bahwa kalau nona Kam sudah mengambil peta itu dan menyerahkan kepadamu, engkau akan membebaskannya! Beng-cu, hanya dengan janji itulah nona Kan, mau menyelam!”
Pek-liong kini memandang kepada Cian Li dan gadis itupun mengangkat muka dan berkata dengan sikap angkuh dan tegas. “Benar sekali! Biar kalian menyiksa atau membunuh aku, aku tidak akan sudi mengambilkan peta itu sebelum kalian berjanji bahwa setelah peta itu kuserahkan, kalian akan membebaskan aku dan Pek-liong!”
Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. “Dengan Pek-liong? Tidak bisa! Engkau akan kubebaskan setelah tugasmu selesai, nona, akan tetapi Pek-liong harus menebus kebebasannya dengan lebih dulu mengalahkan kami!”
“Bagus! Tantangan itulah yang kunanti-nanti, Beng-cu. Kalau memang engkau seorang laki-laki sejati, Beng-cu, aku menantangmu sekarang juga!” kata Pek-liong, “Setidaknya, engkau harus berani memberikan janjimu kepada nona Kam dan tidak akan melanggarnya, demi nama baikmu!”
Wajah yang biasanya ramah kekanak-kanakan itu kini nampat muram, “Hem, engkau sombong, Pek-liong. Sekali waktu, pasti kita akan berhadapan sebagai lawan. Sekarang ada pekerjaan yang lebih penting. Aku telah memberikan janjiku bahwa aku akan membebaskan nona Kam tanpa mengganggunya setelah tugasnya selesai! Nah, nona Kam, engkau lakukanlah tugasmu!”
Karena tidak ada janji bahwa Pek-liong akan dibebaskan pula, Cian Li memandang kepada Pek-liong. Pendekar ini mengangguk karena tidak mungkin dia dibebaskan begitu saja mengingat bahwa dia pernah membasmi seorang di antara Kiu Lo-mo dan tentu saja hal ini mendatangkan dendam di hati Siauw-bin Ciu-kwi.
Biarpun di situ banyak orang, Cian Li tidak perduli dan ia lalu menanggalkan pakaiannya. Di sebelah dalam, ia telah mengenakan pakaian yang pernah membuat Pek-liong mengira ia telanjang bulat. Pakaian yang tipis ketat dan kini kembali Pek-liong memandang dengan sinar mata penuh kagum. Lekuk lengkung tubuh gadis itu demikian sempurna, demikian indahnya sehingga dia memandang terpesona. Dari kaki yang panjang itu sampai kepala yang tegak dan anggun, sungguh merupakan pemandangan yang amat indah dan menarik hati.
“Aih, Pek-liong, kenapa engkau memandangnya seperti itu? Percayalah, tubuhku tidak kalah indah oleh tubuhnya. Engkau tidak percaya? Biar sekarang juga aku berdiri telanjang bulat di depanmu...” Tok-sim Nio-cu bangkit dan mulai menanggalkan kancing bajunya sehingga mulai nampak kulit dada yang putih mulus.
“Sudahlah, Niocu. Mari kita bekerja, nona Kam!” kata Siauw-bin Ciu-kwi tak sabar melihat tingkah Tok-sim Nio-cu yang dianggapnya mengganggu pekerjaan penting itu.
Mereka semua bangkit dan berdiri di kepala perahu. Tok-sim Nio-cu masih merangkul Pek-liong, bahkan kini lengan kirinya melingkari pinggang Pek-liong dan jari-jari tangannya dengan mesra meraba perut pemuda itu. Melihat ini, wajah Cian Li menjadi marah bukan main.
“Nah, engkau menyelamlah, nona Kam!” kata Beng-cu itu dengan hati tegang karena dia sudah membayangkan akan dapat menemukan potongan peta yang akan membuat petanya lengkap, yaitu peta tentang Patung Emas yang selain akan membuatnya kaya raya, juga akan memberi obat panjang usia yang akan membuat dia dapat berusia sampai beratus ratus tahun!
“Baik, aku akan menyelam!” kata Cian Li dan gadis ini lari ke pinggir perahu, akan tetapi tanpa disangka oleh siapapun juga, ia telah menabrak tubuh Tok-sim Nio-cu yang berdiri di tepi perahu pula.
“Ihhh...!” Tok-sim Nio-cu tidak sempat mengelak sehingga tubuhnya terjungkal bersama Cian Li keluar dari perahu. Pada saat itu, Lim-kwi Sai-kong mengulur lengannya yang panjang, mungkin untuk menyambar tubuh Tok-sim Nio-cu atau untuk menghantam ke arah tubuh Cian Li. Melihat ini, Pek-liong menyambut dengan dorongan tangannya.
“Dukkk...!” Dua tangan bertemu dan akibatnya, Pek-liong merasa tubuhnya tergetar dan sebaliknya, Lim-kwi Sai-kong terdorong muodur dua langkah!
“Byuurrrr...!” Air telaga muncrat ketika tertimpa tubuh dua orang wanita itu. Tok-sim Nio-cu boleh jadi lihai sekali di atas daratan, akan tetapi begitu tubuhnya menimpa air, ia gelagapan karena ia tidak pandai renang!
“Uuuppp... tolong... aeppp... tolong...!!” Ia menjerit-jerit, akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak karena kakinya ada yang menangkap dari bawah dan tubuhnya ditarik ke bawah permukaan air!
Tentu saja yang melakukan penyerangan ini bukan lain adalah Cian Li! Sejak tadi gadis ini menahan-nahan perasaan cemburu, marah dan bencinya terhadap Tok-sim Nio-cu. Ia maklum bahwa ia tidak berdaya di atas perahu atau di darat, akan tetapi begitu tiba di air, ia memperoleh kesempatan untuk membalas dan melampiaskan semua kemarahan dan kebenciannya kepada wanita genit itu!
Dipegangnya pergelangan kaki Tok-sim Nio-cu dan dibawanya wanita itu menyelam! Ketika Tok-sim Nio-cu meronta-ronta, ia lalu menangkap rambut yang riap-riapan itu dan menjambak rambutnya, terus menarik ke bawah!
“Keparat!” Lim-kwi Sai-kong marah dan sudah mencabut golok besarnya.
“Sudah, jangan berkelahi!” Beng-cu itu membentak, lalu meneriaki Po-yang Sam-liong. “Kalian selamatkan Nio-cu! Dan biarkan nona Kam bekerja, jangan ganggu dan bawa Nio-cu kembali ke perahu!”
Tiga orang raksasa itu lalu meloncat ke luar perahu. Mereka adalah tiga orang tokoh Telaga Po-yang, tentu saja mereka pandai renang dan pandai menyelam, walaupun tidak sehebat Kam Cian Li atau kakaknya. Mereka menyelam dan mereka melihat betapa Tok-sim Nio-cu meronta-ronta, akan tetapi rambutnya yang panjang sudah dijambak oleh Cian Li yang bergerak seperti ikan saja, dan tubuh Tok-sim Nio-cu terus ditarik ke bawah!
Tiga orang ini cepat mengejar dan dengan pengerahan tenaga tiga orang, barulah mereka dapat memaksa Cian Li melepaskan rambut Tok-sim Nio-cu, Po-yang Sam-liong lalu menyeret Tok-sim Nio-cu yang sudah mulai lemas itu naik ke permukaan air telaga. Setibanya di permukaan air, Tok-sim Nio-cu terengah-engah dalam keadaan setengah pingsan dan perutnya yang ramping itu kini menggembung karena terlalu banyak minum air telaga! Ia lalu ditolong, diangkat ke perahu dan ditelungkupkan, punggungnya ditekan-tekan sehingga air dari perut keluar melalui mulutnya.
Melihat keadaan Tok-sim Nio-cu, diam-diam Pek-liong tertawa geli. Sungguh Cian Li merupakan seorang gadis yang hebat dan tabah sekali, pikirnya. Akan tetapi diapun khawatir karena seorang wanita iblis macam Tok-sim Nio-cu tentu tidak akan membiarkan saja dirinya dihina seperti itu, bahkan nyaris tewas konyol di dalam air!
Sementara itu, tak jauh dari situ, dua pasang mata sejak tadi mengintai sejak perahu besar itu membuang jangkar di tempat itu. Mereka adalah Kam Sun Ting dan Hek-liong-li! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sun Ting dan Liong-li melakukan perjalanan cepat dan setelah terpaksa melewatkan malam di tepi hutan, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali telah melanjutkan perjalanan membalapkan kuda mereka. Pada tengah hari, mereka tiba di Telaga Po-yang.
“Kita berhenti di sini dan titipkan kuda kita kepada seorang penduduk di sini yang kaukenal,” kata Hek-liong-li. Ia sendiri tidak ikut menitipkan kuda karena ia tidak ingin kehadirannya di Po-yang diketahui orang.
Setelah kuda dititipkan, ia mengajak Sun Ting untuk mendekati telaga. Sun Ting menjadi petunjuk jalan dan lebih dahulu mereka pergi ke rumah Sun Ting. Ketika tiba di rumah, Sun Ting terkejut sekali melihat rumah itu dalam keadaan kacau, bahkan ada sebagian yang bekas terbakar. Barang-barang dijungkir balikkan, dan yang membuat dia terkejut dan khawatir adalah lenyapnya adiknya yang tidak meninggalkan bekas!
Melihat kebingungan dan kegelisahan pemuda itu, Liong-li yang sejak tadi bersikap tenang saja lalu berkata, suaranya tidak lagi ramah seperti biasa, melainkan tegas dan berwibawa sehingga Sun Ting merasa terkejut. “Sun Ting, bukankah ketika engkau pergi, adikmu yang bernama Cian Li itu bersama dengan Pek-liong-eng?”
Walaupun terkejut melihat perubahan sikap ini, Sun Ting menjawab dan merasa seolah-olah kini dia berhadapan dengan seorang pemimpin. “Benar sekali... enci Cu!”
Biasanya, sudah begitu enak menyebut wanita itu enci Kim Cu atau enci Cu begitu saja, akan tetapi melihat sikap wanita itu sekarang, dia merasa akan lebih enak kalau menyebutnya lihiap. Mendengar jawaban itu, Liong-li lalu melakukan penyelidikan, meneliti seluruh keadaan rumah itu, kemudian ia keluar dan termenung di luar rumah. Ia melihat tanda-tanda perkelahian di rumah itu, bahkan dia melihat bekas banyak sekali darah di kamar. Ada yang luka parah atau terbunuh agaknya. Dan Cian Li lenyap. Bahkan Pek-liong juga lenyap.
Kalau Pek-liong ada dan masih bebas, tentu sekarang sudah menyambut kedatangannya. Tidak adanya Pek-liong menyambut, berarti bahwa Pek-liong tidak mampu melakukannya, terhalang oleh hal yang amat penting atau tertawan musuh!
“Mari kita selidiki di rumah-rumah penginapan! Siapa tahu Pek-liong berada di sana atau setidaknya pernah bermalam di sana,” katanya dengan sikap memerintah.
“Baik... lihiap.”
Mendengar sebutan ini, Liong-li menatap wajah pemuda itu, akan tetapi tidak menegurnya. Agaknya ia berpikir bahwa dalam keadaan serius seperti itu, sebaiknya kalau pemuda ini menganggapnya sebagai seorang atasan atau pemimpin agar ada keseriusan di antara mereka. Tidak sukar bagi Sun Ting untuk menyelidik dan menemukan rumah penginapan di mana adiknya dan Pek-liong bermalam, malam kemarin.
“Mereka berdua pergi meninggalkan kamar tanpa pamit,” kata pengurus rumah penginapan. “Entah ke mana. Akan tetapi buntalan pakaian mereka masih ada.”
Mendengar ini, Sun Ting yang sudah mengenal pemilik rumah penginapan, lalu mendekatinya dan bertanya dengan suara lirih, “Toako, katakanlah terus terang, apakah pada hari-hari kemarin engkau tidak melihat mereka?”
Pemilik rumah penginapan itu mengamati wajah penanyanya, lalu balas berbisik, “Siapa yang kau maksudkan dengan mereka?”
“Maksudku Po-yang Sam-liong... toako, jangan takut, engkau mengenal aku, bukan? Katakan apa engkau atau orang-orangmu pernah melihat mereka...”
“Ada hubungannya dengan adikmu yang kau cari-cari ini?” tanyanya, juga berbisik. “Jangan kau khawatir, adikmu di sini bersama seorang pemuda tampan. Hemm, pacarnyakah itu? Kapan menikahnya?” Suara pemilik rumah penginapan itu terdengar pahit. Kiranya dia pernah tergila-gila kepada Kam Cian Li, mengajukan pinangan namun ditolak oleh gadis itu.
“Tidak, hanya teman. Toako, katakanlah tentang mereka itu...” Kam Sun Ting mendesak.
“Hemm, siapa memperdulikan mereka? Akan tetapi pernah kemarin dulu aku melihat mereka di kuil tua di luar kota itu.”
“Kuil tua tak terpakai di luar kota sebelah utara?” tanya Sun Ting kepada si pemilik rumah penginapan.
Yang ditanya mengangguk dan kini Liong-li segera berkata. “Sun Ting, mari kita pergi!” Dan ia mendahului pemuda itu pergi meninggalkan rumah penginapan. Sebelum Sun Ting menyusul pergi, pemilik rumah penginapan itu memegang lengannya.
“Hei, Sun Ting, siapakah itu? Pacarmukah? Begitu cantik jelita!” katanya kagum sambil memandang bayangan gadis cantik berpakaian serba hitam itu.
“Hssss, hanya teman,” jawab Sun Ting dan diapun berlari meninggalkan temannya yang masih bengong, mengejar Liong-li.
Setelah tiba di luar kota, payahlah Sun Ting yang harus mengerahkan seluruh tenaganya mengejar Liong-li yang berjalan dengan cepat sekali. Sambil berjalan cepat, Liong-li memperhatikan sekitar tempat itu, bahkan memperhatikan jalan yang dilaluinya. Setibanya di luar kuil, Liong-li tiba-tiba berhenti dan matanya memandang ke arah tembok kuil.
“Lihiap, bagaimana dengan penyelidikanmu! Kaupikir apa yang telah terjadi dengan adikku! Ia tidak berada dalam bahaya, bukan?”
Pendekar wanita itu mengerutkan alisnya, tidak menjawab, bahkan ia lalu menghampiri kuil dan mengamati bagian yang agak tersembunyi dari dinding kuil. Ada semak-semak di dekat dinding, akan tetapi agaknya ia melihat sesuatu lalu menyingkap semak-semak itu. Sun Ting ikut pula melihat apa yang terdapat di balik semak-semak itu. Hanya coretan dengan bata, coretan kasar menggambarkan sebuah bukit yang ditumbuhi sebatang pohon dan di bawah pohon ada garis menurun.
Bagi orang lain, gambar itu tidak ada artinya, juga bagi Sun Ting yang menganggap coretan itu hanya coretan yang dilakukan anak-anak iseng, mungkin anak penggembala kerbau yang iseng. Akan tetapi pendekar wanita berpakaian serba hitam itu mengamatinya dengan penuh perhatian.
“Ada apakah, lihiap?” Sun Ting bertanya lirih.
Akan tetapi seperti juga tadi, wanita itu tidak menjawab dan sungguh aneh, alisnya berkerut dan dahinya penuh peluh! Dia sama sekali tidak tahu bahwa memang terdapat hubungan yang amat aneh antara Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Seolah-olah jalan pikiran kedua orang sakti ini memiliki jalur atau gelombang yang sama sehingga apa yang dimaksudkan oleh seorang, mudah dimengerti yang lain.
“Sun Ting, adakah bukit terdekat di sini?”
“Kita ini berada di lereng sebuah bukit, lihiap.”
“Katakan cepat, apakah ada sebatang pohon besar di sini, pohon besar yang berdiri sendiri, pohon tua dan rindang daunnya?”
Biarpun merasa terheran-heran, Sun Ting mengingat-ingat. Dia sudah hafal akan keadaan bukit itu, maka cepat dia dapat menjawab, “Memang ada, lihiap. Pohon tua dan besar, tak jauh dari sini, letaknya di belakang kuil, dari sini tidak nampak, terhalang rumpun bambu.”
“Mari cepat antar aku ke sana!”
Biarpun merasa heran dan tidak mengerti, Sun Ting yang maklum bahwa semua itu tentu amat penting dan agaknya ada hubungannya, dengan lenyapnya Cian Li, dia mengangguk dan cepat menjadi penunjuk jalan. Tak lama kemudian tibalah mereka di bawah pohon besar itu. Makin heran hati Sun Ting ketika melihat bahwa gadis itu sama sekali tidak memperhatikan pohon, bahkan melongok ke bawah, ke sebuah jurang yang berada di dekat pohon. Pohon raksasa itu tumbuh di tebing jurang yang amat curam.
“Sun Ting, engkau menungguku di sini dulu. Kalau ada orang melihatmu dan bertanya, kau cari alasan, akan tetapi jangan katakan bahwa aku menuruni jurang ini.”
Sun Ting terbelalak. ”Menuruni jurang? Lihiap, betapa bahayanya itu! Mau apa menuruni jurang...?”
Pada saat Liong-li mengangkat muka, pandang matanya bertemu dengan pandang mata Sun Ting yang kebetulan menatap padanya dengan pandang mata terpesona. “Hemm, kenapa engkau memandang kepadaku seperti itu? Apa yang aneh pada mukaku?” tanya Liong-li sambil meraba pipi dengan tangan kirinya, takut kalau-kalau mukanya terkena kotoran.
“Lihiap... maafkan aku...” Sun Ting menundukkan lagi mukanya yang berubah kemerahan.
Dia tidak tahu betapa wanita itu memandang kepadanya dengan senyum aneh, dan betapa sepasang mata itu memandang kepadanya dengan kagum. Seorang pemuda yang hebat, pikir Liong-li. Begitu penuh perhatian, begitu romantis, begitu sopan! Dan kekaguman yang terpancar dari sepasang mata itu, kekaguman bercampur rasa sayang, begitu jelas membayang, membuat hatinya berdebar kencang dan girang.
“Saudara Sun Ting, berapakah usiamu sekarang, dan berapa pula usia adikmu itu? Bagaimana keadaan keluarga kalian?” Ia bertanya.
Dan diam-diam Sun Ting bersyukur karena pertanyaan itu membuka jalan untuk percakapan, dan mengusir pergi perasaan tidak enak dan salah tingkahnya tadi karena dia tertangkap basah ketika memandang penuh pesona. “Usiaku dua puluh dua...”
“Aih, kalau begitu, aku lebih tua dua tahun darimu!” Liong-li memotong.
Kini Sun Ting memandang tajam, lalu menggeleng kepalanya. “Aku tidak percaya, lihiap!”
Liong-li mengerutkan alisnya. “Tidak percaya? Engkau tidak percaya padaku?”
“Eh, maksudku... aku tidak percaya bahwa usiamu sudah dua puluh empat tahun!”
Lenyap kerutan itu dan kini Liong-li tersenyum semakin lebar, sehingga wajahnya menjadi cantik manis sekali, gemilang di bawah timpaan cahaya api unggun yang bermain di wajahnya. “Hemm, lalu kau kira berapa semestinya usiaku?”
“Menurut penglihatanku, engkau tidak akan lebih dari sembilan belas tahun, lihiap!”
Dan wanita itu tertawa. Tertawa lepas bebas, tidak seperti wanita lain yang kalau tertawa menjadi tersipu, menutupi mulut dan tertawa dengan sembunyi-sembunyi. Wanita ini tertawa lepas, wajahnya agak tengadah, mulutnya terbuka sehingga nampak rongga mulut yang kemerahan, gigi yang berderet putih, lidah yang ujungnya runcing dan merah jambu, dan ketawanya mengeluarkan suara merdu seperti nyanyian.
Kembali Sun Ting terpesona. Akan tetapi hanya sebentar Liong-li tertawa, lalu mulut itu tertutup kembali akan tetapi masih tersenyum manis, dan mata itu semakin bercahaya dan berseri penuh kegembiraan. “Saudara Kam Sun Ting, apakah engkau tidak tahu bahwa setiap orang wanita dewasa selalu menyembunyikan jumlah usianya, dan kalau terpaksa mengaku selalu mengurangi jumlahnya? Tidak ada wanita yang menambah jumlah usianya dalam pengakuannya, demikian pula aku. Tidak mungkin aku menambah tua usiaku, walaupun aku tidak suka pula menguranginya. Aku memang sudah berusia dua puluh empat tahun!”
“Sungguh sukar dipercaya, lihiap!”
“Percaya atau tidak, itulah kenyataannya. Dan sudah tiba saatnya engkau tidak menyebut lihiap kepadaku. Ketahuilah bahwa aku dan Pek-liong-eng bukan hanya sahabat, melainkan lebih erat dari pada saudara sekandung. Engkau sudah dipercaya olehnya, berarti kini menjadi sahabat baik, maka sudah sepatutnya engkau menyebut enci (kakak perempuan) padaku, dan aku menyebut engkau... namamu saja karena engkau pantas menjadi saudara mudaku!”
Akan tetapi Sun Ting mengerutkan alisnya. Setelah saling pandang beberapa lamanya, diapun menarik napas panjang dan tersenyum. “Baiklah... enci, walaupun aku akan lebih suka kalau boleh menyebutmu... adik!”
Liong-li tersenyum lebar. Pernyataan ini semakin menyenangkan hatinya. “Tidak boleh! Kalau engkau menyebut aku moi-moi (adik perempuan), dalam pandanganku engkau menjadi agak kurang ajar. Nah, apakah engkau ingin aku memandangmu sebagai seorang yang tidak tahu aturan?”
Sun Ting terkejut, lalu cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Liong-li dengan merangkap kedua tangan depan dada lalu membungkuk. “Maafkan, maafkan aku, enci yang baik.”
Melihat ini, Liong-li tertawa lagi. Sun Ting juga tertawa dan mereka merasa semakin akrab. Ketika Sun Ting duduk kembali, tiba-tiba Liong-li tertawa lagi, sekali ini tertawa geli sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sun Ting.
“Ih, engkau sungguh tidak tahu malu, Sun Ting!”
“Ehh?” Pemuda itu mulai terkejut. “Aku? Tidak tahu malu? Kenapa, li... eh, enci?”
“Bukan engkau yang tidak tahu malu, kumaksudkan perutmu!”
“Perutku? Mengapa perutku...?” Sun Ting memandang ke arah perutnya.
“Perutmu berkeruyuk tadi, sungguh tak tahu malu!”
Sun Ting terbelalak dan mukanya lalu berubah merah. Memang perutnya tadi berkeruyuk akan tetapi bagaimana wanita ini mampu mendengarnya? Melihat pemuda itu menjadi salah tingkah karena malu, Liong-li tertawa lagi.
“Bukan hanya perutmu yang berkeruyuk Sun Ting. Perutku juga! Apakah engkau tidak mendengarnya? Hi-hik, perut kita memang tak tahu malu!”
Tentu saja ucapan ini mengusir rasa malu yang diderita Sun Ting, dan teringatlah dia bahwa sejak sebelum tengah hari tadi sampai sekarang mereka belum makan apa-apa. Pantas saja perutnya lapar, dan perut Liong-li juga! Kasihan sekali!
“Ah, aku tadi lupa membeli bekal makanan. Bagaimana ini? Kalau saja kita berada di dekat telaga atau sungai, tentu aku akan mampu menangkap beberapa ekor ikan untukmu, enci. Aku lupa bahwa engkau belum makan malam. Bagaimana ini? Biar aku akan pergi mencari makanan untukmu.” Dia bangkit berdiri, siap untuk pergi ke mana saja untuk mencari makanan.
“Sstt... jangan bergerak, jangan berisik, Sun Ting! Duduklah lagi dan jangan bergerak...!”
Tentu saja pemuda itu terkejut sekali dan diapun duduk kembali, memandang kepada pendekar wanita itu penuh pertanyaan. Liong-li menunjuk ke atas pohon. “Di sana ada makanan!”
Sun Ting terbelalak dan memandang kepada gadis itu dengan sinar mata heran dan khawatir. Sintingkah wanita ini, pikirnya. “Di mana? Di atas pohon?” bisiknya.
Liong-li mengangguk. “Ada daging burung panggang di sana... ssstt, diam saja kau...”
Sepasang mata pemuda itu menjadi semakin lebar, dan kekhawatirannya bahwa gadis ini menjadi sinting semakin membesar. Mana mungkin ada daging burung panggang di atas pohon? Akan tetapi tiba-tiba Liong-li memandang ke atas, kedua tangannya bergerak dan nampak sinar-sinar hitam kecil berkelebat ke atas.
Kiranya ia sudah menyambitkan beberapa potong kayu ke arah pohon besar itu. Sun Ting memandang heran dan... berbareng dengan suara ketawa Liong-li, dari atas pohon meluncur jatuh dua ekor burung, sejenis burung kepodang yang besarnya seperti ayam muda, dan dua ekor burung itu telah tewas dengan tubuh tertusuk kayu meruncing!
Kini mengertilah Sun Ting dan dia kagum bukan main. Kiranya bukan daging burung panggang yang dimaksudkan pendekar wanita itu, melainkan burung yang setelah tertangkap, tentu saja nanti akan menjadi daging burung panggang! Dia bersorak dan cepat menyambar dua ekor burung itu, mengamatinya dengan penuh kagum.
“Aih, lihiap... eh, enci yang baik! Bagaimana engkau bisa tahu di sana ada burung dan bagaimana pula dapat menyambit jatuh mereka ini, pada hal burung-burung itu tidak nampak dari sini?”
Dia menengadah. Pohon itu nampak gelap karena semua sinar bintang tertangkis oleh daun-daun lebat sebagai perisai, juga sinar api unggun tidak mencapai ketinggian pohon.
Liong-li tersenyum, “Pengalaman hidup di alam bebas yang mengajarkan aku, Sun Ting. Sudahlah, mari kita cepat membuat daging burung panggang, perut kita sudah lapar, bukan?”
Mereka bekerja dengan gembira, mencabuti semua bulu burung, kemudian mengeluarkan isi perutnya dan memanggang dagingnya setelah Liong-li menyulap keluar bumbu-bumbu yang dibawanya dalam buntalan pakaiannya. Segera tercium bau sedap yang membuat perut mereka kini berkeruyuk tanpa malu-malu lagi?
Dan tak lama kemudian, perut mereka itupun menjadi tenang dan lega setelah semua daging burung yang lunak, segar dan sedap itu masuk ke dalamnya, didorong oleh anggur manis yang kembali disulap keluar dari dalam buntalan pakaian pendekar wanita itu.
“Nah, sekarang engkau beristirahatlah, Sun Ting. Biar aku yang berjaga di sini agar api unggun tidak padam. Nyamuk dan mungkin binatang hutan akan datang mengganggu kalau api unggunnya padam. Engkau beristirahat dan tidurlah.”
Pemuda itu mengerutkan alisnya.” Aih, enci, sungguh engkau terlalu memanjakan aku, membuat aku malu saja. Aku bukan seorang anak kecil yang perlu dilayani dan dijaga. Aku seorang laki-laki, enci! Dan engkau biarpun engkau lebih tua sedikit dariku, dan biarpun engkau seorang wanita perkasa yang berkepandaian tinggi, engkau tetap saja seorang wanita, sehingga sudah sepatutnya kalau engkau yang beristirahat dan tidur, sedangkan aku sebagai laki-laki yang berjaga!”
Melihat sikap tegas dan jantan itu, mau tidak mau Liong-li memandang kagum lagi. Sun Ting ini memang seorang laki-laki pilihan, pikirnya dengan hati senang. Iapun tersenyum manis sekali, lalu mengangguk. “Baiklah, Sun Ting. Aku akan beristirahat sebentar dan nanti kugantikan engkau berjaga. Kita perlu mengaso dan menyimpan tenaga karena siapa tahu, besok kita akan menghadapi pekerjaan sukar dan lawan tangguh.”
Wanita itu lalu merebahkan diri miring membelakangi api unggun dan Sun Ting, pemuda itu duduk menghadap api unggun dan mengamati tubuh itu dengan hati penuh kekaguman. Sungguh seorang wanita yang hebat! Belum pernah selama hidupnya dia merasa kagum terhadap seorang wanita seperti perasaan hatinya terhadap Liong-li ini. Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada pendekar wanita ini. Dan dia tahu pula bahwa dirinya sungguh tidak berharga, sungguh tidak sepadan dengan Liong-li, bagaikan burung gagak merindukan burung Hong!
Betapa mungkin seorang laki-laki seperti dia, miskin dan yatim piatu, tidak memiliki apa-apa dan bahkan hanya seorang laki-laki lemah kalau dibandingkan Liong-li, dapat mengharapkan balasan cinta dari seorang pendekar wanita sehebat ini? Kenyataan ini membuat dia berulang kali menarik napas panjang, sedih.
Hidup tak mungkin bebas dari pada nafsu. Nafsu adalah pelengkap hidup. Nafsu adalah pemberian dan anugerah Tuhan yang terbawa lahir oleh kita. Merupakan pelengkap karena hidup ini takkan dapat berlangsung tanpa adanya nafsu. Nafsu yang memelihara badan ini sehingga dapat menjadi sehat dan hidup.
Nafsu pula yang membuat kita manusia mampu menemukan banyak rahasia alam, membuat barang-barang yang berguna bagi kehidupan lahiriah. Nafsu yang kita dapat menikmati hidup melalui panca indra kita. Bahkan nafsu pula yang mendorong manusia memungkinkan berkembang biakan.
Nafsu merupakan seorang pembantu yang amat baik, merupakan kebutuhan hidup yang mutlak dan penting sekali. Akan tetapi, nafsu juga dapat menjadi majikan yang amat jahat, kejam dan menyeret kita ke dalam lumpur kesengsaraan!
Oleh karena itu, kita membutuhkan berkah dan bimbingan Tuhan sebagai Sang Maha Pencipta dan Sang Maha Kasih, agar kita tidak sampai diperalat oleh nafsu, sebaliknya kitalah yang memperalat nafsu demi kesejahteraan hidup, demi memenuhi semua kebutuhan hidup, yaitu kepentingan lahiriah! Kalau sampai kita yang diperalat nafsu, maka mulailah kita menjadi permainannya, dan timbullah segala macam kesengsaraan yang menenggelamkan kita ke dalam duka!
Hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu yang timbul dari daya-daya rendah. Apapun yang menjadi hasil pikiran, sudah pasti mengandung nafsu. Satu-satunya jalan untuk membebaskan jiwa dari cengkeraman nafsu daya rendah hanyalah penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa!
Pikiran, dengan sejuta akalnya, tidak mungkin dapat membebaskan jiwa dari belenggu, karena pikiran hanya alat, sama dengan nafsu. Hanya kekuasaan Tuhan jualah yang dapat membebaskan jiwa dari belenggu. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu membersihkan jiwa sehingga tidak lagi menjadi abdi nafsu, melainkan menjadi bebas, sedangkan nafsu yang tadinya menjadi penguasa, lalu hanya sekadar menjadi alat pelengkap saja.
Kembali Sun Ting menghela napas panjang. Gairah berahinya bangkit ketika dia melihat lekuk lengkung tubuh yang rebah miring itu. Betapa akan bahagianya dia kalau dapat mencurahkan cinta kasihnya kepada wanita luar biasa itu! Tiba-tiba dia terkejut sendiri. Celaka, ada hasrat yang demikian kuat mendorong agar dia mendekat, agar dia meraba, membelai dan mendekap tubuh itu.
Dan kesadarannya memperingatkannya bahwa kalau hal itu dia lakukan, maka dia akan menghadapi seorang pendekar wanita yang tentu akan marah sekali. Mungkin dia akan dihajarnya, bahkan mungkin dibunuhnya! Maka, dengan cepat dia membuang pandang matanya, menunduk dan melupakan Liong-li dengan memikirkan keadaan adiknya yang dia tinggalkan bersama Pek-liong.
Dia tidak tahu bahwa ucapan terakhir dari Liong-li tadi, bahwa mungkin besok mereka akan menghadapi pekerjaan sukar dan lawan tangguh, ternyata menjadi ramalan yang benar-benar akan terjadi!
********************
Perahu besar itu meluncur ke Telaga Po-yang. Tidak ada perahu lain berani mendekat perahu besar itu, bahkan perahu-perahu nelayan dan pelancong yang tadinya berada di tengah telaga, segera menyingkir cepat-cepat, ketika perahu besar itu meluncur datang. Yang membuat semua orang menyingkir ketakutan adalah ketika mereka melihat tiga orang laki-laki bertubuh raksasa berdiri di kepala perahu.
Mereka itu bukan lain adalah Po-yang Sam-liong, tiga orang tokoh sesat yang menguasai seluruh telaga itu. Tidak ada orang yang tidak gentar melihat mereka, maka perahu-perahu lain menyingkir karena mereka merasa lebih baik menjauhi tiga orang tokoh besar itu. Karena ketakutan dan cepat menyingkir ini, maka tidak ada orang lain melihat siapa yang berada di dalam perahu besar, yang terlindung oleh atap perahu.
Padahal, yang berada di dalam perahu besar itu adalah tokoh-tokoh yang lebih menyeramkan dari pada Po-yang Sam-liong. Mereka adalah Siauw-bin Ciu-kwi sendiri bersama para pembantunya lengkap, yaitu Tok-sim Nio-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu dan Hek-giam-ong. Mereka berlima ini mengepung Pek-liong dan Cian Li.
Pek-liong masih dalam keadaan dibelenggu kaki tangannya, sedangkan Cian Li duduk dengan bebas. Gadis itu sejak tadi cemberut, mukanya sebentar pucat sebentar merah dan matanya tiada hentinya melirik ke arah Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si dengan penuh kebencian.
Wanita cantik genit ini memang sejak tadi duduk di dekat Pek-liong. Tanpa menghirau- kan orang lain, wanita ini duduk mepet dan lengannya merangkul pinggang atau kadang juga naik ke pundak Pek-liong. Sikapnya merayu dan memikat, beberapa kali jari-jari tangannya meraba leher dan dagu pendekar itu yang diam saja.
Sikap wanita ini tidak dihiraukan oleh Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantu yang lain. Juga Pek-liong, biarpun hatinya merasa mendongkol sekali atas sikap tak sopan dan tak tahu malu wanita iblis itu, mendiamkannya saja karena dia tidak mau mencari keributan hanya soal kecil seperti itu. Akan tetapi yang paling menderita karenanya adalah Cian Li. Ia marah sekali, muak dan benci, akan tetapi iapun merasa tidak berdaya dan hanya dapat bersikap cemberut saja.
“Kam Cian Li, sekali ini engkau harus bekerja dengan benar-benar dan sama sekali tidak boleh membohongi kami. Ingat, kalau engkau menyelam nanti, Pek-liong berada di sini bersama kami. Engkau tidak ingin melihat dia disiksa sampai mati, bukan?” demikian Tok-sim Nio-cu berkata sambil meraba ke arah leher terus turun ke dada Pek-liong dengan sikap merayu dan membelai.
“Huhh!” Cian Li membuang muka, mendengus marah.
Akhirnya perahu tiba di tempat yang dimaksudkan oleh Cian Li dan perahu dihentikan, jangkar dilempar. “Nona Kam, bersiaplah untuk menyelam, dan sekali lagi kuperingatkan, jangan engkau membuat ulah yang bukan-bukan, jangan mencoba untuk melarikan diri atau menipu kami, karena selain akhirnya engkau akan dapat kami tangkap, juga Pek-liong akan tersiksa sampai mati kalau engkau melarikan diri!” kata Siauw-bin Ciu-kwi. Gadis itu mengangguk dan sudah bangkit berdiri.
“Nanti dulu, Li-moi!” Tiba-tiba Pek-liong berkata.
Gadis itu cepat menoleh kepadanya, dan semua orang juga memandang pendekar itu, dan mereka sudah siap dengan senjata mereka untuk menjaga kalau-kalau pendekar itu akan memberontak walaupun kaki dan tangannya sudah terbelenggu dengan rantai yang kuat.
“Peraturan ini sungguh tidak adil!” kata Pek-liong sambil memandang kepada Siauw-bin Ciu-kwi. “Li-moi, jangan engkau mau menyelam sebelum Beng-cu berjanji bahwa engkau akan segera dibebaskan begitu menemukan peta rahasia itu! Itu hakmu dan jangan takut. Mereka ini membutuhkanmu, Li-moi. Mereka tidak akan mengganggumu sebelum engkau memperoleh peta itu!”
Siauw-bin Ciu-kwi marah sekali, akan tetapi tepat seperti yang dikatakan Pek-liong, dia tidak berani bermain kasar, takut kalau-kalau gadis itu menjadi nekat dan tidak mau mengambilkan petanya.
“Hemm, Pek-liong, engkau tidak percaya kepada kami? Apa maksudmu mencegah nona Kam bekerja?”
“Tidak! Lebih dulu engkau harus berjanji bahwa kalau nona Kam sudah mengambil peta itu dan menyerahkan kepadamu, engkau akan membebaskannya! Beng-cu, hanya dengan janji itulah nona Kan, mau menyelam!”
Pek-liong kini memandang kepada Cian Li dan gadis itupun mengangkat muka dan berkata dengan sikap angkuh dan tegas. “Benar sekali! Biar kalian menyiksa atau membunuh aku, aku tidak akan sudi mengambilkan peta itu sebelum kalian berjanji bahwa setelah peta itu kuserahkan, kalian akan membebaskan aku dan Pek-liong!”
Siauw-bin Ciu-kwi mengerutkan alisnya. “Dengan Pek-liong? Tidak bisa! Engkau akan kubebaskan setelah tugasmu selesai, nona, akan tetapi Pek-liong harus menebus kebebasannya dengan lebih dulu mengalahkan kami!”
“Bagus! Tantangan itulah yang kunanti-nanti, Beng-cu. Kalau memang engkau seorang laki-laki sejati, Beng-cu, aku menantangmu sekarang juga!” kata Pek-liong, “Setidaknya, engkau harus berani memberikan janjimu kepada nona Kam dan tidak akan melanggarnya, demi nama baikmu!”
Wajah yang biasanya ramah kekanak-kanakan itu kini nampat muram, “Hem, engkau sombong, Pek-liong. Sekali waktu, pasti kita akan berhadapan sebagai lawan. Sekarang ada pekerjaan yang lebih penting. Aku telah memberikan janjiku bahwa aku akan membebaskan nona Kam tanpa mengganggunya setelah tugasnya selesai! Nah, nona Kam, engkau lakukanlah tugasmu!”
Karena tidak ada janji bahwa Pek-liong akan dibebaskan pula, Cian Li memandang kepada Pek-liong. Pendekar ini mengangguk karena tidak mungkin dia dibebaskan begitu saja mengingat bahwa dia pernah membasmi seorang di antara Kiu Lo-mo dan tentu saja hal ini mendatangkan dendam di hati Siauw-bin Ciu-kwi.
Biarpun di situ banyak orang, Cian Li tidak perduli dan ia lalu menanggalkan pakaiannya. Di sebelah dalam, ia telah mengenakan pakaian yang pernah membuat Pek-liong mengira ia telanjang bulat. Pakaian yang tipis ketat dan kini kembali Pek-liong memandang dengan sinar mata penuh kagum. Lekuk lengkung tubuh gadis itu demikian sempurna, demikian indahnya sehingga dia memandang terpesona. Dari kaki yang panjang itu sampai kepala yang tegak dan anggun, sungguh merupakan pemandangan yang amat indah dan menarik hati.
“Aih, Pek-liong, kenapa engkau memandangnya seperti itu? Percayalah, tubuhku tidak kalah indah oleh tubuhnya. Engkau tidak percaya? Biar sekarang juga aku berdiri telanjang bulat di depanmu...” Tok-sim Nio-cu bangkit dan mulai menanggalkan kancing bajunya sehingga mulai nampak kulit dada yang putih mulus.
“Sudahlah, Niocu. Mari kita bekerja, nona Kam!” kata Siauw-bin Ciu-kwi tak sabar melihat tingkah Tok-sim Nio-cu yang dianggapnya mengganggu pekerjaan penting itu.
Mereka semua bangkit dan berdiri di kepala perahu. Tok-sim Nio-cu masih merangkul Pek-liong, bahkan kini lengan kirinya melingkari pinggang Pek-liong dan jari-jari tangannya dengan mesra meraba perut pemuda itu. Melihat ini, wajah Cian Li menjadi marah bukan main.
“Nah, engkau menyelamlah, nona Kam!” kata Beng-cu itu dengan hati tegang karena dia sudah membayangkan akan dapat menemukan potongan peta yang akan membuat petanya lengkap, yaitu peta tentang Patung Emas yang selain akan membuatnya kaya raya, juga akan memberi obat panjang usia yang akan membuat dia dapat berusia sampai beratus ratus tahun!
“Baik, aku akan menyelam!” kata Cian Li dan gadis ini lari ke pinggir perahu, akan tetapi tanpa disangka oleh siapapun juga, ia telah menabrak tubuh Tok-sim Nio-cu yang berdiri di tepi perahu pula.
“Ihhh...!” Tok-sim Nio-cu tidak sempat mengelak sehingga tubuhnya terjungkal bersama Cian Li keluar dari perahu. Pada saat itu, Lim-kwi Sai-kong mengulur lengannya yang panjang, mungkin untuk menyambar tubuh Tok-sim Nio-cu atau untuk menghantam ke arah tubuh Cian Li. Melihat ini, Pek-liong menyambut dengan dorongan tangannya.
“Dukkk...!” Dua tangan bertemu dan akibatnya, Pek-liong merasa tubuhnya tergetar dan sebaliknya, Lim-kwi Sai-kong terdorong muodur dua langkah!
“Byuurrrr...!” Air telaga muncrat ketika tertimpa tubuh dua orang wanita itu. Tok-sim Nio-cu boleh jadi lihai sekali di atas daratan, akan tetapi begitu tubuhnya menimpa air, ia gelagapan karena ia tidak pandai renang!
“Uuuppp... tolong... aeppp... tolong...!!” Ia menjerit-jerit, akan tetapi tiba-tiba matanya terbelalak karena kakinya ada yang menangkap dari bawah dan tubuhnya ditarik ke bawah permukaan air!
Tentu saja yang melakukan penyerangan ini bukan lain adalah Cian Li! Sejak tadi gadis ini menahan-nahan perasaan cemburu, marah dan bencinya terhadap Tok-sim Nio-cu. Ia maklum bahwa ia tidak berdaya di atas perahu atau di darat, akan tetapi begitu tiba di air, ia memperoleh kesempatan untuk membalas dan melampiaskan semua kemarahan dan kebenciannya kepada wanita genit itu!
Dipegangnya pergelangan kaki Tok-sim Nio-cu dan dibawanya wanita itu menyelam! Ketika Tok-sim Nio-cu meronta-ronta, ia lalu menangkap rambut yang riap-riapan itu dan menjambak rambutnya, terus menarik ke bawah!
“Keparat!” Lim-kwi Sai-kong marah dan sudah mencabut golok besarnya.
“Sudah, jangan berkelahi!” Beng-cu itu membentak, lalu meneriaki Po-yang Sam-liong. “Kalian selamatkan Nio-cu! Dan biarkan nona Kam bekerja, jangan ganggu dan bawa Nio-cu kembali ke perahu!”
Tiga orang raksasa itu lalu meloncat ke luar perahu. Mereka adalah tiga orang tokoh Telaga Po-yang, tentu saja mereka pandai renang dan pandai menyelam, walaupun tidak sehebat Kam Cian Li atau kakaknya. Mereka menyelam dan mereka melihat betapa Tok-sim Nio-cu meronta-ronta, akan tetapi rambutnya yang panjang sudah dijambak oleh Cian Li yang bergerak seperti ikan saja, dan tubuh Tok-sim Nio-cu terus ditarik ke bawah!
Tiga orang ini cepat mengejar dan dengan pengerahan tenaga tiga orang, barulah mereka dapat memaksa Cian Li melepaskan rambut Tok-sim Nio-cu, Po-yang Sam-liong lalu menyeret Tok-sim Nio-cu yang sudah mulai lemas itu naik ke permukaan air telaga. Setibanya di permukaan air, Tok-sim Nio-cu terengah-engah dalam keadaan setengah pingsan dan perutnya yang ramping itu kini menggembung karena terlalu banyak minum air telaga! Ia lalu ditolong, diangkat ke perahu dan ditelungkupkan, punggungnya ditekan-tekan sehingga air dari perut keluar melalui mulutnya.
Melihat keadaan Tok-sim Nio-cu, diam-diam Pek-liong tertawa geli. Sungguh Cian Li merupakan seorang gadis yang hebat dan tabah sekali, pikirnya. Akan tetapi diapun khawatir karena seorang wanita iblis macam Tok-sim Nio-cu tentu tidak akan membiarkan saja dirinya dihina seperti itu, bahkan nyaris tewas konyol di dalam air!
Sementara itu, tak jauh dari situ, dua pasang mata sejak tadi mengintai sejak perahu besar itu membuang jangkar di tempat itu. Mereka adalah Kam Sun Ting dan Hek-liong-li! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sun Ting dan Liong-li melakukan perjalanan cepat dan setelah terpaksa melewatkan malam di tepi hutan, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali telah melanjutkan perjalanan membalapkan kuda mereka. Pada tengah hari, mereka tiba di Telaga Po-yang.
“Kita berhenti di sini dan titipkan kuda kita kepada seorang penduduk di sini yang kaukenal,” kata Hek-liong-li. Ia sendiri tidak ikut menitipkan kuda karena ia tidak ingin kehadirannya di Po-yang diketahui orang.
Setelah kuda dititipkan, ia mengajak Sun Ting untuk mendekati telaga. Sun Ting menjadi petunjuk jalan dan lebih dahulu mereka pergi ke rumah Sun Ting. Ketika tiba di rumah, Sun Ting terkejut sekali melihat rumah itu dalam keadaan kacau, bahkan ada sebagian yang bekas terbakar. Barang-barang dijungkir balikkan, dan yang membuat dia terkejut dan khawatir adalah lenyapnya adiknya yang tidak meninggalkan bekas!
Melihat kebingungan dan kegelisahan pemuda itu, Liong-li yang sejak tadi bersikap tenang saja lalu berkata, suaranya tidak lagi ramah seperti biasa, melainkan tegas dan berwibawa sehingga Sun Ting merasa terkejut. “Sun Ting, bukankah ketika engkau pergi, adikmu yang bernama Cian Li itu bersama dengan Pek-liong-eng?”
Walaupun terkejut melihat perubahan sikap ini, Sun Ting menjawab dan merasa seolah-olah kini dia berhadapan dengan seorang pemimpin. “Benar sekali... enci Cu!”
Biasanya, sudah begitu enak menyebut wanita itu enci Kim Cu atau enci Cu begitu saja, akan tetapi melihat sikap wanita itu sekarang, dia merasa akan lebih enak kalau menyebutnya lihiap. Mendengar jawaban itu, Liong-li lalu melakukan penyelidikan, meneliti seluruh keadaan rumah itu, kemudian ia keluar dan termenung di luar rumah. Ia melihat tanda-tanda perkelahian di rumah itu, bahkan dia melihat bekas banyak sekali darah di kamar. Ada yang luka parah atau terbunuh agaknya. Dan Cian Li lenyap. Bahkan Pek-liong juga lenyap.
Kalau Pek-liong ada dan masih bebas, tentu sekarang sudah menyambut kedatangannya. Tidak adanya Pek-liong menyambut, berarti bahwa Pek-liong tidak mampu melakukannya, terhalang oleh hal yang amat penting atau tertawan musuh!
“Mari kita selidiki di rumah-rumah penginapan! Siapa tahu Pek-liong berada di sana atau setidaknya pernah bermalam di sana,” katanya dengan sikap memerintah.
“Baik... lihiap.”
Mendengar sebutan ini, Liong-li menatap wajah pemuda itu, akan tetapi tidak menegurnya. Agaknya ia berpikir bahwa dalam keadaan serius seperti itu, sebaiknya kalau pemuda ini menganggapnya sebagai seorang atasan atau pemimpin agar ada keseriusan di antara mereka. Tidak sukar bagi Sun Ting untuk menyelidik dan menemukan rumah penginapan di mana adiknya dan Pek-liong bermalam, malam kemarin.
“Mereka berdua pergi meninggalkan kamar tanpa pamit,” kata pengurus rumah penginapan. “Entah ke mana. Akan tetapi buntalan pakaian mereka masih ada.”
Mendengar ini, Sun Ting yang sudah mengenal pemilik rumah penginapan, lalu mendekatinya dan bertanya dengan suara lirih, “Toako, katakanlah terus terang, apakah pada hari-hari kemarin engkau tidak melihat mereka?”
Pemilik rumah penginapan itu mengamati wajah penanyanya, lalu balas berbisik, “Siapa yang kau maksudkan dengan mereka?”
“Maksudku Po-yang Sam-liong... toako, jangan takut, engkau mengenal aku, bukan? Katakan apa engkau atau orang-orangmu pernah melihat mereka...”
“Ada hubungannya dengan adikmu yang kau cari-cari ini?” tanyanya, juga berbisik. “Jangan kau khawatir, adikmu di sini bersama seorang pemuda tampan. Hemm, pacarnyakah itu? Kapan menikahnya?” Suara pemilik rumah penginapan itu terdengar pahit. Kiranya dia pernah tergila-gila kepada Kam Cian Li, mengajukan pinangan namun ditolak oleh gadis itu.
“Tidak, hanya teman. Toako, katakanlah tentang mereka itu...” Kam Sun Ting mendesak.
“Hemm, siapa memperdulikan mereka? Akan tetapi pernah kemarin dulu aku melihat mereka di kuil tua di luar kota itu.”
“Kuil tua tak terpakai di luar kota sebelah utara?” tanya Sun Ting kepada si pemilik rumah penginapan.
Yang ditanya mengangguk dan kini Liong-li segera berkata. “Sun Ting, mari kita pergi!” Dan ia mendahului pemuda itu pergi meninggalkan rumah penginapan. Sebelum Sun Ting menyusul pergi, pemilik rumah penginapan itu memegang lengannya.
“Hei, Sun Ting, siapakah itu? Pacarmukah? Begitu cantik jelita!” katanya kagum sambil memandang bayangan gadis cantik berpakaian serba hitam itu.
“Hssss, hanya teman,” jawab Sun Ting dan diapun berlari meninggalkan temannya yang masih bengong, mengejar Liong-li.
Setelah tiba di luar kota, payahlah Sun Ting yang harus mengerahkan seluruh tenaganya mengejar Liong-li yang berjalan dengan cepat sekali. Sambil berjalan cepat, Liong-li memperhatikan sekitar tempat itu, bahkan memperhatikan jalan yang dilaluinya. Setibanya di luar kuil, Liong-li tiba-tiba berhenti dan matanya memandang ke arah tembok kuil.
“Lihiap, bagaimana dengan penyelidikanmu! Kaupikir apa yang telah terjadi dengan adikku! Ia tidak berada dalam bahaya, bukan?”
Pendekar wanita itu mengerutkan alisnya, tidak menjawab, bahkan ia lalu menghampiri kuil dan mengamati bagian yang agak tersembunyi dari dinding kuil. Ada semak-semak di dekat dinding, akan tetapi agaknya ia melihat sesuatu lalu menyingkap semak-semak itu. Sun Ting ikut pula melihat apa yang terdapat di balik semak-semak itu. Hanya coretan dengan bata, coretan kasar menggambarkan sebuah bukit yang ditumbuhi sebatang pohon dan di bawah pohon ada garis menurun.
Bagi orang lain, gambar itu tidak ada artinya, juga bagi Sun Ting yang menganggap coretan itu hanya coretan yang dilakukan anak-anak iseng, mungkin anak penggembala kerbau yang iseng. Akan tetapi pendekar wanita berpakaian serba hitam itu mengamatinya dengan penuh perhatian.
“Ada apakah, lihiap?” Sun Ting bertanya lirih.
Akan tetapi seperti juga tadi, wanita itu tidak menjawab dan sungguh aneh, alisnya berkerut dan dahinya penuh peluh! Dia sama sekali tidak tahu bahwa memang terdapat hubungan yang amat aneh antara Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Seolah-olah jalan pikiran kedua orang sakti ini memiliki jalur atau gelombang yang sama sehingga apa yang dimaksudkan oleh seorang, mudah dimengerti yang lain.
“Sun Ting, adakah bukit terdekat di sini?”
“Kita ini berada di lereng sebuah bukit, lihiap.”
“Katakan cepat, apakah ada sebatang pohon besar di sini, pohon besar yang berdiri sendiri, pohon tua dan rindang daunnya?”
Biarpun merasa terheran-heran, Sun Ting mengingat-ingat. Dia sudah hafal akan keadaan bukit itu, maka cepat dia dapat menjawab, “Memang ada, lihiap. Pohon tua dan besar, tak jauh dari sini, letaknya di belakang kuil, dari sini tidak nampak, terhalang rumpun bambu.”
“Mari cepat antar aku ke sana!”
Biarpun merasa heran dan tidak mengerti, Sun Ting yang maklum bahwa semua itu tentu amat penting dan agaknya ada hubungannya, dengan lenyapnya Cian Li, dia mengangguk dan cepat menjadi penunjuk jalan. Tak lama kemudian tibalah mereka di bawah pohon besar itu. Makin heran hati Sun Ting ketika melihat bahwa gadis itu sama sekali tidak memperhatikan pohon, bahkan melongok ke bawah, ke sebuah jurang yang berada di dekat pohon. Pohon raksasa itu tumbuh di tebing jurang yang amat curam.
“Sun Ting, engkau menungguku di sini dulu. Kalau ada orang melihatmu dan bertanya, kau cari alasan, akan tetapi jangan katakan bahwa aku menuruni jurang ini.”
Sun Ting terbelalak. ”Menuruni jurang? Lihiap, betapa bahayanya itu! Mau apa menuruni jurang...?”