PARA pembantu itu lalu berpencar, memimpin anak buah Beng-cu yang berjumlah belasan orang. Tok-sim Nio-cu pergi bersama Lim-kwi Sai-kong karena Beng-cu tidak memperbolehkan ia bersama Pek-liong. Pek-liong ditemani Hek-giam-ong Lok Hun, sedangkan Pek I Kongcu memimpin beberapa orang anak buah. Mereka berpencar dan masing-masing membawa sebuah sempritan terbuat dari bambu untuk memberi tanda kepada kawan-kawan kalau mereka bertemu bahaya atau bertemu musuh.
“Kita menghadang musuh dari sini!” kata Pek-liong kepada Hek-giam-ong Lok Hun. Mendengar ajakan ini, Hek-giam-ong mengerutkan alisnya dan matanya berkilat.
“Hemm, tidak akan ada musuh berani datang melalui padang rumput yang diterangi sinar bulan seperti itu. Dia pasti muncul dari semak belukar atau hutan!”
“Hek-giam-ong, bukankah tadi Beng-cu menyuruh engkau membantu aku? Itu berarti bahwa aku yang menjadi pimpinan dan aku yang bertanggung jawab. Engkau tinggal mematuhi saja. Mari!” Pek-liong lalu melompat ke depan, menuju ke padang rumput yang berada di sebelah kiri.
Si tinggi kurus muka hitam itu mengeluarkan suara mengomel, akan tetapi dia tidak berani membantah karena tadi memang dia yang harus membantu Pek-liong, dan Beng-cu tentu akan marah kalau dia tidak mentaati Pek-liong. Biarlah, pikirnya, yang akan bertanggung jawab adalah Pek-liong! Sambil bersungut-sungut dan memanggul ruyungnya yang berat, diapun mengejar di belakang Pek-liong yang membawa sebatang pedang yang dipinjamnya dari ruangan belajar silat.
Tentu saja hanya Pek-liong yang sudah hafal akan kebiasaan Liong-li. Demikian pula Liong-li tahu bahwa Pek-liong akan dapat menduga cara yang dipergunakannya. Pek-liong tahu bahwa Liong-li cerdik sekali. Tamu malam biasa, tentu akan melakukan seperti yang dikatakan atau diduga oleh Hek-giam-ong tadi, yaitu datang berkunjung melalui tempat-tempat gelap yang terlindung semak-semak atau pohon-pohon. Akan tetapi justeru kebiasaan tamu malam ini dijauhi oleh Liong-li. Wanita perkasa itu tentu akan memilih keadaan sebaliknya sehingga tidak akan mudah diduga lawan. Ia tentu akan mengambil jalan yang melalui padang rumput itu.
Ketika mereka tiba di padang rumput yang rumputnya tebal dan subur itu, mereka berdua memandang dan tidak melihat ada bayangan orang di sana. Sinar bulan sepenuhnya menyinari padang rumput yang tidak ada pohonnya itu dan suasana sunyi, namun pemandangan amatlah indahnya. Padang rumput itu nampak hijau kekuningan, segar dan angin semilir membuat ujung-ujung rumput bergoyang-goyang seperti sekelompok penari. Namun tidak kelihatan ada orang di situ. Tiba-tiba Pek-liong berteriak dengan lantang.
“Musuh yang bersembunyi di sana! Cepat keluar memperlihatkan diri sebelum kami terpaksa menyerang dengan senjata rahasia kami!”
Hek-giam-ong sudah hampir tertawa, mentertawakan Pek-liong yang dianggap tolol itu ketika tiba-tiba dari tengah padang rumput itu berkelebat bayangan hitam yang tadinya bertiarap sehingga tidak nampak di antara rumput yang tebal dan tinggi. Begitu melompat, bayangam hitam itu sudah langsung saja menerjang ke arah Hek-giam-ong yang bersenjata ruyung karena si tinggi kurus muka hitam ini yang. terdekat dengannya.
Hek-giam-ong terkejut bukan main. Di bawah sinar bulan purnama, dia tidak dapat melihat dengan jelas keadaan musuh yang bergerak amat cepatnya itu, akan tetapi yang diketahuinya adalah bahwa lawan ini berpakaian serba hitam dari kepala sampai mukanya dikerodongi kain hitam pula, hanya memperlihatkan sepasang mata yang mencorong mengerikan! Dia cepat menggerakkan ruyungnya menangkis.
“Trangggg...!” Pedang di tangan orang itu terpental dan hampir terlepas. Orang itu terkejut sekali dan meloncat untuk melarikan diri. Pada saat itu, Pek-liong sudah menyambitkan pedangnya sambil berseru nyaring.
“Engkau hendak lari ke mana?” Pedang di tangannya meluncur ke arah tubuh hitam yang melarikan diri itu.
“Aduhhhh...!” Orang berkedok itu berteriak dengan suara parau dan tubuhnya terus berloncatan jauh ke depan sambil membawa pedang yang dilemparkan Pek-liong tadi, yang agaknya menancap di tubuhnya!
Pek-liong dan Hek-giam-ong mengejar, akan tetapi orang itu sudah menghilang ke dalam hutan terdekat yang gelap. Hek-giam-ong menjadi bingung karena tidak tahu harus mengejar ke mana. Pada saat itu, terdengar suara sempritan nyaring sehingga mengejutkan Hek-giam-ong.
Kiranya sempritan itu dibunyikan oleh Pek-liong yang terus mengejar ke depan. Baru Hek-giam-ong teringat dan diapun meniup sempritan yang berada di kantungnya. Sebentar saja, mereka semua telah ikut mengejar ke situ. Tok-sim Nio-cu bersama Lim- kwi Sai-kong, dan Pek I Kongcu bersama belasan orang anak buah.
“Kami bertemu dengan seorang musuh!” kata Hek-giam-ong sambil mengamang-amangkan ruyungnya.
“Dia lari ke depan! Kejar!” kata Pek-liong mendahului dan mereka semua melakukan pengejaran. Akan tetapi, sampai jauh mereka mengejar dan memeriksa, ternyata si kedok hitam itu lenyap tanpa meninggalkan bekas.
“Dia sudah terluka terkena sambitan pedangku!” kata Pek-liong penasaran.
“Dia tidak berapa lihai. Sekali tangkis dengan ruyungku, pedangnya hampir terlepas dari tangannya, dia lari dan disambit pedang oleh Pek-liong. Jelas sambitan itu mengenai sasaran karena dia mengaduh, akan tetapi masih mampu melarikan diri!” kata Hek-giam-ong membanggakan kemenangannya.
Karena mereka tidak berhasil menemukan Musuh itu, mereka lalu kembali ke markas untuk melaporkan hal itu kepada Siauw-bin Ciu-kwi. Beng-cu ini mengerutkan alisnya.
“Jaga yang ketat. Ingatlah bahwa kita memiliki benda yang amat berharga, yang perlu dijaga siang malam dengan ketat. Jangan khawatir, bagian kalian kelak akan dapat kalian pergunakan untuk selama hidup!”
Ucapan itu tentu saja menggembirakan hati para pembantunya, dan Pek-liong berkata, “Harap Beng-cu jangan khawatir. Selama ada aku di sini tidak ada seorangpun musuh yang akan dapat mengganggu!”
Biasanya, yang membenci Pek-liong adalah Hek-giam-ong dan Pek I Kongcu. Kini, Hek-giaam-ong diam saja karena tadi dia sudah membuktikan kebenaran pendapat Pek-liong. Hanya Pek I Kongcu yang berkara lirih.
“Hemm, jangan menyombongkan diri dulu, Pek-liong. Kesanggupanmu itu haruslah kita lihat dulu buktinya.”
Pek-liong tersenyum. “Mari kita berlumba, Pek I Kongcu, berlumba untuk membuat jasa. Yang jelas saja, aku sudah berhasil membunuh Hek-liong-li dan baru saja melukai seorang mata-mata musuh.”
“Hemm, hal itupun harus dibuktikan dulu, Pek-liong. Tidak ada bukti bahwa Hek-liong-li telah tewas, dan siapa tahu tamu tak diundang yang muncul tadi adalah Hek-liong-li!”
Pek-liong menyembunyikan perasaan kagetnya. Diam-diam dia memuji kecerdikan tokoh sesat yang tampan ini dan dia harus berhati-hati karena orang ini ternyata lihai dan cerdik. Akan tetapi, dia mendapatkan bantuan dari Hek-giam-ong yang tidak secerdik Pek I Kongcu.
”Ah, tidak mungkin kalau orang tadi Hek-liong-li. Bukankah ia telah terluka oleh sambitan pisau dan jelas nampak ia tenggelam dan air telaga mengandung darah? Dan kalau orang tadi Hek-liong-li, masa sekali tangkis saja aku dapat membuat ia melarikan diri?”
“Sudahlah, jangan kalian ribut-ribut. Yang penting adalah bekerja sama untuk menjaga agar jangan sampai ada musuh menyelundup masuk. Kita berjaga dan menanti sampai Po-yang Sam-liong kembali membawa tenaga yang kubutuhkan,” kata Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya tidak berani ribut-ribut lagi.
Pek-liong maklum bahwa biarpun nampaknya dia diberi kebebasan oleh Siauw-bin Ciu-kwi, namun beng-cu itu masih belum percaya sepenuhnya kepadanya dan para pembantu yang lihai dari beng-cu itu selalu mengamati gerak-geriknya. Maka diapun tidak mau melakukan sesuatu yang mencurigakan dan kalau tidak sedang bertugas jaga, dia berdiam saja di dalam kamarnya.
Malam itu, ketika dia sedang beristirahat di kamarnya, pintu kamarnya diketuk perlahan dari luar. Pek-liong membuka daun pintu kamarnya dan Tok-sim Nio-cu menyelinap masuk tanpa permisi lagi. Bagi wanita ini, ia tidak perduli kamar pria mana yang akan dimasukinya, dan iapun tidak perduli apakah ada orang lain melihat ia memasuki kamar Pek-liong!
Pek-liong mengerutkan alisnya, akan tetapi wanita itu telah duduk di tepi pembaringannya. Diapun duduk di atas kursi dan bertanya dengan suara tenang. “Tok-sim Nio-cu, ada keperluan apakah engkau datang mengunjungi aku!?” Dengan halus dia lalu mengusirnya. “Aku ingin beristirahat, kalau ada perlu, cepat katakan dan tinggalkan aku.”
Tok-sim Nio-cu tersenyum manis. Ia tidak bangkit, bahkan lalu merebahkan diri telentang dengan gaya yang memikat sekali. “Aih, Pek-liong. Apa salahnya kalau aku menemanimu beristirahat di sini? Aku kesepian dan hawa malam ini dingin sekali. Mari, naiklah ke sini, Pek-liong, dan aku akan membuat engkau senang!”
Pek-liong bangkit berdiri. Tentu saja dia sudah mengenal wanita macam apa adanya Tok-sim Nio-cu ini. Seorang wanita cabul, gila lelaki, hamba nafsu berahinya sendiri dan selalu menggoda pria yang menarik hatinya.
“Tok-sim Nio-cu, dengar baik-baik! Aku juga bukan seorang perjaka yang bersih dan alim, akan tetapi ketahuilah bahwa aku datang ke sini bukan untuk bermain gila denganmu! Aku datang ke sini untuk mencari keuntungan, untuk mendapatkan bagian dari harta karun!” Lalu ditambahkannya dengan tekanan mantap, “Dan terus terang saja, sebagai wanita engkau tidak menarik hatiku dan minatku!”
Tok-sim Nio-cu mengerutkan alisnya dan pandang matanya jelas membayangkan kemarahan dan kekecewaan, akan tetapi segera ia menutupi semua itu dengan senyum. “Pek-liong, engkau datang untuk mencari harta karun, bukan? Mengapa harus menerima bagian sedikit saja dari Beng-cu? Alangkah senangnya kalau kita berdua bisa mendapatkan seluruhnya, dibagi dua saja antara kita!”
Pek-liong terkejut, akan tetapi kecerdikannya bekerja. Dia melihat perbedaan, bahkan sikap yang sebaliknya dari tadi Tok-sim Nio-cu berusaha merayunya, itu adalah Tok-sim Nio-cu yang sebenarnya, yang sudah menjadi gila oleh nafsunya sendiri. Akan tetapi yang kedua ini, sikap yang amat berbeda ini tentu bukan sikap yang wajar, melainkan pura-pura, sandiwara!
Diapun mengerti bahwa tentu Tok-sim Nio-cu yang gagal memikat hatinya, kini menggunakan siasat yang agaknya sudah diatur oleh Siauw-bin Ciu-kwi untuk menguji dan menjebaknya! Dia menduga bahwa tentu Siauw-bin Ciu-kwi hendak mengujinya melalui wanita palsu ini. Maka, diapun memandang marah.
“Tok-sim Nio-cu, engkau perempuan rendah tak tahu malu! Engkau pengkhianat yang layak dipukul!” Berkata demikian, Pek-liong sudah maju dan tangan kirinya menampar ke arah pipi wanita itu.
Tentu saja Tok-sim Nio-cu mengelak dan iapun menjadi marah. “Keparat yang tak tahu diri!” Bagi wanita ini, setiap orang pria yang tidak menguntungkan dirinya, tidak mau melayaninya, berubah menjadi orang dibencinya. Maka sambil mengelak ia sudah mengeluarkan kipasnya, satu di antara senjatanya yang ampuh. Ia tidak membawa pedangnya, karena niatnya juga bukan untuk berkelahi, melainkan untuk bermain mata dengan pria yang ganteng dan gagah ini.
Kini, dengan kipas di tangan, Tok-sim Nio-cu sudah menyerang dengan ganas, gagang kipasnya menjadi senjata penotok yang ampuh. Namun, Pek-liong juga mengelak dan terjadilah perkelahian di dalam kamar itu. Pek-liong sengaja melayani wanita itu karena diapun ingin menguji dan mengukur sampai di mana kepandaian seorang di antara calon-calon lawannya ini.
Kalau sudah tiba saatnya, tentu ita akan bertanding sungguh-sungguh melawan Tok-sim Nio-cu. Dan dia mendapat kenyataan bahwa ilmu permainan kipas wanita itu cukup hebat, walaupun belum merupakan bahaya besar bagi dia maupun Liong-li. Dia mengelak atau menangkis dan membalas dengan tangan kosong.
Tiba-tiba daun pintu kamar itu terbuka dan muncullah Siauw-bin Ciu-kwi. “Hei, mengapa kalian ini? Hentikan!” bentak Beng-cu itu dan dua orang yang sedang saling serang mati-matian itupun menghentikan gerakan mereka. Dengan wajah muram Pek-liong segera melaporkan, “Beng-cu, harap tangkap wanita ini! Ia telah membujuk dan mengajak aku untuk berkhianat, untuk mendapatkan harta karun berdua saja dengannya!”
Beng-cu itu tertawa. “Ha-ha-ha, sudahlah, Pek-liong. Ia memang sengaja untuk mengujimu, dan aku menyuruhnya.”
Jawaban ini tentu saja sama sekali tidak mengejutkan hati Pek-liong yang memang sudah menduganya, akan tetapi dia berpura-pura terkejut dan memandang heran, juga penasaran. “Akan tetapi, Beng-cu! Apa artinya ini? Mengapa ia berbuat demikian kepadaku dan mengapa pula Beng-cu yang menyuruh ia berbuat demikian?”
“Untuk menguji kesetiaanmu, Pek-liong.” Dan hatinya puas sudah. “Sekarang, jangan lagi kalian saling mendendam karena kalian berdua adalah pembantu-pembantuku yang paling utama dan kalau harta karun itu sudah kita peroleh, kalian akan mendapatkan bagian yang paling besar di antara semua pembantuku.”
“Terima kasih, Beng-cu, terima kasih!” kata Pek-liong dengan sinar mata gembira dan wajah berseri.
Akan tetapi, Tok-sim Nio-cu masih agak cemberut karena bagaimanapun juga, wanita ini merasa kecewa dan merasa dipandang rendah oleh Pek-liong yang menolak cintanya! Dan Pek-liong juga maklum bahwa seorang wanita yang terhina karena ditolak cintanya akan merupakan musuh yang amat berbahaya dan amat membencinya.
Pada keesokan harinya, mulailah Po-yang Sam-liong membawa tenaga-tenaga bantuan yang terdiri dari pemuda-pemuda dari dusun yang bertubuh kekar. Mereka itu mau diajak oleh Po-yang Sam-liong, bukan saja karena takut kepada tiga orang tokoh Telaga Po-yang itu, akan tetapi juga tertarik oleh janji upah yang besar.
Dan mulailah Tok-sim Nio-cu yang dikecewakan Pek-liong itu berpesta pora. Sambil menanti berkumpulnya lima puluh orang, jumlah yang dibutuhkan, wanita ini seenaknya memilih beberapa orang pemuda dan mengajak mereka ke kamarnya. Tentu saja para pemuda dusun itu tidak menolak ajakan seorang wanita yang demikian cantiknya, apa lagi dibujuk dengan hadiah berharga. Mereka bahkan berlumba untuk memuaskan nafsu Tok-sim Nio-cu yang tak pernah mengenal puas itu!
Melihat ini, Pek I Kongcu juga menjadi iseng dan dia mengajak para pelayan wanita muda yang manis-manis dari Beng-cu. Bergantian para pelayan itu dengan senang hati melayani Pek I Kongcu.
Pek-liong melihat ini semua dan dia hanya tersenyum. Selama masih memiliki kelemahan itu, diperhamba nafsu berahi, dua orang itu berkurang bahayanya. Diapun bersembunyi saja dalam kamarnya, kadang-kadang melihat kalau ada rombongan tenaga baru datang dan menduga-duga apakah ada Liong-li menyelinap di antara mereka.
Dia merasa yakin bahwa Liong-li takkan tinggal diam, tentu wanita perkasa itu telah membuat persiapan. Entah bagaimana caranya, dia sendiri belum dapat menduga. Liong-li terlalu cerdik dan banyak akal, lebih cerdik dari dia sendiri, dan dia tahu betapa pandainya Liong-li melakukan penyamaran. Untuk ilmu penyamaran ini, Liong-li berguru kepada tokoh pemain wayang di kota raja. Dia sendiri pernah mempelajarinya, namun dibandingkan dengan Liong-li, dia masih hijau.
Di antara segala nafsu yang berada dalam diri manusia, yang paling berbahaya dan amat kuatnya dalam usahanya menguasai hati dan akal pikiran manusia adalah nafsu yang timbul dari daya rendah benda! Hal ini adalah karena benda-benda mendatangkan banyak kesenangan bagi manusia. Dan benda terjadi karena bekerjanya akal pikiran manusia yang selalu berusaha untuk menjadikan kehidupan di dunia ini terasa nikmat. Maka, tiada habis dan tiada hentinya pikiran menciptakan benda-benda yang dapat membuat kita menikmati kehidupan.
Semua ini merupakan anugerah dari Tuhan Maha Kasih, dan kita wajib bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah ini. Namun, benda-benda buatan kita ini ternyata merupakan pula musuh dalam selimut yang amat berbahaya.
Daya kekuatannya amat besar dan daya rendah benda selalu berusaha untuk mencengkeram dan menguasai diri kita sehingga kita dapat diperbudak olehnya. Kalau kita manusia sudah menjadi hamba dari daya rendah kebendaan ini, maka nampaklah sikap dan perbuatan yang amat rendah, seperti keinginan menumpuk harta kekayaan dengan cara apapun juga, tidak perduli dengan cara yang halal maupun yang haram.
Terjadi pencurian, penipuan, perampokan, korupsi dan tindak pidana lain. Nampak pula watak iri hati, murka, kikir. Membuat orang menjadi budak nafsu amarah, karena dirinya telah lenyap, artinya yang penting adalah benda-benda itu sendiri! Manusianya terlupa, yang teringat hanya benda-benda berharga.
Segala macam benda yang ada, memang diperuntukkan manusia. Demikian besarnya kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada kita. Namun, diperuntukkan kepentingan manusia hidup, apa yang diperlukan saja! Bukan untuk dijadikan makanan nafsu yang takkan pernah merasa cukup.
Manusia boleh saja mencari harta benda, boleh saja mencari uang, karena hal itu amat perlu bagi kehidupannya. Akan tetapi, harta yang kita cari itu tetap menjadi alat keperluan hidup, menjadi hamba yang melayani kita manusia, bukan lalu didewa-dewakan, lalu disembah dan diangkat menjadi majikan, dan kita menjadi hambanya!
Kita pergunakan harta yang kita dapatkan untuk kepentingan hidup kita, keluarga kita, handai taulan dan manusia lain yang memerlukannya. Kalau kita tidak diperbudak oleh harta, maka tentu kita tidak akan menjadi kikir, kita tidak merasa sayang untuk mempergunakan harta demi prikemanusiaan, menuruti dorongan hati, yaitu kasih sayang antara manusia yang digerakkan oleh kasih sayang Tuhan.
Kalau kita tidak diperbudak oleh benda, tentu kita tidak suka melakukan hal-hal yang tidak baik, hal-hal yang haram, untuk memperolehnya. Kalau kita mendapatkan benda atau harta dengan cara yang halal, yang diridhoi Tuhan, maka harta itu akan mendatangkan nikmat hidup yang luar biasa bagi kita.
Namun, sungguh kita harus berhati-hati, harus selalu mohon petunjuk dari Tuhan Maha Kasih, untuk dapat menjadi manusia yang utuh, yang tidak diperhamba oleh nafsu-nafsu kita, terutama nafsu yang timbul dari daya rendah kebendaan. Daya rendah kebendaan ini amatlah kuatnya, dan tanpa bantuan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, kita manusia kiranya akan teramat sukarnya menanggulanginya.
Karena kita amat membutuhkan benda, kita sudah begini tergantung kepada benda dalam kehidupan ini. Makin maju dunia ini, majunya adalah majunya kebendaan dan kita semakin terpengaruhi. Kita tidak mungkin dapat membebaskan diri dari bantuan kebendaan. Asal kita selalu ingat bahwa kita harus memperalat benda, bukan malah diperalat.
Kalau kita mau membuka mata mengamati penuh kewaspadaan, akan nampak betapa kita ini tak berdaya tanpa bantuan kebendaan, dan betapa nampak bahwa manusia ini sudah dijadikan hamba-hamba yang menuruti segala kehendak setan itu, daya rendah kebendaan itu. Lihat saja betapa di mana-mana terjadi perang, permusuhan, tipu menipu, segala bentuk kejahatan hanya untuk saling memperebutkan kebendaan! Daya rendah kebendaan yang sudah mencengkeram manusia, membuat manusia menjadi penjahat, setidak-tidaknya menjadikan manusia kikir, tamak dan tidak mengenal prikemanusiaan.
Agaknya Siauw-bin Ciu-kwi lupa bahwa harta benda yang amat besar akan membuat mata para pembantunya menjadi hijau! Dia terlalu percaya kepada para pembantunya, tentu saja mengandalkan kepandaiannya. Seujung rambutpun dia tidak pernah menduga bahwa orang-orang macam Po-yang Sam-liong berani untuk mengkhianatinya, menjadi nekat karena terpengaruh oleh nafsu ingin menguasai atau memiliki harta karun yang peta rahasianya telah berada di tangannya!
Ketika Po-yang Sam-liong mendapat tugas untuk mengumpulkan lima puluh orang tenaga kasar, kesempatan ini dipergunakan oleh Po-yang Sam-liong untuk mengatur siasat! Tiga orang raksasa she Poa itu, tiga bersaudara yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah terkenal sebagai penguasa daerah Telaga Po-yang, hanya karena terpaksa saja mereka mau menjadi anak buah Siauw-bin Ciu-kwi yang menjadi beng-cu (pemimpin) mereka.
Mereka telah dikalahkan oleh Tok-sim Nio-cu dan mereka maklum bahwa ilmu kepandaian Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya terlalu tinggi bagi mereka untuk menentang maka terpaksa mereka menakluk dan menjadi anak buah. Namun, tentu saja di dalam hati, mereka merasa penasaran. Mereka bukan orang-orang yang biasa menjadi anak buah, melainkan biasanya menjadi pemimpin.
Ketika mereka melihat betapa Siauw-bin Ciu-kwi mendapatkan patung emas, kemudian dari dalam patung emas itu ditemukan peta yang mengandung rahasia penyimpanan harta karun, tentu saja hati mereka terguncang oleh keinginan keras untuk dapat memiliki harta karun itu, bukan sekedar menerima upah kelak dari beng-cu mereka. Dan melihat betapa Siauw-bin Ciu-kwi membutuhkan lima puluh orang pekerja, mereka dapat menduga bahwa tentu harta karun itu amat besar jumlahnya dan berada di tempat yang sukar untuk dibongkar sehingga membutuhkan demikian banyaknya orang.
Ketika mereka bertiga diberi kesempatan selama tiga hari untuk mengumpulkan limapuluh orang pekerja kasar, Po-yang Sam-liong lalu menghubungi Yang-ce Ngo-kwi (Lima Iblis Sangai Yang-ce). Yang-ce Ngo-kwi adalah lima orang kakak beradik seperguruan yang menjadi pimpinan gerombolan bajak Sungai Yang-ce-kiang. Mereka itu merupakan sahabat baik dari Po-yang Sam-liong, dan semenjak bertahun-tahun mereka itu saling bantu.
Po-yang Sam-liong tidak pernah mengganggu daerah Sungai Yang-ce yang dikuasai Yang-ce Ngo-kwi, yaitu di sepanjang sungai itu di daerah yang panjangnya kurang lebih seratus lie. Tentu saja bagian lain dari sungai yang teramat panjang itu dikuasai oleh tokoh-tokoh sesat yang lain. Sebaliknya, Yang-ce Ngo-kwi dan anak buah mereka tidak pernah mau mengganggu daerah Telaga Po-yang.
Mendengar cerita Po-yang Sam-liong tentang patung emas, lima orang kepala bajak sungai itu merasa tertarik sekali. Orang pertama bernama Coa Kun, berusia empat puluh lima tahun dan bertubuh tinggi kurus. Orang kedua dan ketiga kakak beradik, hanya dikenal dengan nama A Kwan berusia empatpuluh tiga tahun yang berperawakan sedang dan A Ban berusia empatpuluh satu tahun bertubuh pendek kecil.
Orang keempat dan kelima juga kakak beradik, yang pertama bernama Ji Hok berusia empatpuluh tahun dengan tubuh tinggi besar dan adiknya Ji Lok berusia tigapuluh delapan tahun bertubuh pendek gendut. Mereka itu adalah kakak beradik seperguruan dan mereka terkenal amat lihai dengan permainan golok mereka.
“Rahasia Patung Emas? Pernah kami mendengar cerita tentang itu, akan tetapi karena cerita itu mengenai Telaga Po-yang, kamipun tidak memperhatikan lagi. Kami tidak ingin mengganggu Telaga Po-yang karena kami selalu bersahabat dengan kalian,” kata Coa Kun orang tertua kepada tiga orang tamunya itu.
Poa Seng, orang pertama dari Po-yang Sam-liong, mengangguk-angguk. “Kami percaya sepenuhnya akan kesetiakawanan Yang-ce Ngo-kwi. Kami sendiri tadinya hanya menganggap bahwa cerita itu merupakan dongeng rakyat. Akan tetapi, kemudian kami mendengar akan adanya peta rahasia tentang patung emas yang terjatuh ke dalam tangan Thio Kee San, maka kami menangkapnya dan menghajarnya sampai mati. Dalam peristiwa itulah kami bertemu dengan para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi dan kami ditundukkan, dipaksa menakluk dan menjadi pembantu Siauw-bin Ciu-kwi yang mengangkat diri menjadi beng-cu.”
Dia lalu menceritakan semua keadaan, menceritakan pula tentang hasil yang dicapai Beng-cu sehingga bukan saja patung emas dikuasainya, akan tetapi juga peta yang tersembunyi di dalam patung itu, peta yang amat berharga!
“Peta itulah yang penuh rahasia dan amat berharga!” Poa Seng melanjutkan ceritanya yang amat menarik perhatian lima orang pemimpin bajak sungai itu. “Biarpun Beng-cu menyembunyikan dan merahasiakan dari para pembantunya, namun kami dapat mengira-ngira bahwa tentu harta karun itu amat besar. Buktinya, dia menyuruh kami untuk mengumpulkan lima puluh orang tenaga kasar. Hal ini saja menunjukkan bahwa selain tempat itu sulit ditemukan, melalui pembongkaran dan kerja keras, juga sudah pasti harta karun itu banyak sekali!”
Yang-ce Ngo-kwi semakin tertarik, akan tetapi mereka saling pandang dan bersikap hati-hati. “Hemm, memang menarik sekali, Akan tetapi, saudara Poa, sedangkan kalian bertiga saja takluk kepada mereka, apa lagi kami. Apakah kalian menyuruh kami menyerang mereka dan mengalami kehancuran kami?”
“Wah, Yang-ce Ngo-kwi terlalu merendahkan diri!” kata Poa Seng. “Terus terang saja, kalau mengenai ilmu silat, memang mereka itu merupakan sekumpulan orang yang berkepandaian tinggi dan lihai sekali. Apalagi, seperti kuceritakan tadi, Pek-liong-eng juga menjadi pembantu Beng-cu, bahkan orang seperti Hek-liong-li tewas di tangan Pek-liong. Kalau kita hanya mempergunakan tenaga kekerasan menyerbu, memang hal itu amat sukar. Ilmu kepandaian kalian berlima, biarpun lebih tinggi dari pada kami, kiranya belum cukup untuk dapat mengalahkan mereka. Ingat, Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang di antara Kiu Lo-mo, dia seorang datuk sesat yang sakti. Akan tetapi, kalian mempunyai anak buah yang amat banyak!”
Coa Kun mengerutkan alisnya. “Hemm, jadi maksudmu kita menyerbu mengandalkan anak buah kami? Memang, kami dapat mengerahkan anak buah kami sampai dua ratus orang banyaknya.”
“Tidak, bukan begitu maksudku. Sebaiknya diatur begini. Kalian memilih sekitar dua puluh lima orang anak buah pilihan. Mereka ini akan berbaur dengan para pemuda dusun yang kupilih untuk melakukan pekerjaan membongkar tempat harta karun. Kita jadikan mereka sebagai mata-mata. Sementara itu, kalian bersama anak buah kalian bersembunyi tak jauh dari tempat dibongkarnya harta karun itu, dan kalau harta itu sudah berhasil ditemukan, kalian menyerbu, kami dan dua puluh lima orang anak buah, yang lebih dulu menyelundup itu membantu dari dalam. Dengan demikian, tentu mereka yang tidak mempunyai anak buah akan menjadi panik, dan kita berkesempatan untuk melarikan harta karun itu!”
Yang-ce Ngo-kwi mengangguk-angguk, saling pandang, kemudian mereka tertawa, “Haha-ha, suatu gagasan yang amat baik!” kata Coa Kun. “Kita biarkan mereka mencari harta karun itu, membiarkan mereka membongkarnya sampai dapat, setelah dapat kita turun tangan merampasnya! Alangkah mudah kelihatannya. Akan tetapi engkau sendiri yang mengatakan bahwa Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang di antara Kiu Lo-mo yang sakti, belum lagi para pembantunya Pek-liong-eng, Tok-sim Nio-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu dan Hek-giam-ong. Mereka semua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi! Apakah tidak akan merupakan bunuh diri dan kita akan mati konyol sebelum bisa mendapatkan harta karun itu, Po-yang Sam-liong?”
“Yang-ce Ngo-kwi harap jangan khawatir. Bukankah pepatah mengatakan bahwa yang kalah otot harus menang otak? Kalau harta karun itu telah ditemukan, ada dua jalan yang dapat kita tempuh. Pertama, kita mengandalkan banyak anak buah untuk menyerbu dan didalam kekacauan itu, kita tidak perlu ikut menyerbu, melainkan kita menggunakan saat kacau balau itu untuk melarikan harta karun.”
“Hemm, berarti kita akan mengorbankan nyawa banyak anak buah kita!”
“Apa artinya anak buah dibandingkan harta karun? Biar kehabisan anak buah, kalau kita memiliki harta karun, apa sukarnya menghimpun lagi anak buah yang lebih banyak dan lebih kuat? Sebaliknya, memiliki banyak anak buah tanpa harta, malah merepotkan.”
“Hemm, akan kami pikirkan itu. Akan tetapi apakah jalan yang kedua? Siapa tahu lebih baik.”
“Jalan kedua adalah membujuk Siauw-bin Ciu-kwi untuk menyelamatkan harta karun ke atas perahu. Nah, kalau sudah berada di perahu dan perahu berada di atas telaga, apa sukarnya bagi kita? Ha-ha, betapapun lihainya Beng-cu itu bersama anak buahnya, kalau perahunya tenggelam dan mereka berada di air, sama sekali bukan lawan kita yang merupakan setan-setan air!”
“Bagus!” seru lima orang Yang-ce Ngo-kwi, “Cara kedua ini jauh lebih baik!”
Mereka tentu saja menyetujui karena memang di samping pandai ilmu silat golok dan tenaga besar, mereka sebagai pimpinan bajak sungai juga memiliki ilmu di dalam air yang melebihi orang biasa. Dan mereka tahu bahwa para ahli silat kenamaan menjadi mati kutu setelah mereka terjatuh ke dalam air yang dalam karena mereka tidak begitu pandai renang.
“Kita melihat perkembangannya sajalah nanti,” kata Po-yang Sam-liong, “Yang penting sekali, apakah kalian menyetujui dan mau bekerja sama dengan kami?”
“Kami setuju!” seru Coa Kun gembira, “Dan pembagian hasilnya?”
“Kita bagi masing-masing pihak setengahnya!”
“Setuju sekali!”
Demikianlah, selama tiga hari, Po-yang Sam-liong berhasil mengumpulkan limapuluh orang pria dari usia duapuluh sampai empatpuluh tahun. Duapuluh lima orang yang menyamar sebagai orang-orang biasa adalah anak buah Yang-ce Ngo-kwi, sedangkan yang duapuluh lima orang lainnya adalah penduduk dusun di sekitar Po-yang.
Mereka mau menerima ajakan Po-yang Sam-liong karena janji upah yang cukup besar, jauh lebih besar dibandingkan hasil tani atau hasil mencari ikan mereka. Bahkan banyak orang yang datang untuk ikut bekerja terpaksa ditolak karena jumlahnya telah mencukupi.
Di antara dua puluh lima orang dusun itu terdapat seorang pemuda bertubuh sedang ramping yang gerakannya gesit walaupun tubuhnya agak kecil. Pemuda ini memiliki wajah yang bentuknya tampan, akan tetapi karena kulit mukanya penuh bopeng, atau tanda totol-totol hitam dan kotor, juga kulit muka, leher, kaki dan tangannya nampak hitam kotor, maka dia menjadi tidak menarik. Po-yang Sam-liong menerima pemuda ini yang dibawa oleh pemuda-pemuda lainnya karena dia nampak gesit dan sehat. Biar Pek-liong sekalipun kalau berhadapan dengan pemuda ini tentu sama sekali tidak akan dapat menduga bahwa pemuda ini bukan lain adalah Liong-li!
Seperti kita ketahui, Liong-li pada malam pertama itu berhasil memasuki daerah markas gerombolan penjahat dan kedatangannya telah diketahui oleh Pek-liong dan Hek-giam-ong. Andaikata tidak ada Pek-liong di situ, Hek-giam-ong tentu tidak akan menduga bahwa tamu malam yang tidak diundang itu telah bertiarap di antara rumput.
Ketika Liong-li yang mendekam itu mendengar suara Pek-liong, ia merasa gembira sekali. Suara Pek-liong itu jelas menandakan bahwa ia harus keluar dan dalam kesempatan itu tentu Pek-liong dapat memberitahukan sesuatu yang penting. Maka iapun meloncat keluar dan langsung menggunakan Hek-liong-kiam menyerang Hek-giam-ong Lok Hun.
Pada saat Hek-giam-ong Lok Hun menangkis dengan ruyungnya, ia melihat Pek-liong menggerakkan tangan mencegah, maka cepat ia miringkan pedangnya sehingga mata pedangnya yang tajam tidak menyambut ruyung yang tentu akan membuat ruyung itu patah. Bahkan ia sengaja mengendurkan tenaganya sehingga ia terpental dan meloncat jauh ke belakang, membuat gerakan melarikan diri.
Pada saat itulah, Pek-liong menyambitkan sebatang pedang. Liong-li menyambut pedang, menangkap pedang dengan lagak terkena sambaran pedang, mengeluarkan teriakan mengaduh lalu menghilang ke dalam kegelapan hutan. Setelah ia tiba jauh di kaki bukit, ia membaca surat yang tadi menempel di pedang yang disambitkan Pek-liong. Surat itu singkat saja namun cukup jelas baginya.
“Peta rahasia dalam patung emas dikuasai beng-cu. Po-yang Sam-liong diutus mencari lim apuluh orang tenaga untuk membongkar tempat penyimpanan harta karun. Menanti saat baik untuk turun tangan. Harap siap, kalau mungkin menyelundup di antara para pekerja.”
Hanya itulah tulisan Pek-liong, namun ia sudah dapat menggambarkan apa yang terjadi. Tentu harta pusaka itu bukan berupa sebuah patung emas yang biarpun berharga namun tidak sepadan dengan segala macam rahasia pada petanya. Tentu patung emas itu menyimpan rahasia lain dan kini ternyata ada peta di dalam patung. Peta harta karun! Peta itu dikuasai Siauw-bin Ciu-kwi seorang, dan melihat betapa Ciu-kwi mencari limapuluh orang pekerja, tentu harta karun itu disimpan di tempat yang yang sukar didapat, mungkin membutuhkan banyak tenaga untuk membongkarnya.
Cepat Liong-li melakukan persiapan. Ia menyamar sebagai seorang pria yang bermuka bopeng totol-totol hitam, dengan kulit badan hitam kotor pula. Kemudian, ketika Po-yang Sam-liong mencari tenaga dari dusun, iapun menyelinap masuk setelah menyogok beberapa orang pemuda agar membawa ia ikut bekerja. Tentu saja para pemuda dusun itupun tidak tahu bahwa pemuda buruk rupa itu adalah seorang gadis yang cantik jelita!
Ketika mencatatkan nama sebagai pekerja, Liong-li mempergunakan nama Cu Kim, yaitu kebalikan dari namanya sendiri. She Cu bernama Kim, dan orang-orang segera menyebut si buruk rupa yang lincah ini A-kim! Ia mendengar bahwa dari dusun, Po-yang Sam-liong hanya menggunakan duapuluh lima orang, sedangkan duapuluh lima orang lainnya sudah ada dan tak seorangpun tahu dari mana mereka datang, juga tidak ada yang mengenal mereka.
Dengan pengamatan matanya yang tajam, Liong-li melihat betapa duapuluh lima orang yang lain itu rata-rata memiliki sinar mata yang bengis dan kejam, juga mereka pendiam dan iapun menarik kesimpulan bahwa mereka tentulah anak buah Po-yang Sam-liong sendiri. Diam-diam ia menjadi tertarik dan menduga-duga, mengapa Po-yang Sam-liong yang diutus mencari tenaga kerja sebanyak limapuluh orang itu agaknya menyelundupkan duapuluh lima orang anak buahnya!
Dengan cerdik sekali, Liong-li dapat menyelundupkan pedang Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam di antara perabot yang harus mereka bawa, yaitu linggis, cangkul dan sekop. Juga buntalan pakaian karena menurut Po-yang Sam-liong, sebelum pekerjaan itu selesai, mereka semua tidak boleh meninggalkan tempat pekerjaan, diharuskan tidur di sana dan akan diberi makan.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali mereka semua disuruh berjalan dalam barisan, menuruni lereng Bukit Merak dan pergi ke sebuah bukit kecil di tepi Telaga Po-yang. Tempat ini sunyi sekali karena bukit kecil itu merupakan bukit yang gersang, berbatu-batu dan tidak ada tumbuh-tumbuhan kecuali rumput liar. Bukit ini penuh dengan batu-batu besar dan guha-guha batu.
Siauw-bin Ciu-kwi yang memimpin perjalanan itu, dan berjalan di depan bersama Pek-liong dan Tok-sim Nio-cu, sedangkan Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu, Hek-giam-ong dan tiga orang Po-yang Sam-liong diharuskan berjalan di belakang pasukan pekerja. Juga anak buah yang belasan orang banyaknya disuruh berjalan di belakang dan mereka ini yang diharuskan mengusir setiap orang yang berani mendekati tempat mereka bekerja...
“Kita menghadang musuh dari sini!” kata Pek-liong kepada Hek-giam-ong Lok Hun. Mendengar ajakan ini, Hek-giam-ong mengerutkan alisnya dan matanya berkilat.
“Hemm, tidak akan ada musuh berani datang melalui padang rumput yang diterangi sinar bulan seperti itu. Dia pasti muncul dari semak belukar atau hutan!”
“Hek-giam-ong, bukankah tadi Beng-cu menyuruh engkau membantu aku? Itu berarti bahwa aku yang menjadi pimpinan dan aku yang bertanggung jawab. Engkau tinggal mematuhi saja. Mari!” Pek-liong lalu melompat ke depan, menuju ke padang rumput yang berada di sebelah kiri.
Si tinggi kurus muka hitam itu mengeluarkan suara mengomel, akan tetapi dia tidak berani membantah karena tadi memang dia yang harus membantu Pek-liong, dan Beng-cu tentu akan marah kalau dia tidak mentaati Pek-liong. Biarlah, pikirnya, yang akan bertanggung jawab adalah Pek-liong! Sambil bersungut-sungut dan memanggul ruyungnya yang berat, diapun mengejar di belakang Pek-liong yang membawa sebatang pedang yang dipinjamnya dari ruangan belajar silat.
Tentu saja hanya Pek-liong yang sudah hafal akan kebiasaan Liong-li. Demikian pula Liong-li tahu bahwa Pek-liong akan dapat menduga cara yang dipergunakannya. Pek-liong tahu bahwa Liong-li cerdik sekali. Tamu malam biasa, tentu akan melakukan seperti yang dikatakan atau diduga oleh Hek-giam-ong tadi, yaitu datang berkunjung melalui tempat-tempat gelap yang terlindung semak-semak atau pohon-pohon. Akan tetapi justeru kebiasaan tamu malam ini dijauhi oleh Liong-li. Wanita perkasa itu tentu akan memilih keadaan sebaliknya sehingga tidak akan mudah diduga lawan. Ia tentu akan mengambil jalan yang melalui padang rumput itu.
Ketika mereka tiba di padang rumput yang rumputnya tebal dan subur itu, mereka berdua memandang dan tidak melihat ada bayangan orang di sana. Sinar bulan sepenuhnya menyinari padang rumput yang tidak ada pohonnya itu dan suasana sunyi, namun pemandangan amatlah indahnya. Padang rumput itu nampak hijau kekuningan, segar dan angin semilir membuat ujung-ujung rumput bergoyang-goyang seperti sekelompok penari. Namun tidak kelihatan ada orang di situ. Tiba-tiba Pek-liong berteriak dengan lantang.
“Musuh yang bersembunyi di sana! Cepat keluar memperlihatkan diri sebelum kami terpaksa menyerang dengan senjata rahasia kami!”
Hek-giam-ong sudah hampir tertawa, mentertawakan Pek-liong yang dianggap tolol itu ketika tiba-tiba dari tengah padang rumput itu berkelebat bayangan hitam yang tadinya bertiarap sehingga tidak nampak di antara rumput yang tebal dan tinggi. Begitu melompat, bayangam hitam itu sudah langsung saja menerjang ke arah Hek-giam-ong yang bersenjata ruyung karena si tinggi kurus muka hitam ini yang. terdekat dengannya.
Hek-giam-ong terkejut bukan main. Di bawah sinar bulan purnama, dia tidak dapat melihat dengan jelas keadaan musuh yang bergerak amat cepatnya itu, akan tetapi yang diketahuinya adalah bahwa lawan ini berpakaian serba hitam dari kepala sampai mukanya dikerodongi kain hitam pula, hanya memperlihatkan sepasang mata yang mencorong mengerikan! Dia cepat menggerakkan ruyungnya menangkis.
“Trangggg...!” Pedang di tangan orang itu terpental dan hampir terlepas. Orang itu terkejut sekali dan meloncat untuk melarikan diri. Pada saat itu, Pek-liong sudah menyambitkan pedangnya sambil berseru nyaring.
“Engkau hendak lari ke mana?” Pedang di tangannya meluncur ke arah tubuh hitam yang melarikan diri itu.
“Aduhhhh...!” Orang berkedok itu berteriak dengan suara parau dan tubuhnya terus berloncatan jauh ke depan sambil membawa pedang yang dilemparkan Pek-liong tadi, yang agaknya menancap di tubuhnya!
Pek-liong dan Hek-giam-ong mengejar, akan tetapi orang itu sudah menghilang ke dalam hutan terdekat yang gelap. Hek-giam-ong menjadi bingung karena tidak tahu harus mengejar ke mana. Pada saat itu, terdengar suara sempritan nyaring sehingga mengejutkan Hek-giam-ong.
Kiranya sempritan itu dibunyikan oleh Pek-liong yang terus mengejar ke depan. Baru Hek-giam-ong teringat dan diapun meniup sempritan yang berada di kantungnya. Sebentar saja, mereka semua telah ikut mengejar ke situ. Tok-sim Nio-cu bersama Lim- kwi Sai-kong, dan Pek I Kongcu bersama belasan orang anak buah.
“Kami bertemu dengan seorang musuh!” kata Hek-giam-ong sambil mengamang-amangkan ruyungnya.
“Dia lari ke depan! Kejar!” kata Pek-liong mendahului dan mereka semua melakukan pengejaran. Akan tetapi, sampai jauh mereka mengejar dan memeriksa, ternyata si kedok hitam itu lenyap tanpa meninggalkan bekas.
“Dia sudah terluka terkena sambitan pedangku!” kata Pek-liong penasaran.
“Dia tidak berapa lihai. Sekali tangkis dengan ruyungku, pedangnya hampir terlepas dari tangannya, dia lari dan disambit pedang oleh Pek-liong. Jelas sambitan itu mengenai sasaran karena dia mengaduh, akan tetapi masih mampu melarikan diri!” kata Hek-giam-ong membanggakan kemenangannya.
Karena mereka tidak berhasil menemukan Musuh itu, mereka lalu kembali ke markas untuk melaporkan hal itu kepada Siauw-bin Ciu-kwi. Beng-cu ini mengerutkan alisnya.
“Jaga yang ketat. Ingatlah bahwa kita memiliki benda yang amat berharga, yang perlu dijaga siang malam dengan ketat. Jangan khawatir, bagian kalian kelak akan dapat kalian pergunakan untuk selama hidup!”
Ucapan itu tentu saja menggembirakan hati para pembantunya, dan Pek-liong berkata, “Harap Beng-cu jangan khawatir. Selama ada aku di sini tidak ada seorangpun musuh yang akan dapat mengganggu!”
Biasanya, yang membenci Pek-liong adalah Hek-giam-ong dan Pek I Kongcu. Kini, Hek-giaam-ong diam saja karena tadi dia sudah membuktikan kebenaran pendapat Pek-liong. Hanya Pek I Kongcu yang berkara lirih.
“Hemm, jangan menyombongkan diri dulu, Pek-liong. Kesanggupanmu itu haruslah kita lihat dulu buktinya.”
Pek-liong tersenyum. “Mari kita berlumba, Pek I Kongcu, berlumba untuk membuat jasa. Yang jelas saja, aku sudah berhasil membunuh Hek-liong-li dan baru saja melukai seorang mata-mata musuh.”
“Hemm, hal itupun harus dibuktikan dulu, Pek-liong. Tidak ada bukti bahwa Hek-liong-li telah tewas, dan siapa tahu tamu tak diundang yang muncul tadi adalah Hek-liong-li!”
Pek-liong menyembunyikan perasaan kagetnya. Diam-diam dia memuji kecerdikan tokoh sesat yang tampan ini dan dia harus berhati-hati karena orang ini ternyata lihai dan cerdik. Akan tetapi, dia mendapatkan bantuan dari Hek-giam-ong yang tidak secerdik Pek I Kongcu.
”Ah, tidak mungkin kalau orang tadi Hek-liong-li. Bukankah ia telah terluka oleh sambitan pisau dan jelas nampak ia tenggelam dan air telaga mengandung darah? Dan kalau orang tadi Hek-liong-li, masa sekali tangkis saja aku dapat membuat ia melarikan diri?”
“Sudahlah, jangan kalian ribut-ribut. Yang penting adalah bekerja sama untuk menjaga agar jangan sampai ada musuh menyelundup masuk. Kita berjaga dan menanti sampai Po-yang Sam-liong kembali membawa tenaga yang kubutuhkan,” kata Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya tidak berani ribut-ribut lagi.
Pek-liong maklum bahwa biarpun nampaknya dia diberi kebebasan oleh Siauw-bin Ciu-kwi, namun beng-cu itu masih belum percaya sepenuhnya kepadanya dan para pembantu yang lihai dari beng-cu itu selalu mengamati gerak-geriknya. Maka diapun tidak mau melakukan sesuatu yang mencurigakan dan kalau tidak sedang bertugas jaga, dia berdiam saja di dalam kamarnya.
Malam itu, ketika dia sedang beristirahat di kamarnya, pintu kamarnya diketuk perlahan dari luar. Pek-liong membuka daun pintu kamarnya dan Tok-sim Nio-cu menyelinap masuk tanpa permisi lagi. Bagi wanita ini, ia tidak perduli kamar pria mana yang akan dimasukinya, dan iapun tidak perduli apakah ada orang lain melihat ia memasuki kamar Pek-liong!
Pek-liong mengerutkan alisnya, akan tetapi wanita itu telah duduk di tepi pembaringannya. Diapun duduk di atas kursi dan bertanya dengan suara tenang. “Tok-sim Nio-cu, ada keperluan apakah engkau datang mengunjungi aku!?” Dengan halus dia lalu mengusirnya. “Aku ingin beristirahat, kalau ada perlu, cepat katakan dan tinggalkan aku.”
Tok-sim Nio-cu tersenyum manis. Ia tidak bangkit, bahkan lalu merebahkan diri telentang dengan gaya yang memikat sekali. “Aih, Pek-liong. Apa salahnya kalau aku menemanimu beristirahat di sini? Aku kesepian dan hawa malam ini dingin sekali. Mari, naiklah ke sini, Pek-liong, dan aku akan membuat engkau senang!”
Pek-liong bangkit berdiri. Tentu saja dia sudah mengenal wanita macam apa adanya Tok-sim Nio-cu ini. Seorang wanita cabul, gila lelaki, hamba nafsu berahinya sendiri dan selalu menggoda pria yang menarik hatinya.
“Tok-sim Nio-cu, dengar baik-baik! Aku juga bukan seorang perjaka yang bersih dan alim, akan tetapi ketahuilah bahwa aku datang ke sini bukan untuk bermain gila denganmu! Aku datang ke sini untuk mencari keuntungan, untuk mendapatkan bagian dari harta karun!” Lalu ditambahkannya dengan tekanan mantap, “Dan terus terang saja, sebagai wanita engkau tidak menarik hatiku dan minatku!”
Tok-sim Nio-cu mengerutkan alisnya dan pandang matanya jelas membayangkan kemarahan dan kekecewaan, akan tetapi segera ia menutupi semua itu dengan senyum. “Pek-liong, engkau datang untuk mencari harta karun, bukan? Mengapa harus menerima bagian sedikit saja dari Beng-cu? Alangkah senangnya kalau kita berdua bisa mendapatkan seluruhnya, dibagi dua saja antara kita!”
Pek-liong terkejut, akan tetapi kecerdikannya bekerja. Dia melihat perbedaan, bahkan sikap yang sebaliknya dari tadi Tok-sim Nio-cu berusaha merayunya, itu adalah Tok-sim Nio-cu yang sebenarnya, yang sudah menjadi gila oleh nafsunya sendiri. Akan tetapi yang kedua ini, sikap yang amat berbeda ini tentu bukan sikap yang wajar, melainkan pura-pura, sandiwara!
Diapun mengerti bahwa tentu Tok-sim Nio-cu yang gagal memikat hatinya, kini menggunakan siasat yang agaknya sudah diatur oleh Siauw-bin Ciu-kwi untuk menguji dan menjebaknya! Dia menduga bahwa tentu Siauw-bin Ciu-kwi hendak mengujinya melalui wanita palsu ini. Maka, diapun memandang marah.
“Tok-sim Nio-cu, engkau perempuan rendah tak tahu malu! Engkau pengkhianat yang layak dipukul!” Berkata demikian, Pek-liong sudah maju dan tangan kirinya menampar ke arah pipi wanita itu.
Tentu saja Tok-sim Nio-cu mengelak dan iapun menjadi marah. “Keparat yang tak tahu diri!” Bagi wanita ini, setiap orang pria yang tidak menguntungkan dirinya, tidak mau melayaninya, berubah menjadi orang dibencinya. Maka sambil mengelak ia sudah mengeluarkan kipasnya, satu di antara senjatanya yang ampuh. Ia tidak membawa pedangnya, karena niatnya juga bukan untuk berkelahi, melainkan untuk bermain mata dengan pria yang ganteng dan gagah ini.
Kini, dengan kipas di tangan, Tok-sim Nio-cu sudah menyerang dengan ganas, gagang kipasnya menjadi senjata penotok yang ampuh. Namun, Pek-liong juga mengelak dan terjadilah perkelahian di dalam kamar itu. Pek-liong sengaja melayani wanita itu karena diapun ingin menguji dan mengukur sampai di mana kepandaian seorang di antara calon-calon lawannya ini.
Kalau sudah tiba saatnya, tentu ita akan bertanding sungguh-sungguh melawan Tok-sim Nio-cu. Dan dia mendapat kenyataan bahwa ilmu permainan kipas wanita itu cukup hebat, walaupun belum merupakan bahaya besar bagi dia maupun Liong-li. Dia mengelak atau menangkis dan membalas dengan tangan kosong.
Tiba-tiba daun pintu kamar itu terbuka dan muncullah Siauw-bin Ciu-kwi. “Hei, mengapa kalian ini? Hentikan!” bentak Beng-cu itu dan dua orang yang sedang saling serang mati-matian itupun menghentikan gerakan mereka. Dengan wajah muram Pek-liong segera melaporkan, “Beng-cu, harap tangkap wanita ini! Ia telah membujuk dan mengajak aku untuk berkhianat, untuk mendapatkan harta karun berdua saja dengannya!”
Beng-cu itu tertawa. “Ha-ha-ha, sudahlah, Pek-liong. Ia memang sengaja untuk mengujimu, dan aku menyuruhnya.”
Jawaban ini tentu saja sama sekali tidak mengejutkan hati Pek-liong yang memang sudah menduganya, akan tetapi dia berpura-pura terkejut dan memandang heran, juga penasaran. “Akan tetapi, Beng-cu! Apa artinya ini? Mengapa ia berbuat demikian kepadaku dan mengapa pula Beng-cu yang menyuruh ia berbuat demikian?”
“Untuk menguji kesetiaanmu, Pek-liong.” Dan hatinya puas sudah. “Sekarang, jangan lagi kalian saling mendendam karena kalian berdua adalah pembantu-pembantuku yang paling utama dan kalau harta karun itu sudah kita peroleh, kalian akan mendapatkan bagian yang paling besar di antara semua pembantuku.”
“Terima kasih, Beng-cu, terima kasih!” kata Pek-liong dengan sinar mata gembira dan wajah berseri.
Akan tetapi, Tok-sim Nio-cu masih agak cemberut karena bagaimanapun juga, wanita ini merasa kecewa dan merasa dipandang rendah oleh Pek-liong yang menolak cintanya! Dan Pek-liong juga maklum bahwa seorang wanita yang terhina karena ditolak cintanya akan merupakan musuh yang amat berbahaya dan amat membencinya.
Pada keesokan harinya, mulailah Po-yang Sam-liong membawa tenaga-tenaga bantuan yang terdiri dari pemuda-pemuda dari dusun yang bertubuh kekar. Mereka itu mau diajak oleh Po-yang Sam-liong, bukan saja karena takut kepada tiga orang tokoh Telaga Po-yang itu, akan tetapi juga tertarik oleh janji upah yang besar.
Dan mulailah Tok-sim Nio-cu yang dikecewakan Pek-liong itu berpesta pora. Sambil menanti berkumpulnya lima puluh orang, jumlah yang dibutuhkan, wanita ini seenaknya memilih beberapa orang pemuda dan mengajak mereka ke kamarnya. Tentu saja para pemuda dusun itu tidak menolak ajakan seorang wanita yang demikian cantiknya, apa lagi dibujuk dengan hadiah berharga. Mereka bahkan berlumba untuk memuaskan nafsu Tok-sim Nio-cu yang tak pernah mengenal puas itu!
Melihat ini, Pek I Kongcu juga menjadi iseng dan dia mengajak para pelayan wanita muda yang manis-manis dari Beng-cu. Bergantian para pelayan itu dengan senang hati melayani Pek I Kongcu.
Pek-liong melihat ini semua dan dia hanya tersenyum. Selama masih memiliki kelemahan itu, diperhamba nafsu berahi, dua orang itu berkurang bahayanya. Diapun bersembunyi saja dalam kamarnya, kadang-kadang melihat kalau ada rombongan tenaga baru datang dan menduga-duga apakah ada Liong-li menyelinap di antara mereka.
Dia merasa yakin bahwa Liong-li takkan tinggal diam, tentu wanita perkasa itu telah membuat persiapan. Entah bagaimana caranya, dia sendiri belum dapat menduga. Liong-li terlalu cerdik dan banyak akal, lebih cerdik dari dia sendiri, dan dia tahu betapa pandainya Liong-li melakukan penyamaran. Untuk ilmu penyamaran ini, Liong-li berguru kepada tokoh pemain wayang di kota raja. Dia sendiri pernah mempelajarinya, namun dibandingkan dengan Liong-li, dia masih hijau.
********************
Di antara segala nafsu yang berada dalam diri manusia, yang paling berbahaya dan amat kuatnya dalam usahanya menguasai hati dan akal pikiran manusia adalah nafsu yang timbul dari daya rendah benda! Hal ini adalah karena benda-benda mendatangkan banyak kesenangan bagi manusia. Dan benda terjadi karena bekerjanya akal pikiran manusia yang selalu berusaha untuk menjadikan kehidupan di dunia ini terasa nikmat. Maka, tiada habis dan tiada hentinya pikiran menciptakan benda-benda yang dapat membuat kita menikmati kehidupan.
Semua ini merupakan anugerah dari Tuhan Maha Kasih, dan kita wajib bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan atas anugerah ini. Namun, benda-benda buatan kita ini ternyata merupakan pula musuh dalam selimut yang amat berbahaya.
Daya kekuatannya amat besar dan daya rendah benda selalu berusaha untuk mencengkeram dan menguasai diri kita sehingga kita dapat diperbudak olehnya. Kalau kita manusia sudah menjadi hamba dari daya rendah kebendaan ini, maka nampaklah sikap dan perbuatan yang amat rendah, seperti keinginan menumpuk harta kekayaan dengan cara apapun juga, tidak perduli dengan cara yang halal maupun yang haram.
Terjadi pencurian, penipuan, perampokan, korupsi dan tindak pidana lain. Nampak pula watak iri hati, murka, kikir. Membuat orang menjadi budak nafsu amarah, karena dirinya telah lenyap, artinya yang penting adalah benda-benda itu sendiri! Manusianya terlupa, yang teringat hanya benda-benda berharga.
Segala macam benda yang ada, memang diperuntukkan manusia. Demikian besarnya kemurahan dan kasih sayang Tuhan kepada kita. Namun, diperuntukkan kepentingan manusia hidup, apa yang diperlukan saja! Bukan untuk dijadikan makanan nafsu yang takkan pernah merasa cukup.
Manusia boleh saja mencari harta benda, boleh saja mencari uang, karena hal itu amat perlu bagi kehidupannya. Akan tetapi, harta yang kita cari itu tetap menjadi alat keperluan hidup, menjadi hamba yang melayani kita manusia, bukan lalu didewa-dewakan, lalu disembah dan diangkat menjadi majikan, dan kita menjadi hambanya!
Kita pergunakan harta yang kita dapatkan untuk kepentingan hidup kita, keluarga kita, handai taulan dan manusia lain yang memerlukannya. Kalau kita tidak diperbudak oleh harta, maka tentu kita tidak akan menjadi kikir, kita tidak merasa sayang untuk mempergunakan harta demi prikemanusiaan, menuruti dorongan hati, yaitu kasih sayang antara manusia yang digerakkan oleh kasih sayang Tuhan.
Kalau kita tidak diperbudak oleh benda, tentu kita tidak suka melakukan hal-hal yang tidak baik, hal-hal yang haram, untuk memperolehnya. Kalau kita mendapatkan benda atau harta dengan cara yang halal, yang diridhoi Tuhan, maka harta itu akan mendatangkan nikmat hidup yang luar biasa bagi kita.
Namun, sungguh kita harus berhati-hati, harus selalu mohon petunjuk dari Tuhan Maha Kasih, untuk dapat menjadi manusia yang utuh, yang tidak diperhamba oleh nafsu-nafsu kita, terutama nafsu yang timbul dari daya rendah kebendaan. Daya rendah kebendaan ini amatlah kuatnya, dan tanpa bantuan kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih, kita manusia kiranya akan teramat sukarnya menanggulanginya.
Karena kita amat membutuhkan benda, kita sudah begini tergantung kepada benda dalam kehidupan ini. Makin maju dunia ini, majunya adalah majunya kebendaan dan kita semakin terpengaruhi. Kita tidak mungkin dapat membebaskan diri dari bantuan kebendaan. Asal kita selalu ingat bahwa kita harus memperalat benda, bukan malah diperalat.
Kalau kita mau membuka mata mengamati penuh kewaspadaan, akan nampak betapa kita ini tak berdaya tanpa bantuan kebendaan, dan betapa nampak bahwa manusia ini sudah dijadikan hamba-hamba yang menuruti segala kehendak setan itu, daya rendah kebendaan itu. Lihat saja betapa di mana-mana terjadi perang, permusuhan, tipu menipu, segala bentuk kejahatan hanya untuk saling memperebutkan kebendaan! Daya rendah kebendaan yang sudah mencengkeram manusia, membuat manusia menjadi penjahat, setidak-tidaknya menjadikan manusia kikir, tamak dan tidak mengenal prikemanusiaan.
Agaknya Siauw-bin Ciu-kwi lupa bahwa harta benda yang amat besar akan membuat mata para pembantunya menjadi hijau! Dia terlalu percaya kepada para pembantunya, tentu saja mengandalkan kepandaiannya. Seujung rambutpun dia tidak pernah menduga bahwa orang-orang macam Po-yang Sam-liong berani untuk mengkhianatinya, menjadi nekat karena terpengaruh oleh nafsu ingin menguasai atau memiliki harta karun yang peta rahasianya telah berada di tangannya!
Ketika Po-yang Sam-liong mendapat tugas untuk mengumpulkan lima puluh orang tenaga kasar, kesempatan ini dipergunakan oleh Po-yang Sam-liong untuk mengatur siasat! Tiga orang raksasa she Poa itu, tiga bersaudara yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan sudah terkenal sebagai penguasa daerah Telaga Po-yang, hanya karena terpaksa saja mereka mau menjadi anak buah Siauw-bin Ciu-kwi yang menjadi beng-cu (pemimpin) mereka.
Mereka telah dikalahkan oleh Tok-sim Nio-cu dan mereka maklum bahwa ilmu kepandaian Siauw-bin Ciu-kwi dan para pembantunya terlalu tinggi bagi mereka untuk menentang maka terpaksa mereka menakluk dan menjadi anak buah. Namun, tentu saja di dalam hati, mereka merasa penasaran. Mereka bukan orang-orang yang biasa menjadi anak buah, melainkan biasanya menjadi pemimpin.
Ketika mereka melihat betapa Siauw-bin Ciu-kwi mendapatkan patung emas, kemudian dari dalam patung emas itu ditemukan peta yang mengandung rahasia penyimpanan harta karun, tentu saja hati mereka terguncang oleh keinginan keras untuk dapat memiliki harta karun itu, bukan sekedar menerima upah kelak dari beng-cu mereka. Dan melihat betapa Siauw-bin Ciu-kwi membutuhkan lima puluh orang pekerja, mereka dapat menduga bahwa tentu harta karun itu amat besar jumlahnya dan berada di tempat yang sukar untuk dibongkar sehingga membutuhkan demikian banyaknya orang.
Ketika mereka bertiga diberi kesempatan selama tiga hari untuk mengumpulkan limapuluh orang pekerja kasar, Po-yang Sam-liong lalu menghubungi Yang-ce Ngo-kwi (Lima Iblis Sangai Yang-ce). Yang-ce Ngo-kwi adalah lima orang kakak beradik seperguruan yang menjadi pimpinan gerombolan bajak Sungai Yang-ce-kiang. Mereka itu merupakan sahabat baik dari Po-yang Sam-liong, dan semenjak bertahun-tahun mereka itu saling bantu.
Po-yang Sam-liong tidak pernah mengganggu daerah Sungai Yang-ce yang dikuasai Yang-ce Ngo-kwi, yaitu di sepanjang sungai itu di daerah yang panjangnya kurang lebih seratus lie. Tentu saja bagian lain dari sungai yang teramat panjang itu dikuasai oleh tokoh-tokoh sesat yang lain. Sebaliknya, Yang-ce Ngo-kwi dan anak buah mereka tidak pernah mau mengganggu daerah Telaga Po-yang.
Mendengar cerita Po-yang Sam-liong tentang patung emas, lima orang kepala bajak sungai itu merasa tertarik sekali. Orang pertama bernama Coa Kun, berusia empat puluh lima tahun dan bertubuh tinggi kurus. Orang kedua dan ketiga kakak beradik, hanya dikenal dengan nama A Kwan berusia empatpuluh tiga tahun yang berperawakan sedang dan A Ban berusia empatpuluh satu tahun bertubuh pendek kecil.
Orang keempat dan kelima juga kakak beradik, yang pertama bernama Ji Hok berusia empatpuluh tahun dengan tubuh tinggi besar dan adiknya Ji Lok berusia tigapuluh delapan tahun bertubuh pendek gendut. Mereka itu adalah kakak beradik seperguruan dan mereka terkenal amat lihai dengan permainan golok mereka.
“Rahasia Patung Emas? Pernah kami mendengar cerita tentang itu, akan tetapi karena cerita itu mengenai Telaga Po-yang, kamipun tidak memperhatikan lagi. Kami tidak ingin mengganggu Telaga Po-yang karena kami selalu bersahabat dengan kalian,” kata Coa Kun orang tertua kepada tiga orang tamunya itu.
Poa Seng, orang pertama dari Po-yang Sam-liong, mengangguk-angguk. “Kami percaya sepenuhnya akan kesetiakawanan Yang-ce Ngo-kwi. Kami sendiri tadinya hanya menganggap bahwa cerita itu merupakan dongeng rakyat. Akan tetapi, kemudian kami mendengar akan adanya peta rahasia tentang patung emas yang terjatuh ke dalam tangan Thio Kee San, maka kami menangkapnya dan menghajarnya sampai mati. Dalam peristiwa itulah kami bertemu dengan para pembantu Siauw-bin Ciu-kwi dan kami ditundukkan, dipaksa menakluk dan menjadi pembantu Siauw-bin Ciu-kwi yang mengangkat diri menjadi beng-cu.”
Dia lalu menceritakan semua keadaan, menceritakan pula tentang hasil yang dicapai Beng-cu sehingga bukan saja patung emas dikuasainya, akan tetapi juga peta yang tersembunyi di dalam patung itu, peta yang amat berharga!
“Peta itulah yang penuh rahasia dan amat berharga!” Poa Seng melanjutkan ceritanya yang amat menarik perhatian lima orang pemimpin bajak sungai itu. “Biarpun Beng-cu menyembunyikan dan merahasiakan dari para pembantunya, namun kami dapat mengira-ngira bahwa tentu harta karun itu amat besar. Buktinya, dia menyuruh kami untuk mengumpulkan lima puluh orang tenaga kasar. Hal ini saja menunjukkan bahwa selain tempat itu sulit ditemukan, melalui pembongkaran dan kerja keras, juga sudah pasti harta karun itu banyak sekali!”
Yang-ce Ngo-kwi semakin tertarik, akan tetapi mereka saling pandang dan bersikap hati-hati. “Hemm, memang menarik sekali, Akan tetapi, saudara Poa, sedangkan kalian bertiga saja takluk kepada mereka, apa lagi kami. Apakah kalian menyuruh kami menyerang mereka dan mengalami kehancuran kami?”
“Wah, Yang-ce Ngo-kwi terlalu merendahkan diri!” kata Poa Seng. “Terus terang saja, kalau mengenai ilmu silat, memang mereka itu merupakan sekumpulan orang yang berkepandaian tinggi dan lihai sekali. Apalagi, seperti kuceritakan tadi, Pek-liong-eng juga menjadi pembantu Beng-cu, bahkan orang seperti Hek-liong-li tewas di tangan Pek-liong. Kalau kita hanya mempergunakan tenaga kekerasan menyerbu, memang hal itu amat sukar. Ilmu kepandaian kalian berlima, biarpun lebih tinggi dari pada kami, kiranya belum cukup untuk dapat mengalahkan mereka. Ingat, Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang di antara Kiu Lo-mo, dia seorang datuk sesat yang sakti. Akan tetapi, kalian mempunyai anak buah yang amat banyak!”
Coa Kun mengerutkan alisnya. “Hemm, jadi maksudmu kita menyerbu mengandalkan anak buah kami? Memang, kami dapat mengerahkan anak buah kami sampai dua ratus orang banyaknya.”
“Tidak, bukan begitu maksudku. Sebaiknya diatur begini. Kalian memilih sekitar dua puluh lima orang anak buah pilihan. Mereka ini akan berbaur dengan para pemuda dusun yang kupilih untuk melakukan pekerjaan membongkar tempat harta karun. Kita jadikan mereka sebagai mata-mata. Sementara itu, kalian bersama anak buah kalian bersembunyi tak jauh dari tempat dibongkarnya harta karun itu, dan kalau harta itu sudah berhasil ditemukan, kalian menyerbu, kami dan dua puluh lima orang anak buah, yang lebih dulu menyelundup itu membantu dari dalam. Dengan demikian, tentu mereka yang tidak mempunyai anak buah akan menjadi panik, dan kita berkesempatan untuk melarikan harta karun itu!”
Yang-ce Ngo-kwi mengangguk-angguk, saling pandang, kemudian mereka tertawa, “Haha-ha, suatu gagasan yang amat baik!” kata Coa Kun. “Kita biarkan mereka mencari harta karun itu, membiarkan mereka membongkarnya sampai dapat, setelah dapat kita turun tangan merampasnya! Alangkah mudah kelihatannya. Akan tetapi engkau sendiri yang mengatakan bahwa Siauw-bin Ciu-kwi adalah seorang di antara Kiu Lo-mo yang sakti, belum lagi para pembantunya Pek-liong-eng, Tok-sim Nio-cu, Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu dan Hek-giam-ong. Mereka semua adalah orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi! Apakah tidak akan merupakan bunuh diri dan kita akan mati konyol sebelum bisa mendapatkan harta karun itu, Po-yang Sam-liong?”
“Yang-ce Ngo-kwi harap jangan khawatir. Bukankah pepatah mengatakan bahwa yang kalah otot harus menang otak? Kalau harta karun itu telah ditemukan, ada dua jalan yang dapat kita tempuh. Pertama, kita mengandalkan banyak anak buah untuk menyerbu dan didalam kekacauan itu, kita tidak perlu ikut menyerbu, melainkan kita menggunakan saat kacau balau itu untuk melarikan harta karun.”
“Hemm, berarti kita akan mengorbankan nyawa banyak anak buah kita!”
“Apa artinya anak buah dibandingkan harta karun? Biar kehabisan anak buah, kalau kita memiliki harta karun, apa sukarnya menghimpun lagi anak buah yang lebih banyak dan lebih kuat? Sebaliknya, memiliki banyak anak buah tanpa harta, malah merepotkan.”
“Hemm, akan kami pikirkan itu. Akan tetapi apakah jalan yang kedua? Siapa tahu lebih baik.”
“Jalan kedua adalah membujuk Siauw-bin Ciu-kwi untuk menyelamatkan harta karun ke atas perahu. Nah, kalau sudah berada di perahu dan perahu berada di atas telaga, apa sukarnya bagi kita? Ha-ha, betapapun lihainya Beng-cu itu bersama anak buahnya, kalau perahunya tenggelam dan mereka berada di air, sama sekali bukan lawan kita yang merupakan setan-setan air!”
“Bagus!” seru lima orang Yang-ce Ngo-kwi, “Cara kedua ini jauh lebih baik!”
Mereka tentu saja menyetujui karena memang di samping pandai ilmu silat golok dan tenaga besar, mereka sebagai pimpinan bajak sungai juga memiliki ilmu di dalam air yang melebihi orang biasa. Dan mereka tahu bahwa para ahli silat kenamaan menjadi mati kutu setelah mereka terjatuh ke dalam air yang dalam karena mereka tidak begitu pandai renang.
“Kita melihat perkembangannya sajalah nanti,” kata Po-yang Sam-liong, “Yang penting sekali, apakah kalian menyetujui dan mau bekerja sama dengan kami?”
“Kami setuju!” seru Coa Kun gembira, “Dan pembagian hasilnya?”
“Kita bagi masing-masing pihak setengahnya!”
“Setuju sekali!”
Demikianlah, selama tiga hari, Po-yang Sam-liong berhasil mengumpulkan limapuluh orang pria dari usia duapuluh sampai empatpuluh tahun. Duapuluh lima orang yang menyamar sebagai orang-orang biasa adalah anak buah Yang-ce Ngo-kwi, sedangkan yang duapuluh lima orang lainnya adalah penduduk dusun di sekitar Po-yang.
Mereka mau menerima ajakan Po-yang Sam-liong karena janji upah yang cukup besar, jauh lebih besar dibandingkan hasil tani atau hasil mencari ikan mereka. Bahkan banyak orang yang datang untuk ikut bekerja terpaksa ditolak karena jumlahnya telah mencukupi.
Di antara dua puluh lima orang dusun itu terdapat seorang pemuda bertubuh sedang ramping yang gerakannya gesit walaupun tubuhnya agak kecil. Pemuda ini memiliki wajah yang bentuknya tampan, akan tetapi karena kulit mukanya penuh bopeng, atau tanda totol-totol hitam dan kotor, juga kulit muka, leher, kaki dan tangannya nampak hitam kotor, maka dia menjadi tidak menarik. Po-yang Sam-liong menerima pemuda ini yang dibawa oleh pemuda-pemuda lainnya karena dia nampak gesit dan sehat. Biar Pek-liong sekalipun kalau berhadapan dengan pemuda ini tentu sama sekali tidak akan dapat menduga bahwa pemuda ini bukan lain adalah Liong-li!
Seperti kita ketahui, Liong-li pada malam pertama itu berhasil memasuki daerah markas gerombolan penjahat dan kedatangannya telah diketahui oleh Pek-liong dan Hek-giam-ong. Andaikata tidak ada Pek-liong di situ, Hek-giam-ong tentu tidak akan menduga bahwa tamu malam yang tidak diundang itu telah bertiarap di antara rumput.
Ketika Liong-li yang mendekam itu mendengar suara Pek-liong, ia merasa gembira sekali. Suara Pek-liong itu jelas menandakan bahwa ia harus keluar dan dalam kesempatan itu tentu Pek-liong dapat memberitahukan sesuatu yang penting. Maka iapun meloncat keluar dan langsung menggunakan Hek-liong-kiam menyerang Hek-giam-ong Lok Hun.
Pada saat Hek-giam-ong Lok Hun menangkis dengan ruyungnya, ia melihat Pek-liong menggerakkan tangan mencegah, maka cepat ia miringkan pedangnya sehingga mata pedangnya yang tajam tidak menyambut ruyung yang tentu akan membuat ruyung itu patah. Bahkan ia sengaja mengendurkan tenaganya sehingga ia terpental dan meloncat jauh ke belakang, membuat gerakan melarikan diri.
Pada saat itulah, Pek-liong menyambitkan sebatang pedang. Liong-li menyambut pedang, menangkap pedang dengan lagak terkena sambaran pedang, mengeluarkan teriakan mengaduh lalu menghilang ke dalam kegelapan hutan. Setelah ia tiba jauh di kaki bukit, ia membaca surat yang tadi menempel di pedang yang disambitkan Pek-liong. Surat itu singkat saja namun cukup jelas baginya.
“Peta rahasia dalam patung emas dikuasai beng-cu. Po-yang Sam-liong diutus mencari lim apuluh orang tenaga untuk membongkar tempat penyimpanan harta karun. Menanti saat baik untuk turun tangan. Harap siap, kalau mungkin menyelundup di antara para pekerja.”
Hanya itulah tulisan Pek-liong, namun ia sudah dapat menggambarkan apa yang terjadi. Tentu harta pusaka itu bukan berupa sebuah patung emas yang biarpun berharga namun tidak sepadan dengan segala macam rahasia pada petanya. Tentu patung emas itu menyimpan rahasia lain dan kini ternyata ada peta di dalam patung. Peta harta karun! Peta itu dikuasai Siauw-bin Ciu-kwi seorang, dan melihat betapa Ciu-kwi mencari limapuluh orang pekerja, tentu harta karun itu disimpan di tempat yang yang sukar didapat, mungkin membutuhkan banyak tenaga untuk membongkarnya.
Cepat Liong-li melakukan persiapan. Ia menyamar sebagai seorang pria yang bermuka bopeng totol-totol hitam, dengan kulit badan hitam kotor pula. Kemudian, ketika Po-yang Sam-liong mencari tenaga dari dusun, iapun menyelinap masuk setelah menyogok beberapa orang pemuda agar membawa ia ikut bekerja. Tentu saja para pemuda dusun itupun tidak tahu bahwa pemuda buruk rupa itu adalah seorang gadis yang cantik jelita!
Ketika mencatatkan nama sebagai pekerja, Liong-li mempergunakan nama Cu Kim, yaitu kebalikan dari namanya sendiri. She Cu bernama Kim, dan orang-orang segera menyebut si buruk rupa yang lincah ini A-kim! Ia mendengar bahwa dari dusun, Po-yang Sam-liong hanya menggunakan duapuluh lima orang, sedangkan duapuluh lima orang lainnya sudah ada dan tak seorangpun tahu dari mana mereka datang, juga tidak ada yang mengenal mereka.
Dengan pengamatan matanya yang tajam, Liong-li melihat betapa duapuluh lima orang yang lain itu rata-rata memiliki sinar mata yang bengis dan kejam, juga mereka pendiam dan iapun menarik kesimpulan bahwa mereka tentulah anak buah Po-yang Sam-liong sendiri. Diam-diam ia menjadi tertarik dan menduga-duga, mengapa Po-yang Sam-liong yang diutus mencari tenaga kerja sebanyak limapuluh orang itu agaknya menyelundupkan duapuluh lima orang anak buahnya!
Dengan cerdik sekali, Liong-li dapat menyelundupkan pedang Pek-liong-kiam dan Hek-liong-kiam di antara perabot yang harus mereka bawa, yaitu linggis, cangkul dan sekop. Juga buntalan pakaian karena menurut Po-yang Sam-liong, sebelum pekerjaan itu selesai, mereka semua tidak boleh meninggalkan tempat pekerjaan, diharuskan tidur di sana dan akan diberi makan.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali mereka semua disuruh berjalan dalam barisan, menuruni lereng Bukit Merak dan pergi ke sebuah bukit kecil di tepi Telaga Po-yang. Tempat ini sunyi sekali karena bukit kecil itu merupakan bukit yang gersang, berbatu-batu dan tidak ada tumbuh-tumbuhan kecuali rumput liar. Bukit ini penuh dengan batu-batu besar dan guha-guha batu.
Siauw-bin Ciu-kwi yang memimpin perjalanan itu, dan berjalan di depan bersama Pek-liong dan Tok-sim Nio-cu, sedangkan Lim-kwi Sai-kong, Pek I Kongcu, Hek-giam-ong dan tiga orang Po-yang Sam-liong diharuskan berjalan di belakang pasukan pekerja. Juga anak buah yang belasan orang banyaknya disuruh berjalan di belakang dan mereka ini yang diharuskan mengusir setiap orang yang berani mendekati tempat mereka bekerja...