Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 35

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis Jilid 35
Sonny Ogawa
SEMENTARA itu, setelah tadi mengeluarkan suara auman dahsyat yang tidak mempengaruhi lawannya, Lim-kwi Sai-kong juga sudah menyerang Liong-li dengan golok besar dan rantai bajanya. Dua senjata yang besar dan berat itu menyambar dan mengeluarkan angin saking cepat dan kuatnya.

Namun, hanya dengan beberapa langkah kaki saja Liong-li telah dapat menghindarkan dirinya. Wanita cantik ini mempergunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw untuk menghindarkan serangan golok yang dikombinasikan dengan rantai itu. Akan tetapi, ruyung di tangan Hek-giam-ong sudah menyambar pula dengan amat dahsyat dan ganasnya. Kembali Liong-li mengelak dengan langkah ajaibnya. Ketika gook besar di tangan Lim-kwi Sai-kong menyambar lagi ke arah lehernya, ia memapaki dengan Hek-liong-kiam sambil mengerahkan.

Lim-kwi Sai-kong tidak seperti Pek I Kongcu yang cerdik. Biarpun raksasa ini sudah pula mendengar bahwa Liong-li amat lihai dengan pedang pusakanya yang ampuh, namun dia terlalu percaya kepada diri sendiri, dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya, dia membiarkan goloknya ditangkis, yakin bahwa kalau senjata itu bertemu, tentu pedang gadis itu akan terlepas dari pegangannya. Tak mungkin seorang gadis muda sanggup menahan kekuatan dahsyat yang mendorong goloknya.

“Trakkk...!!” Lim-kwi Sai-kong mengeluarkan gerengan keras ketika melihat, bahwa pedang wanita itu sama sekali tidak terpental, bahkan yang terpental adalah ujung goloknya yang menjadi patah begitu bertemu dengan pedang hitam itu! Masih untung bahwa yang bertemu pedang adalah bagian golok agak di ujung sehingga sisa goloknya masih cukup panjang untuk dapat dia pergunakan sebagai senjata dan dengan kemarahan meluap, akan tetapi juga agak gentar, dia menyerang lagi.

Hek-giam-ong Lok Hun membantunya dengan serangan ruyungnya yang besar dan hebat! Namun, Liong-li menghadapi mereka dengan sikap tenang. Langkah ajaib Liu-seng-pouw cukup tangguh untuk melindunginya. Dengan langkah-langkah itu, tubuhnya tak pernah tersentuh senjata lawan, dan sebaliknya, pedang hitamnya kini mulai mendesak lawan. Sinar pedang hitam yang bergulung-gulung mulai membuat kedua orang lawannya kewalahan karena mereka berdua kini gentar terhadap pedang pusaka yang luar biasa itu.

Sejak tadi Siauw-bin Ciu-kwi nonton perkelahian itu. Tadinya diapun merasa yakin bahwa empat orang pembantunya yang lihai akan mampu merobohkan Pek-liong dan Hek-liong-li. Akan tetapi segera dia melihat betapa empat orang pembantunya itu mulai terdesak dan mereka berempat jelas merasa gentar menghadapi pedang pusaka di tangan kedua orang muda itu. Diapun mulai khawatir.

Kalau dia terjun ke dalam pertempuran, peti harta karun yang tak ternilai harganya itu tidak ada yang menjaganya. Dia khawatir kehilangan harta karun itu, lebih mengkhawatirkan hilangnya harta karun itu dari pada hilangnya empat orang pembantunya. Maka, dia mengambil keputusan untuk lebih dahulu menyingkirkan peti berisi harta karun itu.

“Kalian berempat tahan dulu dua orang muda sombong ini!” katanya lantang. “Setelah menyingkirkan peti ini, aku akan kembali dan aku sendiri yang akan membunuh mereka!” Setelah berkata demikian, dengan cepat bagaikan terbang saja, Siauw-bin Ciu-kwi sudah lari meninggalkan bukit itu sambil memanggul peti harta karun.

Melihat betapa pemimpin mereka itu pergi membawa harta karun, empat orang tokoh sesat itu terkejut. Akan tetapi, karena mereka sedang didesak oleh Pek-liong dan Liong-li, empat orang itu tidak dapat mencegah beng-cu mereka meninggalkan mereka dan membawa pergi harta karun. Mereka percaya kepada Siauw-bin Ciu-kwi, akan tetapi mereka bingung karena selagi mereka terdesak, ketua itu bahkan pergi hendak menyingkirkan dulu harta karun. Terpaksa mereka menggerakkan senjata dan melakukan perlawanan nekat, mengambil keputusan untuk bertahan terus sampai beng-cu itu kembali dan membantu mereka.

Sementara itu, Pek-liong dan Liong-li terkejut melihat kakek itu lari membawa peti harta karun. Peti itu terlalu berharga buat mereka, sudah banyak mereka berkorban dan menderita hanya untuk mendapatkan peti harta karun itu. Terutama sekali yang dirasakan berat bagi Pek-liong adalah mengingat bahwa Liong-li sudah mengorbankan pinggulnya terluka pedang untuk membiarkan Pek-liong dapat menyelundup sebagai pembantu Siauw-bin Ciu-kwi dan dapat ikut menemukan harta karun itu.

Tentu saja mereka berdua tidak mau kehilangan peti harta karun itu, maka keduanya segera mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaga. Terdengar Liong-li mengeluarkan suara melengking nyaring dibarengi bentakan Pek-liong yang dahsyat. Nampak dari gulungan sinar pedang putih dan hitam itu mencuat sinar berkilauan dan pedang Hek-liong-kiam sudah menerjang dahsyat ke arah Hek-giam-ong Lok Hun. Hek-giam-ong terkejut dan menangkis dengan ruyungnya.

“Tranggg......!” Ruyung itu patah dan sinar hitam masih meluncur terus ke arah leher iblis muka hitam itu. Lok Hun mencoba untuk melempar tubuh ke belakang, namun terlambat. Lehernya disambar ujung Hek-liong-kiam dan diapun mengeluarkan suara aneh, seperti seekor babi disembelih dan tubuhnya roboh terjengkang, lehernya hampir putus dan diapun tewas setelah berkelojotan.

Sementara itu, dalam waktu yang hampir bersamaan, sinar pedang Pek-liong-kiam menyambar dengan dahsyatnya ke arah Pek I Kongcu yang tentu saja merasa terkejut sekali. Tidak ada kesempatan lagi baginya untuk mengelak, maka dia menangkis dengan pedangnya sambil membuang diri ke belakang.

“Trakkk...!” Pedangnya patah bertemu dengan Pek-liong-kiam, akan tetapi tubuhnya terhindar dari sambaran Pek-liong-kiam. Pada saat itu, Tok-sim Nio-cu Lui Cin Si melihat kesempatan baik. Ia sudah menubruk maju dengan pedang menusuk lambung Pek-liong, dan kipasnya yang tertutup menotok ke arah jalan darah di pundak Pek-liong dengan gagangnya.

Melihat serangan maut ini, Pek-liong tidak dapat menyusulkan serangan mematikan kepada Pek I Kongcu yang sudah membuang diri ke belakang, terpaksa dia membalik sambil memutar Pek-liong-kiam dengan kecepatan kilat.

“Trang... trakkkk...!”

Tok-sim Nio-cu mengeluarkan seruan kaget. Tadi, melihat Pek-liong mendesak Pek I Kongcu, ia melihat kesempatan untuk menyerang dengan sepenuh tenaganya, maka ketika tiba-tiba Pek-liong membalik dan memutar pedang bersinar putih itu untuk menangkis, ia tidak sempat lagi mencegah bertemunya pedang dan kipasnya dengan pedang di tangan Pek-liong. Dan akibatnya, kedua buah senjatanya itu patah! Ia marah sekali dan nekat menubruk maju dengan kedua tangan membentuk cengkeraman, sedangkan dari belakang, Pek I Kongcu juga siap menyerang dengan tangan kosong.

Pek-liong dapat mendengar gerakan Pek I Kongcu, maka dia memutar pedang ke belakang untuk menghalangi penjahat tampan cabul itu menyerangnya dan ketika Tok-sim Nio-cu menubruk, dia menggeser kakinya ke samping kanan, membalik dan tangan kirinya menampar dengan pengerahan tenaga sin-kang.

“Plakkk!” Tamparan itu tepat mengenai kepala Tok-sim Nio-cu bagian samping, di pelipisnya, dan wanita itu mengeluarkan suara keluhan lirih lalu tubuhnya terkulai roboh dan tidak bangkit kembali. Tamparan itu cukup hebat membuat isi kepalanya terguncang hebat dan iapun tewas seketika.

Robohnya Tok-sim Nio-cu ini hampir bersamaan waktunya dengan robohnya Hek-giam-ong. Ketika Pek-liong siap menghadapi Pek I Kongcu, ternyata penjahat tampan berpakaian putih itu telah melarikan diri bersama Lim-kwi Sai-kong yang juga lari cepat. Mereka lari menuju ke arah larinya Siauw-bin Ciu-kwi.

Pek-liong dan Liong-li saling pandang, kemudian mereka memandang ke bawah bukit. Nampak kedua orang lawan itu melarikan diri dan jauh di kaki bukit nampak bayangan Siauw-bin Ciu-kwi yang memanggul peti, menuju ke telaga.

“Hayo kejar mereka!” kata Liong-li sambil meloncat dengan kecepatan seperti terbang.

“Terutama Siauw-bin Ciu-kwi jangan sampai lolos!” kata pula Pek-liong dan diapun meloncat ke depan. Keduanya mempergunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran.

Sementara itu, Siauw-bin Ciu-kwi berlari cepat menuruni bukit. Baginya yang terpenting adalah menyelamatkan harta karun itu lebih dahulu. Dia bukan takut kepada dua orang muda itu, melainkan khawatir kalau-kalau peti harta karun itu sampai terampas orang dari tangannya. Dia lari ke pantai telaga dan menuju ke sebuah tepi yang sunyi di mana terdapat sebuah perahu yang memang sudah dipersiapkannya sebelumnya. Dibawanya peti harta karun itu ke perahu dan diturunkannya ke dalam perahu.

“Beng-cu, tunggu kami...!”

Tiba-tiba terdengar teriakan dan dia cepat membalik dan memandang. Dia melihat Lim-kwi Sai-kong dan Pek I Kongcu berlari cepat menuju ke tempat itu dan tak jauh di belakang mereka dia melihat Pek-liong dan Hek-liong-li. Setelah kedua orang pembantu itu tiba di depannya, dia mengerutkan alisnya.

“Di mana Tok-sim Nio-cu dan Hek-giam-ong?”

“Mereka... mereka telah tewas...! Beng-cu, bantulah kami...” kata Lim-kwi Sai-kong.

“Hemm, kalian berempat tidak mampu membunuh dua orang muda sombong itu? Kalian hadapi Liong-li, aku yang akan membunuh Pek-liong lebih dahulu!” katanya dan dia sudah melepaskan sabuk sutera dari pinggangnya. Sabuk yang lemas itulah senjatanya!

“Beng-cu, pedangku rusak, aku tidak mempunyai senjata lagi,” kata Pek I Kongcu, agak gugup.

“Huh, engkau sungguh tak ada gunanya!” bentak Siauw-bin Ciu-kwi. “Pakailah pedang ini!” Dia melemparkan sebatang pedang yang berada di dalam perahu kepada pembantu itu.

Dan Pek I Kongcu segera menangkap dan mencabut pedang itu dari sarungnya. Sebatang pedang yang berkilauan dan dia girang sekali. Biarpun belum tentu pedang ini mampu menandingi pedang lawan, namun jelas yang dipegangnya adalah sebatang pedang yang baik, maka diapun berdiri di samping Lim-kwi Sai-kong, siap untuk mengeroyok Hek-liong-li. Sedangkan Siauw-bin Ciu-kwi juga melompat turun dari perahu, lalu berlari ke depan menyambut datangnya dua orang muda yang melakukan pengejaran itu.

Hal ini dia lakukan agar pertandingan tidak dilakukan terlalu dekat dengan perahu di mana dia menyimpan peti harta karun itu. Dua orang pembantunya yang kini berbesar hati karena di situ terdapat Siauw-bin Ciu-kwi, juga berlari ke depan mengikuti pimpinan mereka.

Ketika Pek-liong dan Hek-liong-li tiba di depan mereka bertiga, jarak antara tempat itu dengan perahu yang berada di tepi telaga ada dua ratus meter sehingga kedua orang muda itu tidak tahu di mana peti harta karun ita disembunyikan oleh Siauw-bin Ciu-kwi.

“Siauw-bin Ciu-kwi, percuma saja engkau melarikan diri. Sebelum kauberikan harta karun itu kepada kami, sampai ke manapun engkau lari, kami akan menemukanmu!” kata Liong-li sambil tersenyum mengejek, sedangkan Pek-liong memandang ke sana-sini untuk menyelidiki di mana kiranya peti harta karun itu disembunyikan oleh kakek pendek gendut yang kepalanya botak gundul itu.

Siauw-bin Ciu-kwi yang mukanya kekanak-kanakan itu tersenyum mengejek, bahkan senyumnya makin lama berubah menjadi suara ketawa dan perutnya yang gendut itu terguncang-guncang, kepalanya yang botak gundul itu tergeleng-geleng.

“Ha-ha-ha, Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, kalian ini bocah-bocah sombong telah datang mengantarkan nyawa. Bersiaplah kalian untuk mampus di tanganku!”

Setelah berkata demikian, tangannya bergerak dan nampak sinar merah mencuat dan meluncur ke arah Pek-liong. Pemuda ini cepat meloncat ke samping untuk mengelak. Kiranya sinar merah itu adalah sehelai sabuk sutera merah yang tadinya tergulung di dalam tangan Siauw-bin Ciu-kwi dan begitu digerakkan tangan itu, sabuk itu meluncur bagaikan ular hidup menyambar-nyambar. Pek-liong maklum akan kelihaian lawan, maka diapun sudah mencabut Pek-liong-kiam dari punggungnya.

Lim-kwi Sai-kong dan Pek I Kongcu yang sudah dipesan oleh Siauw-bin Ciu-kwi, tanpa banyak cakap lagi lalu mengeroyok Hek-liong-li. Si raksasa muka singa itu sudah menggerakkan golok besar dan rantai bajanya, sedangkan Pek I Kongcu menggerakkan pedang pemberian Siauw-bin Ciu-kwi.

Mereka menyerang dengan hati-hati, akan tetapi juga dengan jurus-jurus maut. Mereka tidak mau mengadu senjata mereka dengan pedang Hek-liong-kiam, dan mereka mempergunakan kecepatan dan keuntungan karena mereka mengeroyok untuk mendesak Liong-li sambil berputar-putar mengitari gadis berpakaian hitam itu.

Pek-liong harus mengakui kelihaian lawan. Begitu serangan pertama sabuk sutera merah tadi dapat dia hindarkan dengan loncatan ke samping, sabuk itu bagaikan bermata saja sudah menyeleweng dan mengejar, kini tiba-tiba benda lemas itu berubah menjadi kaku seperti tongkat dan melakukan totokan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama di bagian depan tubuhnya! Pek-liong mengelak sampai lima kali, dan dua kali totokan terakhir disambutnya dengan sabetan pedangnya sebagai tangkisan dan untuk mematahkan senjata yang sudah berubah kaku seperti tongkat itu.

Akan tetapi begitu pedangnya bertemu senjata merah itu, tongkat itu telah berubah lemas lagi seperti sutera kembali dan tentu saja pedang pusakanya tidak dapat merusak sabuk sutera itu. Bahkan yang terakhir kalinya, ujung sabuk sutera itu dengan lemasnya membelit pedangnya, seperti ekor ular. Belitan yang amat kuat dan sabuk itu ditarik oleh Siauw-bin Ciu-kwi mempergunakan tenaga sin-kang yang kuat sekali! Pek-liong tentu saja tidak membiarkan pedangnya dirampas. Dia mempertahankan pedangnya sehingga terjadilah adu tenaga tarik menarik. Dan ternyata, dalam adu tenaga ini keduanya sama kuat!

Hal ini mengejutkan hati Siauw-bin Ciu-kwi. Di antara Kiu Lo-mo (Sembilan lblis Tua), dia termasuk seorang yang memiliki tenaga yang amat kuat. Akan tetapi bocah ini mampu menandinginya! Sungguh hal ini mengejutkan hatinya dan dia tahu bahwa dia harus berhati-hati sekali. Lawannya ini sungguh tak boleh dipandang ringan.

“Hohhhh...!” Tiba-tiba saja dia melangkah dekat tanpa mengurangi tarikan terhadap sabuk sutera yang membelit pedang, dan tangan kirinya sudah menghantam ke arah kepala Pek-liong. Pemuda ini maklum bahwa selama pedangnya masih dibelit sabuk, dia tidak berdaya dan kakek itu lihai bukan main. Maka, melihat kakek itu menggunakan tangan kiri untuk menghantam kepalanya, dia mendapatkan kesempatan baik untuk melepaskan pedangnya dari belitan.

Bagaimanapun juga, kakek itu tentu memecah tenaga sin-kangnya untuk melakukan penyerangan itu. Maka, dia berpura-pura menangkis dengan tangan kirinya. Gerakan ini hanya pura-pura saja dan sama sekali dia tidak mengerahkan sin-kang pada tangan kirinya. Sebaliknya, Siauw-bin Ciu-kwi yang melihat pemuda itu menangkis, tentu saja mengerahkan tenaga pada tangan kiri yang memukul.

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis jilid 35 karya kho ping hoo

Pada saat itu, Pek-liong mengerahkan semua tenaganya pada tangan kanan dan menarik pedangnya sambil melempar tubuh ke kiri untuk menghindarkan pukulan tangan kiri lawan. Pedang itu terlepas dari libatan dan Siauw-bin Ciu-kwi mengeluarkan suara gerengan marah karena dia baru tahu bahwa dia telah diakali setelah pedang itu terlepas dari libatan sabuk sutera, dan pukulannya sama sekali tidak ditangkis, melainkan dielakkan dengan melempar tubuh ke kiri. Pemuda itu bergulingan beberapa kali lalu meloncat berdiri lagi dengan pedang Pek-liong-kiam siap di depan dada!

Siauw-bin Ciu-kwi kini marah bukan main. Dia adalah seorang datuk besar yang terkenal sebagai seorang di antara Kiu Lo-mo, ditakuti oleh semua orang kang-ouw, dipuja oleh semua tokoh sesat di dunia hitam. Kini ada seorang pemuda berani menentangnya, bahkan menandinginya satu lawan satu. Kalau dia tidak mampu membunuh pemuda ini, sungguh nama besarnya akan runtuh!

“Haiiiihh...!” Dia berteriak dan tangan kanan yang memegang sabuk sutera itu bergerak lagi. Sinar merah menyambar, mengeluarkan suara mencicit nyaring. Sabuk merah itu panjangnya hanya dua meter, ditambah lengannya yang pendek, ketika menyerang itu jangkauannya paling jauh hanya tiga meter.

Pek-liong berdiri dalam jarak empat meter lebih dari kakek itu, maka ketika melihat sabuk merah menyambar, Pek-liong tenang-tenang saja, tahu bahwa sabuk itu hanya menggertak dan tidak akan dapat mencapainya karena terlalu jauh. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia melihat sabuk merah itu terus maju dan meluncur ke arah lehernya!

Sabuk itu bukan saja mampu mencapainya, bahkan ujungnya masih lebih dan akan dapat melibatnya seperti ketika melibat pedangnya tadi! Dia cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan dan luput dari serangan berbahaya itu. Dia meloncat berdiri lagi dan tahulah dia kini bahwa Siauw-bin Ciu-kwi memiliki ilmu yang dapat membuat lengannya memanjang! Lengan yang pendek itu dapat menjangkau sampai panjang, dapat mulur seperti karet!

Pek-liong tidak merasa gentar, bahkan gembira bahwa dia tahu akan hal ini dan dapat berjaga diri menghadapi ilmu yang aneh itu. Kini dia meloncat ke depan dan memutar pedang Pek-liong-kiam untuk menyerang sebagai balasan. Serangannya dapat dielakkan oleh kakek pendek gendut itu yang ternyata dapat bergerak dengan gesit sekali. Bahkan kakek itu menahan desakan pedang Pek-liong-kiam dengan totokan-totokan sabuknya yang berbahaya.

Terjadilah perkelahian yang amat hebat antara Siauw-bin Ciu-kwi dan Pek-liong. Tenaga mereka seimbang. Pek-liong menang gesit dan menang ulet karena dia lebih muda, akan tetapi dia kalah pengalaman, dan lawannya itu memiliki banyak sekali siasat yang aneh-aneh dan curang dalam caranya bersilat dan berkelahi.

Sampai tigapuluh jurus mereka saling serang dan tiba-tiba kakek itu memutar sabuknya. Sabuk sutera yang lemas itu kini berputar seperti kitiran sehingga nampak lingkaran merah seperti payung yang melindungi tubuh gendut pendek itu sebagai perisai. Ketika Pek-liong mencoba untuk memecahkan “payung” itu, yang terbuat dari lingkaran sinar merah, pedangnya membalik!

Pedang pusaka Pek-liong-kiam memang ampuh dan tajam untuk mematahkan senjata dari baja dan besi yang bagaimanapun, akan tetapi menghadapi senjata sutera yang lemas itu, senjata pedang ini seperti kehilangan keampuhannya. Dan tiba-tiba dari balik ‘payung’ itu, tangan kiri Siauw-bin Ciu-kwi mencuat dan dada Pek-liong kena dihantam oleh telapak tangannya.

“Bukk!!” Tubuh Pek-liong terjengkang dan dia bergulingan sampai beberapa meter jauhnya untuk menghindarkan diri dari serangan susulan. Dan untung saja dia melakukan hal itu karena sabuk sutera itu, berubah menjadi sinar merah, telah menyerangnya berkali-kali dan mengejarnya ketika dia bergulingan. Ketika ujung sinar merah itu mengenai tanah karena luput mengenai tubuh Pek-liong, tanah itu berlubang-lubang seperti ditusuk tombak!

Pek-liong dapat menghindar dan meloncat berdiri. Mukanya berubah agak pucat. Dadanya kena dihantam telapak tangan kiri lawan. Untung dia sudah melindungi dadanya dengan kekuatan sin-kang yang tadi sempat dia kerahkan sehingga kini hanya terasa nyeri sedikit, tidak sampai dia menderita luka dalam yang parah. Bagaimanapun juga, dadanya nyeri dan napasnya menjadi agak sesak!

Bukan main hebatnya Siauw-bin Ciu-kwi. Belum pernah selama hidupnya, sejak melawan Hek-sim Lo-mo dan berhasil menewaskan datuk besar itu bersama Liong-li, dia bertemu dengan lawan setangguh Siauw-bin Ciu-kwi ini!

Ketika dia mendesak dengan pedangnya, dalam suatu kesempatan dia dapat melakukan tendangan dengan kaki kirinya ke arah kaki kanan lawan, menyambar ke arah lutut. Kakinya menyentuh kaki lawan dan kakek itupun terguling jatuh! Akan tetapi, pada saat dia terguling itu, saat yang amat menyenangkan hati Pek-liong dan membuat hatinya berdebar dan kewaspadaannya agak melemah, tiba-tiba saja kaki kakek itu mencuat, melakukan tendangan sambil menjatuhkan diri. Gerakannya ini selain cepat, juga aneh dan sama sekali tidak terduga.

“Desss!!” Tak dapat dihindarkan lagi, paha Pek-liong tercium ujung sepatu dan untuk kedua kalinya, Pek-liong menjadi korban serangan dan dia sampai terpental dan terbanting roboh! Akan tetapi, tubuh pemuda ini memang kuat dan kebal. Pahanya hanya membiru dan terasa nyeri, namun dia masih mampu meloncat dengan cepat dan memutar pedangnya untuk melindungi diri ketika lawannya menyusulkan serangan bertubi dengan sabuk sutera merahnya.

Kini Pek-liong berkelahi dengan hati-hati sekali. Dua kali dia menjadi korban serangan dengan siasat yang licik. Lawannya licik dan curang, memiliki berbagai gaya serangan yang aneh, maka diapun tidak terlalu mendesak dan lebih memperhatikan pertahanannya agar tidak mudah kecurian seperti tadi.

Sementara itu, perkelahian antara Liong-li yang dikeroyok oleh dua orang lawan juga berlangsung dengan seru dan mati-matian. Kedua orang lawannya juga bukan orang-orang sembarangan, melainkan tokoh-tokoh kang-ouw yang sudah terkenal sekali karena mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

Lim-kwi Sai-kong dengan golok besar dan rantai bajanya memang buas dan liar bagaikan seekor singa, sedangkan Pek I Kongcu, bekas murid Kun-lun-pai itu, selain telah mewarisi ilmu pedang dari Kun-lun-pai yang indah dan juga dahsyat, juga dia memiliki banyak ilmu-ilmu dari dunia sesat, ilmu silat yang penuh dengan daya tipu dan muslihat berbahaya. Namun, sekali ini kedua orang itu menemukan lawan yang amat tangguh. Biarpun usianya masih muda sekali, baru duapuluh empat tahun, namun Hek-liong-li Lie Kim Cu adalah seorang wanita gemblengan.

Bukan saja tergembleng oleh gurunya yang sakti, yaitu Huang-ho Kui-bo seorang datuk sesat pula yang memiliki ilmu-ilmu hebat, akan tetapi juga tergembleng oleh pengalaman-pengalaman pahit getir sehingga ia menjadi seorang wanita yang gemblengan, tabah, penuh keberanian, cerdik luar biasa dan juga ia mampu mengembangkan ilmu-ilmu silat yang dipelajarinya dari Huang-ho Kui-bo sehingga ia menjadi lihai sekali, mungkin tidak kalah lihai dibandingkan nenek yang menjadi gurunya!

Dengan pedang Hek-liong-kiam di tangan, Liong-li menjadi semakin tangguh. Dua orang lawannya selalu menghindarkan pertemuan senjata mereka dengan pedang di tangan wanita cantik itu, dan hal ini membuat Liong-li memperoleh banyak kesempatan untuk mendesak. Namun, pertahanan kedua orang itu memang amat kuat. Mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik dan selalu melindungi. Kalau Liong-li mendesak yang satu, yang lain tentu menyerangnya dengan gencar sehingga terpaksa Liong-li harus membagi perhatiannya dan karenanya, serangannya menjadi kurang terpusat dan kurang kuat.

Setelah lewat lima puluh jurus dan hanya mampu mendesak kedua orang pengeroyoknya, tiba-tiba tubuhnya meloncat jauh ke atas, ke sebuah pohon besar yang tumbuh tak jauh dari situ. Ketika tubuhnya turun, tangan kirinya sudah memegang sebatang ranting pohon yang tadi dibabatnya dengan pedang. Dan begitu tangan kirinya memegang ranting sebagai senjata tongkat maka Liong-li bagaikan seekor harimau yang tumbuh sayap. Memang keahliannya adalah bermain pedang dan bermain tongkat.

Kini, Hek-liong-kiam dibantu dengan gerakan tongkat yang menotok-notok ke arah jalan darah lawan. Diserang oleh dua senjata yang ampuh itu, Lim-kwi Sai-kong dan Pet I Kongcu terkejut bukan main dan merekapun menjadi gugup dan permainan mereka menjadi kacau.

“Tranggg...!” Pedang di tangan Pek I Kongcu terlepas ketika pedang itu bertemu ranting yang digetarkan dan sebelum Pek I Kongcu sempat menghindarkan diri, pedang Hek-liong-kiam telah menyambar dan pemuda berpakaian putih itupun roboh mandi darah dengan dada ditembusi pedang!

Lim-kwi Sai-kong terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan auman singa yang dahsyat, lalu menubruk maju dengan kedua senjatanya diputar. Melihat lawan yang marah dan nekat itu, Liong-li tersenyum. Ia tadi melihat dengan sudut matanya betapa rekannya, Pek-liong terdesak hebat oleh lawan. Bahkan ia tahu pula ketika sampai dua kali Pek-liong terkena pukulan dan tendangan, maka ia ingin cepat-cepat menyelesaikan perkelahiannya dengan kedua orang pengeroyoknya agar ia dapat membantu Pek-liong.

Kini, melihat Lim-kwi Sai-kong nekat dan menyerangnya dengan ganas, memutar kedua senjatanya, ia menjadi girang dan cepat ia menyambut dengan putaran pedang di tangan kanannya. Nampak gulungan sinar hitam yang menyeramkan, mengeluarkan angin berdesingan dan begitu gulungan sinar ini bertemu dengan golok besar dan rantai baja, kedua senjata itupun patah-patah dan beterbangan!

Barulah Lim-kwi Sai-kong terkejut dan teringat. Dalam kemarahannya tadi, dengan penuh nafsu dia hendak menyerang dan merobohkan wanita berpakaian hitam itu, menyerang dengan penuh nafsu sambil mengerahkan seluruh tenaganya, dia terlupa akan keampuhan Hek-liong-kiam. Kini setelah kedua senjatanya patah-patah, baru dia teringat dan hatinya menjadi gentar. Ingin dia meloncat dan melarikan diri, akan tetapi tidak sempat lagi. Pedang bersinar hitam menyambar ke arah lehernya.

Lim-kwi Sai-kong masih mampu mengelak dengan merendahkan dirinya, akan tetapi pada detik berikutnya, dia terjungkal roboh karena totokan ranting di tangan kiri Hek-liong-li. Begitu dia roboh, sinar hitam pedang Hek-liong-kiam menyambar dan Lim-kwi Sai-kong tewas tanpa sempat mengeluarkan suara lagi karena lehernya putus disambar sinar hitam tadi!

Tanpa membuang waktu lagi, Liong-li melompat dan membantu Pek-liong yang terdesak. Tentu saja Pek-liong merasa gembira, sebaliknya Siauw-bin Ciu-kwi menjadi gelisah. Dia memaki diri sendiri mengapa selama itu belum juga dia mampu merobohkan Pek-liong. Kalau dia sudah mampu merobohkan Pek-liong, tentu kini dia tidak gentar menghadapi Liong-li. Akan tetapi dikeroyok dua? Mengalahkan Pek-liong seorang saja sudah amat sukar, apa lagi ditambah Liong-li yang dia dengar tidak kalah lihainya dibandingkan Pek-liong!

Dan segera dia melihat dan merasakan buktinya ketika Liong-li terjun ke dalam perkelahian itu dan sinar hitam menyambar-nyambar dahsyat ke arah tubuhnya! Dia mengira bahwa Hek-liong-li belum tahu akan kelihaian sabuk sutera merahnya, maka diapun menyambut pedang hitam itu dengan sabuk sutera merah, berniat untuk melibat pedang itu seperti yang dilakukannya tadi terhadap pedang di tangan Pek-liong.

Begitu pedang hitam itu bertemu sabuk sutera, pedang segera dilibat dengan amat kuatnya. Akan tetapi justeru ini yang dikehendaki oleh Liong-li. Ia sudah memperhitungkan betapa lihainya sabuk sutera yang lemas itu yang dapat dipergunakan menghadapi pedang pusaka tanpa takut menjadi putus karena lemasnya.

Sabuk sutera itu baru dapat dibikin putus kalau ia mengeras, maka iapun sengaja membiarkan pedangnya dilibat. Kalau ia terlambat bergerak dan sabuk itu sudah melibat pedangnya, akan sukarlah untuk melepaskan pedang dari libatan. Akan tetapi, ia telah memperhitungkan, pada detik sabuk bertemu pedang dan mulai melibat, ia secepat kilat menggetarkan pedangnya dan menariknya dengan gerakan menyayat.

“Bretttt...!” Tak dapat dicegah lagi, ujung sabuk yang melibat itupun terobek pedang! Hal ini sungguh tidak disangka-sangka oleh Siauw-bin Ciu-kwi. Dia menjadi terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Sambil mengeluarkan seruan seperti binatang buas marah, dia memutar sisa sabuk suteranya, juga tangan kirinya menyerang dengan pukulan tangan kosong yang mengeluarkan uap kemerahan!

Bukan main berbahayanya pukulan tangan merah ini, karena selain mengandung tenaga sin-kang yang kuat, juga mengandung hawa beracun. Lebih lagi, lengan kiri itu dapat memanjang, mulur seperti karet sehingga gerakannya sukar diduga. Amukan tangan kiri dan sabuk sutera merah yang sudah putus ujungnya ini masih dibantu kedua kakinya yang menyeling serangan itu dengan tendangan-tendangan kilat.

Demikian hebatnya serangan kakek datuk sesat ini sehingga betapapun lihainya Pek-liong dan Liong-li, tetap saja mereka harus berhati-hati karena hampir saja perut Pek-liong kena tendangan, sedangkan Liong-li sempat dibuat terhuyung oleh serangkaian serangan ilmu tangan merah itu. Diam-diam Liong-li harus mengakui bahwa kakek ini lihai bukan main dan andaikata ia seorang diri yang harus maju menandinginya, akan sukarlah untuk dapat mengalahkan datuk sesat ini. Akan tetapi, kini mereka berdua saja mengeroyok!

Bukan saja Liong-li dan Pek-liong masing-masing sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga mereka dapat bekerja sama dengan baik sekali. Di antara mereka terdapat kontak batin yang jarang terdapat di antara manusia. Hubungan yang amat akrab dam erat. Mereka selalu saling membantu, saling melindungi, bahkan untuk saling menolong, mereka setiap saat bersedia mengorbankan nyawa sendiri! Ada hubungan yang bahkan melebihi cinta kasih antara dua orang kekasih. Mereka seolah-olah dapat saling menjenguk isi hati dan pikiran masing-masing.

Dalam pengeroyokan menghadapi Siauw-bin Ciu-kwi inipun, gerakan pedang mereka saling menolong, saling melindungi seolah-olah gerakan mereka berdua itu dikendalikan oleh satu kecerdasan saja! Menghadapi kerja sama yang demikian hebatnya, Siauw-bin Ciu-kwi mulai menjadi bingung dan terdesak, walaupun dia sudah mengeluarkan semua ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Biarpun demikian, baru setelah hampir satu jam lamanya, tenaga dan kecepatan Siauw-bin Ciu-kwi menurun banyak sekali dan biarpun dia berusaha mati-matian, tetap saja ujung pedang di tangan Pek-liong menyentuh pundaknya dan nyaris mengakibatkan luka hebat. Untung dia masih membuat gerakan miringkan tubuhnya sehingga hanya baju dan kulitnya yang terobek.

Akan tetapi pada saat berikutnya, pedang Liong-li juga menggores paha kirinya. Tidak hebat kedua luka itu, namun mendatangkan keyakinan dalam hati Siauw-bin Ciu-kwi bahwa kalau perkelahian dilanjutkan, akhirnya dia akan roboh dan tewas di ujung pedang kedua orang muda yang amat lihai itu.

“Singgg...!” Pedang Naga Hitam di tangan Liong-li menyambar ke arah

lehernya. “Singgg...!” Pedang Naga Putih di tangan Pek-liong juga menyambar ke arah perutnya.

Kalau pedang Hek-liong-kiam menyambar dari kanan ke kiri, maka pedang Pek-liong-kiam menyambar dari kiri ke kanan sehingga tubuh Siauw-bin Ciu-kwi seperti digunting. Siauw-bin Ciu-kwi mengelebatkan sabuknya yang sudah buntung dan berbareng dia melempar tubuhnya ke belakang, Dua batang pedang tidak mengenai sasaran, bahkan muka kedua orang itu disambar ujung sabuk.

Keduanya mengelak dan melihat lawan kini bergulingan, merekapun mengejar dan mengirim tusukan-tusukan. Akan tetapi, ternyata cara bergulingan seperti merupakan suatu ilmu yang aneh, akan tetapi juga berbahaya bagi lawan. Dengan bergulingan, Siauw-bin Ciu-kwi dapat menghindarkan setiap tusukan, dan kedua orang lawannya pun kini hanya dapat menyerang dari atas saja, dengan tusukan atau bacokan.

Sebaliknya, sambil bergulingan mengelak, Siauw-bin Ciu-kwi membalas dengan luncuran sabuk merahnya dari bawah, atau kadang-kadang dia mengirim tendangan kilat yang amat berbahaya. Tangan kirinya juga mengirim pukulan jarak jauh dan kadang-kadang, secara tiba-tiba, tangan kirinya juga sudah menyambar batu atau tanah, dilontarkan ke arah muka lawan!

Kakek ini memang hebat. Biarpun dia melawan dua orang lawan lihai dengan bergulingan saja, dia masih berhasil melemparkan batu mengenai pundak Liong-li dan membuat wanita itu terhuyung, dan hampir saja kedua mata Pek-liong kena disambar sambitan tanah dan pasir. Pemuda ini masih sempat miringkan mukanya sehingga yang terkena sambaran tanah dan pasir hanya pipinya, akan tetapi juga cukup menimbulkan nyeri dan membuat pipinya kemerahan seperti menerima tamparan keras!

Liong-li dan Pek-liong menjadi penasaran. Sejak tadi, mereka hanya mampu mendesak Siauw-bin Ciu-kwi, bahkan mereka telah menerima akibat serangannya yang walaupun tidak mendatangkan luka parah atau bahaya, namun cukup mengejutkan dan menyakitkan hati.

“Pek-liong, kita serang dari kanan kiri!” Tiba-tiba Liong-li berseru dan Pek-liong yang maklum akan maksud rekannya, sudah melompat ke sebelah sana tubuh yang bergulingan itu dan mulailah mereka menyerang dari kanan kiri!

Sekarang, repotlah Siauw-bin Ciu-kwi! Kalau tadi, dia bergulingan dan kedua orang lawannya mengejar dan melakukan serangan dari satu jurusan. Akan tetapi, kini mereka menyerang dari dua jurusan, membuat dia tidak mampu lagi bergulingan. Maka, dia lalu meloncat berdiri dan kembali pangkal lengannya tergores ujung pedang Liong-li.

“Lihat senjata rahasiaku!” bentaknya dan tangan kirinya melemparkan sebuah benda yang diambilnya dari pinggang.

Liong-li dan Pek-liong tentu saja menjadi waspada oleh bentakan itu dan mereka menahan pedang, siap menghadapi serangan senjata rahasia dalam bentuk apapun juga. Mereka tadi sudah merasakan betapa hebatnya lontaran kakek itu. Baru menggunakan kerikil, pasir dan tanah yang berada di bawah saja, dia sudah amat berbahaya, apa lagi kalau menggunakan senjata rahasia. Jarak antara mereka dan Siauw-bin Ciu-kwi harus agak jauh sehingga mengurangi kecepatan serangan senjata rahasia.

Akan tetapi, Siauw-bin Ciu-kwi tidak melontarkan senjata rahasianya itu kepada mereka, melainkan membantingnya ke atas tanah. Terdengar ledakan keras dan asap hitam mengepul tebal sekali. Karena khawatir kalau-kalau asap itu beracun, Liong-li dan Pek-liong berlompatan menjauh. Ketika asap membuyar, Siauw-bin Ciu-kwi sudah lenyap.

“Celaka, kita ditipunya!” teriak Liong-li dan mereka lalu cepat berloncatan mencari.

“Itu dia...!” Pek-liong menuding. Kiranya Siauw-bin Ciu-kwi sudah mendayung perahu menuju ke tengah telaga!

“Ah, tentu peti itu sudah lebih dulu dia simpan di dalam perahu. Kita harus mengejarnya!” kata Liong-li.

Akan tetapi di situ sunyi sekali, tidak ada perahu. Bagaimana mungkin dapat mengejar Siauw-bin Ciu-kwi yang melarikan diri menggunakan perahu ke tengah telaga? Pada saat itu, sebuah perahu meluncur cepat ke arah mereka.

“Tai-hiap...!”

“Li-hiap...!”

Dua orang muda perkasa itu menengok dan mereka gembira bukan main.

“Sun Ting...! seru Liong-li.

“Cian Li...! Pek-liong juga berseru girang.

Setelah perahu mendekat, mereka lalu meloncat ke atas perahu.

“Cepat, jangan bicara dulu. Mari kita kejar perahu di depan itu!” kata Liong-li dan mereka berempat lalu mendayung perahu itu sehingga meluncur cepat sekali mengejar perahu yang didayung oleh Siauw-bin Ciu-kwi...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.