“AMPUN... ampun... jangan...!” dia meratap.
“Hemm, dia inilah yang agaknya amat berguna bagi kita, Li-hiap,” kata Cian Hui dan Liong-li mengangguk. Dengan cekatan Cian Ciang-kun mencengkeram rambut kepala si gendut itu dan menariknya bangun. Penjahat itu terduduk dan semakin ketakutan.
“Apa engkau tidak ingin mampus?”
“Ampunkan saya... ampun...”
“Kami takkan membunuhmu, akan tetapi katakan siapa adanya dua orang berkedok itu!” bentak Cian Hui dan kini jari-jari tangannya mencengkeram ke arah pelipis kepala orang itu.
Orang itu merasakan kenyerian luar biasa, lebih nyeri dari pada luka di kakinya. Dia menjerit-jerit seperti babi disembelih.
“Ampun... aduh, ampun... saya tidak tahu... mereka itu... mereka muncul dan menaklukkan pemimpin kami, dan mereka menjanjikan hadiah besar. Kami belum pernah melihat mereka tanpa kedok...”
Cian Hui agaknya mempercaya keterangan ini, “Hayo katakan, ke mana kalian tadi diperintahkan membawaku dalam kereta itu! Awas sekali kau berbohong, kepalamu ini akan kubikin remuk!” Kembali dia mencengkeram agak kuat sehingga si gendut itu kembali menjerit kesakitan.
“Aduh, ampun... kami.. kami diharuskan membawa... Ciang-kun ke kota raja dan...“
Tiba-tiba terdengar bunyi desing yang kuat. Cian Hui dan Liong-li meloncat ke samping dan dua batang benda kecil panjang meluncur lewat. Dan terdengarlah teriakan, teriakan mengerikan.
Liong-li dan Cian Hui terkejut bukan main melihat si gendut yang tadi diperiksa dan juga para penjahat yang tadi masih belum tewas, setelah mengeluarkan teriakan mengerikan lalu diam tak bergerak dan tewas. Tubuh mereka tertembus anak-anak panah, seperti yang tadi meluncur dan menyerang mereka.
“Keparat!” Liong-li membentak dan iapun meloncat ke arah dari mana datangnya anak-anak panah tadi. Akan tetapi ia hanya melihat semak-semak bergoyang, orangnya yang tadi bersembunyi di situ tidak nampak lagi bayangannya. Terpaksa ia kembali ke tempat tadi di mana ia melihat Cian Hui termenung.
“Sungguh penuh rahasia,” kata perwira itu. “Aku hendak dibawa ke kota raja? Dan mereka semua tewas! Orang atau orang-orang yang berdiri di belakang semua ini sungguh amat berbahaya, dan juga lihai sekali!”
Liong-li tidak menjawab melainkan diam-diam ia menghampiri mereka yang tadi terluka lalu terbunuh oleh anak panah. Melihat macam anak panah, ia berkesimpulan, bahwa setidaknya tentu ada dua orang yang tadi menjadi penyerang gelap. Ada enam orang anak buah penjahat yang tadinya terluka, kini tewas.
Jelas bahwa mereka yang berada di belakang layar hendak menyimpan rahasia, maka dibunuhnya dua orang yang berkedok yang ternyata juga hanya anak buah, dan dibunuhnya pula semua anak buah perampok agar mereka tidak dapat memberi keterangan apapun. Juga mereka tadi berusaha menyerang Liong-li dan dia!
“Mari kita ke Lok-yang, Li-hiap. Akan kulaporkan kepada mereka yang berwajib di sana, kemudian kita bicara di rumahmu,” kata Cian Hui.
Liong-li yang mulai tertarik sekali dengan peristiwa itu, mengangguk dan mereka mempergunakan kereta yang tadi didatangkan oleh dua orang berkedok, meninggalkan tempat itu menuju ke Lok- yang.
Cian Hui memandang kagum ketika dia tiba di depan rumah yang mungil itu. Liong-li dan dia baru saja pergi ke markas pasukan keamanan di Lok-yang menemui komandannya. Dan tentu saja komandan ini terkejut sekali mengenal Cian Ciang-kun dari kota raja yang amat terkenal itu datang berkunjung bersama Hek-liong-li. Apa lagi ketika dia mendengar betapa Cian Ciang-kun hampir saja celaka di tangan segerombolan penjahat di Bukit Kuil.
Mendengar bahwa di sana ada belasan orang penjahat yang telah menjadi mayat, komandan itu segera mengirim pasukan untuk mengurus mayat-mayat itu dan memerintahkan pasukannya untuk mengadakan pembersihan kalau-kalau masih ada sisa anak buah perampok di sekitar tempat itu.
Cian Ciang-kun menitipkan kuda hitam yang tadi mengikuti kereta dari hutan kepada komandan itu, memesan agar kuda itu diberi makan dan dirawat baik-baik. Kemudian, dengan naik kereta yang tadinya dibawa para penjahat itu mereka berdua pergi ke rumah Hek-liong-li.
Rumah itu mungil, tidak terlalu besar namun indah sekali. Pekarangannya luas, penuh dengan tanaman bunga beraneka warna. Di tengah pekarangan yang penuh bunga itu terdapat sebuah kolam ikan, penuh dengan ikan-ikan emas dan di tengah kolam yang juga dihias bunga teratai merah putih itu terdapat sebuah arca yang ukirannya amat halus. Arca serang puteri yang cantik, menunggang seekor angsa.
Baru melihat keadaan rumah mungil itu saja mudah diduga bahwa Hek-liong-li, wanita perkasa yang amat terkenal itu, tentu kaya raya! Dan dugaannya itu memang benar. Hek-liong-li menjadi kaya raya tanpa diketahui orang ketika setahun yang lalu ia bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay mendapatkan harta karun yang tak dapat dinilai harganya saking banyaknya.
Ketika Cian Hui masih mengagumi keadaan rumah dan pekarangannya itu, dari dalam bermunculan sembilan orang wanita yang memakai pakaian beraneka warna dan cerah, dengan wajah mereka manis itu tersenyum gembira dan mereka menyongsong Hek-liong-li dengan gembira dan juga penuh hormat.
“Li-hiap sudah pulang...!” terdengar mereka berseru gembira dan Cian Hui terbelalak ketika dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu nona baju hijau dan nona baju kuning yang pernah mencoba untuk menolongnya ketika dia menjadi tawanan dua orang berkedok.
Kini mengertilah dia mengapa Hek-liong-li dapat muncul secara tiba-tiba dan membebaskannya dari tangan para penjahat itu. Tentu nona baju hijau dan nona baju kuning itu yang melapor kepadanya dan wanita perkasa itu lalu turun tangan sendiri menolongnya!
“Aih, kiranya dua orang nona yang gagah perkasa berada pula di sini...” katanya sambil memberi hormat kepada dua orang gadis berpakaian hijau dan kuning itu.
Dua orang wanita itu dengan tergopoh membalas penghormatan Cian Hui dan si baju hijau menjawab dengan tersipu. “Harap jangan membikin malu kepada kami. Kami telah gagal membantumu dan masih baik bahwa nona kami tidak marah kepada kami!”
Liong-li tersenyum memandang kepada tamunya. “Cian Ciang-kun, maafkan para pembantuku yang tidak mampu membebaskanmu. Marilah kita bicara di dalam. Kalian kenalilah baik-baik. Tamu kita ini adalah Cian Ciang-kun, seorang perwira tinggi komandan pasukan keamanan dari kotaraja yang berkedudukan tinggi!”
“Cian Ciang-kun...!” sembilan orang wanita cantik itu memberi hormat dan suara mereka seperti sekumpulan burung yang berkicau merdu.
“Ah, nona-nona yang cantik dan gagah, harap jangan sungkan,” Perwira itu membalas penghormatan mereka.
Ketika dibawa memasuki rumah itu, diam-diam Cian Hui menjadi semakin kagum dan juga semakin yakin bahwa nona rumah tentu kaya raya. Perabot rumah yang terdapat di situ semuanya indah dan mahal. Dindingnya dihias lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah yang dibuat oleh para seniman yang terkenal, tentu amat mahal. Lantainya ditilami permadani yang tebal. Sutera-sutera halus beraneka warna bergantungan menambah cerah dan indahnya keadaan dalam ruangan-ruangan di situ.
Liong-li mempersilakan tamunya memasuki ruangan yang luas, yang letaknya di bagian belakang. Ruangan ini luas dan kosong dan di sudut ruangan terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan segala macam senjata yang kelihatan bermutu tinggi, beberapa buah kursi dan sebuah meja panjang berada di sudut pula sehingga ruangan itu nampak luas dan mudah diketahui bahwa ruangan ini tentulah semacam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang indah. Banyak terdapat jendela di situ sehingga hawanya sejuk dan nyaman karena jendela-jendela itu menembus ke sebuah taman bunga di belakang.
Ternyata bahwa rumah mungil itu dikelilingi taman bunga! Pekarangan di depan sudah merupakan taman, di belakang, kanan dan kiri juga merupakan taman yang penuh bunga beraneka warna! Bahkan di taman belakang yang luas itu terdapat pula pondok-pondok kecil mungil tempat peristirahatan. Tempat yang indah ini dikelilingi dinding yang tinggi dan di atas dinding dipasangi tombak-tombak runcing sehingga sukar bagi orang luar untuk masuk melalui dinding pagar itu.
“Silakan duduk, Cian Ciang-kun. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa dan tidak akan terdengar orang lain,” kata Liong-li setelah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan tugas mereka. Tanpa dijelaskan, sembilan orang gadis cantik itu sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Ada yang berjaga di sekitar luar ruangan itu, ada yang sibuk di dapur untuk mempersiapkan hidangan untuk nona majikan mereka dan tamunya.
Cian Hui menarik napas panjang. “Sudah lama aku mendengar nama besar Hek-liong-li, dan sekarang aku merasa kagum bukan main. Keadaan Li-hiap sungguh jauh melebihi apa yang pernah kudengar.”
“Hemm, jangan terlalu memuji, ciang-kun. Melebihi dalam hal apa?”
“Segala-galanya. Kelihaian, kecantikan, kekayaan Li-hiap!”
Liong-li tersenyum dan kedua pipinya menjadi kemerahan, tanda bahwa pujian itu mengena di hatinya. Diam-diam ia juga kagum dan girang sekali mendapat pujian seorang pria seperti yang duduk di depannya itu. Ia tahu benar bahwa pujian itu bukan sekedar rayuan, melainkan keluar dari hati yang jujur dan tulus.
“Sudahlah, Ciang-kun. Yang terpenting sekarang sebelum kita bicara, aku harus mengobati luka-lukamu lebih dulu.”
“Ah, luka-luka ini tidak seberapa, Li-hiap. Aku dahulu pernah menjadi seorang perwira perang sehingga luka-luka bagiku sudah biasa...”
“Akan tetapi luka-lukamu itu harus cepat diobati, kalau tidak, berbahaya dan dapat menjadi semakin parah. Apa lagi diingat bahwa yang melukaimu adalah penjahat-penjahat yang mungkin mempergunakan senjata kotor atau beracun. Mari, kau rebahlah di atas lantai, akan kuperiksa, ciangkun!” kata Liong-li dan di dalam suaranya terkandung perintah yang berwibawa.
Diam-diam Cian Hui merasa heran sekali mengapa dia merasa seperti mendengar perintah atasannya yang tidak mungkin dapat dibantah lagi! Dia lalu bangkit dan melangkah ke sudut ruangan, merebahkan diri di atas lantai seperti yang diperintahkan Liong-li.
Liong-li bertepuk tangan dua kali. Seorang gadis berpakaian merah muncul. “Ang-cici (enci Merah), cepat ambilkan perabot dan obat untuk mengobati luka di tubuh Cian Ciang-kun!”
Gadis berpakaian merah itu mengangguk dan pergi. Liong-li lalu berlutut dekat Cian Hui dan dengan jari-jari tangan yang cekatan dan tidak ragu-ragu, ia merobek baju di bagian pundak, memeriksa luka di pundak perwira itu. Kemudian iapun merobek celana di bagian pinggul dan memeriksa luka di situ. Sementara itu, Enci Merah datang membawa sebuah panci terisi air panas dan perabot yang berupa gunting, pisau kecil, juga kain putih bersih dan obat bubuk beberapa macam dalam bungkusan.
“Sekarang pergi dan suruh enci Biru mengambilkan satu stel pakaian luar dalam yang cocok untuk Cian Ciangkun!” kata Liong-li dan kembali gadis berpakaian merah itu mengangguk lalu keluar dari situ tanpa bicara. Nampaknya ia amat patuh dan menghormati Liong-li.
Kini Liong-li bekerja. Kedua tangannya amat cekatan, lembut namun juga tidak ragu- ragu, mencuci luka-luka itu dengan air panas, kemudian menaruhkan obat bubuk putih lalu menutupi luka itu dengan semacam obat tempel yang sudah dipanaskan. Selama pengobatan ini, Cian Hui tidak pernah mengeluarkan keluhan sedikitpun, padahal ketika dicuci terasa panas dan ketika dibersihkan terasa perih. Setelah diberi obat dan ditutup koyo, baru terasa nyaman.
Ketika merawat luka-luka itu, sepasang mata Liong-li hanya ditujukan dan dipusatkan kepada luka itu. Akan tetapi setelah ia selesai memberi pengobatan, barulah nampak olehnya betapa pundak dan dada perwira itu bidang dan kokoh kuat, sedangkan pinggulnya juga penuh otot melingkar dan menunjukkan kejantanan yang mengagumkan hatinya.
“Nah, bahayanya sudah lewat, Ciang-kun. Untung engkau memiliki tubuh yang sehat kuat dan darah yang bersih sehingga luka-luka itu akan cepat sembuh dan kering.”
Pada saat itu, seorang gadis berpakaian serba biru memasuki ruangan dan menyerahkan setumpuk pakaian kepada Liong-li, kemudian ia keluar lagi.
“Ini pakaian bersih, harap engkau suka berganti pakaian dulu, baru kita bicara, ciang-kun,” kata pula Liong-li dan wanita ini lalu bangkit dan berjalan menuju ke sebuah jendela yang terbuka, lalu berdiri di situ dan memandang keluar.
Cian Hui memandang kagum. Bukan main wanita ini, pikirnya dan di dalam hatinya timbul suatu kemesraan yang belum pernah dialaminya selama hidupnya. Rasa kagum dan haru menyelubungi hatinya. Seorang wanita yang matang, memiliki kecantikan yang hampir sempurna, ilmu kepandaian tinggi, sikap yang anggun dan berwibawa, kaya raya, cerdik jujur terbuka, tidak berpura-pura atau bersembunyi di balik kesopanan seperti para wanita pada umumnya. Wanita hebat!
Diapun mengusir semua perasaan sungkan, membuka pakaiannya dan berganti pakaian dalam dan luar. Pakaiannya yang kotor dan robek-robek itu dia gulung dan letakkan di sudut ruangan. Pakaian yang dipakainya itu bersih dan baru, terbuat dari sutera berwarna biru, cocok sekali dengan bentuk tubuhnya sehingga dia merasa heran. Bahkan dia menjadi semakin heran ketika merasakan betapa ada sesuatu yang tidak nyaman terasa di hatinya ketika dia membayangkan bahwa mungkin ada seorang pria kawan dekat wanita hebat ini, pemilik pakaian yang kini dipakainya itu.
Tanpa menengokpun Liong-li maklum bahwa Cian Ciang-kun telah selesai berpakaian. Ia memiliki pendengaran yang amat tajam sehingga ia dapat menangkap gerakan pria itu ketika berpakaian dan selesai. Maka iapun membalikkan tubuhnya memandang dan ada pancaran kagum dalam sinar matanya memandang kepada Cian Hui yang memang nampak ganteng dan gagah dalam pakaian barunya itu.
“Engkau pantas sekali memakai pakaian itu, Ciang-kun!” ia memuji jujur sambil tersenyum.
Cian Hui mengangkat kedua tangan depan dada, memberi hormat, “Li-hiap, terima kasih atas segala kebaikanmu. Sungguh membuat aku merasa sungkan, telah mengganggumu, menganggu pemilik pakaian ini. Aku harus menghaturkan terima kasih kepada pemilik pakaian yang kupinjam ini.”
“Itu pakaianku!”
“Tapi, ini pakaian pria dan ukurannya besar.”
Liong-li tersenyum manis sekali. “Ciang-kun, di sini aku memiliki segala macam pakaian. Memang kusediakan kalau-kalau aku membutuhkannya. Ada pakaian kanak-kanak segala umur, laki dan perempuan, ada pakaian pria dan wanita segala umur dan segala ukuran. Enci biru yang mengurus tentang pakaian itu. Maka, jangan khawatir, dan pakaian itu bukan kupinjamkan, biar kau pakai saja, Ciang-kun. Nah, mari kita bicara. Aku ingin mendengar tentang keributan dan pembunuhan di kota raja itu.”
Cian Hui menghela napas dan semakin kagum. Wanita yang hebat! Diapun mulai bercerita tentang peristiwa yang terjadi di kota raja, khususnya di antara para pejabat tinggi dan di istana. “Aku menerima tugas istimewa dari Sri baginda Kaisar sendiri untuk menyelidiki dan membongkar rahasia pembunuhan ini, Li-hiap. Akan tetapi aku menemui jalan buntu dan tidak berhasil, maka aku teringat kepadamu yang sudah kudengar sebagai seorang pendekar wanita yang sakti. Aku mohon bantuanmu, karena kiranya hanya engkaulah yang akan mampu menandingi mereka yang berdiri di belakang layar dan yang mengatur pembunuhan-pembunuhan itu.”
Cian Hui lalu menceritakan betapa selama dua bulan ini, di kota raja terjadi geger karena terjadinya pembunuhan-pembunuhan yang penuh rahasia. Yang menjadi korban pembunuhan adalah para pejabat tinggi yang mempunyai kedudukan tinggi dan penting dalam pemerintahan. Juga beberapa orang pangeran yang dekat dengan kaisar telah menjadi korban pembunuhan pula.
Cara pembunuhan itu dilakukan penuh rahasia, para korban adalah pejabat tinggi yang selalu dikawal pasukan pengawal. Rumah mereka siang malam dijaga pasukan pengawal. Akan tetapi tetap saja pada suatu pagi mereka ditemukan sudah tewas dengan leher putus dalam kamar mereka, bersama siapa saja yang kebetulan sekamar dengan mereka malam itu.
“Yang paling hebat terjadi dua minggu yang lalu, li-hiap. Seorang panglima telah terbunuh dalam kamarnya, padahal kamar itu berada di dalam benteng! Bayangkan saja, pembunuh itu dapat memasuki benteng dan dapat membunuh Panglima Cu di kamarnya, padahal panglima itu adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi! Dan dua orang selirnya yang tidur bersamanya juga wanita-wanita yang lihai, akan tetapi mereka bertiga tewas dengan leher putus dalam kamar itu!” Perwira itu kembali menarik napas panjang. “Sungguh merupakan tugas berat bagiku, maka aku berusaha untuk mohon bantuanmu.”
Liong-li mendengarkan dengan tekun dan sabar, tak pernah mengganggu dan setelah perwira itu berhenti bercerita, baru ia membuat gerakan, tangan kirinya diangkat ke arah kepalanya dan iapun memegangi dahinya dengan alis berkerut. Ini menandakan bahwa wanita cantik itu sedang memutar otaknya! Kedua matanya terpejam dan Cian Hui hanya memandang, tidak berani mengganggu dan dia hanya memandang dengan hati tertarik. Dia seolah-olah dapat melihat betapa isi dari kepala yang bagus bentuknya, yang dihias rambut hitam lebat itu, sedang bekerja dengan ajaib.
Tiba-tiba sepasang mata itu terbuka dan menatap kepadanya, membuat Cian Hui seperti silau karena sepasang mata itu kini mencorong! “Cian Ciang-kun, apa yang kau peroleh dari hasil penyelidikanmu? Apakah semua pembunuhan itu terjadi tanpa adanya seorang pun saksi yang melihat sesuatu yang mencurigakan?”
“Setiap terjadi pembunuhan, aku segera menyelidiki sendiri dan sudah kucari keterangan. Akan tetapi tidak pernah ada orang lain melihat pembunuh itu, hanya ada dua orang, di tempat yang berlainan melihat bayangan iblis...” perwira itu berhenti dan kelihatan ragu-ragu.
“Bayangan Iblis? Apa maksudmu, Ciang-kun?”
“Ketika Pangeran Cun dibunuh sebulan yang lalu, dan seorang pejabat tinggi, Menteri Pajak dibunuh seminggu kemudian, ada orang yang melihat bayangan iblis. Bayangan itu bentuknya seperti tubuh orang yang memiliki sepasang tanduk di kepalanya. Akan tetapi hanya bayangannya saja yang nampak di atas dinding putih, itupun hanya sebentar karena bayangan itu segera lenyap. Mungkin hanya khayal orang yang ketakutan dan tahyul, Li-hiap. Betapapun juga, berita itu membuat orang ramai menyebut pembunuh itu Si Bayangan Iblis! Akan tetapi, belum pernah ada yang melihatnya, dan semua penyelidikanku menemui kegagalan dan jalan buntu. Aku tidak pernah dapat menemukan jejak, bahkan aku tidak tahu apa yang menjadi sebab dari semua pembunuhan itu.”
“Dan engkau lalu mencariku dari kota raja ke sini, dan di tengah perjalanan engkau dihadang perampok? Coba ceritakan tentang peristiwa perampokan terhadap dirimu, ciang-kun. Mungkin kita dapat menemukan jejak dari situ.”
“Aku juga merasa yakin bahwa ada hubungan yang erat antara semua peristiwa di kota raja itu dengan usaha penculikan yang dilakukan terhadap diriku. Namun sayang, jejak itu terhapus dengan kematian semua penjahat itu.”
Cian Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya, betapa tadinya belasan orang penjahat itu hendak merampok kudanya, kemudian muncul dua orang berkedok yang lihai itu sehingga dia tertawan. Betapa kemudian muncul nona baju hijau dan nona baju kuning yang berusaha menolongnya, namun mereka berduapun kewalahan menandingi dua orang berkedok hitam sehingga mereka melarikan diri.
“Kemudian, ketika aku hendak diculik dan dibawa pergi dengan kereta, engkau muncul, Li-hiap.”
“Itulah yang kusayangkan!” seru Liong-li. “Kalau saja aku tahu bahwa engkau seorang penyelidik, bahwa semua itu ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan di kota raja, tentu aku tidak tergesa-gesa turun tangan dan membiarkan engkau mereka bawa pergi. Dengan demikian, setidaknya ada harapan untuk dapat menemukan jejak mereka.”
Cian Hui mengangguk-angguk. “Engkau benar. Akupun berpikiran demikian, akan tetapi bukan berarti bahwa aku tidak berterima kasih telah kau tolong dan kau bebaskan.”
“Semua sudah terlanjur. Kita harus mulai dari pertama, yaitu tanpa adanya jejak.”
“Kita? Apakah ini berarti bahwa engkau sudi untuk membantuku dan hendak menyelidiki peristiwa ini? Ah, kalau begitu terima kasih banyak Li-hiap, sungguh aku merasa gembira sekali dan bersyukur!” Perwira itu lalu memberi hormat untuk menyatakan terima kasihnya.
“Tidak perlu berterima kasih, ciang-kun. Aku sudah terlibat di dalamnya, tanpa kau minta sekalipun aku harus membongkar rahasia ini. Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah ada persamaan antara mereka yang telah menjadi korban pembunuhan-pembunuhan di kota raja itu?”
“Persamaan bagaimana maksudmu, Li-hiap?”
“Persamaan di antara para korban itu, ciri khas atau sikap yang sama atau mungkin ada pertalian atau hubungan di antara mereka...”
“Ah, benar juga...! Kenapa aku tidak ingat akan hal itu sebelumnya? Para korban itu kesemuanya dekat dengan Sribaginda Kaisar! Pangeran-pangeran yang terbunuh adalah kesayangan kaisar, dan para menteri yang menjadi kurban juga merupakan menteri-menteri yang setia. Itulah persamaan antara mereka.”
“Hemm, itu yang kucari, Ciang-kun. Kalau begitu, tentu ada komplotan yang diam-diam memusuhi kaisar, atau setidaknya ingin melihat kaisar menjadi lemah, maka mereka yang dekat dengan kaisar dan dianggap penghalang, disingkirkan satu demi satu. Dan jelas ada hubungannya antara semua pembunuhan itu dengan usaha penculikan terhadap dirimu. Karena engkau merupakan petugas dari kaisar untuk menyelidiki rahasia ini, maka engkau akan diculik.”
“Akan tetapi mengapa tidak mereka bunuh saja? Mengapa mereka harus menculikku? Dan dibawa ke kota raja pula?”
Liong-li menatap wajah perwira itu dengan tajam dan mulutnya tersenyum manis. “Ciang-kun, harap engkau jangan berlagak bodoh. Aku yakin bahwa engkau yang sudah dipercaya oleh Sribaginda untuk melakukan penyelidikan dan membongkar rahasia ini, tentu memiliki kecerdikan tinggi. Mustahil engkau tidak dapat menduga apa sebabnya mereka tidak membunuhmu.”
Cian Ciang-kun juga tersenyum. Memang dia tadi berpura-pura, untuk menguji kecerdikan wanita cantik jelita itu, akan tetapi, ternyata permainan sandiwaranya ketahuan! “Baiklah, memang aku sudah mempunyai dugaan. Akan tetapi aku ingin sekali mendengar pendapatmu, li-hiap. Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Alasannya mudah diduga, hanya yang sukar adalah menemukan siapa sesungguhnya yang berdiri di belakang semua ini. Mereka tidak membunuhmu, melainkan hendak menculikmu, tentu mereka itu, pemimpin mereka, ingin lebih dahulu mengorek pengakuanmu sampai sejauh mana hasil penyelidikanmu, Ciang-kun. Mereka khawatir kalau-kalau penyelidikanmu sudah sedemikian jauhnya sehingga rahasia mereka terancam. Dan mereka hendak membawamu kota raja seperti pengakuan anggauta perampok itu. Hal ini menunjukkan bahwa pimpinan komplotan itu tentu berada di kota raja!”
Cian Ciang-kun mengangguk-angguk kagum. “Engkau hebat, Li-hiap! Memang tepat sekali, demikianlah pula pendapatku. Dan tentu di kota raja itu telah menanti Si Bayangan Iblis!”
Liong-li mengangguk. “Besar kemungkinannya demikian. Yang disebut Si Bayangan Iblis itu tak mungkin seorang di antara dua orang berkedok itu. Tentu lebih lihai. Akan tetapi, aku mempunyai perhitungan bahwa Si Bayangan Iblis itupun hanya alat saja, masih ada yang berdiri di belakang layar, yang mengemudikan semua ini.”
Perwira itu nampak termangu-mangu, dan dia meraba-raba dagunya yang halus karena dia mencukur rambut pada dagu dan mukanya, tidak berkumis atau berjenggot. “Hal itulah yang aneh, Li-hiap. Aku memiliki jaringan penyelidik yang banyak, kuat dan terampil. Aku mengenal dan mengetahui benar keadaan di kota raja, mengenal hampir semua pejabat dan mengetahui keadaan mereka, bahkan rahasia dan keadaan rumah tangga mereka. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan di antara mereka, tentu aku mengetahuinya! Agaknya mustahil kalau yang mengemudikan semua komplotan itu tinggal di kota raja dan lolos dari pengamatan orang-orangku.”
“Bagaimana kalau mereka bersembunyi di dalam istana? Apakah pengamatanmu juga sampai menembus dinding istana, Cian Ciang-kun?”
Pertanyaan ini membuat perwira itu terbelalak, terkejut dan heran. Dia menggeleng kepala. “Memang tidak sampai ke sana, akan tetapi... ah, bagaimana mungkin... musuh berbahaya itu bersembunyi di dalam istana? Wah, kalau begitu, keselamatan Sribaginda dalam bahaya!”
Liong-li menggeleng kepala. “Belum tentu demikian, Ciang-kun. Menurut pendapatku, komplotan itu mempunyai sasaran yang lebih luas dari pada sekedar membunuh Sribaginda Kaisar. Kalau memang itu sasarannya, tentu telah terjadi serangan atas diri beliau. Melihat betapa yang dibunuh adalah pejabat-pejabat dan bangsawan-bangsawan yang dekat dengan Sribaginda, aku lebih condong menduga bahwa pelakunya atau pimpinannya menghendaki kelemahan kedudukan Sribaginda Kaisar dan melenyapkan mereka yang memiliki kekuasaan. Ini membuat aku menduga bahwa tentu dia bermaksud menonjolkan diri atau memperbesar kekuasaannya sendiri.”
Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya dan dia mengangguk-angguk. Dia dapat melihat kemungkinan-kemungkinan terjadinya semua yang dikemukakan wanita itu dan hatinya merasa gelisah sekali. “Ah, kalau benar demikian, Li-hiap, maka itu adalah permainan tingkat tinggi dan aku sama sekali tidak berdaya dan tidak memiliki kekuasaan untuk dapat mencampuri urusan yang menyangkut pribadi atau kekuasaan Sribaginda Kaisar.”
“Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau tidak mungkin dapat melakukan penyelidikan ke dalam istana?”
“Benar, Li-hiap. Aku adalah seorang panglima pasukan keamanan yang bertugas menumpas para penjahat di luar istana, mencegah terjadinya kejahatan, akan tetapi kekuasaanku terbatas dan aku tidak mungkin dapat memasuki istana tanpa ijin dari Sribaginda Kaisar. Di istana terdapat pasukan pengawal yang terbagi pula sebagai pasukan luar istana, pasukan pengawal Sribaginda, dan pasukan pengawal Thai-kam yang bertugas menjaga keamanan di bagian paling dalam di istana, sampai ke bagian puteri. Aku hanya bertugas memimpin pasukan keamanan yang bertugas mengamankan kota raja dan sekitarnya. Tugasku yang kuterima dari Sribaginda adalah mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan terhadap para pejabat tinggi itu, yang terjadi di luar istana. Dan selama ini memang tidak pernah terjadi pembunuhan terhadap seorang penghuni istana maka tidak ada alasan bagiku untuk minta ijin Sribaginda memasuki istana! Tentu saja ada kecualinya, yaitu kalau memang sudah terdapat bukti bahwa komplotan pembunuh itu berada, di dalam istana.”
Liong-li masih mengerutkan alisnya dan sampai lama mereka berdua berdiam diri. Wanita itu memejamkan mata dan melihat keadaannya, Cian Ciang-kun tidak berani mengganggu. Dia sendiri memikirkan kemungkinan terjadinya hal seperti yang dikemukakan wanita perkasa ini dan diapun merasa ngeri. Kalau benar ada komplotan yang bersembunyi di dalam istana, sungguh berbahaya sekali!
Tentu saja dia dapat bicara dengan para panglima pasukan yang bertugas di luar dan dalam istana, namun paling banyak dia hanya minta agar mereka itu berhati-hati dan melakukan penyelidikan akan kemungkinan itu. Kepala pengawal Thai-kam tak mungkin dapat bicara karena kepala pengawal Thai-kam itu menganggap kedudukannya terlalu tinggi untuk dapat dihubungi oleh seorang panglima pasukan keamanan seperti dia!
Tiba-tiba Liong-li menepuk pahanya sendiri dan terkejutlah Cian Ciang-kun yang sedang melamun. Dia mengangkat muka memandang dan melihat betapa wajah yang cantik itu kemerahan dan matanya bersinar-sinar. “Dapat, Ciang-kun!” seru wanita itu dan ia tersenyum lebar sehingga deretan gigi yang putih seperti mutiara nampak berkilau.
“Eh, apa maksudmu, Li-hiap?”
“Kita harus bekerja sama. Engkau dari luar dan aku dari dalam!”
“Maksudmu, engkau akan menyelundup ke dalam istana?” tanya panglima yang cerdik itu.
Liong-li mengangguk. “Hanya itulah jalannya. Engkau menyelidiki dari luar, mengamati gerak-gerik semua pejabat tinggi termasuk mereka yang memimpin keamanan di lingkungan istana. Aku sendiri harus dapat menyusup ke dalam istana, dan hal ini tentu saja baru mungkin terjadi kalau engkau membantuku. Dapat saja aku diselundupkan ke istana, atau akan lebih mudah bagiku untuk menyelidik kalau aku dapat menjadi penghuni istana sebagai dayang atau pelayan...”
“Ah, tidak mungkin seorang seperti engkau ini menjadi pelayan di sana, Li-hiap!” kata Cian Ciang-kun.
Kedua pipi itu menjadi semakin merah. “Kau anggap aku... terlalu tua dan buruk rupa...?”
“Siapa berkata begitu, Li-hiap? Sama sekali sebaliknya malah! Engkau terlalu cantik jelita dan...”
“Kalau terlalu baik untuk menjadi pelayan, dapat dimasukkan sebagai dayang... tentu saja kalau aku tidak dianggap terlalu tua untuk itu.”
“Terlalu tua sih tidak, terlalu dewasa mungkin karena para dayang itu memang biasanya masih remaja, akan tetapi yang jelas terlalu... cantik jelita...”
“Ihh, kita bicara serius, jangan engkau merayu, Ciang-kun!” kata Liong-li dan wajah perwira itu menjadi merah.
“Maaf, bukan maksudku untuk memuji kosong, Li-hiap, melainkan akupun bicara sesungguhnya. Kalau engkau berada di dalam istana bagian puteri, engkau sepantasnya menjadi puteri atau selir Sribaginda. Maaf, bukan maksudku menghina...”
“Sudahlah, terserah kepadamu, asal aku dapat diselundupkan ke dalam istana, untuk beberapa hari saja sehingga aku mendapatkan peluang untuk melakukan penyelidikan dan pengamatan, apa lagi di waktu malam. Kalau memang komplotan itu bergerak dari dalam istana, tentu aku akan dapat memergoki mereka. Kalau engkau tidak merayu dan berkata sebenarnya, aku dapat melakukan sedikit penyamaran agar pantas menjadi seorang dayang. Coba kau tunggu sebentar, Ciang-kun!”
Ia bertepuk tangan dan muncullah seorang gadis berpakaian coklat. Ia muncul cepat dan berdiri di depan Liong-li dengan sikap hormat dan siap melakukan segala perintah.
“Ambil perlengkapan penyamaran ke sini. Cepat!”
Tak lama kemudian, gadis baju coklat itu kembali membawa peti hitam yang terukir indah. Baru petinya itu saja sudah merupakan sebuah benda antik yang mahal harganya, pikir Cian Ciang-kun yang sudah duduk sambil mengamati dengan hati tertarik. Liong-li, tanpa bicara membuka tutup peti setelah si baju coklat meninggalkan ruangan itu dan iapun mengambil botol-botol dan alat-alat seperti alat kecantikan.
Hanya sebentar ia bercermin sambil menata wajahnya dan sepuluh menit kemudian, Cian Ciang-kun sudah berhadapan dengan seorang wanita yang sama sekali berbeda dengan wajah Liong-li! Memang masih manis, akan tetapi tidak secantik dan seanggun tadi! Wajah seorang gadis dusun yang manis dan tidak terlalu menyolok.
“Bagaimana, Ciang-kun? Bukankah sudah pantas kalau aku mengaku sebagai seorang gadis dusun dan cocok untuk menjadi seorang pelayan atau seorang dayang di istana?”
Cian Ciang-kun bengong. Bahkan suara wanita ini berubah sama sekali! Tidak halus merdu lembut seperti tadi, melainkan suara sederhana yang hanya pantas menjadi suara seorang gadis pedusunan yang kurang pendidikan dan biasa hidup sederhana. Akhirnya dia tertawa bergelak saking kagum dan girangnya.
“Ha-ha-ha, engkau seorang wanita hebat, Li-hiap! Tadi aku masih ragu-ragu dan khawatir kalau-kalau engkau akan dikenal sebagai Hek-liong-li setelah berada di dalam istana dan keselamatanmu terancam. Akan tetapi dengan penyamaran yang sempurna, kuyakin takkan ada seorangpun yang tahu bahwa engkau adalah Hek-liong-li. Baiklah, mari kita ke kota raja dan di sana aku akan menghubungi rekan-rekanku dan mendengar kalau-kalau istana membutuhkan pembantu puteri baru sehingga engkau dapat diselundupkan ke dalam. Engkau tahu, biasanya, kalau istana membutuhkan dayang atau pembantu baru, kesempatan itu dipergunakan oleh para Thai-kam untuk menerima uang sogokan. Siapa yang paling berani mengeluarkan uang sogokan, maka dialah yang akan diterima.”
“Bagus! Tentang uang sogokan, jangan khawatir. Berapa saja mereka minta akan kubayar!” kata Liong-li gembira.
Merekapun berangkat pada hari itu juga, tentu saja tidak mengendarai kereta rampasan tadi karena hal itu tentu akan diketahui pihak lawan. Mereka menggunakan kereta lain dan dengan menyamar, tak seorangpun menyangka bahwa wanita nenek tua yang bersama Cian Ciang-kun memasuki kota raja itu adalah Hek-liong-li yang amat terkenal!
Sebelum kita mengikuti perjalanan Liong-li dan cara bagaimana ia akan menyelundup masuk ke dalam istana, sebaiknya kita mengenali lebih dahulu keadaan Kaisar Kao Cung dengan istananya yang megah. Pada waktu itu (sekitar tahun 669), Kaisar Kao Cung adalah seorang pria berusia kurang lebih empat puluh sembilan tahun. Seorang pria yang sebetulnya bertubuh tinggi tegap dan kuat.
Akan tetapi sungguh sayang, karena dia terlalu mengumbar nafsu berahinya, terlalu membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan dan rayuan para wanita cantik yang memenuhi haremnya, maka dalam usia empat puluh sembilan tahun saja dia sudah nampak tua dan loyo. Kaisar Kao Cung sesungguhnya baik budi dan ramah, memiliki kebijaksanaan.
Namun sayang, karena terlalu membiarkan diri tenggelam dalam kesenangan, dia menjadi lemah dan malas. Dia tidak bersemangat lagi untuk mengurus tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin negara. Siang malam dia hanya bersenang-senang bersama para selirnya dan para dayang, dan dia dapat dibilang menyerahkan segala kekuasaannya dan membiarkan permaisurinya yang mengurus semua tugasnya!
Dan memang harus diakui bahwa permaisurinya adalah seorang wanita yang bukan main cerdasnya, seorang wanita yang selain memiliki kecantikan luar biasa, juga memiliki otak yang tajam dan hati yang keras, ambisius dan penuh semangat! Bahkan dapat dibilang permaisuri inilah yang pada delapan tahun yang lalu, membakar semangat suaminya yang menjadi kaisar itu untuk mengerahkan bala tentara sekuatnya dan menyerang Korea.
Sejak puluhan tahun yang lalu, ketika Kerajaan Tang belum berdiri, yaitu Kerajaan Sui masih berkuasa di China, kaisar-kaisar telah berusaha menundukkan Korea. Bahkan ayah dari Kaisar Kao Cung sendiri, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal sebagai pendekar bangsa dan pendiri Kerajaan Tang, selalu gagal dalam usahanya menalukkan Korea.
Akan tetapi, berkat siasat dan semangat permaisuri Kao Cung, maka Kaisar Kao Cung akhirnya berhasil menundukkan dan menalukkan Korea yang telah dibantu oleh Bangsa Jepang. Semenjak itulah, Kaisar Kao Cung yakin akan kemampuan permaisurinya dan dia pun menyerahkan hampir segala urusan pemerintahan ke tangan permaisurinya itu...
“Hemm, dia inilah yang agaknya amat berguna bagi kita, Li-hiap,” kata Cian Hui dan Liong-li mengangguk. Dengan cekatan Cian Ciang-kun mencengkeram rambut kepala si gendut itu dan menariknya bangun. Penjahat itu terduduk dan semakin ketakutan.
“Apa engkau tidak ingin mampus?”
“Ampunkan saya... ampun...”
“Kami takkan membunuhmu, akan tetapi katakan siapa adanya dua orang berkedok itu!” bentak Cian Hui dan kini jari-jari tangannya mencengkeram ke arah pelipis kepala orang itu.
Orang itu merasakan kenyerian luar biasa, lebih nyeri dari pada luka di kakinya. Dia menjerit-jerit seperti babi disembelih.
“Ampun... aduh, ampun... saya tidak tahu... mereka itu... mereka muncul dan menaklukkan pemimpin kami, dan mereka menjanjikan hadiah besar. Kami belum pernah melihat mereka tanpa kedok...”
Cian Hui agaknya mempercaya keterangan ini, “Hayo katakan, ke mana kalian tadi diperintahkan membawaku dalam kereta itu! Awas sekali kau berbohong, kepalamu ini akan kubikin remuk!” Kembali dia mencengkeram agak kuat sehingga si gendut itu kembali menjerit kesakitan.
“Aduh, ampun... kami.. kami diharuskan membawa... Ciang-kun ke kota raja dan...“
Tiba-tiba terdengar bunyi desing yang kuat. Cian Hui dan Liong-li meloncat ke samping dan dua batang benda kecil panjang meluncur lewat. Dan terdengarlah teriakan, teriakan mengerikan.
Liong-li dan Cian Hui terkejut bukan main melihat si gendut yang tadi diperiksa dan juga para penjahat yang tadi masih belum tewas, setelah mengeluarkan teriakan mengerikan lalu diam tak bergerak dan tewas. Tubuh mereka tertembus anak-anak panah, seperti yang tadi meluncur dan menyerang mereka.
“Keparat!” Liong-li membentak dan iapun meloncat ke arah dari mana datangnya anak-anak panah tadi. Akan tetapi ia hanya melihat semak-semak bergoyang, orangnya yang tadi bersembunyi di situ tidak nampak lagi bayangannya. Terpaksa ia kembali ke tempat tadi di mana ia melihat Cian Hui termenung.
“Sungguh penuh rahasia,” kata perwira itu. “Aku hendak dibawa ke kota raja? Dan mereka semua tewas! Orang atau orang-orang yang berdiri di belakang semua ini sungguh amat berbahaya, dan juga lihai sekali!”
Liong-li tidak menjawab melainkan diam-diam ia menghampiri mereka yang tadi terluka lalu terbunuh oleh anak panah. Melihat macam anak panah, ia berkesimpulan, bahwa setidaknya tentu ada dua orang yang tadi menjadi penyerang gelap. Ada enam orang anak buah penjahat yang tadinya terluka, kini tewas.
Jelas bahwa mereka yang berada di belakang layar hendak menyimpan rahasia, maka dibunuhnya dua orang yang berkedok yang ternyata juga hanya anak buah, dan dibunuhnya pula semua anak buah perampok agar mereka tidak dapat memberi keterangan apapun. Juga mereka tadi berusaha menyerang Liong-li dan dia!
“Mari kita ke Lok-yang, Li-hiap. Akan kulaporkan kepada mereka yang berwajib di sana, kemudian kita bicara di rumahmu,” kata Cian Hui.
Liong-li yang mulai tertarik sekali dengan peristiwa itu, mengangguk dan mereka mempergunakan kereta yang tadi didatangkan oleh dua orang berkedok, meninggalkan tempat itu menuju ke Lok- yang.
Cian Hui memandang kagum ketika dia tiba di depan rumah yang mungil itu. Liong-li dan dia baru saja pergi ke markas pasukan keamanan di Lok-yang menemui komandannya. Dan tentu saja komandan ini terkejut sekali mengenal Cian Ciang-kun dari kota raja yang amat terkenal itu datang berkunjung bersama Hek-liong-li. Apa lagi ketika dia mendengar betapa Cian Ciang-kun hampir saja celaka di tangan segerombolan penjahat di Bukit Kuil.
********************
Mendengar bahwa di sana ada belasan orang penjahat yang telah menjadi mayat, komandan itu segera mengirim pasukan untuk mengurus mayat-mayat itu dan memerintahkan pasukannya untuk mengadakan pembersihan kalau-kalau masih ada sisa anak buah perampok di sekitar tempat itu.
Cian Ciang-kun menitipkan kuda hitam yang tadi mengikuti kereta dari hutan kepada komandan itu, memesan agar kuda itu diberi makan dan dirawat baik-baik. Kemudian, dengan naik kereta yang tadinya dibawa para penjahat itu mereka berdua pergi ke rumah Hek-liong-li.
Rumah itu mungil, tidak terlalu besar namun indah sekali. Pekarangannya luas, penuh dengan tanaman bunga beraneka warna. Di tengah pekarangan yang penuh bunga itu terdapat sebuah kolam ikan, penuh dengan ikan-ikan emas dan di tengah kolam yang juga dihias bunga teratai merah putih itu terdapat sebuah arca yang ukirannya amat halus. Arca serang puteri yang cantik, menunggang seekor angsa.
Baru melihat keadaan rumah mungil itu saja mudah diduga bahwa Hek-liong-li, wanita perkasa yang amat terkenal itu, tentu kaya raya! Dan dugaannya itu memang benar. Hek-liong-li menjadi kaya raya tanpa diketahui orang ketika setahun yang lalu ia bersama Pek-liong-eng Tan Cin Hay mendapatkan harta karun yang tak dapat dinilai harganya saking banyaknya.
Ketika Cian Hui masih mengagumi keadaan rumah dan pekarangannya itu, dari dalam bermunculan sembilan orang wanita yang memakai pakaian beraneka warna dan cerah, dengan wajah mereka manis itu tersenyum gembira dan mereka menyongsong Hek-liong-li dengan gembira dan juga penuh hormat.
“Li-hiap sudah pulang...!” terdengar mereka berseru gembira dan Cian Hui terbelalak ketika dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu nona baju hijau dan nona baju kuning yang pernah mencoba untuk menolongnya ketika dia menjadi tawanan dua orang berkedok.
Kini mengertilah dia mengapa Hek-liong-li dapat muncul secara tiba-tiba dan membebaskannya dari tangan para penjahat itu. Tentu nona baju hijau dan nona baju kuning itu yang melapor kepadanya dan wanita perkasa itu lalu turun tangan sendiri menolongnya!
“Aih, kiranya dua orang nona yang gagah perkasa berada pula di sini...” katanya sambil memberi hormat kepada dua orang gadis berpakaian hijau dan kuning itu.
Dua orang wanita itu dengan tergopoh membalas penghormatan Cian Hui dan si baju hijau menjawab dengan tersipu. “Harap jangan membikin malu kepada kami. Kami telah gagal membantumu dan masih baik bahwa nona kami tidak marah kepada kami!”
Liong-li tersenyum memandang kepada tamunya. “Cian Ciang-kun, maafkan para pembantuku yang tidak mampu membebaskanmu. Marilah kita bicara di dalam. Kalian kenalilah baik-baik. Tamu kita ini adalah Cian Ciang-kun, seorang perwira tinggi komandan pasukan keamanan dari kotaraja yang berkedudukan tinggi!”
“Cian Ciang-kun...!” sembilan orang wanita cantik itu memberi hormat dan suara mereka seperti sekumpulan burung yang berkicau merdu.
“Ah, nona-nona yang cantik dan gagah, harap jangan sungkan,” Perwira itu membalas penghormatan mereka.
Ketika dibawa memasuki rumah itu, diam-diam Cian Hui menjadi semakin kagum dan juga semakin yakin bahwa nona rumah tentu kaya raya. Perabot rumah yang terdapat di situ semuanya indah dan mahal. Dindingnya dihias lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah yang dibuat oleh para seniman yang terkenal, tentu amat mahal. Lantainya ditilami permadani yang tebal. Sutera-sutera halus beraneka warna bergantungan menambah cerah dan indahnya keadaan dalam ruangan-ruangan di situ.
Liong-li mempersilakan tamunya memasuki ruangan yang luas, yang letaknya di bagian belakang. Ruangan ini luas dan kosong dan di sudut ruangan terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan segala macam senjata yang kelihatan bermutu tinggi, beberapa buah kursi dan sebuah meja panjang berada di sudut pula sehingga ruangan itu nampak luas dan mudah diketahui bahwa ruangan ini tentulah semacam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang indah. Banyak terdapat jendela di situ sehingga hawanya sejuk dan nyaman karena jendela-jendela itu menembus ke sebuah taman bunga di belakang.
Ternyata bahwa rumah mungil itu dikelilingi taman bunga! Pekarangan di depan sudah merupakan taman, di belakang, kanan dan kiri juga merupakan taman yang penuh bunga beraneka warna! Bahkan di taman belakang yang luas itu terdapat pula pondok-pondok kecil mungil tempat peristirahatan. Tempat yang indah ini dikelilingi dinding yang tinggi dan di atas dinding dipasangi tombak-tombak runcing sehingga sukar bagi orang luar untuk masuk melalui dinding pagar itu.
“Silakan duduk, Cian Ciang-kun. Di sini kita dapat bicara dengan leluasa dan tidak akan terdengar orang lain,” kata Liong-li setelah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan tugas mereka. Tanpa dijelaskan, sembilan orang gadis cantik itu sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Ada yang berjaga di sekitar luar ruangan itu, ada yang sibuk di dapur untuk mempersiapkan hidangan untuk nona majikan mereka dan tamunya.
Cian Hui menarik napas panjang. “Sudah lama aku mendengar nama besar Hek-liong-li, dan sekarang aku merasa kagum bukan main. Keadaan Li-hiap sungguh jauh melebihi apa yang pernah kudengar.”
“Hemm, jangan terlalu memuji, ciang-kun. Melebihi dalam hal apa?”
“Segala-galanya. Kelihaian, kecantikan, kekayaan Li-hiap!”
Liong-li tersenyum dan kedua pipinya menjadi kemerahan, tanda bahwa pujian itu mengena di hatinya. Diam-diam ia juga kagum dan girang sekali mendapat pujian seorang pria seperti yang duduk di depannya itu. Ia tahu benar bahwa pujian itu bukan sekedar rayuan, melainkan keluar dari hati yang jujur dan tulus.
“Sudahlah, Ciang-kun. Yang terpenting sekarang sebelum kita bicara, aku harus mengobati luka-lukamu lebih dulu.”
“Ah, luka-luka ini tidak seberapa, Li-hiap. Aku dahulu pernah menjadi seorang perwira perang sehingga luka-luka bagiku sudah biasa...”
“Akan tetapi luka-lukamu itu harus cepat diobati, kalau tidak, berbahaya dan dapat menjadi semakin parah. Apa lagi diingat bahwa yang melukaimu adalah penjahat-penjahat yang mungkin mempergunakan senjata kotor atau beracun. Mari, kau rebahlah di atas lantai, akan kuperiksa, ciangkun!” kata Liong-li dan di dalam suaranya terkandung perintah yang berwibawa.
Diam-diam Cian Hui merasa heran sekali mengapa dia merasa seperti mendengar perintah atasannya yang tidak mungkin dapat dibantah lagi! Dia lalu bangkit dan melangkah ke sudut ruangan, merebahkan diri di atas lantai seperti yang diperintahkan Liong-li.
Liong-li bertepuk tangan dua kali. Seorang gadis berpakaian merah muncul. “Ang-cici (enci Merah), cepat ambilkan perabot dan obat untuk mengobati luka di tubuh Cian Ciang-kun!”
Gadis berpakaian merah itu mengangguk dan pergi. Liong-li lalu berlutut dekat Cian Hui dan dengan jari-jari tangan yang cekatan dan tidak ragu-ragu, ia merobek baju di bagian pundak, memeriksa luka di pundak perwira itu. Kemudian iapun merobek celana di bagian pinggul dan memeriksa luka di situ. Sementara itu, Enci Merah datang membawa sebuah panci terisi air panas dan perabot yang berupa gunting, pisau kecil, juga kain putih bersih dan obat bubuk beberapa macam dalam bungkusan.
“Sekarang pergi dan suruh enci Biru mengambilkan satu stel pakaian luar dalam yang cocok untuk Cian Ciangkun!” kata Liong-li dan kembali gadis berpakaian merah itu mengangguk lalu keluar dari situ tanpa bicara. Nampaknya ia amat patuh dan menghormati Liong-li.
Kini Liong-li bekerja. Kedua tangannya amat cekatan, lembut namun juga tidak ragu- ragu, mencuci luka-luka itu dengan air panas, kemudian menaruhkan obat bubuk putih lalu menutupi luka itu dengan semacam obat tempel yang sudah dipanaskan. Selama pengobatan ini, Cian Hui tidak pernah mengeluarkan keluhan sedikitpun, padahal ketika dicuci terasa panas dan ketika dibersihkan terasa perih. Setelah diberi obat dan ditutup koyo, baru terasa nyaman.
Ketika merawat luka-luka itu, sepasang mata Liong-li hanya ditujukan dan dipusatkan kepada luka itu. Akan tetapi setelah ia selesai memberi pengobatan, barulah nampak olehnya betapa pundak dan dada perwira itu bidang dan kokoh kuat, sedangkan pinggulnya juga penuh otot melingkar dan menunjukkan kejantanan yang mengagumkan hatinya.
“Nah, bahayanya sudah lewat, Ciang-kun. Untung engkau memiliki tubuh yang sehat kuat dan darah yang bersih sehingga luka-luka itu akan cepat sembuh dan kering.”
Pada saat itu, seorang gadis berpakaian serba biru memasuki ruangan dan menyerahkan setumpuk pakaian kepada Liong-li, kemudian ia keluar lagi.
“Ini pakaian bersih, harap engkau suka berganti pakaian dulu, baru kita bicara, ciang-kun,” kata pula Liong-li dan wanita ini lalu bangkit dan berjalan menuju ke sebuah jendela yang terbuka, lalu berdiri di situ dan memandang keluar.
Cian Hui memandang kagum. Bukan main wanita ini, pikirnya dan di dalam hatinya timbul suatu kemesraan yang belum pernah dialaminya selama hidupnya. Rasa kagum dan haru menyelubungi hatinya. Seorang wanita yang matang, memiliki kecantikan yang hampir sempurna, ilmu kepandaian tinggi, sikap yang anggun dan berwibawa, kaya raya, cerdik jujur terbuka, tidak berpura-pura atau bersembunyi di balik kesopanan seperti para wanita pada umumnya. Wanita hebat!
Diapun mengusir semua perasaan sungkan, membuka pakaiannya dan berganti pakaian dalam dan luar. Pakaiannya yang kotor dan robek-robek itu dia gulung dan letakkan di sudut ruangan. Pakaian yang dipakainya itu bersih dan baru, terbuat dari sutera berwarna biru, cocok sekali dengan bentuk tubuhnya sehingga dia merasa heran. Bahkan dia menjadi semakin heran ketika merasakan betapa ada sesuatu yang tidak nyaman terasa di hatinya ketika dia membayangkan bahwa mungkin ada seorang pria kawan dekat wanita hebat ini, pemilik pakaian yang kini dipakainya itu.
Tanpa menengokpun Liong-li maklum bahwa Cian Ciang-kun telah selesai berpakaian. Ia memiliki pendengaran yang amat tajam sehingga ia dapat menangkap gerakan pria itu ketika berpakaian dan selesai. Maka iapun membalikkan tubuhnya memandang dan ada pancaran kagum dalam sinar matanya memandang kepada Cian Hui yang memang nampak ganteng dan gagah dalam pakaian barunya itu.
“Engkau pantas sekali memakai pakaian itu, Ciang-kun!” ia memuji jujur sambil tersenyum.
Cian Hui mengangkat kedua tangan depan dada, memberi hormat, “Li-hiap, terima kasih atas segala kebaikanmu. Sungguh membuat aku merasa sungkan, telah mengganggumu, menganggu pemilik pakaian ini. Aku harus menghaturkan terima kasih kepada pemilik pakaian yang kupinjam ini.”
“Itu pakaianku!”
“Tapi, ini pakaian pria dan ukurannya besar.”
Liong-li tersenyum manis sekali. “Ciang-kun, di sini aku memiliki segala macam pakaian. Memang kusediakan kalau-kalau aku membutuhkannya. Ada pakaian kanak-kanak segala umur, laki dan perempuan, ada pakaian pria dan wanita segala umur dan segala ukuran. Enci biru yang mengurus tentang pakaian itu. Maka, jangan khawatir, dan pakaian itu bukan kupinjamkan, biar kau pakai saja, Ciang-kun. Nah, mari kita bicara. Aku ingin mendengar tentang keributan dan pembunuhan di kota raja itu.”
Cian Hui menghela napas dan semakin kagum. Wanita yang hebat! Diapun mulai bercerita tentang peristiwa yang terjadi di kota raja, khususnya di antara para pejabat tinggi dan di istana. “Aku menerima tugas istimewa dari Sri baginda Kaisar sendiri untuk menyelidiki dan membongkar rahasia pembunuhan ini, Li-hiap. Akan tetapi aku menemui jalan buntu dan tidak berhasil, maka aku teringat kepadamu yang sudah kudengar sebagai seorang pendekar wanita yang sakti. Aku mohon bantuanmu, karena kiranya hanya engkaulah yang akan mampu menandingi mereka yang berdiri di belakang layar dan yang mengatur pembunuhan-pembunuhan itu.”
Cian Hui lalu menceritakan betapa selama dua bulan ini, di kota raja terjadi geger karena terjadinya pembunuhan-pembunuhan yang penuh rahasia. Yang menjadi korban pembunuhan adalah para pejabat tinggi yang mempunyai kedudukan tinggi dan penting dalam pemerintahan. Juga beberapa orang pangeran yang dekat dengan kaisar telah menjadi korban pembunuhan pula.
Cara pembunuhan itu dilakukan penuh rahasia, para korban adalah pejabat tinggi yang selalu dikawal pasukan pengawal. Rumah mereka siang malam dijaga pasukan pengawal. Akan tetapi tetap saja pada suatu pagi mereka ditemukan sudah tewas dengan leher putus dalam kamar mereka, bersama siapa saja yang kebetulan sekamar dengan mereka malam itu.
“Yang paling hebat terjadi dua minggu yang lalu, li-hiap. Seorang panglima telah terbunuh dalam kamarnya, padahal kamar itu berada di dalam benteng! Bayangkan saja, pembunuh itu dapat memasuki benteng dan dapat membunuh Panglima Cu di kamarnya, padahal panglima itu adalah seorang yang memiliki ilmu silat tinggi! Dan dua orang selirnya yang tidur bersamanya juga wanita-wanita yang lihai, akan tetapi mereka bertiga tewas dengan leher putus dalam kamar itu!” Perwira itu kembali menarik napas panjang. “Sungguh merupakan tugas berat bagiku, maka aku berusaha untuk mohon bantuanmu.”
Liong-li mendengarkan dengan tekun dan sabar, tak pernah mengganggu dan setelah perwira itu berhenti bercerita, baru ia membuat gerakan, tangan kirinya diangkat ke arah kepalanya dan iapun memegangi dahinya dengan alis berkerut. Ini menandakan bahwa wanita cantik itu sedang memutar otaknya! Kedua matanya terpejam dan Cian Hui hanya memandang, tidak berani mengganggu dan dia hanya memandang dengan hati tertarik. Dia seolah-olah dapat melihat betapa isi dari kepala yang bagus bentuknya, yang dihias rambut hitam lebat itu, sedang bekerja dengan ajaib.
Tiba-tiba sepasang mata itu terbuka dan menatap kepadanya, membuat Cian Hui seperti silau karena sepasang mata itu kini mencorong! “Cian Ciang-kun, apa yang kau peroleh dari hasil penyelidikanmu? Apakah semua pembunuhan itu terjadi tanpa adanya seorang pun saksi yang melihat sesuatu yang mencurigakan?”
“Setiap terjadi pembunuhan, aku segera menyelidiki sendiri dan sudah kucari keterangan. Akan tetapi tidak pernah ada orang lain melihat pembunuh itu, hanya ada dua orang, di tempat yang berlainan melihat bayangan iblis...” perwira itu berhenti dan kelihatan ragu-ragu.
“Bayangan Iblis? Apa maksudmu, Ciang-kun?”
“Ketika Pangeran Cun dibunuh sebulan yang lalu, dan seorang pejabat tinggi, Menteri Pajak dibunuh seminggu kemudian, ada orang yang melihat bayangan iblis. Bayangan itu bentuknya seperti tubuh orang yang memiliki sepasang tanduk di kepalanya. Akan tetapi hanya bayangannya saja yang nampak di atas dinding putih, itupun hanya sebentar karena bayangan itu segera lenyap. Mungkin hanya khayal orang yang ketakutan dan tahyul, Li-hiap. Betapapun juga, berita itu membuat orang ramai menyebut pembunuh itu Si Bayangan Iblis! Akan tetapi, belum pernah ada yang melihatnya, dan semua penyelidikanku menemui kegagalan dan jalan buntu. Aku tidak pernah dapat menemukan jejak, bahkan aku tidak tahu apa yang menjadi sebab dari semua pembunuhan itu.”
“Dan engkau lalu mencariku dari kota raja ke sini, dan di tengah perjalanan engkau dihadang perampok? Coba ceritakan tentang peristiwa perampokan terhadap dirimu, ciang-kun. Mungkin kita dapat menemukan jejak dari situ.”
“Aku juga merasa yakin bahwa ada hubungan yang erat antara semua peristiwa di kota raja itu dengan usaha penculikan yang dilakukan terhadap diriku. Namun sayang, jejak itu terhapus dengan kematian semua penjahat itu.”
Cian Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya, betapa tadinya belasan orang penjahat itu hendak merampok kudanya, kemudian muncul dua orang berkedok yang lihai itu sehingga dia tertawan. Betapa kemudian muncul nona baju hijau dan nona baju kuning yang berusaha menolongnya, namun mereka berduapun kewalahan menandingi dua orang berkedok hitam sehingga mereka melarikan diri.
“Kemudian, ketika aku hendak diculik dan dibawa pergi dengan kereta, engkau muncul, Li-hiap.”
“Itulah yang kusayangkan!” seru Liong-li. “Kalau saja aku tahu bahwa engkau seorang penyelidik, bahwa semua itu ada hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan di kota raja, tentu aku tidak tergesa-gesa turun tangan dan membiarkan engkau mereka bawa pergi. Dengan demikian, setidaknya ada harapan untuk dapat menemukan jejak mereka.”
Cian Hui mengangguk-angguk. “Engkau benar. Akupun berpikiran demikian, akan tetapi bukan berarti bahwa aku tidak berterima kasih telah kau tolong dan kau bebaskan.”
“Semua sudah terlanjur. Kita harus mulai dari pertama, yaitu tanpa adanya jejak.”
“Kita? Apakah ini berarti bahwa engkau sudi untuk membantuku dan hendak menyelidiki peristiwa ini? Ah, kalau begitu terima kasih banyak Li-hiap, sungguh aku merasa gembira sekali dan bersyukur!” Perwira itu lalu memberi hormat untuk menyatakan terima kasihnya.
“Tidak perlu berterima kasih, ciang-kun. Aku sudah terlibat di dalamnya, tanpa kau minta sekalipun aku harus membongkar rahasia ini. Nah, sekarang aku ingin tahu, apakah ada persamaan antara mereka yang telah menjadi korban pembunuhan-pembunuhan di kota raja itu?”
“Persamaan bagaimana maksudmu, Li-hiap?”
“Persamaan di antara para korban itu, ciri khas atau sikap yang sama atau mungkin ada pertalian atau hubungan di antara mereka...”
“Ah, benar juga...! Kenapa aku tidak ingat akan hal itu sebelumnya? Para korban itu kesemuanya dekat dengan Sribaginda Kaisar! Pangeran-pangeran yang terbunuh adalah kesayangan kaisar, dan para menteri yang menjadi kurban juga merupakan menteri-menteri yang setia. Itulah persamaan antara mereka.”
“Hemm, itu yang kucari, Ciang-kun. Kalau begitu, tentu ada komplotan yang diam-diam memusuhi kaisar, atau setidaknya ingin melihat kaisar menjadi lemah, maka mereka yang dekat dengan kaisar dan dianggap penghalang, disingkirkan satu demi satu. Dan jelas ada hubungannya antara semua pembunuhan itu dengan usaha penculikan terhadap dirimu. Karena engkau merupakan petugas dari kaisar untuk menyelidiki rahasia ini, maka engkau akan diculik.”
“Akan tetapi mengapa tidak mereka bunuh saja? Mengapa mereka harus menculikku? Dan dibawa ke kota raja pula?”
Liong-li menatap wajah perwira itu dengan tajam dan mulutnya tersenyum manis. “Ciang-kun, harap engkau jangan berlagak bodoh. Aku yakin bahwa engkau yang sudah dipercaya oleh Sribaginda untuk melakukan penyelidikan dan membongkar rahasia ini, tentu memiliki kecerdikan tinggi. Mustahil engkau tidak dapat menduga apa sebabnya mereka tidak membunuhmu.”
Cian Ciang-kun juga tersenyum. Memang dia tadi berpura-pura, untuk menguji kecerdikan wanita cantik jelita itu, akan tetapi, ternyata permainan sandiwaranya ketahuan! “Baiklah, memang aku sudah mempunyai dugaan. Akan tetapi aku ingin sekali mendengar pendapatmu, li-hiap. Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Alasannya mudah diduga, hanya yang sukar adalah menemukan siapa sesungguhnya yang berdiri di belakang semua ini. Mereka tidak membunuhmu, melainkan hendak menculikmu, tentu mereka itu, pemimpin mereka, ingin lebih dahulu mengorek pengakuanmu sampai sejauh mana hasil penyelidikanmu, Ciang-kun. Mereka khawatir kalau-kalau penyelidikanmu sudah sedemikian jauhnya sehingga rahasia mereka terancam. Dan mereka hendak membawamu kota raja seperti pengakuan anggauta perampok itu. Hal ini menunjukkan bahwa pimpinan komplotan itu tentu berada di kota raja!”
Cian Ciang-kun mengangguk-angguk kagum. “Engkau hebat, Li-hiap! Memang tepat sekali, demikianlah pula pendapatku. Dan tentu di kota raja itu telah menanti Si Bayangan Iblis!”
Liong-li mengangguk. “Besar kemungkinannya demikian. Yang disebut Si Bayangan Iblis itu tak mungkin seorang di antara dua orang berkedok itu. Tentu lebih lihai. Akan tetapi, aku mempunyai perhitungan bahwa Si Bayangan Iblis itupun hanya alat saja, masih ada yang berdiri di belakang layar, yang mengemudikan semua ini.”
Perwira itu nampak termangu-mangu, dan dia meraba-raba dagunya yang halus karena dia mencukur rambut pada dagu dan mukanya, tidak berkumis atau berjenggot. “Hal itulah yang aneh, Li-hiap. Aku memiliki jaringan penyelidik yang banyak, kuat dan terampil. Aku mengenal dan mengetahui benar keadaan di kota raja, mengenal hampir semua pejabat dan mengetahui keadaan mereka, bahkan rahasia dan keadaan rumah tangga mereka. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan di antara mereka, tentu aku mengetahuinya! Agaknya mustahil kalau yang mengemudikan semua komplotan itu tinggal di kota raja dan lolos dari pengamatan orang-orangku.”
“Bagaimana kalau mereka bersembunyi di dalam istana? Apakah pengamatanmu juga sampai menembus dinding istana, Cian Ciang-kun?”
Pertanyaan ini membuat perwira itu terbelalak, terkejut dan heran. Dia menggeleng kepala. “Memang tidak sampai ke sana, akan tetapi... ah, bagaimana mungkin... musuh berbahaya itu bersembunyi di dalam istana? Wah, kalau begitu, keselamatan Sribaginda dalam bahaya!”
Liong-li menggeleng kepala. “Belum tentu demikian, Ciang-kun. Menurut pendapatku, komplotan itu mempunyai sasaran yang lebih luas dari pada sekedar membunuh Sribaginda Kaisar. Kalau memang itu sasarannya, tentu telah terjadi serangan atas diri beliau. Melihat betapa yang dibunuh adalah pejabat-pejabat dan bangsawan-bangsawan yang dekat dengan Sribaginda, aku lebih condong menduga bahwa pelakunya atau pimpinannya menghendaki kelemahan kedudukan Sribaginda Kaisar dan melenyapkan mereka yang memiliki kekuasaan. Ini membuat aku menduga bahwa tentu dia bermaksud menonjolkan diri atau memperbesar kekuasaannya sendiri.”
Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya dan dia mengangguk-angguk. Dia dapat melihat kemungkinan-kemungkinan terjadinya semua yang dikemukakan wanita itu dan hatinya merasa gelisah sekali. “Ah, kalau benar demikian, Li-hiap, maka itu adalah permainan tingkat tinggi dan aku sama sekali tidak berdaya dan tidak memiliki kekuasaan untuk dapat mencampuri urusan yang menyangkut pribadi atau kekuasaan Sribaginda Kaisar.”
“Apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau tidak mungkin dapat melakukan penyelidikan ke dalam istana?”
“Benar, Li-hiap. Aku adalah seorang panglima pasukan keamanan yang bertugas menumpas para penjahat di luar istana, mencegah terjadinya kejahatan, akan tetapi kekuasaanku terbatas dan aku tidak mungkin dapat memasuki istana tanpa ijin dari Sribaginda Kaisar. Di istana terdapat pasukan pengawal yang terbagi pula sebagai pasukan luar istana, pasukan pengawal Sribaginda, dan pasukan pengawal Thai-kam yang bertugas menjaga keamanan di bagian paling dalam di istana, sampai ke bagian puteri. Aku hanya bertugas memimpin pasukan keamanan yang bertugas mengamankan kota raja dan sekitarnya. Tugasku yang kuterima dari Sribaginda adalah mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan terhadap para pejabat tinggi itu, yang terjadi di luar istana. Dan selama ini memang tidak pernah terjadi pembunuhan terhadap seorang penghuni istana maka tidak ada alasan bagiku untuk minta ijin Sribaginda memasuki istana! Tentu saja ada kecualinya, yaitu kalau memang sudah terdapat bukti bahwa komplotan pembunuh itu berada, di dalam istana.”
Liong-li masih mengerutkan alisnya dan sampai lama mereka berdua berdiam diri. Wanita itu memejamkan mata dan melihat keadaannya, Cian Ciang-kun tidak berani mengganggu. Dia sendiri memikirkan kemungkinan terjadinya hal seperti yang dikemukakan wanita perkasa ini dan diapun merasa ngeri. Kalau benar ada komplotan yang bersembunyi di dalam istana, sungguh berbahaya sekali!
Tentu saja dia dapat bicara dengan para panglima pasukan yang bertugas di luar dan dalam istana, namun paling banyak dia hanya minta agar mereka itu berhati-hati dan melakukan penyelidikan akan kemungkinan itu. Kepala pengawal Thai-kam tak mungkin dapat bicara karena kepala pengawal Thai-kam itu menganggap kedudukannya terlalu tinggi untuk dapat dihubungi oleh seorang panglima pasukan keamanan seperti dia!
Tiba-tiba Liong-li menepuk pahanya sendiri dan terkejutlah Cian Ciang-kun yang sedang melamun. Dia mengangkat muka memandang dan melihat betapa wajah yang cantik itu kemerahan dan matanya bersinar-sinar. “Dapat, Ciang-kun!” seru wanita itu dan ia tersenyum lebar sehingga deretan gigi yang putih seperti mutiara nampak berkilau.
“Eh, apa maksudmu, Li-hiap?”
“Kita harus bekerja sama. Engkau dari luar dan aku dari dalam!”
“Maksudmu, engkau akan menyelundup ke dalam istana?” tanya panglima yang cerdik itu.
Liong-li mengangguk. “Hanya itulah jalannya. Engkau menyelidiki dari luar, mengamati gerak-gerik semua pejabat tinggi termasuk mereka yang memimpin keamanan di lingkungan istana. Aku sendiri harus dapat menyusup ke dalam istana, dan hal ini tentu saja baru mungkin terjadi kalau engkau membantuku. Dapat saja aku diselundupkan ke istana, atau akan lebih mudah bagiku untuk menyelidik kalau aku dapat menjadi penghuni istana sebagai dayang atau pelayan...”
“Ah, tidak mungkin seorang seperti engkau ini menjadi pelayan di sana, Li-hiap!” kata Cian Ciang-kun.
Kedua pipi itu menjadi semakin merah. “Kau anggap aku... terlalu tua dan buruk rupa...?”
“Siapa berkata begitu, Li-hiap? Sama sekali sebaliknya malah! Engkau terlalu cantik jelita dan...”
“Kalau terlalu baik untuk menjadi pelayan, dapat dimasukkan sebagai dayang... tentu saja kalau aku tidak dianggap terlalu tua untuk itu.”
“Terlalu tua sih tidak, terlalu dewasa mungkin karena para dayang itu memang biasanya masih remaja, akan tetapi yang jelas terlalu... cantik jelita...”
“Ihh, kita bicara serius, jangan engkau merayu, Ciang-kun!” kata Liong-li dan wajah perwira itu menjadi merah.
“Maaf, bukan maksudku untuk memuji kosong, Li-hiap, melainkan akupun bicara sesungguhnya. Kalau engkau berada di dalam istana bagian puteri, engkau sepantasnya menjadi puteri atau selir Sribaginda. Maaf, bukan maksudku menghina...”
“Sudahlah, terserah kepadamu, asal aku dapat diselundupkan ke dalam istana, untuk beberapa hari saja sehingga aku mendapatkan peluang untuk melakukan penyelidikan dan pengamatan, apa lagi di waktu malam. Kalau memang komplotan itu bergerak dari dalam istana, tentu aku akan dapat memergoki mereka. Kalau engkau tidak merayu dan berkata sebenarnya, aku dapat melakukan sedikit penyamaran agar pantas menjadi seorang dayang. Coba kau tunggu sebentar, Ciang-kun!”
Ia bertepuk tangan dan muncullah seorang gadis berpakaian coklat. Ia muncul cepat dan berdiri di depan Liong-li dengan sikap hormat dan siap melakukan segala perintah.
“Ambil perlengkapan penyamaran ke sini. Cepat!”
Tak lama kemudian, gadis baju coklat itu kembali membawa peti hitam yang terukir indah. Baru petinya itu saja sudah merupakan sebuah benda antik yang mahal harganya, pikir Cian Ciang-kun yang sudah duduk sambil mengamati dengan hati tertarik. Liong-li, tanpa bicara membuka tutup peti setelah si baju coklat meninggalkan ruangan itu dan iapun mengambil botol-botol dan alat-alat seperti alat kecantikan.
Hanya sebentar ia bercermin sambil menata wajahnya dan sepuluh menit kemudian, Cian Ciang-kun sudah berhadapan dengan seorang wanita yang sama sekali berbeda dengan wajah Liong-li! Memang masih manis, akan tetapi tidak secantik dan seanggun tadi! Wajah seorang gadis dusun yang manis dan tidak terlalu menyolok.
“Bagaimana, Ciang-kun? Bukankah sudah pantas kalau aku mengaku sebagai seorang gadis dusun dan cocok untuk menjadi seorang pelayan atau seorang dayang di istana?”
Cian Ciang-kun bengong. Bahkan suara wanita ini berubah sama sekali! Tidak halus merdu lembut seperti tadi, melainkan suara sederhana yang hanya pantas menjadi suara seorang gadis pedusunan yang kurang pendidikan dan biasa hidup sederhana. Akhirnya dia tertawa bergelak saking kagum dan girangnya.
“Ha-ha-ha, engkau seorang wanita hebat, Li-hiap! Tadi aku masih ragu-ragu dan khawatir kalau-kalau engkau akan dikenal sebagai Hek-liong-li setelah berada di dalam istana dan keselamatanmu terancam. Akan tetapi dengan penyamaran yang sempurna, kuyakin takkan ada seorangpun yang tahu bahwa engkau adalah Hek-liong-li. Baiklah, mari kita ke kota raja dan di sana aku akan menghubungi rekan-rekanku dan mendengar kalau-kalau istana membutuhkan pembantu puteri baru sehingga engkau dapat diselundupkan ke dalam. Engkau tahu, biasanya, kalau istana membutuhkan dayang atau pembantu baru, kesempatan itu dipergunakan oleh para Thai-kam untuk menerima uang sogokan. Siapa yang paling berani mengeluarkan uang sogokan, maka dialah yang akan diterima.”
“Bagus! Tentang uang sogokan, jangan khawatir. Berapa saja mereka minta akan kubayar!” kata Liong-li gembira.
Merekapun berangkat pada hari itu juga, tentu saja tidak mengendarai kereta rampasan tadi karena hal itu tentu akan diketahui pihak lawan. Mereka menggunakan kereta lain dan dengan menyamar, tak seorangpun menyangka bahwa wanita nenek tua yang bersama Cian Ciang-kun memasuki kota raja itu adalah Hek-liong-li yang amat terkenal!
********************
Sebelum kita mengikuti perjalanan Liong-li dan cara bagaimana ia akan menyelundup masuk ke dalam istana, sebaiknya kita mengenali lebih dahulu keadaan Kaisar Kao Cung dengan istananya yang megah. Pada waktu itu (sekitar tahun 669), Kaisar Kao Cung adalah seorang pria berusia kurang lebih empat puluh sembilan tahun. Seorang pria yang sebetulnya bertubuh tinggi tegap dan kuat.
Akan tetapi sungguh sayang, karena dia terlalu mengumbar nafsu berahinya, terlalu membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan dan rayuan para wanita cantik yang memenuhi haremnya, maka dalam usia empat puluh sembilan tahun saja dia sudah nampak tua dan loyo. Kaisar Kao Cung sesungguhnya baik budi dan ramah, memiliki kebijaksanaan.
Namun sayang, karena terlalu membiarkan diri tenggelam dalam kesenangan, dia menjadi lemah dan malas. Dia tidak bersemangat lagi untuk mengurus tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin negara. Siang malam dia hanya bersenang-senang bersama para selirnya dan para dayang, dan dia dapat dibilang menyerahkan segala kekuasaannya dan membiarkan permaisurinya yang mengurus semua tugasnya!
Dan memang harus diakui bahwa permaisurinya adalah seorang wanita yang bukan main cerdasnya, seorang wanita yang selain memiliki kecantikan luar biasa, juga memiliki otak yang tajam dan hati yang keras, ambisius dan penuh semangat! Bahkan dapat dibilang permaisuri inilah yang pada delapan tahun yang lalu, membakar semangat suaminya yang menjadi kaisar itu untuk mengerahkan bala tentara sekuatnya dan menyerang Korea.
Sejak puluhan tahun yang lalu, ketika Kerajaan Tang belum berdiri, yaitu Kerajaan Sui masih berkuasa di China, kaisar-kaisar telah berusaha menundukkan Korea. Bahkan ayah dari Kaisar Kao Cung sendiri, yaitu Kaisar Thai Cung yang amat terkenal sebagai pendekar bangsa dan pendiri Kerajaan Tang, selalu gagal dalam usahanya menalukkan Korea.
Akan tetapi, berkat siasat dan semangat permaisuri Kao Cung, maka Kaisar Kao Cung akhirnya berhasil menundukkan dan menalukkan Korea yang telah dibantu oleh Bangsa Jepang. Semenjak itulah, Kaisar Kao Cung yakin akan kemampuan permaisurinya dan dia pun menyerahkan hampir segala urusan pemerintahan ke tangan permaisurinya itu...