SEPASANG mata perwira itu terbelalak. “Be... benarkah itu, li-hiap? Benarkah kata-katamu itu? Aduh, kalau saja engkau suka dan mau, ah, kalau saja engkau dapat hidup di rumahku ini sebagai teman hidupku selamanya, sebagai isteriku, akan sempurnalah hidup ini!”
“Huh, melantur kau, Ciang-kun! Aku tidak mau terikat menjadi isteri siapapun, kalau menjadi teman baik sekali mungkin... akan tetapi sudahlah, kelak saja kita bicara tentang urusan pribadi. Kita menghadapi tugas penting yang harus kita selesaikan. Nah, sekarang engkau harus mencarikan jalan bagiku agar aku dapat menyelundup ke dalam istana sebagai seorang gadis dusun yang menjadi seorang dayang, pelayan atau apa saja, Ciang-kun.”
Cian Hui menarik napas panjang. Hatinya dipenuhi harapan muluk! Kalau saja wanita ini dapat menjadi isterinya! Liong-li telah, berterus terang mengatakan bahwa ia kagum dan suka kepadanya, dan suka pula menjadi teman baiknya. Seorang wanita yang bukan main! Hebat!
“Baiklah, li-hiap. Aku akan menghubungi sahabatku yang boleh dipercaya dan yang bertugas di dalam istana agar engkau dapat diselundupkan di sana. Hal itu mungkin akan makan waktu dua-tiga hari dan sementara itu, harap engkau suka tinggal dulu di sini. Selama aku pergi, anggaplah ini rumahmu sendiri, li-hiap. Tiga orang pelayanku akan kupesan agar mereka mentaati semua perintahmu.”
“Tidak perlu sungkan, Ciang-kun. Asal aku mendapatkan sebuah kamar di sini sudahlah cukup dan tiga orang pelayanmu bahkan jangan mendatangi kamarku kalau tidak kupanggil. Kalau aku membutuhkan sesuatu, aku akan memanggil seorang di antara mereka. Akupun tidak bisa tinggal diam saja. Selagi engkau mencari hubungan dengan orang dalam istana itu, akupun akan menggunakan waktu dua tiga hari ini untuk melakukan penyelidikan, terutama di waktu malam, dengan jalan meronda. Siapa tahu aku akan dapat bertemu dengan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis)!”
Cian Hui mengangguk-angguk. “Baiklah, Li-hiap, akan tetapi harap engkau berhati-hati karena menurut berita yang kuperoleh, Si Bayangan Iblis itu lihai bukan main dan dapat bergerak seperti iblis saking cepatnya.”
Malam hari itu, setelah cuaca gelap sesosok bayangan hitam berkelebat di atas wuwungan rumah gedung tempat tinggal Cian Ciang-kun. Tiga orang pelayan perwira itu sama sekali tidak melihat bayangan itu, tidak tahu bahwa bayangan itu adalah bayangan “nenek” yang menjadi tamu tuan mereka.
Memang Liong-li tidak ingin ada orang melihatnya ketika ia mulai melakukan penyelidikan di kota raja. Ia mengenakan pakaian serba hitam dan sengaja menutup mukanya dengan saputangan hitam, hanya nampak sepasang matanya saja yang jeli mencorong tajam. Rambutnya juga ditutup kain hitam, bahkan pedang pusaka Hek-liong-kiam yang biasanya tidak pernah berpisah darinya, pada saat itupun tidak dibawanya dan disembunyikan di suatu tempat yang aman.
Hal ini menunjukkan bahwa Liong-li tidak ingin ada orang mengetahui bahwa si topeng hitam itu adalah Hek-liong-li! Hal ini penting sekali. Ia akan menyelundup ke dalam istana dan biarpun ia menyelundup sambil menyamar, akan tetapi siapa tahu pihak lawan bermata tajam dan lihai. Pendeknya, jangan sampai lawan mengetahui bahwa yang kini sedang bergerak di kota raja membantu Cian Ciang-kun adalah Hek-liong-li. Bergerak secara rahasia begini ia akan dapat merasa lebih leluasa.
Setelah berhasil keluar dari rumah besar itu, tubuhnya berkelebat dengan cepatnya menembus kegelapan malam dan kalau tidak kebetulan ada orang lain yang berada di dekatnya, tentu tidak akan nampak jelas bayangan hitam yang berkelebatan itu. Dan mungkin saja ia yang akan dikira tokoh yang biasa diberi sebutan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) karena memang gerakannya itu seperti beterbangan saja saking cepatnya. Dan iapun tidak melalui jalan yang ramai, melainkan menyelinap dan menyusup di balik pohon dan rumah, kadang-kadang kalau terpaksa melalui bagian yang ramai ia melompat ke atas wuwungan rumah dan berloncatan dari genteng rumah yang satu ke rumah yang lain.
Demikianlah, semalam itu Liong-li melakukan perondaan. Ia melihat betapa banyaknya orang yang berkeliaran secara rahasia, maka iapun kagum melihat cara Cian Ciang-kun bekerja. Tidak salah lagi, orang-orang yang berkeliaran dan berjaga-jaga di segala tempat itu, tentulah anak buah yang disebar oleh Cian Ciang-kun!
Ia telah mendekati pula tembok pagar istana yang dijaga ketat. Alangkah kuatnya penjagaan di sana dan seekor burungpun kalau terbang lewat akan ketahuan penjaga, apa lagi seorang manusia. Agaknya, tidak akan mungkin kalau ia harus memasuki kompleks istana di balik pagar itu tanpa diketahui penjaga. Ia hanya mengelilingi kompleks istana itu dari luar pagar tembok. Hal inipun harus ia lakukan dengan hati-hati sekali karena di luar pagar tembokpun penjagaan amat ketatnya.
Tidak ada terjadi sesuatu yang menarik malam itu. Kecuali memergoki beberapa orang yang mencurigakan dan ketika ia bayangi ternyata mereka itu hanyalah maling-maling biasa yang mencari korban di malam itu, dan yang ia biarkan saja karena tidak ada hubungannya dengan tugasnya, ia tidak melihat sesuatu yang dapat dihubungkan dengan Kwi-eng-cu. Dengan hati agak kecewa dan penasaran, menjelang pagi Liong-li kembali ke rumah Cian Ciang-kun dan memasuki kamarnya tanpa diketahui tiga orang pelayan. Iapun tidak tahu apakah Cian Hui sudah berada di dalam kamarnya.
Pada siang harinya Liong-li keluar dari dalam kamarnya. Ia telah mandi dan makan sarapan pagi yang ia minta dari seorang pelayan wanita. Mendengar suaranya, Cian Ciang-kun segera datang menemuinya. Perwira itupun kelihatan lelah seperti orang yang kurang tidur. Begitu bertemu, Cian Hui mempersilakan Liong-li duduk dan mereka bercakap-cakap di ruangan dalam setelah pelayan menghidangkan minuman dan mengundurkan diri tanpa diperintah.
“Bagaimana hasil penyelidikanmu semalam, li-hiap?”
Liong-li mengangkat muka, sepasang mata yang tajam di balik penyamaran wajah nenek keriput itu menatap wajah Cian Hui penuh selidik. “Engkau tahu bahwa aku semalam meninggalkan kamarku, Ciang-kun?”
Cian Hui tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Sebelum engkau pergi, aku telah lebih dahulu meninggalkan rumah, dan tiga orang pelayanku sama sekali tidak melihat engkau pergi. Akan tetapi, ada seorang di antara orang-orangku yang bertugas jaga dan meronda malam tadi, melihat berkelebatnya bayangan hitam. Dia melapor kepadaku dan akupun menduga bahwa bayangan itu tentu engkau.”
“Kenapa aku? Bukankah mungkin bayangan itu adalah Si Bayangan Iblis?”
“Sudah kuceritakan kepadamu, li-hiap, bahwa Si Bayangan Iblis itu merupakan bayangan yang menakutkan tinggi besar dan juga di kepalanya ada dua tanduk! Akan tetapi, pembantuku yang melapor tadi mengatakan hahwa bayangan hitam itu hanya berkelebat cepat, akan tetapi jelas kepalanya tidak bertanduk dan juga tubuhnya ramping. Karena engkau kemarin sudah memberitahu kepadaku bahwa malam ini engkau hendak melakukan penyelidikan, maka tentu saja mudah bagiku untuk mengambil kesimpulan bahwa engkaulah bayangan itu. Tidak benarkah dugaanku, li-hiap?”
Liong-li mengangguk. “Aku melihat orang-orangmu itu, Cian Ciang-kun. Suatu usaha penjagaan yang cukup ketat dan baik. Akan tetapi aku melihat betapa di sekeliling tembok istana tidak terdapat orangmu yang berjaga melakukan pengamatan, Ciang-kun.”
Cian Hui menarik napas panjang dengan wajah kesal. “Tadinya memang ada kutaruh orang-orang di sekeliling istana, li-hiap. Akan tetapi hanya satu malam saja karena pada kesokan harinya aku ditegur oleh panglima pasukan keamanan yang bertugas untuk menjaga bagian luar istana. Pengamatan orang-orangku itu membuatnya tersinggung, seolah-olah aku tidak percaya kepada pasukan yang dipimpinnya. Terpaksa aku menghentikan penjagaan di sekeliling istana, li-hiap.”
“Hemm, sungguh sulit sekali kalau keadaannya seperti itu. Biarpun tidak mungkin orang keluar masuk melompati pagar tembok istana tanpa diketahui penjaga, namun sangat besar kemungkinannya di beberapa tempat terdapat pintu rahasia dari mana orang dapat keluar masuk. Dan kalau benar terdapat pintu rahasia, maka seorang yang memiliki gerakan cepat dapat keluar masuk tanpa diketahui penjaga yang berjaga di atas tembok pagar itu. Semalam aku tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi malam ini aku akan melakukan penyelidikan lagi. Dan bagaimana dengan hasil yang kau dapatkan, Ciang-kun?”
“Sudah kuhubungi dan sahabatku itu sedang mengusahakan agar engkau dapat diselundupkan masuk sebagai seorang dayang baru, li-hiap. Dia harus lebih dulu menghubungi kepala Thai-kam dan beberapa orang pejabat yang berwenang mengurus hal itu. Paling cepat lusa baru engkau akan dapat memasuki istana.”
“Bagus, kalau begitu masih ada dua malam lagi untuk melakukan perondaan. Siapa tahu akan menemukan sesuatu. Sekarang aku minta agar engkau suka memperkenalkan nama dan keadaan orang-orang penting di dalam istana, juga aku ingin mengetahui orang-orang di luar istana yang sekiranya terancam bahaya pembunuhan Kwi-eng-cu, yaitu orang-orang yang dekat dengan kaisar. Siapa tahu, sewaktu aku meronda, orang-orang ini didatangi pembunuh.”
Dengan senang hati Cian Ciang-kun memperkenalkan nama para pejabat tinggi di dalam istana, dari Kaisar, Permaisuri, Putera Mahkota yang masih kecil, kepala Thai-kam yang ada beberapa orang komandan-komandan pasukan pengawal luar dan dalam istana, dan sebagainya lagi. Juga Cian Ciang-kun memceritakan kepada Liong-li tentang kekuasaan Permaisuri atas diri Kaisar, betapa Permaisuri itu yang sekarang memegang kendali pemerintahan, walaupun yang menandatangani semua keputusan masih kaisar. Juga perwira ini dengan hati-hati menceritakan desas-desus yang didengarnya tentang penyelewengan-penyelewengan gelap yang dilakukan permaisuri.
Liong-li mendengarkan semua itu dengan tenang dan tidak merasa heran. Sudah lama ia mengetahui akan kehidupan para wanita di dalam istana seorang kaisar yang memiliki puluhan, bahkan sampai ratusan orang wanita yang melayaninya. Tidak mengherankan kalau seorang permaisuri sampai melakukan penyelewengan gelap. Suaminya, sang kaisar melakukan penyelewengan secara berterang, bukan dengan hanya seorang dua orang wanita, bahkan dengan puluhan atau ratusan orang!
Betapapun juga, desas-desus itu dapat pula dicatat sebagai sesuatu yang penting karena siapa tahu, hal itu ada pula hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan misterius itu. Ia mencatat pula para pangeran dan puteri kaisar yang tinggal di dalam istana, wajah mereka, usia mereka, nama mereka. Ia harus menghafal semua itu karena ternyata jumlah nama yang harus dikenal dan dihafalnya, terdapat puluhan orang!
Sudah dapat ia bayangkan, betapa akan sukarnya menyelidiki orang sebanyak itu di dalam kompleks istana yang terjaga ketat. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir. Ia tidak akan mencari, melainkan akan memaksa dan memancing Si Bayangan Iblis untuk keluar dari tempat persembunyiannya dan memperkenalkan diri kepadanya!
Seperti malam pertama, pada malam kedua Liong-li melakukan perondaan, dan sekali ini tempat-tempat yang ia kunjungi sudah tertentu, yaitu tempat tinggal para pejabat tinggi yang oleh Cian Ciang-kun dianggap mungkin sekali didatangi Si Bayangan Iblis. Akan tetapi, malam itupun sunyi saja, dan agaknya Si Bayangan Iblis menghentikan pembunuhan-pembunuhan misterius itu untuk sementara. Apakah si Bayangan Iblis sudah tahu bahwa ada seorang wanita sakti sedang berkeliaran melacak jejaknya?
Namun, Hek-liong-li bukan seorang yang mudah putus asa. Pada malam ketiga, kembali ia melakukan perondaan. Tengah malam telah tiba ketika bayangannya berkelebat di dekat rumah gedung tempat tinggal Ciok Tai-jin, seorang pembantu Menteri bagian Pemungutan Pajak, seorang pejabat tinggi yang menurut keterangan Cian Ciang-kun, amatlah setia dan jujur, dan karena adanya Ciok Tai-jin inilah maka rakyat tidak dikenakan pajak semena-mena, juga yang berpenghasilan besar tidak mampu mengelak dari kewajiban membayar pajak.
Mereka yang bekerja di bawah Ciok Tai-jin, tidak ada yang berani menyelewengkan uang pajak, atau menerima suapan dari pedagang besar agar pajaknya diperkecil, atau menekan rakyat yang tak berdaya dengan gertakan-gertakan mengandalkan kedudukan dan kekuasaan mereka. Penyelewengan para pejabat dapat dilaksanakan dengan lancar dan baik, segala bentuk penyelewengan atau korupsi dapat dibasmi kalau dimulai dari atas!
Kalau Sang Kaisar jujur dan bersih, tidak korupsi, sudah pasti Kaisar mampu dan berani untuk bertindak tegas dan keras terhadap para Menteri yang berani melakukan korupsi. Kalau Menterinya sudah tidak korupsi, tentu dia akan berani melakukan tindakan tegas terhadap para pejabat tinggi kepala daerah yang membantunya. Dan demikian seterusnya, kalau atasannya bersih, dia berani bertindak terhadap bawahannya sehinggga sampai di kalangan yang paling bawah tidak akan berani melakukan penyelewengan karena atasannya yang bersih selalu bersikap tegas.
Sebaliknya, biar ditindak dengan keras bagaimanapun juga terhadap seorang pejabat, kalau dia melihat atasannya juga menyeleweng, tentu akan sukar membuat dia jera atau sadar. Juga atasan yang menyeleweng tidak akan berani menegur bawahannya yang menyeleweng. Bagaikan seorang bapak dalam sebuah keluarga, dialah yang harus lebih dulu membersihkan diri baru dia akan dapat menegur anak-anaknya kalau mereka itu menyeleweng dan tegurannya itu akan ditaati.
Kalau si ayah penjudi, betapa mungkin dia melarang anak-anaknya agar tidak berjudi? Dia baru dapat melarang, menegur, bahkan menghukum anak-anaknya yang berjudi kalau dia sendiri tidak berjudi. Bukankah demikian kenyataannya? Sekali lagi, pemberantasan korupsi baru akan berhasil dengan gemilang kalau pembersihan dilakukan dari atas, terus menekan ke bawah!
Demikian pula halnya dengan Ciok Tai-jin, Pembantu Menteri Pajak itu. Dia seorang pejabat tinggi yang bersih dan jujur lagi setia. Bahkan saking jujurnya, namanya terkenal sebagai seorang di antara pejabat teladan atasannya sendiri, Sang Menteri Pajak akhirnya juga terseret ke arah yang baik karena atasan ini merasa malu hati terhadap pembantu atau wakilnya!
Dan Ciok Tai-jin ini merupakan seorang di antara mereka yang disebut oleh Cian Hui, yaitu mereka yang mungkin sekali menjadi incaran Kwi-eng-cu atau Si Bayangan Iblis karena dia adalah seorang yang setia kepada Kaisar dan penentang segala bentuk penyelewengan sehingga dia amat dihormat dan dipercaya oleh kaisar.
Liong-li sudah merasa kesal karena malam ini adalah malam terakhir kalau besok pagi ia dapat diselundupkan ke istana, dan ia belum pernah melihat sesuatu yang mencurigakan. Akan sia-sialah ia membuang waktu, tenaga dan berkorban tidak tidur selama tiga malam selama ini?
Ia bersembunyi di balik sebatang pohon yang tumbuh di kebun belakang rumah besar itu setelah tadi ia melakukan pemeriksaan di seluruh permukaan atap rumah itu tanpa berjumpa dengan sesuatu yang mencurigakan. Ia juga melihat beberapa orang petugas jaga di gardu jaga pekarangan depan, dan melihat pula beberapa bayangan orang kadang-kadang lewat di jalan depan rumah.
Ia menduga bahwa tentu bayangan-bayangan itu adalah anak buah Cian Ciang-kun. Akan tetapi apa artinya semua penjaga dan juga anak buah Cian Ciang-kun itu kalau benar ada seorang pembunuh yang berilmu tinggi datang? Takkan ada yang dapat melihatnya kalau pembunuh itu mempergunakan ilmunya. Buktinya, ia sendiri dapat memasuki kebun, bahkan melakukan penyelidikan ke atas atap tanpa ada yang mengetahuinya. Andaikata ia si pembunuh misterius itu, alangkah akan mudahnya menyelinap masuk dan mencari Ciok Tai-jin untuk dibunuhnya!
Tubuhnya juga mulai merasa lelah, karena terbawa kesalnya hati tidak mendapatkan hasil apapun dalam penyelidikannya. Selagi ia ragu-ragu apakah tidak akan ditinggalkannya saja dan dihentikannya penyelidikannya malam itu, tiba-tiba ia terbelalak dan seluruh syaraf di tubuhnya menegang, jantung berdebar tegang dan iapun siap siaga.
Ada bayangan berkelebat dan bayangan ini jelas bukan bayangan anak buah Cian Ciang-kun, karena bayangan itu berkelebat melompati pagar tembok dan kini bayangan itu menyelinap di sebelah dalam kebun, bersembunyi di balik batang pohon! Agaknya setelah meloncati pagar tembok, bayangan itu cepat bersembunyi untuk melihat apakah keadaan di dalam pagar tembok itu aman.
Liong-li tidak berani bergerak sedikitpun agar orang itu tidak curiga. Tadi bayangan itu berkelebat cepat sekali seperti seekor burung saja ketika melayang dan melewati pagar tembok. Demikian cepatnya sehingga yang dilihatnya hanya bayangan saja dan ia tidak tahu bagaimana bentuknya, tidak tahu apakah bayangan itu memiliki tanduk ataukah tidak!
Tak lama kemudian, ia melihat lagi bayangan itu berkelebat, kini sudah dekat sekali dengan rumah gedung Ciok Tai-jin. Liong-li terkejut bukan main. Bayangan itu memang pantas disebut Bayangan Iblis karena tanpa diketahuinya, tahu-tahu bayangan itu telah menyusup dan telah dekat dengan rumah, dan kini bayangan itu berdiri dekat sinar lampu gantung di sudut rumah sehingga nampak bayangannya yang tinggi besar dan jantungnya berdebar tegang ketika ia melihat dua benda hitam mencuat dari kepala bayangan itu. Bayangan itu bertanduk!
“Kwi-eng-cu (Bayangan iblis)...!” serunya dalam hati dan Liong-li cepat menyusup dan mendekat. Pada saat bayangan itu melayang naik ke atas wuwungan rumah, tubuh Liong-li juga melayang dan menyusul dengan cepat sekali karena iapun mengerahkan seluruh tenaga gin-kang sehingga tubuhnya seperti seekor naga hitam menerjang awan. Kini si Bayangan Iblis yang terkejut nampaknya ketika tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat dan seorang berpakaian serba hitam berkedok hitam yang bertubuh ramping telah berdiri di depannya!
Liong-li juga memperhatikan orang itu. Memang tinggi akan tetapi tidak begitu besar, dan “tanduk” itu sesungguhnya bukan tanduk, melainkan kedok yang bagian atas kepalanya meruncing ke atas kanan kiri sehingga kalau dilihat dari jauh atau hanya sekelebatan saja memang mirip tanduk. Akan tetapi, Liong-li tidak sempat mengamati dengan jelas, bahkan tidak sempat bertanya karena tiba-tiba saja, tanpa mengeluarkan suara, si Bayangan Iblis itu telah menerjangnya dengan gerakan yang luar biasa cepatnya!
“Hemmm...!” Liong-li melempar tubuh ke samping sambil berjungkir balik. Tentu jarang ada yang mampu menghindarkan diri dari hantaman tangan kiri disusul totokan tangan kanan tadi, pikirnya.
Si Bayangan Iblis sendiri agaknya juga terkejut dan heran. Memang jarang sekali dia bertemu orang yang mampu menyelamatkan diri dari serangannya tadi. Biasanya dia tidak mau bekerja setengah-setengah, sekali serang tentu lawan roboh dan tewas, maka dia selalu mempergunakan jurus pilihan dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, sekali ini dia kecelik karena orang berkedok hitam ini mampu menghindarkan diri, bahkan kini dari samping, lawannya membalas dengan serangan kaki. Kaki itu mencuat dalam bentuk tendangan yang mengarah lambungnya!
“Wuuuuttt...!” Tendangan Liong-li luput! Hal inipun memperingatkan Liong-li bahwa ia berhadapan dengan lawan yang tangguh sekali. Tendangannya tadi merupakan serangan yang dahsyat dan amat diandalkan, namun lawannya mampu mengelak dengan mudah!
“Huhh!” Suara ini keluar dari balik kedok lawannya, suara yang seperti mengejek atau mendengus, keluar dari hidung, kemudian orang itupun menyerang kalang kabut dan Liong-li semakin kagum. Bukan main hebatnya serangan lawannya, setiap gerakan tangannya mengandung tenaga yang amat dahsyat dan kuat, dan kecepatannya pun mengagumkan.
Di samping itu, gerakan silatnya juga aneh sehingga ia tidak mampu mengenalnya. Untuk mengukur tenaga lawan, ketika lengan kanan lawan itu menyambar dengan cengkeraman ke arah kepalanya, Liong-li menyambut dengan lengan kanan pula sambil miringkan tubuh dan mengerahkan seluruh tenaganya.
“Dessss...!!” Hebat bukan main akibat pertemuan dua buah lengan yang dipenuhi sin-kang (tenaga sakti) yang sudah mencapai tingkat tinggi itu. Tubuh Liong-li terpental dan ia harus mempergunakan kelincahannya, melakukan pok-sai (salto) sampai lima kali baru kakinya turun ke atas genteng dengan ringan. Adapun lawannya terdorong mundur dan kakinya terjeblos ke dalam genteng yang jebol!
Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih kuat, akan tetapi kini Liong-li sudah siap lagi karena orang itu sudah meloncat dan menyerangnya lagi, dan terjadilah perkelahian yang amat hebat di atas wuwungan rumah itu. Melihat betapa lawan sangat marah dan bersemangat melakukan penyerangan, Liong-li bersikap tenang, lalu ia mainkan langkah-langkah ajaib Liu-seng-pouw. Tubuhnya bergerak-gerak, kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh, namun tubuhnya dapat menyelinap di antara kedua tangan dan kaki lawan yang menyambar-nyambar dengan ganasnya!
Keributan di atas genteng ini, apa lagi ketika kaki Kwi-eng-cu (si Bayangan Iblis) tadi terjeblos ke dalam genteng, tentu saja terdengar oleh para penjaga yang segera berlarian dan mereka itu memasang obor. Bahkan ada beberapa orang anak buah Cian Ciang-kun yang kebetulan meronda lewat, segera berdatangan dan tiga orang sudah meloncat naik ke atas genteng dengan senjata di tangan. Sejak melihat sinar-sinar obor, Kwi-eng-cu nampak gugup dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan marah ketika melihat tiga orang berloncatan naik ke atas genteng.
Tiba-tiba tangan kanan kirinya bergerak dan Liong-li cepat mengelak sambil mengebutkan ujung lengan bajunya ketika melihat sinar-sinar hitam kecil menyambar. Ia terhindar dari sambaran benda-benda yang merupakan senjata rahasia itu, akan tetapi tiga orang yang berlompatan naik berteriak kesakitan dan merekapun roboh di atas genting. Liong-li meloncat dan melakukan pengejaran ketika Kwi-eng-cu melompat jauh dari atas wuwungan itu.
Terjadi kejar-mengejar di atas wuwungan, akan tetapi si Bayangan Iblis itu sudah melompat turun dan lenyap di antara pohon-pohon di dalam kebun. Liong-li juga melompat turun. Ia masih sempat melihat orang yang dikejarnya itu melompati pagar tembok, maka diapun cepat lari mengejar dan melompati pagar tembok, tidak perduli kepada para penjaga keamanan yang melihat mereka dan berteriak-teriak mengejar dengan obor di tangan kiri dan golok di tangan kanan. Sayang malam itu gelap sehingga ketika dia tiba di luar pagar tembok rumah Ciok Tai-jin, ia kehilangan jejak. Akan tetapi, ia melihat sesosok bayangan lari di depan.
“Hemm, hendak lari ke mana kau?”' teriaknya dan iapun mengejar sambil mengerahkan tenaga. Dan sekali ini ia berhasil menyusul bayangan itu dan tiba-tiba, Bayangan itupun membalik dan menusukkan pedangnya ke arah dada Liong-li!
“Hemm...!” Liong-li mengelak dengan mudah saja dan iapun membalas dengan tendangan kakinya. Lawannya menarik pedang dan miringkan tubuh, lalu pedang di tangannya itu menyambar turun untuk memapaki kaki Long-li yang menendang. Liong-li tersenyum mengejek, menarik kakinya dan kini tangan kirinya menyambar ke arah pelipis lawan, sedangkan tangan kanannya menotok ke arah siku kanan yang menonjol ke samping! Gerakannya cepat sekali dan lawannya mengeluarkan seruan kaget lalu melompat be belakang.
“Hemmmm...!” Liong-li berseru juga dengan heran lalu kakinya menyambar dahsyat. Orang itu mengelak lagi, akan tetapi pinggangnya masih kena dicium pinggir sepatu Liong-li sehingga dia terhuyung, lalu dia membalikkan, tubuhnya dan lari!
“Ehhh?” Liong-li merasa semakin heran. Orang berkedok dan berpakaian hitam ini serupa benar dengan yang ditempurnya di wuwungan rumah tadi, akan tetapi ia merasakan dengan jelas bahwa tingkat kepandaian orang pertama tadi jauh lebih tinggi dari pada kepandaian orang berpedang ini, walaupun yang kedua inipun merupakan lawan tangguh! Ia merasa curiga sekali dan menduga bahwa agaknya ada dua orang Kwi-eng-cu!
“Hemm, hendak lari ke mana kau?” teriaknya dan iapun melakukan pengejaran.
Kota raja sudah sunyi sekali karena malam sudah amat larut, sudah jauh lewat tengah malam. Hanya orang mabok saja yang masih berkeliaran di jalan raya, akan tetapi karena mereka itu mabok, tentu saja melihat dua orang lari berkejaran mereka tidak mengambil pusing. Aku harus tahu di mana sarangnya, pikir Liong-li. Akan tetapi, orang itu tidak lari ke arah istana seperti yang disangkanya, bahkan yang diharapkannya, melainkan lari ke arah selatan menjauhi istana! Pintu gerbang selatan memang tidak jauh dari situ.
Biar dia lari dari pintu gerbang, pikir Liong-li. Menurut Cian Ciang-kun, pada waktu itu, pintu-pintu gerbang kotaraja di jaga ketat, maka kalau si bayangan hitam itu lari ke situ, tentu akan ketahuan dan tidak mungkin dia dapat melarikan diri keluar pintu gerbang. Akan tetapi, ia menahan seruan kagetnya ketika melihat orang yang dikejarnya itu terus saja berlari menghampiri pintu gerbang, dan setelah tiba di pintu yang tertutup itu, tubuhnya meloncat ke atas dan tidak ada seorang pun penjaga yang mencegah perbuatannya atau yang kelihatan menghadang atau berteriak menegur!
Tentu saja Liong-li tidak memperdulikan keadaan itu dan terus mengejar dengan melompat ke atas pintu gerbang pula, melalui bangunan gardu seperti yang dilakukan orang yang dikejarnya. Setelah tiba di luar pintu gerbang, ia terus mengejar karena melihat si Bayangan Iblis itu lari ke arah kiri. Akan tetapi, yang dikejarnya itu lenyap di balik sebatang pohon besar. Untung banyak bintang kini bermunculan di langit yang telah ditanggalkan awan sehingga biarpun remang-remang cuaca tidaklah terlalu gelap.
Ketika ia tiba di dekat pohon, tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan. Ia mengelak dan membalas serangan orang itu. Kiranya si Bayangan Iblis telah menyerangnya dengan pedangnya. Tendangannya membuat lawannya menarik pedang yang kini diangkat tinggi dan dibacokkan ke arahnya. Akan tetapi tanpa menggerakkan kakinya, dengan tendangan berantai, Liong-li “memasuki” dada yang terbuka itu.
“Desss!” Perut orang itu bertemu dengan tumitnya dan orang itupun terjengkang. Dia bergulingan dan menggerakkan tangan kiri. Liong-li yang mengejar, terpaksa mengelak untuk menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia sehingga orang itu memperoleh kesempatan untuk lari lagi.
“Jangan lari kau!” bentak Liong-li akan tetapi lawan telah menghilang di balik batang pohon di depan. Ketika ia mengejar, tiba-tiba ada lagi serangan dari kiri. Ini tidak mungkin orang yang lari tadi, pikirnya heran, apa lagi ketika serangan itu jauh lebih dahsyat dari pada orang tadi, walaupun bayangan itu masih sama gesitnya, dan juga berpedang.
Demikian cepat dan dahsyatnya serangan ini sehingga Liong-li terkejut, nyaris pundaknya terbabat pedang. Untung ia masih sempat menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw sehingga biarpun terhuyung, ia mampu menghindarkan diri dari serangan bertubi-tubi itu. Kemudian, di dalam keremangan cuaca, ia melihat sebatang ranting pohon di bawah pohon di mana mereka berkelahi. Ketika pedang membabat dan berputaran untuk menutup semua jalan keluar, Liong-li menggunakan tubuhnya dan menyambar ranting itu. Sambil meloncat, ujung rantingnya menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang.
“Auhh!” Orang itu tidak menyangka sama sekali akan kelihaian Liong-li dalam menggunakan senjata yang hanya berupa sebatang ranting itu! Tentu saja Liong-li lihai bukan main memainkan ranting karena selain ilmu pedang, juga ia telah mewarisi ilmu silat tongkat dari suhunya, yaitu Huang-ho Kui-bo yang merupakan tokoh sakti yang terkenal dengan ilmu tongkatnya! Bahkan ilmu pedangnya juga bersumber dari ilmu memainkan tongkat ini!
Namun orang itu ternyata lihai juga. Biar pun pergelangan tangan kanannya tertotok ujung ranting, sehingga pedangnya terlepas, namun pedang itu dapat disambar oleh tangan kirinya dan iapun memutar pedangnya dengan marah. Liong-li terpaksa melangkah mundur menghindarkan sambaran pedang. Akan tetapi pada saat itu, lawannya melompat jauh ke belakang lalu melarikan diri memasuki sebuah hutan kecil.
Liong-li adalah seorang wanita yang selain sakti, juga cerdik bukan main. Melihat lawannya melompat ke dalam hutan yang gelap, ia tidak mau mengejar. Apa lagi ia tadi merasa dilawan oleh tiga orang yang berlainan, walaupun mereka semua mengenakan pakaian dan kedok yang sama, dan ketiganya lihai dan memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat.
Ia tidak mau masuk perangkap lawan. Selain itu, iapun tidak mau menanti sampai hari menjadi terang karena ia sendiripun melakukan penyamaran dan tidak ingin dikenal orang. Maka, iapun cepat memutar tubuhdan lari secepatnya menuju ke pintu gerbang. Ia harus menyelidiki para penjaga pintu gerbang, kenapa mereka itu sama sekali tidak menegur dan tidak menghalangi ketika ia berkejaran dengan Si Bayangan Iblis keluar dari Kota raja melalui pintu gerbang tadi. Apakah para penjaga itu termasuk sekutu Si Bayangan Iblis?
Setelah Liong-li memasuki gardu penjagaan dan melihat belasan orang perajurit penjaga pintu gerbang itu, barulah ia tahu mengapa Si Bayangan Iblis mampu keluar dari pintu gerbang tanpa terganggu para penjaga. Kiranya para penjaga itu semua dalam keadaan pingsan tertotok!
Makin yakinlah hatinya bahwa Si Bayangan Iblis itu bukan hanya satu orang saja! Yang bertempur dengannya tadi saja ia taksir tiga orang yang berlainan, dan mungkin lebih banyak lagi melihat bahwa ada pula yang menotok para penjaga sampai pingsan. Ia tidak menyadarkan para penjaga. Biarlah, ini bagian Cian Ciang-kun untuk menyelidiki dan menanyai mereka. Iapun terus saja memasuki kota dan menuju ke rumah Cian Ciang-kun.
Akan tetapi ketika ia melewati rumah itu, perasaannya yang peka itu memberi isyarat kepadanya dan kecerdikannya pun bekerja. Tidak, pikirnya, ia tidak boleh memasuki rumah Cian Ciang-kun! Siapa tahu kalau ada pihak lawan yang membayanginya. Kalau ia tadi mampu membayangi lawan, kini berbalik mungkin sekali lawan membayanginya sejak di luar kota tadi!
Kalau benar demikian, tentu mereka akan mengetahui bahwa ia tinggal di rumah Cian Ciang-kun sehingga akan terbongkarlah rahasianya! Dan hal ini berbahaya sekali! Tidak, ia harus dapat menghilangkan jejaknya sebagai si kedok hitam yang jelas menentang pembunuh misterius yang berjuluk Kwi-eng-cu itu. Tanpa ragu dan tanpa menengok sedikitpun ke arah rumah Cian Ciang-kun maupun ke belakang, Liong-li terus saja bergerak menuju ke sebuah kuil! Tidak ada tempat yang lebih baik untuk menghilangkan jejaknya kecuali di kuil besar itu.
Pada masa itu, agama Buddha sedang berkembang dengan baiknya dan diterima oleh keluarga kaisar, maka kuil yang berada di kota raja amat besar. Banyak dikunjungi tamu, bahkan ada pula tamu-tamu yang sengaja bermalam di kuil itu. Juga di situ penuh dengan hwesio yang beribadat dan saleh. Selama tiga hari ini, Liong-li sudah berkeliling kota dalam penyelidikannya, dan iapun tidak melewatkan kuil ini. Sudah dikunjunginya beberapa kali sebagai seorang nenek, namun tidak ada yang mencurigakan di kuil itu.
Penyelidikannya membuat ia tahu akan keadaan kuil itu, maka tanpa ragu lagi ia menyelinap masuk ke dalam ruangan depan kuil yang sunyi karena baik para tamu maupun para pendeta sudah beristirahat. Hanya meja sembahyang masih nampak ada lilin bernyala dan asap sisa hio masih memenuhi ruangan. Ketika memasuki ruangan itu, Liong-li diam-diam melepas pakaian hitamnya, kemudian menyelinap ke tempat yang gelap dan cepat sekali ia merobah penyamarannya.
Lima menit kemudian, ketika ia keluar dari tempat gelap, ia telah menjadi seorang nenek keriputan yang membawa buntalan dan berjalan agak bongkok, yang masuk ke ruangan di mana para tamu yang ingin memohon sesuatu di kuil itu bermalam. Iapun mencampurkan diri dengan para tamu perempuan yang masih tidur dalam ruangan kosong yang luas itu, tidur malang melintang dan iapun merebahkan diri memeluk buntalannya yang sesungguhnya berisi pakaian dan kedok hitamnya tadi. Ia menanti sambil berpura-pura tidur.
Tak lama kemudian ia mendengar gerakan kaki di luar ruangan, lalu sebuah kepala muncul di balik jendela. Sepasang mata yang tajam menyapu ruangan itu. Kepala seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, bermuka persegi dan bermata tajam sekali. Ia melihat orang itu memiringkan kepala dan iapun tahu bahwa orang itu sedang melakukan penyelidikan dengan pendengarannya yang tajam terlatih. Maka iapun mengatur pernapasannya, seperti orang tidur nyenyak.
Tak lama kemudian, kepala itupun menghilang. Akan tetapi ia masih belum mau bergerak. Ia harus berhati-hati. Mungkin lawan yang membayanginya sedang mencari-cari di seluruh kuil karena ia memang tadi menghilang ke dalam kuil. Benar saja dugaannya. Tak lama kemudian, kembali kepala itu muncul dan mengamati seluruh ruangan, seluruh perempuan yang tidur, seperti hendak memilih siapa di antara mereka itu orang yang dicarinya. Dan Liong-li tetap saja tidak bergerak, bahkan ia mengeluarkan suara mendengkur lirih!
Hatinya tersenyum geli, akan tetapi juga memuji diri sendiri akan ketelitiannya. Terdengar kepala di jendela itu menghela napas, agaknya kecewa karena kehilangan orang yang dibayanginya. Setelah mengamati semua orang selama hampir seperempat jam lamanya, akhirnya kepala itupun menghilang dan Liong-li mendengar langkah kaki meninggalkan tempat itu. Jelas bahwa orang itu tidak ada nafsu lagi untuk menyelidiki, buktinya langkahnya berat dan acuh.
Setelah terdengar ayam berkokok dan beberapa orang di antara para tamu wanita itu, ada yang terbangun. Liong-li juga bangun dan berlagak seperti orang yang baru bangun tidur, membereskan rambutnya yang awut-awutan lalu bangkit meninggalkan ruangan itu. Sikap dan penampilannya demikian wajar sehingga tidak mencurigakan siapapun.
Siapa yang akan mencurigai seorang nenek tua yang mungkin mintakan ramalan untuk dirinya, atau mungkin juga memintakan obat untuk cucunya yang sakit, di kuil itu? Dengan terbongkok-bongkok Liong-li yang kini sudah berubah menjadi seorang nenek keriputan itu meninggalkan kuil, terseok-seok dengan muka tunduk berputar-putar dulu untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak dibayangi orang, baru ia melewati gedung Cian Ciang-kun dan memasuki pekarangan.
Tiga orang pelayan itu memandang heran. Mereka tahu bahwa majikan mereka mempunyai seorang tamu, akan tetapi setahu mereka, nenek tua yang menjadi tamu itu tidak pernah meninggalkan kamarnya. Bagaimana sekarang tahu-tahu telah datang dari luar? Untung bahwa Cian Ciang-kun yang sejak pagi menanti dengan gelisah, segera menyambutnya.
“Aih, bibi, sepagi ini engkau sudah berjalan-jalan?” tegurnya dan diapun segera membimbing “bibinya” yang dari dusun itu dan diajaknya masuk.
Tiga orang pelayan itu menggeleng-geleng kepala setelah majikan mereka menggandeng nenek itu masuk. Mereka tahu bahwa majikan mereka adalah seorang yang baik budi, akan tetapi belum pernah mereka melihat majikan mereka mempunyai seorang bibi dari dusun yang sudah tua dan yang agaknya amat dihormati dan disayang oleh majikan mereka. Akan tetapi, tentu saja urusan keluarga itu tidak menarik perhatian mereka.
“Wah, engkau sungguh membuat aku menjadi gelisah bukan main, Li-hiap. Apa saja yang kaudapatkan semalam sehingga engkau sampai pulang terlambat dan sudah menyamar lagi sebagai seorang nenek?” Cian Ciang-kun yang cerdik segera dapat menduga bahwa tentu pendekar wanita itu telah menemukan sesuatu.
Liong-li lalu menceritakan apa yang telah dialaminya semalam, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cian Ciang-kun. Ketika Liong-li bercerita tentang para penjaga pintu gerbang selatan yang pingsan tertotok semua, dia cepat bertepuk tangan dan seorang pelayan pria muncul di ambang pintu.
“Cepat kau pergi keluar dan undang Teng Ciang-kun ke sini. Cepat!”
Pelayan itu berlari keluar dan tak lama kemudian dia sudah kembali bersama seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Dia adalah Teng Ciang-kun, seorang perwira yang setia membantu Cian Ciang-kun dan tinggalnya pun di bangunan kecil sebelah depan rumah Cian Ciang-kun yang menjadi atasannya.
Teng Ciang-kun memberi hormat tanpa memperdulikan nenek tua yang duduk di situ. Dia adalah seorang petugas yang setia dan amat baik, melaksanakan segala tugas yang diperintahkan atasannya dengan taat dan tidak pernah ingin tahu akan urusan pribadi atasannya. Maka diapun acuh saja melihat hadirnya seorang nenek di situ, hal yang sebenarnya tidak wajar dan tidak seperti biasa.
“Teng Gun, cepat engkau pergi ke pintu, gerbang selatan dan selidiki kepada semua perajurit yang bertugas jaga semalam, apa yang terjadi dengan mereka. Atau lebih baik lagi engkau bawa saja komandan jaganya ke sini, katakan bahwa aku mempunyai kepentingan dengan dia. Sekarang juga!”
Teng Gun atau Teng Ciang-kun memberi hormat lalu pergi. Terdengar suara derap kaki kuda, tanda bahwa dia berkuda agar dapat melaksanakan tugas itu dengan cepat. Sambil menanti kembalinya Teng Ciang-kun, Cian Hui melanjutkan percakapannya dengan Liong-li.
“Jelaslah sekarang bahwa Si Bayangan Iblis bukan hanya satu orang saja, Ciang-kun. Yang berkelahi dengan aku sedikitnya ada tiga orang Kwi-eng-cu yang berlainan. Hal ini dapat kukenal dari tingkat kepandaian mereka. Sungguh berbahaya sekali, mereka itu semua amat lihai, terutama orang pertama yang kuhadang di atas genteng rumah Ciok Tai-jin. Terlambat sedikit saja, Si Bayangan Iblis itu tentu sudah masuk dan berhasil membunuh Ciok Tai-jin.”
“Hemm, belum tentu, Li-hiap. Ketahuilah bahwa di dalam rumah wakil Menteri Pajak itu terdapat seorang jagoan yang amat lihai, seorang murid dari orang sakti di Kun-lun-san. Kabarnya jagoan itu murid Kun-lun-pai yang amat tangguh. Karena adanya jagoan itulah maka akupun tidak melakukan penjagaan ketat di dekat rumah Ciok Tai-jin, seperti di rumah para pejabat tinggi lain yang kuanggap mungkin akan diserang oleh Kwi-eng-cu.”
“Hemm, bagus kalau begitu. Dia seorang pengawal pribadi pembesar itu?” tanya Liong-li tertarik.
“Bukan pengawal, melainkan masih anggauta keluarga. Ia adalah keponakan wanita isteri pembesar itu.”
“Hemm, seorang wanita?”
“Ia seorang wanita yang masih muda dan cantik, sebaya dengan engkau, li-hiap. Kalau orang melihatnya, tentu tidak akan menyangka bahwa ia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang gemblengan dan lihai sekali. Namanya Sui In dan ia terkenal sekali. Aku sendiri belum pernah melihat kehebatan ilmu silatnya, namun dari kawan-kawan, aku dapat mengukur bahwa tingkat kepandaiannya tentu jauh melebihi tingkatku.”
“Wahh...!” Liong-li berseru kagum. “Tentu hebat sekali wanita itu, dan kalau usianya sebaya denganku, tentu ia telah bersuami...”
“Memang pernah bersuami, akan tetapi kini ia menjadi janda tanpa anak, karena suaminya menjadi seorang di antara korban-korban pertama pembunuhan Si Bayangan Iblis...“
“Ahhh...!” Liong-li termenung.
“Memang kasihan sekali wanita muda itu. Akan tetapi sudahlah, memang sudah nasibnya dan bukan hanya suaminya saja yang menjadi korban.”
Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki dua ekor kuda dan tak lama kemudian muncullah Teng Ciang-kun dan seorang komandan jaga yang nampaknya berwajah kusut dan agak pucat, sinar matanya memandang ketakutan. Ketika bertemu dengan Cian Hui, dia segera memberi hormat sambil menekuk lutut kanannya dan suaranya terdengar penuh permohonan.
“Mohon kebijaksanaan Ciang-kun agar peristiwa itu tidak dilaporkan kepada panglima. Sungguh mati kami tujuh belas orang sama sekali tidak berdaya menghadapi bayangan yang bergerak demikian cepatnya, dan tahu-tahu kami sudah kehilangan kesadaran dan tidak tahu apa yang telah terjadi. Baru pagi tadi kami sadar dan seperti baru bangun dari tidur saja. Semua peristiwa itu bagaikan mimpi saja, akan tetapi ketika kami saling bercakap-cakap, tahulah kami bahwa peristiwa itu bukan mimpi dan kami ketakutan, tidak berani melapor ke atasan karena kami takut dituduh lengah.”
“Hemm, coba ceritakan dengan sejelasnya, apa yang telah terjadi, baru akan kupertimbangkan apakah kalian patut dilaporkan ataukah tidak,” kata Cian Hui dengan suara tegas...
“Huh, melantur kau, Ciang-kun! Aku tidak mau terikat menjadi isteri siapapun, kalau menjadi teman baik sekali mungkin... akan tetapi sudahlah, kelak saja kita bicara tentang urusan pribadi. Kita menghadapi tugas penting yang harus kita selesaikan. Nah, sekarang engkau harus mencarikan jalan bagiku agar aku dapat menyelundup ke dalam istana sebagai seorang gadis dusun yang menjadi seorang dayang, pelayan atau apa saja, Ciang-kun.”
Cian Hui menarik napas panjang. Hatinya dipenuhi harapan muluk! Kalau saja wanita ini dapat menjadi isterinya! Liong-li telah, berterus terang mengatakan bahwa ia kagum dan suka kepadanya, dan suka pula menjadi teman baiknya. Seorang wanita yang bukan main! Hebat!
“Baiklah, li-hiap. Aku akan menghubungi sahabatku yang boleh dipercaya dan yang bertugas di dalam istana agar engkau dapat diselundupkan di sana. Hal itu mungkin akan makan waktu dua-tiga hari dan sementara itu, harap engkau suka tinggal dulu di sini. Selama aku pergi, anggaplah ini rumahmu sendiri, li-hiap. Tiga orang pelayanku akan kupesan agar mereka mentaati semua perintahmu.”
“Tidak perlu sungkan, Ciang-kun. Asal aku mendapatkan sebuah kamar di sini sudahlah cukup dan tiga orang pelayanmu bahkan jangan mendatangi kamarku kalau tidak kupanggil. Kalau aku membutuhkan sesuatu, aku akan memanggil seorang di antara mereka. Akupun tidak bisa tinggal diam saja. Selagi engkau mencari hubungan dengan orang dalam istana itu, akupun akan menggunakan waktu dua tiga hari ini untuk melakukan penyelidikan, terutama di waktu malam, dengan jalan meronda. Siapa tahu aku akan dapat bertemu dengan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis)!”
Cian Hui mengangguk-angguk. “Baiklah, Li-hiap, akan tetapi harap engkau berhati-hati karena menurut berita yang kuperoleh, Si Bayangan Iblis itu lihai bukan main dan dapat bergerak seperti iblis saking cepatnya.”
Malam hari itu, setelah cuaca gelap sesosok bayangan hitam berkelebat di atas wuwungan rumah gedung tempat tinggal Cian Ciang-kun. Tiga orang pelayan perwira itu sama sekali tidak melihat bayangan itu, tidak tahu bahwa bayangan itu adalah bayangan “nenek” yang menjadi tamu tuan mereka.
Memang Liong-li tidak ingin ada orang melihatnya ketika ia mulai melakukan penyelidikan di kota raja. Ia mengenakan pakaian serba hitam dan sengaja menutup mukanya dengan saputangan hitam, hanya nampak sepasang matanya saja yang jeli mencorong tajam. Rambutnya juga ditutup kain hitam, bahkan pedang pusaka Hek-liong-kiam yang biasanya tidak pernah berpisah darinya, pada saat itupun tidak dibawanya dan disembunyikan di suatu tempat yang aman.
Hal ini menunjukkan bahwa Liong-li tidak ingin ada orang mengetahui bahwa si topeng hitam itu adalah Hek-liong-li! Hal ini penting sekali. Ia akan menyelundup ke dalam istana dan biarpun ia menyelundup sambil menyamar, akan tetapi siapa tahu pihak lawan bermata tajam dan lihai. Pendeknya, jangan sampai lawan mengetahui bahwa yang kini sedang bergerak di kota raja membantu Cian Ciang-kun adalah Hek-liong-li. Bergerak secara rahasia begini ia akan dapat merasa lebih leluasa.
Setelah berhasil keluar dari rumah besar itu, tubuhnya berkelebat dengan cepatnya menembus kegelapan malam dan kalau tidak kebetulan ada orang lain yang berada di dekatnya, tentu tidak akan nampak jelas bayangan hitam yang berkelebatan itu. Dan mungkin saja ia yang akan dikira tokoh yang biasa diberi sebutan Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) karena memang gerakannya itu seperti beterbangan saja saking cepatnya. Dan iapun tidak melalui jalan yang ramai, melainkan menyelinap dan menyusup di balik pohon dan rumah, kadang-kadang kalau terpaksa melalui bagian yang ramai ia melompat ke atas wuwungan rumah dan berloncatan dari genteng rumah yang satu ke rumah yang lain.
Demikianlah, semalam itu Liong-li melakukan perondaan. Ia melihat betapa banyaknya orang yang berkeliaran secara rahasia, maka iapun kagum melihat cara Cian Ciang-kun bekerja. Tidak salah lagi, orang-orang yang berkeliaran dan berjaga-jaga di segala tempat itu, tentulah anak buah yang disebar oleh Cian Ciang-kun!
Ia telah mendekati pula tembok pagar istana yang dijaga ketat. Alangkah kuatnya penjagaan di sana dan seekor burungpun kalau terbang lewat akan ketahuan penjaga, apa lagi seorang manusia. Agaknya, tidak akan mungkin kalau ia harus memasuki kompleks istana di balik pagar itu tanpa diketahui penjaga. Ia hanya mengelilingi kompleks istana itu dari luar pagar tembok. Hal inipun harus ia lakukan dengan hati-hati sekali karena di luar pagar tembokpun penjagaan amat ketatnya.
Tidak ada terjadi sesuatu yang menarik malam itu. Kecuali memergoki beberapa orang yang mencurigakan dan ketika ia bayangi ternyata mereka itu hanyalah maling-maling biasa yang mencari korban di malam itu, dan yang ia biarkan saja karena tidak ada hubungannya dengan tugasnya, ia tidak melihat sesuatu yang dapat dihubungkan dengan Kwi-eng-cu. Dengan hati agak kecewa dan penasaran, menjelang pagi Liong-li kembali ke rumah Cian Ciang-kun dan memasuki kamarnya tanpa diketahui tiga orang pelayan. Iapun tidak tahu apakah Cian Hui sudah berada di dalam kamarnya.
Pada siang harinya Liong-li keluar dari dalam kamarnya. Ia telah mandi dan makan sarapan pagi yang ia minta dari seorang pelayan wanita. Mendengar suaranya, Cian Ciang-kun segera datang menemuinya. Perwira itupun kelihatan lelah seperti orang yang kurang tidur. Begitu bertemu, Cian Hui mempersilakan Liong-li duduk dan mereka bercakap-cakap di ruangan dalam setelah pelayan menghidangkan minuman dan mengundurkan diri tanpa diperintah.
“Bagaimana hasil penyelidikanmu semalam, li-hiap?”
Liong-li mengangkat muka, sepasang mata yang tajam di balik penyamaran wajah nenek keriput itu menatap wajah Cian Hui penuh selidik. “Engkau tahu bahwa aku semalam meninggalkan kamarku, Ciang-kun?”
Cian Hui tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Sebelum engkau pergi, aku telah lebih dahulu meninggalkan rumah, dan tiga orang pelayanku sama sekali tidak melihat engkau pergi. Akan tetapi, ada seorang di antara orang-orangku yang bertugas jaga dan meronda malam tadi, melihat berkelebatnya bayangan hitam. Dia melapor kepadaku dan akupun menduga bahwa bayangan itu tentu engkau.”
“Kenapa aku? Bukankah mungkin bayangan itu adalah Si Bayangan Iblis?”
“Sudah kuceritakan kepadamu, li-hiap, bahwa Si Bayangan Iblis itu merupakan bayangan yang menakutkan tinggi besar dan juga di kepalanya ada dua tanduk! Akan tetapi, pembantuku yang melapor tadi mengatakan hahwa bayangan hitam itu hanya berkelebat cepat, akan tetapi jelas kepalanya tidak bertanduk dan juga tubuhnya ramping. Karena engkau kemarin sudah memberitahu kepadaku bahwa malam ini engkau hendak melakukan penyelidikan, maka tentu saja mudah bagiku untuk mengambil kesimpulan bahwa engkaulah bayangan itu. Tidak benarkah dugaanku, li-hiap?”
Liong-li mengangguk. “Aku melihat orang-orangmu itu, Cian Ciang-kun. Suatu usaha penjagaan yang cukup ketat dan baik. Akan tetapi aku melihat betapa di sekeliling tembok istana tidak terdapat orangmu yang berjaga melakukan pengamatan, Ciang-kun.”
Cian Hui menarik napas panjang dengan wajah kesal. “Tadinya memang ada kutaruh orang-orang di sekeliling istana, li-hiap. Akan tetapi hanya satu malam saja karena pada kesokan harinya aku ditegur oleh panglima pasukan keamanan yang bertugas untuk menjaga bagian luar istana. Pengamatan orang-orangku itu membuatnya tersinggung, seolah-olah aku tidak percaya kepada pasukan yang dipimpinnya. Terpaksa aku menghentikan penjagaan di sekeliling istana, li-hiap.”
“Hemm, sungguh sulit sekali kalau keadaannya seperti itu. Biarpun tidak mungkin orang keluar masuk melompati pagar tembok istana tanpa diketahui penjaga, namun sangat besar kemungkinannya di beberapa tempat terdapat pintu rahasia dari mana orang dapat keluar masuk. Dan kalau benar terdapat pintu rahasia, maka seorang yang memiliki gerakan cepat dapat keluar masuk tanpa diketahui penjaga yang berjaga di atas tembok pagar itu. Semalam aku tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Akan tetapi malam ini aku akan melakukan penyelidikan lagi. Dan bagaimana dengan hasil yang kau dapatkan, Ciang-kun?”
“Sudah kuhubungi dan sahabatku itu sedang mengusahakan agar engkau dapat diselundupkan masuk sebagai seorang dayang baru, li-hiap. Dia harus lebih dulu menghubungi kepala Thai-kam dan beberapa orang pejabat yang berwenang mengurus hal itu. Paling cepat lusa baru engkau akan dapat memasuki istana.”
“Bagus, kalau begitu masih ada dua malam lagi untuk melakukan perondaan. Siapa tahu akan menemukan sesuatu. Sekarang aku minta agar engkau suka memperkenalkan nama dan keadaan orang-orang penting di dalam istana, juga aku ingin mengetahui orang-orang di luar istana yang sekiranya terancam bahaya pembunuhan Kwi-eng-cu, yaitu orang-orang yang dekat dengan kaisar. Siapa tahu, sewaktu aku meronda, orang-orang ini didatangi pembunuh.”
Dengan senang hati Cian Ciang-kun memperkenalkan nama para pejabat tinggi di dalam istana, dari Kaisar, Permaisuri, Putera Mahkota yang masih kecil, kepala Thai-kam yang ada beberapa orang komandan-komandan pasukan pengawal luar dan dalam istana, dan sebagainya lagi. Juga Cian Ciang-kun memceritakan kepada Liong-li tentang kekuasaan Permaisuri atas diri Kaisar, betapa Permaisuri itu yang sekarang memegang kendali pemerintahan, walaupun yang menandatangani semua keputusan masih kaisar. Juga perwira ini dengan hati-hati menceritakan desas-desus yang didengarnya tentang penyelewengan-penyelewengan gelap yang dilakukan permaisuri.
Liong-li mendengarkan semua itu dengan tenang dan tidak merasa heran. Sudah lama ia mengetahui akan kehidupan para wanita di dalam istana seorang kaisar yang memiliki puluhan, bahkan sampai ratusan orang wanita yang melayaninya. Tidak mengherankan kalau seorang permaisuri sampai melakukan penyelewengan gelap. Suaminya, sang kaisar melakukan penyelewengan secara berterang, bukan dengan hanya seorang dua orang wanita, bahkan dengan puluhan atau ratusan orang!
Betapapun juga, desas-desus itu dapat pula dicatat sebagai sesuatu yang penting karena siapa tahu, hal itu ada pula hubungannya dengan pembunuhan-pembunuhan misterius itu. Ia mencatat pula para pangeran dan puteri kaisar yang tinggal di dalam istana, wajah mereka, usia mereka, nama mereka. Ia harus menghafal semua itu karena ternyata jumlah nama yang harus dikenal dan dihafalnya, terdapat puluhan orang!
Sudah dapat ia bayangkan, betapa akan sukarnya menyelidiki orang sebanyak itu di dalam kompleks istana yang terjaga ketat. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir. Ia tidak akan mencari, melainkan akan memaksa dan memancing Si Bayangan Iblis untuk keluar dari tempat persembunyiannya dan memperkenalkan diri kepadanya!
Seperti malam pertama, pada malam kedua Liong-li melakukan perondaan, dan sekali ini tempat-tempat yang ia kunjungi sudah tertentu, yaitu tempat tinggal para pejabat tinggi yang oleh Cian Ciang-kun dianggap mungkin sekali didatangi Si Bayangan Iblis. Akan tetapi, malam itupun sunyi saja, dan agaknya Si Bayangan Iblis menghentikan pembunuhan-pembunuhan misterius itu untuk sementara. Apakah si Bayangan Iblis sudah tahu bahwa ada seorang wanita sakti sedang berkeliaran melacak jejaknya?
Namun, Hek-liong-li bukan seorang yang mudah putus asa. Pada malam ketiga, kembali ia melakukan perondaan. Tengah malam telah tiba ketika bayangannya berkelebat di dekat rumah gedung tempat tinggal Ciok Tai-jin, seorang pembantu Menteri bagian Pemungutan Pajak, seorang pejabat tinggi yang menurut keterangan Cian Ciang-kun, amatlah setia dan jujur, dan karena adanya Ciok Tai-jin inilah maka rakyat tidak dikenakan pajak semena-mena, juga yang berpenghasilan besar tidak mampu mengelak dari kewajiban membayar pajak.
Mereka yang bekerja di bawah Ciok Tai-jin, tidak ada yang berani menyelewengkan uang pajak, atau menerima suapan dari pedagang besar agar pajaknya diperkecil, atau menekan rakyat yang tak berdaya dengan gertakan-gertakan mengandalkan kedudukan dan kekuasaan mereka. Penyelewengan para pejabat dapat dilaksanakan dengan lancar dan baik, segala bentuk penyelewengan atau korupsi dapat dibasmi kalau dimulai dari atas!
Kalau Sang Kaisar jujur dan bersih, tidak korupsi, sudah pasti Kaisar mampu dan berani untuk bertindak tegas dan keras terhadap para Menteri yang berani melakukan korupsi. Kalau Menterinya sudah tidak korupsi, tentu dia akan berani melakukan tindakan tegas terhadap para pejabat tinggi kepala daerah yang membantunya. Dan demikian seterusnya, kalau atasannya bersih, dia berani bertindak terhadap bawahannya sehinggga sampai di kalangan yang paling bawah tidak akan berani melakukan penyelewengan karena atasannya yang bersih selalu bersikap tegas.
Sebaliknya, biar ditindak dengan keras bagaimanapun juga terhadap seorang pejabat, kalau dia melihat atasannya juga menyeleweng, tentu akan sukar membuat dia jera atau sadar. Juga atasan yang menyeleweng tidak akan berani menegur bawahannya yang menyeleweng. Bagaikan seorang bapak dalam sebuah keluarga, dialah yang harus lebih dulu membersihkan diri baru dia akan dapat menegur anak-anaknya kalau mereka itu menyeleweng dan tegurannya itu akan ditaati.
Kalau si ayah penjudi, betapa mungkin dia melarang anak-anaknya agar tidak berjudi? Dia baru dapat melarang, menegur, bahkan menghukum anak-anaknya yang berjudi kalau dia sendiri tidak berjudi. Bukankah demikian kenyataannya? Sekali lagi, pemberantasan korupsi baru akan berhasil dengan gemilang kalau pembersihan dilakukan dari atas, terus menekan ke bawah!
Demikian pula halnya dengan Ciok Tai-jin, Pembantu Menteri Pajak itu. Dia seorang pejabat tinggi yang bersih dan jujur lagi setia. Bahkan saking jujurnya, namanya terkenal sebagai seorang di antara pejabat teladan atasannya sendiri, Sang Menteri Pajak akhirnya juga terseret ke arah yang baik karena atasan ini merasa malu hati terhadap pembantu atau wakilnya!
Dan Ciok Tai-jin ini merupakan seorang di antara mereka yang disebut oleh Cian Hui, yaitu mereka yang mungkin sekali menjadi incaran Kwi-eng-cu atau Si Bayangan Iblis karena dia adalah seorang yang setia kepada Kaisar dan penentang segala bentuk penyelewengan sehingga dia amat dihormat dan dipercaya oleh kaisar.
Liong-li sudah merasa kesal karena malam ini adalah malam terakhir kalau besok pagi ia dapat diselundupkan ke istana, dan ia belum pernah melihat sesuatu yang mencurigakan. Akan sia-sialah ia membuang waktu, tenaga dan berkorban tidak tidur selama tiga malam selama ini?
Ia bersembunyi di balik sebatang pohon yang tumbuh di kebun belakang rumah besar itu setelah tadi ia melakukan pemeriksaan di seluruh permukaan atap rumah itu tanpa berjumpa dengan sesuatu yang mencurigakan. Ia juga melihat beberapa orang petugas jaga di gardu jaga pekarangan depan, dan melihat pula beberapa bayangan orang kadang-kadang lewat di jalan depan rumah.
Ia menduga bahwa tentu bayangan-bayangan itu adalah anak buah Cian Ciang-kun. Akan tetapi apa artinya semua penjaga dan juga anak buah Cian Ciang-kun itu kalau benar ada seorang pembunuh yang berilmu tinggi datang? Takkan ada yang dapat melihatnya kalau pembunuh itu mempergunakan ilmunya. Buktinya, ia sendiri dapat memasuki kebun, bahkan melakukan penyelidikan ke atas atap tanpa ada yang mengetahuinya. Andaikata ia si pembunuh misterius itu, alangkah akan mudahnya menyelinap masuk dan mencari Ciok Tai-jin untuk dibunuhnya!
Tubuhnya juga mulai merasa lelah, karena terbawa kesalnya hati tidak mendapatkan hasil apapun dalam penyelidikannya. Selagi ia ragu-ragu apakah tidak akan ditinggalkannya saja dan dihentikannya penyelidikannya malam itu, tiba-tiba ia terbelalak dan seluruh syaraf di tubuhnya menegang, jantung berdebar tegang dan iapun siap siaga.
Ada bayangan berkelebat dan bayangan ini jelas bukan bayangan anak buah Cian Ciang-kun, karena bayangan itu berkelebat melompati pagar tembok dan kini bayangan itu menyelinap di sebelah dalam kebun, bersembunyi di balik batang pohon! Agaknya setelah meloncati pagar tembok, bayangan itu cepat bersembunyi untuk melihat apakah keadaan di dalam pagar tembok itu aman.
Liong-li tidak berani bergerak sedikitpun agar orang itu tidak curiga. Tadi bayangan itu berkelebat cepat sekali seperti seekor burung saja ketika melayang dan melewati pagar tembok. Demikian cepatnya sehingga yang dilihatnya hanya bayangan saja dan ia tidak tahu bagaimana bentuknya, tidak tahu apakah bayangan itu memiliki tanduk ataukah tidak!
Tak lama kemudian, ia melihat lagi bayangan itu berkelebat, kini sudah dekat sekali dengan rumah gedung Ciok Tai-jin. Liong-li terkejut bukan main. Bayangan itu memang pantas disebut Bayangan Iblis karena tanpa diketahuinya, tahu-tahu bayangan itu telah menyusup dan telah dekat dengan rumah, dan kini bayangan itu berdiri dekat sinar lampu gantung di sudut rumah sehingga nampak bayangannya yang tinggi besar dan jantungnya berdebar tegang ketika ia melihat dua benda hitam mencuat dari kepala bayangan itu. Bayangan itu bertanduk!
“Kwi-eng-cu (Bayangan iblis)...!” serunya dalam hati dan Liong-li cepat menyusup dan mendekat. Pada saat bayangan itu melayang naik ke atas wuwungan rumah, tubuh Liong-li juga melayang dan menyusul dengan cepat sekali karena iapun mengerahkan seluruh tenaga gin-kang sehingga tubuhnya seperti seekor naga hitam menerjang awan. Kini si Bayangan Iblis yang terkejut nampaknya ketika tiba-tiba ada bayangan lain berkelebat dan seorang berpakaian serba hitam berkedok hitam yang bertubuh ramping telah berdiri di depannya!
Liong-li juga memperhatikan orang itu. Memang tinggi akan tetapi tidak begitu besar, dan “tanduk” itu sesungguhnya bukan tanduk, melainkan kedok yang bagian atas kepalanya meruncing ke atas kanan kiri sehingga kalau dilihat dari jauh atau hanya sekelebatan saja memang mirip tanduk. Akan tetapi, Liong-li tidak sempat mengamati dengan jelas, bahkan tidak sempat bertanya karena tiba-tiba saja, tanpa mengeluarkan suara, si Bayangan Iblis itu telah menerjangnya dengan gerakan yang luar biasa cepatnya!
“Hemmm...!” Liong-li melempar tubuh ke samping sambil berjungkir balik. Tentu jarang ada yang mampu menghindarkan diri dari hantaman tangan kiri disusul totokan tangan kanan tadi, pikirnya.
Si Bayangan Iblis sendiri agaknya juga terkejut dan heran. Memang jarang sekali dia bertemu orang yang mampu menyelamatkan diri dari serangannya tadi. Biasanya dia tidak mau bekerja setengah-setengah, sekali serang tentu lawan roboh dan tewas, maka dia selalu mempergunakan jurus pilihan dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun, sekali ini dia kecelik karena orang berkedok hitam ini mampu menghindarkan diri, bahkan kini dari samping, lawannya membalas dengan serangan kaki. Kaki itu mencuat dalam bentuk tendangan yang mengarah lambungnya!
“Wuuuuttt...!” Tendangan Liong-li luput! Hal inipun memperingatkan Liong-li bahwa ia berhadapan dengan lawan yang tangguh sekali. Tendangannya tadi merupakan serangan yang dahsyat dan amat diandalkan, namun lawannya mampu mengelak dengan mudah!
“Huhh!” Suara ini keluar dari balik kedok lawannya, suara yang seperti mengejek atau mendengus, keluar dari hidung, kemudian orang itupun menyerang kalang kabut dan Liong-li semakin kagum. Bukan main hebatnya serangan lawannya, setiap gerakan tangannya mengandung tenaga yang amat dahsyat dan kuat, dan kecepatannya pun mengagumkan.
Di samping itu, gerakan silatnya juga aneh sehingga ia tidak mampu mengenalnya. Untuk mengukur tenaga lawan, ketika lengan kanan lawan itu menyambar dengan cengkeraman ke arah kepalanya, Liong-li menyambut dengan lengan kanan pula sambil miringkan tubuh dan mengerahkan seluruh tenaganya.
“Dessss...!!” Hebat bukan main akibat pertemuan dua buah lengan yang dipenuhi sin-kang (tenaga sakti) yang sudah mencapai tingkat tinggi itu. Tubuh Liong-li terpental dan ia harus mempergunakan kelincahannya, melakukan pok-sai (salto) sampai lima kali baru kakinya turun ke atas genteng dengan ringan. Adapun lawannya terdorong mundur dan kakinya terjeblos ke dalam genteng yang jebol!
Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih kuat, akan tetapi kini Liong-li sudah siap lagi karena orang itu sudah meloncat dan menyerangnya lagi, dan terjadilah perkelahian yang amat hebat di atas wuwungan rumah itu. Melihat betapa lawan sangat marah dan bersemangat melakukan penyerangan, Liong-li bersikap tenang, lalu ia mainkan langkah-langkah ajaib Liu-seng-pouw. Tubuhnya bergerak-gerak, kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh, namun tubuhnya dapat menyelinap di antara kedua tangan dan kaki lawan yang menyambar-nyambar dengan ganasnya!
Keributan di atas genteng ini, apa lagi ketika kaki Kwi-eng-cu (si Bayangan Iblis) tadi terjeblos ke dalam genteng, tentu saja terdengar oleh para penjaga yang segera berlarian dan mereka itu memasang obor. Bahkan ada beberapa orang anak buah Cian Ciang-kun yang kebetulan meronda lewat, segera berdatangan dan tiga orang sudah meloncat naik ke atas genteng dengan senjata di tangan. Sejak melihat sinar-sinar obor, Kwi-eng-cu nampak gugup dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan marah ketika melihat tiga orang berloncatan naik ke atas genteng.
Tiba-tiba tangan kanan kirinya bergerak dan Liong-li cepat mengelak sambil mengebutkan ujung lengan bajunya ketika melihat sinar-sinar hitam kecil menyambar. Ia terhindar dari sambaran benda-benda yang merupakan senjata rahasia itu, akan tetapi tiga orang yang berlompatan naik berteriak kesakitan dan merekapun roboh di atas genting. Liong-li meloncat dan melakukan pengejaran ketika Kwi-eng-cu melompat jauh dari atas wuwungan itu.
Terjadi kejar-mengejar di atas wuwungan, akan tetapi si Bayangan Iblis itu sudah melompat turun dan lenyap di antara pohon-pohon di dalam kebun. Liong-li juga melompat turun. Ia masih sempat melihat orang yang dikejarnya itu melompati pagar tembok, maka diapun cepat lari mengejar dan melompati pagar tembok, tidak perduli kepada para penjaga keamanan yang melihat mereka dan berteriak-teriak mengejar dengan obor di tangan kiri dan golok di tangan kanan. Sayang malam itu gelap sehingga ketika dia tiba di luar pagar tembok rumah Ciok Tai-jin, ia kehilangan jejak. Akan tetapi, ia melihat sesosok bayangan lari di depan.
“Hemm, hendak lari ke mana kau?”' teriaknya dan iapun mengejar sambil mengerahkan tenaga. Dan sekali ini ia berhasil menyusul bayangan itu dan tiba-tiba, Bayangan itupun membalik dan menusukkan pedangnya ke arah dada Liong-li!
“Hemm...!” Liong-li mengelak dengan mudah saja dan iapun membalas dengan tendangan kakinya. Lawannya menarik pedang dan miringkan tubuh, lalu pedang di tangannya itu menyambar turun untuk memapaki kaki Long-li yang menendang. Liong-li tersenyum mengejek, menarik kakinya dan kini tangan kirinya menyambar ke arah pelipis lawan, sedangkan tangan kanannya menotok ke arah siku kanan yang menonjol ke samping! Gerakannya cepat sekali dan lawannya mengeluarkan seruan kaget lalu melompat be belakang.
“Hemmmm...!” Liong-li berseru juga dengan heran lalu kakinya menyambar dahsyat. Orang itu mengelak lagi, akan tetapi pinggangnya masih kena dicium pinggir sepatu Liong-li sehingga dia terhuyung, lalu dia membalikkan, tubuhnya dan lari!
“Ehhh?” Liong-li merasa semakin heran. Orang berkedok dan berpakaian hitam ini serupa benar dengan yang ditempurnya di wuwungan rumah tadi, akan tetapi ia merasakan dengan jelas bahwa tingkat kepandaian orang pertama tadi jauh lebih tinggi dari pada kepandaian orang berpedang ini, walaupun yang kedua inipun merupakan lawan tangguh! Ia merasa curiga sekali dan menduga bahwa agaknya ada dua orang Kwi-eng-cu!
“Hemm, hendak lari ke mana kau?” teriaknya dan iapun melakukan pengejaran.
Kota raja sudah sunyi sekali karena malam sudah amat larut, sudah jauh lewat tengah malam. Hanya orang mabok saja yang masih berkeliaran di jalan raya, akan tetapi karena mereka itu mabok, tentu saja melihat dua orang lari berkejaran mereka tidak mengambil pusing. Aku harus tahu di mana sarangnya, pikir Liong-li. Akan tetapi, orang itu tidak lari ke arah istana seperti yang disangkanya, bahkan yang diharapkannya, melainkan lari ke arah selatan menjauhi istana! Pintu gerbang selatan memang tidak jauh dari situ.
Biar dia lari dari pintu gerbang, pikir Liong-li. Menurut Cian Ciang-kun, pada waktu itu, pintu-pintu gerbang kotaraja di jaga ketat, maka kalau si bayangan hitam itu lari ke situ, tentu akan ketahuan dan tidak mungkin dia dapat melarikan diri keluar pintu gerbang. Akan tetapi, ia menahan seruan kagetnya ketika melihat orang yang dikejarnya itu terus saja berlari menghampiri pintu gerbang, dan setelah tiba di pintu yang tertutup itu, tubuhnya meloncat ke atas dan tidak ada seorang pun penjaga yang mencegah perbuatannya atau yang kelihatan menghadang atau berteriak menegur!
Tentu saja Liong-li tidak memperdulikan keadaan itu dan terus mengejar dengan melompat ke atas pintu gerbang pula, melalui bangunan gardu seperti yang dilakukan orang yang dikejarnya. Setelah tiba di luar pintu gerbang, ia terus mengejar karena melihat si Bayangan Iblis itu lari ke arah kiri. Akan tetapi, yang dikejarnya itu lenyap di balik sebatang pohon besar. Untung banyak bintang kini bermunculan di langit yang telah ditanggalkan awan sehingga biarpun remang-remang cuaca tidaklah terlalu gelap.
Ketika ia tiba di dekat pohon, tiba-tiba ada angin menyambar dari kanan. Ia mengelak dan membalas serangan orang itu. Kiranya si Bayangan Iblis telah menyerangnya dengan pedangnya. Tendangannya membuat lawannya menarik pedang yang kini diangkat tinggi dan dibacokkan ke arahnya. Akan tetapi tanpa menggerakkan kakinya, dengan tendangan berantai, Liong-li “memasuki” dada yang terbuka itu.
“Desss!” Perut orang itu bertemu dengan tumitnya dan orang itupun terjengkang. Dia bergulingan dan menggerakkan tangan kiri. Liong-li yang mengejar, terpaksa mengelak untuk menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia sehingga orang itu memperoleh kesempatan untuk lari lagi.
“Jangan lari kau!” bentak Liong-li akan tetapi lawan telah menghilang di balik batang pohon di depan. Ketika ia mengejar, tiba-tiba ada lagi serangan dari kiri. Ini tidak mungkin orang yang lari tadi, pikirnya heran, apa lagi ketika serangan itu jauh lebih dahsyat dari pada orang tadi, walaupun bayangan itu masih sama gesitnya, dan juga berpedang.
Demikian cepat dan dahsyatnya serangan ini sehingga Liong-li terkejut, nyaris pundaknya terbabat pedang. Untung ia masih sempat menggunakan langkah ajaib Liu-seng-pouw sehingga biarpun terhuyung, ia mampu menghindarkan diri dari serangan bertubi-tubi itu. Kemudian, di dalam keremangan cuaca, ia melihat sebatang ranting pohon di bawah pohon di mana mereka berkelahi. Ketika pedang membabat dan berputaran untuk menutup semua jalan keluar, Liong-li menggunakan tubuhnya dan menyambar ranting itu. Sambil meloncat, ujung rantingnya menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang.
“Auhh!” Orang itu tidak menyangka sama sekali akan kelihaian Liong-li dalam menggunakan senjata yang hanya berupa sebatang ranting itu! Tentu saja Liong-li lihai bukan main memainkan ranting karena selain ilmu pedang, juga ia telah mewarisi ilmu silat tongkat dari suhunya, yaitu Huang-ho Kui-bo yang merupakan tokoh sakti yang terkenal dengan ilmu tongkatnya! Bahkan ilmu pedangnya juga bersumber dari ilmu memainkan tongkat ini!
Namun orang itu ternyata lihai juga. Biar pun pergelangan tangan kanannya tertotok ujung ranting, sehingga pedangnya terlepas, namun pedang itu dapat disambar oleh tangan kirinya dan iapun memutar pedangnya dengan marah. Liong-li terpaksa melangkah mundur menghindarkan sambaran pedang. Akan tetapi pada saat itu, lawannya melompat jauh ke belakang lalu melarikan diri memasuki sebuah hutan kecil.
Liong-li adalah seorang wanita yang selain sakti, juga cerdik bukan main. Melihat lawannya melompat ke dalam hutan yang gelap, ia tidak mau mengejar. Apa lagi ia tadi merasa dilawan oleh tiga orang yang berlainan, walaupun mereka semua mengenakan pakaian dan kedok yang sama, dan ketiganya lihai dan memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat.
Ia tidak mau masuk perangkap lawan. Selain itu, iapun tidak mau menanti sampai hari menjadi terang karena ia sendiripun melakukan penyamaran dan tidak ingin dikenal orang. Maka, iapun cepat memutar tubuhdan lari secepatnya menuju ke pintu gerbang. Ia harus menyelidiki para penjaga pintu gerbang, kenapa mereka itu sama sekali tidak menegur dan tidak menghalangi ketika ia berkejaran dengan Si Bayangan Iblis keluar dari Kota raja melalui pintu gerbang tadi. Apakah para penjaga itu termasuk sekutu Si Bayangan Iblis?
Setelah Liong-li memasuki gardu penjagaan dan melihat belasan orang perajurit penjaga pintu gerbang itu, barulah ia tahu mengapa Si Bayangan Iblis mampu keluar dari pintu gerbang tanpa terganggu para penjaga. Kiranya para penjaga itu semua dalam keadaan pingsan tertotok!
Makin yakinlah hatinya bahwa Si Bayangan Iblis itu bukan hanya satu orang saja! Yang bertempur dengannya tadi saja ia taksir tiga orang yang berlainan, dan mungkin lebih banyak lagi melihat bahwa ada pula yang menotok para penjaga sampai pingsan. Ia tidak menyadarkan para penjaga. Biarlah, ini bagian Cian Ciang-kun untuk menyelidiki dan menanyai mereka. Iapun terus saja memasuki kota dan menuju ke rumah Cian Ciang-kun.
Akan tetapi ketika ia melewati rumah itu, perasaannya yang peka itu memberi isyarat kepadanya dan kecerdikannya pun bekerja. Tidak, pikirnya, ia tidak boleh memasuki rumah Cian Ciang-kun! Siapa tahu kalau ada pihak lawan yang membayanginya. Kalau ia tadi mampu membayangi lawan, kini berbalik mungkin sekali lawan membayanginya sejak di luar kota tadi!
Kalau benar demikian, tentu mereka akan mengetahui bahwa ia tinggal di rumah Cian Ciang-kun sehingga akan terbongkarlah rahasianya! Dan hal ini berbahaya sekali! Tidak, ia harus dapat menghilangkan jejaknya sebagai si kedok hitam yang jelas menentang pembunuh misterius yang berjuluk Kwi-eng-cu itu. Tanpa ragu dan tanpa menengok sedikitpun ke arah rumah Cian Ciang-kun maupun ke belakang, Liong-li terus saja bergerak menuju ke sebuah kuil! Tidak ada tempat yang lebih baik untuk menghilangkan jejaknya kecuali di kuil besar itu.
Pada masa itu, agama Buddha sedang berkembang dengan baiknya dan diterima oleh keluarga kaisar, maka kuil yang berada di kota raja amat besar. Banyak dikunjungi tamu, bahkan ada pula tamu-tamu yang sengaja bermalam di kuil itu. Juga di situ penuh dengan hwesio yang beribadat dan saleh. Selama tiga hari ini, Liong-li sudah berkeliling kota dalam penyelidikannya, dan iapun tidak melewatkan kuil ini. Sudah dikunjunginya beberapa kali sebagai seorang nenek, namun tidak ada yang mencurigakan di kuil itu.
Penyelidikannya membuat ia tahu akan keadaan kuil itu, maka tanpa ragu lagi ia menyelinap masuk ke dalam ruangan depan kuil yang sunyi karena baik para tamu maupun para pendeta sudah beristirahat. Hanya meja sembahyang masih nampak ada lilin bernyala dan asap sisa hio masih memenuhi ruangan. Ketika memasuki ruangan itu, Liong-li diam-diam melepas pakaian hitamnya, kemudian menyelinap ke tempat yang gelap dan cepat sekali ia merobah penyamarannya.
Lima menit kemudian, ketika ia keluar dari tempat gelap, ia telah menjadi seorang nenek keriputan yang membawa buntalan dan berjalan agak bongkok, yang masuk ke ruangan di mana para tamu yang ingin memohon sesuatu di kuil itu bermalam. Iapun mencampurkan diri dengan para tamu perempuan yang masih tidur dalam ruangan kosong yang luas itu, tidur malang melintang dan iapun merebahkan diri memeluk buntalannya yang sesungguhnya berisi pakaian dan kedok hitamnya tadi. Ia menanti sambil berpura-pura tidur.
Tak lama kemudian ia mendengar gerakan kaki di luar ruangan, lalu sebuah kepala muncul di balik jendela. Sepasang mata yang tajam menyapu ruangan itu. Kepala seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, bermuka persegi dan bermata tajam sekali. Ia melihat orang itu memiringkan kepala dan iapun tahu bahwa orang itu sedang melakukan penyelidikan dengan pendengarannya yang tajam terlatih. Maka iapun mengatur pernapasannya, seperti orang tidur nyenyak.
Tak lama kemudian, kepala itupun menghilang. Akan tetapi ia masih belum mau bergerak. Ia harus berhati-hati. Mungkin lawan yang membayanginya sedang mencari-cari di seluruh kuil karena ia memang tadi menghilang ke dalam kuil. Benar saja dugaannya. Tak lama kemudian, kembali kepala itu muncul dan mengamati seluruh ruangan, seluruh perempuan yang tidur, seperti hendak memilih siapa di antara mereka itu orang yang dicarinya. Dan Liong-li tetap saja tidak bergerak, bahkan ia mengeluarkan suara mendengkur lirih!
Hatinya tersenyum geli, akan tetapi juga memuji diri sendiri akan ketelitiannya. Terdengar kepala di jendela itu menghela napas, agaknya kecewa karena kehilangan orang yang dibayanginya. Setelah mengamati semua orang selama hampir seperempat jam lamanya, akhirnya kepala itupun menghilang dan Liong-li mendengar langkah kaki meninggalkan tempat itu. Jelas bahwa orang itu tidak ada nafsu lagi untuk menyelidiki, buktinya langkahnya berat dan acuh.
Setelah terdengar ayam berkokok dan beberapa orang di antara para tamu wanita itu, ada yang terbangun. Liong-li juga bangun dan berlagak seperti orang yang baru bangun tidur, membereskan rambutnya yang awut-awutan lalu bangkit meninggalkan ruangan itu. Sikap dan penampilannya demikian wajar sehingga tidak mencurigakan siapapun.
Siapa yang akan mencurigai seorang nenek tua yang mungkin mintakan ramalan untuk dirinya, atau mungkin juga memintakan obat untuk cucunya yang sakit, di kuil itu? Dengan terbongkok-bongkok Liong-li yang kini sudah berubah menjadi seorang nenek keriputan itu meninggalkan kuil, terseok-seok dengan muka tunduk berputar-putar dulu untuk meyakinkan bahwa dirinya tidak dibayangi orang, baru ia melewati gedung Cian Ciang-kun dan memasuki pekarangan.
Tiga orang pelayan itu memandang heran. Mereka tahu bahwa majikan mereka mempunyai seorang tamu, akan tetapi setahu mereka, nenek tua yang menjadi tamu itu tidak pernah meninggalkan kamarnya. Bagaimana sekarang tahu-tahu telah datang dari luar? Untung bahwa Cian Ciang-kun yang sejak pagi menanti dengan gelisah, segera menyambutnya.
“Aih, bibi, sepagi ini engkau sudah berjalan-jalan?” tegurnya dan diapun segera membimbing “bibinya” yang dari dusun itu dan diajaknya masuk.
Tiga orang pelayan itu menggeleng-geleng kepala setelah majikan mereka menggandeng nenek itu masuk. Mereka tahu bahwa majikan mereka adalah seorang yang baik budi, akan tetapi belum pernah mereka melihat majikan mereka mempunyai seorang bibi dari dusun yang sudah tua dan yang agaknya amat dihormati dan disayang oleh majikan mereka. Akan tetapi, tentu saja urusan keluarga itu tidak menarik perhatian mereka.
“Wah, engkau sungguh membuat aku menjadi gelisah bukan main, Li-hiap. Apa saja yang kaudapatkan semalam sehingga engkau sampai pulang terlambat dan sudah menyamar lagi sebagai seorang nenek?” Cian Ciang-kun yang cerdik segera dapat menduga bahwa tentu pendekar wanita itu telah menemukan sesuatu.
Liong-li lalu menceritakan apa yang telah dialaminya semalam, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cian Ciang-kun. Ketika Liong-li bercerita tentang para penjaga pintu gerbang selatan yang pingsan tertotok semua, dia cepat bertepuk tangan dan seorang pelayan pria muncul di ambang pintu.
“Cepat kau pergi keluar dan undang Teng Ciang-kun ke sini. Cepat!”
Pelayan itu berlari keluar dan tak lama kemudian dia sudah kembali bersama seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Dia adalah Teng Ciang-kun, seorang perwira yang setia membantu Cian Ciang-kun dan tinggalnya pun di bangunan kecil sebelah depan rumah Cian Ciang-kun yang menjadi atasannya.
Teng Ciang-kun memberi hormat tanpa memperdulikan nenek tua yang duduk di situ. Dia adalah seorang petugas yang setia dan amat baik, melaksanakan segala tugas yang diperintahkan atasannya dengan taat dan tidak pernah ingin tahu akan urusan pribadi atasannya. Maka diapun acuh saja melihat hadirnya seorang nenek di situ, hal yang sebenarnya tidak wajar dan tidak seperti biasa.
“Teng Gun, cepat engkau pergi ke pintu, gerbang selatan dan selidiki kepada semua perajurit yang bertugas jaga semalam, apa yang terjadi dengan mereka. Atau lebih baik lagi engkau bawa saja komandan jaganya ke sini, katakan bahwa aku mempunyai kepentingan dengan dia. Sekarang juga!”
Teng Gun atau Teng Ciang-kun memberi hormat lalu pergi. Terdengar suara derap kaki kuda, tanda bahwa dia berkuda agar dapat melaksanakan tugas itu dengan cepat. Sambil menanti kembalinya Teng Ciang-kun, Cian Hui melanjutkan percakapannya dengan Liong-li.
“Jelaslah sekarang bahwa Si Bayangan Iblis bukan hanya satu orang saja, Ciang-kun. Yang berkelahi dengan aku sedikitnya ada tiga orang Kwi-eng-cu yang berlainan. Hal ini dapat kukenal dari tingkat kepandaian mereka. Sungguh berbahaya sekali, mereka itu semua amat lihai, terutama orang pertama yang kuhadang di atas genteng rumah Ciok Tai-jin. Terlambat sedikit saja, Si Bayangan Iblis itu tentu sudah masuk dan berhasil membunuh Ciok Tai-jin.”
“Hemm, belum tentu, Li-hiap. Ketahuilah bahwa di dalam rumah wakil Menteri Pajak itu terdapat seorang jagoan yang amat lihai, seorang murid dari orang sakti di Kun-lun-san. Kabarnya jagoan itu murid Kun-lun-pai yang amat tangguh. Karena adanya jagoan itulah maka akupun tidak melakukan penjagaan ketat di dekat rumah Ciok Tai-jin, seperti di rumah para pejabat tinggi lain yang kuanggap mungkin akan diserang oleh Kwi-eng-cu.”
“Hemm, bagus kalau begitu. Dia seorang pengawal pribadi pembesar itu?” tanya Liong-li tertarik.
“Bukan pengawal, melainkan masih anggauta keluarga. Ia adalah keponakan wanita isteri pembesar itu.”
“Hemm, seorang wanita?”
“Ia seorang wanita yang masih muda dan cantik, sebaya dengan engkau, li-hiap. Kalau orang melihatnya, tentu tidak akan menyangka bahwa ia adalah seorang murid Kun-lun-pai yang gemblengan dan lihai sekali. Namanya Sui In dan ia terkenal sekali. Aku sendiri belum pernah melihat kehebatan ilmu silatnya, namun dari kawan-kawan, aku dapat mengukur bahwa tingkat kepandaiannya tentu jauh melebihi tingkatku.”
“Wahh...!” Liong-li berseru kagum. “Tentu hebat sekali wanita itu, dan kalau usianya sebaya denganku, tentu ia telah bersuami...”
“Memang pernah bersuami, akan tetapi kini ia menjadi janda tanpa anak, karena suaminya menjadi seorang di antara korban-korban pertama pembunuhan Si Bayangan Iblis...“
“Ahhh...!” Liong-li termenung.
“Memang kasihan sekali wanita muda itu. Akan tetapi sudahlah, memang sudah nasibnya dan bukan hanya suaminya saja yang menjadi korban.”
Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki dua ekor kuda dan tak lama kemudian muncullah Teng Ciang-kun dan seorang komandan jaga yang nampaknya berwajah kusut dan agak pucat, sinar matanya memandang ketakutan. Ketika bertemu dengan Cian Hui, dia segera memberi hormat sambil menekuk lutut kanannya dan suaranya terdengar penuh permohonan.
“Mohon kebijaksanaan Ciang-kun agar peristiwa itu tidak dilaporkan kepada panglima. Sungguh mati kami tujuh belas orang sama sekali tidak berdaya menghadapi bayangan yang bergerak demikian cepatnya, dan tahu-tahu kami sudah kehilangan kesadaran dan tidak tahu apa yang telah terjadi. Baru pagi tadi kami sadar dan seperti baru bangun dari tidur saja. Semua peristiwa itu bagaikan mimpi saja, akan tetapi ketika kami saling bercakap-cakap, tahulah kami bahwa peristiwa itu bukan mimpi dan kami ketakutan, tidak berani melapor ke atasan karena kami takut dituduh lengah.”
“Hemm, coba ceritakan dengan sejelasnya, apa yang telah terjadi, baru akan kupertimbangkan apakah kalian patut dilaporkan ataukah tidak,” kata Cian Hui dengan suara tegas...