“APA engkau hendak menjual cincin? Tidak, aku tidak butuh cincin!”
Karena kata-kata ini diucapkan dengan cukup lantang dan Sui In memandang ke arah kedua tangan yang berada di tepi mejanya, si kepala besar itu terkejut dan mukanya berubah merah sekali, apa lagi karena terdengar suara ketawa temannya yang kurus, bahkan ada pula suara ketawa dari meja lain, entah siapa.
“Heh-heh, Ji-toako, engkau disangka penjual cincin di pasar, ha-ha!”
Pemuda she Ji itu merasa malu, akan tetapi dia mengira bahwa wanita cantik di depannya itu tidak sengaja menghinanya, apa lagi kini dia sudah berada dekat sekali dengan wanita itu, dan ternyata wanita itu jauh lebih cantik dari pada ketika dilihatnya dari jauh tadi. Juga ketika bicara, bibir yang menggairahkan itu bergerak-gerak manis sekali. Maka, biarpun merasa malu, pemuda berkepala besar itu tidak dapat marah kepada seorang wanita secantik itu.
“Toanio, aku bukan penjual cincin. Semua ini bukan barang dagangan, melainkan milikku pribadi. Ketahuilah, aku pemuda keluarga Ji, merupakan seorang pemuda yang paling kaya raya, paling royal dan tidak ada duanya di kota Tung-cu...“
“Aku tidak mengenalmu. Pergilah dan biarkan aku sendiri,” Sui In berkata.
Pemuda itu masih menyeringai. “Heh-heh, moi-moi (adik) yang manis, harap jangan menjual mahal seperti itu. Marilah, aku sendiri yang mengundangmu untuk duduk makan minum dengan kami semeja. Ataukah aku yang menemanimu di sini? Hei, pelayan, cepat hidangkan arak baru dan semua masakan lezat yang ada di rumah makanmu ini!”
Dia lalu duduk begitu saja dan berkata kepada Sui In. “Moi-moi, kalau perlu, rumah makan ini bisa kubeli untukmu, heh-heh!”
Sui In mengerutkan alisnya. Orang ini semakin kurang ajar, pikirnya, tidak lagi menghargainya dengan sebutan Toanio (nyonya), melainkan berani menyebut moi-moi yang manis, seolah-olah ia telah menjadi kekasihnya saja! Akan tetapi, karena tidak ingin ribut-ribut, ia masih menahan kesabarannya.
“Hemm, sekali lagi kukatakan. Aku tidak mempunyai urusan denganmu, aku tidak suka nenerima undanganmu, tidak suka makan minum bersamamu dan tidak suka engkau makan minum di mejaku ini. Pergilah dan jangan aku kehilangan kesabaranku!”
Kalimat terakhir sudah bernada keras, dan tanpa disengaja Sui In melihat pula pemuda yang berpakaian serba putih itu tersenyum sedikit. Juga tiga orang setengah tua yang duduk di sudut belakang kini memandang ke arah mejanya dengan penuh perhatian. Gemaslah rasa hati Sui In. Ulah pemuda kepala besar ini tentu saja telah menarik perhatian orang, dan ia menduga bahwa tentu mereka semua yang berada di rumah makan itu telah memperhatikan dirinya.
Sudah kepalang tanggung sekarang, tidak perlu lagi ia menjaga jangan sampai ada keributan. Akan tetapi ia tetap menuangkan lagi semangkok kecil air teh harum yang masih panas mengepul itu dan meniupinya perlahan untuk mendinginkannya sebelum diminumnya sedikit demi sedikit.
Si kepala besar itu sungguh tak tahu diri. Dia adalah seorang pemuda kaya raya, dan putera pejabat yang sejak kecilnya telah di manja orang tuanya dan para hamba sahayanya, sejak kecil apapun yang dikehendakinya terlaksana. Oleh karena itu, setelah dewasa, diapun menjadi berandalan dan ingin dimanjakan siapapun juga. Dia tidak mengenal takut karena selalu bergelimang kekayaan dan kekuasaan yang membuat semua orang takut kepadanya. Mendengar ucapan Sui In, dia mengerutkan alisnya.
“Apa? Engkau berani menolak ajakanku? Nona manis, jangan sombong engkau! Kalau perlu, aku mampu membeli dirimu, aku mampu membeli seratus orang perempuan seperti engkau...”
Sui In marah sekali mendengar ucapan itu dan sebelum kalimat terakhir itu habis diucapkan, ia sudah membentak, “Pergilah!” Tangan yang memegang mangkok kecil berisi air teh panas itu bergerak dan air dari dalam mangkok menyiram ke arah muka pemuda kepala besar.
“Ouhhhhh...!” Bagi orang yang pernah disiram mukanya dengan air panas baru akan tahu betapa nyerinya ketika air teh yang masih panas itu mengenai mata, hidung dan mulut pemuda kepala besar itu. Selagi dia bangkit dan mengeluarkan teriakan kesakitan, tiba-tiba kaki Sui In di bawah kolong meja bergerak, menendang.
“Desss...!” Perut itu tertendang dan si pemuda berkepala besar terlempar jauh! Bahkan, tubuhnya melewati meja kosong dan meluncur ke arah meja di mana duduk pemuda berpakaian serba putih yang makan minum seorang diri pula.
Melihat betapa hidangan di atas mejanya terancam hancur berantakan, tiba-tiba tubuh pemuda berpakaian putih itu sudah meloncat bangun dan dengan sigapnya dia menjulurkan kedua tangan, menyambar tubuh yang melayang itu dan sekali dia melontarkan, tubuh pemuda kepala besar itu berbelok arah melayang ke arah mejanya sendiri.
“Brakkkkk...!” Meja itupun runtuh dan semua masakan tumpah dan berantakan ketika meja itu tertimpa tubuh si kepala besar.
“Aduhh... auhhh, aduhhhh...!” Si kepala besar mengaduh-aduh, juga si kurus yang menjadi temannya mengaduh dan menyumpah-nyumpah karena muka dan pakaiannya juga berlepotan kuah masakan. Akan tetapi dua orang teman mereka yang lain sudah dapat berloncatan menghindar dengan gerakan cepat sehingga tidak sampai ikut tertimpa atau tersiram kuah masakan!
Tiga orang setengah tua yang sejak tadi melihat, kini saling pandang. Akan tetapi Sui In sudah duduk kembali menuangkan air teh dalam mangkoknya, minum air teh panas seperti tidak terjadi sesuatu. Juga pemuda berpakaian putih tadi nampak masih duduk sambil makan minum, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu! Padahal, menyambar tubuh yang melayang lalu melontarkan kembali ke arah yang lain membutuhkan kecekatan tangan dan juga tenaga besar.
Apa yang diperlihatkan oleh pemuda berpakaian putih itu sesungguhnya bukan apa-apa baginya. Seperti permainan kanak-kanak saja karena dia tentu saja dapat melakukan hal-hal yang jauh lebih sukar dari pada sekedar melemparkan tubuh si kepala besar tadi. Pemuda itu, walau nampaknya lemah seperti seorang terpelajar, seorang kongcu (tuan muda), atau seorang siu-cai (sarjana), sebetulnya adalah seorang yang memiliki nama besar dan kalaupun wajahnya jarang muncul di dunia persilatan dan orang tidak mengenalnya, namun namanya sudah terkenal di empat penjuru.
Hampir semua orang di dunia persilatan pernah mendengar namanya yang besar, yaitu nama julukannya. Dia dijuluki orang Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) atau disingkat Pek-liong (Si Naga Putih) saja karena ke manapun dia pergi, dia selalu berpakaian putih, dan sepak terjangnya seperti seekor naga sakti!
Si Naga Putih atau Pendekar Naga Putih ini bernama Tan Cin Hay, berusia dua puluh tujuh tahun. Wajahnya yang tampan sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang pria yang gemblengan, lebih pantas kalau dia menjadi seorang terpelajar. Sikap dan gerak geriknya juga lembut, tubuhnya sedang saja dan otot-otot yang kuat itu tersembunyi di balik pakaian sehingga tidak nampak dari luar. Pakaiannya yang serba putih amat bersih.
Satu-satunya yang membayangkan bahwa dia seorang pria jantan yang kadang berwatak keras adalah dagunya yang berlekuk, dan matanya yang kadang mencorong. Biarpun namanya terkenal sekali di dunia persilatan, namun kalau tidak perlu, jarang dia keluar ke dunia kang-ouw. Dia hidup menyendiri di dusun Pat-kwa-bun tak jauh dari Telaga See-ouw, di dalam sebuah rumah gedung yang megah dan indah. Dari rumahnya ini saja dapat diketahui bahwa pendekar yang hidup menyendiri itu adalah seorang yang kaya raya.
Dan memang benar demikian. Bersama Hek-liong-li Lie Kim Cu, Pek-liong-eng Tan Cin Hay pernah mendapatkan harta karun yang amat besar, tak ternilai besarnya. Mereka membagi dua dan dengan bagian harta karun itu, Pendekar Naga Putih menjadi orang yang kaya raya. Dia seorang duda. Isterinya yang tercinta tewas di tangan penjahat, dan sejak itu, dia tidak pernah mau menikah lagi walaupun kalau dia mau banyak gadis yang akan merasa bangga dan berbahagia menjadi isterinya. Dia tampan, gagah, berkepandaian tinggi, kaya raya!
Jangankan wanita yang belum dikenalnya, bahkan wanita yang pernah bergaul dekat dengannya, yang pernah berenang di lautan asmara bersamanya, tak pernah ada yang berhasil mengikatnya sebagai suami. Tidak, dia tidak mau terikat dalam pernikahan dengan seorang wanita, walaupun dia tidak menolak untuk bercinta dengan seorang wanita yang menarik hatinya, yang bebas, dan yang tahu bahwa dia tidak akan mau menikahinya.
Dia pantang mempergunakan kekayaan dan ketampanannya untuk menjatuhkan hati wanita, pantang untuk menjanjikan pernikahan lalu menipunya. Dia hanya mau mendekati wanita yang sudah tahu bahwa dia tidak mau terikat, dan kalaupun mereka berdua bercinta, hal itu dilakukan karena mereka saling merasa suka.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay maklum bahwa di dunia persilatan, banyak tokoh pendekar yang mencela sikapnya terhadap wanita itu. Banyak pendekar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang menganggapnya sebagai seorang yang mata keranjang, seorang perayu wanita dan tukang merusak wanita, seorang petualang cinta yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita!
Namun, dia tidak memperdulikan anggapan orang. Dia sudah meneliti diri sendiri dan tidak menemukan watak seperti yang dikatakan orang terhadap dirinya. Tidak, dia tidak akan pernah memaksa seorang wanita untuk bercinta dengannya, baik memaksa dengan kekerasan atau memikatnya dengan kekayaannya, kepandaiannya atau ketampanannya. Dia tidak pernah jatuh cinta dalam arti seperti cintanya terhadap mendiang isterinya dahulu.
Dia tidak pernah ingin memperisteri seorang wanita. Dan hubungannya dengan seorang wanita terjadi karena mereka saling mengagumi, saling tertarik, dengan penuh kesadaran bahwa hubungan itu tidak akan berlanjut ke jenjang pernikahan. Dia tidak pernah menipu! Bahkan tidak jarang dia menjauhkan diri sebelum terjadi hubungan cinta kalau seorang gadis atau seorang janda benar jatuh cinta dan menginginkan menjadi isterinya.
Kini empat orang muda itu menjadi marah bukan main. Pemuda berkepala besar dan pemuda kurus yang berpakaian mewah itu adalah dua orang yang merasa diri mereka sebagai kongcu-kongcu (tuan muda) yang harus ditaati semua perintah mereka. Mereka itu putera-putera orang kaya raya yang sejak kecil dimanja dan dituruti semua permintaan mereka.
Dua orang kawan mereka adalah tukang pukul mereka yang hidup bagaikan lintah, menempel kepada dua orang muda kaya itu. Ke manapun mereka berdua yang sakunya penuh uang itu pergi, tentu ada saja pemuda-pemuda tukang pukul yang mengikuti mereka sebagai pengawal dan juga sebagai pembonceng berbelanja apa saja.
“Hajar perempuan itu!” bentak si kepala besar yang masih mengaduh-aduh karena mukanya kini seperti udang direbus, kemerahan terkena kuah dan air teh panas. Dia menuding ke arah Cu Sui In dengan mata melotot lebar.
“Ia harus mencium kaki kami untuk minta ampun!” kata pula si kurus yang juga terkena percikan kuah dan kini dia sibuk membersihkan pakaiannya yang kotor dan basah.
Dua orang tukang pukul itu menghampiri Cu Sui In dengan sikap mengancam. Sui In sudah selesai makan atau memang ia sudah kehilangan seleranya, maka ia bangkit dari duduknya dan menggapai pelayan karena ia ingin membayar harga makanan dan minumannya lalu pergi dari situ secepatnya.
Seorang pelayan bergegas datang menghampirinya, akan tetapi dua orang tukang pukul itu mendorongnya sehingga terpelanting. “Pergi kau!” bentak seorang di antara dua tukang pukul itu, yang berjenggot kambing.
Orang kedua, yang matanya juling, berkata kepada Sui In dengan nada memerintah. “Bocah sombong, hayo cepat berlutut mohon ampun kepada kedua orang kongcu kami, atau engkau ingin aku memaksamu berlutut?” Dia menghampiri dengan sikap mengancam.
“Berlutut dan cium kaki kedua kongcu kami!” bentak pula si jenggot kambing.
Wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan sinar mata yang jeli itu kini mencorong, tanda bahwa Sui In marah bukan main mendengar ucapan yang nadanya menghina itu. “Aku tidak ingin mencari perkara, akan tetapi kalau kalian tidak cepat pergi dari sini dan menutup mulut kalian yang kotor, terpaksa kalian akan kuhajar!” katanya, lembut namun mengandung ancaman.
“Heiiiittt!” Si mata juling segera memasang kuda-kuda, kedua kaki terpentang, kedua lutut ditekuk dan pinggulnya menonjol ke belakang, kedua lengan menyilang di depan dada, dengan tangan membentuk cakar. Lagaknya yang digagah-gagahkan itu lucu sekali.
“Hyatttt...!” Si jenggot kambing juga memasang kuda-kuda, lebih gagah lagi, dengan kaki kiri diangkat dan lutut ditekuk sehingga kaki kiri menempel di samping lutut kanan sedangkan kaki kanan berjungkit, tangan kiri di depan pusar dan tangan kanan diangkat tinggi menuding langit! Seolah-olah dia hendak memainkan ilmu silat yang amat luar biasa tingginya, setinggi langit. Akan tetapi karena dia tidak dapat bertahan lama dengan sebelah kaki berjungkit, maka kaki kanan diturunkan dan kini dia membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, kaki kiri di belakang, kedua tangan terkepal di pinggang, siap untuk menerjang!
Melihat lagak mereka, Sui In tersenyum mengejek dan menepiskan tangannya seperti orang mengusir lalat. “Sudahlah, kalian badut-badut menjemukan, aku mau pergi!” Ia lalu melangkah dan sama sekali tidak memperdulikan kedua orang yang memasang kuda-kuda dan siap menyerangnya itu.
Melihat betapa gadis itu tidak takut menghadapi kuda-kuda mereka yang gagah, dua orang tukang pukul itu marah dan ketika gadis itu lewat di antara mereka, keduanya seperti berlomba lalu menubruk maju, berlumba untuk merangkul gadis itu. Si jenggot kambing merangkul leher, dan temannya si mata juling merangkul pinggang Sui In membiarkan sampai serangan mereka itu datang dekat, lalu tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat cepat ke depan. Dua orang yang sudah yakin akan berhasil menubruk dan merangkul itu, girang sekali.
“Bressss...!” Mereka mengaduh karena mereka ternyata saling tubruk dan saling rangkul, bahkan kepala mereka saling bertemu dengan kerasnya. Terdengar suara tertawa bergelak dan yang tertawa ini adalah Pek-liong yang tak dapat menahan kegelian hatinya melihat lagak dua orang itu, dan diapun girang dan kagum melihat kecekatan gadis manis itu.
“Keparat kau!” bentak si jenggot kambing sambil mencabut goloknya.
“Perempuan hina!” bentak pula si mata juling dan diapun mencabut goloknya.
Akan tetapi, Sui In tetap tenang, tidak mengeluarkan senjatanya karena dara ini sudah dapat mengukur bahwa dua orang lawannya itu lebih mengandalkan kenekatan dari pada kepandaian. Mereka itu seperti dua buah tong kosong yang berbunyi nyaring. Dengan teriakan-teriakan menyeramkan, ke dua orang itu kini menggerakkan golok mereka dan menerjang ke arah Sui In, bukan hanya untuk menakut-nakuti, melainkan benar-benar menyerang!
Namun, Sui In dengan mudahnya berloncatan mengelak. Dua orang itu mengamuk terus, mengejar ke manapun Sui In meloncat sehingga golok mereka menyambar-nyambar dan merobohkan beberapa buah kursi yang menjadi patah-patah. Melihat ini, pemilik rumah makan itu menjadi panik. Bisa hancur semua perabotnya!
“Sudah! Sudah... harap jangan berkelahi di sini...!” Berulang-ulang dia berteriak.
Melihat ini, Sui In merasa kasihan, maka ketika dua batang golok itu menyambar, tubuhnya merendah dan kedua lengannya berkembang, tangannya sudah menotok ke arah siku dua orang penyerangnya. Golok itu terlepas dan pada detik berikutnya, kaki kanan gadis itu terangkat dan dua kali bergerak menendang ke arah perut dua orang lawannya.
Kaki itu menendang dengan gerakan cepat dan indah, dua kali bergerak tanpa turun dulu. Nampaknya tendangan itu tanpa tenaga, akan tetapi, begitu mengenai perut si jenggot kambing dan si mata juling, keduanya berteriak kesakitan, dan terjengkang lalu mengaduh-aduh sambil mengelus perut mereka yang mendadak terasa mulas dan nyeri sekali!
Kini Sui In melangkah ke arah meja dua orang pemuda kaya itu, tanpa memperdulikan, lagi dua orang bekas lawan yang mengaduh-aduh. Matanya yang jeli itu menatap wajah kedua orang pemuda hartawan itu dengan sinar mencorong.
Dua orang pemuda itu berdiri menggigil ketakutan melihat betapa dua orang tukang pukul mereka roboh tak berdaya. Apa lagi melihat sinar mata gadis itu, mereka ketakutan dan kedua kaki mereka menggigil, dan ketika Sui In tiba di depan mereka, tak dapat ditahan lagi celana mereka menjadi basah! Melihat ini, Sui In merasa jijik. Tangan kirinya bergerak, dua kali ke arah muka mereka.
“Plok! Plok!” Tubuh dua orang pemuda hartawan itu terpelanting dan ketika mereka bangkit duduk sambil memegangi pipi yang membengkak dan mulut berdarah karena beberapa buah gigi mereka rontok, gadis itu sudah membayar harga makanan tanpa bicara lagi, dan melangkah pergi.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay kagum bukan main. Gadis hebat, pikirnya dan dia merasa puas. Kalau lebih banyak wanita seperti gadis berpakaian hijau itu, tentu berkuranglah laki-laki iseng yang suka mengganggu wanita dengan cara yang kurang sopan. Diapun mengenal gerakan wanita itu ketika tadi menghadapi serangan dua batang golok, cara mengelak, kemudian tendangan beruntun itu.
Gerakan gadis itu mempunyai ciri khas yang datang dari sumber partai persilatan Kun-lun-pai. Gadis itu tentu seorang murid Kun-lun-pai, pikirnya. Murid yang sudah jadi, sudah matang menurut dugaannya. Tentu saja ini hanya dugaan karena untuk menentukan tingkat gadis itu, dia harus melihat gadis itu bersilat berkelahi sungguh-sungguh, terutama menggunakan ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedangnya.
Sambil tersenyum dia melihat betapa empat orang pemuda itu merangkak-rangkak, membayar harga makanan, bahkan membayar pula kerugian yang timbul karena kerusakan meja kursi dan pecahnya mangkok piring akibat perkelahian tadi. Kemudian mereka pergi dari situ, si kepala besar tidak malu-malu menangis dan mengaduh-aduh karena pipinya bengkak dan banyak giginya sebelah kanan rontok!
Akan tetapi, Cin Hay yang sudah hampir melupakan lagi gadis berpakaian hijau yang lihai dan menarik itu, dan hendak melanjutkan makan minumnya, tiba-tiba tertarik melihat sikap tiga orang pria-pria setengah tua yang tadi dia lihat makan pula di meja lain. Dari sikap mereka, diapun tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa bertualang di dunia persilatan. Akan tetapi tadi dia tidak memperhatikan mereka.
Baru sekarang dia menaruh perhatian ketika melihat betapa tiga orang itu bicara bisik- bisik dan kadang menoleh ke luar setelah gadis berpakaian hijau tadi meninggalkan rumah makan itu. Alisnya berkerut. Jelas bahwa mereka itu bukan orang-orang lemah, terutama sekali orang yang berusia limapuluh tahun dan rambutnya sudah berwarna putih semua itu.
Pernah dia mendengar akan seorang tokoh sesat yang rambutnya sudah putih semua dan terkenal ahli bermain pedang, julukannya Pek-mau-kwi (Setan Rambut Putih). Inikah orangnya? Diapun memperhatikan dua orang yang lain. Yang seorang berperut gendut, mukanya ramah akan tetapi matanya bersinar kejam. Orang kedua kurus pendek dengan wajah bengis. Tak lama kemudian, tiga orang ini bangkit dari meja dan membayar harga makanan, lalu bergegas mereka keluar.
Cin Hay melirik ke arah meja mereka. Mereka itu belum selesai makan, akan tetapi mengapa tergesa-gesa pergi? Dan mereka tadi jelas membicarakan si nona baju hijau! Timbul kecurigaannya dan diapun segera membayar harga makanan lalu melangkah keluar. Di luar masih terdapat beberapa orang yang tadi tertarik melihat keributan yang terjadi dalam rumah makan dan mereka itu kini sedang membicarakan gadis baju hijau dengan kagum.
Cin Hay masih sempat melihat mengepulnya debu bekas kaki tiga ekor kuda itu menuju ke utara, maka diapun berjalan dengan langkah lebar menuju ke utara. Setelah keluar dari dusun Kim-tang, sebagai seorang yang tinggal di daerah Telaga See-ouw, tentu saja dia mengenal baik daerah ini dan melihat betapa masih nampak debu bekas kaki kuda mengepul di depan, tahulah dia bahwa tiga orang penunggang kuda itu menuju ke bukit hutan cemara.
Dia tahu bahwa hutan itu sunyi dan jarang dikunjungi orang karena selain di sana tidak terdapat binatang buruan, juga banyak bagian yang berbatu-batu dan tidak mendatangkan hasil apapun kecuali kayu pohon cemara. Diapun segera mengerahkan tenaga berlari cepat setelah tiba di jalan yang sunyi, membayangi tiga orang penunggang kuda itu.
Kini dia sudah kehilangan tiga orang penunggang kuda karena mereka sudah memasuki hutan di kaki bukit. Cin Hay yang merasa curiga, terus membayangi, bahkan mempercepat larinya untuk menyusul karena kalau sudah tiba di hutan, dia dapat membayangi dari jarak yang lebih dekat tanpa mereka ketahui.
Sementara itu, Sui In setelah meninggalkan rumah makan, segera melanjutkan perjalanannya. Ia ingin mengunjungi susioknya (paman gurunya) yang bertapa di Bukit Cemara itu. Susioknya adalah seorang tokoh Kun-lun-pai, dan ia percaya bahwa kalau susioknya membantu, akan lebih mudah baginya untuk mencari Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) sampai dapat dan membalas dendam atas kematian suaminya, juga menghentikan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja selama ini.
Ketika Sui In tiba di luar dusun, iapun menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke bukit Cemara. Setelah hampir tiba di kaki bukit, ia merasakan sesuatu yang tidak wajar, yang membuatnya menengok dan iapun melihat tiga orang penunggang kuda membalapkan kuda mereka. Ia tidak tahu siapa mereka, akan tetapi menduga bahwa tentu mereka itu orang-orang yang hendak membalaskan kekalahan empat orang pemuda kurang ajar yang dihajarnya di rumah makan tadi.
Maka iapun mempercepat larinya dan tibalah ia di hutan cemara yang mulai dari kaki bukit. Akan tetapi, tiga orang penunggang kuda itu terus mengejar memasuki hutan. Ia menjadi penasaran sekali. Tentu saja ia tidak takut menghadapi mereka, dan kalau mereka itu hendak membela empat orang pemuda kurang ajar tadi, ia akan menghajar mereka pula! Maka, setelah tiba di tempat terbuka, ia berhenti untuk mengaso dan melihat siapa mereka yang melakukan pengejaran itu.
Tiga orang penunggang kuda itu berlompatan turun dari atas kuda mereka ketika melihat bahwa gadis yang mereka kejar sudah berdiri menanti di atas lapangan terbuka, dengan sikap yang gagah dan menantang! Tiga orang penunggang kuda itu sesungguhnya bukanlah tukang-tukang pukul biasa yang hendak membela empat orang pemuda tadi seperti yang disangka oleh Sui In. Sama sekali bukan!
Mereka adalah tiga orang setengah tua yang tadi makan pula di rumah makan dan mereka melihat pula ketika Sui In menghajar para pemuda kurang ajar itu. Justeru gerakan gadis itulah yang menarik perhatian mereka dan yang membuat mereka melakukan pengejaran. Gerakan ilmu silat Sui In ketika menghadapi para pemuda jahat tadi mereka kenal sebagal ilmu silat Kun-lun-pai. Gadis itu murid Kun-lun-pai dan karenanya harus mati di tangan mereka! Atau lebih tepat lagi harus mati di tangan laki-laki berambut putih itu, karena yang dua orang lainnya hanyalah merupakan para pembantunya.
Siapakah mereka bertiga itu? Dugaan Pek-liong tadi memang tidak keliru. Pria berusia lima puluhan tahun yang rambutnya sudah putih semua itu adalah Ciong Hu, berjuluk Pek-mau-kwi (Setan Rambut Putih), seorang tokoh sesat kenamaan. Pek-mau-kwi Ciong Hu ini terkenal lihai dengan ilmu pedangnya, dan diapun terkenal jahat dan kejam. Dia tidak pantang melakukan kejahatan apapun asal perbuatan itu menghasilkan keuntungan baginya.
Adapun dua orang temannya juga bukan orang sembarangan, melainkan tokoh-tokoh sesat yang namanya ditakuti orang karena selain kejam, merekapun lihai sekali. Terutama mereka yang suka mengarungi Sungai Huang-ho dengan perahu, tentu akan mengenal nama mereka.
Mereka adalah dua orang kakak beradik yang suka membajak di sepanjang Sungai Kuning, maka nama julukan merekapun Huang-ho Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Kuning). Yang berperut gendut dengan wajah cerah akan tetapi sinar matanya kejam berusia empatpuluh lima tahun dan bernama Can Kai, sedangkan yang kurus pendek berwajah bengis adalah adiknya bernama Can Kui berusia empatpuluh tiga tahun.
Melihat cara tiga orang itu berlompatan dari atas punggung kuda, Sui In terkejut juga. Ia tahu bahwa tiga orang ini tidak boleh dipandang ringan, tidak seperti dua orang tukang pukul muda yang dihajarnya di rumah makan tadi, maka iapun bersikap waspada. Ia mulai meragukan sangkaannya setelah mengetahui mereka sebagai tiga orang yang tadi ia lihat makan di restoran itu pula.
Kalau mereka ini membela empat orang pemuda yang dihajarnya tadi, tentu mereka sudah bergerak tadi di sana, pikir Sui In. Tidak, mereka mengejarnya tentu karena alasan lain. Akan tetapi ia bersikap tenang saja ketika berdiri berhadapan dengan mereka bertiga. Melihat mereka bertiga itu hanya memandang kepadanya dengan penuh perhatian, sedangkan si perut gendut menyeringai dengan sikap ceriwis. Sui In lalu menegur.
“Mau apa kalian bertiga mengejarku?”
Pek-mau-kwi Ciong Hu menggerakkan tangannya. “Nona, benarkah dugaan kami bahwa engkau seorang murid Kun-lun-pai?”
Sui In mengerutkan alisnya. “Kalau benar, mengapa?”
Akan tetapi pria berambut putih itu tidak memperdulikan Sui In melontarkan balas tanya penuh tantangan itu. “Dan engkau hendak berkunjung ke pondok Giam Sun?”
Sui In merasa tidak perlu merahasiakan kunjungannya lagi karena agaknya mereka sudah mengenal susioknya. “Memang aku akan berkunjung ke tempat pertapaan Giam Susiok. Kalian siapakah?”
Akan tetapi tiga orang itu sudah tertawa bergelak. “Hemm, engkau murid keponakan Giam Sun?” kini Can Kai si gendut tertawa. “Bagus sekali, kalau begitu engkau harus turut dengan aku!”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi Can Kai sudah menubruk ke depan. Biarpun perutnya gendut ternyata dia dapat bergerak dengan cepat sekali. Sui In cepat mengelak dan ketika lengan kanan si gendut itu masih berusaha meraihnya, ia menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Plakk!” Can Kai mengeluarkan seruan kaget karena lengannya yang tertangkis itu terpental keras, tanda bahwa gadis itu memiliki sin-kang yang cukup kuat.
“A Kai, jangan main-main. Cepat selesaikan ia, kita tidak mempunyai banyak waktu!” tiba-tiba Pek-mau-kwi Ciong Hu berseru dan mendengar ini, si gendut sudah mencabut pedangnya, lalu tanpa banyak cakap lagi diapun sudah langsung menerjang dengan ganas. Akan tetapi, melihat lawan menggunakan senjata, Sui In juga, sudah cepat menghunus pedang dan kini ia menangkis dengan gerakan kilat.
“Tranggg...!” Begitu kedua pedang bertemu dan tangkisan itu membuat pedang Can Kai terpental, pedang di tangan Sui In sudah meluncur dengan gerakan lingkaran yang amat cepat, menyambar dari samping membabat ke arah leher Can Kai!
Si gendut ini terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, lalu berjungkir balik sambil memutar pedang melindungi tubuhnya. Wajahnya berubah agak pucat karena nyaris lehernya putus! Dia menjadi marah dan sudah menerjang lagi dengan dahsyat, sama sekali tidak berani memandang rendah lagi.
Sui In juga segera memainkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang amat indah dan kuat. Pedang di tangannya itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan dari gulungan sinar itu, yang selalu menahan setiap serangan lawan, seringkali mencuat sinar yang merupakan serangan balasan yang cepat dan berbahaya bagi lawan.
Dalam waktu dua puluh jurus saja, Can Kai sudah terdesak hebat dan setiap lima kali serangan lawan dia hanya mampu membalas satu kali saja! Tentu saja dia mundur terus dan berputar-putar dan jelas bahwa kalau dilanjutkan, tak lama lagi dia pasti akan roboh menjadi makanan pedang di tangan gadis Kun-lun-pai yang lihai itu!
Melihat kakaknya terdesak, Can Kui sudah mencabut pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi diapun sudah terjun membantu kakaknya. Ilmu pedang Can Kui tidak banyak berbeda dengan kakaknya, maka kini Sui In dikeroyok dua dan kalau tadi Sui In dapat mendesak lawan, kini ia harus berhati-hati karena setelah dikeroyok, tentu saja keadaan menjadi berubah! Wanita perkasa ini memutar pedangnya melindungi diri, akan tetapi kini serangan dua orang itu lebih cepat dan lebih sering dibandingkan serangan balasan yang dapat ia lakukan.
Pek-mau-kwi Ciong Hu menjadi tidak sabar. Tak disangkanya bahwa wanita ini demikian lihainya sehingga dikeroyok oleh dua orang pembantunya pun agaknya mereka tidak akan mudah memperoleh kemenangan, “Hemm, perempuan yang sombong, terimalah kematianmu!” bentaknya dan diapun sudah mencabut pedangnya. Begitu pedangnya dicabut, nampak sinar berkilauan, tanda bahwa pedangnya itu adalah sebuah senjata yang baik dan juga tajam sekali.
Pedang itu meluncur dan merupakan segulung sinar terang menyerang ke arah Sui In yang sudah dikeroyok oleh dua orang, Sepasang Harimau Sungai Kuning itu. Cepat dan kuat sekali serangan itu sehingga Sui In menjadi terkejut bukan main karena pada saat itu ia sedang didesak oleh dua orang pengeroyoknya. Pada saat yang amat berbahaya bagi Sui In, tiba-tiba nampak sinar putih meluncur dari samping.
“Cringggg...! Ahhhh...!” Pek-mau-kwi Ciong Hu mengeluarkan seruan kaget dan cepat memeriksa pedangnya yang hampir saja terlepas dari pegangannya ketika tadi tertangkis oleh sinar putih itu.
Dia merasa lega bahwa pedangnya tidak rusak, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia mengangkat muka memandang kepada seorang pria muda yang berdiri di situ sambil tersenyum. Seorang pria muda berpakaian serba putih, pakaian sederhana saja dan tentu dia tidak akan menduga bahwa pemuda itu seorang ahli silat yang lihai kalau saja dia tidak melihat pedang yang bersinar putih dan yang telah membuat pedangnya terpental tadi.
“Pek-liong-eng...!” serunya dengan mata terbelalak.
Tan Cin Hay tersenyum, “Dan engkau tentu Pek-mau-kwi Ciong Hu!”
“Pek-liong-eng, selama ini di antara kita tidak pernah ada permusuhan dan jalan kita selalu bersimpang. Harap engkau tidak mencampuri urusan pribadiku!” kata Pek-mau kwi Ciong Hu, sementara itu, dua orang kakak beradik Can itu masih berkelahi mengeroyok Sui In.
“Pek-mau-kwi, memang jalan kita tidak pernah bertabrakan, akan tetapi sekali ini, secara pengecut sekali kau mengeroyok seorang wanita murid Kun-lun-pai dengan dua orang kawanmu. Hal ini tentu saja tidak dapat kubiarkan saja. Aku paling benci melihat laki-laki yang curang dan pengecut!”
“Pek-liong-eng, orang lain boleh takut kepada nama besarmu, akan tetapi aku tidak! Mampuslah!” Pek-mau-kwi Ciong Hu sudah menyerang dengan pedangnya. Serangannya memang hebat dan dia adalah seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan Si Naga Putih!
Sebelum dia menjadi rekan setia dari Hek-liong-li, dia sudah merupakan seorang pendekar yang berilmu tinggi, mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari mendiang Pek I Lojin. Apa lagi setelah dia memiliki pedang pusaka Pek-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Putih), dan bersama Hek-liong-li dia menciptakan ilmu pedang Sin-liong Kiam-sut, maka ilmu pedangnya dahsyat bukan main. Begitu dia menggerakkan pedang pusakanya, lenyaplah bentuk pedang itu dan yang nampak hanya sinar putih bergulung-gulung yang menimbulkan bunyi berdesing-desing dan angin menyambar-nyambar dahsyat, bagaikan seekor naga bermain-main di angkasa.
Pek-mau-kwi merasa terkejut bukan main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, memainkan jurus-jurus pilihan, namun tetap saja sinar pedangnya terkurung dan terhimpit oleh sinar pedang lawannya. Masih untung baginya bahwa diam-diam Pek-liong mengkhawatirkan keselamatan gadis Kun-lun-pai itu sehingga perhatian Pek-liong terpecah, sebagian untuk menjaga kalau-kalau wanita perkasa itu terancam babaya. Hal ini memberi kesempatan kepada Pek-mau-kwi untuk meloncat jauh ke belakang.
“Kita pergi...!” teriaknya kepada dua orang pembantunya.
Sebetulnya, Can Kai dan Can Kui sudah mulai menghimpit lawannya. Wanita perkasa itu hanya mampu menangkis dan melindungi tubuhnya saja dan kalau dilanjutkan, ia pasti akan roboh. Akan tetapi, mendengar seruan Pek-mau-kwi, mereka terkejut. Tadipun mereka sudah cemas mendengar pemimpin mereka menyebut nama Pek-liong-eng. Maka, tanpa banyak pikir lagi, keduanya sudah berloncatan meninggalkan Sui In dan di lain saat, mereka bertiga sudah membalapkan kuda meninggalkan tempat itu.
Pek-liong tidak mengejar, juga Sui In tidak mencoba untuk mengejar. Mereka berdiri saling pandang sejenak, pandang mata yang mengandung kekaguman. Kemudian, Sui In yang teringat bahwa baru saja ia dibebaskan dari ancaman maut, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil berkata,
“Terima kasih atas pertolongan yang diberikan sehingga aku lolos dari ancaman maut di tangan mereka.”
Pek-liong-eng Tan Cin Hay tersenyum dan membalas penghormatan itu dengan mengangkat kedua tangan depan dada, “Tidak perlu berterima kasih, nona. Sudah sepatutnya kalau kita saling membantu apabila menghadapi ganguan orang-orang jahat.”
“Aku... aku bukan seorang nona...” Sui In tersipu mendengar ia dipanggil “siocia” (nona). Usianya sudah dua puluh enam tahun dan ia seorang janda!
Pek-liong masih tersenyum dan kembali mengangkat kedua tangan di depan dada memberi hormat, “Ah, maafkan aku, nyonya...”
Sui In masih tersipu akan tetapi iapun tersenyum, dan menggeleng kepalanya. “Akupun bukan seorang nyonya...”
“Ehhh...?” Kini Pek-liong terbelalak bingung. Bukan nona dan bukan nyonya, apakah ia banci...?
“Aku seorang janda...” Sui In cepat menjelaskan.
“Ah, begitu...?”
Keduanya terdiam. Agaknya pengakuan dirinya sebagai seorang janda itu membuat suasana menjadi canggung. Akan tetapi akhirnya Sui In dapat menguasai hatinya. Ia tahu bahwa pria di depannya itu menjadi rikuh maka tidak berani sembarangan bicara dan harus ia yang lebih dahulu bicara. Ia mengangkat muka. Kebetulan Pek-liong juga sedang memandang kepadanya sehingga dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar lalu Sui In yang membuang pandang mata ke samping sambil memerah muka di luar kesadarannya.
“Jadi... engkau ini yang dijuluki Pek-liong-eng itu? Namamu sudah terkenal sampai ke kota raja...”
“Ah, hanya nama kosong saja, tidak pantas untuk disohorkan,” kata Pek-liong merendah.
“Bukan nama kosong. Baru saja aku menyaksikan sendiri betapa hebatnya ilmu pedangmu, tai-hiap (pendekar besar). Aku sudah mendengar pula nama Pek-mau-kwi yang kabarnya amat lihai dan ilmu pedangnya amat berbahaya, namun dalam beberapa gebrakan saja, melawanmu, dia telah melarikan diri. Sungguh engkau memiliki kesaktian hebat, tai-hiap.”
“Wah, engkau membikin aku dua kali malu dan bingung. Engkau tidak mau disebut nona, juga tidak mau disebut nyonya, akan tetapi sebaliknya engkau menyebut aku tai-hiap! Ini tidak adil namanya. Karena malu dan canggung, aku rasanya ingin lari saja. Kalau kita ingin melanjutkan perkenalan ini sebaiknya engkau menyebut aku toako saja. Usiaku sudah dua puluh tujuh tahun, tentu jauh lebih tua darimu, maka sudah sepatutnya kalau engkau menyebut toako (kakak) kepadaku.”
Sui In tersenyum. Hatinya girang bukan main. Dahulu ia sudah mengagumi nama besar Pek-liong-eng. Tadi ketika bertemu di restoran, iapun diam-diam kagum melihat pria ini karena tampan dan jantan, kemudian ia semakin kagum melihat ilmu kepandaian dan sepak terjangnya. Dan kini, bukan saja ia berhadapan dan berkenalan dengan pendekar itu, bahkan ia diperbolehkan menyebut toako! Ia semakin kagum. Pria ini selain tampan dan gagah, jantan, berkepandaian tinggi, juga ternyata sopan dan amat ramah dan jujur!
“Baiklah, toako, akan tetapi engkaupun jangan menyebut aku nona atau nyonya, melainkan siauw-moi (adik perernpuan). Usiaku sudah dua puluh enam tahun, setahun lebih muda darimu.”
“Ah, tidak mungkin!”
“Apanya, yang tidak mungkin, toako?”
“Mana mungkin usiamu sudah dua puluh enam tahun? Engkau kelihatan tidak lebih dari dua puluh tahun!” kata Pek-liong dengan sikap sungguh-sungguh sehingga wanita itu tersenyum bangga, maklum bahwa pendekar itu tidak sekedar merayu.
“Sungguh, toako. Eh, kita ini sudah saling menyebut toako dan siauw-moi, akan tetapi belum mengetahui nama masing-masing! Aku hanya pernah mendengar julukanmu, belum mengetahui namamu. Aku bernama Cu Sui In, toako.”
“Cu Sui In nama yang bagus. Namaku sendiri Tan Cin Hay, In-moi (adik In). Nah, kita telah berkenalan dan menjadi sahabat. Maukah engkau menceritakan kepadaku mengapa tiga orang itu tadi berusaha mati-matian untuk membunuhmu?”
Sui In menggeleng kepala. “Aku sendiri pun tidak tahu mengapa mereka memusuhi aku, toako. Mereka tadi mengejarku, setelah tiba di sini mereka hanya bertanya apakah aku murid Kun-lun-pai. Setelah aku membenarkan, mereka segera menyerangku dan berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhku. Merekapun agaknya mengenal susiokku Giam Sun yang bertapa di puncak bukit ini.”
“Susiokmu? Seorang tokoh Kun-lun-pai bertapa di bukit ini? Heran sekali, mengapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu? Padahal, aku tinggal tidak jauh sekali dari sini.”
“Giam Susiok (Paman Guru Giam) memang bertapa mengasingkan diri dari dunia ramai, maka dia seperti orang bersembunyi dan tidak ada yang tahu. Aneh sekali bagaimana tiga orang itu mengetahuinya dan... ah, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan susiok...!” Wajah manis itu nampak khawatir sekali. “Aku harus cepat melihat keadaannya!”
Setelah berkata demikian, Sui In yang mengkhawatirkan paman gurunya segera berlari mendaki bukit. Pek-liong juga tertarik sekali mendengar bahwa paman guru gadis itu bertapa di situ, maka diapun mengikuti di belakang gadis itu tanpa bicara lagi...
Karena kata-kata ini diucapkan dengan cukup lantang dan Sui In memandang ke arah kedua tangan yang berada di tepi mejanya, si kepala besar itu terkejut dan mukanya berubah merah sekali, apa lagi karena terdengar suara ketawa temannya yang kurus, bahkan ada pula suara ketawa dari meja lain, entah siapa.
“Heh-heh, Ji-toako, engkau disangka penjual cincin di pasar, ha-ha!”
Pemuda she Ji itu merasa malu, akan tetapi dia mengira bahwa wanita cantik di depannya itu tidak sengaja menghinanya, apa lagi kini dia sudah berada dekat sekali dengan wanita itu, dan ternyata wanita itu jauh lebih cantik dari pada ketika dilihatnya dari jauh tadi. Juga ketika bicara, bibir yang menggairahkan itu bergerak-gerak manis sekali. Maka, biarpun merasa malu, pemuda berkepala besar itu tidak dapat marah kepada seorang wanita secantik itu.
“Toanio, aku bukan penjual cincin. Semua ini bukan barang dagangan, melainkan milikku pribadi. Ketahuilah, aku pemuda keluarga Ji, merupakan seorang pemuda yang paling kaya raya, paling royal dan tidak ada duanya di kota Tung-cu...“
“Aku tidak mengenalmu. Pergilah dan biarkan aku sendiri,” Sui In berkata.
Pemuda itu masih menyeringai. “Heh-heh, moi-moi (adik) yang manis, harap jangan menjual mahal seperti itu. Marilah, aku sendiri yang mengundangmu untuk duduk makan minum dengan kami semeja. Ataukah aku yang menemanimu di sini? Hei, pelayan, cepat hidangkan arak baru dan semua masakan lezat yang ada di rumah makanmu ini!”
Dia lalu duduk begitu saja dan berkata kepada Sui In. “Moi-moi, kalau perlu, rumah makan ini bisa kubeli untukmu, heh-heh!”
Sui In mengerutkan alisnya. Orang ini semakin kurang ajar, pikirnya, tidak lagi menghargainya dengan sebutan Toanio (nyonya), melainkan berani menyebut moi-moi yang manis, seolah-olah ia telah menjadi kekasihnya saja! Akan tetapi, karena tidak ingin ribut-ribut, ia masih menahan kesabarannya.
“Hemm, sekali lagi kukatakan. Aku tidak mempunyai urusan denganmu, aku tidak suka nenerima undanganmu, tidak suka makan minum bersamamu dan tidak suka engkau makan minum di mejaku ini. Pergilah dan jangan aku kehilangan kesabaranku!”
Kalimat terakhir sudah bernada keras, dan tanpa disengaja Sui In melihat pula pemuda yang berpakaian serba putih itu tersenyum sedikit. Juga tiga orang setengah tua yang duduk di sudut belakang kini memandang ke arah mejanya dengan penuh perhatian. Gemaslah rasa hati Sui In. Ulah pemuda kepala besar ini tentu saja telah menarik perhatian orang, dan ia menduga bahwa tentu mereka semua yang berada di rumah makan itu telah memperhatikan dirinya.
Sudah kepalang tanggung sekarang, tidak perlu lagi ia menjaga jangan sampai ada keributan. Akan tetapi ia tetap menuangkan lagi semangkok kecil air teh harum yang masih panas mengepul itu dan meniupinya perlahan untuk mendinginkannya sebelum diminumnya sedikit demi sedikit.
Si kepala besar itu sungguh tak tahu diri. Dia adalah seorang pemuda kaya raya, dan putera pejabat yang sejak kecilnya telah di manja orang tuanya dan para hamba sahayanya, sejak kecil apapun yang dikehendakinya terlaksana. Oleh karena itu, setelah dewasa, diapun menjadi berandalan dan ingin dimanjakan siapapun juga. Dia tidak mengenal takut karena selalu bergelimang kekayaan dan kekuasaan yang membuat semua orang takut kepadanya. Mendengar ucapan Sui In, dia mengerutkan alisnya.
“Apa? Engkau berani menolak ajakanku? Nona manis, jangan sombong engkau! Kalau perlu, aku mampu membeli dirimu, aku mampu membeli seratus orang perempuan seperti engkau...”
Sui In marah sekali mendengar ucapan itu dan sebelum kalimat terakhir itu habis diucapkan, ia sudah membentak, “Pergilah!” Tangan yang memegang mangkok kecil berisi air teh panas itu bergerak dan air dari dalam mangkok menyiram ke arah muka pemuda kepala besar.
“Ouhhhhh...!” Bagi orang yang pernah disiram mukanya dengan air panas baru akan tahu betapa nyerinya ketika air teh yang masih panas itu mengenai mata, hidung dan mulut pemuda kepala besar itu. Selagi dia bangkit dan mengeluarkan teriakan kesakitan, tiba-tiba kaki Sui In di bawah kolong meja bergerak, menendang.
“Desss...!” Perut itu tertendang dan si pemuda berkepala besar terlempar jauh! Bahkan, tubuhnya melewati meja kosong dan meluncur ke arah meja di mana duduk pemuda berpakaian serba putih yang makan minum seorang diri pula.
Melihat betapa hidangan di atas mejanya terancam hancur berantakan, tiba-tiba tubuh pemuda berpakaian putih itu sudah meloncat bangun dan dengan sigapnya dia menjulurkan kedua tangan, menyambar tubuh yang melayang itu dan sekali dia melontarkan, tubuh pemuda kepala besar itu berbelok arah melayang ke arah mejanya sendiri.
“Brakkkkk...!” Meja itupun runtuh dan semua masakan tumpah dan berantakan ketika meja itu tertimpa tubuh si kepala besar.
“Aduhh... auhhh, aduhhhh...!” Si kepala besar mengaduh-aduh, juga si kurus yang menjadi temannya mengaduh dan menyumpah-nyumpah karena muka dan pakaiannya juga berlepotan kuah masakan. Akan tetapi dua orang teman mereka yang lain sudah dapat berloncatan menghindar dengan gerakan cepat sehingga tidak sampai ikut tertimpa atau tersiram kuah masakan!
Tiga orang setengah tua yang sejak tadi melihat, kini saling pandang. Akan tetapi Sui In sudah duduk kembali menuangkan air teh dalam mangkoknya, minum air teh panas seperti tidak terjadi sesuatu. Juga pemuda berpakaian putih tadi nampak masih duduk sambil makan minum, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu! Padahal, menyambar tubuh yang melayang lalu melontarkan kembali ke arah yang lain membutuhkan kecekatan tangan dan juga tenaga besar.
Apa yang diperlihatkan oleh pemuda berpakaian putih itu sesungguhnya bukan apa-apa baginya. Seperti permainan kanak-kanak saja karena dia tentu saja dapat melakukan hal-hal yang jauh lebih sukar dari pada sekedar melemparkan tubuh si kepala besar tadi. Pemuda itu, walau nampaknya lemah seperti seorang terpelajar, seorang kongcu (tuan muda), atau seorang siu-cai (sarjana), sebetulnya adalah seorang yang memiliki nama besar dan kalaupun wajahnya jarang muncul di dunia persilatan dan orang tidak mengenalnya, namun namanya sudah terkenal di empat penjuru.
Hampir semua orang di dunia persilatan pernah mendengar namanya yang besar, yaitu nama julukannya. Dia dijuluki orang Pek-liong-eng (Pendekar Naga Putih) atau disingkat Pek-liong (Si Naga Putih) saja karena ke manapun dia pergi, dia selalu berpakaian putih, dan sepak terjangnya seperti seekor naga sakti!
Si Naga Putih atau Pendekar Naga Putih ini bernama Tan Cin Hay, berusia dua puluh tujuh tahun. Wajahnya yang tampan sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang pria yang gemblengan, lebih pantas kalau dia menjadi seorang terpelajar. Sikap dan gerak geriknya juga lembut, tubuhnya sedang saja dan otot-otot yang kuat itu tersembunyi di balik pakaian sehingga tidak nampak dari luar. Pakaiannya yang serba putih amat bersih.
Satu-satunya yang membayangkan bahwa dia seorang pria jantan yang kadang berwatak keras adalah dagunya yang berlekuk, dan matanya yang kadang mencorong. Biarpun namanya terkenal sekali di dunia persilatan, namun kalau tidak perlu, jarang dia keluar ke dunia kang-ouw. Dia hidup menyendiri di dusun Pat-kwa-bun tak jauh dari Telaga See-ouw, di dalam sebuah rumah gedung yang megah dan indah. Dari rumahnya ini saja dapat diketahui bahwa pendekar yang hidup menyendiri itu adalah seorang yang kaya raya.
Dan memang benar demikian. Bersama Hek-liong-li Lie Kim Cu, Pek-liong-eng Tan Cin Hay pernah mendapatkan harta karun yang amat besar, tak ternilai besarnya. Mereka membagi dua dan dengan bagian harta karun itu, Pendekar Naga Putih menjadi orang yang kaya raya. Dia seorang duda. Isterinya yang tercinta tewas di tangan penjahat, dan sejak itu, dia tidak pernah mau menikah lagi walaupun kalau dia mau banyak gadis yang akan merasa bangga dan berbahagia menjadi isterinya. Dia tampan, gagah, berkepandaian tinggi, kaya raya!
Jangankan wanita yang belum dikenalnya, bahkan wanita yang pernah bergaul dekat dengannya, yang pernah berenang di lautan asmara bersamanya, tak pernah ada yang berhasil mengikatnya sebagai suami. Tidak, dia tidak mau terikat dalam pernikahan dengan seorang wanita, walaupun dia tidak menolak untuk bercinta dengan seorang wanita yang menarik hatinya, yang bebas, dan yang tahu bahwa dia tidak akan mau menikahinya.
Dia pantang mempergunakan kekayaan dan ketampanannya untuk menjatuhkan hati wanita, pantang untuk menjanjikan pernikahan lalu menipunya. Dia hanya mau mendekati wanita yang sudah tahu bahwa dia tidak mau terikat, dan kalaupun mereka berdua bercinta, hal itu dilakukan karena mereka saling merasa suka.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay maklum bahwa di dunia persilatan, banyak tokoh pendekar yang mencela sikapnya terhadap wanita itu. Banyak pendekar dan tokoh-tokoh kang-ouw yang menganggapnya sebagai seorang yang mata keranjang, seorang perayu wanita dan tukang merusak wanita, seorang petualang cinta yang amat berbahaya bagi setiap orang wanita!
Namun, dia tidak memperdulikan anggapan orang. Dia sudah meneliti diri sendiri dan tidak menemukan watak seperti yang dikatakan orang terhadap dirinya. Tidak, dia tidak akan pernah memaksa seorang wanita untuk bercinta dengannya, baik memaksa dengan kekerasan atau memikatnya dengan kekayaannya, kepandaiannya atau ketampanannya. Dia tidak pernah jatuh cinta dalam arti seperti cintanya terhadap mendiang isterinya dahulu.
Dia tidak pernah ingin memperisteri seorang wanita. Dan hubungannya dengan seorang wanita terjadi karena mereka saling mengagumi, saling tertarik, dengan penuh kesadaran bahwa hubungan itu tidak akan berlanjut ke jenjang pernikahan. Dia tidak pernah menipu! Bahkan tidak jarang dia menjauhkan diri sebelum terjadi hubungan cinta kalau seorang gadis atau seorang janda benar jatuh cinta dan menginginkan menjadi isterinya.
Kini empat orang muda itu menjadi marah bukan main. Pemuda berkepala besar dan pemuda kurus yang berpakaian mewah itu adalah dua orang yang merasa diri mereka sebagai kongcu-kongcu (tuan muda) yang harus ditaati semua perintah mereka. Mereka itu putera-putera orang kaya raya yang sejak kecil dimanja dan dituruti semua permintaan mereka.
Dua orang kawan mereka adalah tukang pukul mereka yang hidup bagaikan lintah, menempel kepada dua orang muda kaya itu. Ke manapun mereka berdua yang sakunya penuh uang itu pergi, tentu ada saja pemuda-pemuda tukang pukul yang mengikuti mereka sebagai pengawal dan juga sebagai pembonceng berbelanja apa saja.
“Hajar perempuan itu!” bentak si kepala besar yang masih mengaduh-aduh karena mukanya kini seperti udang direbus, kemerahan terkena kuah dan air teh panas. Dia menuding ke arah Cu Sui In dengan mata melotot lebar.
“Ia harus mencium kaki kami untuk minta ampun!” kata pula si kurus yang juga terkena percikan kuah dan kini dia sibuk membersihkan pakaiannya yang kotor dan basah.
Dua orang tukang pukul itu menghampiri Cu Sui In dengan sikap mengancam. Sui In sudah selesai makan atau memang ia sudah kehilangan seleranya, maka ia bangkit dari duduknya dan menggapai pelayan karena ia ingin membayar harga makanan dan minumannya lalu pergi dari situ secepatnya.
Seorang pelayan bergegas datang menghampirinya, akan tetapi dua orang tukang pukul itu mendorongnya sehingga terpelanting. “Pergi kau!” bentak seorang di antara dua tukang pukul itu, yang berjenggot kambing.
Orang kedua, yang matanya juling, berkata kepada Sui In dengan nada memerintah. “Bocah sombong, hayo cepat berlutut mohon ampun kepada kedua orang kongcu kami, atau engkau ingin aku memaksamu berlutut?” Dia menghampiri dengan sikap mengancam.
“Berlutut dan cium kaki kedua kongcu kami!” bentak pula si jenggot kambing.
Wajah yang manis itu menjadi merah sekali dan sinar mata yang jeli itu kini mencorong, tanda bahwa Sui In marah bukan main mendengar ucapan yang nadanya menghina itu. “Aku tidak ingin mencari perkara, akan tetapi kalau kalian tidak cepat pergi dari sini dan menutup mulut kalian yang kotor, terpaksa kalian akan kuhajar!” katanya, lembut namun mengandung ancaman.
“Heiiiittt!” Si mata juling segera memasang kuda-kuda, kedua kaki terpentang, kedua lutut ditekuk dan pinggulnya menonjol ke belakang, kedua lengan menyilang di depan dada, dengan tangan membentuk cakar. Lagaknya yang digagah-gagahkan itu lucu sekali.
“Hyatttt...!” Si jenggot kambing juga memasang kuda-kuda, lebih gagah lagi, dengan kaki kiri diangkat dan lutut ditekuk sehingga kaki kiri menempel di samping lutut kanan sedangkan kaki kanan berjungkit, tangan kiri di depan pusar dan tangan kanan diangkat tinggi menuding langit! Seolah-olah dia hendak memainkan ilmu silat yang amat luar biasa tingginya, setinggi langit. Akan tetapi karena dia tidak dapat bertahan lama dengan sebelah kaki berjungkit, maka kaki kanan diturunkan dan kini dia membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, kaki kiri di belakang, kedua tangan terkepal di pinggang, siap untuk menerjang!
Melihat lagak mereka, Sui In tersenyum mengejek dan menepiskan tangannya seperti orang mengusir lalat. “Sudahlah, kalian badut-badut menjemukan, aku mau pergi!” Ia lalu melangkah dan sama sekali tidak memperdulikan kedua orang yang memasang kuda-kuda dan siap menyerangnya itu.
Melihat betapa gadis itu tidak takut menghadapi kuda-kuda mereka yang gagah, dua orang tukang pukul itu marah dan ketika gadis itu lewat di antara mereka, keduanya seperti berlomba lalu menubruk maju, berlumba untuk merangkul gadis itu. Si jenggot kambing merangkul leher, dan temannya si mata juling merangkul pinggang Sui In membiarkan sampai serangan mereka itu datang dekat, lalu tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat cepat ke depan. Dua orang yang sudah yakin akan berhasil menubruk dan merangkul itu, girang sekali.
“Bressss...!” Mereka mengaduh karena mereka ternyata saling tubruk dan saling rangkul, bahkan kepala mereka saling bertemu dengan kerasnya. Terdengar suara tertawa bergelak dan yang tertawa ini adalah Pek-liong yang tak dapat menahan kegelian hatinya melihat lagak dua orang itu, dan diapun girang dan kagum melihat kecekatan gadis manis itu.
“Keparat kau!” bentak si jenggot kambing sambil mencabut goloknya.
“Perempuan hina!” bentak pula si mata juling dan diapun mencabut goloknya.
Akan tetapi, Sui In tetap tenang, tidak mengeluarkan senjatanya karena dara ini sudah dapat mengukur bahwa dua orang lawannya itu lebih mengandalkan kenekatan dari pada kepandaian. Mereka itu seperti dua buah tong kosong yang berbunyi nyaring. Dengan teriakan-teriakan menyeramkan, ke dua orang itu kini menggerakkan golok mereka dan menerjang ke arah Sui In, bukan hanya untuk menakut-nakuti, melainkan benar-benar menyerang!
Namun, Sui In dengan mudahnya berloncatan mengelak. Dua orang itu mengamuk terus, mengejar ke manapun Sui In meloncat sehingga golok mereka menyambar-nyambar dan merobohkan beberapa buah kursi yang menjadi patah-patah. Melihat ini, pemilik rumah makan itu menjadi panik. Bisa hancur semua perabotnya!
“Sudah! Sudah... harap jangan berkelahi di sini...!” Berulang-ulang dia berteriak.
Melihat ini, Sui In merasa kasihan, maka ketika dua batang golok itu menyambar, tubuhnya merendah dan kedua lengannya berkembang, tangannya sudah menotok ke arah siku dua orang penyerangnya. Golok itu terlepas dan pada detik berikutnya, kaki kanan gadis itu terangkat dan dua kali bergerak menendang ke arah perut dua orang lawannya.
Kaki itu menendang dengan gerakan cepat dan indah, dua kali bergerak tanpa turun dulu. Nampaknya tendangan itu tanpa tenaga, akan tetapi, begitu mengenai perut si jenggot kambing dan si mata juling, keduanya berteriak kesakitan, dan terjengkang lalu mengaduh-aduh sambil mengelus perut mereka yang mendadak terasa mulas dan nyeri sekali!
Kini Sui In melangkah ke arah meja dua orang pemuda kaya itu, tanpa memperdulikan, lagi dua orang bekas lawan yang mengaduh-aduh. Matanya yang jeli itu menatap wajah kedua orang pemuda hartawan itu dengan sinar mencorong.
Dua orang pemuda itu berdiri menggigil ketakutan melihat betapa dua orang tukang pukul mereka roboh tak berdaya. Apa lagi melihat sinar mata gadis itu, mereka ketakutan dan kedua kaki mereka menggigil, dan ketika Sui In tiba di depan mereka, tak dapat ditahan lagi celana mereka menjadi basah! Melihat ini, Sui In merasa jijik. Tangan kirinya bergerak, dua kali ke arah muka mereka.
“Plok! Plok!” Tubuh dua orang pemuda hartawan itu terpelanting dan ketika mereka bangkit duduk sambil memegangi pipi yang membengkak dan mulut berdarah karena beberapa buah gigi mereka rontok, gadis itu sudah membayar harga makanan tanpa bicara lagi, dan melangkah pergi.
Pek-liong-eng Tan Cin Hay kagum bukan main. Gadis hebat, pikirnya dan dia merasa puas. Kalau lebih banyak wanita seperti gadis berpakaian hijau itu, tentu berkuranglah laki-laki iseng yang suka mengganggu wanita dengan cara yang kurang sopan. Diapun mengenal gerakan wanita itu ketika tadi menghadapi serangan dua batang golok, cara mengelak, kemudian tendangan beruntun itu.
Gerakan gadis itu mempunyai ciri khas yang datang dari sumber partai persilatan Kun-lun-pai. Gadis itu tentu seorang murid Kun-lun-pai, pikirnya. Murid yang sudah jadi, sudah matang menurut dugaannya. Tentu saja ini hanya dugaan karena untuk menentukan tingkat gadis itu, dia harus melihat gadis itu bersilat berkelahi sungguh-sungguh, terutama menggunakan ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedangnya.
Sambil tersenyum dia melihat betapa empat orang pemuda itu merangkak-rangkak, membayar harga makanan, bahkan membayar pula kerugian yang timbul karena kerusakan meja kursi dan pecahnya mangkok piring akibat perkelahian tadi. Kemudian mereka pergi dari situ, si kepala besar tidak malu-malu menangis dan mengaduh-aduh karena pipinya bengkak dan banyak giginya sebelah kanan rontok!
Akan tetapi, Cin Hay yang sudah hampir melupakan lagi gadis berpakaian hijau yang lihai dan menarik itu, dan hendak melanjutkan makan minumnya, tiba-tiba tertarik melihat sikap tiga orang pria-pria setengah tua yang tadi dia lihat makan pula di meja lain. Dari sikap mereka, diapun tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa bertualang di dunia persilatan. Akan tetapi tadi dia tidak memperhatikan mereka.
Baru sekarang dia menaruh perhatian ketika melihat betapa tiga orang itu bicara bisik- bisik dan kadang menoleh ke luar setelah gadis berpakaian hijau tadi meninggalkan rumah makan itu. Alisnya berkerut. Jelas bahwa mereka itu bukan orang-orang lemah, terutama sekali orang yang berusia limapuluh tahun dan rambutnya sudah berwarna putih semua itu.
Pernah dia mendengar akan seorang tokoh sesat yang rambutnya sudah putih semua dan terkenal ahli bermain pedang, julukannya Pek-mau-kwi (Setan Rambut Putih). Inikah orangnya? Diapun memperhatikan dua orang yang lain. Yang seorang berperut gendut, mukanya ramah akan tetapi matanya bersinar kejam. Orang kedua kurus pendek dengan wajah bengis. Tak lama kemudian, tiga orang ini bangkit dari meja dan membayar harga makanan, lalu bergegas mereka keluar.
Cin Hay melirik ke arah meja mereka. Mereka itu belum selesai makan, akan tetapi mengapa tergesa-gesa pergi? Dan mereka tadi jelas membicarakan si nona baju hijau! Timbul kecurigaannya dan diapun segera membayar harga makanan lalu melangkah keluar. Di luar masih terdapat beberapa orang yang tadi tertarik melihat keributan yang terjadi dalam rumah makan dan mereka itu kini sedang membicarakan gadis baju hijau dengan kagum.
Cin Hay masih sempat melihat mengepulnya debu bekas kaki tiga ekor kuda itu menuju ke utara, maka diapun berjalan dengan langkah lebar menuju ke utara. Setelah keluar dari dusun Kim-tang, sebagai seorang yang tinggal di daerah Telaga See-ouw, tentu saja dia mengenal baik daerah ini dan melihat betapa masih nampak debu bekas kaki kuda mengepul di depan, tahulah dia bahwa tiga orang penunggang kuda itu menuju ke bukit hutan cemara.
Dia tahu bahwa hutan itu sunyi dan jarang dikunjungi orang karena selain di sana tidak terdapat binatang buruan, juga banyak bagian yang berbatu-batu dan tidak mendatangkan hasil apapun kecuali kayu pohon cemara. Diapun segera mengerahkan tenaga berlari cepat setelah tiba di jalan yang sunyi, membayangi tiga orang penunggang kuda itu.
Kini dia sudah kehilangan tiga orang penunggang kuda karena mereka sudah memasuki hutan di kaki bukit. Cin Hay yang merasa curiga, terus membayangi, bahkan mempercepat larinya untuk menyusul karena kalau sudah tiba di hutan, dia dapat membayangi dari jarak yang lebih dekat tanpa mereka ketahui.
Sementara itu, Sui In setelah meninggalkan rumah makan, segera melanjutkan perjalanannya. Ia ingin mengunjungi susioknya (paman gurunya) yang bertapa di Bukit Cemara itu. Susioknya adalah seorang tokoh Kun-lun-pai, dan ia percaya bahwa kalau susioknya membantu, akan lebih mudah baginya untuk mencari Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) sampai dapat dan membalas dendam atas kematian suaminya, juga menghentikan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja selama ini.
Ketika Sui In tiba di luar dusun, iapun menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke bukit Cemara. Setelah hampir tiba di kaki bukit, ia merasakan sesuatu yang tidak wajar, yang membuatnya menengok dan iapun melihat tiga orang penunggang kuda membalapkan kuda mereka. Ia tidak tahu siapa mereka, akan tetapi menduga bahwa tentu mereka itu orang-orang yang hendak membalaskan kekalahan empat orang pemuda kurang ajar yang dihajarnya di rumah makan tadi.
Maka iapun mempercepat larinya dan tibalah ia di hutan cemara yang mulai dari kaki bukit. Akan tetapi, tiga orang penunggang kuda itu terus mengejar memasuki hutan. Ia menjadi penasaran sekali. Tentu saja ia tidak takut menghadapi mereka, dan kalau mereka itu hendak membela empat orang pemuda kurang ajar tadi, ia akan menghajar mereka pula! Maka, setelah tiba di tempat terbuka, ia berhenti untuk mengaso dan melihat siapa mereka yang melakukan pengejaran itu.
Tiga orang penunggang kuda itu berlompatan turun dari atas kuda mereka ketika melihat bahwa gadis yang mereka kejar sudah berdiri menanti di atas lapangan terbuka, dengan sikap yang gagah dan menantang! Tiga orang penunggang kuda itu sesungguhnya bukanlah tukang-tukang pukul biasa yang hendak membela empat orang pemuda tadi seperti yang disangka oleh Sui In. Sama sekali bukan!
Mereka adalah tiga orang setengah tua yang tadi makan pula di rumah makan dan mereka melihat pula ketika Sui In menghajar para pemuda kurang ajar itu. Justeru gerakan gadis itulah yang menarik perhatian mereka dan yang membuat mereka melakukan pengejaran. Gerakan ilmu silat Sui In ketika menghadapi para pemuda jahat tadi mereka kenal sebagal ilmu silat Kun-lun-pai. Gadis itu murid Kun-lun-pai dan karenanya harus mati di tangan mereka! Atau lebih tepat lagi harus mati di tangan laki-laki berambut putih itu, karena yang dua orang lainnya hanyalah merupakan para pembantunya.
Siapakah mereka bertiga itu? Dugaan Pek-liong tadi memang tidak keliru. Pria berusia lima puluhan tahun yang rambutnya sudah putih semua itu adalah Ciong Hu, berjuluk Pek-mau-kwi (Setan Rambut Putih), seorang tokoh sesat kenamaan. Pek-mau-kwi Ciong Hu ini terkenal lihai dengan ilmu pedangnya, dan diapun terkenal jahat dan kejam. Dia tidak pantang melakukan kejahatan apapun asal perbuatan itu menghasilkan keuntungan baginya.
Adapun dua orang temannya juga bukan orang sembarangan, melainkan tokoh-tokoh sesat yang namanya ditakuti orang karena selain kejam, merekapun lihai sekali. Terutama mereka yang suka mengarungi Sungai Huang-ho dengan perahu, tentu akan mengenal nama mereka.
Mereka adalah dua orang kakak beradik yang suka membajak di sepanjang Sungai Kuning, maka nama julukan merekapun Huang-ho Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Kuning). Yang berperut gendut dengan wajah cerah akan tetapi sinar matanya kejam berusia empatpuluh lima tahun dan bernama Can Kai, sedangkan yang kurus pendek berwajah bengis adalah adiknya bernama Can Kui berusia empatpuluh tiga tahun.
Melihat cara tiga orang itu berlompatan dari atas punggung kuda, Sui In terkejut juga. Ia tahu bahwa tiga orang ini tidak boleh dipandang ringan, tidak seperti dua orang tukang pukul muda yang dihajarnya di rumah makan tadi, maka iapun bersikap waspada. Ia mulai meragukan sangkaannya setelah mengetahui mereka sebagai tiga orang yang tadi ia lihat makan di restoran itu pula.
Kalau mereka ini membela empat orang pemuda yang dihajarnya tadi, tentu mereka sudah bergerak tadi di sana, pikir Sui In. Tidak, mereka mengejarnya tentu karena alasan lain. Akan tetapi ia bersikap tenang saja ketika berdiri berhadapan dengan mereka bertiga. Melihat mereka bertiga itu hanya memandang kepadanya dengan penuh perhatian, sedangkan si perut gendut menyeringai dengan sikap ceriwis. Sui In lalu menegur.
“Mau apa kalian bertiga mengejarku?”
Pek-mau-kwi Ciong Hu menggerakkan tangannya. “Nona, benarkah dugaan kami bahwa engkau seorang murid Kun-lun-pai?”
Sui In mengerutkan alisnya. “Kalau benar, mengapa?”
Akan tetapi pria berambut putih itu tidak memperdulikan Sui In melontarkan balas tanya penuh tantangan itu. “Dan engkau hendak berkunjung ke pondok Giam Sun?”
Sui In merasa tidak perlu merahasiakan kunjungannya lagi karena agaknya mereka sudah mengenal susioknya. “Memang aku akan berkunjung ke tempat pertapaan Giam Susiok. Kalian siapakah?”
Akan tetapi tiga orang itu sudah tertawa bergelak. “Hemm, engkau murid keponakan Giam Sun?” kini Can Kai si gendut tertawa. “Bagus sekali, kalau begitu engkau harus turut dengan aku!”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban lagi Can Kai sudah menubruk ke depan. Biarpun perutnya gendut ternyata dia dapat bergerak dengan cepat sekali. Sui In cepat mengelak dan ketika lengan kanan si gendut itu masih berusaha meraihnya, ia menangkis sambil mengerahkan tenaga.
“Plakk!” Can Kai mengeluarkan seruan kaget karena lengannya yang tertangkis itu terpental keras, tanda bahwa gadis itu memiliki sin-kang yang cukup kuat.
“A Kai, jangan main-main. Cepat selesaikan ia, kita tidak mempunyai banyak waktu!” tiba-tiba Pek-mau-kwi Ciong Hu berseru dan mendengar ini, si gendut sudah mencabut pedangnya, lalu tanpa banyak cakap lagi diapun sudah langsung menerjang dengan ganas. Akan tetapi, melihat lawan menggunakan senjata, Sui In juga, sudah cepat menghunus pedang dan kini ia menangkis dengan gerakan kilat.
“Tranggg...!” Begitu kedua pedang bertemu dan tangkisan itu membuat pedang Can Kai terpental, pedang di tangan Sui In sudah meluncur dengan gerakan lingkaran yang amat cepat, menyambar dari samping membabat ke arah leher Can Kai!
Si gendut ini terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang, lalu berjungkir balik sambil memutar pedang melindungi tubuhnya. Wajahnya berubah agak pucat karena nyaris lehernya putus! Dia menjadi marah dan sudah menerjang lagi dengan dahsyat, sama sekali tidak berani memandang rendah lagi.
Sui In juga segera memainkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang amat indah dan kuat. Pedang di tangannya itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan dari gulungan sinar itu, yang selalu menahan setiap serangan lawan, seringkali mencuat sinar yang merupakan serangan balasan yang cepat dan berbahaya bagi lawan.
Dalam waktu dua puluh jurus saja, Can Kai sudah terdesak hebat dan setiap lima kali serangan lawan dia hanya mampu membalas satu kali saja! Tentu saja dia mundur terus dan berputar-putar dan jelas bahwa kalau dilanjutkan, tak lama lagi dia pasti akan roboh menjadi makanan pedang di tangan gadis Kun-lun-pai yang lihai itu!
Melihat kakaknya terdesak, Can Kui sudah mencabut pedangnya dan tanpa banyak cakap lagi diapun sudah terjun membantu kakaknya. Ilmu pedang Can Kui tidak banyak berbeda dengan kakaknya, maka kini Sui In dikeroyok dua dan kalau tadi Sui In dapat mendesak lawan, kini ia harus berhati-hati karena setelah dikeroyok, tentu saja keadaan menjadi berubah! Wanita perkasa ini memutar pedangnya melindungi diri, akan tetapi kini serangan dua orang itu lebih cepat dan lebih sering dibandingkan serangan balasan yang dapat ia lakukan.
Pek-mau-kwi Ciong Hu menjadi tidak sabar. Tak disangkanya bahwa wanita ini demikian lihainya sehingga dikeroyok oleh dua orang pembantunya pun agaknya mereka tidak akan mudah memperoleh kemenangan, “Hemm, perempuan yang sombong, terimalah kematianmu!” bentaknya dan diapun sudah mencabut pedangnya. Begitu pedangnya dicabut, nampak sinar berkilauan, tanda bahwa pedangnya itu adalah sebuah senjata yang baik dan juga tajam sekali.
Pedang itu meluncur dan merupakan segulung sinar terang menyerang ke arah Sui In yang sudah dikeroyok oleh dua orang, Sepasang Harimau Sungai Kuning itu. Cepat dan kuat sekali serangan itu sehingga Sui In menjadi terkejut bukan main karena pada saat itu ia sedang didesak oleh dua orang pengeroyoknya. Pada saat yang amat berbahaya bagi Sui In, tiba-tiba nampak sinar putih meluncur dari samping.
“Cringggg...! Ahhhh...!” Pek-mau-kwi Ciong Hu mengeluarkan seruan kaget dan cepat memeriksa pedangnya yang hampir saja terlepas dari pegangannya ketika tadi tertangkis oleh sinar putih itu.
Dia merasa lega bahwa pedangnya tidak rusak, akan tetapi alisnya berkerut ketika dia mengangkat muka memandang kepada seorang pria muda yang berdiri di situ sambil tersenyum. Seorang pria muda berpakaian serba putih, pakaian sederhana saja dan tentu dia tidak akan menduga bahwa pemuda itu seorang ahli silat yang lihai kalau saja dia tidak melihat pedang yang bersinar putih dan yang telah membuat pedangnya terpental tadi.
“Pek-liong-eng...!” serunya dengan mata terbelalak.
Tan Cin Hay tersenyum, “Dan engkau tentu Pek-mau-kwi Ciong Hu!”
“Pek-liong-eng, selama ini di antara kita tidak pernah ada permusuhan dan jalan kita selalu bersimpang. Harap engkau tidak mencampuri urusan pribadiku!” kata Pek-mau kwi Ciong Hu, sementara itu, dua orang kakak beradik Can itu masih berkelahi mengeroyok Sui In.
“Pek-mau-kwi, memang jalan kita tidak pernah bertabrakan, akan tetapi sekali ini, secara pengecut sekali kau mengeroyok seorang wanita murid Kun-lun-pai dengan dua orang kawanmu. Hal ini tentu saja tidak dapat kubiarkan saja. Aku paling benci melihat laki-laki yang curang dan pengecut!”
“Pek-liong-eng, orang lain boleh takut kepada nama besarmu, akan tetapi aku tidak! Mampuslah!” Pek-mau-kwi Ciong Hu sudah menyerang dengan pedangnya. Serangannya memang hebat dan dia adalah seorang ahli pedang yang sukar dicari tandingnya. Akan tetapi sekali ini dia berhadapan dengan Si Naga Putih!
Sebelum dia menjadi rekan setia dari Hek-liong-li, dia sudah merupakan seorang pendekar yang berilmu tinggi, mewarisi ilmu-ilmu kesaktian dari mendiang Pek I Lojin. Apa lagi setelah dia memiliki pedang pusaka Pek-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Putih), dan bersama Hek-liong-li dia menciptakan ilmu pedang Sin-liong Kiam-sut, maka ilmu pedangnya dahsyat bukan main. Begitu dia menggerakkan pedang pusakanya, lenyaplah bentuk pedang itu dan yang nampak hanya sinar putih bergulung-gulung yang menimbulkan bunyi berdesing-desing dan angin menyambar-nyambar dahsyat, bagaikan seekor naga bermain-main di angkasa.
Pek-mau-kwi merasa terkejut bukan main. Dia mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, memainkan jurus-jurus pilihan, namun tetap saja sinar pedangnya terkurung dan terhimpit oleh sinar pedang lawannya. Masih untung baginya bahwa diam-diam Pek-liong mengkhawatirkan keselamatan gadis Kun-lun-pai itu sehingga perhatian Pek-liong terpecah, sebagian untuk menjaga kalau-kalau wanita perkasa itu terancam babaya. Hal ini memberi kesempatan kepada Pek-mau-kwi untuk meloncat jauh ke belakang.
“Kita pergi...!” teriaknya kepada dua orang pembantunya.
Sebetulnya, Can Kai dan Can Kui sudah mulai menghimpit lawannya. Wanita perkasa itu hanya mampu menangkis dan melindungi tubuhnya saja dan kalau dilanjutkan, ia pasti akan roboh. Akan tetapi, mendengar seruan Pek-mau-kwi, mereka terkejut. Tadipun mereka sudah cemas mendengar pemimpin mereka menyebut nama Pek-liong-eng. Maka, tanpa banyak pikir lagi, keduanya sudah berloncatan meninggalkan Sui In dan di lain saat, mereka bertiga sudah membalapkan kuda meninggalkan tempat itu.
Pek-liong tidak mengejar, juga Sui In tidak mencoba untuk mengejar. Mereka berdiri saling pandang sejenak, pandang mata yang mengandung kekaguman. Kemudian, Sui In yang teringat bahwa baru saja ia dibebaskan dari ancaman maut, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil berkata,
“Terima kasih atas pertolongan yang diberikan sehingga aku lolos dari ancaman maut di tangan mereka.”
Pek-liong-eng Tan Cin Hay tersenyum dan membalas penghormatan itu dengan mengangkat kedua tangan depan dada, “Tidak perlu berterima kasih, nona. Sudah sepatutnya kalau kita saling membantu apabila menghadapi ganguan orang-orang jahat.”
“Aku... aku bukan seorang nona...” Sui In tersipu mendengar ia dipanggil “siocia” (nona). Usianya sudah dua puluh enam tahun dan ia seorang janda!
Pek-liong masih tersenyum dan kembali mengangkat kedua tangan di depan dada memberi hormat, “Ah, maafkan aku, nyonya...”
Sui In masih tersipu akan tetapi iapun tersenyum, dan menggeleng kepalanya. “Akupun bukan seorang nyonya...”
“Ehhh...?” Kini Pek-liong terbelalak bingung. Bukan nona dan bukan nyonya, apakah ia banci...?
“Aku seorang janda...” Sui In cepat menjelaskan.
“Ah, begitu...?”
Keduanya terdiam. Agaknya pengakuan dirinya sebagai seorang janda itu membuat suasana menjadi canggung. Akan tetapi akhirnya Sui In dapat menguasai hatinya. Ia tahu bahwa pria di depannya itu menjadi rikuh maka tidak berani sembarangan bicara dan harus ia yang lebih dahulu bicara. Ia mengangkat muka. Kebetulan Pek-liong juga sedang memandang kepadanya sehingga dua pasang mata bertemu, bertaut sebentar lalu Sui In yang membuang pandang mata ke samping sambil memerah muka di luar kesadarannya.
“Jadi... engkau ini yang dijuluki Pek-liong-eng itu? Namamu sudah terkenal sampai ke kota raja...”
“Ah, hanya nama kosong saja, tidak pantas untuk disohorkan,” kata Pek-liong merendah.
“Bukan nama kosong. Baru saja aku menyaksikan sendiri betapa hebatnya ilmu pedangmu, tai-hiap (pendekar besar). Aku sudah mendengar pula nama Pek-mau-kwi yang kabarnya amat lihai dan ilmu pedangnya amat berbahaya, namun dalam beberapa gebrakan saja, melawanmu, dia telah melarikan diri. Sungguh engkau memiliki kesaktian hebat, tai-hiap.”
“Wah, engkau membikin aku dua kali malu dan bingung. Engkau tidak mau disebut nona, juga tidak mau disebut nyonya, akan tetapi sebaliknya engkau menyebut aku tai-hiap! Ini tidak adil namanya. Karena malu dan canggung, aku rasanya ingin lari saja. Kalau kita ingin melanjutkan perkenalan ini sebaiknya engkau menyebut aku toako saja. Usiaku sudah dua puluh tujuh tahun, tentu jauh lebih tua darimu, maka sudah sepatutnya kalau engkau menyebut toako (kakak) kepadaku.”
Sui In tersenyum. Hatinya girang bukan main. Dahulu ia sudah mengagumi nama besar Pek-liong-eng. Tadi ketika bertemu di restoran, iapun diam-diam kagum melihat pria ini karena tampan dan jantan, kemudian ia semakin kagum melihat ilmu kepandaian dan sepak terjangnya. Dan kini, bukan saja ia berhadapan dan berkenalan dengan pendekar itu, bahkan ia diperbolehkan menyebut toako! Ia semakin kagum. Pria ini selain tampan dan gagah, jantan, berkepandaian tinggi, juga ternyata sopan dan amat ramah dan jujur!
“Baiklah, toako, akan tetapi engkaupun jangan menyebut aku nona atau nyonya, melainkan siauw-moi (adik perernpuan). Usiaku sudah dua puluh enam tahun, setahun lebih muda darimu.”
“Ah, tidak mungkin!”
“Apanya, yang tidak mungkin, toako?”
“Mana mungkin usiamu sudah dua puluh enam tahun? Engkau kelihatan tidak lebih dari dua puluh tahun!” kata Pek-liong dengan sikap sungguh-sungguh sehingga wanita itu tersenyum bangga, maklum bahwa pendekar itu tidak sekedar merayu.
“Sungguh, toako. Eh, kita ini sudah saling menyebut toako dan siauw-moi, akan tetapi belum mengetahui nama masing-masing! Aku hanya pernah mendengar julukanmu, belum mengetahui namamu. Aku bernama Cu Sui In, toako.”
“Cu Sui In nama yang bagus. Namaku sendiri Tan Cin Hay, In-moi (adik In). Nah, kita telah berkenalan dan menjadi sahabat. Maukah engkau menceritakan kepadaku mengapa tiga orang itu tadi berusaha mati-matian untuk membunuhmu?”
Sui In menggeleng kepala. “Aku sendiri pun tidak tahu mengapa mereka memusuhi aku, toako. Mereka tadi mengejarku, setelah tiba di sini mereka hanya bertanya apakah aku murid Kun-lun-pai. Setelah aku membenarkan, mereka segera menyerangku dan berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhku. Merekapun agaknya mengenal susiokku Giam Sun yang bertapa di puncak bukit ini.”
“Susiokmu? Seorang tokoh Kun-lun-pai bertapa di bukit ini? Heran sekali, mengapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu? Padahal, aku tinggal tidak jauh sekali dari sini.”
“Giam Susiok (Paman Guru Giam) memang bertapa mengasingkan diri dari dunia ramai, maka dia seperti orang bersembunyi dan tidak ada yang tahu. Aneh sekali bagaimana tiga orang itu mengetahuinya dan... ah, jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan susiok...!” Wajah manis itu nampak khawatir sekali. “Aku harus cepat melihat keadaannya!”
Setelah berkata demikian, Sui In yang mengkhawatirkan paman gurunya segera berlari mendaki bukit. Pek-liong juga tertarik sekali mendengar bahwa paman guru gadis itu bertapa di situ, maka diapun mengikuti di belakang gadis itu tanpa bicara lagi...