Si Bayangan Iblis Jilid 14 karya Kho Ping Hoo - SETELAH Souw Han dan selirnya pergi, Pangeran Souw Cun mengerutkan alisnya dan mengepal tinju. “Sialan, ternyata perempuan itu orang lemah, bukan seorang perempuan yang berbahaya seperti yang kita sangka!”
Bouw Sian-seng mengangguk-angguk. “Biarpun tadinya mencurigakan, akan tetapi setelah kita menyiksanya, jelas bahwa ia seorang yang lemah, sama sekali tidak melawan. Kita telah salah sangka, Pangeran.”
“Hemmm, justeru itu celakanya. Ia seorang perempuan biasa, akan tetapi peristiwa ini mendatangkan bahaya baru yang hebat dan yang mengancam kita! Aku khawatir sekali...!”
“Heh-heh-heh, paduka bersikap seolah-olah sudah tidak ada hamba di sini, Pangeran. Apa yang menggelisahkan paduka, katakan saja dan hamba yang akan membereskan!”
“Kau dengar tadi ucapan dinda Souw Han? Dia agaknya telah mengetahui semua rahasiaku!”
“Beliau tadi sedang marah, Pangeran. Mungkin itu hanya gertakan saja karena sedang marah.”
“Hemm, dinda Souw Han bukan seorang yang suka bicara bohong atau menggertak. Kalau dia bicara, tentu hal itu benar. Sungguh tidak kusangka, dia nampaknya tidak perduli dan tidak memperhatikan, akan tetapi dia tahu semua rahasiaku. Ini berbahaya sekali!”
“Lalu, apa yang harus hamba lakukan, Pangeran?”
Pangeran Souw Cun mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Jangan lakukan apa-apa, hal ini harus kupikirkan masak-masak lebih dulu. Orang seperti Souw Han lebih baik dijadikan sekutu dari pada lawan. Dia disuka oleh semua pangeran, termasuk aku. Dan ibunda Permaisuri juga amat suka kepadanya. Sulit... sulit, biar kupikirkan masak-masak hal ini.”
********************
“Aih, kasihan sekali engkau, enci Cu...!” kata Pangeran Souw Han ketika dia memapah Liong-li memasuki kamarnya, disambut oleh lima orang dayang yang memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang. Pangeran Souw Han memapah Liong-li ke pembaringan. Akan tetapi, ketika pendekar wanita itu duduk, ia mengeluh karena pinggulnya yang terkena lecutan tadi perih.
“Sakitkah, enci Cu?Engkau rebah dulu, aku akan memanggil tabib...” Dia membantu Liong-li merebahkan diri, akan tetapi begitu telentang, Liong-li merintih, lalu terpaksa miringkan tubuhnya agar bagian yang luka-luka tidak terhimpit.
“Auhhhh...”
“Kasihan engkau, kalau tidak bisa untuk telentang, engkau miring atau telungkup, enci Cu. Aku akan memanggil tabib sekarang.”
“Jangan, Pangeran. Tidak usah. Lebih baik keadaan saya ini tidak diketahui orang luar, dan harap pesan kepada para dayang agar merahasiakan peristiwa ini. Saya dapat mengobatinya sendiri, saya mempunyai obat luka yang manjur...”
“Engkau benar, enci Cu. Akan kupanggil mereka semua.”
Pangeran Souw Han bertepuk tangan lima kali dan bermunculanlah lima orang dayang itu memasuki kamar. “Kalian berlima harus melupakan semua yang terjadi tadi, dan tidak menceritakan kepada siapapun juga. Peristiwa yang menimpa nyonya muda tadi tidak pernah terjadi. Mengerti?”
“Hamba mengerti, Pangeran,” kata mereka.
“Tolong disediakan air hangat-hangat kuku dalam sebuah panci dan bawa ke sini...” kata Liong-li kepada mereka. Mereka izin pergi dan menutup kembali daun pintu kamar.
“Terima kasih, Pangeran. Untung paduka cepat datang.”
“Enci Cu, kenapa engkau membiarkan dirimu disiksa seperti itu? Engkau seorang yang berilmu tinggi, kenapa tidak kau hajar saja mereka itu?”
Liog-li tersenyum. “Harap paduka ingat bahwa tugas saya adalah melakukan penyelidikan, bukan mengamuk dan membuat kacau di istana. Mereka agaknya mencurigai saya, kalau saya saya memperlihatkan kepandaian, berarti rahasia saya akan terbuka. Kini mereka akan menganggap saya seorang wanita biasa yang lemah, dan tidak akan mengganggu saya lagi sehingga saya dapat bekerja dengan baik tanpa dicurigai dan diawasi.”
“Hemmm, tapi engkau membiarkan kulit punggung dan pinggulmu pecah-pecah berdarah. Di mana obat luka itu?”
“Di dalam buntalan pakaian saya di almari, Pangeran. Biar saya ambil sendiri dan akan saya obati setelah nanti air panas itu tersedia...” Liong-li hendak bangkit, akan tetapi ia menyeringai ketika bangkit duduk. Pangeran Souw Han cepat memegang pundaknya dan dengan halus membantunya rebah miring kembali.
“Aih, enci Cu. Engkau terluka dan menderita nyeri. Biarlah aku yang mengambilkan obat dalam buntalan itu.”
“Terima kasih, Pangeran.”
Pangeran Souw Han, mencari buntalan dalam almari, membukanya dan atas petunjuk Liong-li dia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas di mana terdapat obat bubuk putih. “Saya dapat mengobati sendiri luka-luka ini, Pangeran.”
“Enci Cu, bagaimana mungkin engkau akan dapat mengobati luka di punggung dan pinggulmu sendiri? Melihatnyapun tidak dapat. Biar aku yang mengobati, enci Cu.”
“Ah, Pangeran. Saya hanya membikin repot paduka saja...” kata Liong-li, akan tetapi di dalam hatinya ia memaki diri sendiri.
Engkau munafik! Sejak tadi ia sudah bersandiwara. Kalau di depan Pangeran Souw Cun ia bersandiwara, hal itu ia lakukan demi tugasnya, demi rahasia dirinya agar jangan terbongkar. Akan tetapi setelah bersama Pangeran Souw Han, ia masih saja sejak tadi bersandiwara.
Luka-luka lecutan seperti itu saja bagi seorang pendekar wanita seperti Liong-li, sedikitpun tidak ada artinya! Rasa nyeri seperti itu saja tidak akan terasa olehnya. Jangankan sampai membuat ia mengeluh dan merintih, berkedip pun tidak!
Ia sudah mengalami bahaya dan luka-luka yang lebih hebat lagi. Akan tetapi bukan saja ia mengeluh dan merintih, juga ia pura-pura tidak dapat duduk dan tidak dapat rebah telentang!
Makin sering Pangeran Souw Han memandangnya dengan sinar mata mengandung iba besar dan mulut mengacapkan kata-kata “kasihan”, rintihan yang keluar dari mulut Liong-li semakin mengenaskan! Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia berubah demikian! Ingin rasanya ia menampar kepala sendiri, memaki diri sendiri.
“Jangan sungkan enci Cu. Nah, itu air hangatnya datang.”
Seorang dayang, setelah mengetuk pintu dan diperbolehkan masuk, membawa panci besar terisi air yang masih mengepulkan uap. “Taruh di atas bangku ini, kemudian keluarlah dan jangan biarkan siapapun masuk,” kata Pangeran Souw Han yang sudah mempersiapkan sebuah bangku dekat pembaringan. Dayang itu menaruh panci di situ, kemudian memberi hormat dan pergi.
“Pangeran, air panas itu untuk mencuci luka-luka, menggunakan sebuah kain bersih. Sesudah dicuci dan dikeringkan, baru ditaburi obat luka yang ditekan-tekan dengan jari tangan agar obat itu melekat dan memasuki bagian yang kulitnya pecah.”
Pangeran itu mengangguk-angguk. “Engkau menelungkuplah, agar lebih mudah mencuci dan mengobatinya,” katanya sambil mengambil sehelai kain putih bersih dari almari.
Liong-li menelungkup, menggigit bibir menahan debaran jantungnya yang mengeras. Ia merasa betapa pangeran itu duduk di tepi pembaringan, dan terdengar suaranya yang lembut dan sopan.
“Enci Cu, maafkan aku kalau terpaksa aku melihat tubuhmu bagian belakang bertelanjang dan maafkan kalau jari-jari tanganku menyentuhnya.”
Liong-li merasa geli. Belum pernah ia bertemu seorang pria yang sudah dewasa begini canggung dan kikuk, begini pemalu. Sikap ini saja sudah membuktikan bahwa pangeran ini belum pernah bergaul dekat, belum pernah bermesraan dengan wanita. Dugaan ini saja sudah membuat jantungnya berdebar semakin kencang.
Hati-hati engkau, Liong-li, katanya kepada diri sendiri. Engkau berada di tepi jurang yang akan menenggelamkanmu. Tugasmu belum selesai, baru dimulai dan engkau hendak membiarkan dirimu terbius keindahan dan kenikmatan nafsu?
“Pangeran, maafkan saya. Sebaiknya kalau... kalau saya mengobati sendiri luka-luka ini, atau... menyuruh seorang dayang saja yang melakukannya. Tidak baik merepotkan paduka, dan pula... akan membuat paduka menjadi rikuh dan membuat saya menjadi malu saja...” Hemm, munafik, ia memaki diri sendiri. Ia malu? Ia malah bangga dan girang!
“Enci Cu, dalam hal yang gawat ini kita harus menyingkirkan segala perasaan sungkan yang tidak ada gunanya. Engkau tidak mungkin mengobati luka-luka di tubuh bagian belakang, kedua tanganmu takkan dapat mencapainya. Kalau menyuruh dayang, tentu ia akan merasa heran sekali dan siapa tahu keheranannya melihat tubuh belakangmu penuh luka itu akan membuat, ia kelepasan bicara. Dan aku... aku sama sekali tidak merasa direpotkan atau rikuh karena memang engkau membutuhkan pertolongan. Nah, maafkan, aku akan membuka jubahku yang kuselimutkan padamu ini.”
Liong-li menahan senyumnya, menyembunyikan mukanya ke dalam bantal sambil menelungkup ketika merasa betapa tangan pangeran itu menyingkap penutup tubuh belakangnya.
“Aduh, betapa mengerikan...!” seru pangeran itu sambil mengamati punggung dan pinggul yang penuh jalur-jalur merah dan di sana-sini kulitnya pecah dan luka berdarah itu.
“Amat burukkah tubuh belakangku?”
Pangeran itu mengamati punggung dan pinggul itu. “Sama sekali tidak buruk, enci Cu. Punggung dan pinggulmu indah sekali, kulitnya putih halus. Ah, betapa kejamnya mencambuk kulit yang putih mulus ini sampai pecah-pecah...!”
Pangeran itu mulai mencuci darah dari punggung dan pinggul itu, menggunakan kain putih yang dicelupkan di air panas. Lembut sekali tangan itu menggerakkan kain basah hangat di permukaan kulit yang terluka, dan Liong-li merasakan kelembutan ini, dan kalau kebetulan jari tangan itu menyentuh kulitnya, ia merasa pula betapa tangan pangeran itu gemetar! Ia merintih lirih.
“Sakitkah, enci Cu?” tanya Pangeran Souw Han dengan hati iba.
Tentu saja hampir tidak terasa oleh Liong-li kalau hanya nyeri seperti itu, akan tetapi ia merintih dan mengeluh seolah-olah menderita nyeri hebat. “Perih, Pangeran...” katanya lirih.
“Kasihan engkau, enci Cu...” Entah berapa kali pangeran itu mengatakan hal ini dan makin sering rintihan keluar dari mulut Liong-li! Gila kau, ia memaki diri sendiri. Bahaya semakin dekat! Ia sudah berusaha untuk tidak membiarkan pangeran ini merawatnya, ia membela diri sendiri.
“Sekarang akan kutaburkan obat bubuk ini, enci Cu,” kata pangeran itu setelah mengeringkan punggung dan pinggul dengan kain kering. Kedua tangannya semakin keras gemetar karena selama hidupnya, belum pernah Pangeran Souw Han melihat punggung dan pinggul seperti ini, apa lagi tubuh wanita, dan yang demikian indahnya.
Obat bubuk itu buatan Liong-li sendiri dan amat manjur. Selain luka akan segera mengering kalau diobati dengan obat ini, juga begitu ditaburkan di atas luka, rasanya dingin dan sejuk, menghilangkan rasa nyeri! Akan tetapi Liong-li malah merintih-rintih, bukan karena nyeri melainkan karena terbakar gairah yang makin berkobar karena sentuhan-sentuhan tangan Pangeran Souw Han ketika pangeran itu membalurkan obat bubuk itu. Akan tetapi pangeran itu mengira bahwa Liong-li menderita nyeri yang hebat, maka dia merasa terharu dan kasihan sekali.
“Enci Cu kenapa engkau lakukan ini? Kenapa engkau membiarkan dirimu dihina dan disiksa? Kalau engkau mau, tentu dengan mudah engkau dapat menghajar mereka lalu melarikan diri.”
“Aih, pangeran. Bagaimana paduka dapat mengatakan demikian? Kalau saya melarikan diri, tentu paduka akan menghadapi tuntutan dan dakwaan hebat! Bagaimana mungkin saya dapat melakukan itu, mencelakakan paduka? Dari pada mencelakakan paduka, biarlah tubuh saya ini menderita, juga untuk menyembunyikan rahasia saya.”
“Hemm, enci Cu. Engkau begini baik, engkau gagah perkasa, cantik jelita, dan engkau pandai menari, bernyanyi, bermain musik, Belum pernah selama hidupku aku bertemu dengan wanita seperti engkau. Enci Cu, sekarang aku tahu bahwa ketika tadi aku mengaku kepada kanda Souw Cun bahwa engkau satu-satunya wanita yang kucinta, maka pengakuan itu bukan sekedar membelamu. Aku memang cinta padamu, enci Cu!”
“Pangeran... ah, pangeran...!”
Entah siapa yang bergerak lebih dulu, akan tetapi seperti terdorong oleh kekuatan yang hebat mereka saling rangkul. Mereka berangkulan dan ketika pangeran itu menciumnya, Liong-li tahu bahwa ia sudah kalah.
Sebaliknya, dalam rangkulan wanita yang berpengalaman ini, Pangeran Souw Han yang masih hijau itupun seperti mabok. Dia lupa bahwa kini Liong-li dapat bergerak, leluasa dan kuat, dapat menelentang tanpa keluhan. Akan tetapi pada detik terakhir tiba-tiba Liong-li bangkit duduk dan menarik pangeran itu untuk duduk pula. Mereka duduk di atas pembaringan dan ketika pangeran itu hendak merangkulnya, Liong-li menahannya dengan lembut.
“Nanti dulu, Pangeran. Sebelum terlanjur, saya mohon paduka suka mendengarkan dulu kata-kata saya.”
Pangeran Souw Han memandang dengan sinar mata penuh kasih sayang dan kemesraan, “Katakanlah, enci Cu!”
“Pangeran, paduka adalah Pangeran Souw Han yang selamanya belum pernah bergaul dengan wanita. Sekarang paduka hendak menumpahkan cinta kasih kepada saya, sepatutnya paduka ketahui siapa saya ini.
“Pangeran, saya adalah seorang wanita yang mempunyai riwayat tidak bersih, Pangeran. Ketika gadis, oleh mendiang ayah saya dijual kepada seorang bangsawan. Saya diperkosa, kemudian saya dijual ke rumah pelacuran di mana saya dipaksa menjadi pelacur! Menjadi pelacur, Pangeran! Kemudian setelah saya mendapatkan kepandaian, saya balas semua orang keji dan jahat itu. Nah, saya bukan seorang wanita yang bersih. Benar seperti dikatakan Pangeran Souw Cun, saya tidak pantas menjadi wanita yang menerima kasih sayang paduka untuk pertama kalinya...”
“Enci Cu, aku cinta padamu, tidak perduli siapa engkau ini dan bagaimana masa lalumu. Aku tidak mencinta riwayatmu, aku mencintai dirimu!” Pangeran itu hendak merangkul lagi, akan tetapi dengan halus Liong-li memegang kedua lengannya.
“Masih belum habis apa yang hendak saya katakan, Pangeran. Terus terang saja, begitu berjumpa dengan paduka, hati saya terpikat. Saya suka sekali dan kagum kepada paduka dan tidak ada kesenangan yang lebih saya inginkan sekarang ini kecuali melayani paduka, saling menumpahkan kasih sayang dengan paduka. Akan tetapi, saya dapat dan senang melakukan hal itu, hanya dengan satu syarat, Pangeran.”
“Syarat? Orang bercinta dengan syarat?” Pangeran itu mengerutkan alisnya.
“Syaratnya, saya tidak dapat menjadi isteri paduka, tidak dapat menjadi selir paduka. Apa yang akan kita lakukan ini adalah suka rela, tidak ada ikatan. Setelah selesai tugas saya di istana ini, saya akan pergi meninggalkan paduka, dan paduka jangan mengharapkan saya kembali apa lagi memaksa saya untuk tinggal di sini. Nah, itulah syaratnya!”
“Terserah... apa saja kehendakmu... aku... aku cinta padamu, enci Cu...!” Pangeran itu merangkul dan Liong-li menyambutnya dengan senyum manis.
Nafsu berahi, seperti semua nafsu memabokkan. Orang lupa akan segala yang lain kalau sudah dicengkeram nafsu. Satu-satunya yang diinginkan hanyalah terpuaskannya nafsu yang sedang menggelora. Dan di antara segala macam nafsu, nafsu berahi merupakan nafsu yang amat kuat dan sukar diatasi. Bahkan banyak sudah tercatat dalam sejarah betapa orang-orang besar bertekuk lutut kepada nafsu berahi.
Hek-liong-li Lie Kim Cu adalah seorang pendekar wanita yang mampu melawan apa saja dan biasanya keluar sebagai pemenang. Iapun bukan seorang budak nafsu. Akan tetapi, pada saat nafsu berahi mencengkeramnya, iapun hanya seorang manusia dari darah daging yang lupa diri dan lupa segala.
Biasanya, walaupun hatinya tertarik kepada seorang pria, ia tidak akan begitu mudah menyerahkan diri, apa lagi ia sedang berada di tengah-tengah tugas yang berat dan berbahaya. Kalau tugas itu sudah selesai dan ia berada dalam keadaan santai, tentu ia tidak akan menolak gairah berahinya yang hanya ditujukan kepada orang yang benar-benar dikaguminya saja.
Pangeran Souw Han juga bukan seorang hamba nafsu. Buktinya, biarpun dia seorang pangeran dan sudah dewasa, dia selalu menahan diri dan tidak pernah mau menyerah, tidak pernah mau bergaul dengan wanita walaupun akan mudah sekali baginya untuk mendapatkan wanita yang cantik dan muda sekalipun. Akan tetapi kini dia benar-benar kagum sekali kepada Liong-li sehingga dia menyerah terlena dalam pelukan wanita itu.
Mereka tenggelam dam berenang dalam lautan madu asmara, meneguk madu yang memabokkan itu sepuas-puasnya sehingga sehari itu mereka tidak pernah keluar kamar, bahkan lupa makan. Dalam diri Liong-li, pangeran itu menemukan seorang guru yang pandai dan seorang kekasih yang penuh gairah.
********************
Pria dan wanita itu merupakan pasangan yang serasi sekali. Yang pria berusia duapuluh tujuh tahun, berwajah tampan dan gagah. Tubuhnya sedang dan pakaiannya yang serba putih itu bersih, terbuat dari sutera yang halus. Dagunya yang berlekuk membayangkan keberanian dan matanya mencorong tajam, akan tetapi lebih banyak menunduk.
Yang wanita berusia sebaya, hanya satu-dua tahun lebih muda, pakaiannya serba hijau, cantik dengan mata dan mulut yang menggairahkan, tubuhnya ramping dan gerakannya ketika melangkahkan kaki ringan dan tangkas.
Mereka itu Pek-liong dan Cu Sui In. Mereka melakukan perjalanan cepat dan berjalan kaki ketika memasuki pintu gerbang kota raja, agar jangan menarik perhatian. Para penjaga pintu gerbang memandang penuh perhatian. Siapapun akan tertarik kepada mereka, karena memang mereka itu nampak elok dan gagah. Akan tetapi tidak ada penjaga pintu gerbang yang menghadang atau mengganggu.
“Kita langsung saja menghadap paman Ciok,” kata Sui In. “Sekarang sudah lewat tengah hari, tentu dia sudah pulang.”
Yang diajak bicara hanya mengangguk. Sui In merasa semakin kagum kepada pendekar itu. Semenjak pendekar itu menolongnya, kemudian mereka melakukan perjalanan bersama ke kota raja. Setelah ia bermalam di rumah pendekar itu satu malam, sampai melakukan perjalanan bersama, Pek-liong bersikap sebagai seorang pendekar sejati yang mengagumkan!
Ia adalah seorang janda, dan Pek-liong seorang duda. Ia kagum kepada duda itu dan mereka melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi, Pek-liong selalu bersikap sopan! Tak pernah pria muda itu memperlihatkan perasaannya, baik melalui pandang mata atau kata-kata. Selalu sopan, juga dia pendiam, tidak banyak bicara bahkan tidak bicara kalau tidak ditanya.
Sikap seorang jantan sejati dan sejak pertemuan pertama kali, hati janda muda itu sudah terusik dan ia merasa kagum bukan main. Ia tentu tidak akan berani menyangkal kalau ada orang mengatakan bahwa ia jatuh cinta kepada Si Naga Putih.
Mendengar bahwa keponakannya pulang bersama seorang pemuda berpakaian putih, Ciok Tai-jin, pembantu Menteri Pajak yang sudah berusia lima puluh lima tahun itu, segera memerintahkan penjaga untuk mempersilakan mereka memasuki ruangan dalam di mana dia menanti seorang diri.
Sui In masuk diikuti Pek-liong. Setelah mereka masuk, penjaga yang sudah dipesan oleh tuan rumah segera menutupkan daun pintu dan menjaga di luar agar pertemuan dan percakapan majikannya dengan dua orang muda itu tidak terganggu. Sui In memberi hormat kepada pamannya, lalu memperkenalkan Pek-liong.
“Paman, ini adalah Pek-liong-eng Tan Cin Hay, pendekar sakti yang terkenal sekali dan yang telah menolongku ketika aku dikeroyok oleh orang-orang jahat.”
“Tan tai-hiap...!” kata pembesar itu ketika Pek-liong memberi hormat kepadanya. “Silakan duduk, silakan duduk!” Kemudian dia memandang kepada keponakannya. “Sui In, mana susiokmu yang katanya hendak kaupanggil dan mintai bantuan itu?”
Sui In mengerutkan alisnya. “Susiok Giam Sun telah tewas terbunuh orang pula, paman.”
“Ahhh? Terbunuh? Bagaimana... oleh siapa...?”
Dengan singkat namun jelas Sui In lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa ia dikeroyok oleh Huang-ho Siang-houw dan Pek-mau-kwi, dan diselamatkan oleh Pek-liong. Kemudian betapa ia dan Pek-liong menemukan susioknya itu telah tewas dan ada coret-coretan pesan terakhir susioknya yang menuliskan dua buah nama yaitu Pek-mau-kwi dan Kwi-eng-cu.
“Kwi-eng-cu...? Ah, bagaimana mendiang susiokmu itu tahu tentang Si Bayangan Iblis?” Ciok Tai-jin berseru heran.
“Menurut dugaan kami, paman, susiok terbunuh oleh Pek-mau-kwi dan teman-temannya, dan mungkin sebelum membunuhnya, Pek-mau-kwi menyebut Kwi-eng-cu. Bagaimanapun juga, tentu ada hubungannya antara Pek-mau-kwi dan Kwi-eng-cu, mungkin saja Pek-mau-kwi itu termasuk anak buahnya.”
Pembesar itu mengangguk-angguk, lalu dia memandang kepada Pek-liong. “Dan Tan tai-hiap ikut ke kota raja untuk membantu agar Si Bayangan Iblis dapat ditangkap? Memang para pendekar harus bangkit untuk menangkap pengacau yang amat berbahaya itu. Aku sendiri hampir saja terbunuh oleh iblis.”
“Aihh... paman. Kapan terjadinya dan bagaimana?” Sui In terkejut bukan main.
“Tidak lama setelah engkau pergi. Ada pembunuh yang datang untuk membunuhku tentu saja, akan tetapi ada bayangan lain yang menyerangnya, sehingga Kwi-eng-cu gagal memasuki rumah ini. Akan tetapi, para pengawal sudah siap dan andaikata dia berani masuk, tentu kami akan mengepungnya.”
Pada saat itu, daun pintu ruangan itu diketuk orang dari luar. Ciok Tai-jin mengerutkan alisnya, “Masuk!” katanya dengan suara mengandung kemarahan. “Hemm, berani engkau mengganggu kami? Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin diganggu siapa pun juga dan engkau berani mengetuk pintu?” katanya dengan nada suara marah kepada pengawal itu. Pengawal itu memberi hormat.
“Harap Tai-jin suka memaafkan saya. Saya dipaksa untuk memberitahu kepada Tai-jin bahwa Cian Hui Ciang-kun minta menghadap Tai-jin. Katanya harus sekarang juga karena amat penting. Saya tidak dapat dan tidak berani menolaknya lagi...!”
“Cian Ciang-kun? Persilakan dia masuk!” Ciok Taijin berkata dan sikapnya berubah mendengar nama Cian Hui. “Orang inilah yang diharapkan semua pihak akan dapat membongkar rahasia Kwi-eng-cu, bahkan dia menerima tugas itu dari Sribaginda Kaisar sendiri,” bisiknya kepada Pek-liong dan Sui In.
Mendengar nama ini, Sui In juga menaruh perhatian, karena ia pernah pula mendengar nama besar Cian Ciang-kun sebagai seorang perwira yang amat pandai dalam membongkar perkara kejahatan. Hanya Pek-liong yang belum pernah mendengar nama itu dan dia bersikap tenang saja.
Ketika pria itu masuk, diam-diam Pek-liong memperhatikan. Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun dan yang memiliki wajah dan pembawaan yang amat gagah. Wajahnya yang bentuk persegi itu jantan, dengan dagu berlekuk keras, alis yang tebal sekali dan hitam berbentuk golok, hidungnya besar mancung, mulutnya membayangkan keramahan! Sepasang matanya jelas membayangkan kecerdasan dan memiliki sinar yang hidup dan lincah. Tubuhnya tegap dan kokoh, agak tinggi. Jenggot dan kumisnya terpelihara rapi menambah kejantanan.
Dengan sikap gagah dan ramah dia mengangkat kedua tangannya, memberi hormat kepada Ciok Tai-jin dan berkata. “Ciok Tai-jin, harap maafkan saya yang datang mengganggu dan memaksa para penjaga untuk melaporkan kedatangan saya menghadap Tai-jin.”
Ciok Tai-jin cepat membalas penghormatan itu. “Ah, tidak mengapa, Ciang-kun. Bahkan kami merasa senang sekali akan kunjungan Ciang-kun ini karena kami yakin bahwa ciang-kun tentu membawa berita penting.”
Cian Hui kini memandang kepada Sui In dan dia tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Berita yang didengarnya bahwa keponakan pejabat tinggi ini cantik dan gagah perkasa, ternyata tidak berlebihan. Wanita ini memang cantik jelita dan nampak gagah, dan sudah janda pula.
Diapun mengangkat tangan memberi hormat kepada wanita itu dan juga kepada Pek-liong yang sudah diamatinya dengan penuh perhatian. Juga pandang matanya kepada Pek-liong tidak menyembunyikan kekagumnnya. “Nona Cu Sui In dan tai-hiap Pek-liong-eng, selamat bertemu dan maafkan kalau aku mengganggu.”
Sui In terbelalak, dan Pek-liong diam-diam juga memandang kaget. “Bagaimana Ciang-kun dapat mengenalku? Pada hal kita belum pernah saling bertemu, atau berkenalan,” tanya Sui In.
“Hemm, juga kita baru saja saling bertemu di sini, Ciang-kun. Bagaimana Ciang-kun dapat mengenalku?”
Cian Hui tersenyum. “Ah, itu hanya permainan kanak-kanak. Ketika ji-wi lewat di pintu gerbang, seorang penyelidikku yang berpengalaman telah melihat ji-wi, (kalian berdua) dan setelah menyuruh seorang kawannya melapor kepadaku, dia membayangi kalian. Karena itulah, aku tahu bahwa kalian berada di sini dan datang menyusul.”
“Silakan duduk, Cian Ciang-kun,” kata Ciok Tai-jin. “Kami yakin hanya kedatangan Ciang-kun ini tentu membawa suatu kepentingan besar.”
“Memang benar, Tai-jin. Terutama sekali saya mempunyai kepentingan dengan tai-hiap Pek-liong-eng Tan Cin Hay.”
Cin Hay merasa kagum. Orang ini memang cerdik dan cekatan sekali. Cara kerjanya mengagumkan dan kalau hal itu ditambah dengan ilmu silat yang tinggi, maka aneh kalau kekacauan di kota raja tidak dapat diatasi olehnya. “Kita baru saja saling jumpa, Ciang-kun. Bagaimana Ciang-kun dapat mempunyai kepentingan dengan aku?” tanya Pek-liong sambil memandang tajam penuh selidik.
“Sebelum kita bicara lebih lanjut, sebaiknya kalau kusampaikan saja surat ini kepadamu, tai-hiap. Tadinya aku memang hendak mencarimu di dusun Pat-kwa-bun, akan tetapi kebetulan penyelidikku melapor akan kemunculanmu di kota raja, maka langsung saja aku menyusul ke sini untuk menyerahkan surat ini kepadamu! Dari saku bajunya, Cian Ciang-kun mengeluarkan surat dari Hek-liong-li yang dititipkan kepadanya.
Pek-liong menerima surat itu dan membuka sampulnya. Begitu mengenal tulisan yang indah dan kuat itu, diapun tersenyum. Kiranya pria yang gagah ini sudah lebih dulu mengadakan hubungan dengan Liong-li! Dia segera membaca surat itu, dipandang oleh tiga orang yang duduk di situ.
Pek-liong tercinta,
Kalau engkau membaca surat ini, berarti aku berada dalam bahaya dan membutuhkan bantuanmu karena kupesan kepada Cian Ciang-kun untuk menyerahkan surat ini kepadamu kalau aku berada dalam bahaya. Selanjutnya engkau dapat berunding dengan dia.
Hek-liong-li.
Begitu membaca surat ini, Pek-liong bagaikan seekor singa yang mencium adanya musuh berbahaya. Wajahnya menjadi agak kemerahan, sepasang matanya kini mencorong dan bergerak-gerak dengan lincah, penuh semangat bertempur dan lenyaplah semua sifat lain, yang tinggal hanyalah kekerasan, ketenangan, dan kewaspadaan yang didukung semangat tempur yang luar biasa kuatnya.
“Cian Ciang-kun, harap engkau cepat menceritakan di mana adanya Liong-li dan bagaimana dapat bekerja sama denganmu. Singkat saja namun jangan melewatkan sesuatu yang mungkin penting!”
Dalam suara itu terdapat perubahan. Kini suara itu mengandung wibawa yang kuat, seperti seorang panglima yang memberi perintah rahasia penting kepada seorang pembantunya. Cian Hui dapat merasakan benar wibawa ini dan diapun menjadi serius.
Dengan singkat namun padat, dia menceritakan tentang pembunuhan-pembunuhan rahasia yang terjadi di kota raja dan tentang tugas yang diberikan kepadanya oleh Sribaginda Kaisar untuk membongkar rahasia itu dan menangkap pengacaunya yang hanya dikenal dengan sebutan Si Bayangan Iblis. Betapa kemudian dia minta bantuan Hek-liong-li untuk melakukan penyelidikan di dalam istana.
“Atas prakarsanya, kami berhasil menyelundupkaan Lie li-hiap ke dalam istana sebagai seorang dayang dari Permaisuri, setelah li-hiap menduga bahwa tentu rahasia itu berpusat dalam istana. Akan tetapi, kami mendengar berita mengejutkan dari istana, Hong-houw (Permaisuri) demikian cerdiknya sehingga mengetahui rahasia penyamaran Lie li-hiap.”
Dia berhenti sebentar dan tiga orang pendengarnya menahan napas saking tegangnya. Mereka semua sudah mendengar bahwa Hong-houw adalah seorang wanita luar biasa yang amat cerdik, bahkan kini menjadi orang yang paling berkuasa di kerajaan karena Sribaginda Kaisar sendiri seperti boneka lilin di tangannya.
“Bagaimana selanjutnya?” tanya Pek-liong, sikapnya masih tenang biarpun hatinya dicekam kekhawatiran.
Dia percaya sepenuhnya kepada Liong-li dan yakin akan kemampuan wanita yang paling dipujanya di seluruh dunia itu. Akan tetapi sekarang Liong-li berada di dalam istana! Betapapun lihainya seseorang, kalau berada di dalam istana bagaikan berada di dalam benteng baja yang kokoh dan kuat dan di dalam istana terdapat banyak sekali orang-orang yang cerdik pandai dan orang-orang yang berilmu tinggi, jagoan-jagoan yang amat lihai.
“Entah bagaimana, dan entah akal apa yang dipergunakan oleh li-hiap, akan tetapi menurut keterangan penyelidik yang kutugaskan di sana, li-hiap tidak dihukum oleh Permaisuri, bahkan oleh Permaisuri ia diberikan kepada Pangeran Souw Han sebagai seorang selir.”
“Hemm, dan apa artinya peristiwa itu?” tanya Pek-liong yang sama sekali tidak mengenal keadaan di dalam istana kaisar.
“Peristiwa itu menarik sekali untuk diselidiki,” kata Cian Hui, “Banyak kejanggalan terjadi di sini. Pertama, semua orang tahu bahwa tidak ada orang yang akan dapat lolos dari hukuman mati apabila Hong-houw memusuhinya atau menganggapnya berdosa. Kenyataannya bahwa li-hiap tidak dihukum membuktikan bahwa Permaisuri tentu tidak memusuhinya walaupun penyelundupannya diketahui.
“Dan kedua, li-hiap diserahkan kepada Pangeran Souw Han sebagai selir, pada hal pangeran muda itu terkenal sebagai seorang yang alim, yang sama sekali tidak pernah bergaul dengan wanita seperti para pangeran lain. Kini tiba-tiba saja dia mau menerima seorang selir!”
Kembali Cian Ciang-kun berhenti dan pandang matanya mengamati wajah Pek-liong. Akan tetapi pendekar ini tidak menunjukkan sesuatu pada wajahnya.
“Dan menurut Ciang-kun, apa artinya kejanggalan-kejanggalan itu?”
“Kalau Hong-houw tidak menghukumnya, hal itu berarti bahwa ada kerja sama antara li-hiap dan Hong-houw, atau lebih tepat lagi Hong-houw, memanfaatkan kehadiran li-hiap di istana untuk mengerjakan sesuatu. Agaknya, Hong-houw yang sengaja menyelundupkan li-hiap ke dalam istana bagian pria dengan cara menghadiahkannya kepada Pangeran Souw Han.”
“Kenapa kepada Pangeran Sauw Han?”
“Karena pangeran itu merupakan seorang yang paling disuka dan paling dapat dipercaya, yang bersih dari pada persaingan yang terjadi di istana. Selain itu, juga dia terkenal tidak suka bergaul dengan wanita, dan hal ini yang membuat li-hiap suka dihadiahkan sebagai selir. Tentu hanya luarnya saja demikian, Pangeran Souw Han tidak akan mau mengganggunya, sehingga li-hiap dapat leluasa mengadakan penyelidikan dengan sembunyi di kamar pangeran itu sebagai selir, tidak menimbulkan kecurigaan.”
Pek-liong mengangguk-angguk dan merasa kagum. Benar dugaannya, orang she Cian ini memang cerdik sekali. “Kalau begitu, kita boleh menghapus nama Permaisuri sebagai orang yang boleh dicurigai memimpin komplotan Si Bayangan Iblis?” tanyanya.
“Tentu saja! Sejak dulu akupun yakin bahwa Si Bayangan Iblis itu bukan dikendalikan oleh Hong-houw. Beliau memegang tampuk kekuasaan. Untuk melenyapkan orang yang tidak disukainya, beliau tinggal menuding saja dan orang itu akan ditangkap dan dibunuh. Tidak perlu beliau mempergunakan pembunuh gelap seperti Si Bayangan Iblis, karena hal itu hanya akan merugikan beliau sendiri.”
“Sekarang katakan mengapa engkau menyerahkan surat Liong-li kepadaku, Ciang-kun? Bahaya apakah yang mengancam diri Liong-li?”
“Inilah yang mencemaskan hatiku, tai-hiap. Dari penyelidik yang kutugaskan di sana, aku mendapat kabar mengejutkan kemarin. Menurut penyelidik itu, Liong li-hiap ditangkap oleh Pangeran Souw Cun dan diberi hukuman cambuk. Pangeran Souw Han datang menyelamatkannya dan agaknya terjadi ketegangan antara kedua orang pangeran itu. Kabar yang disampaikan penyelidik itu hanya mengatakan bahwa li-hiap mengalami luka-luka di punggung karena lima kali cambukan, akan tetapi kini telah diajak kembali oleh Pangeran Souw Han.”
“Ahhh...!” Sui In berseru khawatir...