Si Bayangan Iblis Jilid 15

Cersil Online Karya Kho Ping Hoo Serial Sepasang Naga Penakluk Iblis Episode Si Bayangan Iblis Jilid 15
Sonny Ogawa
AKAN tetapi Pek-liong menerima berita ini dengan tenang-tenang saja. Kalau hanya hukuman cambuk lima kali, tidak ada artinya bagi Liong-li, dan kalau sampai punggungnya berdarah, hal itu tentu disengaja oleh Liong-li yang hendak menyembunyikan kepandaiannya. Dia tahu benar kecerdikan rekannya itu.

“Siapakah Pangeran Souw Cun itu?”

Cian Ciang-kun mengerutkan alisnya. “Hemm, bukan seorang pemuda yang baik, tai-hiap. Bahkan tidak akan heran aku kalau kemudian ternyata bahwa dia yang menjadi majikan dari para pembunuh itu. Dia memang bisa berbahaya sekali.”

“Hemmm... tahukah engkau kenapa dia menangkap dan mencambuki Liong-li yang sudah menjadi selir Pangeran Souw Han?”

Perwira itu menggeleng kepala. “Tidak ada, yang mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Tahu-tahu li-hiap ditangkap Pangeran Souw Cun sendiri yang datang bersama pengawalnya selagi Pangeran Souw Han tidur dan li-hiap berada di ruangan para dayang, lalu li-hiap dibawa ke kamar Pangeran Souw Cun. Yang berada di sana hanya pangeran itu bersama pengawalnya dan Bouw Sian-seng sehingga penyelidikku tidak dapat tahu apa yang terjadi. Lalu Pangeran Souw Han datang dan membawa li-hiap kembali ke tempat tinggalnya dalam keadaan luka-luka dari pencambukan itu.”

“Kalau begitu, berarti bahaya sudah lewat. Liong-li tidak terancam bahaya lagi.”

“Kurasa tidak demikian, tai-hiap. Hek-liong-lihiap memang memesan kepadaku untuk menyerahkan surat itu kepada tai-hiap kalau ia terancam bahaya dan aku melihat bahaya besar mengancamnya, bukan hanya karena pencambukan itu, melainkan akibatnya. Akibat dari peristiwa itu dapat hebat dan amat berbahaya, tai-hiap. Jelas bahwa Pangeran Souw Cun mencurigai li-hiap dan karena li-hiap secara resmi telah menjadi selir Pangeran Souw Han, maka perbuatan Pangeran Souw Cun itu berarti penghinaan terhadap Pangeran Souw Han. Hal ini dapat memancing permusuhan secara terbuka. Mengingat bahwa Pangeran Souw Han adalah seorang pangeran yang bersih dari persaingan di istana dan beliau tidak mempunyai pengawal atau jagoan, sebaliknya Pangeran Souw Cun amat kuat kedudukannya, maka tentu saja amat berbahaya bagi li-hiap.”

Pek-liong mengerutkan alisnya. Dia sudah membuat perhitungan, lalu tiba-tiba bertanya, “Cian Ciang-kun, dapatkah engkau menyelundupkan aku ke istana, hari ini juga? Memang mungkin sekali Liong-li membutuhkan bantuanku.”

“Hemm!”Cian Ciang-kun meraba-raba jenggotnya yang rapi, alisnya berkerut. “Kurasa dapat, tai-hiap. Akan tetapi agar tidak terlalu menyolok, tai-hiap dapat kuselundupkan sebagai seorang tukang kuda yang bekerja di istal kuda istana yang letaknya di bagian belakang kompleks istana bagian pria.”

“Bagus! Tolong buatkan gambar atau peta mengenai keadaan di istana, di mana adanya istal itu dan di mana pula tempat tinggal para pangeran, agar mudah bagiku untuk melakukan penyelidikan.”

Sui In lalu cepat mengambilkan alat tulis dan tak lama kemudian, Cian Hui sudah membuatkan peta untuk Pek-liong. Peta itu tidak dibawa Pek-liong, melainkan dipelajari dan dihafalkan.

“Akupun ingin membantu,” kata Sui In. “Sungguh tidak enak menunggu di rumah, sedangkan Hek-liong-lihiap dan Tan Tai-hiap bekerja berat dan menghadapi bahaya di istana. Cian Ciang-kun, dapatkah ciang-kun memberi saran bagaimana aku dapat memasuki istana dan mengunjungi Lie li-hiap? Aku dapat mengaku sebagai saudara sepupu!”

Cian Hui memandang dan dia melihat betapa wanita itu bersungguh-sungguh. Mata yang bening itu memandang kepadanya dengan penuh harapan. Ia dapat menjenguk isi hati wanita ini. Sebagai isteri seorang korban pembunuhan misterius itu, tentu saja ia ingin membalas kematian suaminya dan sedapat mungkin membantu agar pembunuh itu dapat tertangkap. Dan dia mendengar bahwa Cu Sui In adalah seorang murid Kun-lun-pai yang lihai sehingga tenaganya memang boleh diandalkan untuk membantu Hek-liong-li.

“Sui In, apakah tidak akan terlalu berbahaya untukmu?” Ciok Tai-jin yang sejak tadi hanya menjadi pendengar saja, kini bertanya dengan nada suara khawatir.

Dia tidak hanya mengkhawatirkan keselamatan keponakan isterinya itu, akan tetapi juga keselamatan keluarganya sendiri. Kalau sampai Sui In terlibat dalam keributan di istana, kemudian ketahuan bahwa ia masih keponakannya, bukan tidak mungkin seluruh keluarganya akan terlibat.

Agaknya Sui In dapat menjenguk isi hati pamannya. “Harap paman tidak khawatir. Saya tidak akan menyebut nama paman, juga tidak akan mengaku sebagai anggauta keluarga paman. Saya akan mengaku sebagai seorang saudara sepupu dari Lie li-hiap... ah, siapa tadi nama samarannya Cian Ciang-kun?”

“Ketika kuselundupkan sebagai dayang, namanya Akim, akan tetapi setelah menjadi selir Pangeran Souw Han, ia diberi nama Siauw Cu oleh Permaisuri.”

“Siauw Cu... hemm, siapakah lebih tua antara kami, Ciang-kun? Berapa usianya?”

Cian Hui tersenyum. “Aku sendiri tidak tahu berapa usianya. Sungguh tidak mudah menaksir usia wanita, apa lagi Lie li-hiap.”

“Usianya dua puluh lima tahun,” kata Pek-liong.

“Dan aku dua puluh enam tahun. Biarlah aku akan mencari adik Siauw Cu saudara sepupuku. Tentu saja harus ada surat pengantarnya dan kuharap Cian Ciang-kun suka membantuku.”

Cian Ciang-kun memandang kepada Pek-liong seolah minta pertimbangan pendekar itu. Pek-liong mengerti dan diapun berkata, “Tingkat kepandaian adik Cu Sui In cukup tinggi sehingga diharapkan ia akan mampu menjaga diri sendiri, juga mungkin saja dapat membantu Liong-li.”

“Bagus kalau begitu! Baiklah, nona Cu, akan kuusahakan agar engkau dapat memasuki istana sabagai tamu dari Lie li-hiap. Sebetulnya hal ini bahkan baik sekali karena Lie li-hiap dan Tan tai-hiap dapat berhubungan dengan aku yang di luar istana melaluimu. Tan tai-hiap, jangan lupa untuk segera memberi kabar kepadaku tentang keadaan di sana. Kalau ada bahaya, cepat kabarkan sehingga aku dapat mengusahakan bantuan.”

“Hemm, kalau kami terancam bahaya, siapa yang akan dapat membantu kami, Ciang-kun?” Pek-liong ingin tahu.

“Hanya ada satu orang yang akan dapat membantumu, yaitu Sribaginda Kaisar sendiri! Kalau memang kalian dapat mengumpulkan bukti-bukti dan keterangan bahwa Si Bayangan Iblis berada di istana, maka aku dapat menghadap Sribaginda Kaisar yang tentu akan mengerahkan pasukan untuk mengadakan pembersihan di istana!”

“Baik sekali. Memang itu satu-satunya jalan. Baiklah, Ciang-kun, mari kita membuat persiapan karena aku harus berada di istana hari atau malam ini juga agar jangan sampai terlambat.”

“Aku juga ingin cepat-cepat mengunjungi adik Siauw Cu,” kata Cu Sui In sambil memandang ke arah Pek-liong.

Pendekar yang amat dikaguminya itu siap menempuh bahaya. Mengapa ia tidak berani? Bukan saja untuk membalas kematian suaminya, akan tetapi juga dan ini terutama sekali, agar dia dapat bekerja sama dengan Pek-liong!

********************

Cerita silat serial sepasang naga penakluk iblis episode si bayangan iblis jilid 15 karya kho ping hoo

Pek-liong berhasil dimasukkan ke istana oleh Cian Hui dan diterima oleh kepala bagian pemeliharaan kuda istana, seorang pejabat istana yang menjadi sahabat Cian Ciang-kun, sebagai seorang tukang memelihara kuda. Pek-liong menggunakan nama A-cin dan dengan penyamarannya yang sempurna, dia membuat mukanya yang tampan berubah menjadi penuh bopeng yaitu totol-totol hitam seperti bekas penyakit cacar.

Dan A-cin segera diterima dengan baik oleh para pekerja di situ karena dia begitu datang pada siang hari itu terus bekerja dengan rajinnya, tenaganya kuat dan diapun cepat akrab dengan kuda-kuda yang dipelihara di situ, tanda bahwa dia memang sudah biasa merawat kuda.

Ketika makan sore, diapun makan hanya sedikit. Orang yang sederhana, tidak banyak bicara, tidak banyak makan, akan tetapi banyak bekerja seperti inilah yang disukai kawan-kawan sekerjanya. Diapun pendiam sekali, tidak bicara kalau tidak ditanya. Karena itu, dia tidak menimbulkan kecurigaan sama sekali. Siapa yang akan curigai seorang laki-laki bermuka bopeng, sederhana dan rajin bekerja seperti itu?

Ketika malam tiba, diapun lebih suka tidur di kandang kuda, di atas rumput-rumput kering, dengan alasan bahwa dia tidak biasa tidur di pembaringan yang lunak, apa lagi bersama orang lain. Tentu saja kesederhanaannya itu ditertawakan orang, akan tetapi mereka sama sekali tidak menaruh keberatan, bahkan girang karena kuda-kuda itu ada yang menjaganya sehingga para pekerja yang lain boleh enak tidur tanpa terganggu.

Biasanya, kalau ada kuda meringkik tidak wajar, mereka terpaksa bangun untuk memerikaa kandang kuda. Sekarang, ada A-cin tidur di istal, mereka tidak perlu bangun lagi kalau ada keperluan di kandang itu.

Setelah malam sunyi dan semua pekerja pulas, A-cin berubah menjadi sesosok bayangan yang berkelebat cepat. Pek-liong selalu berpakaian serba putih, akan tetapi karena sekarang dia sedang menyamar dan melakukan penyelidikan, dia menutupi pakaian putih itu dengan jubah dan celana hitam, bahkan menutupi hidung dan mulutnya dengan saputangan hitam pula. Dengan beberapa loncatan saja diapun berkelebat lenyap dari situ, ia mengambil jalan yang sudah dihafalnya dari peta yang dibuat Cian Hui sebelum mereka memasuki istana tadi.

Dia sudah mempelajari semua keadaan keluarga Kaisar dari Cian Hui. Dia tahu bahwa Sribaginda Kaisar Tang Kao Cung yang usianya kurang lebih limapuluh tahun itu adalah seorang kaisar yang lemah karena seolah-olah menjadi boneka di tangan isterinya, Permaisuri Bu Cek Thian!

Biarpun kaisarnya masih Kaisar Tang Kao Cung, namun sudah menjadi rahasia umum bagi para pejabat bahwa segala keputusan keluar dari mulut Permaisuri melalui Kaisar. Juga Putera Mahkota, Tiong Cung, putera kandung Bu Cek Thian, tidak berbeda dari ayahnya, merupakan boneka yang dimainkan oleh ibunya sehingga dia terkenal sebagai seorang pangeran yang manja, malas dan tidak mempunyai semangat, tidak memiliki prakarsa.

Segala keputusan penting yang diambil Kaisar tentu lebih dulu melalui penyaringan Permaisuri. Karena itu, kekuasaan Bu Cek Thian amat besarnya dan semua orang takut kepadanya. Dan permaisuri ini terkenal keras dan kejam terhadap lawan-lawannya, yaitu mereka yang menentang kekuasaannya, juga ia memelihara banyak jagoan yang lihai.

Namun, di samping itu semua, Bu Cek Thian terkenal amat cerdik. Satu di antara kecerdikannya yang membuat ia berhasil dalam ambisinya adalah cara ia mendekati para panglima perang. Ia teramat royal bahkan memanjakan para panglima sehingga dapat dibilang semua panglima merasa berhutang budi dan suka kepadanya, hal yang menimbulkan kesetiaan, dan sekali para panglima mendukungnya, maka kekuasaan mutlak berada di tangannya tanpa ada yang berani mengganggu gugat.

Di samping Pangeran Tiong Cung yang menjadi Putera Mahkota dan yang menjadi seperti boneka di tangan ibunya, ada lagi Pangeran Li Tan. Pangeran ini juga putera kandung Bu Cek Thian, baru berusia tiga belas tahun. Pangeran ini lebih bersemangat dari pada kakaknya, namun karena ia kehilangan perhatian dari ibu kandungnya, ia menjadi nakal walaupun cerdik.

Pangeran Souw Cun adalah pangeran yang paling berbahaya di antara semua pangeran, demikian Pek-liong mendengar dari Cian Hui. Pangeran Souw Cun ini terkenal petualang dan mata keranjang, bukan saja suka berkeliaran di luar istana dan mendatangi tempat-tempat pelacuran, akan tetapi juga suka berburu, berjudi dan mabok-mabokan.

Akan tetapi diapun suka belajar ilmu silat dan bergaul di antara orang-orang dari dunia persilatan. Maka, pangeran itu patut diawasi dan diamati gerak geriknya karena orang seperti dia besar sekali kemungkinannya bersekongkol dengan tokoh-tokoh sesat.

Sebaliknya, Pangeran Souw Han terkenal sebagai pangeran yang lembut dan baik, jujur dan disuka karena tidak memusuhi siapa pun, tidak berambisi dan tidak ikut bersaing memperebutkan kekuasaan. Tokoh ini amat penting dan menarik bagi Pek-liong, terutama sekali karena kepada pangeran inilah Liong-li diberikan sebagai selir!

Dia dapat menduga bahwa tidak mungkin Liong-li menjadi selir benar-benar. Tentu hal itu hanya merupakan siasat saja dari Permaisuri untuk menyelundupkan Liong-li ke dalam istana bagian pria dan hendak dijadikan mata-mata atau penyelidik demi kepentingan Permaisuri sendiri tentunya.

Di antara banyak pangeran lain yang tidak begitu penting, ada lagi seorang pangeran yang patut diperhatikan menurut keterangan Cian Hui, yaitu Pangeran Kim Ngo Him, mantu dari Sribaginda Kaisar. Menurut Cian Ciang-kun, pangeran yang menjadi mantu kaisar inipun berambisi dan dia juga mempunyai jagoan-jagoan. Hanya mereka itulah yang perlu mendapatkan perhatian utama dari Pek-liong.

Malam itu, Pek-liong berlompatan sambil menyelinap di antara wuwungan bangunan istana yang luas, menuju ke tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him yang berada di pinggir. Sebagai seorang mantu kaisar, tentu saja kedudukannya agak lebih rendah dibandingkan dengan pangeran putera kaisar.

Tiba-tiba dengan cepat sekali dia mendekam di balik wuwungan karena dia melihat berkelebatnya bayangan hitam dari arah kiri. Bayangan itu ringan sekali gerakannya dan kakinya tidak mengeluarkan suara sedikitpun ketika menginjak genteng.

Hal ini saja membuktikan bahwa bayangan itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat. Dan bayangan itupun tiba-tiba berhenti, membalik dan begitu tangannya bergerak, nampak benda-benda hitam kecil meluncur ke arah tubuh Pek-liong!

Pendekar ini cepat mengelak dengan loncatan ke kanan, dan terdengar suara berkelentingan ketika paku-paku itu jatuh ke atas genteng. Dan sebelum Pek-liong sempat melarikan diri, bayangan itu seperti terbang saja sudah meloncat dan menyerangnya bagaikan seekor burung rajawali menyambar mangsanya! Kedua tangannnya dijulurkan ke depan, menyerang ke arah kepala Pek-liong.

Ketika ada angin menyambar membawa hawa panas, Pek-liong maklum bahwa lawannya tidak boleh dipandang ringan. Diapun mengerahkan tenaga sin-kang menyambut dengan kedua tangan terbuka.

“Dessss...!!” Dua pasang telapak tangan bertemu di udara dan akibatnya, bayangan hitam itu terdorong dan terlempar ke atas sedangkan Pek-liong sendiri harus mempertahankan diri untuk tidak terhuyung jatuh.

Dia merasa betapa tenaga lawan itu amat kuatnya, dan andaikata mereka berdua sama-sama berpijak di atas tanah, belum tentu dia akan menang tenaga. Orang itu terpental karena tubuhnya masih berada di udara. Dan hebatnya orang yang terpental keatas itu berjungkir balik beberapa kali dan tubuhnya melayang ke bawah.

Ketika Pek-liong mengejar ke bawah, bayangan itu sudah lenyap. Melihat keadaan sekelilingnya, Pek-liong merasa yakin bahwa orang itu tentu menyelinap masuk ke dalam bangunan itu, tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him, mantu kaisar!

Tentu saja Pek-liong menjadi heran dan curiga. Tentu ada hubungan antara si bayangan tadi, entah dia itu Si Bayangan Iblis atau bukan, dengan Pangeran Kim Ngo Him. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin orang tadi dapat bersembunyi di rumah itu. Diapun menyelinap masuk pekarangan lalu memasuki taman di sebelah rumah, dengan cepat namun hati-hati dia mendekati jendela rumah yang berada di samping.

“Tolong...! Ada penjahat...!!”

Tadinya Pek-liong terkejut dan mengira bahwa dia yang diteriaki, maka dia sudah siap siaga kalau-kalau ada yang akan menyerang atau mengeroyoknya. Akan tetapi tidak ada bayangan orang, dan di dalam rumah itu terjadi keributan. Diapun meloncat ke atas genteng dan melakukan pengintaian.

Di ruangan belakang dia melihat seorang nenek yang usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, kurus kering, sedang berdiri gemetaran dan seorang pemuda tampan yang berpakaian bangsawan bersama enam orang pengawal berdiri di depan nenek itu. Pangeran itu agaknya marah kepada si nenek yang nampak ketakutan.

“Lo-ma, engkau membikin kaget saja! Mana ada penjahat? Kenapa engkau berteriak-teriak membangunkan seisi rumah dengan teriakan penjahat?” tanya bangsawan muda yang bukan lain adalah Pangeran Kim Ngo Him seperti yang sudah diduga oleh Pek-liong itu.

Nenek kurus kering itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran. “Aduh, ampunkan hamba yang sudah tua ini, pangeran. Bagaimana hamba berani mengacau dan membikin ribut? Hamba berani bersumpah bahwa baru saja memang ada penjahat masukke sini. Hamba terkejut melihat bayangan hitam itu meloncat ke sini. Agaknya diapun tidak menduga bahwa hamba belum tidur dan berada di sini, maka dia meloncat lagi dan lenyap. Hamba lalu menjerit saking kaget dan takut. Ampunkan hamba...”

“Sudahlah, Kui Lo-ma, jangan ribut lagi. Hayo kalian cepat melakukan perondaan dan pemeriksaan!” kata pangeran itu kepada para pengawalnya.

Mendengar ini, Pek-liong sudah mendahului meloncat pergi meninggalkan tempat itu. Dia kini merasa yakin bahwa memang ada penjahat yang lihai sekali berkeliaran di istana, dan agaknya penjahat itu tidak mempunyai hubungan apapun dengan Kim Ngo Him.

Namun hal ini bukan berarti bahwa nama Kim Ngo Him sudah semestinya dihapus dari daftar orang-orang yang dia dicurigai. Tidak, dia akan tetap mengamati pangeran mantu kaisar ini. Dia lalu melakukan penyelidikan ke bagian lain, kini hendak menyelidiki keadaan tempat tinggal Pangeran Souw Cun. Karena Cian Ciang-kun sudah memperingatkan bahwa di antara para pangeran, Pangeran Souw Cun ini yang paling berbahaya, dan dia memiliki banyak jagoan lihai, maka Pek-liong bersikap hati-hati sekali.

********************

Sementara itu, sejak sore tadi, Liong-li sudah sadar dari keadaan mabok madu asmara sehari penuh ia dan Pangeran Souw Han berenang dalam lautan madu asmara yang penuh kemesraan. Biarpun ia sudah banyak bergaul dengan pria, harus diakuinya bahwa baru pertama kali itu selama hidupnya ia merasakan kemesraan yang penuh kelembutan sehingga amat mengharukan hati. Mendekap pangeran itu dalam pelukan rasanya seperti mendekap seorang bayi yang mulus dan murni.

Hal ini tidak mengherankan karena Pangeran Souw Han juga selamanya baru sekali itu berdekatan penuh mesra dengan seorang wanita. Dia mencurahkan semua perasaan cintanya kepada Liong-li sehingga keduanya terbuai dan lupa diri, tak pernah meninggalkan pembaringan, bahkan lupa makan!

Baru setelah keadaan cuaca di kamar itu gelap karena matahari tidak lagi meneroboskan cahayanya ke situ, dan Pangeran Souw Han menyalakan lampu penerangan, mereka seakan terseret kembali ke dunia sadar. Keduanya baru mendengar keruyuk perut mereka yang lapar.

“Aih, laparnya perutku!” Liong-li tertawa dan Pangeran Souw Han merangkul perut yang kempes itu.

“Kasihan perutmu, enci Cu,” katanya sambil membelai.

Liong-li menggelinjang dan melompat turun dari pembaringan, menyambar pakaiannya. “Cukup, Pangeran. Jangan kau jamah lagi aku, tak kuat lagi aku...”

Pangeran Souw Han juga tertawa. “Sehari kita tidak makan, enci Cu. Mari kita makan!”

Setelah mereka berpakaian rapi, baru Pangeran Souw Han membuka daun pintu dan bertepuk tangan memanggil para dayangnya. Lima orang dayang itu datang menghadap dan mereka saling pandang dengan sinar mata penuh pengertian ketika mereka melihat betapa kusutnya kedua orang majikan mereka itu, dan betapa wajah pangeran yang tampan itu agak pucat, sedangkan wajah Liong-li kemerahan.

“Kami lapar, hidangkan makanan yang paling lezat!” perintah Pangeran Souw Han.

Memang para dayang itu sudah sejak tadi mempersiapkan makanan. Mereka menanti dengan hati gembira bercampur tegang, karena pangeran dengan selirnya itu tidak pernah keluar dari dalam kamar selama sehari penuh!

“Bagaimana dengan punggungmu, sayang?” tanya Pangeran Souw Han sambil memegang kedua tangan Liong-li.

Liong-li tersenyum. “Sudah sembuh, pangeran. Ternyata belaian tanganmu yang penuh kasih lebih manjur dari pada obatku.”

Kembali keduanya tersenyum dan Pangeran Souw Han merangkul dan mencium wanita yang merupakan wanita pertama dalam hidupnya itu. Akan tetapi, ciumannya tidak dapat dipertahankan lama karena terdengar langkah kaki para dayang yang memasuki kamar membawa hidangan yang mereka atur di atas meja.

Tak lama kemudian, Liong-li dan Pangeran Souw Han sudah makan minum dengan gembiranya. Sehari berenang di lautan madu asmara membuat mereka merasa letih, lemas dan lapar sekali. Lauk pauk yang paling lezat adalah hati senang, badan sehat dan perut lapar! Apa lagi hidangan yang dibawa para dayang itu merupakan hidangan yang serba lezat. Tidak aneh kalau kedua orang itu makan dengan gembulnya.

Setelah malam tiba, Liong-li berkemas, berganti pakaian hitam, siap untuk melaksanakan tugasnya. Melihat wanita yang dikasihinya itu, yang kini seolah sudah melekat di hatinya dan di dagingnya, Pangeran Souw Han merangkulnya.

“Tidak, enci Cu! Tidak! Engkau tidak boleh pergi. Engkau baru saja menderita cambukan, dan sekarang hendak menghadapi bahaya? Engkau sudah dicurigai, tentu mereka itu lebih waspada dan selalu akan mengintai semua gerak gerikmu!”

Liong-li merasa betapa lembutnya rangkulan itu, betapa penuh perasaan kasih sayang, betapa mesranya dan hatinya terharu. Akan tetapi ia bukan seorang wanita lemah. Ia mengusir keharuannya dengan senyum, senyum bahagia. Ia merasa berbahagia sekali bahwa dirinya, seorang wanita kang-ouw yang bahkan pernah dipaksa menjadi pelacur, seorang wanita dengan tubuh yang sudah ternoda, kini bisa mendapatkan kasih sayang yang demikian besarnya dari Pangeran Souw Han yang budiman dan bijaksana ini.

Kenyataan itu saja adalah merupakan karunia yang amat besar baginya, yang membuatnya bangga menjadi manusia! Akan tetapi ia tidak mau membiarkan .dirinya tenggelam ke dalam kebahagiaan dan kenikmatan hidup itu. Ia tidak ingin menyeret pangeran yang demikian berbudi ke dalam jalan hidupnya yang penuh kekerasan, penuh bahaya dan petualangan.

Dengan lembut iapun melepaskan diri dari rangkulan pangeran itu dan melangkah mundur. Ia membereskan ikat pinggangnya, menyelipkan pedang Hek-liong-kiam di balik jubahnya, memperkuat ikatan rambutnya dan tersenyum memandang kepada pangeran itu.

“Pangeran, ingatlah akan semua peringatan saya pagi tadi. Kita memang telah minum anggur asmara bersama dan harus kuakui bahwa saya sendiri hampir mabok, pangeran. Belum pernah saya merasakan kebahagiaan yang demikian besar seperti tadi.”

“Itulah sebabnya mengapa kita tidak boleh berpisah lagi, enci Cu. Engkau harus menjadi isteriku, hidup bersamaku selamanya...” kata pangeran itu penuh semangat.

Senyum Liong-li melebar, akan tetapi ia menggeleng kepala. “Ingat ucapan saya tadi, Pangeran. Saya, tidak mungkin dapat menjadi isterimu, bahkan selirmu pun tidak, walaupun saya akan berbohong kalau mengatakan bahwa hati saya tidak menginginkan hal itu. Hidup selamanya di sampingmu, betapa akan indahnya! Akan tetapi tidak mungkin. Saya seorang tokoh kang-ouw, seorang petualang yang terbiasa hidup bebas, hidup tanpa kekangan, terbiasa menghadapi bahaya-bahaya maut, bermusuhan dengan tokoh-tokoh sesat yang lihai dan berbahaya. Nah, saya harap paduka dapat menginsafi hal ini. Nanti apa bila pengaruh anggur asmara tadi sudah agak mereda, tentu paduka akan dapat melihat kebenaran pendapat saya, Betapapun juga, Bumi dan Langit menjadi saksi bahwa selama hidup saya, saya tidak akan dapat melupakan keindahan yang kita nikmati sehari tadi, Pangeran. Nah, saya pergi, pangeran.”

Sekali berkelebat, Liong-li sudah lenyap dari depan pangeran itu yang seketika merasa lemas dan dia pun menjatuhkan diri di atas pembaringan yang masih kusut itu. Dipeluknya bantal yang masih mencium bau badan yang khas dari Liong-li dan sejenak pangeran itu seperti tertidur. Akan tetapi, akhirnya dia menarik napas panjang dan bangkit duduk, termenung.

Semua ucapan wanita itu terngiang di telinganya dan beberapa kali diapun mengangguk-angguk. Dia dapat menyelami perasaaan wanita kang-ouw itu. Bagaikan seekor burung hutan, yang akan mati lemas dan penuh duka kalau dikurung, walaupun dalam kurungan emas, demikian pula Liong-li akan merana kalau harus hidup sebagai seorang puteri di istana. Bunga mawar rimba yang liar, mungkin bahkan akan menjadi kurus kalau dipindahkan ke dalam taman yang indah terpelihara baik-baik.

Dia mengeluh. Dia merasa ragu apakah dia akan pernah dapat jatuh cinta kepada wanita lain. Agaknya tidak mungkin di dunia ini dia akan dapat menemukan Liong-li kedua yang bersedia menjadi isterinya atau selirnya. Dan sejak saat itu, Pangeran Souw Han merasa kehilangan sekali, bahkan merasa betapa hidup ini akan menjadi sunyi dan tak berarti tanpa adanya Liong-li di sampingnya.

Sementara itu, Liong-li keluar dari rumah Pangeran Souw Han dengan hati-hati sekali. Sebelum ia memperlihatkan diri di tempat terbuka di luar rumah, lebih dulu ia mengintai dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang yang mengetahuinya, baru ia melompat keluar melalui taman bunga di belakang rumah. Ia menyusup-nyusup di antara pohon dalam taman itu, kemudian melompati pagar tembok di belakang dan baru ia berani melompat ke atas genteng bangunan di luar kompleks perumahan Pangeran Souw Han.

Sisa-sisa kemesraan yang masih melekat di perasaannya ditanggalkannya setelah ia berada di udara terbuka, setelah tubuhnya diterpa hawa dingin malam itu dan iapun sudah mampu sama sekali melupakan bayangan Pangeran Souw Han, dan sepenuhnya seluruh perhatiannya dicurahkan untuk pelaksanaan tugasnya. Malam ini ia harus berhasil meringkus Kwi-eng-cu, Si Bayangan Iblis!

Malam ini ia akan menyelidiki tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him, mantu kaisar itu. Ada pula bayangan menghilang di rumah ini ketika ia melakukan penyelidikan yang lalu. Untuk sementara ini agaknya Pangeran Souw Cun tidak akan berani melakukan tindakan, setelah apa yang terjadi pagi tadi.

Kemarahan Pangeran Souw Han kepadanya, ancaman Pangeran Souw Han untuk melapor kepada Kaisar dan Permaisuri, tentu akan membuat Pangeran Souw Cun tidak berani banyak membuat ulah untuk sementara ini. Maka, yang paling tepat untuk diselidiki adalah Pangeran Kim Ngo Him.

Ketika ia tiba di dekat tembok pekarangan rumah tinggal Pangeran Kim Ngo Him, ia melihat sesosok bayangan hitam muncul dari dalam. Dengan gerakan lincah, bayangan itu meloncat dari dalam ke atas wuwungan rumah itu, berdiri tegak memandang ke sekeliling. Bayangan itu mengenakan pakaian serba hitam dan kepalanya dibungkus kain hitam pula. Ada dua ujung kain itu mencuat ke atas sehingga nampaknya seperti tanduk. Bayangan itu memiliki bentuk tubuh yang kurus agak jangkung.

Dengan jantung berdebar tegang Liong-li menahan diri untuk tidak segera muncul turun tangan. Ia tidak ingin gagal kali ini, tidak akan tergesa-gesa. Kalau ia muncul menyerang dan bayangan itu lari lagi ke dalam gedung tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him, tentu ia tidak akan melakukan pengejaran. Terlalu berbahaya, karena selain sukar mencarinya di di dalam gedung yang tidak dikenalnya, juga mungkin malah rahasianya akan terbuka. Ia harus menanti saat yang baik dan akan membayangi dulu.

Bayangan itu memandang ke sekeliling beberapa saat lamanya, kemudian tubuhnya melayang turun dari atas genteng dengan cepat bagaikan seekor burung saja. Liong-li kagum dan iapun cepat melayang turun dari samping rumah yang berlawanan, kemudian ia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan bangunan ketika melihat bayangan itu keluar dari pagar gedung Pangeran Kim Ngo Him lalu lari menuju ke bagian belakang kompleks istana.

Bayangan itu terus berlari cepat menuju ke bagian paling belakang dari kompleks istana di mana terdapat sebuah bukit kecil. Di atas bukit ini terdapat sebuah hutan buatan di mana dipelihara binatang-binatang hutan yang jinak seperti kijang, kelinci dan sebagainya. Juga di puncaknya terdapat kuil istana. Keluarga kaisar suka berpesiar di dalam hutan yang indah dan tidak berbahaya ini dan kuil itu merupakan tempat sembahyang dan pemujaan dari para anggauta keluarga kaisar.

Ketika tiba di tepi hutan, Liong-li yang tidak ingin kehilangan orang yang dikejarnya itu, mempercepat larinya agar jaraknya tidak terlampau jauh. Sejak tadi ia sudah kagum karena orang itu harus diakuinya memiliki ilmu berlari cepat yang hebat. Ia harus mengerahkan tenaganya untuk dapat membayangi terus orang itu dan hal ini saja sudah memberi peringatan kepadanya bahwa ia menghadapi lawan yang lihai.

Tiba-tiba bayangan itu membalikkan tubuhnya dan kedua tangannya bergerak. Terdengar bunyi berdesingan dan Liong-li cepat mengelak dengan loncatan-loncatan ke kanan kiri karena ada paku-paku yang menyambar-nyambar ke arahnya secara berturut-turut.

Sungguh berbahaya sekali penyerangan itu. Paku pertama menyambar dan ketika ia mengelak ke kiri, paku kedua menyambar ke tempat ia mengelak. Ketika ia mengelak dari sambaran paku kedua, paku ketiga mengejarnya! Sampai berturut-turut ada tujuh buah paku menyambar dan tentu saja, penyerangan ini amat berbahaya bagi orang yang tidak memiliki kelincahan gerakan seperti Liong-li.

Orang itu telah melihatnya. Inilah saatnya untuk turun tangan menangkapnya, pikir Liong-li, maka elakan yang terakhir dari paku ketujuh dilakukan dengan melayang ke depan dan langsung tubuhnya meluncur bagaikan seekor naga melayang di angkasa dan menubruk ke arah penyerangnya!

“Ehhh...!” Orang itu mengeluarkan seruan kaget dan agaknya bayangan itu tidak mengira bahwa orang yang membayanginya demikian lihainya, bukan saja mampu menghindarkan diri dari tujuh batang pakunya, akan tetapi bahkan berbalik menyerang sedahsyat itu!

Akan tetapi, tepat seperti yang diduga oleh Liong-li, bayangan itu lihai sekali. Biarpun penyerangan Liong-li yang dilakukan dengan tubuh melayang seperti itu amat berbahaya, namun orang itu dengan lincahnya telah dapat menyingkir dengan loncatan kekanan dan begitu tubuh Liong-li turun ke atas tanah, dia malah menyerang dengan dahsyat, kedua tangannya bergerak mencengkeram, yang kiri mencengkeram kepala, yang kanan mencengkeram ke arah dada!

Liong-li menggerakkan kedua tangannya menangkis dari samping dengan kedua lengan diputar melingkar ke atas dan bawah sambil mengerahkan tenaga karena ia hendak mengukur kekuatan lawan. Jelas bahwa lawan memiliki gin-kang yang hebat dan hanya sedikit di bawah tingkatnya sendiri. Kini ia ingin mengukur tenaga lawan.

“Dukkkk!” Dua pasang lengan ini bertemu dan akibatnya sungguh mengejutkan kedua pihak. Liong-li terdorong mundur dua langkah, akan tetapi orang itupun terjengkang dan terhuyung. Kiranya dalam hal tenaga sinkang merekapun seimbang dan hal ini tentu saja membuat Liong-li amat berhati-hati.

Tentu Kwi-eng-cu (Si Bayangan Iblis) itu, melihat akan kelihaiannya. Iapun mendesak dengan serangan-serangan kilat yang nampaknya lemah lembut namun amat berbahaya karena ia telah memainkan ilmu silat Bi-jin-kun (Silat Wanita Cantik) yang nampaknya seperti orang menari-nari indah saja namun setiap tamparan tangan atau tendangan kaki merupakan serangan maut yang amat berbahaya bagi lawan.

Namun lawan itu lihai dan selain dapat menghindarkan semua serangan Liong-li, juga mampu membalas dengan serangan balasan yang takkalah ampuhnya, bahkan ketika tangannya menyambar, Liong-li dapat mencium bau amis, tanda bahwa tangan orang itu mengandung hawa beracun!

“Plakk! Plakk!” Kembali tangan mereka bertemu dan orang itu mengeluarkan seruan kaget dan melangkah mundur.

Liong-li tersenyum di balik kedoknya. Tentu orang itu terkejut karena merasa betapa telapak tangannya menjadi panas bertemu dengan tangannya. Ia tadi telah mengerahkan tenaga Hiat-tok-ciang (Tangan Darah Beracun)! Akan tetapi agaknya orang itu mampu menolak pengaruh hawa beracun dari tangannya. Buktinya orang itu tidak mundur, bahwa kini mencabut sebatang pedang yang berkilauan dan mengamuk, menyerangnya bertubi-tubi.

Liong-li belum mau mencabut Hek-liong-kiam. Ia tahu bahwa sekali mencabutnya, tidak mungkin lagi ia menyembunyikan keadaan dirinya. Wajahnya dapat ditutupi kedok, akan tetapi Hek-liong-kiam pasti akan dikenal orang dan di dunia ini tidak ada dua Hek-liong-kiam. Satu-satunya yang berada di tangan Hek-liong-li! Maka, iapun hanya melindungi diri dengan ilmu Liu-seng-pouw (langkah Ajaib Bintang Cemara). Dengan ilmu ini, sambaran pedang lawan selalu dapat ia elakkan dengan geseran-geseran kaki yang melangkah secara aneh.

Sudah ada tiga puluh jurus lebih mereka berkelahi dan tiba-tiba bayangan yang lihai itu meloncat ke dalam hutan setelah terdengar suitan lirih dari dalam hutan. Liong-li tidak berani mengejar. Bukan saja karena hutan itu gelap dan mengejar orang berbahaya dan lihai di dalam hutan yang gelap amatlah berbahaya. Ia dapat dibokong dan dijebak, juga suara suitan tadi membuktikan bahwa orang yang lihai itu masih mempunyai kawan di dalam hutan!

Tiba-tiba wajah Liong-li berubah pucat. Orang tadi jangan-jangan hanya memancing agar ia pergi lama meninggalkan Pangeran Souw Han! Teringat ia akan peristiwa di pagi hari tadi. Pangeran Souw Han telah mengeluarkan ancaman kepada Pangeran Souw Cun, berarti bahwa pangeran yang disayangnya itu terancam bahaya.

Ia tidak akan ingat tentang hal ini kalau saja ia tidak melihat sikap bayangan yang mencurigakan tadi. Bayangan itu tidak melanjutkan perkelahian dengannya, pada hal bayangan itu belum kalah, bahkan di dalam hutan masih ada kawannya. Dan suitan tadi, bukankah itu merupakan isyarat agar bayangan yang melawannya itu pergi meninggalkannya? Agaknya ia sengaja dipancing dengan akal “memancing harimau meninggalkan sarang”, tentu untuk mengambil atau mengganggu anak harimau.

Pangeran Souw Han! Teringat ini, Liong-li meloncat, meninggalkan tepi hutan itu dan kembali ke gedung tempat tinggal Pangeran Souw Han. Jantungnya berdebar penuh ketegangan ketika ia tiba di atas genteng rumah Pangeran Souw Han. Dengan ringan tubuhnya lalu meluncur turun dan ia memasuki rumah melalui pintu samping.

Ketika ia tiba di depan pintu kamar sang pangeran, hatinya lega karena nampaknya tidak ada terjadi sesuatu dan sunyi saja di situ. Tentu pangeran telah pulas, juga lima orang pelayan dibelakang. Kasihan sang pangeran, pikirnya sambil tersenyum. Terlalu lelah dia sehari tadi sehingga kini tentu sedang pulas dan bermimpi indah tentang pengalamannya siang tadi.

Ia tidak tega untuk mengetuk pintu menggugahnya, maka ia lalu mengambil jalan memutar ke samping, dan mencoba untuk membuka jendela dengan dorongan. Akan tetapi, daun jendela itu terbuka dengan mudah. Tidak dikunci! Betapa sembrononya sang pangeran, dan juga para pelayan dayang itu. Jendela dibiarkan tidak dikunci dari dalam! Ia membuka jendela dan melompat ke dalam.

Gelap di dalam. Ia lalu menyalakan lilin dan ketika memandang ke arah pembaringan, tubuh pangeran nampak tidur miring menghadap ke dinding. Kelambunya tertutup dan sepasang sepatu pangeran itu berjajar rapi di bawah pembaringan. Melihat tubuh pangeran itu rebah miring, bergolak pula darah di tubuh Liong-li. Tidak, ia tidak akan menuruti nafsu berahinya. Akan tetapi ia harus menjenguk sang pangeran, melihat bahwa dia selamat dan setelah yakin, baru ia akan pergi lagi.

Dihampirinya pembaringan. Disingkapnya kelambu dan ia terbelalak, mukanya berubah pucat sekali. “Pangeran!” Ia menjerit lirih sambil menubruk. Akan tetapi, ia terkulai lemas dan di lain saat ia telah merebahkan mukanya didada yang sudah tidak lagi berdetak atau bernapas itu. Pangeran Souw Han telah tewas!

“Ya Tuhan! Pangeran Souw Han!” Liong-li menggigit bibirnya sendiri, menahan sekuatnya untuk tidak menjerit dan menangis. Beberapa menit kemudian, setelah ia merebahkan kepalanya di dada yang tak bernapas lagi itu, ia bangkit, mengusap kedua mata yang sempat basah, lalu memeriksa. Sebentar saja ia menemukan sebab kematian pria itu. Pelipis kirinya retak oleh pukulan yang amat kuat dan dia tentu tewas seketika tanpa mampu berteriak lagi. Dia telah dibunuh secara kejam!

Ia bangkit berdiri, menatap wajah yang tampan itu, wajah yang kini nampak lebih tenang dari pada biasanya, dan bibir itupun mengembangkan senyum mati. “Pangeran, maafkan saya... engkau mati karena terlibat penyelidikan saya. Tenangkan dirimu, pangeran. Aku bersumpah untuk membalas kematianmu, akan kubunuh orang yang telah menewaskanmu!”

Setelah berkata demikian, ia menyelimuti tubuh pangeran itu sampai ke lehernya, kemudian ia mulai menyelidik. Kamar itu jelas dimasuki orang dan nampak barang berserakan. Terutama sekali lemari pakaian. Pakaian yang biasa ia pakai terutama berserakan di luar lemari. Kemudian ia lari ke bagian belakang dan makin gemaslah ia ketika melihat betapa lima orang dayang pelayan itupun telah mati semua! Juga mati karena pukulan pada kepala mereka!

“Jahanam Pangeran Souw Cun!” Liong-li mengepal tinju. Ia merasa pasti bahwa tentu pangeran jahanam itu yang telah membunuh Pangeran Souw Han dan enam orang dayang pelayannya. Siapa lagi kalau bukan Pangeran Souw Cun itu?

Pagi tadi mereka bertengkar. Pangeran Souw Han telah mengeluarkan kata-kata ancaman. Dan untuk menjaga agar tidak ada saksi bahwa dia pernah menculik selir Pangeran Souw Han, maka lima orang dayang pelayan itupun dibunuh! Kalau ia berada di kamar itu, tentu akan dibunuh pula. Dan kini, melihat bahwa ia tidak berada di kamar, tentu Pangeran Souw Cun semakin curiga dan tahu bahwa ia adalah seorang penyelundup dan penyelidik yang menyamar selir Pangeran Souw Han.

“Keparat engkau Pangeran Souw Cun! Akan kubasmi engkau dan semua antek-antekmu!” katanya dengan suara mendesis.

Biasanya Liong-li merupakan seorang yang dapat menguasai perasaannya dan tidak mudah terseret oleh nafsu amarah. Akan tetapi sekali ini, ia merasa demikian sedih dan marah sehingga ia seperti lupa diri. Kedua matanya yang mencorong itu mengeluarkan sinar berapi-api dan mata itu masih selalu basah air mata yang ditahan-tahannya sehingga tidak sempat mengalir. Cuping hidungnya kembang kempis dan bibirnya bergerak-gerak, dagunya mengeras. Ia saat itu berubah menjadi Dewi Maut sendiri!

Tengah malam telah lama lewat ketika bayangan Liong-li yang dibakar kemarahan itu berkelebat di atas wuwungan rumah pangeran Souw Cun. Seorang ahli silat yang mempunyai banyak musuh, yang hidupnya selalu dibayangi bahaya, haruslah selalu waspada. Dan perasaan duka dan marah mengurangi kewaspadaan itu...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.