"Suhu (guru)..." pemuda itu mengeluh, hatinya amat kecewa karena keadaan pondok itu jelas menunjukkan bahwa gurunya tidak kembali, bahwa dia tidak akan bertemu gurunya di tempat itu seperti yang diharapkannya semula.
Kini dia sudah kehilangan segalanya, dan dalam keadaan patah hati itu dia berkunjung ke lembah ini, Lembah Awan Putih, untuk mencari gurunya, yaitu Ciu-sian (Dewa Arak) yang merupakan salah seorang di antara Sam-sian.
Sin Wan mengeluh ketika dia teringat kepada Kui Siang. Mereka berdua saling mencinta, akan tetapi tanpa sengaja gadis itu kemudian mengetahui bahwa dia adalah anak tiri dan sekaligus murid mendiang Se Jit Kong, musuh besar gadis itu yang telah menghancurkan keluarganya.
Dan dia kehilangan pula gurunya yang terakhir, biar pun bukan guru resmi, seorang yang amat dihormati dan dikasihinya, yaitu Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki. Dia ditinggalkan kakek itu yang merasa tidak senang pula mendengar bahwa dia adalah putera tiri mendiang Se Jit Kong yang amat jahat.
Garis puncak-puncak gunung di barat itu nampak jelas, seolah-olah ada tangan ajaib yang membuat goresan tebal. Bahkan nampak pula rimbun daun pepohonan di sekitar puncak, juga lembah dan ngarai, tonjolan bukit dan lekuk jurang. Makin ke bawah, hutan-hutan itu nampak semakin nyata dan semakin hijau, berbeda dengan yang di dekat puncak, yang berwarna kebiruan dan terkadang disembunyikan di balik tirai awan tipis.
Matahari senja mendatangkan kecerahan pada puncak-puncak gunung itu, seakan-akan sang matahari hendak meninggalkan kesan yang indah, sebelum menghilang di balik sana untuk menunaikan tugas di belahan bumi yang lainnya. Permainan sinar matahari yang dipantulkan awan basah di angkasa melukiskan lengkung pelangi di sebelah utara. Lengkung setengah lingkaran, mengingatkan kita pada dongeng kuno bahwa lengkung pelangi itu merupakan tangga para bidadari yang hendak turun ke bumi!
Kadang-kadang tampak serombongan burung melintasi langit, bergerak-gerak membentuk garis yang aneh, ada kalanya tampak seperti bentuk seekor naga yang sedang melayang-layang. Dari barat nampak makhluk terbang yang bukan burung, namun yang terbangnya demikian laju, menuju ke timur, menyongsong kegelapan di timur.
Kalau segala macam burung beterbangan pulang ke sarang mereka setelah sehari penuh bekerja mencari makan, binatang kelelawar itu sebaliknya meninggalkan sarang mereka untuk mulai bekerja! Mereka bekerja di malam hari dan tidur di siang hari.
Pria muda yang berdiri di lereng itu menghadap ke barat, seperti terpesona, seakan-akan merasa dirinya tenggelam dalam suasana yang hening dan indah itu, suasana yang agung dan dalam. Seluruhnya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan bahkan dirinya menjadi sebagian dari pada kebesaran alam itu. Tidak ada satu pun yang kurang, juga tiada yang lebih. Sudah pas, sebuah keadaan sempurna tanpa kemarin tanpa esok. Semua menuju ke mulut kegelapan yang telah siap untuk menelan segala yang nampak, kegelapan sang malam.
Pemuda itu menarik napas panjang dan terdengar suaranya seperti rintihan lirih, bersama helaan napasnya. "Tuhan Maha Besar...!"
Sejenak ia memejamkan kedua matanya dengan hati penuh haru dan rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa atas segala kurnia yang telah dirasakannya sampai saat itu. Kemudian dia teringat bahwa dia harus melanjutkan perjalanan, menuju ke puncak di depan itu, yaitu ke Pek-in-kok (Lembah Awan Putih) di pegunungan Ho-lan-san ini.
Sebelum melanjutkan langkahnya dia menoleh ke timur, hingga nampaklah sungai Kuning (Huang-ho) yang panjang laksana seekor ular naga. Nampak pula genteng rumah-rumah pedesaan sepanjang lereng dan kaki bukit, juga samar-samar nampak pula kota Yin-coan di tepi sungai itu.
Kembali dia menghela napas panjang. Baru dua tahun lebih dia meninggalkan tempat ini, dan waktu yang hampir seribu hari lamanya itu kini terasa seperti baru kemarin dulu saja. Alangkah cepatnya sang waktu terbang berlalu kalau tidak diperhatikan. Teringat dia akan nasehat mendiang ibunya tentang waktu.
"Waktu lewat dengan cepatnya, maka hidup adalah waktu yang cepat berlalu. Karena itu isilah waktu yang singkat itu dengan perbuatan yang bermanfaat bagi manusia dan dunia, anakku.”
Kembali dia menghela napas panjang, lalu melanjutkan mendaki lereng menuju Lembah Awan Putih di depan. Kalau ada orang melihatnya pada waktu itu, dia tentu akan terkejut dan heran melihat ada orang dapat mendaki lereng sedemikian cepatnya. Nampaknya dia melangkah biasa saja, namun tubuhnya meluncur cepat ke depan seperti terbang! Sekali melangkah, tubuhnya sudah meluncur sampai dua tiga meter.
Karena pemuda itu mahir ilmu berlari cepat seperti terbang, sebelum malam datang dia sudah sampai di tempat yang dituju. Lembah Awan Putih! Tempat yang amat dikenalnya, pernah menjadi kampung halamannya selama bertahun-tahun. Dan kini dia berdiri di depan sebuah pondok yang reyot karena tidak terpelihara. Pondok itu dikepung tumbuhah-tumbuhan yang lebat, bahkan tumbuh-tumbuhan merayap sampai memenuhi gentengnya.
"Suhu (guru)...," pemuda itu mengeluh, hatinya kecewa karena keadaan pondok itu jelas menunjukkan bahwa gurunya tidak kembali ke pondok itu, bahwa dia tidak akan bertemu gurunya di tempat itu seperti yang diharapkannya semula.
Kini hatinya semakin yakin bahwa kekecewaan menjadi ekor dari keinginan dan harapan. Hanya dia yang tidak mempunyai keinginan dan harapan apa pun, akan bebas dari pada kekecewaan. Akan tetapi, mungkinkah manusia hidup tanpa keinginan dan harapan?
Dia meninggalkan pondok tanpa mencoba untuk membuka daun pintu yang sudah reyot itu. Dengan langkah bergegas dia pun menuju ke utara di mana dahulu jenazah dua orang gurunya yang lain dimakamkan. Dia ingin melihat kuburan itu sebelum gelap, dan untuk menghormati makam kedua orang gurunya, dalam perjalanan mendaki bukit tadi dia telah mengumpulkan banyak bunga, terutama mawar.
Dia tidak dapat meniru kebiasaan bangsa Han yang menghormati makam leluhur dengan upacara sembahyang dan penyuguhan korban berupa masakan-masakan dan makanan. Ibunya mengajarkan kepadanya bahwa yang wajib dipuja dan disembah hanyalah Tuhan Yang Maha Esa.
Dia berkunjung ke makam hanya untuk membuktikan bahwa dia masih selalu ingat akan kebaikan guru-gurunya, masih menghormati mereka meski pun telah tiada, dan perasaan sayang itu dinyatakan dengan penaburan bunga dan membersihkan makam, dan doa-doa yang disampaikan adalah doa permohonan kepada Tuhan agar roh kedua orang gurunya mendapat pengampunan dari Tuhan Yang Maha Pengampun.
Dia pun maklum bahwa sembahyang di depan makam dengan mengorbankan masakan-masakan itu pun mungkin memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menyatakan rasa kasih sayang mereka terhadap yang sudah meninggal. Namun hal itu dianggapnya berlebihan, karena pada akhirnya mereka yang menyuguhkan makanan itu yang akan menghabiskan makan itu sendiri. Sungguh merupakan bentuk prihatin yang amat aneh baginya, sangat bertentangan dengan perasaannya, oleh karena itu dia tidak sanggup menirunya.
Kini dia berdiri di depan dua buah makam itu dan dia terbelalak, wajahnya berubah pucat. Jelas nampak betapa dua buah makam itu telah dibongkar orang! Agaknya perbuatan itu belum lama dilakukan orang. Tanah yang digali itu masih baru. Dan kedua buah peti mati itu pun sudah terbuka!
Ia cepat menghampiri dan menjenguk isi peti. Tulang-tulang berserakan, akan tetapi yang sangat mengejutkan hatinya, kedua peti mati itu hanya berisi tulang-tulang saja, tidak ada tengkoraknya! Tengkorak kedua orang gurunya telah lenyap!
"Ya Allah, siapa yang melakukan perbuatan terkutuk ini? Kejam benar...," Dia berlutut dan menutupkan kembali kedua buah peti itu, akan tetapi tidak menimbunkan tanah kembali karena dia hendak mencari dahulu dua tengkorak suhu-nya untuk dikembalikan ke tempat semula, di dalam peti mereka. Akan tetapi ke mana dia harus mencari?
Malam mulai datang menyelimuti bumi. Ia teringat bahwa nanti malam bulan akan muncul dan melihat langit demikian terang, malam nanti pasti sangat cerah. Dia akan melakukan penyelidikan kalau bulan telah bersinar nanti. Dengan langkah gontai pemuda itu kembali ke pondok. Dalam keremangan cuaca senja tubuhnya nampak tinggi tegap dan gagah. Langkahnya gontai, tetapi lentur bagai langkah seekor harimau. Tubuhnya tegak dengan bahu yang bidang.
Di punggungnya terikat sebuah buntalan pakaian yang berbentuk agak panjang, tentu saja memudahkan orang menduga bahwa dalam buntalan itu terdapat pula sebatang pedang dengan sarungnya. Pakaiannya amat sederhana, dari kain tebal yang awet berwama biru, sepatu hitam, dan kepalanya tertutup sebuah caping lebar seperti yang biasa dipakai para petani di daerah Sin-kiang.
Kini dia sudah tiba di depan pondok. Dibukanya pintu itu, tetapi agak sukar karena macet. Ia mengerahkan sedikit tenaga dan daun pintu itu pun terbuka. Cuaca belum gelap benar sehingga dia masih dapat melihat keadaan dalam pondok. Wajahnya cerah. Ternyata keadaan di dalam pondok itu cukup bersih dan perabot rumah yang dahulu masih lengkap. Ada bangku, ada meja, bahkan lima buah dipan kayu di sana juga masih ada. Seolah baru ditinggal kemarin saja.
Dia menghampiri sudut di mana terdapat sebuah meja besar, dan ternyata di situ masih terdapat banyak lilin. Juga alat pembuat api masih ada. Segera dinyalakannya tiga batang lilin lalu diletakkan di atas meja di tengah ruangan. Kini cahaya tiga batang lilin besar itu cukup terang menyinari wajahnya ketika dia duduk termenung di atas bangku, menghadap lilin di atas meja setelah membersihkan debu dari bangku dan meja dengan sebuah sapu bulu ayam.
Dia seorang laki-laki yang masih muda. Dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun usianya. Kulit muka, leher dan tangannya gelap, akan tetapi tidak hitam sekali, seperti kulit petani yang setiap hari tertimpa cahaya matahari. Wajahnya tampan dan gagah. Dahinya lebar, alisnya hitam tebal berbentuk golok, matanya tidak sipit, lebar bersinar aneh. Hidungnya tinggi, agak besar, bersama mulutnya yang berbibir tebal membayangkan keteguhan hati. Dagunya juga berlekuk dan membayangkan watak keras. Muka itu bersih, tidak ditumbuhi jenggot dan kumis karena selalu dicukurnya. Wajah seorang pemuda yang jantan!
Namanya Sin Wan. Hanya Sin Wan begitu saja, tanpa nama keturunan karena mendiang ayahnya adalah seorang Uighur bernama Abdullah, dan ibu kandungnya seorang wanita cantik berbangsa Uighur pula, beragama lslam dan bernama Jubaedah. Ayah kandungnya terbunuh oleh seorang datuk sesat bernama Se Jit Kong yang berjuluk Si Tangan Api, seorang Kasak yang sakti dan jahat.
Pada waktu ayah kandungnya terbunuh, dia masih di dalam kandungan ibunya dan untuk menyelamatkan kandungannya itulah ibunya yang cantik jelita, rela diperisteri Si Tangan Api. Sesudah menjadi isteri datuk itu, Jubaedah disebut Ju Bi Ta. Agaknya Se Jit Kong yang berdarah campuran itu ingin mengangkat namanya dl dunia kang-ouw, karena itu dia menggunakan nama bangsa Han.
Se Jit Kong yang ingin sekali menonjolkan kesaktiannya telah melakukan perbuatan yang berlebihan. Tidak saja dia menantang dan mengalahkan banyak tokoh pendekar di dunia persilatan, juga dia bahkan mencuri banyak pusaka istana kaisar. Hal ini menggegerkan dunia kangouw dan para tokoh kangouw, juga kaisar sendiri, minta pertolongan Sam-sian, tiga orang datuk besar dunia persilatan untuk mencari Se Jit Kong dan merampas kembali pusaka-pusaka istana itu.
Sam-sian (Tiga Dewa) berhasil merampas kembali pusaka-pusaka itu, dan Se Jit Kong yang dikalahkan Sam-sian membunuh diri. Setelah Se Jit Kong tewas, barulah Jubaedah membuka rahasia kepada Sin Wan. Anak laki-laki yang sampai berusia sepuluh tahun menganggap Se Jit Kong sebagai ayah kandungnya itu baru tahu bahwa Se Jit Kong sama sekali bukan ayahnya, bahkan datuk ini adalah pembunuh ayah kandungnya! Dan setelah membuka rahasia ini, Jubaedah juga membunuh diri di depan mayat suaminya.
Semua kenangan ini terbayang lagi di dalam benak Sin Wan ketika dia duduk termenung memandangi api lilin. Sesudah Se Jit Kong dan ibu kandungnya tewas, dia menjadi yatim piatu dan menjadi murid Sam-sian yang terdiri dari tiga orang, yaitu Ciu Sian (Dewa Arak) Tong Kui, Kiam-sian (Dewa Pedang) Low Sun, dan Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih) Thio Ki. Ia diajak Sam-sian menyerahkan pusaka-pusaka kepada kaisar, dan ketika diberi hadiah, Kiam-sian memilih pedang tumpul yang kemudian diberikan kepada Sin Wan.
Dan di kota raja inilah Sam-sian mendapatkan murid baru, seorang anak perempuan yang bernama Lim Kui Siang, yatim piatu karena ayahnya yang bangsawan pengurus gudang pusaka dibunuh Se Jit Kong ketika datuk ini mencuri pusaka, sedangkan ibunya menyusul tidak lama kemudian akibat menderita ditinggal mati suaminya. Sam-sian merasa kasihan dan menerima Kui Siang menjadi murid mereka. Sin Wan menghela napas panjang ketika dia teringat akan semua itu.
Pada saat bertanding melawan Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In, seorang tokoh sesat wanita yang sangat lihai, Kiam-sian dan Pek-mau-sian tewas, dan wanita cantik itu terluka parah. Ciu Sian tidak membunuhnya dan membiarkannya pergi. Semenjak itu Ciu Sian menggembleng Sin Wan dan Kui Siang dengan ilmu simpanan, yang dirangkai oleh Sam-sian dan dinamakan Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa). Kemudian Ciu Sian menyuruh kedua orang muridnya turun gunung sesudah menyatakan keinginannya agar kedua orang murid dapat berjodoh.
"Sumoi (adik seperguruan)...” Sin Wan mengeluh ketika dia teringat kepada Kui Siang.
Mereka saling mencinta, tetapi tanpa disengaja gadis itu kemudian mengetahui bahwa dia adalah anak tiri dan juga murid mendiang Se Jit Kong, musuh besar gadis itu yang telah menghancurkan keluarganya. Kui Siang marah kemudian meninggalkannya, memutuskan hubungan di antara mereka. Kini gadis itu tentu sudah menjadi pengawal pribadi Pangeran Yung Lo di Peking, seperti yang ditawarkan oleh pangeran itu kepadanya. Dia telah kehilangan sumoi-nya, gadis dan wanita pertama yang dicintanya.
Dan dia kehilangan pula gurunya yang terakhir. Biar pun bukan guru resmi tetapi seorang yang sangat dihormati dan dikasihinya, yaitu Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki. Dia ditinggalkan kakek itu yang merasa tak senang pula mendengar bahwa dia adalah putera tiri mendiang Se Jit Kong yang amat jahat. Dia telah kehilangan segalanya dan dalam keadaan patah hati itu dia berkunjung ke lembah ini, Lembah Awan Putih, untuk mencari gurunya yang tinggal seorang, seorang di antara Sam-sian, yaitu Dewa Arak.
Semua pengalaman itu terbayang dalam ingatan Sin Wan, membuat dia termenung. Akan tetapi ketika kenangan itu sampai pada waktu dia berkunjung ke depan makam mendiang Kiam-sian dan Pek-mau-sian, dia segera sadar dari lamunannya. Kuburan kedua orang gurunya tercinta itu dibongkar orang, dan tengkorak mereka dicuri orang! Sekarang dia sadar sepenuhnya, telah meninggalkan dunia lamunannya. Seketika lenyap pula semua kedukaan yang tadi menggerogoti hati dan pikirannya.
Dan bagaikan cahaya terang yang mengusir kegelapan yang tadi menyelubungi batinnya, kini nampak jelas olehnya bahwa semua kesedihan, semua rasa duka hanya merupakan permainan dari pikirannya sendiri belaka.
Pikiran yang mengenang masa silam, kemudian menghubungkan dengan bayangan masa depan, menimbulkan kemuraman dari iba diri, dan muncullah rasa duka nestapa. Seolah-olah di dunia ini hanya dia seorang yang hidup menderita kedukaan. Duka timbul akibat kecewa, akibat iba diri, dan semua ini hanyalah ulah pikiran yang mengenang masa lalu.
Masa lampau telah lewat, telah mati! Demikian dia berbisik sambil mengepal tinju. Masa depan hanyalah bayangan! Yang penting sekarang, saat ini! Hidup adalah saat demi saat yang harus dihadapi dengan hati tabah, yang harus dihadapi dengan waspada, menempuh segala macam tantangan dan tantangan, berusaha sedapat mungkin untuk mengatasinya! Itulah hidup. Bukan membiarkan diri tenggelam ke dalam kenangan pahit masa silam dan bayangan menggelisahkan masa depan.
Hidup adalah perjuangan menghadapi setiap tantangan. Tidak lari dari kenyataan, akan tetapi menghadapi tantangan dan berusaha menanggulanginya, mengatasinya, itulah seni kehidupan! Didasari penyerahan kepada Yang Maha Kuasa, maka segala sesuatu dapat dihadapi dengan tabah. Segala hal hanya dapat terjadi atas kehendak Tuhan! Sesal dan duka tidak ada gunanya. Berusaha sedapat mungkin, akan tetapi menyerahkan keputusan terakhir kepada Allah Maha Kasih.
Sin Wan bangkit dari bangkunya, melangkah ke pintu depan. Dia membuka daun pintu dan angin berhembus masuk, memadamkan tiga batang lilin yang menyala di atas meja. Kegelapan karena padamnya lilin justru mempertajam cahaya bulan yang sudah muncul.
Sin Wan memasuki kembali pondok yang kini remang-remang, mengeluarkan sebatang pedang dari dalam buntalan pakaian yang tadi dia letakkan di atas meja dan mengikatkan sarung pedang di punggungnya. Pedang itu berupa pedang yang sarung dan gagangnya nampak butut dan jelek, walau pun bersih dan terpelihara. Sebatang pedang yang butut, dan kalau dihunus, orang akan mentertawakannya. Bukan hanya sarung dan gagangnya yang butut, akan tetapi pedang itu sendiri pun jelek dan sama sekali tidak meyakinkan.
Selain buatannya sangat kasar seperti pedang yang belum jadi, belum matang ditempa, juga pedang itu tidak tajam dan tdak runcing, melainkan tumpul. Pedang tumpul! Namun pemiliknya selalu merawatnya dengan hati-hati, menganggapnya sebagai sebuah pusaka yang ampuh, dan memang kenyataannya pedang yang tumpul dan buruk rupa itu adalah sebatang pusaka kuno yang ampuh. Sin Wan mendapatkannya dari mendiang Kiam-sian, sebagai hadiah dari Kaisar Thai Cu karena Sam-sian sudah berhasil merampas kembali pusaka-pusaka istana yang dicuri mendiang Se Jit Kong.
Sin Wan keluar dari pondok, menutupkan kembali daun pintu dan mulailah dia melakukan penyelidikan di bawah cahaya bulan yang cukup terang. Bulan sepotong di langit bersih mendatangkan cahaya kehijauan, redup namun cukup terang, terasa nyaman dan sejuk. Ujung daun-daun pohon nampak berseri bermandikan cahaya bulan. Dia segera menuju ke makam kedua orang gurunya. Begitu dia sampai di situ, tiba-tiba dia mendengar suara berciutan sambung menyambung. Suara apakah itu?
Dia menoleh ke kiri karena dari sanalah datangnya suara itu. Seperti suara burung yang mencuit-cuit nyaring. Akan tetapi, malam-malam begini mana ada burung berkicau? Dia sudah mengenal suara burung malam, burung hantu, dan tidak ada burung malam yang suaranya seperti itu.
"Cuiiiiiiit...! Cuiiiiittt...!"
Suara itu berulang terus sehingga Sin Wan cepat menghampiri ke arah suara. Suara itu semakin nyaring dan kini dia dapat menangkap suara desir angin pukulan yang dahsyat! Tentu saja dia terkejut dan heran. Dia kini menyelinap dan menyusup di antara pohon dan semak belukar, menghampiri tempat itu dan mengintai.
Apa yang dilihatnya membuat mata Sin Wan terbelalak. Di tempat itu banyak pohon roboh seperti ditebang sehingga pohon-pohon itu berserakan. Tempat itu kini terbuka seluas tak kurang dari lima belas tombak kali dua puluh tombak, dan tempat itu cukup terang karena sinar bulan tidak terhalang.
Pada sudut kanan dan kiri, terpisah antara sepuluh tombak, nampak tumpukan tengkorak! Ada puluhan buah tengkorak manusia besar dan kecil bertumpuk di sana, menjadi dua tumpukan bukit kecil dan di atas masing-masing bukit tengkorak itu duduk bersila seorang kakek dan seorang nenek!
Sungguh menyeramkan sekali keadaan di situ, walau pun kakek dan nenek itu wajahnya tidak menyeramkan. Bahkan kakek itu masih memiliki wajah yang tampan, dan nenek itu pun masih cantik walau pun usia mereka sudah sekitar enam puluh tahun. Tubuh kakek itu masih tinggi tegap dengan pakaian serba putih, dan nenek itu juga masih ramping dalam pakaian yang serba putih pula. Pakaian mereka terbuat dari sutera halus yang mengkilat tertimpa sinar bulan yang redup. Yang aneh dan menyeramkan hanyalah warna muka mereka. Kakek itu mukanya merah seperti dicat atau dilumuri darah, ada pun muka wanita itu putih pucat seperti muka mayat.
Sin Wan memandang dengan jantung berdebar-debar. Bukan keadaan kakek dan nenek itu yang membuat hatinya tegang, akan tetapi cara mereka berlatih. Dua orang itu duduk di atas tumpukan tengkorak, seperti patung. Akan tetapi kedua tangan mereka bergerak saling mendorong dari jarak jauh, dan dari dua telapak tangan mereka itulah keluar suara bercuitan tadi, dan ada angin pukulan menyambar dari tangan mereka. Kiranya mereka itu sedang latihan ilmu pukulan jarak jauh yang amat kuat dan ampuh.
Teringatlah Sin Wan akan keterangan Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih) Bu Lee Ki bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak tokoh yang amat lihai. Banyak terdapat para datuk yang memiliki ilmu kepandalan tinggi. Dan di antara mereka memang terdapat dua aliran, yaitu aliran putih dan aliran hitam, atau mereka yang menjadi pendekar dan mereka yang menjadi penjahat. Bahkan sifat-sifat ilmu mereka pun dapat dijadikan tanda apakah tokoh itu termasuk golongan sesat ataukan golongan pendekar.
Dia pernah mendengar pula tentang ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun, dan kalau melihat cara kedua orang ini berlatih, dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah termasuk golongan sesat yang lihai sekali!
Agaknya kedua orang itu telah menghentikan latihan saling pukul dari jarak jauh. Sin Wan menatap ke arah tengkorak-tengkorak itu, lantas teringatlah dia akan dua buah tengkorak mendiang Kiam-sian dan Pek-mau-sian. Kedua buah tengkorak itu telah lenyap. Siapa lagi kalau bukan dua manusia iblis ini yang sudah mengambilnya? Tentu dua buah tengkorak guru-gurunya berada di antara tumpukan tengkorak itu.
Hatinya terasa panas. Kurang ajar, pikirnya. Dua orang itu sungguh tidak mempunyai peri kemanusiaan. Mempelajari ilmu dengan cara merusak kuburan orang, bahkan mengambil tengkorak orang untuk dijadikan tempat latihan. Sungguh keji sekali!
Terdengar suara tawa yang sungguh menyeramkan. Tawa yang tinggi merdu, melengking nyaring seperti bukan suara manusia. Ketika Sin Wan memandang, dia bergidik. Wanita itulah yang bersuara karena dia menggerak-gerakkan kepala dan pundaknya, akan tetapi anehnya, mulut dan muka yang pucat itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah muka itu tersembunyi di balik topeng.
"Hi-hi-hik-hik-hik, Ang-ko (kakak Merah), ternyata engkau tidak dapat melebihi aku dalam penggunaan ilmu Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)! Jangan coba-coba berkata bahwa engkau lebih unggul, Ang-ko!"
Kakek itu tidak tertawa, juga wajahnya yang merah darah itu sama sekali tidak bergerak, mirip seperti topeng. Mulutnya juga tidak bergerak ketika terdengar suaranya, "Huh, Pek-moi (adik Putih), kita sedang memperdalam ilmu untuk menghadapi musuh-musuh dan merebut kedudukan tertinggi di dunia persilatan, tidak perlu kita saling mengungguli. Kita maju bersama, hidup berdua dan mati bersama. Agaknya Toat-beng Tok-ciang yang kita latih sudah cukup dapat diandalkan, hanya ilmu kita Touw-kut-ci (Jari penembus tulang) yang belum memuaskan hatiku. Kita harus berlatih lagi dengan tekun."
Keduanya tidak nampak bergerak, akan tetapi tahu-tahu tubuh mereka melayang turun dari atas tumpukan tengkorak lantas dalam keadaan masih bersila mereka kini pindah ke atas tanah. Diam-diam Sin Wan terkejut. Kedua orang itu agaknya tidak hanya lihai dalam ilmu pukulan jarak jauh, tetapi juga sudah memiliki ginkang tingkat tinggi sehingga tubuh mereka mampu melayang dan berpindah tempat dalam keadaan duduk bersila!
Kini keduanya mengambil tengkorak satu demi satu kemudian melempar setiap tengkorak ke atas. Ketika tengkorak itu melayang turun, mereka menyambutnya dengan tusukan jari tangan mereka. Jari mana saja yang mereka pergunakan untuk menyambut, tentu dapat menembus tengkorak hingga seluruh lima jari tangan digunakan semua. Sesudah tangan kanan, lalu latihan itu diganti dengan tangan kiri. Kedua orang itu seperti sedang berlomba dan ternyata keduanya sama tangkas dan sama kuat.
Sekarang mengertilah Sin Wan kenapa tengkorak-tengkorak itu berlubang-lubang. Kiranya dipergunakan untuk latihan ilmu menotok dengan jari yang sangat lihai. Dia mengerutkan alisnya, membayangkan betapa tengkorak dua orang gurunya juga telah dijadikan bulan-bulanan latihan jari tangan itu. Sungguh kasihan sekali, sudah mati masih diganggu oleh golongan sesat!
Tiba-tiba terdengar wanita itu mengeluarkan pekik aneh, dan sebuah tengkorak yang tadi disambut tusukan jari tangannya, tidak tertembus lalu menggelinding di dekat kakinya.
"Huh, engkau gagal, Pek-moi? Sungguh memalukan sekali!" kakek itu menegur ketika dia melihat rekannya gagal menembus tengkorak itu dengan jari tangannya.
Wanita itu memungut tengkorak tadi dengan tangan kirinya, lantas diperiksanya dengan teliti. "Heei, Ang-ko. Tengkorak ini belum ada lubangnya, berarti masih baru. Dan keadaannya sungguh berbeda dengan tengkorak biasa. Keras bukan main sehingga tidak tertembus jari tanganku!"
“Masih baru? Hemm, dari mana kita memperoleh tengkorak paling akhir?" tanya Ang Bin Moko (Iblis Muka Merah) sambil menyambut tengkorak yang dilemparkan kepadanya oleh Pek Bin Moli (Iblis Betina Muka Putih).
"Bukankah dari dua buah makam di Lembah Awan Putih sebelah itu? Baru tiga hari kita membongkar makam dan mengambil tengkorak dari sana.
"Huh, benar! Aku ingat sekarang. Ada dua buah tengkorak yang kita ambil. Coba carilah yang sebuah lagi, Pek-moi!"
Pek Bin Moli cepat mencari tengkorak kedua di antara tumpukan tengkorak itu. Tidak sulit menemukannya karena tengkorak baru ini belum berlubang seperti tengkorak-tengkorak lainnya.
“Ini dia! Wah, yang ini juga keras bukan kepalang dan bentuknya agak aneh, menonjol ke belakang!" teriak wanita itu tanpa menggerakkan bibir.
Sin Wan yang mengintai, mendengarkan dengan jantung berdebar. Tidak salah lagi! Dua tengkorak yang mereka anggap aneh dan keras itu pasti tengkorak kedua orang gurunya, dan tengkorak yang bagian belakangnya menonjol pastilah tengkorak mendiang Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih). Ia melihat betapa kakek dan nenek itu berulang-ulang mengerahkan tenaga dan mencoba untuk melubangi tengkorak itu dengan jari-jari tangan mereka, akan tetapi agaknya usaha mereka sia-sia belaka.
"Aihh, Ang-ko, kenapa kita tidak dapat melubangi tengkorak-tengkorak ini? Apakah latihan kita selama ini kurang berhasil?" nenek itu berseru, suaranya mengandung kekecewaan.
"Tidak, Pek-moi. Buktinya, tengkorak yang lain dengan mudah.dapat kita tembusi dengan jari-jari tangan kita. Dua buah tengkorak ini memang istimewa. Aku bisa menduga bahwa dua buah tengkorak ini tentu milik dua orang yang sakti, dan latihan tenaga sakti sudah meresap ke dalam tengkorak ini sehingga menjadi keras. Ini menguntungkan sekali, Pek-moi. Kita masak dua buah tengkorak ini sampai hancur menjadi bubur dan ini merupakan obat kuat yang luar biasa, dapat menguatkan tulang-tulang kita!"
Mendengar ini Sin Wan tak dapat menahan hatinya lagi. Tengkorak kedua orang gurunya sudah dicuri, kini malah akan dimasak dan dijadikan obat kuat! Dia pun keluar dari tempat persembunyiannya.
“Harap ji-wi (anda berdua) tidak mengganggu tengkorak orang-orang yang telah meninggal dunia."
Dua orang kakek dan nenek itu terkejut, lalu menoleh dan memandang kepada Sin Wan dengan sinar mata mengandung keheranan. Bagaimana mungkin ada seorang pemuda bersembunyi di dekat situ tetapi mereka sampai tidak mengetahuinya? Dari kenyataan ini saja mereka berdua yang sudah amat berpengalaman dapat mengetahui bahwa pemuda itu bukan orang lemah. Bagaimana pun juga, mereka berdua menjadi marah.
"Hei, orang muda! Siapakah engkau berani lancang menganggu kami?!"
"Ang-ko, darahnya bisa kita pergunakan untuk menyempunakan Toat-beng Tok-ciang kita dan tengkoraknya yang masih basah bisa kita pergunakan pula untuk memperkuat Touw-kut-ci kita!" terdengar nenek itu melengking.
Sin Wan menjura kepada dua orang yang masih bersila di dekat tumpukan tengkorak dan terpisah cukup jauh itu. "Harap ji-wi locianpwe (dua orang tua gagah) suka memaafkan. Saya bukan datang mengganggu, melainkan hendak mohon agar jiwi mengembalikan dua buah tengkorak mendiang guru-guru saya itu. Kalau ji-wi mengembalikannya supaya saya bisa mengubumya kembali, maka saya akan melupakan bahwa ji-wi pernah membongkar makam mereka dan mengambil tengkorak mereka."
Kakek dan nenek itu bertukar pandang, kemudian si nenek mengeluarkan suara tawanya yang menyeramkan. "Hi-hi-hi-hik-hik, Ang-ko, dia minta dua buah tengkorak ini. Mengapa tidak kita berikan kepadanya?"
"Huh, engkau menghendaki tengkorak-tengkorak ini, orang muda? Nah, terimalah ini dan mampuslah engkau!" Kakek itu melontarkan tengkorak di tangannya. Dua buah tengkorak itu menyambar bagaikan peluru meriam saja ke arah Sin Wan dari kanan kiri! Terdengar suara bersiut nyaring ketika dua buah tengkorak itu melayang.
Dari luncuran dua buah tengkorak itu, Sin Wan dapat menilai bahwa tenaga luncuran itu dahsyat bukan main. Jika dia mengelak atau menangkis, mungkin tengkorak-tengkorak itu akan hilang atau rusak, dan kalau dia menyambut dengan tangan, mungkin dia tidak akan mampu menahan tenaga luncuran dari kanan kiri yang luar biasa dahsyatnya itu. Dia bisa berpikir cepat dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan dengan tubuh di atas, kedua tangannya menyambut dua buah tengkorak yang meluncur ke arahnya tadi.
Seperti sudah diduganya, tenaga luncuran itu kuat bukan main sehingga meski pun kedua tangannya mampu menangkap tengkorak-tengkorak itu, namun tenaga luncuran membuat tubuhnya terpental ke atas! Sin Wan memang sudah memperhitungkan hal ini. Dia membiarkan tubuhnya terpental ke atas, lantas membuat gerakan jungkir balik untuk mematahkan tenaga luncuran itu, kemudian dengan tenang dia melayang turun di tempat semula. Dengan sikap tenang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, dia lalu mengeluarkan sapu tangan, mengikat kedua tengkorak itu dan menalikannya tergantung pada lehernya. Kini dua buah tengkorak itu tergantung di depan dada.
Ang Bin Moko dan Pek Bin Moli terbelalak. Tadi mereka memang sudah menduga bahwa pemuda itu memiliki kepandaian pula, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa dia selihai itu. Mereka tadi sudah yakin bahwa sambitan tengkorak itu akan membuat pemuda itu tewas!
Melihat pemuda itu sama sekali tidak tewas bahkan dapat menerima dua buah tengkorak itu, Ang Bin Moko menjadi penasaran dan marah sekali. Dia cepat menggerakkan kedua tangannya lantas terdengar bunyi bercuitan. Itulah ilmu pukulan jarak jauh Toat-beng Tok-ciang yang tadi dilatih bersama Pek Bin Moli. Melihat ini, Pek Bin Moli seperti diingatkan saja, maka dari tempat dia duduk bersila nenek ini pun telah menggerakkan kedua tangan dan memukul dengan ilmu itu.
Ada baiknya bahwa tadi Sin Wan sudah melihat kedua orang itu berlatih ilmu Toat-beng Tok-ciang, maka dia pun tidak berani memendang rendah. Dia segera mengelak dengan geseran kaki yang membuat dia melangkah ke sana sini berputar-putar, kadang meloncat dan gerakannya amat cepat seperti burung saja.
Dia telah menggunakan langkah ajaib yang terkandung dalam ilmunya Sam-sian (Tangan Sakti Tiga Dewa), yang bersumber dari ilmu Hui-niauw-soan (Langkah Berputar Burung Terbang). Dengan gerakannya yang aneh dan gesit ini, semua sambaran hawa pukulan Toat-beng Tok-ciang luput dari sasaran, apa lagi kedua tangan pemuda itu juga mengebut ke sana sini dengan pukulan yang bersumber dari Ciu-san Pek-ciang (Tangan Putih Dewa Arak) sehingga dari kedua tangannya itu menyambar tenaga sakti yang beruap putih dan dapat menangkis hawa pukulan yang menyambar terlalu dekat.
Kakek dan nenek iblis itu terkejut sekali. Sungguh sulit dipercaya betapa seorang pemuda mampu menghindarkan diri dari serangan mereka yang menggunakan ilmu baru mereka itu! Saking kaget, heran dan penasaran, kini keduanya tidak lagi memandang rendah dan seperti tadi, tanpa terlihat menggerakkan tubuh, keduanya telah melayang dan tahu-tahu. mereka berdua sudah berdiri berhadapan dengan Sin Wan, hanya dalam jarak tiga meter!
Sin Wan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangannya ke depan dada, "Banyak terima kasih atas petunjuk ji-wi locianpwe. Dan sekarang perkenankan saya untuk pergi mengubur kembali peti mati kedua orang guru saya."
"Tidak begitu mudah, orang muda. Katakan, siapa dua orang gurumu itu!" kata kakek iblis muka merah.
"Mereka adalah mendiang suhu Kiam-sian dan mendiang suhu Pek-mau-sian," jawab Sin Wan sejujurnya.
Nenek iblis itu mengeluarkan teriakan melengking. "Iihhhhhh...!" Dia memandang Sin Wan penuh perhatian. "Dua di antara Sam-sian?"
"Benar, locianpwe."
"Huh! Pantas saja tengkorak mereka begitu keras. Jika demikian bukan hanya tengkorak mereka yang amat berguna, juga semua tulang mereka. Orang muda, kami memerlukan tengkorak dan tulang-tulang mereka. Berikan kepada kami maka kami akan mengampuni dan membiarkanmu pergi."
Sin Wan mengerutkan alisnya. "Ji-wi locianpwe sungguh keterlaluan. Apakah kesalahan kedua orang guruku sehingga sesudah mereka wafat dan menjadi tulang, jiwi masih ingin mengganggu mereka? Saya adalah murid mereka, sudah menjadi kewajiban saya untuk menjaga dan melindungi makam dan kehormatan mereka. Saya tidak akan menyerahkan dua buah tengkorak ini kepada ji-wi, juga tidak membolehkan mengambil tulang kerangka kedua orang suhu saya."
"Bocah sombong, agaknya engkau sudah bosan hidup!" teriak nenek itu dan dia langsung menerjang Sin Wan dengan sepasang tangan terbuka. Tangan kirinya mencengkeram ke arah dua buah tengkorak yang tergantung di dada Sin Wan, sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala...
Kini dia sudah kehilangan segalanya, dan dalam keadaan patah hati itu dia berkunjung ke lembah ini, Lembah Awan Putih, untuk mencari gurunya, yaitu Ciu-sian (Dewa Arak) yang merupakan salah seorang di antara Sam-sian.
Sin Wan mengeluh ketika dia teringat kepada Kui Siang. Mereka berdua saling mencinta, akan tetapi tanpa sengaja gadis itu kemudian mengetahui bahwa dia adalah anak tiri dan sekaligus murid mendiang Se Jit Kong, musuh besar gadis itu yang telah menghancurkan keluarganya.
Dan dia kehilangan pula gurunya yang terakhir, biar pun bukan guru resmi, seorang yang amat dihormati dan dikasihinya, yaitu Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki. Dia ditinggalkan kakek itu yang merasa tidak senang pula mendengar bahwa dia adalah putera tiri mendiang Se Jit Kong yang amat jahat.
Garis puncak-puncak gunung di barat itu nampak jelas, seolah-olah ada tangan ajaib yang membuat goresan tebal. Bahkan nampak pula rimbun daun pepohonan di sekitar puncak, juga lembah dan ngarai, tonjolan bukit dan lekuk jurang. Makin ke bawah, hutan-hutan itu nampak semakin nyata dan semakin hijau, berbeda dengan yang di dekat puncak, yang berwarna kebiruan dan terkadang disembunyikan di balik tirai awan tipis.
Matahari senja mendatangkan kecerahan pada puncak-puncak gunung itu, seakan-akan sang matahari hendak meninggalkan kesan yang indah, sebelum menghilang di balik sana untuk menunaikan tugas di belahan bumi yang lainnya. Permainan sinar matahari yang dipantulkan awan basah di angkasa melukiskan lengkung pelangi di sebelah utara. Lengkung setengah lingkaran, mengingatkan kita pada dongeng kuno bahwa lengkung pelangi itu merupakan tangga para bidadari yang hendak turun ke bumi!
Kadang-kadang tampak serombongan burung melintasi langit, bergerak-gerak membentuk garis yang aneh, ada kalanya tampak seperti bentuk seekor naga yang sedang melayang-layang. Dari barat nampak makhluk terbang yang bukan burung, namun yang terbangnya demikian laju, menuju ke timur, menyongsong kegelapan di timur.
Kalau segala macam burung beterbangan pulang ke sarang mereka setelah sehari penuh bekerja mencari makan, binatang kelelawar itu sebaliknya meninggalkan sarang mereka untuk mulai bekerja! Mereka bekerja di malam hari dan tidur di siang hari.
Pria muda yang berdiri di lereng itu menghadap ke barat, seperti terpesona, seakan-akan merasa dirinya tenggelam dalam suasana yang hening dan indah itu, suasana yang agung dan dalam. Seluruhnya merupakan kesatuan yang tak terpisahkan bahkan dirinya menjadi sebagian dari pada kebesaran alam itu. Tidak ada satu pun yang kurang, juga tiada yang lebih. Sudah pas, sebuah keadaan sempurna tanpa kemarin tanpa esok. Semua menuju ke mulut kegelapan yang telah siap untuk menelan segala yang nampak, kegelapan sang malam.
Pemuda itu menarik napas panjang dan terdengar suaranya seperti rintihan lirih, bersama helaan napasnya. "Tuhan Maha Besar...!"
Sejenak ia memejamkan kedua matanya dengan hati penuh haru dan rasa syukur kepada Sang Maha Kuasa atas segala kurnia yang telah dirasakannya sampai saat itu. Kemudian dia teringat bahwa dia harus melanjutkan perjalanan, menuju ke puncak di depan itu, yaitu ke Pek-in-kok (Lembah Awan Putih) di pegunungan Ho-lan-san ini.
Sebelum melanjutkan langkahnya dia menoleh ke timur, hingga nampaklah sungai Kuning (Huang-ho) yang panjang laksana seekor ular naga. Nampak pula genteng rumah-rumah pedesaan sepanjang lereng dan kaki bukit, juga samar-samar nampak pula kota Yin-coan di tepi sungai itu.
Kembali dia menghela napas panjang. Baru dua tahun lebih dia meninggalkan tempat ini, dan waktu yang hampir seribu hari lamanya itu kini terasa seperti baru kemarin dulu saja. Alangkah cepatnya sang waktu terbang berlalu kalau tidak diperhatikan. Teringat dia akan nasehat mendiang ibunya tentang waktu.
"Waktu lewat dengan cepatnya, maka hidup adalah waktu yang cepat berlalu. Karena itu isilah waktu yang singkat itu dengan perbuatan yang bermanfaat bagi manusia dan dunia, anakku.”
Kembali dia menghela napas panjang, lalu melanjutkan mendaki lereng menuju Lembah Awan Putih di depan. Kalau ada orang melihatnya pada waktu itu, dia tentu akan terkejut dan heran melihat ada orang dapat mendaki lereng sedemikian cepatnya. Nampaknya dia melangkah biasa saja, namun tubuhnya meluncur cepat ke depan seperti terbang! Sekali melangkah, tubuhnya sudah meluncur sampai dua tiga meter.
Karena pemuda itu mahir ilmu berlari cepat seperti terbang, sebelum malam datang dia sudah sampai di tempat yang dituju. Lembah Awan Putih! Tempat yang amat dikenalnya, pernah menjadi kampung halamannya selama bertahun-tahun. Dan kini dia berdiri di depan sebuah pondok yang reyot karena tidak terpelihara. Pondok itu dikepung tumbuhah-tumbuhan yang lebat, bahkan tumbuh-tumbuhan merayap sampai memenuhi gentengnya.
"Suhu (guru)...," pemuda itu mengeluh, hatinya kecewa karena keadaan pondok itu jelas menunjukkan bahwa gurunya tidak kembali ke pondok itu, bahwa dia tidak akan bertemu gurunya di tempat itu seperti yang diharapkannya semula.
Kini hatinya semakin yakin bahwa kekecewaan menjadi ekor dari keinginan dan harapan. Hanya dia yang tidak mempunyai keinginan dan harapan apa pun, akan bebas dari pada kekecewaan. Akan tetapi, mungkinkah manusia hidup tanpa keinginan dan harapan?
Dia meninggalkan pondok tanpa mencoba untuk membuka daun pintu yang sudah reyot itu. Dengan langkah bergegas dia pun menuju ke utara di mana dahulu jenazah dua orang gurunya yang lain dimakamkan. Dia ingin melihat kuburan itu sebelum gelap, dan untuk menghormati makam kedua orang gurunya, dalam perjalanan mendaki bukit tadi dia telah mengumpulkan banyak bunga, terutama mawar.
Dia tidak dapat meniru kebiasaan bangsa Han yang menghormati makam leluhur dengan upacara sembahyang dan penyuguhan korban berupa masakan-masakan dan makanan. Ibunya mengajarkan kepadanya bahwa yang wajib dipuja dan disembah hanyalah Tuhan Yang Maha Esa.
Dia berkunjung ke makam hanya untuk membuktikan bahwa dia masih selalu ingat akan kebaikan guru-gurunya, masih menghormati mereka meski pun telah tiada, dan perasaan sayang itu dinyatakan dengan penaburan bunga dan membersihkan makam, dan doa-doa yang disampaikan adalah doa permohonan kepada Tuhan agar roh kedua orang gurunya mendapat pengampunan dari Tuhan Yang Maha Pengampun.
Dia pun maklum bahwa sembahyang di depan makam dengan mengorbankan masakan-masakan itu pun mungkin memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menyatakan rasa kasih sayang mereka terhadap yang sudah meninggal. Namun hal itu dianggapnya berlebihan, karena pada akhirnya mereka yang menyuguhkan makanan itu yang akan menghabiskan makan itu sendiri. Sungguh merupakan bentuk prihatin yang amat aneh baginya, sangat bertentangan dengan perasaannya, oleh karena itu dia tidak sanggup menirunya.
Kini dia berdiri di depan dua buah makam itu dan dia terbelalak, wajahnya berubah pucat. Jelas nampak betapa dua buah makam itu telah dibongkar orang! Agaknya perbuatan itu belum lama dilakukan orang. Tanah yang digali itu masih baru. Dan kedua buah peti mati itu pun sudah terbuka!
Ia cepat menghampiri dan menjenguk isi peti. Tulang-tulang berserakan, akan tetapi yang sangat mengejutkan hatinya, kedua peti mati itu hanya berisi tulang-tulang saja, tidak ada tengkoraknya! Tengkorak kedua orang gurunya telah lenyap!
"Ya Allah, siapa yang melakukan perbuatan terkutuk ini? Kejam benar...," Dia berlutut dan menutupkan kembali kedua buah peti itu, akan tetapi tidak menimbunkan tanah kembali karena dia hendak mencari dahulu dua tengkorak suhu-nya untuk dikembalikan ke tempat semula, di dalam peti mereka. Akan tetapi ke mana dia harus mencari?
Malam mulai datang menyelimuti bumi. Ia teringat bahwa nanti malam bulan akan muncul dan melihat langit demikian terang, malam nanti pasti sangat cerah. Dia akan melakukan penyelidikan kalau bulan telah bersinar nanti. Dengan langkah gontai pemuda itu kembali ke pondok. Dalam keremangan cuaca senja tubuhnya nampak tinggi tegap dan gagah. Langkahnya gontai, tetapi lentur bagai langkah seekor harimau. Tubuhnya tegak dengan bahu yang bidang.
Di punggungnya terikat sebuah buntalan pakaian yang berbentuk agak panjang, tentu saja memudahkan orang menduga bahwa dalam buntalan itu terdapat pula sebatang pedang dengan sarungnya. Pakaiannya amat sederhana, dari kain tebal yang awet berwama biru, sepatu hitam, dan kepalanya tertutup sebuah caping lebar seperti yang biasa dipakai para petani di daerah Sin-kiang.
Kini dia sudah tiba di depan pondok. Dibukanya pintu itu, tetapi agak sukar karena macet. Ia mengerahkan sedikit tenaga dan daun pintu itu pun terbuka. Cuaca belum gelap benar sehingga dia masih dapat melihat keadaan dalam pondok. Wajahnya cerah. Ternyata keadaan di dalam pondok itu cukup bersih dan perabot rumah yang dahulu masih lengkap. Ada bangku, ada meja, bahkan lima buah dipan kayu di sana juga masih ada. Seolah baru ditinggal kemarin saja.
Dia menghampiri sudut di mana terdapat sebuah meja besar, dan ternyata di situ masih terdapat banyak lilin. Juga alat pembuat api masih ada. Segera dinyalakannya tiga batang lilin lalu diletakkan di atas meja di tengah ruangan. Kini cahaya tiga batang lilin besar itu cukup terang menyinari wajahnya ketika dia duduk termenung di atas bangku, menghadap lilin di atas meja setelah membersihkan debu dari bangku dan meja dengan sebuah sapu bulu ayam.
Dia seorang laki-laki yang masih muda. Dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun usianya. Kulit muka, leher dan tangannya gelap, akan tetapi tidak hitam sekali, seperti kulit petani yang setiap hari tertimpa cahaya matahari. Wajahnya tampan dan gagah. Dahinya lebar, alisnya hitam tebal berbentuk golok, matanya tidak sipit, lebar bersinar aneh. Hidungnya tinggi, agak besar, bersama mulutnya yang berbibir tebal membayangkan keteguhan hati. Dagunya juga berlekuk dan membayangkan watak keras. Muka itu bersih, tidak ditumbuhi jenggot dan kumis karena selalu dicukurnya. Wajah seorang pemuda yang jantan!
Namanya Sin Wan. Hanya Sin Wan begitu saja, tanpa nama keturunan karena mendiang ayahnya adalah seorang Uighur bernama Abdullah, dan ibu kandungnya seorang wanita cantik berbangsa Uighur pula, beragama lslam dan bernama Jubaedah. Ayah kandungnya terbunuh oleh seorang datuk sesat bernama Se Jit Kong yang berjuluk Si Tangan Api, seorang Kasak yang sakti dan jahat.
Pada waktu ayah kandungnya terbunuh, dia masih di dalam kandungan ibunya dan untuk menyelamatkan kandungannya itulah ibunya yang cantik jelita, rela diperisteri Si Tangan Api. Sesudah menjadi isteri datuk itu, Jubaedah disebut Ju Bi Ta. Agaknya Se Jit Kong yang berdarah campuran itu ingin mengangkat namanya dl dunia kang-ouw, karena itu dia menggunakan nama bangsa Han.
Se Jit Kong yang ingin sekali menonjolkan kesaktiannya telah melakukan perbuatan yang berlebihan. Tidak saja dia menantang dan mengalahkan banyak tokoh pendekar di dunia persilatan, juga dia bahkan mencuri banyak pusaka istana kaisar. Hal ini menggegerkan dunia kangouw dan para tokoh kangouw, juga kaisar sendiri, minta pertolongan Sam-sian, tiga orang datuk besar dunia persilatan untuk mencari Se Jit Kong dan merampas kembali pusaka-pusaka istana itu.
Sam-sian (Tiga Dewa) berhasil merampas kembali pusaka-pusaka itu, dan Se Jit Kong yang dikalahkan Sam-sian membunuh diri. Setelah Se Jit Kong tewas, barulah Jubaedah membuka rahasia kepada Sin Wan. Anak laki-laki yang sampai berusia sepuluh tahun menganggap Se Jit Kong sebagai ayah kandungnya itu baru tahu bahwa Se Jit Kong sama sekali bukan ayahnya, bahkan datuk ini adalah pembunuh ayah kandungnya! Dan setelah membuka rahasia ini, Jubaedah juga membunuh diri di depan mayat suaminya.
Semua kenangan ini terbayang lagi di dalam benak Sin Wan ketika dia duduk termenung memandangi api lilin. Sesudah Se Jit Kong dan ibu kandungnya tewas, dia menjadi yatim piatu dan menjadi murid Sam-sian yang terdiri dari tiga orang, yaitu Ciu Sian (Dewa Arak) Tong Kui, Kiam-sian (Dewa Pedang) Low Sun, dan Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih) Thio Ki. Ia diajak Sam-sian menyerahkan pusaka-pusaka kepada kaisar, dan ketika diberi hadiah, Kiam-sian memilih pedang tumpul yang kemudian diberikan kepada Sin Wan.
Dan di kota raja inilah Sam-sian mendapatkan murid baru, seorang anak perempuan yang bernama Lim Kui Siang, yatim piatu karena ayahnya yang bangsawan pengurus gudang pusaka dibunuh Se Jit Kong ketika datuk ini mencuri pusaka, sedangkan ibunya menyusul tidak lama kemudian akibat menderita ditinggal mati suaminya. Sam-sian merasa kasihan dan menerima Kui Siang menjadi murid mereka. Sin Wan menghela napas panjang ketika dia teringat akan semua itu.
Pada saat bertanding melawan Bi-coa Sianli (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In, seorang tokoh sesat wanita yang sangat lihai, Kiam-sian dan Pek-mau-sian tewas, dan wanita cantik itu terluka parah. Ciu Sian tidak membunuhnya dan membiarkannya pergi. Semenjak itu Ciu Sian menggembleng Sin Wan dan Kui Siang dengan ilmu simpanan, yang dirangkai oleh Sam-sian dan dinamakan Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa). Kemudian Ciu Sian menyuruh kedua orang muridnya turun gunung sesudah menyatakan keinginannya agar kedua orang murid dapat berjodoh.
"Sumoi (adik seperguruan)...” Sin Wan mengeluh ketika dia teringat kepada Kui Siang.
Mereka saling mencinta, tetapi tanpa disengaja gadis itu kemudian mengetahui bahwa dia adalah anak tiri dan juga murid mendiang Se Jit Kong, musuh besar gadis itu yang telah menghancurkan keluarganya. Kui Siang marah kemudian meninggalkannya, memutuskan hubungan di antara mereka. Kini gadis itu tentu sudah menjadi pengawal pribadi Pangeran Yung Lo di Peking, seperti yang ditawarkan oleh pangeran itu kepadanya. Dia telah kehilangan sumoi-nya, gadis dan wanita pertama yang dicintanya.
Dan dia kehilangan pula gurunya yang terakhir. Biar pun bukan guru resmi tetapi seorang yang sangat dihormati dan dikasihinya, yaitu Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki. Dia ditinggalkan kakek itu yang merasa tak senang pula mendengar bahwa dia adalah putera tiri mendiang Se Jit Kong yang amat jahat. Dia telah kehilangan segalanya dan dalam keadaan patah hati itu dia berkunjung ke lembah ini, Lembah Awan Putih, untuk mencari gurunya yang tinggal seorang, seorang di antara Sam-sian, yaitu Dewa Arak.
Semua pengalaman itu terbayang dalam ingatan Sin Wan, membuat dia termenung. Akan tetapi ketika kenangan itu sampai pada waktu dia berkunjung ke depan makam mendiang Kiam-sian dan Pek-mau-sian, dia segera sadar dari lamunannya. Kuburan kedua orang gurunya tercinta itu dibongkar orang, dan tengkorak mereka dicuri orang! Sekarang dia sadar sepenuhnya, telah meninggalkan dunia lamunannya. Seketika lenyap pula semua kedukaan yang tadi menggerogoti hati dan pikirannya.
Dan bagaikan cahaya terang yang mengusir kegelapan yang tadi menyelubungi batinnya, kini nampak jelas olehnya bahwa semua kesedihan, semua rasa duka hanya merupakan permainan dari pikirannya sendiri belaka.
Pikiran yang mengenang masa silam, kemudian menghubungkan dengan bayangan masa depan, menimbulkan kemuraman dari iba diri, dan muncullah rasa duka nestapa. Seolah-olah di dunia ini hanya dia seorang yang hidup menderita kedukaan. Duka timbul akibat kecewa, akibat iba diri, dan semua ini hanyalah ulah pikiran yang mengenang masa lalu.
Masa lampau telah lewat, telah mati! Demikian dia berbisik sambil mengepal tinju. Masa depan hanyalah bayangan! Yang penting sekarang, saat ini! Hidup adalah saat demi saat yang harus dihadapi dengan hati tabah, yang harus dihadapi dengan waspada, menempuh segala macam tantangan dan tantangan, berusaha sedapat mungkin untuk mengatasinya! Itulah hidup. Bukan membiarkan diri tenggelam ke dalam kenangan pahit masa silam dan bayangan menggelisahkan masa depan.
Hidup adalah perjuangan menghadapi setiap tantangan. Tidak lari dari kenyataan, akan tetapi menghadapi tantangan dan berusaha menanggulanginya, mengatasinya, itulah seni kehidupan! Didasari penyerahan kepada Yang Maha Kuasa, maka segala sesuatu dapat dihadapi dengan tabah. Segala hal hanya dapat terjadi atas kehendak Tuhan! Sesal dan duka tidak ada gunanya. Berusaha sedapat mungkin, akan tetapi menyerahkan keputusan terakhir kepada Allah Maha Kasih.
Sin Wan bangkit dari bangkunya, melangkah ke pintu depan. Dia membuka daun pintu dan angin berhembus masuk, memadamkan tiga batang lilin yang menyala di atas meja. Kegelapan karena padamnya lilin justru mempertajam cahaya bulan yang sudah muncul.
Sin Wan memasuki kembali pondok yang kini remang-remang, mengeluarkan sebatang pedang dari dalam buntalan pakaian yang tadi dia letakkan di atas meja dan mengikatkan sarung pedang di punggungnya. Pedang itu berupa pedang yang sarung dan gagangnya nampak butut dan jelek, walau pun bersih dan terpelihara. Sebatang pedang yang butut, dan kalau dihunus, orang akan mentertawakannya. Bukan hanya sarung dan gagangnya yang butut, akan tetapi pedang itu sendiri pun jelek dan sama sekali tidak meyakinkan.
Selain buatannya sangat kasar seperti pedang yang belum jadi, belum matang ditempa, juga pedang itu tidak tajam dan tdak runcing, melainkan tumpul. Pedang tumpul! Namun pemiliknya selalu merawatnya dengan hati-hati, menganggapnya sebagai sebuah pusaka yang ampuh, dan memang kenyataannya pedang yang tumpul dan buruk rupa itu adalah sebatang pusaka kuno yang ampuh. Sin Wan mendapatkannya dari mendiang Kiam-sian, sebagai hadiah dari Kaisar Thai Cu karena Sam-sian sudah berhasil merampas kembali pusaka-pusaka istana yang dicuri mendiang Se Jit Kong.
Sin Wan keluar dari pondok, menutupkan kembali daun pintu dan mulailah dia melakukan penyelidikan di bawah cahaya bulan yang cukup terang. Bulan sepotong di langit bersih mendatangkan cahaya kehijauan, redup namun cukup terang, terasa nyaman dan sejuk. Ujung daun-daun pohon nampak berseri bermandikan cahaya bulan. Dia segera menuju ke makam kedua orang gurunya. Begitu dia sampai di situ, tiba-tiba dia mendengar suara berciutan sambung menyambung. Suara apakah itu?
Dia menoleh ke kiri karena dari sanalah datangnya suara itu. Seperti suara burung yang mencuit-cuit nyaring. Akan tetapi, malam-malam begini mana ada burung berkicau? Dia sudah mengenal suara burung malam, burung hantu, dan tidak ada burung malam yang suaranya seperti itu.
"Cuiiiiiiit...! Cuiiiiittt...!"
Suara itu berulang terus sehingga Sin Wan cepat menghampiri ke arah suara. Suara itu semakin nyaring dan kini dia dapat menangkap suara desir angin pukulan yang dahsyat! Tentu saja dia terkejut dan heran. Dia kini menyelinap dan menyusup di antara pohon dan semak belukar, menghampiri tempat itu dan mengintai.
Apa yang dilihatnya membuat mata Sin Wan terbelalak. Di tempat itu banyak pohon roboh seperti ditebang sehingga pohon-pohon itu berserakan. Tempat itu kini terbuka seluas tak kurang dari lima belas tombak kali dua puluh tombak, dan tempat itu cukup terang karena sinar bulan tidak terhalang.
Pada sudut kanan dan kiri, terpisah antara sepuluh tombak, nampak tumpukan tengkorak! Ada puluhan buah tengkorak manusia besar dan kecil bertumpuk di sana, menjadi dua tumpukan bukit kecil dan di atas masing-masing bukit tengkorak itu duduk bersila seorang kakek dan seorang nenek!
Sungguh menyeramkan sekali keadaan di situ, walau pun kakek dan nenek itu wajahnya tidak menyeramkan. Bahkan kakek itu masih memiliki wajah yang tampan, dan nenek itu pun masih cantik walau pun usia mereka sudah sekitar enam puluh tahun. Tubuh kakek itu masih tinggi tegap dengan pakaian serba putih, dan nenek itu juga masih ramping dalam pakaian yang serba putih pula. Pakaian mereka terbuat dari sutera halus yang mengkilat tertimpa sinar bulan yang redup. Yang aneh dan menyeramkan hanyalah warna muka mereka. Kakek itu mukanya merah seperti dicat atau dilumuri darah, ada pun muka wanita itu putih pucat seperti muka mayat.
Sin Wan memandang dengan jantung berdebar-debar. Bukan keadaan kakek dan nenek itu yang membuat hatinya tegang, akan tetapi cara mereka berlatih. Dua orang itu duduk di atas tumpukan tengkorak, seperti patung. Akan tetapi kedua tangan mereka bergerak saling mendorong dari jarak jauh, dan dari dua telapak tangan mereka itulah keluar suara bercuitan tadi, dan ada angin pukulan menyambar dari tangan mereka. Kiranya mereka itu sedang latihan ilmu pukulan jarak jauh yang amat kuat dan ampuh.
Teringatlah Sin Wan akan keterangan Pek-sim Lo-kai (Pengemis Tua Hati Putih) Bu Lee Ki bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak tokoh yang amat lihai. Banyak terdapat para datuk yang memiliki ilmu kepandalan tinggi. Dan di antara mereka memang terdapat dua aliran, yaitu aliran putih dan aliran hitam, atau mereka yang menjadi pendekar dan mereka yang menjadi penjahat. Bahkan sifat-sifat ilmu mereka pun dapat dijadikan tanda apakah tokoh itu termasuk golongan sesat ataukan golongan pendekar.
Dia pernah mendengar pula tentang ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun, dan kalau melihat cara kedua orang ini berlatih, dia dapat menduga bahwa mereka ini tentulah termasuk golongan sesat yang lihai sekali!
Agaknya kedua orang itu telah menghentikan latihan saling pukul dari jarak jauh. Sin Wan menatap ke arah tengkorak-tengkorak itu, lantas teringatlah dia akan dua buah tengkorak mendiang Kiam-sian dan Pek-mau-sian. Kedua buah tengkorak itu telah lenyap. Siapa lagi kalau bukan dua manusia iblis ini yang sudah mengambilnya? Tentu dua buah tengkorak guru-gurunya berada di antara tumpukan tengkorak itu.
Hatinya terasa panas. Kurang ajar, pikirnya. Dua orang itu sungguh tidak mempunyai peri kemanusiaan. Mempelajari ilmu dengan cara merusak kuburan orang, bahkan mengambil tengkorak orang untuk dijadikan tempat latihan. Sungguh keji sekali!
Terdengar suara tawa yang sungguh menyeramkan. Tawa yang tinggi merdu, melengking nyaring seperti bukan suara manusia. Ketika Sin Wan memandang, dia bergidik. Wanita itulah yang bersuara karena dia menggerak-gerakkan kepala dan pundaknya, akan tetapi anehnya, mulut dan muka yang pucat itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah muka itu tersembunyi di balik topeng.
"Hi-hi-hik-hik-hik, Ang-ko (kakak Merah), ternyata engkau tidak dapat melebihi aku dalam penggunaan ilmu Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)! Jangan coba-coba berkata bahwa engkau lebih unggul, Ang-ko!"
Kakek itu tidak tertawa, juga wajahnya yang merah darah itu sama sekali tidak bergerak, mirip seperti topeng. Mulutnya juga tidak bergerak ketika terdengar suaranya, "Huh, Pek-moi (adik Putih), kita sedang memperdalam ilmu untuk menghadapi musuh-musuh dan merebut kedudukan tertinggi di dunia persilatan, tidak perlu kita saling mengungguli. Kita maju bersama, hidup berdua dan mati bersama. Agaknya Toat-beng Tok-ciang yang kita latih sudah cukup dapat diandalkan, hanya ilmu kita Touw-kut-ci (Jari penembus tulang) yang belum memuaskan hatiku. Kita harus berlatih lagi dengan tekun."
Keduanya tidak nampak bergerak, akan tetapi tahu-tahu tubuh mereka melayang turun dari atas tumpukan tengkorak lantas dalam keadaan masih bersila mereka kini pindah ke atas tanah. Diam-diam Sin Wan terkejut. Kedua orang itu agaknya tidak hanya lihai dalam ilmu pukulan jarak jauh, tetapi juga sudah memiliki ginkang tingkat tinggi sehingga tubuh mereka mampu melayang dan berpindah tempat dalam keadaan duduk bersila!
Kini keduanya mengambil tengkorak satu demi satu kemudian melempar setiap tengkorak ke atas. Ketika tengkorak itu melayang turun, mereka menyambutnya dengan tusukan jari tangan mereka. Jari mana saja yang mereka pergunakan untuk menyambut, tentu dapat menembus tengkorak hingga seluruh lima jari tangan digunakan semua. Sesudah tangan kanan, lalu latihan itu diganti dengan tangan kiri. Kedua orang itu seperti sedang berlomba dan ternyata keduanya sama tangkas dan sama kuat.
Sekarang mengertilah Sin Wan kenapa tengkorak-tengkorak itu berlubang-lubang. Kiranya dipergunakan untuk latihan ilmu menotok dengan jari yang sangat lihai. Dia mengerutkan alisnya, membayangkan betapa tengkorak dua orang gurunya juga telah dijadikan bulan-bulanan latihan jari tangan itu. Sungguh kasihan sekali, sudah mati masih diganggu oleh golongan sesat!
Tiba-tiba terdengar wanita itu mengeluarkan pekik aneh, dan sebuah tengkorak yang tadi disambut tusukan jari tangannya, tidak tertembus lalu menggelinding di dekat kakinya.
"Huh, engkau gagal, Pek-moi? Sungguh memalukan sekali!" kakek itu menegur ketika dia melihat rekannya gagal menembus tengkorak itu dengan jari tangannya.
Wanita itu memungut tengkorak tadi dengan tangan kirinya, lantas diperiksanya dengan teliti. "Heei, Ang-ko. Tengkorak ini belum ada lubangnya, berarti masih baru. Dan keadaannya sungguh berbeda dengan tengkorak biasa. Keras bukan main sehingga tidak tertembus jari tanganku!"
“Masih baru? Hemm, dari mana kita memperoleh tengkorak paling akhir?" tanya Ang Bin Moko (Iblis Muka Merah) sambil menyambut tengkorak yang dilemparkan kepadanya oleh Pek Bin Moli (Iblis Betina Muka Putih).
"Bukankah dari dua buah makam di Lembah Awan Putih sebelah itu? Baru tiga hari kita membongkar makam dan mengambil tengkorak dari sana.
"Huh, benar! Aku ingat sekarang. Ada dua buah tengkorak yang kita ambil. Coba carilah yang sebuah lagi, Pek-moi!"
Pek Bin Moli cepat mencari tengkorak kedua di antara tumpukan tengkorak itu. Tidak sulit menemukannya karena tengkorak baru ini belum berlubang seperti tengkorak-tengkorak lainnya.
“Ini dia! Wah, yang ini juga keras bukan kepalang dan bentuknya agak aneh, menonjol ke belakang!" teriak wanita itu tanpa menggerakkan bibir.
Sin Wan yang mengintai, mendengarkan dengan jantung berdebar. Tidak salah lagi! Dua tengkorak yang mereka anggap aneh dan keras itu pasti tengkorak kedua orang gurunya, dan tengkorak yang bagian belakangnya menonjol pastilah tengkorak mendiang Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih). Ia melihat betapa kakek dan nenek itu berulang-ulang mengerahkan tenaga dan mencoba untuk melubangi tengkorak itu dengan jari-jari tangan mereka, akan tetapi agaknya usaha mereka sia-sia belaka.
"Aihh, Ang-ko, kenapa kita tidak dapat melubangi tengkorak-tengkorak ini? Apakah latihan kita selama ini kurang berhasil?" nenek itu berseru, suaranya mengandung kekecewaan.
"Tidak, Pek-moi. Buktinya, tengkorak yang lain dengan mudah.dapat kita tembusi dengan jari-jari tangan kita. Dua buah tengkorak ini memang istimewa. Aku bisa menduga bahwa dua buah tengkorak ini tentu milik dua orang yang sakti, dan latihan tenaga sakti sudah meresap ke dalam tengkorak ini sehingga menjadi keras. Ini menguntungkan sekali, Pek-moi. Kita masak dua buah tengkorak ini sampai hancur menjadi bubur dan ini merupakan obat kuat yang luar biasa, dapat menguatkan tulang-tulang kita!"
Mendengar ini Sin Wan tak dapat menahan hatinya lagi. Tengkorak kedua orang gurunya sudah dicuri, kini malah akan dimasak dan dijadikan obat kuat! Dia pun keluar dari tempat persembunyiannya.
“Harap ji-wi (anda berdua) tidak mengganggu tengkorak orang-orang yang telah meninggal dunia."
Dua orang kakek dan nenek itu terkejut, lalu menoleh dan memandang kepada Sin Wan dengan sinar mata mengandung keheranan. Bagaimana mungkin ada seorang pemuda bersembunyi di dekat situ tetapi mereka sampai tidak mengetahuinya? Dari kenyataan ini saja mereka berdua yang sudah amat berpengalaman dapat mengetahui bahwa pemuda itu bukan orang lemah. Bagaimana pun juga, mereka berdua menjadi marah.
"Hei, orang muda! Siapakah engkau berani lancang menganggu kami?!"
"Ang-ko, darahnya bisa kita pergunakan untuk menyempunakan Toat-beng Tok-ciang kita dan tengkoraknya yang masih basah bisa kita pergunakan pula untuk memperkuat Touw-kut-ci kita!" terdengar nenek itu melengking.
Sin Wan menjura kepada dua orang yang masih bersila di dekat tumpukan tengkorak dan terpisah cukup jauh itu. "Harap ji-wi locianpwe (dua orang tua gagah) suka memaafkan. Saya bukan datang mengganggu, melainkan hendak mohon agar jiwi mengembalikan dua buah tengkorak mendiang guru-guru saya itu. Kalau ji-wi mengembalikannya supaya saya bisa mengubumya kembali, maka saya akan melupakan bahwa ji-wi pernah membongkar makam mereka dan mengambil tengkorak mereka."
Kakek dan nenek itu bertukar pandang, kemudian si nenek mengeluarkan suara tawanya yang menyeramkan. "Hi-hi-hi-hik-hik, Ang-ko, dia minta dua buah tengkorak ini. Mengapa tidak kita berikan kepadanya?"
"Huh, engkau menghendaki tengkorak-tengkorak ini, orang muda? Nah, terimalah ini dan mampuslah engkau!" Kakek itu melontarkan tengkorak di tangannya. Dua buah tengkorak itu menyambar bagaikan peluru meriam saja ke arah Sin Wan dari kanan kiri! Terdengar suara bersiut nyaring ketika dua buah tengkorak itu melayang.
Dari luncuran dua buah tengkorak itu, Sin Wan dapat menilai bahwa tenaga luncuran itu dahsyat bukan main. Jika dia mengelak atau menangkis, mungkin tengkorak-tengkorak itu akan hilang atau rusak, dan kalau dia menyambut dengan tangan, mungkin dia tidak akan mampu menahan tenaga luncuran dari kanan kiri yang luar biasa dahsyatnya itu. Dia bisa berpikir cepat dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, berjungkir balik dan dengan tubuh di atas, kedua tangannya menyambut dua buah tengkorak yang meluncur ke arahnya tadi.
Seperti sudah diduganya, tenaga luncuran itu kuat bukan main sehingga meski pun kedua tangannya mampu menangkap tengkorak-tengkorak itu, namun tenaga luncuran membuat tubuhnya terpental ke atas! Sin Wan memang sudah memperhitungkan hal ini. Dia membiarkan tubuhnya terpental ke atas, lantas membuat gerakan jungkir balik untuk mematahkan tenaga luncuran itu, kemudian dengan tenang dia melayang turun di tempat semula. Dengan sikap tenang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, dia lalu mengeluarkan sapu tangan, mengikat kedua tengkorak itu dan menalikannya tergantung pada lehernya. Kini dua buah tengkorak itu tergantung di depan dada.
Ang Bin Moko dan Pek Bin Moli terbelalak. Tadi mereka memang sudah menduga bahwa pemuda itu memiliki kepandaian pula, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa dia selihai itu. Mereka tadi sudah yakin bahwa sambitan tengkorak itu akan membuat pemuda itu tewas!
Melihat pemuda itu sama sekali tidak tewas bahkan dapat menerima dua buah tengkorak itu, Ang Bin Moko menjadi penasaran dan marah sekali. Dia cepat menggerakkan kedua tangannya lantas terdengar bunyi bercuitan. Itulah ilmu pukulan jarak jauh Toat-beng Tok-ciang yang tadi dilatih bersama Pek Bin Moli. Melihat ini, Pek Bin Moli seperti diingatkan saja, maka dari tempat dia duduk bersila nenek ini pun telah menggerakkan kedua tangan dan memukul dengan ilmu itu.
Ada baiknya bahwa tadi Sin Wan sudah melihat kedua orang itu berlatih ilmu Toat-beng Tok-ciang, maka dia pun tidak berani memendang rendah. Dia segera mengelak dengan geseran kaki yang membuat dia melangkah ke sana sini berputar-putar, kadang meloncat dan gerakannya amat cepat seperti burung saja.
Dia telah menggunakan langkah ajaib yang terkandung dalam ilmunya Sam-sian (Tangan Sakti Tiga Dewa), yang bersumber dari ilmu Hui-niauw-soan (Langkah Berputar Burung Terbang). Dengan gerakannya yang aneh dan gesit ini, semua sambaran hawa pukulan Toat-beng Tok-ciang luput dari sasaran, apa lagi kedua tangan pemuda itu juga mengebut ke sana sini dengan pukulan yang bersumber dari Ciu-san Pek-ciang (Tangan Putih Dewa Arak) sehingga dari kedua tangannya itu menyambar tenaga sakti yang beruap putih dan dapat menangkis hawa pukulan yang menyambar terlalu dekat.
Kakek dan nenek iblis itu terkejut sekali. Sungguh sulit dipercaya betapa seorang pemuda mampu menghindarkan diri dari serangan mereka yang menggunakan ilmu baru mereka itu! Saking kaget, heran dan penasaran, kini keduanya tidak lagi memandang rendah dan seperti tadi, tanpa terlihat menggerakkan tubuh, keduanya telah melayang dan tahu-tahu. mereka berdua sudah berdiri berhadapan dengan Sin Wan, hanya dalam jarak tiga meter!
Sin Wan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangannya ke depan dada, "Banyak terima kasih atas petunjuk ji-wi locianpwe. Dan sekarang perkenankan saya untuk pergi mengubur kembali peti mati kedua orang guru saya."
"Tidak begitu mudah, orang muda. Katakan, siapa dua orang gurumu itu!" kata kakek iblis muka merah.
"Mereka adalah mendiang suhu Kiam-sian dan mendiang suhu Pek-mau-sian," jawab Sin Wan sejujurnya.
Nenek iblis itu mengeluarkan teriakan melengking. "Iihhhhhh...!" Dia memandang Sin Wan penuh perhatian. "Dua di antara Sam-sian?"
"Benar, locianpwe."
"Huh! Pantas saja tengkorak mereka begitu keras. Jika demikian bukan hanya tengkorak mereka yang amat berguna, juga semua tulang mereka. Orang muda, kami memerlukan tengkorak dan tulang-tulang mereka. Berikan kepada kami maka kami akan mengampuni dan membiarkanmu pergi."
Sin Wan mengerutkan alisnya. "Ji-wi locianpwe sungguh keterlaluan. Apakah kesalahan kedua orang guruku sehingga sesudah mereka wafat dan menjadi tulang, jiwi masih ingin mengganggu mereka? Saya adalah murid mereka, sudah menjadi kewajiban saya untuk menjaga dan melindungi makam dan kehormatan mereka. Saya tidak akan menyerahkan dua buah tengkorak ini kepada ji-wi, juga tidak membolehkan mengambil tulang kerangka kedua orang suhu saya."
"Bocah sombong, agaknya engkau sudah bosan hidup!" teriak nenek itu dan dia langsung menerjang Sin Wan dengan sepasang tangan terbuka. Tangan kirinya mencengkeram ke arah dua buah tengkorak yang tergantung di dada Sin Wan, sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala...