PADA sore harinya, barulah mereka tiba di tepi Huang-ho dan Ang I Sian-li menyuruh Tek Hin memasukkan kereta ke dalam sebuah hutan di tepi sungai besar itu, mendaki sebuah bukit kecil penuh hutan belukar. Dan ternyata di puncak bukit itu, terlindung hutan yang lebat, terdapat sebuah bangunan besar yang nampaknya masih baru.
Bangunan itu dikelilingi tembok yang tinggi dan kereta itu memasuki pintu gerbang yang dijaga oleh beberapa orang yang nampaknya bengis dan kuat. Suami isteri itu oleh Ang I Sian-li diajak memasuki bangunan induk dan di ruangan tengah mereka melihat bahwa di situpun terdapat belasan orang laki-laki yang nampaknya kuat dan bengis.
Melihat munculnya Ang I Sian-li, semua orang cepat bangkit berdiri dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada. Ang I Sian-li menyambut penghormatan mereka dengan sikap angkuh, lalu bertanya,
“Apakah yang lain belum tiba?”
“Belum toa-nio. Hanya ada pembawa berita yang mengatakan bahwa rombongan dari Nan-cang akan datang besok, sedangkan yang dari kota raja mungkin besok lusa baru tiba.”
“Antar mereka ini ke kamar tamu nomor tiga yang sudah dipersiapkan,” kata Ang I Sian-li kepada anak buahnya, dan kepada suami isteri itu ia berkata, “Kalian tentu tidak akan begitu bodoh untuk mencoba melarikan diri, karena selain di sini ada aku, juga terdapat banyak anak buahku yang lihai. Kalau kalian tidak melawan dan tidak mencoba melarikan diri, kalian tidak akan diganggu.”
“Akan tetapi, mengapa kami ditahan di sini dan sampai berapa lama?” tanya Tek Hin memprotes.
“Sampai selesai urusan kami dengan Pek-liong dan Liong-li. Tunggu saja sampai besok lusa, sampai dua orang rekanku tiba. Kalau kalian tidak mencoba untuk lari, kalian akan diperlakukan sebagai tamu. Akan tetapi, kalau-kalian mencoba lari, aku terpaksa akan membelenggu kalian seperti dua orang tahanan!”
“Mari, silakan!” kata seorang tinggi kurus bermata juling kepada suami isteri itu.
Tek Hin dan Hong Ing saling pandang, maklum akan kebenaran ucapan Ang I Sian-li bahwa mencoba lari sama saja dengan mencari penyakit. Dari pada tinggal sebagai tawanan yang dibelenggu dan mungkin diganggu, lebih baik sebagai tamu. Soal melarikan diri, mereka akan bersabar dan mencari kesempatan sebaiknya. Kalau mereka ditahan sebagai tamu, berarti mereka mempunyai harapan dan kemungkinan meloloskan diri, sebaliknya kalau dibelenggu dan dikeram dalam kamar tawanan, sulitlah untuk lolos.
Dengan taat mereka lalu mengikuti si kurus juling itu menuju ke lorong masuk ke belakang dan ternyata sudah ada sebuah kamar yang dipersiapkan untuk mereka. Kamar itu cukup menyenangkan, berikut kamar mandi lengkap, ukurannyapun cukup besar, dan bersih. Tempat tidur, meja kursi, semua lengkap. Hanya dua buah jendelanya dipasangi ruji baja yang amat kuat, temboknya tebal, dan di depan pintu kamar itu selalu ada beberapa orang yang berjaga dengan senjata di tangan.
Andaikata mereka berdua dapat melumpuhkan beberapa orang penjaga di depan kamar itu, di sana masih terdapat banyak sekali anak buah, dan terutama terdapat Ang I Sian-li yang amat lihai. Tidak banyak kesempatan untuk lolos dan mereka harus hati-hati. Betapapun juga, suami isteri itu merasa lega bahwa mereka ditahan dalam satu kamar, tidak dipisahkan. Maka, mereka saling menghibur dan bersabar hati, tetap waspada.
Di kota Han-cang dekat Telaga Po-yang, nama kakak beradik Kam amat terkenal dan dihormati orang. Sang Kakak bernama Kam Sun Ting, berusia sekitar dua puluh lima tahun, seorang perjaka yang bertubuh tegap dan kokoh kuat, tubuhnya ramping namun berotot dan wajahnya tampan. Adapun adiknya, seorang gadis bernama Kam Cian Li, berusia sekitar dua puluh dua tahun, juga bertubuh ramping padat dan wajahnya cantik manis.
Kakak beradik ini memiliki bentuk tubuh yang mengagumkan, dengan tangan dan kaki panjang dan sempurna lekuk lengkungnya. Hal ini tidak mengherankan karena sejak kecil, kakak beradik ini terkenal sebagai ahli-ahli renang yang pandai, ahli-ahli penyelam yang jarang ditemukan tandingannya karena mereka pandai bermain di air seperti ikan-ikan saja.
Yang membuat mereka dikenal orang bukan hanya karena keahlian mereka menyelam, bukan pula ilmu silat mereka yang hanya lumayan saja, tidak dapat dibilang ahli, bukan pula hanya karena mereka itu tampan dan cantik dan keduanya gagah. Akan tetapi karena mereka itu kaya raya dan dermawan!
Keduanya belum menikah, tinggal di sebuah rumah yang tidak sangat besar namun mungil dan indah, dikelilingi taman bunga yang terawat amat indahnya. Rumah dan taman mereka menjadi kebanggaan penduduk kota Nan-cang! Dan kalau kakak beradik ini rindu akan air, mereka memiliki sebuah perahu yang sedang besarnya, yang berada di Telaga Po-yang, dirawat seorang nelayan.
Kalau mereka berperahu, mengenakan pakaian penyelam yang ketat, lalu keduanya bermain-main di air telaga, banyak orang menonton dengan kagum. Banyak pemuda tergila-gila kalau melihat Cian Li berpakaian penyelam yang mencetak bentuk tubuhnya yang membuat setiap pemuda terpesona, juga banyak gadis yang sampai mimpi merindukan Sun Ting yang gagah dan tampan.
Namun sungguh aneh, biarpun usia pemuda itu sudah dua puluh lima tahun dan adiknya sudah dua puluh dua tahun, mereka masih juga belum berumah tangga dan selalu menolak halus kalau ada orang memperlihatkan sikap tertarik dan mencinta. Bahkan Cian Li sudah menolak banyak pinangan secara halus. Kakak beradik ini hidup berdua karena sudah yatim piatu.
Tidak begitu mengherankan kalau Sun Ting dan Cian Li belum juga mau menikah karena keduanya masih belum sembuh dari luka karena cinta gagal. Sun Ting mencinta Hek-liong-li, sedangkan Cian Li mencinta Pek-liong-eng. Cinta mereka mati-matian, bahkan mereka telah menumpahkan rasa cinta dengan penyerahan diri, namun mereka hanya dapat memiliki tubuh kedua pendekar itu selama beberapa hari saja, namun tidak dapat memiliki hati mereka!
Pek-liong dan Liong-li tidak mau jatuh cinta dan diikat pernikahan. Kakak beradik itu pernah membantu kedua pendekar itu memperebutkan harta karun dan setelah berhasil, sepasang pendekar itu menyerahkan sebagian dari harta karun kepada mereka, akan tetapi meninggalkan mereka yang menjadi patah hati.
Sun Ting dan Cian Li menjadi dua saudara yang kaya raya akan tetapi dengan hati merana karena cinta gagal! Dan karena mereka berdua tidak atau belum dapat melupakan Pek-liong dan Liong-li, maka keduanya tak pernah memperhatikan gadis dan pemuda lain. Keadaan itulah yang membuat kakak beradik ini dikenal oleh semua orang di Nan-cang, terutama mereka yang tinggal di sekitar Telaga Po-yang.
Pada suatu senja yang indah, kakak beradik ini masih berada di atas perahu mereka setelah berenang dan bermain-main. Telaga itu sudah sunyi dan mereka berada di bagian selatan, jauh keramaian. Senja itu angin berembus dengan kencangnya. Mereka duduk di kepala perahu sambil menikmati langit di barat yang bagaikan terbakar oleh sinar matahari senja, membentuk istana-istana kelabu yang serba indah, ada pula bentuk binatang-binatang ajaib yang seolah berenang di laut api.
Tiba-tiba Cian Li yang kebetulan menoleh ke utara, terbelalak dan ia memegang lengan kakaknya dan berbisik. “Lihat, apa itu?”
Sun Ting menengok dan diapun terbelalak, bahkan mereka menggosok kedua mata seolah tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Apakah ada satu di antara mahluk ajaib dari angkasa di timur itu turun ke atas permukaan air telaga? Mereka melihat sesosok tubuh meluncur di atas air, seperti bersayap dan didorong angin yang datang dari utara! Kini makin nampak jelas bahwa yang meluncur di atas permukaan air itu adalah seorang manusia!
Mungkinkah itu? Bagaimana mungkin ada manusia berlari atau meluncur di atas air begitu saja, dengan jubah dikembangkan di kanan kiri tubuhnya, menggembung tertiup angin dari belakang?
Akan tetapi setelah kini dekat terpisah beberapa meter, mereka berdua yakin bahwa yang meluncur di atas air menghampiri mereka itu memang seorang manusia! Seorang pria yang usianya sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya jangkung kurus dan kelihatan lemah, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang sasterawan, akan tetapi dilengkapi jubah yang lebar dan tebal, yang dipergunakan sebagai layar.
Kedua kakinya yang bersepatu kain itu ternyata menginjak dua potong papan kayu tebal yang ujungnya runcing seperti bentuk perahu. Itulah sebabnya mengapa dia dapat mengambang dan meluncur karena jubahnya menjadi layar yang tertiup angin.
Biarpun demikian, selama hidupnya kakak beradik yang ahli bermain di air ini belum pernah melihat ada orang yang mampu berbuat seperti itu! Kalau orang ini tidak memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat, tidak mungkin dia dapat bertahan meluncur seperti itu.
“Selamat sore, orang-orang muda! Apakah kalian yang bernama Kam Sun Ting dan Kam Cian Li dari Nan-cang?” Suara pria itu lembut dan sopan, juga wajahnya yang masih nampak tampan halus itu tersenyum ramah.
Kedua orang kakak beradik itu mengangguk membenarkan, saking heran dan kagumnya, mereka sampai tidak mampu mengeluarkan suara, hanya nengangguk.
“Bagus sekali!” Pria itu berseru gembira. “Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku. Bolehkah aku naik perahu kalian? Aku sengaja mencari kalian, diutus oleh sahabat-sahabatku, Pek-liong dan Hek-liong-li.”
Mendengar disebutnya nama dua orang pendekar itu dan orang itu mengaku sebagai sahabat dan utusan, tentu saja kakak beradik itu merasa girang bukan main.
“Silakan, Locianpwe (orang tua gagah), silakan naik ke perahu kami!” kata Sun Ting.
Kini kakak beradik itu melihat bukti dugaan mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang locianpwe yang sakti. Pria itu seperti seekor burung bangau saja, meloncat dan melayang naik ke atas perahu, kedua kakinya meninggalkan dua potong papan yang tadi dipergunakan untuk meluncur dan ketika kedua kakinya hinggap di atas perahu, perahu itu sedikitpun tidak terguncang!
Begitu tiba di atas perahu, orang itu berkata, “Orang muda, cepat kau layarkan perahumu ke barat. Pek-liong-eng dan Hek-liong-li mengutusku untuk menjemput kalian dan agar kalian secepatnya menemui mereka.”
“Di manakah tai-hiap dan li-hiap itu, locianpwe?” tanya Kam Cian Li, hatinya tegang karena akan bertemu dengan Pek-liong, pria yang selalu dipuja di dalam hatinya.
Pria itu menghela napas panjang, mengeluarkan sebuah kipas dari saku jubahnya dan mengipas tubuhnya dengan lagak seorang sastrawan, lalu berkata, “Mereka berpesan agar aku tidak boleh memberitahukan di mana mereka berada. Yang penting, mereka terancam bahaya dan hanya kalian berdua dengan kepandaian kalian dalam air yang dapat menolong dan menyelamatkan mereka. Cepatlah layarkan perahu ke barat, aku lelah sekali dan ingin beristirahat dan tidur. Kecuali kalau kalian tidak ingin menolong mereka, terpaksa aku akan pergi lagi.”
“Tentu saja kami suka sekali menolong mereka, locianpwe!” kata Sun Ting cepat-cepat dan diapun sudah mengatur layar dan kini perahu mulai meluncur ke arah barat.
Pria itu sudah merebahkan dirinya di tengah perahu dan sebentar saja dia sudah tidur mendengkur! Agaknya dia memang lelah sekali sehingga kakak beradik itu tidak berani dan tidak tega mengganggunya. Mereka mengatur layar dan kemudi perahu. Angin kencang membuat perahu itu meluncur cepat ke arah barat.
Akan tetapi, walaupun kakak beradik itu, selalu memandang ke barat, kini mereka tidak melihat lagi keindahan langit senja di barat karena pikiran mereka penuh dengan bayangan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li dan hati mereka dicekam kekhawatiran. Ingin mereka cepat-cepat dapat bertemu dengan kedua orang pendekar itu. Senja telah diselimuti kegelapan malam ketika perahu itu tiba di tepi pantai barat. Melihat pria itu masih tidur, Sun Ting mendekatinya dan dengan lirih dia menggugahnya.
“Locianpwe, kita sudah tiba di tepi pantai barat. Di mana mereka?”
Pria itu bergerak menggeliat dan bangkit duduk, memandang ke sekeliling. “Ehh? Sudah gelap? Sudah tiba di tepi pantai barat?”
“Benar, locianpwe,” kata Cian Li. “Di mana Pek-liong-eng?”
“Nanti dulu, mereka bilang akan menjemput kita dengan kereta di sini. Nah, itu di sana kukira keretanya,” kata pria itu dan pada saat itu terdengar ringkik kuda.
“Mari, keretanya di sana. Kita harus melanjutkan perjalanan naik kereta yang sudah disediakan.”
Dia meloncat ke darat. Kakak beradik itu saling pandang di keremangan malam yang hanya diterangi bintang, akan tetapi keraguan mereka dikalahkan keinginan bertemu dengan sepasang pendekar itu. Maka, merekapun mengikatkan tali perahu pada sebatang pohon, lalu merekapun mendarat dan mengikuti kakek itu.
Benar saja, tak jauh dari pantai terdapat sebuah kereta dengan dua ekor kudanya. Di bangku kusir duduk seorang laki-laki tinggi besar. Dia duduk seperti patung dan sama sekali tidak menengok, dan juga kakek sastrawan itu sama sekali tidak bertanya atau menegurnya.
“Marilah, kalian naik kereta ini bersamaku,” katanya mempersilakan kakak beradik itu naik ke kereta.
“Ke manakah kita akan pergi, locianpwe? Di mana mereka berdua itu?” tanya Sun Ting.
“Naik sajalah, nanti kalian akan mengetahuinya sendiri,” katanya.
Begitu mereka bertiga duduk di dalam kereta, kendaraan itu segera bergerak cepat. Dua buah lentera di kanan kiri kereta bergoyang-goyang dan kereta itu bergerak cepat.
Sun Ting mulai merasa curiga. “Locianpwe ini siapakah? Siapakah nama locianpwe dan apa yang yang terjadi dengan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li?”
“Benar, ceritakan kepada kami, locianpwe, agar hati kami tidak merasa ragu dan bimbang. Apa yang terjadi dengan mereka dan di mana mereka sekarang?” kata pula Cian Li.
“Kalian ingin mengetahui siapa aku? Orang menyebut namaku Kim Pit Siu-cai (Sastrawan Pena Emas),” kata pria itu dan di dalam suaranya halus itu kini terkandung kebanggaan hati.
Akan tetapi, melihat wajah kedua prang kakak beradik itu tertimpa sinar lentera itu tidak kelihatan kaget, bahkan agaknya tidak mengenal nama julukan itu, alis Kim Pit Siu-cai berkerut. Tentu saja kakak beradik itu tidak mengenal nama datuk besar ini. Mereka berdua bukanlah orang-orang kang-ouw dan kalau mereka berdua menjadi sahabat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, hal itu hanya kebetulan saja. Mereka bukan ahli-ahli silat dan bukan pendekar, tidak mengenal dunia kang-ouw dan para tokohnya, maka nama itupun sama sekali tidak mereka kenal.
“Tapi di mana kedua pendekar itu dan bahaya apakah yang mengancam mereka?” tanya Cian Li.
Melihat kenyataan bahwa dua orang kakak beradik itu tidak terkejut mendengar namanya, hal ini saja sudah membuat Kim Pit Siu-cai penasaran dan marah sekali. Kalau saja dia tidak membutuhkan dua orang kakak beradik ini, tentu akan dibunuhnya mereka seketika untuk memuaskan hatinya yang merasa penasaran. Tidak dikenal nama besarnya sama saja dengan suatu penghinaan baginya!
“Kalian tidak mengenal nama besar Kim Pit Siu-cai?” tanyanya, kini suaranya terdengar ketus. “Ketahuilah bahwa aku adalah seorang di antara Kiu Lo-mo!” Akan tetapi, kembali dia tertegun, penasaran dan wajahnya berubah merah sekali.
“Kiu Lo-mo? Siapakah mereka itu?” tanya Cian Li, juga Sun Ting memandang tak mengerti.
Kalau saja dia bukan sastrawan, tentu Kim Pit Siu-cai sudah menyumpah-nyumpah dan memaki-maki saking jengkelnya. Lalu dia teringat sesuatu dan membentak, “Coba katakan, apakah kalian tidak mengenal nama Siauw-bin Ciu-kwi?”
Mendengar disebutnya nama ini, kakak beradik itu terkejut. “Aih, iblis tua yang amat jahat itu?” tanya Cian Li.
Kini Kim Pit Siu-cai tertawa bergelak dan ketika dia tertawa, lenyaplah semua sikap halus dan sopannya. Di dalam suara tawanya terkandung kekejaman yang mengerikan. “Ha-ha-ha, kalian mengenal Siauw-bin Ciu-kwi, bukan? Ha-ha-ha-ha!”
“Tapi iblis tua yang jahat itu telah mati!” kata Sun Ting.
“Dia telah mati, akan tetapi aku belum! Dan aku adalah saudaranya, dan aku akan membalas dendam kematiannya!”
“Ahhh...!!” tentu saja kakak beradik itu terkejut bukan main, wajah mereka berubah pucat dan mata mereka terbelalak. “Kalau begitu, engkau bukan sahabat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!”
“Ha-ha-ha-ha, sahabat? Mereka adalah musuh-musuh besar yang harus kubunuh! Dan kalian akan menjadi umpan agar mereka berdua datang!”
“Tidak, aku tidak sudi!” teriak Cian Li dan kakaknya juga menjadi marah sekali.
Keduanya bergerak hendak melompat keluar dari dalam kereta. Akan tetapi, kipas di tangan Kim Pit Siu-cai bergerak lebih cepat lagi. Dia duduk berhadapan dengan kedua orang kakak beradik itu dan begitu kipasnya bergerak dua kali, Sun Ting dan Cian Li sudah menjadi lemas tak mampu bergerak lagi karena sudah tertotok ujung gagang kipas! Mereka hanya duduk lemas bersandar dan dengan mata terbelalak marah mereka hanya dapat memandang kepada Kim Pit Siu-cai yang tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, tanpa kalian pun kami akhirnya akan dapat membunuh Pek-liong dan Liong-li. Akan tetapi dengan kalian, akan lebih mudah memancing mereka. Kalau kalian tidak memberontak, kami akan menerima kalian sebagai tamu, akan tetapi kalau kalian memberontak, terpaksa kalian akan ku perlakukan sebagai tawanan. Nah, kalian tinggal pilih saja!”
Cepat sekali kipasnya bergerak dan kedua orang kakak beradik itu sudah dapat bergerak kembali. Cian Li mengepal tinju, akan tetapi kakaknya segera memegang lengannya dan menggeleng kepala.
“Adikku, kita bukan tandingannya, tidak perlu melawan,” katanya dan Cian Li mengerti. Keadaan bagi mereka akan semakin buruk kalau mereka melawan. Selain percuma saja melawan, mereka akan menjadi tawanan, tertotok, atau terbelenggu, dan siapa tahu, sebagai tawanan mereka akan diperlakukan lebih buruk lagi.
“Ha-ha-ha, itu baru bijaksana namanya. Nah, sekarang tidak perlu banyak bertanya lagi. Pendeknya, kalian akan menjadi tamu-tamu kami di suatu tempat, di lembah Huang-ho, dan jangan banyak membuat ulah.”
Kakak beradik itu tidak membuat ulah, bahkan tidak bicara lagi kepada penawan mereka. Mereka kini tidak mengkhawatirkan diri sendiri karena tahu bahwa mereka hanya ditawan sebagai umpan untuk memancing datangnya Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Mereka gelisah memikirkan keselamatan dua orang pendekar yang mereka cinta itu. Kakek yang menawan mereka itu demikian lihai, jahat dan kejam sekali nampaknya, walaupun sikapnya halus dan wajahnya masih tampan. Tampak mengerikan.
Biarpun mereka diam saja, namun di dalam hati kedua orang kakak beradik ini, mereka mengambil keputusan untuk membantu Liong-li dan Pek-liong sedapat mungkin, dan mereka hanya dapat menunggu. Di balik semua perasaan khawatir itu, juga terdapat keinginan tahu apakah sepasang pendekar itu akan dapat dipancing dengan umpan diri mereka, apakah sepasang pendekar itu masih memperdulikan mereka? Ada harap-harap cemas tersembunyi di lubuk hati mereka.
Kakak beradik ini memang tidak membuat usaha melarikan diri atau melawan lagi sampai perjalanan itu berakhir di lembah Huang-ho, di rumah gedung yang menjadi tempat tahanan Song Tek Hin dan isterinya, Su Hong Ing yang ditawan oleh Ang I Sian-li, seorang di antara Sembilan Iblis. Akan tetapi karena kamar mereka terpisah, mereka tidak saling mengetahui bahwa ada tawanan lain di samping mereka.
Seperti juga suami isteri itu, Kam Sun Ting dan Kam Cian Li mendapat kebebasan, namun mereka tidak melihat sedikitpun kesempatan untuk dapat melarikan diri dari tempat yang terjaga ketat dan di mana terdapat orang-orang yang memilliki ilmu kepandaian tinggi seperti Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li. Kakak beradik itu, seperti juga halnya suami isteri itu, hanya dapat menanti dengan hati tegang dan khawatir.
Dibandingkan tugas dua orang rekannya, yaitu Kim Pit Siu-cai yang menangkap kakak beradik Kam, dan Ang I Sian-li yang menangkap Song Tek Hin dan isterinya, tugas yang dilaksanakan Pek-bwe Coa-ong jauh lebih sukar. Sebagai orang tertua di antara tiga orang sisa Sembilan Iblis Tua itu, Pek-bwe Coa-ong si Raja Ular ini memang sengaja menangani tugas sukar ini sendiri. Tugasnya ialah menangkap Cian Hui dan isterinya yang bernama Cu Sui In.
Tentu saja tugas.ini tidak mudah dilaksanakan oleh karena Cian Hui bukan orang sembarangan. Dia adalah Cian Ciang-kun, seorang panglima muda yang gagah perkasa dan yang di kota raja sudah terkenal sebagai seorang penyelidik atau detektip yang sudah banyak berhasil membongkar berbagai kejahatan. Sebagai seorang panglima, tentu saja Cian Ciang-kun mempunyai kekuasaan atas sepasukan perajurit keamanan yang tangguh, dan dia sendiri memiliki ilmu silat yang lihai di samping kecerdikannya sebagai seorang pemberantas kejahatan.
Cian Hui yang sudah berusia empatpuluh tiga tahun itu masih nampak tegap dan gagah, wajahnya kejantanan, wajahnya berbentuk segi empat, dagunya berlekuk keras, alisnya hitam tebal sekali, hidungnya besar mancung dan mulutnya cerah, matanya lebar, suaranya juga tegas dan nyaring, tubuhnya tinggi tegap. Ilmu silatnya adalah ilmu silat keturunan keluarga Cian, senjatanya sebatang suling baja yang ampuh.
Dengan jenggot kumis terpelihara rapi, panglima ini memang nampak gagah berwibawa, membuat gentar hati para penjahat yang bertemu dengan dia. Selama tiga tahun sudah Cian Hui menikah dengan Cu Sui In, dan mereka mempunyai seorang anak perempuan berusia dua tahun yang diberi nama Cian Hong.
Kalau Cian Hui pandai ilmu silat keluarganya, isterinya yang murid Kun-lun-pai itu lebih lihai lagi! Cu Sui In seorang wanita cantik berusia dua puluh sembilan tahun, keturunan bangsawan pula. Ia seorang janda, empat tahun yang lalu suaminya tewas dibunuh penjahat yang dipimpin Kui-eng-cu, yang sesungguhnya adalah dua orang di antara Sembilan Iblis Tua, yaitu mendiang Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo.
Dalam memerangi gerombolan Kui-eng-cu (Si Bayangan Iblis) inilah ia bertemu dengan Cian Hui, dan bertemu pula dengan Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Kalau Cian Hui tergila-gila kepada Liong-li, Sui In tergila-gila kepada Pek-liong. Akan tetapi karena sepasang pendekar itu tidak mau terlibat dalam pernikahan, hubungan cinta itu gagal, dan kalau tadinya mereka saling menghibur, akhirnya Cian Hui dan Cu Sui In saling tertarik dan menikah. Dari pernikahan ini mereka mendapatkan seorang anak perempuan.
Suami isteri jagoan ini tinggal di sebuah gedung yang mungil di kota raja. Biarpun dia seorang panglima, namun Cian Ciang-kun tidak suka hidup gemerlapan dengan kemewahan. Rumahnya tidak terlalu besar seperti rumah para panglima lainnya, namun karena dia menyadari bahwa dia dimusuhi banyak penjahat dan tokoh sesat yang pernah diberantasnya, maka siang malam selalu ada saja pasukan khusus yang melakukan penjagaan di sekitar rumah Cian Ciang-kun untuk menjaga keselamatan, untuk mencegah agar tidak ada tokoh sesat yang datang membalas dendam kepada keluarga itu.
Sebetulnya, penjagaan ini dilakukan oleh Cian Hui semenjak isterinya melahirkan seorang anak. Sebelum itu, dia tidak pernah menyuruh anak buahnya melakukan penjagaan, karena dia merasa bahwa dia sendiri bersama isterinya cukup tangguh untuk membela diri kalau terjadi penyerangan. Akan tetapi setelah puterinya lahir, dia melakukan penjagaan itu demi keselamatan puterinya.
Itulah sebabnya mengapa Pek-bwe Coa-ong mengalami kesulitan untuk dapat menculik Cian Hui dan isterinya seperti yang telah direncanakannya bersama dua orang rekannya, yaitu Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li dalam usaha mereka membalas dendam kepada Pek-liong-eng dan Hek-liong-li.
Telah sepekan dia berada di kota raja, setiap hari melakukan pengintaian namun tak pernah mendapatkan kesempatan untuk melakukan usahanya itu. Dia tidak berani melakukan kekerasan terhadap Cian Hui dan isterinya di kota raja karena dimaklum betapa besar bahayanya kalau sampai para jagoan istana dan pasukan keamanan mengepung dan mengeroyoknya. Kalau dia hendak membunuh panglima itu dan isterinya, hal itu agaknya akan dapat dia lakukan lebih mudah, apalagi dia memang sengaja membawa Thai-san Ngo-kwi untuk membantunya.
Akan tetapi justeru kesukarannya terletak pada tidak harus melakukan pembunuhan. Kalau panglima dan isterinya itu dibunuh, hal itu sama sekali tidak ada gunanya lagi. Mereka harus dapat ditangkap hidup-hidup, dijadikan tawanan sebagai umpan agar Liong-li dan Pek-liong berdatangan,untuk menyelamatkan sahabat baik itu.
Pada suatu sore, Pek-bwe Coa-ong yang selalu melakukan pengintaian itu melihat Cian Hui dan isterinya keluar dari rumah mereka. Suami isteri itu agaknya hendak berjalan-jalan mencari hawa sejuk karena udara sore hari itu agak panas dan mereka tidak membawa pengawal.
Diam-diam Pek-bwe Coa-ong membayangi mereka dan melakukan persiapan karena dianggapnya bahwa hal itu merupakan kesempatan yang baik sekali. Atas isyaratnya Thai-kwi dan Ji-kwi ikut pula melakukan pengintaian dan kini dua orang di antara Thai-san Ngo-kwi itu ikut pula membayangi suami isteri yang sama sekali tidak mengira bahwa dalam suasana yang aman dan nyaman itu, mereka terancam bahaya.
Cian Hui dan Sui In memasuki sebuah taman di kota raja. Taman umum itu indah terpelihara baik-baik dan luas, terdapat banyak pohon dan rumpun bunga-bunga beraneka warna. Sore itu, banyak juga orang berjalan-jalan di taman umum itu karena hawa udara di situ lebih sejuk. Akan tetapi, karena taman itu luas, maka banyak bagian yang nampak sepi.
Ketika Cian Hui dan Sui In sedang berjalan perlahan-lahan di bagian yang sunyi dekat sebuah kolam ikan sambil bercakap-cakap, tiba-tiba muncul dua orang laki-laki yang berjalan dari depan. Tanpa curiga Cian Hui dan isterinya memandang kepada mereka. Seorang tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi pendek gendut, usia mereka empatpuluh tahun lebih.
Ketika dua orang itu telah datang dekat, tiba-tiba saja mereka menyerang suami isteri itu dengan pukulan yang dahsyat, tanpa memberitahu lebih dahulu. Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main. Namun, mereka adalah ahli-ahli silat kelas satu, maka cepat mereka dapat meloncat ke samping mengelak.
Si tinggi besar terus menyerang Cu Sui In, sedangkan yang pendek gendut menyerang Cian Hui. Tentu saja kedua orang itu adalah Thai-kwi dan Ji-kwi yang telah mendapat perintah dari Pek-bwe Coa-ong untuk melakukan penyerangan kepada suami isteri yang sejak tadi mereka bayangi. Karena mereka sebelumnya sudah melakukan penyelidikan dan tahu bahwa Sui In lebih lihai dari Cian Hui, maka Thai-kwi menyerang Sui In dan Ji-kwi yang menyerang Cian Hui.
“Heii, gilakah kalian tanpa sebab menyerang kami?” Cian Hui membentak dan kembali dia mengelak dari serangan si pendek gendut yang amat lihai itu.
“Cian Hui, engkau dan isterimu harus mati untuk menebus dosamu terhadap banyak saudara kami yang kautawan dan kaubunuh!” teriak Thai-kwi yang juga mendesak Sui In.
Mengertilah Cian hui bahwa dia berhadapan dengan golongan sesat yang memusuhinya untuk membalaskan para penjahat yang pernah ditangkapnya atau dibasminya, maka tanpa banyak cakap lagi diapun membalas serangan si pendek gendut. Akan tetapi, sekali ini dia terkejut karena si gendut ini benar-benar amat lihai.
Ketika si gendut itu menangkis pukulannya, dia merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat dan terasa nyeri. Ia menunjukkan bahwa si gendut ini memiliki tenaga yang amat kuat. Juga ketika dia melirik ke arah isterinya, dia melihat isterinya terdesak oleh si tinggi besar.
“Singg...!” Cian Hui mencabut pedangnya, akan tetapi pada saat itu, lawannya juga mengeluarkan sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Mereka kembali saling serang dan ternyata ilmu golok lawannya itupun hebat sehingga sebentar saja gulungan sinar pedangnya terhimpit. Tentu saja Cian Hui merasa khawatir sekali, terutama terhadap keselamatan isterinya.
Cu Sui In adalah murid Kun-lun-pai yang tangguh, bahkan tingkat ilmu silatnya lebih tinggi dibandingkan suaminya. Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding yang amat kuat. Apalagi ketika lawannya menggerak-gerakkan kedua lengan secara aneh dan nampak kedua lengan itu kemerah-merahan, tahulah Sui In bahwa lawannya memiliki ilmu yang aneh dan tangannya mengandung hawa panas seperti api.
Tidak seperti suaminya yang tak pernah ketinggalan membawa pedang, nyonya muda ini tidak membekal senjata, karena niatnya meninggalkan rumah hanya untuk jalan-jalan mencari hawa sejuk. Akan tetapi agaknya lawannya seorang yang tinggi hati karena melihat ia tidak bersenjata, lawannya juga tidak mencabut golok yang tergantung di punggungnya. Biarpun demikian, tetap saja dia mulai terdesak...
Bangunan itu dikelilingi tembok yang tinggi dan kereta itu memasuki pintu gerbang yang dijaga oleh beberapa orang yang nampaknya bengis dan kuat. Suami isteri itu oleh Ang I Sian-li diajak memasuki bangunan induk dan di ruangan tengah mereka melihat bahwa di situpun terdapat belasan orang laki-laki yang nampaknya kuat dan bengis.
Melihat munculnya Ang I Sian-li, semua orang cepat bangkit berdiri dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada. Ang I Sian-li menyambut penghormatan mereka dengan sikap angkuh, lalu bertanya,
“Apakah yang lain belum tiba?”
“Belum toa-nio. Hanya ada pembawa berita yang mengatakan bahwa rombongan dari Nan-cang akan datang besok, sedangkan yang dari kota raja mungkin besok lusa baru tiba.”
“Antar mereka ini ke kamar tamu nomor tiga yang sudah dipersiapkan,” kata Ang I Sian-li kepada anak buahnya, dan kepada suami isteri itu ia berkata, “Kalian tentu tidak akan begitu bodoh untuk mencoba melarikan diri, karena selain di sini ada aku, juga terdapat banyak anak buahku yang lihai. Kalau kalian tidak melawan dan tidak mencoba melarikan diri, kalian tidak akan diganggu.”
“Akan tetapi, mengapa kami ditahan di sini dan sampai berapa lama?” tanya Tek Hin memprotes.
“Sampai selesai urusan kami dengan Pek-liong dan Liong-li. Tunggu saja sampai besok lusa, sampai dua orang rekanku tiba. Kalau kalian tidak mencoba untuk lari, kalian akan diperlakukan sebagai tamu. Akan tetapi, kalau-kalian mencoba lari, aku terpaksa akan membelenggu kalian seperti dua orang tahanan!”
“Mari, silakan!” kata seorang tinggi kurus bermata juling kepada suami isteri itu.
Tek Hin dan Hong Ing saling pandang, maklum akan kebenaran ucapan Ang I Sian-li bahwa mencoba lari sama saja dengan mencari penyakit. Dari pada tinggal sebagai tawanan yang dibelenggu dan mungkin diganggu, lebih baik sebagai tamu. Soal melarikan diri, mereka akan bersabar dan mencari kesempatan sebaiknya. Kalau mereka ditahan sebagai tamu, berarti mereka mempunyai harapan dan kemungkinan meloloskan diri, sebaliknya kalau dibelenggu dan dikeram dalam kamar tawanan, sulitlah untuk lolos.
Dengan taat mereka lalu mengikuti si kurus juling itu menuju ke lorong masuk ke belakang dan ternyata sudah ada sebuah kamar yang dipersiapkan untuk mereka. Kamar itu cukup menyenangkan, berikut kamar mandi lengkap, ukurannyapun cukup besar, dan bersih. Tempat tidur, meja kursi, semua lengkap. Hanya dua buah jendelanya dipasangi ruji baja yang amat kuat, temboknya tebal, dan di depan pintu kamar itu selalu ada beberapa orang yang berjaga dengan senjata di tangan.
Andaikata mereka berdua dapat melumpuhkan beberapa orang penjaga di depan kamar itu, di sana masih terdapat banyak sekali anak buah, dan terutama terdapat Ang I Sian-li yang amat lihai. Tidak banyak kesempatan untuk lolos dan mereka harus hati-hati. Betapapun juga, suami isteri itu merasa lega bahwa mereka ditahan dalam satu kamar, tidak dipisahkan. Maka, mereka saling menghibur dan bersabar hati, tetap waspada.
********************
Di kota Han-cang dekat Telaga Po-yang, nama kakak beradik Kam amat terkenal dan dihormati orang. Sang Kakak bernama Kam Sun Ting, berusia sekitar dua puluh lima tahun, seorang perjaka yang bertubuh tegap dan kokoh kuat, tubuhnya ramping namun berotot dan wajahnya tampan. Adapun adiknya, seorang gadis bernama Kam Cian Li, berusia sekitar dua puluh dua tahun, juga bertubuh ramping padat dan wajahnya cantik manis.
Kakak beradik ini memiliki bentuk tubuh yang mengagumkan, dengan tangan dan kaki panjang dan sempurna lekuk lengkungnya. Hal ini tidak mengherankan karena sejak kecil, kakak beradik ini terkenal sebagai ahli-ahli renang yang pandai, ahli-ahli penyelam yang jarang ditemukan tandingannya karena mereka pandai bermain di air seperti ikan-ikan saja.
Yang membuat mereka dikenal orang bukan hanya karena keahlian mereka menyelam, bukan pula ilmu silat mereka yang hanya lumayan saja, tidak dapat dibilang ahli, bukan pula hanya karena mereka itu tampan dan cantik dan keduanya gagah. Akan tetapi karena mereka itu kaya raya dan dermawan!
Keduanya belum menikah, tinggal di sebuah rumah yang tidak sangat besar namun mungil dan indah, dikelilingi taman bunga yang terawat amat indahnya. Rumah dan taman mereka menjadi kebanggaan penduduk kota Nan-cang! Dan kalau kakak beradik ini rindu akan air, mereka memiliki sebuah perahu yang sedang besarnya, yang berada di Telaga Po-yang, dirawat seorang nelayan.
Kalau mereka berperahu, mengenakan pakaian penyelam yang ketat, lalu keduanya bermain-main di air telaga, banyak orang menonton dengan kagum. Banyak pemuda tergila-gila kalau melihat Cian Li berpakaian penyelam yang mencetak bentuk tubuhnya yang membuat setiap pemuda terpesona, juga banyak gadis yang sampai mimpi merindukan Sun Ting yang gagah dan tampan.
Namun sungguh aneh, biarpun usia pemuda itu sudah dua puluh lima tahun dan adiknya sudah dua puluh dua tahun, mereka masih juga belum berumah tangga dan selalu menolak halus kalau ada orang memperlihatkan sikap tertarik dan mencinta. Bahkan Cian Li sudah menolak banyak pinangan secara halus. Kakak beradik ini hidup berdua karena sudah yatim piatu.
Tidak begitu mengherankan kalau Sun Ting dan Cian Li belum juga mau menikah karena keduanya masih belum sembuh dari luka karena cinta gagal. Sun Ting mencinta Hek-liong-li, sedangkan Cian Li mencinta Pek-liong-eng. Cinta mereka mati-matian, bahkan mereka telah menumpahkan rasa cinta dengan penyerahan diri, namun mereka hanya dapat memiliki tubuh kedua pendekar itu selama beberapa hari saja, namun tidak dapat memiliki hati mereka!
Pek-liong dan Liong-li tidak mau jatuh cinta dan diikat pernikahan. Kakak beradik itu pernah membantu kedua pendekar itu memperebutkan harta karun dan setelah berhasil, sepasang pendekar itu menyerahkan sebagian dari harta karun kepada mereka, akan tetapi meninggalkan mereka yang menjadi patah hati.
Sun Ting dan Cian Li menjadi dua saudara yang kaya raya akan tetapi dengan hati merana karena cinta gagal! Dan karena mereka berdua tidak atau belum dapat melupakan Pek-liong dan Liong-li, maka keduanya tak pernah memperhatikan gadis dan pemuda lain. Keadaan itulah yang membuat kakak beradik ini dikenal oleh semua orang di Nan-cang, terutama mereka yang tinggal di sekitar Telaga Po-yang.
Pada suatu senja yang indah, kakak beradik ini masih berada di atas perahu mereka setelah berenang dan bermain-main. Telaga itu sudah sunyi dan mereka berada di bagian selatan, jauh keramaian. Senja itu angin berembus dengan kencangnya. Mereka duduk di kepala perahu sambil menikmati langit di barat yang bagaikan terbakar oleh sinar matahari senja, membentuk istana-istana kelabu yang serba indah, ada pula bentuk binatang-binatang ajaib yang seolah berenang di laut api.
Tiba-tiba Cian Li yang kebetulan menoleh ke utara, terbelalak dan ia memegang lengan kakaknya dan berbisik. “Lihat, apa itu?”
Sun Ting menengok dan diapun terbelalak, bahkan mereka menggosok kedua mata seolah tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Apakah ada satu di antara mahluk ajaib dari angkasa di timur itu turun ke atas permukaan air telaga? Mereka melihat sesosok tubuh meluncur di atas air, seperti bersayap dan didorong angin yang datang dari utara! Kini makin nampak jelas bahwa yang meluncur di atas permukaan air itu adalah seorang manusia!
Mungkinkah itu? Bagaimana mungkin ada manusia berlari atau meluncur di atas air begitu saja, dengan jubah dikembangkan di kanan kiri tubuhnya, menggembung tertiup angin dari belakang?
Akan tetapi setelah kini dekat terpisah beberapa meter, mereka berdua yakin bahwa yang meluncur di atas air menghampiri mereka itu memang seorang manusia! Seorang pria yang usianya sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya jangkung kurus dan kelihatan lemah, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang sasterawan, akan tetapi dilengkapi jubah yang lebar dan tebal, yang dipergunakan sebagai layar.
Kedua kakinya yang bersepatu kain itu ternyata menginjak dua potong papan kayu tebal yang ujungnya runcing seperti bentuk perahu. Itulah sebabnya mengapa dia dapat mengambang dan meluncur karena jubahnya menjadi layar yang tertiup angin.
Biarpun demikian, selama hidupnya kakak beradik yang ahli bermain di air ini belum pernah melihat ada orang yang mampu berbuat seperti itu! Kalau orang ini tidak memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang amat hebat, tidak mungkin dia dapat bertahan meluncur seperti itu.
“Selamat sore, orang-orang muda! Apakah kalian yang bernama Kam Sun Ting dan Kam Cian Li dari Nan-cang?” Suara pria itu lembut dan sopan, juga wajahnya yang masih nampak tampan halus itu tersenyum ramah.
Kedua orang kakak beradik itu mengangguk membenarkan, saking heran dan kagumnya, mereka sampai tidak mampu mengeluarkan suara, hanya nengangguk.
“Bagus sekali!” Pria itu berseru gembira. “Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku. Bolehkah aku naik perahu kalian? Aku sengaja mencari kalian, diutus oleh sahabat-sahabatku, Pek-liong dan Hek-liong-li.”
Mendengar disebutnya nama dua orang pendekar itu dan orang itu mengaku sebagai sahabat dan utusan, tentu saja kakak beradik itu merasa girang bukan main.
“Silakan, Locianpwe (orang tua gagah), silakan naik ke perahu kami!” kata Sun Ting.
Kini kakak beradik itu melihat bukti dugaan mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang locianpwe yang sakti. Pria itu seperti seekor burung bangau saja, meloncat dan melayang naik ke atas perahu, kedua kakinya meninggalkan dua potong papan yang tadi dipergunakan untuk meluncur dan ketika kedua kakinya hinggap di atas perahu, perahu itu sedikitpun tidak terguncang!
Begitu tiba di atas perahu, orang itu berkata, “Orang muda, cepat kau layarkan perahumu ke barat. Pek-liong-eng dan Hek-liong-li mengutusku untuk menjemput kalian dan agar kalian secepatnya menemui mereka.”
“Di manakah tai-hiap dan li-hiap itu, locianpwe?” tanya Kam Cian Li, hatinya tegang karena akan bertemu dengan Pek-liong, pria yang selalu dipuja di dalam hatinya.
Pria itu menghela napas panjang, mengeluarkan sebuah kipas dari saku jubahnya dan mengipas tubuhnya dengan lagak seorang sastrawan, lalu berkata, “Mereka berpesan agar aku tidak boleh memberitahukan di mana mereka berada. Yang penting, mereka terancam bahaya dan hanya kalian berdua dengan kepandaian kalian dalam air yang dapat menolong dan menyelamatkan mereka. Cepatlah layarkan perahu ke barat, aku lelah sekali dan ingin beristirahat dan tidur. Kecuali kalau kalian tidak ingin menolong mereka, terpaksa aku akan pergi lagi.”
“Tentu saja kami suka sekali menolong mereka, locianpwe!” kata Sun Ting cepat-cepat dan diapun sudah mengatur layar dan kini perahu mulai meluncur ke arah barat.
Pria itu sudah merebahkan dirinya di tengah perahu dan sebentar saja dia sudah tidur mendengkur! Agaknya dia memang lelah sekali sehingga kakak beradik itu tidak berani dan tidak tega mengganggunya. Mereka mengatur layar dan kemudi perahu. Angin kencang membuat perahu itu meluncur cepat ke arah barat.
Akan tetapi, walaupun kakak beradik itu, selalu memandang ke barat, kini mereka tidak melihat lagi keindahan langit senja di barat karena pikiran mereka penuh dengan bayangan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li dan hati mereka dicekam kekhawatiran. Ingin mereka cepat-cepat dapat bertemu dengan kedua orang pendekar itu. Senja telah diselimuti kegelapan malam ketika perahu itu tiba di tepi pantai barat. Melihat pria itu masih tidur, Sun Ting mendekatinya dan dengan lirih dia menggugahnya.
“Locianpwe, kita sudah tiba di tepi pantai barat. Di mana mereka?”
Pria itu bergerak menggeliat dan bangkit duduk, memandang ke sekeliling. “Ehh? Sudah gelap? Sudah tiba di tepi pantai barat?”
“Benar, locianpwe,” kata Cian Li. “Di mana Pek-liong-eng?”
“Nanti dulu, mereka bilang akan menjemput kita dengan kereta di sini. Nah, itu di sana kukira keretanya,” kata pria itu dan pada saat itu terdengar ringkik kuda.
“Mari, keretanya di sana. Kita harus melanjutkan perjalanan naik kereta yang sudah disediakan.”
Dia meloncat ke darat. Kakak beradik itu saling pandang di keremangan malam yang hanya diterangi bintang, akan tetapi keraguan mereka dikalahkan keinginan bertemu dengan sepasang pendekar itu. Maka, merekapun mengikatkan tali perahu pada sebatang pohon, lalu merekapun mendarat dan mengikuti kakek itu.
Benar saja, tak jauh dari pantai terdapat sebuah kereta dengan dua ekor kudanya. Di bangku kusir duduk seorang laki-laki tinggi besar. Dia duduk seperti patung dan sama sekali tidak menengok, dan juga kakek sastrawan itu sama sekali tidak bertanya atau menegurnya.
“Marilah, kalian naik kereta ini bersamaku,” katanya mempersilakan kakak beradik itu naik ke kereta.
“Ke manakah kita akan pergi, locianpwe? Di mana mereka berdua itu?” tanya Sun Ting.
“Naik sajalah, nanti kalian akan mengetahuinya sendiri,” katanya.
Begitu mereka bertiga duduk di dalam kereta, kendaraan itu segera bergerak cepat. Dua buah lentera di kanan kiri kereta bergoyang-goyang dan kereta itu bergerak cepat.
Sun Ting mulai merasa curiga. “Locianpwe ini siapakah? Siapakah nama locianpwe dan apa yang yang terjadi dengan Pek-liong-eng dan Hek-liong-li?”
“Benar, ceritakan kepada kami, locianpwe, agar hati kami tidak merasa ragu dan bimbang. Apa yang terjadi dengan mereka dan di mana mereka sekarang?” kata pula Cian Li.
“Kalian ingin mengetahui siapa aku? Orang menyebut namaku Kim Pit Siu-cai (Sastrawan Pena Emas),” kata pria itu dan di dalam suaranya halus itu kini terkandung kebanggaan hati.
Akan tetapi, melihat wajah kedua prang kakak beradik itu tertimpa sinar lentera itu tidak kelihatan kaget, bahkan agaknya tidak mengenal nama julukan itu, alis Kim Pit Siu-cai berkerut. Tentu saja kakak beradik itu tidak mengenal nama datuk besar ini. Mereka berdua bukanlah orang-orang kang-ouw dan kalau mereka berdua menjadi sahabat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, hal itu hanya kebetulan saja. Mereka bukan ahli-ahli silat dan bukan pendekar, tidak mengenal dunia kang-ouw dan para tokohnya, maka nama itupun sama sekali tidak mereka kenal.
“Tapi di mana kedua pendekar itu dan bahaya apakah yang mengancam mereka?” tanya Cian Li.
Melihat kenyataan bahwa dua orang kakak beradik itu tidak terkejut mendengar namanya, hal ini saja sudah membuat Kim Pit Siu-cai penasaran dan marah sekali. Kalau saja dia tidak membutuhkan dua orang kakak beradik ini, tentu akan dibunuhnya mereka seketika untuk memuaskan hatinya yang merasa penasaran. Tidak dikenal nama besarnya sama saja dengan suatu penghinaan baginya!
“Kalian tidak mengenal nama besar Kim Pit Siu-cai?” tanyanya, kini suaranya terdengar ketus. “Ketahuilah bahwa aku adalah seorang di antara Kiu Lo-mo!” Akan tetapi, kembali dia tertegun, penasaran dan wajahnya berubah merah sekali.
“Kiu Lo-mo? Siapakah mereka itu?” tanya Cian Li, juga Sun Ting memandang tak mengerti.
Kalau saja dia bukan sastrawan, tentu Kim Pit Siu-cai sudah menyumpah-nyumpah dan memaki-maki saking jengkelnya. Lalu dia teringat sesuatu dan membentak, “Coba katakan, apakah kalian tidak mengenal nama Siauw-bin Ciu-kwi?”
Mendengar disebutnya nama ini, kakak beradik itu terkejut. “Aih, iblis tua yang amat jahat itu?” tanya Cian Li.
Kini Kim Pit Siu-cai tertawa bergelak dan ketika dia tertawa, lenyaplah semua sikap halus dan sopannya. Di dalam suara tawanya terkandung kekejaman yang mengerikan. “Ha-ha-ha, kalian mengenal Siauw-bin Ciu-kwi, bukan? Ha-ha-ha-ha!”
“Tapi iblis tua yang jahat itu telah mati!” kata Sun Ting.
“Dia telah mati, akan tetapi aku belum! Dan aku adalah saudaranya, dan aku akan membalas dendam kematiannya!”
“Ahhh...!!” tentu saja kakak beradik itu terkejut bukan main, wajah mereka berubah pucat dan mata mereka terbelalak. “Kalau begitu, engkau bukan sahabat Pek-liong-eng dan Hek-liong-li!”
“Ha-ha-ha-ha, sahabat? Mereka adalah musuh-musuh besar yang harus kubunuh! Dan kalian akan menjadi umpan agar mereka berdua datang!”
“Tidak, aku tidak sudi!” teriak Cian Li dan kakaknya juga menjadi marah sekali.
Keduanya bergerak hendak melompat keluar dari dalam kereta. Akan tetapi, kipas di tangan Kim Pit Siu-cai bergerak lebih cepat lagi. Dia duduk berhadapan dengan kedua orang kakak beradik itu dan begitu kipasnya bergerak dua kali, Sun Ting dan Cian Li sudah menjadi lemas tak mampu bergerak lagi karena sudah tertotok ujung gagang kipas! Mereka hanya duduk lemas bersandar dan dengan mata terbelalak marah mereka hanya dapat memandang kepada Kim Pit Siu-cai yang tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, tanpa kalian pun kami akhirnya akan dapat membunuh Pek-liong dan Liong-li. Akan tetapi dengan kalian, akan lebih mudah memancing mereka. Kalau kalian tidak memberontak, kami akan menerima kalian sebagai tamu, akan tetapi kalau kalian memberontak, terpaksa kalian akan ku perlakukan sebagai tawanan. Nah, kalian tinggal pilih saja!”
Cepat sekali kipasnya bergerak dan kedua orang kakak beradik itu sudah dapat bergerak kembali. Cian Li mengepal tinju, akan tetapi kakaknya segera memegang lengannya dan menggeleng kepala.
“Adikku, kita bukan tandingannya, tidak perlu melawan,” katanya dan Cian Li mengerti. Keadaan bagi mereka akan semakin buruk kalau mereka melawan. Selain percuma saja melawan, mereka akan menjadi tawanan, tertotok, atau terbelenggu, dan siapa tahu, sebagai tawanan mereka akan diperlakukan lebih buruk lagi.
“Ha-ha-ha, itu baru bijaksana namanya. Nah, sekarang tidak perlu banyak bertanya lagi. Pendeknya, kalian akan menjadi tamu-tamu kami di suatu tempat, di lembah Huang-ho, dan jangan banyak membuat ulah.”
Kakak beradik itu tidak membuat ulah, bahkan tidak bicara lagi kepada penawan mereka. Mereka kini tidak mengkhawatirkan diri sendiri karena tahu bahwa mereka hanya ditawan sebagai umpan untuk memancing datangnya Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Mereka gelisah memikirkan keselamatan dua orang pendekar yang mereka cinta itu. Kakek yang menawan mereka itu demikian lihai, jahat dan kejam sekali nampaknya, walaupun sikapnya halus dan wajahnya masih tampan. Tampak mengerikan.
Biarpun mereka diam saja, namun di dalam hati kedua orang kakak beradik ini, mereka mengambil keputusan untuk membantu Liong-li dan Pek-liong sedapat mungkin, dan mereka hanya dapat menunggu. Di balik semua perasaan khawatir itu, juga terdapat keinginan tahu apakah sepasang pendekar itu akan dapat dipancing dengan umpan diri mereka, apakah sepasang pendekar itu masih memperdulikan mereka? Ada harap-harap cemas tersembunyi di lubuk hati mereka.
Kakak beradik ini memang tidak membuat usaha melarikan diri atau melawan lagi sampai perjalanan itu berakhir di lembah Huang-ho, di rumah gedung yang menjadi tempat tahanan Song Tek Hin dan isterinya, Su Hong Ing yang ditawan oleh Ang I Sian-li, seorang di antara Sembilan Iblis. Akan tetapi karena kamar mereka terpisah, mereka tidak saling mengetahui bahwa ada tawanan lain di samping mereka.
Seperti juga suami isteri itu, Kam Sun Ting dan Kam Cian Li mendapat kebebasan, namun mereka tidak melihat sedikitpun kesempatan untuk dapat melarikan diri dari tempat yang terjaga ketat dan di mana terdapat orang-orang yang memilliki ilmu kepandaian tinggi seperti Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li. Kakak beradik itu, seperti juga halnya suami isteri itu, hanya dapat menanti dengan hati tegang dan khawatir.
Dibandingkan tugas dua orang rekannya, yaitu Kim Pit Siu-cai yang menangkap kakak beradik Kam, dan Ang I Sian-li yang menangkap Song Tek Hin dan isterinya, tugas yang dilaksanakan Pek-bwe Coa-ong jauh lebih sukar. Sebagai orang tertua di antara tiga orang sisa Sembilan Iblis Tua itu, Pek-bwe Coa-ong si Raja Ular ini memang sengaja menangani tugas sukar ini sendiri. Tugasnya ialah menangkap Cian Hui dan isterinya yang bernama Cu Sui In.
Tentu saja tugas.ini tidak mudah dilaksanakan oleh karena Cian Hui bukan orang sembarangan. Dia adalah Cian Ciang-kun, seorang panglima muda yang gagah perkasa dan yang di kota raja sudah terkenal sebagai seorang penyelidik atau detektip yang sudah banyak berhasil membongkar berbagai kejahatan. Sebagai seorang panglima, tentu saja Cian Ciang-kun mempunyai kekuasaan atas sepasukan perajurit keamanan yang tangguh, dan dia sendiri memiliki ilmu silat yang lihai di samping kecerdikannya sebagai seorang pemberantas kejahatan.
Cian Hui yang sudah berusia empatpuluh tiga tahun itu masih nampak tegap dan gagah, wajahnya kejantanan, wajahnya berbentuk segi empat, dagunya berlekuk keras, alisnya hitam tebal sekali, hidungnya besar mancung dan mulutnya cerah, matanya lebar, suaranya juga tegas dan nyaring, tubuhnya tinggi tegap. Ilmu silatnya adalah ilmu silat keturunan keluarga Cian, senjatanya sebatang suling baja yang ampuh.
Dengan jenggot kumis terpelihara rapi, panglima ini memang nampak gagah berwibawa, membuat gentar hati para penjahat yang bertemu dengan dia. Selama tiga tahun sudah Cian Hui menikah dengan Cu Sui In, dan mereka mempunyai seorang anak perempuan berusia dua tahun yang diberi nama Cian Hong.
Kalau Cian Hui pandai ilmu silat keluarganya, isterinya yang murid Kun-lun-pai itu lebih lihai lagi! Cu Sui In seorang wanita cantik berusia dua puluh sembilan tahun, keturunan bangsawan pula. Ia seorang janda, empat tahun yang lalu suaminya tewas dibunuh penjahat yang dipimpin Kui-eng-cu, yang sesungguhnya adalah dua orang di antara Sembilan Iblis Tua, yaitu mendiang Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo.
Dalam memerangi gerombolan Kui-eng-cu (Si Bayangan Iblis) inilah ia bertemu dengan Cian Hui, dan bertemu pula dengan Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Kalau Cian Hui tergila-gila kepada Liong-li, Sui In tergila-gila kepada Pek-liong. Akan tetapi karena sepasang pendekar itu tidak mau terlibat dalam pernikahan, hubungan cinta itu gagal, dan kalau tadinya mereka saling menghibur, akhirnya Cian Hui dan Cu Sui In saling tertarik dan menikah. Dari pernikahan ini mereka mendapatkan seorang anak perempuan.
Suami isteri jagoan ini tinggal di sebuah gedung yang mungil di kota raja. Biarpun dia seorang panglima, namun Cian Ciang-kun tidak suka hidup gemerlapan dengan kemewahan. Rumahnya tidak terlalu besar seperti rumah para panglima lainnya, namun karena dia menyadari bahwa dia dimusuhi banyak penjahat dan tokoh sesat yang pernah diberantasnya, maka siang malam selalu ada saja pasukan khusus yang melakukan penjagaan di sekitar rumah Cian Ciang-kun untuk menjaga keselamatan, untuk mencegah agar tidak ada tokoh sesat yang datang membalas dendam kepada keluarga itu.
Sebetulnya, penjagaan ini dilakukan oleh Cian Hui semenjak isterinya melahirkan seorang anak. Sebelum itu, dia tidak pernah menyuruh anak buahnya melakukan penjagaan, karena dia merasa bahwa dia sendiri bersama isterinya cukup tangguh untuk membela diri kalau terjadi penyerangan. Akan tetapi setelah puterinya lahir, dia melakukan penjagaan itu demi keselamatan puterinya.
Itulah sebabnya mengapa Pek-bwe Coa-ong mengalami kesulitan untuk dapat menculik Cian Hui dan isterinya seperti yang telah direncanakannya bersama dua orang rekannya, yaitu Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li dalam usaha mereka membalas dendam kepada Pek-liong-eng dan Hek-liong-li.
Telah sepekan dia berada di kota raja, setiap hari melakukan pengintaian namun tak pernah mendapatkan kesempatan untuk melakukan usahanya itu. Dia tidak berani melakukan kekerasan terhadap Cian Hui dan isterinya di kota raja karena dimaklum betapa besar bahayanya kalau sampai para jagoan istana dan pasukan keamanan mengepung dan mengeroyoknya. Kalau dia hendak membunuh panglima itu dan isterinya, hal itu agaknya akan dapat dia lakukan lebih mudah, apalagi dia memang sengaja membawa Thai-san Ngo-kwi untuk membantunya.
Akan tetapi justeru kesukarannya terletak pada tidak harus melakukan pembunuhan. Kalau panglima dan isterinya itu dibunuh, hal itu sama sekali tidak ada gunanya lagi. Mereka harus dapat ditangkap hidup-hidup, dijadikan tawanan sebagai umpan agar Liong-li dan Pek-liong berdatangan,untuk menyelamatkan sahabat baik itu.
Pada suatu sore, Pek-bwe Coa-ong yang selalu melakukan pengintaian itu melihat Cian Hui dan isterinya keluar dari rumah mereka. Suami isteri itu agaknya hendak berjalan-jalan mencari hawa sejuk karena udara sore hari itu agak panas dan mereka tidak membawa pengawal.
Diam-diam Pek-bwe Coa-ong membayangi mereka dan melakukan persiapan karena dianggapnya bahwa hal itu merupakan kesempatan yang baik sekali. Atas isyaratnya Thai-kwi dan Ji-kwi ikut pula melakukan pengintaian dan kini dua orang di antara Thai-san Ngo-kwi itu ikut pula membayangi suami isteri yang sama sekali tidak mengira bahwa dalam suasana yang aman dan nyaman itu, mereka terancam bahaya.
Cian Hui dan Sui In memasuki sebuah taman di kota raja. Taman umum itu indah terpelihara baik-baik dan luas, terdapat banyak pohon dan rumpun bunga-bunga beraneka warna. Sore itu, banyak juga orang berjalan-jalan di taman umum itu karena hawa udara di situ lebih sejuk. Akan tetapi, karena taman itu luas, maka banyak bagian yang nampak sepi.
Ketika Cian Hui dan Sui In sedang berjalan perlahan-lahan di bagian yang sunyi dekat sebuah kolam ikan sambil bercakap-cakap, tiba-tiba muncul dua orang laki-laki yang berjalan dari depan. Tanpa curiga Cian Hui dan isterinya memandang kepada mereka. Seorang tinggi besar berkulit hitam dan seorang lagi pendek gendut, usia mereka empatpuluh tahun lebih.
Ketika dua orang itu telah datang dekat, tiba-tiba saja mereka menyerang suami isteri itu dengan pukulan yang dahsyat, tanpa memberitahu lebih dahulu. Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main. Namun, mereka adalah ahli-ahli silat kelas satu, maka cepat mereka dapat meloncat ke samping mengelak.
Si tinggi besar terus menyerang Cu Sui In, sedangkan yang pendek gendut menyerang Cian Hui. Tentu saja kedua orang itu adalah Thai-kwi dan Ji-kwi yang telah mendapat perintah dari Pek-bwe Coa-ong untuk melakukan penyerangan kepada suami isteri yang sejak tadi mereka bayangi. Karena mereka sebelumnya sudah melakukan penyelidikan dan tahu bahwa Sui In lebih lihai dari Cian Hui, maka Thai-kwi menyerang Sui In dan Ji-kwi yang menyerang Cian Hui.
“Heii, gilakah kalian tanpa sebab menyerang kami?” Cian Hui membentak dan kembali dia mengelak dari serangan si pendek gendut yang amat lihai itu.
“Cian Hui, engkau dan isterimu harus mati untuk menebus dosamu terhadap banyak saudara kami yang kautawan dan kaubunuh!” teriak Thai-kwi yang juga mendesak Sui In.
Mengertilah Cian hui bahwa dia berhadapan dengan golongan sesat yang memusuhinya untuk membalaskan para penjahat yang pernah ditangkapnya atau dibasminya, maka tanpa banyak cakap lagi diapun membalas serangan si pendek gendut. Akan tetapi, sekali ini dia terkejut karena si gendut ini benar-benar amat lihai.
Ketika si gendut itu menangkis pukulannya, dia merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat dan terasa nyeri. Ia menunjukkan bahwa si gendut ini memiliki tenaga yang amat kuat. Juga ketika dia melirik ke arah isterinya, dia melihat isterinya terdesak oleh si tinggi besar.
“Singg...!” Cian Hui mencabut pedangnya, akan tetapi pada saat itu, lawannya juga mengeluarkan sebatang golok yang berkilauan saking tajamnya. Mereka kembali saling serang dan ternyata ilmu golok lawannya itupun hebat sehingga sebentar saja gulungan sinar pedangnya terhimpit. Tentu saja Cian Hui merasa khawatir sekali, terutama terhadap keselamatan isterinya.
Cu Sui In adalah murid Kun-lun-pai yang tangguh, bahkan tingkat ilmu silatnya lebih tinggi dibandingkan suaminya. Akan tetapi sekali ini ia bertemu tanding yang amat kuat. Apalagi ketika lawannya menggerak-gerakkan kedua lengan secara aneh dan nampak kedua lengan itu kemerah-merahan, tahulah Sui In bahwa lawannya memiliki ilmu yang aneh dan tangannya mengandung hawa panas seperti api.
Tidak seperti suaminya yang tak pernah ketinggalan membawa pedang, nyonya muda ini tidak membekal senjata, karena niatnya meninggalkan rumah hanya untuk jalan-jalan mencari hawa sejuk. Akan tetapi agaknya lawannya seorang yang tinggi hati karena melihat ia tidak bersenjata, lawannya juga tidak mencabut golok yang tergantung di punggungnya. Biarpun demikian, tetap saja dia mulai terdesak...