TIBA-TIBA, di antara beberapa orang yang mulai tertarik dan nonton perkelahian itu, muncul seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. “Siapa berani mengganggu Cian Ciang-kun?” bentaknya halus dan diapun melompat ke dalam kalangan perkelahian, tangannya yang hampir tak nampak tertutup lengan baju yang lebar dan panjang itu digerakkan dua kali ke arah Thai-kwi dan Ji-kwi.
Angin yang kuat sekali menyambar dari lengan baju itu dan kedua orang yang menyerang suami isteri itu terdorong dan terhuyung ke belakang! Mereka berdua maklum bahwa kakek yang membela suami isteri itu memiliki kesaktian, maka tanpa banyak sikap lagi keduanya lalu berlompatan melarikan diri dengan cepat sekali. Tentu saja Cian Hui dan isterinya merasa lega dan berterima kasih sekali kepada kakek yang amat lihai itu. Mereka memandang dengan penuh perhatian dan merasa kagum.
Kakek itu usianya sekitar enampuluh lima tahun, rambutnya sudah putih semua dan wajahnya nampak tua sedangkan tubuhnya kecil kurus dan kelihatan ringkih. Siapa tahu, dia memiliki sin-kang sedemikian hebatnya sehingga sekali menggerakkan tangan, hawa pukulannya membuat penjahat yang tangguh tadi terdorong dan terhuyung! Cian Hui dan isterinya cepat memberi hormat kepadanya dan Cian Hui berkata dengan suara yang mengandung rasa kagum dan hormat.
“Kami menghaturkan terima kasih kepada locianpwe yang telah menolong kami. Agaknya lo-cianpwe sudah mengetahui bahwa saya bernama Cian Hui dan ini isteri saya, Cu Sui In. Bolehkah kami mengenal nama besar locianpwe yang mulia?”
Kakek itu tersenyum dan mengeluarkan suara tawa aneh dan lirih. “Heh-heh, namaku tidak ada artinya bagi Ciang-kun, yang lebih penting Ciang-kun ketahui bahwa saya memang mencari Ciang-kun berdua isteri karena saya membawa pesan dari sahabat baik saya Pek-liong-eng...”
Mendengar ini, Cian Hui dan isterinya terkejut akan tetapi juga girang. Kiranya kakek lihai ini adalah sahabat Pek-liong-eng Tan Cin Hay. Pantas demikian lihainya! Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang yang berkumpul karena merasa tertarik oleh perkelahian tadi, Cian Hui berkata,
“Locianpwe, tidak leluasa untuk bicara di sini. Mari, kami persilakan locianpwe berkunjung ke rumah kami di mana kita dapat bicara dengan leluasa.”
“Heh-heh, begitupun lebih baik...” kakek itu mengangguk-angguk lalu mereka bertiga meninggalkan taman dan pergi ke rumah panglima itu.
Setelah mereka duduk di dalam ruangan tamu, Cian Hui dan isterinya yang duduk berhadapan dengan kakek itu segera bertanya apakah pesan yang dibawa oleh kakek itu dari Pek-liong, dan siapa pula nama kakek yang lihai itu.
“Heh-heh, sudah saya katakan bahwa nama saya tidak ada artinya bagi ji-wi (kalian berdua). Nama saya Gan Ki dan saya adalah seorang sahabat baik dari Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Pek-liong-eng yang mengutus saya mencari Ciang-kun dan nyonya..."
“Apakah pesan itu, Gan-locianpwe?” tanya Cian Hui.
“Dia berpesan agar sekarang juga ji-wi datang kepadanya. Dia berada dalam bahaya maut dan hanya ji-wi yang akan dapat menyelamatkannya. Saya diutus menjemput ji-wi dan sudah disediakan kereta untuk ji-wi di luar pintu gerbang selatan kota raja. Karena tidak ingin menarik perhatian orang, sengaja kereta itu saya tinggalkan di sana, siap untuk mengantar ji-wi ke tempat Pek-liong-eng berada.”
Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main mendengar bahwa Pek-liong berada dalam bahaya maut! “Di mana dia sekarang?” Sui In tak dapat menahan kecemasan hatinya dan bertanya. Bagaimanapun juga, Pek-liong merupakan orang yang pernah menjadi kekasihnya dan ia tidak pernah dapat melupakan pendekar itu.
“Di suatu tempat di lembah Huang-ho. Marilah kita segera berangkat, saya khawatir kita akan terlambat,” kakek itu mendesak.
Cian Hui teringat akan sesuatu. “Locianpwe, kalau Pek-liong berada dalam bahaya maut, kenapa lo-cianpwe mencari kami, bukan mencari Liong-li?”
“Liong-li? Ah, kau maksudkan Hek-liong-li Ciang-kun? Ia tidak berada di tempat tinggalnya dan menurut Pek-liong-eng, Hek-liong-li juga terancam maut. Karena itu, marilah cepat-cepat kita pergi agar jangan terlambat, Ciang-kun. Sebaiknya Ciang-kun pergi berdua seperti pesan Pek-liong-eng, jangan bawa pasukan pengawal karena hal ini tentu akan diketahui oleh pihak musuh dan celakalah Pek-liong-eng!”
Suami isteri itu saling pandang, wajah Sui In membayangkan kecemasan. “Mari kita cepat pergi dan menolongnya!” kata nyonya muda itu.
“Mari, kita berkemas dulu. Harap locianpwe menunggu sebentar di sini, kami hendak membuat persiapan dan berkemas,” kata Cian Hui.
Kakek itu mengangguk sambil tersenyum dan suami isteri itu masuk ke dalam. Setelah tiba di dalam, Cian Hui menarik tangan isterinya diajak ke belakang. “Aku curiga kepadanya, kita harus membuat persiapan,” bisiknya dan diapun menulis surat dengan cepat, memanggil kepala penjaga lalu menyerahkan surat itu dengan pesan agar cepat-cepat surat itu diserahkan kepada Teng Gun atau Teng Ciang-kun.
Setelah kepala penjaga itu pergi dengan cepat, dia dan isterinya lalu membawa bekal dan tidak lupa mereka mempersiapkan pedang dan senjata rahasia, juga obat-obatan. Sui In memesan kepada pelayan agar menjaga Cian Hong baik-baik dan agar para pengawal menjaga keselamatan anak itu, barulah mereka pergi ke ruangan tamu kembali dan disambut dengan senyum gembira oleh kakek rambut putih itu.
“Bagus, ji-wi tidak membuang-buang waktu. Mari kita cepat berangkat!” katanya dan suaranya terdengar gembira.
“Akan tetapi agar tidak menarik perhatian, kita jangan terlalu cepat berjalan selama berada dalam kota,” kata Cian Hui. “Ketahuilah, locianpwe, saya mempunyai tugas pekerjaan, akan tetapi terpaksa saya tinggalkan demi menolong Pek-liong-eng, sahabat baik kami.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Saya tahu, kalau bukan sahabat baik, tentu Pek-liong-eng tidak menyuruh saya mencari ji-wi.”
Mereka bertiga lalu keluar dari rumah Cian Hui dan berjalan dengan santai menuju ke selatan, ke arah pintu gerbang selatan. Tidak nampak ketegangan di wajah Cian Hui, apalagi ketika dia melihat beberapa orang dalam penyamaran mengamati mereka, yaitu para jagoan istana yang menjadi sahabat-sahabatnya. Kiranya Teng Ciang-kun, pembantunya yang setia, dapat bekerja dengan cepat sekali sesuai dengan isi suratnya yang dikirimkannya tadi. Tidak terjadi sesuatu selama mereka melakukan perjalanan santai menuju ke pintu gerbang selatan. Setelah keluar dari pintu gerbang, kakek itu berkata,
“Kami telah mempersiapkan sebuah kereta untuk melanjutkan perjalanan. Di sana keretanya, Ciang-kun,” dia menunjuk ke kiri, ke lorong yang menyimpang dari jalan raya.
Cian Hui dan Sui In mengikutinya memasuki lorong yang sepi itu, dan dari jauh nampak sebuah kereta sudah menanti. Tempat itu memang sepi, apa lagi cuaca mulai gelap remang-remang. Ketika sudah tiba di dekat kereta, suami isteri itu melihat dua orang berada di atas kereta, di bangku kusir dan mereka terkejut bukan main mengenal bahwa mereka itu bukan lain adalah si tinggi besar muka hitam dan si gendut yang tadi menyerang mereka di dalam taman!
“Heii! Apa artinya ini?” seru Cian Hui dan bersama isterinya diapun memutar tubuh untuk menghadapi kakek yang mengaku bernama Gan Ki.
Kakek itu berdiri menyeringai dan kini wajahnya yang nampak tua dan ringkih itu kelihatan licik dan kejam. “Artinya, kalian berdua menjadi tawanan kami.”
“Siapakah engkau sebenarnya dan mengapa pula hendak menawan kami?” Cian Hui bertanya dengan suara lantang karena marah.
Kini kakek yang sudah merasa yakin akan keberhasilannya, tertawa mengejek. “Ha-ha-ha, namaku memang Gan Ki walaupun tak pernah aku mempergunakan nama kecil itu. Dunia kang-ouw mengenalku sebagai Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular ekor Putih).”
Cian Hui terkejut. “Seorang di antara Kiu Lo-mo?”
“Heh-heh, engkau memang cerdik, Cian Ciang-kun. Memang benar sekali dugaanmu itu.”
“Lalu mengapa engkau menawan kami?”
“Agar Pek-liong-eng dan Hek-liong-li datang untuk menolong kalian. Bukankah kalian sahabat-sahabat baik mereka? Kalian kami tawan untuk menjadi umpan. Setelah dapat ikannya, kalian akan kami bebaskan.”
“Tidak sudi kami dijadikan umpan!” bentak Cu Sui In marah dan ia sudah mencabut pedangnya, diikuti suaminya yang juga mencabut pedang.
“Kalian hendak melawan? Ha-ha, menghadapi Thai-kwi dan Ji-kwi saja kalian tidak mampu menang, dan kalian hendak melawan aku?”
Cian Hui dan Cu Sui In yang sudah marah sekali tidak perduli dan menerjang kakek itu dengan pedang mereka. Pek-bwe Coa-ong tersenyum dan tubuhnya membuat gerakan seperti ular, lalu kedua lengannya didorongkan ke depan menyambut serangan itu.
“Wuuuuuttt...!” Angin dahsyat menyambut suami isteri itu dan betapapun mereka sudah mengerahkan sin-kang mempertahankan diri, tetap saja Cian Hui terjengkang dan Cu Sui In yang lebih tangguh, terdorong ke belakang dan terhuyung!
Cian Hui cepat mengeluarkan peluit kecil dan meniupnya. Terdengar suara nyaring dan belasan bayangan berkelebat. Mereka adalah jagoan-jagoan istana yang sudah berloncatan keluar dengan senjata di tangan dan di belakang mereka masih nampak puluhan orang perajurit.
Melihat ini, Pek-bwe Coa-ong terkejut, dan dua orang dari Thai-san Ngo-kwi juga terbelalak. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa suami isteri yang sudah mereka jebak itu berbalik memasang perangkap bagi mereka! Melihat bahwa keadaannya menjadi berbahaya karena diapun maklum bahwa jagoan-jagoan dari kota raja amat lihai dan jumlah mereka amat banyak.
Kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring memberi isyarat kepada dua orang pembantunya dan merekapun berlompatan melarikan diri dengan cepat sekali, meninggalkan kereta dan kuda mereka. Mereka hanya bermaksud menawan suami isteri itu untuk dijadikan umpan. Usaha mereka telah gagal maka mereka tidak ingin terlibat dalam perkelahian dan permusuhan melawan pasukan keamanan pemerintah.
Cian Hui dan isterinya segera pulang dengan hati lega, akan tetapi setelah tiba di rumah, Sui In bertanya, “Bagaimana engkau bisa tahu bahwa dia berniat jahat dan telah mengerahkan bala bantuan?”
Cian Hui menghela napas. “Berkat pengalamanku selama bertahun-tahun, aku selalu waspada dan teliti. Ada banyak hal yang ganjil ketika kakek itu bercerita tentang Pek-liong-eng. Pertama kalau dia memang mencariku, bagaimana kita dapat bertemu dengan dia di taman, tepat pada saat kita diserang kedua orang itu? Kebetulan yang agaknya disengaja atau diatur. Kalau benar dia mencariku untuk menyampaikan pesan dari Pek-liong-eng tentu dia akan langsung saja datang ke rumah, bukan berkeliaran di taman. Kedua, kalau benar Pek-liong-eng membutuhkan bantuan kita, tentu dia akan mengirim surat, bukan secara lisan. Ketiga, kakek itu memiliki kepandaian tinggi, kalau dia benar sahabat baik dari Pek-liong-eng, mengapa dia jauh-jauh mencari kita dan bukan dia sendiri saja yang menolong Pek-liong? Kepandaiannya jauh di atas kita, lalu mencari kita apa gunanya? Keempat, dia bilang menyiapkan kereta untuk kita, dan tidak ingin menarik perhatian maka keretanya ditinggalkan di luar pintu gerbang. Hal ini tidak masuk diakal. Kalau kedatangannya bermaksud baik, kenapa dia menjauhkan perhatian orang? Pendeknya, banyak sekali pada dirinya yang menimbulkan kecurigaan, maka ketika kita masuk untuk berkemas, aku mengirim surat kepada Teng Ciang-kun agar dia mengirim bala bantuan yang kuat dan memasang barisan pendam di luar pintu gerbang, melihat perkembangan.”
Isterinya mengangguk-angguk dan memandang kagum kepada suaminya, “Engkau memang cerdik sekali. Kalau begitu, jelas bahwa Pek-liong dan Liong-li sebenarnya tidak berada dalam ancaman bahaya maut.”
“Engkau keliru. Kakek itu adalan Pek-bwe Coa-ong, seorang di antara Sembilan Iblis Tua. Setahuku, Pek-liong dan Liong-li telah membunuh empat orang di antara mereka, dan dua orang lagi, yaitu Lam-san Siang-kwi (Sepasang Iblis Gunung Selatan) telah lebih dahulu tewas. Jadi sisanya tinggal tiga orang lagi, yaitu Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li. Mereka adalah orang-orang yang amat lihai dan berbahaya sekali. Siapa tahu mereka bertiga itu kini bersatu untuk membalas dendam atas kematian rekan-rekan mereka. Kalau mereka gagal menawan kita untuk dijadikan umpan, tentu mereka akan mempergunakan cara lain untuk membalas dendam kepada Pek-liong dan Liong-li. Dan aku harus cepat memberi kabar untuk memperingatkan mereka akan ancaman ini.”
“Engkau hendak pergi berkunjung kepada Pek-liong dan Liong-li? Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali karena Pek-bwe Coa-ong dan kawan-kawannya tentu akan berusaha menangkapmu.”
Cian Hui menggeleng kepala. “Aku sudah mereka kenal, aku akan menyuruh seorang pembantu yang cerdik untuk membawa suratku kepada Pek-liong, dan seorang pembantu lagi kusuruh mengantar surat kepada Liong-li.”
Demikianlah, malam hari itu juga Cian Hui membuat dua buah surat dan menyuruh anak buah yang pandai, seorang pergi ke dusun Pat-kwa-bun mencari Pek-liong-eng, dan seorang lagi pergi ke kota Lok-yang mencari Hek-liong-li.
Hek-liong-li Lie Kim Cu duduk seorang diri di ruangan dalam rumahnya. Ia duduk seenaknya, mengangkat kedua kaki yang ditekuk lututnya ke atas kursi, nongkrong seorang diri di pagi hari itu. Rambutnya masih kusut, pakaiannya juga kacau dan tidak rapi karena ia baru saja bangun tidur dan belum sempat mandi dan bertukar pakaian karena pagi-pagi sudah disibukkan dengan termenung seorang diri.
Kadang-kadang ia menggosok-gosok hidungnya yang tidak gatal dan kesibukan menggosok hidung ini bagi yang sudah mengenalnya menjadi tanda bahwa wanita cantik jelita yang gagah perkasa ini sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, sedang mengerjakan kecerdasan otaknya untuk memecahkan persoalan yang rumit.
Dan memang Liong-li sedang termenung memikirkan semua peristiwa yang menimpa dirinya. Ia sudah mengerahkan semua pembantunya, beberapa hari yang lalu ia membawa sembilan orang pembantunya, semua bersenjata lengkap, mendaki puncak Thai-san hendak menyerbu sarang Thai-san Ngo-kwi. Akan tetapi, ternyata yang disergapnya hanyalah sarang yang kosong belaka.
Semua burung sudah meninggalkan sarang, atau lebih tepat lagi, semua srigala telah meninggalkan sarang mereka. Tak seorangpun dari Thai-san Ngo-kwi maupun anak buah mereka dapat ia temukan. Saking kecewa dan marahnya, Liong-li dan anak buahnya membakar sarang itu sampai habis rata dengan tanah. Akan tetapi perbuatan itu masih belum menenangkan hatinya. Jelas bahwa Thai-san Ngo-kwi memusuhinya karena hendak membalas dendam kematian guru mereka, yaitu Siauw-bin Ciu-kwi. Akan tetapi, agaknya mereka tidak berdiri sendiri.
Nenek pesolek yang lihai itu tentu yang menjadi dalangnya dan ia tidak.mengenal nenek itu. Tidak tahu pula di mana sekarang mereka berada. Dan selama ia belum dapat membasmi mereka, tentu ia akan selalu terancam. Sekarangpun ia melarang anak buahnya keluar seorang diri. Tidak aman bagi mereka. Diancam musuh yang bergerak secara bersembunyi sungguh tidak mengenakkan hati, selalu tegang dan harus waspada setiap saat. Ia harus dapat menghancurkan mereka. Akan tetapi di mana mereka?
Ia teringat kepada Pek-liong. Kenapa belum juga ada balasan dari Pek-liong? Tiba-tiba daun pintu ruangan itu diketuk seorang pembantunya. Ang-hwa yang berpakaian serba merah itu muncul.
“Li-hiap ada seorang tamu hendak bertemu dengan li-hiap, katanya dia membawa surat dari Song Tek Hin dan Kam Sun Ting.”
Liong-li mengerutkan alisnya. Terlalu banyak nama yang dikenalnya, maka untuk mengingat dua nama itu ia harus menggali ingatannya. Kemudian ia teringat. Song Tek Hin adalah pemuda tegap tampan yang dikenalnya lima tahun yang lalu, dan Kam Sun Ting adalah seorang pemuda ramping tegap kokoh kuat, perenang dan penyelam tangguh di Telaga Po-yang itu yang dikenalnya tiga tahun yang lalu. Kedua pemuda itu adalah sahabat-sahabat baiknya, bukan sekadar sahabat malah, mereka pernah menjadi kekasihnya dan teringat kepada mereka mendatangkan kehangatan di hatinya.
“Suruh dia menunggu di ruangan tamu dan ingat, jaga dia baik-baik, awasi gerak-geriknya dan cegah sesuatu terjadi kepadanya. Aku mau mandi sebentar.”
Ang-hwa mengangguk dan pergi. Liong-li cepat mandi air dingin dan tak lama kemudian ia telah memasuki ruangan tamu dengan wajah segar dan pakaian yang rapi, pakaian serba hitam yang selalu menutupi tubuhnya. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, melihat pakaiannya tentu seorang desa, bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada Liong-li dengan kagum. Biarpun ia berhadapan dengan seorang dusun yang sederhana, namun karena orang itu menjadi tamunya, Liong-li cepat mengangkat kedua tangan, depan dada, lalu berkata,
“Apakah paman hendak bertemu dengan saya?”
Pria itu nampak bingung. “Saya ingin berjumpa dengan... yang namanya Hek-liong-li...”
Liong-li tersenyum. Jelas bahwa orang ini belum pernah melihatnya, juga agaknya tidak tahu bahwa Hek-liong-li adalah sebuah julukan. Orang ini jelas seorang petani sederhana biasa, sehingga semakin menarik mengapa orang seperti ini hendak bertemu dengannya.
“Akulah Hek-liong-li, paman. Ada keperluan apakah paman hendak bertemu dengan aku?”
Dengan gugup orang itu mengeluarkan dua sampul surat dari dalam saku bajunya, “Aku hendak menyampaikan surat dari Song Tek Hin dan Kam Sun Ting.”
Demikian cepat dia mengucapkan dua nama itu seolah-olah dua nama itu telah dihafalkan berulang kali. Dia menyerahkan dua sampul surat itu kepada Liong-li yang menerimanya. Dua macam tulisan tangan di luar sampul yang menyebutkan namanya dengan jelas, nama berikut julukannya, yaitu Hek-liong-li Lie Kim Cu.
Tentu saja ia tidak mengenal bagaimana bentuk tulisan dua orang pria itu, dan tidak tahu apakah dua sampul surat ini benar dari mereka ataukah hanya tulisan palsu. Ia mengangkat mengamati wajah yang sederhana itu.
“Siapakah namamu, paman?”
“Namaku? Namaku Theng Kiu, nona.”
“Tempat tinggal paman?”
“Di luar kota ini, sebelah barat, dekat sungai. Aku seorang petani, juga nelayan...”
“Paman mengenal Song Tek Hin dan Kam Sun Ting?”
Petani itu menggeleng kepala. “Sama sekali tidak mengenal mereka, melihatpun belum.”
“Lalu bagaimana surat-surat ini...?”
“Aku menerimanya dari seorang laki-laki. Malam tadi ketika aku sedang menjala ikan di pantai sungai, muncul seorang laki-laki dan dia menyerahkan dua buah surat ini kepadaku dengan pesan agar aku menyampaikannya kepada Hek-liong-li yang tinggal di rumah ini.”
“Paman begitu taat kepadanya. Siapakah dia yang menyerahkan surat itu?”
“Aku tidak tahu, nona. Dia menyerahkan dua buah surat ini dan aku diberi upah sepotong perak, dengan pesan agar aku menyampaikan surat-surat ini dan jangan melupakan nama-nama pengirimnya. Karena hari telah malam, maka aku menunda sampai pagi ini.”
Liong-li mengangguk-angguk, memuji kecerdikan si pengirim surat. “Apakah paman dapat menceritakan bagaimana rupanya orang itu?”
“Malam itu gelap sekali di tepi sungai, nona. Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, hanya dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar. Itu saja yang kuketahui.”
Kembali Liong-li mengangguk-angguk karena ia sudah menduga demikian. Kiranya tidak ada yang dapat ia harapkan memperoleh keterangan dari orang ini, maka iapun mengeluarkan sepotong perak dan menyerahkan kepadanya.
“Ini hadiah untukmu, paman. Kalau orang itu muncul lagi dan paman mengenalnya, harap paman suka cepat memberitahu kepadaku, dan aku akan memberi hadiah yang lebih banyak.”
Wajah itu berseri dan tangan itu gemetar ketika menerima sepotong perak itu. Selama hidupnya, baru dua kali ini dia melihat sepotong perak yang amat berharga, yaitu malam tadi dan pagi ini. Dia mengangguk-angguk mengucapkan terima kasih dan berjanji akan memenuhi permintaan Liong-li. Kemudian dia pamit dan meninggalkan runah itu dengan hati yang gembira bukan main. Dalam waktu singkat dia telah memperoleh hasil melebihi hasil dia bekerja selama dua bulan!
Dengan tenang Liong-li membuka sampul surat dan membacanya sambil tetap duduk di ruangan tamu itu, tenggelam ke dalam sebuah kursi yang besar. Alisnya berkerut ketika membaca dua buah surat itu. Tulisan tangannya berbeda, akan tetapi isinya senada, yaitu keduanya mengatakan bahwa mereka telah menjadi tawanan musuh di lembah Huang-ho dan kalau ia tidak segera datang menolong mereka, tentu mereka akan dibunuh!
Liong-li menggosok-gosok hidungnya, kedua matanya terpejam. Ia membayangkan dua orang pemuda itu, terutama watak mereka. Song Tek Hin adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu silat yang cukup lihai, berjiwa pendekar. Sama sekali bukan seorang yang berwatak pengecut dan takut mati. Apalagi Kam Sun Ting. Penyelam yang gagah ini seorang yang jantan, biarpun ilmu silatnya tidaklah sehebat ilmunya menyelam, namun dia berhati baja dan pemberani. Juga sama sekali bukan seorang pengecut.
Kesimpulannya adalah bahwa ada dua kemungkinan. Surat ini bukan tulisan mereka, atau kalau benar tulisan mereka, tentu ada sesuatu yang memaksa mereka menulis surat seperti ini. Dan jelas ini merupakah suatu jebakan baginya. Tentu pihak penulis surat palsu, atau pihak penawan kedua orang pemuda itu sengaja memancingnya datang ke lembah Huang-ho dan sudah bersiap-siap untuk mencelakakannya.
Ada dua hal yang mempertebal dugaannya bahwa ini bukan surat palsu. Pertama, siapakah orangnya yang tahu bahwa kedua orang pemuda ini merupakan orang-orang yang dekat dengan hatinya sehingga kalau mereka ditawan, tentu ia akan mencoba untuk menolong mereka? Kedua, mengapa kedua orang pemuda ini yang dipilih untuk dijadikan umpan baginya?
Jelas, ada musuh-musuhnya yang menggunakan siasat ini untuk memancingnya masuk ke dalam perangkap. Ini tentu ada hubungannya dengan gangguan yang dilakukan orang kepadanya beberapa hari yang lalu. Thai-san Ngo-kwi? Dan nenek itu?
Liong-li menggosok-gosok hidungnya lagi. Ia mengingat kembali peristiwa apa yang mempertemukan ia dengan kedua orang pemuda itu. Ia bertemu dengan Song Tek Hin ketika ia bersama Pek-liong membasmi gerombolan yang dipimpin Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Dan ia bertemu dengan Kam Sun Ting ketika ia bersama Pek-liong membasmi gerombolan yang dipimpin oleh Siauw-bin Ciu-kwi, juga seorang di antara Kiu Lo-mo dalam peristiwa perebutan Patung Emas!
Ah, dua peristiwa yang didalangi oleh tokoh-tokoh Kiu Lo-mo! Berarti Kiu Lo-mo berdiri di belakang ini. Apalagi Thai-san Ngo-kwi yang mencoba untuk mengganggu rumahnya juga merupakan murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi! Liong-li menggosok-gosok hidungnya yang kecil mancung sampai menjadi kemerahan. Kini seluruh perhatian dan ingatannya ia kerahkan untuk mengingat tentang keadaan Kiu Lo-mo. Ia pernah bersama Pek-liong melakukan penyelidikan, mencari keterangan di dunia kang-ouw tentang Kiu Lo-mo.
Mereka itu terdiri dari sembilan orang tokoh sesat yang amat terkenal, lihai dan jahat sekali. Dan biarpun mereka berdiri sendiri-sendiri, namun ada semacam ikatan di antara mereka, semacam setia kawan yang membuat mereka dijuluki Sembilan Iblis Tua. Dua orang di antara mereka yaitu Lam-san Siang-kwi (Sepasang Iblis Gunung Selatan) telah tewas ketika bentrok dengan pasukan yang dipimpin para jagoan istana, belasan tahun yang lalu.
Kemudian ia bersama Pek-liong telah menewaskan empat orang di antara mereka, yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam), Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Tertawa), Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Lautan Selatan) dan Tiat-thouw Kui-bo (Siang Iblis Kepala Besi). Jadi sekarang, yang masih hidup tinggal tiga orang lagi di antara Sembilan Iblis Tua, yaitu Kim Pit Siu-cai (Sastrawan Pena Emas), Ang I Sian-li (Dewi Pakaian Merah), dan Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular Ekor Putih).
Ang I Sian-li! Ah, kenapa ia begitu bodoh? Liong-li menepuk kepalanya sendiri. Tentu saja! Nenek berpakaian merah yang pesolek itu, siapa lagi kalau bukan Ang I Sian-li, seorang di antara Kiu Lo-mo? Pantas begitu kua! Jelaslah sekarang, tentu sisa dari Kiu Lo-mo yang berada di balik semua peristiwa ini.
Kalau ketiga iblis tua itu masih hidup dan kini berusaha membalas dendam atas kematian empat orang iblis tua, tidak mengherankan kalau mereka itu menawan Song Tek Hin dan Kam Sun Ting! Agaknya mereka telah mengetahui akan semua peristiwa kematian saudara-saudara atau rekan-rekan mereka, melakukan penyelidikan dan tahu bahwa kedua pemuda itu terlibat dalam urusan pembasmian tokoh-tokoh Kiu Lo-mo itu...
Angin yang kuat sekali menyambar dari lengan baju itu dan kedua orang yang menyerang suami isteri itu terdorong dan terhuyung ke belakang! Mereka berdua maklum bahwa kakek yang membela suami isteri itu memiliki kesaktian, maka tanpa banyak sikap lagi keduanya lalu berlompatan melarikan diri dengan cepat sekali. Tentu saja Cian Hui dan isterinya merasa lega dan berterima kasih sekali kepada kakek yang amat lihai itu. Mereka memandang dengan penuh perhatian dan merasa kagum.
Kakek itu usianya sekitar enampuluh lima tahun, rambutnya sudah putih semua dan wajahnya nampak tua sedangkan tubuhnya kecil kurus dan kelihatan ringkih. Siapa tahu, dia memiliki sin-kang sedemikian hebatnya sehingga sekali menggerakkan tangan, hawa pukulannya membuat penjahat yang tangguh tadi terdorong dan terhuyung! Cian Hui dan isterinya cepat memberi hormat kepadanya dan Cian Hui berkata dengan suara yang mengandung rasa kagum dan hormat.
“Kami menghaturkan terima kasih kepada locianpwe yang telah menolong kami. Agaknya lo-cianpwe sudah mengetahui bahwa saya bernama Cian Hui dan ini isteri saya, Cu Sui In. Bolehkah kami mengenal nama besar locianpwe yang mulia?”
Kakek itu tersenyum dan mengeluarkan suara tawa aneh dan lirih. “Heh-heh, namaku tidak ada artinya bagi Ciang-kun, yang lebih penting Ciang-kun ketahui bahwa saya memang mencari Ciang-kun berdua isteri karena saya membawa pesan dari sahabat baik saya Pek-liong-eng...”
Mendengar ini, Cian Hui dan isterinya terkejut akan tetapi juga girang. Kiranya kakek lihai ini adalah sahabat Pek-liong-eng Tan Cin Hay. Pantas demikian lihainya! Akan tetapi karena di situ terdapat banyak orang yang berkumpul karena merasa tertarik oleh perkelahian tadi, Cian Hui berkata,
“Locianpwe, tidak leluasa untuk bicara di sini. Mari, kami persilakan locianpwe berkunjung ke rumah kami di mana kita dapat bicara dengan leluasa.”
“Heh-heh, begitupun lebih baik...” kakek itu mengangguk-angguk lalu mereka bertiga meninggalkan taman dan pergi ke rumah panglima itu.
Setelah mereka duduk di dalam ruangan tamu, Cian Hui dan isterinya yang duduk berhadapan dengan kakek itu segera bertanya apakah pesan yang dibawa oleh kakek itu dari Pek-liong, dan siapa pula nama kakek yang lihai itu.
“Heh-heh, sudah saya katakan bahwa nama saya tidak ada artinya bagi ji-wi (kalian berdua). Nama saya Gan Ki dan saya adalah seorang sahabat baik dari Pek-liong-eng dan Hek-liong-li. Pek-liong-eng yang mengutus saya mencari Ciang-kun dan nyonya..."
“Apakah pesan itu, Gan-locianpwe?” tanya Cian Hui.
“Dia berpesan agar sekarang juga ji-wi datang kepadanya. Dia berada dalam bahaya maut dan hanya ji-wi yang akan dapat menyelamatkannya. Saya diutus menjemput ji-wi dan sudah disediakan kereta untuk ji-wi di luar pintu gerbang selatan kota raja. Karena tidak ingin menarik perhatian orang, sengaja kereta itu saya tinggalkan di sana, siap untuk mengantar ji-wi ke tempat Pek-liong-eng berada.”
Tentu saja suami isteri itu terkejut bukan main mendengar bahwa Pek-liong berada dalam bahaya maut! “Di mana dia sekarang?” Sui In tak dapat menahan kecemasan hatinya dan bertanya. Bagaimanapun juga, Pek-liong merupakan orang yang pernah menjadi kekasihnya dan ia tidak pernah dapat melupakan pendekar itu.
“Di suatu tempat di lembah Huang-ho. Marilah kita segera berangkat, saya khawatir kita akan terlambat,” kakek itu mendesak.
Cian Hui teringat akan sesuatu. “Locianpwe, kalau Pek-liong berada dalam bahaya maut, kenapa lo-cianpwe mencari kami, bukan mencari Liong-li?”
“Liong-li? Ah, kau maksudkan Hek-liong-li Ciang-kun? Ia tidak berada di tempat tinggalnya dan menurut Pek-liong-eng, Hek-liong-li juga terancam maut. Karena itu, marilah cepat-cepat kita pergi agar jangan terlambat, Ciang-kun. Sebaiknya Ciang-kun pergi berdua seperti pesan Pek-liong-eng, jangan bawa pasukan pengawal karena hal ini tentu akan diketahui oleh pihak musuh dan celakalah Pek-liong-eng!”
Suami isteri itu saling pandang, wajah Sui In membayangkan kecemasan. “Mari kita cepat pergi dan menolongnya!” kata nyonya muda itu.
“Mari, kita berkemas dulu. Harap locianpwe menunggu sebentar di sini, kami hendak membuat persiapan dan berkemas,” kata Cian Hui.
Kakek itu mengangguk sambil tersenyum dan suami isteri itu masuk ke dalam. Setelah tiba di dalam, Cian Hui menarik tangan isterinya diajak ke belakang. “Aku curiga kepadanya, kita harus membuat persiapan,” bisiknya dan diapun menulis surat dengan cepat, memanggil kepala penjaga lalu menyerahkan surat itu dengan pesan agar cepat-cepat surat itu diserahkan kepada Teng Gun atau Teng Ciang-kun.
Setelah kepala penjaga itu pergi dengan cepat, dia dan isterinya lalu membawa bekal dan tidak lupa mereka mempersiapkan pedang dan senjata rahasia, juga obat-obatan. Sui In memesan kepada pelayan agar menjaga Cian Hong baik-baik dan agar para pengawal menjaga keselamatan anak itu, barulah mereka pergi ke ruangan tamu kembali dan disambut dengan senyum gembira oleh kakek rambut putih itu.
“Bagus, ji-wi tidak membuang-buang waktu. Mari kita cepat berangkat!” katanya dan suaranya terdengar gembira.
“Akan tetapi agar tidak menarik perhatian, kita jangan terlalu cepat berjalan selama berada dalam kota,” kata Cian Hui. “Ketahuilah, locianpwe, saya mempunyai tugas pekerjaan, akan tetapi terpaksa saya tinggalkan demi menolong Pek-liong-eng, sahabat baik kami.”
Kakek itu mengangguk-angguk. “Saya tahu, kalau bukan sahabat baik, tentu Pek-liong-eng tidak menyuruh saya mencari ji-wi.”
Mereka bertiga lalu keluar dari rumah Cian Hui dan berjalan dengan santai menuju ke selatan, ke arah pintu gerbang selatan. Tidak nampak ketegangan di wajah Cian Hui, apalagi ketika dia melihat beberapa orang dalam penyamaran mengamati mereka, yaitu para jagoan istana yang menjadi sahabat-sahabatnya. Kiranya Teng Ciang-kun, pembantunya yang setia, dapat bekerja dengan cepat sekali sesuai dengan isi suratnya yang dikirimkannya tadi. Tidak terjadi sesuatu selama mereka melakukan perjalanan santai menuju ke pintu gerbang selatan. Setelah keluar dari pintu gerbang, kakek itu berkata,
“Kami telah mempersiapkan sebuah kereta untuk melanjutkan perjalanan. Di sana keretanya, Ciang-kun,” dia menunjuk ke kiri, ke lorong yang menyimpang dari jalan raya.
Cian Hui dan Sui In mengikutinya memasuki lorong yang sepi itu, dan dari jauh nampak sebuah kereta sudah menanti. Tempat itu memang sepi, apa lagi cuaca mulai gelap remang-remang. Ketika sudah tiba di dekat kereta, suami isteri itu melihat dua orang berada di atas kereta, di bangku kusir dan mereka terkejut bukan main mengenal bahwa mereka itu bukan lain adalah si tinggi besar muka hitam dan si gendut yang tadi menyerang mereka di dalam taman!
“Heii! Apa artinya ini?” seru Cian Hui dan bersama isterinya diapun memutar tubuh untuk menghadapi kakek yang mengaku bernama Gan Ki.
Kakek itu berdiri menyeringai dan kini wajahnya yang nampak tua dan ringkih itu kelihatan licik dan kejam. “Artinya, kalian berdua menjadi tawanan kami.”
“Siapakah engkau sebenarnya dan mengapa pula hendak menawan kami?” Cian Hui bertanya dengan suara lantang karena marah.
Kini kakek yang sudah merasa yakin akan keberhasilannya, tertawa mengejek. “Ha-ha-ha, namaku memang Gan Ki walaupun tak pernah aku mempergunakan nama kecil itu. Dunia kang-ouw mengenalku sebagai Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular ekor Putih).”
Cian Hui terkejut. “Seorang di antara Kiu Lo-mo?”
“Heh-heh, engkau memang cerdik, Cian Ciang-kun. Memang benar sekali dugaanmu itu.”
“Lalu mengapa engkau menawan kami?”
“Agar Pek-liong-eng dan Hek-liong-li datang untuk menolong kalian. Bukankah kalian sahabat-sahabat baik mereka? Kalian kami tawan untuk menjadi umpan. Setelah dapat ikannya, kalian akan kami bebaskan.”
“Tidak sudi kami dijadikan umpan!” bentak Cu Sui In marah dan ia sudah mencabut pedangnya, diikuti suaminya yang juga mencabut pedang.
“Kalian hendak melawan? Ha-ha, menghadapi Thai-kwi dan Ji-kwi saja kalian tidak mampu menang, dan kalian hendak melawan aku?”
Cian Hui dan Cu Sui In yang sudah marah sekali tidak perduli dan menerjang kakek itu dengan pedang mereka. Pek-bwe Coa-ong tersenyum dan tubuhnya membuat gerakan seperti ular, lalu kedua lengannya didorongkan ke depan menyambut serangan itu.
“Wuuuuuttt...!” Angin dahsyat menyambut suami isteri itu dan betapapun mereka sudah mengerahkan sin-kang mempertahankan diri, tetap saja Cian Hui terjengkang dan Cu Sui In yang lebih tangguh, terdorong ke belakang dan terhuyung!
Cian Hui cepat mengeluarkan peluit kecil dan meniupnya. Terdengar suara nyaring dan belasan bayangan berkelebat. Mereka adalah jagoan-jagoan istana yang sudah berloncatan keluar dengan senjata di tangan dan di belakang mereka masih nampak puluhan orang perajurit.
Melihat ini, Pek-bwe Coa-ong terkejut, dan dua orang dari Thai-san Ngo-kwi juga terbelalak. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa suami isteri yang sudah mereka jebak itu berbalik memasang perangkap bagi mereka! Melihat bahwa keadaannya menjadi berbahaya karena diapun maklum bahwa jagoan-jagoan dari kota raja amat lihai dan jumlah mereka amat banyak.
Kakek itu mengeluarkan teriakan nyaring memberi isyarat kepada dua orang pembantunya dan merekapun berlompatan melarikan diri dengan cepat sekali, meninggalkan kereta dan kuda mereka. Mereka hanya bermaksud menawan suami isteri itu untuk dijadikan umpan. Usaha mereka telah gagal maka mereka tidak ingin terlibat dalam perkelahian dan permusuhan melawan pasukan keamanan pemerintah.
Cian Hui dan isterinya segera pulang dengan hati lega, akan tetapi setelah tiba di rumah, Sui In bertanya, “Bagaimana engkau bisa tahu bahwa dia berniat jahat dan telah mengerahkan bala bantuan?”
Cian Hui menghela napas. “Berkat pengalamanku selama bertahun-tahun, aku selalu waspada dan teliti. Ada banyak hal yang ganjil ketika kakek itu bercerita tentang Pek-liong-eng. Pertama kalau dia memang mencariku, bagaimana kita dapat bertemu dengan dia di taman, tepat pada saat kita diserang kedua orang itu? Kebetulan yang agaknya disengaja atau diatur. Kalau benar dia mencariku untuk menyampaikan pesan dari Pek-liong-eng tentu dia akan langsung saja datang ke rumah, bukan berkeliaran di taman. Kedua, kalau benar Pek-liong-eng membutuhkan bantuan kita, tentu dia akan mengirim surat, bukan secara lisan. Ketiga, kakek itu memiliki kepandaian tinggi, kalau dia benar sahabat baik dari Pek-liong-eng, mengapa dia jauh-jauh mencari kita dan bukan dia sendiri saja yang menolong Pek-liong? Kepandaiannya jauh di atas kita, lalu mencari kita apa gunanya? Keempat, dia bilang menyiapkan kereta untuk kita, dan tidak ingin menarik perhatian maka keretanya ditinggalkan di luar pintu gerbang. Hal ini tidak masuk diakal. Kalau kedatangannya bermaksud baik, kenapa dia menjauhkan perhatian orang? Pendeknya, banyak sekali pada dirinya yang menimbulkan kecurigaan, maka ketika kita masuk untuk berkemas, aku mengirim surat kepada Teng Ciang-kun agar dia mengirim bala bantuan yang kuat dan memasang barisan pendam di luar pintu gerbang, melihat perkembangan.”
Isterinya mengangguk-angguk dan memandang kagum kepada suaminya, “Engkau memang cerdik sekali. Kalau begitu, jelas bahwa Pek-liong dan Liong-li sebenarnya tidak berada dalam ancaman bahaya maut.”
“Engkau keliru. Kakek itu adalan Pek-bwe Coa-ong, seorang di antara Sembilan Iblis Tua. Setahuku, Pek-liong dan Liong-li telah membunuh empat orang di antara mereka, dan dua orang lagi, yaitu Lam-san Siang-kwi (Sepasang Iblis Gunung Selatan) telah lebih dahulu tewas. Jadi sisanya tinggal tiga orang lagi, yaitu Pek-bwe Coa-ong, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li. Mereka adalah orang-orang yang amat lihai dan berbahaya sekali. Siapa tahu mereka bertiga itu kini bersatu untuk membalas dendam atas kematian rekan-rekan mereka. Kalau mereka gagal menawan kita untuk dijadikan umpan, tentu mereka akan mempergunakan cara lain untuk membalas dendam kepada Pek-liong dan Liong-li. Dan aku harus cepat memberi kabar untuk memperingatkan mereka akan ancaman ini.”
“Engkau hendak pergi berkunjung kepada Pek-liong dan Liong-li? Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali karena Pek-bwe Coa-ong dan kawan-kawannya tentu akan berusaha menangkapmu.”
Cian Hui menggeleng kepala. “Aku sudah mereka kenal, aku akan menyuruh seorang pembantu yang cerdik untuk membawa suratku kepada Pek-liong, dan seorang pembantu lagi kusuruh mengantar surat kepada Liong-li.”
Demikianlah, malam hari itu juga Cian Hui membuat dua buah surat dan menyuruh anak buah yang pandai, seorang pergi ke dusun Pat-kwa-bun mencari Pek-liong-eng, dan seorang lagi pergi ke kota Lok-yang mencari Hek-liong-li.
********************
Hek-liong-li Lie Kim Cu duduk seorang diri di ruangan dalam rumahnya. Ia duduk seenaknya, mengangkat kedua kaki yang ditekuk lututnya ke atas kursi, nongkrong seorang diri di pagi hari itu. Rambutnya masih kusut, pakaiannya juga kacau dan tidak rapi karena ia baru saja bangun tidur dan belum sempat mandi dan bertukar pakaian karena pagi-pagi sudah disibukkan dengan termenung seorang diri.
Kadang-kadang ia menggosok-gosok hidungnya yang tidak gatal dan kesibukan menggosok hidung ini bagi yang sudah mengenalnya menjadi tanda bahwa wanita cantik jelita yang gagah perkasa ini sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, sedang mengerjakan kecerdasan otaknya untuk memecahkan persoalan yang rumit.
Dan memang Liong-li sedang termenung memikirkan semua peristiwa yang menimpa dirinya. Ia sudah mengerahkan semua pembantunya, beberapa hari yang lalu ia membawa sembilan orang pembantunya, semua bersenjata lengkap, mendaki puncak Thai-san hendak menyerbu sarang Thai-san Ngo-kwi. Akan tetapi, ternyata yang disergapnya hanyalah sarang yang kosong belaka.
Semua burung sudah meninggalkan sarang, atau lebih tepat lagi, semua srigala telah meninggalkan sarang mereka. Tak seorangpun dari Thai-san Ngo-kwi maupun anak buah mereka dapat ia temukan. Saking kecewa dan marahnya, Liong-li dan anak buahnya membakar sarang itu sampai habis rata dengan tanah. Akan tetapi perbuatan itu masih belum menenangkan hatinya. Jelas bahwa Thai-san Ngo-kwi memusuhinya karena hendak membalas dendam kematian guru mereka, yaitu Siauw-bin Ciu-kwi. Akan tetapi, agaknya mereka tidak berdiri sendiri.
Nenek pesolek yang lihai itu tentu yang menjadi dalangnya dan ia tidak.mengenal nenek itu. Tidak tahu pula di mana sekarang mereka berada. Dan selama ia belum dapat membasmi mereka, tentu ia akan selalu terancam. Sekarangpun ia melarang anak buahnya keluar seorang diri. Tidak aman bagi mereka. Diancam musuh yang bergerak secara bersembunyi sungguh tidak mengenakkan hati, selalu tegang dan harus waspada setiap saat. Ia harus dapat menghancurkan mereka. Akan tetapi di mana mereka?
Ia teringat kepada Pek-liong. Kenapa belum juga ada balasan dari Pek-liong? Tiba-tiba daun pintu ruangan itu diketuk seorang pembantunya. Ang-hwa yang berpakaian serba merah itu muncul.
“Li-hiap ada seorang tamu hendak bertemu dengan li-hiap, katanya dia membawa surat dari Song Tek Hin dan Kam Sun Ting.”
Liong-li mengerutkan alisnya. Terlalu banyak nama yang dikenalnya, maka untuk mengingat dua nama itu ia harus menggali ingatannya. Kemudian ia teringat. Song Tek Hin adalah pemuda tegap tampan yang dikenalnya lima tahun yang lalu, dan Kam Sun Ting adalah seorang pemuda ramping tegap kokoh kuat, perenang dan penyelam tangguh di Telaga Po-yang itu yang dikenalnya tiga tahun yang lalu. Kedua pemuda itu adalah sahabat-sahabat baiknya, bukan sekadar sahabat malah, mereka pernah menjadi kekasihnya dan teringat kepada mereka mendatangkan kehangatan di hatinya.
“Suruh dia menunggu di ruangan tamu dan ingat, jaga dia baik-baik, awasi gerak-geriknya dan cegah sesuatu terjadi kepadanya. Aku mau mandi sebentar.”
Ang-hwa mengangguk dan pergi. Liong-li cepat mandi air dingin dan tak lama kemudian ia telah memasuki ruangan tamu dengan wajah segar dan pakaian yang rapi, pakaian serba hitam yang selalu menutupi tubuhnya. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, melihat pakaiannya tentu seorang desa, bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada Liong-li dengan kagum. Biarpun ia berhadapan dengan seorang dusun yang sederhana, namun karena orang itu menjadi tamunya, Liong-li cepat mengangkat kedua tangan, depan dada, lalu berkata,
“Apakah paman hendak bertemu dengan saya?”
Pria itu nampak bingung. “Saya ingin berjumpa dengan... yang namanya Hek-liong-li...”
Liong-li tersenyum. Jelas bahwa orang ini belum pernah melihatnya, juga agaknya tidak tahu bahwa Hek-liong-li adalah sebuah julukan. Orang ini jelas seorang petani sederhana biasa, sehingga semakin menarik mengapa orang seperti ini hendak bertemu dengannya.
“Akulah Hek-liong-li, paman. Ada keperluan apakah paman hendak bertemu dengan aku?”
Dengan gugup orang itu mengeluarkan dua sampul surat dari dalam saku bajunya, “Aku hendak menyampaikan surat dari Song Tek Hin dan Kam Sun Ting.”
Demikian cepat dia mengucapkan dua nama itu seolah-olah dua nama itu telah dihafalkan berulang kali. Dia menyerahkan dua sampul surat itu kepada Liong-li yang menerimanya. Dua macam tulisan tangan di luar sampul yang menyebutkan namanya dengan jelas, nama berikut julukannya, yaitu Hek-liong-li Lie Kim Cu.
Tentu saja ia tidak mengenal bagaimana bentuk tulisan dua orang pria itu, dan tidak tahu apakah dua sampul surat ini benar dari mereka ataukah hanya tulisan palsu. Ia mengangkat mengamati wajah yang sederhana itu.
“Siapakah namamu, paman?”
“Namaku? Namaku Theng Kiu, nona.”
“Tempat tinggal paman?”
“Di luar kota ini, sebelah barat, dekat sungai. Aku seorang petani, juga nelayan...”
“Paman mengenal Song Tek Hin dan Kam Sun Ting?”
Petani itu menggeleng kepala. “Sama sekali tidak mengenal mereka, melihatpun belum.”
“Lalu bagaimana surat-surat ini...?”
“Aku menerimanya dari seorang laki-laki. Malam tadi ketika aku sedang menjala ikan di pantai sungai, muncul seorang laki-laki dan dia menyerahkan dua buah surat ini kepadaku dengan pesan agar aku menyampaikannya kepada Hek-liong-li yang tinggal di rumah ini.”
“Paman begitu taat kepadanya. Siapakah dia yang menyerahkan surat itu?”
“Aku tidak tahu, nona. Dia menyerahkan dua buah surat ini dan aku diberi upah sepotong perak, dengan pesan agar aku menyampaikan surat-surat ini dan jangan melupakan nama-nama pengirimnya. Karena hari telah malam, maka aku menunda sampai pagi ini.”
Liong-li mengangguk-angguk, memuji kecerdikan si pengirim surat. “Apakah paman dapat menceritakan bagaimana rupanya orang itu?”
“Malam itu gelap sekali di tepi sungai, nona. Aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, hanya dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar. Itu saja yang kuketahui.”
Kembali Liong-li mengangguk-angguk karena ia sudah menduga demikian. Kiranya tidak ada yang dapat ia harapkan memperoleh keterangan dari orang ini, maka iapun mengeluarkan sepotong perak dan menyerahkan kepadanya.
“Ini hadiah untukmu, paman. Kalau orang itu muncul lagi dan paman mengenalnya, harap paman suka cepat memberitahu kepadaku, dan aku akan memberi hadiah yang lebih banyak.”
Wajah itu berseri dan tangan itu gemetar ketika menerima sepotong perak itu. Selama hidupnya, baru dua kali ini dia melihat sepotong perak yang amat berharga, yaitu malam tadi dan pagi ini. Dia mengangguk-angguk mengucapkan terima kasih dan berjanji akan memenuhi permintaan Liong-li. Kemudian dia pamit dan meninggalkan runah itu dengan hati yang gembira bukan main. Dalam waktu singkat dia telah memperoleh hasil melebihi hasil dia bekerja selama dua bulan!
Dengan tenang Liong-li membuka sampul surat dan membacanya sambil tetap duduk di ruangan tamu itu, tenggelam ke dalam sebuah kursi yang besar. Alisnya berkerut ketika membaca dua buah surat itu. Tulisan tangannya berbeda, akan tetapi isinya senada, yaitu keduanya mengatakan bahwa mereka telah menjadi tawanan musuh di lembah Huang-ho dan kalau ia tidak segera datang menolong mereka, tentu mereka akan dibunuh!
Liong-li menggosok-gosok hidungnya, kedua matanya terpejam. Ia membayangkan dua orang pemuda itu, terutama watak mereka. Song Tek Hin adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu silat yang cukup lihai, berjiwa pendekar. Sama sekali bukan seorang yang berwatak pengecut dan takut mati. Apalagi Kam Sun Ting. Penyelam yang gagah ini seorang yang jantan, biarpun ilmu silatnya tidaklah sehebat ilmunya menyelam, namun dia berhati baja dan pemberani. Juga sama sekali bukan seorang pengecut.
Kesimpulannya adalah bahwa ada dua kemungkinan. Surat ini bukan tulisan mereka, atau kalau benar tulisan mereka, tentu ada sesuatu yang memaksa mereka menulis surat seperti ini. Dan jelas ini merupakah suatu jebakan baginya. Tentu pihak penulis surat palsu, atau pihak penawan kedua orang pemuda itu sengaja memancingnya datang ke lembah Huang-ho dan sudah bersiap-siap untuk mencelakakannya.
Ada dua hal yang mempertebal dugaannya bahwa ini bukan surat palsu. Pertama, siapakah orangnya yang tahu bahwa kedua orang pemuda ini merupakan orang-orang yang dekat dengan hatinya sehingga kalau mereka ditawan, tentu ia akan mencoba untuk menolong mereka? Kedua, mengapa kedua orang pemuda ini yang dipilih untuk dijadikan umpan baginya?
Jelas, ada musuh-musuhnya yang menggunakan siasat ini untuk memancingnya masuk ke dalam perangkap. Ini tentu ada hubungannya dengan gangguan yang dilakukan orang kepadanya beberapa hari yang lalu. Thai-san Ngo-kwi? Dan nenek itu?
Liong-li menggosok-gosok hidungnya lagi. Ia mengingat kembali peristiwa apa yang mempertemukan ia dengan kedua orang pemuda itu. Ia bertemu dengan Song Tek Hin ketika ia bersama Pek-liong membasmi gerombolan yang dipimpin Hek-sim Lo-mo, seorang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua). Dan ia bertemu dengan Kam Sun Ting ketika ia bersama Pek-liong membasmi gerombolan yang dipimpin oleh Siauw-bin Ciu-kwi, juga seorang di antara Kiu Lo-mo dalam peristiwa perebutan Patung Emas!
Ah, dua peristiwa yang didalangi oleh tokoh-tokoh Kiu Lo-mo! Berarti Kiu Lo-mo berdiri di belakang ini. Apalagi Thai-san Ngo-kwi yang mencoba untuk mengganggu rumahnya juga merupakan murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi! Liong-li menggosok-gosok hidungnya yang kecil mancung sampai menjadi kemerahan. Kini seluruh perhatian dan ingatannya ia kerahkan untuk mengingat tentang keadaan Kiu Lo-mo. Ia pernah bersama Pek-liong melakukan penyelidikan, mencari keterangan di dunia kang-ouw tentang Kiu Lo-mo.
Mereka itu terdiri dari sembilan orang tokoh sesat yang amat terkenal, lihai dan jahat sekali. Dan biarpun mereka berdiri sendiri-sendiri, namun ada semacam ikatan di antara mereka, semacam setia kawan yang membuat mereka dijuluki Sembilan Iblis Tua. Dua orang di antara mereka yaitu Lam-san Siang-kwi (Sepasang Iblis Gunung Selatan) telah tewas ketika bentrok dengan pasukan yang dipimpin para jagoan istana, belasan tahun yang lalu.
Kemudian ia bersama Pek-liong telah menewaskan empat orang di antara mereka, yaitu Hek-sim Lo-mo (Iblis Tua Berhati Hitam), Siauw-bin Ciu-kwi (Setan Arak Muka Tertawa), Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Lautan Selatan) dan Tiat-thouw Kui-bo (Siang Iblis Kepala Besi). Jadi sekarang, yang masih hidup tinggal tiga orang lagi di antara Sembilan Iblis Tua, yaitu Kim Pit Siu-cai (Sastrawan Pena Emas), Ang I Sian-li (Dewi Pakaian Merah), dan Pek-bwe Coa-ong (Raja Ular Ekor Putih).
Ang I Sian-li! Ah, kenapa ia begitu bodoh? Liong-li menepuk kepalanya sendiri. Tentu saja! Nenek berpakaian merah yang pesolek itu, siapa lagi kalau bukan Ang I Sian-li, seorang di antara Kiu Lo-mo? Pantas begitu kua! Jelaslah sekarang, tentu sisa dari Kiu Lo-mo yang berada di balik semua peristiwa ini.
Kalau ketiga iblis tua itu masih hidup dan kini berusaha membalas dendam atas kematian empat orang iblis tua, tidak mengherankan kalau mereka itu menawan Song Tek Hin dan Kam Sun Ting! Agaknya mereka telah mengetahui akan semua peristiwa kematian saudara-saudara atau rekan-rekan mereka, melakukan penyelidikan dan tahu bahwa kedua pemuda itu terlibat dalam urusan pembasmian tokoh-tokoh Kiu Lo-mo itu...