LIONG LI kembali mengingat-ingat. Belum lama ini, ketika ia dan Pek-liong membasmi Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo, ada pula seorang pria yang terlibat, yaitu Cian Hui atau Cian Ciang-kun, panglima muda di kota raja. Apakah dia juga menjadi sasaran tiga orang dari Kiu Lo-mo?
Liong-li mengepal tinju. Bagaimanapun juga, merupakan jebakan atau tantangan, betapapun besar bahaya yang ia hadapi, ia harus menolong dua orang pemuda itu! Tidak mungkin ia membiarkan mereka berkorban karena perbuatan ia dan Pek-liong. Ah, Pek-liong tentu akan melakukan hal yang sama. Ia mengenal benar isi hati Pek-liong.
Tiba-tiba ia teringat kembali. Kalau ia mengalami serangan, dan kini menerima surat-surat yang agaknya merupakan umpan perangkap baginya, tentu Pek-liong juga tidak akan dilupakan oleh sisa Kiu Lo-mo! Apakah Pek-liong juga mengalami serangan seperti yang ia alami? Dan menerima surat-surat seperti ini?
Tidak, ia tidak akan menanti surat balasan dari Pek-liong. Akan terlalu lama dan ia khawatir terlambat. Ia harus segera pergi menolong dua orang pemuda itu, dan sembilan anak buahnya sudah lebih dari cukup untuk membantunya. Liong-li lalu memanggil sembilan orang pembantunya. Dengan cepat mereka berdatangan dan sepuluh orang gadis-gadis cantik itu mengadakan perundingan di dalam kamar rahasia di rumah besar itu. Liong-li mengatur rencana siasatnya untuk melakukan penyelidikan di lembah Huang-ho dan membagi-bagi tugas.
Sembilan orang anak buahnya memperhatikan dan mencatat dalam hati semua tugas yang diserahkan kepada mereka. Kemudian mereka membuat persiapan dan berkemas. Liong-li sendiri membuat sehelai surat untuk Pek-liong dan ia meletakkan surat itu di tempat rahasia depan rumahnya, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh ia dan Pek-liong berdua.
Lalu sehelai surat lagi ia buat untuk Cian Hui dan surat ini ia titipkan kepada seorang anak tetangga yang biasa ia suruh-suruh, seorang anak yang cerdik dengan pesan kalau ada seseorang yang gambarannya seperti Cian Hui, agar surat itu diserahkan setelah orang itu mengaku siapa namanya.
Pada hari itu juga, berangkatlah Liong-li dan sembilan orang pembantunya. Akan tetapi, kalau ada orang mengintai di sekitar tempat itu, tidak nampak sepuluh orang wanita yang pergi bersama, karena masing-masing mengambil jalan sendiri melalui pintu-pintu dan lorong-lorong rahasia. Hanya nampak Liong-li seorang yang meninggalkan pekarangan rumahnya dengan langkah santai.
Tepat seperti dugaan Liong-li, Pek-liong juga menerima surat yang senada. Hanya saja, pendekar ini menerima jauh lebih lama dari pada Liong-li menerimanya karena tempat tinggal Pek-liong jauh di selatan. Ketika Pek-liong menyuruh pembantunya menyelidiki daerah Sungai Yang-ce di mana mendiang Thian-te Siang-houw merajalela, dia tidak mendapatkan keterangan yang meyakinkan.
Dia tetap tidak percaya kalau Thian-te Siang-houw memusuhinya tanpa ada yang mendalangi mereka, karena dua orang sesat setingkat mereka itu tidak, mungkin akan berani mengusiknya tanpa ada pendorong yang lebih kuat. Akan tetapi mereka telah tewas dan pembantunya tidak berhasil mendapat keterangan siapa kiranya yang merupakan pendukung mereka.
Kemudian datanglah surat dari Liong-li. Ketika dibacanya surat itu yang menceritakan tentang peristiwa yang dialami orang yang paling dipuja, paling dicinta, paling dihormati dan dihargainya di seluruh dunia itu, Pek-liong tersenyum. Tak salah dugaannya. Serangan dan gangguan itu bukan hanya menimpa dirinya sendiri. Bahkan Liong-li tertimpa lebih hebat lagi. Diapun mengangguk-angguk ketika membaca bahwa yang mengganggu Liong-li adalah Thai-san Ngo-kwi, murid-murid dari mendiang Siauw-bin Ciu-kwi.
Pek-liong meraba-raba dagunya sambil melamun. Inilah ciri khasnya kalau dia sedang menggunakan daya pikirannya untuk memecahkan sesuatu. Murid-murid Siauw-bin Ciu-kwi, berarti ada hubungannya dengan Kiu Lo-mo. Sudah tiga kali dia dan Liong-li bentrok dengan Kiu Lo-mo. Bentrokan pertama membuat mereka berhasil menewaskan Hek-sim Lo-mo, bentrokan kedua mereka menewaskan Siauw-bin Ciu-kwi, dan dalam bentrokan terakhir, yang ketiga kalinya mereka menewaskan Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo.
Dia lalu berpikir apakah Thian-te Siang-houw juga mempunyai hubungan dengan Kiu Lo-mo? Jelas bahwa bukan Liong-li saja yang diincar musuh. Dia sendiripun menjadi sasaran musuh, yang belum diketahuinya siapa penggerak dari Siang-houw itulah. Entah siapa Pouw Bouw Ki, kakak dari nona Pouw Bouw Tan, dibunuh orang karena bentuk tubuh dan wajahnya mirip dia. Mungkin pembunuhnya adalah Thian-te Siang-houw.
Dan dia sendiri didatangi orang yang tewas dalam rumahnya, terjebak alat rahasia sehingga terjepit kepalanya dan hancur wajahnya sehingga tidak dapat dikenali siapa. Jelas bahwa Liong-li dan dia sedang diincar oleh orang-orang yang menghendaki kematian mereka. Akan tetapi siapa?
Beberapa hari kemudian, seorang kanak-kanak berusia sepuluh tahun datang mengantar dua buah surat kepadanya. Anak itu menceritakan pengalamannya. Dia putera seorang nelayan di tepi Telaga Barat (See Ouw). Pagi tadi, seorang laki-laki setengah tua yang mukanya hitam dan tubuhnya tinggi besar menghampirinya ketika dia sedang mengail ikan di tepi telaga.
“Hei, anak baik, apakah engkau tahu di mana rumahnya Pek-liong-eng?”
Anak yang disebut A-sam itu tentu saja tahu. Nama besar Pek-liong-eng dikenal oleh seluruh orang di sekitar telaga itu, dari kanak-kanak sampai orang tua. Siapa tidak mengenal pendekar yang dermawan itu? “Saya tahu, rumahnya di dusun Pat-kwa-bun!” kata anak itu dengan suara bangga.
“Bagus! Anak baik, maukah engkau mendapatkan upah sebanyak ini?” Orang itu mengeluarkan uang tembaga yang cukup banyak, bahkan terlalu banyak bagi A-sam yang anak keluarga nelayan miskin.
“Tentu saja saya mau!” kata anak itu, heran dan tidak percaya bahwa orang itu akan memberi uang sedemikian banyaknya.
“Bagus, kalau begitu, berikan surat-surat ini kepada Pek-liong-eng, dan semua uang ini menjadi milikmu. Maukah engkau?”
“Mau, tentu saja saya mau!” kata anak itu, melepaskan pancingnya saking girang hatinya.
“Nah, simpanlah surat ini baik-baik dan terimalah uang ini. Akan tetapi hati-hati kau, kalau engkau berbohong dan tidak menyampaikan surat ini kepada Pek-liong-eng, aku akan datang lagi dan akan kuhancurkan kepalamu seperti ini!” Orang itu meninju sebongkah batu sebesar kepala anak itu dan batu itupun hancur!
Tentu saja A-sam menjadi pucat dan dengan suara gemetar dia berkata. “Akan saya sampaikan, saya tidak berani berbohong.”
Demikianlah keterangan A-sam ketika dia menyerahkan surat kepada Pek-liong dan menjawab pertanyaan pendekar itu. Ketika ditanya tentang gambaran orang itu, A-sam hanya ingat bahwa orang itu tinggi besar bermuka hitam. Itu saja.
Pek-liong memberi upah, menyuruh A-sam pergi dan dia lalu membaca dua buah surat itu. Tulisannya berbeda, namun nadanya sama. Sebuah surat ditulis oleh Su Hong Ing, dan yang kedua oleh Kam Cian Li, dan keduanya memberitahukan bahwa mereka ditawan musuh di lembah Huang-ho dan mereka mengharapkan pertolongan Pek-liong. Hanya itu saja.
Seperti yang dilakukan Liong-li, Pek-liong tenggelam dalam lamunan ketika membaca kedua buah surat itu. Dua orang gadis yang pernah menjadi kekasihnya, yang mencintanya. Dia mendengar bahwa Su Hong Ing telah menjadi isteri Song Tek Hin, dan Su Hong Ing adalah murid Bu-tong-pai yang pandai dan lihai. Juga Kam Cian Li telah menjadi gadis hartawan di samping kakaknya, Kam Sun Ting. Bagaimana kedua orang wanita itu kini menjadi tawanan musuh? Siapakah musuh itu? Tidak mereka sebutkan dalam surat.
Dan dia tahu benar bahwa dua orang wanita itu amat mengagumi dan mencintanya, sehingga tidak mungkin mereka mau mencelakakan dia. Akan tetapi kenapa mereka membuat surat seperti itu? Padahal, jelas surat itu merupakan pancingan agar dia datang menolong mereka dan musuh itu tentu akan menyambutnya dengan perangkap.
Pek-liong masih terbenam dalam lamunan setelah menerima surat itu dan kembali dia meraba-raba dagunya. Otaknya yang cerdik bekerja keras. Merupakan hal yang amat mencurigakan betapa dua orang wanita itu, Su Hong Ing dan Kam Cian Li dapat menjadi tawanan dalam waktu yang bersamaan, dan keduanya juga bersama-sama menyurati dia.
Yang seorang tinggal di dekat kota Cin-an, yang kedua tinggal di Nan-cang dekat telaga Po-yang, terpisah jauh. Bagaimana kini mereka dapat berkumpul sebagai tawanan? Apa yang membuat musuh-musuh itu menawan kedua orang wanita ini? Jelas, surat itu untuk memancingnya agar dia mau datang ke lembah Huang-ho untuk menolong mereka. Akan tetapi mengapa kedua orang itu? Pada hal, teman-temannya banyak. Mengapa justeru mereka?
Dia mengingat kembali pertemuannya dengan mereka. Su Hong Ing dijumpainya ketika dia bersama Liong-li membasmi Hek-sim Lo-mo, dan Kam Cian Li dijumpainya ketika dia bersama Liong-li membasmi Siauw-bin Ciu-kwi! Dan Liong-li diserang oleh Thai-san Ngo-kwi, murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi. Dalam suratnya, secara singkat Liong-li juga menyebut adanya nenek berpakaian merah yang amat lihai, yang membantu Thai-san Ngo-kwi.
“Ah, tidak salah lagi. Tentu mereka yang mendalangi semua ini. Sisa Kiu Lo-mo tinggal tiga, Ang I Sian-li, Kim Pit Siu-cai, dan Pek-bwe Coa-ong! Siapa lagi kalau bukan mereka yang hendak membalas dendam atas kematian empat orang rekan mereka yang kubasmi bersama Liong-li? Ini berbahaya, mereka adalah orang-orang lihai yang amat jahat!”
Tiba-tiba dia teringat. Ketika dia bersama Liong-li membasmi Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo, juga ada dua orang yang terlibat, yaitu Cian Hui dan Cu Sui In. Kalau memang sisa Kui Lo-mo hendak menangkap orang-orang yang terlibat tentu Cian Hui dan Sui In yang menjadi isterinya itu akan terancam pula. Akan tetapi dia teringat betapa cerdiknya Cian Hui dan sebagai seorang panglima muda yang berkedudukan di kota raja, kedudukannya kuat karena dia memiliki pasukan.
Selain itu, Cian Hui jauh lebih lihai dibandingkan dua orang wanita yang ditawan musuh, bahkan isterinya, Cu Sui In yang murid Kun-lun-pai, lebih lihai lagi. Agaknya kawanan penjahat tidak dapat menawan Cian Hui dan isterinya, maka tidak ada surat dari mereka kepadanya!
Pek-liong berpendapat bahwa bukan hanya dua orang wanita itu saja yang terancam bahaya seperti tertulis dalam surat mereka, walaupun dia belum yakin apakah surat-surat itu tidak palsu, melainkan juga Liong-li terancam bahaya. Dia harus bertindak, dan karena sekali ini, kalau perhitungannya tepat, dia akan berhadapan dengan sisa Kiu Lo-mo, yaitu tiga orang datuk sesat yang lihai, dia membutuhkan bantuan enam orang pelayan yang juga menjadi pembantunya, juga boleh dibilang murid-muridnya karena dia telah menggembleng mereka menjadi pembantu-pembantu yang dapat diandalkan dan pandai ilmu silat, juga cerdik dan setia.
Cepat dia mengumpulkan enam orang pembantunya dan menceritakan kepada mereka semua yang terjadi, lalu mengatur siasat dan membagi tugas. Enam orang pembantunya itu secara berpencar dia beri tugas untuk melakukan penyelidikan ke lembah Huang-ho yang patut dicurigai menjadi sarang musuh-musuh itu, kemudian menanti dia di sana, siap untuk membantunya. Dia sendiri akan lebih dahulu singgah ke Lok-yang di selatan Sungai Kuning (Huang-ho) untuk mencari Liong-li sebelum berangkat pula ke lembah Huang-ho.
Di dalam surat kedua orang wanita itu, hanya minta agar dia datang menolong mereka yang ditawan di lembah Huang-ho di perbukitan Hek-san (Bukit Hitam). Padahal perbukitan itu panjang dan luas, maka harus diselidiki di mana kiranya sarang mereka yang menawan dua orang wanita itu.
Bagaimana dua pasang suami isteri dan kakak beradik yang ditawan itu sampai mau mengirim surat kepada Liong-li dan Pek-liong? Padahal, mereka berempat adalah orang-orang gagah yang tidak akan sudi membantu penjahat untuk menjadi umpan dan memancing datangnya dua orang yang mereka sayangi dan hormati itu masuk dalam perangkap penjahat.
Perkembangan yang tidak menguntungkan mereka telah terjadi di tempat tawanan itu. Baru sehari setelah menjadi tawanan di situ, Song Tek Hin dan Su Hong Ing yang mendapat kebebasan walaupun selalu diawasi, tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk meloloskan diri atau memberontak kalau perlu.
Mereka melihat ketika kakak beradik Kam datang sebagai tawanan pula dan ditempatkan di kamar nomor dua, tak jauh dari kamar mereka. Mereka memang tidak saling mengenal, akan tetapi dari sikap masing-masing, mereka dapat saling menduga bahwa mereka berempat mempunyai nasib yang sama.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Su Hong Ing yang melakukan pendekatan kepada Kam Cian Li. Para penjaga tidak melarang ketika dua orang wanita ini bercakap-cakap dan dalam percakapan itu, dengan hati-hati mereka saling bertanya dan betapa kaget hati mereka bahwa mereka benar-benar mengalami nasib yang sama. Keduanya ditangkap untuk dijadikan umpan bagi Pek-liong dan Liong-li!
“Kita harus menggunakan kesempatan ini untuk meloloskan diri! Kita tidak boleh menjadi umpan untuk mencelakai Pek-liong dan Liong-li,” bisik Su Hong Ing.
“Engkau benar, enci. Akan tetapi bagaimana caranya? Mereka amat lihai, kita tidak mungkin dapat menang, tidak mungkin dapat lolos dari tempat ini,” jawab Kam Cian Li sambil berbisik pula.
“Kita harus berani mencoba. Memang kami berdua juga tertawan karena kalah oleh iblis betina itu, dan tentu kakek yang menawan kalian itu lihai pula karena mereka adalah para tokoh Kiu Lo-mo. Akan tetapi kalau kita berempat bersatu, tentu kita akan menjadi lebih kuat. Bagaimana mungkin kita berdiam diri saja dan membiarkan kita dijadikan umpan yang akan mencelakakan dua orang yang kita sayang dan hormati, lebih dari pada lain orang?”
Cian Li mengangguk-angguk, bangkit semangatnya. Tentu saja gadis yang masih selalu terkenang dengan penuh kerinduan kepada Pek-liong, kekasih pertamanya itu, tidak rela melihat Pek-liong celaka. “Aku siap, enci, dan akan kuberitahu kakakku. Tapi kapan dan bagaimana?”
“Malam nanti. Yang bertugas adalah penjaga-penjaga biasa. Kita menyelinap keluar dan kita bunuh kalau ada penjaga yang mencoba menghalangi. Memang berbahaya. Akan tetapi siapa berani menjamin bahwa kita akan dibebaskan kalau Pek-liong dan Liong-li sudah terpancing ke sini, kemudian kedua orang pendekar itu dapat mereka tangkap? Mungkin kita semua juga akan dibunuh. Dari pada dibunuh seperti babi, bukankah lebih baik mati seperti harimau yang melawan dengan gagah?”
Ucapan Su Hong Ing yang membakar semangat itu membuat Kam Cian Li berkobar dan gadis ini lalu membisikkan rencana untuk kabur itu kepada kakaknya, dan Hong Ing juga membujuk suaminya. Dua orang pria itupun akhirnya setuju karena mereka yakin apakah kalau Pek-liong dan Liong-li dapat tertawan atau terbunuh oleh para penjahat, mereka akan dibiarkan pergi.
Demikianlah, malam itu kebetulan gelap gulita Dua pasang pria wanita itu saling memberi isyarat, lalu bersama-sama menyelinap keluar dari kamar mereka. Yang bertugas jaga di dekat kamar mereka masing-masing hanya dua orang. Dengan sigap dan tidak banyak kesukaran, dua pasang tawanan itu dapat merobohkan empat orang penjaga itu dan merampas pedang mereka. Kemudian mereka menyusup-nyusup mencari jalan keluar melalui tempat-tempat yang gelap dalam kompleks bangunan itu.
Keadaan nampak sunyi sehingga melegakan hati empat orang buronan itu. Mereka menyelinap dengan hati-hati dan akhirnya dapat tiba di dekat pintu gerbang di depan. Hanya dari pintu itulah mereka dapat melarikan diri karena pagar tembok yang mengitari perumahan itu amat tinggi dan di atas pagar tembok itu dipasangi besi-besi runcing. Tak mungkin melompati pagar tembok itu. Juga tidak ada tali yang panjang untuk memanjat. Satu-satunya jalan hanyalah menyerbu keluar melalui pintu gerbang.
Song Tek Hin dan Su Hong Ing mengintai dari sebelah kiri pintu gerbang, sedangkan kakak beradik Kam mengintai dari sebelah kanan. Jantung mereka berdebar tegang. Hanya ada dua kemungkinan. Sekarang berhasil atau selamanya gagal. Hidup atau mati. Mereka sudah nekat.
Di pintu gerbang itu terdapat selosin orang penjaga. Kalau kepandaian mereka hanya biasa saja, tentu mereka berempat akan mampu mengalahkan selosin orang itu dan ini berarti lolos! Song Tek Hin yang kini menjadi pimpinan, memberi isyarat, lalu bersama isterinya dia melompat keluar, menyerbu ke arah para penjaga yang sedang mengobrol. Kakak beradik Kam juga berloncatan keluar dan menyerbu.
Tentu saja para penjaga menjadi kaget dan kacau balau. Namun seorang di antara mereka meniup peluit berkali-kali sedangkan teman-temannya melakukan perlawanan dengan golok mereka. Empat orang buronan itu mengamuk, akan tetapi diam-diam mereka mengeluh karena ternyata selosin orang itu bukan lawan yang lunak dan dapat mereka robohkan dalam waktu singkat. Setelah bertempur beberapa lamanya, mereka baru berhasil merobohkan empat orang.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Mundur kalian semua!”
Para penjaga mundur dan cepat mereka menyalakan lebih banyak obor untuk menerangi tempat itu. Ketika empat orang buronan itu mengangkat muka memandang, mereka melihat lima orang yang bersikap bengis berdiri menghadang di depan mereka. Empat orang buronan itu merasa lega karena tidak nampak si nenek pakaian merah dan kakek sastrawan pakaian putih yang amat lihai itu.
Tidak ada dua orang dari Kiu Lo-mo. Maka, dengan nekat dan semangat berkobar empat orang buronan itu menggerakkan pedang rampasan dan menyerang ke arah lima orang yang berdiri menghadang itu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka berhadapan dengan Thai-san Ngo-kwi yang lihai bukan main. Biarpun tingkat kepandaian Thai-san Ngo-kwi belum setinggi tingkat Kiu Lo-mo, akan tetapi jelas mereka ini jauh lebih kuat dari pada empat orang buronan itu.
Thai-san Ngo-kwi tertawa mengejek, mereka sudah mencabut golok dan menyambut serangan dua pasang tawanan itu. Dalam waktu belasan jurus saja, empat batang pedang rampasan itu patah-patah dan dua pasang tawanan itupun roboh dan diringkus kembali. Dalam keadaan terbelenggu mereka digiring kembali ke dalam kamar mereka, didorong masuk ke dalam kamar dalam keadaan terbelenggu dan kamar mereka dikunci dari luar!
Gagallah usaha pelarian itu dan pada keesokan harinya, mereka berempat di seret satu demi satu dihadapkan kepada Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li, dan Pek-bwe Coa-ong, sedangkan Thai-san Ngo-kwi juga hadir di ruangan itu. Biarpun dihadapkan seorang diri saja di depan pimpinan gerombolan penjahat itu, empat orang gagah ini tidak bersikap takut. Dengan gagah mereka itu memiliki sikap yang sama, yaitu menentang dan tidak sudi dijadikan umpan untuk memancing datangnya Pek-liong dan Liong-li!
Ang I Sian-li tidak menjadi marah-marah seperti dua orang rekannya menghadapi kekerasan kepala empat orang itu. Ia memerintahkan kepada Thai-san Ngo-kwi untuk menghadapkan para tawanan itu sepasang, pertama dimulai dengan pasangan suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing.
Setelah dua orang yang terbelenggu ini dihadapkan mereka, suami isteri itu berdiri tegak dan memandang dengan mata penuh kemarahan dan kebencian, sedikitpun tidak mau tunduk. Ang I Sian-li lalu berkata kepada mereka.
“Kalian berdua suami isteri memang mengagumkan sekali dan pantaslah menjadi sahabat-sahabat baik Pek-liong dan Liong-li. Akan tetapi, sikap kalian ini hanya merugikan kalian sendiri. Kami hanya menghendaki agar kalian menulis surat dan minta pertolongan kepada Pek-liong dan Liong-li. Itu saja. Kenapa kalian berkeras kepala menolak? Apakah kalian lebih suka mati dari pada menuruti permintaan kami dan mendapat kebebasan setelah itu?”
“Kami tidak takut mati!” bentak Su Hong Ing
“Lebih baik kami mati dari pada harus mengkhianati Pek-liong dan Liong-li!” kata pula Song Tek Hin dengan sikap gagah.
Ang I Sian-li terkekeh genit. “Bagus, bagus, kalian memang gagah perkasa. Akan tetapi dengarlah baik-baik, buka telinga dan perhatikan kata-kataku. Kalau kalian mau menulis surat yang kami butuhkan itu, setelah Pek-liong dan Liong-li dapat kami bunuh, kalian akan kami bebaskan, dan ini janji seorang datuk persilatan yang tidak akan kami langgar! Akan tetapi, sebaliknya kalau kalian berkeras tidak mau bekerja sama dengan kami, terpaksa kami akan melakukan hukuman yang akan membuat kalian menyesal telah dilahirkan di dunia ini.”
“Kami tidak takut!” seru suami isteri itu hampir berbareng.
“Benarkah? Dengar, pertama aku akan menyiksa si suami di depan si isteri, dengan membuntungi seluruh jari tangan dan kakinya satu demi satu! Kami akan menyiksanya akan tetapi membiarkan dia hidup agar dia dapat menyaksikan ketika kami menyuruh anak buah kami memperkosa si isteri di depan si suami sampai si isteri mati.”
Song Tek Hin dan Su Hong Ing menjadi pucat mendengar ini, akan tetapi mereka masih berusaha mengeraskan hati. “Gertak kosong!” teriak mereka.
Ang I Sian-li dengan cerdiknya menggiring suami isteri itu ke tepi jurang kengerian dengan ancaman-ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut, sampai akhirnya mereka tidak tahan dan tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali menyerah dan membuatkan surat itu. Song Tek Hin menulis surat kepada Hek-liong-li dan Su Hong Ing menulis surat kepada Pek-liong-eng, isinya minta bantuan mereka karena suami isteri itu ditawan musuh di pegunungan Hitam lembah Sungai Kuning.
Demikian pula dengan kakak beradik Kam. Mereka kalah jauh dalam hal siasat oleh Kiu Lo-mo, dan akhirnya semangat merekapun dapat dipatahkan dan untuk saling menjaga, kakak beradik ini terpaksa membuat pula surat seperti yang telah dilakukan suami isteri itu.
Empat orang ini tidak dapat terlalu disalahkan. Mereka bukan orang-orang yang suka berkhianat demi keuntungan sendiri. Akan tetapi di bawah ancaman mengerikan itu, tentu saja mereka tidak berdaya. Apa lagi mereka berpikir bahwa orang-orang sakti seperti Pek-liong dan Liong-li tidak mungkin dapat dijebak begitu saja. Bahkan diam-diam mereka mengharapkan agar sepasang pendekar sakti itu benar-benar akan dapat menolong dan membebaskan mereka.
Bagaimanapun juga, Ang I Sian-li memegang janji. Setelah dua pasang tawanan itu menulis surat, merekapun dibebaskan berkeliaran di perumahan yang terkurung tembok tinggi dan terjaga kuat itu, tidak lagi dibelenggu.
Memang, bagi tiga orang tokoh Kiu Lo-mo, empat orang ini tidak ada artinya. Yang penting bagi mereka adalah Pek-liong dan Liong-li. Dua pasang tawanan itu hanya umpan, dan kalau sudah tidak dibutuhkan lagi, di lepas juga tidak mengapa bagi mereka.
Walaupun kini mereka bebas dalam perumahan itu, tetap saja dua pasang tawanan itu selalu merasa gelisah dan tidak berani lagi mencoba untuk melarikan diri. Mereka gelisah dan perasaan hati mereka tegang menanti munculnya Pek-liong dan Liong-li, gelisah membayangkan betapa kedua orang yang mereka sayang itu akan tertangkap pula dan disiksa dibunuh di depan mata mereka!
Sesosok bayangan putih berkelebat dan lenyap di balik pagar tembok yang mengelilingi pekarangan rumah mungil milik Hek-liong-li. Kalau pun kebetulan ada yang melihatnya pada senja hari itu, tentu orang ini akan mengira bahwa bayangan putih yang berkelebat itu bukan manusia, saking cepatnya gerakan orang itu.
Padahal, bayangan putih itu adalah Pek-liong-eng Tan Cin Hay. Sebelum dia pergi melakukan penyelidikan ke pegunungan Hitam di Lembah Huang-ho (Sungai Kuning), dia ingin berkunjung lebih dulu ke tempat kediaman Liong-li. Akan tetapi, seperti sudah diduganya, tentu terjadi sesuatu pula dengan Liong-li, dia melihat tempat itu sunyi dan kosong ketika beberapa kali dia melewati jalan di depan rumah itu.
Dan pintu gerbang depan tertutup. Maka, pada senja hari itu diapun menyelinap dan melompati pagar tembok yang tinggi dengan gerakan ringan dan cepat sehingga tidak ketahuan orang lain. Begitu menghampiri halaman depan, dia terbelalak memandang ke arah kolam ikan di halaman depan. Biasanya, dia amat menyukai kolam itu, terutama arca putri menunggang angsa, arca yang buatannya halus dan indah sekali.
Kini, hanya tinggal batu berserakan. Arca itu telah pecah berantakan! Dan agaknya Liong-li tidak sempat membangun kembali arca itu, bahkan membiarkan batu-batu bekas arca itu berserakan. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, pikirnya dan hatinya mulai khawatir.
Tidak mungkin Liong-li tertimpa bencana. Tempat ini sunyi, jelas ditinggalkan dan tidak ada manusianya. Sembilan orang pelayan Liong-li juga tidak berada di situ. Ini hanya berarti bahwa Liong-li menghadapi peristiwa besar seperti diceritakan dalam suratnya kepadanya, peristiwa besar yang membutuhkan seluruh tenaga Liong-li untuk menghadapinya, dibantu oleh sembilan orang pelayannya. Tak salah lagi, tentu Liong-li menerima pula surat-surat seperti yang diterimanya dari Hong Ing dan Cian Li.
Tanpa ragu lagi Pek-liong menghampiri sebuah arca singa yang berada di sebelah kiri pintu beranda. Dikerahkannya tenaganya dan didorongnya singa batu itu dengan tangan kanan. Ketika arca itu miring, dia mengambil sehelai surat di bawahnya. Itulah tempat rahasia kalau Liong-li meninggalkan pesan kepadanya, yang hanya mereka ketahui berdua. Dia segera membacanya.
Tepat seperti yang diduganya. Liong-li menerima surat dari Song Tek Hin dan Kam Sun Ting yang isinya sama dengan surat dari Hong Ing dan Cian Li kepadanya. Kedua orang pria itu ditawan di pegunungan Hitam Lembah Sungai Kuning dan mereka mohon pertolongan dari Liong-li.
Pek-liong meraba dagunya. Ini berarti bahwa suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing, juga kakak beradik Kam tertawan semua. Makin jelaslah kini bahwa yang berada di belakang semua peristiwa ini, yang menjadi dalangnya, tentu seorang di antara sisa Kiu Lo-mo, atau mungkin bahkan ketiga-tiganya. Yang ditawan adalah teman-teman yang pernah terlibat ketika dia dan Liong-li membasmi orang-orang Kiu Lo-mo dan tiba-tiba dia teringat bahwa ketika dia dan Liong-li membasmi Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo dalam peristiwa Bayangan Iblis, terlibat pula Cian Hui dan Cu Sui In!
Kenapa kedua orang yang kini menjadi suami isteri itu tidak tertawan? Dia harus cepat menghubungi Cian Hui di kota raja! Karena khawatir akan keadaan panglima muda dan isterinya itu, Pek-liong melakukan perjalanan cepat ke kota raja. Dia tidak khawatir akan keadaan Liong-li karena dia percaya sepenuhnya akan kelihaian dan kecerdikan Liong-li, apalagi ia dibantu oleh sembilan orang pembantunya, para gadis yang amat lihai itu. Dia lebih mengkhawatirkan keadaan Cian Hui.
Setelah tiba di kota raja, dia langsung ke rumah panglima muda itu dan betapa lega hatinya melihat Cian Hui dan Cu Sui In menyambutnya dengan gembira. Suami isteri itu tidak kalah lega dan gembiranya melihat pendekar pujaan mereka dalam keadaan selamat dan sehat.
“Aih, tai-hiap! Engkau sudah menerima suratku?” tanya Cian Hui dengan heran karena menurut perhitungannya, utusannya yang mengirim surat itu tentu belum tiba di tempat kediaman pendekar ini.
Pek-liong menggeleng kepala dan pandang matanya yang serius membuat suami isteri itu dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang penting, maka mereka segera mempersilakan pendekar itu untuk masuk dan diajak bicara di ruangan sebelah dalam. Setelah mereka semua duduk dalam ruangan tertutup itu, Pek-liong segera bertanya,
“Ciang-kun, apakah tidak terjadi sesuatu kepada kalian berdua?”
Dia memandang kepada Cu Sui In. Wanita yang pernah jatuh cinta kepadanya ini, dan yang kini menjadi isteri Cian Hui dan kabarnya telah mempunyai seorang putera, masih nampak cantik jelita, akan tetapi wajah yang cantik itu kini dibayangi kegelisahan.
“Benar dugaanmu, tai-hiap. Pek-bwe Coa-ong, seorang di antara Kiu Lo-mo telah datang untuk melawanku, akan tetapi masih untung kami dapat menghindarkan diri,” kata Cian Hui dan diapun menceritakan peristiwa yang menimpa dia dan isterinya.
Diam-diam Pek-liong bersyukur dan kagum akan kecerdikan panglima ini sehingga usaha seorang di antara Kiu Lo-mo itu gagal.
“Setelah terjadi peristiwa itu, aku menduga bahwa tentu tai-hiap dan li-hiap terancam bahaya pula, maka cepat-cepat aku menulis dua pucuk surat untuk kalian dan mengirimkannya melalui seorang pembantu yang kupercaya. Agaknya tai-hiap bersimpang jalan dengannya. Syukur bahwa tai-hiap dalam keadaan selamat, dan entah bagaimana dengan Hek-liong-li. Mudah-mudahan iapun dalam selamat.”
Dengan singkat Pek-liong menceritakan tentang penyerangan yang dilakukan musuh kepadanya dan kepada Liong-li, juga tentang surat-surat yang menyatakan bahwa dua pasangan yang menjadi sahabat-sahabat baik dia dan Liong-li telah menjadi tawanan dan mereka itu minta pertolongan dia dan Liong-li. Diceritakannya pula bahwa ketika dia singgah di rumah Liong-li, pendekar wanita itu telah pergi bersama sembilan orang pelayannya yang lihai.
Mendengar ini, Cian Hui menjadi khawatir sekali. “Aih, jelas bahwa surat-surat itu tentu dimaksudkan untuk memancing tai-hiap dan li-hiap untuk datang ke tempat mereka ditawan. Di mana tempat itu?”
“Di pegunungan Hitam lembah Sungai Kuning.”
“Hemm, tempat itu berbahaya sekali, dan sejak dahulu memang terkenal menjadi tempat pelarian para penjahat yang menjadi buronan!” kata Cian Hui. “Akan kurundingkan dengan para panglima dan kalau perlu kami akan memimpin pasukan besar untuk membasmi gerombolan mereka!” katanya penuh semangat.
“Jangan dulu, Ciang-kun!” kata Pek-liong.
“Akan tetapi, kenapa engkau melarangnya, tai-hiap? Keadaan dapat berbahaya sekali karena menurut dugaanku, bukan hanya Pek-bwe Coa-ong seorang yang menjadi dalangnya. Mungkin sekali semua sisa Kiu Lo-mo, yaitu dia, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li telah mengambil keputusan untuk membalas dendam kepada tai-hiap dan li-hiap. Dan ini bisa berbahaya sekali, mereka pantas dibasmi dengan kekuatan pasukan...!”
Liong-li mengepal tinju. Bagaimanapun juga, merupakan jebakan atau tantangan, betapapun besar bahaya yang ia hadapi, ia harus menolong dua orang pemuda itu! Tidak mungkin ia membiarkan mereka berkorban karena perbuatan ia dan Pek-liong. Ah, Pek-liong tentu akan melakukan hal yang sama. Ia mengenal benar isi hati Pek-liong.
Tiba-tiba ia teringat kembali. Kalau ia mengalami serangan, dan kini menerima surat-surat yang agaknya merupakan umpan perangkap baginya, tentu Pek-liong juga tidak akan dilupakan oleh sisa Kiu Lo-mo! Apakah Pek-liong juga mengalami serangan seperti yang ia alami? Dan menerima surat-surat seperti ini?
Tidak, ia tidak akan menanti surat balasan dari Pek-liong. Akan terlalu lama dan ia khawatir terlambat. Ia harus segera pergi menolong dua orang pemuda itu, dan sembilan anak buahnya sudah lebih dari cukup untuk membantunya. Liong-li lalu memanggil sembilan orang pembantunya. Dengan cepat mereka berdatangan dan sepuluh orang gadis-gadis cantik itu mengadakan perundingan di dalam kamar rahasia di rumah besar itu. Liong-li mengatur rencana siasatnya untuk melakukan penyelidikan di lembah Huang-ho dan membagi-bagi tugas.
Sembilan orang anak buahnya memperhatikan dan mencatat dalam hati semua tugas yang diserahkan kepada mereka. Kemudian mereka membuat persiapan dan berkemas. Liong-li sendiri membuat sehelai surat untuk Pek-liong dan ia meletakkan surat itu di tempat rahasia depan rumahnya, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh ia dan Pek-liong berdua.
Lalu sehelai surat lagi ia buat untuk Cian Hui dan surat ini ia titipkan kepada seorang anak tetangga yang biasa ia suruh-suruh, seorang anak yang cerdik dengan pesan kalau ada seseorang yang gambarannya seperti Cian Hui, agar surat itu diserahkan setelah orang itu mengaku siapa namanya.
Pada hari itu juga, berangkatlah Liong-li dan sembilan orang pembantunya. Akan tetapi, kalau ada orang mengintai di sekitar tempat itu, tidak nampak sepuluh orang wanita yang pergi bersama, karena masing-masing mengambil jalan sendiri melalui pintu-pintu dan lorong-lorong rahasia. Hanya nampak Liong-li seorang yang meninggalkan pekarangan rumahnya dengan langkah santai.
********************
Tepat seperti dugaan Liong-li, Pek-liong juga menerima surat yang senada. Hanya saja, pendekar ini menerima jauh lebih lama dari pada Liong-li menerimanya karena tempat tinggal Pek-liong jauh di selatan. Ketika Pek-liong menyuruh pembantunya menyelidiki daerah Sungai Yang-ce di mana mendiang Thian-te Siang-houw merajalela, dia tidak mendapatkan keterangan yang meyakinkan.
Dia tetap tidak percaya kalau Thian-te Siang-houw memusuhinya tanpa ada yang mendalangi mereka, karena dua orang sesat setingkat mereka itu tidak, mungkin akan berani mengusiknya tanpa ada pendorong yang lebih kuat. Akan tetapi mereka telah tewas dan pembantunya tidak berhasil mendapat keterangan siapa kiranya yang merupakan pendukung mereka.
Kemudian datanglah surat dari Liong-li. Ketika dibacanya surat itu yang menceritakan tentang peristiwa yang dialami orang yang paling dipuja, paling dicinta, paling dihormati dan dihargainya di seluruh dunia itu, Pek-liong tersenyum. Tak salah dugaannya. Serangan dan gangguan itu bukan hanya menimpa dirinya sendiri. Bahkan Liong-li tertimpa lebih hebat lagi. Diapun mengangguk-angguk ketika membaca bahwa yang mengganggu Liong-li adalah Thai-san Ngo-kwi, murid-murid dari mendiang Siauw-bin Ciu-kwi.
Pek-liong meraba-raba dagunya sambil melamun. Inilah ciri khasnya kalau dia sedang menggunakan daya pikirannya untuk memecahkan sesuatu. Murid-murid Siauw-bin Ciu-kwi, berarti ada hubungannya dengan Kiu Lo-mo. Sudah tiga kali dia dan Liong-li bentrok dengan Kiu Lo-mo. Bentrokan pertama membuat mereka berhasil menewaskan Hek-sim Lo-mo, bentrokan kedua mereka menewaskan Siauw-bin Ciu-kwi, dan dalam bentrokan terakhir, yang ketiga kalinya mereka menewaskan Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo.
Dia lalu berpikir apakah Thian-te Siang-houw juga mempunyai hubungan dengan Kiu Lo-mo? Jelas bahwa bukan Liong-li saja yang diincar musuh. Dia sendiripun menjadi sasaran musuh, yang belum diketahuinya siapa penggerak dari Siang-houw itulah. Entah siapa Pouw Bouw Ki, kakak dari nona Pouw Bouw Tan, dibunuh orang karena bentuk tubuh dan wajahnya mirip dia. Mungkin pembunuhnya adalah Thian-te Siang-houw.
Dan dia sendiri didatangi orang yang tewas dalam rumahnya, terjebak alat rahasia sehingga terjepit kepalanya dan hancur wajahnya sehingga tidak dapat dikenali siapa. Jelas bahwa Liong-li dan dia sedang diincar oleh orang-orang yang menghendaki kematian mereka. Akan tetapi siapa?
Beberapa hari kemudian, seorang kanak-kanak berusia sepuluh tahun datang mengantar dua buah surat kepadanya. Anak itu menceritakan pengalamannya. Dia putera seorang nelayan di tepi Telaga Barat (See Ouw). Pagi tadi, seorang laki-laki setengah tua yang mukanya hitam dan tubuhnya tinggi besar menghampirinya ketika dia sedang mengail ikan di tepi telaga.
“Hei, anak baik, apakah engkau tahu di mana rumahnya Pek-liong-eng?”
Anak yang disebut A-sam itu tentu saja tahu. Nama besar Pek-liong-eng dikenal oleh seluruh orang di sekitar telaga itu, dari kanak-kanak sampai orang tua. Siapa tidak mengenal pendekar yang dermawan itu? “Saya tahu, rumahnya di dusun Pat-kwa-bun!” kata anak itu dengan suara bangga.
“Bagus! Anak baik, maukah engkau mendapatkan upah sebanyak ini?” Orang itu mengeluarkan uang tembaga yang cukup banyak, bahkan terlalu banyak bagi A-sam yang anak keluarga nelayan miskin.
“Tentu saja saya mau!” kata anak itu, heran dan tidak percaya bahwa orang itu akan memberi uang sedemikian banyaknya.
“Bagus, kalau begitu, berikan surat-surat ini kepada Pek-liong-eng, dan semua uang ini menjadi milikmu. Maukah engkau?”
“Mau, tentu saja saya mau!” kata anak itu, melepaskan pancingnya saking girang hatinya.
“Nah, simpanlah surat ini baik-baik dan terimalah uang ini. Akan tetapi hati-hati kau, kalau engkau berbohong dan tidak menyampaikan surat ini kepada Pek-liong-eng, aku akan datang lagi dan akan kuhancurkan kepalamu seperti ini!” Orang itu meninju sebongkah batu sebesar kepala anak itu dan batu itupun hancur!
Tentu saja A-sam menjadi pucat dan dengan suara gemetar dia berkata. “Akan saya sampaikan, saya tidak berani berbohong.”
Demikianlah keterangan A-sam ketika dia menyerahkan surat kepada Pek-liong dan menjawab pertanyaan pendekar itu. Ketika ditanya tentang gambaran orang itu, A-sam hanya ingat bahwa orang itu tinggi besar bermuka hitam. Itu saja.
Pek-liong memberi upah, menyuruh A-sam pergi dan dia lalu membaca dua buah surat itu. Tulisannya berbeda, namun nadanya sama. Sebuah surat ditulis oleh Su Hong Ing, dan yang kedua oleh Kam Cian Li, dan keduanya memberitahukan bahwa mereka ditawan musuh di lembah Huang-ho dan mereka mengharapkan pertolongan Pek-liong. Hanya itu saja.
Seperti yang dilakukan Liong-li, Pek-liong tenggelam dalam lamunan ketika membaca kedua buah surat itu. Dua orang gadis yang pernah menjadi kekasihnya, yang mencintanya. Dia mendengar bahwa Su Hong Ing telah menjadi isteri Song Tek Hin, dan Su Hong Ing adalah murid Bu-tong-pai yang pandai dan lihai. Juga Kam Cian Li telah menjadi gadis hartawan di samping kakaknya, Kam Sun Ting. Bagaimana kedua orang wanita itu kini menjadi tawanan musuh? Siapakah musuh itu? Tidak mereka sebutkan dalam surat.
Dan dia tahu benar bahwa dua orang wanita itu amat mengagumi dan mencintanya, sehingga tidak mungkin mereka mau mencelakakan dia. Akan tetapi kenapa mereka membuat surat seperti itu? Padahal, jelas surat itu merupakan pancingan agar dia datang menolong mereka dan musuh itu tentu akan menyambutnya dengan perangkap.
Pek-liong masih terbenam dalam lamunan setelah menerima surat itu dan kembali dia meraba-raba dagunya. Otaknya yang cerdik bekerja keras. Merupakan hal yang amat mencurigakan betapa dua orang wanita itu, Su Hong Ing dan Kam Cian Li dapat menjadi tawanan dalam waktu yang bersamaan, dan keduanya juga bersama-sama menyurati dia.
Yang seorang tinggal di dekat kota Cin-an, yang kedua tinggal di Nan-cang dekat telaga Po-yang, terpisah jauh. Bagaimana kini mereka dapat berkumpul sebagai tawanan? Apa yang membuat musuh-musuh itu menawan kedua orang wanita ini? Jelas, surat itu untuk memancingnya agar dia mau datang ke lembah Huang-ho untuk menolong mereka. Akan tetapi mengapa kedua orang itu? Pada hal, teman-temannya banyak. Mengapa justeru mereka?
Dia mengingat kembali pertemuannya dengan mereka. Su Hong Ing dijumpainya ketika dia bersama Liong-li membasmi Hek-sim Lo-mo, dan Kam Cian Li dijumpainya ketika dia bersama Liong-li membasmi Siauw-bin Ciu-kwi! Dan Liong-li diserang oleh Thai-san Ngo-kwi, murid-murid mendiang Siauw-bin Ciu-kwi. Dalam suratnya, secara singkat Liong-li juga menyebut adanya nenek berpakaian merah yang amat lihai, yang membantu Thai-san Ngo-kwi.
“Ah, tidak salah lagi. Tentu mereka yang mendalangi semua ini. Sisa Kiu Lo-mo tinggal tiga, Ang I Sian-li, Kim Pit Siu-cai, dan Pek-bwe Coa-ong! Siapa lagi kalau bukan mereka yang hendak membalas dendam atas kematian empat orang rekan mereka yang kubasmi bersama Liong-li? Ini berbahaya, mereka adalah orang-orang lihai yang amat jahat!”
Tiba-tiba dia teringat. Ketika dia bersama Liong-li membasmi Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo, juga ada dua orang yang terlibat, yaitu Cian Hui dan Cu Sui In. Kalau memang sisa Kui Lo-mo hendak menangkap orang-orang yang terlibat tentu Cian Hui dan Sui In yang menjadi isterinya itu akan terancam pula. Akan tetapi dia teringat betapa cerdiknya Cian Hui dan sebagai seorang panglima muda yang berkedudukan di kota raja, kedudukannya kuat karena dia memiliki pasukan.
Selain itu, Cian Hui jauh lebih lihai dibandingkan dua orang wanita yang ditawan musuh, bahkan isterinya, Cu Sui In yang murid Kun-lun-pai, lebih lihai lagi. Agaknya kawanan penjahat tidak dapat menawan Cian Hui dan isterinya, maka tidak ada surat dari mereka kepadanya!
Pek-liong berpendapat bahwa bukan hanya dua orang wanita itu saja yang terancam bahaya seperti tertulis dalam surat mereka, walaupun dia belum yakin apakah surat-surat itu tidak palsu, melainkan juga Liong-li terancam bahaya. Dia harus bertindak, dan karena sekali ini, kalau perhitungannya tepat, dia akan berhadapan dengan sisa Kiu Lo-mo, yaitu tiga orang datuk sesat yang lihai, dia membutuhkan bantuan enam orang pelayan yang juga menjadi pembantunya, juga boleh dibilang murid-muridnya karena dia telah menggembleng mereka menjadi pembantu-pembantu yang dapat diandalkan dan pandai ilmu silat, juga cerdik dan setia.
Cepat dia mengumpulkan enam orang pembantunya dan menceritakan kepada mereka semua yang terjadi, lalu mengatur siasat dan membagi tugas. Enam orang pembantunya itu secara berpencar dia beri tugas untuk melakukan penyelidikan ke lembah Huang-ho yang patut dicurigai menjadi sarang musuh-musuh itu, kemudian menanti dia di sana, siap untuk membantunya. Dia sendiri akan lebih dahulu singgah ke Lok-yang di selatan Sungai Kuning (Huang-ho) untuk mencari Liong-li sebelum berangkat pula ke lembah Huang-ho.
Di dalam surat kedua orang wanita itu, hanya minta agar dia datang menolong mereka yang ditawan di lembah Huang-ho di perbukitan Hek-san (Bukit Hitam). Padahal perbukitan itu panjang dan luas, maka harus diselidiki di mana kiranya sarang mereka yang menawan dua orang wanita itu.
********************
Bagaimana dua pasang suami isteri dan kakak beradik yang ditawan itu sampai mau mengirim surat kepada Liong-li dan Pek-liong? Padahal, mereka berempat adalah orang-orang gagah yang tidak akan sudi membantu penjahat untuk menjadi umpan dan memancing datangnya dua orang yang mereka sayangi dan hormati itu masuk dalam perangkap penjahat.
Perkembangan yang tidak menguntungkan mereka telah terjadi di tempat tawanan itu. Baru sehari setelah menjadi tawanan di situ, Song Tek Hin dan Su Hong Ing yang mendapat kebebasan walaupun selalu diawasi, tak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk meloloskan diri atau memberontak kalau perlu.
Mereka melihat ketika kakak beradik Kam datang sebagai tawanan pula dan ditempatkan di kamar nomor dua, tak jauh dari kamar mereka. Mereka memang tidak saling mengenal, akan tetapi dari sikap masing-masing, mereka dapat saling menduga bahwa mereka berempat mempunyai nasib yang sama.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Su Hong Ing yang melakukan pendekatan kepada Kam Cian Li. Para penjaga tidak melarang ketika dua orang wanita ini bercakap-cakap dan dalam percakapan itu, dengan hati-hati mereka saling bertanya dan betapa kaget hati mereka bahwa mereka benar-benar mengalami nasib yang sama. Keduanya ditangkap untuk dijadikan umpan bagi Pek-liong dan Liong-li!
“Kita harus menggunakan kesempatan ini untuk meloloskan diri! Kita tidak boleh menjadi umpan untuk mencelakai Pek-liong dan Liong-li,” bisik Su Hong Ing.
“Engkau benar, enci. Akan tetapi bagaimana caranya? Mereka amat lihai, kita tidak mungkin dapat menang, tidak mungkin dapat lolos dari tempat ini,” jawab Kam Cian Li sambil berbisik pula.
“Kita harus berani mencoba. Memang kami berdua juga tertawan karena kalah oleh iblis betina itu, dan tentu kakek yang menawan kalian itu lihai pula karena mereka adalah para tokoh Kiu Lo-mo. Akan tetapi kalau kita berempat bersatu, tentu kita akan menjadi lebih kuat. Bagaimana mungkin kita berdiam diri saja dan membiarkan kita dijadikan umpan yang akan mencelakakan dua orang yang kita sayang dan hormati, lebih dari pada lain orang?”
Cian Li mengangguk-angguk, bangkit semangatnya. Tentu saja gadis yang masih selalu terkenang dengan penuh kerinduan kepada Pek-liong, kekasih pertamanya itu, tidak rela melihat Pek-liong celaka. “Aku siap, enci, dan akan kuberitahu kakakku. Tapi kapan dan bagaimana?”
“Malam nanti. Yang bertugas adalah penjaga-penjaga biasa. Kita menyelinap keluar dan kita bunuh kalau ada penjaga yang mencoba menghalangi. Memang berbahaya. Akan tetapi siapa berani menjamin bahwa kita akan dibebaskan kalau Pek-liong dan Liong-li sudah terpancing ke sini, kemudian kedua orang pendekar itu dapat mereka tangkap? Mungkin kita semua juga akan dibunuh. Dari pada dibunuh seperti babi, bukankah lebih baik mati seperti harimau yang melawan dengan gagah?”
Ucapan Su Hong Ing yang membakar semangat itu membuat Kam Cian Li berkobar dan gadis ini lalu membisikkan rencana untuk kabur itu kepada kakaknya, dan Hong Ing juga membujuk suaminya. Dua orang pria itupun akhirnya setuju karena mereka yakin apakah kalau Pek-liong dan Liong-li dapat tertawan atau terbunuh oleh para penjahat, mereka akan dibiarkan pergi.
Demikianlah, malam itu kebetulan gelap gulita Dua pasang pria wanita itu saling memberi isyarat, lalu bersama-sama menyelinap keluar dari kamar mereka. Yang bertugas jaga di dekat kamar mereka masing-masing hanya dua orang. Dengan sigap dan tidak banyak kesukaran, dua pasang tawanan itu dapat merobohkan empat orang penjaga itu dan merampas pedang mereka. Kemudian mereka menyusup-nyusup mencari jalan keluar melalui tempat-tempat yang gelap dalam kompleks bangunan itu.
Keadaan nampak sunyi sehingga melegakan hati empat orang buronan itu. Mereka menyelinap dengan hati-hati dan akhirnya dapat tiba di dekat pintu gerbang di depan. Hanya dari pintu itulah mereka dapat melarikan diri karena pagar tembok yang mengitari perumahan itu amat tinggi dan di atas pagar tembok itu dipasangi besi-besi runcing. Tak mungkin melompati pagar tembok itu. Juga tidak ada tali yang panjang untuk memanjat. Satu-satunya jalan hanyalah menyerbu keluar melalui pintu gerbang.
Song Tek Hin dan Su Hong Ing mengintai dari sebelah kiri pintu gerbang, sedangkan kakak beradik Kam mengintai dari sebelah kanan. Jantung mereka berdebar tegang. Hanya ada dua kemungkinan. Sekarang berhasil atau selamanya gagal. Hidup atau mati. Mereka sudah nekat.
Di pintu gerbang itu terdapat selosin orang penjaga. Kalau kepandaian mereka hanya biasa saja, tentu mereka berempat akan mampu mengalahkan selosin orang itu dan ini berarti lolos! Song Tek Hin yang kini menjadi pimpinan, memberi isyarat, lalu bersama isterinya dia melompat keluar, menyerbu ke arah para penjaga yang sedang mengobrol. Kakak beradik Kam juga berloncatan keluar dan menyerbu.
Tentu saja para penjaga menjadi kaget dan kacau balau. Namun seorang di antara mereka meniup peluit berkali-kali sedangkan teman-temannya melakukan perlawanan dengan golok mereka. Empat orang buronan itu mengamuk, akan tetapi diam-diam mereka mengeluh karena ternyata selosin orang itu bukan lawan yang lunak dan dapat mereka robohkan dalam waktu singkat. Setelah bertempur beberapa lamanya, mereka baru berhasil merobohkan empat orang.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Mundur kalian semua!”
Para penjaga mundur dan cepat mereka menyalakan lebih banyak obor untuk menerangi tempat itu. Ketika empat orang buronan itu mengangkat muka memandang, mereka melihat lima orang yang bersikap bengis berdiri menghadang di depan mereka. Empat orang buronan itu merasa lega karena tidak nampak si nenek pakaian merah dan kakek sastrawan pakaian putih yang amat lihai itu.
Tidak ada dua orang dari Kiu Lo-mo. Maka, dengan nekat dan semangat berkobar empat orang buronan itu menggerakkan pedang rampasan dan menyerang ke arah lima orang yang berdiri menghadang itu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka berhadapan dengan Thai-san Ngo-kwi yang lihai bukan main. Biarpun tingkat kepandaian Thai-san Ngo-kwi belum setinggi tingkat Kiu Lo-mo, akan tetapi jelas mereka ini jauh lebih kuat dari pada empat orang buronan itu.
Thai-san Ngo-kwi tertawa mengejek, mereka sudah mencabut golok dan menyambut serangan dua pasang tawanan itu. Dalam waktu belasan jurus saja, empat batang pedang rampasan itu patah-patah dan dua pasang tawanan itupun roboh dan diringkus kembali. Dalam keadaan terbelenggu mereka digiring kembali ke dalam kamar mereka, didorong masuk ke dalam kamar dalam keadaan terbelenggu dan kamar mereka dikunci dari luar!
Gagallah usaha pelarian itu dan pada keesokan harinya, mereka berempat di seret satu demi satu dihadapkan kepada Kim Pit Siu-cai, Ang I Sian-li, dan Pek-bwe Coa-ong, sedangkan Thai-san Ngo-kwi juga hadir di ruangan itu. Biarpun dihadapkan seorang diri saja di depan pimpinan gerombolan penjahat itu, empat orang gagah ini tidak bersikap takut. Dengan gagah mereka itu memiliki sikap yang sama, yaitu menentang dan tidak sudi dijadikan umpan untuk memancing datangnya Pek-liong dan Liong-li!
Ang I Sian-li tidak menjadi marah-marah seperti dua orang rekannya menghadapi kekerasan kepala empat orang itu. Ia memerintahkan kepada Thai-san Ngo-kwi untuk menghadapkan para tawanan itu sepasang, pertama dimulai dengan pasangan suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing.
Setelah dua orang yang terbelenggu ini dihadapkan mereka, suami isteri itu berdiri tegak dan memandang dengan mata penuh kemarahan dan kebencian, sedikitpun tidak mau tunduk. Ang I Sian-li lalu berkata kepada mereka.
“Kalian berdua suami isteri memang mengagumkan sekali dan pantaslah menjadi sahabat-sahabat baik Pek-liong dan Liong-li. Akan tetapi, sikap kalian ini hanya merugikan kalian sendiri. Kami hanya menghendaki agar kalian menulis surat dan minta pertolongan kepada Pek-liong dan Liong-li. Itu saja. Kenapa kalian berkeras kepala menolak? Apakah kalian lebih suka mati dari pada menuruti permintaan kami dan mendapat kebebasan setelah itu?”
“Kami tidak takut mati!” bentak Su Hong Ing
“Lebih baik kami mati dari pada harus mengkhianati Pek-liong dan Liong-li!” kata pula Song Tek Hin dengan sikap gagah.
Ang I Sian-li terkekeh genit. “Bagus, bagus, kalian memang gagah perkasa. Akan tetapi dengarlah baik-baik, buka telinga dan perhatikan kata-kataku. Kalau kalian mau menulis surat yang kami butuhkan itu, setelah Pek-liong dan Liong-li dapat kami bunuh, kalian akan kami bebaskan, dan ini janji seorang datuk persilatan yang tidak akan kami langgar! Akan tetapi, sebaliknya kalau kalian berkeras tidak mau bekerja sama dengan kami, terpaksa kami akan melakukan hukuman yang akan membuat kalian menyesal telah dilahirkan di dunia ini.”
“Kami tidak takut!” seru suami isteri itu hampir berbareng.
“Benarkah? Dengar, pertama aku akan menyiksa si suami di depan si isteri, dengan membuntungi seluruh jari tangan dan kakinya satu demi satu! Kami akan menyiksanya akan tetapi membiarkan dia hidup agar dia dapat menyaksikan ketika kami menyuruh anak buah kami memperkosa si isteri di depan si suami sampai si isteri mati.”
Song Tek Hin dan Su Hong Ing menjadi pucat mendengar ini, akan tetapi mereka masih berusaha mengeraskan hati. “Gertak kosong!” teriak mereka.
Ang I Sian-li dengan cerdiknya menggiring suami isteri itu ke tepi jurang kengerian dengan ancaman-ancaman yang lebih mengerikan dari pada maut, sampai akhirnya mereka tidak tahan dan tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali menyerah dan membuatkan surat itu. Song Tek Hin menulis surat kepada Hek-liong-li dan Su Hong Ing menulis surat kepada Pek-liong-eng, isinya minta bantuan mereka karena suami isteri itu ditawan musuh di pegunungan Hitam lembah Sungai Kuning.
Demikian pula dengan kakak beradik Kam. Mereka kalah jauh dalam hal siasat oleh Kiu Lo-mo, dan akhirnya semangat merekapun dapat dipatahkan dan untuk saling menjaga, kakak beradik ini terpaksa membuat pula surat seperti yang telah dilakukan suami isteri itu.
Empat orang ini tidak dapat terlalu disalahkan. Mereka bukan orang-orang yang suka berkhianat demi keuntungan sendiri. Akan tetapi di bawah ancaman mengerikan itu, tentu saja mereka tidak berdaya. Apa lagi mereka berpikir bahwa orang-orang sakti seperti Pek-liong dan Liong-li tidak mungkin dapat dijebak begitu saja. Bahkan diam-diam mereka mengharapkan agar sepasang pendekar sakti itu benar-benar akan dapat menolong dan membebaskan mereka.
Bagaimanapun juga, Ang I Sian-li memegang janji. Setelah dua pasang tawanan itu menulis surat, merekapun dibebaskan berkeliaran di perumahan yang terkurung tembok tinggi dan terjaga kuat itu, tidak lagi dibelenggu.
Memang, bagi tiga orang tokoh Kiu Lo-mo, empat orang ini tidak ada artinya. Yang penting bagi mereka adalah Pek-liong dan Liong-li. Dua pasang tawanan itu hanya umpan, dan kalau sudah tidak dibutuhkan lagi, di lepas juga tidak mengapa bagi mereka.
Walaupun kini mereka bebas dalam perumahan itu, tetap saja dua pasang tawanan itu selalu merasa gelisah dan tidak berani lagi mencoba untuk melarikan diri. Mereka gelisah dan perasaan hati mereka tegang menanti munculnya Pek-liong dan Liong-li, gelisah membayangkan betapa kedua orang yang mereka sayang itu akan tertangkap pula dan disiksa dibunuh di depan mata mereka!
********************
Sesosok bayangan putih berkelebat dan lenyap di balik pagar tembok yang mengelilingi pekarangan rumah mungil milik Hek-liong-li. Kalau pun kebetulan ada yang melihatnya pada senja hari itu, tentu orang ini akan mengira bahwa bayangan putih yang berkelebat itu bukan manusia, saking cepatnya gerakan orang itu.
Padahal, bayangan putih itu adalah Pek-liong-eng Tan Cin Hay. Sebelum dia pergi melakukan penyelidikan ke pegunungan Hitam di Lembah Huang-ho (Sungai Kuning), dia ingin berkunjung lebih dulu ke tempat kediaman Liong-li. Akan tetapi, seperti sudah diduganya, tentu terjadi sesuatu pula dengan Liong-li, dia melihat tempat itu sunyi dan kosong ketika beberapa kali dia melewati jalan di depan rumah itu.
Dan pintu gerbang depan tertutup. Maka, pada senja hari itu diapun menyelinap dan melompati pagar tembok yang tinggi dengan gerakan ringan dan cepat sehingga tidak ketahuan orang lain. Begitu menghampiri halaman depan, dia terbelalak memandang ke arah kolam ikan di halaman depan. Biasanya, dia amat menyukai kolam itu, terutama arca putri menunggang angsa, arca yang buatannya halus dan indah sekali.
Kini, hanya tinggal batu berserakan. Arca itu telah pecah berantakan! Dan agaknya Liong-li tidak sempat membangun kembali arca itu, bahkan membiarkan batu-batu bekas arca itu berserakan. Tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, pikirnya dan hatinya mulai khawatir.
Tidak mungkin Liong-li tertimpa bencana. Tempat ini sunyi, jelas ditinggalkan dan tidak ada manusianya. Sembilan orang pelayan Liong-li juga tidak berada di situ. Ini hanya berarti bahwa Liong-li menghadapi peristiwa besar seperti diceritakan dalam suratnya kepadanya, peristiwa besar yang membutuhkan seluruh tenaga Liong-li untuk menghadapinya, dibantu oleh sembilan orang pelayannya. Tak salah lagi, tentu Liong-li menerima pula surat-surat seperti yang diterimanya dari Hong Ing dan Cian Li.
Tanpa ragu lagi Pek-liong menghampiri sebuah arca singa yang berada di sebelah kiri pintu beranda. Dikerahkannya tenaganya dan didorongnya singa batu itu dengan tangan kanan. Ketika arca itu miring, dia mengambil sehelai surat di bawahnya. Itulah tempat rahasia kalau Liong-li meninggalkan pesan kepadanya, yang hanya mereka ketahui berdua. Dia segera membacanya.
Tepat seperti yang diduganya. Liong-li menerima surat dari Song Tek Hin dan Kam Sun Ting yang isinya sama dengan surat dari Hong Ing dan Cian Li kepadanya. Kedua orang pria itu ditawan di pegunungan Hitam Lembah Sungai Kuning dan mereka mohon pertolongan dari Liong-li.
Pek-liong meraba dagunya. Ini berarti bahwa suami isteri Song Tek Hin dan Su Hong Ing, juga kakak beradik Kam tertawan semua. Makin jelaslah kini bahwa yang berada di belakang semua peristiwa ini, yang menjadi dalangnya, tentu seorang di antara sisa Kiu Lo-mo, atau mungkin bahkan ketiga-tiganya. Yang ditawan adalah teman-teman yang pernah terlibat ketika dia dan Liong-li membasmi orang-orang Kiu Lo-mo dan tiba-tiba dia teringat bahwa ketika dia dan Liong-li membasmi Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo dalam peristiwa Bayangan Iblis, terlibat pula Cian Hui dan Cu Sui In!
Kenapa kedua orang yang kini menjadi suami isteri itu tidak tertawan? Dia harus cepat menghubungi Cian Hui di kota raja! Karena khawatir akan keadaan panglima muda dan isterinya itu, Pek-liong melakukan perjalanan cepat ke kota raja. Dia tidak khawatir akan keadaan Liong-li karena dia percaya sepenuhnya akan kelihaian dan kecerdikan Liong-li, apalagi ia dibantu oleh sembilan orang pembantunya, para gadis yang amat lihai itu. Dia lebih mengkhawatirkan keadaan Cian Hui.
Setelah tiba di kota raja, dia langsung ke rumah panglima muda itu dan betapa lega hatinya melihat Cian Hui dan Cu Sui In menyambutnya dengan gembira. Suami isteri itu tidak kalah lega dan gembiranya melihat pendekar pujaan mereka dalam keadaan selamat dan sehat.
“Aih, tai-hiap! Engkau sudah menerima suratku?” tanya Cian Hui dengan heran karena menurut perhitungannya, utusannya yang mengirim surat itu tentu belum tiba di tempat kediaman pendekar ini.
Pek-liong menggeleng kepala dan pandang matanya yang serius membuat suami isteri itu dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang penting, maka mereka segera mempersilakan pendekar itu untuk masuk dan diajak bicara di ruangan sebelah dalam. Setelah mereka semua duduk dalam ruangan tertutup itu, Pek-liong segera bertanya,
“Ciang-kun, apakah tidak terjadi sesuatu kepada kalian berdua?”
Dia memandang kepada Cu Sui In. Wanita yang pernah jatuh cinta kepadanya ini, dan yang kini menjadi isteri Cian Hui dan kabarnya telah mempunyai seorang putera, masih nampak cantik jelita, akan tetapi wajah yang cantik itu kini dibayangi kegelisahan.
“Benar dugaanmu, tai-hiap. Pek-bwe Coa-ong, seorang di antara Kiu Lo-mo telah datang untuk melawanku, akan tetapi masih untung kami dapat menghindarkan diri,” kata Cian Hui dan diapun menceritakan peristiwa yang menimpa dia dan isterinya.
Diam-diam Pek-liong bersyukur dan kagum akan kecerdikan panglima ini sehingga usaha seorang di antara Kiu Lo-mo itu gagal.
“Setelah terjadi peristiwa itu, aku menduga bahwa tentu tai-hiap dan li-hiap terancam bahaya pula, maka cepat-cepat aku menulis dua pucuk surat untuk kalian dan mengirimkannya melalui seorang pembantu yang kupercaya. Agaknya tai-hiap bersimpang jalan dengannya. Syukur bahwa tai-hiap dalam keadaan selamat, dan entah bagaimana dengan Hek-liong-li. Mudah-mudahan iapun dalam selamat.”
Dengan singkat Pek-liong menceritakan tentang penyerangan yang dilakukan musuh kepadanya dan kepada Liong-li, juga tentang surat-surat yang menyatakan bahwa dua pasangan yang menjadi sahabat-sahabat baik dia dan Liong-li telah menjadi tawanan dan mereka itu minta pertolongan dia dan Liong-li. Diceritakannya pula bahwa ketika dia singgah di rumah Liong-li, pendekar wanita itu telah pergi bersama sembilan orang pelayannya yang lihai.
Mendengar ini, Cian Hui menjadi khawatir sekali. “Aih, jelas bahwa surat-surat itu tentu dimaksudkan untuk memancing tai-hiap dan li-hiap untuk datang ke tempat mereka ditawan. Di mana tempat itu?”
“Di pegunungan Hitam lembah Sungai Kuning.”
“Hemm, tempat itu berbahaya sekali, dan sejak dahulu memang terkenal menjadi tempat pelarian para penjahat yang menjadi buronan!” kata Cian Hui. “Akan kurundingkan dengan para panglima dan kalau perlu kami akan memimpin pasukan besar untuk membasmi gerombolan mereka!” katanya penuh semangat.
“Jangan dulu, Ciang-kun!” kata Pek-liong.
“Akan tetapi, kenapa engkau melarangnya, tai-hiap? Keadaan dapat berbahaya sekali karena menurut dugaanku, bukan hanya Pek-bwe Coa-ong seorang yang menjadi dalangnya. Mungkin sekali semua sisa Kiu Lo-mo, yaitu dia, Kim Pit Siu-cai dan Ang I Sian-li telah mengambil keputusan untuk membalas dendam kepada tai-hiap dan li-hiap. Dan ini bisa berbahaya sekali, mereka pantas dibasmi dengan kekuatan pasukan...!”