SEMENTARA itu, Cu Sui In diajak oleh permaisuri ke bagian puteri dan setelah serombongan dayang ia perintahkan pergi ke tempat tinggal Pangeran Souw Han untuk membantu segala pekerjaan dalam upacara pemakaman jenazah pangeran itu, Sui In diikut sertakan dengan nama baru Siauw In. Biarpun tiga belas orang ini hanya merupakan dayang, yaitu gadis-gadis pelayan, namun semua orang yang sedang sibuk bekerja di rumah mendiang Pangeran Souw Han bersikap hormat.
Biarpun dayang-dayang, mereka adalah dayang yang dikirim oleh permaisuri, maka tak seorangpun berani memandang rendah apa lagi menghina kepada mereka. Demikian besar kekuasaan dan pengaruh Permaisuri Bu Cek Thian sehingga para pangeranpun tidak berani bermain gila terhadap para dayang ini, takut kalau sampai terdengar oleh sang permaisuri dan mendapat marah.
Mula-mula memang Sui In membantu para dayang itu, ada yang membuatkan rangkaian bunga, melipati kertas perak dan kertas emas untuk korban sembahyang dan sebagainya. Akan tetapi setelah mendapatkan kesempatan, dengan dalih membersihkan rumah bekas tempat tinggal Pangeran Souw Han, ia memasuki kamar pangeran itu dan sambil menyapu dan membersihkan semua perabotan.
Ia melakukan pemeriksaan dengan teliti, mencari kalau-kalau ada petunjuk tentang pembunuhan itu atau tentang hilangnya Hek-liong-li yang menyamar sebagai Siauw Cu, selir mendiang Pangeran Souw Han. Ketika ia membersihkan tempat tidur, tanpa disengaja ia menemukan sebuah kipas di bawah bantal dan di permukaan kipas ini terdapat tulisan yang masih baru. Huruf-hurufnya amat indah dan rapi.
“Enci Cu kekasihku tercinta aku akan selalu berdoa biar dalam kehidupan ini kita tak dapat hidup bersama dalam kehidupan mendatang aku menjadi anjingmu setia.”
Sui In cepat menyimpan kipas itu ke dalam balik bajunya dan hatinya merasa terharu sekali. Ia dapat menduga bahwa tentu kipas ini milik mendiang Pangeran Souw Han dan tulisan inipun tulisannya karena pangeran itu terkenal seorang sastrawan yang pandai. Dan iapun mendengar bahwa Hek-liong-li menyamar sebagai selirnya dengan nama Siauw Cu. Kepada siapa lagi sajak itu ditujukan kalau tidak kepadanya? Agaknya pangeran itu menyebut Liong-li sebagai “enci Cu” dan kalau benar demikian ia menduga bahwa tentu sang pangeran amat mencinta wanita itu!
Ketika ia membersihkan dalam almari pakaian, ia menemukan sebuah gulungan kain dan ketika ia membuka gulungan itu, ternyata itu merupakan sebuah peta yang lengkap dari kompleks istana! Cepat ia mempelajarinya dan yang amat menarik perhatiannya adalah gambaran sebuah bukit kecil penuh hutan di bagian belakang kompleks itu di mana terdapat sebuah kuil. Kuil istana! Tempatnya di puncak bukit kecil yang penuh hutan.
Menarik sekali. Tentu kalau ia menjadi Hek-liong-li, ia akan tertarik untuk menyelidiki tempat itu. Sebuah tempat yang amat baik untuk menjadi persembunyian orang-orang yang tidak ingin kehadirannya diketahui orang lain. Seperti misalnya Si Bayangan Iblis dan anak buahnya! Atau, seperti halnya Hek-liong-li sendiri yang sekarang dituduh menjadi Si Bayangan Iblis dan membunuh Pangeran Souw Han.
Ia tidak percaya bahwa Hek-liong-li yang membunuh Pangeran Souw Han. Dan tentang Si Bayangan Iblis, penjahat itu sudah lama mengacau di kota raja sebelum Hek-liong-li dan Pek-liong-eng mencampuri urusan itu!
Matahari telah condong ke barat ketika Sui In berhasil menyelinap ke luar dari rumah Pangeran Souw Han. Sebagai seorang dayang yang dikirim permaisuri, ia tidak pernah dicurigai orang dan dengan leluasa ia dapat menyelinap keluar. Ia harus cepat mencari Hek-liong-li seperti yang telah menjadi tugasnya.
Dan ia tidak takut karena ia merasa bahwa yang menyuruhnya adalah Cian Ciang-kun, dan bahwa di belakangnya selain terdapat Pek-liong-eng yang lebih dahulu menyelundup ke istana, juga ia telah mendapat restu atau ijin dari Sribaginda Kaisar dan Permaisuri sendiri!
Siapa yang akan berani mengganggunya? Apa lagi Permaisuri yang cerdik itu sudah membekalinya sebuah tanda kebesaran berupa cincin yang menurut permaisuri itu akan dikenal oleh semua petugas keamanan di istana dan semua orang akan tidak berani mengganggunya, bahkan akan membantu dan mentaati perintahnya!
Setelah tadi mempelajari peta yang didapatkannya di lemari pakaian di kamar Pangeran Souw Han, kini dengan mudah Sui In dapat menemukan bukit yang dimaksudkan. Ketika ia tiba di luar hutan di bukit itu, tiba-tiba saja dari kanan kiri bermunculan lima orang perajurit pengawal yang agaknya melakukan perondaan sampai di situ.
“Berhenti!” bentak mereka dan lima orang itu telah berdiri tegak di depan Sui In.
Mereka saling pandang ketika mengenal gadis ini berpakaian dayang, bahkan kemudian mengenal bentuk sanggul dan hiasan rambutnya sebagai dayang dari Permaisuri. Sikap mereka berubah. Kalau tadinya mereka senyum-senyum nakal, kini mereka bersikap hormat, lalu seorang di antara mereka yang berkumis tipis berkata dengan hormat.
“Bukankah nona seorang dayang dari Yang Mulia Permaisuri yang diperbantukan di rumah mendiang Pangeran Souw Han?”
“Benar sekali,” jawab Sui In, sikapnya angkuh, sesuai dengan sikap dayang Sang Permaisuri yang merasa mempunyai kedudukan dan kehormatan.
“Kalau begitu, maafkan kami. Kenapa nona berada di sini bukan di rumah mendiang Pangeran Souw Han? Hendaknya nona ketahui bahwa di mana-mana pasukan pengawal sedang sibuk mencari penjahat. Tempat seperti ini amat berbahaya bagi nona, karena sepi dan terdapat banyak hutan.”
Sui In maklum bahwa ia menghadapi kesulitan, maka iapun mengeluarkan cincin itu dari saku bajunya, memperlihatkannya kepada mereka sambil berkata, “Aku membawa tugas dari Yang Mulia Permaisuri!”
Melihat cincin itu, lima orang perajurit Pengawal itu cepat memberi hormat dan melangkah mundur dengan sikap segan. “Kami menanti perintah paduka!”
Cu Sui In adalah keponakan seorang bangsawan tinggi, Ciok Tai-jin. Pamannya adalah Pembantu Menteri Pajak, dan mendiang suaminya juga seorang pejabat, maka ia tidak asing dengan kebiasaan ini, ketaatan orang-orang bawahan kepada atasan. Akan tetapi biarpun demikian, melihat sikap lima orang ini, diam-diam ia merasa girang sekali. Cincin itu sungguh merupakan pelindung yang ampuh sekali!
“Aku tidak memerlukan bantuan. Minggirlah, biarkan aku lewat dan jangan kalian ceritakan kepada siapa pun tentang kehadiranku di sini!”
Lima orang itu lalu bergerak minggir dan memberi jalan. Sui In melewati mereka, lalu teringat akan sesuatu dan berkata lagi kepada mereka sambil menahan langkahnya. “Oya, kalian tentu mengenal Cian Ciang-kun, bukan?”
“Nona maksudkan perwira Cian Hui? Tentu kami mengenalnya. Bahkan dia yang kini menjadi atasan kami.”
“Bagus. Kalau bertemu dengan dia, katakan bahwa nona Siauw In, dayang Yang Mulia Permaisuri, sore hari ini hendak menyelidiki ke kuil di puncak bukit. Mengerti?”
Mereka memberi hormat, “Baik, nona!”
Dengan hati lapang dan bangga Sui In melanjutkan perjalanannya, memasuki hutan itu dan mendaki bukit. Ada sebuah jalan menuju ke puncak, jalan yang memang dibuat untuk para keluarga Kaisar yang pesiar. Jalan itu indah dan di kanan kiri jalan terdapat tanaman berbagai bunga, indah sekali. Juga pohon-pohon di hutan itu terpelihara.
Di sepanjang perjalanan, Sui In melihat beberapa ekor kijang berkelompok dan beberapa ekor kelinci berlarian menyelinap ke balik semak-semak ketika melihatnya. Tempat ini begini indah, begini tenang dan penuh damai, mendatangkan perasaan tenteram. Ia sudah mulai merasa kecewa dan menyesal. Betapa bodohnya mencurigai tempat senyaman ini! Tempat termasuk hutan buatan, penuh taman dan pohon yang terpelihara indah, juga di sana sini tentu terdapat perajurit pengawal yang melakukan perondaan.
Tidak mungkin menjadi tempat persembunyian penjahat. Paling-paling hanya menjadi tempat persembunyian muda-mudi istana yang mengadakan pertemuan rahasia yang penuh kemesraan! Akan tetapi ia sudah tiba di situ, harus dilanjutkan sampai ke puncak. Ia ingin melihat bagaimana macamnya kuil istana yang sudah banyak didengarnya itu, sebagai kuil yang indah dan dihuni oleh pendeta-pendeta yang alim dan pandai.
Kabarnya di luar istana, kuil ini manjur sekali, dapat memberi obat yang mujarab bagi yang sakit, dan dapat meramalkan nasib dengan tepat dan baik sekali. Orang luar istana tidak diperkenankan masuk. Sekarang, setelah ia berada di situ, merupakan kesempatan baik untuk mengunjungi kuil itu, di samping tugas penyelidikannya. Ia sudah pernah mendengar bahwa kepala pendeta di kuil itu yang bernama Gwat Kong Hosiang adalah seorang hwesio yang selain alim dan pandai, juga lihai ilmu silatnya karena dia datang dari kuil Siauw-lim-si.
Ketika ia tiba di kuil itu, ia disambut oleh beberapa orang hwesio yang memandang heran walaupun mereka itu segera menyambut dengan sikap hormat karena tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang dayang dari Permaisuri. Kekuasaan dan pengaruh Permaisuri Bu Cek Thian bahkan sudah sampai ke kuil itu. Kuil itu sunyi, tidak ada pengunjung datang bersembahyang, dan banyak di antara para hwesio kini sibuk pula di rumah Pangeran Souw Han untuk melakukan sembahyang.
“Selamat datang, nona. Bantuan apakah yang dapat kami berikan kepada nona?” tanya seorang di antara mereka dengan sikap hormat.
“Aku ingin berjumpa dengan Gwat Kong Hosiang, ketua kuil ini,” jawab Cu Sui In.
Empat orang hwesio itu saling pandang, kemudian pembicara tadi menjawab, “Omituhud, toa-suhu Gwat Kong Hosiang tidak dapat ditemui nona karena dia sedang sakit. Dan wakilnya, yaitu suhu Kwan Seng Hwesio kini sedang bersiap-siap untuk pergi ke tempat kematian.”
“Kalau begitu biarkan aku berjumpa dengan Kwan Seng Hwesio,” kata pula Sui In.
“Tapi, nona. Kwan-suhu sedang sibuk dan pula... dengan adanya peristiwa kematian itu, semua orang akan berada di sana. Kenapa nona bahkan datang berkunjung dan...”
Hwesio itu berhenti bicara ketika melihat Sui In mengeluarkan cincin wasiatnya, pemberian Permaisuri. Melihat cincin itu, para hwesio itu membungkuk dalam-dalam dan penuh hormat.
“Antarkan aku kepada Kwan Seng Hwesio sekarang juga,” kata Sui In dan sekali ini, para hwesio tidak ada yang berani membantah.
Mereka memberi jalan dan mempersilakan wanita cantik itu masuk. Dengan sikap hormat seorang hwesio lalu mengantarkan Sui In memasuki ruangan dalam dan mengetuk pintu ruangan itu. Hwesio wakil kepala kuil itu Kwan Seng Hwesio yang berusia limapuluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka gelap kehitaman, namun sepasang matanya lembut, sedang berkemas karena dia akan segera pergi ke rumah kematian untuk memimpin sembahyangan pada waktunya nanti.
Tentu saja dia terbelalak heran ketika membuka pintu dan melihat hwesio penjaga pintu depan mengantar seorang wanita muda yang cantik. Akan tetapi, diapun mengenal dayang Permaisuri, maka biarpun alisnya berkerut, dia bangkit dan merangkap kedua tangan di depan dada.
“Omitohud... semoga nona selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa. Ada keperluan apakah nona berkunjung dan mengapa kepada pinceng? Bukankah di luar sudah banyak para murid yang dapat melayani keperluan nona?”
Sui In segera mengeluarkan cincinnya dan melihat benda itu, Kwan Seng Hwesio cepat memberi hormat dengan membungkuk sampai dalam. Kini mengertilah dia mengapa para hwesio membiarkan wanita ini masuk menemuinya. Kiranya dayang ini membawa tanda kekuasaan dari Sang Permaisuri!
“Omitohud! Apakah yang dapat pinceng lakukan untuk nona?”
“Kwan Seng Hwesio, aku ingin bertemu dan bicara dengan Gwat Kong Hosiang.”
Hwesio tinggi kurus itu nampak terkejut, lalu menoleh kepada hwesio penerima tamu dan berkata, “Cepat keluar dan beri kabar bahwa pinceng sedang menerima tamu dari istana, katakan bahwa sebentar lagi pinceng harus pergi ke rumah kematian!”
Hwesio itu memberi hormat dan keluar, menutupkan kembali pintu ruangan itu yang tadi terbuka. Kwan Seng Hwesio mempersilakan Sui In duduk, kemudian diapun bertanya, “Ada keperluan apakah nona ingin bertemu dan bicara dengan suheng Gwat Kong Hosiang?”
“Aku membawa tugas dari Yang Mulia Permaisuri untuk bicara dengan ketua kuil ini,” kata Sui In dengan singkat.
Kwan Seng Hwesio mengembangkan kedua lengannya. “Akan tetapi, Yang Mulia Permaisuri sendiri juga tahu bahwa suheng sedang menderita sakit sejak lama dan tidak dapat menerima tamu! Nona, kalau ada urusan mengenai kuil, semua merupakan tanggung jawab pinceng yang mewakili, suheng! Bahkan Yang Mulia Sribaginda Kaisar sendiri sudah mengetahui akan hal itu.”
“Begini, losuhu. Aku mendapat tugas dari Yang Mulia Permaisuri untuk melakukan pelacakan dan penyelidikan, untuk membongkar rahasia pembunuhan yang dilakukan si Bayangan Iblis. Dan aku ingin memeriksa semua tempat, termasuk kuil ini, maka, aku minta persetujuan losuhu untuk membiarkan aku melakukan pemeriksaan di seluruh pelosok di bukit ini.”
Kwan Seng Hwesio terbelalak memandang kepada gadis itu. “Akan tetapi, nona. Tempat ini adalah tempat suci! Tidak ada yang perlu diperiksa. Kuil ini diurus oleh suheng, pinceng dan para hwesio. Sama sekali tidak mungkin ada penjahat bersembunyi di tempat seperti ini!“
“Bagaimanapun juga, aku harus melakukan penggeledahan dulu, baru aku dapat percaya dan dapat melapor kepada Yang Mulia Permaisuri dengan penuh keyakinan.”
“Tapi, apakah nona tidak percaya kepada kami? Sedangkan Yang Mulia Sribaginda Kaisar sendiri percaya kepada kami!”
“Maaf, losuhu. Tugas adalah tugas, tidak ada sangkut pautnya dengan percaya atau tidak.”
Hwesio itu bangkit berdiri, wajahnya yang biasanya tenang itu kini nampak gelisah. “Omitohud... nona sungguh memaksa pinceng, sungguh memaksa. Baiklah, mari pinceng antar nona mengunjungi suheng Gwat Kong Hosiang yang sedang menderita sakit.”
Hwesio itu lalu membuka daun pintu ruangan itu dan melangkah keluar, diikuti oleh Sui In. Wanita ini memang merasa caaggung dan sungkan juga telah memaksakan kehendaknya kepada seorang pendeta yang suci! Akan tetapi apa boleh buat. Ia harus mencari Hek-liong-li, harus mencari jejak yang dapat membantu Cian Ciang-kun, atau lebih tepat lagi membantu Pek-liong, pendekar yang dikaguminya itu.
Juga ia terdorong oleh perasaan dendamnya kepada Si Bayangan Iblis yang bukan saja telah membunuh suaminya, akan tetapi juga nyaris membunuh pamannya. Ia juga didorong perasaannya sebagai seorang murid Kun-lun-pai, seorang pendekar yang harus menentang perbuatan jahat dan kejam seperti telah dilakukan oleh Si Bayangan Iblis.
Maka iapun membuang semua perasaan sungkannya telah mengganggu wakil kepala kuil ini. Ia mengikuti hwesio tinggi kurus itu menuju ke bagian belakang kuil itu yang ternyata luas sekali. Dan di ruangan belakang yang terdapat banyak kamar yang daun pintunya tertutup, Kwan Seng Hwesio berhenti di depan sebuah pintu kamar.
“Di sinilah suheng Gwat Kong Hosiang beristirahat, akan tetapi sungguh amat tidak enak mengganggu dia yang sedang menderita sakit. Dia amat lemah dan sungguh tidak baik bagi kesehatannya kalau diajak bicara.”
“Biarkan aku melihatnya saja sebentar, losuhu.”
Kwan Seng Hwesio membuka daun pintu dan Sui In melihat seorang hwesio tua yang bertubuh gemuk rebah telentang di atas sebuah pembaringan dan hwesio tua itu nampak tertidur. Setelah melihatnya sebentar, ia membiarkan Kwan Seng Hwesio menutupkan kembali daun pintu itu dan Sui In sudah menghampiri sebuah pintu lain yang menuju ke belakang dan hendak membukanya.
“Nona, harap jangan buka pintu itu!” tiba-tiba Kwan Seng Hwesio berkata, nada suaranya tegas sehingga Sui In menjadi terkejut.
“Eh? Kenapa? Rahasia apa yang tersembunyi di balik pintu ini, losuhu?”
“Tidak ada rahasia! Hanya itu merupakan tempat pribadi yang tidak boleh dibuka sembarangan orang!”
“Akan tetapi aku bukan sembarangan orang, losuhu. Ingat, aku ini utusan Yang Mulia Permaisuri yang telah diberi kekuasaan, dan aku berhak untuk memeriksa apa dan siapapun juga.”
Sui In sudah memegang daun pintu itu, akan tetapi tiba-tiba daun pintu terbuka dan nampak seorang laki-laki meloncat keluar dari dalam kamar itu. Dan Sui In terbelalak kaget. Laki-laki itu berusia lima puluh tahun, rambutnya putih semua dan wajahnya masih nampak muda, tubuhnya jangkung dan tangan kanannya memegang sebatang pedang. Dia menyeringai lebar.
“Heh-heh, kiranya engkau lagi, nona. Sekali ini engkau tidak akan mampu lolos!”
“Pek-mau-kwi...! Engkau...! Di sini? Bagaimana ini? Ahhh, tahu sekarang aku! Engkau pembantu Si Bayangan Iblis dan kuil ini menjadi tempat persembunyian kalian! Bagus, Kwan Seng Hwesio. Kiranya engkau seorang pengkhianat!”
“Omitohud...!” Kwan Seng Hwesio berseru bingung dan Pek-mau-kwi Ciong Hu sudah menyerang Sui In dengan pedangnya. Sui In cepat meloncat ke belakang dan iapun mencabut pedang yang ia sembunyikan di balik bajunya dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang seru di tempat itu.
Sui In menyerang dengan gemas karena ia teringat akan susioknya, Giam Sun yang ketika tewas meninggalkan dua buah nama, yaitu Pek-mau-kwi ini dan Kwi-eng-cu Si Bayangan Iblis. Ia tahu bahwa tentu Pek-mau-kwi ini dan pembantu-pembantunya, yaitu Huang-ho Siang-houw yang telah membunuh susioknya, atas perintah seorang tokoh rahasia yang dijuluki Si Bayangan Iblis. Maka, dengan hati penuh dendam ia memainkan ilmu pedang Kun-lun Kiam-sut dan menyerang dengan dahsyat.
Akan tetapi pria berambut putih itu memang lihai. Kalau dulu Sui In terlepas dari tangannya adalah karena muncul Pek-liong. Akan tetapi kini ia harus melawan sendiri dan biarpun ia mampu menandingi ilmu pedang Pek-mau-kwi, akan tetapi iapun tidak mampu mendesaknya dan pertandingan dengan pedang itu semakin seru dan mati-matian. Tiba-tiba terdengar suara wanita terkekeh dan muncullah seorang wanita tua yang usianya tidak kurang dari enampuluh lima tahun, bertubuh kurus kering dan matanya mencorong seperti mata kucing!
“Heh-heh-heh, Pek-mau-kwi. Tidak malukah engkau, sejak tadi tidak mampu merobohkan seorang wanita muda? Dan engkau, Kwan Seng Hwesio, kenapa diam menonton saja seperti patung dan tidak membantu Pek-mau-kwi?”
“Omituhud... maafkan pinceng... kita sudah berjanji bahwa pinceng tidak akan melibatkan diri dalam perkelahian... Omituhud!”
Nenek itu kembali terkekeh dan ia meloncat ke dalam medan perkelahian dan sekali tangannya menyambar, ada angin pukulan dahsyat sekali menyambar ke arah muka Sui In! Wanita ini terkejut. Tamparan tangan ke arah mukanya itu kuat dan cepat bukan main. Ia lalu mengelebatkan pedangnya untuk menyambut tangan yang menampar, menangkis dan sekaligus menyerang untuk membikin buntung tangan yang menyerangnya itu.
“Dukkk!” Pedang itu terpental lepas dari pegangan Sui In dan sebelum wanita ini tahu apa yang terjadi, tangan nenek itu sudah menampar ke arah dada kanannya, di bawah pundak.
“Plakk!” Sui In terpelanting roboh dan pingsan.
Wanita itu kembali terkekeh. “Huh, segala macam budak ingusan berani mengacau ke sini? Keram ia dalam ruangan bawah tanah!”
Sambil menyeringai, Pek-mau-kwi Ciong Hu memondong tubuh Sui In yang pingsan dan melihat wajah anak buahnya itu, nenek yang amat lihai itu menghardik, “Awas kau, Pek-mau-kwi. Kalau engkau ganggu wanita itu, engkau akan kubunuh! Semua anak buahku harus tertib dan taat, tidak boleh melakukan sesuatu tanpa diperintah, sehingga menggagalkan semua rencana. Mengerti?”
Muka yang.tadinya menyeringai senang itu tiba-tiba berubah masam, akan tetapi Pek-mau-kwi mengangguk. “Baik, saya mentaati perintah, Kui-bo.”
Nenek itu kini menghadapi hwesio yang bernama Kwan Seng Hwesio, wakil kepala kuil itu dan berkata dengan nada mengancam. “Kwan Seng Hwesio, ingat, tak seorangpun hwesio di kuil ini pernah melihat wanita tadi. Mengerti! Kalau ada yang lancang mulut, aku akan membawa kepala Gwat Kong Hwesio kepadamu, sebelum membunuh kalian semua!”
Dengan wajah pucat, hwesio itu merangkap kedua tangan di depan dada sambil membungkuk. “Omitohud, kami tidak berani lancang mulut.”
Nenek itu tersenyum mengejek, lalu ia menghilang di balik daun pintu menyusul perginya Pek-mau-kwi yang tadi memondong tubuh Sui In. Daun pintu tertutup lagi dari dalam.
Setelah berada seorang diri, Kwan Seng Hwesio berulang-ulang menyebut “Omitohud...” sambil memandang ke arah tubuh suhengnya, Gwat Kong Hwesio, yang rebah tak sadarkan diri itu. Suhengnya kini bukan disandera lagi melainkan diracuni dan obat penawar racun itu ada pada nenek itu. Tanpa pertolongan nenek itu, suhengnya akan tewas.
Itulah sebabnya mengapa belasan orang hwesio di kuil itu tidak berdaya sama sekali dan terpaksa mentaati perintah gerombolan orang asing yang jahat, yang telah menawan Gwat Kong Hwesio dan bersembunyi di kuil itu. Rombongan penjahat itu terdiri dari belasan orang, dipimpin oleh dua orang. Yang pertama adalah Bouw Sian-seng yang sebetulnya adalah Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan) seperti yang diduga oleh Pek-liong dan Hek-liong-li. Adapun orang kedua bukan lain adalah Kui Lo-ma yang sebetulnya adalah Thian-thouw Kui-bo (Biang Setan Kepala Besi), Kedua orang kakek dan nenek ini adalah dua orang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua).
Mula-mula Lam-hai Mo-ong yang melihat persaingan di antara para pangeran. Hal ini membuat datuk sesat ini girang sekali karena dia melihat kesempatan yang teramat baik untuk mengangkat dirinya dengan membonceng kemelut yang timbul karena persaingan dan pertentangan di antara para pangeran. Dengan cerdik dia menyelidiki keadaan para pangeran.
Pada suatu hari ketika Pangeran Souw Cun, yang sudah lama diincernya untuk dapat diperalat, sedang berburu. Lam-hai Mo-ong menyuruh anak buahya untuk menghadang dan menyerang pangeran itu sebagai perampok. Para pengawal pangeran itu sudah roboh semua oleh para “perampok” sehingga nyawa Pangeran Souw Cun terancam bahaya maut. Muncullah Lam-hai Mo-ong sebagai bintang penyelamat dengan mengusir para “perampok” itu.
Tentu saja Souw Cun berterima kasih, juga kagum akan kelihaian kakek itu. Dan diapun mengakui kakek itu sebagai gurunya, bahkan memboyongnya ke istananya. Atas nasehat Lam-hai Mo-ong, pangeran itu memperkenalkan Lam-hai Mo-ong kepada orang-orang istana sebagai Bouw Sian-seng yang menjadi gurunya dalam hal sastera!
Melihat betapa dia membutuhkan bantuan untuk menyukseskan rencananya yang besar, dia lalu memberi kabar kepada rekannya, yaitu Tiat-thouw Kui-bo dan menarik nenek iblis itu ke dalam istana pula. Nenek itu menyamar sebagai seorang wanita ahli masak dan ahli pijat, dan Bouw Sian-seng berhasil memasukkan rekannya yang memakai nama Kui Lo-ma bekerja kepada Pangeran Kim Ngo Him, yaitu mantu kaisar yang juga berambisi untuk memperebutkan kedudukan.
Demikianlah, Bouw Sian-seng dan Kui Lo-ma, diam-diam mengadakan hubungan dan mereka berhasil pula menyelundupkan anak buah mereka yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang pandai ilmu silat dan kuat, sampai belasan orang ke dalam istana. Selain itu, di kota raja mereka juga mempunyai puluhan orang anak buah yang mereka sebar di luar istana sebagai mata-mata.
Dengan teratur, makin lama kedua orang datuk sesat itu makin kuat menancapkan kuku mereka untuk menanam pengaruh mereka di istana melalui dua orang pangeran itu. Bahkan Bouw Sian-seng dan Kui Lo-ma telah menguasai kuil istana dengan menangkap kepala kuil dan melihat betapa Gwan Kong Hwesio, kepala kuil itu, keras kepala dan tidak sudi menyerah, Kui Lo-ma lalu membuat dia pingsan dengan racun.
Karena tidak ingin melihat kepala kuil itu dibunuh, terpaksa Kwan Seng Hwesio dan teman-temannya menyerah kepada dua orang datuk itu. Mereka merahasiakan kehadiran para penjahat itu di istana, dengan janji bahwa mereka tidak akan membantu mereka dalam perkelahian, juga bahwa setelah urusan mereka di istana selesai, mereka akan membebaskan dan memberi obat penyembuh kepada Gwat Kong Hwesio.
Mulailah Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo menyebar maut. Merekalah yang menyamar sebagai Bayangan Iblis, melakukan pembunuhan kepada mereka yang dianggap dapat menjadi penghalang suksesnya cita-cita mereka. Ketika mereka tidak berhasil membunuh Ciok Tai-jin yang dijaga ketat oleh Cu Sui In dan para pengawal, mereka memasang mata-mata di situ. Maka, mereka tahu bahwa Sui In, janda yang murid Kun-lun-pai itu, akan minta bantuan seorang susioknya bernama Giam Sun.
Mendengar ini Lam-hai Mo-ong menyuruh para pembantunya, yaitu Pek-mau-kwi dan Huang-ho Siang-houw, untuk mendahului wanita muda itu dan mereka berhasil membunuh Giam Sun! Bahkan hampir mereka membunuh Sui In pula kalau tidak muncul Pek-liong-eng Tan Cin Hay yang berhasil menyelamatkannya.
Apakah yang dikehendaki dua orang datuk sesat itu? Mereka bercita-cita muluk dan melaksanakan permainan besar tingkat tinggi. Mereka melihat persaingan dan perebutan kedudukan di istana, memperebutkan kursi putera mahkota untuk kelak menggantikan kaisar. Maka, mereka berdua melihat kesempatan yang amat baik.
Kalau mereka dapat membantu seorang pangeran sehingga pangeran itu kelak menjadi kaisar, sudah pasti mereka akan menerima kedudukan tinggi sebagai balas jasa. Mereka akan diangkat menjadi kok-su (penasihat negara) atau setidaknya tentu kedudukan menteri akan menjadi bagian mereka! Kemuliaan, kehormatan dan kekuasaan akan menjadi bagian mereka!
Mereka menjatuhkan pilihan mereka kepada Pangeran Souw Kian. Pangeran dari selir yang usianya delapanbelas tahun ini adalah seorang pemuda yang agak terbelakang, bodoh dan bebal, hanya menyeringai saja dan tidak mempunyai semangat apa-apa.
Kalau sampai pangeran ini dapat menjadi calon tunggal dan kelak menjadi kaisar, tentu dapat mereka kuasai. Maka, diam-diam Bouw Sian-seng yang dikenal sebagai seorang sasterawan, guru Pangeran Souw Cun, mulai mendekati ibu Pangeran Souw Kian, menjanjikan bahwa dia sanggup membimbing dan mengajar pangeran itu agar kelak menjadi seorang pandai. Karena janji yang muluk-muluk ini, ibu pangeran itu menaruh kepercayaan dan harapan besar kepada Bouw Sian-seng.
Mulailah pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dua orang datuk bersama kaki tangannya. Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan untuk menyingkirkan orang-orang yang dapat menjadi halangan, juga untuk menimbulkan pertentangan di antara para pangeran. Di dalam kemelut di istana itu, nampaklah bahwa semua pangeran terlibat, bahkan Pangeran Souw Han yang tadinya dianggap alim dan baik, terlibat pula dan bahkan terbunuh!
Hanya Pangeran Souw Kian seoranglah yang sama sekali tidak perduli, tidak mencampuri dan nampak “bersih”, sama sekali tidak ikut bersaing. Karena markas besar para pengacau itu justeru berada di kuil istana, dan mereka menyamar sebagai orang-orang yang sama sekali tidak mencurigakan, maka semua upaya untuk menangkap Si Bayangan Iblis gagal selalu.
Cu Sui In merupakan orang pertama yang menyelidiki ke dalam kuil itu, maka ia segera dirobohkan dan ditawan oheh Kui Lo-ma. Wanita muda itu kalau sampai lolos, berbahaya sekali. Ialah satu-satunya orang yang telah menemukan rahasia mereka. Kalau nenek itu tidak segera membunuh Sui In, hal itu hanya membuktikan kecerdikannya. Ia tahu bahwa bahaya mulai membayangi komplotannya.
Oleh karena itu, kalau ada orang penting tertangkap, sebaiknya dijadikan sandera, tidak segera dibunuh. Kalau dibunuh, sudah tidak ada harganya lagi, akan tetapi kalau masih dibiarkan hidup, sekali waktu mungkin amat berharga! Ini sebabnya maka ia mengancam Pek-mau-kwi yang ia tahu mata keranjang itu agar jangan mengganggu Sui In.
Cian Hui mengerutkan alisnya yang tebal ketika dua orang perajuritnya datang menghadap dan melaporkan bahwa mereka bertemu dengan Siauw In yang membawa cincin Hong-houw dan memesan kepada mereka agar melapor kepada Cian Ciang-kun bahwa gadis itu melakukan penyelidikan ke kuil istana di puncak bukit.
Mengapa Sui In melakukan penyelidikan ke sana? Di sana hanya ada kuil dengan belasan orang hwesio yang dapat dipercaya sepenuhnya. Para hwesio itu tidak mungkin terlibat dalam pembunuhan. Mereka adalah orang-orang yang bersih, juga setia. Oleh karena itu, dia tidak begitu tertarik ketika mendengar laporan anak buahnya tentang penyelidikan yang dilakukan janda muda yang cantik itu.
Akan tetapi, hatinya mulai merasa khawatir juga ketika malam tiba dan dia mendapat laporan dari anak buahnya bahwa janda itu belum juga kembali ke rumah mendiang Pangeran Souw Han, di mana ia ditugaskan bersama para dayang lainnya. Dia mengerahkan seregu pasukan untuk mencari ke bukit itu. Namun, Sui In lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Para hwesio di kuil itu sudah ditanya, akan tetapi tidak ada seorangpun yang mengaku pernah melihat wanita muda itu. Cian Hui lalu keluar sendiri untuk ikut mencari, namun sia-sia. Karena khawatir, diapun lalu pergi mengunjungi bagian istal kuda untuk menjumpai Pek-liong.
Karena Cian Hui memiliki kekuasaan dan dia dikenal oleh semua pekerja, mereka itu mentaatinya ketika mereka disuruh pergi sehingga Cian Hui dengan leluasa dapat mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Pek Liong dan juga Hek-liong-li. Mereka bertiga bercakap-cakap di dalam gudang jerami, duduk di lantai yang penuh jerami kering. Cian Hui menceritakan tentang lenyapnya Sui In setelah wanita itu melakukan penyelidikan ke kuil istana di puncak bukit. Mendengar ini, Liong-li menepuk dahinya sendiri.
“Aiihh, kenapa aku begini bodoh? Tentu saja! Tempat yang paling tidak mungkin, yang sedikitpun tidak akan mendatangkan kecurigaan, tempat seperti itulah merupakan tempat persembunyian yang paling baik! Di seluruh istana ini, bukit itu dan kuil itu merupakan tempat yang amat aman kalau dipakai melindungi diri. Siapa akan menyangka ke sana? Dan orang tentu akan sungkan untuk menggeledah dan mengganggu para hwesio di kuil itu!
“Benar sekali, li-hiap,” kata Cian Hui. “Aku sendiripun selama melakukan penyelidikan, belum pernah mencurigai mereka. Memang meragukan sekali tempat seperti itu menjadi sarang pembunuh. Para hwesio itu pasti tidak akan membiarkan begitu saja. Akan tetapi, tempat itu tidak boleh dilewatkan, harus digeledah. Sekarang aku teringat bahwa sejak terjadinya peristiwa kemelut di istana, ketua kuil itu jatuh sakit dan sampai sekarang tidak dapat menemui tamu karena sakitnya.”
“Hemm, mencurigakan sekali. Sebaiknya kita lebih dahulu menengok keadaan kepala kuil itu,” kata Pek-liong-eng.
“Sebaiknya malam ini juga kita berangkat ke sana. Mari, tai-hiap dan li-hiap, kita berangkat sekarang juga!” ajak Cian Ciang-kun.
“Nanti dulu,” kata Liong-li. “Kita menghadapi pembunuh-pembunuh jahat dan lihai. Kita tidak tahu bagaimana keadaan mereka dan berapa banyak anak buah mereka. Oleh karena itu, membasmi rumput harus dengan akar-akarnya, dan kalau kita menyerbu ke sana, mereka semua harus dapat ditangkap. Sebaiknya kalau engkau kerahkan pasukan untuk mengepung bukit itu agar jangan sampai ada penjahat yang mampu melarikan diri dan lolos. Setelah itu baru kita menggeledah kuil itu.”
Cian Hui setuju dan Pek-liong juga membenarkan. Malam itu juga Cian Ciang-kun mengerahkan pasukan dan mengepung bukit itu dengan ketat. Setelah itu barulah mereka berangkat dan di lereng bukit kecil itu mereka berpencar. Pek-liong dan Liong-li terus mendaki ke puncak di mana terdapat kuil itu, dan Cian Hui tinggal di lereng untuk mengatur pengepungan pasukan-pasukannya.
Malam itu bulan masih terang seperti siang. Hal ini memudahkan Pek-liong dan Liong-li yang mendaki ke puncak. Bukit itu tidak besar, dan sebentar saja mereka telah tiba di puncak, berdiri di luar pekarangan kuil yang dipagari tembok. Kuil itu nampak sunyi dan mati, seolah tidak ada penghuninya. Memang kalau malam kuil itu ditutup dan tidak menerima tamu, akan tetapi biasanya dalam keadaan menganggur itu, para hwesio membaca kitab atau berdoa sehingga terdengar suara mereka dari luar.
Setidaknya akan terdengar suara ketukan berirama yang menuntun doa mereka. Akan tetapi malam itu sama sekali tidak terdengar suara apapun, seolah kuil itu telah berubah menjadi kuburan. Dengan mudah mereka melompati pagar tembok dan berada di kebun samping kuil itu. Mereka menyelinap di antara pohon-pohon dan semak, mendekati kuil yang besar sekali itu.
Maklum, kuil itu adalah kuil istana yang sudah ratusan tahun umurnya, dibuat kokoh kuat seperti benteng karena tempat itu dianggap tempat suci yang tidak boleh dikunjungi orang luar, kecuali bagian luarnya di mana disediakan meja-meja sembahyang dan orang hanya boleh datang berkunjung di waktu pagi sampai sore saja. Di bagian dalam kuil itu yang menjadi tempat tinggal atau asrama para hwesio, merupakan tempat suci yang tidak boleh dikunjungi orang lain.
Biarpun tembok kuil itu tinggi dan sama sekali tidak berjendela, bukan merupakan hal sukar bagi Pek-liong dan Liong-li untuk memanjat dan berloncatan sehingga mereka dapat tiba di wuwungan kuil yang bergenteng tebal sekali. Bagaikan dua ekor burung walet mereka melayang dan berlompatan di atas wuwungan tanpa menimbulkan suara.
Mereka merasa aneh dan heran. Setelah menyelidik ke sana-sini, mereka mendapat kenyataan bahwa di bawah gelap, tidak ada penerangan sama sekali, seolah-olah orang-orang yang tinggal di kuil itu dengan sengaja memadamkan semua penerangan. Pada hal, malam belum larut benar. Tidak mungkin pada waktu itu semua hwesio sudah tidur dan membiarkan kuil itu ditelan kegelapan seperti itu! Pantasnya ada unsur kesengajaan dalam keadaan itu.
Setelah saling pandang dan memberi isyarat dengan pandang mata mereka, Pek-liong dan Liong-li melayang ke atap yang lebih rendah dan tiba-tiba di bagian samping kiri bangunan kuil besar itu, mereka melihat sinar dari sebuah ruangan di bawah! Mereka cepat meloncat ke atas ruangan yang merupakan satu-satunya ruangan yang ada penerangannya. Begitu kaki mereka menginjak genteng, terdengar suara dari bawah.
“Omitohud... penjahat dari manakah begitu berani mengotori tempat suci ini?”
Pek-liong dan Liong-li terkejut dan cepat mereka mengintai ke bawah. Mereka melihat seorang hwesio duduk bersila di sudut ruangan kepalanya yang gundul licin itu menunduk sehingga wajahnya tidak dapat menerima cahaya redup lilin yang dipasang di atas meja di ruangan itu...
Biarpun dayang-dayang, mereka adalah dayang yang dikirim oleh permaisuri, maka tak seorangpun berani memandang rendah apa lagi menghina kepada mereka. Demikian besar kekuasaan dan pengaruh Permaisuri Bu Cek Thian sehingga para pangeranpun tidak berani bermain gila terhadap para dayang ini, takut kalau sampai terdengar oleh sang permaisuri dan mendapat marah.
Mula-mula memang Sui In membantu para dayang itu, ada yang membuatkan rangkaian bunga, melipati kertas perak dan kertas emas untuk korban sembahyang dan sebagainya. Akan tetapi setelah mendapatkan kesempatan, dengan dalih membersihkan rumah bekas tempat tinggal Pangeran Souw Han, ia memasuki kamar pangeran itu dan sambil menyapu dan membersihkan semua perabotan.
Ia melakukan pemeriksaan dengan teliti, mencari kalau-kalau ada petunjuk tentang pembunuhan itu atau tentang hilangnya Hek-liong-li yang menyamar sebagai Siauw Cu, selir mendiang Pangeran Souw Han. Ketika ia membersihkan tempat tidur, tanpa disengaja ia menemukan sebuah kipas di bawah bantal dan di permukaan kipas ini terdapat tulisan yang masih baru. Huruf-hurufnya amat indah dan rapi.
“Enci Cu kekasihku tercinta aku akan selalu berdoa biar dalam kehidupan ini kita tak dapat hidup bersama dalam kehidupan mendatang aku menjadi anjingmu setia.”
Sui In cepat menyimpan kipas itu ke dalam balik bajunya dan hatinya merasa terharu sekali. Ia dapat menduga bahwa tentu kipas ini milik mendiang Pangeran Souw Han dan tulisan inipun tulisannya karena pangeran itu terkenal seorang sastrawan yang pandai. Dan iapun mendengar bahwa Hek-liong-li menyamar sebagai selirnya dengan nama Siauw Cu. Kepada siapa lagi sajak itu ditujukan kalau tidak kepadanya? Agaknya pangeran itu menyebut Liong-li sebagai “enci Cu” dan kalau benar demikian ia menduga bahwa tentu sang pangeran amat mencinta wanita itu!
Ketika ia membersihkan dalam almari pakaian, ia menemukan sebuah gulungan kain dan ketika ia membuka gulungan itu, ternyata itu merupakan sebuah peta yang lengkap dari kompleks istana! Cepat ia mempelajarinya dan yang amat menarik perhatiannya adalah gambaran sebuah bukit kecil penuh hutan di bagian belakang kompleks itu di mana terdapat sebuah kuil. Kuil istana! Tempatnya di puncak bukit kecil yang penuh hutan.
Menarik sekali. Tentu kalau ia menjadi Hek-liong-li, ia akan tertarik untuk menyelidiki tempat itu. Sebuah tempat yang amat baik untuk menjadi persembunyian orang-orang yang tidak ingin kehadirannya diketahui orang lain. Seperti misalnya Si Bayangan Iblis dan anak buahnya! Atau, seperti halnya Hek-liong-li sendiri yang sekarang dituduh menjadi Si Bayangan Iblis dan membunuh Pangeran Souw Han.
Ia tidak percaya bahwa Hek-liong-li yang membunuh Pangeran Souw Han. Dan tentang Si Bayangan Iblis, penjahat itu sudah lama mengacau di kota raja sebelum Hek-liong-li dan Pek-liong-eng mencampuri urusan itu!
Matahari telah condong ke barat ketika Sui In berhasil menyelinap ke luar dari rumah Pangeran Souw Han. Sebagai seorang dayang yang dikirim permaisuri, ia tidak pernah dicurigai orang dan dengan leluasa ia dapat menyelinap keluar. Ia harus cepat mencari Hek-liong-li seperti yang telah menjadi tugasnya.
Dan ia tidak takut karena ia merasa bahwa yang menyuruhnya adalah Cian Ciang-kun, dan bahwa di belakangnya selain terdapat Pek-liong-eng yang lebih dahulu menyelundup ke istana, juga ia telah mendapat restu atau ijin dari Sribaginda Kaisar dan Permaisuri sendiri!
Siapa yang akan berani mengganggunya? Apa lagi Permaisuri yang cerdik itu sudah membekalinya sebuah tanda kebesaran berupa cincin yang menurut permaisuri itu akan dikenal oleh semua petugas keamanan di istana dan semua orang akan tidak berani mengganggunya, bahkan akan membantu dan mentaati perintahnya!
Setelah tadi mempelajari peta yang didapatkannya di lemari pakaian di kamar Pangeran Souw Han, kini dengan mudah Sui In dapat menemukan bukit yang dimaksudkan. Ketika ia tiba di luar hutan di bukit itu, tiba-tiba saja dari kanan kiri bermunculan lima orang perajurit pengawal yang agaknya melakukan perondaan sampai di situ.
“Berhenti!” bentak mereka dan lima orang itu telah berdiri tegak di depan Sui In.
Mereka saling pandang ketika mengenal gadis ini berpakaian dayang, bahkan kemudian mengenal bentuk sanggul dan hiasan rambutnya sebagai dayang dari Permaisuri. Sikap mereka berubah. Kalau tadinya mereka senyum-senyum nakal, kini mereka bersikap hormat, lalu seorang di antara mereka yang berkumis tipis berkata dengan hormat.
“Bukankah nona seorang dayang dari Yang Mulia Permaisuri yang diperbantukan di rumah mendiang Pangeran Souw Han?”
“Benar sekali,” jawab Sui In, sikapnya angkuh, sesuai dengan sikap dayang Sang Permaisuri yang merasa mempunyai kedudukan dan kehormatan.
“Kalau begitu, maafkan kami. Kenapa nona berada di sini bukan di rumah mendiang Pangeran Souw Han? Hendaknya nona ketahui bahwa di mana-mana pasukan pengawal sedang sibuk mencari penjahat. Tempat seperti ini amat berbahaya bagi nona, karena sepi dan terdapat banyak hutan.”
Sui In maklum bahwa ia menghadapi kesulitan, maka iapun mengeluarkan cincin itu dari saku bajunya, memperlihatkannya kepada mereka sambil berkata, “Aku membawa tugas dari Yang Mulia Permaisuri!”
Melihat cincin itu, lima orang perajurit Pengawal itu cepat memberi hormat dan melangkah mundur dengan sikap segan. “Kami menanti perintah paduka!”
Cu Sui In adalah keponakan seorang bangsawan tinggi, Ciok Tai-jin. Pamannya adalah Pembantu Menteri Pajak, dan mendiang suaminya juga seorang pejabat, maka ia tidak asing dengan kebiasaan ini, ketaatan orang-orang bawahan kepada atasan. Akan tetapi biarpun demikian, melihat sikap lima orang ini, diam-diam ia merasa girang sekali. Cincin itu sungguh merupakan pelindung yang ampuh sekali!
“Aku tidak memerlukan bantuan. Minggirlah, biarkan aku lewat dan jangan kalian ceritakan kepada siapa pun tentang kehadiranku di sini!”
Lima orang itu lalu bergerak minggir dan memberi jalan. Sui In melewati mereka, lalu teringat akan sesuatu dan berkata lagi kepada mereka sambil menahan langkahnya. “Oya, kalian tentu mengenal Cian Ciang-kun, bukan?”
“Nona maksudkan perwira Cian Hui? Tentu kami mengenalnya. Bahkan dia yang kini menjadi atasan kami.”
“Bagus. Kalau bertemu dengan dia, katakan bahwa nona Siauw In, dayang Yang Mulia Permaisuri, sore hari ini hendak menyelidiki ke kuil di puncak bukit. Mengerti?”
Mereka memberi hormat, “Baik, nona!”
Dengan hati lapang dan bangga Sui In melanjutkan perjalanannya, memasuki hutan itu dan mendaki bukit. Ada sebuah jalan menuju ke puncak, jalan yang memang dibuat untuk para keluarga Kaisar yang pesiar. Jalan itu indah dan di kanan kiri jalan terdapat tanaman berbagai bunga, indah sekali. Juga pohon-pohon di hutan itu terpelihara.
Di sepanjang perjalanan, Sui In melihat beberapa ekor kijang berkelompok dan beberapa ekor kelinci berlarian menyelinap ke balik semak-semak ketika melihatnya. Tempat ini begini indah, begini tenang dan penuh damai, mendatangkan perasaan tenteram. Ia sudah mulai merasa kecewa dan menyesal. Betapa bodohnya mencurigai tempat senyaman ini! Tempat termasuk hutan buatan, penuh taman dan pohon yang terpelihara indah, juga di sana sini tentu terdapat perajurit pengawal yang melakukan perondaan.
Tidak mungkin menjadi tempat persembunyian penjahat. Paling-paling hanya menjadi tempat persembunyian muda-mudi istana yang mengadakan pertemuan rahasia yang penuh kemesraan! Akan tetapi ia sudah tiba di situ, harus dilanjutkan sampai ke puncak. Ia ingin melihat bagaimana macamnya kuil istana yang sudah banyak didengarnya itu, sebagai kuil yang indah dan dihuni oleh pendeta-pendeta yang alim dan pandai.
Kabarnya di luar istana, kuil ini manjur sekali, dapat memberi obat yang mujarab bagi yang sakit, dan dapat meramalkan nasib dengan tepat dan baik sekali. Orang luar istana tidak diperkenankan masuk. Sekarang, setelah ia berada di situ, merupakan kesempatan baik untuk mengunjungi kuil itu, di samping tugas penyelidikannya. Ia sudah pernah mendengar bahwa kepala pendeta di kuil itu yang bernama Gwat Kong Hosiang adalah seorang hwesio yang selain alim dan pandai, juga lihai ilmu silatnya karena dia datang dari kuil Siauw-lim-si.
Ketika ia tiba di kuil itu, ia disambut oleh beberapa orang hwesio yang memandang heran walaupun mereka itu segera menyambut dengan sikap hormat karena tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang dayang dari Permaisuri. Kekuasaan dan pengaruh Permaisuri Bu Cek Thian bahkan sudah sampai ke kuil itu. Kuil itu sunyi, tidak ada pengunjung datang bersembahyang, dan banyak di antara para hwesio kini sibuk pula di rumah Pangeran Souw Han untuk melakukan sembahyang.
“Selamat datang, nona. Bantuan apakah yang dapat kami berikan kepada nona?” tanya seorang di antara mereka dengan sikap hormat.
“Aku ingin berjumpa dengan Gwat Kong Hosiang, ketua kuil ini,” jawab Cu Sui In.
Empat orang hwesio itu saling pandang, kemudian pembicara tadi menjawab, “Omituhud, toa-suhu Gwat Kong Hosiang tidak dapat ditemui nona karena dia sedang sakit. Dan wakilnya, yaitu suhu Kwan Seng Hwesio kini sedang bersiap-siap untuk pergi ke tempat kematian.”
“Kalau begitu biarkan aku berjumpa dengan Kwan Seng Hwesio,” kata pula Sui In.
“Tapi, nona. Kwan-suhu sedang sibuk dan pula... dengan adanya peristiwa kematian itu, semua orang akan berada di sana. Kenapa nona bahkan datang berkunjung dan...”
Hwesio itu berhenti bicara ketika melihat Sui In mengeluarkan cincin wasiatnya, pemberian Permaisuri. Melihat cincin itu, para hwesio itu membungkuk dalam-dalam dan penuh hormat.
“Antarkan aku kepada Kwan Seng Hwesio sekarang juga,” kata Sui In dan sekali ini, para hwesio tidak ada yang berani membantah.
Mereka memberi jalan dan mempersilakan wanita cantik itu masuk. Dengan sikap hormat seorang hwesio lalu mengantarkan Sui In memasuki ruangan dalam dan mengetuk pintu ruangan itu. Hwesio wakil kepala kuil itu Kwan Seng Hwesio yang berusia limapuluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dan bermuka gelap kehitaman, namun sepasang matanya lembut, sedang berkemas karena dia akan segera pergi ke rumah kematian untuk memimpin sembahyangan pada waktunya nanti.
Tentu saja dia terbelalak heran ketika membuka pintu dan melihat hwesio penjaga pintu depan mengantar seorang wanita muda yang cantik. Akan tetapi, diapun mengenal dayang Permaisuri, maka biarpun alisnya berkerut, dia bangkit dan merangkap kedua tangan di depan dada.
“Omitohud... semoga nona selalu berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa. Ada keperluan apakah nona berkunjung dan mengapa kepada pinceng? Bukankah di luar sudah banyak para murid yang dapat melayani keperluan nona?”
Sui In segera mengeluarkan cincinnya dan melihat benda itu, Kwan Seng Hwesio cepat memberi hormat dengan membungkuk sampai dalam. Kini mengertilah dia mengapa para hwesio membiarkan wanita ini masuk menemuinya. Kiranya dayang ini membawa tanda kekuasaan dari Sang Permaisuri!
“Omitohud! Apakah yang dapat pinceng lakukan untuk nona?”
“Kwan Seng Hwesio, aku ingin bertemu dan bicara dengan Gwat Kong Hosiang.”
Hwesio tinggi kurus itu nampak terkejut, lalu menoleh kepada hwesio penerima tamu dan berkata, “Cepat keluar dan beri kabar bahwa pinceng sedang menerima tamu dari istana, katakan bahwa sebentar lagi pinceng harus pergi ke rumah kematian!”
Hwesio itu memberi hormat dan keluar, menutupkan kembali pintu ruangan itu yang tadi terbuka. Kwan Seng Hwesio mempersilakan Sui In duduk, kemudian diapun bertanya, “Ada keperluan apakah nona ingin bertemu dan bicara dengan suheng Gwat Kong Hosiang?”
“Aku membawa tugas dari Yang Mulia Permaisuri untuk bicara dengan ketua kuil ini,” kata Sui In dengan singkat.
Kwan Seng Hwesio mengembangkan kedua lengannya. “Akan tetapi, Yang Mulia Permaisuri sendiri juga tahu bahwa suheng sedang menderita sakit sejak lama dan tidak dapat menerima tamu! Nona, kalau ada urusan mengenai kuil, semua merupakan tanggung jawab pinceng yang mewakili, suheng! Bahkan Yang Mulia Sribaginda Kaisar sendiri sudah mengetahui akan hal itu.”
“Begini, losuhu. Aku mendapat tugas dari Yang Mulia Permaisuri untuk melakukan pelacakan dan penyelidikan, untuk membongkar rahasia pembunuhan yang dilakukan si Bayangan Iblis. Dan aku ingin memeriksa semua tempat, termasuk kuil ini, maka, aku minta persetujuan losuhu untuk membiarkan aku melakukan pemeriksaan di seluruh pelosok di bukit ini.”
Kwan Seng Hwesio terbelalak memandang kepada gadis itu. “Akan tetapi, nona. Tempat ini adalah tempat suci! Tidak ada yang perlu diperiksa. Kuil ini diurus oleh suheng, pinceng dan para hwesio. Sama sekali tidak mungkin ada penjahat bersembunyi di tempat seperti ini!“
“Bagaimanapun juga, aku harus melakukan penggeledahan dulu, baru aku dapat percaya dan dapat melapor kepada Yang Mulia Permaisuri dengan penuh keyakinan.”
“Tapi, apakah nona tidak percaya kepada kami? Sedangkan Yang Mulia Sribaginda Kaisar sendiri percaya kepada kami!”
“Maaf, losuhu. Tugas adalah tugas, tidak ada sangkut pautnya dengan percaya atau tidak.”
Hwesio itu bangkit berdiri, wajahnya yang biasanya tenang itu kini nampak gelisah. “Omitohud... nona sungguh memaksa pinceng, sungguh memaksa. Baiklah, mari pinceng antar nona mengunjungi suheng Gwat Kong Hosiang yang sedang menderita sakit.”
Hwesio itu lalu membuka daun pintu ruangan itu dan melangkah keluar, diikuti oleh Sui In. Wanita ini memang merasa caaggung dan sungkan juga telah memaksakan kehendaknya kepada seorang pendeta yang suci! Akan tetapi apa boleh buat. Ia harus mencari Hek-liong-li, harus mencari jejak yang dapat membantu Cian Ciang-kun, atau lebih tepat lagi membantu Pek-liong, pendekar yang dikaguminya itu.
Juga ia terdorong oleh perasaan dendamnya kepada Si Bayangan Iblis yang bukan saja telah membunuh suaminya, akan tetapi juga nyaris membunuh pamannya. Ia juga didorong perasaannya sebagai seorang murid Kun-lun-pai, seorang pendekar yang harus menentang perbuatan jahat dan kejam seperti telah dilakukan oleh Si Bayangan Iblis.
Maka iapun membuang semua perasaan sungkannya telah mengganggu wakil kepala kuil ini. Ia mengikuti hwesio tinggi kurus itu menuju ke bagian belakang kuil itu yang ternyata luas sekali. Dan di ruangan belakang yang terdapat banyak kamar yang daun pintunya tertutup, Kwan Seng Hwesio berhenti di depan sebuah pintu kamar.
“Di sinilah suheng Gwat Kong Hosiang beristirahat, akan tetapi sungguh amat tidak enak mengganggu dia yang sedang menderita sakit. Dia amat lemah dan sungguh tidak baik bagi kesehatannya kalau diajak bicara.”
“Biarkan aku melihatnya saja sebentar, losuhu.”
Kwan Seng Hwesio membuka daun pintu dan Sui In melihat seorang hwesio tua yang bertubuh gemuk rebah telentang di atas sebuah pembaringan dan hwesio tua itu nampak tertidur. Setelah melihatnya sebentar, ia membiarkan Kwan Seng Hwesio menutupkan kembali daun pintu itu dan Sui In sudah menghampiri sebuah pintu lain yang menuju ke belakang dan hendak membukanya.
“Nona, harap jangan buka pintu itu!” tiba-tiba Kwan Seng Hwesio berkata, nada suaranya tegas sehingga Sui In menjadi terkejut.
“Eh? Kenapa? Rahasia apa yang tersembunyi di balik pintu ini, losuhu?”
“Tidak ada rahasia! Hanya itu merupakan tempat pribadi yang tidak boleh dibuka sembarangan orang!”
“Akan tetapi aku bukan sembarangan orang, losuhu. Ingat, aku ini utusan Yang Mulia Permaisuri yang telah diberi kekuasaan, dan aku berhak untuk memeriksa apa dan siapapun juga.”
Sui In sudah memegang daun pintu itu, akan tetapi tiba-tiba daun pintu terbuka dan nampak seorang laki-laki meloncat keluar dari dalam kamar itu. Dan Sui In terbelalak kaget. Laki-laki itu berusia lima puluh tahun, rambutnya putih semua dan wajahnya masih nampak muda, tubuhnya jangkung dan tangan kanannya memegang sebatang pedang. Dia menyeringai lebar.
“Heh-heh, kiranya engkau lagi, nona. Sekali ini engkau tidak akan mampu lolos!”
“Pek-mau-kwi...! Engkau...! Di sini? Bagaimana ini? Ahhh, tahu sekarang aku! Engkau pembantu Si Bayangan Iblis dan kuil ini menjadi tempat persembunyian kalian! Bagus, Kwan Seng Hwesio. Kiranya engkau seorang pengkhianat!”
“Omitohud...!” Kwan Seng Hwesio berseru bingung dan Pek-mau-kwi Ciong Hu sudah menyerang Sui In dengan pedangnya. Sui In cepat meloncat ke belakang dan iapun mencabut pedang yang ia sembunyikan di balik bajunya dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang seru di tempat itu.
Sui In menyerang dengan gemas karena ia teringat akan susioknya, Giam Sun yang ketika tewas meninggalkan dua buah nama, yaitu Pek-mau-kwi ini dan Kwi-eng-cu Si Bayangan Iblis. Ia tahu bahwa tentu Pek-mau-kwi ini dan pembantu-pembantunya, yaitu Huang-ho Siang-houw yang telah membunuh susioknya, atas perintah seorang tokoh rahasia yang dijuluki Si Bayangan Iblis. Maka, dengan hati penuh dendam ia memainkan ilmu pedang Kun-lun Kiam-sut dan menyerang dengan dahsyat.
Akan tetapi pria berambut putih itu memang lihai. Kalau dulu Sui In terlepas dari tangannya adalah karena muncul Pek-liong. Akan tetapi kini ia harus melawan sendiri dan biarpun ia mampu menandingi ilmu pedang Pek-mau-kwi, akan tetapi iapun tidak mampu mendesaknya dan pertandingan dengan pedang itu semakin seru dan mati-matian. Tiba-tiba terdengar suara wanita terkekeh dan muncullah seorang wanita tua yang usianya tidak kurang dari enampuluh lima tahun, bertubuh kurus kering dan matanya mencorong seperti mata kucing!
“Heh-heh-heh, Pek-mau-kwi. Tidak malukah engkau, sejak tadi tidak mampu merobohkan seorang wanita muda? Dan engkau, Kwan Seng Hwesio, kenapa diam menonton saja seperti patung dan tidak membantu Pek-mau-kwi?”
“Omituhud... maafkan pinceng... kita sudah berjanji bahwa pinceng tidak akan melibatkan diri dalam perkelahian... Omituhud!”
Nenek itu kembali terkekeh dan ia meloncat ke dalam medan perkelahian dan sekali tangannya menyambar, ada angin pukulan dahsyat sekali menyambar ke arah muka Sui In! Wanita ini terkejut. Tamparan tangan ke arah mukanya itu kuat dan cepat bukan main. Ia lalu mengelebatkan pedangnya untuk menyambut tangan yang menampar, menangkis dan sekaligus menyerang untuk membikin buntung tangan yang menyerangnya itu.
“Dukkk!” Pedang itu terpental lepas dari pegangan Sui In dan sebelum wanita ini tahu apa yang terjadi, tangan nenek itu sudah menampar ke arah dada kanannya, di bawah pundak.
“Plakk!” Sui In terpelanting roboh dan pingsan.
Wanita itu kembali terkekeh. “Huh, segala macam budak ingusan berani mengacau ke sini? Keram ia dalam ruangan bawah tanah!”
Sambil menyeringai, Pek-mau-kwi Ciong Hu memondong tubuh Sui In yang pingsan dan melihat wajah anak buahnya itu, nenek yang amat lihai itu menghardik, “Awas kau, Pek-mau-kwi. Kalau engkau ganggu wanita itu, engkau akan kubunuh! Semua anak buahku harus tertib dan taat, tidak boleh melakukan sesuatu tanpa diperintah, sehingga menggagalkan semua rencana. Mengerti?”
Muka yang.tadinya menyeringai senang itu tiba-tiba berubah masam, akan tetapi Pek-mau-kwi mengangguk. “Baik, saya mentaati perintah, Kui-bo.”
Nenek itu kini menghadapi hwesio yang bernama Kwan Seng Hwesio, wakil kepala kuil itu dan berkata dengan nada mengancam. “Kwan Seng Hwesio, ingat, tak seorangpun hwesio di kuil ini pernah melihat wanita tadi. Mengerti! Kalau ada yang lancang mulut, aku akan membawa kepala Gwat Kong Hwesio kepadamu, sebelum membunuh kalian semua!”
Dengan wajah pucat, hwesio itu merangkap kedua tangan di depan dada sambil membungkuk. “Omitohud, kami tidak berani lancang mulut.”
Nenek itu tersenyum mengejek, lalu ia menghilang di balik daun pintu menyusul perginya Pek-mau-kwi yang tadi memondong tubuh Sui In. Daun pintu tertutup lagi dari dalam.
Setelah berada seorang diri, Kwan Seng Hwesio berulang-ulang menyebut “Omitohud...” sambil memandang ke arah tubuh suhengnya, Gwat Kong Hwesio, yang rebah tak sadarkan diri itu. Suhengnya kini bukan disandera lagi melainkan diracuni dan obat penawar racun itu ada pada nenek itu. Tanpa pertolongan nenek itu, suhengnya akan tewas.
Itulah sebabnya mengapa belasan orang hwesio di kuil itu tidak berdaya sama sekali dan terpaksa mentaati perintah gerombolan orang asing yang jahat, yang telah menawan Gwat Kong Hwesio dan bersembunyi di kuil itu. Rombongan penjahat itu terdiri dari belasan orang, dipimpin oleh dua orang. Yang pertama adalah Bouw Sian-seng yang sebetulnya adalah Lam-hai Mo-ong (Raja Iblis Laut Selatan) seperti yang diduga oleh Pek-liong dan Hek-liong-li. Adapun orang kedua bukan lain adalah Kui Lo-ma yang sebetulnya adalah Thian-thouw Kui-bo (Biang Setan Kepala Besi), Kedua orang kakek dan nenek ini adalah dua orang di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua).
Mula-mula Lam-hai Mo-ong yang melihat persaingan di antara para pangeran. Hal ini membuat datuk sesat ini girang sekali karena dia melihat kesempatan yang teramat baik untuk mengangkat dirinya dengan membonceng kemelut yang timbul karena persaingan dan pertentangan di antara para pangeran. Dengan cerdik dia menyelidiki keadaan para pangeran.
Pada suatu hari ketika Pangeran Souw Cun, yang sudah lama diincernya untuk dapat diperalat, sedang berburu. Lam-hai Mo-ong menyuruh anak buahya untuk menghadang dan menyerang pangeran itu sebagai perampok. Para pengawal pangeran itu sudah roboh semua oleh para “perampok” sehingga nyawa Pangeran Souw Cun terancam bahaya maut. Muncullah Lam-hai Mo-ong sebagai bintang penyelamat dengan mengusir para “perampok” itu.
Tentu saja Souw Cun berterima kasih, juga kagum akan kelihaian kakek itu. Dan diapun mengakui kakek itu sebagai gurunya, bahkan memboyongnya ke istananya. Atas nasehat Lam-hai Mo-ong, pangeran itu memperkenalkan Lam-hai Mo-ong kepada orang-orang istana sebagai Bouw Sian-seng yang menjadi gurunya dalam hal sastera!
Melihat betapa dia membutuhkan bantuan untuk menyukseskan rencananya yang besar, dia lalu memberi kabar kepada rekannya, yaitu Tiat-thouw Kui-bo dan menarik nenek iblis itu ke dalam istana pula. Nenek itu menyamar sebagai seorang wanita ahli masak dan ahli pijat, dan Bouw Sian-seng berhasil memasukkan rekannya yang memakai nama Kui Lo-ma bekerja kepada Pangeran Kim Ngo Him, yaitu mantu kaisar yang juga berambisi untuk memperebutkan kedudukan.
Demikianlah, Bouw Sian-seng dan Kui Lo-ma, diam-diam mengadakan hubungan dan mereka berhasil pula menyelundupkan anak buah mereka yang terdiri dari tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang pandai ilmu silat dan kuat, sampai belasan orang ke dalam istana. Selain itu, di kota raja mereka juga mempunyai puluhan orang anak buah yang mereka sebar di luar istana sebagai mata-mata.
Dengan teratur, makin lama kedua orang datuk sesat itu makin kuat menancapkan kuku mereka untuk menanam pengaruh mereka di istana melalui dua orang pangeran itu. Bahkan Bouw Sian-seng dan Kui Lo-ma telah menguasai kuil istana dengan menangkap kepala kuil dan melihat betapa Gwan Kong Hwesio, kepala kuil itu, keras kepala dan tidak sudi menyerah, Kui Lo-ma lalu membuat dia pingsan dengan racun.
Karena tidak ingin melihat kepala kuil itu dibunuh, terpaksa Kwan Seng Hwesio dan teman-temannya menyerah kepada dua orang datuk itu. Mereka merahasiakan kehadiran para penjahat itu di istana, dengan janji bahwa mereka tidak akan membantu mereka dalam perkelahian, juga bahwa setelah urusan mereka di istana selesai, mereka akan membebaskan dan memberi obat penyembuh kepada Gwat Kong Hwesio.
Mulailah Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo menyebar maut. Merekalah yang menyamar sebagai Bayangan Iblis, melakukan pembunuhan kepada mereka yang dianggap dapat menjadi penghalang suksesnya cita-cita mereka. Ketika mereka tidak berhasil membunuh Ciok Tai-jin yang dijaga ketat oleh Cu Sui In dan para pengawal, mereka memasang mata-mata di situ. Maka, mereka tahu bahwa Sui In, janda yang murid Kun-lun-pai itu, akan minta bantuan seorang susioknya bernama Giam Sun.
Mendengar ini Lam-hai Mo-ong menyuruh para pembantunya, yaitu Pek-mau-kwi dan Huang-ho Siang-houw, untuk mendahului wanita muda itu dan mereka berhasil membunuh Giam Sun! Bahkan hampir mereka membunuh Sui In pula kalau tidak muncul Pek-liong-eng Tan Cin Hay yang berhasil menyelamatkannya.
Apakah yang dikehendaki dua orang datuk sesat itu? Mereka bercita-cita muluk dan melaksanakan permainan besar tingkat tinggi. Mereka melihat persaingan dan perebutan kedudukan di istana, memperebutkan kursi putera mahkota untuk kelak menggantikan kaisar. Maka, mereka berdua melihat kesempatan yang amat baik.
Kalau mereka dapat membantu seorang pangeran sehingga pangeran itu kelak menjadi kaisar, sudah pasti mereka akan menerima kedudukan tinggi sebagai balas jasa. Mereka akan diangkat menjadi kok-su (penasihat negara) atau setidaknya tentu kedudukan menteri akan menjadi bagian mereka! Kemuliaan, kehormatan dan kekuasaan akan menjadi bagian mereka!
Mereka menjatuhkan pilihan mereka kepada Pangeran Souw Kian. Pangeran dari selir yang usianya delapanbelas tahun ini adalah seorang pemuda yang agak terbelakang, bodoh dan bebal, hanya menyeringai saja dan tidak mempunyai semangat apa-apa.
Kalau sampai pangeran ini dapat menjadi calon tunggal dan kelak menjadi kaisar, tentu dapat mereka kuasai. Maka, diam-diam Bouw Sian-seng yang dikenal sebagai seorang sasterawan, guru Pangeran Souw Cun, mulai mendekati ibu Pangeran Souw Kian, menjanjikan bahwa dia sanggup membimbing dan mengajar pangeran itu agar kelak menjadi seorang pandai. Karena janji yang muluk-muluk ini, ibu pangeran itu menaruh kepercayaan dan harapan besar kepada Bouw Sian-seng.
Mulailah pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dua orang datuk bersama kaki tangannya. Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan untuk menyingkirkan orang-orang yang dapat menjadi halangan, juga untuk menimbulkan pertentangan di antara para pangeran. Di dalam kemelut di istana itu, nampaklah bahwa semua pangeran terlibat, bahkan Pangeran Souw Han yang tadinya dianggap alim dan baik, terlibat pula dan bahkan terbunuh!
Hanya Pangeran Souw Kian seoranglah yang sama sekali tidak perduli, tidak mencampuri dan nampak “bersih”, sama sekali tidak ikut bersaing. Karena markas besar para pengacau itu justeru berada di kuil istana, dan mereka menyamar sebagai orang-orang yang sama sekali tidak mencurigakan, maka semua upaya untuk menangkap Si Bayangan Iblis gagal selalu.
Cu Sui In merupakan orang pertama yang menyelidiki ke dalam kuil itu, maka ia segera dirobohkan dan ditawan oheh Kui Lo-ma. Wanita muda itu kalau sampai lolos, berbahaya sekali. Ialah satu-satunya orang yang telah menemukan rahasia mereka. Kalau nenek itu tidak segera membunuh Sui In, hal itu hanya membuktikan kecerdikannya. Ia tahu bahwa bahaya mulai membayangi komplotannya.
Oleh karena itu, kalau ada orang penting tertangkap, sebaiknya dijadikan sandera, tidak segera dibunuh. Kalau dibunuh, sudah tidak ada harganya lagi, akan tetapi kalau masih dibiarkan hidup, sekali waktu mungkin amat berharga! Ini sebabnya maka ia mengancam Pek-mau-kwi yang ia tahu mata keranjang itu agar jangan mengganggu Sui In.
********************
Cian Hui mengerutkan alisnya yang tebal ketika dua orang perajuritnya datang menghadap dan melaporkan bahwa mereka bertemu dengan Siauw In yang membawa cincin Hong-houw dan memesan kepada mereka agar melapor kepada Cian Ciang-kun bahwa gadis itu melakukan penyelidikan ke kuil istana di puncak bukit.
Mengapa Sui In melakukan penyelidikan ke sana? Di sana hanya ada kuil dengan belasan orang hwesio yang dapat dipercaya sepenuhnya. Para hwesio itu tidak mungkin terlibat dalam pembunuhan. Mereka adalah orang-orang yang bersih, juga setia. Oleh karena itu, dia tidak begitu tertarik ketika mendengar laporan anak buahnya tentang penyelidikan yang dilakukan janda muda yang cantik itu.
Akan tetapi, hatinya mulai merasa khawatir juga ketika malam tiba dan dia mendapat laporan dari anak buahnya bahwa janda itu belum juga kembali ke rumah mendiang Pangeran Souw Han, di mana ia ditugaskan bersama para dayang lainnya. Dia mengerahkan seregu pasukan untuk mencari ke bukit itu. Namun, Sui In lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Para hwesio di kuil itu sudah ditanya, akan tetapi tidak ada seorangpun yang mengaku pernah melihat wanita muda itu. Cian Hui lalu keluar sendiri untuk ikut mencari, namun sia-sia. Karena khawatir, diapun lalu pergi mengunjungi bagian istal kuda untuk menjumpai Pek-liong.
Karena Cian Hui memiliki kekuasaan dan dia dikenal oleh semua pekerja, mereka itu mentaatinya ketika mereka disuruh pergi sehingga Cian Hui dengan leluasa dapat mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Pek Liong dan juga Hek-liong-li. Mereka bertiga bercakap-cakap di dalam gudang jerami, duduk di lantai yang penuh jerami kering. Cian Hui menceritakan tentang lenyapnya Sui In setelah wanita itu melakukan penyelidikan ke kuil istana di puncak bukit. Mendengar ini, Liong-li menepuk dahinya sendiri.
“Aiihh, kenapa aku begini bodoh? Tentu saja! Tempat yang paling tidak mungkin, yang sedikitpun tidak akan mendatangkan kecurigaan, tempat seperti itulah merupakan tempat persembunyian yang paling baik! Di seluruh istana ini, bukit itu dan kuil itu merupakan tempat yang amat aman kalau dipakai melindungi diri. Siapa akan menyangka ke sana? Dan orang tentu akan sungkan untuk menggeledah dan mengganggu para hwesio di kuil itu!
“Benar sekali, li-hiap,” kata Cian Hui. “Aku sendiripun selama melakukan penyelidikan, belum pernah mencurigai mereka. Memang meragukan sekali tempat seperti itu menjadi sarang pembunuh. Para hwesio itu pasti tidak akan membiarkan begitu saja. Akan tetapi, tempat itu tidak boleh dilewatkan, harus digeledah. Sekarang aku teringat bahwa sejak terjadinya peristiwa kemelut di istana, ketua kuil itu jatuh sakit dan sampai sekarang tidak dapat menemui tamu karena sakitnya.”
“Hemm, mencurigakan sekali. Sebaiknya kita lebih dahulu menengok keadaan kepala kuil itu,” kata Pek-liong-eng.
“Sebaiknya malam ini juga kita berangkat ke sana. Mari, tai-hiap dan li-hiap, kita berangkat sekarang juga!” ajak Cian Ciang-kun.
“Nanti dulu,” kata Liong-li. “Kita menghadapi pembunuh-pembunuh jahat dan lihai. Kita tidak tahu bagaimana keadaan mereka dan berapa banyak anak buah mereka. Oleh karena itu, membasmi rumput harus dengan akar-akarnya, dan kalau kita menyerbu ke sana, mereka semua harus dapat ditangkap. Sebaiknya kalau engkau kerahkan pasukan untuk mengepung bukit itu agar jangan sampai ada penjahat yang mampu melarikan diri dan lolos. Setelah itu baru kita menggeledah kuil itu.”
Cian Hui setuju dan Pek-liong juga membenarkan. Malam itu juga Cian Ciang-kun mengerahkan pasukan dan mengepung bukit itu dengan ketat. Setelah itu barulah mereka berangkat dan di lereng bukit kecil itu mereka berpencar. Pek-liong dan Liong-li terus mendaki ke puncak di mana terdapat kuil itu, dan Cian Hui tinggal di lereng untuk mengatur pengepungan pasukan-pasukannya.
********************
Malam itu bulan masih terang seperti siang. Hal ini memudahkan Pek-liong dan Liong-li yang mendaki ke puncak. Bukit itu tidak besar, dan sebentar saja mereka telah tiba di puncak, berdiri di luar pekarangan kuil yang dipagari tembok. Kuil itu nampak sunyi dan mati, seolah tidak ada penghuninya. Memang kalau malam kuil itu ditutup dan tidak menerima tamu, akan tetapi biasanya dalam keadaan menganggur itu, para hwesio membaca kitab atau berdoa sehingga terdengar suara mereka dari luar.
Setidaknya akan terdengar suara ketukan berirama yang menuntun doa mereka. Akan tetapi malam itu sama sekali tidak terdengar suara apapun, seolah kuil itu telah berubah menjadi kuburan. Dengan mudah mereka melompati pagar tembok dan berada di kebun samping kuil itu. Mereka menyelinap di antara pohon-pohon dan semak, mendekati kuil yang besar sekali itu.
Maklum, kuil itu adalah kuil istana yang sudah ratusan tahun umurnya, dibuat kokoh kuat seperti benteng karena tempat itu dianggap tempat suci yang tidak boleh dikunjungi orang luar, kecuali bagian luarnya di mana disediakan meja-meja sembahyang dan orang hanya boleh datang berkunjung di waktu pagi sampai sore saja. Di bagian dalam kuil itu yang menjadi tempat tinggal atau asrama para hwesio, merupakan tempat suci yang tidak boleh dikunjungi orang lain.
Biarpun tembok kuil itu tinggi dan sama sekali tidak berjendela, bukan merupakan hal sukar bagi Pek-liong dan Liong-li untuk memanjat dan berloncatan sehingga mereka dapat tiba di wuwungan kuil yang bergenteng tebal sekali. Bagaikan dua ekor burung walet mereka melayang dan berlompatan di atas wuwungan tanpa menimbulkan suara.
Mereka merasa aneh dan heran. Setelah menyelidik ke sana-sini, mereka mendapat kenyataan bahwa di bawah gelap, tidak ada penerangan sama sekali, seolah-olah orang-orang yang tinggal di kuil itu dengan sengaja memadamkan semua penerangan. Pada hal, malam belum larut benar. Tidak mungkin pada waktu itu semua hwesio sudah tidur dan membiarkan kuil itu ditelan kegelapan seperti itu! Pantasnya ada unsur kesengajaan dalam keadaan itu.
Setelah saling pandang dan memberi isyarat dengan pandang mata mereka, Pek-liong dan Liong-li melayang ke atap yang lebih rendah dan tiba-tiba di bagian samping kiri bangunan kuil besar itu, mereka melihat sinar dari sebuah ruangan di bawah! Mereka cepat meloncat ke atas ruangan yang merupakan satu-satunya ruangan yang ada penerangannya. Begitu kaki mereka menginjak genteng, terdengar suara dari bawah.
“Omitohud... penjahat dari manakah begitu berani mengotori tempat suci ini?”
Pek-liong dan Liong-li terkejut dan cepat mereka mengintai ke bawah. Mereka melihat seorang hwesio duduk bersila di sudut ruangan kepalanya yang gundul licin itu menunduk sehingga wajahnya tidak dapat menerima cahaya redup lilin yang dipasang di atas meja di ruangan itu...