SEPASANG pendekar ini terkejut karena mereka tidak mengira bahwa gerakan mereka yang amat ringan dan yang mereka lakukan dengan hati-hati itu dapat didengar orang. Tentu hwesio di bawah itu lihai sekali. Dan Cian Hui dengan tegas mengatakan bahwa para hwesio di kuil itu tidak ada yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Kembali sepasang pendekar itu saling pandang dan keduanya sudah setuju akan tindakan selanjutnya yang akan mereka ambil.
“Lo-suhu, maafkan kami berdua. Kami bukan penjahat dan kami ingin menghadap lo-suhu!” kata Pek-liong.
“Omitohud... masuklah saja!” kata pula hwesio itu dengan suara yang dalam dan lembut.
Pek-liong dan Liong-li membuka genteng. Keduanya memandang penuh perhatian, sebelum meloncat masuk, dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada hal yang perlu diragukan atau dicurigai. Ruangan itu cukup luas, tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah pintu ke dalam yang daunnya tertutup. Ruangan itu kosong, hanya ada sebuah dipan di sudut di mana hwesio itu duduk bersila, dan sebuah meja kecil di mana terdapat lilin menyala dan beberapa buah kitab. Selanjutnya, kosong.
Dinding yang menghadap ke bagian luar tidak berjendela, sehingga jalan satu-satunya, masuk ke kamar itu hanya melalui pintu yang menembus ke dalam tadi, dan melalui lubang di atap yang mereka buat tentu saja. Tentu hwesio di bawah itu dapat memberi banyak keterangan kepada mereka.
“Kita turun,” bisik Liong-li.
Pek-liong mengangguk dan pendekar ini mendahului Liong-li, melompat turun. Liong-li maklum bahwa Pek-liong, seperti biasa, tentu ingin menjadi orang pertama kalau memasuki ruangan yang belum dikenal dan mungkin mengandung bahaya, agar kalau sampai terjebak, dialah yang akan terjebak lebih dahulu. Dan Liong-li juga membiarkan ini. Lebih baik seorang saja di antara mereka yang terjebak, dari pada keduanya karena kalau yang seorang terjebak, yang lain dapat menolongnya.
Setelah ia melihat Pek-liong tiba di lantai kamar itu dan tidak terjadi sesuatu, iapun melompat turun pada saat Pek-liong memberi isyarat bahwa keadaan aman. Akan tetapi, begitu Liong-li melayang turun ke dalam ruangan itu, tiba-tiba lilin di atas meja itu padam dan keadaan menjadi gelap sama sekali. Liong-li mengerahkan gin-kangnya dan kedua kakinya dapat hinggap di atas lantai dengan ringan. Pada saat itu, mereka mendengar suara senjata rahasia menyambar-nyambar ke arah mereka!
Dua orang pendekar itu setiap saat memang sudah siap siaga. Tidak pernah mereka itu lengah, apa lagi dalam keadaan sedang melakukan penyelidikan seperti itu. Sejak tadi, seluruh syaraf di tubuh mereka sudah dalam keadaan siap dan waspada, maka begitu mereka menduga datangnya bahaya, keduanya sudah menggerakkan tangan kanan dan Liong-li sudah mencabut Hek-liong-kiam, sedangkan Pek-liong sudah mencabut Pek-liong-kiam.
Ketika senjata-senjata rahasia itu menyambar ke arah mereka, keduanya memutar pedang dan semua senjata rahasia kecil berbentuk paku-paku beracun itu runtuh. Liong-li meloncat ke arah di mana tadi hwesio itu duduk. Akan tetapi, ternyata bukan hanya hwesio itu yang lenyap, bahkan dipannya pun lenyap! Tahulah ia bahwa hwesio di atas dipan tadi memang merupakan alat perangkap.
Ia melihat Pek-liong masih terus menangkisi senjata rahasia yang terus menyambar ke arah pendekar itu. Tahulah Hek-liong-li bahwa pakaian Pek-liong yang putih itulah yang merupakan sasaran lunak di dalam kegelapan itu. Ia mengeluarkan segulung sutera hitam dan melemparkannya ke arah Pek-liong.
“Kau pakailah ini!” sutera hitam itu mengembang ketika meluncur ke arah Pek-liong. Pek-liong menyambar sutera hitam itu dan di lain saat diapun lenyap ditelan kehitaman. Mereka berdua sudah berdiri mepet dinding dan menahan napas agar tidak terlalu keras bersuara.
“Kita pukul runtuh dinding di kanan itu yang menembus keluar,” bisik Liong-li.
Wanita perkasa ini tidak perlu membuat penjelasan lagi karena ia dan Pek-liong seolah telah memiliki satu hati dan satu kecerdasan. Begitu ia berbisik, keduanya sudah menerjang, ke dua tangan mendorong ke depan sambil mengerahkan tenaga sin-kang mereka.
“Brakkkkk...!” Dinding kamar itupun jebol dan cahaya bulan menerjang masuk.
Dua sosok tubuh itu meluncur keluar dan mereka tiba di tempat terbuka, di taman samping kuil itu. Akan tetapi, baru saja mereka yang tadi meloncat keluar itu turun ke atas tanah, nampak banyak orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi muka mereka dengan topeng hitam, telah mengepung mereka.
Jumlah mereka tidak kurang dari limabelas orang, semua mengenakan pakaian dan topeng yang sama dan bermacam senjata berada di tangan mereka. Ada yang memegang pedang, atau sepasang pedang, golok, tombak, rantai dan sebagainya. Gerakan mereka ketika mengepung tadi ringan, tanda bahwa mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.
Pek-liong dan Liong-li otomatis berdiri saling membelakang, hampir beradu punggung dengan pedang pusaka di tangan masing-masing, tidak bergerak, akan tetapi mata mereka mengikuti gerakan semua orang yang mengepung itu. Bulan bersinar terang sehingga mereka dapat melihat semua pengepung dengan baik.
“Hemm, segerombolan Kwi-eng-cu (Bayangan Iblis) lengkap di sini!” kata Liong-li.
“Hek-liong-li, engkaulah yang menyamar sebagai Bayangan Iblis dan membuat kekacauan di istana. Kami akan membunuhmu! Dan engkau juga, Pek-liong-eng!” kata seorang diantara mereka dengan suara yang parau. Orang ini juga berpakaian hitam dan bertopeng hitam seperti yang lain, akan tetapi Liong-li maklum siapa dia.
Siapa lagi kalau bukan Bouw Sian-seng? Ia mengenal tubuh yang tinggi kurus itu. Kini tidak lagi bongkok, tentu bongkok itu hanya pura-pura saja. Dan ditangannya nampak sebatang rantai baja! Ini tentu Bouw Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong, akan tetapi Liong-li tidak sempat banyak cakap karena pada saat itu belasan orang bertopeng hitam sudah menyerang mereka dari segala jurusan.
Liong-li dan Pek-liong memutar pedang mereka melakukan perlawanan. Dan keduanya terkejut. Sudah jelas bahwa Bouw Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong itu lihai sekali karena dia adalah seorang datuk di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua), akan tetapi yang lainnya juga rata-rata amat lihai. Terutama sekali seorang di antara mereka yang kurus kering, dengan sepasang mata kehijauan mencorong seperti mata kucing yang mengintai dari balik topengnya.
Si kurus kering ini agaknya sengaja menghadapi Liong-li dan ternyata pedangnya lihai bukan main. Adapun Bouw Sian-seng menghadapi Pek-liong, dibantu beberapa orang temannya yang juga lihai. Diam-diam Liong-li mengingat-ingat sambil memutar pedang melindungi dirinya, siapa lawannya ini. Ia menduga bahwa tentu ia seorang wanita karena di antara hujan senjata itu Liong-li masih sempat mencium keharuman yang menyambar dari pakaian si kurus kering itu.
Seorang wanita? Begini lihai? Siapa gerangan wanita ini? Dan iapun teringat akan pengalamannya ketika ia melakukan penyelidikan di atas gedung tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him. Ia pernah diserang seorang bertopeng hitam yang kurus kering seperti ini, dan yang juga amat lihai, dan bayangan itu lenyap ke dalam gedung Pangeran Kim Ngo Him. Lalu ia melihat munculnya seorang nenek yang dipanggil Kui Lo-ma. Jangan-jangan, seperti halnya Bouw Sian-seng, nenek Kui Lo-ma itupun seorang penjahat besar yang menyelundup dan menyamar sebagai seorang pelayan di gedung Pangeran Kim Ngo Him.
Akan tetapi, Liong-li tidak dapat terus mengingat-ingat karena hampir saja ia celaka karena perhatiannya tidak terpusat. Pedang si kurus kering itu hampir saja membabat pundaknya. Untung ia masih cukup cekatan untuk melempar tubuh ke samping dan bergulingan menyelamatkan diri.
“Kita pergi!” tiba-tiba Pek-liong berseru. `
Liong-li maklum bahwa Pek-liong juga menghadapi pengeroyokan ketat yang amat membahayakan keselamatannya. Lawan terlalu banyak dan rata-rata lihai, walaupun tidak selihai Bouw Sian-seng dan si kurus kering itu. Dua orang ini saja memiliki tingkat yang sebanding dengan mereka, maka kalau dilanjutkan, mereka tentu akan terancam bahaya. Maka, sambil bergulingan, pedang di tangannya menyambar menjadi gulungan sinar hitam.
Ketika pengeroyoknya mundur, iapun meloncat keluar dari kalangan pertempuran, dan bersama Pek-liong iapun mengerahkan gin-kang dan mereka berdua berlari cepat menuruni tempat itu, melompati pagar tembok kuil dan terus melarikan diri. Cian Hui menyambut dua orang pendekar yang berlarian itu dan sebelum dia sempat bertanya, Liong-li sudah cepat berkata,
“Ciang-kun, atur penjagaan yang ketat, kalau perlu tambah lagi pasukan dan mengepungnya agak naik mendekati kuil. Jangan sampai ada seorangpun di antara mereka lolos. Kami bertemu dengan mereka, belasan orang banyaknya, mungkin masih ada lagi yang bersembunyi. Kami kira tempat persembunyian mereka memang di dalam kuil itu!”
Cian Hui tidak banyak bertanya, cepat dia mengumpulkan para jagoan istana, para perwira dan mereka menggerakkan pasukan naik, lebih dekat ke puncak di mana kuil itu berada. Pengepungan tentu saja menjadi lebih ketat dan takkan ada seorangpun manusia yang meninggalkan tempat itu dapat lolos dari pengamatan mereka. Cian Hui juga mengirim utusan untuk minta bala bantuan sehingga kini pengepungan itu berlapis-lapis!
Setelah mengatur pengepungan, barulah Cian Hui dapat mengadakan perundingan dengan Pek-liong dan Liong-li. Dia mendengarkan laporan dua orang pendekar itu tentang apa yang mereka alami di kuil. Perwira ini mengerutkan alisnya dan merasa khawatir sekali.
“Tentu Cu Sui In terjatuh ke tangan mereka!” katanya. “Kita harus cepat menyerbu kuil itu!”
“Tenanglah, Ciang-kun. Mereka adalah orang-orang pandai, tidak akan membunuh tawanan begitu saja. Tawanan orang penting bagi mereka amat berharga, untuk dijadikan sandera. Dan keadaan para hwesio itupun amat mencurigakan. Tidak mungkin mereka itu bekerja sama dengan gerombolan penjahat. Tentu ada sesuatu yang memaksa mereka mentaati perintah para penjahat,” kata Liong-li.
“Kukira rahasianya terletak pada sakitnya kepala kuil. Aku mempunyai dugaan bahwa mereka telah menyandera pula kepala kuil itu, dan dengan disanderanya kepala kuil, maka semua hwesio menjadi tidak berdaya dan terpaksa mentaati mereka untuk menyelamatkan kepala kuil,” kata Pek-liong.
“Kita tidak boleh tergesa-gesa. Bulan sudah hampir condong ke barat. Sebaiknya tunggu terang matahari pagi baru kita menyerbu. Sekarang, kuharap Ciang-kun mengirim orang untuk menyelidiki, apakah Bouw Sian-seng berada di gedung Pangeran Souw Cun dan juga apakah nenek yang bernama Kui Lo-ma berada di gedung Pangeran Kim Ngo Him.”
Biarpun dia merasa heran, Cian Hui tidak banyak bertanya atau membantah, bahkan dia segera mengutus orang kepercayaannya untuk melakukan penyelidikan. Tak lama kemudian utusan itupun kembali, dengan berita bahwa kedua orang yang dicari Liong-li itu tidak berada di gedung tempat mereka bekerja, dan tak seorang pun tahu ke mana mereka pergi malam itu! Mendengar ini, Liong-li tersenyum.
“Sudah kuduga, dua orang itulah pemimpin gerombolan yang disebut Bayangan Iblis!”
“Ehhh?” Kini Cian Ciang-kun memandang heran.
“Hemm, Bouw Sian-seng itu pasti Lam-hai Mo-ong, aku mengenal gerakan silatnya ketika bertanding denganku tadi. Sedangkan yang kau namakan Kui Lo-ma itu kurasa tentu Tiat-thouw Kui-bo. Bukankah begitu, Liong-li?”
“Engkau benar, Pek-liong. Siapa lagi kalau bukan dua orang di antara Kiu Lo-mo itu?”
Cian Hui menjadi semakin kaget dan heran, dan diapun kagum bukan main kepada sepasang pendekar itu setelah menerima penjelasan. Mereka lalu membuat rencana penyerbuan sebentar lagi setelah kegelapan disapu sinar matahari pagi.
Pagi-pagi sekali, Cian Hui yang ditemani belasan orang jagoan istana dan seregu perajurit pengawal, sudah mengetuk pintu depan kuil yang masih tertutup. Berulang-ulang pintu itu diketuk dengan keras dan daun pintu itupun dibuka oleh para hwesio yang nampak pucat ketakutan ketika melihat siapa yang mengetuk pintu kuil mereka. Apa lagi ketika Cian Hui memperlihatkan tek-pai tanda kekuasaan yang diperolehnya dari kaisar, para hwesio itu menjatuhkan diri berlutut karena tek-pai merupakan kekuasaan tertinggi dan pemegangnya seolah menggantikan kaisar sendiri pada saat itu.
“Para hwesio keluar semua, tak seorangpun boleh tinggal di kuil!” teriak Cian Hui.
Para hwesio tidak ada yang berani membantah. Tak lama kemudian keluarlah semua hwesio yang tinggal di kuil, kecuali seorang saja, yaitu Gwat Kong Hosiang, ketua kuil.
“Di mana Gwat Kong Hosiang? Hayo katakan, di mana dia?” Cian Hui menghardik karena dia marah sekali mendapat kenyataan bahwa kuil itu menjadi tempat persembunyian para penjahat, atau setidaknya, para hwesio ini tentu tahu akan rahasia para penjahat dan pembunuh itu.
“Omitohud...!” Kwan Seng Hwesio melangkah maju dan memberi hormat. “Harap Ciang-kun suka memaafkan para hwesio ini, karena kami terpaksa sekali bersikap seperti ini...”
“Kwan Seng Hwesio, kita berdua telah bersama-sama mengabdi di istana dengan setia selama bertahun-tahun! Sekarang aku tidak membutuhkan pembelaan diri kalian, melainkan membutuhkan keterangan. Jawablah saja. Di mana adanya Gwat Kong Hosiang!“
“Dia sedang sakit...”
“Antarkan aku kepadanya!” hardik pula Cian Hui dengan tak sabar.
”Omitohud... baiklah, Ciang-kun, Mari pinceng (saya) antarkan ke kamarnya...”
“Lo-suhu...!” Para hwesio yang lain berseru dengan muka pucat dan khawatir. Perbuatan Kwan Seng Hwesio itu pasti berakibat dibunuhnya ketua mereka seperti yang selalu diancamkan oleh para penjahat.
“Omitohud, itulah kesalahan kita,” kata Kwan Seng Hwesio. “Kita tidak cukup menyerah kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa sehingga kita takut menghadapi ancaman manusia. Kalau Yang Maha Kuasa menghendaki seseorang mati, apapun juga di dunia ini tidak akan mampu menghindarkannya, sebaliknya kalau Yang Maha Kuasa menghendaki seseorang tidak mati, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang akan mampu membunuhnya.”
“Sudahlah, lo-suhu. Tidak perlu berkhotbah di saat ini. Antarkan aku!” kata Cian Hui, kemudian dia berkata kepada para pembantunya. “Geledah seluruh kuil!”
Kwan Seng Hwesio melangkah ke dalam, diikuti oleh Cian Hui. Hwesio itu menuju ke kamar belakang setelah melalui lorong yang berliku panjang. Kuil itu memang besar dan luas sekali. Setelah tiba di depan pintu sebuah kamar, Kwan Seng Hwesio berhenti dan berkata dengan suara gelisah.
“Di kamar inilah Gwat Kong Hwesio rebah dalam keadaan sakit parah dan pingsan, Ciang-kun.”
Biarpun dia kini percaya kepada hwesio itu, namun Cian Hui tetap bersikap hati-hati. “Tolong kau buka pintu kamarnya, lo-suhu.”
Dengan sikap yang tegang dan wajah yang pucat, Kwan Seng Hwesio membuka daun pintu kamar itu. Kamar itu agak gelap, maka Cian Hui melangkah maju mendekati Kwan Seng Hwesio, menjenguk ke dalam kamar. Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan sinar-sinar hitam kecil menyambar ke arah mereka.
Cian Hui berusaha untuk mengelak dengan loncatan, namun gerakannya kalah cepat. Sebuah di antara paku-paku itu masih mengenai pangkal pahanya dan diapun roboh pingsan. Dia tidak tahu betapa Kwan Seng Hwesio juga roboh dengan banyak paku mengenai tubuhnya, dan wakil kepala kuil itupun roboh pingsan.
Beberapa orang muncul dari samping, dari sebuah pintu rahasia dan mereka menyeret tubuh Cian Hui dan Kwan Seng Hwesio memasuki pintu rahasia yang menembus ke ruangan-ruangan bawah tanah. Dua orang itu lenyap tanpa meninggalkan bekas. Ketika dia membuka kedua matanya, wanita itu membungkuk dan mengguncang pundaknya.
“Cian Ciang-kun, syukur engkau sudah sadar...”
Cian Hui memandang. Alangkah cantiknya wajah itu, walaupun rambut itu kusut dan muka itu agak pucat, pandang matanya penuh kegelisahan. Diapun bangkit duduk dan menyeringai kesakitan ketika pahanya yang sebelah atas terasa amat nyeri. Akan tetapi hatinya merasa kelegaan yang besar ketika dia mengenal wajah itu, wajah Cu Sui In! Wanita muda itu masih hidup dan dalam keadaan selamat, walaupun nampaknya menderita.
“Nona Sui In...” akan tetapi dia tidak melanjutkan kata-katanya karena rasa nyeri yang menusuk di pangkal pahanya.
“Bagaimana rasanya. Ciang-kun? Sakit benarkah? Engkau terkena paku beracun dari nenek iblis itu. Tadi aku telah mencabutnya... maafkan aku, Ciang-kun. Engkau masih pingsan dan aku terpaksa mencabut paku itu karena kalau dibiarkan, tentu racunnya akan makin banyak memasuki tubuhmu.”
Sekilas terlintas dalam benaknya, bagaimana wanita muda itu dapat melakukannya. Lukanya berada, di pangkal paha! Tempat yang... agaknya tidak pantas dan tidak sopan dilihat seorang wanita yang bukan apa-apanya, apa lagi wanita muda dan cantik seperti Cu Sui In. Akan tetapi, keadaan menghapus bayangan itu dengan cepat dan diapun memandang ke kanan kiri. Dia melihat Gwat Kong Hosiang rebah telentang di atas dipan seperti mayat, dan Kwan Seng Hwesio juga rebah di atas lantai dalam keadaan pingsan.
“Bagaimana dengan mereka?” tanyanya.
Sui In memandang gelisah. “Keadaan mereka sungguh mengkhawatirkan sekali. Gwat Kong Hosiang sudah pingsan sejak aku ditawan, dan Kwan Seng Hwesio ada tiga batang paku menancap di tubuhnya. Aku... aku merasa ngeri dan tidak berani mencabut paku-paku itu.”
Cian Hui mencoba untuk merangkak mendekati Kwan Seng Hwesio, dan melihat ini, Sui In cepat membantunya walaupun wanita ini juga telah terluka cukup berat. Ia telah terkena tamparan beracun dari Tiat-thouw Kui-bo dan sampai kini, dada sebelah kanan terasa nyeri bukan main. Melihat wanita itu menyeringai menahan sakit, Cian Hui bertanya.
“Engkau... terluka...?”
Sui In mengangguk. “Nenek iblis itu memukul dadaku dan terasa nyeri bukan main...”
Kwan Seng Hwesio menderita luka terkena paku beracun, sebatang di pangkal lengan kanan, sebatang di pundak dan sebatang di dada. Cian Hui mengumpulkan tenaganya dan mencabuti tiga batang paku itu, dibantu oleh Sui In.
Pada saat itu terdengar langkah kaki orang dan muncullah di situ seorang kakek dan seorang nenek. Seorang kakek berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus bermuka lembut seperti seorang pelajar tua, dan seorang nenek yang tubuhnya kurus kering, wajahnya juga lembut akan tetapi matanya mencorong hijau.
“Cian Ciangkun,” kata kakek itu dan suaranya juga lembut. “Kalau engkau menghendaki kalian berempat hidup, engkau perintahkan semua pasukanmu untuk mundur dan lindungi kami keluar dari istana.”
Cian Hui tidak dapat bangkit berdiri. Dia duduk dan memandang kepada kakek itu dengan sinar mata penuh kemarahan. Ini kiranya dua orang yang memimpin gerombolan Bayangan Iblis yang melakukan pembunuhan- pembunuhan keji itu! Sui In juga duduk di dekatnya, nampak penuh ketabahan dan juga wanita ini memandang kepada mereka dengan berani dan penuh kemarahan.
Cian Hui tertawa. “Ha-ha-ha, kalian seperti tikus-tikus yang sudah tersudut! Bagaimana mungkin aku dapat memerintahkan pasukan untuk mundur? Tidak mungkin kulakukan itu, selain tidak bisa, juga aku tidak sudi!”
“Cian Ciang-kun, engkau pemegang tek-pai, dapat melakukan perintah apa saja dan pasti akan ditaati siapa saja di istana ini!”
Sui In khawatir kalau Cian Hui menyerahkan tek-pai, maka ia berkata lirih. “Tadi mereka mencari tek-pai dan menggeledah semua pakaianmu tanpa hasil.”
Cian Hui tertawa lagi. Untung bahwa dia tadi bersikap hati-hati sekali. Sebelum dia masuk bersama Kwan Seng Hwesio, dia menitipkan tek-pai itu kepada seorang panglima kepercayaannya, minta agar tek-pai itu diserahkan kepada Pek-liong kalau terjadi apa-apa dengan dia.
“Tek-pai tidak ada padaku. Andaikata adapun, sampai mati aku tidak akan sudi memenuhi permintaanmu, Lam-hai Mo-ong.”
Kakek itu terbelalak. “Kau sudah mengetahui siapa aku?”
“Ha-ha-hah tentu saja. Engkau Lam-hai Mo-ong dan nenek ini tentu Tiat-thouw Kui-bo yang menyamar menjadi Kui Lo-ma! Sudah habis riwayat kalian, dua orang datuk sesat dari Kiu Lo-mo!”
Kakek dan nenek itu saling pandang dan kini si nenek yang berwajah lembut melangkah maju. Sekali tangannya menyambar, ia telah menjambak rambut kepala Sui In dan menariknya lepas dari dekat Cian Hui. Dengan nekat Sui In memukul, akan tetapi sekali jari tangan nenek itu menotok, Sui In menjadi lemas tidak mampu bergerak lagi.
“Cian Hui, engkau sudah tahu siapa kami, tentu tahu pula bahwa kami dapat menyiksa dan membunuh kalian berempat tanpa berkedip!”
“Hemm, siapa takut mati, nenek iblis? Lebih baik kami mati dari pada harus membebaskan kalian. Tempat ini sudah dikepung pasukan, biar kalian mempunyai tiga kepala dan enam tangan ditambah sayap sekalipun, kalian takkan dapat lolos dari sini. Kalianpun akan mampus!”
“Keparat!” Lam-hai Mo-ong menangkap dan mencengkeram pundak Cian Hui dan menariknya bangkit berdiri. “Aku dapat mematahkan semua tulangmu, menyiksamu dengan hebat sebelum engkau mati!”
“Nanti dulu, Mo-ong!” kata Tiat-thouw Kui-bo. “Jangan bunuh dia dulu. Biar dia melihat dengan matanya sendiri bagaimana wanita ini mengalami siksaan yang lebih hebat dari pada maut. Panggil ke sini empat-lima orang anak buah yang paling buas dan suruh mereka memperkosa wanita ini di depan matanya. Hendak kulihat apakah Cian Ciang-kun masih akan berkeras kepala!”
Mendengar ini, baik Sui In sendiri maupun Cian Hui menjadi pucat. Kalau siksaan seperti itu dilaksanakan, dan mereka percaya bahwa dua orang manusia iblis ini sanggup melakukan kekejian bagaimanapun juga, tentu mereka berdua takkan dapat menahannya. Bagi mereka, lebih baik mati dari pada harus mengalami ancaman itu. Akan tetapi mereka tidak berdaya.
Pada saat itu, terdengarlah suara melengking nyaring dari luar. Tentu suara itu didorong, tenaga khikang yang amat kuat. Kalau tidak begitu, bagaimana dapat menerobos memasuki ruangan bawah tanah itu?
“Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo! Dengarlah baik-baik, ini kami Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang bicara!”
Kakek dan nenek itu terkejut, saling pandang dan nenek itu melemparkan tubuh Sui In ke sudut ruangan dan kakek itupun mendorong tubuh Cian Hui sampai terlempar beberapa meter. Cian Hui merangkak mendekati Sui In dan dengan susah payah berhasil membebaskan totokan pada tubuh wanita itu.
Sui In yang merasa gelisah, menggigil karena ngeri sehingga Cian Hui merangkulnya. Akan tetapi Sui In tidak menangis, merasa aman dalam rangkulan perwira itu.
“Engkau gagah, Ciang-kun. Aku senang dapat mati bersama engkau...”
“Engkaupun hebat, Sui In. Jangan putus asa, kita belum mati...”
Kakek dan nenek itu tidak memperdulikan mereka. Keduanya mendekati pintu terowongan untuk dapat mendengarkan lebih baik, akan tetapi mereka tidak menjawab. Di luar ruangan tahanan itu nampak belasan orang anak buah mereka bergerombol karena mereka itupun kini menjadi gelisah setelah mengetahui bahwa kuil itu telah terkepung pasukan.
“Tiat-thouw Kui-bo, dengarlah. Aku Hek-long-li menantangmu. Kita bertanding satu lawan satu untuk menentukan siapa yang lebih kuat. Engkau mendapat kesempatan untuk membalaskan anggauta Kiu Lo-mo yang lain, yang telah kubunuh!” terdengar suara nyaring dan mendengar suara yang amat dikenalnya itu, Cian Hui menjadi girang sekali. Itu adalah suara Hek-liong-li!
Suara itu disusul suara lain yang juga nyaring sekali karena dapat menembus ke ruangan bawah tanah dengan jelas, “Lam-hai Mo-ong, aku Pek-liong-eng menantangmu untuk bertanding satu lawan satu! Jangan menjadi pengecut dan menawan orang-orang yang tidak bersalah.”
Lam-hai Mo-ong tertawa. Hanya suaranya saja yang tertawa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa. Wajahnya membayangkan kegelisahan. “Ha-ha-ha, Pek-liong-eng! Engkau mengatakan kami pengecut, akan tetapi engkau dan Liong-li lebih pengecut lagi. Kalian hanya berani menantang kami karena kalian membawa pasukan yang besar jumlahnya! Kalian yang mengaku pendekar-pendekar yang gagah perkasa sepatutnya merasa malu! Kalau kami keluar, tentu pasukan akan mengeroyok kami!”
“Dengar, kalian kakek dan nenek busuk!” terdengar lagi suara Liong-li. “Kami bukan pengecut. Kami berdua tantang kalian berdua, dan kami berjanji tidak akan melakukan pengeroyokan. Kalau kalian berdua mampu mengalahkan kami berdua, kalian boleh pergi tanpa kami ganggu. Akan tetapi kalianpun harus berjanji untuk tidak mengganggu Gwat Kong Hosiang, dan Kwan Seng Hwesio, Cian Hui Ciang-kun, dan Cu Sui In!”
“Baik, kami berjanji. Pek-liong dan Liong-li, ucapanmu didengar banyak orang. Nama kalian akan hancur dan menjadi bahan ejekan dunia kang-ouw kalau kalian melanggar janji!” kata Lam-hai Mo-ong dan diapun memberi isyarat kepada Tiat-thouw Kui-bo untuk keluar.
Semua pengikut mereka juga mengikuti dua orang pimpinan ini keluar, karena tentu saja, mereka tidak mau ditinggalkan di ruangan bawah tanah itu dan setiap orang menginginkan mendapatkan kebebasan. Kalau dua orang pimpinan mereka menang tentu mereka semua akan diperbolehkan lolos dari lingkungan istana.
Cian Hui dan Sui In yang ditinggalkan oleh gerombolan itu, hanya mampu menanti karena mereka menderita luka keracunan yang cukup hebat, membuat mereka merasa nyeri dan lemah. Mereka mencoba untuk bergerak keluar dari ruangan bawah tanah itu, akan tetapi baru saja mereka tiba di pintu ruangan tahanan yang kini sudah terbuka, keduanya tidak kuat menahan lagi dan mereka terguling roboh tak sadarkan diri.
Pek-liong-li, dan para perwira dan jagoan istana yang jumlahnya belasan orang, memandang penuh perhatian ketika kakek dan nenek itu keluar dari pintu rahasia dan diikuti oleh belasan orang anak buah mereka. Kini, baik kakek dan nenek itu maupun para pengikutnya, tidak lagi mengenakan topeng sehingga wajah mereka dapat dikenali.
Seperti yang telah diduga oleh Pek-liong, di antara para pengikut itu terdapat Pek-mau-kwi Ciong Hu, si Iblis Rambut Putih dan dua orang kakak beradik Huang-ho Siang-houw (sepasang Harimau Sungai Huang-ho). Akan tetapi mudah diduga bahwa anak buah mereka itu adalah orang-orang dunia hitam yang sesat dan rata-rata, memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Bukan hanya Pek-liong-liong-li dan para perwira saja yang memandang gerombolan yang selama ini mengacau istana sebagai Si Bayangan Iblis akan tetapi juga ratusan pasang mata dari para perajurit pasukan pengawal yang telah mengepung kuil itu memandang dan mengikuti gerak gerik gerombolan itu ketika mereka keluar dari kuil dan berada di pekarangan depan kuil di mana Pek-liong dan Liong-li bersama para perwira sedang menanti.
Pagi itu amat cerah. Sinar matahari pagi telah menerangi seluruh pekarangan. Namun tidak ada wajah seorangpun di situ yang cerah. Wajah sepasang pendekar dan semua jagoan istana, juga para perajurit pengawal, membayangkan kemarahan. Adapun wajah gerombolan pengacau itu dibayangi kegelisahan dan ketegangan.
Melihat mereka keluar tanpa membawa empat orang yang mereka tawan, Liong-li membentak dengan suara tegas. “Mo-ong dan Kui-bo! Belum apa-apa kalian sudah hendak melanggar janji! Di mana empat orang tawanan itu?”
“Mereka berada di dalam, terluka. Kami tidak melanggar janji dan kami siap melawan kalian orang-orang muda sombong!” kata Lam-hai Mo-ong.
Liong-li menoleh kepada seorang perwira dan berkata, “Ciang-kun, tolong periksa dulu apakah benar empat orang itu dalam keadaan selamat di dalam sana.”
“Baik,” jawab perwira itu yang segera memasuki pintu rahasia yang kini sudah terbuka itu.
Liong-li tidak mau ditipu. Kalau empat orang itu telah dibunuh oleh gerombolan Bayangan Iblis, iapun tidak mau memegang janji, tidak mau bersusah payah mengadu ilmu melawan kakek dan nenek datuk sesat itu! Ia akan mengerahkan semua jagoan istana untuk mengeroyok dan menangkap gerombolan itu.
Tak lama kemudian, perwira itu muncul kembali dan diapun melapor kepada Liong-li. “Li-hiap, mereka masih hidup walaupun dalam keadaan terluka.”
“Hi-hi-hih, Hek-liong-li, kami adalah datuk-datuk persilatan yang ternama. Kami tidak akan melanggar janji!” kata Tiat-thouw Kui-bo.
“Kui-bo, seperti aku tidak tahu saja akan watak curang Kiu Lo-mo! Kalian memenuhi janji hanya karena sudah tersudut!”
“Hek-liong-li, tidak perlu banyak cakap lagi. Apakah engkau ingin menjilat ludahmu sendiri yang sudah kaukeluarkan? Masih berlakukah tantanganmu kepadaku tadi?”
“Tentu saja. Majulah, Kui-bo!” kata Liong-li yang sudah siap siaga menandingi nenek yang ia tahu amat lihai dan berbahaya itu.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan-seruan nyaring dan nampaklah rombongan kaisar datang ke tempat itu! Melihat kaisar muncul diiringi para pengawal, semua orang, kecuali gerombolan penjahat, memberi hormat.
“Tangkap gerombolan Bayangan Iblis dan penggal leher mereka semua!” bentak Kaisar dengan nada suara marah.
Kaisar memang marah sekali karena baru saja dia mendengar laporan bahwa seorang puteranya, yaitu Pangeran Souw Kian, bersama ibunya, telah tewas di dalam kamar pangeran itu karena mereka membunuh diri dengan minum racun! Selir itu meninggalkan surat pengakuan bahwa gerombolan Si Bayangan Iblis melakukan semua pembunuhan itu dengan maksud agar kelak yang menjadi putera mahkota adalah Pangeran Souw Kian, dengan janji bahwa kelak apabila Pangeran Souw Kian menjadi kaisar, pimpinan gerombolan itu akan mendapatkan kedudukan tinggi.
Kiranya selir itu ketika mendengar bahwa gerombolan itu gagal dan dikepung, ia meracuni puteranya dan diri sendiri. Lebih baik mati dari pada menderita malu dan juga ngeri menghadapi hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka. Kaisar menjadi marah sekali dan mendengar laporan bahwa kini gerombolan itu telah dikepung di sarang mereka, yaitu kuil istana di puncak bukit. Kaisar lalu memerintahkan pasukan pengawalnya untuk mengiringkannya naik ke bukit itu.
Ketika kaisar mengeluarkan perintah, Hek-liong-li dan Pek-liong-eng terkejut sekali. Perintah itu pasti akan dilaksanakan dan ini berarti mereka melanggar janji kepada dua orang datuk. Maka, dua orang pendekar itu cepat maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar.
“Ampunkan hamba berdua, Sribaginda!” kata Hek-liong-li, “Hamba berdua sudah menantang dua orang pimpinan Si Bayangan Iblis untuk bertanding dan sudah berjanji. Mohon paduka memberi kesempatan kepada hamba berdua untuk bertanding dengan dua orang pimpinan gerombolan Si Bayangan Iblis.”
Kaisar mengerutkan alisnya, “Siapakah kalian?”
“Hamba bernama Lie Kim Cu, Sribaginda.”
“Hamba bernama Tan Cin Hay,” kata pula Pek-liong.
“Mereka adalah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, Sribaginda,” seorang perwira melapor.
Kaisar mengangguk-angguk dan menghelus jenggotnya. Diam-diam dia kagum. Tentu saja dia telah mendengar laporan, bahkan dari Cian Hui sendiri bahwa dua orang pendekar inilah yang diharapkan akan mampu menangkap Si Bayangan Iblis. Tak disangkanya bahwa sepasang pendekar yang dikabarkan amat lihai itu ternyata hanyalah sepasang orang yang masih muda.
“Mereka benar, Sribaginda. Mohon diberi kesempatan kepada mereka untuk menandingi orang-orang jahat itu!” tiba-tiba terdengar suara lembut dan muncullah Permaisuri Bu Cek Thian yang dilindungi pasukan pengawal pribadinya, dipimpin oleh gadis kembar yang tak pernah terpisah dari samping permaisuri itu, ialah Bi Cu dan Bi Hwa.
“Hamba sendiri yang mengutus Hek-liong-li untuk menyelidiki dan menangkap Bayangan Iblis,” kata pula permaisuri itu setelah memberi hormat kepada kaisar dan mereka berdua segera menduduki kursi yang sudah dibawa datang oleh para pengawal. Kaisar dan permaisuri itu sudah duduk seperti hendak menonton pertunjukan yang menarik.
“Baik, kami setuju diadakan pertandingan itu. Akan tetapi, sekali para penjahat itu berbuat curang, segera kepung dan robohkan mereka semua!” kata kaisar penuh wibawa.
“Terima kasih, Sribaginda,” kata Liong-li dan Pek-liong berbareng dan merekapun kini menghadapi lagi kakek dan nenek yang berdiri dengan wajah pucat dan gelisah, sedangkan belasan orang anak buah mereka berdiri dengan muka membayangkan ketakutan.
“Nah, engkau beruntung sekali, Kui-bo. Dalam kesempatan terakhir engkau masih diberi kesempatan untuk memamerkan kepandaian, bahkan disaksikan oleh penonton agung!” kata Liong-li sambil mencabut pedangnya dam nampaklah sinar hitam berkilauan. “Cabut senjatamu dan mulailah!”
Tiat-thouw Kui-bo maklum bahwa ia tidak dapat mengelak lagi, tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan melawan Hek-liong-li yang sudah lama dianggapnya sebagai musuh besar. Kesempatan baik untuk membalas dendam walaupun kedudukannya sungguh tidak menguntungkan, seolah ia berada di dalam guha naga yang tidak memungkinkan ia lolos lagi.
Andaikata ia dapat menang melawan Liong-li, belum tentu kaisar akan mau membebaskannya begitu saja. Akan tetapi kalau ia dan Mo-ong dapat mengalahkan Pek-liong dari Liong-li, masih ada harapan bagi mereka untuk mengamuk dan melarikan diri. Musuh atau lawan terberat bagi mereka hanyalah dua orang pendekar muda itu.
“Baik, Hek-liong-li, engkau atau aku yang akan menjadi pemenang, Asal engkau tidak mengeroyokku saja!” kata Tiat-thouw Kui-bo sambil mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang yang berkilau saking tajamnya.
Pada saat itu, para pangeran berdatangan untuk menyaksikan sendiri gerombolan Bayangan Iblis yang selama ini mengacau dan melakukan banyak pembunuhan di dalam istana dan juga di luar istana.
“Kui Lo-ma...! Apa yang kau lakukan ini? Benar engkaukah ini?”
Pangeran Kim Ngo Him yang baru tiba berseru dengan penuh keheranan sambil menghampiri nenek yang biasanya dikenalnya sebagai tukang masak dan ahli pijat itu. Sikapnya ini membuktikan bahwa pangeran mantu kaisar ini memang benar tidak tahu menahu tentang gerakan gerombolan pembunuh Si Bayangan Iblis yang dipimpin oleh pelayannya itu.
“Mundurlah, pangeran. Pangeran telah memelihara seekor srigala dalam gedung pangeran. Ia bukan Kui Lo-ma, melainkan Tiat-thouw Kui-bo yang menyamar. Ia seorang datuk sesat, seorang di antara Kiu Lo-mo yang jahat dan kejam,” kata Hek-liong-li.
Mendengar ini wajah pangeran itu menjadi pucat dan seperti orang ketakutan diapun melangkah ke belakang menjauhi nenek itu yang hanya menyeringai. Ketika melihat munculnya Pangeran Souw Cun, Liong-li segera teringat akan kematian Pangeran Souw Han, dan teringat pula betapa ia pernah dihina bahkan dicambuki pangeran itu, maka ia mempergunakan kesempatan itu untuk menudingkan telunjuknya ke arah Pangeran Souw Cun dan berkata,
”Inilah dia pangeran yang bersekongkol dengan gerombolan Bayangan Iblis! Dialah yang telah menyuruh bunuh Pangeran Souw Han!”
Tentu saja ucapan Liong-li ini membuat semua mata memandang kepada Pangeran Souw Cun, termasuk mata kaisar dan permaisuri Bu Cek Thian.
“Bohong! Itu fitnah belaka. Seperti juga pangeran Kim Ngo Him, aku tidak tahu menahu tentang gerombolan...”
“Ha-ha-ha-ha!” Lam-hai Mo-ong tertawa memotong ucapan Pangeran Souw Cun. “Kalau sudah begini, perlu apa berpura-pura lagi, pangeran? Semua usaha dan cita-cita kita telah gagal, digagalkan oleh Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Kalau saja pangeran tidak menyuruh bunuh Pangeran Souw Han, belum tentu secepat ini kita mengalami kegagalan!”
Mendengar ucapan ini, Pangeran Souw Cun menjadi pucat sekali. “Tangkap pengkhianat itu!” Kaisar membentak marah.
Dan Pangeran Souw Cun terkulai lemas menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun kepada ayahnya. Namun, kaisar tetap memberi isyarat kepada para pengawal yang segera menangkap dan menyeret pangeran itu untuk ditawan. Bukan Pangeran Souw Cun saja yang dttangkap, bahkan seluruh keluarganya termasuk ibunya juga ditangkap.
“Nah, sekarang majulah, Kui-bo,” kata Liong-li.
Nenek itu memandang dengan mata mencorong, mata kehijauan yang seperti mata kucing, kemudian, tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak dan beberapa batang paku beracun menyambar ke arah tubuh Liong-li. Namun, wanita perkasa ini sudah tahu bahwa, Kui-bo mempunyai senjata rahasia paku beracun yang amat berbahaya, maka ia sudah siap siaga dan sekali Hek-liong-kiam di tangan kanan diputar, nampak gulungan sinar hitam dan semua paku itupun runtuh...
“Lo-suhu, maafkan kami berdua. Kami bukan penjahat dan kami ingin menghadap lo-suhu!” kata Pek-liong.
“Omitohud... masuklah saja!” kata pula hwesio itu dengan suara yang dalam dan lembut.
Pek-liong dan Liong-li membuka genteng. Keduanya memandang penuh perhatian, sebelum meloncat masuk, dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada hal yang perlu diragukan atau dicurigai. Ruangan itu cukup luas, tidak mempunyai jendela, hanya ada sebuah pintu ke dalam yang daunnya tertutup. Ruangan itu kosong, hanya ada sebuah dipan di sudut di mana hwesio itu duduk bersila, dan sebuah meja kecil di mana terdapat lilin menyala dan beberapa buah kitab. Selanjutnya, kosong.
Dinding yang menghadap ke bagian luar tidak berjendela, sehingga jalan satu-satunya, masuk ke kamar itu hanya melalui pintu yang menembus ke dalam tadi, dan melalui lubang di atap yang mereka buat tentu saja. Tentu hwesio di bawah itu dapat memberi banyak keterangan kepada mereka.
“Kita turun,” bisik Liong-li.
Pek-liong mengangguk dan pendekar ini mendahului Liong-li, melompat turun. Liong-li maklum bahwa Pek-liong, seperti biasa, tentu ingin menjadi orang pertama kalau memasuki ruangan yang belum dikenal dan mungkin mengandung bahaya, agar kalau sampai terjebak, dialah yang akan terjebak lebih dahulu. Dan Liong-li juga membiarkan ini. Lebih baik seorang saja di antara mereka yang terjebak, dari pada keduanya karena kalau yang seorang terjebak, yang lain dapat menolongnya.
Setelah ia melihat Pek-liong tiba di lantai kamar itu dan tidak terjadi sesuatu, iapun melompat turun pada saat Pek-liong memberi isyarat bahwa keadaan aman. Akan tetapi, begitu Liong-li melayang turun ke dalam ruangan itu, tiba-tiba lilin di atas meja itu padam dan keadaan menjadi gelap sama sekali. Liong-li mengerahkan gin-kangnya dan kedua kakinya dapat hinggap di atas lantai dengan ringan. Pada saat itu, mereka mendengar suara senjata rahasia menyambar-nyambar ke arah mereka!
Dua orang pendekar itu setiap saat memang sudah siap siaga. Tidak pernah mereka itu lengah, apa lagi dalam keadaan sedang melakukan penyelidikan seperti itu. Sejak tadi, seluruh syaraf di tubuh mereka sudah dalam keadaan siap dan waspada, maka begitu mereka menduga datangnya bahaya, keduanya sudah menggerakkan tangan kanan dan Liong-li sudah mencabut Hek-liong-kiam, sedangkan Pek-liong sudah mencabut Pek-liong-kiam.
Ketika senjata-senjata rahasia itu menyambar ke arah mereka, keduanya memutar pedang dan semua senjata rahasia kecil berbentuk paku-paku beracun itu runtuh. Liong-li meloncat ke arah di mana tadi hwesio itu duduk. Akan tetapi, ternyata bukan hanya hwesio itu yang lenyap, bahkan dipannya pun lenyap! Tahulah ia bahwa hwesio di atas dipan tadi memang merupakan alat perangkap.
Ia melihat Pek-liong masih terus menangkisi senjata rahasia yang terus menyambar ke arah pendekar itu. Tahulah Hek-liong-li bahwa pakaian Pek-liong yang putih itulah yang merupakan sasaran lunak di dalam kegelapan itu. Ia mengeluarkan segulung sutera hitam dan melemparkannya ke arah Pek-liong.
“Kau pakailah ini!” sutera hitam itu mengembang ketika meluncur ke arah Pek-liong. Pek-liong menyambar sutera hitam itu dan di lain saat diapun lenyap ditelan kehitaman. Mereka berdua sudah berdiri mepet dinding dan menahan napas agar tidak terlalu keras bersuara.
“Kita pukul runtuh dinding di kanan itu yang menembus keluar,” bisik Liong-li.
Wanita perkasa ini tidak perlu membuat penjelasan lagi karena ia dan Pek-liong seolah telah memiliki satu hati dan satu kecerdasan. Begitu ia berbisik, keduanya sudah menerjang, ke dua tangan mendorong ke depan sambil mengerahkan tenaga sin-kang mereka.
“Brakkkkk...!” Dinding kamar itupun jebol dan cahaya bulan menerjang masuk.
Dua sosok tubuh itu meluncur keluar dan mereka tiba di tempat terbuka, di taman samping kuil itu. Akan tetapi, baru saja mereka yang tadi meloncat keluar itu turun ke atas tanah, nampak banyak orang yang mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi muka mereka dengan topeng hitam, telah mengepung mereka.
Jumlah mereka tidak kurang dari limabelas orang, semua mengenakan pakaian dan topeng yang sama dan bermacam senjata berada di tangan mereka. Ada yang memegang pedang, atau sepasang pedang, golok, tombak, rantai dan sebagainya. Gerakan mereka ketika mengepung tadi ringan, tanda bahwa mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tangguh.
Pek-liong dan Liong-li otomatis berdiri saling membelakang, hampir beradu punggung dengan pedang pusaka di tangan masing-masing, tidak bergerak, akan tetapi mata mereka mengikuti gerakan semua orang yang mengepung itu. Bulan bersinar terang sehingga mereka dapat melihat semua pengepung dengan baik.
“Hemm, segerombolan Kwi-eng-cu (Bayangan Iblis) lengkap di sini!” kata Liong-li.
“Hek-liong-li, engkaulah yang menyamar sebagai Bayangan Iblis dan membuat kekacauan di istana. Kami akan membunuhmu! Dan engkau juga, Pek-liong-eng!” kata seorang diantara mereka dengan suara yang parau. Orang ini juga berpakaian hitam dan bertopeng hitam seperti yang lain, akan tetapi Liong-li maklum siapa dia.
Siapa lagi kalau bukan Bouw Sian-seng? Ia mengenal tubuh yang tinggi kurus itu. Kini tidak lagi bongkok, tentu bongkok itu hanya pura-pura saja. Dan ditangannya nampak sebatang rantai baja! Ini tentu Bouw Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong, akan tetapi Liong-li tidak sempat banyak cakap karena pada saat itu belasan orang bertopeng hitam sudah menyerang mereka dari segala jurusan.
Liong-li dan Pek-liong memutar pedang mereka melakukan perlawanan. Dan keduanya terkejut. Sudah jelas bahwa Bouw Sian-seng alias Lam-hai Mo-ong itu lihai sekali karena dia adalah seorang datuk di antara Kiu Lo-mo (Sembilan Iblis Tua), akan tetapi yang lainnya juga rata-rata amat lihai. Terutama sekali seorang di antara mereka yang kurus kering, dengan sepasang mata kehijauan mencorong seperti mata kucing yang mengintai dari balik topengnya.
Si kurus kering ini agaknya sengaja menghadapi Liong-li dan ternyata pedangnya lihai bukan main. Adapun Bouw Sian-seng menghadapi Pek-liong, dibantu beberapa orang temannya yang juga lihai. Diam-diam Liong-li mengingat-ingat sambil memutar pedang melindungi dirinya, siapa lawannya ini. Ia menduga bahwa tentu ia seorang wanita karena di antara hujan senjata itu Liong-li masih sempat mencium keharuman yang menyambar dari pakaian si kurus kering itu.
Seorang wanita? Begini lihai? Siapa gerangan wanita ini? Dan iapun teringat akan pengalamannya ketika ia melakukan penyelidikan di atas gedung tempat tinggal Pangeran Kim Ngo Him. Ia pernah diserang seorang bertopeng hitam yang kurus kering seperti ini, dan yang juga amat lihai, dan bayangan itu lenyap ke dalam gedung Pangeran Kim Ngo Him. Lalu ia melihat munculnya seorang nenek yang dipanggil Kui Lo-ma. Jangan-jangan, seperti halnya Bouw Sian-seng, nenek Kui Lo-ma itupun seorang penjahat besar yang menyelundup dan menyamar sebagai seorang pelayan di gedung Pangeran Kim Ngo Him.
Akan tetapi, Liong-li tidak dapat terus mengingat-ingat karena hampir saja ia celaka karena perhatiannya tidak terpusat. Pedang si kurus kering itu hampir saja membabat pundaknya. Untung ia masih cukup cekatan untuk melempar tubuh ke samping dan bergulingan menyelamatkan diri.
“Kita pergi!” tiba-tiba Pek-liong berseru. `
Liong-li maklum bahwa Pek-liong juga menghadapi pengeroyokan ketat yang amat membahayakan keselamatannya. Lawan terlalu banyak dan rata-rata lihai, walaupun tidak selihai Bouw Sian-seng dan si kurus kering itu. Dua orang ini saja memiliki tingkat yang sebanding dengan mereka, maka kalau dilanjutkan, mereka tentu akan terancam bahaya. Maka, sambil bergulingan, pedang di tangannya menyambar menjadi gulungan sinar hitam.
Ketika pengeroyoknya mundur, iapun meloncat keluar dari kalangan pertempuran, dan bersama Pek-liong iapun mengerahkan gin-kang dan mereka berdua berlari cepat menuruni tempat itu, melompati pagar tembok kuil dan terus melarikan diri. Cian Hui menyambut dua orang pendekar yang berlarian itu dan sebelum dia sempat bertanya, Liong-li sudah cepat berkata,
“Ciang-kun, atur penjagaan yang ketat, kalau perlu tambah lagi pasukan dan mengepungnya agak naik mendekati kuil. Jangan sampai ada seorangpun di antara mereka lolos. Kami bertemu dengan mereka, belasan orang banyaknya, mungkin masih ada lagi yang bersembunyi. Kami kira tempat persembunyian mereka memang di dalam kuil itu!”
Cian Hui tidak banyak bertanya, cepat dia mengumpulkan para jagoan istana, para perwira dan mereka menggerakkan pasukan naik, lebih dekat ke puncak di mana kuil itu berada. Pengepungan tentu saja menjadi lebih ketat dan takkan ada seorangpun manusia yang meninggalkan tempat itu dapat lolos dari pengamatan mereka. Cian Hui juga mengirim utusan untuk minta bala bantuan sehingga kini pengepungan itu berlapis-lapis!
Setelah mengatur pengepungan, barulah Cian Hui dapat mengadakan perundingan dengan Pek-liong dan Liong-li. Dia mendengarkan laporan dua orang pendekar itu tentang apa yang mereka alami di kuil. Perwira ini mengerutkan alisnya dan merasa khawatir sekali.
“Tentu Cu Sui In terjatuh ke tangan mereka!” katanya. “Kita harus cepat menyerbu kuil itu!”
“Tenanglah, Ciang-kun. Mereka adalah orang-orang pandai, tidak akan membunuh tawanan begitu saja. Tawanan orang penting bagi mereka amat berharga, untuk dijadikan sandera. Dan keadaan para hwesio itupun amat mencurigakan. Tidak mungkin mereka itu bekerja sama dengan gerombolan penjahat. Tentu ada sesuatu yang memaksa mereka mentaati perintah para penjahat,” kata Liong-li.
“Kukira rahasianya terletak pada sakitnya kepala kuil. Aku mempunyai dugaan bahwa mereka telah menyandera pula kepala kuil itu, dan dengan disanderanya kepala kuil, maka semua hwesio menjadi tidak berdaya dan terpaksa mentaati mereka untuk menyelamatkan kepala kuil,” kata Pek-liong.
“Kita tidak boleh tergesa-gesa. Bulan sudah hampir condong ke barat. Sebaiknya tunggu terang matahari pagi baru kita menyerbu. Sekarang, kuharap Ciang-kun mengirim orang untuk menyelidiki, apakah Bouw Sian-seng berada di gedung Pangeran Souw Cun dan juga apakah nenek yang bernama Kui Lo-ma berada di gedung Pangeran Kim Ngo Him.”
Biarpun dia merasa heran, Cian Hui tidak banyak bertanya atau membantah, bahkan dia segera mengutus orang kepercayaannya untuk melakukan penyelidikan. Tak lama kemudian utusan itupun kembali, dengan berita bahwa kedua orang yang dicari Liong-li itu tidak berada di gedung tempat mereka bekerja, dan tak seorang pun tahu ke mana mereka pergi malam itu! Mendengar ini, Liong-li tersenyum.
“Sudah kuduga, dua orang itulah pemimpin gerombolan yang disebut Bayangan Iblis!”
“Ehhh?” Kini Cian Ciang-kun memandang heran.
“Hemm, Bouw Sian-seng itu pasti Lam-hai Mo-ong, aku mengenal gerakan silatnya ketika bertanding denganku tadi. Sedangkan yang kau namakan Kui Lo-ma itu kurasa tentu Tiat-thouw Kui-bo. Bukankah begitu, Liong-li?”
“Engkau benar, Pek-liong. Siapa lagi kalau bukan dua orang di antara Kiu Lo-mo itu?”
Cian Hui menjadi semakin kaget dan heran, dan diapun kagum bukan main kepada sepasang pendekar itu setelah menerima penjelasan. Mereka lalu membuat rencana penyerbuan sebentar lagi setelah kegelapan disapu sinar matahari pagi.
********************
Pagi-pagi sekali, Cian Hui yang ditemani belasan orang jagoan istana dan seregu perajurit pengawal, sudah mengetuk pintu depan kuil yang masih tertutup. Berulang-ulang pintu itu diketuk dengan keras dan daun pintu itupun dibuka oleh para hwesio yang nampak pucat ketakutan ketika melihat siapa yang mengetuk pintu kuil mereka. Apa lagi ketika Cian Hui memperlihatkan tek-pai tanda kekuasaan yang diperolehnya dari kaisar, para hwesio itu menjatuhkan diri berlutut karena tek-pai merupakan kekuasaan tertinggi dan pemegangnya seolah menggantikan kaisar sendiri pada saat itu.
“Para hwesio keluar semua, tak seorangpun boleh tinggal di kuil!” teriak Cian Hui.
Para hwesio tidak ada yang berani membantah. Tak lama kemudian keluarlah semua hwesio yang tinggal di kuil, kecuali seorang saja, yaitu Gwat Kong Hosiang, ketua kuil.
“Di mana Gwat Kong Hosiang? Hayo katakan, di mana dia?” Cian Hui menghardik karena dia marah sekali mendapat kenyataan bahwa kuil itu menjadi tempat persembunyian para penjahat, atau setidaknya, para hwesio ini tentu tahu akan rahasia para penjahat dan pembunuh itu.
“Omitohud...!” Kwan Seng Hwesio melangkah maju dan memberi hormat. “Harap Ciang-kun suka memaafkan para hwesio ini, karena kami terpaksa sekali bersikap seperti ini...”
“Kwan Seng Hwesio, kita berdua telah bersama-sama mengabdi di istana dengan setia selama bertahun-tahun! Sekarang aku tidak membutuhkan pembelaan diri kalian, melainkan membutuhkan keterangan. Jawablah saja. Di mana adanya Gwat Kong Hosiang!“
“Dia sedang sakit...”
“Antarkan aku kepadanya!” hardik pula Cian Hui dengan tak sabar.
”Omitohud... baiklah, Ciang-kun, Mari pinceng (saya) antarkan ke kamarnya...”
“Lo-suhu...!” Para hwesio yang lain berseru dengan muka pucat dan khawatir. Perbuatan Kwan Seng Hwesio itu pasti berakibat dibunuhnya ketua mereka seperti yang selalu diancamkan oleh para penjahat.
“Omitohud, itulah kesalahan kita,” kata Kwan Seng Hwesio. “Kita tidak cukup menyerah kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa sehingga kita takut menghadapi ancaman manusia. Kalau Yang Maha Kuasa menghendaki seseorang mati, apapun juga di dunia ini tidak akan mampu menghindarkannya, sebaliknya kalau Yang Maha Kuasa menghendaki seseorang tidak mati, tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang akan mampu membunuhnya.”
“Sudahlah, lo-suhu. Tidak perlu berkhotbah di saat ini. Antarkan aku!” kata Cian Hui, kemudian dia berkata kepada para pembantunya. “Geledah seluruh kuil!”
Kwan Seng Hwesio melangkah ke dalam, diikuti oleh Cian Hui. Hwesio itu menuju ke kamar belakang setelah melalui lorong yang berliku panjang. Kuil itu memang besar dan luas sekali. Setelah tiba di depan pintu sebuah kamar, Kwan Seng Hwesio berhenti dan berkata dengan suara gelisah.
“Di kamar inilah Gwat Kong Hwesio rebah dalam keadaan sakit parah dan pingsan, Ciang-kun.”
Biarpun dia kini percaya kepada hwesio itu, namun Cian Hui tetap bersikap hati-hati. “Tolong kau buka pintu kamarnya, lo-suhu.”
Dengan sikap yang tegang dan wajah yang pucat, Kwan Seng Hwesio membuka daun pintu kamar itu. Kamar itu agak gelap, maka Cian Hui melangkah maju mendekati Kwan Seng Hwesio, menjenguk ke dalam kamar. Tiba-tiba terdengar suara bercuitan dan sinar-sinar hitam kecil menyambar ke arah mereka.
Cian Hui berusaha untuk mengelak dengan loncatan, namun gerakannya kalah cepat. Sebuah di antara paku-paku itu masih mengenai pangkal pahanya dan diapun roboh pingsan. Dia tidak tahu betapa Kwan Seng Hwesio juga roboh dengan banyak paku mengenai tubuhnya, dan wakil kepala kuil itupun roboh pingsan.
Beberapa orang muncul dari samping, dari sebuah pintu rahasia dan mereka menyeret tubuh Cian Hui dan Kwan Seng Hwesio memasuki pintu rahasia yang menembus ke ruangan-ruangan bawah tanah. Dua orang itu lenyap tanpa meninggalkan bekas. Ketika dia membuka kedua matanya, wanita itu membungkuk dan mengguncang pundaknya.
“Cian Ciang-kun, syukur engkau sudah sadar...”
Cian Hui memandang. Alangkah cantiknya wajah itu, walaupun rambut itu kusut dan muka itu agak pucat, pandang matanya penuh kegelisahan. Diapun bangkit duduk dan menyeringai kesakitan ketika pahanya yang sebelah atas terasa amat nyeri. Akan tetapi hatinya merasa kelegaan yang besar ketika dia mengenal wajah itu, wajah Cu Sui In! Wanita muda itu masih hidup dan dalam keadaan selamat, walaupun nampaknya menderita.
“Nona Sui In...” akan tetapi dia tidak melanjutkan kata-katanya karena rasa nyeri yang menusuk di pangkal pahanya.
“Bagaimana rasanya. Ciang-kun? Sakit benarkah? Engkau terkena paku beracun dari nenek iblis itu. Tadi aku telah mencabutnya... maafkan aku, Ciang-kun. Engkau masih pingsan dan aku terpaksa mencabut paku itu karena kalau dibiarkan, tentu racunnya akan makin banyak memasuki tubuhmu.”
Sekilas terlintas dalam benaknya, bagaimana wanita muda itu dapat melakukannya. Lukanya berada, di pangkal paha! Tempat yang... agaknya tidak pantas dan tidak sopan dilihat seorang wanita yang bukan apa-apanya, apa lagi wanita muda dan cantik seperti Cu Sui In. Akan tetapi, keadaan menghapus bayangan itu dengan cepat dan diapun memandang ke kanan kiri. Dia melihat Gwat Kong Hosiang rebah telentang di atas dipan seperti mayat, dan Kwan Seng Hwesio juga rebah di atas lantai dalam keadaan pingsan.
“Bagaimana dengan mereka?” tanyanya.
Sui In memandang gelisah. “Keadaan mereka sungguh mengkhawatirkan sekali. Gwat Kong Hosiang sudah pingsan sejak aku ditawan, dan Kwan Seng Hwesio ada tiga batang paku menancap di tubuhnya. Aku... aku merasa ngeri dan tidak berani mencabut paku-paku itu.”
Cian Hui mencoba untuk merangkak mendekati Kwan Seng Hwesio, dan melihat ini, Sui In cepat membantunya walaupun wanita ini juga telah terluka cukup berat. Ia telah terkena tamparan beracun dari Tiat-thouw Kui-bo dan sampai kini, dada sebelah kanan terasa nyeri bukan main. Melihat wanita itu menyeringai menahan sakit, Cian Hui bertanya.
“Engkau... terluka...?”
Sui In mengangguk. “Nenek iblis itu memukul dadaku dan terasa nyeri bukan main...”
Kwan Seng Hwesio menderita luka terkena paku beracun, sebatang di pangkal lengan kanan, sebatang di pundak dan sebatang di dada. Cian Hui mengumpulkan tenaganya dan mencabuti tiga batang paku itu, dibantu oleh Sui In.
Pada saat itu terdengar langkah kaki orang dan muncullah di situ seorang kakek dan seorang nenek. Seorang kakek berusia enampuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus bermuka lembut seperti seorang pelajar tua, dan seorang nenek yang tubuhnya kurus kering, wajahnya juga lembut akan tetapi matanya mencorong hijau.
“Cian Ciangkun,” kata kakek itu dan suaranya juga lembut. “Kalau engkau menghendaki kalian berempat hidup, engkau perintahkan semua pasukanmu untuk mundur dan lindungi kami keluar dari istana.”
Cian Hui tidak dapat bangkit berdiri. Dia duduk dan memandang kepada kakek itu dengan sinar mata penuh kemarahan. Ini kiranya dua orang yang memimpin gerombolan Bayangan Iblis yang melakukan pembunuhan- pembunuhan keji itu! Sui In juga duduk di dekatnya, nampak penuh ketabahan dan juga wanita ini memandang kepada mereka dengan berani dan penuh kemarahan.
Cian Hui tertawa. “Ha-ha-ha, kalian seperti tikus-tikus yang sudah tersudut! Bagaimana mungkin aku dapat memerintahkan pasukan untuk mundur? Tidak mungkin kulakukan itu, selain tidak bisa, juga aku tidak sudi!”
“Cian Ciang-kun, engkau pemegang tek-pai, dapat melakukan perintah apa saja dan pasti akan ditaati siapa saja di istana ini!”
Sui In khawatir kalau Cian Hui menyerahkan tek-pai, maka ia berkata lirih. “Tadi mereka mencari tek-pai dan menggeledah semua pakaianmu tanpa hasil.”
Cian Hui tertawa lagi. Untung bahwa dia tadi bersikap hati-hati sekali. Sebelum dia masuk bersama Kwan Seng Hwesio, dia menitipkan tek-pai itu kepada seorang panglima kepercayaannya, minta agar tek-pai itu diserahkan kepada Pek-liong kalau terjadi apa-apa dengan dia.
“Tek-pai tidak ada padaku. Andaikata adapun, sampai mati aku tidak akan sudi memenuhi permintaanmu, Lam-hai Mo-ong.”
Kakek itu terbelalak. “Kau sudah mengetahui siapa aku?”
“Ha-ha-hah tentu saja. Engkau Lam-hai Mo-ong dan nenek ini tentu Tiat-thouw Kui-bo yang menyamar menjadi Kui Lo-ma! Sudah habis riwayat kalian, dua orang datuk sesat dari Kiu Lo-mo!”
Kakek dan nenek itu saling pandang dan kini si nenek yang berwajah lembut melangkah maju. Sekali tangannya menyambar, ia telah menjambak rambut kepala Sui In dan menariknya lepas dari dekat Cian Hui. Dengan nekat Sui In memukul, akan tetapi sekali jari tangan nenek itu menotok, Sui In menjadi lemas tidak mampu bergerak lagi.
“Cian Hui, engkau sudah tahu siapa kami, tentu tahu pula bahwa kami dapat menyiksa dan membunuh kalian berempat tanpa berkedip!”
“Hemm, siapa takut mati, nenek iblis? Lebih baik kami mati dari pada harus membebaskan kalian. Tempat ini sudah dikepung pasukan, biar kalian mempunyai tiga kepala dan enam tangan ditambah sayap sekalipun, kalian takkan dapat lolos dari sini. Kalianpun akan mampus!”
“Keparat!” Lam-hai Mo-ong menangkap dan mencengkeram pundak Cian Hui dan menariknya bangkit berdiri. “Aku dapat mematahkan semua tulangmu, menyiksamu dengan hebat sebelum engkau mati!”
“Nanti dulu, Mo-ong!” kata Tiat-thouw Kui-bo. “Jangan bunuh dia dulu. Biar dia melihat dengan matanya sendiri bagaimana wanita ini mengalami siksaan yang lebih hebat dari pada maut. Panggil ke sini empat-lima orang anak buah yang paling buas dan suruh mereka memperkosa wanita ini di depan matanya. Hendak kulihat apakah Cian Ciang-kun masih akan berkeras kepala!”
Mendengar ini, baik Sui In sendiri maupun Cian Hui menjadi pucat. Kalau siksaan seperti itu dilaksanakan, dan mereka percaya bahwa dua orang manusia iblis ini sanggup melakukan kekejian bagaimanapun juga, tentu mereka berdua takkan dapat menahannya. Bagi mereka, lebih baik mati dari pada harus mengalami ancaman itu. Akan tetapi mereka tidak berdaya.
Pada saat itu, terdengarlah suara melengking nyaring dari luar. Tentu suara itu didorong, tenaga khikang yang amat kuat. Kalau tidak begitu, bagaimana dapat menerobos memasuki ruangan bawah tanah itu?
“Lam-hai Mo-ong dan Tiat-thouw Kui-bo! Dengarlah baik-baik, ini kami Pek-liong-eng dan Hek-liong-li yang bicara!”
Kakek dan nenek itu terkejut, saling pandang dan nenek itu melemparkan tubuh Sui In ke sudut ruangan dan kakek itupun mendorong tubuh Cian Hui sampai terlempar beberapa meter. Cian Hui merangkak mendekati Sui In dan dengan susah payah berhasil membebaskan totokan pada tubuh wanita itu.
Sui In yang merasa gelisah, menggigil karena ngeri sehingga Cian Hui merangkulnya. Akan tetapi Sui In tidak menangis, merasa aman dalam rangkulan perwira itu.
“Engkau gagah, Ciang-kun. Aku senang dapat mati bersama engkau...”
“Engkaupun hebat, Sui In. Jangan putus asa, kita belum mati...”
Kakek dan nenek itu tidak memperdulikan mereka. Keduanya mendekati pintu terowongan untuk dapat mendengarkan lebih baik, akan tetapi mereka tidak menjawab. Di luar ruangan tahanan itu nampak belasan orang anak buah mereka bergerombol karena mereka itupun kini menjadi gelisah setelah mengetahui bahwa kuil itu telah terkepung pasukan.
“Tiat-thouw Kui-bo, dengarlah. Aku Hek-long-li menantangmu. Kita bertanding satu lawan satu untuk menentukan siapa yang lebih kuat. Engkau mendapat kesempatan untuk membalaskan anggauta Kiu Lo-mo yang lain, yang telah kubunuh!” terdengar suara nyaring dan mendengar suara yang amat dikenalnya itu, Cian Hui menjadi girang sekali. Itu adalah suara Hek-liong-li!
Suara itu disusul suara lain yang juga nyaring sekali karena dapat menembus ke ruangan bawah tanah dengan jelas, “Lam-hai Mo-ong, aku Pek-liong-eng menantangmu untuk bertanding satu lawan satu! Jangan menjadi pengecut dan menawan orang-orang yang tidak bersalah.”
Lam-hai Mo-ong tertawa. Hanya suaranya saja yang tertawa, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa. Wajahnya membayangkan kegelisahan. “Ha-ha-ha, Pek-liong-eng! Engkau mengatakan kami pengecut, akan tetapi engkau dan Liong-li lebih pengecut lagi. Kalian hanya berani menantang kami karena kalian membawa pasukan yang besar jumlahnya! Kalian yang mengaku pendekar-pendekar yang gagah perkasa sepatutnya merasa malu! Kalau kami keluar, tentu pasukan akan mengeroyok kami!”
“Dengar, kalian kakek dan nenek busuk!” terdengar lagi suara Liong-li. “Kami bukan pengecut. Kami berdua tantang kalian berdua, dan kami berjanji tidak akan melakukan pengeroyokan. Kalau kalian berdua mampu mengalahkan kami berdua, kalian boleh pergi tanpa kami ganggu. Akan tetapi kalianpun harus berjanji untuk tidak mengganggu Gwat Kong Hosiang, dan Kwan Seng Hwesio, Cian Hui Ciang-kun, dan Cu Sui In!”
“Baik, kami berjanji. Pek-liong dan Liong-li, ucapanmu didengar banyak orang. Nama kalian akan hancur dan menjadi bahan ejekan dunia kang-ouw kalau kalian melanggar janji!” kata Lam-hai Mo-ong dan diapun memberi isyarat kepada Tiat-thouw Kui-bo untuk keluar.
Semua pengikut mereka juga mengikuti dua orang pimpinan ini keluar, karena tentu saja, mereka tidak mau ditinggalkan di ruangan bawah tanah itu dan setiap orang menginginkan mendapatkan kebebasan. Kalau dua orang pimpinan mereka menang tentu mereka semua akan diperbolehkan lolos dari lingkungan istana.
Cian Hui dan Sui In yang ditinggalkan oleh gerombolan itu, hanya mampu menanti karena mereka menderita luka keracunan yang cukup hebat, membuat mereka merasa nyeri dan lemah. Mereka mencoba untuk bergerak keluar dari ruangan bawah tanah itu, akan tetapi baru saja mereka tiba di pintu ruangan tahanan yang kini sudah terbuka, keduanya tidak kuat menahan lagi dan mereka terguling roboh tak sadarkan diri.
********************
Pek-liong-li, dan para perwira dan jagoan istana yang jumlahnya belasan orang, memandang penuh perhatian ketika kakek dan nenek itu keluar dari pintu rahasia dan diikuti oleh belasan orang anak buah mereka. Kini, baik kakek dan nenek itu maupun para pengikutnya, tidak lagi mengenakan topeng sehingga wajah mereka dapat dikenali.
Seperti yang telah diduga oleh Pek-liong, di antara para pengikut itu terdapat Pek-mau-kwi Ciong Hu, si Iblis Rambut Putih dan dua orang kakak beradik Huang-ho Siang-houw (sepasang Harimau Sungai Huang-ho). Akan tetapi mudah diduga bahwa anak buah mereka itu adalah orang-orang dunia hitam yang sesat dan rata-rata, memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Bukan hanya Pek-liong-liong-li dan para perwira saja yang memandang gerombolan yang selama ini mengacau istana sebagai Si Bayangan Iblis akan tetapi juga ratusan pasang mata dari para perajurit pasukan pengawal yang telah mengepung kuil itu memandang dan mengikuti gerak gerik gerombolan itu ketika mereka keluar dari kuil dan berada di pekarangan depan kuil di mana Pek-liong dan Liong-li bersama para perwira sedang menanti.
Pagi itu amat cerah. Sinar matahari pagi telah menerangi seluruh pekarangan. Namun tidak ada wajah seorangpun di situ yang cerah. Wajah sepasang pendekar dan semua jagoan istana, juga para perajurit pengawal, membayangkan kemarahan. Adapun wajah gerombolan pengacau itu dibayangi kegelisahan dan ketegangan.
Melihat mereka keluar tanpa membawa empat orang yang mereka tawan, Liong-li membentak dengan suara tegas. “Mo-ong dan Kui-bo! Belum apa-apa kalian sudah hendak melanggar janji! Di mana empat orang tawanan itu?”
“Mereka berada di dalam, terluka. Kami tidak melanggar janji dan kami siap melawan kalian orang-orang muda sombong!” kata Lam-hai Mo-ong.
Liong-li menoleh kepada seorang perwira dan berkata, “Ciang-kun, tolong periksa dulu apakah benar empat orang itu dalam keadaan selamat di dalam sana.”
“Baik,” jawab perwira itu yang segera memasuki pintu rahasia yang kini sudah terbuka itu.
Liong-li tidak mau ditipu. Kalau empat orang itu telah dibunuh oleh gerombolan Bayangan Iblis, iapun tidak mau memegang janji, tidak mau bersusah payah mengadu ilmu melawan kakek dan nenek datuk sesat itu! Ia akan mengerahkan semua jagoan istana untuk mengeroyok dan menangkap gerombolan itu.
Tak lama kemudian, perwira itu muncul kembali dan diapun melapor kepada Liong-li. “Li-hiap, mereka masih hidup walaupun dalam keadaan terluka.”
“Hi-hi-hih, Hek-liong-li, kami adalah datuk-datuk persilatan yang ternama. Kami tidak akan melanggar janji!” kata Tiat-thouw Kui-bo.
“Kui-bo, seperti aku tidak tahu saja akan watak curang Kiu Lo-mo! Kalian memenuhi janji hanya karena sudah tersudut!”
“Hek-liong-li, tidak perlu banyak cakap lagi. Apakah engkau ingin menjilat ludahmu sendiri yang sudah kaukeluarkan? Masih berlakukah tantanganmu kepadaku tadi?”
“Tentu saja. Majulah, Kui-bo!” kata Liong-li yang sudah siap siaga menandingi nenek yang ia tahu amat lihai dan berbahaya itu.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan-seruan nyaring dan nampaklah rombongan kaisar datang ke tempat itu! Melihat kaisar muncul diiringi para pengawal, semua orang, kecuali gerombolan penjahat, memberi hormat.
“Tangkap gerombolan Bayangan Iblis dan penggal leher mereka semua!” bentak Kaisar dengan nada suara marah.
Kaisar memang marah sekali karena baru saja dia mendengar laporan bahwa seorang puteranya, yaitu Pangeran Souw Kian, bersama ibunya, telah tewas di dalam kamar pangeran itu karena mereka membunuh diri dengan minum racun! Selir itu meninggalkan surat pengakuan bahwa gerombolan Si Bayangan Iblis melakukan semua pembunuhan itu dengan maksud agar kelak yang menjadi putera mahkota adalah Pangeran Souw Kian, dengan janji bahwa kelak apabila Pangeran Souw Kian menjadi kaisar, pimpinan gerombolan itu akan mendapatkan kedudukan tinggi.
Kiranya selir itu ketika mendengar bahwa gerombolan itu gagal dan dikepung, ia meracuni puteranya dan diri sendiri. Lebih baik mati dari pada menderita malu dan juga ngeri menghadapi hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka. Kaisar menjadi marah sekali dan mendengar laporan bahwa kini gerombolan itu telah dikepung di sarang mereka, yaitu kuil istana di puncak bukit. Kaisar lalu memerintahkan pasukan pengawalnya untuk mengiringkannya naik ke bukit itu.
Ketika kaisar mengeluarkan perintah, Hek-liong-li dan Pek-liong-eng terkejut sekali. Perintah itu pasti akan dilaksanakan dan ini berarti mereka melanggar janji kepada dua orang datuk. Maka, dua orang pendekar itu cepat maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar.
“Ampunkan hamba berdua, Sribaginda!” kata Hek-liong-li, “Hamba berdua sudah menantang dua orang pimpinan Si Bayangan Iblis untuk bertanding dan sudah berjanji. Mohon paduka memberi kesempatan kepada hamba berdua untuk bertanding dengan dua orang pimpinan gerombolan Si Bayangan Iblis.”
Kaisar mengerutkan alisnya, “Siapakah kalian?”
“Hamba bernama Lie Kim Cu, Sribaginda.”
“Hamba bernama Tan Cin Hay,” kata pula Pek-liong.
“Mereka adalah Pek-liong-eng dan Hek-liong-li, Sribaginda,” seorang perwira melapor.
Kaisar mengangguk-angguk dan menghelus jenggotnya. Diam-diam dia kagum. Tentu saja dia telah mendengar laporan, bahkan dari Cian Hui sendiri bahwa dua orang pendekar inilah yang diharapkan akan mampu menangkap Si Bayangan Iblis. Tak disangkanya bahwa sepasang pendekar yang dikabarkan amat lihai itu ternyata hanyalah sepasang orang yang masih muda.
“Mereka benar, Sribaginda. Mohon diberi kesempatan kepada mereka untuk menandingi orang-orang jahat itu!” tiba-tiba terdengar suara lembut dan muncullah Permaisuri Bu Cek Thian yang dilindungi pasukan pengawal pribadinya, dipimpin oleh gadis kembar yang tak pernah terpisah dari samping permaisuri itu, ialah Bi Cu dan Bi Hwa.
“Hamba sendiri yang mengutus Hek-liong-li untuk menyelidiki dan menangkap Bayangan Iblis,” kata pula permaisuri itu setelah memberi hormat kepada kaisar dan mereka berdua segera menduduki kursi yang sudah dibawa datang oleh para pengawal. Kaisar dan permaisuri itu sudah duduk seperti hendak menonton pertunjukan yang menarik.
“Baik, kami setuju diadakan pertandingan itu. Akan tetapi, sekali para penjahat itu berbuat curang, segera kepung dan robohkan mereka semua!” kata kaisar penuh wibawa.
“Terima kasih, Sribaginda,” kata Liong-li dan Pek-liong berbareng dan merekapun kini menghadapi lagi kakek dan nenek yang berdiri dengan wajah pucat dan gelisah, sedangkan belasan orang anak buah mereka berdiri dengan muka membayangkan ketakutan.
“Nah, engkau beruntung sekali, Kui-bo. Dalam kesempatan terakhir engkau masih diberi kesempatan untuk memamerkan kepandaian, bahkan disaksikan oleh penonton agung!” kata Liong-li sambil mencabut pedangnya dam nampaklah sinar hitam berkilauan. “Cabut senjatamu dan mulailah!”
Tiat-thouw Kui-bo maklum bahwa ia tidak dapat mengelak lagi, tidak dapat menghindarkan diri dari pertandingan melawan Hek-liong-li yang sudah lama dianggapnya sebagai musuh besar. Kesempatan baik untuk membalas dendam walaupun kedudukannya sungguh tidak menguntungkan, seolah ia berada di dalam guha naga yang tidak memungkinkan ia lolos lagi.
Andaikata ia dapat menang melawan Liong-li, belum tentu kaisar akan mau membebaskannya begitu saja. Akan tetapi kalau ia dan Mo-ong dapat mengalahkan Pek-liong dari Liong-li, masih ada harapan bagi mereka untuk mengamuk dan melarikan diri. Musuh atau lawan terberat bagi mereka hanyalah dua orang pendekar muda itu.
“Baik, Hek-liong-li, engkau atau aku yang akan menjadi pemenang, Asal engkau tidak mengeroyokku saja!” kata Tiat-thouw Kui-bo sambil mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang yang berkilau saking tajamnya.
Pada saat itu, para pangeran berdatangan untuk menyaksikan sendiri gerombolan Bayangan Iblis yang selama ini mengacau dan melakukan banyak pembunuhan di dalam istana dan juga di luar istana.
“Kui Lo-ma...! Apa yang kau lakukan ini? Benar engkaukah ini?”
Pangeran Kim Ngo Him yang baru tiba berseru dengan penuh keheranan sambil menghampiri nenek yang biasanya dikenalnya sebagai tukang masak dan ahli pijat itu. Sikapnya ini membuktikan bahwa pangeran mantu kaisar ini memang benar tidak tahu menahu tentang gerakan gerombolan pembunuh Si Bayangan Iblis yang dipimpin oleh pelayannya itu.
“Mundurlah, pangeran. Pangeran telah memelihara seekor srigala dalam gedung pangeran. Ia bukan Kui Lo-ma, melainkan Tiat-thouw Kui-bo yang menyamar. Ia seorang datuk sesat, seorang di antara Kiu Lo-mo yang jahat dan kejam,” kata Hek-liong-li.
Mendengar ini wajah pangeran itu menjadi pucat dan seperti orang ketakutan diapun melangkah ke belakang menjauhi nenek itu yang hanya menyeringai. Ketika melihat munculnya Pangeran Souw Cun, Liong-li segera teringat akan kematian Pangeran Souw Han, dan teringat pula betapa ia pernah dihina bahkan dicambuki pangeran itu, maka ia mempergunakan kesempatan itu untuk menudingkan telunjuknya ke arah Pangeran Souw Cun dan berkata,
”Inilah dia pangeran yang bersekongkol dengan gerombolan Bayangan Iblis! Dialah yang telah menyuruh bunuh Pangeran Souw Han!”
Tentu saja ucapan Liong-li ini membuat semua mata memandang kepada Pangeran Souw Cun, termasuk mata kaisar dan permaisuri Bu Cek Thian.
“Bohong! Itu fitnah belaka. Seperti juga pangeran Kim Ngo Him, aku tidak tahu menahu tentang gerombolan...”
“Ha-ha-ha-ha!” Lam-hai Mo-ong tertawa memotong ucapan Pangeran Souw Cun. “Kalau sudah begini, perlu apa berpura-pura lagi, pangeran? Semua usaha dan cita-cita kita telah gagal, digagalkan oleh Hek-liong-li dan Pek-liong-eng. Kalau saja pangeran tidak menyuruh bunuh Pangeran Souw Han, belum tentu secepat ini kita mengalami kegagalan!”
Mendengar ucapan ini, Pangeran Souw Cun menjadi pucat sekali. “Tangkap pengkhianat itu!” Kaisar membentak marah.
Dan Pangeran Souw Cun terkulai lemas menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun kepada ayahnya. Namun, kaisar tetap memberi isyarat kepada para pengawal yang segera menangkap dan menyeret pangeran itu untuk ditawan. Bukan Pangeran Souw Cun saja yang dttangkap, bahkan seluruh keluarganya termasuk ibunya juga ditangkap.
“Nah, sekarang majulah, Kui-bo,” kata Liong-li.
Nenek itu memandang dengan mata mencorong, mata kehijauan yang seperti mata kucing, kemudian, tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak dan beberapa batang paku beracun menyambar ke arah tubuh Liong-li. Namun, wanita perkasa ini sudah tahu bahwa, Kui-bo mempunyai senjata rahasia paku beracun yang amat berbahaya, maka ia sudah siap siaga dan sekali Hek-liong-kiam di tangan kanan diputar, nampak gulungan sinar hitam dan semua paku itupun runtuh...