Pek-mau-sian Thio Ki tersenyum ramah. "Sicu (orang gagah), maafkan kalau kunjungan kami mengganggu. Saya bernama Thio Ki, dan dua orang teman saya ini bernama Tong Kui dan Louw Sun. Kami bertiga datang berkunjung dengan dua tugas."
"Aku tidak mengenal kalian dan tidak mempunyai urusan dengan kalian. Persetan dengan tugas kalian, tak ada sangkut pautnya dengan aku!" Se Jit Kong memotong dengan ketus pula.
"Justru kedua tugas kami ini mempunyai hubungan erat denganmu, sicu, sebagai akibat dari apa yang telah sicu lakukan."
Sepasang mata yang seperti mata harimau itu berkilat. Tak salah dugaannya, mereka ini tentu datang karena urusan pusaka-pusaka dari istana! Marahlah dia dan kalau saja di situ tidak ada isterinya, tentu tiga orang itu telah diterjangnya tanpa banyak peraturan lagi. Akan tetapi, ketika dia melirik ke arah isterinya, dia melihat isterinya sedang memandang kepadanya dan dalam pandang mata itu dia seperti melihat isterinya menggeleng kepala melarang dia membuat keributan.
“Kalian peduli apa dengan apa yang kulakukan? Cepat katakan apa urusan itu, tidak perlu bicara berbelit-belit seperti nenek-nenek yang bawel!" bentaknya.
"Heh-heh, Dewa Rambut Putih, percuma engkau menggunakan segala macam tata-susila saat menghadapi seorang kasar seperti Se Jit Kong ini. Katakan saja dengan singkat dan padat apa yang menjadi keperluan kita!" Si Dewa Arak mencela sambil tertawa.
Pek-mau-sian Thio Ki juga memperlebar senyumnya, dan seperti orang yang kegerahan dia membuka kipasnya lalu mengipasi tubuh bagian leher. Padahal sebenarnya dia bukan hanya mengipas untuk mencari angin, melainkan gerakan itu disertai kekuatan batin untuk menolak sihir yang diam-diam dilancarkan oleh Se Jit Kong untuk menyerangnya.
Tuan rumah ahli silat dan ahli sihir itu ingin memaksanya berbicara menurut kehendak hati Se Jit Kong yang tidak ingin mereka berbicara sesukanya di depan isterinya! Se Jit Kong merasa betapa kekuatan sihirnya buyar seperti asap yang disambar angin dari kipas.
"Hayo bicara, jangan seperti kanak-kanak!" bentaknya semakin penasaran dan marah.
"Dengarlah baik-baik, Se Jit Kong. Tugas kami yang pertama merupakan tugas yang kami terima dari Kaisar Kerajaan Beng-tiauw, dan inilah tanda kekuasaan yang telah diberikan kepada kami."
Dewa Rambut Putih segera mengeluarkan sebuah tek-pai (bambu tanda kuasa) kemudian memperlihatkannya kepada Se Jit Kong yang memandang sambil lalu saja. Dewa Rambut Putih menyimpan kembali tek-pai itu ke dalam saku bajunya.
"Ada pun tugas itu adalah untuk mencari dan merampas kembali benda-benda pusaka yang hilang dari gudang pusaka istana. Maka kami datang berkunjung dan minta kepada sicu untuk menyerahkan benda-benda pusaka itu kepada kami."
Ju Bi Ta memandang kepada suaminya dengan kedua mata terbelalak. "Ya Allah! Engkau mencuri pusaka dari istana kaisar? Kalau benar, kembalikan barang-barang haram itu!"
Se Jit Kong memandang kepada isterinya dan sungguh aneh, ketika dia berbicara, lenyap semua kekerasannya sehingga suaranya terdengar amat lembut. "Ju Bi Ta, harap engkau tidak mencampuri urusan ini."
Cepat dia menoleh kepada tiga orang tamunya. "Cepat katakan, apa tugas yang kedua supaya aku dapat segera memberi keputusan dan jawaban!"
Si Dewa Rambut Putih Thio Ki memandang dengan wajah cerah. Datuk besar yang amat jahat ini ternyata mempunyai kelemahan yang sama sekali tidak disangkanya, yaitu takut dan tunduk kepada isterinya yang muda dan cantik! Mungkin kelemahan datuk ini akan membuat tugas mereka semakin mudah dan ringan, kalau bisa bahkan tanpa kekerasan!
"Tugas kedua datang dari ketua-ketua partai persilatan, yaitu dari Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Bu-tong-pai yang minta bantuan kami agar mengundangmu menghadiri pertemuan yang akan mereka adakan, di mana sicu akan diminta untuk mempertanggung jawabkan kematian dan terlukanya banyak tokoh mereka."
Se Jit Kong mengepal sepasang tangannya, mukanya menjadi merah sekali dan matanya seperti memancarkan api, bahkan kedua tangannya pelan-pelan berubah menjadi merah seperti baja membara hingga mengepulkan uap putih! Akan tetapi, begitu melirik kepada isterinya, kemarahannya langsung menurun seperti api yang tidak mendapat udara, akan tetapi suaranya masih ketus ketika dia berkata kepada tiga orang tamunya.
"Untuk kedua urusan itu, jawabanku hanya satu. Aku mendapatkan benda-benda pusaka itu dengan kepandaianku. Kalau kalian ingin mendapatkannya, maka kalian harus mampu merampasnya dariku! Dan kedua, kalau kalian ingin membawa aku ke timur, kalian harus mampu meringkusku. Pendeknya, kalian bertiga harus dapat mengalahkan aku!"
"Heh-heh-heh, sudah kuduga. Berurusan dengan datuk sesat tak mungkin menggunakan cara damai," kata pula Dewa Arak dan tiga orang tosu itu sudah bangkit berdiri. Juga Se Jit Kong bangkit berdiri.
"Aku tidak menghendaki kalian membikin ribut di dalam rumah ini!" kata Ju Bi Ta dengan suara mengandung kekhawatiran.
Sedangkan Sin Wan hanya memandang saja. Diam-diam dia terkejut mendengar bahwa ayahnya sudah mencuri benda-benda pusaka dari istana kaisar. Kini tahulah dia bahwa benda-benda pusaka yang begitu dibanggakan ayahnya itu adalah barang-barang curian. Padahal ibunya selalu mengharamkan barang curian! Tentu hal itu dilakukan di luar tahu ibunya. Dan ayahnya sudah membunuh serta melukai para tokoh partai-partai persilatan besar sehingga kini mereka mengutus tiga orang tosu ini untuk menangkap ayahnya.
Pek-mau-sian Thio Ki menarik napas panjang. "Tidak ada jalan lain, Se Jit Kong, terpaksa kami menuruti keinginanmu. Kami akan mengalahkanmu agar engkau suka menyerahkan pusaka-pusaka istana itu dan ikut dengan kami menghadap para ketua partai persilatan. Akan tetapi kami menghormati isterimu dan kami tidak ingin membikin ribut di rumah ini, bahkan tidak ingin membikin ribut di kota ini. Kami akan menantimu di luar kota sebelah timur. Kami percaya bahwa Si Tangan Api bukan seorang pengecut yang melanggar janji dan melarikan diri."
Dia memberi isyarat kepada dua orang rekannya. Mereka memberi hormat kepada tuan rumah dan isterinya, lantas meninggalkan ruangan itu, keluar dari rumah dan terus keluar dari kota itu pula. Mereka berhenti menanti di luar kota sebelah timur yang amat sunyi.
"Biar kubereskan mereka. Aku pergi takkan lama," kata Se Jit Kong kepada isterinya dan dia pun melangkah pergi.
"Se Jit Kong, jangan bunuh mereka!” Ju Bi Ta berseru dan suaminya berhenti, menengok dan mengangguk, kemudian sekali berkelebat dia pun lenyap.
"Ibu, aku ingin menonton pertandingan itu," kata Sin Wan yang ingin melihat bagaimana ayahnya akan melawan tiga orang tosu itu.
"Jangan, Sin Wan. Untuk apa menonton orang berkelahi? Berkelahi merupakan perbuatan jahat. Antara sesama manusia harus saling mengasihi, bukan malah saling bermusuhan. Bermusuhan dan berkelahi hanya pekerjaan iblis."
Sin Wan merasa kecewa sekali, tetapi dia tidak berani membantah ibunya. Dia selalu taat kepada ibunya, seperti juga ayahnya. Hanya bedanya, kalau dia mentaati ibunya karena dia sayang dan kasihan kepada ibunya, tidak ingin menyakiti hati ibunya, sedangkan Se Jit Kong taat kepada isterinya karena takut isterinya marah kepadanya.
"Ibu, kalau ibu tidak berada di sana, bagaimana kalau nanti ayah lupa diri dan membunuh tiga orang tosu yang kelihatan sopan dan baik itu?" tiba-tiba Sin Wan berkata.
"Ah, engkau benar juga! Mari kita lihat ke sana, aku harus mencegah ayahmu melakukan pembunuhan lagi!"
Ju Bi Ta lalu menggandeng tangan puteranya dan diam-diam Sin Wan tersenyum girang. Mereka berjalan secepatnya menuju ke timur, keluar dari kota Yin-ning.
"Tosu-tosu lancang, sombong dan busuk. Apakah kalian telah bosan hidup semua? Tidak tahukah kalian siapa aku?!"
Sekarang, sesudah hanya seorang diri saja berhadapan dengan tiga orang tosu itu, Se Jit Kong segera menumpahkan seluruh kemarahannya. Isterinya tidak ada iagi di situ untuk mengendalikannya.
"Heh... heh... heh, Se Jit Kong. Tentu saja kami tahu benar siapa engkau. Engkau adalah Se Jit Kong, peranakan Uigur yang berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, akan tetapi menjadi hamba iblis dan tidak pantang melakukan segala macam kejahatan demi mencari nama besar dan harta kekayaan. Engkau berjuluk Si Tangan Api, Iblis Tangan Api karena engkau memiliki ilmu yang membuat dua tanganmu mengandung panasnya api. Engkau sudah mengacau di timur, mencuri benda-benda pusaka dari istana, membunuh banyak tokoh pendekar, mengalahkan para pimpinan partai persilatan, dan mengaduk-aduk dunia persilatan dengan kekejaman dan kecongkakanmu," kata Ciu-sian Tong Kui.
"Engkau pun seorang ahli pedang yang sukar dikalahkan. Entah berapa ratus orang roboh oleh tangan dan pedangmu. Entah berapa banyak darah yang telah diminum pedangmu. Engkau bukan manusia, melainkan iblis sendiri, maka engkau harus bertanggung jawab terhadap para pimpinan partai-partai persilatan besar," kata Kiam-sian Louw Sun.
"Se Jit Kong, dengan menggunakan sihir engkau telah mencuri benda-benda pusaka dari gudang pusaka istana. Sungguh engkau berdosa besar, bukan saja terhadap kaisar, akan tetapi juga terhadap negara dan bangsa. Baru saja Kaisar Thai-cu sudah membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah Mongol. Sepatutnya kita berterima kasih dan bersuka ria. Akan tetapi engkau bahkan mengganggu dengan pencurian pusaka. Engkau memang keturunan bangsa biadab yang tidak mengenal terima kasih." Pek-mau-sian Thio Ki yang biasanya halus itu pun kini mencela dengan kata-kata yang keras.
Hal ini tidaklah mengherankan. Pemimpin rakyat Cu Goan Ciang yang berasal dari rakyat petani biasa, telah berhasil memberontak terhadap pemerintah Mongol, bahkan kemudian berhasil menghancurkan dan menghalau penjajah Mongol yang sudah menguasai daratan Cina selama seratus tahun. Tentu saja Cu Goan Ciang dianggap pahlawan besar ketika dia mendirikan Kerajaan Beng-tiauw dan menjadi kaisarnya yang pertama berjuluk Kaisar Thai-cu (1368-1398).
Sekarang giliran Se Jit Kong yang tertawa bergelak dan suara tawanya itu amat dahsyat, karena bukan saja mengandung tenaga khikang yang hebat, juga mengandung kekuatan sihir yang membuat tiga orang tosu itu harus mengerahkan sinkang (tenaga sakti) mereka untuk melindungi diri agar tidak terpengaruh.
"Ha-ha-ha-ha, kalian tiga orang tosu jahanam. Sudah tahu betapa semua pimpinan partai persilatan besar tidak ada yang mampu menandingiku, akan tetapi kalian tiga orang tosu tak ternama berani mencariku sampai ke sini! Ha-ha-ha, kalau mencari mampus, kenapa susah-susah dan jauh-jauh sampai ke sini?"
Tentu saja Se Jit Kong belum tahu bahwa dia berhadapan dengan tiga orang sakti yang selama puluhan tahun memang tidak pernah muncul di dunia persilatan sehingga ketika dia merajalela di timur, dia tidak pernah mendengar nama mereka. Akan tetapi dia merasa terkejut juga ketika melihat betapa tiga orang tosu itu tenang-tenang saja dan sama sekali tak terpengaruh oleh suaranya yang dahsyat tadi. Padahal tidak banyak orang yang akan sanggup bertahan, baik terhadap pengaruh khikang maupun ilmu sihir yang terkandung di dalam tawanya tadi.
"Se Jit Kong, ketahuilah bahwa kami tidak biasa dan tidak suka membunuh orang. Oleh karena itu mari kita membuat perjanjian. Kalau kami kalah bertanding denganmu, terserah kepadamu mau diapakan kami ini. Kalau engkau hendak membunuh kami pun terserah. Kami tahu akan resiko tugas kami. Akan tetapi apa bila engkau yang kalah, maka engkau harus menyerahkan kembali semua pusaka istana yang telah kau curi, dan engkau harus dengan suka rela ikut bersama kami untuk menghadap para pimpinan partai persilatan," kata Pek-mau-sian Thio Ki.
"Bagus! Kalian memang sudah bosan hidup. Nah, kalian hendak maju satu demi satu atau dengan keroyokan? Bagiku sama saja!"
Ucapan ini saja sudah menunjukkan watak yang takabur dari datuk itu. Akan tetapi di balik itu juga mengandung kecerdikan sebab ucapan itu kalau diterima oleh orang-orang yang merasa diri mereka mempunyai ilmu kepandaian tinggi, tentu akan mendatangkan perasaan malu dan tidak enak untuk maju bersama dan melakukan pengeroyokan.
"Kami bukan orang-orang pengecut yang suka main keroyokan, Se Jit Kong,” jawab Dewa Rambut Putih. “Kami mendengar bahwa engkau menguasai tiga ilmu yang hebat. Pertama ilmu silat tangan kosong serta ginkang dan sinkang yang sukar dicari bandingnya. Kedua, engkau adalah ahli pedang yang hebat pula. Dan ketiga, engkau memiliki Ilmu sihir yang kuat. Nah, kau akan kami imbangi dengan ilmu-ilmu itu. Pertama, engkau akan ditandingi Dewa Arak dalam ilmu silat tangan kosong. Kedua, engkau akan dihadapi Dewa Pedang dalam ilmu pedang, dan terakhir, aku sendiri yang akan mencoba kekuatan sihirmu. Kalau dua orang di antara kita kalah, biarlah kami mengaku kalah. Bagaimana pendapatmu?”
Tentu saja syarat ini sangat menguntungkan bagi Se Jit Kong. Dia tidak dikeroyok, dan kalau dapat mengalahkan dua orang, biar pun andai kata yang seorang menang, dia tetap keluar sebagai pemenang.
"Bagus! Nah, majulah kau tosu pemabok! Aku akan membuat perut gendutmu menjadi kempis!" ejeknya sambil menghadapi Ciu-sian Tong Kui.
"Heh-heh-heh-heh, perut ini berisi hawa arak, bagaimana engkau akan mampu membikin kempis tanpa terkena gasnya? Heh-heh-heh!" Biar pun dia membadut, namun Dewa Arak tidak pernah lengah karena dia maklum bahwa sekarang dia sedang berhadapan dengan seorang datuk sesat yang amat lihai dan licik.
Benar saja! Belum habis dia tertawa, tubuh tinggi besar itu sudah menyerangnya secara curang dan dahsyat sekali. Kalau saja dia tadi lengah dan belum siap siaga, setidaknya serangan itu tentu akan membuat Dewa Arak kelabakan!
Akan tetapi dia sudah siap siaga. Dengan cepat kakinya bergeser secara aneh dan cepat sekali, dan dia pun telah berhasil menghindarkan diri dari terkaman lawan, bahkan sambil memutar tubuh dia segera membalas dengan totokan ke arah lambung lawan.
Se Jit Kong menangkis sambil mengerahkan sinkang. Ia ingin mematahkan tulang lengan lawan, juga hendak mengukur sampai di mana kekuatan sinkang lawannya yang memiliki gerakan aneh dan seperti ugal-ugalan itu.
Dewa Arak justru mengharapkan tangkisan lawan karena dia pun ingin mengadu sinkang. Bukankah mereka berdua memang bertanding untuk mengadu sinkang dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sambil menguji pula ilmu silat tangan kosong masing-masing?
"Dukkkk!" Keduanya terdorong ke belakang. Se Jit Kong terdorong sampai tiga langkah, sedangkan Dewa Arak terdorong ke belakang dua langkah. Dari hasil adu tenaga ini saja sudah dapat diketahui bahwa Dewa Arak masih lebih kuat sedikit!
Tentu saja Se Jit Kong menjadi terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa lawan yang perutnya cacingan ini mempunyai tenaga yang sedemikian kuatnya. Dia tidak tahu bahwa Ciu-sian Tong Kui adalah seorang ahli sinkang yang sudah menguasai Thian-te Sinkang (Tenaga Sakti Langit Bumi)!
Dia mangeluarkan teriakan marah dan kini dia mengandalkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) untuk menyerang lawan. Gerakannya amat cepat hingga tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar.
Namun kembali Dewa Arak mengeluarkan suara tawanya yang nyaring, kemudian dia pun mengimbangi dengan gerakan kaki yang berloncatan atau bergeser, dan semua serangan lawan dapat dielakkannya. Kalau gerakan lawan sangat cepat, gerakannya sendiri begitu aneh, seakan-akan setiap gerakan kaki yang bergeser ke sana sini atau berloncatan itu seperti sepasang kaki burung yang amat lincahnya. Dan memang si gendut ini menguasai ilmu meringankan tubuh atau ilmu langkah ajaib yang diberi nama Hui-niauw Poan-soan (Burung Terbang Berputaran).
Pada saat itu Ju Bi Ta dan Sin Wan sudah berada tidak jauh dari situ, menjadi penonton pertandingan. Hanya mereka berdualah yang menjadi penonton sebab tempat itu sepi dan tidak ada orang lain yang berada di situ. Ju Bi Ta sengaja berdiri di tempat terbuka agar suaminya dapat melihatnya. Dia ingin agar suaminya tahu akan kehadirannya sehingga suaminya tidak akan bertindak keterlaluan, tidak akan melakukan pembunuhan seperti yang telah dipesannya tadi.
Dan memang Se Jit Kong telah melihat kehadiran isterinya dan puteranya. Tentu saja hal ini membuat dia kurang leluasa bergerak. Biasanya, kalau bertanding, apa lagi melawan seorang yang demikian lihainya, dia akan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk membunuh lawan. Akan tetapi sekarang isterinya hadir dan tadi isterinya berpesan agar dia tidak membunuh tiga orang tosu itu!
Hal ini membuat serangannya tidak begitu ganas lagi. Dia hanya ingin merobohkan dan mengalahkan lawan, tidak mau membunuhnya karena kalau hal ini terjadi, isterinya tentu akan marah. Semenjak dia memperisteri Ju Bi Ta, dia begitu sayang kepada isterinya. Ia merasa amat berbahagia kalau isterinya bersikap manis kepadanya, akan tetapi sorga berubah menjadi neraka baginya kalau isterinya marah dan tidak menyambutnya dengan manis.
Setiap orang pria yang normal, siapa pun dia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, dari kaisar sampai buruh kecil, yang sudah dewasa, pasti mempunyai suatu kerinduan akan seorang wanita yang dapat dicintanya dengan sepenuh hati. Seorang wanita yang akan membangkitkan kejantanannya, yang akan berbahagia oleh cintanya, seperti tanah subur bagi benih cintanya yang akan bersemi dan tumbuh dengan suburnya. Pria akan selalu merasa bangga kalau ada wanita yang menghargai cintanya, membuat dia merasa jantan, perkasa dan mampu membahagiakan wanita.
Demikian pula dengan Se Jit Kong. Biar pun dia seorang datuk besar kaum sesat, dia pun seorang pria normal. Sudah kerap kali dia menikah, namun selalu pernikahannya gagal, walau pun kegagalan ini disebabkan oleh wataknya sendiri yang kasar dan kejam.
Akan tetapi, sejak dia memperisteri Ju Bi Ta kurang lebih sebelas tahun yang silam, atau sepuluh tahun lebih, dia benar-benar menemukan seorang wanita yang memenuhi segala keinginannya. Karena itu dia pun takut akan kehilangan sikap isterinya, dan ini membuat dia menjadi taat karena takut kalau isterinya marah kepadanya.
Tentu saja keadaan Se Jit Kong yang demikian itu menguntungkan Dewa Arak. Memang ilmu silat tangan kosong, ilmu meringankan tubuh serta tenaga sakti mereka berimbang, atau Dewa Arak lebih menang sedikit. Dengan kehadiran Ju Bi Ta yang membuat Se Jit Kong tidak leluasa bergerak, kini kedudukan Dewa Arak menjadi lebih unggul.
Akan tetapi sebaliknya, Dewa Arak juga tidak ingin membunuh datuk besar itu. Meski dia adalah seorang yang berwatak riang gembira dan ugal-ugalan seperti orang yang selalu mabuk arak, namun dia adalah seorang pertapa yang sudah melepaskan nafsu-nafsunya, terutama sekali nafsu ingin menang dan nafsu membenci dan ingin mencelakai orang lain. Dia tidak mau membunuh, bahkan kalau bisa hanya menangkan pertandingan itu tanpa membuat lawan terluka parah.
Lima puluh jurus sudah lewat, dan pertandingan tangan kosong itu berlangsung semakin seru dan hebat. Biar pun mereka berdiri agak jauh namun Ju Bi Ta dan Sin Wan masih dapat merasakan sambaran angin pukulan yang membuat ranting-ranting pohon di sekitar tempat itu seperti diamuk angin kuat, bahkan daun-daun kering yang berserakan di bawah beterbangan ketika dua pasang kaki itu bergerak dan berloncatan dengan amat cepatnya!
Sukar bagi Ju Bi Ta untuk membedakan mana suaminya dan mana orang lain dari dua bayangan yang berkelebatan itu. Sin Wan yang sejak berusia lima tahun telah digembleng ilmu oleh ayahnya, sudah dilatih siu-lian (semedhi) sehingga mempunyai pandangan yang tajam, biar pun dapat mengikuti gerakan mereka, tetap saja dia tidak dapat menilai siapa yang mendesak dan siapa yang terdesak. Gerakan mereka terlalu cepat.
Namun diam-diam Se Jit Kong mengeluh. Kedua lengannya sudah berubah merah seperti baja membara, dan dia sudah mengeluarkan ilmu silatnya, akan tetapi lawannya sungguh tangguh. Lengannya yang mengandung hawa panas membakar itu bertemu dengan dua lengan yang kadang keras kadang lunak, akan tetapi selalu dingin dan tidak terbakar oleh tangan apinya!
Tahulah dia bahwa kalau pertandingan itu terus diianjutkan, andai kata dia tidak kalah pun dia akan kebabisan tenaga, padahal dia masih harus bertanding melawan dua orang lagi yang tentu juga amat lihai seperti Si Dewa Arak ini. Maka dia mulai ragu-ragu.
Dewa Arak melihat keraguannya ini dan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia lalu mengerahkan llmu ginkang-nya dan kakinya bergeser aneh ke depan, bahkan seolah-olah hendak menerima tamparan tangan kanan Se Jit Kong yang melayang dari atas ke arah kepalanya. Tapi secepat kilat tubuhnya mendadak menyelinap ke bawah dan tiba-tiba Se Jit Kong terhuyung ke belakang karena lambungnya sudah didorong oleh telapak tangan Dewa Arak.
Kalau Dewa Arak menghendaki, dorongan itu dapat saja menjadi pukulan maut yang akan merusak isi perut lawan. Akan tetapi dia hanya mendorong dan membuat lawan terhuyung saja untuk membuktikan bahwa dia sudah memenangkan pertandingan itu.
Tetapi Se Jit Kong bukanlah orang yang mau mengaku kalah begitu saja. Bahkan selama hidupnya belum pernah dia mengaku kalah! Semenjak berguru kepada seorang pertapa sakti di India, dia merasa dirinya tidak terkalahkan, bahkan dia tidak pernah mau percaya bahwa dia dapat dikalahkan!
Kesombongan adalah penyakit yang selalu menyeret kita ke alam pikiran sesat. Nafsu daya rendah yang mencengkeram hati dan akal pikiran kita mendorong kita untuk merasa bahwa kita ini yang paling pandai, paling benar, paling baik dan paling segala! Kalau kita pandai, kita membanggakan pikiran kita, kalau kita kuat, kita membanggakan tubuh kita. Kita selalu lupa bahwa kita ini hanya alat!
Seluruh tubuh, hati serta akal pikiran ini hanyalah alat untuk hidup sebagai manusia, alat yang semula dimaksudkan untuk mengabdi kepada jiwa yang menjadi penghuni diri kita. Tetapi sayang, alat-alat itu kemudian digelimangi nafsu daya rendah sehingga kita dibawa menyeleweng.
Alat-alat yang seharusnya dipergunakan oleh jiwa telah diambil alih oleh nafsu, diperalat oleh nafsu sehingga apa pun yang dilakukan tubuh, hati dan akal pikiran selalu ditujukan untuk memuaskan nafsu daya rendah. Nafsu daya rendah atau setan ini selalu mengejar kesenangan, memperalat dan menyelewengkan kita sehingga membawa pula kita kepada kesombongan diri, kebencian, iri hati, ketakutan, kemurkaan, dan sebagainya.
Kalau kita melakukan sesuatu, kita menjadi bangga dan menganggap bahwa kita yang pandai! Kita lupa bahwa kepandaian yang berada di dalam kepala kita itu hanya alat-alat belaka, terdiri dari sel-sel otak, darah dan syaraf. Ada sedikit saja kerusakan pada alat itu, ada satu saja syaraf lembut itu yang putus, maka akan sirnalah seluruh kepandaian yang kita banggakan semula!
Demikian pula kekuatan pada tubuh. Kita membanggakan tubuh kita yang kuat. Padahal tubuh pun hanya merupakan alat dan ada sedikit saja kerusakan pada tubuh, kekuatan yang dibanggakan itu pun sirna. Jelas bahwa kita pandai karena kita diberi kepandaian, kita kuat karena diberi kekuatan!
Kita lupa bahwa ADA yang memberi! Setan sudah membisikkan kesombongan kepada kita sehingga kita lupa kepada SANG PEMBERI. Orang yang sadar akan hal ini takkan berani memuji diri sendiri yang hanya merupakan alat, melainkan memuji kepada SANG PEMBERI yang telah memberikan semua itu kepada kita sebagai alat, memuji kepada SANG PEMBERI atau Tuhan Yang Maha Kasih, Allah Yang Maha Esa!
Karena merasa terdesak, sebelum dirobohkan Se Jit Kong sudah meloncat lagi dan kini tangannya memegang sebatang pedang terhunus yang mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya. Itulah Gin-kong Pokiam (Pedang Pusaka Sinar Perak), sebuah di antara benda pusaka yang dicurinya dari gudang pusaka istana.
"Tranggg...!" Sebatang pedang lain menangkis pedang bersinar perak yang menyambar ke arah Dewa Arak. Ternyata Dewa Pedang telah meloncat dan menangkis pedang yang menyambar ke arah rekannya itu.
Kini Dewa Pedang dan Se Jit Kong saling berhadapan dengan pedang di tangan. Pedang di tangan Dewa Pedang juga mengeluarkan sinar kekuningan. Pedang itu pun merupakan sebuah pedang pusaka ampuh yang bernama Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari).
"Heh-heh-heh-heh, Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong, engkau sudah kalah dalam pertandingan pertama denganku! Lihat saja baju di lambungmu," kata Dewa Arak yang sudah meloncat jauh ke belakang, mengambil guci araknya dan minum arak dari gucinya beberapa teguk.
Se Jit Kong maklum akan kebenaran ucapan itu, maka dia tidak mau lagi melirik ke arah baju di lambungnya yang berlubang sebesar telapak tangan lawan. Ia pun maklum bahwa jika tadi Dewa Arak menghendaki, tentu bukan hanya bajunya yang berlubang, melainkan lambungnya dan tentu dia telah tewas.
Akan tetapi dia tidak mau bicara tentang itu, hanya diam-diam dia merasa heran mengapa ada orang setolol itu, mendapat kesempatan baik tapi tak mau menggunakannya! Karena merasa kalah dalam pertandingan pertama, dia hendak mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk memenangkan dua pertandingan yang lain.
Dia merasa yakin akan menang karena dia memiliki ilmu pedang yang hebat, campuran dari ilmu pedang Bangsa Kasak yang ahli bertempur itu dengan ilmu pedang dari India. Dia sudah mengolah ilmu-ilmu yang dikuasai itu menjadi ilmu pedang yang ampuh sekali, yang selama ini belum terkalahkan.
Ketika dia mengadu ilmu pedang dengan tokoh Kun-lun-pai, kemudian tokoh Bu-tong-pai, walau pun dia tidak mampu menang dan hanya dapat mengimbangi ilmu pedang lawan, namun dia pun tidak dikalahkan. Dan dia menang dalam perkelahian itu dengan bantuan ilmu sihirnya dan ilmu pukulan Tangan Api.
"Hyaaaatttt...!" Se Jit Kong mengeluarkan bentakan lantang dan pedangnya segera menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia telah kalah dalam pertandingan pertama tadi, kini dia melupakan pesan isterinya, lupa bahwa isterinya berada tak jauh dari situ menjadi penonton. Dia tidak peduli lagi karena kalau dia tidak mampu menang berarti dia kalah dan dia harus menepati janjinya.
Menyerahkan kembali pusaka-pusaka itu tak begitu besar artinya bagi dia, tetapi kalau dia menyerah untuk ditangkap dan dibawa ke timur, hal itu sungguh merupakan penghinaan besar dan juga belum tentu para tokoh partai persilatan itu akan suka memaafkannya. Dia pasti akan dihukum mati oleh mereka! Maka dia harus memenangkan dua pertandingan berikutnya dan dia akan mamaksakan kemenangan itu, kalau. perlu membunuh lawannya!
Dari gerakan serangan itu tahulah Kiam-sian Louw Sun bahwa lawannya sudah nekat dan mengirim serangan maut. Maka dia pun segera memutar Jit-kong-kiam untuk melindungi tubuhnya, kemudian membalas dengan tidak kalah dahsyatnya.
Dua orang ahli pedang itu segera terlibat dalam pertandingan yang lebih menegangkan dari pada tadi, karena kini kedua pedang itu berkelebatan, lenyap bentuknya menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata, saling belit dan merupakan kilat yang membawa maut.
Ilmu pedang yang dimainkan Se Jit Kong memang aneh sekali dan juga amat berbahaya. Akan tetapi sekali ini dia menghadapi seorang ahli pedang yang sakti, bahkan mempunyai julukan Dewa Pedang. Dari julukannya saja mudah diketahui bahwa tentu Dewa Pedang memiliki ilmu pedang yang sudah mencapai tingkat yang amat tlnggi.
Apa lagi pedang di tangan tosu yang sakti itu juga merupakan pedang pusaka ampuh. Kalau Se Jit Kong tidak memegang pedang pusaka dari gudang istana kaisar, pedang lain tentu akan mudah patah kalau bertemu dengan Jit-kong-kiam.
llmu pedang yang dimainkan Dewa Pedang itu di samping cepat juga mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, dapat menekan, membelit dan menempel. Itulah Ilmu pedang Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang cahaya Matahari) yang selama ini belum terkalahkan.
Dua orang itu memang satu tingkat. Pedang mereka sama-sama kuat dan ampuh sebagai pedang pusaka pilihan. Ilmu pedang mereka pun dahsyat dan aneh, sedangkan dalam hal tenaga, mereka pun seimbang. Sampai seratus jurus lebih, belum juga ada yang nampak kalah atau menang.
Mereka saling serang sambil mengerahkan segala kemampuan dan tenaga mereka. Sinar pedang menyambar-nyambar dengan suara berdesing-desing dan kadang kala bercuitan. Daun-daun pohon di dekat mereka berhamburan seperti disayat-sayat.
Sejak tadi Ju Bi Ta dan Sin Wan melihat pertandingan dengan hati tegang. Sin Wan mulai merasa khawatir. Biar pun tidak main keroyokan seperti belasan orang beberapa hari yang lalu, akan tetapi tiga orang yang menjadi lawan ayahnya itu masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak kalah oleh ayahnya.
Tadi pun ketika selesai bertanding tangan kosong dengan tosu berperut gendut, Sin Wan melihat betapa baju ayahnya pada bagian lambung berlubang sebesar telapak tangan. Dia mengerti bahwa hal itu menjadi pertanda bahwa ayahnya teiah kalah, dan dia pun kagum bahwa si pemenang itu tidak membunuh ayahnya, bahkan melukainya pun tidak. Dan kini orang kedua dapat memainkan pedang sedemikian cepatnya sehingga bisa mengimbangi permainan ayahnya...
"Aku tidak mengenal kalian dan tidak mempunyai urusan dengan kalian. Persetan dengan tugas kalian, tak ada sangkut pautnya dengan aku!" Se Jit Kong memotong dengan ketus pula.
"Justru kedua tugas kami ini mempunyai hubungan erat denganmu, sicu, sebagai akibat dari apa yang telah sicu lakukan."
Sepasang mata yang seperti mata harimau itu berkilat. Tak salah dugaannya, mereka ini tentu datang karena urusan pusaka-pusaka dari istana! Marahlah dia dan kalau saja di situ tidak ada isterinya, tentu tiga orang itu telah diterjangnya tanpa banyak peraturan lagi. Akan tetapi, ketika dia melirik ke arah isterinya, dia melihat isterinya sedang memandang kepadanya dan dalam pandang mata itu dia seperti melihat isterinya menggeleng kepala melarang dia membuat keributan.
“Kalian peduli apa dengan apa yang kulakukan? Cepat katakan apa urusan itu, tidak perlu bicara berbelit-belit seperti nenek-nenek yang bawel!" bentaknya.
"Heh-heh, Dewa Rambut Putih, percuma engkau menggunakan segala macam tata-susila saat menghadapi seorang kasar seperti Se Jit Kong ini. Katakan saja dengan singkat dan padat apa yang menjadi keperluan kita!" Si Dewa Arak mencela sambil tertawa.
Pek-mau-sian Thio Ki juga memperlebar senyumnya, dan seperti orang yang kegerahan dia membuka kipasnya lalu mengipasi tubuh bagian leher. Padahal sebenarnya dia bukan hanya mengipas untuk mencari angin, melainkan gerakan itu disertai kekuatan batin untuk menolak sihir yang diam-diam dilancarkan oleh Se Jit Kong untuk menyerangnya.
Tuan rumah ahli silat dan ahli sihir itu ingin memaksanya berbicara menurut kehendak hati Se Jit Kong yang tidak ingin mereka berbicara sesukanya di depan isterinya! Se Jit Kong merasa betapa kekuatan sihirnya buyar seperti asap yang disambar angin dari kipas.
"Hayo bicara, jangan seperti kanak-kanak!" bentaknya semakin penasaran dan marah.
"Dengarlah baik-baik, Se Jit Kong. Tugas kami yang pertama merupakan tugas yang kami terima dari Kaisar Kerajaan Beng-tiauw, dan inilah tanda kekuasaan yang telah diberikan kepada kami."
Dewa Rambut Putih segera mengeluarkan sebuah tek-pai (bambu tanda kuasa) kemudian memperlihatkannya kepada Se Jit Kong yang memandang sambil lalu saja. Dewa Rambut Putih menyimpan kembali tek-pai itu ke dalam saku bajunya.
"Ada pun tugas itu adalah untuk mencari dan merampas kembali benda-benda pusaka yang hilang dari gudang pusaka istana. Maka kami datang berkunjung dan minta kepada sicu untuk menyerahkan benda-benda pusaka itu kepada kami."
Ju Bi Ta memandang kepada suaminya dengan kedua mata terbelalak. "Ya Allah! Engkau mencuri pusaka dari istana kaisar? Kalau benar, kembalikan barang-barang haram itu!"
Se Jit Kong memandang kepada isterinya dan sungguh aneh, ketika dia berbicara, lenyap semua kekerasannya sehingga suaranya terdengar amat lembut. "Ju Bi Ta, harap engkau tidak mencampuri urusan ini."
Cepat dia menoleh kepada tiga orang tamunya. "Cepat katakan, apa tugas yang kedua supaya aku dapat segera memberi keputusan dan jawaban!"
Si Dewa Rambut Putih Thio Ki memandang dengan wajah cerah. Datuk besar yang amat jahat ini ternyata mempunyai kelemahan yang sama sekali tidak disangkanya, yaitu takut dan tunduk kepada isterinya yang muda dan cantik! Mungkin kelemahan datuk ini akan membuat tugas mereka semakin mudah dan ringan, kalau bisa bahkan tanpa kekerasan!
"Tugas kedua datang dari ketua-ketua partai persilatan, yaitu dari Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Bu-tong-pai yang minta bantuan kami agar mengundangmu menghadiri pertemuan yang akan mereka adakan, di mana sicu akan diminta untuk mempertanggung jawabkan kematian dan terlukanya banyak tokoh mereka."
Se Jit Kong mengepal sepasang tangannya, mukanya menjadi merah sekali dan matanya seperti memancarkan api, bahkan kedua tangannya pelan-pelan berubah menjadi merah seperti baja membara hingga mengepulkan uap putih! Akan tetapi, begitu melirik kepada isterinya, kemarahannya langsung menurun seperti api yang tidak mendapat udara, akan tetapi suaranya masih ketus ketika dia berkata kepada tiga orang tamunya.
"Untuk kedua urusan itu, jawabanku hanya satu. Aku mendapatkan benda-benda pusaka itu dengan kepandaianku. Kalau kalian ingin mendapatkannya, maka kalian harus mampu merampasnya dariku! Dan kedua, kalau kalian ingin membawa aku ke timur, kalian harus mampu meringkusku. Pendeknya, kalian bertiga harus dapat mengalahkan aku!"
"Heh-heh-heh, sudah kuduga. Berurusan dengan datuk sesat tak mungkin menggunakan cara damai," kata pula Dewa Arak dan tiga orang tosu itu sudah bangkit berdiri. Juga Se Jit Kong bangkit berdiri.
"Aku tidak menghendaki kalian membikin ribut di dalam rumah ini!" kata Ju Bi Ta dengan suara mengandung kekhawatiran.
Sedangkan Sin Wan hanya memandang saja. Diam-diam dia terkejut mendengar bahwa ayahnya sudah mencuri benda-benda pusaka dari istana kaisar. Kini tahulah dia bahwa benda-benda pusaka yang begitu dibanggakan ayahnya itu adalah barang-barang curian. Padahal ibunya selalu mengharamkan barang curian! Tentu hal itu dilakukan di luar tahu ibunya. Dan ayahnya sudah membunuh serta melukai para tokoh partai-partai persilatan besar sehingga kini mereka mengutus tiga orang tosu ini untuk menangkap ayahnya.
Pek-mau-sian Thio Ki menarik napas panjang. "Tidak ada jalan lain, Se Jit Kong, terpaksa kami menuruti keinginanmu. Kami akan mengalahkanmu agar engkau suka menyerahkan pusaka-pusaka istana itu dan ikut dengan kami menghadap para ketua partai persilatan. Akan tetapi kami menghormati isterimu dan kami tidak ingin membikin ribut di rumah ini, bahkan tidak ingin membikin ribut di kota ini. Kami akan menantimu di luar kota sebelah timur. Kami percaya bahwa Si Tangan Api bukan seorang pengecut yang melanggar janji dan melarikan diri."
Dia memberi isyarat kepada dua orang rekannya. Mereka memberi hormat kepada tuan rumah dan isterinya, lantas meninggalkan ruangan itu, keluar dari rumah dan terus keluar dari kota itu pula. Mereka berhenti menanti di luar kota sebelah timur yang amat sunyi.
"Biar kubereskan mereka. Aku pergi takkan lama," kata Se Jit Kong kepada isterinya dan dia pun melangkah pergi.
"Se Jit Kong, jangan bunuh mereka!” Ju Bi Ta berseru dan suaminya berhenti, menengok dan mengangguk, kemudian sekali berkelebat dia pun lenyap.
"Ibu, aku ingin menonton pertandingan itu," kata Sin Wan yang ingin melihat bagaimana ayahnya akan melawan tiga orang tosu itu.
"Jangan, Sin Wan. Untuk apa menonton orang berkelahi? Berkelahi merupakan perbuatan jahat. Antara sesama manusia harus saling mengasihi, bukan malah saling bermusuhan. Bermusuhan dan berkelahi hanya pekerjaan iblis."
Sin Wan merasa kecewa sekali, tetapi dia tidak berani membantah ibunya. Dia selalu taat kepada ibunya, seperti juga ayahnya. Hanya bedanya, kalau dia mentaati ibunya karena dia sayang dan kasihan kepada ibunya, tidak ingin menyakiti hati ibunya, sedangkan Se Jit Kong taat kepada isterinya karena takut isterinya marah kepadanya.
"Ibu, kalau ibu tidak berada di sana, bagaimana kalau nanti ayah lupa diri dan membunuh tiga orang tosu yang kelihatan sopan dan baik itu?" tiba-tiba Sin Wan berkata.
"Ah, engkau benar juga! Mari kita lihat ke sana, aku harus mencegah ayahmu melakukan pembunuhan lagi!"
Ju Bi Ta lalu menggandeng tangan puteranya dan diam-diam Sin Wan tersenyum girang. Mereka berjalan secepatnya menuju ke timur, keluar dari kota Yin-ning.
********************
"Tosu-tosu lancang, sombong dan busuk. Apakah kalian telah bosan hidup semua? Tidak tahukah kalian siapa aku?!"
Sekarang, sesudah hanya seorang diri saja berhadapan dengan tiga orang tosu itu, Se Jit Kong segera menumpahkan seluruh kemarahannya. Isterinya tidak ada iagi di situ untuk mengendalikannya.
"Heh... heh... heh, Se Jit Kong. Tentu saja kami tahu benar siapa engkau. Engkau adalah Se Jit Kong, peranakan Uigur yang berhasil mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi, akan tetapi menjadi hamba iblis dan tidak pantang melakukan segala macam kejahatan demi mencari nama besar dan harta kekayaan. Engkau berjuluk Si Tangan Api, Iblis Tangan Api karena engkau memiliki ilmu yang membuat dua tanganmu mengandung panasnya api. Engkau sudah mengacau di timur, mencuri benda-benda pusaka dari istana, membunuh banyak tokoh pendekar, mengalahkan para pimpinan partai persilatan, dan mengaduk-aduk dunia persilatan dengan kekejaman dan kecongkakanmu," kata Ciu-sian Tong Kui.
"Engkau pun seorang ahli pedang yang sukar dikalahkan. Entah berapa ratus orang roboh oleh tangan dan pedangmu. Entah berapa banyak darah yang telah diminum pedangmu. Engkau bukan manusia, melainkan iblis sendiri, maka engkau harus bertanggung jawab terhadap para pimpinan partai-partai persilatan besar," kata Kiam-sian Louw Sun.
"Se Jit Kong, dengan menggunakan sihir engkau telah mencuri benda-benda pusaka dari gudang pusaka istana. Sungguh engkau berdosa besar, bukan saja terhadap kaisar, akan tetapi juga terhadap negara dan bangsa. Baru saja Kaisar Thai-cu sudah membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah Mongol. Sepatutnya kita berterima kasih dan bersuka ria. Akan tetapi engkau bahkan mengganggu dengan pencurian pusaka. Engkau memang keturunan bangsa biadab yang tidak mengenal terima kasih." Pek-mau-sian Thio Ki yang biasanya halus itu pun kini mencela dengan kata-kata yang keras.
Hal ini tidaklah mengherankan. Pemimpin rakyat Cu Goan Ciang yang berasal dari rakyat petani biasa, telah berhasil memberontak terhadap pemerintah Mongol, bahkan kemudian berhasil menghancurkan dan menghalau penjajah Mongol yang sudah menguasai daratan Cina selama seratus tahun. Tentu saja Cu Goan Ciang dianggap pahlawan besar ketika dia mendirikan Kerajaan Beng-tiauw dan menjadi kaisarnya yang pertama berjuluk Kaisar Thai-cu (1368-1398).
Sekarang giliran Se Jit Kong yang tertawa bergelak dan suara tawanya itu amat dahsyat, karena bukan saja mengandung tenaga khikang yang hebat, juga mengandung kekuatan sihir yang membuat tiga orang tosu itu harus mengerahkan sinkang (tenaga sakti) mereka untuk melindungi diri agar tidak terpengaruh.
"Ha-ha-ha-ha, kalian tiga orang tosu jahanam. Sudah tahu betapa semua pimpinan partai persilatan besar tidak ada yang mampu menandingiku, akan tetapi kalian tiga orang tosu tak ternama berani mencariku sampai ke sini! Ha-ha-ha, kalau mencari mampus, kenapa susah-susah dan jauh-jauh sampai ke sini?"
Tentu saja Se Jit Kong belum tahu bahwa dia berhadapan dengan tiga orang sakti yang selama puluhan tahun memang tidak pernah muncul di dunia persilatan sehingga ketika dia merajalela di timur, dia tidak pernah mendengar nama mereka. Akan tetapi dia merasa terkejut juga ketika melihat betapa tiga orang tosu itu tenang-tenang saja dan sama sekali tak terpengaruh oleh suaranya yang dahsyat tadi. Padahal tidak banyak orang yang akan sanggup bertahan, baik terhadap pengaruh khikang maupun ilmu sihir yang terkandung di dalam tawanya tadi.
"Se Jit Kong, ketahuilah bahwa kami tidak biasa dan tidak suka membunuh orang. Oleh karena itu mari kita membuat perjanjian. Kalau kami kalah bertanding denganmu, terserah kepadamu mau diapakan kami ini. Kalau engkau hendak membunuh kami pun terserah. Kami tahu akan resiko tugas kami. Akan tetapi apa bila engkau yang kalah, maka engkau harus menyerahkan kembali semua pusaka istana yang telah kau curi, dan engkau harus dengan suka rela ikut bersama kami untuk menghadap para pimpinan partai persilatan," kata Pek-mau-sian Thio Ki.
"Bagus! Kalian memang sudah bosan hidup. Nah, kalian hendak maju satu demi satu atau dengan keroyokan? Bagiku sama saja!"
Ucapan ini saja sudah menunjukkan watak yang takabur dari datuk itu. Akan tetapi di balik itu juga mengandung kecerdikan sebab ucapan itu kalau diterima oleh orang-orang yang merasa diri mereka mempunyai ilmu kepandaian tinggi, tentu akan mendatangkan perasaan malu dan tidak enak untuk maju bersama dan melakukan pengeroyokan.
"Kami bukan orang-orang pengecut yang suka main keroyokan, Se Jit Kong,” jawab Dewa Rambut Putih. “Kami mendengar bahwa engkau menguasai tiga ilmu yang hebat. Pertama ilmu silat tangan kosong serta ginkang dan sinkang yang sukar dicari bandingnya. Kedua, engkau adalah ahli pedang yang hebat pula. Dan ketiga, engkau memiliki Ilmu sihir yang kuat. Nah, kau akan kami imbangi dengan ilmu-ilmu itu. Pertama, engkau akan ditandingi Dewa Arak dalam ilmu silat tangan kosong. Kedua, engkau akan dihadapi Dewa Pedang dalam ilmu pedang, dan terakhir, aku sendiri yang akan mencoba kekuatan sihirmu. Kalau dua orang di antara kita kalah, biarlah kami mengaku kalah. Bagaimana pendapatmu?”
Tentu saja syarat ini sangat menguntungkan bagi Se Jit Kong. Dia tidak dikeroyok, dan kalau dapat mengalahkan dua orang, biar pun andai kata yang seorang menang, dia tetap keluar sebagai pemenang.
"Bagus! Nah, majulah kau tosu pemabok! Aku akan membuat perut gendutmu menjadi kempis!" ejeknya sambil menghadapi Ciu-sian Tong Kui.
"Heh-heh-heh-heh, perut ini berisi hawa arak, bagaimana engkau akan mampu membikin kempis tanpa terkena gasnya? Heh-heh-heh!" Biar pun dia membadut, namun Dewa Arak tidak pernah lengah karena dia maklum bahwa sekarang dia sedang berhadapan dengan seorang datuk sesat yang amat lihai dan licik.
Benar saja! Belum habis dia tertawa, tubuh tinggi besar itu sudah menyerangnya secara curang dan dahsyat sekali. Kalau saja dia tadi lengah dan belum siap siaga, setidaknya serangan itu tentu akan membuat Dewa Arak kelabakan!
Akan tetapi dia sudah siap siaga. Dengan cepat kakinya bergeser secara aneh dan cepat sekali, dan dia pun telah berhasil menghindarkan diri dari terkaman lawan, bahkan sambil memutar tubuh dia segera membalas dengan totokan ke arah lambung lawan.
Se Jit Kong menangkis sambil mengerahkan sinkang. Ia ingin mematahkan tulang lengan lawan, juga hendak mengukur sampai di mana kekuatan sinkang lawannya yang memiliki gerakan aneh dan seperti ugal-ugalan itu.
Dewa Arak justru mengharapkan tangkisan lawan karena dia pun ingin mengadu sinkang. Bukankah mereka berdua memang bertanding untuk mengadu sinkang dan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sambil menguji pula ilmu silat tangan kosong masing-masing?
"Dukkkk!" Keduanya terdorong ke belakang. Se Jit Kong terdorong sampai tiga langkah, sedangkan Dewa Arak terdorong ke belakang dua langkah. Dari hasil adu tenaga ini saja sudah dapat diketahui bahwa Dewa Arak masih lebih kuat sedikit!
Tentu saja Se Jit Kong menjadi terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa lawan yang perutnya cacingan ini mempunyai tenaga yang sedemikian kuatnya. Dia tidak tahu bahwa Ciu-sian Tong Kui adalah seorang ahli sinkang yang sudah menguasai Thian-te Sinkang (Tenaga Sakti Langit Bumi)!
Dia mangeluarkan teriakan marah dan kini dia mengandalkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) untuk menyerang lawan. Gerakannya amat cepat hingga tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar.
Namun kembali Dewa Arak mengeluarkan suara tawanya yang nyaring, kemudian dia pun mengimbangi dengan gerakan kaki yang berloncatan atau bergeser, dan semua serangan lawan dapat dielakkannya. Kalau gerakan lawan sangat cepat, gerakannya sendiri begitu aneh, seakan-akan setiap gerakan kaki yang bergeser ke sana sini atau berloncatan itu seperti sepasang kaki burung yang amat lincahnya. Dan memang si gendut ini menguasai ilmu meringankan tubuh atau ilmu langkah ajaib yang diberi nama Hui-niauw Poan-soan (Burung Terbang Berputaran).
Pada saat itu Ju Bi Ta dan Sin Wan sudah berada tidak jauh dari situ, menjadi penonton pertandingan. Hanya mereka berdualah yang menjadi penonton sebab tempat itu sepi dan tidak ada orang lain yang berada di situ. Ju Bi Ta sengaja berdiri di tempat terbuka agar suaminya dapat melihatnya. Dia ingin agar suaminya tahu akan kehadirannya sehingga suaminya tidak akan bertindak keterlaluan, tidak akan melakukan pembunuhan seperti yang telah dipesannya tadi.
Dan memang Se Jit Kong telah melihat kehadiran isterinya dan puteranya. Tentu saja hal ini membuat dia kurang leluasa bergerak. Biasanya, kalau bertanding, apa lagi melawan seorang yang demikian lihainya, dia akan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk membunuh lawan. Akan tetapi sekarang isterinya hadir dan tadi isterinya berpesan agar dia tidak membunuh tiga orang tosu itu!
Hal ini membuat serangannya tidak begitu ganas lagi. Dia hanya ingin merobohkan dan mengalahkan lawan, tidak mau membunuhnya karena kalau hal ini terjadi, isterinya tentu akan marah. Semenjak dia memperisteri Ju Bi Ta, dia begitu sayang kepada isterinya. Ia merasa amat berbahagia kalau isterinya bersikap manis kepadanya, akan tetapi sorga berubah menjadi neraka baginya kalau isterinya marah dan tidak menyambutnya dengan manis.
Setiap orang pria yang normal, siapa pun dia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, dari kaisar sampai buruh kecil, yang sudah dewasa, pasti mempunyai suatu kerinduan akan seorang wanita yang dapat dicintanya dengan sepenuh hati. Seorang wanita yang akan membangkitkan kejantanannya, yang akan berbahagia oleh cintanya, seperti tanah subur bagi benih cintanya yang akan bersemi dan tumbuh dengan suburnya. Pria akan selalu merasa bangga kalau ada wanita yang menghargai cintanya, membuat dia merasa jantan, perkasa dan mampu membahagiakan wanita.
Demikian pula dengan Se Jit Kong. Biar pun dia seorang datuk besar kaum sesat, dia pun seorang pria normal. Sudah kerap kali dia menikah, namun selalu pernikahannya gagal, walau pun kegagalan ini disebabkan oleh wataknya sendiri yang kasar dan kejam.
Akan tetapi, sejak dia memperisteri Ju Bi Ta kurang lebih sebelas tahun yang silam, atau sepuluh tahun lebih, dia benar-benar menemukan seorang wanita yang memenuhi segala keinginannya. Karena itu dia pun takut akan kehilangan sikap isterinya, dan ini membuat dia menjadi taat karena takut kalau isterinya marah kepadanya.
Tentu saja keadaan Se Jit Kong yang demikian itu menguntungkan Dewa Arak. Memang ilmu silat tangan kosong, ilmu meringankan tubuh serta tenaga sakti mereka berimbang, atau Dewa Arak lebih menang sedikit. Dengan kehadiran Ju Bi Ta yang membuat Se Jit Kong tidak leluasa bergerak, kini kedudukan Dewa Arak menjadi lebih unggul.
Akan tetapi sebaliknya, Dewa Arak juga tidak ingin membunuh datuk besar itu. Meski dia adalah seorang yang berwatak riang gembira dan ugal-ugalan seperti orang yang selalu mabuk arak, namun dia adalah seorang pertapa yang sudah melepaskan nafsu-nafsunya, terutama sekali nafsu ingin menang dan nafsu membenci dan ingin mencelakai orang lain. Dia tidak mau membunuh, bahkan kalau bisa hanya menangkan pertandingan itu tanpa membuat lawan terluka parah.
Lima puluh jurus sudah lewat, dan pertandingan tangan kosong itu berlangsung semakin seru dan hebat. Biar pun mereka berdiri agak jauh namun Ju Bi Ta dan Sin Wan masih dapat merasakan sambaran angin pukulan yang membuat ranting-ranting pohon di sekitar tempat itu seperti diamuk angin kuat, bahkan daun-daun kering yang berserakan di bawah beterbangan ketika dua pasang kaki itu bergerak dan berloncatan dengan amat cepatnya!
Sukar bagi Ju Bi Ta untuk membedakan mana suaminya dan mana orang lain dari dua bayangan yang berkelebatan itu. Sin Wan yang sejak berusia lima tahun telah digembleng ilmu oleh ayahnya, sudah dilatih siu-lian (semedhi) sehingga mempunyai pandangan yang tajam, biar pun dapat mengikuti gerakan mereka, tetap saja dia tidak dapat menilai siapa yang mendesak dan siapa yang terdesak. Gerakan mereka terlalu cepat.
Namun diam-diam Se Jit Kong mengeluh. Kedua lengannya sudah berubah merah seperti baja membara, dan dia sudah mengeluarkan ilmu silatnya, akan tetapi lawannya sungguh tangguh. Lengannya yang mengandung hawa panas membakar itu bertemu dengan dua lengan yang kadang keras kadang lunak, akan tetapi selalu dingin dan tidak terbakar oleh tangan apinya!
Tahulah dia bahwa kalau pertandingan itu terus diianjutkan, andai kata dia tidak kalah pun dia akan kebabisan tenaga, padahal dia masih harus bertanding melawan dua orang lagi yang tentu juga amat lihai seperti Si Dewa Arak ini. Maka dia mulai ragu-ragu.
Dewa Arak melihat keraguannya ini dan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia lalu mengerahkan llmu ginkang-nya dan kakinya bergeser aneh ke depan, bahkan seolah-olah hendak menerima tamparan tangan kanan Se Jit Kong yang melayang dari atas ke arah kepalanya. Tapi secepat kilat tubuhnya mendadak menyelinap ke bawah dan tiba-tiba Se Jit Kong terhuyung ke belakang karena lambungnya sudah didorong oleh telapak tangan Dewa Arak.
Kalau Dewa Arak menghendaki, dorongan itu dapat saja menjadi pukulan maut yang akan merusak isi perut lawan. Akan tetapi dia hanya mendorong dan membuat lawan terhuyung saja untuk membuktikan bahwa dia sudah memenangkan pertandingan itu.
Tetapi Se Jit Kong bukanlah orang yang mau mengaku kalah begitu saja. Bahkan selama hidupnya belum pernah dia mengaku kalah! Semenjak berguru kepada seorang pertapa sakti di India, dia merasa dirinya tidak terkalahkan, bahkan dia tidak pernah mau percaya bahwa dia dapat dikalahkan!
Kesombongan adalah penyakit yang selalu menyeret kita ke alam pikiran sesat. Nafsu daya rendah yang mencengkeram hati dan akal pikiran kita mendorong kita untuk merasa bahwa kita ini yang paling pandai, paling benar, paling baik dan paling segala! Kalau kita pandai, kita membanggakan pikiran kita, kalau kita kuat, kita membanggakan tubuh kita. Kita selalu lupa bahwa kita ini hanya alat!
Seluruh tubuh, hati serta akal pikiran ini hanyalah alat untuk hidup sebagai manusia, alat yang semula dimaksudkan untuk mengabdi kepada jiwa yang menjadi penghuni diri kita. Tetapi sayang, alat-alat itu kemudian digelimangi nafsu daya rendah sehingga kita dibawa menyeleweng.
Alat-alat yang seharusnya dipergunakan oleh jiwa telah diambil alih oleh nafsu, diperalat oleh nafsu sehingga apa pun yang dilakukan tubuh, hati dan akal pikiran selalu ditujukan untuk memuaskan nafsu daya rendah. Nafsu daya rendah atau setan ini selalu mengejar kesenangan, memperalat dan menyelewengkan kita sehingga membawa pula kita kepada kesombongan diri, kebencian, iri hati, ketakutan, kemurkaan, dan sebagainya.
Kalau kita melakukan sesuatu, kita menjadi bangga dan menganggap bahwa kita yang pandai! Kita lupa bahwa kepandaian yang berada di dalam kepala kita itu hanya alat-alat belaka, terdiri dari sel-sel otak, darah dan syaraf. Ada sedikit saja kerusakan pada alat itu, ada satu saja syaraf lembut itu yang putus, maka akan sirnalah seluruh kepandaian yang kita banggakan semula!
Demikian pula kekuatan pada tubuh. Kita membanggakan tubuh kita yang kuat. Padahal tubuh pun hanya merupakan alat dan ada sedikit saja kerusakan pada tubuh, kekuatan yang dibanggakan itu pun sirna. Jelas bahwa kita pandai karena kita diberi kepandaian, kita kuat karena diberi kekuatan!
Kita lupa bahwa ADA yang memberi! Setan sudah membisikkan kesombongan kepada kita sehingga kita lupa kepada SANG PEMBERI. Orang yang sadar akan hal ini takkan berani memuji diri sendiri yang hanya merupakan alat, melainkan memuji kepada SANG PEMBERI yang telah memberikan semua itu kepada kita sebagai alat, memuji kepada SANG PEMBERI atau Tuhan Yang Maha Kasih, Allah Yang Maha Esa!
Karena merasa terdesak, sebelum dirobohkan Se Jit Kong sudah meloncat lagi dan kini tangannya memegang sebatang pedang terhunus yang mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya. Itulah Gin-kong Pokiam (Pedang Pusaka Sinar Perak), sebuah di antara benda pusaka yang dicurinya dari gudang pusaka istana.
"Tranggg...!" Sebatang pedang lain menangkis pedang bersinar perak yang menyambar ke arah Dewa Arak. Ternyata Dewa Pedang telah meloncat dan menangkis pedang yang menyambar ke arah rekannya itu.
Kini Dewa Pedang dan Se Jit Kong saling berhadapan dengan pedang di tangan. Pedang di tangan Dewa Pedang juga mengeluarkan sinar kekuningan. Pedang itu pun merupakan sebuah pedang pusaka ampuh yang bernama Jit-kong-kiam (Pedang Sinar Matahari).
"Heh-heh-heh-heh, Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong, engkau sudah kalah dalam pertandingan pertama denganku! Lihat saja baju di lambungmu," kata Dewa Arak yang sudah meloncat jauh ke belakang, mengambil guci araknya dan minum arak dari gucinya beberapa teguk.
Se Jit Kong maklum akan kebenaran ucapan itu, maka dia tidak mau lagi melirik ke arah baju di lambungnya yang berlubang sebesar telapak tangan lawan. Ia pun maklum bahwa jika tadi Dewa Arak menghendaki, tentu bukan hanya bajunya yang berlubang, melainkan lambungnya dan tentu dia telah tewas.
Akan tetapi dia tidak mau bicara tentang itu, hanya diam-diam dia merasa heran mengapa ada orang setolol itu, mendapat kesempatan baik tapi tak mau menggunakannya! Karena merasa kalah dalam pertandingan pertama, dia hendak mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk memenangkan dua pertandingan yang lain.
Dia merasa yakin akan menang karena dia memiliki ilmu pedang yang hebat, campuran dari ilmu pedang Bangsa Kasak yang ahli bertempur itu dengan ilmu pedang dari India. Dia sudah mengolah ilmu-ilmu yang dikuasai itu menjadi ilmu pedang yang ampuh sekali, yang selama ini belum terkalahkan.
Ketika dia mengadu ilmu pedang dengan tokoh Kun-lun-pai, kemudian tokoh Bu-tong-pai, walau pun dia tidak mampu menang dan hanya dapat mengimbangi ilmu pedang lawan, namun dia pun tidak dikalahkan. Dan dia menang dalam perkelahian itu dengan bantuan ilmu sihirnya dan ilmu pukulan Tangan Api.
"Hyaaaatttt...!" Se Jit Kong mengeluarkan bentakan lantang dan pedangnya segera menyerang dengan dahsyatnya. Karena dia telah kalah dalam pertandingan pertama tadi, kini dia melupakan pesan isterinya, lupa bahwa isterinya berada tak jauh dari situ menjadi penonton. Dia tidak peduli lagi karena kalau dia tidak mampu menang berarti dia kalah dan dia harus menepati janjinya.
Menyerahkan kembali pusaka-pusaka itu tak begitu besar artinya bagi dia, tetapi kalau dia menyerah untuk ditangkap dan dibawa ke timur, hal itu sungguh merupakan penghinaan besar dan juga belum tentu para tokoh partai persilatan itu akan suka memaafkannya. Dia pasti akan dihukum mati oleh mereka! Maka dia harus memenangkan dua pertandingan berikutnya dan dia akan mamaksakan kemenangan itu, kalau. perlu membunuh lawannya!
Dari gerakan serangan itu tahulah Kiam-sian Louw Sun bahwa lawannya sudah nekat dan mengirim serangan maut. Maka dia pun segera memutar Jit-kong-kiam untuk melindungi tubuhnya, kemudian membalas dengan tidak kalah dahsyatnya.
Dua orang ahli pedang itu segera terlibat dalam pertandingan yang lebih menegangkan dari pada tadi, karena kini kedua pedang itu berkelebatan, lenyap bentuknya menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata, saling belit dan merupakan kilat yang membawa maut.
Ilmu pedang yang dimainkan Se Jit Kong memang aneh sekali dan juga amat berbahaya. Akan tetapi sekali ini dia menghadapi seorang ahli pedang yang sakti, bahkan mempunyai julukan Dewa Pedang. Dari julukannya saja mudah diketahui bahwa tentu Dewa Pedang memiliki ilmu pedang yang sudah mencapai tingkat yang amat tlnggi.
Apa lagi pedang di tangan tosu yang sakti itu juga merupakan pedang pusaka ampuh. Kalau Se Jit Kong tidak memegang pedang pusaka dari gudang istana kaisar, pedang lain tentu akan mudah patah kalau bertemu dengan Jit-kong-kiam.
llmu pedang yang dimainkan Dewa Pedang itu di samping cepat juga mengandung tenaga sinkang yang amat kuat, dapat menekan, membelit dan menempel. Itulah Ilmu pedang Jit-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang cahaya Matahari) yang selama ini belum terkalahkan.
Dua orang itu memang satu tingkat. Pedang mereka sama-sama kuat dan ampuh sebagai pedang pusaka pilihan. Ilmu pedang mereka pun dahsyat dan aneh, sedangkan dalam hal tenaga, mereka pun seimbang. Sampai seratus jurus lebih, belum juga ada yang nampak kalah atau menang.
Mereka saling serang sambil mengerahkan segala kemampuan dan tenaga mereka. Sinar pedang menyambar-nyambar dengan suara berdesing-desing dan kadang kala bercuitan. Daun-daun pohon di dekat mereka berhamburan seperti disayat-sayat.
Sejak tadi Ju Bi Ta dan Sin Wan melihat pertandingan dengan hati tegang. Sin Wan mulai merasa khawatir. Biar pun tidak main keroyokan seperti belasan orang beberapa hari yang lalu, akan tetapi tiga orang yang menjadi lawan ayahnya itu masing-masing memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak kalah oleh ayahnya.
Tadi pun ketika selesai bertanding tangan kosong dengan tosu berperut gendut, Sin Wan melihat betapa baju ayahnya pada bagian lambung berlubang sebesar telapak tangan. Dia mengerti bahwa hal itu menjadi pertanda bahwa ayahnya teiah kalah, dan dia pun kagum bahwa si pemenang itu tidak membunuh ayahnya, bahkan melukainya pun tidak. Dan kini orang kedua dapat memainkan pedang sedemikian cepatnya sehingga bisa mengimbangi permainan ayahnya...