Se Jit Kong mulai merasa lelah. Uap putih mengepul keluar dari ubun-ubun kepalanya dan napasnya mulai terengah-engah. Tentu saja daya tahannya kalah jika dibandingkan Dewa Pedang. Kiam-sian Louw Sun adalah seorang pertapa yang selama dua puluhan tahun ini hidup bersih, tubuhnya tidak terlalu diperalat nafsu sehingga tubuhnya menjadi kuat, tidak seperti Se Jit Kong yang hidupnya bergelimang nafsu.
Karena dia merasa mulai lelah sedangkan lawannya masih kelihatan segar, Se Jlt Kong tahu bahwa bila dilanjutkan akhirnya dia akan kalah karena kehabisan napas dan tenaga. Maka diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya, matanya mencorong tajam dan tiba-tiba saja dia membentak dengan suaranya yang mengandung kekuatan sihir. "Robohlah kau...!"
Kiam-sian Louw Sun terkejut sekali karena tiba-tlba tubuhnya seperti terdorong kuat dan sungguh pun dia telah mempertahankan diri, akan tetapi tetap saja dia terhuyung-huyung dan hampir saja terjengkang jatuh kalau saja tidak dengan cepatnya Pek-mau-sian Thio Ki menangkap lengannya.
"Tangan Api, engkau menggunakan kecurangan lagi! Engkau bertanding pedang dengan Dewa Pedang, bukan bertanding sihir. Kalau engkau hendak memamerkan ilmu sihirmu, akulah lawanmu. Dalam hal ilmu pedang, engkau pun tadi kalah, buktinya engkau hampir putus napas dan kau menggunakan ilmu sihir dengan curang!" tegur Dewa Rambut Putih.
Dalam keadaan terhimpit itu Se Jit Kong berusaha untuk mencapai kemenangan dengan sekali pukulan. Dia pun mengerahkan seluruh tenaga ilmu sihirnya, matanya mencorong, tubuhnya menggigil dan dia membentangkan kedua lengan lantas berkata dengan suara yang lantang dan menggetar,
"Kalian semua belum mengenal siapa aku! Lihatlah baik-baik, aku adalah Naga Api yang datang untuk membasmi kalian semua!"
Dia memekik, suara pekikannya melengking nyaring hingga menggetarkan seluruh orang yang berada di sana. Sin Wan yang belum pernah melihat ayahnya bersikap seperti itu menjadi terkejut sekali dan dia pun terbelalak ketika memandang dengan penuh perhatian. Kini ayahnya sudah lenyap dan di tempat ayahnya berdiri tadi nampak seekor naga yang mengeluarkan api dari mulutnya.
Naga itu sebesar orang dewasa dan panjangnya puluhan kaki! Dua matanya mencorong, lidahnya yang terjulur keluar itu seperti api membara. Dari mulutnya keluar api bernyala-nyala bercampur asap, juga dari hidungnya keluar api. Sungguh merupakan makhluk yang mengerikan sekali. Naga Api!
Ketika dia menoleh kepada ibunya, agaknya ibunya juga melihat peristiwa ini, akan tetapi ibunya tidak nampak heran, hanya ngeri dan takut. Melihat ibunya ketakutan, Sin Wan lalu memegang tangan ibunya. Dia merasa betapa jari-jari tangan ibunya mencengkeram jari-jari tangannya dan tangan ibunya itu terasa amat dingin.
Dewa Arak dan Dewa Pedang sudah duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang yang melakukan semedhi. Mereka mengerahkan tenaga batin agar tidak terpengaruh dan terseret oleh ilmu sihir yang kuat itu, lantas sambil memejamkan mata mereka melawan getaran sihir. Namun Dewa Rambut Putih tidak ikut duduk bersemedhi, melainkan berdiri berhadapan dengan Se Jit Kong yang sudah ‘berubah’ menjadi naga api itu.
"Ha-ha-ha, Se Jit Kong, permainan kanak-kanak ini tidak ada artinya bagiku!" Dewa Rambut Putih segera mengeluarkan sulingnya lalu dia meniup suling itu. Terdengar lengking suara yang turun naik, terdengar aneh dan mengandung getaran kuat sekali.
Sin Wan memandang dengan mata terbelalak, dan biar pun hatinya amat tegang, namun dia ingin sekali tahu bagaimana kelanjutan pertandlngan adu ilmu sihir yang aneh ini. Naga Api itu menggereng-gereng dan suara suling melengking-lengking. Namun gerengan naga api terdengar semakin lemah dan akhirnya nampak asap mengepul, lantas lenyaplah naga jadi-jadian itu dan nampak tubuh Se Jit Kong. Suara suling pun terhenti dan muka Se Jit Kong menjadi merah sekali saking marahnya.
"Pek-mau-sian, aku atau engkau yang mampus!" bentaknya, kemudian dia mengangkat pedangnya tlnggi-tinggi di atas kepala, mulutnya berkemak kemik dan dia berseru lantang, "Pek-mau-sian, nagaku ini akan membunuhmu!" Dan dia melontarkan pedang itu ke atas.
Terdengar suara keras seperti ledakan, lantas pedang itu lenyap berubah menjadi seekor naga lagi. Walau pun tidak begitu menyeramkan seperti naga api tadi, akan tetapi naga ini bergerak dengan lincahnya seperti burung terbang dan berputaran di atas, seperti sedang mengintai korban.
Melihat ini, Pek-mau-sian Thio Ki tertawa lagi. "Udara jernih menjadi keruh, langit terang menjadi gelap, munculnya naga jadi-jadian yang jahat perlu diberantas!"
Ucapannya terdengar seperti nyanyian, kemudan dia pun melontarkan sulingnya ke atas. Terdengar lengkingan suara meninggi dan suling itu pun berubah bentuk menjadi seekor naga putih kekuningan seperti warna suling bambu itu. Kedua naga itu bertemu di udara dan terjadilah pertandingan dan pergulatan yang hebat.
Tetapi kejadian itu tidak berlangsung lama karena terdengar suara Pek-mau-sian lantang. “Pedang curian harus kembali ke pemiliknya!"
Dan kedua ‘naga’ itu pun meluncur ke bawah, ke arah Dewa Rambut Putih, lantas lenyap berubah menjadi suling dan pedang yang kini berada di kedua tangan tosu itu.
Wajah Se Jit Kong menjadi pucat sekali. Dia maklum bahwa dalam ilmu sihir pun dia tidak mampu menandingi Pek-mau-sian Thio Ki. Dalam ilmu pedang dia kewalahan melawan Kiam-sian Louw Sun, dan dalam ilmu silat tangan kosong dan tenaga sinkang, dia pun terdesak oleh Ciu-sian Tong Kui. Tiga orang lawan itu memang tangguh sekali dan kalau dilanjutkan pun akhirnya dia akan mendapat malu dan akan roboh.
Se Jit Kong mencabut sebatang pisau dari pinggangnya. Melihat ini tiga orang tosu yang semuanya sudah bangkit berdiri itu siap siaga, mengira bahwa datuk ini akan mengamuk dan melawan mati-matian. Akan tetapi Se Jit Kong memandang kepada mereka dengan penuh kebencian dan suaranya terdengar kaku penuh kemarahan.
"Sam Sian (Tiga Dewa), kalian sudah mampu menandingi dan mengalahkan aku, akan tetapi jangan harap aku akan sudi mengembalikan benda-benda pusaka itu dan menyerah untuk kalian tangkap. Tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang boleh membuat aku menyerah dan memaksaku! Ha-ha-ha-ha…!”
Sambil tertawa bergelak Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong lantas menggerakkan pisau itu. Tiga orang tosu terbelalak keget. Mereka tidak menyangka sama sekall bahwa Tangan Api itu akan mengambil keputusan demikian nekat.
Pisau itu, di tangan ahli Se Jit Kong, telah menyelinap di bawah tulang iga dan langsung menembus jantungnya sendiri! Dia masih tertawa bergelak ketika roboh dengan sepasang mata terbelalak dan begitu suara tawanya terhenti, dia pun sudah menghembuskan napas terakhir!!
"Ayaaaahhh...!" Sin Wan menjerit dan lari menghampiri tubuh ayahnya yang menggeletak telentang tak bernyawa lagi itu.
"Ayah...! Ayahhh...!" Dia menubruk dan merangkul tubuh yang sudah menjadi mayat akan tetapi masih hangat itu. Dia tak peduli tangan dan bajunya terkena darah yang bercucuran keluar dari lambung ayahnya.
Sesudah mengguncang-guncang tubuh ayahnya dan memanggil-manggil, namun ayahnya tetap tidak bergerak, mati dengan mata melotot, Sin Wan maklum bahwa ayahnya sudah tewas. Dengan terisak dia lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk menutup sepasang pelupuk mata yang terbelalak itu sehingga kedua mata itu kini terpejam. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, memutar tubuh menghadapi tiga orang tosu yang memandang dengan sikap tenang.
"Kalian... tiga orang pendeta yang kelihatannya saja alim dan baik, akan tetapi kalian telah membunuh ayahku! Aku bersumpah kelak aku akan...”
"Sin Wan, diam kau...!" Tiba-tiba ibunya membentak dan ternyata ibunya telah berada di sisinya. Sin Wan tidak melanjutkan ucapan sumpahnya yang hendak membalas dendam, dan dia menoleh kepada ibunya, lalu merangkul pinggang ibunya.
"Ibuuuu... ayah telah tewas...!" isaknya.
"Aku tahu, anakku."
"Ayah telah dibunuh oleh tiga orang jahat itu...”
"Hushhh, diam kau, Sin Wan. Bukan mereka yang membunuh. Ayahmu bunuh diri, kita juga melihatnya tadi."
"Tetapi dia bunuh diri karena tersudut oleh mereka, ibu. Mengapa ibu tidak menyalahkan mereka dan tidak membela ayah?"
"Sin Wan, ayahmu tewas karena ulahnya sendiri..."
Wanita itu lalu berlutut dan menggunakan kedua tangannya untuk mencabut pisau yang masih menancap di lambung suaminya. Pisau itu berlumuran darah, akan tetapi kini tidak banyak lagi darah mengucur keluar dari luka di lambung itu.
"Ibuuu...!" Sin Wan berseru kaget ketika melihat ibunya mencabut pisau yang berlumuran darah itu. Dia melihat ibunya bercucuran air mata, menangis. Dia pun merasa terharu dan sangat sedih, mengira ibunya menangisi kematian ayahnya.
"Ibu, ayah mati karena ulah mereka, bagaimana kita tidak menjadi sakit hati? Ibu, jangan menangis, kelak anakmu yang akan..."
"Husssh, Sin Wan, jangan bicara sembarangan," kata ibunya sambil menghentikan tangis dan menghapus air matanya. "Ibumu bukan menangisi kematian ayahmu."
Sepasang mata anak itu terbelalak. "Ibu... apa maksudmu, ibu? Bagaimana mungkin ibu berkata demikian? Ayah amat mencinta ibu dan juga menyayangku, dan ibu pun mencinta ayah. Kenapa ibu mengatakan bukan menangisi kematian ayahku?"
"Sin Wan, dia ini bukan ayahmu."
"Heeeii...! Ibu...! Apa... apa maksudmu?” Wajah anak itu berubah pucat dan dia menatap wajah ibunya dengan mata terbelalak.
Tiga orang tosu itu pun saling pandang dan mereka diam saja, hanya kini mereka duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan juga untuk tidak mengganggu ibu dan anak itu.
"Sin Wan, anakku, sekarang tibalah saatnya ibumu membuka semua rahasia ini, di depan jenazah Se Jit Kong ini. Dengarkan baik-baik dan ingat semua kata-kataku, anakku. Lebih dari sepuluh tahun yang silam, ketika usiaku baru delapan belas tahun, namaku Jubaidah dan aku hidup berbahagia di samping suamiku yang baru setahun lebih menjadi suamiku. Suamiku bernama Abdullah dan dia adalah putera seorang kepala dusun di perkampungan bangsa kita, yaitu bangsa Uigur. Ketika itu engkau sudah berada di dalam kandunganku, Sin Wan, berumur tiga empat bulan."
"Aahhh..., jadi ayahku... ayah kandungku, yang bernama Abduilah itu...?" Suara Sin Wan berbisik lirih dan dia menoleh ke arah wajah Se Jit Kong, orang yang selama ini dianggap ayahnya.
"Mendiang Abdullah, anakku. Pada suatu hari Se Jit Kong ini datang ke dusun kami dan dia... dia menginginkan diriku. Dia lalu membunuh ayah kandungmu, mendiang Abdullah suamiku itu...”
"Ya Tuhan...!" Sin Wan menjadi lemas, wajahnya semakin pucat dan matanya seperti tak bersinar lagi mengamati wajah Se Jit Kong. Orang yang menyayangnya dan disayangnya seperti ayah ini kiranya malah pembunuh ayah kandungnya!
"Tenanglah Sin Wan. Engkau harus mendengarkan penuh perhatian dan mengingat baik-baik semua keteranganku ini. Suamiku Abdullah dibunuh oleh Se Jit Kong ini, lantas aku diculiknya. Aku adalah seorang wanita yang taat beragama. Aku sudah bersuami dan biar pun suamiku tewas, aku tidak akan sudi menyerahkan diri kepada pria lain, apa lagi kalau pria itu pembunuh suamiku. Menurut suara hatiku, seharusnya aku membunuh diri pada saat suamiku dibunuh itu. Akan tetapi… semoga Tuhan mengampuniku, aku... aku tidak tega karena engkau berada di dalam perutku, anakku. Kalau aku bunuh diri, berarti aku juga membunuh engkau. Aku ingin engkau terlahir dan hidup, anakku. Aku ingin engkau dapat menjadi saksi tunggal bahwa aku sama sekali bukan wanita yang demikian mudah melupakan suami dan menyeleweng dengan penyerahan diri kepada pria lain..." Wanita itu memejamkan mata dan menahan agar tangisnya tidak datang lagi.
Sin Wan tidak mengeluarkan suara, hanya memegang tangan ibunya dan menggenggam tangan itu seolah-olah memberi kekuatan kepada ibunya. Tangan kiri ibunya dingin sekali, sedangkan tangan kanan wanita itu masih menggenggam gagang pisau yang berlumuran darah Se Jit Kong. Agaknya sentuhan tangan puteranya memberi kekuatan kepada Ju Bi Ta atau Jubaidah ini, maka dia pun melanjutkan bicaranya.
"Dia ini memaksaku menjadi isterinya. Dia tidak memaksa dengan kekerasan, melainkan membujuk dengan lembut dan tampaknya ia amat sayang kepadaku. Aku lalu menyerah, akan tetapi demi Tuhan, semua ini kulakukan hanya untuk menyelamatkan anak di dalam kandunganku. Aku menyerah dengan syarat bahwa dia harus menanti sampai anak dalam kandungan terlahir, kemudian syarat kedua adalah bahwa dia harus menganggap anakku seperti anak sendiri dan menyayangnya. Jika sampai kelak dia melanggar janji maka aku akan membunuh diri. Dan dia... ya Tuhan ampunkan hamba, dia begitu sayang kepadaku, dia memenuhi semua permintaanku dan tdak pernah melanggar syarat-syaratku. Setelah engkau terlahir, dia begitu sayang kepadamu dan aku merasa benar bahwa dia amat cinta padaku. Maka, terpaksa sekali, walau pun di dalam hati aku menangis dan mohon ampun dan pengertian dari mendiang suamiku, aku menyerah dan menjadi isterinya..." Kembali wanita ini menghentikan ceritanya, berulang kali menghela napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan.
Sin Wan memandang bingung. Dia belum cukup dewasa untuk dapat menyelami keadaan ibunya, karena itu dia menjadi bingung dan tidak dapat mempertimbangkan baik buruknya keadaan itu.
"Akan tetapi, betapa pun besar cintanya kepadaku dan sayangnya kepadamu, bagaimana aku dapat mencinta orang seperti dia, anakku? Bukan saja dia telah membunuh suamiku dan menculikku, akan tetapi dia... ohhh, dia jahat sekali. Dia seorang datuk besar dunia hitam dan dia tidak pantang melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun juga. Hanya satu yang tidak pernah dia lakukan setelah memiliki aku sebagai isterinya, yaitu mengganggu wanita. Hal ini pun karena permintaanku. Berulang kali aku membujuk, tapi dia melakukan segala macam kejahatan secara diam-diam, di luar pengetahuanku. Bahkan kabarnya dia menjadi jagoan nomor satu dengan mengalahkan semua tokoh di timur. Dia jahat sekali, anakku, ahhh, bagaimana mungkin aku dapat membalas cintanya? Aku hanya ingin mati, akan tetapi aku khawatir sesudah aku mati dia akan bersikap jahat terhadap dirimu. Aku harus menjagamu... dan untuk melindungimu, aku rela menderita lahir batin...”
"Ibu...!" Sin Wan merangkul ibunya. Sekarang dia dapat merasakan benar alangkah besar pengorbanan ibunya terhadap dirinya.
"Akhirnya aku berhasil membujuk dia supaya kembali ke barat sini. Aku tidak tahu bahwa ternyata dia telah mencuri benda-benda pusaka dari istana. Aku hanya ingin agar engkau dapat tumbuh menjadi remaja dan cukup kuat untuk meninggalkan dia, melarikan diri dan selamat dari jangkauannya. Aku baru mau mati kalau engkau benar-benar sudah terbebas dari tangannya, Sin Wan. Dan sekarang, karena ulahnya sendiri, akhirnya dia tewas. Kita sudah bebas, Sin Wan. Engkau bebas, tidak terancam bahaya lagi, dan aku pun bebas... bebas untuk menebus dosa-dosaku selama ini. Aku bebas untuk pergi menyusul suamiku, untuk mengadukan semuanya ini kepadanya. Ya Allah, ampunilah dosa hamba... Abdullah suamiku, tunggulah aku..."
Tiba-tiba saja wanita itu lalu menggunakan pisau yang masih berlumuran darah itu untuk menusuk dadanya sendiri sekuat tenaga.
"Ibuuuuu...!" Sin Wan menjerit dan cepat menangkap tangan ibunya.
Akan tetapi dia terlambat karena tadinya dia tidak menyangka sama sekali bahwa ibunya akan senekad itu. Pisau itu telah menancap di dada ibunya sampai ke gagang, dan ibunya terkulai di rangkulannya dalam keadaan mandi darah.
"Ibuuu... ibuuuu...! Ya Allah, tolonglah ibu...," Sin Wan meratap dan menangis.
Wanita itu membuka matanya. Nampak senyum lemah menghias bibir yang pucat itu dan kedua tangannya bergerak lemah ke atas, mengusap air mata dari pipi Sin Wan. "Sin Wan... anakku... biarkan ibumu menebus dosa... Engkau berjanjilah... akan menjadi manusia yang baik... taat kepada Allah... dan tidak berwatak jahat, jangan seperti Se Jit Kong..." Suaranya semakin lemah sehingga berbisik-bisik.
Di antara tangis sesenggukan Sin Wan mengangguk, "aku... berjanji..., ibu..." Kemudian dia pun menjerit dan pingsan di atas dada ibunya ketika melihat ibunya terkulai lemas.
Tiga orang tosu yang duduk bersila itu membuka mata mereka. Pek-mau-sian Thio Ki, Si Dewa Rambut Putih, menarik napas panjang dan dia pun bersanjak dengan suara lembut.
Sependek suka sepanjang duka. Sejumput manis setumpuk pahit. Ada gelap ada terang. Ada senang ada susah. Yang tidak mengejar kesenangan takkan bertemu kesusahan!
Tiga orang tosu itu lalu menyadarkan Sin Wan. Mereka membantu anak itu mengangkat jenazah Se Jit Kong dan Ju Bi Ta untuk dibawa ke rumah keluarga mereka. Tiga orang tosu itu mewakili Sin Wan untuk memberi tahu kepada para tetangga bahwa kematian suami isteri itu karena terbunuh musuh yang tidak mereka ketahui siapa.
Dua buah peti mati Itu berada di ruangan depan, akan tetapi terpisah jauh seperti yang dikehendaki Sin Wan. Peti mati Se Jit Kong berada di sudut kiri ruangan itu, sedangkan peti jenazah Ju Bi Ta berada di sudut kanan. Sin Wan berlutut di depan peti mati ibunya, kadang menangis lirih, kadang termenung seperti kehilangan semangat.
Hanya karena peringatan dari tiga orang tosu yang membantunya mengurus jenazah, Sin Wan memaksa diri untuk membalas penghormatan para pengunjung, yaitu para tetangga yang datang memberi penghormatan terakhir kepada suami isteri yang tewas secara aneh itu. Mereka hanya mendengar bahwa suami isteri itu tewas di tangan musuh mereka, tapi mereka tidak tahu siapa musuh itu dan mereka pun tidak ingin mencampuri urusan itu.
Sesudah yang datang melayat berkumpul, dua peti jenazah kemudian diangkut ke tempat pemakaman. Juga atas permintaan yang sangat aneh dari Sin Wan, dua peti jenazah itu dikuburkan secara terpisah pula, di kedua ujung yang berlawanan dari tanah pekuburan itu. Para pelayat pulang meninggalkan dua gundukan tanah kuburan yang baru, sehingga yang tinggal di sana kini hanya Sin Wan bersama tiga orang tosu Sam Sian (Tiga Dewa).
Sam Sian masih menunggu sebab mereka belum selesai dengan tugas mereka. Tiga tosu ini belum mengambil kembali benda-benda pusaka, dan mereka hendak menanti sampai Sin Wan selesai berkabung dan sudah tenang kembali.
Sekarang Sin Wan menangis di depan makam ibunya, merasa kesepian, merasa khawatir karena secara mendadak dia dihadapkan dengan kenyataan yang sangat pahit. Pertama, melihat ayahnya bunuh diri dan tewas, kemudian mendengar cerita ibunya bahwa orang yang dianggap ayahnya itu ternyata sama sekali bukan ayahnya, bahkan seorang datuk penjahat besar yang sudah membunuh ayah kandungnya dan memaksa ibu kandungnya menjadi isteri. Berarti bahwa sebenarnya Se Jit Kong adalah musuh besarnya!
Kemudian disusul pula dengan kematian ibunya yang juga membunuh diri. Kini dia sudah kehilangan segalanya! Perubahan mendadak yang membuat anak berusia sepuluh tahun itu menjadi nanar dan gelap, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Suara tangis Sin Wan tidak keras lagi karena dia telah kehabisan suara dan tenaga, akan tetapi masih sesenggukan penuh kesedihan. Makin diingat keadaan dirinya yang sebatang kara di dunia ini, semakin pedihlah hatinya, dan semakin mengguguk pula tangisnya.
Sunyi senyap di tanah kuburan itu. Hanya tangis Sin Wan merupakan satu-satunya suara yang hanyut dalam kesunyian. Bahkan pohon-pohon di sekitar tanah kuburan itu tidak ada yang bergerak. Angin berhenti bertiup, entah sedang beristirahat di mana. Agaknya segala sesuatu ikut pula prihatin melihat duka nestapa yang dltanggung remaja itu.
Mendadak suara tangis lirih itu ditimpa suara tawa bergelak. Suara tawa yang lepas dan tidak ditahan-tahan sehingga terdengar janggal karena menurut umum suasana berkabung itu tidak sepantasnya diisi suara tawa sebebas itu!
Sungguh aneh mendengar suara tangis yang kini dibarengi suara tawa itu. Dewa Rambut Putih Thio Ki mengerutkan alisnya dan menengok ke arah rekannya, Dewa Arak Tong Kui yang mengeluarkan suara tawa itu.
"Dewa Arak, apa yang kau tertawakan ini?" tegurnya dengan alis berkerut.
"Ha-ha-ha, apa yang aku tertawakan? Dan apa pula yang ditangiskan anak itu? Apa pula yang membuat kalian berdua berwajah demikian serius dan muram? Ha-ha-ha-ha, tangis dan tawa sama-sama menggerakkan mulut, kenapa tidak memilih tertawa saja dari pada menangis? Tangis itu tidak sehat bahkan membuat wajah terlihat buruk, sebaliknya orang berwajah jelek pun akan menjadi menarik bila tertawa, juga menyehatkan. Ha-ha-ha-ha!" Si Dewa Arak tertawa lagi, kemudian meneguk arak dari gucinya.
"Aku mentertawakan semua kepalsuan ini. Kenapa kalau ada kematian lalu ada tangisan? Apa yang ditangisi? Bukankah orang yang bersangkutan tidak menangis malah wajahnya nampak tenang dan penuh damai! Sebaliknya, mengapa kelahiran disambut dengan tawa gembira, sedangkan yang bersangkutan begitu terlahir langsung menangisi kelahirannya sampai menjerit-jerit? Ha-ha-ha...!"
Mendengar ucapan itu seketika tangis Sin Wan terhenti. Semua ucapan itu memasuki hati serta benaknya dan berkesan sekali. Dia memang suka sekali membaca kitab-kitab kuno, sejarah, dongeng dan filsafat, juga pelajaran tentang hidup dalam kitab-kitab agama.
Belum pernah dia mendengar orang berbicara mengenai kematian seperti yang diucapkan Dewa Arak itu, apa lagi mendengar ada orang tertawa-tawa menghadapi kematian, seolah-olah kematian adalah peristiwa yang menyenangkan, bukan merupakan peristiwa duka. Dia merasa penasaran sekali dan setelah menghentikan tangisnya, dia lalu memandang kepada Dewa Arak.
"Maaf, locianpwe (orang tua gagah). Locianpwe mencela saya menangis. Salahkah saya kalau menangisi kematian ibu saya yang tercinta?” suaranya lantang dan menuntut. Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih diam-diam tersenyum. Dewa Arak memang pintar sekali, dapat mengalihkan kesedihan anak itu.
"Ha-ha-ha-ha, hendak kulihat dulu mengapa engkau menangis. Coba katakan, mengapa engkau menangis, anak baik? Namamu Sin Wan, bukan? Nah, katakan, Sin Wan, kenapa engkau menangis, maka aku akan tahu apakah tangismu itu wajar ataukah palsu."
"Saya menangis karena ibu saya meninggal dunia, locianpwe. Bukankah itu wajar?"
"Ya, akan tetapi kenapa kalau ibumu mati engkau menangis? Yang kau tangisi itu ibumu ataukah dirimu sendiri?"
"Apa... apa maksud locianpwe?"
"Katakan saja bagaimana isi hatimu. Jenguk isi hatimu lalu katakan apa sebenarnya yang membuat engkau menangis. Karena engkau kehilangan orang yang kau sayangi? Karena engkau ditinggal seorang diri kemudian engkau merasa kesepian? Karena meninggalnya orang kau sayang itu mendatangkan kesedihan karena engkau tidak akan menikmati lagi kesenangan dari orang yang meninggal itu?”
Sin Wan mengerutkan alisnya, berpikir-pikir kemudian mengangguk. "Memang begitulah, locianpwe. Hati siapa yang tidak akan bersedih ditinggal mati ibunya yang tercinta? Apa lagi sesudah mendengar bahwa ayah kandung saya telah tiada. Saya hanya hidup berdua dengan ibu, dan sekarang ibu meninggalkan saya seorang diri."
"Bagus, jadi engkau menangisi keadaan dirimu sendiri, bukan? Nah, itu namanya jawaban jujur. Engkau mencucurkan air mata karena engkau merasa kehilangan, karena engkau merasa iba terhadap diri sendiri. Air mata itu air mata karena iba diri, karenanya air mata seorang yang lemah! Lemah sekali hatinya, cengeng dan penakut!"
Sejak kecil Sin Wan digembleng oleh seorang datuk besar seperti Tangan Api. Meski pun ibu kandungnya selalu menekannya dan mengharuskan dia menjauhi kekerasan, namun bagaimana pun juga dia digembleng dengan sikap pemberani serta watak gagah seorang ahli silat oleh gurunya yang tadinya dianggap ayahnya sendiri itu.
Kini, dicela sebagai orang yang hatinya lemah, cengeng dan penakut, tentu saja mukanya yang tadinya pucat itu berubah kemerahan, matanya mengeluarkan sinar tajam dan hal ini membuat tiga orang sakti itu memandang dengan wajah berseri.
"Locianpwe, kenapa locianpwe demikian kejam? Locianpwe mengetahui bahwa baru saja saya kehilangan ibu, bahkan juga kehilangan ayah kandung yang ternyata belum pernah saya lihat itu. Saya kehilangan segalanya, namun locianpwe malah mentertawakan saya. Saya bukan lemah, cengeng apa lagi penakut!"
"Ha-ha-ha-ha, bagus sekali!" Dewa Arak itu tertawa. "Aku bukan mentertawakan engkau, melainkan mentertawakan kepalsuan yang dilakukan oleh sebagian besar orang di dunia ini. Kalau engkau tidak cengeng dan lemah, hapus air matamu dan jangan tenggelam ke dalam iba diri. Dan tidak perlu engkau menangisi ibumu yang sudah tiada. Bahkan kalau bisa tertawalah, tertawa gembira karena ibumu baru saja terbebas dari pada kedukaan hidup. Ingat betapa ibumu selalu menderita lahir batin sejak kematian ayah kandungmu, dan baru sekarang ibumu terbebas dari himpitan penderitaan. Kenapa harus ditangisi?"
"Saya tidak menangisi kematiannya itu sendiri, tapi terharu dan kasihan kalau mengenang betapa selama ini ibu telah menderita hebat dan mengorbankan diri karena saya."
"Heiii, Dewa arak, apakah engkau masih mabuk?" teriak Dewa Pedang Louw Sun. "Anak ini belum juga dewasa, tapi sudah kau ajak bicara tentang hal-hal yang begitu mendalam. Dia bersedih, itu manusiawi karena dia manusia yang mempunyai perasaan. Tidak seperti engkau yang sudah tidak lumrah lagi. Semua orang di dunia ini kalau kematian tentu saja menangis, apa salahnya dengan itu? Tetapi engkau menganjurkan anak ini agar tertawa-tawa ketika ibunya mati. Apa kau ingin dia dianggap orang gila? Kalau mau gila, engkau gila sendiri saja, jangan ajak-ajak anak kecil.”
"Ha-ha-ha, lebih baik mabuk tapi bicara secara terbuka dari pada tidak mabuk akan tetapi bicaranya selalu palsu, bersembunyi di balik kedok sopan-santun dan aturan yang pada hakekatnya hanya menonjolkan diri sendiri. Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, kalian sendiri bukan orang-orang yang dicengkeram oleh nafsu, kenapa nampak murung seperti orang berduka? Benarkah kalian berduka karena kematian Se Jit Kong dan ibu anak ini? Terharu setelah mendengar pengakuan ibu Sin Wan?"
"Aih, Dewa Arak, bagaimana orang-orang seperti kita masih terpengaruh perasaan hati dan mudah diombang-ambingkan antara suka dan duka? Tidak, Ciu-sian, pinto (aku) tidak murung, tidak berduka, hanya termenung heran mengapa orang-orang seperti mereka ini dengan cepat terbebas dari kurungan, sedangkan kita masih harus terhukum entah untuk berapa lama lagi," Dia menghela napas panjang. Dengan heran Dewa Arak memandang Dewa Pedang yang baru saja bicara itu.
“Siancai (damai)...! Engkau ini tosu macam apa? Baru sekarang aku mendengar pendeta To bicara sepertl ini! Bukankah biasanya para pendeta To bahkan berlomba mencari obat ajaib untuk membuat kalian berusia panjang sampai seribu tahun atau bahkan tidak akan mati selamanya?”
"Pinto bukan termasuk mereka yang senang berkhayal dan bermimpi yang muluk-muluk. Pinto juga tidak merasa menyesal, hanya merasa heran akan rahasia alam yang sangat gaib ini, saudaraku."
"Bagaimana dengan engkau, Dewa Rambut Putih? Engkau pun tidak nampak tersenyum seperti biasanya. Ke mana perginya senyum simpulmu yang manis itu? Apakah engkau juga ikut prihatin dan berkabung?” Suara Si Dewa Arak mengandung ejekan...
Karena dia merasa mulai lelah sedangkan lawannya masih kelihatan segar, Se Jlt Kong tahu bahwa bila dilanjutkan akhirnya dia akan kalah karena kehabisan napas dan tenaga. Maka diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya, matanya mencorong tajam dan tiba-tiba saja dia membentak dengan suaranya yang mengandung kekuatan sihir. "Robohlah kau...!"
Kiam-sian Louw Sun terkejut sekali karena tiba-tlba tubuhnya seperti terdorong kuat dan sungguh pun dia telah mempertahankan diri, akan tetapi tetap saja dia terhuyung-huyung dan hampir saja terjengkang jatuh kalau saja tidak dengan cepatnya Pek-mau-sian Thio Ki menangkap lengannya.
"Tangan Api, engkau menggunakan kecurangan lagi! Engkau bertanding pedang dengan Dewa Pedang, bukan bertanding sihir. Kalau engkau hendak memamerkan ilmu sihirmu, akulah lawanmu. Dalam hal ilmu pedang, engkau pun tadi kalah, buktinya engkau hampir putus napas dan kau menggunakan ilmu sihir dengan curang!" tegur Dewa Rambut Putih.
Dalam keadaan terhimpit itu Se Jit Kong berusaha untuk mencapai kemenangan dengan sekali pukulan. Dia pun mengerahkan seluruh tenaga ilmu sihirnya, matanya mencorong, tubuhnya menggigil dan dia membentangkan kedua lengan lantas berkata dengan suara yang lantang dan menggetar,
"Kalian semua belum mengenal siapa aku! Lihatlah baik-baik, aku adalah Naga Api yang datang untuk membasmi kalian semua!"
Dia memekik, suara pekikannya melengking nyaring hingga menggetarkan seluruh orang yang berada di sana. Sin Wan yang belum pernah melihat ayahnya bersikap seperti itu menjadi terkejut sekali dan dia pun terbelalak ketika memandang dengan penuh perhatian. Kini ayahnya sudah lenyap dan di tempat ayahnya berdiri tadi nampak seekor naga yang mengeluarkan api dari mulutnya.
Naga itu sebesar orang dewasa dan panjangnya puluhan kaki! Dua matanya mencorong, lidahnya yang terjulur keluar itu seperti api membara. Dari mulutnya keluar api bernyala-nyala bercampur asap, juga dari hidungnya keluar api. Sungguh merupakan makhluk yang mengerikan sekali. Naga Api!
Ketika dia menoleh kepada ibunya, agaknya ibunya juga melihat peristiwa ini, akan tetapi ibunya tidak nampak heran, hanya ngeri dan takut. Melihat ibunya ketakutan, Sin Wan lalu memegang tangan ibunya. Dia merasa betapa jari-jari tangan ibunya mencengkeram jari-jari tangannya dan tangan ibunya itu terasa amat dingin.
Dewa Arak dan Dewa Pedang sudah duduk bersila dan memejamkan mata seperti orang yang melakukan semedhi. Mereka mengerahkan tenaga batin agar tidak terpengaruh dan terseret oleh ilmu sihir yang kuat itu, lantas sambil memejamkan mata mereka melawan getaran sihir. Namun Dewa Rambut Putih tidak ikut duduk bersemedhi, melainkan berdiri berhadapan dengan Se Jit Kong yang sudah ‘berubah’ menjadi naga api itu.
"Ha-ha-ha, Se Jit Kong, permainan kanak-kanak ini tidak ada artinya bagiku!" Dewa Rambut Putih segera mengeluarkan sulingnya lalu dia meniup suling itu. Terdengar lengking suara yang turun naik, terdengar aneh dan mengandung getaran kuat sekali.
Sin Wan memandang dengan mata terbelalak, dan biar pun hatinya amat tegang, namun dia ingin sekali tahu bagaimana kelanjutan pertandlngan adu ilmu sihir yang aneh ini. Naga Api itu menggereng-gereng dan suara suling melengking-lengking. Namun gerengan naga api terdengar semakin lemah dan akhirnya nampak asap mengepul, lantas lenyaplah naga jadi-jadian itu dan nampak tubuh Se Jit Kong. Suara suling pun terhenti dan muka Se Jit Kong menjadi merah sekali saking marahnya.
"Pek-mau-sian, aku atau engkau yang mampus!" bentaknya, kemudian dia mengangkat pedangnya tlnggi-tinggi di atas kepala, mulutnya berkemak kemik dan dia berseru lantang, "Pek-mau-sian, nagaku ini akan membunuhmu!" Dan dia melontarkan pedang itu ke atas.
Terdengar suara keras seperti ledakan, lantas pedang itu lenyap berubah menjadi seekor naga lagi. Walau pun tidak begitu menyeramkan seperti naga api tadi, akan tetapi naga ini bergerak dengan lincahnya seperti burung terbang dan berputaran di atas, seperti sedang mengintai korban.
Melihat ini, Pek-mau-sian Thio Ki tertawa lagi. "Udara jernih menjadi keruh, langit terang menjadi gelap, munculnya naga jadi-jadian yang jahat perlu diberantas!"
Ucapannya terdengar seperti nyanyian, kemudan dia pun melontarkan sulingnya ke atas. Terdengar lengkingan suara meninggi dan suling itu pun berubah bentuk menjadi seekor naga putih kekuningan seperti warna suling bambu itu. Kedua naga itu bertemu di udara dan terjadilah pertandingan dan pergulatan yang hebat.
Tetapi kejadian itu tidak berlangsung lama karena terdengar suara Pek-mau-sian lantang. “Pedang curian harus kembali ke pemiliknya!"
Dan kedua ‘naga’ itu pun meluncur ke bawah, ke arah Dewa Rambut Putih, lantas lenyap berubah menjadi suling dan pedang yang kini berada di kedua tangan tosu itu.
Wajah Se Jit Kong menjadi pucat sekali. Dia maklum bahwa dalam ilmu sihir pun dia tidak mampu menandingi Pek-mau-sian Thio Ki. Dalam ilmu pedang dia kewalahan melawan Kiam-sian Louw Sun, dan dalam ilmu silat tangan kosong dan tenaga sinkang, dia pun terdesak oleh Ciu-sian Tong Kui. Tiga orang lawan itu memang tangguh sekali dan kalau dilanjutkan pun akhirnya dia akan mendapat malu dan akan roboh.
Se Jit Kong mencabut sebatang pisau dari pinggangnya. Melihat ini tiga orang tosu yang semuanya sudah bangkit berdiri itu siap siaga, mengira bahwa datuk ini akan mengamuk dan melawan mati-matian. Akan tetapi Se Jit Kong memandang kepada mereka dengan penuh kebencian dan suaranya terdengar kaku penuh kemarahan.
"Sam Sian (Tiga Dewa), kalian sudah mampu menandingi dan mengalahkan aku, akan tetapi jangan harap aku akan sudi mengembalikan benda-benda pusaka itu dan menyerah untuk kalian tangkap. Tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang boleh membuat aku menyerah dan memaksaku! Ha-ha-ha-ha…!”
Sambil tertawa bergelak Hwe-ciang-kwi Se Jit Kong lantas menggerakkan pisau itu. Tiga orang tosu terbelalak keget. Mereka tidak menyangka sama sekall bahwa Tangan Api itu akan mengambil keputusan demikian nekat.
Pisau itu, di tangan ahli Se Jit Kong, telah menyelinap di bawah tulang iga dan langsung menembus jantungnya sendiri! Dia masih tertawa bergelak ketika roboh dengan sepasang mata terbelalak dan begitu suara tawanya terhenti, dia pun sudah menghembuskan napas terakhir!!
"Ayaaaahhh...!" Sin Wan menjerit dan lari menghampiri tubuh ayahnya yang menggeletak telentang tak bernyawa lagi itu.
"Ayah...! Ayahhh...!" Dia menubruk dan merangkul tubuh yang sudah menjadi mayat akan tetapi masih hangat itu. Dia tak peduli tangan dan bajunya terkena darah yang bercucuran keluar dari lambung ayahnya.
Sesudah mengguncang-guncang tubuh ayahnya dan memanggil-manggil, namun ayahnya tetap tidak bergerak, mati dengan mata melotot, Sin Wan maklum bahwa ayahnya sudah tewas. Dengan terisak dia lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk menutup sepasang pelupuk mata yang terbelalak itu sehingga kedua mata itu kini terpejam. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, memutar tubuh menghadapi tiga orang tosu yang memandang dengan sikap tenang.
"Kalian... tiga orang pendeta yang kelihatannya saja alim dan baik, akan tetapi kalian telah membunuh ayahku! Aku bersumpah kelak aku akan...”
"Sin Wan, diam kau...!" Tiba-tiba ibunya membentak dan ternyata ibunya telah berada di sisinya. Sin Wan tidak melanjutkan ucapan sumpahnya yang hendak membalas dendam, dan dia menoleh kepada ibunya, lalu merangkul pinggang ibunya.
"Ibuuuu... ayah telah tewas...!" isaknya.
"Aku tahu, anakku."
"Ayah telah dibunuh oleh tiga orang jahat itu...”
"Hushhh, diam kau, Sin Wan. Bukan mereka yang membunuh. Ayahmu bunuh diri, kita juga melihatnya tadi."
"Tetapi dia bunuh diri karena tersudut oleh mereka, ibu. Mengapa ibu tidak menyalahkan mereka dan tidak membela ayah?"
"Sin Wan, ayahmu tewas karena ulahnya sendiri..."
Wanita itu lalu berlutut dan menggunakan kedua tangannya untuk mencabut pisau yang masih menancap di lambung suaminya. Pisau itu berlumuran darah, akan tetapi kini tidak banyak lagi darah mengucur keluar dari luka di lambung itu.
"Ibuuu...!" Sin Wan berseru kaget ketika melihat ibunya mencabut pisau yang berlumuran darah itu. Dia melihat ibunya bercucuran air mata, menangis. Dia pun merasa terharu dan sangat sedih, mengira ibunya menangisi kematian ayahnya.
"Ibu, ayah mati karena ulah mereka, bagaimana kita tidak menjadi sakit hati? Ibu, jangan menangis, kelak anakmu yang akan..."
"Husssh, Sin Wan, jangan bicara sembarangan," kata ibunya sambil menghentikan tangis dan menghapus air matanya. "Ibumu bukan menangisi kematian ayahmu."
Sepasang mata anak itu terbelalak. "Ibu... apa maksudmu, ibu? Bagaimana mungkin ibu berkata demikian? Ayah amat mencinta ibu dan juga menyayangku, dan ibu pun mencinta ayah. Kenapa ibu mengatakan bukan menangisi kematian ayahku?"
"Sin Wan, dia ini bukan ayahmu."
"Heeeii...! Ibu...! Apa... apa maksudmu?” Wajah anak itu berubah pucat dan dia menatap wajah ibunya dengan mata terbelalak.
Tiga orang tosu itu pun saling pandang dan mereka diam saja, hanya kini mereka duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan juga untuk tidak mengganggu ibu dan anak itu.
"Sin Wan, anakku, sekarang tibalah saatnya ibumu membuka semua rahasia ini, di depan jenazah Se Jit Kong ini. Dengarkan baik-baik dan ingat semua kata-kataku, anakku. Lebih dari sepuluh tahun yang silam, ketika usiaku baru delapan belas tahun, namaku Jubaidah dan aku hidup berbahagia di samping suamiku yang baru setahun lebih menjadi suamiku. Suamiku bernama Abdullah dan dia adalah putera seorang kepala dusun di perkampungan bangsa kita, yaitu bangsa Uigur. Ketika itu engkau sudah berada di dalam kandunganku, Sin Wan, berumur tiga empat bulan."
"Aahhh..., jadi ayahku... ayah kandungku, yang bernama Abduilah itu...?" Suara Sin Wan berbisik lirih dan dia menoleh ke arah wajah Se Jit Kong, orang yang selama ini dianggap ayahnya.
"Mendiang Abdullah, anakku. Pada suatu hari Se Jit Kong ini datang ke dusun kami dan dia... dia menginginkan diriku. Dia lalu membunuh ayah kandungmu, mendiang Abdullah suamiku itu...”
"Ya Tuhan...!" Sin Wan menjadi lemas, wajahnya semakin pucat dan matanya seperti tak bersinar lagi mengamati wajah Se Jit Kong. Orang yang menyayangnya dan disayangnya seperti ayah ini kiranya malah pembunuh ayah kandungnya!
"Tenanglah Sin Wan. Engkau harus mendengarkan penuh perhatian dan mengingat baik-baik semua keteranganku ini. Suamiku Abdullah dibunuh oleh Se Jit Kong ini, lantas aku diculiknya. Aku adalah seorang wanita yang taat beragama. Aku sudah bersuami dan biar pun suamiku tewas, aku tidak akan sudi menyerahkan diri kepada pria lain, apa lagi kalau pria itu pembunuh suamiku. Menurut suara hatiku, seharusnya aku membunuh diri pada saat suamiku dibunuh itu. Akan tetapi… semoga Tuhan mengampuniku, aku... aku tidak tega karena engkau berada di dalam perutku, anakku. Kalau aku bunuh diri, berarti aku juga membunuh engkau. Aku ingin engkau terlahir dan hidup, anakku. Aku ingin engkau dapat menjadi saksi tunggal bahwa aku sama sekali bukan wanita yang demikian mudah melupakan suami dan menyeleweng dengan penyerahan diri kepada pria lain..." Wanita itu memejamkan mata dan menahan agar tangisnya tidak datang lagi.
Sin Wan tidak mengeluarkan suara, hanya memegang tangan ibunya dan menggenggam tangan itu seolah-olah memberi kekuatan kepada ibunya. Tangan kiri ibunya dingin sekali, sedangkan tangan kanan wanita itu masih menggenggam gagang pisau yang berlumuran darah Se Jit Kong. Agaknya sentuhan tangan puteranya memberi kekuatan kepada Ju Bi Ta atau Jubaidah ini, maka dia pun melanjutkan bicaranya.
"Dia ini memaksaku menjadi isterinya. Dia tidak memaksa dengan kekerasan, melainkan membujuk dengan lembut dan tampaknya ia amat sayang kepadaku. Aku lalu menyerah, akan tetapi demi Tuhan, semua ini kulakukan hanya untuk menyelamatkan anak di dalam kandunganku. Aku menyerah dengan syarat bahwa dia harus menanti sampai anak dalam kandungan terlahir, kemudian syarat kedua adalah bahwa dia harus menganggap anakku seperti anak sendiri dan menyayangnya. Jika sampai kelak dia melanggar janji maka aku akan membunuh diri. Dan dia... ya Tuhan ampunkan hamba, dia begitu sayang kepadaku, dia memenuhi semua permintaanku dan tdak pernah melanggar syarat-syaratku. Setelah engkau terlahir, dia begitu sayang kepadamu dan aku merasa benar bahwa dia amat cinta padaku. Maka, terpaksa sekali, walau pun di dalam hati aku menangis dan mohon ampun dan pengertian dari mendiang suamiku, aku menyerah dan menjadi isterinya..." Kembali wanita ini menghentikan ceritanya, berulang kali menghela napas panjang seperti hendak mengumpulkan kekuatan.
Sin Wan memandang bingung. Dia belum cukup dewasa untuk dapat menyelami keadaan ibunya, karena itu dia menjadi bingung dan tidak dapat mempertimbangkan baik buruknya keadaan itu.
"Akan tetapi, betapa pun besar cintanya kepadaku dan sayangnya kepadamu, bagaimana aku dapat mencinta orang seperti dia, anakku? Bukan saja dia telah membunuh suamiku dan menculikku, akan tetapi dia... ohhh, dia jahat sekali. Dia seorang datuk besar dunia hitam dan dia tidak pantang melakukan kejahatan dalam bentuk apa pun juga. Hanya satu yang tidak pernah dia lakukan setelah memiliki aku sebagai isterinya, yaitu mengganggu wanita. Hal ini pun karena permintaanku. Berulang kali aku membujuk, tapi dia melakukan segala macam kejahatan secara diam-diam, di luar pengetahuanku. Bahkan kabarnya dia menjadi jagoan nomor satu dengan mengalahkan semua tokoh di timur. Dia jahat sekali, anakku, ahhh, bagaimana mungkin aku dapat membalas cintanya? Aku hanya ingin mati, akan tetapi aku khawatir sesudah aku mati dia akan bersikap jahat terhadap dirimu. Aku harus menjagamu... dan untuk melindungimu, aku rela menderita lahir batin...”
"Ibu...!" Sin Wan merangkul ibunya. Sekarang dia dapat merasakan benar alangkah besar pengorbanan ibunya terhadap dirinya.
"Akhirnya aku berhasil membujuk dia supaya kembali ke barat sini. Aku tidak tahu bahwa ternyata dia telah mencuri benda-benda pusaka dari istana. Aku hanya ingin agar engkau dapat tumbuh menjadi remaja dan cukup kuat untuk meninggalkan dia, melarikan diri dan selamat dari jangkauannya. Aku baru mau mati kalau engkau benar-benar sudah terbebas dari tangannya, Sin Wan. Dan sekarang, karena ulahnya sendiri, akhirnya dia tewas. Kita sudah bebas, Sin Wan. Engkau bebas, tidak terancam bahaya lagi, dan aku pun bebas... bebas untuk menebus dosa-dosaku selama ini. Aku bebas untuk pergi menyusul suamiku, untuk mengadukan semuanya ini kepadanya. Ya Allah, ampunilah dosa hamba... Abdullah suamiku, tunggulah aku..."
Tiba-tiba saja wanita itu lalu menggunakan pisau yang masih berlumuran darah itu untuk menusuk dadanya sendiri sekuat tenaga.
"Ibuuuuu...!" Sin Wan menjerit dan cepat menangkap tangan ibunya.
Akan tetapi dia terlambat karena tadinya dia tidak menyangka sama sekali bahwa ibunya akan senekad itu. Pisau itu telah menancap di dada ibunya sampai ke gagang, dan ibunya terkulai di rangkulannya dalam keadaan mandi darah.
"Ibuuu... ibuuuu...! Ya Allah, tolonglah ibu...," Sin Wan meratap dan menangis.
Wanita itu membuka matanya. Nampak senyum lemah menghias bibir yang pucat itu dan kedua tangannya bergerak lemah ke atas, mengusap air mata dari pipi Sin Wan. "Sin Wan... anakku... biarkan ibumu menebus dosa... Engkau berjanjilah... akan menjadi manusia yang baik... taat kepada Allah... dan tidak berwatak jahat, jangan seperti Se Jit Kong..." Suaranya semakin lemah sehingga berbisik-bisik.
Di antara tangis sesenggukan Sin Wan mengangguk, "aku... berjanji..., ibu..." Kemudian dia pun menjerit dan pingsan di atas dada ibunya ketika melihat ibunya terkulai lemas.
Tiga orang tosu yang duduk bersila itu membuka mata mereka. Pek-mau-sian Thio Ki, Si Dewa Rambut Putih, menarik napas panjang dan dia pun bersanjak dengan suara lembut.
Sependek suka sepanjang duka. Sejumput manis setumpuk pahit. Ada gelap ada terang. Ada senang ada susah. Yang tidak mengejar kesenangan takkan bertemu kesusahan!
Tiga orang tosu itu lalu menyadarkan Sin Wan. Mereka membantu anak itu mengangkat jenazah Se Jit Kong dan Ju Bi Ta untuk dibawa ke rumah keluarga mereka. Tiga orang tosu itu mewakili Sin Wan untuk memberi tahu kepada para tetangga bahwa kematian suami isteri itu karena terbunuh musuh yang tidak mereka ketahui siapa.
********************
Dua buah peti mati Itu berada di ruangan depan, akan tetapi terpisah jauh seperti yang dikehendaki Sin Wan. Peti mati Se Jit Kong berada di sudut kiri ruangan itu, sedangkan peti jenazah Ju Bi Ta berada di sudut kanan. Sin Wan berlutut di depan peti mati ibunya, kadang menangis lirih, kadang termenung seperti kehilangan semangat.
Hanya karena peringatan dari tiga orang tosu yang membantunya mengurus jenazah, Sin Wan memaksa diri untuk membalas penghormatan para pengunjung, yaitu para tetangga yang datang memberi penghormatan terakhir kepada suami isteri yang tewas secara aneh itu. Mereka hanya mendengar bahwa suami isteri itu tewas di tangan musuh mereka, tapi mereka tidak tahu siapa musuh itu dan mereka pun tidak ingin mencampuri urusan itu.
Sesudah yang datang melayat berkumpul, dua peti jenazah kemudian diangkut ke tempat pemakaman. Juga atas permintaan yang sangat aneh dari Sin Wan, dua peti jenazah itu dikuburkan secara terpisah pula, di kedua ujung yang berlawanan dari tanah pekuburan itu. Para pelayat pulang meninggalkan dua gundukan tanah kuburan yang baru, sehingga yang tinggal di sana kini hanya Sin Wan bersama tiga orang tosu Sam Sian (Tiga Dewa).
Sam Sian masih menunggu sebab mereka belum selesai dengan tugas mereka. Tiga tosu ini belum mengambil kembali benda-benda pusaka, dan mereka hendak menanti sampai Sin Wan selesai berkabung dan sudah tenang kembali.
Sekarang Sin Wan menangis di depan makam ibunya, merasa kesepian, merasa khawatir karena secara mendadak dia dihadapkan dengan kenyataan yang sangat pahit. Pertama, melihat ayahnya bunuh diri dan tewas, kemudian mendengar cerita ibunya bahwa orang yang dianggap ayahnya itu ternyata sama sekali bukan ayahnya, bahkan seorang datuk penjahat besar yang sudah membunuh ayah kandungnya dan memaksa ibu kandungnya menjadi isteri. Berarti bahwa sebenarnya Se Jit Kong adalah musuh besarnya!
Kemudian disusul pula dengan kematian ibunya yang juga membunuh diri. Kini dia sudah kehilangan segalanya! Perubahan mendadak yang membuat anak berusia sepuluh tahun itu menjadi nanar dan gelap, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Suara tangis Sin Wan tidak keras lagi karena dia telah kehabisan suara dan tenaga, akan tetapi masih sesenggukan penuh kesedihan. Makin diingat keadaan dirinya yang sebatang kara di dunia ini, semakin pedihlah hatinya, dan semakin mengguguk pula tangisnya.
Sunyi senyap di tanah kuburan itu. Hanya tangis Sin Wan merupakan satu-satunya suara yang hanyut dalam kesunyian. Bahkan pohon-pohon di sekitar tanah kuburan itu tidak ada yang bergerak. Angin berhenti bertiup, entah sedang beristirahat di mana. Agaknya segala sesuatu ikut pula prihatin melihat duka nestapa yang dltanggung remaja itu.
Mendadak suara tangis lirih itu ditimpa suara tawa bergelak. Suara tawa yang lepas dan tidak ditahan-tahan sehingga terdengar janggal karena menurut umum suasana berkabung itu tidak sepantasnya diisi suara tawa sebebas itu!
Sungguh aneh mendengar suara tangis yang kini dibarengi suara tawa itu. Dewa Rambut Putih Thio Ki mengerutkan alisnya dan menengok ke arah rekannya, Dewa Arak Tong Kui yang mengeluarkan suara tawa itu.
"Dewa Arak, apa yang kau tertawakan ini?" tegurnya dengan alis berkerut.
"Ha-ha-ha, apa yang aku tertawakan? Dan apa pula yang ditangiskan anak itu? Apa pula yang membuat kalian berdua berwajah demikian serius dan muram? Ha-ha-ha-ha, tangis dan tawa sama-sama menggerakkan mulut, kenapa tidak memilih tertawa saja dari pada menangis? Tangis itu tidak sehat bahkan membuat wajah terlihat buruk, sebaliknya orang berwajah jelek pun akan menjadi menarik bila tertawa, juga menyehatkan. Ha-ha-ha-ha!" Si Dewa Arak tertawa lagi, kemudian meneguk arak dari gucinya.
"Aku mentertawakan semua kepalsuan ini. Kenapa kalau ada kematian lalu ada tangisan? Apa yang ditangisi? Bukankah orang yang bersangkutan tidak menangis malah wajahnya nampak tenang dan penuh damai! Sebaliknya, mengapa kelahiran disambut dengan tawa gembira, sedangkan yang bersangkutan begitu terlahir langsung menangisi kelahirannya sampai menjerit-jerit? Ha-ha-ha...!"
Mendengar ucapan itu seketika tangis Sin Wan terhenti. Semua ucapan itu memasuki hati serta benaknya dan berkesan sekali. Dia memang suka sekali membaca kitab-kitab kuno, sejarah, dongeng dan filsafat, juga pelajaran tentang hidup dalam kitab-kitab agama.
Belum pernah dia mendengar orang berbicara mengenai kematian seperti yang diucapkan Dewa Arak itu, apa lagi mendengar ada orang tertawa-tawa menghadapi kematian, seolah-olah kematian adalah peristiwa yang menyenangkan, bukan merupakan peristiwa duka. Dia merasa penasaran sekali dan setelah menghentikan tangisnya, dia lalu memandang kepada Dewa Arak.
"Maaf, locianpwe (orang tua gagah). Locianpwe mencela saya menangis. Salahkah saya kalau menangisi kematian ibu saya yang tercinta?” suaranya lantang dan menuntut. Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih diam-diam tersenyum. Dewa Arak memang pintar sekali, dapat mengalihkan kesedihan anak itu.
"Ha-ha-ha-ha, hendak kulihat dulu mengapa engkau menangis. Coba katakan, mengapa engkau menangis, anak baik? Namamu Sin Wan, bukan? Nah, katakan, Sin Wan, kenapa engkau menangis, maka aku akan tahu apakah tangismu itu wajar ataukah palsu."
"Saya menangis karena ibu saya meninggal dunia, locianpwe. Bukankah itu wajar?"
"Ya, akan tetapi kenapa kalau ibumu mati engkau menangis? Yang kau tangisi itu ibumu ataukah dirimu sendiri?"
"Apa... apa maksud locianpwe?"
"Katakan saja bagaimana isi hatimu. Jenguk isi hatimu lalu katakan apa sebenarnya yang membuat engkau menangis. Karena engkau kehilangan orang yang kau sayangi? Karena engkau ditinggal seorang diri kemudian engkau merasa kesepian? Karena meninggalnya orang kau sayang itu mendatangkan kesedihan karena engkau tidak akan menikmati lagi kesenangan dari orang yang meninggal itu?”
Sin Wan mengerutkan alisnya, berpikir-pikir kemudian mengangguk. "Memang begitulah, locianpwe. Hati siapa yang tidak akan bersedih ditinggal mati ibunya yang tercinta? Apa lagi sesudah mendengar bahwa ayah kandung saya telah tiada. Saya hanya hidup berdua dengan ibu, dan sekarang ibu meninggalkan saya seorang diri."
"Bagus, jadi engkau menangisi keadaan dirimu sendiri, bukan? Nah, itu namanya jawaban jujur. Engkau mencucurkan air mata karena engkau merasa kehilangan, karena engkau merasa iba terhadap diri sendiri. Air mata itu air mata karena iba diri, karenanya air mata seorang yang lemah! Lemah sekali hatinya, cengeng dan penakut!"
Sejak kecil Sin Wan digembleng oleh seorang datuk besar seperti Tangan Api. Meski pun ibu kandungnya selalu menekannya dan mengharuskan dia menjauhi kekerasan, namun bagaimana pun juga dia digembleng dengan sikap pemberani serta watak gagah seorang ahli silat oleh gurunya yang tadinya dianggap ayahnya sendiri itu.
Kini, dicela sebagai orang yang hatinya lemah, cengeng dan penakut, tentu saja mukanya yang tadinya pucat itu berubah kemerahan, matanya mengeluarkan sinar tajam dan hal ini membuat tiga orang sakti itu memandang dengan wajah berseri.
"Locianpwe, kenapa locianpwe demikian kejam? Locianpwe mengetahui bahwa baru saja saya kehilangan ibu, bahkan juga kehilangan ayah kandung yang ternyata belum pernah saya lihat itu. Saya kehilangan segalanya, namun locianpwe malah mentertawakan saya. Saya bukan lemah, cengeng apa lagi penakut!"
"Ha-ha-ha-ha, bagus sekali!" Dewa Arak itu tertawa. "Aku bukan mentertawakan engkau, melainkan mentertawakan kepalsuan yang dilakukan oleh sebagian besar orang di dunia ini. Kalau engkau tidak cengeng dan lemah, hapus air matamu dan jangan tenggelam ke dalam iba diri. Dan tidak perlu engkau menangisi ibumu yang sudah tiada. Bahkan kalau bisa tertawalah, tertawa gembira karena ibumu baru saja terbebas dari pada kedukaan hidup. Ingat betapa ibumu selalu menderita lahir batin sejak kematian ayah kandungmu, dan baru sekarang ibumu terbebas dari himpitan penderitaan. Kenapa harus ditangisi?"
"Saya tidak menangisi kematiannya itu sendiri, tapi terharu dan kasihan kalau mengenang betapa selama ini ibu telah menderita hebat dan mengorbankan diri karena saya."
"Heiii, Dewa arak, apakah engkau masih mabuk?" teriak Dewa Pedang Louw Sun. "Anak ini belum juga dewasa, tapi sudah kau ajak bicara tentang hal-hal yang begitu mendalam. Dia bersedih, itu manusiawi karena dia manusia yang mempunyai perasaan. Tidak seperti engkau yang sudah tidak lumrah lagi. Semua orang di dunia ini kalau kematian tentu saja menangis, apa salahnya dengan itu? Tetapi engkau menganjurkan anak ini agar tertawa-tawa ketika ibunya mati. Apa kau ingin dia dianggap orang gila? Kalau mau gila, engkau gila sendiri saja, jangan ajak-ajak anak kecil.”
"Ha-ha-ha, lebih baik mabuk tapi bicara secara terbuka dari pada tidak mabuk akan tetapi bicaranya selalu palsu, bersembunyi di balik kedok sopan-santun dan aturan yang pada hakekatnya hanya menonjolkan diri sendiri. Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, kalian sendiri bukan orang-orang yang dicengkeram oleh nafsu, kenapa nampak murung seperti orang berduka? Benarkah kalian berduka karena kematian Se Jit Kong dan ibu anak ini? Terharu setelah mendengar pengakuan ibu Sin Wan?"
"Aih, Dewa Arak, bagaimana orang-orang seperti kita masih terpengaruh perasaan hati dan mudah diombang-ambingkan antara suka dan duka? Tidak, Ciu-sian, pinto (aku) tidak murung, tidak berduka, hanya termenung heran mengapa orang-orang seperti mereka ini dengan cepat terbebas dari kurungan, sedangkan kita masih harus terhukum entah untuk berapa lama lagi," Dia menghela napas panjang. Dengan heran Dewa Arak memandang Dewa Pedang yang baru saja bicara itu.
“Siancai (damai)...! Engkau ini tosu macam apa? Baru sekarang aku mendengar pendeta To bicara sepertl ini! Bukankah biasanya para pendeta To bahkan berlomba mencari obat ajaib untuk membuat kalian berusia panjang sampai seribu tahun atau bahkan tidak akan mati selamanya?”
"Pinto bukan termasuk mereka yang senang berkhayal dan bermimpi yang muluk-muluk. Pinto juga tidak merasa menyesal, hanya merasa heran akan rahasia alam yang sangat gaib ini, saudaraku."
"Bagaimana dengan engkau, Dewa Rambut Putih? Engkau pun tidak nampak tersenyum seperti biasanya. Ke mana perginya senyum simpulmu yang manis itu? Apakah engkau juga ikut prihatin dan berkabung?” Suara Si Dewa Arak mengandung ejekan...