SAM SIAN menghampiri anak itu dan Dewa Arak menyentuh kepala anak perempuan itu. "Hemmm, engkau sungguh keras hati, anak baik. Mari kita bicara tentang dirimu sebelum kami mengambil keputusan. Mari, bangkitlah!” Dewa Arak memegang tangan anak itu dan menariknya berdiri.
Anak itu sudah lemas dan tentu akan roboh kalau tangannya tidak digandeng Dewa Arak. Wajahnya yang manis nampak agak pucat, akan tetapi matanya bersinar cerah ketika dia memandang kepada tiga orang kakek itu. Dia menurut saja ketika dibimbing menuju ke sebuah rumah makan yang buka pagi-pagi menjual sarapan bubur ayam dan teh panas.
Dewa Arak memesan bubur ayam untuk dia, Sin Wan, anak perempuan itu serta pelayan wanita yang terus mengikuti nonanya, sedangkan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih memesan bubur tanpa daging ayam.
"Makanlah dahulu, baru kita bicara," kata Dewa Arak kepada anak perempuan itu.
Tanpa membantah dia segera makan bubur ayam. Sarapan hangat ini penting sekali bagi kesehatannya, sesudah berlutut sejak kemarin dan semalaman berhujan-hujan di tempat terbuka, tanpa makan tanpa minum.
Setelah mereka makan, barulah Dewa Arak bertanya, "Nah, sekarang katakan mengapa engkau bersikap seperti itu? Siapakah engkau dan mengapa engkau ingin menjadi murid kami?"
Anak itu ingin menjawab, akan tetapi hanya bibirnya yang bergerak gemetar kemudian dia pun menundukkan mukanya, menangis! Pelayannya yang duduk di sebelahnya merangkul nonanya dan dia pun mewakili nonanya menceritakan riwayat anak itu.
"Siocia (nona) bernama Lim Kui Siang, usianya hampir sepuluh tahun, sedangkan saya adalah pelayan dan pengasuhnya sejak dia masih bayi. Siocia ini puteri dari keluarga Lim, bangsawan dan pejabat tinggi yang tadinya menjabat sebagai pengurus gudang pusaka istana. Ketika terjadi pencurian pusaka-pusaka itu, Lim-taijin (pembesar Lim) tewas pula dibunuh pencuri. Ibunya yang ketika itu sedang menderita sakit, terkejut mendengar akan tewasnya suaminya, apa lagi keluarga Lim harus bertanggung jawab mengenai kehilangan itu. Maka kedukaan akhirnya membuat ibu siocia ini meninggal pula.”
"Hemm, apa hubungannya semua itu dengan kenekatannya untuk menjadi murid kami?" Dewa Arak bertanya.
"Saya tidak tahu... nona, ceritakanlah sendiri mengapa nona bersikeras untuk belajar ilmu dari mereka..."
Anak perempuan itu, Lim Kui Siang, kini sudah berhasil menguasai kesedihannya dan dia pun mengangkat muka memandang kepada tiga orang pendeta itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan sinar matanya penuh harapan.
"Saya telah menjadi yatim piatu. Kedua orang paman saya, adik dari ibu saya, bersikap baik, akan tetapi saya tahu bahwa mereka itu berbaik kepada saya karena menghendaki harta warisan orang tua saya. Saya muak dengan kepalsuan mereka semua itu. Kematian ayah dan ibu membuat saya kehilangan segala-galanya. Saya menaruh dendam terhadap pembunuh ayah yang menjadi pembunuh ibuku pula. Saya mendengar bahwa Sam-wi locianpwe telah berhasil menemukan kembali pusaka-pusaka itu. Ini berarti bahwa sam-wi lebih pandai dari pada pencuri itu. Maka saya bertekad untuk berguru kepada sam-wi!" katanya dengan suara mantap dan tegas.
"Ho-ho-ha-ha-ha !" Dewa Arak tertawa. "Kalau engkau ingin bersusah payah mempelajari ilmu untuk membalas dendam, maka jerih payahmu itu akan sia-sia saja, nona. Ketahuilah bahwa orang yang kau musuhi itu, pencuri yang membunuh ayahmu itu, dia telah mati!"
Akan tetapi anak perempuan itu tidak kelihatan kaget. "Biar pun dia telah mati, saya tetap ingin mempelajari ilmu dari sam-wi locianpwe," katanya tegas.
"Ehh? Untuk apa seorang anak perempuan bangsawan seperti engkau mempelajari ilmu silat, sedangkan orang yang kau musuhi itu sudah tidak ada?" tanya Dewa Arak, tertarik oleh kekerasan dan kesungguhan hati anak itu.
"Ayahku tewas karena dia tidak pandai ilmu silat, sedangkan ibuku juga meninggal dunia karena tubuhnya lemah. Saya ingin menjadi orang yang pandai silat sehingga saya dapat membela diri, melindungi orang-orang yang tidak bersalah, menentang penjahat-penjahat keji, dan saya ingin mempunyai tubuh yang kuat tidak seperti ibu. Nah, saya mohon sam-wi sudi menerima saya sebagai murid."
Kembali anak perempuan itu menjatuhkan diri berlutut. "Sekali ini saya tidak akan nekat berlutut seperti kemarin, tetapi kalau sam-wi menolak, selamanya saya akan menganggap sam-wi tidak mempunyai belas kasihan kepada seorang anak yatim piatu seperti saya."
Tiga orang kakek itu saling pandang. Anak ini memang lain dari pada yang lain. Kecuali keras hati dan bersemangat, juga pandai bicara!
"Siancai...! Kami suka saja menjadi gurumu, akan tetapi bagaimana dengan keluargamu? Bagaimana dengan rumah peninggalan orang tuamu? Harta peninggalan orang tuamu itu tentu banyak sekali. Kalau kau tinggalkan, bagaimana dengan semua warisan itu?"
"Saya tidak peduli! Paman-paman saya beserta keluarga mereka sudah selalu mengincar harta itu. Biarlah mereka bagi-bagi. Saya tidak membutuhkan harta, saya butuh ilmu dari sam-wi suhu (guru bertiga)!"
"Ha-ha-ha, sungguh aneh mendengar kata-kata itu keluar dari mulutmu, nona kecil. Kalau bagi kami bertiga, memang kami tidak membutuhkan harta karena kami senang hidup di tempat sunyi, tldak membutuhkan apa-apa lagi. Akan tetapi engkau adalah seorang anak perempuan, puteri seorang bangsawan. Kelak engkau akan membutuhkan harta itu untuk keperluan hidupmu. Kebetulan aku mempunyai seorang kenalan di kota raja, yaitu Ciang-ciangkun. Biarlah kutitipkan semua harta peninggalan orang tuamu itu kepada dia untuk dilindungi, agar kelak engkau dapat menerimanya kembali dari dia."
Anak perempuan itu memandang kepada tiga orang kakek itu dengan wajah berseri. "Ini berarti bahwa sam-wi suhu sudah menerima saya sebagai murid?"
Tiga orang itu saling pandang dan tersenyum, kemudian mengangguk. Jarang ditemukan seorang anak perempuan semacam ini. Mereka telah mengambil Sin Wan sebagai murid, tidak apa-apa kalau ditambah seorang murid perempuan lagi.
"Suhu...!" Anak perempuan itu memberi hormat kepada mereka bertiga secara bergantian. Lalu dia bangkit dan merangkul wanita setengah tua yang menjadi pengasuhnya sejak dia masih kecil.
"Kiu-ma, engkau sudah mendengar sendiri. Aku diterima menjadi murid ketiga orang suhu ini dan aku akan pergi mengikuti mereka. Kiu-ma, engkau pulanglah dan selama engkau masih suka, tinggallah di rumah keluargaku. Kalau tidak, engkau boleh pulang ke dusun dan semua yang kuberikan kepadamu itu boleh kau bawa pulang."
"Siocia... ahhh, siocia...!” Wanita itu merangkul dan menangis sedih.
"Sudahlah Kiu-ma. Peristiwa ini sangat membahagiakan hatiku, mengapa engkau sambut dengan tangis? Jangan mendatangkan kesedihan bagiku, Kiu-ma. Kalau aku telah selesai belajar ilmu kelak, tentu kau akan kucari dan kita akan dapat bertemu kembali."
Setelah cukup lama dibujuk-bujuk, akhirnya pelayan yang setia ini meninggalkan nonanya dan menyerahkan buntalan pakaian yang memang sudah dipersiapkan lebih dulu oleh Kui Siang. Anak perempuan ini memang sudah mengambil keputusan tetap, karena itu ketika meninggalkan rumah untuk menghadang tiga orang kakek itu di depan pintu gerbang, dia sudah membawa bekal pakaian, bahkan sudah meninggalkan banyak emas untuk Kiu-ma, pelayannya yang setia.
Pada keesokan harinya, Dewa Arak mengajak Kui Siang pergi ke gedung Ciang-ciangkun (perwira Ciang), seorang komandan pasukan yang terkenal gagah perkasa. Ketika terjadi perang menumbangkan kekuasaan Mongol dan sedang memimpin pasukannya, perwira ini pernah terjepit dan dikepung musuh. Dia dengan belasan orang pengawalnya dikepung ratusan orang prajurit Mongol. Kalau tidak muncul Dewa Arak yang menyelamatkannya, maka sukarlah bagi perwira itu untuk menghindarkan diri dari kematian. Inilah sebabnya mengapa Dewa Arak mengenal perwira Ciang itu.
Ciang-ciangkun yang kini berusia empat puluh tahun itu menerima kunjungan Dewa Arak dengan penuh kehormatan dan kegembiraan. Meski pun sekarang dia sudah memperoleh kedudukan tinggi, namun panglima ini tidak melupakan orang yang pernah menolongnya dari cengkeraman maut.
Ketika Dewa Arak menerangkan bahwa Lim Kui Siang, puteri dari mendiang bangsawan Lim akan ikut dengan dia menjadi muridnya, dan bahwa Dewa Arak ingin menitipkan harta kekayaan anak itu sebagai peninggalan orang tuanya dalam pengawasan Ciang-ciangkun, perwira itu menerimanya dengan penuh kesungguhan hati.
“Jangan khawatir, totiang. Saya mengenal baik mendiang Lim-taijin, seorang pembesar yang baik dan jujur. Memang nasibnya amat malang, tetapi sungguh beruntung puterinya dapat menjadi murid totiang. Saya akan menjaga semua harta milik nona Lim Kui Siang dan kelak, kalau dia sudah kembali ke sini tentu akan saya serahkan semua hak miliknya kepadanya."
Anak perempuan itu lalu disuruh membuat pernyataan tertulis mengangkat perwira Ciang menjadi kuasanya untuk mengurus dan menguasai seluruh harta peninggalan dari orang tuanya Setelah itu Dewa Arak mengajak muridnya meninggalkan perwira Ciang, kemudian mereka bergabung dengan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, lalu bersama Sin Wan pergi meninggalkan kota raja.
Ketika Kui Siang dan Sin Wan saling bertemu dan saling pandang, Sin Wan tersenyum dan berkata, "Sumoi, aku girang sekali kita dapat menjadi saudara seperguruan."
"Aku juga girang sekali, suheng."
Hanya itulah ucapan mereka karena mereka belum saling mengenal. Kelak ketika mereka telah akrab, keduanya akan merasa makin suka karena memiliki nasib yang sama, yaitu keduanya sudah yatim piatu. Akan tetapi ketika menceritakan riwayatnya kepada sumoi (adik seperguruan) itu, Sin Wan tidak pernah menyinggung tentang Se Jit Kong, hanya menceritakan bahwa ayahnya bernama Abdullah dan ibunya Jubaedah, keduanya Bangsa Uigur dan sudah meninggal dunia.
Sam Sian atau Tiga Dewa membawa dua orang murid mereka ke sebuah puncak yang diberi nama Pek-ln-kok (Lembah Awan Putih), satu di antara lembah Pegunungan Ho-lan-san yang terletak di pantai barat Sungai Kuning. Pek-in-kok inilah yang menjadi tempat Sam Sian mengasingkan diri selama ini.
Lembah yang berada dekat puncak ini berhawa sejuk dan bertanah subur. Akan tetapi untuk mencapai tempat itu merupakan hal yang amat sulit karena melalui dinding karang yang terjal dan sulit didaki oleh orang biasa. Inilah sebabnya maka tempat itu tidak pernah dikunjungi orang luar dan menjadi tempat pertapaan yang benar-benar sangat tenang dan tenteram.
Di sebeIah timur kaki Pegunungan Ho-lan-san terdapat sebuah kota di tepi Sungai Kuning. Kota ini cukup besar dan ramai, yaitu kota Yin-coan dan sedikitnya satu bulan sekali, Sin Wan dan Kui Siang mendapat kesempatan turun gunung dan berkunjung ke kota ini untuk membeli keperluan bagi mereka berlima. Selain ini mereka tidak pernah berhubungan dengan orang luar dan setiap hari kedua orang anak itu menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang tinggi dari tiga orang guru mereka.
Waktu merupakan suatu kenyataan yang amat aneh. Segala sesuatu di dalam kehidupan manusia di dunia ini, akhirnya semuanya menyerah kepada sang waktu, satu demi satu akan menyerah untuk ditelan habis oleh Sang Waktu!
Waktu merupakan bukti akan kekuasaan Tuhan, menjadi bukti bahwa segala sesuatu di permukaan bumi ini tidak abadi adanya. Hanya Tuhan yang abadi, tanpa awal tanpa akhir. Segala sesuatu akan berubah menjadi permainan sang waktu.
Kalau tidak diperhatikan, sang waktu melesat cepat melebihi cahaya, melebihi kecepatan apa pun juga sehingga seorang kakek yang mengenang masa kanak-kanaknya akan merasa betapa sang waktu lewat sedemikian cepatnya sehingga puluhan tahun bagaikan baru kemarin dulu saja! Sebaliknya, apa bila orang menanti sesuatu dan memperhatikan sang waktu, maka sang waktu akan merangkak atau merayap seperti seekor siput.
Waktu juga mempermainkan pikiran dengan pembagiannya sebagai kemarin, hari ini dan esok atau masa lalu, saat ini dan masa depan. Pikiran yang mengenang masa lalu hanya mendatangkan dendam, duka dan penyesalan. Sedangkan pikiran yang membayangkan masa depan hanya mendatangkan rasa malu, rasa takut dan khayalan muluk. Masa lalu sudah lewat, hanya kenangan, masa depan belum ada, hanya khayalan. Menghadapi saat ini, detik demi detik, berarti menghadapi kenyataan dan itulah hidup.
Hidup merupakan tantangan setiap saat yang harus kita hadapi dan harus ditanggulangi. Bagi yang hidup, dari saat ke saat bebas dari masa lalu dan masa depan. Saat ini adalah pelaksanaan hidup, saat ini adalah cara hidup, jalan hidup, sedangkan besok hanyalah ambisi, khayalan. Yang lampau sudah mati, yang kelak belum datang. Sekarang benar, nanti pun benar. Benar dan tidak terletak pada saat sekarang ini!
Tuhan sudah menciptakan kita dalam keadaan sempurna, serba lengkap dengan perabot dan alat yang dapat kita gunakan untuk menghadapi dan menanggulangi hidup, lengkap dengan jasmani yang serba lengkap, panca indera, hati dan akal budi. Semua itu masih ditambah lagi dengan kekuasaan Tuhan yang meliputi diri kita luar dan dalam, kekuasaan Tuhan yang melindungi dan membimbing, asalkan kita mendasari semua ikhtiar dengan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih dengan sabar, tawakal dan ikhlas! Semua kehendak Tuhan jadilah!
Tanpa terasa lagi sepuluh tahun telah lewat sejak terjadinya peristiwa-peristiwa yang telah diceritakan pada bagian depan. Pagi itu udara di Pek-in-kok (Lembah Awan Putih) sangat cerah walau pun sinar matahari pagi masih terlampau lunak untuk dapat mengusir hawa yang dingin sejuk sehingga terasa menusuk tulang bagi mereka yang tidak biasa tinggal di tempat yang berhawa dingin.
Sudah sejak subuh tadi Sin Wan dan Kui Siang meninggalkan lembah dan pergi ke kota Yin-coan. Tahun baru tinggal sebulan lagi dan tiga orang guru mereka menyuruh mereka pergi ke Yin-coan untuk membeli pakaian baru untuk kedua orang murid itu.
"Akan tetapi, suhu, untuk apa teecu berdua harus membeli pakaian baru?" tanya Sin Wan yang kini telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.
Pemuda ini bertubuh tegap dan sedang, dengan dada lebar dan kaki tangan kokoh kuat. Dahinya lebar, rambutnya hitam panjang digelung ke atas, alisnya tebal berbentuk golok melindungi sepasang matanya yang besar dan bersinar cerah. Hidungnya mancung agak besar, dan mulutnya membayangkan keramahan dengan dagu berlekuk membayangkan keteguhan hati. Seorang pemuda yang gagah dan ganteng, dengan kulit yang agak gelap.
"Teecu juga heran. Kenapa teecu berdua diharuskan berbelanja pakaian baru? Pakaian teecu masih baik dan masih cukup banyak," Kui Siang juga membantah.
Dewa Arak yang mewakili dua orang rekannya menyuruh dua orang murid itu, tersenyum. Tiga orang pertapa yang dijuluki Sam Sian (Tiga Dewa) itu kini sudah tua. Usia mereka sudah enam puluh tahun lebih, namun mereka masih nampak sehat dan kuat. Terutama sekali Ciu-sian Tong Kui. Dewa Arak yang memiliki pembawaan gembira ini nampak lebih muda dari dua orang rekannya. Usianya yang enam puluh dua tidak meninggalkan bekas. Nampaknya dia belum ada lima puluh tahun!
"Sin Wan dan Kui Siang, kalian adalah orang-orang muda. Sudah sepatutnya kalian hidup penuh gairah, mengenakan pakaian yang bersih dan rapi. Menjelang tahun baru ini, kalian harus mempunyai pakaian baru untuk dipakai pada hari-hari tahun baru!"
"Tetapi, suhu, teecu sudah sepuluh tahun berada di sini dan teecu tidak pernah mengikuti tahun baru seperti para penduduk di bawah lembah," bantah Sin Wan.
"Lagi pula untuk apa teecu mengenakan pakaian baru pada hari tahun baru? Hendak dipamerkan kepada siapa? Teecu tidak saling berkunjung dengan keluarga," bantah pula Kui Siang.
"Siancai, murid-muridku yang baik," kata Dewa Pedang. Kiam-sian Louw Sun termasuk orang yang berpakaian paling bersih di antara Tiga Dewa itu. "Mengenakan pakaian baru di hari tahun baru bukan sekedar untuk berpamer, tetapi mempunyai arti yang mendalam. Tahun baru mengingatkan kita bahwa usia kita bertambah setahun lagi. Kita wajib mawas diri, menyadari semua kesalahan pada tahun yang lalu, mengubur semua kenangan masa lalu sehingga tak ada dendam yang tertinggal di hati. Hati harus bersih, seolah tahun baru juga membawa kehidupan baru yang ditandai dengan pakaian baru. Jadi pakaian baru melambangkan hati yang baru, cara hidup yang baru dan bersih seperti juga pakaian yang baru. Bersih itu pangkal sehat, bukan? Nah, siapa bilang mengenakan pakaian baru pada hari tahun baru hanya untuk pamer belaka?"
Karena alasan yang begitu kuat, dua orang murid itu tidak mampu membantah lagi. Pula, di sudut paling dalam di hati mereka, harus mereka akui bahwa pakaian baru juga menarik dan menyenangkan hati mereka. Hal itu menandakan bahwa memang ada gairah dalam hati dua orang muda ini, suatu hal yang wajar bagi orang muda.
Ketika Sin Wan dan Kui Siang pertama kali naik ke Pek-in-kok, usia mereka baru kurang lebih sepuluh tahun. Kini mereka telah dewasa. Sin Wan sudah menjadi seorang pemuda dewasa yang gagah dan ganteng, sedangkan Kui Siang juga telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis. Tubuhnya langsing berisi mengarah montok dengan tinggi sedang, kulitnya putih mulus.
Wajahnya bulat telur dengan dagu runcing dan di dagu kanan terhias tahi lalat hitam kecil. Matanya lembut akan tetapi kadang sinarnya mencorong. Bibirnya merah segar. Mata dan mulutnya merupakan daya tarik terbesar pada diri gadis ini. Sikapnya halus dan anggun, dan pembawaan ini mungkin karena dia adalah puteri bangsawan yang ketika kecil sudah terbiasa melihat sikap yang demikian.
Pada waktu dua orang muda kakak beradik seperguruan itu menuruni lembah di bagian timur, di luar tahu mereka tentu saja, dari barat terdapat dua orang yang mendaki lembah bukit itu dengan gerakan yang ringan dan cepat sekali. Mereka itu adalah seorang wanita cantik berpakaian mewah yang kelihatan baru berusia tiga puluhan tahun, serta seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang lebih cantik lagi. Wanita itu bukan lain adalah Bi-coa Sian-li (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In. Sedangkan gadis manis itu adalah muridnya yang bernama Tang Bwe Li dan yang biasa dipanggil Lili oleh gurunya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, guru dan murid yang keduanya galak ini pernah mencoba untuk merampas pusaka-pusaka istana yang dibawa oleh Sam Sian, tapi Dewi Ular Cantik itu tak mampu mengalahkan Sam Sian. Ia terpaksa mengajak muridnya pergi dengan marah dan hatinya penuh dendam kepada Sam Sian yang telah mengalahkannya.
Apa lagi ketika ia mendengar bahwa pusaka-pusaka itu oleh Sam Sian telah dikembalikan kepada kaisar. Ia segera mengajak muridnya pergi ke barat untuk mengunjungi ayahnya, yaitu seorang datuk besar bernama Cu Kiat yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat). Datuk besar ini tinggal di puncak Bukit Ular di Pegunungan Himalaya ujung timur dan sudah belasan tahun dia tidak lagi terjun ke dunia ramai.
Namun nama besar See-thian Coa-ong pernah menggemparkan dunia persilatan karena wataknya yang aneh dan ilmunya yang sangat tinggi. Dia seorang datuk yang aneh, tidak condong kepada golongan sesat, tidak pula condong kepada para pendekar. Dia berdiri di tengah-tengah dan menentang siapa saja yang tidak cocok dengan seleranya.
Kepada ayahnya yang juga menjadi gurunya, Bi-coa Sian-li Cu Sui In lalu mengadukan kekalahannya dari Sam Sian dan dia ingin memperdalam ilmunya supaya dapat menebus kekalahannya itu. Kakek yang tinggi kurus itu mengelus-elus jenggotnya dan mulutnya yang biasanya selalu dihiasi senyum mengejek itu kini tertawa. Matanya yang sipit dengan lindungan alis hitam tebal itu semakin sipit ketika dia tertawa, matanya yang tajam bersinar-sinar gembira.
"Ha-ha-ha-ha, engkau dikalahkan Sam Sian bertiga? Ha-ha-ha, Sui In, engkau tidak perlu penasaran. Ayahmu sendiri pun tidak akan menang kalau harus maju sendiri menghadapi pengeroyokan mereka bertiga. Mereka bertiga masing-masing mempunyai ilmu yang khas dan lihai sekali. Pusaka-pusaka itu telah dikembalikan kepada kaisar. Sudahlah, tak perlu dibuat kecewa."
"Tapi, ayah. Aku merasa terhina sekali. Aku harus membalas kekalahan itu, dan aku ingin memperdalam ilmuku. Karena itulah aku datang menghadap ayah!" kata wanita cantik itu dengan tegas.
"Teecu juga harus membalas penghinaan yang teecu alami dari Si Kerbau-kuda-kucing-anjing-sapi-babi anak setan sialan itu!" kata pula Tang Bwe Li atau Lili, tidak kalah marah dan galaknya dibanding gurunya.
Datuk yang usianya sekitar lima puluh lima tahun itu memandang kepada Lili dengan mata terbelalak, kemudian mengerutkan alisnya dan bertanya. "Siapakah bocah ini?"
"Dia muridku bernama Tang Bwe Li, ayah.”
"Sukong (kakek guru), aku Lili menghaturkan hormat kepada sukong!" kata Bwe Li atau Lili sambil menjatuhkan diri berlutut di depan ayah dari subo-nya itu.
“Hemm, Sui In! Kalau engkau hendak mengambil murid, mengapa tidak memilih seorang murid laki-laki? Anak perempuan seperti ini mana mampu mewarisi ilmu kita yang tinggi?" tegur kakek itu sambil memandang kepada Lili dengan alis berkerut dan mulut mengejek.
Sebelum Dewi Ular Cantik menjawab, Lili sudah mengangkat muka memandang kepada kakek itu dengan mata bersinar penuh kemarahan, kemudian terdengar jawabannya yang lantang. "Mengapa sukong berkata begitu? Lupakah sukong bahwa subo, puteri sukong, juga seorang wanita? Apakah sukong hendak mengatakan bahwa subo juga tidak mampu mewarisi ilmu dari sukong?"
Cu Sui In hanya tenang-tenang saja mendengar bantahan muridnya kepada ayahnya. Dia sudah mengenal benar watak muridnya. Justru watak yang keras, berani dan jujur itulah yang membuat dia suka sekali kepada Lili. Akan tetapi tidak demikian dengan datuk besar See-thian Coa-ong Cu Kiat. Kakek ini terbelalak, mulutnya masih tersenyum mengejek, akan tetapi sinar matanya membayangkan perasaan kaget, penasaran dan juga kagum.
“Hemm, hendak kulihat apakah engkau memang bernyali naga, ataukah hanya berlagak saja!” katanya dan dari mulutnya keluar suara mendesis.
Tidak lama kemudian terdengar suara desis yang sama dari dalam rumah dan muncullah seekor ular yang besar sekali. Ular itu panjangnya lebih dari lima meter, besarnya sepaha orang dewasa. Ular itu keluar sambil mendesis-desis. See-thian Coa-ong si Raja Ular itu terus mengeluarkan desis yang makin meninggi seperti bersiul dan tiba-tiba saja ular itu lalu bergerak maju menyerang Lili!
Anak perempuan berusia sembilan tahun itu tidak kelihatan terkejut atau pun takut. Dia sudah meloncat berdiri dan begitu ular menyerangnya, dia sudah melompat ke samping. Ketika kepala ular itu meluncur lewat, dia menggerakkan kaki menendang ke arah kepala ular dari samping belakang.
"Plakk!" Kepala ular kena ditendang, akan tetapi kepala ular itu keras sekali sehingga kaki di dalam sepatunya terasa nyeri.
Ular itu terkejut, membalik dan dengan moncongnya yang dibuka lebar dia menerjang lagi. Dengan gesit Lili meloncat lari ke samping. Akan tetapi dia tidak sempat menendang lagi karena kepala ular itu sudah membalik dan melanjutkan serangannya yang bertubi-tubi. Bukan hanya kepalanya saja yang menyerang, juga ular itu menggerakkan ekornya untuk menyambar kaki anak perempuan itu. Lili terpaksa harus meloncat ke sana sini sehingga dia pun menjadi marah sekali.
"Ular keparat, kau kira aku takut padamu?!" bentaknya.
Ketika ular itu menyerang lagi dengan moncongnya, dia cepat mengelak ke kiri, kemudian dia meloncat dan menerkam leher ular itu dari belakang, mencengkeram leher itu dengan sepasang tangannya! Gerakan ini selain tangkas juga berani sekali.
Hal ini tidak begitu mengherankan. Lili adalah murid Dewi Ular Cantik, seorang yang biasa bermain dengan ular. Sejak kecil Lili telah dibiasakan oleh gurunya untuk bermain dengan ular yang menjadi dasar dari ilmu-ilmunya, karena itu Lili tidak pernah takut berhadapan dengan ular. Hanya belum pernah berkelahi dengan ular sebesar itu!
Biar pun dua buah tangan itu kecil saja, dengan jari-jari yang mungil dan tidak panjang, akan tetapi cekikan kedua tangan pada leher ular itu cukup kuat. Ular itu meronta-ronta hendak melepaskan leher yang dicekik. Demikian kuat ular itu meronta sehingga tubuh Lili terbawa dan terbanting, terguncang ke kanan kiri.
Tapi bagaikan seekor lintah anak perempuan itu tak pernah mau mengendurkan, apa lagi melepaskan cekikannya. Ular itu kini menggerakkan ekornya dan tubuh ular yang panjang besar dan licin dingin itu membelit-belit tubuh Lili! Lilitan ular itu kuat sekali.
Seorang laki-laki dewasa pun takkan dapat tahan bila dililit ular itu, akan patah-patah dan remuk tulang-tulangnya. Akan tetapi desis yang keluar dari mulut Raja Ular merupakan isyarat atau perintah yang amat dipatuhi ular besar itu. Lilitannya bukan untuk membunuh, melainkan untuk membuat anak perempuan itu tidak mampu bergerak.
Kini seluruh tubuh anak itu dililit ular, juga kedua kaki dan kedua lengannya. Akan tetapi kedua tangannya masih tetap mencekik leher ular, walau pun tenaganya sudah banyak berkurang karena kedua lengannya dililit ular. Lili tidak mampu bergerak lagi.
"Subo!" ia memandang subo-nya, akan tetapi wanita cantik itu acuh saja seolah muridnya tidak terancam bahaya. Lili hanya satu kali memanggil, tanpa berkata minta tolong.
"Ha-ha-ha, anak bandel! Sekarang menangislah, minta ampunlah, dan ular ini tentu akan melepaskanmu," kata See-thian Coa-ong Cu Kiat penuh kemenangan.
Akan tetapi, biar pun lilitan ular itu semakin kuat dan membuat dadanya terasa sesak, Lili bertahan dan memandang kepada kakek gurunya dengan mata bersinar-sinar. "Sukong, subo tidak pernah mengajarkan aku untuk merengek dan menangis dengan cengeng! Aku tidak bersalah apa-apa, aku tidak akan menangis, tidak akan minta ampun!"
"Hemm, kalau begitu, ularku akan membunuhmu!"
"Aku tidak percaya. Subo akan melarangnya, dan sukong juga tidak mungkin membunuh cucu murid sendiri. Andai kata dibunuh juga, aku tidak takut!"
Kembali kakek itu mengeluarkan suara mendesis dan lilitan ular itu semakin kuat. Lili sudah tidak mampu menggerakkan kaki tangan. Akan tetapi dia tidak mau menyerah begitu saja. Dia masih dapat menggerakkan lehernya. Melihat betapa dadanya semakin sesak, dia pun menunduk dan membuka mulutnya, lalu menggigit leher ular yang berada pada dagunya, menggigit dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Giginya yang kuat itu menembus kulit ular dan lidahnya segera merasakan darah yang asin amis!
Ular itu terkejut kesakitan dan lilitannya mengendur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Lili untuk meronta, melepaskan diri dan meloncat keluar dari lilitan ular itu. Dia meloncat ke dekat subo-nya.
"Subo, tolong teecu (murid) pinjam pedangnya sebentar untuk membunuh ular keparat itu,” teriaknya kepada subo-nya.
"Hushh!", bentak Cu Sui In. "Kalau ayah menghendaki, sudah semenjak tadi engkau mati, tulang-tulangmu sudah remuk dalam lilitan ular. Atas perintah sukong-mu, ular itu hanya mengujimu, bukan hendak membunuhmu, tapi engkau malah menggigit sehingga melukai lehernya!"
Mendengar keterangan gurunya, Lili terkejut sekali. Dia memandang dan melihat kakek itu dengan penuh sikap menyayang, memeriksa luka di leher ular dan mengobatinya dengan obat bubuk putih. Dia merasa bersalah dan segera dia menjatuhkan diri berlutut di depan See-thian Coa-ong Cu Kiat.
"Sukong, aku sudah bersalah. Kalau sukong hendak menghukum dan membalas dengan menggigit leherku, silakan!”
Raja Ular Itu memandang kepadanya, lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Sui In. Sekarang aku mengerti mengapa engkau memilih setan cilik ini sebagai murid. Dia memang pantas menjadi muridmu, bahkan patut menjadi muridku, ha-ha-ha!"
Mendengar ini, Cu Sui In tersenyum. "Lili, cepat kau menghaturkan terima kasih kepada suhu-mu. Mulai saat ini juga engkau menjadi murid ayah, dan aku menjadi suci-mu (kakak seperguruanmu)!"
Lili adalah seorang wanita yang cerdas sekali. Dia segera memberi hormat dan menyebut suhu kepada Si Raja Ular yang tertawa bergelak karena girangnya memperoleh seorang murid yang menyenangkan. Mulai saat itu Lili menyebut suci kepada bekas ibu gurunya. Hal itu amat menyenangkan hati Sui In, wanita yang selalu nampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya, dan yang selalu ingin dianggap muda.
Dengan tekun See-thian Coa-ong Cu Kiat menggembleng Tang Bwe Li atau Lili dengan ilmu-ilmunya, sementara Sui In juga memperdalam ilmunya di bawah bimbingan ayahnya. Sepuluh tahun kemudian, pada usia sembilan belas tahun dan menjadi seorang dara yang cantik manis, Lili sudah menguasai ilmu-ilmu dari Si Raja Ular. Bahkan jika dibandingkan dengan tingkat kepandaian bekas guru yang sekarang menjadi suci-nya, dia hanya kalah pengalaman saja dan selisihnya tidak jauh...!
Anak itu sudah lemas dan tentu akan roboh kalau tangannya tidak digandeng Dewa Arak. Wajahnya yang manis nampak agak pucat, akan tetapi matanya bersinar cerah ketika dia memandang kepada tiga orang kakek itu. Dia menurut saja ketika dibimbing menuju ke sebuah rumah makan yang buka pagi-pagi menjual sarapan bubur ayam dan teh panas.
Dewa Arak memesan bubur ayam untuk dia, Sin Wan, anak perempuan itu serta pelayan wanita yang terus mengikuti nonanya, sedangkan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih memesan bubur tanpa daging ayam.
"Makanlah dahulu, baru kita bicara," kata Dewa Arak kepada anak perempuan itu.
Tanpa membantah dia segera makan bubur ayam. Sarapan hangat ini penting sekali bagi kesehatannya, sesudah berlutut sejak kemarin dan semalaman berhujan-hujan di tempat terbuka, tanpa makan tanpa minum.
Setelah mereka makan, barulah Dewa Arak bertanya, "Nah, sekarang katakan mengapa engkau bersikap seperti itu? Siapakah engkau dan mengapa engkau ingin menjadi murid kami?"
Anak itu ingin menjawab, akan tetapi hanya bibirnya yang bergerak gemetar kemudian dia pun menundukkan mukanya, menangis! Pelayannya yang duduk di sebelahnya merangkul nonanya dan dia pun mewakili nonanya menceritakan riwayat anak itu.
"Siocia (nona) bernama Lim Kui Siang, usianya hampir sepuluh tahun, sedangkan saya adalah pelayan dan pengasuhnya sejak dia masih bayi. Siocia ini puteri dari keluarga Lim, bangsawan dan pejabat tinggi yang tadinya menjabat sebagai pengurus gudang pusaka istana. Ketika terjadi pencurian pusaka-pusaka itu, Lim-taijin (pembesar Lim) tewas pula dibunuh pencuri. Ibunya yang ketika itu sedang menderita sakit, terkejut mendengar akan tewasnya suaminya, apa lagi keluarga Lim harus bertanggung jawab mengenai kehilangan itu. Maka kedukaan akhirnya membuat ibu siocia ini meninggal pula.”
"Hemm, apa hubungannya semua itu dengan kenekatannya untuk menjadi murid kami?" Dewa Arak bertanya.
"Saya tidak tahu... nona, ceritakanlah sendiri mengapa nona bersikeras untuk belajar ilmu dari mereka..."
Anak perempuan itu, Lim Kui Siang, kini sudah berhasil menguasai kesedihannya dan dia pun mengangkat muka memandang kepada tiga orang pendeta itu. Wajahnya tidak begitu pucat lagi dan sinar matanya penuh harapan.
"Saya telah menjadi yatim piatu. Kedua orang paman saya, adik dari ibu saya, bersikap baik, akan tetapi saya tahu bahwa mereka itu berbaik kepada saya karena menghendaki harta warisan orang tua saya. Saya muak dengan kepalsuan mereka semua itu. Kematian ayah dan ibu membuat saya kehilangan segala-galanya. Saya menaruh dendam terhadap pembunuh ayah yang menjadi pembunuh ibuku pula. Saya mendengar bahwa Sam-wi locianpwe telah berhasil menemukan kembali pusaka-pusaka itu. Ini berarti bahwa sam-wi lebih pandai dari pada pencuri itu. Maka saya bertekad untuk berguru kepada sam-wi!" katanya dengan suara mantap dan tegas.
"Ho-ho-ha-ha-ha !" Dewa Arak tertawa. "Kalau engkau ingin bersusah payah mempelajari ilmu untuk membalas dendam, maka jerih payahmu itu akan sia-sia saja, nona. Ketahuilah bahwa orang yang kau musuhi itu, pencuri yang membunuh ayahmu itu, dia telah mati!"
Akan tetapi anak perempuan itu tidak kelihatan kaget. "Biar pun dia telah mati, saya tetap ingin mempelajari ilmu dari sam-wi locianpwe," katanya tegas.
"Ehh? Untuk apa seorang anak perempuan bangsawan seperti engkau mempelajari ilmu silat, sedangkan orang yang kau musuhi itu sudah tidak ada?" tanya Dewa Arak, tertarik oleh kekerasan dan kesungguhan hati anak itu.
"Ayahku tewas karena dia tidak pandai ilmu silat, sedangkan ibuku juga meninggal dunia karena tubuhnya lemah. Saya ingin menjadi orang yang pandai silat sehingga saya dapat membela diri, melindungi orang-orang yang tidak bersalah, menentang penjahat-penjahat keji, dan saya ingin mempunyai tubuh yang kuat tidak seperti ibu. Nah, saya mohon sam-wi sudi menerima saya sebagai murid."
Kembali anak perempuan itu menjatuhkan diri berlutut. "Sekali ini saya tidak akan nekat berlutut seperti kemarin, tetapi kalau sam-wi menolak, selamanya saya akan menganggap sam-wi tidak mempunyai belas kasihan kepada seorang anak yatim piatu seperti saya."
Tiga orang kakek itu saling pandang. Anak ini memang lain dari pada yang lain. Kecuali keras hati dan bersemangat, juga pandai bicara!
"Siancai...! Kami suka saja menjadi gurumu, akan tetapi bagaimana dengan keluargamu? Bagaimana dengan rumah peninggalan orang tuamu? Harta peninggalan orang tuamu itu tentu banyak sekali. Kalau kau tinggalkan, bagaimana dengan semua warisan itu?"
"Saya tidak peduli! Paman-paman saya beserta keluarga mereka sudah selalu mengincar harta itu. Biarlah mereka bagi-bagi. Saya tidak membutuhkan harta, saya butuh ilmu dari sam-wi suhu (guru bertiga)!"
"Ha-ha-ha, sungguh aneh mendengar kata-kata itu keluar dari mulutmu, nona kecil. Kalau bagi kami bertiga, memang kami tidak membutuhkan harta karena kami senang hidup di tempat sunyi, tldak membutuhkan apa-apa lagi. Akan tetapi engkau adalah seorang anak perempuan, puteri seorang bangsawan. Kelak engkau akan membutuhkan harta itu untuk keperluan hidupmu. Kebetulan aku mempunyai seorang kenalan di kota raja, yaitu Ciang-ciangkun. Biarlah kutitipkan semua harta peninggalan orang tuamu itu kepada dia untuk dilindungi, agar kelak engkau dapat menerimanya kembali dari dia."
Anak perempuan itu memandang kepada tiga orang kakek itu dengan wajah berseri. "Ini berarti bahwa sam-wi suhu sudah menerima saya sebagai murid?"
Tiga orang itu saling pandang dan tersenyum, kemudian mengangguk. Jarang ditemukan seorang anak perempuan semacam ini. Mereka telah mengambil Sin Wan sebagai murid, tidak apa-apa kalau ditambah seorang murid perempuan lagi.
"Suhu...!" Anak perempuan itu memberi hormat kepada mereka bertiga secara bergantian. Lalu dia bangkit dan merangkul wanita setengah tua yang menjadi pengasuhnya sejak dia masih kecil.
"Kiu-ma, engkau sudah mendengar sendiri. Aku diterima menjadi murid ketiga orang suhu ini dan aku akan pergi mengikuti mereka. Kiu-ma, engkau pulanglah dan selama engkau masih suka, tinggallah di rumah keluargaku. Kalau tidak, engkau boleh pulang ke dusun dan semua yang kuberikan kepadamu itu boleh kau bawa pulang."
"Siocia... ahhh, siocia...!” Wanita itu merangkul dan menangis sedih.
"Sudahlah Kiu-ma. Peristiwa ini sangat membahagiakan hatiku, mengapa engkau sambut dengan tangis? Jangan mendatangkan kesedihan bagiku, Kiu-ma. Kalau aku telah selesai belajar ilmu kelak, tentu kau akan kucari dan kita akan dapat bertemu kembali."
Setelah cukup lama dibujuk-bujuk, akhirnya pelayan yang setia ini meninggalkan nonanya dan menyerahkan buntalan pakaian yang memang sudah dipersiapkan lebih dulu oleh Kui Siang. Anak perempuan ini memang sudah mengambil keputusan tetap, karena itu ketika meninggalkan rumah untuk menghadang tiga orang kakek itu di depan pintu gerbang, dia sudah membawa bekal pakaian, bahkan sudah meninggalkan banyak emas untuk Kiu-ma, pelayannya yang setia.
Pada keesokan harinya, Dewa Arak mengajak Kui Siang pergi ke gedung Ciang-ciangkun (perwira Ciang), seorang komandan pasukan yang terkenal gagah perkasa. Ketika terjadi perang menumbangkan kekuasaan Mongol dan sedang memimpin pasukannya, perwira ini pernah terjepit dan dikepung musuh. Dia dengan belasan orang pengawalnya dikepung ratusan orang prajurit Mongol. Kalau tidak muncul Dewa Arak yang menyelamatkannya, maka sukarlah bagi perwira itu untuk menghindarkan diri dari kematian. Inilah sebabnya mengapa Dewa Arak mengenal perwira Ciang itu.
Ciang-ciangkun yang kini berusia empat puluh tahun itu menerima kunjungan Dewa Arak dengan penuh kehormatan dan kegembiraan. Meski pun sekarang dia sudah memperoleh kedudukan tinggi, namun panglima ini tidak melupakan orang yang pernah menolongnya dari cengkeraman maut.
Ketika Dewa Arak menerangkan bahwa Lim Kui Siang, puteri dari mendiang bangsawan Lim akan ikut dengan dia menjadi muridnya, dan bahwa Dewa Arak ingin menitipkan harta kekayaan anak itu sebagai peninggalan orang tuanya dalam pengawasan Ciang-ciangkun, perwira itu menerimanya dengan penuh kesungguhan hati.
“Jangan khawatir, totiang. Saya mengenal baik mendiang Lim-taijin, seorang pembesar yang baik dan jujur. Memang nasibnya amat malang, tetapi sungguh beruntung puterinya dapat menjadi murid totiang. Saya akan menjaga semua harta milik nona Lim Kui Siang dan kelak, kalau dia sudah kembali ke sini tentu akan saya serahkan semua hak miliknya kepadanya."
Anak perempuan itu lalu disuruh membuat pernyataan tertulis mengangkat perwira Ciang menjadi kuasanya untuk mengurus dan menguasai seluruh harta peninggalan dari orang tuanya Setelah itu Dewa Arak mengajak muridnya meninggalkan perwira Ciang, kemudian mereka bergabung dengan Dewa Pedang dan Dewa Rambut Putih, lalu bersama Sin Wan pergi meninggalkan kota raja.
Ketika Kui Siang dan Sin Wan saling bertemu dan saling pandang, Sin Wan tersenyum dan berkata, "Sumoi, aku girang sekali kita dapat menjadi saudara seperguruan."
"Aku juga girang sekali, suheng."
Hanya itulah ucapan mereka karena mereka belum saling mengenal. Kelak ketika mereka telah akrab, keduanya akan merasa makin suka karena memiliki nasib yang sama, yaitu keduanya sudah yatim piatu. Akan tetapi ketika menceritakan riwayatnya kepada sumoi (adik seperguruan) itu, Sin Wan tidak pernah menyinggung tentang Se Jit Kong, hanya menceritakan bahwa ayahnya bernama Abdullah dan ibunya Jubaedah, keduanya Bangsa Uigur dan sudah meninggal dunia.
Sam Sian atau Tiga Dewa membawa dua orang murid mereka ke sebuah puncak yang diberi nama Pek-ln-kok (Lembah Awan Putih), satu di antara lembah Pegunungan Ho-lan-san yang terletak di pantai barat Sungai Kuning. Pek-in-kok inilah yang menjadi tempat Sam Sian mengasingkan diri selama ini.
Lembah yang berada dekat puncak ini berhawa sejuk dan bertanah subur. Akan tetapi untuk mencapai tempat itu merupakan hal yang amat sulit karena melalui dinding karang yang terjal dan sulit didaki oleh orang biasa. Inilah sebabnya maka tempat itu tidak pernah dikunjungi orang luar dan menjadi tempat pertapaan yang benar-benar sangat tenang dan tenteram.
Di sebeIah timur kaki Pegunungan Ho-lan-san terdapat sebuah kota di tepi Sungai Kuning. Kota ini cukup besar dan ramai, yaitu kota Yin-coan dan sedikitnya satu bulan sekali, Sin Wan dan Kui Siang mendapat kesempatan turun gunung dan berkunjung ke kota ini untuk membeli keperluan bagi mereka berlima. Selain ini mereka tidak pernah berhubungan dengan orang luar dan setiap hari kedua orang anak itu menerima gemblengan ilmu-ilmu silat yang tinggi dari tiga orang guru mereka.
Waktu merupakan suatu kenyataan yang amat aneh. Segala sesuatu di dalam kehidupan manusia di dunia ini, akhirnya semuanya menyerah kepada sang waktu, satu demi satu akan menyerah untuk ditelan habis oleh Sang Waktu!
Waktu merupakan bukti akan kekuasaan Tuhan, menjadi bukti bahwa segala sesuatu di permukaan bumi ini tidak abadi adanya. Hanya Tuhan yang abadi, tanpa awal tanpa akhir. Segala sesuatu akan berubah menjadi permainan sang waktu.
Kalau tidak diperhatikan, sang waktu melesat cepat melebihi cahaya, melebihi kecepatan apa pun juga sehingga seorang kakek yang mengenang masa kanak-kanaknya akan merasa betapa sang waktu lewat sedemikian cepatnya sehingga puluhan tahun bagaikan baru kemarin dulu saja! Sebaliknya, apa bila orang menanti sesuatu dan memperhatikan sang waktu, maka sang waktu akan merangkak atau merayap seperti seekor siput.
Waktu juga mempermainkan pikiran dengan pembagiannya sebagai kemarin, hari ini dan esok atau masa lalu, saat ini dan masa depan. Pikiran yang mengenang masa lalu hanya mendatangkan dendam, duka dan penyesalan. Sedangkan pikiran yang membayangkan masa depan hanya mendatangkan rasa malu, rasa takut dan khayalan muluk. Masa lalu sudah lewat, hanya kenangan, masa depan belum ada, hanya khayalan. Menghadapi saat ini, detik demi detik, berarti menghadapi kenyataan dan itulah hidup.
Hidup merupakan tantangan setiap saat yang harus kita hadapi dan harus ditanggulangi. Bagi yang hidup, dari saat ke saat bebas dari masa lalu dan masa depan. Saat ini adalah pelaksanaan hidup, saat ini adalah cara hidup, jalan hidup, sedangkan besok hanyalah ambisi, khayalan. Yang lampau sudah mati, yang kelak belum datang. Sekarang benar, nanti pun benar. Benar dan tidak terletak pada saat sekarang ini!
Tuhan sudah menciptakan kita dalam keadaan sempurna, serba lengkap dengan perabot dan alat yang dapat kita gunakan untuk menghadapi dan menanggulangi hidup, lengkap dengan jasmani yang serba lengkap, panca indera, hati dan akal budi. Semua itu masih ditambah lagi dengan kekuasaan Tuhan yang meliputi diri kita luar dan dalam, kekuasaan Tuhan yang melindungi dan membimbing, asalkan kita mendasari semua ikhtiar dengan penyerahan kepada Tuhan Yang Maha Kasih dengan sabar, tawakal dan ikhlas! Semua kehendak Tuhan jadilah!
********************
Tanpa terasa lagi sepuluh tahun telah lewat sejak terjadinya peristiwa-peristiwa yang telah diceritakan pada bagian depan. Pagi itu udara di Pek-in-kok (Lembah Awan Putih) sangat cerah walau pun sinar matahari pagi masih terlampau lunak untuk dapat mengusir hawa yang dingin sejuk sehingga terasa menusuk tulang bagi mereka yang tidak biasa tinggal di tempat yang berhawa dingin.
Sudah sejak subuh tadi Sin Wan dan Kui Siang meninggalkan lembah dan pergi ke kota Yin-coan. Tahun baru tinggal sebulan lagi dan tiga orang guru mereka menyuruh mereka pergi ke Yin-coan untuk membeli pakaian baru untuk kedua orang murid itu.
"Akan tetapi, suhu, untuk apa teecu berdua harus membeli pakaian baru?" tanya Sin Wan yang kini telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh tahun.
Pemuda ini bertubuh tegap dan sedang, dengan dada lebar dan kaki tangan kokoh kuat. Dahinya lebar, rambutnya hitam panjang digelung ke atas, alisnya tebal berbentuk golok melindungi sepasang matanya yang besar dan bersinar cerah. Hidungnya mancung agak besar, dan mulutnya membayangkan keramahan dengan dagu berlekuk membayangkan keteguhan hati. Seorang pemuda yang gagah dan ganteng, dengan kulit yang agak gelap.
"Teecu juga heran. Kenapa teecu berdua diharuskan berbelanja pakaian baru? Pakaian teecu masih baik dan masih cukup banyak," Kui Siang juga membantah.
Dewa Arak yang mewakili dua orang rekannya menyuruh dua orang murid itu, tersenyum. Tiga orang pertapa yang dijuluki Sam Sian (Tiga Dewa) itu kini sudah tua. Usia mereka sudah enam puluh tahun lebih, namun mereka masih nampak sehat dan kuat. Terutama sekali Ciu-sian Tong Kui. Dewa Arak yang memiliki pembawaan gembira ini nampak lebih muda dari dua orang rekannya. Usianya yang enam puluh dua tidak meninggalkan bekas. Nampaknya dia belum ada lima puluh tahun!
"Sin Wan dan Kui Siang, kalian adalah orang-orang muda. Sudah sepatutnya kalian hidup penuh gairah, mengenakan pakaian yang bersih dan rapi. Menjelang tahun baru ini, kalian harus mempunyai pakaian baru untuk dipakai pada hari-hari tahun baru!"
"Tetapi, suhu, teecu sudah sepuluh tahun berada di sini dan teecu tidak pernah mengikuti tahun baru seperti para penduduk di bawah lembah," bantah Sin Wan.
"Lagi pula untuk apa teecu mengenakan pakaian baru pada hari tahun baru? Hendak dipamerkan kepada siapa? Teecu tidak saling berkunjung dengan keluarga," bantah pula Kui Siang.
"Siancai, murid-muridku yang baik," kata Dewa Pedang. Kiam-sian Louw Sun termasuk orang yang berpakaian paling bersih di antara Tiga Dewa itu. "Mengenakan pakaian baru di hari tahun baru bukan sekedar untuk berpamer, tetapi mempunyai arti yang mendalam. Tahun baru mengingatkan kita bahwa usia kita bertambah setahun lagi. Kita wajib mawas diri, menyadari semua kesalahan pada tahun yang lalu, mengubur semua kenangan masa lalu sehingga tak ada dendam yang tertinggal di hati. Hati harus bersih, seolah tahun baru juga membawa kehidupan baru yang ditandai dengan pakaian baru. Jadi pakaian baru melambangkan hati yang baru, cara hidup yang baru dan bersih seperti juga pakaian yang baru. Bersih itu pangkal sehat, bukan? Nah, siapa bilang mengenakan pakaian baru pada hari tahun baru hanya untuk pamer belaka?"
Karena alasan yang begitu kuat, dua orang murid itu tidak mampu membantah lagi. Pula, di sudut paling dalam di hati mereka, harus mereka akui bahwa pakaian baru juga menarik dan menyenangkan hati mereka. Hal itu menandakan bahwa memang ada gairah dalam hati dua orang muda ini, suatu hal yang wajar bagi orang muda.
Ketika Sin Wan dan Kui Siang pertama kali naik ke Pek-in-kok, usia mereka baru kurang lebih sepuluh tahun. Kini mereka telah dewasa. Sin Wan sudah menjadi seorang pemuda dewasa yang gagah dan ganteng, sedangkan Kui Siang juga telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis. Tubuhnya langsing berisi mengarah montok dengan tinggi sedang, kulitnya putih mulus.
Wajahnya bulat telur dengan dagu runcing dan di dagu kanan terhias tahi lalat hitam kecil. Matanya lembut akan tetapi kadang sinarnya mencorong. Bibirnya merah segar. Mata dan mulutnya merupakan daya tarik terbesar pada diri gadis ini. Sikapnya halus dan anggun, dan pembawaan ini mungkin karena dia adalah puteri bangsawan yang ketika kecil sudah terbiasa melihat sikap yang demikian.
Pada waktu dua orang muda kakak beradik seperguruan itu menuruni lembah di bagian timur, di luar tahu mereka tentu saja, dari barat terdapat dua orang yang mendaki lembah bukit itu dengan gerakan yang ringan dan cepat sekali. Mereka itu adalah seorang wanita cantik berpakaian mewah yang kelihatan baru berusia tiga puluhan tahun, serta seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang lebih cantik lagi. Wanita itu bukan lain adalah Bi-coa Sian-li (Dewi Ular Cantik) Cu Sui In. Sedangkan gadis manis itu adalah muridnya yang bernama Tang Bwe Li dan yang biasa dipanggil Lili oleh gurunya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, guru dan murid yang keduanya galak ini pernah mencoba untuk merampas pusaka-pusaka istana yang dibawa oleh Sam Sian, tapi Dewi Ular Cantik itu tak mampu mengalahkan Sam Sian. Ia terpaksa mengajak muridnya pergi dengan marah dan hatinya penuh dendam kepada Sam Sian yang telah mengalahkannya.
Apa lagi ketika ia mendengar bahwa pusaka-pusaka itu oleh Sam Sian telah dikembalikan kepada kaisar. Ia segera mengajak muridnya pergi ke barat untuk mengunjungi ayahnya, yaitu seorang datuk besar bernama Cu Kiat yang berjuluk See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat). Datuk besar ini tinggal di puncak Bukit Ular di Pegunungan Himalaya ujung timur dan sudah belasan tahun dia tidak lagi terjun ke dunia ramai.
Namun nama besar See-thian Coa-ong pernah menggemparkan dunia persilatan karena wataknya yang aneh dan ilmunya yang sangat tinggi. Dia seorang datuk yang aneh, tidak condong kepada golongan sesat, tidak pula condong kepada para pendekar. Dia berdiri di tengah-tengah dan menentang siapa saja yang tidak cocok dengan seleranya.
Kepada ayahnya yang juga menjadi gurunya, Bi-coa Sian-li Cu Sui In lalu mengadukan kekalahannya dari Sam Sian dan dia ingin memperdalam ilmunya supaya dapat menebus kekalahannya itu. Kakek yang tinggi kurus itu mengelus-elus jenggotnya dan mulutnya yang biasanya selalu dihiasi senyum mengejek itu kini tertawa. Matanya yang sipit dengan lindungan alis hitam tebal itu semakin sipit ketika dia tertawa, matanya yang tajam bersinar-sinar gembira.
"Ha-ha-ha-ha, engkau dikalahkan Sam Sian bertiga? Ha-ha-ha, Sui In, engkau tidak perlu penasaran. Ayahmu sendiri pun tidak akan menang kalau harus maju sendiri menghadapi pengeroyokan mereka bertiga. Mereka bertiga masing-masing mempunyai ilmu yang khas dan lihai sekali. Pusaka-pusaka itu telah dikembalikan kepada kaisar. Sudahlah, tak perlu dibuat kecewa."
"Tapi, ayah. Aku merasa terhina sekali. Aku harus membalas kekalahan itu, dan aku ingin memperdalam ilmuku. Karena itulah aku datang menghadap ayah!" kata wanita cantik itu dengan tegas.
"Teecu juga harus membalas penghinaan yang teecu alami dari Si Kerbau-kuda-kucing-anjing-sapi-babi anak setan sialan itu!" kata pula Tang Bwe Li atau Lili, tidak kalah marah dan galaknya dibanding gurunya.
Datuk yang usianya sekitar lima puluh lima tahun itu memandang kepada Lili dengan mata terbelalak, kemudian mengerutkan alisnya dan bertanya. "Siapakah bocah ini?"
"Dia muridku bernama Tang Bwe Li, ayah.”
"Sukong (kakek guru), aku Lili menghaturkan hormat kepada sukong!" kata Bwe Li atau Lili sambil menjatuhkan diri berlutut di depan ayah dari subo-nya itu.
“Hemm, Sui In! Kalau engkau hendak mengambil murid, mengapa tidak memilih seorang murid laki-laki? Anak perempuan seperti ini mana mampu mewarisi ilmu kita yang tinggi?" tegur kakek itu sambil memandang kepada Lili dengan alis berkerut dan mulut mengejek.
Sebelum Dewi Ular Cantik menjawab, Lili sudah mengangkat muka memandang kepada kakek itu dengan mata bersinar penuh kemarahan, kemudian terdengar jawabannya yang lantang. "Mengapa sukong berkata begitu? Lupakah sukong bahwa subo, puteri sukong, juga seorang wanita? Apakah sukong hendak mengatakan bahwa subo juga tidak mampu mewarisi ilmu dari sukong?"
Cu Sui In hanya tenang-tenang saja mendengar bantahan muridnya kepada ayahnya. Dia sudah mengenal benar watak muridnya. Justru watak yang keras, berani dan jujur itulah yang membuat dia suka sekali kepada Lili. Akan tetapi tidak demikian dengan datuk besar See-thian Coa-ong Cu Kiat. Kakek ini terbelalak, mulutnya masih tersenyum mengejek, akan tetapi sinar matanya membayangkan perasaan kaget, penasaran dan juga kagum.
“Hemm, hendak kulihat apakah engkau memang bernyali naga, ataukah hanya berlagak saja!” katanya dan dari mulutnya keluar suara mendesis.
Tidak lama kemudian terdengar suara desis yang sama dari dalam rumah dan muncullah seekor ular yang besar sekali. Ular itu panjangnya lebih dari lima meter, besarnya sepaha orang dewasa. Ular itu keluar sambil mendesis-desis. See-thian Coa-ong si Raja Ular itu terus mengeluarkan desis yang makin meninggi seperti bersiul dan tiba-tiba saja ular itu lalu bergerak maju menyerang Lili!
Anak perempuan berusia sembilan tahun itu tidak kelihatan terkejut atau pun takut. Dia sudah meloncat berdiri dan begitu ular menyerangnya, dia sudah melompat ke samping. Ketika kepala ular itu meluncur lewat, dia menggerakkan kaki menendang ke arah kepala ular dari samping belakang.
"Plakk!" Kepala ular kena ditendang, akan tetapi kepala ular itu keras sekali sehingga kaki di dalam sepatunya terasa nyeri.
Ular itu terkejut, membalik dan dengan moncongnya yang dibuka lebar dia menerjang lagi. Dengan gesit Lili meloncat lari ke samping. Akan tetapi dia tidak sempat menendang lagi karena kepala ular itu sudah membalik dan melanjutkan serangannya yang bertubi-tubi. Bukan hanya kepalanya saja yang menyerang, juga ular itu menggerakkan ekornya untuk menyambar kaki anak perempuan itu. Lili terpaksa harus meloncat ke sana sini sehingga dia pun menjadi marah sekali.
"Ular keparat, kau kira aku takut padamu?!" bentaknya.
Ketika ular itu menyerang lagi dengan moncongnya, dia cepat mengelak ke kiri, kemudian dia meloncat dan menerkam leher ular itu dari belakang, mencengkeram leher itu dengan sepasang tangannya! Gerakan ini selain tangkas juga berani sekali.
Hal ini tidak begitu mengherankan. Lili adalah murid Dewi Ular Cantik, seorang yang biasa bermain dengan ular. Sejak kecil Lili telah dibiasakan oleh gurunya untuk bermain dengan ular yang menjadi dasar dari ilmu-ilmunya, karena itu Lili tidak pernah takut berhadapan dengan ular. Hanya belum pernah berkelahi dengan ular sebesar itu!
Biar pun dua buah tangan itu kecil saja, dengan jari-jari yang mungil dan tidak panjang, akan tetapi cekikan kedua tangan pada leher ular itu cukup kuat. Ular itu meronta-ronta hendak melepaskan leher yang dicekik. Demikian kuat ular itu meronta sehingga tubuh Lili terbawa dan terbanting, terguncang ke kanan kiri.
Tapi bagaikan seekor lintah anak perempuan itu tak pernah mau mengendurkan, apa lagi melepaskan cekikannya. Ular itu kini menggerakkan ekornya dan tubuh ular yang panjang besar dan licin dingin itu membelit-belit tubuh Lili! Lilitan ular itu kuat sekali.
Seorang laki-laki dewasa pun takkan dapat tahan bila dililit ular itu, akan patah-patah dan remuk tulang-tulangnya. Akan tetapi desis yang keluar dari mulut Raja Ular merupakan isyarat atau perintah yang amat dipatuhi ular besar itu. Lilitannya bukan untuk membunuh, melainkan untuk membuat anak perempuan itu tidak mampu bergerak.
Kini seluruh tubuh anak itu dililit ular, juga kedua kaki dan kedua lengannya. Akan tetapi kedua tangannya masih tetap mencekik leher ular, walau pun tenaganya sudah banyak berkurang karena kedua lengannya dililit ular. Lili tidak mampu bergerak lagi.
"Subo!" ia memandang subo-nya, akan tetapi wanita cantik itu acuh saja seolah muridnya tidak terancam bahaya. Lili hanya satu kali memanggil, tanpa berkata minta tolong.
"Ha-ha-ha, anak bandel! Sekarang menangislah, minta ampunlah, dan ular ini tentu akan melepaskanmu," kata See-thian Coa-ong Cu Kiat penuh kemenangan.
Akan tetapi, biar pun lilitan ular itu semakin kuat dan membuat dadanya terasa sesak, Lili bertahan dan memandang kepada kakek gurunya dengan mata bersinar-sinar. "Sukong, subo tidak pernah mengajarkan aku untuk merengek dan menangis dengan cengeng! Aku tidak bersalah apa-apa, aku tidak akan menangis, tidak akan minta ampun!"
"Hemm, kalau begitu, ularku akan membunuhmu!"
"Aku tidak percaya. Subo akan melarangnya, dan sukong juga tidak mungkin membunuh cucu murid sendiri. Andai kata dibunuh juga, aku tidak takut!"
Kembali kakek itu mengeluarkan suara mendesis dan lilitan ular itu semakin kuat. Lili sudah tidak mampu menggerakkan kaki tangan. Akan tetapi dia tidak mau menyerah begitu saja. Dia masih dapat menggerakkan lehernya. Melihat betapa dadanya semakin sesak, dia pun menunduk dan membuka mulutnya, lalu menggigit leher ular yang berada pada dagunya, menggigit dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Giginya yang kuat itu menembus kulit ular dan lidahnya segera merasakan darah yang asin amis!
Ular itu terkejut kesakitan dan lilitannya mengendur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Lili untuk meronta, melepaskan diri dan meloncat keluar dari lilitan ular itu. Dia meloncat ke dekat subo-nya.
"Subo, tolong teecu (murid) pinjam pedangnya sebentar untuk membunuh ular keparat itu,” teriaknya kepada subo-nya.
"Hushh!", bentak Cu Sui In. "Kalau ayah menghendaki, sudah semenjak tadi engkau mati, tulang-tulangmu sudah remuk dalam lilitan ular. Atas perintah sukong-mu, ular itu hanya mengujimu, bukan hendak membunuhmu, tapi engkau malah menggigit sehingga melukai lehernya!"
Mendengar keterangan gurunya, Lili terkejut sekali. Dia memandang dan melihat kakek itu dengan penuh sikap menyayang, memeriksa luka di leher ular dan mengobatinya dengan obat bubuk putih. Dia merasa bersalah dan segera dia menjatuhkan diri berlutut di depan See-thian Coa-ong Cu Kiat.
"Sukong, aku sudah bersalah. Kalau sukong hendak menghukum dan membalas dengan menggigit leherku, silakan!”
Raja Ular Itu memandang kepadanya, lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Sui In. Sekarang aku mengerti mengapa engkau memilih setan cilik ini sebagai murid. Dia memang pantas menjadi muridmu, bahkan patut menjadi muridku, ha-ha-ha!"
Mendengar ini, Cu Sui In tersenyum. "Lili, cepat kau menghaturkan terima kasih kepada suhu-mu. Mulai saat ini juga engkau menjadi murid ayah, dan aku menjadi suci-mu (kakak seperguruanmu)!"
Lili adalah seorang wanita yang cerdas sekali. Dia segera memberi hormat dan menyebut suhu kepada Si Raja Ular yang tertawa bergelak karena girangnya memperoleh seorang murid yang menyenangkan. Mulai saat itu Lili menyebut suci kepada bekas ibu gurunya. Hal itu amat menyenangkan hati Sui In, wanita yang selalu nampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya, dan yang selalu ingin dianggap muda.
Dengan tekun See-thian Coa-ong Cu Kiat menggembleng Tang Bwe Li atau Lili dengan ilmu-ilmunya, sementara Sui In juga memperdalam ilmunya di bawah bimbingan ayahnya. Sepuluh tahun kemudian, pada usia sembilan belas tahun dan menjadi seorang dara yang cantik manis, Lili sudah menguasai ilmu-ilmu dari Si Raja Ular. Bahkan jika dibandingkan dengan tingkat kepandaian bekas guru yang sekarang menjadi suci-nya, dia hanya kalah pengalaman saja dan selisihnya tidak jauh...!