“DAN melihat hal seperti itu, locianpwe malah menjauhkan diri? Sudah benarkah tindakan locianpwe itu?” Sin Wan menegur sambil mengerutkan alisnya yang tebal.
"Ehh? Apa maksudmu?"
"Locianpwe, perjuangan suci bukan hanya memerdekakan negara dan bangsa lalu disusul dengan usaha memakmurkan rakyatnya saja. Kalau melihat ada orang-orang yang tidak benar dan berambisi menyenangkan diri sendiri, bukankah sama halnya dengan melihat tikus-tikus yang hendak menggerogoti sarana kemakmuran bagi rakyat? Jika sudah dapat mengetahui keadaan ini, sudah benarkah bila membiarkan saja bahkan menjauhkan diri? Bukankah merupakan perjuangan yang luhur pula jika kita berusaha mencegah terjadinya semua penyelewengan itu, menghentikan semua permusuhan di antara bangsa sendiri, di antara golongan sendiri, membersihkan mereka yang menipu dan mencuri milik negara, dan menjamin keamanan bagi rakyat jelata?”
Kakek itu membelalakkan mata memandang kepada Sin Wan, tetapi tidak nampak marah melainkan tersenyum lucu. "Ehh?! Ehh, lanjutkan, lanjutkan!" katanya penuh gairah.
"Kehidupan di seluruh alam mayapada ini dikuasai oleh dua unsur, locianpwe, yaitu Im (negatif) dan Yang (positif). Keduanya ini yang memutar seluruh alam dan isinya, seluruh kejadian dan seluruh sifat. Bagaimana ada Yang tanpa Im? Bagaimana ada Terang tanpa Gelap, ada Kebaikan tanpa Keburukan dan sebagainya? Hidup ini merupakan tantangan, locianpwe, justru di sinilah letaknya seni hidup. Kita harus menghadapi setiap tantangan, menghadapinya dan mengatasinya! Bukan melarikan diri! Ini pun perjuangan namanya, perjuangan hidup, yaitu menghadapi dan mengatasi semua tantangan, dengan landasan benar! Tidakkah demikian, locianpwe? Ataukah locianpwe hanya pura-pura saja tidak tahu karena saya yakin locianpwe lebih tahu dari pada kami orang-orang muda ini?"
"Siancai... siancai…! Ini baru suara murid Sam-sian! Hei, orang muda yang baik, engkau tadi menyatakan tentang landasan benar! Nah, kata ‘benar’ ini bagaimana? Setiap orang akan menganggap dirinya benar! Kalau aku sampai berkelahi denganmu, pasti aku akan merasa diriku benar dan engkau pun demikian. Lain kalau kita berdua merasa benar, lalu siapa yang tidak benar?"
"Locianpwee apa bila locianpwe merasa benar dan saya pun merasa benar sehingga kita saling bermusuhan, maka jelaslah bahwa kita berdua sama-sama tidak benar! Kebenaran tak dapat diperebutkan, tidak dapat dimonopoli seseorang. Kebenaran yang dibela dengan kekerasan sehingga bermusuhan, jelas bukan kebenaran lagi."
"Heh-heh-heh, lalu apa maksudmu mengatakan dengan landasan benar tadi? Kebenaran yang mana yang kau maksudkan?"
"Maaf, locianpwe, kalau pengertian saya masih dangkal dan keliru, mohon petunjuk dari locianpwe. Kebenaran mutlak, yang Maha Benar, hanyalah Tuhan Yang Maha Esa, yang lainnya, yaitu kebenaran yang diaku oleh manusia hanyalah kebenaran semu yang setiap waktu bisa dinyatakan tidak benar, tergantung waktu, keadaan dan lingkungan. Yang saya maksudkan dengan landasan benar tadi adalah kalau tindakan kita tidak didasari pamrih demi kepentingan dan keuntungan diri pribadi. Yang terpenting adalah pamrihnya, bukan perbuatannya. Betapa pun baik dan indah nampaknya suatu perbuatan, apa bila didasari dengan pamrih yang mementingkan diri pribadi, maka perbuatan itu palsu adanya."
"Heh-heh-heh, engkau terlalu keras, orang muda... ehhh, siapa namamu tadi? Sin Wan? Aku mulai tertarik kepadamu. Di dunia ini mana ada manusia yang bebas dari pamrih? Setidaknya manusia membutuhkan sandang pangan dan papan, juga berhak menikmati hidupnya dan bersenang-senang!"
"Tentu saja, locianpwe. Tidak mungkin Tuhan menciptakan manusia untuk bersengsara-sengsara. Akan tetapi sekali kebutuhan akan kesenangan itu menjadi majikan, maka kita akan diperhamba oleh nafsu kemudian kita akan dibawa ke jalan sesat."
"Ha-ha-ho-ho-ho, bagus sekali, Sin Wan. Dari Sam-sian kah engkau memperoleh semua pengetahuan akan kehidupan ini?"
"Kewaspadaan terhadap kehidupan bukanlah pelajaran yang harus dihafalkan dan diingat-ingat, locianpwe, melainkan timbul dari kesadaran akan rasa diri, akan seluruh isi alam dan terutama akan Penciptanya, yaitu Allah Yang Maha Tunggal, Maha Besar, dan Maha Kuasa.”
Kakek itu tertawa bergelak, kemudian menoleh pada Kui Siang. "Dan bagaimana dengan engkau, siapa namamu tadi, Lim Kui Siang? Bagaimana denganmu? Bukankah engkau juga murid Sam-sian dan digembleng dengan kebijaksanaan yang sama?"
Kui Siang tersenyum. "Locianpwe, aku hanyalah seorang gadis bodoh, maka tidak dapat dibandingkan dengan suheng, baik dalam hal ilmu silat mau pun pengetahuan mengenai kehidupan dan filsafat. Dia memang pintar!"
Sin Wan tersenyum. “Jangan percaya ucapannya, locianpwe. Sumoi hanya merendahkan diri. Ilmu silatnya hebat, saya sendiri belum tentu akan mampu menandinginya. Dan dia adalah puteri seorang bangsawan tinggi yang setia dan baik."
"Suheng...!" Gadis itu berseru hendak mencegah suheng-nya bercerita tentang itu. Tetapi sudah terlanjur dan Sin Wan yang merasa bersalah segera berkata, suaranya menghibur.
"Maaf sumoi. Kurasa tiada halangannya locianpwe ini mengetahui tentang keadaanmu. Dia adalah sahabat baik dari guru-guru kita."
"Heh-heh-heh-heh, nona Lim Kui Siang, tanpa diberi tahu pun orang mudah saja menduga bahwa engkau tentulah mempunyai darah bangsawan! Hal itu dapat nampak pada sikap dan gerak-gerikmu yang anggun dan lembut. Bangsawan she Lim di kota raja yang setia? Hemmm, aku pernah mengenal bangsawan Lim yang menjadi Jaksa Agung di kota raja. Itukah orang tuamu?"
Kui Siang menggeleng. Sekarang dia sudah tidak perlu merahasiakan keluarganya yang sudah tiada itu. "Bukan, locianpwe, dan harap locianpwe tidak menyebut nona kepadaku. Ayahku tidak menjadi jaksa, melainkan bertugas sebagai pengurus gudang pusaka di kota raja."
“Pengurus gudang pusaka? Ahh, kalau begitu tentu seorang yang terpelajar tinggi! Ingin sekali-kali aku menemui orang tuamu dan berkenalan."
"Locianpwe, ayah dan ibu sumoi sudah meninggal dunia," kata Sin Wan.
"Ahhh!" Senyum itu menghilang dari bibir si pengemis tua. "Kiranya engkau sudah yatim piatu?”
"Ayahku dibunuh orang ketika melaksanakan tugasnya, locianpwe. Ketika pusaka-pusaka kerajaan dicuri orang, ayah menjadi korban, dibunuh oleh pencuri pusaka."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Aku pernah mendengar berita tentang hilangnya pusaka-pusaka itu, akan tetapi karena aku sudah tidak tertarik lagi akan urusan dunia ramai, aku pun tidak terlalu memperhatikan. Siapa sih orang yang begitu berani mencuri pusaka dari kerajaan?”
"Pencurinya adalah Hwe-ciang Se Jit Kong," kata Kui Siang.
"Aha…! Si Tangan Api yang tersohor itu? Ingin sekali-kali aku mencoba kelihaian tangan apinya. Kabarnya dia merajalela dan mengalahkan banyak tokoh besar dunia persilatan."
"Kini dia sudah tewas, locianpwe," kata Sin Wan. "Ketiga guru kami mendapat tugas dari Kaisar untuk mencari pusaka-pusaka itu dan berhasil merampasnya kembali dari Se Jit Kong yang tewas di tangan mereka."
"Ahh... sungguh sayang sekali! Nah, Sin Wan, engkau tadi menyalahkan tindakanku yang pergi meninggalkan kai-pang. Nah, katakan, kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan?"
"Maaf, sama sekali saya tidak berani menyalahkan tindakan locianpwe. Saya hanya ingin mengingatkan dan mengajak locianpwe untuk bertukar pikiran. Sekarang ini penjajah telah terusir pergi. Negara dan bangsa sudah dipimpin oleh tangan bangsa sendiri yang berarti merupakan tindak lanjut dari perjuangan merebut kemerdekaan. Kalau dahulu pada waktu berjuang merebut kemerdekaan locianpwe dengan gigih ikut membantu, kenapa sekarang tidak? Justru sekarang ini kiranya para kai-pang perlu disatu padukan untuk membantu pemerintah mengisi kemerdekaan."
"He-heh-heh, sudah kukatakan bahwa aku muak dengan semua itu! Mereka itu palsu dan penyelewengan terjadi di mana-mana. Jika aku terjun kembali, bukankah aku malah akan membiarkan diriku bergelimang dengan penyelewengan? Bermain dengan lumpur tentu akan menjadi kotor!"
"Belum tentu, locianpwe! Biar terpendam dalam lumpur pun, sekali emas akan tetap emas mengkilat. Biar hidup di atas lumpur sekali pun, bunga teratai akan tetap indah dan bersih. Kalau mau terjun kembali malah locianpwe akan dapat menangani semua penyelewengan itu, membelokkannya ke jalan benar. Jika locianpwe melarikan diri dari kenyataan seperti ini, bukankah hal itu justru berarti locianpwe membantu semakin memburuknya keadaan? Locianpwe, selagi hidup, kalau tidak membuat tindakan yang bermanfaat bagi dunia, lalu apa artinya hidup?”
Sepasang mata itu terbelalak. “Heii, orang muda! Enak saja engkau bicara. Orang bicara harus berani mempertanggung jawabkan ucapannya. Pendapatmu itu jangan kau jejalkan dan paksakan saja kepada orang lain supaya melaksanakannya, akan tetapi juga untuk dirimu sendiri! Kalau orang hanya memberi nasehat dan dorongan kepada orang lain akan tetapi diri sendiri tidak melakukan, perbuatan itu seperti sikap para pembesar korup yang menganjurkan ini itu kepada rakyat namun dia sendiri tidak melaksanakannya! Beranikah engkau membantuku kalau aku terjun kembali ke dunia ramai, menertibkan para kai-pang dan membantu pemerintah mengisi kemerdekaan?"
Sin Wan adalah seorang pemuda yang mempunyai watak gagah dan bertanggung jawab. Mendengar pertanyaan itu, tanpa ragu-ragu lagi dia segera menjawab, "Tentu saja saya berani dan sanggup membantu locianpwe!"
"Bagus!" Kakek itu terkekeh girang sekali. “Sekarang kalian berdua bersiap-siaplah untuk melawan aku, heh-heh-heh!"
Tentu saja dua orang muda itu terkejut bukan main. "Apa maksud locianpwe?" Kui Siang berseru. "Aku tidak ingin berkelahi denganmu!"
"Anak bodoh, siapa yang mau berkelahi dengan siapa? Setiap kali aku bertemu Sam-sian, tentu mereka akan kuajak berlatih silat. Kini mereka tidak berada di sini, dan yang kutemui adalah murid-murid mereka. Sebagai murid, kalian harus mewakili Sam-sian untuk berlatih dengan aku. Bersiaplah, kita berlatih beberapa jurus!"
Sin Wan segera maklum akan isi hati kakek ini. Setelah menerima kesanggupannya untuk membantu kakek itu terjun kembali ke dunia persilatan, tentu kakek ini ingin menguji ilmu kepandaiannya. Dia tak ingin sumoi-nya terilbat, karena maklum betapa besar bahayanya bila berkecimpung di dunia persilatan di mana terdapat banyak tokoh yang menyeleweng seperti yang disesalkan kakek itu, Maka, dia pun berkata,
"Locianpwe, biarlah saya mewakili ketiga orang guru kami. Sumoi adalah seorang wanita yang tidak semestinya terlibat dalam urusan ini, oleh karena itu biarlah saya sendiri yang menghadapi locianpwe.”
"Heh-heh-heh, kalau menghadapi Sam-sian, tentu aku minta mereka maju satu demi satu. Akan tetapi engkau hanya muridnya, bagaimana mungkin dapat menandingi aku? Majulah kalian berdua, baru akan seimbang, heh-heh!"
"Kita sama lihat saja, locianpwe. Semoga saja tidak sia-sia ketiga orang guruku selama ini menggembleng dan mengajarkan ilmu-ilmu mereka kepada saya!" kata Sin Wan tenang. "Ilmu kepandaian sumoi tidak banyak selisihnya dengan saya. Dengan mengukur tingkat saya maka locianpwe sudah akan dapat pula mengetahui kemampuan sumoi."
"Bagus! Melawan seorang di antara Sam-sian, hingga ratusan jurus belum ada yang kalah atau menang. Yang terakhir kalinya, saat melawan Kiam-sian kami berdua menghabiskan gerakan hampir seribu jurus dan belum ada yang kalah atau menang. Kalau engkau ini muridnya mampu bertahan sampai seratus jurus saja sudah kuanggap bagus sekali. Nah, bersiaplah!"
Kakek itu menggerakkan sebatang tongkat dan caping lebarnya tergantung di punggung. Tongkat itu bukanlah tongkat luar biasa, melainkan hanya sepotong ranting yang baru saja dibersihkan daun-daunnya sehingga masih basah. Besarnya hanya selengan wanita dan panjangnya satu meter lebih.
Sin Wan maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang sangat lihai, yang mampu menandingi mendiang suhu-nya, Dewa Pedang, sampai beribu-ribu jurus! Oleh karena itu tanpa ragu-ragu lagi dia pun mencabut pedangnya yang butut dari balik jubahnya.
Sinar hijau nampak berkelebat ketika pedang dicabut, akan tetapi biar pun mengeluarkan sinar hijau yang aneh, pada waktu pedang itu dipegang lurus menunjuk ke langit di depan mukanya, pedang itu hanya merupakan sebatang pedang yang jelek dan tumpul.
"Pedang tumpul...?!" kakek itu berseru kagum dengan mata terbelalak. "Pedang pusaka yang dulu pernah mengangkat nama besar Jenghis Khan! Bukankah pedang itu menjadi pusaka kerajaan?"
"Ketiga orang suhu saya menerima hadiah dari Kaisar sesudah berhasil mengembalikan pusaka-pusaka yang hilang, dan pedang ini merupakan satu di antara hadiah-hadiah itu, locianpwe."
"Pedang tumpul...! Bagus, aku ingin melihat apakah engkau pantas menjadi majikannya. Nah, sambut seranganku ini!" Tiba-tiba saja tongkat di tangan kakek itu lenyap, berubah menjadi gulungan sinar yang seperti ombak samudera menerjang ke arah Sin Wan.
"Ini Lam-hai Tung-hoat (Ilmu Tongkat Laut Selatan). Ilmuku terbaru yang belum pernah dilihat Sam-sian!" kakek itu berseru dari balik gulungan cahaya kelabu yang menyelimuti bayangannya itu.
Maklum bahwa dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya yang paling tinggi, Sin Wan juga tidak membuang waktu lagi. Langsung dia mainkan ilmu yang baru saja dipelajarinya dengan tekun selama satu tahun dari Dewa Arak, yaitu Sam-sian Sin-ciang! Sesuai namanya, yaitu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa), ilmu ini dapat dimainkan dengan tangan kosong akan tetapi juga dapat dimainkan dengan menggunakan pedang!
Maka, begitu gulungan sinar kelabu dari tongkat kakek itu menyambar-nyambar dan tiba-tiba dari gulungan sinar itu mencuat sinar kecil meluncur ke arah dadanya dengan totokan yang amat cepat bagaikan kilat, Sin Wan telah menggerakkan pedangnya menangkis dan dia pun langsung membalas dengan memainkan ilmu silat Sam-sian Sin-ciang.
Melihat pedang tumpul yang tadinya menangkis tongkatnya itu tiba-tiba saja berputar dan menyambarnya dengan gerakan melengkung, kakek itu terkejut dan kagum. Anak ini telah menguasai tenaga sakti sepenuhnya sehingga dalam seketika bisa mengubah yang keras menjadi lemas! Dia mengelak dari sambaran sinar hijau pedang itu, lalu memainkan Lam-hai Tung-hoat dengan hati-hati namun cepat.
Sin Wan terus mengimbangi kecepatan gerakan kakek itu hingga Kui Siang yang menjadi penonton tunggal merasa tertegun dan kagum. Kini dua orang yang sedang bertanding itu tidak nampak lagi, yang terlihat hanyalah dua gulungan sinar kelabu dan hijau yang saling terjang, saling belit dan saling desak. Dua orang itu mengandalkan ketangguhan ilmu silat mereka yang aneh itu disertai ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Selama sepuluh tahun menjauhkan diri dari dunia persilatan, kakek itu sama sekali tidak pernah berkelahi, akan tetapi juga tidak pernah meninggalkan latihan. Bahkan dia sudah menyempurnakan ilmu-ilmunya, menggabung jurus-jurus terampuh menjadi satu sehingga terciptalah ilmu tongkat Lam-hai Tung-hoat.
Tadinya dia mengira bahwa sebelum seratus jurus, tentu dia akan mampu mengalahkan pemuda murid Sam-sian itu dengan llmu tongkatnya yang baru. Namun ternyata pemuda dengan Pedang Tumpul itu bukan saja sanggup bertahan, bahkan mengimbangi semua kecepatannya dan membalas serangan tidak kalah gencarnya sehingga keadaan mereka dapat dikatakan seimbang!
Kini sudah hampir seratus jurus lewat dan dia sama sekali tidak mampu mendesak. Diam-diam dia merasa gembira sekali. Mendapatkan seorang pembantu seperti ini benar-benar menyenangkan dan menguntungkan! Dia pun tahu bahwa jika dilanjutkan mengandalkan kecepatan yang dapat diimbangi pemuda itu, akhirnya dialah yang akan kalah, yaitu kalah dalam hal pernapasan. Napasnya akan habis sebelum pemuda itu terengah-engah!
“Hyaaaattt...!" Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan kini tongkatnya digerakkan mengandung tenaga yang dahsyat, tenaga sakti dikerahkan dan dipusatkan pada gerakan menusuk itu.
Sin Wan dapat merasakan datangnya sambaran angin yang amat dahsyat, maka tahulah dia bahwa kakek itu telah mengerahkan tenaga sakti yang amat kuat. Maka dia pun cepat mengerahkan tenaganya lantas menangkis dengan kuat untuk mencoba sampai di mana kekuatan kakek itu.
"Crakkkk...!” Pertemuan antara ranting dan pedang itu membuat tanah di sekelilingnya seperti tergetar hebat. Akibatnya Sin Wan terdorong ke belakang sampai dua langkah sedangkan kakek itu sama sekali tidak, hanya merasakan tangannya tergetar saja. Hal ini saja telah menjadi bukti bahwa dalam hal tenaga sakti, pemuda itu masih kalah.
Namun diam-diam Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki kagum bukan main. Jarang ada tokoh kang-ouw, biar datuk sekali pun, yang mampu bertahan terhadap pengerahan tenaga sinkang-nya tadi, dan pemuda ini hanya undur dua langkah saja!
"Bagus!" Serunya dan kini kakek jembel itu menyerang lagi. Serangannya nampak sangat lambat, sama sekali menjadi kebalikan tadi. Kalau tadi dia mengandalkan kecepatan, kini dia mengandalkan tenaga.
Sin Wan maklum akan hal ini, lantas dia pun mengerahkan tenaga sakti dan menandingi kakek itu. Pertandingan dilanjutkan dan beberapa kali kedua senjata itu bertemu sehingga menggetarkan tanah yang diinjak Kui Siang yang menonton dengan hati sangat kagum. Tidak disangkanya bahwa kakek tua itu sedemikian lihainya, memang agaknya setingkat dengan kepandaian Sam-sian.
Kembali seratus jurus terlewat dalam pertandingan yang didasari tenaga sinkang ini. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan seruan melengking dan tongkatnya menyambar dari atas ke bawah, memukul ke arah kepala lawan! Sin Wan segera menggerakkan pedangnya dan menangkis dari bawah ke atas.
"Trakkk!" Kembali kedua senjata bertemu, akan tetapi sekali ini Sin Wan tidak terdotong mundur. Agaknya kakek itu mengurangi tenaganya, hanya kini pedang itu melekat pada tongkat! Ketika Sin Wan hendak menarik pedangnya yang tertempel tongkat itu, tiba-tiba saja dia merasa betapa tongkat itu mengendur, kehilangan tenaga! Sin Wan terkejut.
Tentu kakek itu kehabisan tenaga, pikirnya dan dalam keadaan seperti ini, ada dua jalan saja yang dapat dia lakukan. Kalau dia menghendaki kemenangan, tentu dengan mudah saja dia dapat mengerahkan tenaga dan dari tempelan tongkat yang kini tanpa tenaga itu dia dapat langsung menyerang dengan tusukan atau bacokan sehingga dengan mudah dia akan memperoleh kemenangan.
Akan tetapi Sin Wan adalah seorang yang semenjak kecil dijejali kelembutan oleh ibunya, kemudian digembleng lahir batin pula oleh Sam-sian. Ia tidak haus kemenangan, apa lagi terhadap kakek jembel yang amat dihormatinya ini. Tidak, dia tidak mau mempergunakan kesempatan itu untuk menang. Maka dia pun cepat-cepat mengendurkan tenaganya dan menarik kembali pedangnya yang menempel pada tongkat, untuk memberi kesempatan kepada lawan memulihkan.tenaganya.
Akan tetapi, pada saat dia mengendurkan tenaganya dan menarik pedangnya itu, tongkat yang tadinya tidak bertenaga itu tiba-tiba saja secepat kilat telah meluncur dengan tenaga sepenuhnya dan tahu-tahu sudah menempel pada lehernya! Tentu saja Sin Wan terkejut bukan main. Ini berarti bahwa dia telah kalah mutlak! Kakek itu terkekeh senang.
"Kau kalah, Sin Wan."
"Tapi, locianpwe tadi seperti kehilangan tenaga...”
"Itu namanya menggunakan tenaga Mengalah Untuk Menang!"
"Kalau saya tidak menarik pedang dan pada kesempatan itu justru mencari keuntungan dan menyerang..."
"Kau juga akan kalah. Coba saja kita ulangi!" kata kakek itu sambil tersenyum.
Dia segera memasang kuda-kuda seperti tadi, dengan tongkatnya di atas. Sin Wan yang merasa penasaran juga memasang kuda-kuda seperti tadi, lalu menempelkan pedangnya pada tongkat.
“Aku mulai!" kata Pek-sim Lo-kai dan mendadak tongkat itu mengendor seperti kehilangan tenaga.
Sin Wan mempergunakan kesempatan ini untuk menggerakkan pedangnya, menusuk ke depan, ke arah leher lawan, tentu saja dengan tenaga yang terkendali sehingga dapat dia hentikan kalau sudah menempel pada leher. Akan tetapi tiba-tiba sekali tubuh kakek itu merendah, kedua lututnya ditekuk dan sebelum Sin Wan dapat menyangkanya, perutnya sudah ditodong ujung tongkat! Kembali dia kalah mutlak!
Kakek itu terkekeh. “Heh-heh, ilmu Tenaga Mengalah Untuk Menang ini memang ampuh sekali, merupakan satu di antara ilmu yang kudapatkan selama ini. Menghadapi ilmuku ini, menggunakan kesempatan untuk menang berarti kalah, dan kalau mengalah dan menarik pedangmu, berarti kalah juga!"
Sin Wan tertegun kagum. "Wah, kalau begitu apakah tidak ada cara untuk menghindarkan diri dari ilmu itu, locianpwe?”
"Tentu saja ada, akan tetapi tidak pernah diduga dan dipergunakan orang tentunya! Inilah keistimewaan ilmu ini. Tenagaku yang tiba-tiba mengendur itulah yang menjadi pancingan, menjadi umpannya. Bila lawan merasa bahwa tenagaku mengendur lalu hendak mencari kemenangan seperti yang kau lakukan dalam pengulangan tadi, maka dengan mudah aku akan dapat mengalahkan, karena tentu dia mengira aku kehabisan tenaga sehingga tidak menduga akan seranganku ke arah perut tadi. Kalau sebaliknya dia hendak mengalah dan menarik senjatanya, maka aku dapat menggunakan kesempatan itu untuk menyerangnya dengan tiba-tiba dan memperoleh kemenangan. Bagaimana untuk menghindarkan diri dari kekalahan menghadapi ilmuku ini! Heh-heh-heh, namanya juga orang memancing, kalau umpannya tidak disambar ikan, pasti akan gagal! Kalau engkau tetap dengan sikapmu, tidak mengurangi tenaga menarik kembali senjata, tidak pula menggunakan kesempatan untuk menyerang, berarti aku tidak mampu berbuat apa-apa kecuali menggunakan siasat lain!"
Kakek itu tertawa-tawa dan Sin Wan ikut pula tertawa. Ilmu yang aneh dan nakal, akan tetapi memang dapat berhasil baik, menunjukkan betapa cerdiknya kakek ini.
"Ada lagi ilmu baru yang kudapatkan dan belum pernah kucoba, satu di antara ilmu-ilmu yang kuanggap terbaik. Nah, mari kita coba! Sekali ini berhati-hatilah engkau karena aku akan melancarkan serangkaian serangan yang dahsyat!"
Sin Wan sudah memasang kuda-kuda dengan hati-hati sekali. Kedua kakinya terpentang dan tertekuk sedikit, kokoh kuat, sementara tangan kanan dengan jari terbuka di pinggang kiri, pedang melintang di depan dada. Dalam keadaan seperti itu, diserang dari mana pun dia akan mampu menjaga dirinya.
"Saya sudah siap, locianpwe!" katanya gembira. Betapa hatinya tidak gembira. Dia akan melihat ilmu-ilmu yang aneh dan lihai. Sama saja dengan menerima pelajaran ilmu-ilmu baru yang ampuh dari kakek itu.
"Awas seranganku ini!" teriak kakek itu dan tiba-tiba tubuhnya berpusing seperti gasing! Saking cepatnya, gerakan berpusing itu sukar diikuti dengan pandang mata, biar pandang mata terlatih seperti mata Sin Wan sekali pun. Dan pusingan atau gasingan hidup itu kini berputar dan menggelinding ke arah Sin Wan.
Pemuda ini tidak dapat melihat mana tongkat lawan dan mana pula bagian tubuhnya yang hendak diserang. Maka untuk melindungi tubuhnya, dia memutar pedang menjadi perisai. Terdengar suara berdentang beberapa kali dan gasing manusia itu lantas menggelinding pergi, namun membalik dan menyerang kembali dalam keadaan masih berpusing.
Sin Wan sama sekali tidak mampu membalas. Dia hanya melindungi diri setiap kali gasing manusia itu mendekat, Ketika gasing itu menggelinding mendekat untuk yang ke empat kalinya dan dia memutar pedang menjadi perisai, tiba-tiba gasing itu mencelat ke atas dan ketika dia memutar pedangnya ke atas, dia merasa rambutnya seperti ditarik lalu gasing hidup itu telah melayang turun kembali dan nampak kakek itu terkekeh.
"Heh-heh-heh, kalau yang keempat kalinya itu aku gagal, dua kali serangan lagi tentu aku akan roboh sendiri. Siapa dapat tahan kalau sudah setua ini disuruh berpusing seperti gasing. Sekarang pun bumi seperti dilanda gempa hebat, ha-ha-ha!”
Sin Wan meraba rambutnya dan ternyata kain pengikat rambutnya telah lenyap dan ketika dia memandang lagi, kain itu sudah terkait di ujung tongkat Pek-sim Lo-kai! Tahulah dia bahwa kembali dia harus mengaku kalah karena kalau yang dihadapinya seorang musuh, tentu bukan kain pengikat rambut yang dikait!
"Hebat sekali gerakan aneh tadi, locianpwe. Ilmu apakah itu tadi?"
"Itu namanya Langkah Angin Puyuh! Bukan saja dapat digunakan untuk menyerang, akan tetapi juga dapat untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang. Akan tetapi harus kuat terhadap putaran itu, kalau tidak, kepala bisa pening dan baru beberapa putaran sudah roboh sendiri. Membutuhkan latihan!"
"Sungguh hebat sekali, locianpwe. Masih ada lagikah ilmu aneh yang boleh kami lihat?" kini Kui Siang berkata, merasa kagum bukan kepalang karena dengan dua macam ilmu itu saja, demikian mudahnya suheng-nya dikalahkan.
"Ha-ha-ha, masih banyak, nona...”
"Kenapa locianpwe demikian sungkan menyebut nona padaku? Namaku Lim Kui Siang," kata gadis itu ramah.
"Heh-heh, Kui Siang. Aku sudah tua. Jika terlalu lama bertanding, napasku bisa putus dan tenagaku habis. Sekarang pun aku sudah haus sekali dan lapar bukan main.”
"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan ke selatan, locianpwe. Bukankah kota Peking tidak jauh lagi?" kata Sin Wan. "Di sana kita dapat makan di rumah makan."
"Kalian yang bayar? Aku seorang pengemis tua, mana bisa makan di rumah makan?"
"Kami akan membayar, locianpwe. Pilihlah makanan yang paling enak, dan kamilah yang akan membayar," kata Kui Siang.
Kakek itu bersorak. "Ha-ha-ha! Hari ini engkau mujur, perut dan mulut. Mari kita segera berangkat!" Dan dia pun sudah berlari dengan cepat seperti terbang saja.
Sin Wan dan Kui Siang saling pandang, tersenyum dan mereka pun segera menggunakan ilmu berlari cepat mengejar kakek itu, menuju ke selatan, ke kota Peking...
"Ehh? Apa maksudmu?"
"Locianpwe, perjuangan suci bukan hanya memerdekakan negara dan bangsa lalu disusul dengan usaha memakmurkan rakyatnya saja. Kalau melihat ada orang-orang yang tidak benar dan berambisi menyenangkan diri sendiri, bukankah sama halnya dengan melihat tikus-tikus yang hendak menggerogoti sarana kemakmuran bagi rakyat? Jika sudah dapat mengetahui keadaan ini, sudah benarkah bila membiarkan saja bahkan menjauhkan diri? Bukankah merupakan perjuangan yang luhur pula jika kita berusaha mencegah terjadinya semua penyelewengan itu, menghentikan semua permusuhan di antara bangsa sendiri, di antara golongan sendiri, membersihkan mereka yang menipu dan mencuri milik negara, dan menjamin keamanan bagi rakyat jelata?”
Kakek itu membelalakkan mata memandang kepada Sin Wan, tetapi tidak nampak marah melainkan tersenyum lucu. "Ehh?! Ehh, lanjutkan, lanjutkan!" katanya penuh gairah.
"Kehidupan di seluruh alam mayapada ini dikuasai oleh dua unsur, locianpwe, yaitu Im (negatif) dan Yang (positif). Keduanya ini yang memutar seluruh alam dan isinya, seluruh kejadian dan seluruh sifat. Bagaimana ada Yang tanpa Im? Bagaimana ada Terang tanpa Gelap, ada Kebaikan tanpa Keburukan dan sebagainya? Hidup ini merupakan tantangan, locianpwe, justru di sinilah letaknya seni hidup. Kita harus menghadapi setiap tantangan, menghadapinya dan mengatasinya! Bukan melarikan diri! Ini pun perjuangan namanya, perjuangan hidup, yaitu menghadapi dan mengatasi semua tantangan, dengan landasan benar! Tidakkah demikian, locianpwe? Ataukah locianpwe hanya pura-pura saja tidak tahu karena saya yakin locianpwe lebih tahu dari pada kami orang-orang muda ini?"
"Siancai... siancai…! Ini baru suara murid Sam-sian! Hei, orang muda yang baik, engkau tadi menyatakan tentang landasan benar! Nah, kata ‘benar’ ini bagaimana? Setiap orang akan menganggap dirinya benar! Kalau aku sampai berkelahi denganmu, pasti aku akan merasa diriku benar dan engkau pun demikian. Lain kalau kita berdua merasa benar, lalu siapa yang tidak benar?"
"Locianpwee apa bila locianpwe merasa benar dan saya pun merasa benar sehingga kita saling bermusuhan, maka jelaslah bahwa kita berdua sama-sama tidak benar! Kebenaran tak dapat diperebutkan, tidak dapat dimonopoli seseorang. Kebenaran yang dibela dengan kekerasan sehingga bermusuhan, jelas bukan kebenaran lagi."
"Heh-heh-heh, lalu apa maksudmu mengatakan dengan landasan benar tadi? Kebenaran yang mana yang kau maksudkan?"
"Maaf, locianpwe, kalau pengertian saya masih dangkal dan keliru, mohon petunjuk dari locianpwe. Kebenaran mutlak, yang Maha Benar, hanyalah Tuhan Yang Maha Esa, yang lainnya, yaitu kebenaran yang diaku oleh manusia hanyalah kebenaran semu yang setiap waktu bisa dinyatakan tidak benar, tergantung waktu, keadaan dan lingkungan. Yang saya maksudkan dengan landasan benar tadi adalah kalau tindakan kita tidak didasari pamrih demi kepentingan dan keuntungan diri pribadi. Yang terpenting adalah pamrihnya, bukan perbuatannya. Betapa pun baik dan indah nampaknya suatu perbuatan, apa bila didasari dengan pamrih yang mementingkan diri pribadi, maka perbuatan itu palsu adanya."
"Heh-heh-heh, engkau terlalu keras, orang muda... ehhh, siapa namamu tadi? Sin Wan? Aku mulai tertarik kepadamu. Di dunia ini mana ada manusia yang bebas dari pamrih? Setidaknya manusia membutuhkan sandang pangan dan papan, juga berhak menikmati hidupnya dan bersenang-senang!"
"Tentu saja, locianpwe. Tidak mungkin Tuhan menciptakan manusia untuk bersengsara-sengsara. Akan tetapi sekali kebutuhan akan kesenangan itu menjadi majikan, maka kita akan diperhamba oleh nafsu kemudian kita akan dibawa ke jalan sesat."
"Ha-ha-ho-ho-ho, bagus sekali, Sin Wan. Dari Sam-sian kah engkau memperoleh semua pengetahuan akan kehidupan ini?"
"Kewaspadaan terhadap kehidupan bukanlah pelajaran yang harus dihafalkan dan diingat-ingat, locianpwe, melainkan timbul dari kesadaran akan rasa diri, akan seluruh isi alam dan terutama akan Penciptanya, yaitu Allah Yang Maha Tunggal, Maha Besar, dan Maha Kuasa.”
Kakek itu tertawa bergelak, kemudian menoleh pada Kui Siang. "Dan bagaimana dengan engkau, siapa namamu tadi, Lim Kui Siang? Bagaimana denganmu? Bukankah engkau juga murid Sam-sian dan digembleng dengan kebijaksanaan yang sama?"
Kui Siang tersenyum. "Locianpwe, aku hanyalah seorang gadis bodoh, maka tidak dapat dibandingkan dengan suheng, baik dalam hal ilmu silat mau pun pengetahuan mengenai kehidupan dan filsafat. Dia memang pintar!"
Sin Wan tersenyum. “Jangan percaya ucapannya, locianpwe. Sumoi hanya merendahkan diri. Ilmu silatnya hebat, saya sendiri belum tentu akan mampu menandinginya. Dan dia adalah puteri seorang bangsawan tinggi yang setia dan baik."
"Suheng...!" Gadis itu berseru hendak mencegah suheng-nya bercerita tentang itu. Tetapi sudah terlanjur dan Sin Wan yang merasa bersalah segera berkata, suaranya menghibur.
"Maaf sumoi. Kurasa tiada halangannya locianpwe ini mengetahui tentang keadaanmu. Dia adalah sahabat baik dari guru-guru kita."
"Heh-heh-heh-heh, nona Lim Kui Siang, tanpa diberi tahu pun orang mudah saja menduga bahwa engkau tentulah mempunyai darah bangsawan! Hal itu dapat nampak pada sikap dan gerak-gerikmu yang anggun dan lembut. Bangsawan she Lim di kota raja yang setia? Hemmm, aku pernah mengenal bangsawan Lim yang menjadi Jaksa Agung di kota raja. Itukah orang tuamu?"
Kui Siang menggeleng. Sekarang dia sudah tidak perlu merahasiakan keluarganya yang sudah tiada itu. "Bukan, locianpwe, dan harap locianpwe tidak menyebut nona kepadaku. Ayahku tidak menjadi jaksa, melainkan bertugas sebagai pengurus gudang pusaka di kota raja."
“Pengurus gudang pusaka? Ahh, kalau begitu tentu seorang yang terpelajar tinggi! Ingin sekali-kali aku menemui orang tuamu dan berkenalan."
"Locianpwe, ayah dan ibu sumoi sudah meninggal dunia," kata Sin Wan.
"Ahhh!" Senyum itu menghilang dari bibir si pengemis tua. "Kiranya engkau sudah yatim piatu?”
"Ayahku dibunuh orang ketika melaksanakan tugasnya, locianpwe. Ketika pusaka-pusaka kerajaan dicuri orang, ayah menjadi korban, dibunuh oleh pencuri pusaka."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Aku pernah mendengar berita tentang hilangnya pusaka-pusaka itu, akan tetapi karena aku sudah tidak tertarik lagi akan urusan dunia ramai, aku pun tidak terlalu memperhatikan. Siapa sih orang yang begitu berani mencuri pusaka dari kerajaan?”
"Pencurinya adalah Hwe-ciang Se Jit Kong," kata Kui Siang.
"Aha…! Si Tangan Api yang tersohor itu? Ingin sekali-kali aku mencoba kelihaian tangan apinya. Kabarnya dia merajalela dan mengalahkan banyak tokoh besar dunia persilatan."
"Kini dia sudah tewas, locianpwe," kata Sin Wan. "Ketiga guru kami mendapat tugas dari Kaisar untuk mencari pusaka-pusaka itu dan berhasil merampasnya kembali dari Se Jit Kong yang tewas di tangan mereka."
"Ahh... sungguh sayang sekali! Nah, Sin Wan, engkau tadi menyalahkan tindakanku yang pergi meninggalkan kai-pang. Nah, katakan, kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kulakukan?"
"Maaf, sama sekali saya tidak berani menyalahkan tindakan locianpwe. Saya hanya ingin mengingatkan dan mengajak locianpwe untuk bertukar pikiran. Sekarang ini penjajah telah terusir pergi. Negara dan bangsa sudah dipimpin oleh tangan bangsa sendiri yang berarti merupakan tindak lanjut dari perjuangan merebut kemerdekaan. Kalau dahulu pada waktu berjuang merebut kemerdekaan locianpwe dengan gigih ikut membantu, kenapa sekarang tidak? Justru sekarang ini kiranya para kai-pang perlu disatu padukan untuk membantu pemerintah mengisi kemerdekaan."
"He-heh-heh, sudah kukatakan bahwa aku muak dengan semua itu! Mereka itu palsu dan penyelewengan terjadi di mana-mana. Jika aku terjun kembali, bukankah aku malah akan membiarkan diriku bergelimang dengan penyelewengan? Bermain dengan lumpur tentu akan menjadi kotor!"
"Belum tentu, locianpwe! Biar terpendam dalam lumpur pun, sekali emas akan tetap emas mengkilat. Biar hidup di atas lumpur sekali pun, bunga teratai akan tetap indah dan bersih. Kalau mau terjun kembali malah locianpwe akan dapat menangani semua penyelewengan itu, membelokkannya ke jalan benar. Jika locianpwe melarikan diri dari kenyataan seperti ini, bukankah hal itu justru berarti locianpwe membantu semakin memburuknya keadaan? Locianpwe, selagi hidup, kalau tidak membuat tindakan yang bermanfaat bagi dunia, lalu apa artinya hidup?”
Sepasang mata itu terbelalak. “Heii, orang muda! Enak saja engkau bicara. Orang bicara harus berani mempertanggung jawabkan ucapannya. Pendapatmu itu jangan kau jejalkan dan paksakan saja kepada orang lain supaya melaksanakannya, akan tetapi juga untuk dirimu sendiri! Kalau orang hanya memberi nasehat dan dorongan kepada orang lain akan tetapi diri sendiri tidak melakukan, perbuatan itu seperti sikap para pembesar korup yang menganjurkan ini itu kepada rakyat namun dia sendiri tidak melaksanakannya! Beranikah engkau membantuku kalau aku terjun kembali ke dunia ramai, menertibkan para kai-pang dan membantu pemerintah mengisi kemerdekaan?"
Sin Wan adalah seorang pemuda yang mempunyai watak gagah dan bertanggung jawab. Mendengar pertanyaan itu, tanpa ragu-ragu lagi dia segera menjawab, "Tentu saja saya berani dan sanggup membantu locianpwe!"
"Bagus!" Kakek itu terkekeh girang sekali. “Sekarang kalian berdua bersiap-siaplah untuk melawan aku, heh-heh-heh!"
Tentu saja dua orang muda itu terkejut bukan main. "Apa maksud locianpwe?" Kui Siang berseru. "Aku tidak ingin berkelahi denganmu!"
"Anak bodoh, siapa yang mau berkelahi dengan siapa? Setiap kali aku bertemu Sam-sian, tentu mereka akan kuajak berlatih silat. Kini mereka tidak berada di sini, dan yang kutemui adalah murid-murid mereka. Sebagai murid, kalian harus mewakili Sam-sian untuk berlatih dengan aku. Bersiaplah, kita berlatih beberapa jurus!"
Sin Wan segera maklum akan isi hati kakek ini. Setelah menerima kesanggupannya untuk membantu kakek itu terjun kembali ke dunia persilatan, tentu kakek ini ingin menguji ilmu kepandaiannya. Dia tak ingin sumoi-nya terilbat, karena maklum betapa besar bahayanya bila berkecimpung di dunia persilatan di mana terdapat banyak tokoh yang menyeleweng seperti yang disesalkan kakek itu, Maka, dia pun berkata,
"Locianpwe, biarlah saya mewakili ketiga orang guru kami. Sumoi adalah seorang wanita yang tidak semestinya terlibat dalam urusan ini, oleh karena itu biarlah saya sendiri yang menghadapi locianpwe.”
"Heh-heh-heh, kalau menghadapi Sam-sian, tentu aku minta mereka maju satu demi satu. Akan tetapi engkau hanya muridnya, bagaimana mungkin dapat menandingi aku? Majulah kalian berdua, baru akan seimbang, heh-heh!"
"Kita sama lihat saja, locianpwe. Semoga saja tidak sia-sia ketiga orang guruku selama ini menggembleng dan mengajarkan ilmu-ilmu mereka kepada saya!" kata Sin Wan tenang. "Ilmu kepandaian sumoi tidak banyak selisihnya dengan saya. Dengan mengukur tingkat saya maka locianpwe sudah akan dapat pula mengetahui kemampuan sumoi."
"Bagus! Melawan seorang di antara Sam-sian, hingga ratusan jurus belum ada yang kalah atau menang. Yang terakhir kalinya, saat melawan Kiam-sian kami berdua menghabiskan gerakan hampir seribu jurus dan belum ada yang kalah atau menang. Kalau engkau ini muridnya mampu bertahan sampai seratus jurus saja sudah kuanggap bagus sekali. Nah, bersiaplah!"
Kakek itu menggerakkan sebatang tongkat dan caping lebarnya tergantung di punggung. Tongkat itu bukanlah tongkat luar biasa, melainkan hanya sepotong ranting yang baru saja dibersihkan daun-daunnya sehingga masih basah. Besarnya hanya selengan wanita dan panjangnya satu meter lebih.
Sin Wan maklum bahwa dia menghadapi seorang lawan yang sangat lihai, yang mampu menandingi mendiang suhu-nya, Dewa Pedang, sampai beribu-ribu jurus! Oleh karena itu tanpa ragu-ragu lagi dia pun mencabut pedangnya yang butut dari balik jubahnya.
Sinar hijau nampak berkelebat ketika pedang dicabut, akan tetapi biar pun mengeluarkan sinar hijau yang aneh, pada waktu pedang itu dipegang lurus menunjuk ke langit di depan mukanya, pedang itu hanya merupakan sebatang pedang yang jelek dan tumpul.
"Pedang tumpul...?!" kakek itu berseru kagum dengan mata terbelalak. "Pedang pusaka yang dulu pernah mengangkat nama besar Jenghis Khan! Bukankah pedang itu menjadi pusaka kerajaan?"
"Ketiga orang suhu saya menerima hadiah dari Kaisar sesudah berhasil mengembalikan pusaka-pusaka yang hilang, dan pedang ini merupakan satu di antara hadiah-hadiah itu, locianpwe."
"Pedang tumpul...! Bagus, aku ingin melihat apakah engkau pantas menjadi majikannya. Nah, sambut seranganku ini!" Tiba-tiba saja tongkat di tangan kakek itu lenyap, berubah menjadi gulungan sinar yang seperti ombak samudera menerjang ke arah Sin Wan.
"Ini Lam-hai Tung-hoat (Ilmu Tongkat Laut Selatan). Ilmuku terbaru yang belum pernah dilihat Sam-sian!" kakek itu berseru dari balik gulungan cahaya kelabu yang menyelimuti bayangannya itu.
Maklum bahwa dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmunya yang paling tinggi, Sin Wan juga tidak membuang waktu lagi. Langsung dia mainkan ilmu yang baru saja dipelajarinya dengan tekun selama satu tahun dari Dewa Arak, yaitu Sam-sian Sin-ciang! Sesuai namanya, yaitu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa), ilmu ini dapat dimainkan dengan tangan kosong akan tetapi juga dapat dimainkan dengan menggunakan pedang!
Maka, begitu gulungan sinar kelabu dari tongkat kakek itu menyambar-nyambar dan tiba-tiba dari gulungan sinar itu mencuat sinar kecil meluncur ke arah dadanya dengan totokan yang amat cepat bagaikan kilat, Sin Wan telah menggerakkan pedangnya menangkis dan dia pun langsung membalas dengan memainkan ilmu silat Sam-sian Sin-ciang.
Melihat pedang tumpul yang tadinya menangkis tongkatnya itu tiba-tiba saja berputar dan menyambarnya dengan gerakan melengkung, kakek itu terkejut dan kagum. Anak ini telah menguasai tenaga sakti sepenuhnya sehingga dalam seketika bisa mengubah yang keras menjadi lemas! Dia mengelak dari sambaran sinar hijau pedang itu, lalu memainkan Lam-hai Tung-hoat dengan hati-hati namun cepat.
Sin Wan terus mengimbangi kecepatan gerakan kakek itu hingga Kui Siang yang menjadi penonton tunggal merasa tertegun dan kagum. Kini dua orang yang sedang bertanding itu tidak nampak lagi, yang terlihat hanyalah dua gulungan sinar kelabu dan hijau yang saling terjang, saling belit dan saling desak. Dua orang itu mengandalkan ketangguhan ilmu silat mereka yang aneh itu disertai ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Selama sepuluh tahun menjauhkan diri dari dunia persilatan, kakek itu sama sekali tidak pernah berkelahi, akan tetapi juga tidak pernah meninggalkan latihan. Bahkan dia sudah menyempurnakan ilmu-ilmunya, menggabung jurus-jurus terampuh menjadi satu sehingga terciptalah ilmu tongkat Lam-hai Tung-hoat.
Tadinya dia mengira bahwa sebelum seratus jurus, tentu dia akan mampu mengalahkan pemuda murid Sam-sian itu dengan llmu tongkatnya yang baru. Namun ternyata pemuda dengan Pedang Tumpul itu bukan saja sanggup bertahan, bahkan mengimbangi semua kecepatannya dan membalas serangan tidak kalah gencarnya sehingga keadaan mereka dapat dikatakan seimbang!
Kini sudah hampir seratus jurus lewat dan dia sama sekali tidak mampu mendesak. Diam-diam dia merasa gembira sekali. Mendapatkan seorang pembantu seperti ini benar-benar menyenangkan dan menguntungkan! Dia pun tahu bahwa jika dilanjutkan mengandalkan kecepatan yang dapat diimbangi pemuda itu, akhirnya dialah yang akan kalah, yaitu kalah dalam hal pernapasan. Napasnya akan habis sebelum pemuda itu terengah-engah!
“Hyaaaattt...!" Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan kini tongkatnya digerakkan mengandung tenaga yang dahsyat, tenaga sakti dikerahkan dan dipusatkan pada gerakan menusuk itu.
Sin Wan dapat merasakan datangnya sambaran angin yang amat dahsyat, maka tahulah dia bahwa kakek itu telah mengerahkan tenaga sakti yang amat kuat. Maka dia pun cepat mengerahkan tenaganya lantas menangkis dengan kuat untuk mencoba sampai di mana kekuatan kakek itu.
"Crakkkk...!” Pertemuan antara ranting dan pedang itu membuat tanah di sekelilingnya seperti tergetar hebat. Akibatnya Sin Wan terdorong ke belakang sampai dua langkah sedangkan kakek itu sama sekali tidak, hanya merasakan tangannya tergetar saja. Hal ini saja telah menjadi bukti bahwa dalam hal tenaga sakti, pemuda itu masih kalah.
Namun diam-diam Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki kagum bukan main. Jarang ada tokoh kang-ouw, biar datuk sekali pun, yang mampu bertahan terhadap pengerahan tenaga sinkang-nya tadi, dan pemuda ini hanya undur dua langkah saja!
"Bagus!" Serunya dan kini kakek jembel itu menyerang lagi. Serangannya nampak sangat lambat, sama sekali menjadi kebalikan tadi. Kalau tadi dia mengandalkan kecepatan, kini dia mengandalkan tenaga.
Sin Wan maklum akan hal ini, lantas dia pun mengerahkan tenaga sakti dan menandingi kakek itu. Pertandingan dilanjutkan dan beberapa kali kedua senjata itu bertemu sehingga menggetarkan tanah yang diinjak Kui Siang yang menonton dengan hati sangat kagum. Tidak disangkanya bahwa kakek tua itu sedemikian lihainya, memang agaknya setingkat dengan kepandaian Sam-sian.
Kembali seratus jurus terlewat dalam pertandingan yang didasari tenaga sinkang ini. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan seruan melengking dan tongkatnya menyambar dari atas ke bawah, memukul ke arah kepala lawan! Sin Wan segera menggerakkan pedangnya dan menangkis dari bawah ke atas.
"Trakkk!" Kembali kedua senjata bertemu, akan tetapi sekali ini Sin Wan tidak terdotong mundur. Agaknya kakek itu mengurangi tenaganya, hanya kini pedang itu melekat pada tongkat! Ketika Sin Wan hendak menarik pedangnya yang tertempel tongkat itu, tiba-tiba saja dia merasa betapa tongkat itu mengendur, kehilangan tenaga! Sin Wan terkejut.
Tentu kakek itu kehabisan tenaga, pikirnya dan dalam keadaan seperti ini, ada dua jalan saja yang dapat dia lakukan. Kalau dia menghendaki kemenangan, tentu dengan mudah saja dia dapat mengerahkan tenaga dan dari tempelan tongkat yang kini tanpa tenaga itu dia dapat langsung menyerang dengan tusukan atau bacokan sehingga dengan mudah dia akan memperoleh kemenangan.
Akan tetapi Sin Wan adalah seorang yang semenjak kecil dijejali kelembutan oleh ibunya, kemudian digembleng lahir batin pula oleh Sam-sian. Ia tidak haus kemenangan, apa lagi terhadap kakek jembel yang amat dihormatinya ini. Tidak, dia tidak mau mempergunakan kesempatan itu untuk menang. Maka dia pun cepat-cepat mengendurkan tenaganya dan menarik kembali pedangnya yang menempel pada tongkat, untuk memberi kesempatan kepada lawan memulihkan.tenaganya.
Akan tetapi, pada saat dia mengendurkan tenaganya dan menarik pedangnya itu, tongkat yang tadinya tidak bertenaga itu tiba-tiba saja secepat kilat telah meluncur dengan tenaga sepenuhnya dan tahu-tahu sudah menempel pada lehernya! Tentu saja Sin Wan terkejut bukan main. Ini berarti bahwa dia telah kalah mutlak! Kakek itu terkekeh senang.
"Kau kalah, Sin Wan."
"Tapi, locianpwe tadi seperti kehilangan tenaga...”
"Itu namanya menggunakan tenaga Mengalah Untuk Menang!"
"Kalau saya tidak menarik pedang dan pada kesempatan itu justru mencari keuntungan dan menyerang..."
"Kau juga akan kalah. Coba saja kita ulangi!" kata kakek itu sambil tersenyum.
Dia segera memasang kuda-kuda seperti tadi, dengan tongkatnya di atas. Sin Wan yang merasa penasaran juga memasang kuda-kuda seperti tadi, lalu menempelkan pedangnya pada tongkat.
“Aku mulai!" kata Pek-sim Lo-kai dan mendadak tongkat itu mengendor seperti kehilangan tenaga.
Sin Wan mempergunakan kesempatan ini untuk menggerakkan pedangnya, menusuk ke depan, ke arah leher lawan, tentu saja dengan tenaga yang terkendali sehingga dapat dia hentikan kalau sudah menempel pada leher. Akan tetapi tiba-tiba sekali tubuh kakek itu merendah, kedua lututnya ditekuk dan sebelum Sin Wan dapat menyangkanya, perutnya sudah ditodong ujung tongkat! Kembali dia kalah mutlak!
Kakek itu terkekeh. “Heh-heh, ilmu Tenaga Mengalah Untuk Menang ini memang ampuh sekali, merupakan satu di antara ilmu yang kudapatkan selama ini. Menghadapi ilmuku ini, menggunakan kesempatan untuk menang berarti kalah, dan kalau mengalah dan menarik pedangmu, berarti kalah juga!"
Sin Wan tertegun kagum. "Wah, kalau begitu apakah tidak ada cara untuk menghindarkan diri dari ilmu itu, locianpwe?”
"Tentu saja ada, akan tetapi tidak pernah diduga dan dipergunakan orang tentunya! Inilah keistimewaan ilmu ini. Tenagaku yang tiba-tiba mengendur itulah yang menjadi pancingan, menjadi umpannya. Bila lawan merasa bahwa tenagaku mengendur lalu hendak mencari kemenangan seperti yang kau lakukan dalam pengulangan tadi, maka dengan mudah aku akan dapat mengalahkan, karena tentu dia mengira aku kehabisan tenaga sehingga tidak menduga akan seranganku ke arah perut tadi. Kalau sebaliknya dia hendak mengalah dan menarik senjatanya, maka aku dapat menggunakan kesempatan itu untuk menyerangnya dengan tiba-tiba dan memperoleh kemenangan. Bagaimana untuk menghindarkan diri dari kekalahan menghadapi ilmuku ini! Heh-heh-heh, namanya juga orang memancing, kalau umpannya tidak disambar ikan, pasti akan gagal! Kalau engkau tetap dengan sikapmu, tidak mengurangi tenaga menarik kembali senjata, tidak pula menggunakan kesempatan untuk menyerang, berarti aku tidak mampu berbuat apa-apa kecuali menggunakan siasat lain!"
Kakek itu tertawa-tawa dan Sin Wan ikut pula tertawa. Ilmu yang aneh dan nakal, akan tetapi memang dapat berhasil baik, menunjukkan betapa cerdiknya kakek ini.
"Ada lagi ilmu baru yang kudapatkan dan belum pernah kucoba, satu di antara ilmu-ilmu yang kuanggap terbaik. Nah, mari kita coba! Sekali ini berhati-hatilah engkau karena aku akan melancarkan serangkaian serangan yang dahsyat!"
Sin Wan sudah memasang kuda-kuda dengan hati-hati sekali. Kedua kakinya terpentang dan tertekuk sedikit, kokoh kuat, sementara tangan kanan dengan jari terbuka di pinggang kiri, pedang melintang di depan dada. Dalam keadaan seperti itu, diserang dari mana pun dia akan mampu menjaga dirinya.
"Saya sudah siap, locianpwe!" katanya gembira. Betapa hatinya tidak gembira. Dia akan melihat ilmu-ilmu yang aneh dan lihai. Sama saja dengan menerima pelajaran ilmu-ilmu baru yang ampuh dari kakek itu.
"Awas seranganku ini!" teriak kakek itu dan tiba-tiba tubuhnya berpusing seperti gasing! Saking cepatnya, gerakan berpusing itu sukar diikuti dengan pandang mata, biar pandang mata terlatih seperti mata Sin Wan sekali pun. Dan pusingan atau gasingan hidup itu kini berputar dan menggelinding ke arah Sin Wan.
Pemuda ini tidak dapat melihat mana tongkat lawan dan mana pula bagian tubuhnya yang hendak diserang. Maka untuk melindungi tubuhnya, dia memutar pedang menjadi perisai. Terdengar suara berdentang beberapa kali dan gasing manusia itu lantas menggelinding pergi, namun membalik dan menyerang kembali dalam keadaan masih berpusing.
Sin Wan sama sekali tidak mampu membalas. Dia hanya melindungi diri setiap kali gasing manusia itu mendekat, Ketika gasing itu menggelinding mendekat untuk yang ke empat kalinya dan dia memutar pedang menjadi perisai, tiba-tiba gasing itu mencelat ke atas dan ketika dia memutar pedangnya ke atas, dia merasa rambutnya seperti ditarik lalu gasing hidup itu telah melayang turun kembali dan nampak kakek itu terkekeh.
"Heh-heh-heh, kalau yang keempat kalinya itu aku gagal, dua kali serangan lagi tentu aku akan roboh sendiri. Siapa dapat tahan kalau sudah setua ini disuruh berpusing seperti gasing. Sekarang pun bumi seperti dilanda gempa hebat, ha-ha-ha!”
Sin Wan meraba rambutnya dan ternyata kain pengikat rambutnya telah lenyap dan ketika dia memandang lagi, kain itu sudah terkait di ujung tongkat Pek-sim Lo-kai! Tahulah dia bahwa kembali dia harus mengaku kalah karena kalau yang dihadapinya seorang musuh, tentu bukan kain pengikat rambut yang dikait!
"Hebat sekali gerakan aneh tadi, locianpwe. Ilmu apakah itu tadi?"
"Itu namanya Langkah Angin Puyuh! Bukan saja dapat digunakan untuk menyerang, akan tetapi juga dapat untuk menghadapi pengeroyokan banyak orang. Akan tetapi harus kuat terhadap putaran itu, kalau tidak, kepala bisa pening dan baru beberapa putaran sudah roboh sendiri. Membutuhkan latihan!"
"Sungguh hebat sekali, locianpwe. Masih ada lagikah ilmu aneh yang boleh kami lihat?" kini Kui Siang berkata, merasa kagum bukan kepalang karena dengan dua macam ilmu itu saja, demikian mudahnya suheng-nya dikalahkan.
"Ha-ha-ha, masih banyak, nona...”
"Kenapa locianpwe demikian sungkan menyebut nona padaku? Namaku Lim Kui Siang," kata gadis itu ramah.
"Heh-heh, Kui Siang. Aku sudah tua. Jika terlalu lama bertanding, napasku bisa putus dan tenagaku habis. Sekarang pun aku sudah haus sekali dan lapar bukan main.”
"Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan ke selatan, locianpwe. Bukankah kota Peking tidak jauh lagi?" kata Sin Wan. "Di sana kita dapat makan di rumah makan."
"Kalian yang bayar? Aku seorang pengemis tua, mana bisa makan di rumah makan?"
"Kami akan membayar, locianpwe. Pilihlah makanan yang paling enak, dan kamilah yang akan membayar," kata Kui Siang.
Kakek itu bersorak. "Ha-ha-ha! Hari ini engkau mujur, perut dan mulut. Mari kita segera berangkat!" Dan dia pun sudah berlari dengan cepat seperti terbang saja.
Sin Wan dan Kui Siang saling pandang, tersenyum dan mereka pun segera menggunakan ilmu berlari cepat mengejar kakek itu, menuju ke selatan, ke kota Peking...
********************