AKAN tetapi hanya beberapa orang saja yang membalas penghormatan Sin Wan, itu pun hanya dengan anggukan kepala atau senyuman. Bahkan Sin Wan melihat banyak pasang mata pria-pria muda yang menjadi saudara misan Kui Siang menatap kepadanya dengan pandangan tidak senang.
“Adik Kui Siang," kata seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, tampan dan pesolek, "kulihat suheng-mu ini seperti bukan orang Han, benarkah?"
Kui Siang tersenyum. "Penglihatanmu benar-benar tajam, toako (kakak). Memang suheng seorang bersuku Bangsa Uighur."
Kembali banyak di antara mereka saling pandang dan terdengar seruan tertahan seperti tadi, dan terdengar pula kata penuh ragu, "Uighur...?!”
Tiba-tiba kakek Bu Lee Ki tertawa bergelak sehingga semua orang menoleh kepadanya dengan alis berkerut. "Ha-ha-ha-ha, aku sudah makan minum sampai kenyang, Kui Siang. Karena semua keluargamu kini berkumpul, aku ingin berbicara dengan mereka mengenai urusanmu dengan Sin Wan."
Tiba-tiba wajah Kui Siang berubah kemerahan, kemudian dia pun menundukkan mukanya, mengangguk dan suaranya terdengar lirih, "Silakan, locianpwe."
Ia melirik ke arah suheng-nya dan melihat betapa Sin Wan juga menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi sepasang alis Sin Wan berkerut karena pemuda ini merasa sangat khawatir. Bagaimana kakek itu berani membicarakan urusan perjodohan kepada keluarga yang jelas sekali memperlihatkan sikap angkuh dan tidak suka kepada dia dan kakek itu?
Kini Bu Lee Ki bangkit berdiri. Sesudah mengamati wajah mereka yang duduk di ruangan itu, dia lalu tersenyum dan terdengarlah suaranya yang lantang. "He-he-he, tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang merasa menjadi wakil orang tua Lim Kui Siang yang sudah tiada, dalam hal ini aku menjadi wali dari Sin Wan muridku untuk mengajukan pinangan, yaitu kami ingin menjodohkan Kui Siang dengan Sin Wan. Kami mengharap persetujuan anda sekalian sebagai pengganti keluarga Kui Siang."
Suasana menjadi amat gaduh setelah kakek itu selesai bicara. Semua mata dibelalakkan, terdengar seruan-seruan protes dan bahkan ucapan-ucapan yang disertai kemarahan.
"Gila betul! Berani melamar keponakan kita?”
"Tak tahu diri!"
"Kui Siang dijodohkan dengan seorang Uighur? Tidak!"
Kakek itu terkekeh. "He-heh-heh, kenapa begini kacau balau? Aku minta jawaban diwakili seorang saja, kalau mungkin paman tertua dari Kui Siang, agar tidak simpang siur seperti di dalam pasar!"
Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih segera bangkit dari duduknya. Sejenak dia memandang ke arah Kui Siang dengan alis berkerut, lalu menghadapi kakek Bu Lee Ki. Dia seorang laki-laki tinggi kurus yang pakaiannya nampak mewah dan sikapnya seperti bangsawan tulen, dahinya lebar dan ketinggian hatinya membayang pada lekuk bibir dan gerakan cuping hidungnya.
"Kami seluruh keluarga nona Lim Kui Siang menyatakan sepenuhnya menolak pinangan ini!"
Kui Siang mengangkat muka dengan sepasang alis berkerut, akan tetapi dia tidak dapat mengeluarkan suara karena tidak ingin memancing keributan di depan Sin Wan dan kakek Bu. Pek-sim Lo-kai terkekeh lagi.
"He-he-he, tegas dan jelas sekali penolakan itu, akan tetapi setiap penolakan sepatutnya disertai alasannya. Mengapa anda sekalian menolak pinangan kami? Ingat, kedua orang muda itu saling mencinta dan mereka sudah bersepakat hendak hidup bersama sebagai suami isteri."
"Tidak!" kata laki-laki itu dengan angkuh. "Kami menolak. Pertama, keponakan kami Kui Siang telah kami jodohkan dengan seorang keponakan kami yang lain. Ke dua, Kui Siang tidak akan menikah dengan seorang yang tidak sederajat dengannya. Ke tiga, muridmu itu adalah seorang Suku Bangsa Uighur, suku asing yang tentu tidak mengenal peradaban Bangsa Han kami! Sebetulnya masih banyak lagi alasan kami menolak, akan tetapi sudah cukuplah dan harap jangan bicarakan lagi urusan pinangan yang tak masuk akal itu!"
"Cia-Supek (Uwa Ciu), engkau benar-benar melewati batas!" Tiba-tiba Kui Siang berteriak marah. "Aku tidak pernah minta engkau atau siapa pun mewakili orang tuaku!”
"Sumoi...!” Sin Wan cepat memperingatkan sumoi-nya agar tidak bersikap kasar kepada keluarga sendiri.
Teringat akan hal ini, Kui Siang lalu menghadapi Sin Wan dan kakek Bu Lee Ki. "Harap locianpwe dan suheng suka meninggalkan kami. Malam ini aku akan berurusan dengan mereka ini, dan besok pagi aku akan menemui kalian di rumah penginapan Lok-an."
"Baiklah, sumoi, akan tetapi harap engkau bersabar. Mari, locianpwe, kita pergi mencari kamar di hotel Lok-an!" Sin Wan mengajak kakek yang tersenyum-senyum itu keluar dari tempat itu, diikuti pandang mata penuh kebencian oleh para keluarga Kui Siang.
Sesudah dua orang itu pergi, Kui Siang menyuruh semua pelayan agar keluar dari dalam ruangan itu. Kemudian dia menutup daun pintu ruangan itu dan dengan mata mencorong dia memandang kepada semua keluarga yang berkumpul di situ.
"Kalian ini sungguh orang-orang yang tidak sopan! Apakah hak kalian untuk menentukan jalan hidupku? Aku masih menghargai kalian maka malam ini mengumpulkan kalian di sini sebagai keluarga dan tamu yang kuhormati. Tetapi ternyata kalian menyia-nyiakan itikad baikku dengan bersikap lancang dan tidak sopan terhadap orang yang kuhormati seperti Bu-locianpwe dan orang yang kucinta seperti suheng-ku! Kalian tidak berhak mewakili aku menolak secara kasar pinangan mereka terhadap diriku!"
Kui Siang yang biasanya pendiam dan halus itu kini menjadi galak karena merasa sakit hati dan marah, timbul dari perasaan iba terhadap Sin Wan yang mengalami penghinaan dari mereka ini.
"Tetapi, Kui Siang! Engkau adalah puteri tunggal mendiang kakanda Lim Cun yang dahulu mempunyai kedudukan tinggi, seorang bangsawan yang berdarah bersih! Bagaimana kami tidak marah mendengar engkau dilamar seorang pemuda dusun Bangsa Uighur? Itu suatu penghinaan namanya! Suku Uighur tidak ada bedanya dengan suku-suku liar dan biadab lainnya seperti Mongol, Kasak dan lain-lain. Bukankah dulu ayahmu juga dibunuh oleh si Tangan Api, orang Kasak?”
"Paman Lui!" bentak Kui Siang kepada adik ayahnya ini. "Baik buruknya seseorang bukan ditentukan oleh bangsanya, kedudukannya, kepandaiannya atau kekayaannya! Suku atau bangsa apa pun berdarah sama, darah manusia, kotor atau pun bersihnya ditentukan oleh sepak terjangnya dalam hidup! Jangan kalian menghina seorang manusia karena keadaan lahiriahnya! Banyak sekali bangsawan yang terhormat, pintar dan kaya raya tetapi busuk hatinya, sebaliknya rakyat kecil yang dianggap bodoh dan miskin, berhati mulia!"
Para paman dan bibi itu menjadi ribut-ribut hingga suasana menjadi gaduh sekali. Mereka menganggap Kui Siang anggota keluarga yang menyeleweng dan merendahkan keluarga bangsawan sendiri. Melihat ini, Ciang-ciangkun yang menjadi tamu kehormatan dan bukan anggota keluarga, segera bangkit berdiri dan berkata dengan nyaring sehingga mengatasi semua kegaduhan.
"Kami mohon diri karena tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan keluarga. Banyak terima kasih atas undangan dalam pesta kekeluargaan ini, dan sebagai ucapan selamat tinggal, harus kami nyatakan bahwa kami amat menghormat semua pendapat dalam kata-kata nona Kui Siang tadi. Mendiang ayahnya, sahabat baikku Lim Cun, tentu akan merasa bangga sekali kalau mendengar ucapannya tadi, Selamat malam!" Perwira tinggi itu lalu memberi hormat dan meninggalkan ruangan tamu itu.
Keluarga itu masih terus ribut. Tak seorang pun di antara mereka yang dapat menyetujui pendapat Kui Siang dan mereka semua berkeras menolak kalau Kui Siang akan berjodoh dengan pemuda Uighur itu. Satu demi satu para paman dan bibi itu memberikan nasehat panjang lebar kepada Kui Siang.
Gadis ini merasa penasaran, sedih dan juga marah. Dia membiarkan mereka itu berbicara sampai habis yang memakan waktu berjam-jam. Kemudian, setelah semua orang merasa lelah, Kui Siang berkata kepada mereka dengan suara yang tenang karena dia berusaha menguasai hatinya, namun suaranya amat tegas dan terdengar nyaring.
"Para paman dan bibi, terima kasih untuk semua nasehat dan anjuran kalian yang tentu dilakukan karena rasa sayang kalian kepadaku. Akan tetapi maaf, tak mungkin aku dapat menyetujui. Bagiku perjodohan haruslah didasari cinta, dan suheng Sin Wan mencintaku seperti juga aku mencintanya. Cinta tidak mengenal suku, tidak mengenal bangsa, tidak mengenal derajat dan pangkat, kaya atau miskin, pintar atau bodoh. Tentu para paman dan bibi yang sudah lebih tua dan berpengalaman, maklum akan hal itu."
"Budak Uighur itu mengaku cinta? Hemm, Kui Siang, cintanya itu pasti palsu! Tentu saja dia cinta kepadamu karena engkau cantik, dan terutama karena engkau adalah seorang gadis bangsawan yang kaya raya. Dia mengaku cinta untuk dapat menguasai hartamu!"
Perlahan-lahan Kui Siang bangkit berdiri, wajahnya berubah pucat dan sepasang matanya mencorong. Tidak mungkin dia dapat menahan kesabarannya lagi. Orang-orang ini terlalu menghina Sin Wan!
"Paman, hentikan ucapan kotor itu!" bentaknya, lantas dia memandang kepada mereka semua, satu demi satu dengan sinar mata mencorong. "Kalian mengukur watak orang lain dengan watak kalian sendiri! Apakah kalian tidak menyadari bahwa sejak dahulu aku telah tahu benar bahwa sesungguhnya kalianlah yang mengincar harta kekayaan warisan orang tuaku? Kalianlah yang menginginkan harta warisan ayahku, bukan suheng Sin Wan!"
"Kui Siang!" pamannya membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu. "Pendeknya, apa pun yang terjadi, kami tak sudi menyetujui perjodohanmu dengan budak Uighur itu. Kalau kami tidak sudi menjadi walimu, hendak kami lihat apakah engkau akan menikah secara liar tanpa restu keluarga? Berarti engkau akan mencemarkan nama baik mendiang orang tuamu!”
"Tidak peduli! Aku tidak membutuhkan restu kalian!" Kui Siang menjerit dan kini dia tidak dapat menahan berlinangnya air matanya. "Pergi kalian dari sini! Pergi!" Dia menuding ke arah pintu.
Semua paman dan bibinya tertegun dan seorang paman menghampiri Kui Siang dengan marah. "Kui Siang! Berani engkau mengusir kami, paman-paman dan para bibimu sendiri? Beginikah yang kau dapatkan dalam mengejar ilmu selama ini?"
"Kenapa tidak berani? Kalian bukan manusia! Pergi kataku!"
Tangan Kui Siang menyambar sumpitnya yang tadi tergeletak di atas meja, lantas sekali tangan itu bergerak, sepasang sumpit itu meluncur dan menancap pada dinding, amblas hampir seluruhnya.
Semua orang terbelalak. Kalau sambitan itu mengenai tubuh mereka, tentu akan tembus! Bergegaslah mereka berlari keluar dari ruangan itu, meninggalkan Kui Siang yang duduk seorang diri bertopang dagu. Akhirnya dia hanya dapat menangis, kemudian dia pergi ke kamar sembahyang di mana terdapat meja abu ayah dan ibunya, dan dia pun berlutut di depan meja itu dan menangis, dalam hati dia melaporkan nasibnya kepada orang tuanya.
Akhirnya gadis itu menggeletak tertidur di atas lantai depan meja sembahyang. Seorang pelayan wanita tua yang merasa kasihan kepada nonanya, tidak berani membangunkan, hanya mengambil selimut dan menyelimuti tubuh nonanya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kui Siang sudah keluar dari rumahnya, pergi ke rumah penginapan Lok-an. Pagi itu masih gelap, cuaca remang-remang. Ketika dia tiba di jalan raya luar rumah penginapan itu, dia melihat Sin Wan berhadapan dengan belasan orang dan agaknya mereka bercekcok. Hatinya tertarik dan cepat Kui Siang menyelinap mendekat lalu mengintai.
Dilihatnya Sin Wan berdiri tegak dan bersikap tenang, dihadapi oleh tiga belas orang pria berusia antara empat puluh sampai lima tahun lebih yang kelihatan menyeramkan. Tiga belas orang itu dipimpin seorang kakek tinggi kurus yang usianya tentu sudah mendekati enam puluh tahun. Pada punggung pria ini nampak sepasang pedang dan yang lain pun semua membawa senjata di punggung atau pinggang.
"Hemm, kiranya kalian adalah kaki tangan pemuda Jepang Maniyoko itu, ya? Nah, lekas katakan, apa kehendak kalian pagi-pagi begini mencariku di sini," kata Sin Wan dengan sikap tenang.
"Ehhh, toako (kakak)! Aku seperti pernah melihat bocah ini!" Seorang di antara tiga belas orang itu, yang berkepala botak dan bertubuh pendek, pada kanan kiri mulutnya terdapat bekas luka seolah mulut itu pernah terobek, tiba-tiba maju lantas menuding ke arah Sin Wan. "Tidak salah lagi, ini tentu bocah itu, anak Iblis Tangan Api Se Jit Kong!"
"Ahh, benar dia! Kita mana bisa melupakan iblis kecil ini?" teriak yang lain.
Si tinggi kurus yang memimpin gerombolan itu menatap Sin Wan dengan pandang mata penuh perhatian. "Benarkah engkau putera Iblis Tangan Api Se Jit Kong?" tanyanya.
Sekarang Sin Wan teringat. Dahulu pernah ada tiga belas orang menyerbu rumah ayah tirinya untuk merampas pusaka istana yang dicuri ayah tlrinya. Dialah yang pertama kali menyambut kunjungan mereka ini, bahkan si pendek botak itu lalu menyerangnya dengan sambitan pisau terbang, kemudian mulut si botak ini dihancurkan oleh ayah tirinya karena menghina ibunya.
"Ahh, kiranya kalian Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga belas Iblis Tanpa Tanding) itu? Tidak salah penglihatan kalian. Aku Sin Wan adalah putera mendiang Se Jit Kong. Habis, kalian mau apa?”
Di tempat persembunyiannya, wajah Kui Siang mendadak menjadi pucat dan jantungnya berdebar keras. Sin Wan, suheng-nya itu, putera Se Jit Kong? Tidak mimpikah dia? Sin Wan itu putera dari musuh besarnya, yang telah membunuh ayahnya dan menyebabkan kematian ibunya pula? Se Jit Kong yang menghancurkan keluarganya, dan selama ini dia bergaul dengan putera musuh besarnya itu? Sin Wan, suheng-nya yang dicintanya!
Hampir dia tak percaya. Suheng-nya memang tak pernah menceritakan riwayat hidupnya atau asal usulnya dengan jelas, hanya menceritakan bahwa ayah ibunya adalah Bangsa Uighur dan keduanya sudah meninggal dunia. Kiranya dia adalah putera Iblis Tangan Api Se Jit Kong! Menggigil rasanya kedua kaki gadis itu, dan tubuhnya gemetar.
"Bagus!" Si tinggi kurus mencabut sepasang pedangnya. "Kalau begitu kami bukan hanya akan membalaskan kekalahan Maniyoko darimu, akan tetapi juga kami dapat membalas kekalahan kami dahulu kepadamu, karena ayahmu sudah mampus!” Tiga belas orang itu sudah mencabut senjata mereka masing-masing dan mengepung Sin Wan.
Pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan tokoh-tokoh sesat yang lihai dan amat kejam, yang mungkin semenjak kalah dari Se Jit Kong sudah memperdalam ilmu mereka sehingga menjadi lihai sekali, maka dia pun segera menghunus senjatanya.
Melihat sebatang pedang yang buruk dan tumpul, si botak pendek tertawa. "Ha-ha-ha-ha, lihat, bocah setan ini mempergunakan sebatang pedang buruk dan tumpul. Ha-ha-ha!"
"Bodoh kau!" bentak si tinggi kurus yang berjuluk Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding). "Itu adalah pedang pusaka yang disebut Pedang Tumpul, sebuah mustika yang langka, satu di antara benda-benda pusaka istana!"
"Wahh...! Kalau begitu kita harus merampas pedang itu!" kata si botak dan dia pun sudah menyerang dengan ganas, mempergunakan goloknya.
Namun dengan mudah Sin Wan mengelak dan sekarang para pengeroyoknya menyerbu serentak sehingga Sin Wan dihujani senjata yang rata-rata digerakkan dengan ganas dan kuat sekali. Namun Sin Wan tidak menjadi gentar atau gugup, dengan tenangnya dia pun menggerakkan Pedang Tumpul dan nampak sinar kehijauan bergulung-gulung.
Pemuda yang pantang membunuh ini mengerahkan sinkang-nya sambil memainkan ilmu Sam-Sian Sin-kun. Gulungan sinar hijau itu menyambar-nyambar dan terdengarlah suara berkerontangan yang disusul teriakan-teriakan kaget ketika tiga belas orang itu terpaksa melepaskan senjata masing-masing.
Mereka tidak kuat menahan getaran tenaga dahsyat yang membuat tangan mereka terasa nyeri dan banyak pula senjata mereka yang langsung patah begitu beradu dengan pedang di tangan Sin Wan! Mereka terkejut sekali karena selama ini mereka sudah memperdalam ilmu kepandaian mereka. Tapi siapa kira, sekarang pemuda itu bahkan tak kalah lihainya dibandingkan Iblis Tangan Api Se Jit Kong sendiri!
"Lari!" teriak si tinggi kurus memberi aba-aba dan tiga belas orang yang tidak terluka itu, segera melarikan diri cerai berai karena takut kalau sampai dirobohkan.
Sin Wan tidak mengejar, bahkan cepat menyimpan kembali pedangnya. Untung pagi itu masih sunyi sehingga agaknya tidak ada orang yang melihat perkelahian singkat itu. Akan tetapi langkah-langkah yang lembut membuat dia menengok.
"Sumoi...!" Sin Wan berseru dan lari menghampiri.
Akan tetapi ketika dia hendak memegang tangan gadis itu, Kui Siang menarik tangannya dan pandang mata gadis itu membuat Sin Wan mundur selangkah.
"Sumoi, kau kenapakah?”
"Jadi engkau adalah putera Iblis Tangan Api Se Jit Kong?!"
Mendengar pertanyaan itu, Sin Wan terkejut sekali dan mengertilah dia bahwa tadi Kui Siang telah mendengar percakapan antara dia dan Cap-sha-kwi. "Sumoi, aku..."
Tiba-tiba terdengar suara orang di depan rumah penginapan itu. "Orang muda, sebaiknya engkau berterus terang! Apakah engkau putera Se Jit Kong?"
Sin Wan menoleh dan terkejut melihat bahwa yang mengajukan pertanyaan itu bukan lain adalah Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki! Dan suaranya itu, sungguh berbeda dari biasanya yang lembut, kini suara itu tegas dan ketus!
"Locianpwe, sumoi, agaknya perlu aku memberi penjelasan. Marilah kita bicara di dalam saja agar tidak terdengar oleh orang lain," kata Sin Wan dan sikapnya masih tetap tenang karena dia tidak merasa bersalah atau menyembunyikan sesuatu.
Kakek itu mengangguk, lantas tanpa bicara mereka bertiga memasuki rumah penginapan dan rnenuju ke kamar Bu Lee Ki. Sesudah mereka masuk kamar, kakek itu menutupkan daun pintu dan mereka pun duduk menghadapi meja. Sin Wan menghadapi kedua orang itu, merasa seperti seorang tertuduh dihadapkan kepada dua orang hakim!
"Maafkan bahwa selama ini aku tidak berterus terang karena aku ingin melupakan semua pengalaman hidup yang teramat pahit itu." Sin Wan memulai.
"Katakan, benarkah engkau putera Se Jit Kong!?" tanya Bu Lee Ki, sinar matanya tajam penuh selidik menatap wajah Sin Wan.
"Bukan anak kandung, melainkan anak tiri. Harap locianpwe dan sumoi dengarkan dahulu baik-baik, aku akan menceritakan segalanya. Se Jit Kong bukan ayah kandungku, bahkan dialah yang sudah membunuh ayah kandungku yang bernama Abdullah. Kemudian ibuku terpaksa menjadi isteri Se Jit Kong dan sejak terlahir sampai berusia sepuluh tahun, aku dirawatnya dan aku menganggap dia ayah kandungku sendiri."
"Ayahmu dibunuh dan ibumu malah menjadi isteri Se Jit Kong?" tanya Bu Lee Ki dengan muka membayangkan kejijikan.
Wajah Sin Wan berubah merah. "Harap locianpwe tidak salah sangka dan kasihanilah ibuku. Ibu pasti membunuh diri begitu ayah kandungku dibunuh Se Jit Kong. Tetapi ketika hal itu terjadi, aku berada dalam kandungan ibu. Demi untuk menyelamatkan diriku, anak tunggalnya, maka ibu terpaksa mengorbankan diri. Dengan batin menderita ibu menjadi isteri Se Jit Kong dengan syarat bahwa Se Jit Kong tidak akan menggangguku, bahkan menganggap aku anaknya sendirl. Memang dia sayang kepadaku dan ketika itu aku pun sayang kepadanya yang kuanggap ayah kandung sendiri."
"Hemmm, lalu bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa dia bukan ayah kandungmu bahkan dialah yang membunuh ayahmu?" Bu Lee Ki mendesak.
"Ketika Se Jit Kong tewas di tangan Sam-sian, ibuku yang merasa bahwa aku sudah tidak terancam lagi dengan kematian Se Jit Kong itu, lalu menebus dosa dan membunuh diri, setelah membuka rahasia itu kepadaku. Pada saat Cap-sha-kwi menyerang Se Jit Kong, aku masih merasa sebagai anak Se Jit Kong. Nah, demikianlah riwayatku. Ketika Sam-sian mengetahui riwayatku, maka Sam-sian lantas mengambilku sebagai murid. Terserah kepadamu, sumoi, dan kepadamu locianpwe, bagaimana kalian akan menilai diriku."
"Ya Tuhan, siapa sangka...?" Bu Lee Ki bangkit, mondar-mandir di kamar dan berulang kali menggeleng kepala dan menghela napas panjang. Kemudian dia berhenti dan duduk kembali di depan Sin Wan, menatap pemuda itu dengan sinar mata tajam dan suaranya terdengar sungguh-sungguh.
"Aku percaya bahwa Sam-sian tidak akan salah memilih engkau sebagai murid, Sin Wan. Tetapi bagaimana pun juga engkau dikenal sebagai putera Se Jit Kong, berarti namamu sudah tercemar lumpur kejahatan. Cap-sha-kwi tentu tak akan tlnggal diam. Mereka akan menyiarkan bahwa Sin Wan adalah putera Se Jit Kong! Engkau akan dimusuhi seluruh pendekar. Hanya ada satu jalan bagimu, yaitu sebagai Pendekar Pedang Tumpul, engkau harus mencuci kecemaran namamu itu dengan perbuatan-perbuatan yang nyata. Engkau harus dapat membuktikan bahwa dirimu tidak jahat seperti Se Jit Kong walau pun engkau anaknya atau anak angkatnya. Sedangkan aku... ahh, engkau tahu bahwa aku dipercaya menjadi pimpinan para kai-pang, kalau diketahui bahwa aku bergaul dengan putera Se Jit Kong, sebelum engkau mencuci namamu, aku akan kehilangan muka. Terpaksa kita akan berpisah di sini, sekarang juga. Nah, kalian jaga diri kalian baik-baik, aku akan pergi."
Kakek itu lalu menyambar buntalannya dan meninggalkan kamar itu dengan cepat. Sin Wan bangkit berdiri seperti juga Kui Siang, mukanya pucat ketika dia memandang kepada Kui Siang.
"Sumoi, bagaimana dengan engkau?" tanyanya penuh harap.
Kui Siang mengusap kedua matanya untuk menghapus beberapa butir air mata yang tadi jatuh di atas pipinya. "Engkau tahu bahwa keluargaku hancur oleh kejahatan Se Jit Kong. Dan ternyata engkau... puteranya, walau pun putera tiri. Aku... aku... bagaimana mungkin berdekatan denganmu? Suheng, maafkan aku ini... aku... aku akan ke Peking dan aku... ahhh..." Gadis itu terisak dan cepat berlari keluar.
Sin Wan berdiri seperti patung. Mukanya pucat sekali. Jantungnya seperti diremas-remas rasanya. Kedua tangannya menekan meja dan dia memejamkan matanya. "Engkau benar, sumoi, engkau memang benar. Aku hanya seorang suku biadab Uighur, keturunan orang jahat, aku hanyalah seorang dusun yang pandir dan miskin, berlepotan nama busuk Iblis Tangan Api Se Jit Kong. Memang sebaiknya engkau menjauhkan diri dariku, sumoi, agar jangan ikut tercemar..." Dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan merebahkan kepala di meja. Sampai lama dia berdiam dalam keadaan seperti itu.
Sesosok bayangan berkelebat memasuki kamar itu, gerakannya ringan sekali. Akan tetapi tidak cukup ringan bagi Sin Wan untuk tidak mengetahuinya. Dia menoleh dan ternyata seorang gadis cantik telah berdiri di kamar itu. Timbul harapannya ketika dia menyangka bahwa gadis itu sumoi-nya. Akan tetapi ketika dia memandang lebih jelas, ternyata gadis itu adalah Lili!
"Lili, kau...?"
Lili tersenyum, lalu duduk di atas kursi yang tadi diduduki oleh Kui Siang. Memang ada persamaan di antara kedua orang gadis itu. Sama cantiknya! "Sin Wan, kenapa engkau harus berduka! Seorang gagah tidak akan mudah membiarkan diri terbenam dalam duka. Kalau mereka pergi meninggalkanmu, biarkanlah. Di sini masih ada aku, Sin Wan. Aku akan siap menerimamu sebagai sahabatmu. Marilah kita berdua bertualang di dunia yang luas ini. Dengan kepandaian kita berdua, kita akan dapat berbuat banyak!"
Sin Wan bangkit, kemarahannya timbul. Dia hendak diajak oleh gadis ini ke dalam dunia sesat? Dia akan diajak mengikuti jejak ayah tirinya? Sebelum mati, ibunya berpesan agar dia tidak mengikuti jejak Se Jit Kong.
"Tidak!" bentaknya kepada Lili lalu dia menuding ke arah pintu. "Pergilah kau, dan jangan bujuk aku lagi. Pergi...!"
Lili bangkit berdiri, tersenyum manis. "Sekarang engkau sedang dalam keadaan kacau dan berduka. Baiklah, aku pergi, akan tetapi aku selalu menantimu di Puncak Bukit Ular, di Pegunungan Himalaya. Datanglah ke sana kalau kelak engkau teringat kepadaku dan suka menerimaku sebagai sahabatmu. Selamat tinggal! Jangan terlalu bersedih, Sin Wan. Orang berduka cepat menjadi tua!” Gadis itu terkekeh lalu pergi dari situ.
Sin Wan kembali menjatuhkan diri duduk di atas kursi. Habislah sudah! Kakek Bu Lee Ki yang dihormatinya sebagai gurunya, sumoi-nya yang dicintanya dan dianggapnya sebagai calon isteri, kini memisahkan diri, meninggalkannya dan menjauhinya. Kinii dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Lili?! Tidak, dia tidak mau terseret ke dalam dunia sesat! Dan tiba-tiba dia meloncat berdiri.
"Suhu Ciu-sian!" dia berseru. Ah, kenapa dia sampai melupakan gurunya itu? Di dunia ini masih ada gurunya, Si Dewa Arak. Dia akan pergi ke Pek-in-kok, lembah Gunung Ho-lan-san itu.
Dia pun teringat akan pesan Raja Muda Yung Lo di Peking. Akan diterimakah kedudukan panglima yang ditawarkan raja muda itu? Mengapa tidak? Dengan kedudukannya itu dia akan dapat berbuat banyak untuk bangsa dan negara sehingga dia akan dapat mencuci noda yang dicemarkan oleh nama busuk Se Jit Kong. Akan tetapi di sana ada Kui Siang! Sungguh tidak enak kalau harus bekerja dekat sumoi-nya, juga kekasihnya yang kini telah menjauhkan diri darinya itu.
Dia akan menghadap gurunya dulu, Si Dewa Arak yang periang, dan mohon nasehatnya. Yang pasti, dia akan menunjukkan kepada dunia, bahwa hldupnya tidaklah sia-sia. Tuhan sudah menciptakan dia, menurunkan dia ke dunia bukan hanya untuk menjadi permainan nasib, bukan untuk membenamkan diri di dalam duka.
Dia harus menjadi seorang manusia yang berguna agar hidupnya tidak sia-sia Tuhan telah menciptakannya. Sekarang dia harus mengabdi kepada Tuhan kalau ingin membuktikan penyerahannya yang tulus ikhlas dan tawakal. Dan mengabdi kepada Tuhan hanya dapat dibuktikan dengan pengabdian kepada manusia, kepada dunia, dengan membela keadilan dan kebenaran. Dia hendak membuktikan kepada dunia bahwa dia adalah putera ibunya yang dia tahu berhati mulia, bahwa dia tidaklah sama dengan Se Jit Kong yang menjadi hamba nafsu-nafsunya dan menjadi tokoh sesat, bahkan datuk sesat!
"Suhu Ciu-sian, tunggulah teecu (murid) yang akan menghadapmu!" Sin Wan berteriak lalu dia meninggalkan kamar itu.
Kini malam telah berganti pagi. Kegelapan mulai ditembusi cahaya terang. Sinar matahari menjanjikan hari yang cerah bagi mereka yang pagi-pagi telah terbangun dari tidurnya...
“Adik Kui Siang," kata seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, tampan dan pesolek, "kulihat suheng-mu ini seperti bukan orang Han, benarkah?"
Kui Siang tersenyum. "Penglihatanmu benar-benar tajam, toako (kakak). Memang suheng seorang bersuku Bangsa Uighur."
Kembali banyak di antara mereka saling pandang dan terdengar seruan tertahan seperti tadi, dan terdengar pula kata penuh ragu, "Uighur...?!”
Tiba-tiba kakek Bu Lee Ki tertawa bergelak sehingga semua orang menoleh kepadanya dengan alis berkerut. "Ha-ha-ha-ha, aku sudah makan minum sampai kenyang, Kui Siang. Karena semua keluargamu kini berkumpul, aku ingin berbicara dengan mereka mengenai urusanmu dengan Sin Wan."
Tiba-tiba wajah Kui Siang berubah kemerahan, kemudian dia pun menundukkan mukanya, mengangguk dan suaranya terdengar lirih, "Silakan, locianpwe."
Ia melirik ke arah suheng-nya dan melihat betapa Sin Wan juga menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan, akan tetapi sepasang alis Sin Wan berkerut karena pemuda ini merasa sangat khawatir. Bagaimana kakek itu berani membicarakan urusan perjodohan kepada keluarga yang jelas sekali memperlihatkan sikap angkuh dan tidak suka kepada dia dan kakek itu?
Kini Bu Lee Ki bangkit berdiri. Sesudah mengamati wajah mereka yang duduk di ruangan itu, dia lalu tersenyum dan terdengarlah suaranya yang lantang. "He-he-he, tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang merasa menjadi wakil orang tua Lim Kui Siang yang sudah tiada, dalam hal ini aku menjadi wali dari Sin Wan muridku untuk mengajukan pinangan, yaitu kami ingin menjodohkan Kui Siang dengan Sin Wan. Kami mengharap persetujuan anda sekalian sebagai pengganti keluarga Kui Siang."
Suasana menjadi amat gaduh setelah kakek itu selesai bicara. Semua mata dibelalakkan, terdengar seruan-seruan protes dan bahkan ucapan-ucapan yang disertai kemarahan.
"Gila betul! Berani melamar keponakan kita?”
"Tak tahu diri!"
"Kui Siang dijodohkan dengan seorang Uighur? Tidak!"
Kakek itu terkekeh. "He-heh-heh, kenapa begini kacau balau? Aku minta jawaban diwakili seorang saja, kalau mungkin paman tertua dari Kui Siang, agar tidak simpang siur seperti di dalam pasar!"
Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih segera bangkit dari duduknya. Sejenak dia memandang ke arah Kui Siang dengan alis berkerut, lalu menghadapi kakek Bu Lee Ki. Dia seorang laki-laki tinggi kurus yang pakaiannya nampak mewah dan sikapnya seperti bangsawan tulen, dahinya lebar dan ketinggian hatinya membayang pada lekuk bibir dan gerakan cuping hidungnya.
"Kami seluruh keluarga nona Lim Kui Siang menyatakan sepenuhnya menolak pinangan ini!"
Kui Siang mengangkat muka dengan sepasang alis berkerut, akan tetapi dia tidak dapat mengeluarkan suara karena tidak ingin memancing keributan di depan Sin Wan dan kakek Bu. Pek-sim Lo-kai terkekeh lagi.
"He-he-he, tegas dan jelas sekali penolakan itu, akan tetapi setiap penolakan sepatutnya disertai alasannya. Mengapa anda sekalian menolak pinangan kami? Ingat, kedua orang muda itu saling mencinta dan mereka sudah bersepakat hendak hidup bersama sebagai suami isteri."
"Tidak!" kata laki-laki itu dengan angkuh. "Kami menolak. Pertama, keponakan kami Kui Siang telah kami jodohkan dengan seorang keponakan kami yang lain. Ke dua, Kui Siang tidak akan menikah dengan seorang yang tidak sederajat dengannya. Ke tiga, muridmu itu adalah seorang Suku Bangsa Uighur, suku asing yang tentu tidak mengenal peradaban Bangsa Han kami! Sebetulnya masih banyak lagi alasan kami menolak, akan tetapi sudah cukuplah dan harap jangan bicarakan lagi urusan pinangan yang tak masuk akal itu!"
"Cia-Supek (Uwa Ciu), engkau benar-benar melewati batas!" Tiba-tiba Kui Siang berteriak marah. "Aku tidak pernah minta engkau atau siapa pun mewakili orang tuaku!”
"Sumoi...!” Sin Wan cepat memperingatkan sumoi-nya agar tidak bersikap kasar kepada keluarga sendiri.
Teringat akan hal ini, Kui Siang lalu menghadapi Sin Wan dan kakek Bu Lee Ki. "Harap locianpwe dan suheng suka meninggalkan kami. Malam ini aku akan berurusan dengan mereka ini, dan besok pagi aku akan menemui kalian di rumah penginapan Lok-an."
"Baiklah, sumoi, akan tetapi harap engkau bersabar. Mari, locianpwe, kita pergi mencari kamar di hotel Lok-an!" Sin Wan mengajak kakek yang tersenyum-senyum itu keluar dari tempat itu, diikuti pandang mata penuh kebencian oleh para keluarga Kui Siang.
Sesudah dua orang itu pergi, Kui Siang menyuruh semua pelayan agar keluar dari dalam ruangan itu. Kemudian dia menutup daun pintu ruangan itu dan dengan mata mencorong dia memandang kepada semua keluarga yang berkumpul di situ.
"Kalian ini sungguh orang-orang yang tidak sopan! Apakah hak kalian untuk menentukan jalan hidupku? Aku masih menghargai kalian maka malam ini mengumpulkan kalian di sini sebagai keluarga dan tamu yang kuhormati. Tetapi ternyata kalian menyia-nyiakan itikad baikku dengan bersikap lancang dan tidak sopan terhadap orang yang kuhormati seperti Bu-locianpwe dan orang yang kucinta seperti suheng-ku! Kalian tidak berhak mewakili aku menolak secara kasar pinangan mereka terhadap diriku!"
Kui Siang yang biasanya pendiam dan halus itu kini menjadi galak karena merasa sakit hati dan marah, timbul dari perasaan iba terhadap Sin Wan yang mengalami penghinaan dari mereka ini.
"Tetapi, Kui Siang! Engkau adalah puteri tunggal mendiang kakanda Lim Cun yang dahulu mempunyai kedudukan tinggi, seorang bangsawan yang berdarah bersih! Bagaimana kami tidak marah mendengar engkau dilamar seorang pemuda dusun Bangsa Uighur? Itu suatu penghinaan namanya! Suku Uighur tidak ada bedanya dengan suku-suku liar dan biadab lainnya seperti Mongol, Kasak dan lain-lain. Bukankah dulu ayahmu juga dibunuh oleh si Tangan Api, orang Kasak?”
"Paman Lui!" bentak Kui Siang kepada adik ayahnya ini. "Baik buruknya seseorang bukan ditentukan oleh bangsanya, kedudukannya, kepandaiannya atau kekayaannya! Suku atau bangsa apa pun berdarah sama, darah manusia, kotor atau pun bersihnya ditentukan oleh sepak terjangnya dalam hidup! Jangan kalian menghina seorang manusia karena keadaan lahiriahnya! Banyak sekali bangsawan yang terhormat, pintar dan kaya raya tetapi busuk hatinya, sebaliknya rakyat kecil yang dianggap bodoh dan miskin, berhati mulia!"
Para paman dan bibi itu menjadi ribut-ribut hingga suasana menjadi gaduh sekali. Mereka menganggap Kui Siang anggota keluarga yang menyeleweng dan merendahkan keluarga bangsawan sendiri. Melihat ini, Ciang-ciangkun yang menjadi tamu kehormatan dan bukan anggota keluarga, segera bangkit berdiri dan berkata dengan nyaring sehingga mengatasi semua kegaduhan.
"Kami mohon diri karena tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan keluarga. Banyak terima kasih atas undangan dalam pesta kekeluargaan ini, dan sebagai ucapan selamat tinggal, harus kami nyatakan bahwa kami amat menghormat semua pendapat dalam kata-kata nona Kui Siang tadi. Mendiang ayahnya, sahabat baikku Lim Cun, tentu akan merasa bangga sekali kalau mendengar ucapannya tadi, Selamat malam!" Perwira tinggi itu lalu memberi hormat dan meninggalkan ruangan tamu itu.
Keluarga itu masih terus ribut. Tak seorang pun di antara mereka yang dapat menyetujui pendapat Kui Siang dan mereka semua berkeras menolak kalau Kui Siang akan berjodoh dengan pemuda Uighur itu. Satu demi satu para paman dan bibi itu memberikan nasehat panjang lebar kepada Kui Siang.
Gadis ini merasa penasaran, sedih dan juga marah. Dia membiarkan mereka itu berbicara sampai habis yang memakan waktu berjam-jam. Kemudian, setelah semua orang merasa lelah, Kui Siang berkata kepada mereka dengan suara yang tenang karena dia berusaha menguasai hatinya, namun suaranya amat tegas dan terdengar nyaring.
"Para paman dan bibi, terima kasih untuk semua nasehat dan anjuran kalian yang tentu dilakukan karena rasa sayang kalian kepadaku. Akan tetapi maaf, tak mungkin aku dapat menyetujui. Bagiku perjodohan haruslah didasari cinta, dan suheng Sin Wan mencintaku seperti juga aku mencintanya. Cinta tidak mengenal suku, tidak mengenal bangsa, tidak mengenal derajat dan pangkat, kaya atau miskin, pintar atau bodoh. Tentu para paman dan bibi yang sudah lebih tua dan berpengalaman, maklum akan hal itu."
"Budak Uighur itu mengaku cinta? Hemm, Kui Siang, cintanya itu pasti palsu! Tentu saja dia cinta kepadamu karena engkau cantik, dan terutama karena engkau adalah seorang gadis bangsawan yang kaya raya. Dia mengaku cinta untuk dapat menguasai hartamu!"
Perlahan-lahan Kui Siang bangkit berdiri, wajahnya berubah pucat dan sepasang matanya mencorong. Tidak mungkin dia dapat menahan kesabarannya lagi. Orang-orang ini terlalu menghina Sin Wan!
"Paman, hentikan ucapan kotor itu!" bentaknya, lantas dia memandang kepada mereka semua, satu demi satu dengan sinar mata mencorong. "Kalian mengukur watak orang lain dengan watak kalian sendiri! Apakah kalian tidak menyadari bahwa sejak dahulu aku telah tahu benar bahwa sesungguhnya kalianlah yang mengincar harta kekayaan warisan orang tuaku? Kalianlah yang menginginkan harta warisan ayahku, bukan suheng Sin Wan!"
"Kui Siang!" pamannya membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu. "Pendeknya, apa pun yang terjadi, kami tak sudi menyetujui perjodohanmu dengan budak Uighur itu. Kalau kami tidak sudi menjadi walimu, hendak kami lihat apakah engkau akan menikah secara liar tanpa restu keluarga? Berarti engkau akan mencemarkan nama baik mendiang orang tuamu!”
"Tidak peduli! Aku tidak membutuhkan restu kalian!" Kui Siang menjerit dan kini dia tidak dapat menahan berlinangnya air matanya. "Pergi kalian dari sini! Pergi!" Dia menuding ke arah pintu.
Semua paman dan bibinya tertegun dan seorang paman menghampiri Kui Siang dengan marah. "Kui Siang! Berani engkau mengusir kami, paman-paman dan para bibimu sendiri? Beginikah yang kau dapatkan dalam mengejar ilmu selama ini?"
"Kenapa tidak berani? Kalian bukan manusia! Pergi kataku!"
Tangan Kui Siang menyambar sumpitnya yang tadi tergeletak di atas meja, lantas sekali tangan itu bergerak, sepasang sumpit itu meluncur dan menancap pada dinding, amblas hampir seluruhnya.
Semua orang terbelalak. Kalau sambitan itu mengenai tubuh mereka, tentu akan tembus! Bergegaslah mereka berlari keluar dari ruangan itu, meninggalkan Kui Siang yang duduk seorang diri bertopang dagu. Akhirnya dia hanya dapat menangis, kemudian dia pergi ke kamar sembahyang di mana terdapat meja abu ayah dan ibunya, dan dia pun berlutut di depan meja itu dan menangis, dalam hati dia melaporkan nasibnya kepada orang tuanya.
Akhirnya gadis itu menggeletak tertidur di atas lantai depan meja sembahyang. Seorang pelayan wanita tua yang merasa kasihan kepada nonanya, tidak berani membangunkan, hanya mengambil selimut dan menyelimuti tubuh nonanya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kui Siang sudah keluar dari rumahnya, pergi ke rumah penginapan Lok-an. Pagi itu masih gelap, cuaca remang-remang. Ketika dia tiba di jalan raya luar rumah penginapan itu, dia melihat Sin Wan berhadapan dengan belasan orang dan agaknya mereka bercekcok. Hatinya tertarik dan cepat Kui Siang menyelinap mendekat lalu mengintai.
Dilihatnya Sin Wan berdiri tegak dan bersikap tenang, dihadapi oleh tiga belas orang pria berusia antara empat puluh sampai lima tahun lebih yang kelihatan menyeramkan. Tiga belas orang itu dipimpin seorang kakek tinggi kurus yang usianya tentu sudah mendekati enam puluh tahun. Pada punggung pria ini nampak sepasang pedang dan yang lain pun semua membawa senjata di punggung atau pinggang.
"Hemm, kiranya kalian adalah kaki tangan pemuda Jepang Maniyoko itu, ya? Nah, lekas katakan, apa kehendak kalian pagi-pagi begini mencariku di sini," kata Sin Wan dengan sikap tenang.
"Ehhh, toako (kakak)! Aku seperti pernah melihat bocah ini!" Seorang di antara tiga belas orang itu, yang berkepala botak dan bertubuh pendek, pada kanan kiri mulutnya terdapat bekas luka seolah mulut itu pernah terobek, tiba-tiba maju lantas menuding ke arah Sin Wan. "Tidak salah lagi, ini tentu bocah itu, anak Iblis Tangan Api Se Jit Kong!"
"Ahh, benar dia! Kita mana bisa melupakan iblis kecil ini?" teriak yang lain.
Si tinggi kurus yang memimpin gerombolan itu menatap Sin Wan dengan pandang mata penuh perhatian. "Benarkah engkau putera Iblis Tangan Api Se Jit Kong?" tanyanya.
Sekarang Sin Wan teringat. Dahulu pernah ada tiga belas orang menyerbu rumah ayah tirinya untuk merampas pusaka istana yang dicuri ayah tlrinya. Dialah yang pertama kali menyambut kunjungan mereka ini, bahkan si pendek botak itu lalu menyerangnya dengan sambitan pisau terbang, kemudian mulut si botak ini dihancurkan oleh ayah tirinya karena menghina ibunya.
"Ahh, kiranya kalian Bu-tek Cap-sha-kwi (Tiga belas Iblis Tanpa Tanding) itu? Tidak salah penglihatan kalian. Aku Sin Wan adalah putera mendiang Se Jit Kong. Habis, kalian mau apa?”
Di tempat persembunyiannya, wajah Kui Siang mendadak menjadi pucat dan jantungnya berdebar keras. Sin Wan, suheng-nya itu, putera Se Jit Kong? Tidak mimpikah dia? Sin Wan itu putera dari musuh besarnya, yang telah membunuh ayahnya dan menyebabkan kematian ibunya pula? Se Jit Kong yang menghancurkan keluarganya, dan selama ini dia bergaul dengan putera musuh besarnya itu? Sin Wan, suheng-nya yang dicintanya!
Hampir dia tak percaya. Suheng-nya memang tak pernah menceritakan riwayat hidupnya atau asal usulnya dengan jelas, hanya menceritakan bahwa ayah ibunya adalah Bangsa Uighur dan keduanya sudah meninggal dunia. Kiranya dia adalah putera Iblis Tangan Api Se Jit Kong! Menggigil rasanya kedua kaki gadis itu, dan tubuhnya gemetar.
"Bagus!" Si tinggi kurus mencabut sepasang pedangnya. "Kalau begitu kami bukan hanya akan membalaskan kekalahan Maniyoko darimu, akan tetapi juga kami dapat membalas kekalahan kami dahulu kepadamu, karena ayahmu sudah mampus!” Tiga belas orang itu sudah mencabut senjata mereka masing-masing dan mengepung Sin Wan.
Pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan tokoh-tokoh sesat yang lihai dan amat kejam, yang mungkin semenjak kalah dari Se Jit Kong sudah memperdalam ilmu mereka sehingga menjadi lihai sekali, maka dia pun segera menghunus senjatanya.
Melihat sebatang pedang yang buruk dan tumpul, si botak pendek tertawa. "Ha-ha-ha-ha, lihat, bocah setan ini mempergunakan sebatang pedang buruk dan tumpul. Ha-ha-ha!"
"Bodoh kau!" bentak si tinggi kurus yang berjuluk Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding). "Itu adalah pedang pusaka yang disebut Pedang Tumpul, sebuah mustika yang langka, satu di antara benda-benda pusaka istana!"
"Wahh...! Kalau begitu kita harus merampas pedang itu!" kata si botak dan dia pun sudah menyerang dengan ganas, mempergunakan goloknya.
Namun dengan mudah Sin Wan mengelak dan sekarang para pengeroyoknya menyerbu serentak sehingga Sin Wan dihujani senjata yang rata-rata digerakkan dengan ganas dan kuat sekali. Namun Sin Wan tidak menjadi gentar atau gugup, dengan tenangnya dia pun menggerakkan Pedang Tumpul dan nampak sinar kehijauan bergulung-gulung.
Pemuda yang pantang membunuh ini mengerahkan sinkang-nya sambil memainkan ilmu Sam-Sian Sin-kun. Gulungan sinar hijau itu menyambar-nyambar dan terdengarlah suara berkerontangan yang disusul teriakan-teriakan kaget ketika tiga belas orang itu terpaksa melepaskan senjata masing-masing.
Mereka tidak kuat menahan getaran tenaga dahsyat yang membuat tangan mereka terasa nyeri dan banyak pula senjata mereka yang langsung patah begitu beradu dengan pedang di tangan Sin Wan! Mereka terkejut sekali karena selama ini mereka sudah memperdalam ilmu kepandaian mereka. Tapi siapa kira, sekarang pemuda itu bahkan tak kalah lihainya dibandingkan Iblis Tangan Api Se Jit Kong sendiri!
"Lari!" teriak si tinggi kurus memberi aba-aba dan tiga belas orang yang tidak terluka itu, segera melarikan diri cerai berai karena takut kalau sampai dirobohkan.
Sin Wan tidak mengejar, bahkan cepat menyimpan kembali pedangnya. Untung pagi itu masih sunyi sehingga agaknya tidak ada orang yang melihat perkelahian singkat itu. Akan tetapi langkah-langkah yang lembut membuat dia menengok.
"Sumoi...!" Sin Wan berseru dan lari menghampiri.
Akan tetapi ketika dia hendak memegang tangan gadis itu, Kui Siang menarik tangannya dan pandang mata gadis itu membuat Sin Wan mundur selangkah.
"Sumoi, kau kenapakah?”
"Jadi engkau adalah putera Iblis Tangan Api Se Jit Kong?!"
Mendengar pertanyaan itu, Sin Wan terkejut sekali dan mengertilah dia bahwa tadi Kui Siang telah mendengar percakapan antara dia dan Cap-sha-kwi. "Sumoi, aku..."
Tiba-tiba terdengar suara orang di depan rumah penginapan itu. "Orang muda, sebaiknya engkau berterus terang! Apakah engkau putera Se Jit Kong?"
Sin Wan menoleh dan terkejut melihat bahwa yang mengajukan pertanyaan itu bukan lain adalah Pek-sim Lo-kai Bu Lee Ki! Dan suaranya itu, sungguh berbeda dari biasanya yang lembut, kini suara itu tegas dan ketus!
"Locianpwe, sumoi, agaknya perlu aku memberi penjelasan. Marilah kita bicara di dalam saja agar tidak terdengar oleh orang lain," kata Sin Wan dan sikapnya masih tetap tenang karena dia tidak merasa bersalah atau menyembunyikan sesuatu.
Kakek itu mengangguk, lantas tanpa bicara mereka bertiga memasuki rumah penginapan dan rnenuju ke kamar Bu Lee Ki. Sesudah mereka masuk kamar, kakek itu menutupkan daun pintu dan mereka pun duduk menghadapi meja. Sin Wan menghadapi kedua orang itu, merasa seperti seorang tertuduh dihadapkan kepada dua orang hakim!
"Maafkan bahwa selama ini aku tidak berterus terang karena aku ingin melupakan semua pengalaman hidup yang teramat pahit itu." Sin Wan memulai.
"Katakan, benarkah engkau putera Se Jit Kong!?" tanya Bu Lee Ki, sinar matanya tajam penuh selidik menatap wajah Sin Wan.
"Bukan anak kandung, melainkan anak tiri. Harap locianpwe dan sumoi dengarkan dahulu baik-baik, aku akan menceritakan segalanya. Se Jit Kong bukan ayah kandungku, bahkan dialah yang sudah membunuh ayah kandungku yang bernama Abdullah. Kemudian ibuku terpaksa menjadi isteri Se Jit Kong dan sejak terlahir sampai berusia sepuluh tahun, aku dirawatnya dan aku menganggap dia ayah kandungku sendiri."
"Ayahmu dibunuh dan ibumu malah menjadi isteri Se Jit Kong?" tanya Bu Lee Ki dengan muka membayangkan kejijikan.
Wajah Sin Wan berubah merah. "Harap locianpwe tidak salah sangka dan kasihanilah ibuku. Ibu pasti membunuh diri begitu ayah kandungku dibunuh Se Jit Kong. Tetapi ketika hal itu terjadi, aku berada dalam kandungan ibu. Demi untuk menyelamatkan diriku, anak tunggalnya, maka ibu terpaksa mengorbankan diri. Dengan batin menderita ibu menjadi isteri Se Jit Kong dengan syarat bahwa Se Jit Kong tidak akan menggangguku, bahkan menganggap aku anaknya sendirl. Memang dia sayang kepadaku dan ketika itu aku pun sayang kepadanya yang kuanggap ayah kandung sendiri."
"Hemmm, lalu bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa dia bukan ayah kandungmu bahkan dialah yang membunuh ayahmu?" Bu Lee Ki mendesak.
"Ketika Se Jit Kong tewas di tangan Sam-sian, ibuku yang merasa bahwa aku sudah tidak terancam lagi dengan kematian Se Jit Kong itu, lalu menebus dosa dan membunuh diri, setelah membuka rahasia itu kepadaku. Pada saat Cap-sha-kwi menyerang Se Jit Kong, aku masih merasa sebagai anak Se Jit Kong. Nah, demikianlah riwayatku. Ketika Sam-sian mengetahui riwayatku, maka Sam-sian lantas mengambilku sebagai murid. Terserah kepadamu, sumoi, dan kepadamu locianpwe, bagaimana kalian akan menilai diriku."
"Ya Tuhan, siapa sangka...?" Bu Lee Ki bangkit, mondar-mandir di kamar dan berulang kali menggeleng kepala dan menghela napas panjang. Kemudian dia berhenti dan duduk kembali di depan Sin Wan, menatap pemuda itu dengan sinar mata tajam dan suaranya terdengar sungguh-sungguh.
"Aku percaya bahwa Sam-sian tidak akan salah memilih engkau sebagai murid, Sin Wan. Tetapi bagaimana pun juga engkau dikenal sebagai putera Se Jit Kong, berarti namamu sudah tercemar lumpur kejahatan. Cap-sha-kwi tentu tak akan tlnggal diam. Mereka akan menyiarkan bahwa Sin Wan adalah putera Se Jit Kong! Engkau akan dimusuhi seluruh pendekar. Hanya ada satu jalan bagimu, yaitu sebagai Pendekar Pedang Tumpul, engkau harus mencuci kecemaran namamu itu dengan perbuatan-perbuatan yang nyata. Engkau harus dapat membuktikan bahwa dirimu tidak jahat seperti Se Jit Kong walau pun engkau anaknya atau anak angkatnya. Sedangkan aku... ahh, engkau tahu bahwa aku dipercaya menjadi pimpinan para kai-pang, kalau diketahui bahwa aku bergaul dengan putera Se Jit Kong, sebelum engkau mencuci namamu, aku akan kehilangan muka. Terpaksa kita akan berpisah di sini, sekarang juga. Nah, kalian jaga diri kalian baik-baik, aku akan pergi."
Kakek itu lalu menyambar buntalannya dan meninggalkan kamar itu dengan cepat. Sin Wan bangkit berdiri seperti juga Kui Siang, mukanya pucat ketika dia memandang kepada Kui Siang.
"Sumoi, bagaimana dengan engkau?" tanyanya penuh harap.
Kui Siang mengusap kedua matanya untuk menghapus beberapa butir air mata yang tadi jatuh di atas pipinya. "Engkau tahu bahwa keluargaku hancur oleh kejahatan Se Jit Kong. Dan ternyata engkau... puteranya, walau pun putera tiri. Aku... aku... bagaimana mungkin berdekatan denganmu? Suheng, maafkan aku ini... aku... aku akan ke Peking dan aku... ahhh..." Gadis itu terisak dan cepat berlari keluar.
Sin Wan berdiri seperti patung. Mukanya pucat sekali. Jantungnya seperti diremas-remas rasanya. Kedua tangannya menekan meja dan dia memejamkan matanya. "Engkau benar, sumoi, engkau memang benar. Aku hanya seorang suku biadab Uighur, keturunan orang jahat, aku hanyalah seorang dusun yang pandir dan miskin, berlepotan nama busuk Iblis Tangan Api Se Jit Kong. Memang sebaiknya engkau menjauhkan diri dariku, sumoi, agar jangan ikut tercemar..." Dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan merebahkan kepala di meja. Sampai lama dia berdiam dalam keadaan seperti itu.
Sesosok bayangan berkelebat memasuki kamar itu, gerakannya ringan sekali. Akan tetapi tidak cukup ringan bagi Sin Wan untuk tidak mengetahuinya. Dia menoleh dan ternyata seorang gadis cantik telah berdiri di kamar itu. Timbul harapannya ketika dia menyangka bahwa gadis itu sumoi-nya. Akan tetapi ketika dia memandang lebih jelas, ternyata gadis itu adalah Lili!
"Lili, kau...?"
Lili tersenyum, lalu duduk di atas kursi yang tadi diduduki oleh Kui Siang. Memang ada persamaan di antara kedua orang gadis itu. Sama cantiknya! "Sin Wan, kenapa engkau harus berduka! Seorang gagah tidak akan mudah membiarkan diri terbenam dalam duka. Kalau mereka pergi meninggalkanmu, biarkanlah. Di sini masih ada aku, Sin Wan. Aku akan siap menerimamu sebagai sahabatmu. Marilah kita berdua bertualang di dunia yang luas ini. Dengan kepandaian kita berdua, kita akan dapat berbuat banyak!"
Sin Wan bangkit, kemarahannya timbul. Dia hendak diajak oleh gadis ini ke dalam dunia sesat? Dia akan diajak mengikuti jejak ayah tirinya? Sebelum mati, ibunya berpesan agar dia tidak mengikuti jejak Se Jit Kong.
"Tidak!" bentaknya kepada Lili lalu dia menuding ke arah pintu. "Pergilah kau, dan jangan bujuk aku lagi. Pergi...!"
Lili bangkit berdiri, tersenyum manis. "Sekarang engkau sedang dalam keadaan kacau dan berduka. Baiklah, aku pergi, akan tetapi aku selalu menantimu di Puncak Bukit Ular, di Pegunungan Himalaya. Datanglah ke sana kalau kelak engkau teringat kepadaku dan suka menerimaku sebagai sahabatmu. Selamat tinggal! Jangan terlalu bersedih, Sin Wan. Orang berduka cepat menjadi tua!” Gadis itu terkekeh lalu pergi dari situ.
Sin Wan kembali menjatuhkan diri duduk di atas kursi. Habislah sudah! Kakek Bu Lee Ki yang dihormatinya sebagai gurunya, sumoi-nya yang dicintanya dan dianggapnya sebagai calon isteri, kini memisahkan diri, meninggalkannya dan menjauhinya. Kinii dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Lili?! Tidak, dia tidak mau terseret ke dalam dunia sesat! Dan tiba-tiba dia meloncat berdiri.
"Suhu Ciu-sian!" dia berseru. Ah, kenapa dia sampai melupakan gurunya itu? Di dunia ini masih ada gurunya, Si Dewa Arak. Dia akan pergi ke Pek-in-kok, lembah Gunung Ho-lan-san itu.
Dia pun teringat akan pesan Raja Muda Yung Lo di Peking. Akan diterimakah kedudukan panglima yang ditawarkan raja muda itu? Mengapa tidak? Dengan kedudukannya itu dia akan dapat berbuat banyak untuk bangsa dan negara sehingga dia akan dapat mencuci noda yang dicemarkan oleh nama busuk Se Jit Kong. Akan tetapi di sana ada Kui Siang! Sungguh tidak enak kalau harus bekerja dekat sumoi-nya, juga kekasihnya yang kini telah menjauhkan diri darinya itu.
Dia akan menghadap gurunya dulu, Si Dewa Arak yang periang, dan mohon nasehatnya. Yang pasti, dia akan menunjukkan kepada dunia, bahwa hldupnya tidaklah sia-sia. Tuhan sudah menciptakan dia, menurunkan dia ke dunia bukan hanya untuk menjadi permainan nasib, bukan untuk membenamkan diri di dalam duka.
Dia harus menjadi seorang manusia yang berguna agar hidupnya tidak sia-sia Tuhan telah menciptakannya. Sekarang dia harus mengabdi kepada Tuhan kalau ingin membuktikan penyerahannya yang tulus ikhlas dan tawakal. Dan mengabdi kepada Tuhan hanya dapat dibuktikan dengan pengabdian kepada manusia, kepada dunia, dengan membela keadilan dan kebenaran. Dia hendak membuktikan kepada dunia bahwa dia adalah putera ibunya yang dia tahu berhati mulia, bahwa dia tidaklah sama dengan Se Jit Kong yang menjadi hamba nafsu-nafsunya dan menjadi tokoh sesat, bahkan datuk sesat!
"Suhu Ciu-sian, tunggulah teecu (murid) yang akan menghadapmu!" Sin Wan berteriak lalu dia meninggalkan kamar itu.
Kini malam telah berganti pagi. Kegelapan mulai ditembusi cahaya terang. Sinar matahari menjanjikan hari yang cerah bagi mereka yang pagi-pagi telah terbangun dari tidurnya...