Ang-bin Moko memberi isyarat kepada Pek-bin Moli dan keduanya menggerakkan tubuh. Bagaikan dua ekor burung rajawali, tubuh mereka melayang ke hadapan si kedok hitam. Gerakan mereka demikian ringan dan gesitnya, membuat mata di balik kedok itu bersinar-sinar gembira. Dia telah mendapatkan dua orang pembantu yang boleh diandalkan, pikir si kedok hitam. Kedua orang ini jauh lebih pandai kalau dibandingkan Cap-sha-kwi mau pun Ngo-liong.
Biar pun hanya melalui pandang mata, Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli sudah dapat saling memberi isyarat. Dua orang ini memang amat kompak, bukan saja karena mereka berdua berasal dari saudara seperguruan, akan tetapi mereka juga sama-sama merangkai ilmu-ilmu silat, dan lebih dari itu, hubungan mereka juga sebagai kekasih atau suami isteri.
Setelah saling pandang memberi isyarat, kedua orang itu lalu mengerahkan tenaga sakti sehingga kedua tangan mereka, mulai ujung jari sampai sebatas siku, berubah warnanya menjadi kehijauan. Itulah tandanya bahwa mereka sedang mengerahkan tenaga dari ilmu Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa).
"Yang Mulia, waspadalah, kami akan menggunakan Toat-beng Tok-ciang,” teriak Ang-bin Mo-ko.
Bagaimana pun juga dia pun tahu bahwa orang berkedok ini memiliki banyak sekali anak buah yang tentu telah bersiap di tempat itu. Kalau dia dan Pek-bin Moli kesalahan tangan sampai membunuh orang ini, tentu keadaan akan menjadi runyam dan mereka berdua berada dalam bahaya. Walau pun mereka tidak takut, akan tetapi tidak menguntungkan bagi mereka, bahkan hanya merepotkan saja.
Itulah sebabnya maka Ang-bin Mo-ko sengaja meneriakkan peringatan ini, suatu hal yang biasanya tak pernah dia lakukan. Biasanya, kalau dia hendak membunuh atau menyerang orang, dia melakukannya dengan tiba-tiba dan tanpa memberi peringatan sama sekali.
Maklum bahwa ilmu pukulan kedua orang itu memang sangat berbahaya, si kedok hitam juga tidak mau bersikap lengah atau memandang rendah. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kokoh kuat seperti pagoda besi, kedua lutut ditekuk hingga membentuk siku-siku, kedua lengannya disilangkan di depan dada, dengan jari tangan terbuka, tetapi kalau jari-jari tangan yang lain agak melengkung, kedua jari telunjuknya lurus menunjuk ke atas dan kedua jari tangan itu berubah warna, kini menjadi hitam seperti arang!
Melihat ini, kembali sepasang iblis itu saling pandang. Mereka pun langsung teringat akan adanya semacam ilmu yang amat berbahaya, yang disebut It-tok-ci (Jari Racun Tunggal) yang kabarnya merupakan ilmu yang amat hebat dan pernah dikuasai oleh seorang saja, yaitu keluarga Wanyen yang dulu menjadi orang kepercayaan kaisar-kaisar Mongol. Akan tetapi mereka tahu pula bahwa pemilik ilmu itu sudah tewas dalam pertempuran pada saat Kerajaan Mongol jatuh. Apakah orang ini telah mewarisi ilmu itu?
"Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, aku telah siap!" kata si kedok hitam.
Sepasang iblis itu lalu mengerahkan tenaga dan menggerakkan tangan mereka, memukul dari jarak jauh ke arah lawan. Terdengar bunyi bercuitan seperti beberapa ekor tikus yang terjepit atau ketakutan, mencicit dan makin lama semakin tinggi melengking. Dari kedua tangan mereka menyambar hawa pukulan yang kuat luar biasa, menyambar ke arah jalan darah di tubuh lawan. Itulah Toat-beng Tok-ciang yang dengan mudah dapat membunuh orang dari jarak jauh, seperti ada sinar yang tak nampak meluncur ke arah tubuh si kedok hitam.
Akan tetapi dengan tenangnya, tanpa mengubah kedudukan kedua kakinya, orang ini juga menggerakkan sepasang tangannya, dan menuding dengan gerakan menotok ke udara di depannya. Terdengar bunyi mendesir yang keluar dari jari-jari telunjuk yang hitam itu dan terasa ada hawa menyambar sambil mengeluarkan uap hitam! Tenaga yang keluar dari kedua telunjuk ini seperti perisai menangkis hawa pukulan Toat-beng Tok-ciang sehingga pukulan jarak jauh itu terpental kembali.
Tentu saja Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli terkejut dan merasa penasaran bukan main. Sejak memiliki ilmu baru itu, belum pernah mereka gagal menggunakannya. Dari puluhan orang yang pernah mereka hadapi, baru seorang pemuda saja yang sanggup mengelak dan menangkis Toat-beng Tok-ciang, yaitu Sin Wan murid Sam-sian. Akan tetapi pemuda itu hanya mengelak dan menangkis dengan pukulan yang mengeluarkan uap putih, bukan langsung menyambut dengan totokan jarak jauh seperti yang dilakukan si kedok hitam ini. Mereka mengerahkan tenaga dan melanjutkan serangan mereka, berbareng akan tetapi berpencar, mereka menyerang dari kanan kiri.
Si kedok hitam tetap mempergunakan totokan jarak jauh satu tangan yang mengeluarkan uap hitam, dan hingga lima jurus lamanya kedua iblis itu sama sekali tidak pernah mampu mengenai sasaran dengan pukulan jarak jauh mereka, apa lagi merobohkan!
Ang-bin Moko memberi isyarat kepada Pek-bin Moli dan sekarang keduanya berlompatan menerjang lawan dengan ilmu baru mereka yang kedua, yaitu Touw-kut-ci (Jari Penembus Tulang), ilmu totokan yang amat keji karena dilatihnya pun dengan menggunakan banyak tengkorak manusia. Celakalah lawan yang terkena totokan jari tangan mereka. Jari tangan mereka dapat menembus tulang dan bila mana mengenai kepala, maka jari-jari tangan itu akan menembus sampai ke otak.
Kini sepasang iblis itu menyerang dengan Touw-kut-ci. Keduanya mendesak dan mencari kesempatan untuk mencengkeram ke arah muka lawan kemudian merenggut lepas kedok sutera hitam. Tapi si kedok hitam memang bukan orang sembarangan. Sebelum menantang sepasang iblis itu, tentu saja dia sudah melakukan penyelidikan terlebih dahulu tentang kemampuan sepasang iblis itu. Dia tahu pula akan kedahsyatan Touw-kut-ci, dan dia memang sudah siap siaga menghadapi ilmu milik sepasang iblis itu. Karena itulah maka tadi dia sengaja menantang selama sepuluh jurus saja, karena kalau lebih lama dari itu terpaksa dia harus menggunakan tangan maut untuk mencapai kemenangan. Kalau hanya sepuluh jurus, dia yakin akan mampu mempertahankan diri.
Sepasang iblis itu menjadi terkejut bukan main ketika melihat betapa tubuh si kedok hitam itu berpusing seperti gasing dan dari putaran itu keluar angin menyambar-nyambar. Tubuh itu seolah lenyap, hanya nampak bayangan hitam berpusing sangat cepatnya. Karena ini terpaksa serangan Touw-kut-ci tak dapat diarahkan ke sasaran yang tepat, hanya ngawur saja asal mengenal tubuh lawan. Tapi betapa sulitnya mengenai tubuh yang berpusing itu karena dari situ terasa ada angin pukulan yang amat kuat menyambar-nyambar, bahkan dapat menyeret mereka seperti pusaran angin puyuh.
Mereka berdua berusaha sekuatnya agar bisa memasukkan totokan dan mengenai tubuh lawan. Satu kali saja mengenai lawan, tentu jari mereka akan meninggalkan bekas dan berarti mereka menang. Akan tetapi pada jurus ke lima, ketika sepasang iblis itu menjadi lebih nekat untuk mencapai kemenangan pada jurus terakhir sehingga mereka menubruk ke depan menerobos putaran angin, mendadak tubuh mereka terdorong dan terhuyung ke belakang oleh tangkisan lengan yang sangat kuat mengenai lengan mereka dari samping. Mula-mula Pek-bin Moli yang terdorong ke belakang, kemudian disusul oleh Ang-bin Moko yang terhuyung.
Putaran bayangan hitam itu berhenti, dan si kedok hitam sudah berdiri tegak di hadapan mereka. Sepuluh jurus telah lewat dan mereka berdua harus mengakui bahwa selama itu jangankan merobohkan si kedok hitam, bahkan menyentuh tubuhnya pun mereka tidak mampu. Diam-diam mereka terkejut dan menduga-duga siapa sebenarnya si kedok hitam yang amat lihai ini.
"Bagus, bagus! Kalian memang sangat lihai dan pantas menjadi pembantu utama kami," kata si kedok hitam. "Meski kalian tidak mampu mengalahkan kami dalam sepuluh jurus, akan tetapi kami pun sama sekali tak sempat untuk balas menyerang. Untuk menyatakan kegembiraan hati kami, kami akan menghadiahkan benda ini kepada kalian. Kalau kalian menerimanya, berarti kalian sanggup untuk membantu kami dengan setia."
Si kedok hitam mengeluarkan dua butir mutiara hitam yang besar dan indah dari kantong bajunya dan memberikan dua butir benda berharga itu kepada Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli dengan dilemparkannya kepada mereka. Sepasang iblis itu menangkap mutiara itu, dan wajah mereka berseri. Mereka mengenal benda berharga dan kagum akan keroyalan si kedok hitam.
"Kami mengaku kalah, mulai hari ini juga kami berdua siap melaksanakan semua perintah Yang Mulia," kata Ang-bin Moko sambil menyimpan mutiara hitam itu.
"Hamba senang sekali bisa menghambakan diri kepada Yang Mulia, dengan harapan apa bila kelak usaha Yang Mulia berhasil, tidak akan melupakan hamba," kata pula Pek-bin Moli dengan senang.
"Tentu saja kami tidak pernah melupakan jasa seorang pembantu, tetapi kami juga tidak pernah membiarkan begitu saja mereka yang sudah merugikan kami. Nah, silakan kalian duduk karena kita akan membicarakan urusan pekerjaan yang amat penting. Akan tetapi sebelum itu kami hendak bicara dengan orang yang sudah mengecewakan hati kami dan amat merugikan gerakan perjuangan kami."
Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli lantas mengambil tempat duduk, dan mendengar ucapan itu, dua orang yang datang lebih dahulu dan yang menderita luka di paha dan punggung, segera bangkit dari bangku, lalu menghampiri orang berkedok hitam dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya dalam jarak empat meter lebih.
"Hemm, kalian dua orang tolol, kalian bukan saja gagal melaksanakan tugas penting, tapi juga bersikap amat pengecut, meninggalkan kawan sehingga tewas dan kalian melarikan diri. Begitukah sikap orang-orang yang telah menjadi pembantu dan anak buah kami?"
"Ampun, Yang Mulia. Kami... tidak kuat menghadapi pengeroyokan banyak pengawal…" kata seorang di antara mereka yang luka pahanya.
"Kami sudah berusaha sekuat tenaga dan gagal, mohon paduka mengampuni kami," kata orang kedua yang terluka punggungnya.
Sepasang mata di balik kedok itu berkilat. "Enak saja kalian minta ampun. Kalian sudah bertindak ceroboh sehingga menggagalkan tugas, bahkan membahayakan kedudukan kita semua dengan pelarian kalian ini. Kalian tidak patut berada di sini dan tak pantas menjadi anggota perjuangan kita. Kalau kalian berhasil dalam tugas, kami selalu memberi hadiah besar, sekarang kalian gagal, bahkan melarikan diri, tahukah kalian apa hukumannya?"
Dengan tubuh gemetar dua orang itu membentur-benturkan dahi di lantai sambil meminta ampun. Akan tetapi si kedok hitam itu menggerakkan kedua tangannya, jari telunjuknya berubah hitam seperti arang dan ditudingkan ke arah kedua orang itu. Seperti ada sinar hitam mencuat dari kedua jari telunjuk itu, menyambar ke depan, ke arah kepala dua orang itu. Mereka terjengkang, tanpa mengeluarkan suara lagi karena mereka telah tewas dengan muka berubah hitam arang!
Melihat ini, sepasang iblis itu terkejut. Bertahun-tahun mereka melatih diri dengan Touw-kut-ci dan mempergunakan banyak tengkorak, tetapi kini mereka melihat ilmu tusukan jari tangan dari jarak jauh yang teramat dahsyat, jauh lebih dahsyat dibandingkan Touw-kut-ci mereka. Hal itu saja sudah membuat mereka semakin tunduk, maklum bahwa mereka berhadapan dengan orang sakti yang pantas menjadi pimpinan mereka.
Melihat ini, Bu-tek Kiam-mo langsung bangkit berdiri dari bangkunya dengan alis berkerut. Dia bukan anak buah si kedok hitam, dan dia datang sebagai utusan Tung-hai-liong, datuk yang kekuasaannya seperti raja saja di lautan timur. Dia merasa amat penasaran melihat hukuman yang dijatuhkan kepada dua orang itu.
"Yang Mulia, apa yang harus saya laporkan kepada majikan saya melihat hukuman ini? Apakah kalau kelak kami gagal dalam tugas, kami pun akan dihukum mati seperti ini?”
Si kedok hitam mengangkat tangan kiri ke atas sebagai isyarat, lantas nampak bayangan empat orang berkelebat masuk. Tanpa banyak bicara lagi keempat orang itu menggotong pergi jenazah dua orang yang mendapat hukuman tadi. Setelah itu barulah si kedok hitam menghadapi Bu-tek Kiam-mo.
"Bu-tek Kiam-mo, engkau salah mengerti. Dua orang ini adalah anak-anak buah kami, dan di antara kami sudah ada peraturan yang tidak boleh dilanggar. Tapi kalian yang hadir ini lain lagi, bukan anak buah kami melainkan sahabat yang akan diajak bekerja sama. Tentu saja peraturan yang dikenakan kepada anak buah kami tidak berlaku untuk kalian. Yang dihukum bukan hanya kegagalan mereka, akan tetapi karena mereka berdua melarikan diri dan meninggalkan seorang rekan yang tewas. Nah, mengertikah engkau sekarang?"
Bu-tek Kiam-mo mengangguk dan duduk kembali. Tentu saja dia tidak dapat mencampuri urusan dalam antara si kedok hitam dengan anak buahnya, seperti juga majikannya yang tidak kalah kejamnya dibandingkan dengan apa yang dilakukan si kedok hitam terhadap anak buahnya tadi.
Sesudah mereka duduk, dua orang anak buah si kedok hitam datang menyuguhkan arak dan makanan kecil, lalu mereka meninggalkan ruangan itu pula. Coa Ok, orang pertama dari Hek I Ngo-liong tidak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya,
"Yang Mulia, tugas apakah yang telah gagal dilakukan tiga orang anak buah paduka itu?"
Semua orang mendengarkan penuh perhatian, ingin tahu jawaban orang aneh yang penuh rahasia itu. “Kami mengirim tiga orang anak buah kami menyusup ke istana Raja Muda Yung Lo untuk membunuhnya. Akan tetapi mereka bukan hanya gagal, bahkan seorang yang kami percaya memiliki kemampuan, sudah tewas dan dua orang tadi melarikan diri membawa luka-luka."
Mendengar ini, Coa Ok yang berwatak sombong itu tersenyum menyeringai. "Heh, kalau ingin membunuhnya, kenapa harus menyusup ke dalam istana di mana terdapat banyak pengawal? Serahkan saja kepada kami. Kami akan menghadang dan ketika raja muda itu keluar dari istana, kami akan sanggup membunuhnya!"
Akan tetapi si kedok hitam mengangkat tangan dan menggelengkan kepala. "Tidak, selain mereka kini tentu lebih waspada dan melakukan penjagaan, juga kami sudah mengubah siasat. Sesudah mendengar hasil penyelidikan para mata-mata kami di kota raja selatan, dan setelah menerima pesan dari Pangeran Thian-cu (Anak Langit), siasat kami berubah sama sekali. Kami tidak lagi mempergunakan kekerasan melainkan mengatur siasat yang halus."
"Siapakah Pangeran Thian-cu?" tanya Pek-bin Moli.
"Siasat apa yang akan dipergunakan dan apa pula tugas kami?" tanya Coa Ok mewakili semua saudaranya.
"Dan pesan apa yang harus saya sampaikan kepada majikan saya Naga Lautan Timur?" tanya Bu-tek Kiam-mo.
"Tenanglah dan dengarkan penjelasanku. Juga engkau Bu-tek Kiam-mo, dengarkan baik-baik supaya kelak dapat kau laporkan kepada majikanmu. Kalian tentu tahu siapa Kaisar Thai-cu yang telah memberontak terhadap Kerajaan Goan (Mongol). Dia tadinya bernama Chu Goan Ciang dan siapa dia? Seorang petani! Bayangkan saja. Seorang petani busuk menjadi kaisar dan akan memerintah kita! Bagaimana mungkin kita dapat direndahkan sampai seperti itu? Tidak! Kita harus mengenyahkan kekuasaan para petani busuk itu"
"Maaf, Yang Mulia," kata Ang-bin Moko. "Tapi bagaimana kita akan dapat melakukan hal itu? Kaisar Thai-cu sudah membangun Kerajaan Beng, dan memiliki pasukan besar yang amat kuat. Bagaimana kita mampu melawan sebuah kerajaan yang mempunyai pasukan besar?"
Semua orang mengangguk membenarkan pendapat Ang-bin Moko itu. Mereka pun akan pikir-pikir dulu bila diharuskan melawan pasukan pemerintah yang berjumlah ratusan ribu.
"He-heh-heh, kita tidak begitu bodoh. Kalau dengan jalan kekerasan tidak mungkin, masih banyak jalan yang lebih halus. Dan baru saja kami mendapat keterangan dari para mata-mata. Kalian dengarkan baik-baik siasat yang akan kami atur."
Dengan suara yang halus dan jelas, si kedok hitam kemudian menggambarkan rencana siasatnya. Mula-mula dia menceritakan keadaan keluarga kaisar, betapa kaisar Thai-cu sudah mengangkat pangeran Yung Lo menjadi raja muda di Peking karena pangeran ini memang ahli dalam mengatur pasukan untuk menahan gelombang serangan orang-orang Mongol yang hendak merebut kembali kekuasaannya di selatan. Nah, Raja Muda Yung Lo, walau pun bukan pangeran sulung, bukan pangeran mahkota karena dia lahir dari selir, tentu saja menganggap dirinya sebagai pangeran yang paling gagah, paling cakap untuk kelak menggantikan ayahnya. Akan tetapi dia harus mengalah terhadap Pangeran Mahkota, putera pertama kaisar dari permaisuri, yaitu Pangeran Chu Hui San yang sudah ditetapkan kelak menggantikan ayahnya karena dia pun merupakan putera sulung. Dan di antara kedua pangeran ini seperti terdapat persaingan, maka akan mudah dicetuskan api permusuhan antara Raja Muda Yung Lo dan kakaknya, Pangeran Mahkota Chu Hui San. Inilah jalan yang kami maksudkan, cara halus yang kalau berhasil akan jauh lebih menguntungkan dari pada sekedar penyerbuan dan pertempuran."
"Akan tetapi bagaimana caranya, Yang Mulia? Kami berdua masih belum paham benar, walau pun sudah mengerti apa yang paduka maksudkan dengan cara yang halus tanpa kekerasan itu," kata Pek-bin Moli.
"Jalan satu-satunya adalah melakukan penyusupan ke dalam istana Pangeran Mahkota. Kita harus mengobarkan persaingan itu menjadi permusuhan. Sukar untuk mempengaruhi Raja Muda Yung Lo karena wataknya keras dan dia dapat berbahaya. Tetapi Pangeran Chu Hui San adalah seorang pangeran yang lemah dan akan dapat kita pengaruhi. Nah, menyusup ke istana Pangeran Mahkota dan mempengaruhinya merupakan satu di antara tugas kita. Ada pula tugas lain yang tidak kalah pentingnya."
"Apakah tugas itu, Yang Mulia?” tanya Ang-bin Moko. "Kami lebih menyukai tugas yang membutuhkan kekuatan. Menyusup ke istana dan bermain sandiwara terlampau sulit bagi kami.”
"Heh-heh, kami juga tidak akan mengutus kalian melakukan penyusupan ke istana, Moko. Kalian berdua dikenal oleh para tokoh persilatan, dan kalau para tokoh mengetahui kalian menyusup ke istana pangeran Mahkota, tentulah kalian akan dicurigai. Tidak, kalian lebih tepat untuk tugas kedua, yaitu berusaha merebut kedudukan bengcu (pemimpin) yang beberapa bulan mendatang akan diadakan oleh para datuk persilatan di puncak Thai-san. Kalian berdua harus dapat merebut kedudukan bengcu sehingga dengan mudah kita akan mendapat dukungan dari dunia persilatan kalau saatnya tiba bagi kita untuk bergerak."
Sepasang iblis itu saling pandang dan mereka terbelalak. "Wah, sejak dulu kami sendiri pun berkeinginan menjadi bengcu dan kami berlatih keras agar dapat mengikuti pemilihan bengcu. Akan tetapi, Yang Mulia, kami tahu bahwa tidaklah mudah untuk menjadi orang yang paling tangguh. Banyak orang-orang sakti akan mengikuti pemilihan itu, dan mereka memiliki pendukung, sedangkan kami tidak."
"Heh-heh-heh, kami dapat mempersiapkan pendukung yang sangat banyak. Kami berdiri di belakang kalian, dan akan diusahakan sedapatnya agar kalian yang menang. Selain itu kami juga akan mengirim pembantu untuk menyusup ke dalam perkumpulan pengemis. Kalau kita dapat menguasai para kai-pang, mereka dapat menjadi pendukung yang besar jumlahnya dan kuat. Nah, sekarang telah ada tiga macam tugas kita. Pertama, menyusup ke istana Putera Mahkota. Kedua, mencoba untuk menguasai kai-pang, dan yang ke tiga, berusaha meraih gelar bengcu supaya dapat menguasai dunia kangouw. Untuk yang ke empat, kami sendiri yang akan mengaturnya, yaitu menyambut kedatangan Yang Mulia Pangeran karena beliau sendiri yang akan memimpin kita supaya perjuangan ini berhasil baik."
"Yang Mulia Pangeran?" Ang-bin Moli berseru heran. "Siapakah beliau? Dan siapa pula paduka? Mengapa paduka selalu menyembunyikan wajah di balik kedok? Rasanya tidak enak bagi kami kalau tidak mengenal siapa pemimpin kami. Dan Yang Mulia Pangeran itu, diakah pemimpin kita yang utama?"
Si kedok hitam mengangguk-angguk. "Pertanyaan yang pantas dan memang perlu kalian ketahui agar tidak ragu-ragu lagi. Ketahuilah bahwa perjuangan kita ini dipimpin langsung oleh Pangeran Yaluta yang mulia, bijaksana dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Beliau yang menjadi pemimpin besar dan selama ini beliau mewakilkan kepada kami. Karena aku tidak ingin dikenal supaya aku dapat bergerak dengan leluasa, maka aku memakai kedok sutera hitam. Kini Yang Mulia Pangeran merasa sudah tiba saatnya beliau sendiri yang memimpin langsung, maka beliau akan datang. Kelak, apa bila beliau sudah datang, akan kami perkenalkan kepada kalian semua. Sekarang marilah kita membagi tugas masing-masing." Si kedok hitam lalu mengatur siasat, membagikan tugas kepada mereka semua dengan teliti sekali.
Melihat cara kerja si kedok hitam, sepasang iblis itu merasa kagum karena siasat itu rapi dan mirip siasat seorang panglima perang saja. Kepada Bu-tek Kiam-mo, si topeng hitam itu menyerahkan kiriman benda-benda berharga untuk dihadiahkan kepada Tung-hai-liong Ouwyang Cin, dengan harapan datuk itu mau membantu agar cita-cita Pangeran Yaluta dapat terkabul, yaitu menjatuhkan kaisar petani seperti yang disebut oleh si kedok hitam dan mendirikan kembali Kerajaan Goan yang sudah runtuh.
Harta dan kedudukan merupakan dua kesenangan yang daya pengaruhnya sangat kuat terhadap manusia. Demi mengejar kedudukan dan harta, manusia sering lupa diri dan tak segan melakukan perbuatan apa pun juga. Membunuh, merampok, menipu, berkhianat, apa saja akan dilakukan demi mendapatkan harta atau kedudukan yang diinginkannya.
Bila sudah begini, manusia kehilangan harga dirinya sebagai manusia, sebagai makhluk yang mendapatkan anugerah paling besar dari Sang Pencipta. Manusia sudah menjadi budak, menjadi hamba dari kesenangan, hamba dari nafsunya sendiri. Manusia menjadi lupa bahwa menghambakan diri, bertekuk lutut kepada nafsu merupakan sumber segala mala petaka dalam kehidupan, sumber sengketa, sumber derita sengsara.
Harta kekayaan yang tadinya dibayangkan sebagai sumber segala kesenangan, akhirnya hanya menjadi sumber kegelisahan, takut kehilangan, sumber sengketa dan perebutan, sedangkan kesenangan yang dihasilkan oleh adanya harta hanya menjadi kesenangan palsu yang membosankan.
Pengejaran terhadap harta dan kedudukan membutakan hati dan merusak pertimbangan, membuat kita tak sadar bahwa kita telah melakukan hal-hal yang amat tidak baik, jahat atau merugikan orang lain yang pada akhirnya akan menghasilkan buah yang pahit, yang harus kita makan sendiri. Kadang-kadang kita silau oleh tujuan, buta akan cara yang kita pergunakan untuk pengejaran mencapai tujuan itu. Bagaimana mungkin cara yang kotor bisa menghasilkan sesuatu yang bersih? Tujuan merupakan akibat, merupakan hasil dari pada caranya. Cara tidak terpisah dari hasilnya.
Kaisar Thai-cu, pendiri Kerajaan Beng (Terang) adalah seorang yang pandai. Biar pun dia terlahir sebagai anak petani, tapi berkat pengalaman dan kepemimpinannya, dia berhasil menyusun kekuatan, menarik dukungan hampir seluruh rakyat dan akhirnya berhasil pula menumbangkan kekuasaan Mongol yang sudah menjajah selama hampir seratus tahun. Dan dia pun maklum bahwa orang-orang Mongol tentu saja tidak rela melepas kekuasaan mereka dan pasti mereka akan selalu berusaha untuk merebut kembali tahta kerajaan.
Oleh karena itu maka dia pun mengangkat Pangeran Yung Lo, puteranya yang semenjak muda mempunyai kemampuan seperti dia, yaitu pandai mengatur pasukan, sebagai raja muda di Peking sehingga puteranya itu akan menjamin bahwa orang-orang Mongol tidak akan menyeberangi Tembok Besar. Juga dia mengerahkan kekuatan untuk melakukan penjagaan di perbatasan, mempertanankan kedaulatan Kerajaan Beng. Untuk tugas-tugas ini, dia memiliki banyak pembantu.
Para panglimanya adalah orang-orang yang cakap, dan di antaranya yang menjadi orang kepercayaannya adalah Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti. Kedua orang jenderal ini merupakan panglima-panglima perang yang pandai dan merekalah yang mengatur semua penjagaan, walau pun keduanya tetap tinggal di kota raja. Jasa keduanya sangat besar dalam meruntuhkan Kerajaan Goan (Mongol), maka kaisar memberi mereka kedudukan tinggi yang membuat mereka berdua dapat menetap di kota raja, hanya sekali-sekali saja melakukan peninjauan ke perbatasan.
Di kalangan sipil, Kaisar Thai-cu juga mempunyai banyak menteri yang pandai. Seorang kaisar memang harus dapat mempergunakan orang-orang pandai kalau dia menghendaki kemajuan dalam pemerintahan yang dikendalikannya. Kaisar Thai-cu yang kini telah berusia enam puluh tahun itu mempunyai banyak anak dari para selirnya, tetapi dari permaisuri dia hanya mempunyai seorang putera, yaitu Pangeran Chu Hui San yang diangkat menjadi putera mahkota. Hanya ada satu hal yang kadang kala merisaukan hati sang Kaisar, yaitu melihat betapa puteranya yang menjadi Pangeran Mahkota itu dianggapnya tidak memiliki kewibawaan dan kekuatan yang patut membuat dia menjadi calon kaisar, tidak seperti puteranya yang kini menjadi raja muda di Peking.
Pangeran Mahkota yang sudah berusia empat puluh tahun itu lemah dan hanya berfoya-foya saja, sama sekali tidak mempedulikan urusan pemerintah. Padahal Putera Mahkota itu sudah cukup dewasa, bukan kanak-kanak lagi. Dia sudah mempunyai beberapa orang anak, dari isterinya mempunyai seorang anak laki-laki yang telah berusia enam tahun dan bernama Pangeran Chu Song, sedangkan dari para selirnya, dia juga memiliki beberapa orang anak. Bahkan ada puterinya yang kini telah berusia delapan belas dan tujuh belas tahun.
Namun Pangeran Mahkota ini tetap saja berwatak kekanak-kanakan dan selalu mengejar kesenangan. Tidak mengherankan bila dia dikelilingi penjilat-penjilat yang memanfaatkan kelemahannya untuk mendapatkan keuntungan darinya. Pangeran Chu Hui San hidup bermewah-mewah, setiap hari hanya berpesta, main judi, bahkan dia terkenal sekali di antara rumah-rumah pelesir yang dikunjunginya secara diam-diam dan menyamar, tentu saja atas anjuran para penjilat yang menjadi teman-temannya, yaitu para pemuda bangsawan putera para pejabat tinggi di kota raja.
Pangeran Mahkota dan teman-temannya itu merupakan sebuah gerombolan bangsawan yang memiliki tukang-tukang pukul sendiri, dan kadang mereka melakukan hal-hal yang tak pantas seperti merampas barang berharga yang mereka senangi dari siapa saja, dan tak jarang mereka merampas seorang gadis cantik dan menculiknya dengan kekerasan.
Tidak ada seorang pun yang berani menentang mereka, karena pemimpin gerombolan itu adalah Pangeran Mahkota! Bahkan tak ada yang berani melaporkan kepada kaisar yang amat menyayangi putera mahkota ini, sehingga kaisar sendiri tidak tahu mengenai sepak terjang calon penggantinya itu.
Memang sesungguhnya tidak ada yang sempurna di seluruh alam mayapada ini kecuali Tuhan Yang Maha Sempurna. Tidak ada seorang pun yang hidupnya mulus tanpa cacat. Tidak ada hati yang selalu mengenal senang tanpa mengenal susah.
Kaisar Thai-cu memang dari luar nampak hidup penuh kesenangan, penuh kebahagiaan. Dia adalah pendiri sebuah kerajaan baru yang berhasil. Hidup penuh kemuliaan sebagai kaisar, orang yang paling tinggi kedudukannya di antara ratusan juta manusia lain. Ia tidur di puncak kekuasaan, berenang di lautan kemewahan. Berkuasa, mulia, terhormat, kaya raya, mempunyai banyak isteri dan banyak anak. Lengkap semua!
Itu hanya nampaknya saja bagi orang lain. Akan tetapi tidak ada yang tahu betapa kaisar yang satu ini sering kali termenung bertopang dagu memikirkan keadaan putera mahkota! Betapa hatinya sering kali gelisah, khawatir kalau-kalau kerajaan yang dibangunnya itu tak akan dapat bertahan, tak akan dapat berkembang menjadi besar dan jaya.
Betapa dia selalu dirongrong oleh berita tentang pemberontakan di perbatasan, tentang usaha orang Mongol yang hendak merebut kembali kekuasaan, negara-negara tetangga di selatan dan barat yang tidak mengakui kedaulatan Kerajaan Beng, dan para bajak laut yang mengacau di sepanjang pantai timur. Tentang pejabat yang korup, pengkhianat, dan masih banyak hal lagi yang cukup membuat kaisar merasa hidupnya tidak berbahagia!
Nafsu itu seperti api, selalu mencari bahan bakar, tidak pernah berhenti selama ada yang dilahapnya. Yang sudah dibakar lalu ditinggalkannya menjadi abu, tak dihiraukannya lagi karena selalu disibukkan mencari bahan bakar baru. Jika kita telah dikuasai nafsu, kita selalu mengejar sesuatu yang belum kita miliki.
Yang sudah kita miliki terlupa, tidak lagi nampak keindahannya dan tak lagi menyenangkan, bahkan ada kalanya membosankan. Yang nampak indah menarik dan dianggap menjadi sumber kesenangan hanyalah yang belum diperoleh, seperti api yang selalu tertarik kepada sesuatu yang belum dijamahnya.
Nafsu membuat segala sesuatu hanya kelihatan indah menyenangkan bagi yang belum memiliki! Akan tetapi yang telah memiliki, menjadi bosan dan apa yang dimiliki itu segera kehilangan daya tariknya. Hanya mereka yang tidak kaya saja yang menganggap bahwa kaya raya itu sangat membahagiakan, sebaliknya, yang sudah kaya raya kehilangan apa yang digambarkan oleh yang belum kaya itu.
Hanya yang tidak mempunyai kedudukan menganggap bahwa yang berpangkat tinggi itu senang dan bahagia, namun sering kali dia tersiksa justru oleh kedudukannya itu. Orang yang tinggal di kota rindu kepada gunung, sebaliknya yang tinggal di gunung rindu kepada kota!
Demikianlah bekerjanya nafsu, mendorong kita untuk tak merasa puas dengan keadaan yang ada, selalu haus akan hal-hal yang belum kita miliki. Ini memang wajar. Kalau nafsu menjadi alat, menjadi hamba kita, maka nafsu memang sangat berguna bagi kehidupan kita. Nafsu yang membuat kita maju dan bertumbuh, membuat kita ‘hidup’.
Celakalah kalau terjadi sebaliknya, kita yang diperhamba! Kita akan menjadi robot, dan kita kehilangan pertimbangan, mau saja dituntun melakukan perbuatan yang jahat atau tidak benar hanya untuk memuaskan nafsu dalam mendapatkan hal-hal yang diinginkan. Seperti api yang terus menjalar mencari bahan bakar baru, melupakan dan meninggalkan yang lama.
Namun kaisar Thai-cu adalah seorang yang gigih, tidak pernah menyerah kepada segala macam kesulitan. Dia selalu berusaha menanggulangi segala masalah. Dia seorang yang sadar akan lika-liku kehidupan.
Hidup memang merupakan perjuangan, di mana tantangan datang dari segala penjuru dan di setiap waktu. Bahaya dan tantangan berdatangan, dan justru itulah romantika kehidupan. Betapa akan hampa dan haramnya kehidupan ini tanpa adanya tantangan! Betapa akan membosankan siang hari tanpa adanya malam! Rasa manispun akan memuakkan tanpa adanya rasa pahit dan lain-iain. Hidup adalah perjuangan menghadapi semua tantangan.
Melarikan diri dari tantangan hidup berarti sudah tiga perempat mati. Kita harus siap sedia menghadapi kenyataan yang ada, berani menghadapi tantangan yang datang menimpa. Menghadapi tantangan, menanggulangi atau mengatasi tantangan, itu seni kehidupan!
Kita harus mempergunakan segala daya yang ada pada kita, setiap anggota jasmani, hati akal dan pikiran, untuk menanggulangi segala masalah kehidupan, persoalan lahiriah dan mengatasinya, memenangkannya. Mengenai batiniah atau kerohanian, kita serahkan saja kepada Tuhan! Percaya, menyerah dengan sabar, ikhlas, tawakal. Rohani adalah kuasa Tuhan, akan tetapi urusan jasmani adalah tugas kewajiban kita sendiri.
Kaisar Thai-cu tak pernah tunduk terhadap segala kesukaran yang berdatangan semenjak dia menjadi kaisar. Bukan saja dia memilih para pembantu yang pandai untuk dijadikan pejabat yang bijaksana, bahkan dia tidak melupakan para tokoh di dunia persilatan untuk memanfaatkan tenaga mereka. Dia paham benar bahwa kaum pendekar yang tidak mau memegang jabatan merupakan orang-orang yang dapat berjasa banyak demi kelancaran roda pemerintahannya.
Karena itu dia selalu menghubungi mereka untuk dimintai pendapat, nasehat dan bahkan bantuan. Ketika banyak pusaka istana lenyap dari gudang istana, belasan tahun yang lalu, dia juga minta bantuan para tokoh persilatan, bahkan kemudian Sam-sian (Tiga Dewa) yang berhasil mendapatkan kembali kumpulan pusaka yang dicuri oleh mendiang Se Jit Kong itu.
Kemudian dia mendengar akan adanya usaha orang-orang Mongol untuk menyebar mata-mata yang mungkin akan membahayakan, maka dia pun langsung mengirim utusan untuk mencari serta mengundang Sam-sian untuk datang menghadap. Akan tetapi yang datang menghadap hanya Ciu-sian seorang karena dua orang rekannya yang lain, Kiam-sian dan Pek-mau-sian, telah meninggal dunia.
Kaisar Thai-cu lalu minta bantuan Ciu-sian untuk menanggulangi dan menyelidiki gerakan jaringan mata-mata Mongol. Ciu-sian menyanggupi, akan tetapi dia merasa tua, maka dia mewakilkan pelaksanaan tugas penting yang sangat berat itu kepada muridnya, yaitu Sin Wan.
Bayangan merah muda itu meluncur cepat menuruni lembah gunung sebelah timur. Baru sesudah dia berhenti di tepi padang rumput kehijauan, nampak jelas bahwa dia seorang gadis yang mengenakan pakaian serba merah muda. Seorang gadis yang cantik manis, dengan wajah yang cerah, sepasang mata yang berkilat tajam, mulut yang mungil terhias senyum mengejek dan mulut itu dihias lesung pipi yang manis sekali.
Dia mengagumi pemandangan alam yang indah di pagi itu, menghirup udara yang sejuk hangat hingga cuping hidungnya yang tipis nampak kembang kempis. Tubuhnya ramping padat dengan lekuk liku sempurna karena dia adalah seorang gadis muda usia.
Sebenarnya usianya telah dua puluh dua tahun, akan tetapi takkan ada orang menyangka begitu, tentu dia akan disangka berusia paling banyak delapan belas tahun. Begitu segar berseri, anggun bagaikan setangkai bunga yang baru merekah dihembus semilirnya angin gunung, bermandi embun dan sinar matahari pagi.
Pakaiannya ringkas, tetapi pakaian warna merah muda itu terbuat dari sutera yang mahal. Tubuhnya terbungkus ketat sehingga tonjolan dan lekukannya kelihatan jelas. Rambut di kepalanya digelung ke atas, kemudian diikat dengan pita berwarna hijau dan kuning, tusuk sanggulnya terbuat dari emas berbentuk burung merak yang indah. Kakinya yang kecil memakai sepatu dari kulit hitam mengkilap. Pada punggungnya terdapat buntalan pakaian dan sebatang pedang melintang di bawahnya dengan gagang di belakang pundak kanan.
Gadis itu adalah Tang Bwe Li atau yang biasa disebut Lili. Setelah menerima tugas dari suci-nya, ia meninggalkan Bukit Ular tempat tinggal suhu-nya, See-thian Coa-ong Cu Kiat, dan hatinya merasa riang gembira. Tidak saja dia merasa laksana seekor burung bebas lepas di angkasa, dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya tanpa harus mentaati perintah siapa pun, menjadi majikan dirinya sendiri, tetapi juga dia merasa dirinya penting sekali.
Suci-nya yang lihai dan yang semula malah menjadi gurunya itu, yang sudah merawat dan mendidiknya sejak dia masih kecil, suci-nya yang amat dihormati dan disayangnya, begitu percaya padanya untuk mewakili membalas dendam kepada seorang pria yang dianggap sudah menghancurkan kehidupan suci-nya! Dia akan menunaikan tugas itu dengan baik. Dia harus dapat melaksanakan balas dendam itu, demi suci-nya dia rela mempertaruhkan nyawanya.
Tidak aneh bila Lili merasa bebas dan gembira. Gadis ini penuh kepercayaan kepada diri sendiri dan pada saat itu dia memang merupakan seorang gadis yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dahulu, ketika dia belum digembleng langsung oleh See-thian Coa-ong sendiri yang ketika itu adalah kakek gurunya, dia sudah merupakan seorang gadis yang sukar dicari bandingnya dalam ilmu silat.
Apalagi sekarang, setelah menerima gemblengan datuk itu, ilmu kepandaiannya sudah meningkat dengan cepatnya sehingga kini tingkatnya hampir sejajar dengan Bi-coa Sianli Cu Sui In, bekas gurunya yang kini menjadi suci-nya. Dengan ilmu kepandaian sehebat itu tentu saja Lili merasa kuat dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, apa lagi memang pada dasarnya dia seorang gadis yang pemberani bahkan tidak mengenal artinya takut.
Sudah belasan hari dia meninggalkan Bukit Ular dan selama itu dia telah melewati banyak gunung, padang rumput, gurun dan lembah yang sangat sukar dilalui. Juga dia banyak melewati perkampungan bermacam suku bangsa, namun tidak pernah ada gangguan...
Biar pun hanya melalui pandang mata, Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli sudah dapat saling memberi isyarat. Dua orang ini memang amat kompak, bukan saja karena mereka berdua berasal dari saudara seperguruan, akan tetapi mereka juga sama-sama merangkai ilmu-ilmu silat, dan lebih dari itu, hubungan mereka juga sebagai kekasih atau suami isteri.
Setelah saling pandang memberi isyarat, kedua orang itu lalu mengerahkan tenaga sakti sehingga kedua tangan mereka, mulai ujung jari sampai sebatas siku, berubah warnanya menjadi kehijauan. Itulah tandanya bahwa mereka sedang mengerahkan tenaga dari ilmu Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa).
"Yang Mulia, waspadalah, kami akan menggunakan Toat-beng Tok-ciang,” teriak Ang-bin Mo-ko.
Bagaimana pun juga dia pun tahu bahwa orang berkedok ini memiliki banyak sekali anak buah yang tentu telah bersiap di tempat itu. Kalau dia dan Pek-bin Moli kesalahan tangan sampai membunuh orang ini, tentu keadaan akan menjadi runyam dan mereka berdua berada dalam bahaya. Walau pun mereka tidak takut, akan tetapi tidak menguntungkan bagi mereka, bahkan hanya merepotkan saja.
Itulah sebabnya maka Ang-bin Mo-ko sengaja meneriakkan peringatan ini, suatu hal yang biasanya tak pernah dia lakukan. Biasanya, kalau dia hendak membunuh atau menyerang orang, dia melakukannya dengan tiba-tiba dan tanpa memberi peringatan sama sekali.
Maklum bahwa ilmu pukulan kedua orang itu memang sangat berbahaya, si kedok hitam juga tidak mau bersikap lengah atau memandang rendah. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kokoh kuat seperti pagoda besi, kedua lutut ditekuk hingga membentuk siku-siku, kedua lengannya disilangkan di depan dada, dengan jari tangan terbuka, tetapi kalau jari-jari tangan yang lain agak melengkung, kedua jari telunjuknya lurus menunjuk ke atas dan kedua jari tangan itu berubah warna, kini menjadi hitam seperti arang!
Melihat ini, kembali sepasang iblis itu saling pandang. Mereka pun langsung teringat akan adanya semacam ilmu yang amat berbahaya, yang disebut It-tok-ci (Jari Racun Tunggal) yang kabarnya merupakan ilmu yang amat hebat dan pernah dikuasai oleh seorang saja, yaitu keluarga Wanyen yang dulu menjadi orang kepercayaan kaisar-kaisar Mongol. Akan tetapi mereka tahu pula bahwa pemilik ilmu itu sudah tewas dalam pertempuran pada saat Kerajaan Mongol jatuh. Apakah orang ini telah mewarisi ilmu itu?
"Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli, aku telah siap!" kata si kedok hitam.
Sepasang iblis itu lalu mengerahkan tenaga dan menggerakkan tangan mereka, memukul dari jarak jauh ke arah lawan. Terdengar bunyi bercuitan seperti beberapa ekor tikus yang terjepit atau ketakutan, mencicit dan makin lama semakin tinggi melengking. Dari kedua tangan mereka menyambar hawa pukulan yang kuat luar biasa, menyambar ke arah jalan darah di tubuh lawan. Itulah Toat-beng Tok-ciang yang dengan mudah dapat membunuh orang dari jarak jauh, seperti ada sinar yang tak nampak meluncur ke arah tubuh si kedok hitam.
Akan tetapi dengan tenangnya, tanpa mengubah kedudukan kedua kakinya, orang ini juga menggerakkan sepasang tangannya, dan menuding dengan gerakan menotok ke udara di depannya. Terdengar bunyi mendesir yang keluar dari jari-jari telunjuk yang hitam itu dan terasa ada hawa menyambar sambil mengeluarkan uap hitam! Tenaga yang keluar dari kedua telunjuk ini seperti perisai menangkis hawa pukulan Toat-beng Tok-ciang sehingga pukulan jarak jauh itu terpental kembali.
Tentu saja Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli terkejut dan merasa penasaran bukan main. Sejak memiliki ilmu baru itu, belum pernah mereka gagal menggunakannya. Dari puluhan orang yang pernah mereka hadapi, baru seorang pemuda saja yang sanggup mengelak dan menangkis Toat-beng Tok-ciang, yaitu Sin Wan murid Sam-sian. Akan tetapi pemuda itu hanya mengelak dan menangkis dengan pukulan yang mengeluarkan uap putih, bukan langsung menyambut dengan totokan jarak jauh seperti yang dilakukan si kedok hitam ini. Mereka mengerahkan tenaga dan melanjutkan serangan mereka, berbareng akan tetapi berpencar, mereka menyerang dari kanan kiri.
Si kedok hitam tetap mempergunakan totokan jarak jauh satu tangan yang mengeluarkan uap hitam, dan hingga lima jurus lamanya kedua iblis itu sama sekali tidak pernah mampu mengenai sasaran dengan pukulan jarak jauh mereka, apa lagi merobohkan!
Ang-bin Moko memberi isyarat kepada Pek-bin Moli dan sekarang keduanya berlompatan menerjang lawan dengan ilmu baru mereka yang kedua, yaitu Touw-kut-ci (Jari Penembus Tulang), ilmu totokan yang amat keji karena dilatihnya pun dengan menggunakan banyak tengkorak manusia. Celakalah lawan yang terkena totokan jari tangan mereka. Jari tangan mereka dapat menembus tulang dan bila mana mengenai kepala, maka jari-jari tangan itu akan menembus sampai ke otak.
Kini sepasang iblis itu menyerang dengan Touw-kut-ci. Keduanya mendesak dan mencari kesempatan untuk mencengkeram ke arah muka lawan kemudian merenggut lepas kedok sutera hitam. Tapi si kedok hitam memang bukan orang sembarangan. Sebelum menantang sepasang iblis itu, tentu saja dia sudah melakukan penyelidikan terlebih dahulu tentang kemampuan sepasang iblis itu. Dia tahu pula akan kedahsyatan Touw-kut-ci, dan dia memang sudah siap siaga menghadapi ilmu milik sepasang iblis itu. Karena itulah maka tadi dia sengaja menantang selama sepuluh jurus saja, karena kalau lebih lama dari itu terpaksa dia harus menggunakan tangan maut untuk mencapai kemenangan. Kalau hanya sepuluh jurus, dia yakin akan mampu mempertahankan diri.
Sepasang iblis itu menjadi terkejut bukan main ketika melihat betapa tubuh si kedok hitam itu berpusing seperti gasing dan dari putaran itu keluar angin menyambar-nyambar. Tubuh itu seolah lenyap, hanya nampak bayangan hitam berpusing sangat cepatnya. Karena ini terpaksa serangan Touw-kut-ci tak dapat diarahkan ke sasaran yang tepat, hanya ngawur saja asal mengenal tubuh lawan. Tapi betapa sulitnya mengenai tubuh yang berpusing itu karena dari situ terasa ada angin pukulan yang amat kuat menyambar-nyambar, bahkan dapat menyeret mereka seperti pusaran angin puyuh.
Mereka berdua berusaha sekuatnya agar bisa memasukkan totokan dan mengenai tubuh lawan. Satu kali saja mengenai lawan, tentu jari mereka akan meninggalkan bekas dan berarti mereka menang. Akan tetapi pada jurus ke lima, ketika sepasang iblis itu menjadi lebih nekat untuk mencapai kemenangan pada jurus terakhir sehingga mereka menubruk ke depan menerobos putaran angin, mendadak tubuh mereka terdorong dan terhuyung ke belakang oleh tangkisan lengan yang sangat kuat mengenai lengan mereka dari samping. Mula-mula Pek-bin Moli yang terdorong ke belakang, kemudian disusul oleh Ang-bin Moko yang terhuyung.
Putaran bayangan hitam itu berhenti, dan si kedok hitam sudah berdiri tegak di hadapan mereka. Sepuluh jurus telah lewat dan mereka berdua harus mengakui bahwa selama itu jangankan merobohkan si kedok hitam, bahkan menyentuh tubuhnya pun mereka tidak mampu. Diam-diam mereka terkejut dan menduga-duga siapa sebenarnya si kedok hitam yang amat lihai ini.
"Bagus, bagus! Kalian memang sangat lihai dan pantas menjadi pembantu utama kami," kata si kedok hitam. "Meski kalian tidak mampu mengalahkan kami dalam sepuluh jurus, akan tetapi kami pun sama sekali tak sempat untuk balas menyerang. Untuk menyatakan kegembiraan hati kami, kami akan menghadiahkan benda ini kepada kalian. Kalau kalian menerimanya, berarti kalian sanggup untuk membantu kami dengan setia."
Si kedok hitam mengeluarkan dua butir mutiara hitam yang besar dan indah dari kantong bajunya dan memberikan dua butir benda berharga itu kepada Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli dengan dilemparkannya kepada mereka. Sepasang iblis itu menangkap mutiara itu, dan wajah mereka berseri. Mereka mengenal benda berharga dan kagum akan keroyalan si kedok hitam.
"Kami mengaku kalah, mulai hari ini juga kami berdua siap melaksanakan semua perintah Yang Mulia," kata Ang-bin Moko sambil menyimpan mutiara hitam itu.
"Hamba senang sekali bisa menghambakan diri kepada Yang Mulia, dengan harapan apa bila kelak usaha Yang Mulia berhasil, tidak akan melupakan hamba," kata pula Pek-bin Moli dengan senang.
"Tentu saja kami tidak pernah melupakan jasa seorang pembantu, tetapi kami juga tidak pernah membiarkan begitu saja mereka yang sudah merugikan kami. Nah, silakan kalian duduk karena kita akan membicarakan urusan pekerjaan yang amat penting. Akan tetapi sebelum itu kami hendak bicara dengan orang yang sudah mengecewakan hati kami dan amat merugikan gerakan perjuangan kami."
Ang-bin Moko dan Pek-bin Moli lantas mengambil tempat duduk, dan mendengar ucapan itu, dua orang yang datang lebih dahulu dan yang menderita luka di paha dan punggung, segera bangkit dari bangku, lalu menghampiri orang berkedok hitam dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya dalam jarak empat meter lebih.
"Hemm, kalian dua orang tolol, kalian bukan saja gagal melaksanakan tugas penting, tapi juga bersikap amat pengecut, meninggalkan kawan sehingga tewas dan kalian melarikan diri. Begitukah sikap orang-orang yang telah menjadi pembantu dan anak buah kami?"
"Ampun, Yang Mulia. Kami... tidak kuat menghadapi pengeroyokan banyak pengawal…" kata seorang di antara mereka yang luka pahanya.
"Kami sudah berusaha sekuat tenaga dan gagal, mohon paduka mengampuni kami," kata orang kedua yang terluka punggungnya.
Sepasang mata di balik kedok itu berkilat. "Enak saja kalian minta ampun. Kalian sudah bertindak ceroboh sehingga menggagalkan tugas, bahkan membahayakan kedudukan kita semua dengan pelarian kalian ini. Kalian tidak patut berada di sini dan tak pantas menjadi anggota perjuangan kita. Kalau kalian berhasil dalam tugas, kami selalu memberi hadiah besar, sekarang kalian gagal, bahkan melarikan diri, tahukah kalian apa hukumannya?"
Dengan tubuh gemetar dua orang itu membentur-benturkan dahi di lantai sambil meminta ampun. Akan tetapi si kedok hitam itu menggerakkan kedua tangannya, jari telunjuknya berubah hitam seperti arang dan ditudingkan ke arah kedua orang itu. Seperti ada sinar hitam mencuat dari kedua jari telunjuk itu, menyambar ke depan, ke arah kepala dua orang itu. Mereka terjengkang, tanpa mengeluarkan suara lagi karena mereka telah tewas dengan muka berubah hitam arang!
Melihat ini, sepasang iblis itu terkejut. Bertahun-tahun mereka melatih diri dengan Touw-kut-ci dan mempergunakan banyak tengkorak, tetapi kini mereka melihat ilmu tusukan jari tangan dari jarak jauh yang teramat dahsyat, jauh lebih dahsyat dibandingkan Touw-kut-ci mereka. Hal itu saja sudah membuat mereka semakin tunduk, maklum bahwa mereka berhadapan dengan orang sakti yang pantas menjadi pimpinan mereka.
Melihat ini, Bu-tek Kiam-mo langsung bangkit berdiri dari bangkunya dengan alis berkerut. Dia bukan anak buah si kedok hitam, dan dia datang sebagai utusan Tung-hai-liong, datuk yang kekuasaannya seperti raja saja di lautan timur. Dia merasa amat penasaran melihat hukuman yang dijatuhkan kepada dua orang itu.
"Yang Mulia, apa yang harus saya laporkan kepada majikan saya melihat hukuman ini? Apakah kalau kelak kami gagal dalam tugas, kami pun akan dihukum mati seperti ini?”
Si kedok hitam mengangkat tangan kiri ke atas sebagai isyarat, lantas nampak bayangan empat orang berkelebat masuk. Tanpa banyak bicara lagi keempat orang itu menggotong pergi jenazah dua orang yang mendapat hukuman tadi. Setelah itu barulah si kedok hitam menghadapi Bu-tek Kiam-mo.
"Bu-tek Kiam-mo, engkau salah mengerti. Dua orang ini adalah anak-anak buah kami, dan di antara kami sudah ada peraturan yang tidak boleh dilanggar. Tapi kalian yang hadir ini lain lagi, bukan anak buah kami melainkan sahabat yang akan diajak bekerja sama. Tentu saja peraturan yang dikenakan kepada anak buah kami tidak berlaku untuk kalian. Yang dihukum bukan hanya kegagalan mereka, akan tetapi karena mereka berdua melarikan diri dan meninggalkan seorang rekan yang tewas. Nah, mengertikah engkau sekarang?"
Bu-tek Kiam-mo mengangguk dan duduk kembali. Tentu saja dia tidak dapat mencampuri urusan dalam antara si kedok hitam dengan anak buahnya, seperti juga majikannya yang tidak kalah kejamnya dibandingkan dengan apa yang dilakukan si kedok hitam terhadap anak buahnya tadi.
Sesudah mereka duduk, dua orang anak buah si kedok hitam datang menyuguhkan arak dan makanan kecil, lalu mereka meninggalkan ruangan itu pula. Coa Ok, orang pertama dari Hek I Ngo-liong tidak dapat menahan keinginan tahunya dan bertanya,
"Yang Mulia, tugas apakah yang telah gagal dilakukan tiga orang anak buah paduka itu?"
Semua orang mendengarkan penuh perhatian, ingin tahu jawaban orang aneh yang penuh rahasia itu. “Kami mengirim tiga orang anak buah kami menyusup ke istana Raja Muda Yung Lo untuk membunuhnya. Akan tetapi mereka bukan hanya gagal, bahkan seorang yang kami percaya memiliki kemampuan, sudah tewas dan dua orang tadi melarikan diri membawa luka-luka."
Mendengar ini, Coa Ok yang berwatak sombong itu tersenyum menyeringai. "Heh, kalau ingin membunuhnya, kenapa harus menyusup ke dalam istana di mana terdapat banyak pengawal? Serahkan saja kepada kami. Kami akan menghadang dan ketika raja muda itu keluar dari istana, kami akan sanggup membunuhnya!"
Akan tetapi si kedok hitam mengangkat tangan dan menggelengkan kepala. "Tidak, selain mereka kini tentu lebih waspada dan melakukan penjagaan, juga kami sudah mengubah siasat. Sesudah mendengar hasil penyelidikan para mata-mata kami di kota raja selatan, dan setelah menerima pesan dari Pangeran Thian-cu (Anak Langit), siasat kami berubah sama sekali. Kami tidak lagi mempergunakan kekerasan melainkan mengatur siasat yang halus."
"Siapakah Pangeran Thian-cu?" tanya Pek-bin Moli.
"Siasat apa yang akan dipergunakan dan apa pula tugas kami?" tanya Coa Ok mewakili semua saudaranya.
"Dan pesan apa yang harus saya sampaikan kepada majikan saya Naga Lautan Timur?" tanya Bu-tek Kiam-mo.
"Tenanglah dan dengarkan penjelasanku. Juga engkau Bu-tek Kiam-mo, dengarkan baik-baik supaya kelak dapat kau laporkan kepada majikanmu. Kalian tentu tahu siapa Kaisar Thai-cu yang telah memberontak terhadap Kerajaan Goan (Mongol). Dia tadinya bernama Chu Goan Ciang dan siapa dia? Seorang petani! Bayangkan saja. Seorang petani busuk menjadi kaisar dan akan memerintah kita! Bagaimana mungkin kita dapat direndahkan sampai seperti itu? Tidak! Kita harus mengenyahkan kekuasaan para petani busuk itu"
"Maaf, Yang Mulia," kata Ang-bin Moko. "Tapi bagaimana kita akan dapat melakukan hal itu? Kaisar Thai-cu sudah membangun Kerajaan Beng, dan memiliki pasukan besar yang amat kuat. Bagaimana kita mampu melawan sebuah kerajaan yang mempunyai pasukan besar?"
Semua orang mengangguk membenarkan pendapat Ang-bin Moko itu. Mereka pun akan pikir-pikir dulu bila diharuskan melawan pasukan pemerintah yang berjumlah ratusan ribu.
"He-heh-heh, kita tidak begitu bodoh. Kalau dengan jalan kekerasan tidak mungkin, masih banyak jalan yang lebih halus. Dan baru saja kami mendapat keterangan dari para mata-mata. Kalian dengarkan baik-baik siasat yang akan kami atur."
Dengan suara yang halus dan jelas, si kedok hitam kemudian menggambarkan rencana siasatnya. Mula-mula dia menceritakan keadaan keluarga kaisar, betapa kaisar Thai-cu sudah mengangkat pangeran Yung Lo menjadi raja muda di Peking karena pangeran ini memang ahli dalam mengatur pasukan untuk menahan gelombang serangan orang-orang Mongol yang hendak merebut kembali kekuasaannya di selatan. Nah, Raja Muda Yung Lo, walau pun bukan pangeran sulung, bukan pangeran mahkota karena dia lahir dari selir, tentu saja menganggap dirinya sebagai pangeran yang paling gagah, paling cakap untuk kelak menggantikan ayahnya. Akan tetapi dia harus mengalah terhadap Pangeran Mahkota, putera pertama kaisar dari permaisuri, yaitu Pangeran Chu Hui San yang sudah ditetapkan kelak menggantikan ayahnya karena dia pun merupakan putera sulung. Dan di antara kedua pangeran ini seperti terdapat persaingan, maka akan mudah dicetuskan api permusuhan antara Raja Muda Yung Lo dan kakaknya, Pangeran Mahkota Chu Hui San. Inilah jalan yang kami maksudkan, cara halus yang kalau berhasil akan jauh lebih menguntungkan dari pada sekedar penyerbuan dan pertempuran."
"Akan tetapi bagaimana caranya, Yang Mulia? Kami berdua masih belum paham benar, walau pun sudah mengerti apa yang paduka maksudkan dengan cara yang halus tanpa kekerasan itu," kata Pek-bin Moli.
"Jalan satu-satunya adalah melakukan penyusupan ke dalam istana Pangeran Mahkota. Kita harus mengobarkan persaingan itu menjadi permusuhan. Sukar untuk mempengaruhi Raja Muda Yung Lo karena wataknya keras dan dia dapat berbahaya. Tetapi Pangeran Chu Hui San adalah seorang pangeran yang lemah dan akan dapat kita pengaruhi. Nah, menyusup ke istana Pangeran Mahkota dan mempengaruhinya merupakan satu di antara tugas kita. Ada pula tugas lain yang tidak kalah pentingnya."
"Apakah tugas itu, Yang Mulia?” tanya Ang-bin Moko. "Kami lebih menyukai tugas yang membutuhkan kekuatan. Menyusup ke istana dan bermain sandiwara terlampau sulit bagi kami.”
"Heh-heh, kami juga tidak akan mengutus kalian melakukan penyusupan ke istana, Moko. Kalian berdua dikenal oleh para tokoh persilatan, dan kalau para tokoh mengetahui kalian menyusup ke istana pangeran Mahkota, tentulah kalian akan dicurigai. Tidak, kalian lebih tepat untuk tugas kedua, yaitu berusaha merebut kedudukan bengcu (pemimpin) yang beberapa bulan mendatang akan diadakan oleh para datuk persilatan di puncak Thai-san. Kalian berdua harus dapat merebut kedudukan bengcu sehingga dengan mudah kita akan mendapat dukungan dari dunia persilatan kalau saatnya tiba bagi kita untuk bergerak."
Sepasang iblis itu saling pandang dan mereka terbelalak. "Wah, sejak dulu kami sendiri pun berkeinginan menjadi bengcu dan kami berlatih keras agar dapat mengikuti pemilihan bengcu. Akan tetapi, Yang Mulia, kami tahu bahwa tidaklah mudah untuk menjadi orang yang paling tangguh. Banyak orang-orang sakti akan mengikuti pemilihan itu, dan mereka memiliki pendukung, sedangkan kami tidak."
"Heh-heh-heh, kami dapat mempersiapkan pendukung yang sangat banyak. Kami berdiri di belakang kalian, dan akan diusahakan sedapatnya agar kalian yang menang. Selain itu kami juga akan mengirim pembantu untuk menyusup ke dalam perkumpulan pengemis. Kalau kita dapat menguasai para kai-pang, mereka dapat menjadi pendukung yang besar jumlahnya dan kuat. Nah, sekarang telah ada tiga macam tugas kita. Pertama, menyusup ke istana Putera Mahkota. Kedua, mencoba untuk menguasai kai-pang, dan yang ke tiga, berusaha meraih gelar bengcu supaya dapat menguasai dunia kangouw. Untuk yang ke empat, kami sendiri yang akan mengaturnya, yaitu menyambut kedatangan Yang Mulia Pangeran karena beliau sendiri yang akan memimpin kita supaya perjuangan ini berhasil baik."
"Yang Mulia Pangeran?" Ang-bin Moli berseru heran. "Siapakah beliau? Dan siapa pula paduka? Mengapa paduka selalu menyembunyikan wajah di balik kedok? Rasanya tidak enak bagi kami kalau tidak mengenal siapa pemimpin kami. Dan Yang Mulia Pangeran itu, diakah pemimpin kita yang utama?"
Si kedok hitam mengangguk-angguk. "Pertanyaan yang pantas dan memang perlu kalian ketahui agar tidak ragu-ragu lagi. Ketahuilah bahwa perjuangan kita ini dipimpin langsung oleh Pangeran Yaluta yang mulia, bijaksana dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Beliau yang menjadi pemimpin besar dan selama ini beliau mewakilkan kepada kami. Karena aku tidak ingin dikenal supaya aku dapat bergerak dengan leluasa, maka aku memakai kedok sutera hitam. Kini Yang Mulia Pangeran merasa sudah tiba saatnya beliau sendiri yang memimpin langsung, maka beliau akan datang. Kelak, apa bila beliau sudah datang, akan kami perkenalkan kepada kalian semua. Sekarang marilah kita membagi tugas masing-masing." Si kedok hitam lalu mengatur siasat, membagikan tugas kepada mereka semua dengan teliti sekali.
Melihat cara kerja si kedok hitam, sepasang iblis itu merasa kagum karena siasat itu rapi dan mirip siasat seorang panglima perang saja. Kepada Bu-tek Kiam-mo, si topeng hitam itu menyerahkan kiriman benda-benda berharga untuk dihadiahkan kepada Tung-hai-liong Ouwyang Cin, dengan harapan datuk itu mau membantu agar cita-cita Pangeran Yaluta dapat terkabul, yaitu menjatuhkan kaisar petani seperti yang disebut oleh si kedok hitam dan mendirikan kembali Kerajaan Goan yang sudah runtuh.
Harta dan kedudukan merupakan dua kesenangan yang daya pengaruhnya sangat kuat terhadap manusia. Demi mengejar kedudukan dan harta, manusia sering lupa diri dan tak segan melakukan perbuatan apa pun juga. Membunuh, merampok, menipu, berkhianat, apa saja akan dilakukan demi mendapatkan harta atau kedudukan yang diinginkannya.
Bila sudah begini, manusia kehilangan harga dirinya sebagai manusia, sebagai makhluk yang mendapatkan anugerah paling besar dari Sang Pencipta. Manusia sudah menjadi budak, menjadi hamba dari kesenangan, hamba dari nafsunya sendiri. Manusia menjadi lupa bahwa menghambakan diri, bertekuk lutut kepada nafsu merupakan sumber segala mala petaka dalam kehidupan, sumber sengketa, sumber derita sengsara.
Harta kekayaan yang tadinya dibayangkan sebagai sumber segala kesenangan, akhirnya hanya menjadi sumber kegelisahan, takut kehilangan, sumber sengketa dan perebutan, sedangkan kesenangan yang dihasilkan oleh adanya harta hanya menjadi kesenangan palsu yang membosankan.
Pengejaran terhadap harta dan kedudukan membutakan hati dan merusak pertimbangan, membuat kita tak sadar bahwa kita telah melakukan hal-hal yang amat tidak baik, jahat atau merugikan orang lain yang pada akhirnya akan menghasilkan buah yang pahit, yang harus kita makan sendiri. Kadang-kadang kita silau oleh tujuan, buta akan cara yang kita pergunakan untuk pengejaran mencapai tujuan itu. Bagaimana mungkin cara yang kotor bisa menghasilkan sesuatu yang bersih? Tujuan merupakan akibat, merupakan hasil dari pada caranya. Cara tidak terpisah dari hasilnya.
Kaisar Thai-cu, pendiri Kerajaan Beng (Terang) adalah seorang yang pandai. Biar pun dia terlahir sebagai anak petani, tapi berkat pengalaman dan kepemimpinannya, dia berhasil menyusun kekuatan, menarik dukungan hampir seluruh rakyat dan akhirnya berhasil pula menumbangkan kekuasaan Mongol yang sudah menjajah selama hampir seratus tahun. Dan dia pun maklum bahwa orang-orang Mongol tentu saja tidak rela melepas kekuasaan mereka dan pasti mereka akan selalu berusaha untuk merebut kembali tahta kerajaan.
Oleh karena itu maka dia pun mengangkat Pangeran Yung Lo, puteranya yang semenjak muda mempunyai kemampuan seperti dia, yaitu pandai mengatur pasukan, sebagai raja muda di Peking sehingga puteranya itu akan menjamin bahwa orang-orang Mongol tidak akan menyeberangi Tembok Besar. Juga dia mengerahkan kekuatan untuk melakukan penjagaan di perbatasan, mempertanankan kedaulatan Kerajaan Beng. Untuk tugas-tugas ini, dia memiliki banyak pembantu.
Para panglimanya adalah orang-orang yang cakap, dan di antaranya yang menjadi orang kepercayaannya adalah Jenderal Shu Ta dan Jenderal Yauw Ti. Kedua orang jenderal ini merupakan panglima-panglima perang yang pandai dan merekalah yang mengatur semua penjagaan, walau pun keduanya tetap tinggal di kota raja. Jasa keduanya sangat besar dalam meruntuhkan Kerajaan Goan (Mongol), maka kaisar memberi mereka kedudukan tinggi yang membuat mereka berdua dapat menetap di kota raja, hanya sekali-sekali saja melakukan peninjauan ke perbatasan.
Di kalangan sipil, Kaisar Thai-cu juga mempunyai banyak menteri yang pandai. Seorang kaisar memang harus dapat mempergunakan orang-orang pandai kalau dia menghendaki kemajuan dalam pemerintahan yang dikendalikannya. Kaisar Thai-cu yang kini telah berusia enam puluh tahun itu mempunyai banyak anak dari para selirnya, tetapi dari permaisuri dia hanya mempunyai seorang putera, yaitu Pangeran Chu Hui San yang diangkat menjadi putera mahkota. Hanya ada satu hal yang kadang kala merisaukan hati sang Kaisar, yaitu melihat betapa puteranya yang menjadi Pangeran Mahkota itu dianggapnya tidak memiliki kewibawaan dan kekuatan yang patut membuat dia menjadi calon kaisar, tidak seperti puteranya yang kini menjadi raja muda di Peking.
Pangeran Mahkota yang sudah berusia empat puluh tahun itu lemah dan hanya berfoya-foya saja, sama sekali tidak mempedulikan urusan pemerintah. Padahal Putera Mahkota itu sudah cukup dewasa, bukan kanak-kanak lagi. Dia sudah mempunyai beberapa orang anak, dari isterinya mempunyai seorang anak laki-laki yang telah berusia enam tahun dan bernama Pangeran Chu Song, sedangkan dari para selirnya, dia juga memiliki beberapa orang anak. Bahkan ada puterinya yang kini telah berusia delapan belas dan tujuh belas tahun.
Namun Pangeran Mahkota ini tetap saja berwatak kekanak-kanakan dan selalu mengejar kesenangan. Tidak mengherankan bila dia dikelilingi penjilat-penjilat yang memanfaatkan kelemahannya untuk mendapatkan keuntungan darinya. Pangeran Chu Hui San hidup bermewah-mewah, setiap hari hanya berpesta, main judi, bahkan dia terkenal sekali di antara rumah-rumah pelesir yang dikunjunginya secara diam-diam dan menyamar, tentu saja atas anjuran para penjilat yang menjadi teman-temannya, yaitu para pemuda bangsawan putera para pejabat tinggi di kota raja.
Pangeran Mahkota dan teman-temannya itu merupakan sebuah gerombolan bangsawan yang memiliki tukang-tukang pukul sendiri, dan kadang mereka melakukan hal-hal yang tak pantas seperti merampas barang berharga yang mereka senangi dari siapa saja, dan tak jarang mereka merampas seorang gadis cantik dan menculiknya dengan kekerasan.
Tidak ada seorang pun yang berani menentang mereka, karena pemimpin gerombolan itu adalah Pangeran Mahkota! Bahkan tak ada yang berani melaporkan kepada kaisar yang amat menyayangi putera mahkota ini, sehingga kaisar sendiri tidak tahu mengenai sepak terjang calon penggantinya itu.
Memang sesungguhnya tidak ada yang sempurna di seluruh alam mayapada ini kecuali Tuhan Yang Maha Sempurna. Tidak ada seorang pun yang hidupnya mulus tanpa cacat. Tidak ada hati yang selalu mengenal senang tanpa mengenal susah.
Kaisar Thai-cu memang dari luar nampak hidup penuh kesenangan, penuh kebahagiaan. Dia adalah pendiri sebuah kerajaan baru yang berhasil. Hidup penuh kemuliaan sebagai kaisar, orang yang paling tinggi kedudukannya di antara ratusan juta manusia lain. Ia tidur di puncak kekuasaan, berenang di lautan kemewahan. Berkuasa, mulia, terhormat, kaya raya, mempunyai banyak isteri dan banyak anak. Lengkap semua!
Itu hanya nampaknya saja bagi orang lain. Akan tetapi tidak ada yang tahu betapa kaisar yang satu ini sering kali termenung bertopang dagu memikirkan keadaan putera mahkota! Betapa hatinya sering kali gelisah, khawatir kalau-kalau kerajaan yang dibangunnya itu tak akan dapat bertahan, tak akan dapat berkembang menjadi besar dan jaya.
Betapa dia selalu dirongrong oleh berita tentang pemberontakan di perbatasan, tentang usaha orang Mongol yang hendak merebut kembali kekuasaan, negara-negara tetangga di selatan dan barat yang tidak mengakui kedaulatan Kerajaan Beng, dan para bajak laut yang mengacau di sepanjang pantai timur. Tentang pejabat yang korup, pengkhianat, dan masih banyak hal lagi yang cukup membuat kaisar merasa hidupnya tidak berbahagia!
Nafsu itu seperti api, selalu mencari bahan bakar, tidak pernah berhenti selama ada yang dilahapnya. Yang sudah dibakar lalu ditinggalkannya menjadi abu, tak dihiraukannya lagi karena selalu disibukkan mencari bahan bakar baru. Jika kita telah dikuasai nafsu, kita selalu mengejar sesuatu yang belum kita miliki.
Yang sudah kita miliki terlupa, tidak lagi nampak keindahannya dan tak lagi menyenangkan, bahkan ada kalanya membosankan. Yang nampak indah menarik dan dianggap menjadi sumber kesenangan hanyalah yang belum diperoleh, seperti api yang selalu tertarik kepada sesuatu yang belum dijamahnya.
Nafsu membuat segala sesuatu hanya kelihatan indah menyenangkan bagi yang belum memiliki! Akan tetapi yang telah memiliki, menjadi bosan dan apa yang dimiliki itu segera kehilangan daya tariknya. Hanya mereka yang tidak kaya saja yang menganggap bahwa kaya raya itu sangat membahagiakan, sebaliknya, yang sudah kaya raya kehilangan apa yang digambarkan oleh yang belum kaya itu.
Hanya yang tidak mempunyai kedudukan menganggap bahwa yang berpangkat tinggi itu senang dan bahagia, namun sering kali dia tersiksa justru oleh kedudukannya itu. Orang yang tinggal di kota rindu kepada gunung, sebaliknya yang tinggal di gunung rindu kepada kota!
Demikianlah bekerjanya nafsu, mendorong kita untuk tak merasa puas dengan keadaan yang ada, selalu haus akan hal-hal yang belum kita miliki. Ini memang wajar. Kalau nafsu menjadi alat, menjadi hamba kita, maka nafsu memang sangat berguna bagi kehidupan kita. Nafsu yang membuat kita maju dan bertumbuh, membuat kita ‘hidup’.
Celakalah kalau terjadi sebaliknya, kita yang diperhamba! Kita akan menjadi robot, dan kita kehilangan pertimbangan, mau saja dituntun melakukan perbuatan yang jahat atau tidak benar hanya untuk memuaskan nafsu dalam mendapatkan hal-hal yang diinginkan. Seperti api yang terus menjalar mencari bahan bakar baru, melupakan dan meninggalkan yang lama.
Namun kaisar Thai-cu adalah seorang yang gigih, tidak pernah menyerah kepada segala macam kesulitan. Dia selalu berusaha menanggulangi segala masalah. Dia seorang yang sadar akan lika-liku kehidupan.
Hidup memang merupakan perjuangan, di mana tantangan datang dari segala penjuru dan di setiap waktu. Bahaya dan tantangan berdatangan, dan justru itulah romantika kehidupan. Betapa akan hampa dan haramnya kehidupan ini tanpa adanya tantangan! Betapa akan membosankan siang hari tanpa adanya malam! Rasa manispun akan memuakkan tanpa adanya rasa pahit dan lain-iain. Hidup adalah perjuangan menghadapi semua tantangan.
Melarikan diri dari tantangan hidup berarti sudah tiga perempat mati. Kita harus siap sedia menghadapi kenyataan yang ada, berani menghadapi tantangan yang datang menimpa. Menghadapi tantangan, menanggulangi atau mengatasi tantangan, itu seni kehidupan!
Kita harus mempergunakan segala daya yang ada pada kita, setiap anggota jasmani, hati akal dan pikiran, untuk menanggulangi segala masalah kehidupan, persoalan lahiriah dan mengatasinya, memenangkannya. Mengenai batiniah atau kerohanian, kita serahkan saja kepada Tuhan! Percaya, menyerah dengan sabar, ikhlas, tawakal. Rohani adalah kuasa Tuhan, akan tetapi urusan jasmani adalah tugas kewajiban kita sendiri.
Kaisar Thai-cu tak pernah tunduk terhadap segala kesukaran yang berdatangan semenjak dia menjadi kaisar. Bukan saja dia memilih para pembantu yang pandai untuk dijadikan pejabat yang bijaksana, bahkan dia tidak melupakan para tokoh di dunia persilatan untuk memanfaatkan tenaga mereka. Dia paham benar bahwa kaum pendekar yang tidak mau memegang jabatan merupakan orang-orang yang dapat berjasa banyak demi kelancaran roda pemerintahannya.
Karena itu dia selalu menghubungi mereka untuk dimintai pendapat, nasehat dan bahkan bantuan. Ketika banyak pusaka istana lenyap dari gudang istana, belasan tahun yang lalu, dia juga minta bantuan para tokoh persilatan, bahkan kemudian Sam-sian (Tiga Dewa) yang berhasil mendapatkan kembali kumpulan pusaka yang dicuri oleh mendiang Se Jit Kong itu.
Kemudian dia mendengar akan adanya usaha orang-orang Mongol untuk menyebar mata-mata yang mungkin akan membahayakan, maka dia pun langsung mengirim utusan untuk mencari serta mengundang Sam-sian untuk datang menghadap. Akan tetapi yang datang menghadap hanya Ciu-sian seorang karena dua orang rekannya yang lain, Kiam-sian dan Pek-mau-sian, telah meninggal dunia.
Kaisar Thai-cu lalu minta bantuan Ciu-sian untuk menanggulangi dan menyelidiki gerakan jaringan mata-mata Mongol. Ciu-sian menyanggupi, akan tetapi dia merasa tua, maka dia mewakilkan pelaksanaan tugas penting yang sangat berat itu kepada muridnya, yaitu Sin Wan.
********************
Bayangan merah muda itu meluncur cepat menuruni lembah gunung sebelah timur. Baru sesudah dia berhenti di tepi padang rumput kehijauan, nampak jelas bahwa dia seorang gadis yang mengenakan pakaian serba merah muda. Seorang gadis yang cantik manis, dengan wajah yang cerah, sepasang mata yang berkilat tajam, mulut yang mungil terhias senyum mengejek dan mulut itu dihias lesung pipi yang manis sekali.
Dia mengagumi pemandangan alam yang indah di pagi itu, menghirup udara yang sejuk hangat hingga cuping hidungnya yang tipis nampak kembang kempis. Tubuhnya ramping padat dengan lekuk liku sempurna karena dia adalah seorang gadis muda usia.
Sebenarnya usianya telah dua puluh dua tahun, akan tetapi takkan ada orang menyangka begitu, tentu dia akan disangka berusia paling banyak delapan belas tahun. Begitu segar berseri, anggun bagaikan setangkai bunga yang baru merekah dihembus semilirnya angin gunung, bermandi embun dan sinar matahari pagi.
Pakaiannya ringkas, tetapi pakaian warna merah muda itu terbuat dari sutera yang mahal. Tubuhnya terbungkus ketat sehingga tonjolan dan lekukannya kelihatan jelas. Rambut di kepalanya digelung ke atas, kemudian diikat dengan pita berwarna hijau dan kuning, tusuk sanggulnya terbuat dari emas berbentuk burung merak yang indah. Kakinya yang kecil memakai sepatu dari kulit hitam mengkilap. Pada punggungnya terdapat buntalan pakaian dan sebatang pedang melintang di bawahnya dengan gagang di belakang pundak kanan.
Gadis itu adalah Tang Bwe Li atau yang biasa disebut Lili. Setelah menerima tugas dari suci-nya, ia meninggalkan Bukit Ular tempat tinggal suhu-nya, See-thian Coa-ong Cu Kiat, dan hatinya merasa riang gembira. Tidak saja dia merasa laksana seekor burung bebas lepas di angkasa, dapat melakukan apa saja sekehendak hatinya tanpa harus mentaati perintah siapa pun, menjadi majikan dirinya sendiri, tetapi juga dia merasa dirinya penting sekali.
Suci-nya yang lihai dan yang semula malah menjadi gurunya itu, yang sudah merawat dan mendidiknya sejak dia masih kecil, suci-nya yang amat dihormati dan disayangnya, begitu percaya padanya untuk mewakili membalas dendam kepada seorang pria yang dianggap sudah menghancurkan kehidupan suci-nya! Dia akan menunaikan tugas itu dengan baik. Dia harus dapat melaksanakan balas dendam itu, demi suci-nya dia rela mempertaruhkan nyawanya.
Tidak aneh bila Lili merasa bebas dan gembira. Gadis ini penuh kepercayaan kepada diri sendiri dan pada saat itu dia memang merupakan seorang gadis yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dahulu, ketika dia belum digembleng langsung oleh See-thian Coa-ong sendiri yang ketika itu adalah kakek gurunya, dia sudah merupakan seorang gadis yang sukar dicari bandingnya dalam ilmu silat.
Apalagi sekarang, setelah menerima gemblengan datuk itu, ilmu kepandaiannya sudah meningkat dengan cepatnya sehingga kini tingkatnya hampir sejajar dengan Bi-coa Sianli Cu Sui In, bekas gurunya yang kini menjadi suci-nya. Dengan ilmu kepandaian sehebat itu tentu saja Lili merasa kuat dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, apa lagi memang pada dasarnya dia seorang gadis yang pemberani bahkan tidak mengenal artinya takut.
Sudah belasan hari dia meninggalkan Bukit Ular dan selama itu dia telah melewati banyak gunung, padang rumput, gurun dan lembah yang sangat sukar dilalui. Juga dia banyak melewati perkampungan bermacam suku bangsa, namun tidak pernah ada gangguan...