PAGI hari ini dengan gembira dia menuruni bukit menuju ke sebuah dusun yang tadi sudah dilihatnya dari puncak bukit itu. Perutnya terasa lapar pagi itu, dan perjalanan semenjak matahari terbit tadi menambah rasa laparnya. Di dusun bawah sana tentu dia akan dapat membeli sesuatu untuk sarapan. Bekal makanan yang masih ada dalam buntalan di punggungnya hanya roti kering dan daging asin, untuk minum hanya ada air putih. Dia ingin sarapan makanan yang hangat seperti bubur, dan ingin minum air teh panas-panas.
Ketika dia menuruni lembah terakhir dan tiba di sebuah tikungan, dia mendengar suara banyak orang dan melihat bahwa di depan sana terdapat banyak orang sedang mengaso, duduk di bawah pohon-pohon dan batu-batu besar. Banyak di antara mereka berada di balik pohon dan rumpun semak belukar, karena itu dia tidak dapat melihat jelas berapa banyaknya orang yang berada di sana dan sedang apa mereka itu. Akan tetapi tiba-tiba dua orang laki-laki sudah meloncat dan berdiri di depannya.
Lili memperhatikan mereka. Dua orang ini bertubuh tinggi besar dan memakai topi bulu putih. Mereka terlihat kokoh kuat, dan keduanya memandang kepadanya seperti dua ekor srigala kelaparan melihat seekor kelinci gemuk. Mata mereka seperti hendak menelannya bulat-bulat, bahkan salah seorang di antara mereka, yang kumisnya panjang menjuntai ke bawah, terang-terangan menjulurkan lidah dan menjilati bibir sendiri seperti seekor anjing yang mengilar melihat sepotong tulang. Orang ke dua, yang mukanya bopeng karena penyakit cacar, menyeringai dan nampak giginya yang besar-besar dan hitam. Agaknya orang ini pecandu rokok yang berat atau pengunyah tembakau.
Lili adalah seorang gadis cantik yang usianya dua puluh dua tahun. Dia sudah sering kali melakukan perjalanan dan mengalami banyak gangguan dari para lelaki mata keranjang. Sekilas pandang saja dara ini sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan dua orang pria yang kurang ajar.
“Hemmm, kalian pringas-pringis seperti monyet, mau apa?" Lili bertanya, dan senyumnya tambah mengejek.
"Heh-heh, aku mau mencium kamu!" kata si kumis bergantung.
"Ha-ha-ha, dan aku mau memeluk kamu!" kata si muka bopeng.
Mulut itu masih tersenyum, mata itu masih bersinar-sinar, akan tetapi cuping hidung tipis itu kembang kempis. Dua orang itu menyangka bahwa gadis manis di hadapan mereka menyambut dengan gembira, tidak tahu bahwa kalau cuping hidungnya sudah kembang kempis, itu tandanya Lili mulai marah.
"Benarkah kalian hendak memeluk dan mencium?" tanya Lili suaranya masih ramah.
"Heh-heh, mari beri aku sebuah ciuman manis, sayang!" kata si kumis.
"Mari rebah dalam pelukanku yang hangat, manis!" kata si bopeng.
Tiba-tiba tubuh Lili bergerak dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti pandangan mata, hanya terdengar dia berkata, "Nah, ciumlah sepatuku ini dan peluklah tanah!" Ucapannya itu disusul gerakan kaki menendang mulut si kumis dan tangan kiri menampar tengkuk si bopeng.
"Dukk! Plakk...!"
Dua orang itu terpelanting. Si kumis terjengkang oleh sambaran kaki, dan mulutnya benar-benar mendapat ciuman sepatu yang keras sehingga bibirnya pecah-pecah berdarah, juga beberapa buah giginya rontok! Sedangkan si bopeng terpelanting dan jatuh menelungkup, memeluk dan mencium tanah dalam keadaan puyeng karena tiba-tiba saja bumi rasanya berputar, dadanya sesak dan sukar bernapas.
"Heiiii...! Gadis liar, apa yang kau lakukan itu?!" terdengar bentakan orang, lantas nampak lima orang sudah berlari ke tempat itu. Mereka juga mengenakan topi bulu yang berwarna putih dan melihat dua orang rekan mereka roboh dan mengaduh-aduh, apa lagi melihat si kumis megap-megap dengan mulut remuk berdarah, mereka marah sekali.
"Kalian ingin seperti mereka?" Lili bertanya dengan sikap mengejek dan suaranya masih ramah dan lembut. Dia memang memiliki suara yang basah seperti orang berbisik mesra.
Tentu saja kelima orang itu menjadi marah sekali. "Gadis liar dan sombong, engkau patut dihajar!" teriak seorang di antara mereka dan mereka pun langsung menerjang ke depan dengan maksud untuk menangkap gadis yang telah merobohkan dan melukai dua orang rekan mereka itu.
Akan tetapi mereka disambut kilat yang menyambar-nyambar! Seperti kilat saja tubuh Lili bergerak, kedua tangan dan kakinya berkelebatan dan lima orang itu pun terpelanting satu demi satu, merintih kesakitan, ada yang mulutnya penyok, ada yang tulang pundaknya patah, ada yang perutnya mulas dicium sepatu, ada yang berjingkrak karena tulang kering kakinya retak. Dalam segebrakan saja Lili telah membuat lima orang lelaki yang bertubuh kuat itu tidak berdaya melanjutkan serangan mereka!
Setelah lima orang itu roboh, Lili mendapatkan dirinya dikepung oleh sedikitnya dua belas orang laki-laki dan mereka semua memegang senjata, ada pedang, golok atau ruyung! Lili bersikap tenang, mulutnya masih tersenyum mengejek dan matanya mengerling ke kanan kiri.
"Hemm, mereka tadi hanya layak dihajar, akan tetapi kalian ini memegang senjata tajam, apakah kalian sudah bosan hidup?" suaranya terdengar merdu dan ramah, sama sekali tidak membayangkan kemarahan. Lili memang tidak marah karena ia memandang rendah semua pengepungnya itu.
Yang marah dan penasaran adalah belasan orang yang mengepungnya. Gadis itu sudah merobohkan tujuh orang rekan mereka dan kini dalam keadaan terkepung bahkan masih dapat mengeluarkan kata-kata yang memandang rendah sekali terhadap mereka. Betapa pun cantik menariknya gadis itu, perasaan marah membuat mereka merasa gatal tangan untuk membunuhnya. Maka mereka mulai membuat gerakan mengelilingi dara itu dengan senjata di tangan.
Lili masih tersenyum. Ia berdiri tegak dan tenang seperti sikap seekor ular yang melingkar di tengah-tengah, dikepung dan dikelilingi oleh belasan ekor tikus yang mencoba hendak mengganggunya. "Hemm, tikus-tikus ini memang sudah bosan hidup," kata Lili seperti kepada diri sendiri.
"Tahan!" tiba-tiba terdengar seruan.
Belasan orang itu dapat mengenali suara komandan mereka, maka mereka semua cepat menahan senjata dan mundur, membiarkan dua orang laki-laki berusia lima puluhan tahun maju menghadapi Lili. Dua laki-laki itu juga memakai topi bulu putih, akan tetapi melihat pakaian mereka yang lebih mewah dan sikap mereka yang berwibawa, nampak jelas perbedaannya dan mereka tentu merupakan pimpinan, pikir Lili. Juga mereka tidak bersikap sombong seperti para anak buah mereka tadi.
Keduanya bertubuh tinggi besar, yang seorang berwajah bersih tanpa jenggot dan kumis, akan tetapi orang kedua bercambang bauk dengan kumis dan jenggot lebat. Di pinggang mereka tergantung pedang, dan sikap mereka sama menunjukkan bahwa mereka berdua adalah orang-orang yang ‘berisi’, bukan kaleng-kaleng kosong macam yang mengeroyok Lili tadi.
"Nona, siapakah nona dan mengapa nona menganiaya tujuh orang anak buah kami?" tanya yang bermuka bersih.
Lili tersenyum mengejek. "Siapa aku tak perlu kalian ketahui, dan kenapa aku menghajar anak buah kalian? Karena merekalah yang minta dihajar, bukan aku yang sengaja ingin menghajar."
"Tidak mungkin!" bentak yang berewok karena jawaban gadis itu dianggapnya tak masuk di akal. “Mana ada orang minta dihajar?"
"Hemm, kalau tidak percaya, tanya saja kepada mereka," kata pula Lili sambil menunjuk ke arah tujuh orang yang masih nampak kesakitan itu.
Mendengar ucapan Lili itu, tentu saja dua orang pemimpin itu menoleh ke arah tubuh anak buah mereka yang tadi kena dihajar. Sambil meringis kesakitan mereka menggelengkan kepala dan salah seorang di antara mereka, yang tulang keringnya retak, menudingkan telunjuknya ke arah Lili dan berseru,
"Toako (kakak tertua), Ji-ko (kakak ke dua), gadis itu sombong dan jahat sekali. Tolong balaskan penghinaan atas diri kami!"
Si berewok kini menghampiri Lili dan membentak, "Nona, engkau masih muda akan tetapi sudah bersikap sombong dan kejam. Sungguh engkau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri!"
Lili tersenyum sambil matanya mengerling tajam. "Orang hutan, kalau begitu engkau mau apa?" tantangnya.
"Bocah sombong, engkau memang patut dihajar!" bentak si berewok sambil menyerang dengan tangannya yang besar, panjang dan kuat. Temannya, si muka bersih juga sudah siap untuk menyerang.
Pukulan tangan yang besar dan kuat itu cukup berbahaya, mendatangkan angin pukulan yang amat kuat. Lili maklum akan hal ini, namun dia tetap memandang rendah. Orang itu hanya memiliki tenaga otot yang kuat, tidak terlalu berbahaya baginya. Dengan gerakan ringan sekali, dia pun menggeser tubuh ke kiri, pinggangnya meliuk seperti tubuh ular saja dan pukulan si berewok yang amat kuat itu pun luput.
Dari sebelah kirinya datang angin pukulan yang menyambar dahsyat. Ah, kiranya si muka bersih itu malah lebih kuat dari pada si berewok, pikir Lili dan kembali tubuhnya membuat gerakan meliuk dan pukulan itu pun luput.
Dua orang itu terkejut sekali. Mereka melihat gerakan tubuh gadis itu sangat aneh, tidak seperti orang bersilat melainkan lebih mirip gerakan seekor ular kalau mengelak, tubuhnya begitu lentur dan dengan mudah saja menghindarkan semua pukulan mereka. Tentu saja keduanya merasa penasaran bukan main dan menyerang lebih gencar.
Kini Lili memperlihatkan kepandaiannya. Memang dia sudah mewarisi ilmu silat dari See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat) yang mempunyai ilmu silat aneh, ilmu silat yang mengandung gerakan ular. Tubuh Lili meliuk-liuk dengan cepatnya ketika menghindarkan semua serangan dan begitu dia membalas, kedua orang lawan itu pun terkejut dan cepat menghindar dengan loncatan seperti orang dipagut ular.
Kedua tangan gadis itu membentuk kepala ular dengan jari-jari disatukan. Ketika tangan itu meluncur dan menyerang, maka terdengar suara mendesis, seolah-olah kedua tangan itu benar-benar telah berubah menjadi dua ekor ular berbisa yang ganas!
Akan tetapi kedua orang itu tidak boleh disamakan dengan tujuh orang yang tadi sudah dikalahkan Lili. Kalau hanya seperti mereka, meski dia dikeroyok puluhan orang, dia tidak perlu bekerja keras untuk merobohkan mereka. Dua orang pengeroyoknya ini lain. Mereka ternyata adalah dua orang yang tangguh, memiliki gerakan silat yang baik, bertenaga dan mantap.
Jika Lili memang mau menurunkan tangan maut, kiranya tak akan terlalu lama dia dapat merobohkan mereka. Akan tetapi dia tidak ingin membunuh orang tanpa sebab yang kuat. Dia selalu tidak setuju dengan watak gurunya atau suci-nya yang mudah saja membunuh orang. Di dasar hatinya, Lili bukan seorang yang jahat atau kejam. Dia hanya galak dan ganas karena sejak kecil dia hidup di dekat orang-orang yang biasa mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendaknya.
Sampai belasan jurus kedua orang setengah tua itu belum juga mampu merobohkan Lili. Jangankan merobohkan, bahkan semua serangan mereka, baik dengan tangan atau pun kaki, tidak pernah mampu menyentuh tubuh gadis itu.
Sebaliknya Lili yang memang suka bertanding mengadu ilmu itu sengaja mempermainkan mereka. Ia menanti saat baik dan memancing-mancing dengan membiarkan diri di tengah, diapit oleh kedua orang lawan dari kanan kiri. Ketika saat yang dinanti-nantinya tiba, yaitu ketika dua orang itu dengan hampir berbareng memukulnya dengan tangan mereka yang besar dan lengan yang panjang dari kanan agak ke depan.
Dia tidak bergerak mengelak, melainkan menyambut pukulan mereka itu dengan kedua tangannya. Akan tetapi dia tidak sekedar menangkis. Begitu pergelangan kedua tangannya bertemu dengan pergelangan tangan lawan yang memukulnya, dia meliuk maju, kedua tangannya itu bagaikan seekor ular membelit lengan lawan!
Dua orang lawan itu amat terkejut, berusaha untuk menarik kembali tangan mereka. Akan tetapi, seperti melekat dengan kedua lengan gadis itu yang bukan saja membelit, bahkan tangan dan lengan gadis itu merayap maju cepat sekali bagaikan dua ekor ular dan tahu-tahu kedua tangan yang membentuk kepala ular itu sudah mematuk dada mereka tanpa dapat mereka hindarkan lagi.
"Tukk! Tukk!"
Dua orang itu mengeluh dan roboh terjengkang. Untung bagi mereka bahwa Lili memang tidak berniat membunuh orang, maka dia membatasi tenaganya ketika kedua tangannya yang membentuk kepala ular itu mematuk. Dua orang itu tidak tewas, hanya merasa betapa mereka kehilangan tenaga dan dadanya terasa nyeri hingga napas mereka menjadi sesak. Akan tetapi karena mereka pun bukan orang lemah, sebentar saja mereka dapat memulihkan keadaan tubuh mereka. Keduanya berloncatan berdiri dan nampak sinar berkilauan ketika mereka berdua mencabut pedang.
Berkembang kempis cuping hidung Lili, tanda dia telah marah. Jika lawan menyerangnya dengan tangan kosong, dia menganggap mereka itu hanya menguji ilmu, maka dia tidak mau membunuh orang. Akan tetapi kalau lawan sudah mencabut senjata, berarti bahwa lawan menginginkan kematiannya, maka dia menganggap sudah sepantasnya kalau dia pun berusaha membunuhnya!
Dalam keadaan yang sangat menegangkan ini, kedua orang itu dengan pedang di tangan berhadapan dengan Lili yang masih berdiri tenang dengan mulut tersenyum. Akan tetapi tangan kanannya sudah siap untuk mencabut pedang di punggungnya, dan sekali pedang itu tercabut, akan celakalah kedua orang lawan itu. Pedang Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) jarang dicabut dari sarungnya, akan tetapi biasanya, sekali dicabut tentu akan jatuh korban!
"Tahan senjata!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan mendengar bentakan ini, dua orang yang memegang pedang itu cepat menengok kemudian menjatuhkan diri setengah berlutut, menyimpan pedang dan memberi hormat kepada pria yang muncul di situ.
"Kongcu...!" kata mereka dengan sikap merendah sekali.
Melihat ini Lili merasa heran dan dia pun memandang kepada orang yang baru muncul itu penuh perhatian. Ia seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kokoh namun pembawaannya lembut dan sopan seperti pembawaan seorang bangsawan terpelajar.
Pakaiannya rapi, pakaian seorang sastrawan dan dia pun memakai sebuah topi bulu yang amat indah. Wajahnya tampan dan cerah sehingga dia nampak jauh lebih muda dari pada usianya, wajah yang halus, tidak berkumis atau berjenggot karena agaknya selalu dicukur bersih. Matanya tajam berwibawa dan mata itu jelas menunjukkan kecerdikan.
Diam-diam Lili merasa heran bagaimana dua orang yang tangguh itu bersikap demikian merendah terhadap seorang kongcu yang nampak lemah. Mereka yang tadi mengepung dirinya, sekarang juga bersikap hormat dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mencabut senjata lagi.
Lelaki itu menyapu mereka dengan pandangan matanya, lalu terdengar dia bicara dengan suara lantang namun nadanya lembut. "Apa yang telah terjadi di sini dan mengapa kalian mengepung siocia (nona) ini?"
Karena pertanyaan itu ditujukan kepada dua orang yang tadi mengeroyok Lili, maka dua orang itu saling pandang. Si muka bersih memberi hormat lalu menjawab. "Maaf, kongcu. Kami berdua menyerangnya karena nona ini menghajar dan merobohkan lima orang anak buah kami."
Laki-laki itu mengangguk, lalu menengok ke arah mereka yang masih meringis kesakitan. Kemudian dia menghadapi Lili dan mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai tanda penghormatan. "Nona, kalau boleh aku bertanya, mengapa nona menghajar lima orang anak buah kami? Kesalahan apakah yang mereka lakukan terhadap diri nona?"
Melihat sikap yang sopan dari pria itu, Lili juga bersikap baik. Maka sambil tersenyum dia menjawab, "Ah, kiranya mereka itu anak-anak buahmu? Jadi engkau ini majikan mereka? Tanya saja kepada mereka mengapa mereka menyerangku. Karena mereka mengeroyok dan menyerangku maka kurobohkan mereka."
Laki-laki itu mengerutkan sepasang alisnya, kemudian menoleh kepada lima orang yang masih kesakitan itu. "Hei kalian berlima. Benarkah kalian mengeroyok nona ini, dan kalau benar kenapa?" Dalam suaranya yang lembut itu terkandung teguran keras.
Sambil menahan rasa nyeri kelima orang itu menjatuhkan diri berlutut menghadap pria itu dan seorang di antara mereka mewakili teman-teman menjawab, "Maafkan kami, kongcu. Karena melihat nona itu memukul roboh dan melukai dua orang rekan, maka kami berlima turun tangan mengeroyoknya."
Kini lelaki itu kembali menghadapi Lili, sepasang matanya mengamati penuh selidik dan terbayang kekaguman di dalam pandang matanya. Gadis yang begini muda, cantik manis dan nampak lembut, sudah memiliki kepandaian yang demikian tinggi sehingga dua orang pembantunya yang dia tahu cukup lihai, tadi nampaknya tidak berdaya melawan nona ini.
"Nona, agaknya terpaksa aku harus kembali kepada nona, dan bertanya mengapa nona melukai dua orang anak buah kami."
Senyum dibibir Lili melebar. Ia merasa tertarik. Pria ini demikian lembut dan tenang, tetapi dalam menyelidiki urusan dan mengajukan pertanyaan bersikap cukup adil dan tidak berat sebelah, tidak memihak seperti seorang hakim yang jujur.
"Engkau ingin tahu kenapa tadi aku menghajar mereka? Yang seorang ingin menciumku, dan orang ke dua ingin memelukku, maka aku lalu membiarkan yang seorang mencium sepatuku, dan orang ke dua memeluk tanah!"
Wajah pria itu berubah kemerahan dan dengan suara yang meninggi dia lalu menoleh dan berseru. "Siapakah dua orang yang dimaksudkan nona ini? Maju ke sini!"
Dua orang yang tadi mencari gara-gara dengan Lili merangkak maju, berlutut menghadap pria itu. Karena si kumis mulutnya remuk dan dia tidak dapat bicara, maka si bopeng yang mewakili. "Kongcu, ampunkan kami...”
"Jawab, benarkah kalian berdua hendak memeluk dan mencium nona ini? Ceritakan apa yang terjadi?"
"Ampun, kongcu. Kami berdua melihat nona ini lewat... melihat dia begitu cantik, kami... kami hanya ingin main-main...”
"Cukup! Kalian tahu bahwa satu di antara larangan keras kita adalah mengganggu kaum wanita?"
"Kami... kami tahu, kongcu."
"Dan kalian tahu apa hukumannya kalau melanggar larangan itu?"
Dua orang itu menjadi ketakutan. Mereka membenturkan dahi di tanah dan merintih minta ampun, akan tetapi karena amat ketakutan, si bopeng masih dapat berkata dengan suara menggigil, "Kami... kami siap menerima hukuman...”
"Bagus! Setidaknya kalian mati sebagai laki-laki yang bertanggung jawab!" kata pria itu dan tiba-tiba saja tubuhnya bergerak, lantas nampak sinar berkelebat dan dua tubuh yang berlutut itu terpelanting dengan kepala terpisah dari badan.
Lili memandang kagum. Gerakan laki-laki itu sungguh cepat bukan main. Bagi mata biasa, gerakan itu tidak dapat diikuti, akan tetapi Lili tadi dapat melihat betapa cepatnya lelaki itu bergerak mencabut pedang yang berada di pinggangnya dan tertutup jubah panjang, lalu mengelebatkan pedangnya memancung kepala dua orang itu dan menyarungkan kembali pedangnya yang tidak ternoda darah! Demikian cepatnya gerakan itu, menunjukkan ilmu pedang dahsyat seorang ahli!
"Kuburkan mayat mereka," kata pria itu kepada para anak buahnya. Mayat dua orang itu lalu digotong pergi dan pria itu memberi hormat kepada Lili.
"Kami harap nona memaafkan kami dan puas dengan pelaksanaan hukuman bagi anak buah kami yang telah menghina nona."
Lili masih tertegun karena kagum. Orang ini terang bukan orang sembarangan, pikirnya. Kelihatan lemah lembut dan seperti seorang bangsawan terpelajar, tetapi mempunyai ilmu pedang yang dahsyat! Selain itu, juga sangat berwibawa dan sikapnya mengingatkan dia akan gurunya, See-thian Coa-ong yang juga dapat bertindak tegas berwibawa terhadap anak buahnya. Apa lagi dia menghukum mati dua orang anak buahnya yang mengganggu wanita, hal ini saja sudah mendatangkan rasa kagum dan suka di hati Lili.
"Kiamsut (ilmu pedang) yang hebat!" katanya memuji.
"Aihh, aku bukan apa-apa kalau dibandingkan nona," pria itu merendah. "Kalau nona tidak menganggap aku terlalu rendah untuk menjadi kenalanmu, perkenalkanlah. Namaku Lu Ta dan semua orangku menyebut aku Ya-kongcu. Bolehkah aku mengetahui nama nona?"
Karena sikap orang ini sangat baik dan cukup berharga untuk dijadikan teman, setidaknya kenalan, Lili menjawab sederhana. "Namaku Tang Bwe Li dan orang biasa memanggilku Lili."
Ya Lu Ta atau Ya-kongcu kembali memberi hormat, kemudian dia menoleh ke belakang, kepada anak buahnya dan berteriak, "Heiii, kalian lihat baik-baik. Ini adalah Tang Siocia, mulai sekarang menjadi sahabatku. Kalian harus bersikap hormat kepadanya!" Kemudian ia berkata kepada Lili kembali, "Tang Siocia, kami persilakan engkau untuk menjadi tamu kehormatan kami dan sudi makan minum bersama kami."
Memang perut Lili sedang lapar. Menghadapi sikap yang demikian hormat dan baik, dan penawaran itu pun dilakukan dengan sikap hormat dan jujur, dia pun tertawa lepas. "Heh-heh, memang aku sedang lapar dan sedang bingung bertanya-tanya dalam hati ke mana harus mencari sarapan. Terima kasih, aku akan suka sekali makan minum denganmu, Ya-kongcu."
Laki-laki itu nampak gembira sekali. Lili memang seorang gadis yang berwatak polos dan bebas, tidak terikat oleh sikap malu-malu seperti para wanita lainnya. Namun Ya-kongcu maklum sepenuhnya bahwa walau pun gadis itu bersikap bebas, jangan dikira bahwa dia ini boleh dipermainkan begitu saja! Buktinya, anak buahnya sempat dihajar habis-habisan oleh gadis ini. Dia lalu mengajak Lili ke tempat peristirahatannya yang tak jauh dari situ, di bawah pohon-pohon rindang dan ternyata di sana terdapat banyak kuda pilihan dan anak buah kongcu itu tidak kurang dari tiga puluh orang!
Di bawah pohon itu segera diatur makanan dan minuman yang cukup lezat. Lili semakin kagum. Tampaknya kongcu ini bersama rombongannya membawa peralatan masak pula karena masakan itu masih mengepul panas dan tak jauh dari situ nampak dapur darurat. Ya-kongcu dengan gembira mempersilakan Lili untuk duduk menghadapi meja sederhana yang dibuat secara darurat pula, duduk di atas bangku.
Lili pun makan minum dengan lahapnya, senang karena tuan rumah tidak banyak cakap, hanya bicara kalau mempersilakan ia mengambil hidangan dan menambah minuman yang terdiri dari dua macam. Ada anggur dan ada pula teh harum. Setelah selesai makan minum dan meja sudah dibersihkan, Ya-kongcu lalu berkata,
"Tadi kulihat gerakanmu yang mirip gerakan seekor ular. Mungkin masih ada hubungan antara nona dengan See-thian Coa-ong, yaitu locianpwe (orang tua gagah) Cu Kiat?"
Kembali Lili dibuat kagum. Semakin jelaslah bahwa orang ini memang lihai dan bermata tajam, tentu luas pengetahuannya tentang ilmu silat sehingga melihat gerakannya sedikit saja sudah dapat mengenal ilmu silatnya.
"Dia adalah guruku" katanya.
Sekarang Ya-kongcu yang terkejut dan memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi wajahnya berseri. "Pantas kalau begitu! Biar seluruh anak buahku maju mengeroyok kau, tentu mereka semua akan bisa kau robohkan! Kiranya nona adalah murid See-thian Coa-ong, datuk wilayah barat yang terkenal itu." Dia cepat bangkit berdiri. "Maafkan kalau aku tadi bersikap kurang hormat, Tang Siocia (nona Tang)."
Lili cepat membalas penghormatan itu. "Aih, jangan terlalu merendah, Ya-kongcu. Engkau sendiri memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat."
"Aku mendengar bahwa See-thian Coa-ong adalah salah seorang di antara calon bengcu dalam pemilihan yang akan diadakan oleh para tokoh dan datuk persilatan di puncak Thai-san. Benarkah itu, Siocia?"
Kembali Lili kagum. Memang orang ini mempunyai pengetahuan yang amat luas. Dia pun mengangguk membenarkan.
"Kalau begitu perjalanan nona ini tentu ada hubungannya dengan pemilihan bengcu yang akan diadakan satu bulan sesudah sin-cia tahun depan, bukan?"
"Tidak, Ya-kongcu. Urusan pemilihan bengcu itu adalah urusan suhu dan suci, sedangkan aku mempunyai tugas lain."
"Ahh, begitukah? Kalau engkau hendak mengurus pemilihan bengcu, katakan saja terus terang, nona. Karena sebenarnya sejak semula kami sudah siap untuk memilih locianpwe See-thian Coa-ong sebagai bengcu."
"Ehh, kenapa begitu?" Lili tertarik. "Apakah engkau sudah mengenal suhu?"
Laki-laki itu menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Mengenal secara pribadi memang belum, akan tetapi aku telah lama mendengar nama besar gurumu itu dan merasa yakin bahwa hanya dia yang pantas untuk menjadi bengcu. Kami siap untuk membantunya agar dia yang kelak terpilih. Kami mempunyai banyak anak buah yang tersebar di seluruh kota besar, juga di kota raja, maka kalau kami membantu, pasti gurumu akan mendapat suara dukungan terbanyak."
“Aku tidak tahu apakah suhu memerlukan bantuan itu, akan tetapi mungkin saja engkau dapat membantuku dengan keterangan, kongcu. Aku sedang mencari seseorang...," kata Lili.
Sekarang timbul harapannya untuk dapat segera menemukan orang yang dicarinya ketika mendengar bahwa Ya-kongcu memiliki banyak anak buah di kota besar dan di kota raja. Apa lagi sikap dan pernyataan Ya-kongcu yang hendak membantu dan mendukung suhu-nya itu menimbulkan rasa suka dan percaya, maka dia tidak ragu untuk minta bantuan...
Ketika dia menuruni lembah terakhir dan tiba di sebuah tikungan, dia mendengar suara banyak orang dan melihat bahwa di depan sana terdapat banyak orang sedang mengaso, duduk di bawah pohon-pohon dan batu-batu besar. Banyak di antara mereka berada di balik pohon dan rumpun semak belukar, karena itu dia tidak dapat melihat jelas berapa banyaknya orang yang berada di sana dan sedang apa mereka itu. Akan tetapi tiba-tiba dua orang laki-laki sudah meloncat dan berdiri di depannya.
Lili memperhatikan mereka. Dua orang ini bertubuh tinggi besar dan memakai topi bulu putih. Mereka terlihat kokoh kuat, dan keduanya memandang kepadanya seperti dua ekor srigala kelaparan melihat seekor kelinci gemuk. Mata mereka seperti hendak menelannya bulat-bulat, bahkan salah seorang di antara mereka, yang kumisnya panjang menjuntai ke bawah, terang-terangan menjulurkan lidah dan menjilati bibir sendiri seperti seekor anjing yang mengilar melihat sepotong tulang. Orang ke dua, yang mukanya bopeng karena penyakit cacar, menyeringai dan nampak giginya yang besar-besar dan hitam. Agaknya orang ini pecandu rokok yang berat atau pengunyah tembakau.
Lili adalah seorang gadis cantik yang usianya dua puluh dua tahun. Dia sudah sering kali melakukan perjalanan dan mengalami banyak gangguan dari para lelaki mata keranjang. Sekilas pandang saja dara ini sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan dua orang pria yang kurang ajar.
“Hemmm, kalian pringas-pringis seperti monyet, mau apa?" Lili bertanya, dan senyumnya tambah mengejek.
"Heh-heh, aku mau mencium kamu!" kata si kumis bergantung.
"Ha-ha-ha, dan aku mau memeluk kamu!" kata si muka bopeng.
Mulut itu masih tersenyum, mata itu masih bersinar-sinar, akan tetapi cuping hidung tipis itu kembang kempis. Dua orang itu menyangka bahwa gadis manis di hadapan mereka menyambut dengan gembira, tidak tahu bahwa kalau cuping hidungnya sudah kembang kempis, itu tandanya Lili mulai marah.
"Benarkah kalian hendak memeluk dan mencium?" tanya Lili suaranya masih ramah.
"Heh-heh, mari beri aku sebuah ciuman manis, sayang!" kata si kumis.
"Mari rebah dalam pelukanku yang hangat, manis!" kata si bopeng.
Tiba-tiba tubuh Lili bergerak dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti pandangan mata, hanya terdengar dia berkata, "Nah, ciumlah sepatuku ini dan peluklah tanah!" Ucapannya itu disusul gerakan kaki menendang mulut si kumis dan tangan kiri menampar tengkuk si bopeng.
"Dukk! Plakk...!"
Dua orang itu terpelanting. Si kumis terjengkang oleh sambaran kaki, dan mulutnya benar-benar mendapat ciuman sepatu yang keras sehingga bibirnya pecah-pecah berdarah, juga beberapa buah giginya rontok! Sedangkan si bopeng terpelanting dan jatuh menelungkup, memeluk dan mencium tanah dalam keadaan puyeng karena tiba-tiba saja bumi rasanya berputar, dadanya sesak dan sukar bernapas.
"Heiiii...! Gadis liar, apa yang kau lakukan itu?!" terdengar bentakan orang, lantas nampak lima orang sudah berlari ke tempat itu. Mereka juga mengenakan topi bulu yang berwarna putih dan melihat dua orang rekan mereka roboh dan mengaduh-aduh, apa lagi melihat si kumis megap-megap dengan mulut remuk berdarah, mereka marah sekali.
"Kalian ingin seperti mereka?" Lili bertanya dengan sikap mengejek dan suaranya masih ramah dan lembut. Dia memang memiliki suara yang basah seperti orang berbisik mesra.
Tentu saja kelima orang itu menjadi marah sekali. "Gadis liar dan sombong, engkau patut dihajar!" teriak seorang di antara mereka dan mereka pun langsung menerjang ke depan dengan maksud untuk menangkap gadis yang telah merobohkan dan melukai dua orang rekan mereka itu.
Akan tetapi mereka disambut kilat yang menyambar-nyambar! Seperti kilat saja tubuh Lili bergerak, kedua tangan dan kakinya berkelebatan dan lima orang itu pun terpelanting satu demi satu, merintih kesakitan, ada yang mulutnya penyok, ada yang tulang pundaknya patah, ada yang perutnya mulas dicium sepatu, ada yang berjingkrak karena tulang kering kakinya retak. Dalam segebrakan saja Lili telah membuat lima orang lelaki yang bertubuh kuat itu tidak berdaya melanjutkan serangan mereka!
Setelah lima orang itu roboh, Lili mendapatkan dirinya dikepung oleh sedikitnya dua belas orang laki-laki dan mereka semua memegang senjata, ada pedang, golok atau ruyung! Lili bersikap tenang, mulutnya masih tersenyum mengejek dan matanya mengerling ke kanan kiri.
"Hemm, mereka tadi hanya layak dihajar, akan tetapi kalian ini memegang senjata tajam, apakah kalian sudah bosan hidup?" suaranya terdengar merdu dan ramah, sama sekali tidak membayangkan kemarahan. Lili memang tidak marah karena ia memandang rendah semua pengepungnya itu.
Yang marah dan penasaran adalah belasan orang yang mengepungnya. Gadis itu sudah merobohkan tujuh orang rekan mereka dan kini dalam keadaan terkepung bahkan masih dapat mengeluarkan kata-kata yang memandang rendah sekali terhadap mereka. Betapa pun cantik menariknya gadis itu, perasaan marah membuat mereka merasa gatal tangan untuk membunuhnya. Maka mereka mulai membuat gerakan mengelilingi dara itu dengan senjata di tangan.
Lili masih tersenyum. Ia berdiri tegak dan tenang seperti sikap seekor ular yang melingkar di tengah-tengah, dikepung dan dikelilingi oleh belasan ekor tikus yang mencoba hendak mengganggunya. "Hemm, tikus-tikus ini memang sudah bosan hidup," kata Lili seperti kepada diri sendiri.
"Tahan!" tiba-tiba terdengar seruan.
Belasan orang itu dapat mengenali suara komandan mereka, maka mereka semua cepat menahan senjata dan mundur, membiarkan dua orang laki-laki berusia lima puluhan tahun maju menghadapi Lili. Dua laki-laki itu juga memakai topi bulu putih, akan tetapi melihat pakaian mereka yang lebih mewah dan sikap mereka yang berwibawa, nampak jelas perbedaannya dan mereka tentu merupakan pimpinan, pikir Lili. Juga mereka tidak bersikap sombong seperti para anak buah mereka tadi.
Keduanya bertubuh tinggi besar, yang seorang berwajah bersih tanpa jenggot dan kumis, akan tetapi orang kedua bercambang bauk dengan kumis dan jenggot lebat. Di pinggang mereka tergantung pedang, dan sikap mereka sama menunjukkan bahwa mereka berdua adalah orang-orang yang ‘berisi’, bukan kaleng-kaleng kosong macam yang mengeroyok Lili tadi.
"Nona, siapakah nona dan mengapa nona menganiaya tujuh orang anak buah kami?" tanya yang bermuka bersih.
Lili tersenyum mengejek. "Siapa aku tak perlu kalian ketahui, dan kenapa aku menghajar anak buah kalian? Karena merekalah yang minta dihajar, bukan aku yang sengaja ingin menghajar."
"Tidak mungkin!" bentak yang berewok karena jawaban gadis itu dianggapnya tak masuk di akal. “Mana ada orang minta dihajar?"
"Hemm, kalau tidak percaya, tanya saja kepada mereka," kata pula Lili sambil menunjuk ke arah tujuh orang yang masih nampak kesakitan itu.
Mendengar ucapan Lili itu, tentu saja dua orang pemimpin itu menoleh ke arah tubuh anak buah mereka yang tadi kena dihajar. Sambil meringis kesakitan mereka menggelengkan kepala dan salah seorang di antara mereka, yang tulang keringnya retak, menudingkan telunjuknya ke arah Lili dan berseru,
"Toako (kakak tertua), Ji-ko (kakak ke dua), gadis itu sombong dan jahat sekali. Tolong balaskan penghinaan atas diri kami!"
Si berewok kini menghampiri Lili dan membentak, "Nona, engkau masih muda akan tetapi sudah bersikap sombong dan kejam. Sungguh engkau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri!"
Lili tersenyum sambil matanya mengerling tajam. "Orang hutan, kalau begitu engkau mau apa?" tantangnya.
"Bocah sombong, engkau memang patut dihajar!" bentak si berewok sambil menyerang dengan tangannya yang besar, panjang dan kuat. Temannya, si muka bersih juga sudah siap untuk menyerang.
Pukulan tangan yang besar dan kuat itu cukup berbahaya, mendatangkan angin pukulan yang amat kuat. Lili maklum akan hal ini, namun dia tetap memandang rendah. Orang itu hanya memiliki tenaga otot yang kuat, tidak terlalu berbahaya baginya. Dengan gerakan ringan sekali, dia pun menggeser tubuh ke kiri, pinggangnya meliuk seperti tubuh ular saja dan pukulan si berewok yang amat kuat itu pun luput.
Dari sebelah kirinya datang angin pukulan yang menyambar dahsyat. Ah, kiranya si muka bersih itu malah lebih kuat dari pada si berewok, pikir Lili dan kembali tubuhnya membuat gerakan meliuk dan pukulan itu pun luput.
Dua orang itu terkejut sekali. Mereka melihat gerakan tubuh gadis itu sangat aneh, tidak seperti orang bersilat melainkan lebih mirip gerakan seekor ular kalau mengelak, tubuhnya begitu lentur dan dengan mudah saja menghindarkan semua pukulan mereka. Tentu saja keduanya merasa penasaran bukan main dan menyerang lebih gencar.
Kini Lili memperlihatkan kepandaiannya. Memang dia sudah mewarisi ilmu silat dari See-thian Coa-ong (Raja Ular Dunia Barat) yang mempunyai ilmu silat aneh, ilmu silat yang mengandung gerakan ular. Tubuh Lili meliuk-liuk dengan cepatnya ketika menghindarkan semua serangan dan begitu dia membalas, kedua orang lawan itu pun terkejut dan cepat menghindar dengan loncatan seperti orang dipagut ular.
Kedua tangan gadis itu membentuk kepala ular dengan jari-jari disatukan. Ketika tangan itu meluncur dan menyerang, maka terdengar suara mendesis, seolah-olah kedua tangan itu benar-benar telah berubah menjadi dua ekor ular berbisa yang ganas!
Akan tetapi kedua orang itu tidak boleh disamakan dengan tujuh orang yang tadi sudah dikalahkan Lili. Kalau hanya seperti mereka, meski dia dikeroyok puluhan orang, dia tidak perlu bekerja keras untuk merobohkan mereka. Dua orang pengeroyoknya ini lain. Mereka ternyata adalah dua orang yang tangguh, memiliki gerakan silat yang baik, bertenaga dan mantap.
Jika Lili memang mau menurunkan tangan maut, kiranya tak akan terlalu lama dia dapat merobohkan mereka. Akan tetapi dia tidak ingin membunuh orang tanpa sebab yang kuat. Dia selalu tidak setuju dengan watak gurunya atau suci-nya yang mudah saja membunuh orang. Di dasar hatinya, Lili bukan seorang yang jahat atau kejam. Dia hanya galak dan ganas karena sejak kecil dia hidup di dekat orang-orang yang biasa mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendaknya.
Sampai belasan jurus kedua orang setengah tua itu belum juga mampu merobohkan Lili. Jangankan merobohkan, bahkan semua serangan mereka, baik dengan tangan atau pun kaki, tidak pernah mampu menyentuh tubuh gadis itu.
Sebaliknya Lili yang memang suka bertanding mengadu ilmu itu sengaja mempermainkan mereka. Ia menanti saat baik dan memancing-mancing dengan membiarkan diri di tengah, diapit oleh kedua orang lawan dari kanan kiri. Ketika saat yang dinanti-nantinya tiba, yaitu ketika dua orang itu dengan hampir berbareng memukulnya dengan tangan mereka yang besar dan lengan yang panjang dari kanan agak ke depan.
Dia tidak bergerak mengelak, melainkan menyambut pukulan mereka itu dengan kedua tangannya. Akan tetapi dia tidak sekedar menangkis. Begitu pergelangan kedua tangannya bertemu dengan pergelangan tangan lawan yang memukulnya, dia meliuk maju, kedua tangannya itu bagaikan seekor ular membelit lengan lawan!
Dua orang lawan itu amat terkejut, berusaha untuk menarik kembali tangan mereka. Akan tetapi, seperti melekat dengan kedua lengan gadis itu yang bukan saja membelit, bahkan tangan dan lengan gadis itu merayap maju cepat sekali bagaikan dua ekor ular dan tahu-tahu kedua tangan yang membentuk kepala ular itu sudah mematuk dada mereka tanpa dapat mereka hindarkan lagi.
"Tukk! Tukk!"
Dua orang itu mengeluh dan roboh terjengkang. Untung bagi mereka bahwa Lili memang tidak berniat membunuh orang, maka dia membatasi tenaganya ketika kedua tangannya yang membentuk kepala ular itu mematuk. Dua orang itu tidak tewas, hanya merasa betapa mereka kehilangan tenaga dan dadanya terasa nyeri hingga napas mereka menjadi sesak. Akan tetapi karena mereka pun bukan orang lemah, sebentar saja mereka dapat memulihkan keadaan tubuh mereka. Keduanya berloncatan berdiri dan nampak sinar berkilauan ketika mereka berdua mencabut pedang.
Berkembang kempis cuping hidung Lili, tanda dia telah marah. Jika lawan menyerangnya dengan tangan kosong, dia menganggap mereka itu hanya menguji ilmu, maka dia tidak mau membunuh orang. Akan tetapi kalau lawan sudah mencabut senjata, berarti bahwa lawan menginginkan kematiannya, maka dia menganggap sudah sepantasnya kalau dia pun berusaha membunuhnya!
Dalam keadaan yang sangat menegangkan ini, kedua orang itu dengan pedang di tangan berhadapan dengan Lili yang masih berdiri tenang dengan mulut tersenyum. Akan tetapi tangan kanannya sudah siap untuk mencabut pedang di punggungnya, dan sekali pedang itu tercabut, akan celakalah kedua orang lawan itu. Pedang Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) jarang dicabut dari sarungnya, akan tetapi biasanya, sekali dicabut tentu akan jatuh korban!
"Tahan senjata!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan mendengar bentakan ini, dua orang yang memegang pedang itu cepat menengok kemudian menjatuhkan diri setengah berlutut, menyimpan pedang dan memberi hormat kepada pria yang muncul di situ.
"Kongcu...!" kata mereka dengan sikap merendah sekali.
Melihat ini Lili merasa heran dan dia pun memandang kepada orang yang baru muncul itu penuh perhatian. Ia seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kokoh namun pembawaannya lembut dan sopan seperti pembawaan seorang bangsawan terpelajar.
Pakaiannya rapi, pakaian seorang sastrawan dan dia pun memakai sebuah topi bulu yang amat indah. Wajahnya tampan dan cerah sehingga dia nampak jauh lebih muda dari pada usianya, wajah yang halus, tidak berkumis atau berjenggot karena agaknya selalu dicukur bersih. Matanya tajam berwibawa dan mata itu jelas menunjukkan kecerdikan.
Diam-diam Lili merasa heran bagaimana dua orang yang tangguh itu bersikap demikian merendah terhadap seorang kongcu yang nampak lemah. Mereka yang tadi mengepung dirinya, sekarang juga bersikap hormat dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang mencabut senjata lagi.
Lelaki itu menyapu mereka dengan pandangan matanya, lalu terdengar dia bicara dengan suara lantang namun nadanya lembut. "Apa yang telah terjadi di sini dan mengapa kalian mengepung siocia (nona) ini?"
Karena pertanyaan itu ditujukan kepada dua orang yang tadi mengeroyok Lili, maka dua orang itu saling pandang. Si muka bersih memberi hormat lalu menjawab. "Maaf, kongcu. Kami berdua menyerangnya karena nona ini menghajar dan merobohkan lima orang anak buah kami."
Laki-laki itu mengangguk, lalu menengok ke arah mereka yang masih meringis kesakitan. Kemudian dia menghadapi Lili dan mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai tanda penghormatan. "Nona, kalau boleh aku bertanya, mengapa nona menghajar lima orang anak buah kami? Kesalahan apakah yang mereka lakukan terhadap diri nona?"
Melihat sikap yang sopan dari pria itu, Lili juga bersikap baik. Maka sambil tersenyum dia menjawab, "Ah, kiranya mereka itu anak-anak buahmu? Jadi engkau ini majikan mereka? Tanya saja kepada mereka mengapa mereka menyerangku. Karena mereka mengeroyok dan menyerangku maka kurobohkan mereka."
Laki-laki itu mengerutkan sepasang alisnya, kemudian menoleh kepada lima orang yang masih kesakitan itu. "Hei kalian berlima. Benarkah kalian mengeroyok nona ini, dan kalau benar kenapa?" Dalam suaranya yang lembut itu terkandung teguran keras.
Sambil menahan rasa nyeri kelima orang itu menjatuhkan diri berlutut menghadap pria itu dan seorang di antara mereka mewakili teman-teman menjawab, "Maafkan kami, kongcu. Karena melihat nona itu memukul roboh dan melukai dua orang rekan, maka kami berlima turun tangan mengeroyoknya."
Kini lelaki itu kembali menghadapi Lili, sepasang matanya mengamati penuh selidik dan terbayang kekaguman di dalam pandang matanya. Gadis yang begini muda, cantik manis dan nampak lembut, sudah memiliki kepandaian yang demikian tinggi sehingga dua orang pembantunya yang dia tahu cukup lihai, tadi nampaknya tidak berdaya melawan nona ini.
"Nona, agaknya terpaksa aku harus kembali kepada nona, dan bertanya mengapa nona melukai dua orang anak buah kami."
Senyum dibibir Lili melebar. Ia merasa tertarik. Pria ini demikian lembut dan tenang, tetapi dalam menyelidiki urusan dan mengajukan pertanyaan bersikap cukup adil dan tidak berat sebelah, tidak memihak seperti seorang hakim yang jujur.
"Engkau ingin tahu kenapa tadi aku menghajar mereka? Yang seorang ingin menciumku, dan orang ke dua ingin memelukku, maka aku lalu membiarkan yang seorang mencium sepatuku, dan orang ke dua memeluk tanah!"
Wajah pria itu berubah kemerahan dan dengan suara yang meninggi dia lalu menoleh dan berseru. "Siapakah dua orang yang dimaksudkan nona ini? Maju ke sini!"
Dua orang yang tadi mencari gara-gara dengan Lili merangkak maju, berlutut menghadap pria itu. Karena si kumis mulutnya remuk dan dia tidak dapat bicara, maka si bopeng yang mewakili. "Kongcu, ampunkan kami...”
"Jawab, benarkah kalian berdua hendak memeluk dan mencium nona ini? Ceritakan apa yang terjadi?"
"Ampun, kongcu. Kami berdua melihat nona ini lewat... melihat dia begitu cantik, kami... kami hanya ingin main-main...”
"Cukup! Kalian tahu bahwa satu di antara larangan keras kita adalah mengganggu kaum wanita?"
"Kami... kami tahu, kongcu."
"Dan kalian tahu apa hukumannya kalau melanggar larangan itu?"
Dua orang itu menjadi ketakutan. Mereka membenturkan dahi di tanah dan merintih minta ampun, akan tetapi karena amat ketakutan, si bopeng masih dapat berkata dengan suara menggigil, "Kami... kami siap menerima hukuman...”
"Bagus! Setidaknya kalian mati sebagai laki-laki yang bertanggung jawab!" kata pria itu dan tiba-tiba saja tubuhnya bergerak, lantas nampak sinar berkelebat dan dua tubuh yang berlutut itu terpelanting dengan kepala terpisah dari badan.
Lili memandang kagum. Gerakan laki-laki itu sungguh cepat bukan main. Bagi mata biasa, gerakan itu tidak dapat diikuti, akan tetapi Lili tadi dapat melihat betapa cepatnya lelaki itu bergerak mencabut pedang yang berada di pinggangnya dan tertutup jubah panjang, lalu mengelebatkan pedangnya memancung kepala dua orang itu dan menyarungkan kembali pedangnya yang tidak ternoda darah! Demikian cepatnya gerakan itu, menunjukkan ilmu pedang dahsyat seorang ahli!
"Kuburkan mayat mereka," kata pria itu kepada para anak buahnya. Mayat dua orang itu lalu digotong pergi dan pria itu memberi hormat kepada Lili.
"Kami harap nona memaafkan kami dan puas dengan pelaksanaan hukuman bagi anak buah kami yang telah menghina nona."
Lili masih tertegun karena kagum. Orang ini terang bukan orang sembarangan, pikirnya. Kelihatan lemah lembut dan seperti seorang bangsawan terpelajar, tetapi mempunyai ilmu pedang yang dahsyat! Selain itu, juga sangat berwibawa dan sikapnya mengingatkan dia akan gurunya, See-thian Coa-ong yang juga dapat bertindak tegas berwibawa terhadap anak buahnya. Apa lagi dia menghukum mati dua orang anak buahnya yang mengganggu wanita, hal ini saja sudah mendatangkan rasa kagum dan suka di hati Lili.
"Kiamsut (ilmu pedang) yang hebat!" katanya memuji.
"Aihh, aku bukan apa-apa kalau dibandingkan nona," pria itu merendah. "Kalau nona tidak menganggap aku terlalu rendah untuk menjadi kenalanmu, perkenalkanlah. Namaku Lu Ta dan semua orangku menyebut aku Ya-kongcu. Bolehkah aku mengetahui nama nona?"
Karena sikap orang ini sangat baik dan cukup berharga untuk dijadikan teman, setidaknya kenalan, Lili menjawab sederhana. "Namaku Tang Bwe Li dan orang biasa memanggilku Lili."
Ya Lu Ta atau Ya-kongcu kembali memberi hormat, kemudian dia menoleh ke belakang, kepada anak buahnya dan berteriak, "Heiii, kalian lihat baik-baik. Ini adalah Tang Siocia, mulai sekarang menjadi sahabatku. Kalian harus bersikap hormat kepadanya!" Kemudian ia berkata kepada Lili kembali, "Tang Siocia, kami persilakan engkau untuk menjadi tamu kehormatan kami dan sudi makan minum bersama kami."
Memang perut Lili sedang lapar. Menghadapi sikap yang demikian hormat dan baik, dan penawaran itu pun dilakukan dengan sikap hormat dan jujur, dia pun tertawa lepas. "Heh-heh, memang aku sedang lapar dan sedang bingung bertanya-tanya dalam hati ke mana harus mencari sarapan. Terima kasih, aku akan suka sekali makan minum denganmu, Ya-kongcu."
Laki-laki itu nampak gembira sekali. Lili memang seorang gadis yang berwatak polos dan bebas, tidak terikat oleh sikap malu-malu seperti para wanita lainnya. Namun Ya-kongcu maklum sepenuhnya bahwa walau pun gadis itu bersikap bebas, jangan dikira bahwa dia ini boleh dipermainkan begitu saja! Buktinya, anak buahnya sempat dihajar habis-habisan oleh gadis ini. Dia lalu mengajak Lili ke tempat peristirahatannya yang tak jauh dari situ, di bawah pohon-pohon rindang dan ternyata di sana terdapat banyak kuda pilihan dan anak buah kongcu itu tidak kurang dari tiga puluh orang!
Di bawah pohon itu segera diatur makanan dan minuman yang cukup lezat. Lili semakin kagum. Tampaknya kongcu ini bersama rombongannya membawa peralatan masak pula karena masakan itu masih mengepul panas dan tak jauh dari situ nampak dapur darurat. Ya-kongcu dengan gembira mempersilakan Lili untuk duduk menghadapi meja sederhana yang dibuat secara darurat pula, duduk di atas bangku.
Lili pun makan minum dengan lahapnya, senang karena tuan rumah tidak banyak cakap, hanya bicara kalau mempersilakan ia mengambil hidangan dan menambah minuman yang terdiri dari dua macam. Ada anggur dan ada pula teh harum. Setelah selesai makan minum dan meja sudah dibersihkan, Ya-kongcu lalu berkata,
"Tadi kulihat gerakanmu yang mirip gerakan seekor ular. Mungkin masih ada hubungan antara nona dengan See-thian Coa-ong, yaitu locianpwe (orang tua gagah) Cu Kiat?"
Kembali Lili dibuat kagum. Semakin jelaslah bahwa orang ini memang lihai dan bermata tajam, tentu luas pengetahuannya tentang ilmu silat sehingga melihat gerakannya sedikit saja sudah dapat mengenal ilmu silatnya.
"Dia adalah guruku" katanya.
Sekarang Ya-kongcu yang terkejut dan memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi wajahnya berseri. "Pantas kalau begitu! Biar seluruh anak buahku maju mengeroyok kau, tentu mereka semua akan bisa kau robohkan! Kiranya nona adalah murid See-thian Coa-ong, datuk wilayah barat yang terkenal itu." Dia cepat bangkit berdiri. "Maafkan kalau aku tadi bersikap kurang hormat, Tang Siocia (nona Tang)."
Lili cepat membalas penghormatan itu. "Aih, jangan terlalu merendah, Ya-kongcu. Engkau sendiri memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat."
"Aku mendengar bahwa See-thian Coa-ong adalah salah seorang di antara calon bengcu dalam pemilihan yang akan diadakan oleh para tokoh dan datuk persilatan di puncak Thai-san. Benarkah itu, Siocia?"
Kembali Lili kagum. Memang orang ini mempunyai pengetahuan yang amat luas. Dia pun mengangguk membenarkan.
"Kalau begitu perjalanan nona ini tentu ada hubungannya dengan pemilihan bengcu yang akan diadakan satu bulan sesudah sin-cia tahun depan, bukan?"
"Tidak, Ya-kongcu. Urusan pemilihan bengcu itu adalah urusan suhu dan suci, sedangkan aku mempunyai tugas lain."
"Ahh, begitukah? Kalau engkau hendak mengurus pemilihan bengcu, katakan saja terus terang, nona. Karena sebenarnya sejak semula kami sudah siap untuk memilih locianpwe See-thian Coa-ong sebagai bengcu."
"Ehh, kenapa begitu?" Lili tertarik. "Apakah engkau sudah mengenal suhu?"
Laki-laki itu menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Mengenal secara pribadi memang belum, akan tetapi aku telah lama mendengar nama besar gurumu itu dan merasa yakin bahwa hanya dia yang pantas untuk menjadi bengcu. Kami siap untuk membantunya agar dia yang kelak terpilih. Kami mempunyai banyak anak buah yang tersebar di seluruh kota besar, juga di kota raja, maka kalau kami membantu, pasti gurumu akan mendapat suara dukungan terbanyak."
“Aku tidak tahu apakah suhu memerlukan bantuan itu, akan tetapi mungkin saja engkau dapat membantuku dengan keterangan, kongcu. Aku sedang mencari seseorang...," kata Lili.
Sekarang timbul harapannya untuk dapat segera menemukan orang yang dicarinya ketika mendengar bahwa Ya-kongcu memiliki banyak anak buah di kota besar dan di kota raja. Apa lagi sikap dan pernyataan Ya-kongcu yang hendak membantu dan mendukung suhu-nya itu menimbulkan rasa suka dan percaya, maka dia tidak ragu untuk minta bantuan...