SIN WAN rnenerima tawaran ini kemudian dia pun segera mengikuti Bhok Cun Ki ketika panglima itu mengajaknya pulang untuk membuat persiapan dan perundingan lebih lanjut mengenai tugas mereka berdua.
Dua orang muda itu sedang berlatih silat, saling serang dengan gerakan cepat dan kuat. Dari gerakan tangan mereka terdengar angin menyambar-nyambar, tanda bahwa mereka bukanlah ahli-ahli silat biasa, melainkan sudah memiliki tingkat kepandaian yang sangat hebat. Sambaran angin yang mengiuk-ngiuk itu saja membuktikan bahwa mereka berdua telah memiliki sinkang (tenaga sakti) yang kuat.
Mereka adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Mereka kakak beradik, putera dan puteri Bhok Cun Ki. Pemuda itu anak pertama bernama Bhok Ci Han, bertubuh sedang tegap dan wajahnya tampan dan gagah seperti ayahnya. Gadis itu adiknya bernama Bhok Ci Hwa, cantik jelita, lincah jenaka dan bertubuh ramping. Sebagai putera puteri panglima Bhok, tentu saja sejak kecil mereka digembleng ayah mereka sendiri sehingga kini mereka sudah menjadi dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Biasanya ayahnya selalu mengamati latihan mereka kalau mereka berlatih silat pada sore hari. Akan tetapi sore ini mereka berdua berlatih tanpa pengamatan ayahnya, bermain silat di kebun mereka yang luas, di dalam lingkungan pagar tembok yang tinggi. Sore ini ayah mereka menerima panggilan dari atasannya, yaitu Jenderal Shu Ta, maka dua orang kakak beradik itu berlatih berdua saja.
Ayah mereka, Bhok Cun Ki adalah seorang pendekar Butong-pai dan pernah membuat nama besar di dunia kang-ouw sampai dia menjabat pangkat panglima sesudah kerajaan Beng menggantikan kerajaan Mongol. Ibu mereka adalah seorang wanita cantik berdarah bangsawan yang lemah lembut, seorang ahli seni dan sastra yang tentu saja sama sekali tidak pandai silat. Dari ibu mereka, kedua orang muda ini pun mewarisi kelembutan serta kepandaian dalam hal seni dan sastra.
Ketika mereka berdua sedang berlatih dan gerakan mereka semakin cepat sehingga mata biasa akan sulit mengikuti gerakan mereka, bahkan tubuh mereka hanya kelihatan seperti dua sosok bayangan yang berkelebatan, tiba-tiba saja muncul seorang prajurit yang biasa berjaga di pintu gerbang depan.
"Kongcu (tuan muda) dan Siocia (nona muda), harap berhenti dulu!" teriak prajurit itu.
Kakak beradik itu lalu menghentikan latihan mereka. Dengan leher dan muka berkeringat mereka memandang kepada prajurit itu. Bhok Ci Hwa menghapus keringat pada lehernya dengan sehelai kain handuk, kemudian mengomel.
"Ada apa sih? Engkau mengganggu latihan kami!"
Prajurit itu memberi hormat. “Maafkan saya. Akan tetapi di luar ada seorang tamu yang bersikeras hendak bertemu dengan Bhok-ciangkun. Ketika saya beri tahu bahwa ciangkun tidak berada di rumah, dia berkeras mengatakan hendak bertemu dengan keluarganya."
"Berkeras? Hemmm, mengapa tidak kau katakan saja bahwa dia boleh kembali lagi kalau ayah telah pulang?" tegur Bhok Ci Han yang juga merasa tidak senang dengan gangguan itu.
"Maaf, kongcu. Saya dan kawan-kawan telah mengatakan demikian, akan tetapi dia tetap berkeras hendak bertemu dengan Bhok-ciangkun atau dengan keluarganya."
"Siapa sih orang itu? Dan apa keperluannya? Ci Hwa menjadi tertarik.
"Dia seorang gadis yang cantik dan galak sekali, siocia. Dan ketika kami bertanya tentang keperluannya, dia mengatakan bahwa dia membawa berita yang amat penting bagi Bhok-ciangkun atau keluarganya."
"Apakah dia tidak memberi tahukan siapa namanya dan dari mana dia datang?" tanya Ci Han.
"Tadi sudah kami tanyakan, akan tetapi dia tidak mau mengaku...”
"Namaku Lili…!"
Ci Han dan Ci Hwa, juga prajurit itu terkejut sekali. Mereka segera memutar tubuh dan di situ telah berdiri seorang gadis yang cantik manis, matanya mencorong tajam dan bibirnya yang manis itu tersenyum sinis.
"Itu... itu dia orangnya, kongcu...,” kata prajurit itu, lantas melangkah maju dengan sikap galak.
"Heiii, nona! Mengapa engkau lancang masuk ke dalam tanpa ijin? Bukankah tadi sudah kusuruh menanti di luar sementara aku melapor ke dalam?" Prajurit itu mengambil sikap hendak menyerang, dan Lili hanya berdiri santai sambil tersenyum mengejek.
Bhok Ci Han menyentuh lengan prajurit itu kemudian berkata, "Keluarlah, biar kami bicara dengan nona ini!"
Prajurit itu memberi hormat, lalu keluar dari dalam taman itu dengan langkah lebar sambil bersungut-sungut. Agaknya dia masih merasa penasaran sekali bagaimana tamu itu tahu-tahu bisa berada di taman. Bukankah di luar masih ada lima orang kawannya? Bagaimana mereka membiarkan gadis lancang itu masuk begitu saja? Dia akan menegur lima orang kawan itu.
Akan tetapi, ketika dia sampai di gardu penjagaan pintu gerbang depan, dia disambut oleh lima orang kawannya yang babak belur dan matang biru karena dihajar oleh gadis tamu itu ketika mereka berlima hendak menghalanginya memasuki pekarangan!
Sementara itu Lili sudah berdiri saling pandang dengan dua putera dan puteri Bhok Cun Ki. Melihat kakak beradik itu mengenakan pakaian ringkas dan mereka berkeringat karena habis latihan, juga di sana terdapat sebuah rak senjata yang lengkap dengan bermacam senjata, Lili tersenyum. Ia pun teringat akan pesan gurunya agar dia berhati-hati melawan Bhok Cun Ki karena pendekar Butong-pai itu lihai sekali. Pada waktu mudanya subo-nya sendiri kalah oleh Bhok Cun Ki, membuktikan bahwa pendekar itu memang lihai. Apa bila ayahnya lihai, tentu anak-anaknya juga memiliki kepandaian tinggi.
"Apakah kalian ini anak-anak dari Bhok Cun Ki?" tanya Lili dengan sikap sambil lalu saja, seolah-olah pertanyaan itu tidak penting baginya.
"Benar, panglima Bhok Cun Ki adalah ayah kami. Ada keperluan apa maka nona mencari ayah kami?" tanya Ci Han, sedangkan Ci Hwa memandang dengan alis berkerut.
Gadis yang berdiri di hadapannya memang cantik manis, senyum sinis yang dihias lesung pipinya itu sangat elok, juga cuping hidung yang agak kembang kempis itu nampak lucu, akan tetapi pandang mata itu dingin dan galak bukan kepalang. Walau pun suara gadis itu lembut berbisik, namun mengandung ejekan, dan terutama pandang mata dan senyum itu jelas memandang rendah orang lain.
"Kalau kalian ini anak-anaknya, kalian boleh mengetahui bahwa aku datang mencari Bhok Cun Ki untuk membunuhnya."
Pemuda dan gadis itu terbelalak lantas muka mereka berubah merah. Ci Hwa tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Keparat busuk yang sombong! Sebelum engkau bertemu dengan ayah, engkau akan lebih dulu kuhajar!" Sambil berteriak nyaring gadis ini langsung menerjang Lili dengan pukulan dahsyat ke arah muka gadis yang tadi mengancam hendak membunuh ayahnya itu.
"Bagus!" kata Lili sambil mengelak dan melompat ke belakang. "Dari kepandaian kalian aku dapat mengukur sampai di mana kelihaian ayah kalian."
Ci Hwa tidak peduli lagi. Begitu pukulannya luput, dia telah melanjutkan dengan serangan bertubi yang ganas. Tetapi Lili beberapa kali mengelak dan ketika dia menyambut sebuah tamparan dengan lengan kirinya, dua buah lengan yang sama-sama mungil berkulit halus itu bertemu dengan kuatnya.
"Dukkk!" Tubuh Ci Hwa terhuyung. Hal ini bukan saja mengejutkan Ci Hwa, namun juga membuat Ci Han khawatir sekali akan keselamatan adiknya, maka dia pun meloncat dan melindungi adiknya dengan sebuah dorongan tangan ke arah pundak Lili.
"Plakk!" Lili menangkis dengan lengan melingkar, dan kini Ci Han yang hampir terpelanting! Tentu saja dia terkejut dan tahu bahwa gadis manis itu tidak membual atau menyombong ketika mengeluarkan ucapan mengancam ayahnya, karena memang dia lihai bukan main.
Dia dan adiknya lalu mengeroyok Lili dan terjadilah perkelahian yang seru. Namun segera ternyata bahwa Lili memang memiliki tingkat kepandaian silat yang lebih tinggi dari pada kakak beradik itu. Sesudah lewat tiga puluh jurus, mulailah Lili mendesak mereka dengan ilmu silatnya yang aneh. Tubuhnya demikian lentur dan berlenggang-lenggok seperti tubuh seekor ular saja. Memang ilmu silatnya adalah ilmu silat yang dasarnya meniru gerakan seekor ular. Bukan hanya tubuh yang meliuk-liuk seperti tubuh ular, juga kedua lengannya ketika menangkis dan menyerang seolah gerakan dua ekor ular yang gesit kuat dan cepat sekali.
Lili hanya dipesan subo-nya agar membunuh Bhok Cun Ki. Karena itu ketika menghadapi dua orang putera dan puteri musuh besar subo-nya itu, dia sama sekali tidak mempunyai niat untuk mencelakai atau membunuh mereka. Karena itu maka Lili tidak mengerahkan tenaga yang mengandung racun.
Bahkan ketika dia mendapat kesempatan, dia hanya merobohkan Ci Hwa dengan totokan dengan ujung kaki pada belakang lutut Ci Hwa, dilanjutkan dorongan kaki yang membuat Ci Hwa terjengkang. Dan ketika Ci Han memukul ke arah dadanya, dia mengelak, tangan kirinya menangkap dan lengannya seperti seekor ular sudah membelit lengan pemuda itu! Ci Han terkejut, dan kesempatan ini dipergunakan Lili untuk membantingnya ke samping sehingga pemuda itu pun terpelanting.
Ci Hwa yang merasa penasaran langsung meloncat ke arah rak senjata untuk mengambil pedangnya yang tadi dia taruh di situ ketika latihan, diikuti kakaknya. Akan tetapi ketika dia menyambar pedangnya, lengannya dipegang oleh Ci Han. Ia menengok dan kakaknya menggeleng kepala sambil memandang kepadanya.
"Jangan, moi-moi (adik), tidak perlu kita menggunakan senjata."
Melihat itu Lili tertawa, biar pun di dalam hatinya dia merasa suka kepada kakak beradik itu. Tadi kakak beradik itu melawannya berdua tanpa menimbulkan keributan, hal ini saja menunjukkan bahwa mereka memang memiliki wajah yang gagah. Kalau tidak demikian, apa sukarnya bagi mereka untuk berteriak atau memberi tanda supaya pasukan pengawal datang mengeroyoknya?
Dan sekarang si kakak melarang adiknya menggunakan senjata, ini pun merupakan bukti bahwa mereka, biar pun putera dan puteri seorang panglima, namun agaknya tidak biasa membonceng kedudukan ayah untuk bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain.
"Kakakmu itu benar, tidak perlu kita menggunakan senjata, sudah cukup bagiku menguji kepandaian kalian. Aku tidak bermaksud membunuh kalian atau siapa saja, kecuali Bhok Cun Ki!"
"Kalau engkau tidak bermaksud mengganggu keluarga ayah kami, mengapa tadi engkau mencari keluarga ayah?" Ci Han bertanya sedangkan Ci Hwa memandang dengan mata melotot marah.
"Ketika penjaga di luar mengatakan bahwa Bhok Cun Ki tidak ada, aku tidak percaya dan aku ingin bertemu dengan keluarganya, hanya untuk bertanya di mana adanya Bhok Cun Ki. Tadi pun aku tidak bermaksud untuk mengajak kalian berkelahi."
"Ayah memang tidak berada di rumah."
"Ke mana dia pergi?" Sepasang mata yang amat tajam itu seperti hendak menembus dan menjeguk isi hati Ci Han melalui matanya.
"Kami tidak tahu benar. Ayah kami sedang melaksanakan tugas, dan hal itu tidak dapat dibicarakan dengan siapa pun juga."
"Hemm, aku percaya padamu. Sinar mata dan suaramu tidak membohong. Akan tetapi, kapan dia pulang?" tanya pula Lili.
"Itu pun kami tidak tahu dengan pasti. Mungkin malam nanti, mungkin juga besok pagi. Akan tetapi, mengapa engkau hendak membunuh ayah kami? Siapakah engkau dan dari mana engkau datang?"
Lili tersenyum. "Tidak perlu kujelaskan, akan tetapi kalau ayah kalian pulang, katakan saja kepadanya bahwa aku menantangnya untuk mengadu nyawa pada besok sore di puncak bukit Bambu Naga. Katakan bahwa aku membawa benda ini untuk mencabut nyawanya!" Sambil berkata demikian tangan kanannya bergerak, nampak cahaya putih berkelebat dan tahu-tahu gadis ini telah memegang sebatang pedang yang bentuknya seperti seekor ular putih.
Hanya sebentar saja kakak beradik itu melihat pedang itu, sebab dengan gerakan secepat kilat pedang itu telah kembali masuk ke dalam sarungnya dan Lili meninggalkan tempat itu dengan melompat lalu tubuhnya lenyap menjadi bayangan berkelebat.
Kakak beradik itu saling pandang dan merasa kagum, juga khawatir sekali. Harus mereka akui gadis tadi amat lihai. Biar pun mereka yakin bahwa ayahnya juga amat lihai, namun mereka tetap khawatir karena selain gadis itu akan merupakan lawan tangguh ayahnya, juga mereka mengenal watak ayah mereka.
Biar pun dia telah menjadi seorang panglima, namun tetap saja ayah mereka itu berwatak pendekar. Sebagai seorang laki-laki jantan, apa lagi yang sudah memiliki kedudukan tinggi di dunia persilatan, bagaimana ayahnya akan suka melawan seorang gadis muda yang menantangnya?
Dengan hati merasa penasaran kakak beradik itu lalu berjalan ke luar untuk menegur para penjaga mengapa mereka membolehkan gadis tadi masuk dan di tempat itu baru mereka mengerti betapa gadis itu pun telah menghajar lima orang yang bertugas jaga di luar pada saat mereka hendak mencegah dia memasuki pekarangan!
"Kalian berenam tidak perlu bicara kepada siapa pun mengenai kunjungan gadis tadi, biar kami sendiri yang akan melapor kepada ayah. Awas, kalian akan dihukum berat kalau ada di antara kalian yang membocorkan berita mengenai peristiwa tadi!" kata Ci Han kepada mereka.
Enam orang prajurit itu memberi hormat. "Baik, kongcu. Kami tidak akan bicara kepada siapa pun tanpa ijin kongcu dan siocia."
Sesudah menyuruh seorang penjaga mengambil rak senjata dari taman, kakak beradik itu lalu memasuki rumah. Kepada ibu mereka pun mereka tidak bercerita mengenai peristiwa tadi. Ibu mereka adalah seorang wanita yang lemah dan halus perasaannya. Mereka tidak ingin melihat ibu mereka menjadi gelisah bila mendengar ancaman dari gadis tadi. Mereka akan menanti sampai ayah mereka pulang.
Tidak mengherankan apa bila Lili dapat sedemikian mudahnya menemukan rumah Bhok Cun Ki. Gadis ini telah bertemu dan bersahabat dengan Pangeran Yaluta yang dikenalnya sebagai Ya Lu Ta atau Ya-kongcu. Karena pangeran yang dianggapnya seorang pemuda yang kaya raya dan ramah tamah itu bersikap baik, bahkan menghukum anak buahnya sendiri yang kurang ajar kepadanya, kemudian Ya-kongcu menjanjikan untuk mendukung See-thian Coa-ong Cu Kiat menjadi bengcu dalam pemilihan di Thai-san tahun depan, dan berjanji akan membantunya mencarikan Bhok Cun Ki, maka Lili mau menjadi sahabatnya.
Dia mau pula diajak melakukan perjalanan bersama ke kota raja. Di sepanjang perjalanan sikap Ya-kongcu amat baik, ramah dan penuh hormat kepadanya. Lili yang belum banyak mengenal dunia ramai, dengan mudah saja tunduk dan menganggap Ya-kongcu sebagai seorang yang baik dan patut dijadikan sahabat.
Di Nan-king Lili tidak perlu repot-repot. Anak buah Ya-kongcu telah menyediakan sebuah kamar di hotel terbesar, dan beberapa hari kemudian dia bahkan memperoleh petunjuk di mana adanya musuh besar bekas gurunya yang kini menjadi suci-nya itu. Ternyata Bhok Cun Ki telah menjadi seorang panglima dan tinggal di sebuah gedung besar, tidak tinggal di dalam benteng. Begitu mudahnya! Oleh karena itu pada sore hari itu dia segera datang berkunjung seorang diri sebab dia menolak tawaran Ya-kongcu untuk mengirim pembantu menemaninya.
"Terima kasih, Ya-kongcu," katanya menolak halus. "Bantuan untuk menemukan tempat tinggal Bhok Cun Ki saja sudah merupakan budi besar, dan urusanku dengan Bhok Cun Ki adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Aku akan mengunjunginya seorang diri saja."
Demikianlah, pada sore itu dia datang berkunjung ke rumah keluarga Bhok, malah sempat menguji kepandaian putera dan puteri musuh besar suci-nya itu dan merasa puas. Ia telah meninggalkan pesan untuk Bhok Cun Ki. Besok sore dia tentu akan dapat menyelesaikan tugas yang diserahkan suci-nya kepadanya.
Malam hari itu Ya-kongcu bersama dua orang pengawalnya datang berkunjung ke tempat penginapan Lili sambil membawa hidangan makan malam yang dipesannya dari restoran terbesar dan termewah. Hidangan itu diantar dengan kereta oleh pegawai restoran.
Lili terkejut akan tetapi tentu saja tidak berani menolak, dan mereka berdua makan minum di dalam ruangan yang khusus disediakan untuk keperluan tamu dalam hotel yang mewah itu. Ketika mereka sedang makan minum, Lili melihat betapa dua orang laki-laki setengah tua yang datang bersama Ya-kongcu hanya berdiri di dekat pintu ruangan.
"Siapakah teman kongcu itu? Kenapa tidak di suruh makan sekalian dengan kita?"
"Ahh, mereka adalah dua orang pengawalku. Di kota raja ini banyak terdapat orang jahat, maka lebih aman kalau pergi disertai dua orang pengawal. Mereka bertugas melindungiku, maka tidak semestinya kalau mereka ikut makan bersama kita. Sudahlah, jangan pikirkan mereka dan mari kita makan sambil aku mendengarkan ceritamu mengenai kunjunganmu kepada keluarga Bhok Cun Ki itu."
Mereka makan minum dengan gembira dan Lili lalu menceritakan dengan singkat namun jelas hasil kunjungannya kepada Bhok Cun Ki, betapa dia tidak berhasil bertemu dengan Bhok Cun Ki karena panglima itu tidak berada di rumah, akan tetapi dia sudah bertemu dengan putera dan puterinya lantas meninggalkan pesan tantangan kepada Bhok Cun Ki agar besok sore mereka mengadu kepandaian di puncak Bukit Bambu di luar kota raja.
Ya-kongcu mendengarkan dan kelihatan kagum sekali. "Engkau sungguh gagah perkasa dan sangat pemberani, nona Lili. Akan tetapi, kalau engkau hendak membunuh panglima Bhok Cun Ki, sesudah tiba di rumahnya dan bertemu dengan dua orang anaknya, kenapa engkau tidak membunuh mereka?"
Lili menunda makannya, lalu memandang wajah pemuda itu sambil mengerutkan alisnya. "Kenapa aku harus membunuh anak-anaknya, kongcu? Urusanku ini hanya menyangkut diri pribadi Bhok Cun Ki, tidak ada hubungannya dengan keluarganya. Tidak, aku tak mau membunuh orang lain, kecuali Bhok Cun Ki seorang!"
Melihat sikap Lili, Ya-kongcu mengangguk-angguk, di dalam hati dia mencatat watak dan pendirian Lili. Gadis ini tidak dapat disamakan dengan tokoh-tokoh dunia hitam yang lain. Walau pun datang dari lingkungan datuk sesat, murid dari datuk See-thian Coa-ong, tetapi watak gadis ini lebih mendekati watak seorang pendekar.
Dia harus berhati-hati menghadapi seorang berwatak seperti ini. Kalau Lili seorang tokoh sesat, amat mudahlah menanganinya. Cukup dengan pemberian hadiah-hadiah berharga, dia akan dapat mempergunakan tenaga seorang datuk sesat sekali pun. Akan tetapi gadis ini lain! Karena itu dia menolak ketika hendak dibantu menghadapi Bhok Cun Ki.
"Akan tetapi, nona. Aku tahu bahwa nona lihai sekali, hanya aku sudah mendengar dari para pembantuku bahwa Bhok Cun Ki adalah seorang ahli pedang yang sangat tangguh. Dia adalah seorang murid Butong-pai yang sukar dikalahkan. Aku merasa khawatir kalau besok sore engkau melawannya...”
Lili tersenyum dan Ya-kongcu terpesona. Dia bukan seorang pemuda hijau, sama sekali tidak. Usianya sudah tiga puluh lima tahun dan dia sudah mempunyai banyak pengalaman hidup, juga dengan wanita. Dia pernah bergaul dengan wanita yang bagaimana pun juga. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan gadis seperti ini, dan senyumnya demikian menawan, membuat jantungnya berdebar penuh gairah. Bagaimana pun, belum pernah dia mempunyai kekasih seorang gadis perkasa dan aneh seperti Lili!
"Engkau mengkhawatirkan aku kalau kalah melawan Bhok Cun Ki, kongcu? Aih, apa yang harus dikhawatirkan? Kalah atau menang dalam pertandingan adalah hal yang lumrah dan biasa saja. Kalau tidak menang tentu kalah dan kalau tidak kalah ya pasti menang! Apa bedanya? Yang paling penting bagiku adalah memenuhi tugas ini. Kalau aku sudah dapat berhadapan dan bertanding dengan dia, cukuplah. Menang kalah terserah keadaan nanti, tetapi tentu saja aku akan mengerahkan seluruh kemampuanku, dan untuk itu aku sudah membuat persiapan matang."
"Aku yakin engkau akan menang, nona. Dan untuk itu, aku turut mendoakan dengan tiga cawan anggur!" Dia mengangkat cawan anggurnya, disambut oleh Lili dan mereka minum beruntun sampai tiga kali.
Sementara itu, di rumah keluarga Bhok, panglima Bhok Cun Ki malam itu pulang bersama Sin Wan. Dalam perjalanan pulang ke gedung keluarga Bhok ini, Sin Wan bercakap-cakap dengan panglima itu dan diam-diam dia merasa kagum.
Panglima ini adalah seorang yang cerdik dan berpemandangan luas sekali, juga berwatak pendekar, rendah hati dan mengenal dunia kang-ouw secara luas. Karena itu dia merasa girang sekali bahwa Jenderal Shu Ta telah memberi tugas kepadanya agar bekerja sama dan membantu panglima ini.
Mula-mula dia merasa ragu apakah panglima ini memiliki pandangan yang sama dengan Jenderal Shu Ta dalam hal dia seorang keturunan asing, bukan orang Han asli melainkan keturunan Uighur. Jangan-jangan panglima ini memiliki pandangan yang dangkal seperti yang dikemukakan Jenderal Yauw Ti tadi, yang menaruh curiga kepada orang yang bukan asli dan menganggap bahwa dalam hati orang-orang keturunan Uighur tidak mempunyai kesetiaan terhadap pemerintah Han!
Dia sengaja memancing, dalam perjalanan itu dia bertanya kepada Bhok-ciangkun tentang hal itu. "Ciangkun, bagaimana pendapat ciangkun tentang ucapan Jenderal Yauw Ti tadi, mengenai kenyataan bahwa aku bukanlah seorang pribumi, bukan orang Han melainkan keturunan Uighur, keturunan asing? Agaknya Jenderal Yauw Ti meragukan kesetiaanku terhadap negara."
Bhok Cun Ki lalu tersenyum. "Kesetiaan seseorang, bahkan lebih luas lagi, baik buruknya seseorang sama sekali bukan ditentukan oleh kebangsaan, keturunan atau pun keadaan lahiriahnya, taihiap. Dalam setiap kelompok, setiap keturunan, suku atau bangsa, bahkan kelompok agama sekali pun, di situ pasti terdapat orang yang baik dan orang yang tidak baik, seperti adanya orang yang sehat dan orang yang sakit. Sebab itu menilai seseorang dari keadaan lahiriahnya saja merupakan penilaian yang salah sama sekali. Khususnya mengenai keturunan, asli atau tidak asli, bagaimana mengukurnya? Aku sendiri tidak tahu nenek moyangku ini keturunan apa dan dari mana. Aku tidak tahu apakah darahku ini dari satu keturunan yang asli ataukah sudah campuran. Tapi apa bedanya? Seseorang hanya dapat dinilai dari perbuatannya, sepak terjangnya dalam hidup. Itu saja! Kalau menilai dari segi lain, bahkan dari sikapnya atau kata-katanya sekali pun, hal itu masih belum cukup meyakinkan, karena sikap serta kata-kata dapat saja dibuat-buat. Akan tetapi perbuatan dan sepak terjang yang berkelanjutan dalam hidup, merupakan kenyataan yang tidak bisa dibuat-buat."
"Kalau begitu, di dalam hati ciangkun tidak ada perasaan tidak senang dan berprasangka buruk terhadap diriku dan orang-orang bukan pribumi Han?"
Panglima itu menggelengkan kepala. "Sudah kukatakan, aku memandang seseorang dari perbuatannya pribadi, bukan dari golongan dan kebangsaannya. Tentu saja ini merupakan pandangan pribadiku. Tapi dalam pandanganku sebagai seorang panglima tentu saja jalan pikiranku lain lagi, harus disesuaikan dengan kepentingan negara. Apa bila ada kelompok yang memusuhi pemerintah, tentu saja mereka akan kuhadapi sebagai musuh, lepas dari pada permusuhan antara pribadi. Mengertikah engkau, taihiap?"
Sin Wan mengangguk dan pandang matanya mencorong penuh kekaguman. "Ciangkun adalah seorang bijaksana, aku merasa gembira sekali dapat bekerja sama denganmu."
Panglima itu tertawa. "Ha-ha-ha-ha, sudah lama aku mengagumi Sam-sian, dan sekarang bisa bekerja sama dengan murid mereka, tentu saja hal itu merupakan suatu kebanggaan bagiku."
Akan tetapi ketika mereka tiba di rumah keluarga Bhok, mereka disambut dengan wajah berkerut penuh ketegangan oleh Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa. Semenjak tadi pemuda dan gadis itu menunggu pulangnya ayah mereka untuk melaporkan peristiwa yang amat menggelisahkan hati mereka itu. Akan tetapi ketika melihat ayah mereka pulang bersama seorang pemuda asing, mereka hanya dapat memandang dengan penuh perhatian dan tidak berani segera menceritakan di depan pemuda asing itu.
"Ayah, siapakah saudara ini?" Ci Han bertanya. Adiknya, Ci Hwa, juga memandang penuh perhatian kepada pemuda itu.
"Taihiap, perkenalkan, mereka ini adalah putera dan puteriku, Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa. Kalian ketahuilah bahwa ini adalah murid Sam-sian bernama Sin Wan, oleh Jenderal Shu Ta dia diangkat menjadi pembantuku dalam sebuah tugas penting."
Pemuda dan gadis itu lalu memandang penuh perhatian. Pemuda yang diangkat menjadi pembantu ayahnya ini sama sekali tak mengesankan, dan tidak nampak sebagai seorang prajurit apa lagi pendekar, sungguh pun ayah mereka memperkenalkannya sebagai murid Sam-sian.
Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya agak gelap, tidak seperti kulit pemuda Han biasanya, dan ketampanan wajahnya juga lain, agak asing. Dahinya lebar, alisnya tebal berbentuk golok dan mata yang lebar bersinar itu terlampau hitam, hidungnya juga terlalu tinggi dan agak besar.
Namun Ci Hwa mengakui dalam hatinya bahwa pemuda ini memang memiliki kejantanan walau pun lembut, seperti seekor harimau jantan yang sudah jinak. Dan melihat Sin Wan merangkap kedua tangannya di depan dada memberi hormat, Ci Han dan Ci Hwa cepat membalas penghormatan itu.
"Mana ibu kalian? Mengapa tidak berada dengan kalian menanti pulangku di sini?" tanya Bhok-ciangkun yang merasa heran karena biasanya, isterinya tentu bersama dua orang anaknya itu menanti kepulangannya di serambi depan.
"Tidak, ayah. Ibu berada di dalam dan memang kami sengaja menanti ayah berdua saja karena kami mempunyai berita yang teramat penting," kata Ci Han.
"Hemm, berita apa yang begitu penting hingga ibumu tidak dibawa serta mendengarnya?" tanya ayah mereka sambil tersenyum.
"Ayah...," Ci Hwa berkata dan matanya melirik ke arah Sin Wan...
********************
Dua orang muda itu sedang berlatih silat, saling serang dengan gerakan cepat dan kuat. Dari gerakan tangan mereka terdengar angin menyambar-nyambar, tanda bahwa mereka bukanlah ahli-ahli silat biasa, melainkan sudah memiliki tingkat kepandaian yang sangat hebat. Sambaran angin yang mengiuk-ngiuk itu saja membuktikan bahwa mereka berdua telah memiliki sinkang (tenaga sakti) yang kuat.
Mereka adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Mereka kakak beradik, putera dan puteri Bhok Cun Ki. Pemuda itu anak pertama bernama Bhok Ci Han, bertubuh sedang tegap dan wajahnya tampan dan gagah seperti ayahnya. Gadis itu adiknya bernama Bhok Ci Hwa, cantik jelita, lincah jenaka dan bertubuh ramping. Sebagai putera puteri panglima Bhok, tentu saja sejak kecil mereka digembleng ayah mereka sendiri sehingga kini mereka sudah menjadi dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Biasanya ayahnya selalu mengamati latihan mereka kalau mereka berlatih silat pada sore hari. Akan tetapi sore ini mereka berdua berlatih tanpa pengamatan ayahnya, bermain silat di kebun mereka yang luas, di dalam lingkungan pagar tembok yang tinggi. Sore ini ayah mereka menerima panggilan dari atasannya, yaitu Jenderal Shu Ta, maka dua orang kakak beradik itu berlatih berdua saja.
Ayah mereka, Bhok Cun Ki adalah seorang pendekar Butong-pai dan pernah membuat nama besar di dunia kang-ouw sampai dia menjabat pangkat panglima sesudah kerajaan Beng menggantikan kerajaan Mongol. Ibu mereka adalah seorang wanita cantik berdarah bangsawan yang lemah lembut, seorang ahli seni dan sastra yang tentu saja sama sekali tidak pandai silat. Dari ibu mereka, kedua orang muda ini pun mewarisi kelembutan serta kepandaian dalam hal seni dan sastra.
Ketika mereka berdua sedang berlatih dan gerakan mereka semakin cepat sehingga mata biasa akan sulit mengikuti gerakan mereka, bahkan tubuh mereka hanya kelihatan seperti dua sosok bayangan yang berkelebatan, tiba-tiba saja muncul seorang prajurit yang biasa berjaga di pintu gerbang depan.
"Kongcu (tuan muda) dan Siocia (nona muda), harap berhenti dulu!" teriak prajurit itu.
Kakak beradik itu lalu menghentikan latihan mereka. Dengan leher dan muka berkeringat mereka memandang kepada prajurit itu. Bhok Ci Hwa menghapus keringat pada lehernya dengan sehelai kain handuk, kemudian mengomel.
"Ada apa sih? Engkau mengganggu latihan kami!"
Prajurit itu memberi hormat. “Maafkan saya. Akan tetapi di luar ada seorang tamu yang bersikeras hendak bertemu dengan Bhok-ciangkun. Ketika saya beri tahu bahwa ciangkun tidak berada di rumah, dia berkeras mengatakan hendak bertemu dengan keluarganya."
"Berkeras? Hemmm, mengapa tidak kau katakan saja bahwa dia boleh kembali lagi kalau ayah telah pulang?" tegur Bhok Ci Han yang juga merasa tidak senang dengan gangguan itu.
"Maaf, kongcu. Saya dan kawan-kawan telah mengatakan demikian, akan tetapi dia tetap berkeras hendak bertemu dengan Bhok-ciangkun atau dengan keluarganya."
"Siapa sih orang itu? Dan apa keperluannya? Ci Hwa menjadi tertarik.
"Dia seorang gadis yang cantik dan galak sekali, siocia. Dan ketika kami bertanya tentang keperluannya, dia mengatakan bahwa dia membawa berita yang amat penting bagi Bhok-ciangkun atau keluarganya."
"Apakah dia tidak memberi tahukan siapa namanya dan dari mana dia datang?" tanya Ci Han.
"Tadi sudah kami tanyakan, akan tetapi dia tidak mau mengaku...”
"Namaku Lili…!"
Ci Han dan Ci Hwa, juga prajurit itu terkejut sekali. Mereka segera memutar tubuh dan di situ telah berdiri seorang gadis yang cantik manis, matanya mencorong tajam dan bibirnya yang manis itu tersenyum sinis.
"Itu... itu dia orangnya, kongcu...,” kata prajurit itu, lantas melangkah maju dengan sikap galak.
"Heiii, nona! Mengapa engkau lancang masuk ke dalam tanpa ijin? Bukankah tadi sudah kusuruh menanti di luar sementara aku melapor ke dalam?" Prajurit itu mengambil sikap hendak menyerang, dan Lili hanya berdiri santai sambil tersenyum mengejek.
Bhok Ci Han menyentuh lengan prajurit itu kemudian berkata, "Keluarlah, biar kami bicara dengan nona ini!"
Prajurit itu memberi hormat, lalu keluar dari dalam taman itu dengan langkah lebar sambil bersungut-sungut. Agaknya dia masih merasa penasaran sekali bagaimana tamu itu tahu-tahu bisa berada di taman. Bukankah di luar masih ada lima orang kawannya? Bagaimana mereka membiarkan gadis lancang itu masuk begitu saja? Dia akan menegur lima orang kawan itu.
Akan tetapi, ketika dia sampai di gardu penjagaan pintu gerbang depan, dia disambut oleh lima orang kawannya yang babak belur dan matang biru karena dihajar oleh gadis tamu itu ketika mereka berlima hendak menghalanginya memasuki pekarangan!
********************
Sementara itu Lili sudah berdiri saling pandang dengan dua putera dan puteri Bhok Cun Ki. Melihat kakak beradik itu mengenakan pakaian ringkas dan mereka berkeringat karena habis latihan, juga di sana terdapat sebuah rak senjata yang lengkap dengan bermacam senjata, Lili tersenyum. Ia pun teringat akan pesan gurunya agar dia berhati-hati melawan Bhok Cun Ki karena pendekar Butong-pai itu lihai sekali. Pada waktu mudanya subo-nya sendiri kalah oleh Bhok Cun Ki, membuktikan bahwa pendekar itu memang lihai. Apa bila ayahnya lihai, tentu anak-anaknya juga memiliki kepandaian tinggi.
"Apakah kalian ini anak-anak dari Bhok Cun Ki?" tanya Lili dengan sikap sambil lalu saja, seolah-olah pertanyaan itu tidak penting baginya.
"Benar, panglima Bhok Cun Ki adalah ayah kami. Ada keperluan apa maka nona mencari ayah kami?" tanya Ci Han, sedangkan Ci Hwa memandang dengan alis berkerut.
Gadis yang berdiri di hadapannya memang cantik manis, senyum sinis yang dihias lesung pipinya itu sangat elok, juga cuping hidung yang agak kembang kempis itu nampak lucu, akan tetapi pandang mata itu dingin dan galak bukan kepalang. Walau pun suara gadis itu lembut berbisik, namun mengandung ejekan, dan terutama pandang mata dan senyum itu jelas memandang rendah orang lain.
"Kalau kalian ini anak-anaknya, kalian boleh mengetahui bahwa aku datang mencari Bhok Cun Ki untuk membunuhnya."
Pemuda dan gadis itu terbelalak lantas muka mereka berubah merah. Ci Hwa tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Keparat busuk yang sombong! Sebelum engkau bertemu dengan ayah, engkau akan lebih dulu kuhajar!" Sambil berteriak nyaring gadis ini langsung menerjang Lili dengan pukulan dahsyat ke arah muka gadis yang tadi mengancam hendak membunuh ayahnya itu.
"Bagus!" kata Lili sambil mengelak dan melompat ke belakang. "Dari kepandaian kalian aku dapat mengukur sampai di mana kelihaian ayah kalian."
Ci Hwa tidak peduli lagi. Begitu pukulannya luput, dia telah melanjutkan dengan serangan bertubi yang ganas. Tetapi Lili beberapa kali mengelak dan ketika dia menyambut sebuah tamparan dengan lengan kirinya, dua buah lengan yang sama-sama mungil berkulit halus itu bertemu dengan kuatnya.
"Dukkk!" Tubuh Ci Hwa terhuyung. Hal ini bukan saja mengejutkan Ci Hwa, namun juga membuat Ci Han khawatir sekali akan keselamatan adiknya, maka dia pun meloncat dan melindungi adiknya dengan sebuah dorongan tangan ke arah pundak Lili.
"Plakk!" Lili menangkis dengan lengan melingkar, dan kini Ci Han yang hampir terpelanting! Tentu saja dia terkejut dan tahu bahwa gadis manis itu tidak membual atau menyombong ketika mengeluarkan ucapan mengancam ayahnya, karena memang dia lihai bukan main.
Dia dan adiknya lalu mengeroyok Lili dan terjadilah perkelahian yang seru. Namun segera ternyata bahwa Lili memang memiliki tingkat kepandaian silat yang lebih tinggi dari pada kakak beradik itu. Sesudah lewat tiga puluh jurus, mulailah Lili mendesak mereka dengan ilmu silatnya yang aneh. Tubuhnya demikian lentur dan berlenggang-lenggok seperti tubuh seekor ular saja. Memang ilmu silatnya adalah ilmu silat yang dasarnya meniru gerakan seekor ular. Bukan hanya tubuh yang meliuk-liuk seperti tubuh ular, juga kedua lengannya ketika menangkis dan menyerang seolah gerakan dua ekor ular yang gesit kuat dan cepat sekali.
Lili hanya dipesan subo-nya agar membunuh Bhok Cun Ki. Karena itu ketika menghadapi dua orang putera dan puteri musuh besar subo-nya itu, dia sama sekali tidak mempunyai niat untuk mencelakai atau membunuh mereka. Karena itu maka Lili tidak mengerahkan tenaga yang mengandung racun.
Bahkan ketika dia mendapat kesempatan, dia hanya merobohkan Ci Hwa dengan totokan dengan ujung kaki pada belakang lutut Ci Hwa, dilanjutkan dorongan kaki yang membuat Ci Hwa terjengkang. Dan ketika Ci Han memukul ke arah dadanya, dia mengelak, tangan kirinya menangkap dan lengannya seperti seekor ular sudah membelit lengan pemuda itu! Ci Han terkejut, dan kesempatan ini dipergunakan Lili untuk membantingnya ke samping sehingga pemuda itu pun terpelanting.
Ci Hwa yang merasa penasaran langsung meloncat ke arah rak senjata untuk mengambil pedangnya yang tadi dia taruh di situ ketika latihan, diikuti kakaknya. Akan tetapi ketika dia menyambar pedangnya, lengannya dipegang oleh Ci Han. Ia menengok dan kakaknya menggeleng kepala sambil memandang kepadanya.
"Jangan, moi-moi (adik), tidak perlu kita menggunakan senjata."
Melihat itu Lili tertawa, biar pun di dalam hatinya dia merasa suka kepada kakak beradik itu. Tadi kakak beradik itu melawannya berdua tanpa menimbulkan keributan, hal ini saja menunjukkan bahwa mereka memang memiliki wajah yang gagah. Kalau tidak demikian, apa sukarnya bagi mereka untuk berteriak atau memberi tanda supaya pasukan pengawal datang mengeroyoknya?
Dan sekarang si kakak melarang adiknya menggunakan senjata, ini pun merupakan bukti bahwa mereka, biar pun putera dan puteri seorang panglima, namun agaknya tidak biasa membonceng kedudukan ayah untuk bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain.
"Kakakmu itu benar, tidak perlu kita menggunakan senjata, sudah cukup bagiku menguji kepandaian kalian. Aku tidak bermaksud membunuh kalian atau siapa saja, kecuali Bhok Cun Ki!"
"Kalau engkau tidak bermaksud mengganggu keluarga ayah kami, mengapa tadi engkau mencari keluarga ayah?" Ci Han bertanya sedangkan Ci Hwa memandang dengan mata melotot marah.
"Ketika penjaga di luar mengatakan bahwa Bhok Cun Ki tidak ada, aku tidak percaya dan aku ingin bertemu dengan keluarganya, hanya untuk bertanya di mana adanya Bhok Cun Ki. Tadi pun aku tidak bermaksud untuk mengajak kalian berkelahi."
"Ayah memang tidak berada di rumah."
"Ke mana dia pergi?" Sepasang mata yang amat tajam itu seperti hendak menembus dan menjeguk isi hati Ci Han melalui matanya.
"Kami tidak tahu benar. Ayah kami sedang melaksanakan tugas, dan hal itu tidak dapat dibicarakan dengan siapa pun juga."
"Hemm, aku percaya padamu. Sinar mata dan suaramu tidak membohong. Akan tetapi, kapan dia pulang?" tanya pula Lili.
"Itu pun kami tidak tahu dengan pasti. Mungkin malam nanti, mungkin juga besok pagi. Akan tetapi, mengapa engkau hendak membunuh ayah kami? Siapakah engkau dan dari mana engkau datang?"
Lili tersenyum. "Tidak perlu kujelaskan, akan tetapi kalau ayah kalian pulang, katakan saja kepadanya bahwa aku menantangnya untuk mengadu nyawa pada besok sore di puncak bukit Bambu Naga. Katakan bahwa aku membawa benda ini untuk mencabut nyawanya!" Sambil berkata demikian tangan kanannya bergerak, nampak cahaya putih berkelebat dan tahu-tahu gadis ini telah memegang sebatang pedang yang bentuknya seperti seekor ular putih.
Hanya sebentar saja kakak beradik itu melihat pedang itu, sebab dengan gerakan secepat kilat pedang itu telah kembali masuk ke dalam sarungnya dan Lili meninggalkan tempat itu dengan melompat lalu tubuhnya lenyap menjadi bayangan berkelebat.
Kakak beradik itu saling pandang dan merasa kagum, juga khawatir sekali. Harus mereka akui gadis tadi amat lihai. Biar pun mereka yakin bahwa ayahnya juga amat lihai, namun mereka tetap khawatir karena selain gadis itu akan merupakan lawan tangguh ayahnya, juga mereka mengenal watak ayah mereka.
Biar pun dia telah menjadi seorang panglima, namun tetap saja ayah mereka itu berwatak pendekar. Sebagai seorang laki-laki jantan, apa lagi yang sudah memiliki kedudukan tinggi di dunia persilatan, bagaimana ayahnya akan suka melawan seorang gadis muda yang menantangnya?
Dengan hati merasa penasaran kakak beradik itu lalu berjalan ke luar untuk menegur para penjaga mengapa mereka membolehkan gadis tadi masuk dan di tempat itu baru mereka mengerti betapa gadis itu pun telah menghajar lima orang yang bertugas jaga di luar pada saat mereka hendak mencegah dia memasuki pekarangan!
"Kalian berenam tidak perlu bicara kepada siapa pun mengenai kunjungan gadis tadi, biar kami sendiri yang akan melapor kepada ayah. Awas, kalian akan dihukum berat kalau ada di antara kalian yang membocorkan berita mengenai peristiwa tadi!" kata Ci Han kepada mereka.
Enam orang prajurit itu memberi hormat. "Baik, kongcu. Kami tidak akan bicara kepada siapa pun tanpa ijin kongcu dan siocia."
Sesudah menyuruh seorang penjaga mengambil rak senjata dari taman, kakak beradik itu lalu memasuki rumah. Kepada ibu mereka pun mereka tidak bercerita mengenai peristiwa tadi. Ibu mereka adalah seorang wanita yang lemah dan halus perasaannya. Mereka tidak ingin melihat ibu mereka menjadi gelisah bila mendengar ancaman dari gadis tadi. Mereka akan menanti sampai ayah mereka pulang.
********************
Tidak mengherankan apa bila Lili dapat sedemikian mudahnya menemukan rumah Bhok Cun Ki. Gadis ini telah bertemu dan bersahabat dengan Pangeran Yaluta yang dikenalnya sebagai Ya Lu Ta atau Ya-kongcu. Karena pangeran yang dianggapnya seorang pemuda yang kaya raya dan ramah tamah itu bersikap baik, bahkan menghukum anak buahnya sendiri yang kurang ajar kepadanya, kemudian Ya-kongcu menjanjikan untuk mendukung See-thian Coa-ong Cu Kiat menjadi bengcu dalam pemilihan di Thai-san tahun depan, dan berjanji akan membantunya mencarikan Bhok Cun Ki, maka Lili mau menjadi sahabatnya.
Dia mau pula diajak melakukan perjalanan bersama ke kota raja. Di sepanjang perjalanan sikap Ya-kongcu amat baik, ramah dan penuh hormat kepadanya. Lili yang belum banyak mengenal dunia ramai, dengan mudah saja tunduk dan menganggap Ya-kongcu sebagai seorang yang baik dan patut dijadikan sahabat.
Di Nan-king Lili tidak perlu repot-repot. Anak buah Ya-kongcu telah menyediakan sebuah kamar di hotel terbesar, dan beberapa hari kemudian dia bahkan memperoleh petunjuk di mana adanya musuh besar bekas gurunya yang kini menjadi suci-nya itu. Ternyata Bhok Cun Ki telah menjadi seorang panglima dan tinggal di sebuah gedung besar, tidak tinggal di dalam benteng. Begitu mudahnya! Oleh karena itu pada sore hari itu dia segera datang berkunjung seorang diri sebab dia menolak tawaran Ya-kongcu untuk mengirim pembantu menemaninya.
"Terima kasih, Ya-kongcu," katanya menolak halus. "Bantuan untuk menemukan tempat tinggal Bhok Cun Ki saja sudah merupakan budi besar, dan urusanku dengan Bhok Cun Ki adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri orang lain. Aku akan mengunjunginya seorang diri saja."
Demikianlah, pada sore itu dia datang berkunjung ke rumah keluarga Bhok, malah sempat menguji kepandaian putera dan puteri musuh besar suci-nya itu dan merasa puas. Ia telah meninggalkan pesan untuk Bhok Cun Ki. Besok sore dia tentu akan dapat menyelesaikan tugas yang diserahkan suci-nya kepadanya.
Malam hari itu Ya-kongcu bersama dua orang pengawalnya datang berkunjung ke tempat penginapan Lili sambil membawa hidangan makan malam yang dipesannya dari restoran terbesar dan termewah. Hidangan itu diantar dengan kereta oleh pegawai restoran.
Lili terkejut akan tetapi tentu saja tidak berani menolak, dan mereka berdua makan minum di dalam ruangan yang khusus disediakan untuk keperluan tamu dalam hotel yang mewah itu. Ketika mereka sedang makan minum, Lili melihat betapa dua orang laki-laki setengah tua yang datang bersama Ya-kongcu hanya berdiri di dekat pintu ruangan.
"Siapakah teman kongcu itu? Kenapa tidak di suruh makan sekalian dengan kita?"
"Ahh, mereka adalah dua orang pengawalku. Di kota raja ini banyak terdapat orang jahat, maka lebih aman kalau pergi disertai dua orang pengawal. Mereka bertugas melindungiku, maka tidak semestinya kalau mereka ikut makan bersama kita. Sudahlah, jangan pikirkan mereka dan mari kita makan sambil aku mendengarkan ceritamu mengenai kunjunganmu kepada keluarga Bhok Cun Ki itu."
Mereka makan minum dengan gembira dan Lili lalu menceritakan dengan singkat namun jelas hasil kunjungannya kepada Bhok Cun Ki, betapa dia tidak berhasil bertemu dengan Bhok Cun Ki karena panglima itu tidak berada di rumah, akan tetapi dia sudah bertemu dengan putera dan puterinya lantas meninggalkan pesan tantangan kepada Bhok Cun Ki agar besok sore mereka mengadu kepandaian di puncak Bukit Bambu di luar kota raja.
Ya-kongcu mendengarkan dan kelihatan kagum sekali. "Engkau sungguh gagah perkasa dan sangat pemberani, nona Lili. Akan tetapi, kalau engkau hendak membunuh panglima Bhok Cun Ki, sesudah tiba di rumahnya dan bertemu dengan dua orang anaknya, kenapa engkau tidak membunuh mereka?"
Lili menunda makannya, lalu memandang wajah pemuda itu sambil mengerutkan alisnya. "Kenapa aku harus membunuh anak-anaknya, kongcu? Urusanku ini hanya menyangkut diri pribadi Bhok Cun Ki, tidak ada hubungannya dengan keluarganya. Tidak, aku tak mau membunuh orang lain, kecuali Bhok Cun Ki seorang!"
Melihat sikap Lili, Ya-kongcu mengangguk-angguk, di dalam hati dia mencatat watak dan pendirian Lili. Gadis ini tidak dapat disamakan dengan tokoh-tokoh dunia hitam yang lain. Walau pun datang dari lingkungan datuk sesat, murid dari datuk See-thian Coa-ong, tetapi watak gadis ini lebih mendekati watak seorang pendekar.
Dia harus berhati-hati menghadapi seorang berwatak seperti ini. Kalau Lili seorang tokoh sesat, amat mudahlah menanganinya. Cukup dengan pemberian hadiah-hadiah berharga, dia akan dapat mempergunakan tenaga seorang datuk sesat sekali pun. Akan tetapi gadis ini lain! Karena itu dia menolak ketika hendak dibantu menghadapi Bhok Cun Ki.
"Akan tetapi, nona. Aku tahu bahwa nona lihai sekali, hanya aku sudah mendengar dari para pembantuku bahwa Bhok Cun Ki adalah seorang ahli pedang yang sangat tangguh. Dia adalah seorang murid Butong-pai yang sukar dikalahkan. Aku merasa khawatir kalau besok sore engkau melawannya...”
Lili tersenyum dan Ya-kongcu terpesona. Dia bukan seorang pemuda hijau, sama sekali tidak. Usianya sudah tiga puluh lima tahun dan dia sudah mempunyai banyak pengalaman hidup, juga dengan wanita. Dia pernah bergaul dengan wanita yang bagaimana pun juga. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan gadis seperti ini, dan senyumnya demikian menawan, membuat jantungnya berdebar penuh gairah. Bagaimana pun, belum pernah dia mempunyai kekasih seorang gadis perkasa dan aneh seperti Lili!
"Engkau mengkhawatirkan aku kalau kalah melawan Bhok Cun Ki, kongcu? Aih, apa yang harus dikhawatirkan? Kalah atau menang dalam pertandingan adalah hal yang lumrah dan biasa saja. Kalau tidak menang tentu kalah dan kalau tidak kalah ya pasti menang! Apa bedanya? Yang paling penting bagiku adalah memenuhi tugas ini. Kalau aku sudah dapat berhadapan dan bertanding dengan dia, cukuplah. Menang kalah terserah keadaan nanti, tetapi tentu saja aku akan mengerahkan seluruh kemampuanku, dan untuk itu aku sudah membuat persiapan matang."
"Aku yakin engkau akan menang, nona. Dan untuk itu, aku turut mendoakan dengan tiga cawan anggur!" Dia mengangkat cawan anggurnya, disambut oleh Lili dan mereka minum beruntun sampai tiga kali.
********************
Sementara itu, di rumah keluarga Bhok, panglima Bhok Cun Ki malam itu pulang bersama Sin Wan. Dalam perjalanan pulang ke gedung keluarga Bhok ini, Sin Wan bercakap-cakap dengan panglima itu dan diam-diam dia merasa kagum.
Panglima ini adalah seorang yang cerdik dan berpemandangan luas sekali, juga berwatak pendekar, rendah hati dan mengenal dunia kang-ouw secara luas. Karena itu dia merasa girang sekali bahwa Jenderal Shu Ta telah memberi tugas kepadanya agar bekerja sama dan membantu panglima ini.
Mula-mula dia merasa ragu apakah panglima ini memiliki pandangan yang sama dengan Jenderal Shu Ta dalam hal dia seorang keturunan asing, bukan orang Han asli melainkan keturunan Uighur. Jangan-jangan panglima ini memiliki pandangan yang dangkal seperti yang dikemukakan Jenderal Yauw Ti tadi, yang menaruh curiga kepada orang yang bukan asli dan menganggap bahwa dalam hati orang-orang keturunan Uighur tidak mempunyai kesetiaan terhadap pemerintah Han!
Dia sengaja memancing, dalam perjalanan itu dia bertanya kepada Bhok-ciangkun tentang hal itu. "Ciangkun, bagaimana pendapat ciangkun tentang ucapan Jenderal Yauw Ti tadi, mengenai kenyataan bahwa aku bukanlah seorang pribumi, bukan orang Han melainkan keturunan Uighur, keturunan asing? Agaknya Jenderal Yauw Ti meragukan kesetiaanku terhadap negara."
Bhok Cun Ki lalu tersenyum. "Kesetiaan seseorang, bahkan lebih luas lagi, baik buruknya seseorang sama sekali bukan ditentukan oleh kebangsaan, keturunan atau pun keadaan lahiriahnya, taihiap. Dalam setiap kelompok, setiap keturunan, suku atau bangsa, bahkan kelompok agama sekali pun, di situ pasti terdapat orang yang baik dan orang yang tidak baik, seperti adanya orang yang sehat dan orang yang sakit. Sebab itu menilai seseorang dari keadaan lahiriahnya saja merupakan penilaian yang salah sama sekali. Khususnya mengenai keturunan, asli atau tidak asli, bagaimana mengukurnya? Aku sendiri tidak tahu nenek moyangku ini keturunan apa dan dari mana. Aku tidak tahu apakah darahku ini dari satu keturunan yang asli ataukah sudah campuran. Tapi apa bedanya? Seseorang hanya dapat dinilai dari perbuatannya, sepak terjangnya dalam hidup. Itu saja! Kalau menilai dari segi lain, bahkan dari sikapnya atau kata-katanya sekali pun, hal itu masih belum cukup meyakinkan, karena sikap serta kata-kata dapat saja dibuat-buat. Akan tetapi perbuatan dan sepak terjang yang berkelanjutan dalam hidup, merupakan kenyataan yang tidak bisa dibuat-buat."
"Kalau begitu, di dalam hati ciangkun tidak ada perasaan tidak senang dan berprasangka buruk terhadap diriku dan orang-orang bukan pribumi Han?"
Panglima itu menggelengkan kepala. "Sudah kukatakan, aku memandang seseorang dari perbuatannya pribadi, bukan dari golongan dan kebangsaannya. Tentu saja ini merupakan pandangan pribadiku. Tapi dalam pandanganku sebagai seorang panglima tentu saja jalan pikiranku lain lagi, harus disesuaikan dengan kepentingan negara. Apa bila ada kelompok yang memusuhi pemerintah, tentu saja mereka akan kuhadapi sebagai musuh, lepas dari pada permusuhan antara pribadi. Mengertikah engkau, taihiap?"
Sin Wan mengangguk dan pandang matanya mencorong penuh kekaguman. "Ciangkun adalah seorang bijaksana, aku merasa gembira sekali dapat bekerja sama denganmu."
Panglima itu tertawa. "Ha-ha-ha-ha, sudah lama aku mengagumi Sam-sian, dan sekarang bisa bekerja sama dengan murid mereka, tentu saja hal itu merupakan suatu kebanggaan bagiku."
Akan tetapi ketika mereka tiba di rumah keluarga Bhok, mereka disambut dengan wajah berkerut penuh ketegangan oleh Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa. Semenjak tadi pemuda dan gadis itu menunggu pulangnya ayah mereka untuk melaporkan peristiwa yang amat menggelisahkan hati mereka itu. Akan tetapi ketika melihat ayah mereka pulang bersama seorang pemuda asing, mereka hanya dapat memandang dengan penuh perhatian dan tidak berani segera menceritakan di depan pemuda asing itu.
"Ayah, siapakah saudara ini?" Ci Han bertanya. Adiknya, Ci Hwa, juga memandang penuh perhatian kepada pemuda itu.
"Taihiap, perkenalkan, mereka ini adalah putera dan puteriku, Bhok Ci Han dan Bhok Ci Hwa. Kalian ketahuilah bahwa ini adalah murid Sam-sian bernama Sin Wan, oleh Jenderal Shu Ta dia diangkat menjadi pembantuku dalam sebuah tugas penting."
Pemuda dan gadis itu lalu memandang penuh perhatian. Pemuda yang diangkat menjadi pembantu ayahnya ini sama sekali tak mengesankan, dan tidak nampak sebagai seorang prajurit apa lagi pendekar, sungguh pun ayah mereka memperkenalkannya sebagai murid Sam-sian.
Tubuhnya tinggi tegap, kulitnya agak gelap, tidak seperti kulit pemuda Han biasanya, dan ketampanan wajahnya juga lain, agak asing. Dahinya lebar, alisnya tebal berbentuk golok dan mata yang lebar bersinar itu terlampau hitam, hidungnya juga terlalu tinggi dan agak besar.
Namun Ci Hwa mengakui dalam hatinya bahwa pemuda ini memang memiliki kejantanan walau pun lembut, seperti seekor harimau jantan yang sudah jinak. Dan melihat Sin Wan merangkap kedua tangannya di depan dada memberi hormat, Ci Han dan Ci Hwa cepat membalas penghormatan itu.
"Mana ibu kalian? Mengapa tidak berada dengan kalian menanti pulangku di sini?" tanya Bhok-ciangkun yang merasa heran karena biasanya, isterinya tentu bersama dua orang anaknya itu menanti kepulangannya di serambi depan.
"Tidak, ayah. Ibu berada di dalam dan memang kami sengaja menanti ayah berdua saja karena kami mempunyai berita yang teramat penting," kata Ci Han.
"Hemm, berita apa yang begitu penting hingga ibumu tidak dibawa serta mendengarnya?" tanya ayah mereka sambil tersenyum.
"Ayah...," Ci Hwa berkata dan matanya melirik ke arah Sin Wan...