KEMUDIAN, tanpa berani memperlihatkan diri Sin Wan melihat mereka berdua bertanding. Dia hanya bersiap untuk melindungi Bhok-ciangkun kalau sampai panglima itu terancam bahaya, namun diam-diam dia pun mengambil keputusan untuk mencegah seandainya Lili yang kalah dan terancam maut.
Kemudian, pada waktu Bhok-ciangkun menggunakan siasat seperti yang dimaksudkannya ketika dia dan panglima itu bertanding pedang, yaitu dengan cara berlompatan mengambil contoh seekor burung menghadapi ular, dan ketika panglima itu sudah dapat mendesak lawan, dia melihat senjata rahasia yang meluncur ke arah Bhok-ciangkun itu.
Akan tetapi dari tempat dia bersembunyi tidak mungkin dia menolong panglima itu karena senjata rahasia itu meluncur dari arah yang berlawanan dari tempat dia bersembunyi! Dia melihat betapa Bhok-ciangkun berhasil menangkis senjata kecil itu dengan pedang, dan senjata rahasia itu bahkan melukai Lili! Dengan cepat, melalui jalan memutar, Sin Wan lari ke tempat dari mana senjata itu datang. Akan tetapi karena dia harus mengambil jalan memutar, dia pun terlambat dan tidak dapat menemukan penyerang gelap itu.
Ketika dia melihat Bhok-ciangkun menolong Lili dan memondong gadis yang pingsan itu menuju ke kota raja, dia cepat mendahului lantas kepada Ci Hwa dan Ci Han dia hanya menceritakan bahwa Bhok-ciangkun dalam keadaan selamat dan dapat mengalahkan Lili.
"Cepat, ambilkan peti obat!" kata Bhok-ciangkun kepada dua orang anaknya sambil terus memondong tubuh Lili yang masih pingsan ke dalam kamar.
Sin Wan tidak ikut masuk, melainkan masuk ke dalam kamarnya sendiri dan termenung. Dia ikut terharu dengan peristiwa itu dan tidak ingin mencampuri. Betapa pun juga dia semakin kagum terhadap Bhok Cun Ki. Sungguh seorang pendekar yang bijaksana, pikirnya. Gadis itu jelas datang untuk membunuhnya dan sekarang gadis itu pingsan karena senjata rahasia orang lain. Namun Bhok Cun Ki bahkan menolongnya dan membawanya pulang untuk mengobatinya! Jarang terdapat orang yang bijaksana dan budiman seperti panglima itu.
Bhok Cun Ki sibuk sekali mengobati Lili. Dua orang anaknya hanya menonton dengan alis berkerut. Mereka merasa penasaran bukan main. Gadis liar itu sudah menghina mereka, mengalahkan mereka, bahkan mengancam hendak membunuh ayah mereka. Akan tetapi kini ayah mereka malah membawa gadis yang terluka itu pulang untuk diobati!
Bhok Cun Ki mencuci bersih luka itu, kemudian mengurut bagian pundak dan memaksa darah menghitam keluar dari luka di pundak. Sesudah itu ditempelkannya obat penghisap racun berupa koyok (obat tempel) putih yang tebal, dan dibalutnya pundak itu. Semua ini dia kerjakan sendiri karena kedua orang anaknya segan untuk membantu.
Lili mengeluh dan membuka kedua matanya. Sejenak dia seperti nanar dan bingung, akan tetapi dia cepat bangkit duduk sambil menggigit bibir ketika terasa nyeri pada pundaknya. Ia memandang ke arah pundak kirinya, alisnya berkerut melihat betapa baju di pundaknya robek dan nampak kulit pundaknya telanjang tetapi kini sudah terbalut kain putih.
Dia menoleh dan melihat Bhok Cun Ki duduk di depannya, juga dua orang anak panglima itu berada di kamar. Melihat dia duduk di atas pembaringan di sebuah kamar, Lili segera teringat. Ia terkena serangan senjata rahasia di pundaknya dan dia roboh di puncak bukit itu, tapi kenapa tahu-tahu dia berada di kamar ini? Melihat obat berserakan di atas meja, dia pun tahu bahwa tentu dia telah diobati oleh Bhok Cun Ki!
"Engkau... manusia curang! Pengecut! Engkau menyerangku dengan senjata rahasia! Dan engkau membawaku ke sini! Sungguh engkau telah menghinaku!"
"Tenanglah dulu, nona Lili. Bukan aku yang menyerangmu dengan senjata rahasia. Lihat, benda inilah yang mengenai pundakmu!" Dia mengeluarkan paku hitam dari dalam saku bajunya, menyerahkannya kepada Lili. Gadis itu menerimanya, menyimpan dalam lipatan bajunya.
"Kelak pasti akan aku ketahui siapa pemilik paku ini. Tentu komplotanmu yang sengaja menyerangku secara curang."
"Nona Lili, engkau terlalu memandang rendah kepadaku!" kata Bhok Cun Ki dengan alis berkerut. "Engkau tahu benar bahwa di dalam pertandingan tadi aku tidak berada di pihak yang kalah atau pun terdesak. Paku itu ditujukan kepadaku, untuk menyerangku. Dan aku yang sedang berada di atas lalu menangkisnya dengan pedang sehingga paku itu meleset dan mengenai pundakmu."
"Bhok Cun Ki, kalau begitu mengapa engkau membawaku ke sini? Jangan kau kira kalau perbuatanmu ini akan membuat aku berhutang budi kepadamu. Sesudah lukaku sembuh, aku tetap akan menantangmu mengadu nyawa lagi!" Lili berkeras.
"Nona, jangan pergi dulu, lukamu belum sembuh. Atau, kalau kau tetap berkeras hendak pergi, bawalah obat ini untuk menggantikan koyok yang menyedot racun dari lukamu itu," kata Bhok-ciangkun ketika melihat gadis itu hendak melangkah pergi. "Dan jangan lupa, ini pedangmu!" Dia menyodorkan pedang dan buntalan obat.
Lili cemberut, tangan kanannya menyambar pedang ular putih dan diselipkan di pinggang, kemudian direnggutnya balutan pundaknya dengan kasar hingga balutan itu terlepas dan obat koyok itu pun jatuh dari pundaknya.
"Aku tidak membutuhkan pertolonganmu. Aku juga tidak minta kau obati!" katanya sambil menahan rasa nyeri karena luka itu berdarah lagi setelah koyok dan balutannya direnggut lepas dan dia buang.
"Kelak aku akan mencarimu lagi untuk melanjutkan pertandingan sampai salah seorang di antara kita menjadi mayat!" Setelah berkata demikian Lili lalu membalikkan tubuhnya, dan sambil menahan rasa nyeri dia pun melarikan diri meninggalkan gedung keluarga Bhok.
Bhok-ciangkun tidak mengejar, kemudian dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi dengan wajah yang muram sekali. Isterinya masuk dari ruang belakang dan segera menghampiri suaminya.
"Apakah yang terjadi? Aku mendengar dari para pelayan bahwa engkau pulang memondong seorang gadis yang terluka dan pingsan."
Bhok Cun Ki menggelengkan kepala. “Tidak ada apa-apa. Dia seorang gadis yang terkena paku beracun dan tadi aku menolongnya."
"Gadis itu sombong sekali ibu," kata Ci Hwa. "Dia ditolong tetapi malah marah-marah dan pergi."
"Siapa sih dia?" tanya Nyonya Bhok Cun Ki yang berwajah cantik dan berwatak lembut itu.
Ci Hwa dan Ci Han memandang kepada ayah mereka, dan Bhok Cun Ki berkata, "Kami tidak mengenalnya. Sudahlah, jangan pikirkan gadis itu lagi."
Dengan isyarat pandangan matanya Bhok Cun Ki menyuruh kedua orang anaknya pergi. Dua orang muda itu pun segera keluar dari kamar meninggalkan ayah ibu mereka. Ci Hwa mencari Sin Wan di kamarnya, namun pemuda itu tidak berada di sana, juga tidak berada di mana pun dalam gedung itu.
Untung bagi Lili bahwa malam itu cuaca sangat gelap dan udara yang mendung membuat orang segan keluar rumah. Jalan-jalan amat sunyi sehingga Lili yang bajunya robek pada bagian pundak, hanya ditutupi dengan sapu tangan lebar dan tangan kanan, tidak menarik perhatian banyak orang. Juga ketika dia memasuki rumah penginapan besar melalui pintu samping, para penjaga tidak begitu memperhatikannya sehingga dengan aman dia dapat memasuki kamarnya di rumah penginapan terbesar di kota raja itu.
Setibanya di dalam kamar, Lili tidak menahan-nahan lagi rasa nyeri di pundaknya dan dia pun merintih kesakitan. Kemudian dia menyalakan lampu penerangan, ditambah beberapa batang lilin, dan memeriksa luka di pundaknya di depan sebuah cermin.
Hemm, luka beracun, pikirnya. Sebagai murid See-thian Coa-ong yang tentu mempelajari penggunaan berbagai macam racun, terutama racun ular dan binatang berbisa lainnya, ia segera mengetahui bahwa luka di pundaknya itu mengandung racun bunga yang cukup berbahaya. Untung bahwa racun itu tidak menjalar ke dalam, juga sebagian besar racun telah disedot oleh koyok yang dipasangkan Bhok Cun Ki dan yang tadi dibuangnya.
Selagi dia hendak mengobati lukanya dengan obat yang berada dalam bekalnya, tiba-tiba saja terdengar suara di luar daun jendela kamarnya. "Lili, bukalah jendela ini, biarkan aku masuk. Aku ingin bicara denganmu."
Tangan kanan Lili segera meraba gagang pedangnya dan matanya terbelalak. Suaranya terdengar agak gemetar, bukan karena takut melainkan karena tegang ketika ia bertanya, "Siapa...? Siapa di luar jendela itu?"
"Aku yang berada di sini, Lili. Aku Sin Wan...”
"Sin Wan...?" Wajah itu berubah menjadi berseri, pandang mata yang tadinya berharap-harap cemas itu menjadi bersinar-sinar dan dengan tangan kanan yang agak menggigil Lili lalu membuka daun jendela yang lebar itu. Sesosok bayangan berkelebat masuk melalui jendela ke dalam kamar dan Sin Wan menutupkan kembali daun jendela itu.
"Sin Wan...! Akhirnya kita jumpa juga... aihh, alangkah rinduku kepadamu..." Lili berseru perlahan dan dia pun merangkul leher pemuda itu dengan lengan kanannya karena lengan kirinya akan membuat pundaknya nyeri sekali kalau dia gerakkan.
Sin Wan terkejut. Tak disangkanya dia akan disambut begini mesra dan penuh suka cita, juga penuh keharuan oleh gadis liar ini. Akan tetapi dia pun teringat akan pertemuannya dahulu dengan Lili.
Gadis ini pernah dengan terus terang mengaku cinta kepadanya, akan tetapi juga benci. Bahkan ketika Kui Siang meninggalkannya, Lili muncul lagi dan mengajaknya untuk hidup bersamanya. Dan sekarang, melihat sikapnya, tahulah dia bahwa gadis liar ini tak pernah melupakannya dan masih mencintanya.
Untuk sejenak Sin Wan membiarkan Lili melepas kerinduannya dengan merangkul sambil menyandarkan muka pada dadanya. Kemudian perlahan-lahan dia melepaskan rangkulan gadis itu dan berkata, "Lili, aku datang untuk bicara denganmu."
Lili melepaskan diri dan kini dia menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata bercahaya dan sepasang pipi kemerahan. Wajahnya berubah menjadi segar dan berseri walau pun pundaknya masih terasa nyeri. Sin Wan kini baru melihat bahwa pundak kiri gadis itu tidak tertutup baju dan ada luka kehitaman di situ.
"Ahh, engkau terluka? Luka beracun pula itu, Lili. Mari kubantu engkau mengobatinya."
Lili tersenyum dan senyumnya masih semanis dahulu. "Aku tahu engkau memang baik sekali kepadaku, Sin Wan. Tak pernah kulupakan betapa engkau dahulu juga menolongku dan mengobati luka keracunan di punggung dan pundakku."
Sin Wan memeriksa luka itu. Memang hanya luka kecil saja, bekas tusukan paku. Akan tetapi racun yang dibawa paku itu kini jauh lebih hebat dan berbahaya.
"Aku membawa bekal obat penawar racun, Sin Wan. Biar kuambil dari buntalan itu."
"Nanti dulu Lili. Kulihat racun dalam lukamu ini amat berbahaya. Semua sisa racun harus dikeluarkan dulu, baru diberi obat agar engkau tidak terancam bahaya yang mungkin akan timbul kelak karena pengaruh sisa racun," kata Sin Wan. "Engkau duduklah bersila di atas pembaringan itu.”
Bagaikan seorang anak yang amat penurut, dengan senyum penuh kegembiraan, Lili lalu duduk di atas pembaringan dan bersila. Sin Wan juga duduk bersila di belakangnya dan pemuda ini lalu menempelkan tangan kirinya pada punggung bawah pundak kiri gadis itu, mengerahkan tenaga sakti dan menyalurkannya melalui lengan kirinya.
Dari mendiang Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih), salah seorang di antara Tiga Dewa gurunya, Sin Wan telah mewarisi ilmu pengobatan dan di dalam ilmu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa) terdapat penggunaan sinkang menyedot yang amat kuat. Kini dia mengerahkan tenaga itu untuk menyedot keluar hawa beracun yang masih tersisa di sekitar pundak kiri.
Lili merasakan getaran hawa yang kuat dan hangat memasuki pundaknya lewat telapak tangan Sin Wan. Dia tersenyum, lantas memejamkan kedua matanya dan merasa suatu kebahagiaan yang sangat dia rindukan menyelinap di dalam hatinya. Semenjak dahulu dia kagum sekali kepada pemuda ini, sejak masih kanak-kanak.
Ketika mereka masih kanak-kanak pun mereka pernah bertemu dan berkelahi. Suci-nya, Cu Sui In yang ketika itu masih menjadi gurunya, sedang bertanding melawan Sam-sian, dan dia bertanding melawan Sin Wan.
Akan tetapi dia kalah dan Sin Wan menangkapnya, menelungkupkannya di atas pangkuan Sin Wan lalu anak laki-laki itu menghukumnya dengan tamparan pada pinggulnya sampai sepuluh kali! Teringat akan semua itu, timbul kemesraan yang mendalam di hati Lili.
Teringat pula dia pada waktu mereka sudah dewasa dan bertemu kembali, Sin Wan juga menolongnya seperti ini, bahkan pemuda itu mempergunakan mulutnya untuk menghisap luka-luka di punggungnya dan pundaknya untuk mengeluarkan racun, dan betapa selama setengah hari dia tertidur di dalam rangkulan Sin Wan, bersandar pada dadanya. Betapa mesranya!
Kemudian dia ingat betapa dia pernah membalas hukuman tamparan pada pinggulnya itu dengan penuh kemarahan, karena kekalahannya pada waktu dia masih kecil itu memang tidak pernah dapat dia lupakan. Dia menangkap Sin Wan, menyiksanya, lalu mengikatnya di hutan sehingga pemuda itu nyaris diterkam harimau. Akan tetapi dia mencintanya!
Dia mencinta Sin Wan maka dia tidak membiarkan pemuda itu mati diterkam harimau. Dia menyelamatkannya dan membebaskannya. Dan sekarang pemuda yang dahulu pernah disiksanya dan hampir dibunuhnya itu kembali menolongnya, mengobati dan mengusir racun keluar dari lukanya.
Sebenarnya dia sendiri mampu menyembuhkan luka itu. Akan tetapi dia membiarkan Sin Wan yang mengobatinya dan dia merasa betapa kemesraan menyusup di hatinya.
Tidak lama kemudian luka di pundak itu mengeluarkan cairan menghitam. Sin Wan terus mendorong dengan getaran hawa saktinya sampai semua cairan menghitam habis keluar. Setelah yang keluar darah merah, barulah dia menghentikan pengerahan sinkang-nya dan dia menaruh obat bubuk putih milik Lili, ditaburkannya pada luka itu. Obat bubuk putih itu manjur bukan main karena seketika luka kecil itu tertutup dan kering. Tidak perlu dibalut lagi.
"Sekarang bahaya yang mengancam sudah lewat," kata Sin Wan sambil meloncat turun dari atas pembaringan.
Lili juga turun dan dia mengeluarkan sehelai baju baru, lalu menyelinap masuk ke dalam kamar mandi yang terdapat di kamar besar itu. Tak lama kemudian Sin Wan melihat gadis itu keluar, bukan saja telah mengenakan pakaian bersih, bahkan jelas bahwa dia sempat mempergunakan kesempatan itu untuk membereskan gelung rambutnya serta menambah bedak pada wajahnya yang cantik!
Lili tersenyum kepadanya. "Duduklah, Sin Wan, sekarang mari kita bicara. Bagaimana engkau tahu aku berada di sini dan apa yang akan kau bicarakan dengan aku?"
"Lili, aku melihat engkau bertanding dengan Bhok-ciangkun di puncak bukit Bambu Naga tadi."
"Ehh?!" Lili terkejut dan mengamati wajah pemuda itu penuh selidik. "Dan engkau melihat siapa yang telah menyerang dengan paku beracun itu?"
Sin Wan menggeleng kepala. "Sudah kucoba untuk mengejar, akan tetapi tidak berhasil. Aku tidak tahu siapa yang melakukan kecurangan itu."
"Siapa lagi kalau bukan kawan Bhok Cun Ki sendiri yang hendak berlaku curang?"
"Jangan engkau menuduh seperti itu, Lili. Aku amat mengenal siapa Bhok Cun Ki itu dan dia adalah seorang gagah yang tidak akan sudi berbuat curang."
"Huh, kau tidak tahu. Dia adalah seorang yang palsu, perayu dan... sudahlah, untuk apa kita membicarakan dia? Tentu engkau datang mengunjungiku untuk bicara tentang kita, bukan? Apakah engkau telah bersedia untuk bertualang berdua denganku, Sin Wan? Aku selalu merindukanmu. Aku akan merasa bahagia sekali kalau engkau dapat selalu berada di sampingiku."
Sin Wan menarik napas panjang. Dia merasa iba sekali kepada Lili. Seorang gadis yang sebetulnya memiliki dasar watak yang baik dan gagah. Sayang, karena lingkungan maka dia menjadi seorang gadis kang-ouw yang ganas dan seperti liar tak terkendali.
Dia pun tahu bahwa di dalam lubuk hatinya dia merasa sayang dan kagum kepada gadis ini. Oleh karena itulah maka dia mencari Lili, untuk menyadarkannya agar gadis itu tidak melanjutkan niatnya memusuhi dan mengadu nyawa dengan Bhok Cun Ki.
"Lili, aku suka dan kagum kepadamu. Aku tahu bahwa engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan baik hati. Akan tetapi aku masih terikat oleh banyak tugas penting sehingga belum sempat mengunjungimu. Malam ini aku sengaja mencarimu justru untuk berbicara tentang Bhok-ciangkun."
Lili mengerutkan alisnya. Sepasang matanya yang indah itu mengerling tajam dan cuping hidungnya agak kembang kempis menunjukkan bahwa hatinya terasa tegang.
"Hemm, apa lagi yang dapat dibicarakan mengenai laki-laki itu?" katanya dengan suara ketus.
"Lili, aku sungguh-sungguh berharap agar engkau menghentikan permusuhanmu dengan dia. Hentikanlah memusuhinya karena dia bukanlah laki-laki seperti yang kau sangka. Dia seorang pendekar dan panglima yang bijaksana dan baik budi. Engkau keliru sekali kalau memusuhinya, apa lagi berniat hendak membunuhnya."
Makin dalam kerutan di antara alis mata gadis itu. "Sin Wan, apamu sih Bhok Cun Ki itu maka engkau hendak melindunginya sedemikian rupa?"
"Bukan apa-apa, hanya kenalan saja."
"Kalau begitu engkau belum mengenal benar siapa dia! Terus terang saja, aku hendak membunuhnya karena melaksanakan perintah dari suci-ku, untuk membalaskan dendam sakit hati suci. Engkau tidak tahu apa yang pernah dilakukannya terhadap suci. Dia telah menghancurkan kebahagiaan hidup suci-ku, tahu?"
"Aku tahu, aku telah mendengarnya dan aku dapat mengerti dan menduga apa yang telah terjadi. Akan tetapi dia bukan seorang laki-laki yang sengaja hendak merusak kehidupan suci-mu. Aku tahu bahwa mereka tadinya saling mencinta dan sudah berjanji akan hidup bersama sebagai suami isteri. Tapi kemudian Bhok Cun Ki mendengar bahwa kekasihnya adalah seorang tokoh sesat, oleh karena itu sebagai seorang pendekar dia merasa tidak berjodoh dan tidak mungkin menjadi suami isteri dengan suci-mu. Jadi dia memisahkan diri bukan karena bosan atau tidak mencinta lagi. Aku yakin dia masih mencinta suci-mu dan hanya karena keadaan maka dia terpaksa meninggalkannya."
"Hemm, memang enak saja engkau memiliki pendapat seperti itu, Sin Wan. Engkau tidak merasakan penderitaan yang dialami suci selama bertahun-tahun, bahkan engkau tidak pernah melihat dia menderita. Akan tetapi sejak aku masih kecil, aku sudah hidup di dekat suci yang dahulu menjadi guruku. Setiap hari aku melihat keadaannya, kedukaannya dan penderitaan batinnya. Dia bahkan tak mau lagi berdekatan dengan pria, apa lagi menikah. Padahal ia seorang wanita yang cantik, pandai dan memiliki segalanya. Sudah sepatutnya kalau dia mendendam kepada Bhok Cun Ki dan mengutus aku untuk membunuh laki-laki yang jahat itu!"
"Lili, engkau hanya diracuni dendam yang dikandung suci-mu. Bhok Cun Ki sama sekali bukan orang jahat dan hal itu sudah terbukti jelas ketika dia bertanding denganmu. Kalau dia jahat, tentu engkau akan dianggap musuhnya yang berbahaya karena engkau hendak membunuhnya. Akan tetapi, seperti yang telah kulihat, dalam pertandingan itu dia selalu mengalah, bahkan ketika engkau terluka oleh senjata rahasia gelap itu, dia membawamu pulang dan berusaha mengobatinya. Kalau dia jahat, tentu dia mendapatkan kesempatan yang amat baik untuk membunuhmu, bukan malah menolongmu. Kenyataan itu saja telah membuktikan bahwa Bhok Cun Ki adalah seorang pendekar."
Lili tersenyum mengejek, hatinya merasa tidak senang melihat sikap dan mendengar kata-kata Sin Wan yang memuji-muji musuh besarnya.
"Boleh jadi Bhok Cun Ki seorang pendekar, akan tetapi di dalam pandanganku dia adalah seorang yang sudah melakukan perbuatan jahat sekali terhadap suci. Sudah sepatutnya kalau suci menaruh dendam, dan karena suci sudah mewakilkannya kepadaku, maka aku harus berusaha membunuhnya!"
"Tapi dia bukan lawanmu, Lili. Dia masih terlalu lihai bagimu dan engkau akan kalah."
"Aku tidak takut! Aku akan mengadu nyawa dengannya. Dia atau aku harus mati dalam pertandingan kami nanti!" kata Lili dengan suara yang tegas dan nekat.
Sin Wan mengerutkan alisnya. Sedikit banyak dia sudah mengenal watak gadis yang liar dan ganas ini. Lili bukan sekedar menggertak, akan tetapi semua ucapannya itu akan dia lakukan. Diam diam dia merasa khawatir bukan main. Dia tidak menghendaki Bhok Cun Ki terbunuh oleh gadis liar ini, akan tetapi dia juga tidak ingin melihat Lili tewas.
"Lili, kenapa engkau demikian keras kepala dan bodoh? Bagaimana engkau akan mampu menandinginya tanpa memperdalam silatmu,? Engkau telah kalah dan kalau hanya nekat maju lagi lantas kalah lagi, bukankah hal itu sangat memalukan? Sungguh tidak tahu malu kalau setelah berulang-ulang dikalahkan, masih nekat maju lagi dan dikalahkan lagi."
Akal Sin Wan memanaskan hati gadis itu berhasil. Sepasang pipi itu menjadi kemerahan dan sinar mata itu mencorong marah. "Kalau aku melawannya lagi, aku tak akan berhenti sebelum dia atau aku yang menggeletak mati menjadi mayat. Salah satu antara dia atau aku harus mati!"
"Hemmm, itu namanya konyol! Kalau kita sudah tahu tidak akan menang dan akan mati tetapi kita tetap nekat, itu berarti suatu kebodohan dan kematian itu adalah kematian yang konyol dan tiada artinya sama sekali. Lili, ingatlah, kalau engkau mati dalam pertandingan itu, lalu apa artinya? Engkau mati konyol tetapi tetap saja dendam suci-mu tidak terbalas. Kematianmu itu hanya akan menambah kedukaan suci-mu saja, juga kekecewaan bahwa engkau yang dipercaya ternyata tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik."
Mendengar ucapan ini Lili termenung, menundukkan mukanya dan alisnya berkerut tanda bahwa dia berpikir. Lalu dia mengangkat mukanya memandang kepada Sin Wan.
"Sin Wan, jika bukan engkau yang bicara tadi, tentu aku sudah membunuh pembicaranya. Akan tetapi kupikir engkau benar juga dan sekarang aku menjadi bingung. Kalau menurut pendapatmu, lalu apa yang harus kulakukan?"
Agak lega rasa hati Sin Wan melihat perubahan sikap gadis itu. "Lili, urusan antara Bhok Cun Ki dan suci-mu itu adalah urusan yang amat pribadi, maka sebaiknya kalau suci-mu sendiri yang maju membuat perhitungan dengan Bhok Cun Ki. Kalau begini keadaannya, maka orang luar tak berhak mencampuri, siapa pun dia! Lagi pula suci-mu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi darimu, maka kiranya dialah yang akan mampu menandingi Bhok Cun Ki. Andai kata engkau yang tetap diutus olehnya untuk mewakilinya, sebelum engkau menantang Bhok Cun Ki, sebaiknya kalau engkau lebih dulu memperdalam ilmu kepandaianmu agar jangan mati konyol begitu saja. Nah, bukankah usulku ini sehat dan dapat diterima? Dalam hal pertandingan mengadu ilmu dan mungkin mengadu nyawa, kita tidak boleh terdorong oleh hati panas. Hati boleh panas, akan tetapi kepala harus tetap dingin agar engkau dapat memikirkan siasat yang baik."
Lili mengangguk-angguk. "Agaknya engkau benar, Sin Wan. Biar pun aku tidak takut mati, akan tetapi tentu saja tidak benar kalau aku nekat sehingga kematianku tidak ada artinya. Baiklah, ucapanmu telah menyadarkan aku akan kebodohanku, karena itu aku tidak akan menantang Bhok Cun Ki sebelum aku memperdalam ilmu-ilmuku. Aku bersedia menuruti permintaanmu, Sin Wan. Tetapi sebaliknya engkau pun harus menuruti permintaanku."
"Permintaan apakah itu?"
"Pertama, engkau tak boleh mencampuri urusan antara suci dengan Bhok Cun Ki, jangan melindungi Bhok Cun Ki...”
"Tentu saja aku tidak akan mencampuri. Sudah kukatakan, urusan itu sangat pribadi dan Bhok-ciangkun sendiri pun tidak mau dicampuri orang lain. Engkau melihat sendiri, ketika dia memenuhi tantanganmu, tidak ada seorang pun bersama dia. Aku sendiri hanya dapat mengintai dengan sembunyi dan di luar tahunya."
"Bagus, dan kini permintaan ke dua. Kalau memang benar engkau tidak berpihak kepada Bhok Cun Ki, marilah engkau menemani aku bertualang di dunia persilatan. Engkau harus membimbingku agar aku dapat memperdalam ilmu silatku. Sin Wan, sejak dulu aku cinta padamu dan hidupku akan berbahagia sepenuhnya kalau engkau mau mendampingi aku selamanya."
Sin Wan terkejut. Gadis ini sungguh terbuka dan jujur bukan main. Kiranya sukar mencari seorang gadis yang begini berterus terang mengatakan isi hatinya. Ucapan itu tentu saja membuat dia merasa kikuk dan mukanya menjadi kemerahan.
"Aihh, Lili, kenapa engkau kembali berbicara soal itu? Sudah kukatakan bahwa aku masih memiliki banyak tugas yang harus kuselesaikan, dan aku sama sekali belum memikirkan perjodohan.”
"Sin Wan, bukankah itu hanya alasan saja? Kalau memang engkau tidak suka kepadaku, katakan saja terus terang agar aku tidak selalu mengharapkanmu!"
"Aku kagum dan suka padamu, Lili. Akan tetapi untuk berjodoh diperlukan perasaan yang lebih mendalam, lebih dari pada hanya kagum dan suka. Dan aku belum memikirkan hal itu, aku masih terikat oleh banyak kewajiban. Bukankah engkau sendiri pun masih terikat oleh tugas-tugasmu?"
"Aku siap untuk meninggalkan suhu dan suci apa bila engkau mau hidup bersamaku, Sin Wan."
Sin Wan menggelengkan kepalanya. "Lili, kelahiran, perjodohan dan kematian berada di tangan Tuhan. Kalau kita memaksakannya maka hal itu akan tidak baik akibatnya. Kalau memang kita berjodoh, kelak tentu Tuhan akan mempertemukan kita.”
Gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri, matanya bersinar-sinar marah. "Bagus, kiranya engkau hanya bermain mulut saja! Kalau memang tidak mau, katakan saja tidak mau! Aku tahu, engkau berpihak kepada Bhok Cun Ki, dan siapa tahu, engkau mungkin sudah jatuh cinta kepada puterinya yang cantik itu. Hemm, tentu saja engkau akan terjamin kalau menjadi mantu seorang panglima!"
"Lili, aku tidak...”
"Cukup! Engkau memualkan perutku. Pergi! Pergilah dari sini dan jangan memperlihatkan mukamu lagi!" Gadis itu menunjuk ke jendela, mengusirnya...
Kemudian, pada waktu Bhok-ciangkun menggunakan siasat seperti yang dimaksudkannya ketika dia dan panglima itu bertanding pedang, yaitu dengan cara berlompatan mengambil contoh seekor burung menghadapi ular, dan ketika panglima itu sudah dapat mendesak lawan, dia melihat senjata rahasia yang meluncur ke arah Bhok-ciangkun itu.
Akan tetapi dari tempat dia bersembunyi tidak mungkin dia menolong panglima itu karena senjata rahasia itu meluncur dari arah yang berlawanan dari tempat dia bersembunyi! Dia melihat betapa Bhok-ciangkun berhasil menangkis senjata kecil itu dengan pedang, dan senjata rahasia itu bahkan melukai Lili! Dengan cepat, melalui jalan memutar, Sin Wan lari ke tempat dari mana senjata itu datang. Akan tetapi karena dia harus mengambil jalan memutar, dia pun terlambat dan tidak dapat menemukan penyerang gelap itu.
Ketika dia melihat Bhok-ciangkun menolong Lili dan memondong gadis yang pingsan itu menuju ke kota raja, dia cepat mendahului lantas kepada Ci Hwa dan Ci Han dia hanya menceritakan bahwa Bhok-ciangkun dalam keadaan selamat dan dapat mengalahkan Lili.
"Cepat, ambilkan peti obat!" kata Bhok-ciangkun kepada dua orang anaknya sambil terus memondong tubuh Lili yang masih pingsan ke dalam kamar.
Sin Wan tidak ikut masuk, melainkan masuk ke dalam kamarnya sendiri dan termenung. Dia ikut terharu dengan peristiwa itu dan tidak ingin mencampuri. Betapa pun juga dia semakin kagum terhadap Bhok Cun Ki. Sungguh seorang pendekar yang bijaksana, pikirnya. Gadis itu jelas datang untuk membunuhnya dan sekarang gadis itu pingsan karena senjata rahasia orang lain. Namun Bhok Cun Ki bahkan menolongnya dan membawanya pulang untuk mengobatinya! Jarang terdapat orang yang bijaksana dan budiman seperti panglima itu.
Bhok Cun Ki sibuk sekali mengobati Lili. Dua orang anaknya hanya menonton dengan alis berkerut. Mereka merasa penasaran bukan main. Gadis liar itu sudah menghina mereka, mengalahkan mereka, bahkan mengancam hendak membunuh ayah mereka. Akan tetapi kini ayah mereka malah membawa gadis yang terluka itu pulang untuk diobati!
Bhok Cun Ki mencuci bersih luka itu, kemudian mengurut bagian pundak dan memaksa darah menghitam keluar dari luka di pundak. Sesudah itu ditempelkannya obat penghisap racun berupa koyok (obat tempel) putih yang tebal, dan dibalutnya pundak itu. Semua ini dia kerjakan sendiri karena kedua orang anaknya segan untuk membantu.
Lili mengeluh dan membuka kedua matanya. Sejenak dia seperti nanar dan bingung, akan tetapi dia cepat bangkit duduk sambil menggigit bibir ketika terasa nyeri pada pundaknya. Ia memandang ke arah pundak kirinya, alisnya berkerut melihat betapa baju di pundaknya robek dan nampak kulit pundaknya telanjang tetapi kini sudah terbalut kain putih.
Dia menoleh dan melihat Bhok Cun Ki duduk di depannya, juga dua orang anak panglima itu berada di kamar. Melihat dia duduk di atas pembaringan di sebuah kamar, Lili segera teringat. Ia terkena serangan senjata rahasia di pundaknya dan dia roboh di puncak bukit itu, tapi kenapa tahu-tahu dia berada di kamar ini? Melihat obat berserakan di atas meja, dia pun tahu bahwa tentu dia telah diobati oleh Bhok Cun Ki!
"Engkau... manusia curang! Pengecut! Engkau menyerangku dengan senjata rahasia! Dan engkau membawaku ke sini! Sungguh engkau telah menghinaku!"
"Tenanglah dulu, nona Lili. Bukan aku yang menyerangmu dengan senjata rahasia. Lihat, benda inilah yang mengenai pundakmu!" Dia mengeluarkan paku hitam dari dalam saku bajunya, menyerahkannya kepada Lili. Gadis itu menerimanya, menyimpan dalam lipatan bajunya.
"Kelak pasti akan aku ketahui siapa pemilik paku ini. Tentu komplotanmu yang sengaja menyerangku secara curang."
"Nona Lili, engkau terlalu memandang rendah kepadaku!" kata Bhok Cun Ki dengan alis berkerut. "Engkau tahu benar bahwa di dalam pertandingan tadi aku tidak berada di pihak yang kalah atau pun terdesak. Paku itu ditujukan kepadaku, untuk menyerangku. Dan aku yang sedang berada di atas lalu menangkisnya dengan pedang sehingga paku itu meleset dan mengenai pundakmu."
"Bhok Cun Ki, kalau begitu mengapa engkau membawaku ke sini? Jangan kau kira kalau perbuatanmu ini akan membuat aku berhutang budi kepadamu. Sesudah lukaku sembuh, aku tetap akan menantangmu mengadu nyawa lagi!" Lili berkeras.
"Nona, jangan pergi dulu, lukamu belum sembuh. Atau, kalau kau tetap berkeras hendak pergi, bawalah obat ini untuk menggantikan koyok yang menyedot racun dari lukamu itu," kata Bhok-ciangkun ketika melihat gadis itu hendak melangkah pergi. "Dan jangan lupa, ini pedangmu!" Dia menyodorkan pedang dan buntalan obat.
Lili cemberut, tangan kanannya menyambar pedang ular putih dan diselipkan di pinggang, kemudian direnggutnya balutan pundaknya dengan kasar hingga balutan itu terlepas dan obat koyok itu pun jatuh dari pundaknya.
"Aku tidak membutuhkan pertolonganmu. Aku juga tidak minta kau obati!" katanya sambil menahan rasa nyeri karena luka itu berdarah lagi setelah koyok dan balutannya direnggut lepas dan dia buang.
"Kelak aku akan mencarimu lagi untuk melanjutkan pertandingan sampai salah seorang di antara kita menjadi mayat!" Setelah berkata demikian Lili lalu membalikkan tubuhnya, dan sambil menahan rasa nyeri dia pun melarikan diri meninggalkan gedung keluarga Bhok.
Bhok-ciangkun tidak mengejar, kemudian dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi dengan wajah yang muram sekali. Isterinya masuk dari ruang belakang dan segera menghampiri suaminya.
"Apakah yang terjadi? Aku mendengar dari para pelayan bahwa engkau pulang memondong seorang gadis yang terluka dan pingsan."
Bhok Cun Ki menggelengkan kepala. “Tidak ada apa-apa. Dia seorang gadis yang terkena paku beracun dan tadi aku menolongnya."
"Gadis itu sombong sekali ibu," kata Ci Hwa. "Dia ditolong tetapi malah marah-marah dan pergi."
"Siapa sih dia?" tanya Nyonya Bhok Cun Ki yang berwajah cantik dan berwatak lembut itu.
Ci Hwa dan Ci Han memandang kepada ayah mereka, dan Bhok Cun Ki berkata, "Kami tidak mengenalnya. Sudahlah, jangan pikirkan gadis itu lagi."
Dengan isyarat pandangan matanya Bhok Cun Ki menyuruh kedua orang anaknya pergi. Dua orang muda itu pun segera keluar dari kamar meninggalkan ayah ibu mereka. Ci Hwa mencari Sin Wan di kamarnya, namun pemuda itu tidak berada di sana, juga tidak berada di mana pun dalam gedung itu.
********************
Untung bagi Lili bahwa malam itu cuaca sangat gelap dan udara yang mendung membuat orang segan keluar rumah. Jalan-jalan amat sunyi sehingga Lili yang bajunya robek pada bagian pundak, hanya ditutupi dengan sapu tangan lebar dan tangan kanan, tidak menarik perhatian banyak orang. Juga ketika dia memasuki rumah penginapan besar melalui pintu samping, para penjaga tidak begitu memperhatikannya sehingga dengan aman dia dapat memasuki kamarnya di rumah penginapan terbesar di kota raja itu.
Setibanya di dalam kamar, Lili tidak menahan-nahan lagi rasa nyeri di pundaknya dan dia pun merintih kesakitan. Kemudian dia menyalakan lampu penerangan, ditambah beberapa batang lilin, dan memeriksa luka di pundaknya di depan sebuah cermin.
Hemm, luka beracun, pikirnya. Sebagai murid See-thian Coa-ong yang tentu mempelajari penggunaan berbagai macam racun, terutama racun ular dan binatang berbisa lainnya, ia segera mengetahui bahwa luka di pundaknya itu mengandung racun bunga yang cukup berbahaya. Untung bahwa racun itu tidak menjalar ke dalam, juga sebagian besar racun telah disedot oleh koyok yang dipasangkan Bhok Cun Ki dan yang tadi dibuangnya.
Selagi dia hendak mengobati lukanya dengan obat yang berada dalam bekalnya, tiba-tiba saja terdengar suara di luar daun jendela kamarnya. "Lili, bukalah jendela ini, biarkan aku masuk. Aku ingin bicara denganmu."
Tangan kanan Lili segera meraba gagang pedangnya dan matanya terbelalak. Suaranya terdengar agak gemetar, bukan karena takut melainkan karena tegang ketika ia bertanya, "Siapa...? Siapa di luar jendela itu?"
"Aku yang berada di sini, Lili. Aku Sin Wan...”
"Sin Wan...?" Wajah itu berubah menjadi berseri, pandang mata yang tadinya berharap-harap cemas itu menjadi bersinar-sinar dan dengan tangan kanan yang agak menggigil Lili lalu membuka daun jendela yang lebar itu. Sesosok bayangan berkelebat masuk melalui jendela ke dalam kamar dan Sin Wan menutupkan kembali daun jendela itu.
"Sin Wan...! Akhirnya kita jumpa juga... aihh, alangkah rinduku kepadamu..." Lili berseru perlahan dan dia pun merangkul leher pemuda itu dengan lengan kanannya karena lengan kirinya akan membuat pundaknya nyeri sekali kalau dia gerakkan.
Sin Wan terkejut. Tak disangkanya dia akan disambut begini mesra dan penuh suka cita, juga penuh keharuan oleh gadis liar ini. Akan tetapi dia pun teringat akan pertemuannya dahulu dengan Lili.
Gadis ini pernah dengan terus terang mengaku cinta kepadanya, akan tetapi juga benci. Bahkan ketika Kui Siang meninggalkannya, Lili muncul lagi dan mengajaknya untuk hidup bersamanya. Dan sekarang, melihat sikapnya, tahulah dia bahwa gadis liar ini tak pernah melupakannya dan masih mencintanya.
Untuk sejenak Sin Wan membiarkan Lili melepas kerinduannya dengan merangkul sambil menyandarkan muka pada dadanya. Kemudian perlahan-lahan dia melepaskan rangkulan gadis itu dan berkata, "Lili, aku datang untuk bicara denganmu."
Lili melepaskan diri dan kini dia menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata bercahaya dan sepasang pipi kemerahan. Wajahnya berubah menjadi segar dan berseri walau pun pundaknya masih terasa nyeri. Sin Wan kini baru melihat bahwa pundak kiri gadis itu tidak tertutup baju dan ada luka kehitaman di situ.
"Ahh, engkau terluka? Luka beracun pula itu, Lili. Mari kubantu engkau mengobatinya."
Lili tersenyum dan senyumnya masih semanis dahulu. "Aku tahu engkau memang baik sekali kepadaku, Sin Wan. Tak pernah kulupakan betapa engkau dahulu juga menolongku dan mengobati luka keracunan di punggung dan pundakku."
Sin Wan memeriksa luka itu. Memang hanya luka kecil saja, bekas tusukan paku. Akan tetapi racun yang dibawa paku itu kini jauh lebih hebat dan berbahaya.
"Aku membawa bekal obat penawar racun, Sin Wan. Biar kuambil dari buntalan itu."
"Nanti dulu Lili. Kulihat racun dalam lukamu ini amat berbahaya. Semua sisa racun harus dikeluarkan dulu, baru diberi obat agar engkau tidak terancam bahaya yang mungkin akan timbul kelak karena pengaruh sisa racun," kata Sin Wan. "Engkau duduklah bersila di atas pembaringan itu.”
Bagaikan seorang anak yang amat penurut, dengan senyum penuh kegembiraan, Lili lalu duduk di atas pembaringan dan bersila. Sin Wan juga duduk bersila di belakangnya dan pemuda ini lalu menempelkan tangan kirinya pada punggung bawah pundak kiri gadis itu, mengerahkan tenaga sakti dan menyalurkannya melalui lengan kirinya.
Dari mendiang Pek-mau-sian (Dewa Rambut Putih), salah seorang di antara Tiga Dewa gurunya, Sin Wan telah mewarisi ilmu pengobatan dan di dalam ilmu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa) terdapat penggunaan sinkang menyedot yang amat kuat. Kini dia mengerahkan tenaga itu untuk menyedot keluar hawa beracun yang masih tersisa di sekitar pundak kiri.
Lili merasakan getaran hawa yang kuat dan hangat memasuki pundaknya lewat telapak tangan Sin Wan. Dia tersenyum, lantas memejamkan kedua matanya dan merasa suatu kebahagiaan yang sangat dia rindukan menyelinap di dalam hatinya. Semenjak dahulu dia kagum sekali kepada pemuda ini, sejak masih kanak-kanak.
Ketika mereka masih kanak-kanak pun mereka pernah bertemu dan berkelahi. Suci-nya, Cu Sui In yang ketika itu masih menjadi gurunya, sedang bertanding melawan Sam-sian, dan dia bertanding melawan Sin Wan.
Akan tetapi dia kalah dan Sin Wan menangkapnya, menelungkupkannya di atas pangkuan Sin Wan lalu anak laki-laki itu menghukumnya dengan tamparan pada pinggulnya sampai sepuluh kali! Teringat akan semua itu, timbul kemesraan yang mendalam di hati Lili.
Teringat pula dia pada waktu mereka sudah dewasa dan bertemu kembali, Sin Wan juga menolongnya seperti ini, bahkan pemuda itu mempergunakan mulutnya untuk menghisap luka-luka di punggungnya dan pundaknya untuk mengeluarkan racun, dan betapa selama setengah hari dia tertidur di dalam rangkulan Sin Wan, bersandar pada dadanya. Betapa mesranya!
Kemudian dia ingat betapa dia pernah membalas hukuman tamparan pada pinggulnya itu dengan penuh kemarahan, karena kekalahannya pada waktu dia masih kecil itu memang tidak pernah dapat dia lupakan. Dia menangkap Sin Wan, menyiksanya, lalu mengikatnya di hutan sehingga pemuda itu nyaris diterkam harimau. Akan tetapi dia mencintanya!
Dia mencinta Sin Wan maka dia tidak membiarkan pemuda itu mati diterkam harimau. Dia menyelamatkannya dan membebaskannya. Dan sekarang pemuda yang dahulu pernah disiksanya dan hampir dibunuhnya itu kembali menolongnya, mengobati dan mengusir racun keluar dari lukanya.
Sebenarnya dia sendiri mampu menyembuhkan luka itu. Akan tetapi dia membiarkan Sin Wan yang mengobatinya dan dia merasa betapa kemesraan menyusup di hatinya.
Tidak lama kemudian luka di pundak itu mengeluarkan cairan menghitam. Sin Wan terus mendorong dengan getaran hawa saktinya sampai semua cairan menghitam habis keluar. Setelah yang keluar darah merah, barulah dia menghentikan pengerahan sinkang-nya dan dia menaruh obat bubuk putih milik Lili, ditaburkannya pada luka itu. Obat bubuk putih itu manjur bukan main karena seketika luka kecil itu tertutup dan kering. Tidak perlu dibalut lagi.
"Sekarang bahaya yang mengancam sudah lewat," kata Sin Wan sambil meloncat turun dari atas pembaringan.
Lili juga turun dan dia mengeluarkan sehelai baju baru, lalu menyelinap masuk ke dalam kamar mandi yang terdapat di kamar besar itu. Tak lama kemudian Sin Wan melihat gadis itu keluar, bukan saja telah mengenakan pakaian bersih, bahkan jelas bahwa dia sempat mempergunakan kesempatan itu untuk membereskan gelung rambutnya serta menambah bedak pada wajahnya yang cantik!
Lili tersenyum kepadanya. "Duduklah, Sin Wan, sekarang mari kita bicara. Bagaimana engkau tahu aku berada di sini dan apa yang akan kau bicarakan dengan aku?"
"Lili, aku melihat engkau bertanding dengan Bhok-ciangkun di puncak bukit Bambu Naga tadi."
"Ehh?!" Lili terkejut dan mengamati wajah pemuda itu penuh selidik. "Dan engkau melihat siapa yang telah menyerang dengan paku beracun itu?"
Sin Wan menggeleng kepala. "Sudah kucoba untuk mengejar, akan tetapi tidak berhasil. Aku tidak tahu siapa yang melakukan kecurangan itu."
"Siapa lagi kalau bukan kawan Bhok Cun Ki sendiri yang hendak berlaku curang?"
"Jangan engkau menuduh seperti itu, Lili. Aku amat mengenal siapa Bhok Cun Ki itu dan dia adalah seorang gagah yang tidak akan sudi berbuat curang."
"Huh, kau tidak tahu. Dia adalah seorang yang palsu, perayu dan... sudahlah, untuk apa kita membicarakan dia? Tentu engkau datang mengunjungiku untuk bicara tentang kita, bukan? Apakah engkau telah bersedia untuk bertualang berdua denganku, Sin Wan? Aku selalu merindukanmu. Aku akan merasa bahagia sekali kalau engkau dapat selalu berada di sampingiku."
Sin Wan menarik napas panjang. Dia merasa iba sekali kepada Lili. Seorang gadis yang sebetulnya memiliki dasar watak yang baik dan gagah. Sayang, karena lingkungan maka dia menjadi seorang gadis kang-ouw yang ganas dan seperti liar tak terkendali.
Dia pun tahu bahwa di dalam lubuk hatinya dia merasa sayang dan kagum kepada gadis ini. Oleh karena itulah maka dia mencari Lili, untuk menyadarkannya agar gadis itu tidak melanjutkan niatnya memusuhi dan mengadu nyawa dengan Bhok Cun Ki.
"Lili, aku suka dan kagum kepadamu. Aku tahu bahwa engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan baik hati. Akan tetapi aku masih terikat oleh banyak tugas penting sehingga belum sempat mengunjungimu. Malam ini aku sengaja mencarimu justru untuk berbicara tentang Bhok-ciangkun."
Lili mengerutkan alisnya. Sepasang matanya yang indah itu mengerling tajam dan cuping hidungnya agak kembang kempis menunjukkan bahwa hatinya terasa tegang.
"Hemm, apa lagi yang dapat dibicarakan mengenai laki-laki itu?" katanya dengan suara ketus.
"Lili, aku sungguh-sungguh berharap agar engkau menghentikan permusuhanmu dengan dia. Hentikanlah memusuhinya karena dia bukanlah laki-laki seperti yang kau sangka. Dia seorang pendekar dan panglima yang bijaksana dan baik budi. Engkau keliru sekali kalau memusuhinya, apa lagi berniat hendak membunuhnya."
Makin dalam kerutan di antara alis mata gadis itu. "Sin Wan, apamu sih Bhok Cun Ki itu maka engkau hendak melindunginya sedemikian rupa?"
"Bukan apa-apa, hanya kenalan saja."
"Kalau begitu engkau belum mengenal benar siapa dia! Terus terang saja, aku hendak membunuhnya karena melaksanakan perintah dari suci-ku, untuk membalaskan dendam sakit hati suci. Engkau tidak tahu apa yang pernah dilakukannya terhadap suci. Dia telah menghancurkan kebahagiaan hidup suci-ku, tahu?"
"Aku tahu, aku telah mendengarnya dan aku dapat mengerti dan menduga apa yang telah terjadi. Akan tetapi dia bukan seorang laki-laki yang sengaja hendak merusak kehidupan suci-mu. Aku tahu bahwa mereka tadinya saling mencinta dan sudah berjanji akan hidup bersama sebagai suami isteri. Tapi kemudian Bhok Cun Ki mendengar bahwa kekasihnya adalah seorang tokoh sesat, oleh karena itu sebagai seorang pendekar dia merasa tidak berjodoh dan tidak mungkin menjadi suami isteri dengan suci-mu. Jadi dia memisahkan diri bukan karena bosan atau tidak mencinta lagi. Aku yakin dia masih mencinta suci-mu dan hanya karena keadaan maka dia terpaksa meninggalkannya."
"Hemm, memang enak saja engkau memiliki pendapat seperti itu, Sin Wan. Engkau tidak merasakan penderitaan yang dialami suci selama bertahun-tahun, bahkan engkau tidak pernah melihat dia menderita. Akan tetapi sejak aku masih kecil, aku sudah hidup di dekat suci yang dahulu menjadi guruku. Setiap hari aku melihat keadaannya, kedukaannya dan penderitaan batinnya. Dia bahkan tak mau lagi berdekatan dengan pria, apa lagi menikah. Padahal ia seorang wanita yang cantik, pandai dan memiliki segalanya. Sudah sepatutnya kalau dia mendendam kepada Bhok Cun Ki dan mengutus aku untuk membunuh laki-laki yang jahat itu!"
"Lili, engkau hanya diracuni dendam yang dikandung suci-mu. Bhok Cun Ki sama sekali bukan orang jahat dan hal itu sudah terbukti jelas ketika dia bertanding denganmu. Kalau dia jahat, tentu engkau akan dianggap musuhnya yang berbahaya karena engkau hendak membunuhnya. Akan tetapi, seperti yang telah kulihat, dalam pertandingan itu dia selalu mengalah, bahkan ketika engkau terluka oleh senjata rahasia gelap itu, dia membawamu pulang dan berusaha mengobatinya. Kalau dia jahat, tentu dia mendapatkan kesempatan yang amat baik untuk membunuhmu, bukan malah menolongmu. Kenyataan itu saja telah membuktikan bahwa Bhok Cun Ki adalah seorang pendekar."
Lili tersenyum mengejek, hatinya merasa tidak senang melihat sikap dan mendengar kata-kata Sin Wan yang memuji-muji musuh besarnya.
"Boleh jadi Bhok Cun Ki seorang pendekar, akan tetapi di dalam pandanganku dia adalah seorang yang sudah melakukan perbuatan jahat sekali terhadap suci. Sudah sepatutnya kalau suci menaruh dendam, dan karena suci sudah mewakilkannya kepadaku, maka aku harus berusaha membunuhnya!"
"Tapi dia bukan lawanmu, Lili. Dia masih terlalu lihai bagimu dan engkau akan kalah."
"Aku tidak takut! Aku akan mengadu nyawa dengannya. Dia atau aku harus mati dalam pertandingan kami nanti!" kata Lili dengan suara yang tegas dan nekat.
Sin Wan mengerutkan alisnya. Sedikit banyak dia sudah mengenal watak gadis yang liar dan ganas ini. Lili bukan sekedar menggertak, akan tetapi semua ucapannya itu akan dia lakukan. Diam diam dia merasa khawatir bukan main. Dia tidak menghendaki Bhok Cun Ki terbunuh oleh gadis liar ini, akan tetapi dia juga tidak ingin melihat Lili tewas.
"Lili, kenapa engkau demikian keras kepala dan bodoh? Bagaimana engkau akan mampu menandinginya tanpa memperdalam silatmu,? Engkau telah kalah dan kalau hanya nekat maju lagi lantas kalah lagi, bukankah hal itu sangat memalukan? Sungguh tidak tahu malu kalau setelah berulang-ulang dikalahkan, masih nekat maju lagi dan dikalahkan lagi."
Akal Sin Wan memanaskan hati gadis itu berhasil. Sepasang pipi itu menjadi kemerahan dan sinar mata itu mencorong marah. "Kalau aku melawannya lagi, aku tak akan berhenti sebelum dia atau aku yang menggeletak mati menjadi mayat. Salah satu antara dia atau aku harus mati!"
"Hemmm, itu namanya konyol! Kalau kita sudah tahu tidak akan menang dan akan mati tetapi kita tetap nekat, itu berarti suatu kebodohan dan kematian itu adalah kematian yang konyol dan tiada artinya sama sekali. Lili, ingatlah, kalau engkau mati dalam pertandingan itu, lalu apa artinya? Engkau mati konyol tetapi tetap saja dendam suci-mu tidak terbalas. Kematianmu itu hanya akan menambah kedukaan suci-mu saja, juga kekecewaan bahwa engkau yang dipercaya ternyata tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik."
Mendengar ucapan ini Lili termenung, menundukkan mukanya dan alisnya berkerut tanda bahwa dia berpikir. Lalu dia mengangkat mukanya memandang kepada Sin Wan.
"Sin Wan, jika bukan engkau yang bicara tadi, tentu aku sudah membunuh pembicaranya. Akan tetapi kupikir engkau benar juga dan sekarang aku menjadi bingung. Kalau menurut pendapatmu, lalu apa yang harus kulakukan?"
Agak lega rasa hati Sin Wan melihat perubahan sikap gadis itu. "Lili, urusan antara Bhok Cun Ki dan suci-mu itu adalah urusan yang amat pribadi, maka sebaiknya kalau suci-mu sendiri yang maju membuat perhitungan dengan Bhok Cun Ki. Kalau begini keadaannya, maka orang luar tak berhak mencampuri, siapa pun dia! Lagi pula suci-mu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi darimu, maka kiranya dialah yang akan mampu menandingi Bhok Cun Ki. Andai kata engkau yang tetap diutus olehnya untuk mewakilinya, sebelum engkau menantang Bhok Cun Ki, sebaiknya kalau engkau lebih dulu memperdalam ilmu kepandaianmu agar jangan mati konyol begitu saja. Nah, bukankah usulku ini sehat dan dapat diterima? Dalam hal pertandingan mengadu ilmu dan mungkin mengadu nyawa, kita tidak boleh terdorong oleh hati panas. Hati boleh panas, akan tetapi kepala harus tetap dingin agar engkau dapat memikirkan siasat yang baik."
Lili mengangguk-angguk. "Agaknya engkau benar, Sin Wan. Biar pun aku tidak takut mati, akan tetapi tentu saja tidak benar kalau aku nekat sehingga kematianku tidak ada artinya. Baiklah, ucapanmu telah menyadarkan aku akan kebodohanku, karena itu aku tidak akan menantang Bhok Cun Ki sebelum aku memperdalam ilmu-ilmuku. Aku bersedia menuruti permintaanmu, Sin Wan. Tetapi sebaliknya engkau pun harus menuruti permintaanku."
"Permintaan apakah itu?"
"Pertama, engkau tak boleh mencampuri urusan antara suci dengan Bhok Cun Ki, jangan melindungi Bhok Cun Ki...”
"Tentu saja aku tidak akan mencampuri. Sudah kukatakan, urusan itu sangat pribadi dan Bhok-ciangkun sendiri pun tidak mau dicampuri orang lain. Engkau melihat sendiri, ketika dia memenuhi tantanganmu, tidak ada seorang pun bersama dia. Aku sendiri hanya dapat mengintai dengan sembunyi dan di luar tahunya."
"Bagus, dan kini permintaan ke dua. Kalau memang benar engkau tidak berpihak kepada Bhok Cun Ki, marilah engkau menemani aku bertualang di dunia persilatan. Engkau harus membimbingku agar aku dapat memperdalam ilmu silatku. Sin Wan, sejak dulu aku cinta padamu dan hidupku akan berbahagia sepenuhnya kalau engkau mau mendampingi aku selamanya."
Sin Wan terkejut. Gadis ini sungguh terbuka dan jujur bukan main. Kiranya sukar mencari seorang gadis yang begini berterus terang mengatakan isi hatinya. Ucapan itu tentu saja membuat dia merasa kikuk dan mukanya menjadi kemerahan.
"Aihh, Lili, kenapa engkau kembali berbicara soal itu? Sudah kukatakan bahwa aku masih memiliki banyak tugas yang harus kuselesaikan, dan aku sama sekali belum memikirkan perjodohan.”
"Sin Wan, bukankah itu hanya alasan saja? Kalau memang engkau tidak suka kepadaku, katakan saja terus terang agar aku tidak selalu mengharapkanmu!"
"Aku kagum dan suka padamu, Lili. Akan tetapi untuk berjodoh diperlukan perasaan yang lebih mendalam, lebih dari pada hanya kagum dan suka. Dan aku belum memikirkan hal itu, aku masih terikat oleh banyak kewajiban. Bukankah engkau sendiri pun masih terikat oleh tugas-tugasmu?"
"Aku siap untuk meninggalkan suhu dan suci apa bila engkau mau hidup bersamaku, Sin Wan."
Sin Wan menggelengkan kepalanya. "Lili, kelahiran, perjodohan dan kematian berada di tangan Tuhan. Kalau kita memaksakannya maka hal itu akan tidak baik akibatnya. Kalau memang kita berjodoh, kelak tentu Tuhan akan mempertemukan kita.”
Gadis itu tiba-tiba bangkit berdiri, matanya bersinar-sinar marah. "Bagus, kiranya engkau hanya bermain mulut saja! Kalau memang tidak mau, katakan saja tidak mau! Aku tahu, engkau berpihak kepada Bhok Cun Ki, dan siapa tahu, engkau mungkin sudah jatuh cinta kepada puterinya yang cantik itu. Hemm, tentu saja engkau akan terjamin kalau menjadi mantu seorang panglima!"
"Lili, aku tidak...”
"Cukup! Engkau memualkan perutku. Pergi! Pergilah dari sini dan jangan memperlihatkan mukamu lagi!" Gadis itu menunjuk ke jendela, mengusirnya...