MELIHAT lawan sudah siap, Ouwyang Kim lantas berseru, "Bu-tek Kiam-mo, bersiaplah dan lihat seranganku!"
Dia pun menggerakkan pedangnya, mulai menyerang dan begitu menyerang dia langsung menggunakan jurus dari Jit-ong Kiam-sut yang sangat hebat. Coa Kun kaget bukan main melihat sinar terang dari pedang gadis itu menyambar deras ke arah dadanya. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga merupakan gulungan sinar terang yang meluncur cepat ke arah dadanya. Sebagai seorang ahli pedang dia mengenal jurus pedang yang sangat berbahaya, maka dia pun cepat-cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya membentuk perisai untuk melindungi dirinya.
"Trangg…! Trangg…! Tranggg...!" berulang kali kedua pedang itu bertemu di udara dan nampak bunga api berpijar menyilaukan mata.
Kembali Coa Kun terkejut setengah mati karena setiap kali pedangnya bertemu pedang lawan, lengannya terasa hampir lumpuh karena terserang getaran yang amat kuat. Dan Ouwyang Kim tidak menghentikan serangannya, namun menyerang dan mendesak terus dengan ilmu pedang Raja Matahari yang gerakannya asing dan aneh bagi Coa Kun. Hal ini tidak mengherankan karena memang ilmu pedang itu dirangkai oleh Tung-hai-liong dari berbagai ilmu pedang bercampur dengan ilmu samurai Jepang!
Coa Kun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melindungi dirinya. Dara itu sama sekali tak memberi kesempatan kepadanya karena terus menyerangnya secara bertubi-tubi dan memang setiap serangan itu sangat berbahaya, Coa Kun hanya mampu mengelak dan menangkis, tanpa mampu membalas satu jurus pun!
Begitu bergebrak, dia terus diserang dan semakin lama serangan gadis itu semakin berat dan berbahaya. Dia maklum bahwa kalau gadis itu menghendaki, sebelum tiga puluh jurus tentu dia dapat dirobohkan dengan dada tertembus pedang atau leher putus!
Setan Pedang Tanpa Tanding itu sudah mandi keringat dan wajahnya pucat. Betapa akan malunya jika sampai dia terluka. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis puteri datuk itu sedemikian lihainya walau pun dia tahu bahwa ayah gadis ini memang seorang datuk yang sakti. Jangankan baru dia seorang diri, meski dia dibantu tiga orang temannya itu pun belum tentu dia akan mampu mengalahkan Ouwyang Kim. Lebih baik malu sedikit dari pada malu banyak.
"Cukup, nona, saya mengaku kalah!" serunya, lantas dia pun melompat jauh ke belakang. Biar pun merasa malu, akan tetapi setidaknya dia selamat dari menderita luka. Wajahnya pucat dan dia masih mandi keringat.
Ouwyang Kim tersenyum. Gadis ini nampak biasa-biasa saja, tidak berkeringat, dan tidak nampak lelah. Sudah tercapai apa yang ia kehendaki, yaitu membikin malu tamu ini untuk memperlihatkan ketidak senangan hatinya bahwa ayahnya dilibatkan dalam persekutuan pemberontak. Dia lalu menyimpan pedangnya dan mengangguk kepada Coa Kun.
“Terima kasih atas petunjuk Bu-tek Kiam-mo!" Tentu saja ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek.
Dengan mengesampingkan rasa malunya, Coa Kun memperlihatkan giginya yang kuning. "Heh-heh, di hadapan locianpwe Tung-hai-liong dan puterinya, saya tidak berani memakai julukan itu. Kiamsut dari siocia amat tangguh dan hebat, belum pernah saya menemukan ilmu pedang sehebat itu!" Dia mengangkat dua tangannya, memberi hormat kepada tuan rumah dan puterinya, lalu berkata lagi, "Sungguh pilihan Yang Mulia amat tepat. Dengan bantuan locianpwe dan nona, tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat."
"Ah, saudara Coa Kun. Yang Mulia hanya mengajak aku dan aku hanya akan berkunjung bersama muridku, Maniyoko ini. Anakku akan tinggal di rumah untuk menemani ibunya dan menggantikan aku menerima kunjungan para sahabat kami," kata Ouwyang Cin yang tidak ingin puterinya ikut pula dalam pekerjaan besar itu. Lagi pula di rumah itu perlu ada orang yang akan mewakilinya dalam menerima sumbangan sebagai semacam upeti dari para pimpinan gerombolan sesat di perairan atau pun di pantai.
Maniyoko mengatur kembali meja kursi dan kini mereka duduk lagi bercakap-cakap, tetapi kali ini ditemani oleh Ouwyang Kim. Gadis pendiam ini tidak ikut bicara, melainkan hanya sebagai pendengar yang mencatat semua percakapan itu di hatinya.
Maka tahulah dia bahwa ayahnya memang telah menerima uluran tangan dari Yang Mulia, yaitu tokoh yang mewakili Kerajaan Goan atau kerajaan orang-orang Mongol yang sedang mengadakan gerakan rahasia di kota raja dan berniat untuk membangun kembali kerajaan Goan yang sudah jatuh dua puluh tahun yang lalu.
Singkatnya, ayahnya sudah bersekutu dengan golongan pemberontak dengan janji bahwa jika kelak gerakan itu berhasil, pemerintah Kerajaan Beng dapat digulingkan dan Kerajaan Goan bangun kembali, ayahnya akan diberi pangkat raja muda yang berkuasa di daerah timur. Dan ayahnya akan pergi bersama Maniyoko ke kota raja untuk menghadap kepada Yang Mulia dan menerima tugas.
Menurut keterangan Coa Kun yang didesak ayahnya, mungkin sekali ayahnya mendapat tugas untuk bekerja sama dengan mereka, merampas kedudukan bengcu atau pimpinan kangouw yang akan diadakan di puncak Thai-san tahun depan, satu bulan sesudah tahun baru, dan membantu orang yang ditunjuk oleh Yang Mulia agar menjadi bengcu.
Pendeknya, ayahnya harus membantu anak-anak buah Yang Mulia untuk mencegah agar kedudukan bengcu jangan sampai terjatuh ke tangan orang yang setia kepada Kerajaan Beng. Apa bila kedudukan itu dapat terjatuh ke tangan orang-orang Mongol, tentu mereka akan bisa mengerahkan seluruh dunia kang-ouw untuk membantu gerakan orang Mongol menggulingkan Kerajaan Beng dan mendirikan kembali Kerajaan Goan!
Percakapan dilanjutkan setelah hidangan dikeluarkan. Sambil makan minum mereka terus bercakap-cakap, dan Ouwyang Kim hanya mendengarkan saja dengan sikap tidak peduli, padahal diam-diam dia memperhatikan dan mencatat semua pembicaraan dalam otaknya.
Setelah selesai makan minum sampai kenyang, Coa Kun dan tiga orang temannya minta pamit, lalu mereka meninggalkan rumah keluarga Ouwyang sambil membawa hadiah yang diberikan secara royal oleh Ouwyang Cin untuk menghormati utusan Yang Mulia dari kota raja itu.
Sesudah para tamu pergi, barulah Ouwyang Kim menceritakan semuanya kepada ibunya. Wanita itu merasa khawatir sekali, maka bersama puterinya dia lalu menasehati suaminya agar tidak melibatkan diri dalam pemberontakan.
"Langkahmu sudah terlampau jauh," demikian antara lain isteri yang gelisah itu memberi nasehat, "kenapa tidak kau pikirkan secara mendalam? Menempatkan diri sebagai sekutu pemberontak sungguh sangat berbahaya, menyeret seluruh keluargamu dalam bahaya. Di dunia kang-ouw engkau boleh saja mengandalkan kepandaian untuk menjagoi, tetapi apa dayamu menghadapi bala tentara kerajaan? Sebagai pemberontak kau akan berhadapan langsung dengan pemerintah dan kalau sampai tertangkap, hukumannya hanya satu yaitu mati berikut seluruh keluarga.”
Ouwyang Kim juga membujuk ayahnya. "Mengapa ayah percaya kepada orang semacam Coa Kun itu? Ayah melihat sendiri, omongannya saja besar, julukannya besar, akan tetapi buktinya dia tak ada gunanya. Kalau utusannya seperti itu, tentu yang mengutusnya juga tidak banyak artinya."
"Ha-ha-ha, kalian tidak mengerti. Gerakan ini bukan sekedar pemberontakan biasa. Yang memimpin gerakan ini adalah para pangeran Kerajaan Goan yang berhasil mengungsi ke utara. Kini mereka datang ke selatan dan menyusun kekuatan untuk membangun kembali Kerajaan Goan. Tentang siapa yang berkuasa, apa peduliku? Akan tetapi mereka sudah mengirim hadiah yang amat berharga, dan selain itu mereka pun menjanjikan bahwa kelak kalau gerakan ini berhasil, aku akan diberi kedudukan raja muda yang berkuasa di daerah timur. Kalian dengar? Raja muda! Kalian akan menjadi isteri dan puteri raja muda! Akim, engkau akan menjadi seorang puteri sejati, bangsawan tinggi. Dan tentang Yang Mulia itu, aku sendiri tentu tak akan sudi menghambakan diri kepada orang yang tidak mampu. Aku akan melihat lebih dahulu orang macam apa adanya dia."
Percuma saja ibu dan anak itu membujuk. Nafsu daya rendah memang teramat kuat dan setiap orang manusia selalu gagal menundukkannya. Kebutuhan kita hidup di dalam dunia amat terbatas. Untuk mempertahankan kehidupan ini, cukuplah dengan sandang pangan dan papan sekedarnya. Akan tetapi keinginan atau pengaruh nafsu tak mengenal batas, tidak pernah merasa cukup atau puas.
Nafsu adalah angkara murka, pementingan diri sendiri yang tanpa batas. Segala daya upaya dalam kehidupan diarahkan demi menyenangkan si aku, atau nafsu. Namun nafsu tidak pernah puas, kesenangan yang diperoleh segera terganti kebosanan dan dengan liar mencari kesenangan lain yang belum diperolehnya.
Hati akal pikiran sudah pula digelimangi nafsu sehingga hati dan pikiran selalu membela kepentingan nafsu dengan mengajukan berbagai dalih atau alasan untuk membenarkan tindakan yang didorong nafsu. Pengaruh nafsu selalu menghalalkan segala macam cara demi mencapai tujuan, dan tujuan itu tak lain pasti sesuatu yang dianggap menyenangkan si aku. Nafsu bagaikan api berkobar, semakin diberi umpan semakin besar nyalanya dan semakin tamak ingin melahap segala yang ada.
Nafsu yang timbul dari daya rendah dan disertakan manusia sejak lahir bukan merupakan kutukan. Malah sebaliknya, nafsu merupakan anugerah dari Tuhan yang Maha Pengasih yang sangat mengasihi manusia sebagai ciptaan-Nya. Nafsu mutlak perlu bagi kita dalam kehidupan di dunia ini. Tanpa adanya nafsu maka kita tidak akan hidup seperti sekarang ini, bahkan mungkin saja manusia tidak akan dapat berkembang biak seperti sekarang.
Nafsu yang bekerja sama dengan hati akal dan pikiran membuat manusia bisa membuat segala benda yang dibutuhkan manusia dalam hidup, dapat membuat kehidupan menjadi menyenangkan. Nafsu yang berada di panca indera yang membuat kita dapat merasakan segala kenikmatan hidup. Yang dinamakan kemajuan dalam bidang apa saja adalah hasil dorongan nafsu pada hati akal pikiran manusia.
Mata kita dapat menikmati pemandangan indah, hidung kita dapat menikmati penciuman harum, telinga kita dapat menikmati pendengaran merdu, dan selanjutnya. Tanpa adanya nafsu yang menimbulkan gairah, sulit membayangkan bagaimana kehidupan ini. Kosong, hampa dan tidak menarik. Kasih sayang Tuhan terbukti dengan diikut sertakannya nafsu kepada kita.
Seperti api, jika kecil dan terkendali nafsu amat bermanfaat bagi kehidupan. Sebaliknya, kalau membesar dan tidak terkendali, segalanya akan terbakar habis! Jadi masalahnya nafsu harus terkendali! Lalu bagaimana kita dapat mengendalikannya?
Pertanyaan ini selalu diajukan manusia semenjak sejarah tercatat, dan sampai sekarang pun manusia masih selalu berusaha dengan berbagai macam cara untuk menguasai atau mengendalikan nafsunya sendiri. Melalui tuntunan agama, melalui keprihatinan, bertapa, menyiksa diri dan segala macam cara lagi ditempuh manusia agar dapat menguasai dan mengendalikan nafsu.
Akan tetapi betapa pahitnya kenyataan itu, yaitu bahwa jarang sekali ada manusia yang berhasil dalam usahanya itu. Ada yang sudah bertapa di tempat sunyi sampai bertahun-tahun, tetap saja tak mampu mengendalikan nafsunya. Ketika berada di puncak gunung yang sunyi, tampaknya seolah dia telah berhasil menidurkan nafsunya. Akan tetapi begitu dia turun gunung, nafsunya bergejolak, bahkan menjadi semakin liar, lebih kuat dari pada sebelum dia bertapa. Mengapa demikian?
Semua usaha hati akal pikiran untuk mengendalikan nafsu, sebagian besar gagal karena hati akal pikiran juga sudah digelimangi nafsu. Jadi menggunakan hati akal pikiran untuk menguasai nafsu! Tidak aneh kalau gagal! Pengetahuan dan pengertian hati akal pikiran saja tidak mungkin dapat mengalahkan nafsu.
Semua orang yang melakukan perbuatan tidak baik tentu tahu dan mengerti pula bahwa perbuatannya itu tidak baik, tetapi tetap saja mereka melakukannya dan mengulanginya. Kadang sesal datang setelah berbuat, namun begitu nafsu datang mendorong, tidak ada kekuatan dalam diri untuk menahannya, bahkan akal pikiran dan hati pun tidak berdaya, malah menjadi pembela dari perbuatan yang terdorong nafsu.
Kita dihadapkan pada jalan buntu. Kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, akan tetapi kita pun terseret ke dalam dosa oleh nafsu, dan kita tak berdaya untuk mengendalikan. Lalu bagaimana?
Hanya ada satu pemecahannya, yaitu mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta. Tuhan yang menciptakan nafsu, maka hanya Tuhanlah yang akan dapat mengembalikan nafsu kepada kedudukan dan tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan bagi hidup manusia di dunia, bukan sebagai majikan. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa saja yang akan mampu mengembalikan api nafsu itu menjadi api kecil yang terkendali sehingga amat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, hanya dengan penyerahan yang tulus ikhlas, dengan penuh kesabaran dan ketawakalan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka segalanya akan kembali teratur, sesuai dengan kehendak Tuhan, terjadi karena kuasa Tuhan. Tidak ada cara atau jalan lain! Hati akal pikiran yang merupakan alat seperti juga anggota tubuh lainnya, kita gunakan untuk keperluan lahiriah, bekerja dan sebagainya. Ada pun urusan rohaniah kita menyerah kepada kekuasaan Tuhan.
Sia-sia saja Ouwyang Kim beserta ibunya membujuk dan menasehati Ouwyang Cin yang telah menjadi hamba nafsunya sendiri sehingga akhirnya ibu dan anak itu mengundurkan diri. Bahkan ketika Ouwyang Cin dan Maniyoko berangkat menuju ke kota raja, Ouwyang Kim tidak diperkenankan ikut.
"Engkau di rumah saja, Akim. Engkau mewakili ayah menerima kunjungan para sahabat dan menerima sumbangan mereka kemudian mencatatnya, juga temani ibumu. Pekerjaan mewakili ayah ini pun sangat penting, jadi jangan diabaikan." Demikian pesannya kepada Ouwyang Kim.
Gadis itu tak dapat membantah biar pun sebetulnya dia ingin sekali pergi untuk melindungi ayahnya karena seperti juga ibunya, dia pun merasa sangat khawatir kalau-kalau langkah yang diambil Ouwyang Cin itu akan menjerumuskan diri sendiri kepada bencana.
Setelah Ouwyang Cin pergi, isterinya yang lembut hati itu menangis. Sudah terlalu banyak air mata ditumpahkan wanita ini sejak dia menjadi isteri datuk itu. Dia sendiri adalah puteri seorang pendekar samurai yang baik hati dan menentang kejahatan, tapi kini dia menjadi isteri seorang datuk sesat! Dan pukulan paling hebat kini dirasakannya ketika suaminya menjadi sekutu komplotan pemberontak. Melihat ibunya menangis, Akim merangkulnya.
"Ibu, harap ibu jangan khawatir. Aku akan pergi ke kota raja dan aku hendak menentang semua usaha pemberontakan itu. Dengan demikian maka aku akan dapat menebus dosa dan noda yang dilakukan oleh ayah. Syukur kalau aku dapat menyadarkan ayah sebelum terlambat."
Ibunya mengangguk pasrah. Ia tahu bahwa hanya itulah satu-satunya jalan bagi mereka. Dia harus merelakan puterinya karena dia sendiri tidak dapat berbuat sesuatu. Jika usaha mereka dengan bujukan kata-kata tidak berhasil, maka harus dilanjutkan dengan tindakan untuk mencegah suaminya menjadi seorang pemberontak.
"Hati-hatilah, Akim. Ibu selalu mendampingimu dengan doa. Di antara nenek moyangmu tak ada yang menjadi pemberontak, baik nenek moyangmu yang di Jepang mau pun yang berada di negeri ini. Sudah menjadi kewajibanmu untuk menyelamatkan ayahmu, walau dengan taruhan nyawa sekali pun."
Demikianlah, pada hari itu juga, Ouwyang Kim atau Akim berangkat menuju ke Nan-king, ibu kota Kerajaan Beng, menyusul ayah dan suheng-nya.
Sesosok bayangan berkelebat seperti burung garuda terbang saja di atas atap sebuah rumah makan kecil yang berada di sudut kota raja. Tanpa menimbulkan suara bayangan itu meloncat turun dan beberapa detik kemudian dia sudah berada di jalan raya yang telah sepi karena malam sudah larut. Dia adalah Sin Wan.
Tadi dia membayangi seorang yang dianggap mencurigakan. Ketika orang itu memasuki rumah makan, tempat itu segera ditutup dari dalam sehingga dia pun mengintai dari atap. Dia melihat orang itu berbisik-bisik dengan tiga orang lain di dalam rumah makan kecil itu. Maka dia cepat meninggalkan tempat itu dan langsung melapor kepada Bhok-ciangkun.
Bhok Cun Ki yang memang selalu menyiapkan pasukan keamanan, cepat mengirim satu regu pasukan yang terdiri dari dua belas orang dan dipimpin sendiri oleh Sin Wan, untuk menggerebek rumah makan itu. Akan tetapi apa yang dia temukan? Hanya sebuah rumah kosong. Tak seorang pun berada di situ dan jelas bahwa penghuni rumah makan itu telah melarikan diri sebelum pasukan tiba. Padahal dia telah bergerak cepat dan tidak ada yang mengetahuinya.
Sin Wan merasa penasaran sekali. Sudah beberapa kali sejak dia berada di rumah Bhok Cun Ki dan melakukan penyelidikan, usahanya menangkap mata-mata atau orang yang dicurigai selalu gagal. Beberapa hari yang lalu, ketika menjelang tengah malam, pernah dia mengejar sesosok bayangan yang mencurigakan dan bayangan itu lenyap begitu saja di dekat pintu gerbang pagar yang membentengi istana!
"Benar-benar aneh sekali," dia mengomel sesudah kembali ke rumah keluarga Bhok dan berunding dengan panglima itu. "Bagaimana mereka bisa mengetahui bahwa tempat itu akan digerebek?"
"Mungkin di antara mereka ada banyak orang pandai sehingga gerakanmu dapat mereka ketahui. Mengapa tadi engkau tidak turun tangan sendiri saja menangkap mereka?" tanya Bhok Cun Ki.
"Saya ingin bekerja secara rahasia agar mereka tidak mengenal saya dan memudahkan penyelidikan saya, paman Bhok. Sekali saja mereka mengenal saya, tentu akan sulit bagi saya untuk melakukan penyelidikan lagi. Karena itulah saya ingin agar pasukan keamanan yang menangkap mereka."
"Kurasa tidak perlu begitu, Sin Wan. Lambat laun mereka tentu akan mengenalmu juga. Pula, bantuanmu melakukan penyelidikan terhadap jaringan mata-mata di kota raja hanya sementara saja. Tugas kita yang utama adalah mengamati pemilihan bengcu di puncak Thai-san. Tugas keamanan di kota raja akan ditangani sendiri oleh Jenderal Yauw."
"Saya belum mengenal benar Jenderal Yauw. Dia sangat teliti dan keras. Apakah dia lihai sekali?"
Bhok Cun Ki mengangguk-angguk. "Di antara para jagoan kota raja, dialah yang nomor satu. Agaknya aku sendiri akan sulit untuk menandinginya. Dialah yang menjadi guru para panglima muda di kota raja. Hanya dalam urusan perang dia kalah oleh Jenderal Shu Ta. Akan tetapi di dalam hal ilmu silat, dia lihai bukan main. Dia pun sangat keras dan entah sudah berapa orang yang dicurigai sebagai mata-mata disiksa sampai mati kalau terjatuh ke tangannya."
Sin Wan mengerutkan kedua alisnya. Dia sama sekali tidak suka mendengar kekejaman yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Akan tetapi dia maklum bahwa begitulah kenyataannya. Kalau menusia sudah saling bermusuhan, apa lagi di dalam perang, maka di dunia ini tidak ada makhluk lain yang lebih kejam dari pada manusia.
Namun dia sendiri akan selalu menuruti kata hati nuraninya. Dia selalu mendekati Tuhan dengan kepasrahannya, dengan imannya. Dia percaya bahwa Tuhan akan membersihkan perasaan hatinya dari benci, biar terhadap orang yang memusuhinya sekali pun. Memang dia bertekad untuk menentang kejahatan, akan tetapi perbuatannyalah yang dia tentang, bukan manusianya.
Dia sendiri akan memperlakukan orang yang dianggap jahat tidak dengan kebencian, tapi dengan keadilan, dan dia akan berusaha agar orang yang melakukan penyelewengan itu dapat kembali ke jalan benar. Demikianlah pelajaran yang dahulu sering dia dengar dari mendiang ibunya tersayang, juga dari ketiga orang gurunya, yaitu Sam-sian (Tiga Dewa). Pelajaran itu sesuai dengan suara hatinya. Kalau saja tidak ditugaskan oleh Ciu-sian agar dia mewakili gurunya itu, dia segan untuk melibatkan diri dalam urusan kerajaan.
Setelah beberapa kali gagal menangkap mata-mata musuh, Sin Wan bertindak lebih hati-hati lagi. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam ketika dia melakukan pengintaian sambil bersembunyi, dia melihat bayangan hitam berkelebat cepat sekali di dekat pagar tembok istana.
Tentu saja Sin Wan menjadi curiga, khawatir jika ada mata-mata musuh menyelundup ke istana dan melakukan kejahatan. Biar pun dia tahu bahwa kaisar sendiri dilindungi banyak pengawal yang rata-rata merupakan jagoan istana yang lihai, namun kalau ada orang luar menyelundup masuk ke istana kaisar maka hal itu sangatlah berbahaya bagi keselamatan keluarga kaisar.
Sin Wan cepat membayangi orang itu. Akan tetapi bayangan itu nampak meragu dan tiba-tiba saja dia mengubah tujuan, tidak jadi melompati pagar tembok melainkan membalik kemudian meninggalkan tempat itu. Sin Wan sudah maklum bahwa orang itu mempunyai ilmu berlari cepat yang tinggi, dan tubuhnya kelihatan ringan bukan main, maka dia menjadi semakin curiga dan ingin sekali mengetahui apakah orang itu termasuk kawan ataukah lawan.
Dia tahu bahwa pemerintah sendiri menyebar banyak penyelidik yang berilmu tinggi, maka melihat bayangan itu, tentu saja dia tidak dapat memastikan apakah orang itu mata-mata pemerintah ataukah mata-mata musuh. Maka dia pun cepat membayangi ke mana orang itu pergi. Sin Wan bergerak dengan hati-hati sekali, karena membayangi seorang yang memiliki gerakan ringan seperti itu sangat berbahaya dan setiap saat dapat saja orang itu memergokinya.
Benar dugaannya. Pada saat orang itu berlari cepat, tiba-tiba saja orang itu berhenti dan membalik. Akan tetapi Sin Wan lebih cepat lagi. Tubuhnya telah bertiarap di tempat gelap sehingga tidak mungkin orang itu melihatnya. Sesudah memandang sekeliling, orang yang dibayanginya itu kembali melanjutkan perjalanannya dan Sin Wan menjadi kagum.
Sungguh seorang yang cerdik, pikirnya. Kalau dia kurang cepat sedikit saja menjatuhkan diri bertiarap dalam bayangan gelap sebuah rumah, tentu dia akan diketahui dan akan sia-sialah pengintaiannya. Akhirnya dari jarak yang agak jauh dia melihat bayangan itu tiba di luar pagar tembok yang mengelilingi sebuah gedung besar. Bayangan itu lantas membalik lagi, melihat ke sekeliling, kemudian barulah dia meloncat ke atas pagar tembok itu dan menghilang.
Sin Wan lalu termenung. Sebelum melakukan penyelidikan dia sudah mempelajari seluruh keadaan kota raja dan dari Bhok-ciangkun dia memperoleh gambaran mengenai gedung-gedung besar yang penting. Dia tahu bahwa gedung yang dimasuki bayangan itu adalah sebuah gedung peristirahatan di luar istana yang merupakan milik Pangeran Chu Hui San, putera mahkota.
Dia telah mendengar banyak tentang pangeran itu dari Bhok-ciangkun yang menceritakan dengan bisik-bisik bahwa pangeran yang menjadi calon pengganti kaisar itu adalah orang yang setiap hari hanya berenang dalam lautan kesenangan. Kelemahan putera mahkota itu adalah wanita, dan menurut keterangan rahasia dari Bhok-ciangkun, gedung besar itu merupakan tempat pelesir pangeran itu kalau dia berkencan dengan wanita-wanita yang bukan selir atau dayangnya!
Dia tidak tahu apakah malam itu sang pangeran berada di gedung itu ataukah tidak, akan tetapi bagaimana pun juga timbul kekhawatirannya. Bukan tidak mungkin ada mata-mata Mongol masuk untuk membunuh pangeran yang menjadi calon kaisar, karena hal ini akan menguntungkan pihak musuh dan akan mengacaukan keadaan.
Berpikir demikian, Sin Wan lalu mendekati pagar tembok, mencari bagian yang gelap dan sepi di sebelah belakang, lalu tubuhnya melayang naik seperti seekor burung garuda saja, melompati pagar tembok dan beberapa detik kemudian dia sudah berada di taman bunga yang berada di belakang gedung.
Sin Wan menggunakan kepandaiannya, mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh), menyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak di taman itu. Dia mendekati gedung itu!
Sunyi saja di sekitar gedung dan hal ini dia artikan bahwa malam itu sang pangeran tidak berada di situ. Jika sang pangeran mahkota sedang berada di situ, tentu terdapat pasukan pengawal yang menjaga keamanan. Hatinya sudah merasa agak lega, karena kalau sang pangeran tidak berada di sana, maka keselamatan pangeran mahkota itu tidak terancam bahaya.
Akan tetapi kalau semua bagian gedung itu gelap, pada bagian kiri dia melihat sebuah ruangan yang dipasangi lampu penerangan. Cepat dia menyelinap dan tak lama kemudian dia sudah mengintai di luar jendela ruangan itu. Sebuah ruangan yang luas dan nampak tiga orang duduk berhadapan terhalang meja. Agaknya mereka mengadakan perundingan. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah melihat mereka itu semua memakai kedok!
Orang pertama bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan dia mengenakan pakaian ringkas serba hitam, bahkan topeng yang menutupi wajahnya juga berupa topeng hitam. Hanya nampak sepasang matanya yang mencorong lewat lubang pada topeng atau kedok itu. Agaknya dialah yang memimpin perundingan karena sikapnya sangat berwibawa, ada pun sikap dua orang itu penuh hormat seperti sedang menerima perintah dan sering kali mengangguk-angguk.
"Hamba mengerti, Yang Mulia," kata seorang yang mengenakan kedok hijau.
"Ingat, jika tidak terpaksa, jangan melibatkan diri dalam perkelahian," kata Si Kedok Hitam yang disebut Yang Mulia itu.
Sin Wan terkejut mendengar suara itu. Bukan seperti suara manusia, demikian parau dan dalam, seperti suara yang datang dari alam lain!
"Pusaka apa yang harus didahulukan, Yang Mulia?" tanya orang yang mengenakan kedok biru.
"Apa saja, yang penting pusaka Kerajaan Goan. Kalau ada, dahulukan cap-cap kebesaran atau bendera-bendera tanda kekuasaan, juga pedang-pedang tanda kekuasaan."
Selagi orang berkedok hijau hendak bicara, tiba-tiba Si Kedok Hitam memberi isyarat agar dia diam. Tiba-tiba saja dia memutar tubuh ke kanan, tangannya bergerak dan sinar hitam meluncur dengan cepat sekali ke arah jendela di mana Sin Wan mengintai!
Serangan itu hebat bukan main! Ternyata ada tiga batang paku beracun yang meluncur sedemikian cepatnya sehingga dapat menembus kain jendela kemudian menyerang mata, tenggorokan dan dada Sin Wan!
Tetapi dengan tenang namun lebih cepat dari sambaran senjata-senjata rahasia, pemuda ini sudah melempar tubuh ke samping lantas bergulingan sehingga tiga batang paku itu mengenai dinding di belakangnya kemudian runtuh ke lantai sambil mengeluarkan bunyi berdenting. Ketika dia bergulingan itu dia mendengar suara parau aneh itu memerintahkan dua orang tadi untuk segera pergi.
"Cepat kalian pergi, biar kubinasakan pengintai itu!"
Sin Wan hendak melompat pergi, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara keras, jendela itu pecah berantakan dan sesosok tubuh yang tinggi besar telah menyerangnya dengan dahsyat. Ternyata dia Si Kedok Hitam dan memang orang ini luar biasa sekali. Begitu tiba di luar jendela tangannya telah meluncur hendak menangkap dan mencengkeram pundak Sin Wan.
Dari sambaran anginnya saja tahulah Sin Wan bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang sangat tangguh, yang memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Dia pun cepat menggerakkan dan memutar lengan kanannya, menangkis sambil mengerahkan segenap tenaganya.
"Dukkk!" Sin Wan merasa tubuhnya tergetar dan kuda-kudanya goyah, akan tetapi Si Kedok Hitam itu pun terkejut dan mengeluarkan suara kaget.
"Uhhh...! Siapakah engkau?!" bentaknya.
Dalam suaranya yang parau dan aneh itu terkandung keheranan dan kekaguman. Tentu saja dia kagum karena selama ini jarang sekali atau bahkan hampir tidak ada orang yang dapat menangkis pukulannya tadi, bahkan membuat dia hampir terdorong mundur!
Sin Wan bersikap tenang. "Siapa adanya aku bukan menjadi masalah lagi karena semua orang bisa melihat diriku dengan baik. Yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah engkau yang memakai kedok dan berada di gedung milik Pangeran Mahkota?"
Akan tetapi Si Kedok Hitam tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan langsung saja menyerang dengan dahsyat sekali, jauh lebih dahsyat dari pada tadi. Sin Wan mengenal serangan berbahaya, tubuhnya bagaikan sehelai bulu burung ringannya sudah mengelak. Akan tetapi lawannya menyerangnya lagi dan ketika dia mengelak, Si Kedok Hitam yang menjadi semakin penasaran menyerang lagi secara tertubi-tubi. Nampaknya dia hendak memukul roboh dan menewaskan Sin Wan yang dianggapnya berbahaya.
Namun pemuda ini tentu saja bukan merupakan lawan ringan baginya. Sin Wan selalu mengelak dan kadang kalau dia menangkis, mereka berdua terguncang hebat!
Tiba-tiba terdengar orang itu mengeluarkan bentakan parau seperti suara seekor biruang marah, kemudian tubuhnya sudah berpusing seperti gasing. Sin Wan terkejut karena dari pusingan tubuh itu mencuat jari tangan yang menotok secara bertubi-tubi.
Serangan ini sungguh berbahaya sekali, maka terpaksa dia segera meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri. Pada saat itu pula suara keributan terdengar oleh orang-orang di luar gedung dan terdengar derap kaki orang berlari-larian menuju ke gedung itu.
Dari kesempatan selagi Sin Wan meloncat ke belakang, Si Kedok Hitam sudah meloncat jauh sekali meninggalkan tempat itu. Sin Wan berusaha mengejar, akan tetapi orang itu sudah menghilang seperti ditelan kegelapan malam. Dia pun tidak mempedulikan orang-orang yang berdatangan, lalu meloncat dan menghilang pula.
Sin Wan teringat akan percakapan yang didengarnya tadi, maka dia pun langsung berlari cepat menuju gedung pusaka, di mana tersimpan semua pusaka berharga milik kerajaan. Dari percakapan tadi dia menduga bahwa Si Kedok Hijau dan Kedok Biru agaknya sudah ditugaskan oleh atasannya itu untuk mencuri pusaka dari dalam gedung pusaka. Di mana lagi pusaka-pusaka dicuri kalau bukan di gedung pusaka, demikian pikirnya dan cepat dia pun pergi ke tempat itu.
Dugaannya memang tepat. Ketika dia meloncat naik ke atas gedung pusaka, dia melihat ada bayangan dua orang baru saja melayang keluar dari dalam gedung itu, dan dia pun melihat beberapa orang penjaga diam tak bergerak di tempatnya, ada yang sedang duduk dan ada yang rebah. Mereka itu seperti patung saja dan dia pun dapat menduga bahwa tentu orang-orang yang melakukan penjagaan di luar gedung pusaka itu telah dibuat tidak berdaya oleh totokan dua orang yang lihai itu.
Cepat dia melompat ke atas, ke bagian yang paling tinggi di mana terdapat dua orang itu, akan tetapi dua bayangan itu segera melarikan diri dengan berpencar. Tentu saja dia tidak mungkin dapat mengejar keduanya, maka secepat kilat dia melompat ke arah bayangan terdekat dan begitu dekat dia segera mengirim serangan dengan jurus paling ampuh dari ilmu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa). Andai kata orang itu mempunyai ilmu kepandaian beberapa kali lipat dari pada tingkatnya yang sekarang pun belum tentu dia akan mampu menghindarkan diri dari serangan dahsyat ini.
Orang itu hanya mengeluh kemudian roboh, tubuhnya pasti akan terguling kalau saja tidak cepat disambar oleh tangan Sin Wan. Orang itu tidak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat berbicara karena jari tangan Sin Wan tadi hanya menghentikan jalan darahnya saja, membuat kaki tangannya lumpuh.
"Barang-barangnya... dibawa... temanku...”
Sin Wan percaya karena dia melihat bahwa orang ini tidak membawa apa-apa. Dia lalu membebaskan totokannya dan segera berkelebat pergi untuk mengejar bayangan ke dua yang katanya membawa barang-barang, tentu benda-benda pusaka yang dicuri dua orang maling itu.
Yang penting adalah mendapatkan kembali benda-benda pusaka yang dicuri, dan dia tak ingin membiarkan orang itu dalam keadaan tertotok di atas atap karena kalau sampai dia jatuh, tentu akan tewas. Yang penting baginya sekarang adalah menangkap orang yang melarikan benda pusaka...
Dia pun menggerakkan pedangnya, mulai menyerang dan begitu menyerang dia langsung menggunakan jurus dari Jit-ong Kiam-sut yang sangat hebat. Coa Kun kaget bukan main melihat sinar terang dari pedang gadis itu menyambar deras ke arah dadanya. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga merupakan gulungan sinar terang yang meluncur cepat ke arah dadanya. Sebagai seorang ahli pedang dia mengenal jurus pedang yang sangat berbahaya, maka dia pun cepat-cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya membentuk perisai untuk melindungi dirinya.
"Trangg…! Trangg…! Tranggg...!" berulang kali kedua pedang itu bertemu di udara dan nampak bunga api berpijar menyilaukan mata.
Kembali Coa Kun terkejut setengah mati karena setiap kali pedangnya bertemu pedang lawan, lengannya terasa hampir lumpuh karena terserang getaran yang amat kuat. Dan Ouwyang Kim tidak menghentikan serangannya, namun menyerang dan mendesak terus dengan ilmu pedang Raja Matahari yang gerakannya asing dan aneh bagi Coa Kun. Hal ini tidak mengherankan karena memang ilmu pedang itu dirangkai oleh Tung-hai-liong dari berbagai ilmu pedang bercampur dengan ilmu samurai Jepang!
Coa Kun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk melindungi dirinya. Dara itu sama sekali tak memberi kesempatan kepadanya karena terus menyerangnya secara bertubi-tubi dan memang setiap serangan itu sangat berbahaya, Coa Kun hanya mampu mengelak dan menangkis, tanpa mampu membalas satu jurus pun!
Begitu bergebrak, dia terus diserang dan semakin lama serangan gadis itu semakin berat dan berbahaya. Dia maklum bahwa kalau gadis itu menghendaki, sebelum tiga puluh jurus tentu dia dapat dirobohkan dengan dada tertembus pedang atau leher putus!
Setan Pedang Tanpa Tanding itu sudah mandi keringat dan wajahnya pucat. Betapa akan malunya jika sampai dia terluka. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis puteri datuk itu sedemikian lihainya walau pun dia tahu bahwa ayah gadis ini memang seorang datuk yang sakti. Jangankan baru dia seorang diri, meski dia dibantu tiga orang temannya itu pun belum tentu dia akan mampu mengalahkan Ouwyang Kim. Lebih baik malu sedikit dari pada malu banyak.
"Cukup, nona, saya mengaku kalah!" serunya, lantas dia pun melompat jauh ke belakang. Biar pun merasa malu, akan tetapi setidaknya dia selamat dari menderita luka. Wajahnya pucat dan dia masih mandi keringat.
Ouwyang Kim tersenyum. Gadis ini nampak biasa-biasa saja, tidak berkeringat, dan tidak nampak lelah. Sudah tercapai apa yang ia kehendaki, yaitu membikin malu tamu ini untuk memperlihatkan ketidak senangan hatinya bahwa ayahnya dilibatkan dalam persekutuan pemberontak. Dia lalu menyimpan pedangnya dan mengangguk kepada Coa Kun.
“Terima kasih atas petunjuk Bu-tek Kiam-mo!" Tentu saja ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek.
Dengan mengesampingkan rasa malunya, Coa Kun memperlihatkan giginya yang kuning. "Heh-heh, di hadapan locianpwe Tung-hai-liong dan puterinya, saya tidak berani memakai julukan itu. Kiamsut dari siocia amat tangguh dan hebat, belum pernah saya menemukan ilmu pedang sehebat itu!" Dia mengangkat dua tangannya, memberi hormat kepada tuan rumah dan puterinya, lalu berkata lagi, "Sungguh pilihan Yang Mulia amat tepat. Dengan bantuan locianpwe dan nona, tentu kedudukan kita akan menjadi jauh lebih kuat."
"Ah, saudara Coa Kun. Yang Mulia hanya mengajak aku dan aku hanya akan berkunjung bersama muridku, Maniyoko ini. Anakku akan tinggal di rumah untuk menemani ibunya dan menggantikan aku menerima kunjungan para sahabat kami," kata Ouwyang Cin yang tidak ingin puterinya ikut pula dalam pekerjaan besar itu. Lagi pula di rumah itu perlu ada orang yang akan mewakilinya dalam menerima sumbangan sebagai semacam upeti dari para pimpinan gerombolan sesat di perairan atau pun di pantai.
Maniyoko mengatur kembali meja kursi dan kini mereka duduk lagi bercakap-cakap, tetapi kali ini ditemani oleh Ouwyang Kim. Gadis pendiam ini tidak ikut bicara, melainkan hanya sebagai pendengar yang mencatat semua percakapan itu di hatinya.
Maka tahulah dia bahwa ayahnya memang telah menerima uluran tangan dari Yang Mulia, yaitu tokoh yang mewakili Kerajaan Goan atau kerajaan orang-orang Mongol yang sedang mengadakan gerakan rahasia di kota raja dan berniat untuk membangun kembali kerajaan Goan yang sudah jatuh dua puluh tahun yang lalu.
Singkatnya, ayahnya sudah bersekutu dengan golongan pemberontak dengan janji bahwa jika kelak gerakan itu berhasil, pemerintah Kerajaan Beng dapat digulingkan dan Kerajaan Goan bangun kembali, ayahnya akan diberi pangkat raja muda yang berkuasa di daerah timur. Dan ayahnya akan pergi bersama Maniyoko ke kota raja untuk menghadap kepada Yang Mulia dan menerima tugas.
Menurut keterangan Coa Kun yang didesak ayahnya, mungkin sekali ayahnya mendapat tugas untuk bekerja sama dengan mereka, merampas kedudukan bengcu atau pimpinan kangouw yang akan diadakan di puncak Thai-san tahun depan, satu bulan sesudah tahun baru, dan membantu orang yang ditunjuk oleh Yang Mulia agar menjadi bengcu.
Pendeknya, ayahnya harus membantu anak-anak buah Yang Mulia untuk mencegah agar kedudukan bengcu jangan sampai terjatuh ke tangan orang yang setia kepada Kerajaan Beng. Apa bila kedudukan itu dapat terjatuh ke tangan orang-orang Mongol, tentu mereka akan bisa mengerahkan seluruh dunia kang-ouw untuk membantu gerakan orang Mongol menggulingkan Kerajaan Beng dan mendirikan kembali Kerajaan Goan!
Percakapan dilanjutkan setelah hidangan dikeluarkan. Sambil makan minum mereka terus bercakap-cakap, dan Ouwyang Kim hanya mendengarkan saja dengan sikap tidak peduli, padahal diam-diam dia memperhatikan dan mencatat semua pembicaraan dalam otaknya.
Setelah selesai makan minum sampai kenyang, Coa Kun dan tiga orang temannya minta pamit, lalu mereka meninggalkan rumah keluarga Ouwyang sambil membawa hadiah yang diberikan secara royal oleh Ouwyang Cin untuk menghormati utusan Yang Mulia dari kota raja itu.
Sesudah para tamu pergi, barulah Ouwyang Kim menceritakan semuanya kepada ibunya. Wanita itu merasa khawatir sekali, maka bersama puterinya dia lalu menasehati suaminya agar tidak melibatkan diri dalam pemberontakan.
"Langkahmu sudah terlampau jauh," demikian antara lain isteri yang gelisah itu memberi nasehat, "kenapa tidak kau pikirkan secara mendalam? Menempatkan diri sebagai sekutu pemberontak sungguh sangat berbahaya, menyeret seluruh keluargamu dalam bahaya. Di dunia kang-ouw engkau boleh saja mengandalkan kepandaian untuk menjagoi, tetapi apa dayamu menghadapi bala tentara kerajaan? Sebagai pemberontak kau akan berhadapan langsung dengan pemerintah dan kalau sampai tertangkap, hukumannya hanya satu yaitu mati berikut seluruh keluarga.”
Ouwyang Kim juga membujuk ayahnya. "Mengapa ayah percaya kepada orang semacam Coa Kun itu? Ayah melihat sendiri, omongannya saja besar, julukannya besar, akan tetapi buktinya dia tak ada gunanya. Kalau utusannya seperti itu, tentu yang mengutusnya juga tidak banyak artinya."
"Ha-ha-ha, kalian tidak mengerti. Gerakan ini bukan sekedar pemberontakan biasa. Yang memimpin gerakan ini adalah para pangeran Kerajaan Goan yang berhasil mengungsi ke utara. Kini mereka datang ke selatan dan menyusun kekuatan untuk membangun kembali Kerajaan Goan. Tentang siapa yang berkuasa, apa peduliku? Akan tetapi mereka sudah mengirim hadiah yang amat berharga, dan selain itu mereka pun menjanjikan bahwa kelak kalau gerakan ini berhasil, aku akan diberi kedudukan raja muda yang berkuasa di daerah timur. Kalian dengar? Raja muda! Kalian akan menjadi isteri dan puteri raja muda! Akim, engkau akan menjadi seorang puteri sejati, bangsawan tinggi. Dan tentang Yang Mulia itu, aku sendiri tentu tak akan sudi menghambakan diri kepada orang yang tidak mampu. Aku akan melihat lebih dahulu orang macam apa adanya dia."
Percuma saja ibu dan anak itu membujuk. Nafsu daya rendah memang teramat kuat dan setiap orang manusia selalu gagal menundukkannya. Kebutuhan kita hidup di dalam dunia amat terbatas. Untuk mempertahankan kehidupan ini, cukuplah dengan sandang pangan dan papan sekedarnya. Akan tetapi keinginan atau pengaruh nafsu tak mengenal batas, tidak pernah merasa cukup atau puas.
Nafsu adalah angkara murka, pementingan diri sendiri yang tanpa batas. Segala daya upaya dalam kehidupan diarahkan demi menyenangkan si aku, atau nafsu. Namun nafsu tidak pernah puas, kesenangan yang diperoleh segera terganti kebosanan dan dengan liar mencari kesenangan lain yang belum diperolehnya.
Hati akal pikiran sudah pula digelimangi nafsu sehingga hati dan pikiran selalu membela kepentingan nafsu dengan mengajukan berbagai dalih atau alasan untuk membenarkan tindakan yang didorong nafsu. Pengaruh nafsu selalu menghalalkan segala macam cara demi mencapai tujuan, dan tujuan itu tak lain pasti sesuatu yang dianggap menyenangkan si aku. Nafsu bagaikan api berkobar, semakin diberi umpan semakin besar nyalanya dan semakin tamak ingin melahap segala yang ada.
Nafsu yang timbul dari daya rendah dan disertakan manusia sejak lahir bukan merupakan kutukan. Malah sebaliknya, nafsu merupakan anugerah dari Tuhan yang Maha Pengasih yang sangat mengasihi manusia sebagai ciptaan-Nya. Nafsu mutlak perlu bagi kita dalam kehidupan di dunia ini. Tanpa adanya nafsu maka kita tidak akan hidup seperti sekarang ini, bahkan mungkin saja manusia tidak akan dapat berkembang biak seperti sekarang.
Nafsu yang bekerja sama dengan hati akal dan pikiran membuat manusia bisa membuat segala benda yang dibutuhkan manusia dalam hidup, dapat membuat kehidupan menjadi menyenangkan. Nafsu yang berada di panca indera yang membuat kita dapat merasakan segala kenikmatan hidup. Yang dinamakan kemajuan dalam bidang apa saja adalah hasil dorongan nafsu pada hati akal pikiran manusia.
Mata kita dapat menikmati pemandangan indah, hidung kita dapat menikmati penciuman harum, telinga kita dapat menikmati pendengaran merdu, dan selanjutnya. Tanpa adanya nafsu yang menimbulkan gairah, sulit membayangkan bagaimana kehidupan ini. Kosong, hampa dan tidak menarik. Kasih sayang Tuhan terbukti dengan diikut sertakannya nafsu kepada kita.
Seperti api, jika kecil dan terkendali nafsu amat bermanfaat bagi kehidupan. Sebaliknya, kalau membesar dan tidak terkendali, segalanya akan terbakar habis! Jadi masalahnya nafsu harus terkendali! Lalu bagaimana kita dapat mengendalikannya?
Pertanyaan ini selalu diajukan manusia semenjak sejarah tercatat, dan sampai sekarang pun manusia masih selalu berusaha dengan berbagai macam cara untuk menguasai atau mengendalikan nafsunya sendiri. Melalui tuntunan agama, melalui keprihatinan, bertapa, menyiksa diri dan segala macam cara lagi ditempuh manusia agar dapat menguasai dan mengendalikan nafsu.
Akan tetapi betapa pahitnya kenyataan itu, yaitu bahwa jarang sekali ada manusia yang berhasil dalam usahanya itu. Ada yang sudah bertapa di tempat sunyi sampai bertahun-tahun, tetap saja tak mampu mengendalikan nafsunya. Ketika berada di puncak gunung yang sunyi, tampaknya seolah dia telah berhasil menidurkan nafsunya. Akan tetapi begitu dia turun gunung, nafsunya bergejolak, bahkan menjadi semakin liar, lebih kuat dari pada sebelum dia bertapa. Mengapa demikian?
Semua usaha hati akal pikiran untuk mengendalikan nafsu, sebagian besar gagal karena hati akal pikiran juga sudah digelimangi nafsu. Jadi menggunakan hati akal pikiran untuk menguasai nafsu! Tidak aneh kalau gagal! Pengetahuan dan pengertian hati akal pikiran saja tidak mungkin dapat mengalahkan nafsu.
Semua orang yang melakukan perbuatan tidak baik tentu tahu dan mengerti pula bahwa perbuatannya itu tidak baik, tetapi tetap saja mereka melakukannya dan mengulanginya. Kadang sesal datang setelah berbuat, namun begitu nafsu datang mendorong, tidak ada kekuatan dalam diri untuk menahannya, bahkan akal pikiran dan hati pun tidak berdaya, malah menjadi pembela dari perbuatan yang terdorong nafsu.
Kita dihadapkan pada jalan buntu. Kita tidak dapat hidup tanpa nafsu, akan tetapi kita pun terseret ke dalam dosa oleh nafsu, dan kita tak berdaya untuk mengendalikan. Lalu bagaimana?
Hanya ada satu pemecahannya, yaitu mengembalikannya kepada Sang Maha Pencipta. Tuhan yang menciptakan nafsu, maka hanya Tuhanlah yang akan dapat mengembalikan nafsu kepada kedudukan dan tugasnya yang semula, yaitu menjadi peserta dan pelayan bagi hidup manusia di dunia, bukan sebagai majikan. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa saja yang akan mampu mengembalikan api nafsu itu menjadi api kecil yang terkendali sehingga amat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Oleh karena itu, hanya dengan penyerahan yang tulus ikhlas, dengan penuh kesabaran dan ketawakalan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, maka segalanya akan kembali teratur, sesuai dengan kehendak Tuhan, terjadi karena kuasa Tuhan. Tidak ada cara atau jalan lain! Hati akal pikiran yang merupakan alat seperti juga anggota tubuh lainnya, kita gunakan untuk keperluan lahiriah, bekerja dan sebagainya. Ada pun urusan rohaniah kita menyerah kepada kekuasaan Tuhan.
Sia-sia saja Ouwyang Kim beserta ibunya membujuk dan menasehati Ouwyang Cin yang telah menjadi hamba nafsunya sendiri sehingga akhirnya ibu dan anak itu mengundurkan diri. Bahkan ketika Ouwyang Cin dan Maniyoko berangkat menuju ke kota raja, Ouwyang Kim tidak diperkenankan ikut.
"Engkau di rumah saja, Akim. Engkau mewakili ayah menerima kunjungan para sahabat dan menerima sumbangan mereka kemudian mencatatnya, juga temani ibumu. Pekerjaan mewakili ayah ini pun sangat penting, jadi jangan diabaikan." Demikian pesannya kepada Ouwyang Kim.
Gadis itu tak dapat membantah biar pun sebetulnya dia ingin sekali pergi untuk melindungi ayahnya karena seperti juga ibunya, dia pun merasa sangat khawatir kalau-kalau langkah yang diambil Ouwyang Cin itu akan menjerumuskan diri sendiri kepada bencana.
Setelah Ouwyang Cin pergi, isterinya yang lembut hati itu menangis. Sudah terlalu banyak air mata ditumpahkan wanita ini sejak dia menjadi isteri datuk itu. Dia sendiri adalah puteri seorang pendekar samurai yang baik hati dan menentang kejahatan, tapi kini dia menjadi isteri seorang datuk sesat! Dan pukulan paling hebat kini dirasakannya ketika suaminya menjadi sekutu komplotan pemberontak. Melihat ibunya menangis, Akim merangkulnya.
"Ibu, harap ibu jangan khawatir. Aku akan pergi ke kota raja dan aku hendak menentang semua usaha pemberontakan itu. Dengan demikian maka aku akan dapat menebus dosa dan noda yang dilakukan oleh ayah. Syukur kalau aku dapat menyadarkan ayah sebelum terlambat."
Ibunya mengangguk pasrah. Ia tahu bahwa hanya itulah satu-satunya jalan bagi mereka. Dia harus merelakan puterinya karena dia sendiri tidak dapat berbuat sesuatu. Jika usaha mereka dengan bujukan kata-kata tidak berhasil, maka harus dilanjutkan dengan tindakan untuk mencegah suaminya menjadi seorang pemberontak.
"Hati-hatilah, Akim. Ibu selalu mendampingimu dengan doa. Di antara nenek moyangmu tak ada yang menjadi pemberontak, baik nenek moyangmu yang di Jepang mau pun yang berada di negeri ini. Sudah menjadi kewajibanmu untuk menyelamatkan ayahmu, walau dengan taruhan nyawa sekali pun."
Demikianlah, pada hari itu juga, Ouwyang Kim atau Akim berangkat menuju ke Nan-king, ibu kota Kerajaan Beng, menyusul ayah dan suheng-nya.
********************
Sesosok bayangan berkelebat seperti burung garuda terbang saja di atas atap sebuah rumah makan kecil yang berada di sudut kota raja. Tanpa menimbulkan suara bayangan itu meloncat turun dan beberapa detik kemudian dia sudah berada di jalan raya yang telah sepi karena malam sudah larut. Dia adalah Sin Wan.
Tadi dia membayangi seorang yang dianggap mencurigakan. Ketika orang itu memasuki rumah makan, tempat itu segera ditutup dari dalam sehingga dia pun mengintai dari atap. Dia melihat orang itu berbisik-bisik dengan tiga orang lain di dalam rumah makan kecil itu. Maka dia cepat meninggalkan tempat itu dan langsung melapor kepada Bhok-ciangkun.
Bhok Cun Ki yang memang selalu menyiapkan pasukan keamanan, cepat mengirim satu regu pasukan yang terdiri dari dua belas orang dan dipimpin sendiri oleh Sin Wan, untuk menggerebek rumah makan itu. Akan tetapi apa yang dia temukan? Hanya sebuah rumah kosong. Tak seorang pun berada di situ dan jelas bahwa penghuni rumah makan itu telah melarikan diri sebelum pasukan tiba. Padahal dia telah bergerak cepat dan tidak ada yang mengetahuinya.
Sin Wan merasa penasaran sekali. Sudah beberapa kali sejak dia berada di rumah Bhok Cun Ki dan melakukan penyelidikan, usahanya menangkap mata-mata atau orang yang dicurigai selalu gagal. Beberapa hari yang lalu, ketika menjelang tengah malam, pernah dia mengejar sesosok bayangan yang mencurigakan dan bayangan itu lenyap begitu saja di dekat pintu gerbang pagar yang membentengi istana!
"Benar-benar aneh sekali," dia mengomel sesudah kembali ke rumah keluarga Bhok dan berunding dengan panglima itu. "Bagaimana mereka bisa mengetahui bahwa tempat itu akan digerebek?"
"Mungkin di antara mereka ada banyak orang pandai sehingga gerakanmu dapat mereka ketahui. Mengapa tadi engkau tidak turun tangan sendiri saja menangkap mereka?" tanya Bhok Cun Ki.
"Saya ingin bekerja secara rahasia agar mereka tidak mengenal saya dan memudahkan penyelidikan saya, paman Bhok. Sekali saja mereka mengenal saya, tentu akan sulit bagi saya untuk melakukan penyelidikan lagi. Karena itulah saya ingin agar pasukan keamanan yang menangkap mereka."
"Kurasa tidak perlu begitu, Sin Wan. Lambat laun mereka tentu akan mengenalmu juga. Pula, bantuanmu melakukan penyelidikan terhadap jaringan mata-mata di kota raja hanya sementara saja. Tugas kita yang utama adalah mengamati pemilihan bengcu di puncak Thai-san. Tugas keamanan di kota raja akan ditangani sendiri oleh Jenderal Yauw."
"Saya belum mengenal benar Jenderal Yauw. Dia sangat teliti dan keras. Apakah dia lihai sekali?"
Bhok Cun Ki mengangguk-angguk. "Di antara para jagoan kota raja, dialah yang nomor satu. Agaknya aku sendiri akan sulit untuk menandinginya. Dialah yang menjadi guru para panglima muda di kota raja. Hanya dalam urusan perang dia kalah oleh Jenderal Shu Ta. Akan tetapi di dalam hal ilmu silat, dia lihai bukan main. Dia pun sangat keras dan entah sudah berapa orang yang dicurigai sebagai mata-mata disiksa sampai mati kalau terjatuh ke tangannya."
Sin Wan mengerutkan kedua alisnya. Dia sama sekali tidak suka mendengar kekejaman yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Akan tetapi dia maklum bahwa begitulah kenyataannya. Kalau menusia sudah saling bermusuhan, apa lagi di dalam perang, maka di dunia ini tidak ada makhluk lain yang lebih kejam dari pada manusia.
Namun dia sendiri akan selalu menuruti kata hati nuraninya. Dia selalu mendekati Tuhan dengan kepasrahannya, dengan imannya. Dia percaya bahwa Tuhan akan membersihkan perasaan hatinya dari benci, biar terhadap orang yang memusuhinya sekali pun. Memang dia bertekad untuk menentang kejahatan, akan tetapi perbuatannyalah yang dia tentang, bukan manusianya.
Dia sendiri akan memperlakukan orang yang dianggap jahat tidak dengan kebencian, tapi dengan keadilan, dan dia akan berusaha agar orang yang melakukan penyelewengan itu dapat kembali ke jalan benar. Demikianlah pelajaran yang dahulu sering dia dengar dari mendiang ibunya tersayang, juga dari ketiga orang gurunya, yaitu Sam-sian (Tiga Dewa). Pelajaran itu sesuai dengan suara hatinya. Kalau saja tidak ditugaskan oleh Ciu-sian agar dia mewakili gurunya itu, dia segan untuk melibatkan diri dalam urusan kerajaan.
Setelah beberapa kali gagal menangkap mata-mata musuh, Sin Wan bertindak lebih hati-hati lagi. Beberapa hari kemudian, pada suatu malam ketika dia melakukan pengintaian sambil bersembunyi, dia melihat bayangan hitam berkelebat cepat sekali di dekat pagar tembok istana.
Tentu saja Sin Wan menjadi curiga, khawatir jika ada mata-mata musuh menyelundup ke istana dan melakukan kejahatan. Biar pun dia tahu bahwa kaisar sendiri dilindungi banyak pengawal yang rata-rata merupakan jagoan istana yang lihai, namun kalau ada orang luar menyelundup masuk ke istana kaisar maka hal itu sangatlah berbahaya bagi keselamatan keluarga kaisar.
Sin Wan cepat membayangi orang itu. Akan tetapi bayangan itu nampak meragu dan tiba-tiba saja dia mengubah tujuan, tidak jadi melompati pagar tembok melainkan membalik kemudian meninggalkan tempat itu. Sin Wan sudah maklum bahwa orang itu mempunyai ilmu berlari cepat yang tinggi, dan tubuhnya kelihatan ringan bukan main, maka dia menjadi semakin curiga dan ingin sekali mengetahui apakah orang itu termasuk kawan ataukah lawan.
Dia tahu bahwa pemerintah sendiri menyebar banyak penyelidik yang berilmu tinggi, maka melihat bayangan itu, tentu saja dia tidak dapat memastikan apakah orang itu mata-mata pemerintah ataukah mata-mata musuh. Maka dia pun cepat membayangi ke mana orang itu pergi. Sin Wan bergerak dengan hati-hati sekali, karena membayangi seorang yang memiliki gerakan ringan seperti itu sangat berbahaya dan setiap saat dapat saja orang itu memergokinya.
Benar dugaannya. Pada saat orang itu berlari cepat, tiba-tiba saja orang itu berhenti dan membalik. Akan tetapi Sin Wan lebih cepat lagi. Tubuhnya telah bertiarap di tempat gelap sehingga tidak mungkin orang itu melihatnya. Sesudah memandang sekeliling, orang yang dibayanginya itu kembali melanjutkan perjalanannya dan Sin Wan menjadi kagum.
Sungguh seorang yang cerdik, pikirnya. Kalau dia kurang cepat sedikit saja menjatuhkan diri bertiarap dalam bayangan gelap sebuah rumah, tentu dia akan diketahui dan akan sia-sialah pengintaiannya. Akhirnya dari jarak yang agak jauh dia melihat bayangan itu tiba di luar pagar tembok yang mengelilingi sebuah gedung besar. Bayangan itu lantas membalik lagi, melihat ke sekeliling, kemudian barulah dia meloncat ke atas pagar tembok itu dan menghilang.
Sin Wan lalu termenung. Sebelum melakukan penyelidikan dia sudah mempelajari seluruh keadaan kota raja dan dari Bhok-ciangkun dia memperoleh gambaran mengenai gedung-gedung besar yang penting. Dia tahu bahwa gedung yang dimasuki bayangan itu adalah sebuah gedung peristirahatan di luar istana yang merupakan milik Pangeran Chu Hui San, putera mahkota.
Dia telah mendengar banyak tentang pangeran itu dari Bhok-ciangkun yang menceritakan dengan bisik-bisik bahwa pangeran yang menjadi calon pengganti kaisar itu adalah orang yang setiap hari hanya berenang dalam lautan kesenangan. Kelemahan putera mahkota itu adalah wanita, dan menurut keterangan rahasia dari Bhok-ciangkun, gedung besar itu merupakan tempat pelesir pangeran itu kalau dia berkencan dengan wanita-wanita yang bukan selir atau dayangnya!
Dia tidak tahu apakah malam itu sang pangeran berada di gedung itu ataukah tidak, akan tetapi bagaimana pun juga timbul kekhawatirannya. Bukan tidak mungkin ada mata-mata Mongol masuk untuk membunuh pangeran yang menjadi calon kaisar, karena hal ini akan menguntungkan pihak musuh dan akan mengacaukan keadaan.
Berpikir demikian, Sin Wan lalu mendekati pagar tembok, mencari bagian yang gelap dan sepi di sebelah belakang, lalu tubuhnya melayang naik seperti seekor burung garuda saja, melompati pagar tembok dan beberapa detik kemudian dia sudah berada di taman bunga yang berada di belakang gedung.
Sin Wan menggunakan kepandaiannya, mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh), menyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak di taman itu. Dia mendekati gedung itu!
Sunyi saja di sekitar gedung dan hal ini dia artikan bahwa malam itu sang pangeran tidak berada di situ. Jika sang pangeran mahkota sedang berada di situ, tentu terdapat pasukan pengawal yang menjaga keamanan. Hatinya sudah merasa agak lega, karena kalau sang pangeran tidak berada di sana, maka keselamatan pangeran mahkota itu tidak terancam bahaya.
Akan tetapi kalau semua bagian gedung itu gelap, pada bagian kiri dia melihat sebuah ruangan yang dipasangi lampu penerangan. Cepat dia menyelinap dan tak lama kemudian dia sudah mengintai di luar jendela ruangan itu. Sebuah ruangan yang luas dan nampak tiga orang duduk berhadapan terhalang meja. Agaknya mereka mengadakan perundingan. Akan tetapi yang membuat dia terheran-heran adalah melihat mereka itu semua memakai kedok!
Orang pertama bertubuh tinggi besar dengan perut gendut dan dia mengenakan pakaian ringkas serba hitam, bahkan topeng yang menutupi wajahnya juga berupa topeng hitam. Hanya nampak sepasang matanya yang mencorong lewat lubang pada topeng atau kedok itu. Agaknya dialah yang memimpin perundingan karena sikapnya sangat berwibawa, ada pun sikap dua orang itu penuh hormat seperti sedang menerima perintah dan sering kali mengangguk-angguk.
"Hamba mengerti, Yang Mulia," kata seorang yang mengenakan kedok hijau.
"Ingat, jika tidak terpaksa, jangan melibatkan diri dalam perkelahian," kata Si Kedok Hitam yang disebut Yang Mulia itu.
Sin Wan terkejut mendengar suara itu. Bukan seperti suara manusia, demikian parau dan dalam, seperti suara yang datang dari alam lain!
"Pusaka apa yang harus didahulukan, Yang Mulia?" tanya orang yang mengenakan kedok biru.
"Apa saja, yang penting pusaka Kerajaan Goan. Kalau ada, dahulukan cap-cap kebesaran atau bendera-bendera tanda kekuasaan, juga pedang-pedang tanda kekuasaan."
Selagi orang berkedok hijau hendak bicara, tiba-tiba Si Kedok Hitam memberi isyarat agar dia diam. Tiba-tiba saja dia memutar tubuh ke kanan, tangannya bergerak dan sinar hitam meluncur dengan cepat sekali ke arah jendela di mana Sin Wan mengintai!
Serangan itu hebat bukan main! Ternyata ada tiga batang paku beracun yang meluncur sedemikian cepatnya sehingga dapat menembus kain jendela kemudian menyerang mata, tenggorokan dan dada Sin Wan!
Tetapi dengan tenang namun lebih cepat dari sambaran senjata-senjata rahasia, pemuda ini sudah melempar tubuh ke samping lantas bergulingan sehingga tiga batang paku itu mengenai dinding di belakangnya kemudian runtuh ke lantai sambil mengeluarkan bunyi berdenting. Ketika dia bergulingan itu dia mendengar suara parau aneh itu memerintahkan dua orang tadi untuk segera pergi.
"Cepat kalian pergi, biar kubinasakan pengintai itu!"
Sin Wan hendak melompat pergi, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara keras, jendela itu pecah berantakan dan sesosok tubuh yang tinggi besar telah menyerangnya dengan dahsyat. Ternyata dia Si Kedok Hitam dan memang orang ini luar biasa sekali. Begitu tiba di luar jendela tangannya telah meluncur hendak menangkap dan mencengkeram pundak Sin Wan.
Dari sambaran anginnya saja tahulah Sin Wan bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang sangat tangguh, yang memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Dia pun cepat menggerakkan dan memutar lengan kanannya, menangkis sambil mengerahkan segenap tenaganya.
"Dukkk!" Sin Wan merasa tubuhnya tergetar dan kuda-kudanya goyah, akan tetapi Si Kedok Hitam itu pun terkejut dan mengeluarkan suara kaget.
"Uhhh...! Siapakah engkau?!" bentaknya.
Dalam suaranya yang parau dan aneh itu terkandung keheranan dan kekaguman. Tentu saja dia kagum karena selama ini jarang sekali atau bahkan hampir tidak ada orang yang dapat menangkis pukulannya tadi, bahkan membuat dia hampir terdorong mundur!
Sin Wan bersikap tenang. "Siapa adanya aku bukan menjadi masalah lagi karena semua orang bisa melihat diriku dengan baik. Yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah engkau yang memakai kedok dan berada di gedung milik Pangeran Mahkota?"
Akan tetapi Si Kedok Hitam tidak menjawab dengan kata-kata, melainkan langsung saja menyerang dengan dahsyat sekali, jauh lebih dahsyat dari pada tadi. Sin Wan mengenal serangan berbahaya, tubuhnya bagaikan sehelai bulu burung ringannya sudah mengelak. Akan tetapi lawannya menyerangnya lagi dan ketika dia mengelak, Si Kedok Hitam yang menjadi semakin penasaran menyerang lagi secara tertubi-tubi. Nampaknya dia hendak memukul roboh dan menewaskan Sin Wan yang dianggapnya berbahaya.
Namun pemuda ini tentu saja bukan merupakan lawan ringan baginya. Sin Wan selalu mengelak dan kadang kalau dia menangkis, mereka berdua terguncang hebat!
Tiba-tiba terdengar orang itu mengeluarkan bentakan parau seperti suara seekor biruang marah, kemudian tubuhnya sudah berpusing seperti gasing. Sin Wan terkejut karena dari pusingan tubuh itu mencuat jari tangan yang menotok secara bertubi-tubi.
Serangan ini sungguh berbahaya sekali, maka terpaksa dia segera meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri. Pada saat itu pula suara keributan terdengar oleh orang-orang di luar gedung dan terdengar derap kaki orang berlari-larian menuju ke gedung itu.
Dari kesempatan selagi Sin Wan meloncat ke belakang, Si Kedok Hitam sudah meloncat jauh sekali meninggalkan tempat itu. Sin Wan berusaha mengejar, akan tetapi orang itu sudah menghilang seperti ditelan kegelapan malam. Dia pun tidak mempedulikan orang-orang yang berdatangan, lalu meloncat dan menghilang pula.
Sin Wan teringat akan percakapan yang didengarnya tadi, maka dia pun langsung berlari cepat menuju gedung pusaka, di mana tersimpan semua pusaka berharga milik kerajaan. Dari percakapan tadi dia menduga bahwa Si Kedok Hijau dan Kedok Biru agaknya sudah ditugaskan oleh atasannya itu untuk mencuri pusaka dari dalam gedung pusaka. Di mana lagi pusaka-pusaka dicuri kalau bukan di gedung pusaka, demikian pikirnya dan cepat dia pun pergi ke tempat itu.
Dugaannya memang tepat. Ketika dia meloncat naik ke atas gedung pusaka, dia melihat ada bayangan dua orang baru saja melayang keluar dari dalam gedung itu, dan dia pun melihat beberapa orang penjaga diam tak bergerak di tempatnya, ada yang sedang duduk dan ada yang rebah. Mereka itu seperti patung saja dan dia pun dapat menduga bahwa tentu orang-orang yang melakukan penjagaan di luar gedung pusaka itu telah dibuat tidak berdaya oleh totokan dua orang yang lihai itu.
Cepat dia melompat ke atas, ke bagian yang paling tinggi di mana terdapat dua orang itu, akan tetapi dua bayangan itu segera melarikan diri dengan berpencar. Tentu saja dia tidak mungkin dapat mengejar keduanya, maka secepat kilat dia melompat ke arah bayangan terdekat dan begitu dekat dia segera mengirim serangan dengan jurus paling ampuh dari ilmu Sam-sian Sin-ciang (Tangan Sakti Tiga Dewa). Andai kata orang itu mempunyai ilmu kepandaian beberapa kali lipat dari pada tingkatnya yang sekarang pun belum tentu dia akan mampu menghindarkan diri dari serangan dahsyat ini.
Orang itu hanya mengeluh kemudian roboh, tubuhnya pasti akan terguling kalau saja tidak cepat disambar oleh tangan Sin Wan. Orang itu tidak mampu bergerak, akan tetapi masih dapat berbicara karena jari tangan Sin Wan tadi hanya menghentikan jalan darahnya saja, membuat kaki tangannya lumpuh.
"Barang-barangnya... dibawa... temanku...”
Sin Wan percaya karena dia melihat bahwa orang ini tidak membawa apa-apa. Dia lalu membebaskan totokannya dan segera berkelebat pergi untuk mengejar bayangan ke dua yang katanya membawa barang-barang, tentu benda-benda pusaka yang dicuri dua orang maling itu.
Yang penting adalah mendapatkan kembali benda-benda pusaka yang dicuri, dan dia tak ingin membiarkan orang itu dalam keadaan tertotok di atas atap karena kalau sampai dia jatuh, tentu akan tewas. Yang penting baginya sekarang adalah menangkap orang yang melarikan benda pusaka...