LILI memandang suci-nya. "Sama sekali tidak, suci. Juga dengan bantuan Yauw Kongcu, aku sudah dapat menemukan Bhok Cun Ki...”
"Dan kau sudah membunuhnya?" Wanita itu bertanya cepat dengan suara gemetar.
Lili menundukkan mukanya yang menjadi agak kemerahan. "Suci, maafkan aku. Aku telah menantangnya dan kami telah bertanding, tetapi... aku kalah...”
Cu Sui In terbelalak dan nampak marah sekali. "Sumoi, engkau kalah dan engkau masih hidup bahkan bersenang-senang di istana? Hemm, beginikah cara engkau membalas budi suci-mu ini?"
"Hemmm, bersabarlah, Sui In," kata See-thian Coa-ong. "Lili, ceritakan apa yang terjadi. Kalau memang Bhok Cun Ki itu lihai sekali, biar kelak aku sendiri yang turun tangan."
"Jangan, ayah! Ayah tidak boleh mencampuri urusan ini. Nah, Lili, kau ceritakan apa yang terjadi."
Lili lalu menceritakan tentang pertandingannya melawan Bhok Cun Ki. Dia seorang gadis yang terbuka dan jujur, maka dia menceritakan semuanya. Betapa lihainya Bhok Cun Ki sehingga dia tidak mampu mengalahkannya, bahkan dia yang selalu terdesak.
"Selagi dia mendesakku, tiba-tiba ada senjata rahasia menyerangnya. Akan tetapi dia lihai sekali dan pedangnya dapat menangkis. Celakanya, sebatang paku beracun terpental dan mengenai pundak kiriku. Aku lalu pingsan. Ketika aku siuman, ternyata aku telah berada di rumah Bhok Cun Ki. Dia membawa aku ketika pingsan dan mengobatiku. Akan tetapi sesudah siuman aku menolak kebaikannya itu dan aku melarikan diri. Demikianlah, suci. Maafkan kegagalanku."
Wajah Cu Sui In menjadi merah sekali. "Sumoi, aku malu sekali padamu! Engkau pernah mengatakan bahwa untuk melaksanakan permintaanku engkau bersedia mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi buktinya? Huh, engkau... engkau sungguh mengecewakan!"
Dicela seperti itu, Lili menjadi marah sekali. "Suci, apa yang harus aku lakukan sekarang? Katakan, biar aku harus mengorbankan nyawaku, akan aku lakukan. Aku bukan pengecut seperti yang suci sangka!"
"Bagus! Kalau begitu sekarang juga pergilah cari Bhok Cun Ki lantas ulangi tantanganmu. Akan tetapi sekali ini engkau harus berhasil membunuhnya! Kalau tidak, jangan lagi kau berani mengakui aku sebagai suci-mu!"
"Baik! Sekali ini, dia atau aku yang harus mati!" seru Lili.
"Itulah yang kumaksudkan. Dia atau engkau yang harus mati!" kata Sui In.
Lili hendak lari meninggalkan tempat itu, akan tetapi Yauw Siucai cepat menghadangnya. "Bersabarlah, nona Lili, dan kuharap engkau juga bersabar, toanio," katanya kepada Sui In. "Kalau nona Lili nekat keluar, sebelum dapat bertemu dengan Bhok Cun Ki tentu dia akan lebih dulu tertangkap oleh pasukan pengawal, dan semuanya akan gagal pula."
"Ha-ha, omongan Yauw Siucai ini benar sekali, Yauw Siucai kalau menurut pendapatmu, bagaimana sebaiknya?" kata See-thian Coa-ong.
"Sebaiknya dikirim surat tantangan kepada Bhok Cun Ki, dan saya yang akan menyuruh orang menyampaikan. Kemudian nona Lili dan ji-wi (anda berdua) harus keluar dari sini dengan berpencar sambil menyamar menuju ke tempat yang ditentukan untuk bertanding. Dengan demikian akan aman. Tempat bertanding harus ditentukan di luar kota, sebaiknya di hutan buatan sebelah utara kota raja yang biasa dipergunakan untuk berburu keluarga kaisar. Di sana sepi dan baik sekali untuk bertanding tanpa gangguan."
Mendengar ini Sui In mengangguk-angguk.
"Bagus, aturlah seperti itu, Yauw Siucai. Kiranya engkau orang yang cerdik sekali, pantas saja Lili suka bersahabat denganmu," kata See-thian Coa-ong girang. "Lili, cepat kau buat surat tantangan!"
"Biar aku yang membuatnya!" kata Cu Sui In dan Yauw Siucai lalu mengeluarkan alat-alat tulis dari laci sebuah meja di ruangan itu. Sui In lalu membuat surat tantangan singkat dan dimasukkan ke dalam sampul.
"Sekarang saya akan pergi untuk mengirim surat tantangan, sementara sam-wi membuat penyamaran. Untuk hal ini sudah tersedia alat penyamaran lengkap di lemari sudut itu."
Yauw Siucai segera pergi dan ketika Sui In membuka lemari, mereka bertiga tercengang dan kagum. Di situ telah tersedia alat-alat penyamaran yang lengkap mulai dari pakaian, rambut palsu, pengubah warna kulit hingga alat-alat yang bisa membuat kulit mengeriput dan sebagainya.
Mereka bertiga segera merias diri, menyamar. Lili dan Sui In menyamar sebagai pria yang tampan, sedangkan See-thian Coa-ong menyamar sebagai seorang pengemis tua yang tubuhnya bongkok!
Setelah mereka bertiga selesai dengan penyamaran mereka, mereka menanti kembalinya Yauw Siucai. Tidak terlalu lama mereka menanti karena orang itu segera muncul di situ dengan wajah berseri.
"Sudah saya suruh antar surat tantangan itu dan Bhok Cun Ki pasti akan berada di hutan sebelah utara kota raja. Sekarang sam-wi boleh keluar karena saya melihat penyamaran sam-wi sudah baik sekali."
Mereka semua keluar dari lorong rahasia itu, tiba di gudang dan ketika hendak membuka pintu kebun, Yauw Siucai yang lebih dulu keluar. Setelah melihat bahwa lorong itu sunyi, tiga orang yang menyamar itu keluar seorang demi seorang, berpencar untuk mengambil jalan masing-masing menuju ke pintu gerbang sebelah utara.
Kota raja masih penuh dengan para prajurit yang melakukan pencarian, akan tetapi tidak seorang pun mengenal Lili dalam penyamarannya sebagai seorang pemuda tampan yang berkumis dan berkulit gelap. Kini alisnya juga menjadi tebal dan bentuk hidungnya menjadi besar. Dengan cepat Lili berhasil keluar dari pintu gerbang utara, kemudian melanjutkan perjalanan dengan cepat ke utara.
Matahari sudah condong ke barat dan Lili merasa betapa hatinya gundah. Dia sama sekali tidak takut biar pun dia tahu bahwa dia tak akan menang melawan Bhok Cun Ki. Dia tidak takut kalah dan dia tidak takut mati sebab sejak dia kecil watak seperti ini telah ditekankan kepadanya oleh suci-nya yang dahulu adalah gurunya. Yang membuat dia merasa gundah bukanlah kelihaian Bhok Cun Ki, tetapi kebaikannya. Tidak mungkin dia dapat melupakan perkelahian yang pernah terjadi antara dia dengan panglima itu.
Ia kini tahu benar bahwa pelepas senjata rahasia bukanlah panglima itu, seperti yang juga diterangkan oleh Sin Wan kepadanya. Ada pihak ke tiga yang melakukan hal itu, dan yang diserang adalah panglima itu, bukan dia. Akan tetapi dialah yang terkena paku beracun itu dan musuh besar suci-nya itu bahkan menolongnya, merawatnya!
Meski pun dia telah bersikap keras dan tidak mau menerima budi itu, akan tetapi di dalam hatinya, dia bukanlah orang yang tidak mengenal budi. Dan sekarang dia sedang pergi untuk membunuh atau dibunuh orang itu!
Wajahnya semakin muram kalau dia teringat akan sikap dan kata-kata suci-nya. Sungguh sukar mengerti sikap suci-nya. Kenapa suci-nya memaksa dia yang membunuh Bhok Cun Ki, padahal suci-nya yang merasa sakit hati? Mengapa bukan suci-nya sendiri yang turun tanga membalas dendam?
Bahkan ketika guru mereka, atau ayah suci-nya hendak turun tangan membunuh Bhok Cun Ki, suci-nya melarang dengan keras dan memaksanya agar dia yang melawan Bhok Cun Ki. Padahal suci-nya sudah mendengar bahwa dia pernah kalah oleh Bhok Cun Ki. Mengapa sikap suci-nya begini aneh, pada hal dia merasakan benar bahwa suci-nya amat sayang kepadanya? Sungguh sikap yang amat berlawanan dan aneh!
Walau pun sepasang kakinya dengan ringan melangkah tanpa ragu ke arah tempat yang ditentukan untuk mengadu kepandaian, atau lebih tepat bila dinamakan mengadu nyawa, namun hatinya terasa berat oleh kebimbangan.
Sin Wan cepat-cepat pergi ke rumah keluarga Bhok untuk mencari panglima itu. Dia harus mengabarkan kenyataan yang luar biasa itu, bahwa Lili adalah puterinya sendiri, kepada panglima itu! Akan tetapi, belum dia tiba di rumah keluarga Bhok Cun Ki, dia mendengar tentang keributan di depan istana.
Dia teringat bahwa Lili berada di sana, maka cepat dia kembali lagi dan mendengar bahwa memang gadis itu yang membuat keributan, dan menurut kabar yang dia dengar, gadis itu melarikan diri dari istana dan dikejar-kejar oleh pasukan keamanan.
Juga dia mendengar bahwa ketika tiba di luar istana, dara itu dibantu oleh seorang wanita cantik dan seorang kakek tinggi kurus dan amat lihai, akan tetapi tiga orang itu kemudian melarikan diri dan sampai kini masih terus dicari oleh para prajurit keamanan. Sin Wan dapat menduga bahwa tentu Lili telah dilarikan oleh See-thian Coa-ong dan Bi-coa Sianli Cu Sui In. Dia segera kembali menuju ke rumah Bhok Cun Ki.
Ketika tiba di rumah keluarga Bhok, yang menyambutnya adalah Bhok Cin Han dan Bhok Ci Hwa. Kakak beradik itu memberi tahu kepadanya bahwa ayah mereka telah pergi sejak tadi, setelah mendengar akan keributan yang terjadi di depan istana.
"Kami mendengar bahwa yang membikin kacau itu adalah seorang pengawal wanita dari Pangeran Mahkota," kata Cin Han. "Kabarnya ia melarikan diri setelah hampir membunuh Pangeran Mahkota. Agaknya ia seorang mata-mata yang dikirim musuh untuk membunuh Pangeran Mahkota."
“Ayah pergi untuk berusaha menangkap kembali gadis itu, yang kabarnya sudah dibantu oleh dua orang yang amat lihai," kata pula Cin Hwa.
Diam-diam Sin Wan merasa sangat khawatir. Tentu saja dia tidak memberi tahu kepada mereka bahwa yang dimaksudkan dengan gadis pengacau itu bukan lain adalah Lili. Dia merasa khawatir kalau sampai Bhok Cun Ki bertemu dengan Lili dan See-thian Coa-ong bersama puteri datuk itu. Dapat berbahaya bagi panglima Bhok. Karena itu tanpa banyak cakap lagi dia pun meninggalkan kakak beradik itu dengan alasan untuk membantu ayah mereka mengejar pengacau.
Di sepanjang perjalanan Sin Wan banyak berpikir. Dia merasa khawatir sekali terhadap keselamatan Lili dan juga Bhok Cun Ki. Dan teringatlah dia betapa secara aneh sekali Lili sudah menjadi pengawal pribadi Pangeran Chu Hui San. Dan siapakah Yauw Siucai itu? Biar pun dia nampak lemah lembut dan ramah halus, namun kehadirannya dekat Lili amat mencurigakan.
Meski pun dia berjalan sambil melamun, matanya tidak pernah mengurangi kewaspadaan. Dia melihat jalan-jalan menjadi ramai, dan setiap orang yang berlalu-lalang penuh dengan ketegangan akibat adanya berita tentang kekacauan itu. Tiba-tiba dia menyelinap dengan cepat sekali ke samping sebuah rumah di tepi jalan. Dia melihat sastrawan yang tampan itu berjalan seorang diri. Yauw Siucai!
Baru saja dia mengenang sastrawan yang dianggap cukup mencurigakan itu dan kini dia melihat orang itu berjalan seorang diri dengan tergesa-gesa sehingga lupa menggunakan kipas besar yang dipegangnya untuk mengusir kegerahan, bahkan kini langkahnya bukan lagi langkah sastrawan yang lemah lembut.
Sepasang kaki itu melangkah dengan gesitnya, dan dari langkahnya saja Sin Wan dapat menduga bahwa orang ini tidaklah selemah tampaknya ketika berada di istana Pangeran Mahkota! Dia pun cepat membayangi Yauw Siucai yang memasuki sebuah lorong kecil.
Akan tetapi, begitu memasuki lorong sempit itu, Yauw Siucai menghilang, entah ke mana! Sin Wan terkejut dan merasa heran, berhenti di depan sebuah dinding pagar yang tebal dan tinggi. Di balik pagar tembok itu nampak atap sebuah rumah besar. Tidak ada pintu pada dinding pagar itu. Akan tetapi kemana lenyapnya Yauw Siucai?
Kecurigaannya bertambah dan dia pun melompat ke atas pagar tembok. Ketika melihat betapa di sebelah dalam sunyi saja, dia pun melompat ke sebelah dalam. Pada saat dia melompat itu, ada bayangan orang berjalan memasuki lorong itu, namun Sin Wan yang telah melompat masuk, tidak tahu bahwa ada orang melihat dia melompat dari atas pagar tembok ke sebelah dalam.
Sin Wan yang kini tiba di sebuah kebun dengan hati-hati sekali menghampiri rumah yang atapnya nampak dari luar pagar tembok. Rumah itu kelihatan sangat sunyi, seperti tidak berpenghuni. Apakah Yauw Siucai tadi menghilang ke dalam rumah ini? Dia tidak dapat memastikannya. Dia harus menyelidiki karena sikap Yauw Siucai itu mencurigakan sekali.
Andai kata tidak ada hubungannya dengan Lili, tentu Sin Wan tidak akan bersusah payah mencurigai dan membayangi Yauw Siucai. Namun karena pada saat itu pikirannya penuh dengan bayangan Lili yang agaknya di luar pengetahuannya oleh ibu kandungnya sendiri hendak diadu melawan ayah kandungnya, disuruh saling serang dan saling bunuh antara anak dan ayah kandung, maka kemunculan Yauw Siucai itu menarik perhatiannya.
Melalui pintu samping yang kecil Sin Wan menyelinap ke dalam rumah itu, dan dia hampir yakin bahwa rumah itu kosong. Tak mungkin Yauw Siucai bersembunyi dalam rumah ini, pikirnya. Pula, kenapa bersembunyi? Dia yang tadi kurang waspada. Mungkin sastrawan itu menghilang di sebuah tikungan di lorong itu, atau memasuki sebuah pintu kecil yang terbuka. Dia telah salah duga dan tergesa-gesa menyangka sastrawan itu masuk ke sini. Namun dia tetap penasaran. Dia sudah terlanjur masuk, maka diintainya setiap ruangan di rumah itu.
Ketika dia mengintai sebuah kamar yang besar dari balik jendela, dia pun terkejut. Dalam kamar yang tertutup dan agak remang-remang itu dia melihat seseorang rebah terlentang di atas pembaringan dan dengkurnya terdengar lirih. Seorang yang bertubuh tinggi besar dan perutnya gendut sekali. Dia mencurahkan perhatian dan mengamati.
Maka berdebarlah jantung Sin Wan penuh ketegangan sesudah dia mengenal orang itu. Sama sekali bukan Yauw Siucai, namun seorang tinggi besar gendut yang mengenakan kedok hitam! Si Kedok Hitam yang pernah bertanding dengan dia di gedung peristirahatan Pangeran Mahkota! Si Kedok Hitam yang bukan main lihainya itu, yang menjadi pemimpin dari gerombolan berkedok, yang mengatur pencurian benda-benda dari gedung pusaka!
Dengan girang karena dapat menemukan tempat persembunyian pemimpin kedok hitam yang dia yakin tentulah mata-mata orang Mongol sebab telah mencuri benda-benda tanda kekuasaan milik bekas kaisar Mongol, Sin Wan siap untuk menangkapnya. Jasanya akan besar sekali kalau dia dapat menangkap pemimpin gerombolan mata-mata dan menyeret orang ini ke depan Jenderal Shu Ta!
Tanpa ragu lagi dia membuka jendela dengan hati-hati, lalu meloncat ke dalam kamar itu. Suara dengkur lirih itu tak terhenti, tanda bahwa Si Kedok Hitam itu masih tidur nyenyak. Supaya tidak mencurigakan kalau-kalau ada orang lain berada di luar rumah itu. Sin Wan segera menutupkan kembali daun jendela dan pada waktu dia hendak meloncat ke dekat pembaringan, tiba-tiba terdengar bunyi desis yang tajam.
Sin Wan terkejut sekali! Desis itu seperti desis ular dan dia menoleh ke kiri, akan tetapi terdengar bunyi desis-desis lain dari sekelilingnya dan tiba-tiba saja kamar itu telah penuh asap yang baunya amat keras menyengat hidung. Asap beracun!
Karena tadinya dia tidak menduga, hidungnya sudah terlanjur menyedot sedikit asap yang membuat kepalanya mendadak terasa pening. Ketika dia hendak meloncat keluar lagi, dia bingung mencari-cari di mana adanya jendela tadi. Kepeningan sudah membuat pandang matanya berkunang dan tempat itu seperti berputar.
Pada saat itu pula ada angin menyambar dari belakang. Dia membalik sambil menangkis dan berhasil menangkis tiga kali serangan. Tapi karena kepalanya pening sekali, akhirnya sebuah totokan mengenai punggungnya dan dia pun roboh dengan dua kaki terasa seperti lumpuh.
Dia berjuang untuk menahan napas agar tidak menyedot asap yang makin menebal, dan melihat bayangan Si Kedok Hitam meloncat keluar dari pintu kamar yang segera tertutup kembali.
"Ha-ha-ha-ha-ha.." Si Kedok Hitam yang keluar dari kamar itu, kini tertawa bergelak-gelak tanda kegembiraan hatinya dapat menangkap seorang musuh yang tangguh sedemikian mudahnya.
Ketika itu pemimpin gerombolan mata-mata Mongol ini memang sedang berada seorang diri di rumah persembunyian mereka. Ketika tadi melihat Sin Wan memasuki tempat itu, segera dia memasang perangkap. Kamar itu memang kamar yang diperlengkapi dengan alat rahasia yang menyemprotkan asap beracun.
Si Kedok Hitam yang pura-pura tidur telentang di pembaringan itu yang menekan tombol perangkap ketika Sin Wan melompat masuk ke kamar. Kemudian, pada waktu Sin Wan terpengaruh asap beracun, dia lalu menyerang dengan dahsyat dan berhasil merobohkan pemuda itu dengan totokan. Untuk menghindari asap beracun, dia lantas melompat keluar kamar dan saking gembiranya dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Mampus kau sekarang, bocah usil... ha-ha-ha..."
Tiba-tiba dia menghentikan tawanya dan melempar tubuh ke belakang, Tiga batang jarum lembut menyambar lewat dan pada saat itu, sesosok bayangan melayang turun dari atas genteng lantas bagaikan seekor burung garuda bayangan itu sudah menyerang Si Kedok Hitam dengan sebatang pedang yang mengeluarkan hawa dingin sekali.
Serangan itu cepat dan dahsyat bukan main sehingga mengejutkan Si Kedok Hitam yang merupakan seorang yang sakti. Dia tidak berani memandang rendah dan cepat meloncat ke belakang. Ketika dia memandang, dia menjadi terheran-heran karena penyerangnya itu pun mengenakan topeng hijau dan berpakaian serba hijau pula. Akan tetapi jelas bahwa dia adalah seorang wanita! Seorang gadis yang masih muda, bertubuh padat langsing dan rambutnya hitam sekali.
Gadis berpakaian dan bertopeng hijau itu kembali menyerang, dan kini serangannya lebih dahsyat lagi. Si Kedok Hitam dapat menilai bahwa dia sedang berhadapan dengan lawan yang amat tangguh, maka dia pun cepat menggerakkan kedua tangannya yang berlengan baju lebar. Ujung kedua lengan bajunya itulah yang dia pergunakan sebagai senjata dan dalam waktu yang singkat itu mereka sudah saling serang dengan demikian dahsyatnya. Keduanya terkejut, maklum bahwa lawan memang amat hebat dan tidak boleh dipandang ringan.
Si Kedok Hitam merasa khawatir. Tanpa perlu dibunuh pun, pemuda yang sudah terjebak itu akan mati sendiri oleh asap beracun. Wanita berkedok hijau ini lihai bukan main. Walau pun dia tidak akan kalah, namun untuk merobohkan wanita ini bukan hal yang mudah. Dia khawatir kalau ada lawan lain yang datang.
Dia bukan takut kalah, melainkan takut kalau keadaan dirinya diketahui. Dia memegang peran penting dalam jaringan mata-mata Mongol, maka tidak boleh sampai dikenal orang. Teringat akan ini, dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring kemudian kedua ujung lengan bajunya menyambar-nyambar seperti kilat, membuat lawannya meloncat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Si Kedok Hitam untuk meloncat lantas lenyap melalui sebuah pintu rahasia.
Wanita bertopeng dan berpakaian hijau itu tidak melakukan pengejaran karena ia pun tahu betapa lihainya orang tadi sehingga mengejar orang selihai itu di tempat yang penuh alat rahasia ini bisa membahayakan diri sendiri. Yang paling penting adalah menolong pemuda yang tadi terperangkap, pikirnya. Dia memasuki kamar yang masih penuh dengan asap itu dan cepat menahan napas karena dia maklum bahwa asap itu berbahaya kalau sampai tersedot.
Sementara itu, tadi Sin Wan terpaksa menutup pernapasannya karena dia tidak mampu melarikan diri dari kamar penuh asap itu. Akan tetapi dia hanya seorang manusia biasa, maka tak mungkin dia dapat menahan pernapasan terlampau lama. Jalan pernapasannya tertutup dan karena kekurangan hawa udara, dia pun merasa semakin pening dan roboh pingsan. Dia tidak tahu betapa ada wanita bertopeng hijau memasuki kamar itu kemudian memondong tubuhnya ke luar dari dalam kamar yang penuh asap, membawanya keluar rumah dan merebahkannya di atas rumput di kebun samping rumah itu.
Sunyi sekali di situ, tak nampak seorang pun manusia. Dan memang pada waktu itu yang berada di rumah itu hanyalah Si Kedok Hitam yang sudah melarikan diri karena khawatir kalau dirinya diketahui orang luar.
Dengan cepatnya wanita bertopeng itu memeriksa keadaan Sin Wan. Sepasang matanya yang bening dan mencorong dari balik topeng meneliti keadaan pemuda itu, sambil jemari tangannya meraba-raba dan menotok punggung dan pundak Sin Wan, membebaskannya dari totokan. Melihat Sin Wan masih pingsan dan keadaan dadanya menggembung dan keras kaku, tahulah dia bahwa ada kemacetan pada paru-parunya, tentu karena pemuda itu menutup jalan pernapasannya sebelum pingsan agar tidak kemasukan asap beracun, pikirnya.
Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan pemuda ini dari cengkeraman maut. Mukanya sudah mulai kehijauan karena kekurangan udara. Ia menyingkap bagian bawah topengnya hingga nampaklah hidung dan mulutnya yang memiliki sepasang bibir yang merah basah karena sehat, lalu tanpa ragu-ragu dia menutup kedua lubang hidung pemuda itu dengan jari tangannya dan menempelkan mulutnya di mulut Sin Wan yang dipaksanya membuka, lantas dia pun meniup dengan kuatnya ke dalam dada Sin Wan melalui rongga mulutnya.
Beberapa kali dia mengulangi dan karena tiupannya sangat kuat, maka hawa yang keluar dari mulutnya dan ditiupkannya ini berhasil membuka jalan pernapasan Sin Wan kembali, membuat dadanya kembang kempis dan paru-parunya bekerja lagi.
Wanita itu menarik napas lega, dan tiba-tiba kedua pipinya berubah merah sekali. Dia pun cepat menutupkan kembali topeng kain bagian bawah sehingga mulut yang mungil serta hidung mancung itu pun lenyap tertutup topeng hijau.
Dia mengamati wajah Sin Wan, menarik napas lagi dan menunduk, termenung. Dia tidak melihat betapa bulu kedua mata Sin Wan bergerak-gerak, kemudian sepasang mata itu terbuka perlahan-lahan. Begitu melihat ada orang memakai topeng di dekatnya, duduk di atas batu dan dia sendiri rebah di atas rumput, Sin Wan segera melompat dan menyerang dengan totokan tangannya yang ampuh.
Wanita bertopeng itu terkejut, akan tetapi tak sempat mengelak lagi sehingga pundaknya tertotok dan dia pun terkulai lemas. Sin Wan terbelalak, karena baru sekarang dia melihat bahwa yang ditotoknya roboh itu sama sekali bukanlah lelaki tinggi besar berperut gendut yang berkedok hitam. Bukan Si Kedok Hitam yang tadi menjebaknya sehingga dia roboh pingsan dalam kamar, dan sekarang tubuhnya sudah tidak tertotok lagi! Orang ini adalah seorang wanita yang mengenakan topeng hijau dan berpakaian serba hijau.
"Eh... ohh... maaf... kukira Si Kedok Hitam! Siapa... engkau...?" Sin Wan berkata gagap karena bingung dan ragu.
Wanita itu tidak mampu bergerak, namun mampu melototkan matanya dan mengeluarkan suara yang nadanya marah dan mengejek. "Bagus, kiranya yang kuselamatkan nyawanya adalah seorang manusia tak berbudi yang membalas pertolongan orang dengan serangan yang curang!"
Mendengar ini teringatlah Sin Wan, bahwa dia yang tadinya berada di dalam kamar dan terserang asap beracun, juga tertotok lumpuh ini sudah berada di kebun dan totokannya juga sudah bebas, dan tidak ada lagi bekas keracunan asap.
"Ah, maafkan aku...!" katanya cepat kemudian dia pun segera membebaskan totokannya dengan muka berubah merah karena merasa malu dan menyesal.
Dia melihat wanita itu bangkit berdiri, maka cepat dia merangkap kedua tangan di depan dada lalu memberi hormat sambil membungkuk rendah, menundukkan muka dan berkata penuh penyesalan, “Maafkan aku... kukira Si Kedok Hitam...!”
Wanita berkedok hijau itu menjadi semakin marah. "Si Kedok Hitam? Yang tinggi besar dan perutnya gendut itu? Lihat, buka matamu baik-baik, apakah aku tinggi besar. Apakah perutku gendut? Lihat!"
Akan tetapi Sin Wan tidak berani melihat, bahkan tidak berani mengangkat muka karena sejak tadi pun dia telah melihat bahwa orang ini adalah seorang wanita yang berkulit putih mulus, bertubuh sedang dan mungil, dan pinggangnya ramping, perutnya kempis!
"Maafkan aku..."
Ketika itu tangan si topeng hijau bergerak cepat sekali dan pada lain saat Sin Wan sudah terkulai, tertotok persis seperti yang dia lakukan kepada wanita bertopeng itu. Dia terkejut, akan tetapi juga merasa kagum, karena tahulah dia bahwa wanita bertopeng ini sungguh lihai sekali. Tidak mengherankan kalau dia mampu menyelamatkannya.
Mulut di balik topeng itu mengeluarkan suara tawa mengejek. "Heh-heh-heh, apa kau kira hanya engkau sendiri yang mampu menotok roboh orang secara curang? Aku pun bisa!"
"Nona, tadi aku kesalahan tangan menotokmu tanpa memberi peringatan, dan kini engkau membalas dengan perbuatan yang sama, itu namanya sudah adil dan aku pun tidak akan menyesal. Tadi engkau sudah menyelamatkan nyawaku, kalau sekarang engkau hendak membunuhku, aku pun tidak akan menyesal, berarti hutangku sudah lunas."
Mata di balik topeng itu terbelalak mendengar kata-kata Sin Wan yang diucapkan dengan suara sungguh-sungguh itu. "Apa katamu? Engkau tidak takut mati?"
Sin Wan tersenyum. "Mati adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup. Kalau sudah tiba saatnya mati, ditakuti pun tak ada gunanya, tetap akan mati. Akan tetapi kalau belum tiba saatnya mati, diancam bagaimana pun juga tidak akan mati."
"Hemm, kalau sekarang aku membunuhmu, siapa yang akan dapat membebaskanmu dari kematian? Nyawamu berada di tanganku!"
"Tidak, nona. Nyawaku, juga nyawamu dan nyawa setiap orang, semua berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak menghendaki aku mati, maka engkau atau siapa pun tak akan bisa membunuhku. Buktinya tadi ketika dalam ancaman maut, pada saat terakhir muncul engkau yang menyelamatkanku, itu berarti bahwa Tuhan belum menghendaki aku mati."
“Huh, sombong! Jika sekarang aku menggerakkan tangan membunuhmu, apakah Tuhan akan menolongmu?"
"Aku yakin sekali, nona. Kalau Tuhan menghendaki aku hidup, engkau tidak akan berhasil membunuhku!"
Si topeng hijau itu merasa ditantang. Dia mengangkat tangan kanan ke atas, siap untuk memukul. Sin Wan maklum bahwa sekali tangan itu menyambar, maka dia akan tewas tanpa dapat ditolong lagi. Akan tetapi sedikit pun dia tidak merasa was-was, tidak takut dan bahkan tersenyum sambil memandang, berkedip pun tidak! Mata di balik topeng itu berkilat, tangan itu menyambar turun, akan tetapi berhenti di tengah-tengah.
"Kenapa tidak dilanjutkan, nona?" tanya Sin Wan, tenang saja.
"Hemm, kalau tangan ini kulanjutkan, engkau pasti mati dan Tuhan pun tidak akan dapat menyelamatkanmu."
Sin Wan tersenyum. "Nona, inilah buktinya bahwa Tuhan belum menghendaki aku mati, maka nona tidak melanjutkan pukulanmu."
"Huh! Tapi kenapa engkau tersenyum? Aku bukan pembunuh keji yang suka membunuh orang yang tidak melawan." Tangannya menyambar, akan tetapi bukan untuk memukul, melainkan untuk membebaskan totokannya tadi. Kini Sin Wan dapat bergerak dan dia pun berdiri sambil tersenyum.
"Nona, orang yang benar-benar percaya kepada Tuhan, percaya lahir batin bukan hanya pengakuan di mulut saja, tentu akan bersikap pasrah dan menyerah terhadap kekuasaan Tuhan. Kalau memang Tuhan menghendaki aku mati, aku ingin mati dengan senyum di mulut, bukan dengan tangis dan ketakutan..."
"Dan kau sudah membunuhnya?" Wanita itu bertanya cepat dengan suara gemetar.
Lili menundukkan mukanya yang menjadi agak kemerahan. "Suci, maafkan aku. Aku telah menantangnya dan kami telah bertanding, tetapi... aku kalah...”
Cu Sui In terbelalak dan nampak marah sekali. "Sumoi, engkau kalah dan engkau masih hidup bahkan bersenang-senang di istana? Hemm, beginikah cara engkau membalas budi suci-mu ini?"
"Hemmm, bersabarlah, Sui In," kata See-thian Coa-ong. "Lili, ceritakan apa yang terjadi. Kalau memang Bhok Cun Ki itu lihai sekali, biar kelak aku sendiri yang turun tangan."
"Jangan, ayah! Ayah tidak boleh mencampuri urusan ini. Nah, Lili, kau ceritakan apa yang terjadi."
Lili lalu menceritakan tentang pertandingannya melawan Bhok Cun Ki. Dia seorang gadis yang terbuka dan jujur, maka dia menceritakan semuanya. Betapa lihainya Bhok Cun Ki sehingga dia tidak mampu mengalahkannya, bahkan dia yang selalu terdesak.
"Selagi dia mendesakku, tiba-tiba ada senjata rahasia menyerangnya. Akan tetapi dia lihai sekali dan pedangnya dapat menangkis. Celakanya, sebatang paku beracun terpental dan mengenai pundak kiriku. Aku lalu pingsan. Ketika aku siuman, ternyata aku telah berada di rumah Bhok Cun Ki. Dia membawa aku ketika pingsan dan mengobatiku. Akan tetapi sesudah siuman aku menolak kebaikannya itu dan aku melarikan diri. Demikianlah, suci. Maafkan kegagalanku."
Wajah Cu Sui In menjadi merah sekali. "Sumoi, aku malu sekali padamu! Engkau pernah mengatakan bahwa untuk melaksanakan permintaanku engkau bersedia mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi buktinya? Huh, engkau... engkau sungguh mengecewakan!"
Dicela seperti itu, Lili menjadi marah sekali. "Suci, apa yang harus aku lakukan sekarang? Katakan, biar aku harus mengorbankan nyawaku, akan aku lakukan. Aku bukan pengecut seperti yang suci sangka!"
"Bagus! Kalau begitu sekarang juga pergilah cari Bhok Cun Ki lantas ulangi tantanganmu. Akan tetapi sekali ini engkau harus berhasil membunuhnya! Kalau tidak, jangan lagi kau berani mengakui aku sebagai suci-mu!"
"Baik! Sekali ini, dia atau aku yang harus mati!" seru Lili.
"Itulah yang kumaksudkan. Dia atau engkau yang harus mati!" kata Sui In.
Lili hendak lari meninggalkan tempat itu, akan tetapi Yauw Siucai cepat menghadangnya. "Bersabarlah, nona Lili, dan kuharap engkau juga bersabar, toanio," katanya kepada Sui In. "Kalau nona Lili nekat keluar, sebelum dapat bertemu dengan Bhok Cun Ki tentu dia akan lebih dulu tertangkap oleh pasukan pengawal, dan semuanya akan gagal pula."
"Ha-ha, omongan Yauw Siucai ini benar sekali, Yauw Siucai kalau menurut pendapatmu, bagaimana sebaiknya?" kata See-thian Coa-ong.
"Sebaiknya dikirim surat tantangan kepada Bhok Cun Ki, dan saya yang akan menyuruh orang menyampaikan. Kemudian nona Lili dan ji-wi (anda berdua) harus keluar dari sini dengan berpencar sambil menyamar menuju ke tempat yang ditentukan untuk bertanding. Dengan demikian akan aman. Tempat bertanding harus ditentukan di luar kota, sebaiknya di hutan buatan sebelah utara kota raja yang biasa dipergunakan untuk berburu keluarga kaisar. Di sana sepi dan baik sekali untuk bertanding tanpa gangguan."
Mendengar ini Sui In mengangguk-angguk.
"Bagus, aturlah seperti itu, Yauw Siucai. Kiranya engkau orang yang cerdik sekali, pantas saja Lili suka bersahabat denganmu," kata See-thian Coa-ong girang. "Lili, cepat kau buat surat tantangan!"
"Biar aku yang membuatnya!" kata Cu Sui In dan Yauw Siucai lalu mengeluarkan alat-alat tulis dari laci sebuah meja di ruangan itu. Sui In lalu membuat surat tantangan singkat dan dimasukkan ke dalam sampul.
"Sekarang saya akan pergi untuk mengirim surat tantangan, sementara sam-wi membuat penyamaran. Untuk hal ini sudah tersedia alat penyamaran lengkap di lemari sudut itu."
Yauw Siucai segera pergi dan ketika Sui In membuka lemari, mereka bertiga tercengang dan kagum. Di situ telah tersedia alat-alat penyamaran yang lengkap mulai dari pakaian, rambut palsu, pengubah warna kulit hingga alat-alat yang bisa membuat kulit mengeriput dan sebagainya.
Mereka bertiga segera merias diri, menyamar. Lili dan Sui In menyamar sebagai pria yang tampan, sedangkan See-thian Coa-ong menyamar sebagai seorang pengemis tua yang tubuhnya bongkok!
Setelah mereka bertiga selesai dengan penyamaran mereka, mereka menanti kembalinya Yauw Siucai. Tidak terlalu lama mereka menanti karena orang itu segera muncul di situ dengan wajah berseri.
"Sudah saya suruh antar surat tantangan itu dan Bhok Cun Ki pasti akan berada di hutan sebelah utara kota raja. Sekarang sam-wi boleh keluar karena saya melihat penyamaran sam-wi sudah baik sekali."
Mereka semua keluar dari lorong rahasia itu, tiba di gudang dan ketika hendak membuka pintu kebun, Yauw Siucai yang lebih dulu keluar. Setelah melihat bahwa lorong itu sunyi, tiga orang yang menyamar itu keluar seorang demi seorang, berpencar untuk mengambil jalan masing-masing menuju ke pintu gerbang sebelah utara.
Kota raja masih penuh dengan para prajurit yang melakukan pencarian, akan tetapi tidak seorang pun mengenal Lili dalam penyamarannya sebagai seorang pemuda tampan yang berkumis dan berkulit gelap. Kini alisnya juga menjadi tebal dan bentuk hidungnya menjadi besar. Dengan cepat Lili berhasil keluar dari pintu gerbang utara, kemudian melanjutkan perjalanan dengan cepat ke utara.
Matahari sudah condong ke barat dan Lili merasa betapa hatinya gundah. Dia sama sekali tidak takut biar pun dia tahu bahwa dia tak akan menang melawan Bhok Cun Ki. Dia tidak takut kalah dan dia tidak takut mati sebab sejak dia kecil watak seperti ini telah ditekankan kepadanya oleh suci-nya yang dahulu adalah gurunya. Yang membuat dia merasa gundah bukanlah kelihaian Bhok Cun Ki, tetapi kebaikannya. Tidak mungkin dia dapat melupakan perkelahian yang pernah terjadi antara dia dengan panglima itu.
Ia kini tahu benar bahwa pelepas senjata rahasia bukanlah panglima itu, seperti yang juga diterangkan oleh Sin Wan kepadanya. Ada pihak ke tiga yang melakukan hal itu, dan yang diserang adalah panglima itu, bukan dia. Akan tetapi dialah yang terkena paku beracun itu dan musuh besar suci-nya itu bahkan menolongnya, merawatnya!
Meski pun dia telah bersikap keras dan tidak mau menerima budi itu, akan tetapi di dalam hatinya, dia bukanlah orang yang tidak mengenal budi. Dan sekarang dia sedang pergi untuk membunuh atau dibunuh orang itu!
Wajahnya semakin muram kalau dia teringat akan sikap dan kata-kata suci-nya. Sungguh sukar mengerti sikap suci-nya. Kenapa suci-nya memaksa dia yang membunuh Bhok Cun Ki, padahal suci-nya yang merasa sakit hati? Mengapa bukan suci-nya sendiri yang turun tanga membalas dendam?
Bahkan ketika guru mereka, atau ayah suci-nya hendak turun tangan membunuh Bhok Cun Ki, suci-nya melarang dengan keras dan memaksanya agar dia yang melawan Bhok Cun Ki. Padahal suci-nya sudah mendengar bahwa dia pernah kalah oleh Bhok Cun Ki. Mengapa sikap suci-nya begini aneh, pada hal dia merasakan benar bahwa suci-nya amat sayang kepadanya? Sungguh sikap yang amat berlawanan dan aneh!
Walau pun sepasang kakinya dengan ringan melangkah tanpa ragu ke arah tempat yang ditentukan untuk mengadu kepandaian, atau lebih tepat bila dinamakan mengadu nyawa, namun hatinya terasa berat oleh kebimbangan.
********************
Sin Wan cepat-cepat pergi ke rumah keluarga Bhok untuk mencari panglima itu. Dia harus mengabarkan kenyataan yang luar biasa itu, bahwa Lili adalah puterinya sendiri, kepada panglima itu! Akan tetapi, belum dia tiba di rumah keluarga Bhok Cun Ki, dia mendengar tentang keributan di depan istana.
Dia teringat bahwa Lili berada di sana, maka cepat dia kembali lagi dan mendengar bahwa memang gadis itu yang membuat keributan, dan menurut kabar yang dia dengar, gadis itu melarikan diri dari istana dan dikejar-kejar oleh pasukan keamanan.
Juga dia mendengar bahwa ketika tiba di luar istana, dara itu dibantu oleh seorang wanita cantik dan seorang kakek tinggi kurus dan amat lihai, akan tetapi tiga orang itu kemudian melarikan diri dan sampai kini masih terus dicari oleh para prajurit keamanan. Sin Wan dapat menduga bahwa tentu Lili telah dilarikan oleh See-thian Coa-ong dan Bi-coa Sianli Cu Sui In. Dia segera kembali menuju ke rumah Bhok Cun Ki.
Ketika tiba di rumah keluarga Bhok, yang menyambutnya adalah Bhok Cin Han dan Bhok Ci Hwa. Kakak beradik itu memberi tahu kepadanya bahwa ayah mereka telah pergi sejak tadi, setelah mendengar akan keributan yang terjadi di depan istana.
"Kami mendengar bahwa yang membikin kacau itu adalah seorang pengawal wanita dari Pangeran Mahkota," kata Cin Han. "Kabarnya ia melarikan diri setelah hampir membunuh Pangeran Mahkota. Agaknya ia seorang mata-mata yang dikirim musuh untuk membunuh Pangeran Mahkota."
“Ayah pergi untuk berusaha menangkap kembali gadis itu, yang kabarnya sudah dibantu oleh dua orang yang amat lihai," kata pula Cin Hwa.
Diam-diam Sin Wan merasa sangat khawatir. Tentu saja dia tidak memberi tahu kepada mereka bahwa yang dimaksudkan dengan gadis pengacau itu bukan lain adalah Lili. Dia merasa khawatir kalau sampai Bhok Cun Ki bertemu dengan Lili dan See-thian Coa-ong bersama puteri datuk itu. Dapat berbahaya bagi panglima Bhok. Karena itu tanpa banyak cakap lagi dia pun meninggalkan kakak beradik itu dengan alasan untuk membantu ayah mereka mengejar pengacau.
Di sepanjang perjalanan Sin Wan banyak berpikir. Dia merasa khawatir sekali terhadap keselamatan Lili dan juga Bhok Cun Ki. Dan teringatlah dia betapa secara aneh sekali Lili sudah menjadi pengawal pribadi Pangeran Chu Hui San. Dan siapakah Yauw Siucai itu? Biar pun dia nampak lemah lembut dan ramah halus, namun kehadirannya dekat Lili amat mencurigakan.
Meski pun dia berjalan sambil melamun, matanya tidak pernah mengurangi kewaspadaan. Dia melihat jalan-jalan menjadi ramai, dan setiap orang yang berlalu-lalang penuh dengan ketegangan akibat adanya berita tentang kekacauan itu. Tiba-tiba dia menyelinap dengan cepat sekali ke samping sebuah rumah di tepi jalan. Dia melihat sastrawan yang tampan itu berjalan seorang diri. Yauw Siucai!
Baru saja dia mengenang sastrawan yang dianggap cukup mencurigakan itu dan kini dia melihat orang itu berjalan seorang diri dengan tergesa-gesa sehingga lupa menggunakan kipas besar yang dipegangnya untuk mengusir kegerahan, bahkan kini langkahnya bukan lagi langkah sastrawan yang lemah lembut.
Sepasang kaki itu melangkah dengan gesitnya, dan dari langkahnya saja Sin Wan dapat menduga bahwa orang ini tidaklah selemah tampaknya ketika berada di istana Pangeran Mahkota! Dia pun cepat membayangi Yauw Siucai yang memasuki sebuah lorong kecil.
Akan tetapi, begitu memasuki lorong sempit itu, Yauw Siucai menghilang, entah ke mana! Sin Wan terkejut dan merasa heran, berhenti di depan sebuah dinding pagar yang tebal dan tinggi. Di balik pagar tembok itu nampak atap sebuah rumah besar. Tidak ada pintu pada dinding pagar itu. Akan tetapi kemana lenyapnya Yauw Siucai?
Kecurigaannya bertambah dan dia pun melompat ke atas pagar tembok. Ketika melihat betapa di sebelah dalam sunyi saja, dia pun melompat ke sebelah dalam. Pada saat dia melompat itu, ada bayangan orang berjalan memasuki lorong itu, namun Sin Wan yang telah melompat masuk, tidak tahu bahwa ada orang melihat dia melompat dari atas pagar tembok ke sebelah dalam.
Sin Wan yang kini tiba di sebuah kebun dengan hati-hati sekali menghampiri rumah yang atapnya nampak dari luar pagar tembok. Rumah itu kelihatan sangat sunyi, seperti tidak berpenghuni. Apakah Yauw Siucai tadi menghilang ke dalam rumah ini? Dia tidak dapat memastikannya. Dia harus menyelidiki karena sikap Yauw Siucai itu mencurigakan sekali.
Andai kata tidak ada hubungannya dengan Lili, tentu Sin Wan tidak akan bersusah payah mencurigai dan membayangi Yauw Siucai. Namun karena pada saat itu pikirannya penuh dengan bayangan Lili yang agaknya di luar pengetahuannya oleh ibu kandungnya sendiri hendak diadu melawan ayah kandungnya, disuruh saling serang dan saling bunuh antara anak dan ayah kandung, maka kemunculan Yauw Siucai itu menarik perhatiannya.
Melalui pintu samping yang kecil Sin Wan menyelinap ke dalam rumah itu, dan dia hampir yakin bahwa rumah itu kosong. Tak mungkin Yauw Siucai bersembunyi dalam rumah ini, pikirnya. Pula, kenapa bersembunyi? Dia yang tadi kurang waspada. Mungkin sastrawan itu menghilang di sebuah tikungan di lorong itu, atau memasuki sebuah pintu kecil yang terbuka. Dia telah salah duga dan tergesa-gesa menyangka sastrawan itu masuk ke sini. Namun dia tetap penasaran. Dia sudah terlanjur masuk, maka diintainya setiap ruangan di rumah itu.
Ketika dia mengintai sebuah kamar yang besar dari balik jendela, dia pun terkejut. Dalam kamar yang tertutup dan agak remang-remang itu dia melihat seseorang rebah terlentang di atas pembaringan dan dengkurnya terdengar lirih. Seorang yang bertubuh tinggi besar dan perutnya gendut sekali. Dia mencurahkan perhatian dan mengamati.
Maka berdebarlah jantung Sin Wan penuh ketegangan sesudah dia mengenal orang itu. Sama sekali bukan Yauw Siucai, namun seorang tinggi besar gendut yang mengenakan kedok hitam! Si Kedok Hitam yang pernah bertanding dengan dia di gedung peristirahatan Pangeran Mahkota! Si Kedok Hitam yang bukan main lihainya itu, yang menjadi pemimpin dari gerombolan berkedok, yang mengatur pencurian benda-benda dari gedung pusaka!
Dengan girang karena dapat menemukan tempat persembunyian pemimpin kedok hitam yang dia yakin tentulah mata-mata orang Mongol sebab telah mencuri benda-benda tanda kekuasaan milik bekas kaisar Mongol, Sin Wan siap untuk menangkapnya. Jasanya akan besar sekali kalau dia dapat menangkap pemimpin gerombolan mata-mata dan menyeret orang ini ke depan Jenderal Shu Ta!
Tanpa ragu lagi dia membuka jendela dengan hati-hati, lalu meloncat ke dalam kamar itu. Suara dengkur lirih itu tak terhenti, tanda bahwa Si Kedok Hitam itu masih tidur nyenyak. Supaya tidak mencurigakan kalau-kalau ada orang lain berada di luar rumah itu. Sin Wan segera menutupkan kembali daun jendela dan pada waktu dia hendak meloncat ke dekat pembaringan, tiba-tiba terdengar bunyi desis yang tajam.
Sin Wan terkejut sekali! Desis itu seperti desis ular dan dia menoleh ke kiri, akan tetapi terdengar bunyi desis-desis lain dari sekelilingnya dan tiba-tiba saja kamar itu telah penuh asap yang baunya amat keras menyengat hidung. Asap beracun!
Karena tadinya dia tidak menduga, hidungnya sudah terlanjur menyedot sedikit asap yang membuat kepalanya mendadak terasa pening. Ketika dia hendak meloncat keluar lagi, dia bingung mencari-cari di mana adanya jendela tadi. Kepeningan sudah membuat pandang matanya berkunang dan tempat itu seperti berputar.
Pada saat itu pula ada angin menyambar dari belakang. Dia membalik sambil menangkis dan berhasil menangkis tiga kali serangan. Tapi karena kepalanya pening sekali, akhirnya sebuah totokan mengenai punggungnya dan dia pun roboh dengan dua kaki terasa seperti lumpuh.
Dia berjuang untuk menahan napas agar tidak menyedot asap yang makin menebal, dan melihat bayangan Si Kedok Hitam meloncat keluar dari pintu kamar yang segera tertutup kembali.
"Ha-ha-ha-ha-ha.." Si Kedok Hitam yang keluar dari kamar itu, kini tertawa bergelak-gelak tanda kegembiraan hatinya dapat menangkap seorang musuh yang tangguh sedemikian mudahnya.
Ketika itu pemimpin gerombolan mata-mata Mongol ini memang sedang berada seorang diri di rumah persembunyian mereka. Ketika tadi melihat Sin Wan memasuki tempat itu, segera dia memasang perangkap. Kamar itu memang kamar yang diperlengkapi dengan alat rahasia yang menyemprotkan asap beracun.
Si Kedok Hitam yang pura-pura tidur telentang di pembaringan itu yang menekan tombol perangkap ketika Sin Wan melompat masuk ke kamar. Kemudian, pada waktu Sin Wan terpengaruh asap beracun, dia lalu menyerang dengan dahsyat dan berhasil merobohkan pemuda itu dengan totokan. Untuk menghindari asap beracun, dia lantas melompat keluar kamar dan saking gembiranya dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha-ha! Mampus kau sekarang, bocah usil... ha-ha-ha..."
Tiba-tiba dia menghentikan tawanya dan melempar tubuh ke belakang, Tiga batang jarum lembut menyambar lewat dan pada saat itu, sesosok bayangan melayang turun dari atas genteng lantas bagaikan seekor burung garuda bayangan itu sudah menyerang Si Kedok Hitam dengan sebatang pedang yang mengeluarkan hawa dingin sekali.
Serangan itu cepat dan dahsyat bukan main sehingga mengejutkan Si Kedok Hitam yang merupakan seorang yang sakti. Dia tidak berani memandang rendah dan cepat meloncat ke belakang. Ketika dia memandang, dia menjadi terheran-heran karena penyerangnya itu pun mengenakan topeng hijau dan berpakaian serba hijau pula. Akan tetapi jelas bahwa dia adalah seorang wanita! Seorang gadis yang masih muda, bertubuh padat langsing dan rambutnya hitam sekali.
Gadis berpakaian dan bertopeng hijau itu kembali menyerang, dan kini serangannya lebih dahsyat lagi. Si Kedok Hitam dapat menilai bahwa dia sedang berhadapan dengan lawan yang amat tangguh, maka dia pun cepat menggerakkan kedua tangannya yang berlengan baju lebar. Ujung kedua lengan bajunya itulah yang dia pergunakan sebagai senjata dan dalam waktu yang singkat itu mereka sudah saling serang dengan demikian dahsyatnya. Keduanya terkejut, maklum bahwa lawan memang amat hebat dan tidak boleh dipandang ringan.
Si Kedok Hitam merasa khawatir. Tanpa perlu dibunuh pun, pemuda yang sudah terjebak itu akan mati sendiri oleh asap beracun. Wanita berkedok hijau ini lihai bukan main. Walau pun dia tidak akan kalah, namun untuk merobohkan wanita ini bukan hal yang mudah. Dia khawatir kalau ada lawan lain yang datang.
Dia bukan takut kalah, melainkan takut kalau keadaan dirinya diketahui. Dia memegang peran penting dalam jaringan mata-mata Mongol, maka tidak boleh sampai dikenal orang. Teringat akan ini, dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring kemudian kedua ujung lengan bajunya menyambar-nyambar seperti kilat, membuat lawannya meloncat ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Si Kedok Hitam untuk meloncat lantas lenyap melalui sebuah pintu rahasia.
Wanita bertopeng dan berpakaian hijau itu tidak melakukan pengejaran karena ia pun tahu betapa lihainya orang tadi sehingga mengejar orang selihai itu di tempat yang penuh alat rahasia ini bisa membahayakan diri sendiri. Yang paling penting adalah menolong pemuda yang tadi terperangkap, pikirnya. Dia memasuki kamar yang masih penuh dengan asap itu dan cepat menahan napas karena dia maklum bahwa asap itu berbahaya kalau sampai tersedot.
Sementara itu, tadi Sin Wan terpaksa menutup pernapasannya karena dia tidak mampu melarikan diri dari kamar penuh asap itu. Akan tetapi dia hanya seorang manusia biasa, maka tak mungkin dia dapat menahan pernapasan terlampau lama. Jalan pernapasannya tertutup dan karena kekurangan hawa udara, dia pun merasa semakin pening dan roboh pingsan. Dia tidak tahu betapa ada wanita bertopeng hijau memasuki kamar itu kemudian memondong tubuhnya ke luar dari dalam kamar yang penuh asap, membawanya keluar rumah dan merebahkannya di atas rumput di kebun samping rumah itu.
Sunyi sekali di situ, tak nampak seorang pun manusia. Dan memang pada waktu itu yang berada di rumah itu hanyalah Si Kedok Hitam yang sudah melarikan diri karena khawatir kalau dirinya diketahui orang luar.
Dengan cepatnya wanita bertopeng itu memeriksa keadaan Sin Wan. Sepasang matanya yang bening dan mencorong dari balik topeng meneliti keadaan pemuda itu, sambil jemari tangannya meraba-raba dan menotok punggung dan pundak Sin Wan, membebaskannya dari totokan. Melihat Sin Wan masih pingsan dan keadaan dadanya menggembung dan keras kaku, tahulah dia bahwa ada kemacetan pada paru-parunya, tentu karena pemuda itu menutup jalan pernapasannya sebelum pingsan agar tidak kemasukan asap beracun, pikirnya.
Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan pemuda ini dari cengkeraman maut. Mukanya sudah mulai kehijauan karena kekurangan udara. Ia menyingkap bagian bawah topengnya hingga nampaklah hidung dan mulutnya yang memiliki sepasang bibir yang merah basah karena sehat, lalu tanpa ragu-ragu dia menutup kedua lubang hidung pemuda itu dengan jari tangannya dan menempelkan mulutnya di mulut Sin Wan yang dipaksanya membuka, lantas dia pun meniup dengan kuatnya ke dalam dada Sin Wan melalui rongga mulutnya.
Beberapa kali dia mengulangi dan karena tiupannya sangat kuat, maka hawa yang keluar dari mulutnya dan ditiupkannya ini berhasil membuka jalan pernapasan Sin Wan kembali, membuat dadanya kembang kempis dan paru-parunya bekerja lagi.
Wanita itu menarik napas lega, dan tiba-tiba kedua pipinya berubah merah sekali. Dia pun cepat menutupkan kembali topeng kain bagian bawah sehingga mulut yang mungil serta hidung mancung itu pun lenyap tertutup topeng hijau.
Dia mengamati wajah Sin Wan, menarik napas lagi dan menunduk, termenung. Dia tidak melihat betapa bulu kedua mata Sin Wan bergerak-gerak, kemudian sepasang mata itu terbuka perlahan-lahan. Begitu melihat ada orang memakai topeng di dekatnya, duduk di atas batu dan dia sendiri rebah di atas rumput, Sin Wan segera melompat dan menyerang dengan totokan tangannya yang ampuh.
Wanita bertopeng itu terkejut, akan tetapi tak sempat mengelak lagi sehingga pundaknya tertotok dan dia pun terkulai lemas. Sin Wan terbelalak, karena baru sekarang dia melihat bahwa yang ditotoknya roboh itu sama sekali bukanlah lelaki tinggi besar berperut gendut yang berkedok hitam. Bukan Si Kedok Hitam yang tadi menjebaknya sehingga dia roboh pingsan dalam kamar, dan sekarang tubuhnya sudah tidak tertotok lagi! Orang ini adalah seorang wanita yang mengenakan topeng hijau dan berpakaian serba hijau.
"Eh... ohh... maaf... kukira Si Kedok Hitam! Siapa... engkau...?" Sin Wan berkata gagap karena bingung dan ragu.
Wanita itu tidak mampu bergerak, namun mampu melototkan matanya dan mengeluarkan suara yang nadanya marah dan mengejek. "Bagus, kiranya yang kuselamatkan nyawanya adalah seorang manusia tak berbudi yang membalas pertolongan orang dengan serangan yang curang!"
Mendengar ini teringatlah Sin Wan, bahwa dia yang tadinya berada di dalam kamar dan terserang asap beracun, juga tertotok lumpuh ini sudah berada di kebun dan totokannya juga sudah bebas, dan tidak ada lagi bekas keracunan asap.
"Ah, maafkan aku...!" katanya cepat kemudian dia pun segera membebaskan totokannya dengan muka berubah merah karena merasa malu dan menyesal.
Dia melihat wanita itu bangkit berdiri, maka cepat dia merangkap kedua tangan di depan dada lalu memberi hormat sambil membungkuk rendah, menundukkan muka dan berkata penuh penyesalan, “Maafkan aku... kukira Si Kedok Hitam...!”
Wanita berkedok hijau itu menjadi semakin marah. "Si Kedok Hitam? Yang tinggi besar dan perutnya gendut itu? Lihat, buka matamu baik-baik, apakah aku tinggi besar. Apakah perutku gendut? Lihat!"
Akan tetapi Sin Wan tidak berani melihat, bahkan tidak berani mengangkat muka karena sejak tadi pun dia telah melihat bahwa orang ini adalah seorang wanita yang berkulit putih mulus, bertubuh sedang dan mungil, dan pinggangnya ramping, perutnya kempis!
"Maafkan aku..."
Ketika itu tangan si topeng hijau bergerak cepat sekali dan pada lain saat Sin Wan sudah terkulai, tertotok persis seperti yang dia lakukan kepada wanita bertopeng itu. Dia terkejut, akan tetapi juga merasa kagum, karena tahulah dia bahwa wanita bertopeng ini sungguh lihai sekali. Tidak mengherankan kalau dia mampu menyelamatkannya.
Mulut di balik topeng itu mengeluarkan suara tawa mengejek. "Heh-heh-heh, apa kau kira hanya engkau sendiri yang mampu menotok roboh orang secara curang? Aku pun bisa!"
"Nona, tadi aku kesalahan tangan menotokmu tanpa memberi peringatan, dan kini engkau membalas dengan perbuatan yang sama, itu namanya sudah adil dan aku pun tidak akan menyesal. Tadi engkau sudah menyelamatkan nyawaku, kalau sekarang engkau hendak membunuhku, aku pun tidak akan menyesal, berarti hutangku sudah lunas."
Mata di balik topeng itu terbelalak mendengar kata-kata Sin Wan yang diucapkan dengan suara sungguh-sungguh itu. "Apa katamu? Engkau tidak takut mati?"
Sin Wan tersenyum. "Mati adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup. Kalau sudah tiba saatnya mati, ditakuti pun tak ada gunanya, tetap akan mati. Akan tetapi kalau belum tiba saatnya mati, diancam bagaimana pun juga tidak akan mati."
"Hemm, kalau sekarang aku membunuhmu, siapa yang akan dapat membebaskanmu dari kematian? Nyawamu berada di tanganku!"
"Tidak, nona. Nyawaku, juga nyawamu dan nyawa setiap orang, semua berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan tidak menghendaki aku mati, maka engkau atau siapa pun tak akan bisa membunuhku. Buktinya tadi ketika dalam ancaman maut, pada saat terakhir muncul engkau yang menyelamatkanku, itu berarti bahwa Tuhan belum menghendaki aku mati."
“Huh, sombong! Jika sekarang aku menggerakkan tangan membunuhmu, apakah Tuhan akan menolongmu?"
"Aku yakin sekali, nona. Kalau Tuhan menghendaki aku hidup, engkau tidak akan berhasil membunuhku!"
Si topeng hijau itu merasa ditantang. Dia mengangkat tangan kanan ke atas, siap untuk memukul. Sin Wan maklum bahwa sekali tangan itu menyambar, maka dia akan tewas tanpa dapat ditolong lagi. Akan tetapi sedikit pun dia tidak merasa was-was, tidak takut dan bahkan tersenyum sambil memandang, berkedip pun tidak! Mata di balik topeng itu berkilat, tangan itu menyambar turun, akan tetapi berhenti di tengah-tengah.
"Kenapa tidak dilanjutkan, nona?" tanya Sin Wan, tenang saja.
"Hemm, kalau tangan ini kulanjutkan, engkau pasti mati dan Tuhan pun tidak akan dapat menyelamatkanmu."
Sin Wan tersenyum. "Nona, inilah buktinya bahwa Tuhan belum menghendaki aku mati, maka nona tidak melanjutkan pukulanmu."
"Huh! Tapi kenapa engkau tersenyum? Aku bukan pembunuh keji yang suka membunuh orang yang tidak melawan." Tangannya menyambar, akan tetapi bukan untuk memukul, melainkan untuk membebaskan totokannya tadi. Kini Sin Wan dapat bergerak dan dia pun berdiri sambil tersenyum.
"Nona, orang yang benar-benar percaya kepada Tuhan, percaya lahir batin bukan hanya pengakuan di mulut saja, tentu akan bersikap pasrah dan menyerah terhadap kekuasaan Tuhan. Kalau memang Tuhan menghendaki aku mati, aku ingin mati dengan senyum di mulut, bukan dengan tangis dan ketakutan..."