DIA memang merasa bersalah terhadap wanita itu, maka dia akan minta maaf, dan andai kata Sui In berkeras untuk menantangnya, dia akan mencari jalan supaya wanita itu dapat memaafkan, atau kalau tidak, maka terpaksa dia akan menghadapinya. Bagaimana pun juga akibatnya, dia harus menemui Sui In.
"Kalian di rumah saja dan jangan sekali-kali menyusulku. Urusan ini adalah urusan pribadi yang terjadi ketika aku masih muda, dan tidak seorang pun boleh mencampuri," demikian dia berpesan kepada Ci Han dan Ci Hwa. Dia tahu bahwa jika anak-anaknya muncul, hal itu hanya akan menambah panas dan marahnya hati Sui In saja. Lagi pula dia tidak ingin melihat anak-anaknya terancam bahaya.
Demikianlah, sambil membawa surat tantangan itu Bhok Cun Ki lalu meninggalkan rumah pada sore hari itu, keluar dari pintu gerbang utara dan terus menuju ke sebuah hutan kecil yang sudah dikenalnya. Hutan itu terletak di lereng bukit, menyimpang dan agak jauh dari jalan raya sehingga tempat itu tentu sunyi, apa lagi di waktu sore seperti itu.
Ketika tiba di tengah hutan dan mendapatkan hutan itu sunyi sekali, Bhok Cun Ki berdiri tegak dengan dua kakinya terpentang, lalu dia menengadah dan berseru dengan lantang, "Sui In, aku telah datang memenuhi tantanganmu. Keluarlah untuk bertemu denganku!"
Tempat itu merupakan lapangan terbuka yang cukup luas, dikelilingi pepohonan rindang. Cuaca sudah mulai redup karena matahari mulai bergeser ke barat. Suara Bhok Cun Ki bergema di sekeliling tempat itu.
"Bhok Cun Ki, sekali ini bersiaplah untuk mati!" terdengar bentakan halus dan ketika Bhok Cun Ki membalikkan tubuh, wajahnya berkerut karena kecewa. Yang muncul bukanlah Sui In yang diharapkan, melainkan Lili, gadis yang pernah memaksanya bertanding itu.
"Hemmm, engkau lagi, nona. Di mana Sui In? Suruh suci-mu saja yang keluar dan bicara sendiri denganku. Aku tidak mempunyai urusan pribadi denganmu," katanya.
Lili yang setelah tiba di hutan itu sudah menanggalkan penyamarannya, kini menghadapi Bhok Cun Ki, matanya berkilat tajam dan mulutnya tersenyum mengejek biar pun hatinya terasa tidak enak sekali. Hidungnya kembang kempis, tanda bahwa sebenarnya hati gadis ini tegang sekali. Dia merasa terpaksa sekali harus berhadapan kembali dengan panglima ini untuk saling serang dan saling bunuh!
Sesudah apa yang dilakukan panglima ini kepadanya, sikapnya yang demikian ramah dan baik, sungguh menyiksa sekali dia harus menantangnya kembali! Maka dia pun tidak ingin banyak bicara lagi.
"Bhok Cun Ki, suci mewakilkan kepadaku untuk membunuhmu. Nah, tidak perlu banyak cakap lagi. Mari kita lanjutkan pertandingan kita yang dahulu terganggu, sampai seorang di antara kita harus roboh dan mati, barulah pertandingan dihentikan! Bersiaplah engkau, Bhok Cun Ki!" Lili mencabut pedangnya, pedang yang berbentuk ular putih, memasang kuda-kuda dan pada wajahnya terbayang kenekatan.
Akan tetapi Bhok Cun Ki seperti tidak melihatnya dan panglima ini malah memandang ke sekeliling, seolah sedang mencari-cari.
“Bhok Cun Ki, bersiaplah dengan pedangmu!" Lili membentak.
"Sui In, di manakah engkau? Keluarlah dan jangan menyuruh sumoi-mu yang menghadapi aku. Aku hanya mau berurusan denganmu, bukan dengan orang lain!" seru Bhok Cun Ki tanpa mempedulikan Lili yang menantang. Akan tetapi tiada jawaban, juga tidak nampak bayangan orang lain di hutan itu.
"Bhok Cun Ki, sekali lagi, bersiaplah sebab aku akan menyerangmu!" kembali Lili berseru, wajahnya kemerahan karena dia marah sekali melihat panglima itu tidak mempedulikan dirinya, seakan-akan memandang rendah atau menganggap dia anak kecil saja. Panglima itu tetap celingukan ke sekelilingnya, mencari-cari.
"Cu Sui In, aku hanya mau menyerahkan nyawaku kepadamu! Lekas keluarlah dan mari kita bicara baik-baik!"
Lili menjadi marah sekali. Dia mengelebatkan pedangnya di depan muka panglima itu dan sekali bergerak, pedang itu telah menodong. Ujung pedang Pek-coa-kiam menempel pada dada panglima itu.
"Bhok Cun Ki, kalau engkau tidak mau melawan maka terpaksa aku akan membunuhmu! Apakah engkau seorang pengecut yang tidak berani melawanku? Apa engkau ingin mati konyol seperti seekor babi?" Lili sengaja memaki untuk memanaskan hati orang itu. Biar pun dia tahu bahwa dia akan sukar sekali menang kalau bertanding melawan panglima ini, akan tetapi dia tidak sudi membunuh orang yang tidak mau melawan.
Sesudah pedang itu menodong dadanya, Bhok Cun Ki seakan-akan baru sadar bahwa di situ tidak ada Sui In, yang ada hanyalah gadis sumoi dari bekas kekasihnya yang kini siap untuk menyerangnya.
"Nona, sejak dulu pun aku tak ingin bertanding denganmu. Katakan kepada Sui In bahwa aku hanya mau bertanding dengannya, bukan dengan wakilnya. Pula, mengapa engkau mati-matian mewakili suci-mu dan siap membunuhku atau terbunuh olehku? Kenapa tidak dia sendiri yang maju?"
"Bhok Cun Ki! Aku datang bukan untuk mengobrol denganmu, tetapi untuk membunuhmu! Aku rela mati untuk suci. Kalau aku tidak berhasil membunuhmu, aku akan melawan terus hingga mati!" Lili menarik pedangnya dan kembali memasang kuda-kuda, siap bertanding.
Akan tetapi Bhok Cun Ki tidak bernapsu untuk bertanding dengan Lili. Dia ingin bertemu dengan Sui In karena hanya kalau berhadapan dengan wanita itulah maka semua urusan dapat dibereskan dan diselesaikan. Kalau memang dia telah menghancurkan kebahagiaan Sui In, biarlah wanita itu boleh membunuhnya. Akan tetapi bukan oleh tangan orang lain!
"Cu Sui In, keluarlah sendiri!" kembali dia berteriak lantang.
Lili menjadi marah sekali, merasa tidak dipandang, merasa diremehkan. "Akulah Cu Sui In, anggap saja aku Cu Sui In! Nah, aku akan menyerangmu, jangan salahkan aku kalau engkau terbunuh oleh serangan ini. Sambutlah!" Pedang itu berubah menjadi sinar putih dan meluncur ke arah tenggorokan Bhok Cun Ki.
Bhok Cun Ki memang enggan untuk kembali bertanding melawan gadis yang sama sekali tidak mempunyai urusan dengannya itu, akan tetapi tentu saja dia pun tidak mau mati konyol di tangannya. Maka, melihat pedang meluncur ke tenggorokannya dalam serangan maut, dia cepat melompat ke kanan menjauh sehingga serangan itu gagal. Akan tetapi Lili menyerang terus dengan dahsyatnya. Gadis ini memang sudah nekat.
Hanya ada dua pilihan baginya, sesuai dengan kehendak suci-nya, yaitu membunuh Bhok Cun Ki atau terbunuh olehnya! Tentu saja dia memilih membunuh dari pada dibunuh dan dia pun menyerang terus dengan gencar dan dahsyat. Bhok Cun Ki terpaksa mencabut pedang Ceng-kong-kiam dan nampaklah sinar hijau bergulung-gulunq, saling belit dengan gulungan sinar putih dari pedang di tangan Lili.
Terjadilah pertandingan untuk kedua kalinya, tetapi kali ini keadaannya sungguh berbeda. Kalau Lili menyerang mati-matian dan mengerahkan segala daya untuk membunuh lawan, maka sebaliknya Bhok Cun Ki ragu-ragu dan selalu hanya mengelak atau menangkis saja, jarang sekali balas menyerang kecuali terpaksa untuk membendung gelombang serangan lawan yang amat berbahaya. Karena itu, walau pun Bhok Cun Ki lebih tinggi tingkatnya, pertandingan itu menjadi seru sekali bahkan Bhok Cun Ki mulai terdesak.
Ketika Lili memainkan Pek-coa Kiam-sut yang membuat gerakannya laksana seekor ular yang amat berbahaya dan serangannya mengandung daya kekuatan dari bawah bagaikan seekor ular yang ganas, hanya dengan gerakan seperti seekor burung saja Bhok Cun Ki masih mampu mempertahankan diri. Tetapi karena dia tidak ingin mengalahkan Lili, hanya melindungi diri, bagaimana pun juga dia yang selalu terdesak hingga beberapa kali nyaris termakan pedang.
Karena setiap serangan dia lakukan dengan pengerahan seluruh tenaga, maka sesudah lewat lima puluh jurus tubuh Lili telah mandi keringat, dan napasnya agak terengah-engah. Demikian pula dengan Bhok Cun Ki, dia juga sudah berpeluh dan gerakannya pun mulai mengendur karena bergerak dengan loncatan-loncatan seperti burung itu telah menguras banyak tenaganya.
"Lili, sumoi, bunuh dia...! Bunuh dia...!”
Mendengar suara lembut yang tiba-tiba itu, Bhok Cun Ki melirik dan ketika dia melihat Cu Su In berdiri di sana, dia menjadi tertegun.
"Sui In...!" Dia berseru dan terbelalak memandang kepada wanita bekas kekasihnya yang masih kelihatan cantik jelita dan anggun itu. Sekarang baru dia menyadari bahwa selama ini dia masih mencinta wanita itu, sejak dahulu dia mencintanya, dan hanya keangkuhan saja yang memaksanya meninggalkan Sui In dan menikah dengan wanita lain.
"Singgg...! Singgg...!”
Sinar putih menyambar-nyambar. Biar pun Bhok Cun Ki berusaha mengelak, akan tetapi karena sebagian besar perhatiannya ditujukan kepada Sui In, maka sambaran yang ke tiga dari pedang Pek-coa-kiam itu tidak dapat dihindarkan lagi telah menusuk paha kirinya dan dia pun roboh terguling!
Setelah melihat lawannya roboh dan darah bercucuran dari celana bagian paha, Lili berdiri seperti patung. Apa bila saat itu dia menyusulkan serangan, pasti panglima itu tidak akan mampu melindungi diri lagi.
Akan tetapi pada dasarnya Lili memiliki watak yang gagah. Merobohkan lawan yang sejak tadi tidak pernah membalas saja sudah membuat dia merasa menyesal sekali, apa lagi sekarang melihat lawan yang selalu bersikap baik kepadanya itu sudah terluka. Ia merasa jijik kepada diri sendiri kalau harus menyusulkan serangan lagi. Maka ia berdiri mematung dengan hati bimbang.
Bhok Cun Ki tidak mengeluh, juga tidak peduli dengan luka di pahanya. Dia memaksa diri bangkit duduk, memandang kepada Sui In yang sedang melangkah mendekatinya. Sukar dilukiskan wajah wanita berusia empat puluh tiga tahun yang masih nampak cantik seperti seorang gadis itu ketika menatap kepada lelaki yang telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya selama puluhan tahun ini.
"In-moi... aku memang bersalah kepadamu, baru sekarang aku melihat kesalahanku itu. Dosaku terhadap dirimu amat besar, aku telah menghancurkan kebahagiaanmu, merusak kehidupanmu, aku memang layak mati di tanganmu. Karena itu, marilah... mari kau bunuh aku agar aku dapat menebus dosaku kepadamu, agar engkau memperoleh kebahagiaan dari balas dendammu ini. Pergunakan pedangku ini, In moi..." dengan wajah cerah disertai senyum Bhok Cun Ki menjulurkan tangan kanannya yang memegang pedang Ceng-kong-kiam kepada Bi-coa Sianli Cu Sui In.
Akan tetapi Cu Sui In hanya berdiri menatap wajah pria itu seperti orang terpesona, dan sepasang matanya berubah kemerahan, kedua pipinya menjadi pucat lalu kedua mata itu perlahan-lahan menjadi basah. Dia seperti tidak mampu mengalihkan pandangan matanya dari wajah itu, tetapi dengan paksa dia merenggut lepas pandang mata yang melekat itu, menoleh kepada sumoi-nya dan suaranya terdengar tidak semerdu tadi, melainkan agak parau dan lirih, namun tegas mendesak.
"Sumoi, cepat kau bunuh dia! Cepat kataku! Bunuh dia!"
Akan tetapi sekali ini Lili tidak bergerak. "Suci, dia sudah terluka dan tidak akan mampu melawan. Dia sudah menyerah untuk kau bunuh, kenapa suci tidak cepat melakukannya sendiri malah memaksaku untuk membunuhnya? Suci, kalau engkau hendak membunuh dia, lakukanlah sendiri, apa susahnya?"
"Engkau begitu sakit hati kepadaku, mengapa malah menyuruh sumoi-mu, Sui In? Kalau sumoi-mu yang membunuhku maka dendammu takkan pernah padam. Sumoi-mu benar, kalau engkau hendak membunuhku, lakukanlah sendiri. Aku tak akan melawan, aku akan tersenyum menyambut kematian di tanganmu, In moi."
Tiba-tiba Cu Sui In seperti mendapat semangat baru. Sekali tangannya bergerak, pedang yang disodorkan Bhok Cun Ki itu sudah dirampasnya, kemudian dia mengangkat pedang itu, siap membacok leher Cun Ki yang sudah pasrah.
Panglima itu menengadah memandang dengan senyum, sedikit pun tidak nampak takut, dan matanya tidak berkedip.
"Singgg...!" Pedang itu menyambar, berubah menjadi cahaya hijau yang menyilaukan saking kuatnya tenaga yang menggerakkannya. Leher Bhok Cun Ki pasti akan terpenggal dengan mudah. Akan tetapi ketika pedang meluncur lewat, leher itu masih tetap utuh sedangkan pedang Ceng-kong-kiam menancap, amblas di dalam tanah dekat tubuh panglima itu, menancap pada tanah sampai ke gagangnya!
Cu Sui In menutup mukanya dengan kedua tangannya. Tubuh wanita ini gemetar, kedua pundaknya terguncang karena dia sudah menangis tanpa suara, akan tetapi air matanya merembes keluar dari celah-celah jari tangannya.
"Aku... aku tidak dapat melakukannya... aku selalu mencintamu... selamanya... aihh, Cun Ki... kenapa engkau begitu tega menyia-nyiakan diriku dan menghancurkan kebahagiaan hidupku... " Dia terisak-isak menangis.
Wajah Bhok Cun Ki menjadi pucat sekali. Baginya, pendengaran dan penglihatan ini lebih menyakitkan, laksana ribuan pedang menusuk-nusuk jantungnya. Tanpa tertahankan lagi sepasang matanya menjadi basah dan air mata mengalir ke atas pipinya.
Sekarang baru terbuka kesadarannya bahwa Cu Sui In amat mencintanya, dan dia sendiri pun selamanya mencinta Sui In. Tapi demi menjaga namanya sebagai seorang pendekar besar, ia meninggalkan Sui In dan menghancurkan cinta kasih di antara mereka. Padahal sebagai seorang gadis Sui In sudah menyerahkan segalanya kepadanya, menyerahkan batin dan badannya.
"In-moi... ahh, In-moi... sungguh aku sudah bersikap kejam kepadamu. Aku... aku... apa yang harus kulakukan sekarang In-moi? Aku tidak akan membantah, apa saja akan aku lakukan demi menebus kesalahanku itu...”
Tiba-tiba Sui In menurunkan kedua tangannya. Wajahnya nampak pucat sekali, basah air mata, mulutnya tertarik-tarik pada kedua ujung bibirnya karena dia menahan tangisnya, hidungnya kemerahan dan air mata masih berderai turun ke atas kedua pipinya.
“Lili! Ini perintahku yang penghabisan kepadamu. Gerakkan pedangmu dan bunuh laki-laki ini sekarang juga! Kalau engkau tidak mematuhi perintahku, mulai detik ini juga hubungan di antara kita putus sudah!"
"Suci...!”
"Cepat, kuhitung sampai tiga. Kalau belum kau lakukan, aku akan menyerangmu sebagai seorang musuh besar!" kata wanita itu.
Wajah Lili menjadi pucat, tetapi dia tidak mempunyai pilihan lain, apa lagi ketika terdengar suara suci-nya mulai menghitung, "Satu... dua...”
Lili memejamkan matanya, lalu menerjang ke depan sambil mengayun pedang Pek-coa-kiam. Bagaimana pun juga dia berhutang segalanya kepada suci-nya. Semenjak kecil dia telah dipelihara, dididik dan dilimpahi kasih sayang oleh Cu Sui In. Dia rela mengorbankan nyawanya sekali pun untuk suci-nya, maka biar pun hatinya terasa amat berat, dia akan melaksanakan perintah itu.
"Singggg...!" Pedang Pek-coa-kiam berubah menjadi sinar putih menyambar ke arah leher Bhok Cun Ki, dipandang oleh Cu Sui In yang terbelalak.
"Trangggg...!"
Bunga api berpijar ketika pedang Ular Putih yang menyambar ke arah tubuh Bhok Cun Ki itu tiba-tiba saja tertahan dan tertangkis oleh sebatang pedang yang nampaknya buruk, Pedang Tumpul!
Lili terkejut, membuka matanya dan memandang terbelalak kepada Sin Wan yang sudah berdiri di situ dengan pedang buruknya di tangan.
"Sin Wan...!" teriaknya. "Apa yang kau lakukan ini?"
Sin Wan memandang tajam, sikapnya tegas dan seperti orang marah. "Lili, akulah yang bertanya kepadamu, apa yang kau lakukan ini?"
"Perlu apa kau bertanya lagi?" Lili membantah, "Aku memenuhi perintah suci-ku, hendak membunuh laki-laki yang sudah menghancurkan kehidupan suci, mengapa engkau berani menghalangiku?"
"Kau pandanglah baik-baik laki-laki ini, Lili. Pandanglah dia baik-baik, apakah hatimu tidak tergetar dan membisikkan suatu rahasia kepadamu. Dia ini bukan musuhmu, dia adalah ayah kandungmu, Lili...”
"Aihhh...!" Lili menjerit tak percaya.
"Dan yang menyuruhmu membunuhnya, wanita ini, dia adalah ibu kandungmu!"
"Sui In...!" Kini terdengar jerit dari mulut Bhok Cun Ki dan biar pun kakinya terluka parah, dia merangkak ke depan kaki Sui In.
"Sui In... benarkah dia ini anakku... anak... anak... kita...?”
"Suci...! Apa artinya ini? Benarkah seperti yang dikatakan Sin Wan tadi? Dia ini ayahku dan suci adalah... ibuku...?" Wajah Lili pucat laksana mayat, dan matanya terbelalak liar seperti mendadak menjadi gila.
Sekarang Sui In terisak dan menangis, mengeluarkan suara tangisan mengguguk dan dia pun mengangguk. "Benar... benar... aaaaahhh...!"
"Sui In...!" Bhok Cun Ki merangkul kedua kaki Sui In.
"Ibu...! Kau ibuku...!" Lili menubruk dan merangkul ibunya, menangis di dada wanita yang selama ini dia anggap gurunya, lalu suci-nya. Tiga orang itu menangis semua.
"Aku... aku tak dapat menahan kenyerian... hatiku... aku... aku menderita sekali Cun Ki... ketika kau meninggalkan aku, aku telah mengandung dua bulan... tetapi aku sengaja tidak memberi tahu, aku sakit hati sekali, kudidik anak kita... hanya untuk dapat melihat dia dan ayahnya saling serang lantas saling bunuh. Itulah hukumanku kepadamu, pembalasanku kepadamu... tapi... tapi... ahh, betapa lemah hatiku...” Dia menangis tersedu-sedu.
Bhok Cun Ki melepaskan kedua kaki Sui In dan merangkul kaki Lili. "Kau... kau anakku... ahh, begini gagah dan cantik, ha-ha-ha-ha... aku bangga sekali, aku senang sekali... kau anakku...!" Pendekar besar atau panglima muda yang gagah itu tertawa dan menangis sambil merangkul kaki Lili.
Gadis itu menjerit, menjatuhkan diri dan jatuh ke dalam rangkulan laki-laki yang baru saja dikenalnya sebagai ayahnya, laki-laki yang sudah dua kali bertanding mati-matian dengan dia, laki-laki yang tadi hampir saja dibunuhnya!
"Ayah...!" betapa manisnya sebutan ini, sebutan yang pertama kali keluar dari mulutnya, sebutan yang didambakannya sejak dia masih kecil di samping sebutan ibu.
"Lili... Bwe Li namamu...? Ha-ha-ha, dan siapa shemu, anakku...?”
"Ayah, ibuku yang selama ini kukenal sebagai guru dan suci, memberi nama Tang Bwe Li kepadaku?"
"Tang...?" Pria itu mengangkat muka lalu memandang kepada Sui In yang masih berdiri sambil menangis. "Aduh, Sui In... betapa selamanya engkau tak pernah dapat melupakan aku. Memang nama kecilku adalah Tang Cun dan kau memberi she Tang kepada anak kita..." ayah dan anak itu saling berangkulan di bawah kaki Sui In.
Dengan mata basah pula karena terharu dan bahagia, Sin Wan cepat mundur dan hanya menonton pertunjukan yang sangat mengharukan itu dari bawah pohon. Dia terharu dan gembira bukan hanya keluarga itu dapat bertemu dalam keadaan masih hidup walau pun Bhok Cun Ki terluka pahanya, melainkan juga karena dia teringat kepada ayah dan ibu kandungnya sendiri. Lili telah menemukan ayah dan ibu kandungnya, akan tetapi dia telah kehilangan mereka!
"Ha-ha-ha-ha…! Pertunjukan lawak macam apa ini? Benar-benar memalukan sekali anak dan cucuku menjadi orang-orang lemah dan cengeng. Sui In, Lili mundurlah kalian. Kalau kalian begitu lemah, biarlah aku yang mewakili kalian membunuh orang ini!"
Muncullah See-thian Coa-ong Cu Kiat yang dengan langkah lebar menghampiri mereka.
"Ayah, jangan...!" Tiba-tiba Cu Sui In melompat dan menghadang di depan orang tua itu.
See-thian Coa-ong terbelalak, memandang kepada puteri tunggalnya penuh perhatian. Dia melihat betapa wajah puterinya telah berubah. Muka itu masih basah air mata, hal ini saja sudah luar biasa sekali karena selama ini belum pernah puterinya menangis. Wajah itu masih pucat akan tetapi ada kecerahan aneh, seolah setangkai bunga yang telah lama semakin layu kini mendadak dapat siraman embun pagi yang menyegarkan.
"Apa maksudmu jangan, Sui In? Selama bertahun-tahun secara mati-matian engkau telah mengingkari anak kandungmu sendiri, hanya menganggap dia sebagai murid dan sumoi, mendidiknya dengan sungguh-sungguh agar dia bisa membunuh Bhok Cun Ki! Sekarang, sesudah kalian gagal membunuhnya, akulah yang akan menyempurnakan dendammu ini, tetapi engkau malah mengatakan jangan! Apa maksudmu?"
"Ayah, hampir aku menjadi gila karena dendam pribadi, karena sakit hati yang kutanggung selama bertahun-tahun hingga aku ingin sekali menghukumnya dengan mengadu antara ayah dan anak kandung. Aku tahu bahwa Lili tidak akan menang, tetapi kalau sampai Lili tewas ditangannya, lalu aku memberi tahu bahwa yang dibunuhnya itu anak kandungnya sendiri, tentu dia akan menderita selama hidupnya. Akan tetapi aku... aku tidak tega... aku masih mencintanya, ayah, tidak pernah aku berhenti mencintanya, dan Lili adalah anakku yang kusayang. Sekarang baru aku tahu bahwa aku sudah menjadi gila karena dendam. Sudahlah, aku memaafkan dia. Lili, mari kita pergi."
"Ibu...!" Lili langsung merangkul ibunya dengan air mata bercucuran. "Tidak, ibu, aku tidak ingin berpisah dari ayah...”
Sui In mengerutkan alisnya, lalu menghela napas panjang. "Engkau benar kalau memilih ayahmu. Dia seorang pendekar, seorang panglima besar yang berkedudukan mulia, yang mempunyai kehormatan dan nama bersih, mana bisa disamakan dengan ibumu, seorang wanita sesat, seorang wanita jahat yang namanya tersohor hitam dan kotor?" Seluruh kepahitan hatinya karena ditinggalkan kekasihnya tersalur lewat ucapan itu.
"Tidak, ibu, aku pun tidak ingin berpisah darimu. Aku ingin berkumpul dengan ayah dan ibu!" kata Lili dengan suara mengandung getaran penuh kesedihan dan kerinduan.
Betapa rindunya untuk dapat berkumpul dengan kedua orang yang menjadi ayah ibunya. Seakan-akan dia diciptakan menjadi manusia baru yang tadinya merasa yatim piatu dan kini tiba-tiba menemukan kembali ayah dan ibu kandungnya!
"Sui In, aku mengaku bersalah, aku telah berdosa, aku terlalu sombong dan bodoh, aku sudah menyerah dan rela untuk kau bunuh. Apa bila engkau tidak mau membunuhku, aku bersumpah untuk menebus kesalahanku. Belum terlambat bagiku untuk membahagiakan engkau dan anak kita Lili. Marilah, Sui In, marilah kita hidup bersama anak kita dan tidak saling berpisah lagi...”
Sui In memandang bekas kekasihnya itu dengan sinar mata berkilat, mulutnya mencibir. "Huh, dan aku merampasmu dari isteri dan anak-anakmu? Engkau akan mencampakkan mereka begitu saja? Laki-laki macam apa engkau ini?”
"Tidak, Sui In. Jangan salah mengerti. Aku tidak akan mengulang perbuatanku yang jahat. Maksudku kita akan tinggal bersama menjadi keluarga besar. Marilah, engkau dan Lili ikut bersamaku, tinggal bersama kami menjadi anggota keluargaku."
"Dan setiap hari menghadapi kebencian isterimu dan anak-anakmu?"
"Tidak! Percayalah, Sui In. Isteriku adalah orang yang bijaksana dan selama ini aku tidak pernah mempunyai isteri lain atau selir. Dia pasti akan menerimamu, apa lagi kalau aku berterus terang tentang masa laluku. Kedua orang anakku juga anak-anak yang berbakti dan baik."
"Aku tidak percaya! Aku tidak sudi dari keadaan menderita karena rindu dan kesepian, kini pindah ke dalam keadaan menderita karena dimusuhi keluargamu."
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita, lemah lembut dan halus. "Bhok Cun Ki berkata benar, enci. Kami telah mendengar semuanya dan aku merasa iba kepadamu dan kepada anakmu. Apa bila kalian berdua suka, datanglah dan tinggallah bersama kami. Kami pasti menerima kalian dengan hati dan tangan terbuka..., bahkan aku rela menjadi isteri kedua karena sesungguhnya engkau yang lebih dahulu menjadi isterinya."
Cu Sui In dan Lili menengok, juga Bhok Cun Ki. Ternyata yang bicara itu adalah nyonya Bhok, isteri panglima itu yang kini berdiri bersama kedua orang anaknya, Ci Han dan Ci Hwa!
Karena merasa khawatir terhadap ayah mereka, dua orang kakak beradik ini lalu memberi tahu kepada ibu mereka. Isteri panglima ini pun khawatir sekali, karena itu dia mengajak kedua orang anaknya untuk cepat menyusul menggunakan kereta.
Mereka turun dari kereta, segera memasuki hutan dan sempat mendengar serta melihat pertemuan yang mengharukan antara Bhok Cun Ki dengan bekas kekasihnya dan anak mereka. Nyonya Bhok adalah seorang wanita yang berperasaan peka dan halus, dan dia merasa terharu sekali, sangat iba terhadap Cu Sui In dan Lili...
"Kalian di rumah saja dan jangan sekali-kali menyusulku. Urusan ini adalah urusan pribadi yang terjadi ketika aku masih muda, dan tidak seorang pun boleh mencampuri," demikian dia berpesan kepada Ci Han dan Ci Hwa. Dia tahu bahwa jika anak-anaknya muncul, hal itu hanya akan menambah panas dan marahnya hati Sui In saja. Lagi pula dia tidak ingin melihat anak-anaknya terancam bahaya.
Demikianlah, sambil membawa surat tantangan itu Bhok Cun Ki lalu meninggalkan rumah pada sore hari itu, keluar dari pintu gerbang utara dan terus menuju ke sebuah hutan kecil yang sudah dikenalnya. Hutan itu terletak di lereng bukit, menyimpang dan agak jauh dari jalan raya sehingga tempat itu tentu sunyi, apa lagi di waktu sore seperti itu.
Ketika tiba di tengah hutan dan mendapatkan hutan itu sunyi sekali, Bhok Cun Ki berdiri tegak dengan dua kakinya terpentang, lalu dia menengadah dan berseru dengan lantang, "Sui In, aku telah datang memenuhi tantanganmu. Keluarlah untuk bertemu denganku!"
Tempat itu merupakan lapangan terbuka yang cukup luas, dikelilingi pepohonan rindang. Cuaca sudah mulai redup karena matahari mulai bergeser ke barat. Suara Bhok Cun Ki bergema di sekeliling tempat itu.
"Bhok Cun Ki, sekali ini bersiaplah untuk mati!" terdengar bentakan halus dan ketika Bhok Cun Ki membalikkan tubuh, wajahnya berkerut karena kecewa. Yang muncul bukanlah Sui In yang diharapkan, melainkan Lili, gadis yang pernah memaksanya bertanding itu.
"Hemmm, engkau lagi, nona. Di mana Sui In? Suruh suci-mu saja yang keluar dan bicara sendiri denganku. Aku tidak mempunyai urusan pribadi denganmu," katanya.
Lili yang setelah tiba di hutan itu sudah menanggalkan penyamarannya, kini menghadapi Bhok Cun Ki, matanya berkilat tajam dan mulutnya tersenyum mengejek biar pun hatinya terasa tidak enak sekali. Hidungnya kembang kempis, tanda bahwa sebenarnya hati gadis ini tegang sekali. Dia merasa terpaksa sekali harus berhadapan kembali dengan panglima ini untuk saling serang dan saling bunuh!
Sesudah apa yang dilakukan panglima ini kepadanya, sikapnya yang demikian ramah dan baik, sungguh menyiksa sekali dia harus menantangnya kembali! Maka dia pun tidak ingin banyak bicara lagi.
"Bhok Cun Ki, suci mewakilkan kepadaku untuk membunuhmu. Nah, tidak perlu banyak cakap lagi. Mari kita lanjutkan pertandingan kita yang dahulu terganggu, sampai seorang di antara kita harus roboh dan mati, barulah pertandingan dihentikan! Bersiaplah engkau, Bhok Cun Ki!" Lili mencabut pedangnya, pedang yang berbentuk ular putih, memasang kuda-kuda dan pada wajahnya terbayang kenekatan.
Akan tetapi Bhok Cun Ki seperti tidak melihatnya dan panglima ini malah memandang ke sekeliling, seolah sedang mencari-cari.
“Bhok Cun Ki, bersiaplah dengan pedangmu!" Lili membentak.
"Sui In, di manakah engkau? Keluarlah dan jangan menyuruh sumoi-mu yang menghadapi aku. Aku hanya mau berurusan denganmu, bukan dengan orang lain!" seru Bhok Cun Ki tanpa mempedulikan Lili yang menantang. Akan tetapi tiada jawaban, juga tidak nampak bayangan orang lain di hutan itu.
"Bhok Cun Ki, sekali lagi, bersiaplah sebab aku akan menyerangmu!" kembali Lili berseru, wajahnya kemerahan karena dia marah sekali melihat panglima itu tidak mempedulikan dirinya, seakan-akan memandang rendah atau menganggap dia anak kecil saja. Panglima itu tetap celingukan ke sekelilingnya, mencari-cari.
"Cu Sui In, aku hanya mau menyerahkan nyawaku kepadamu! Lekas keluarlah dan mari kita bicara baik-baik!"
Lili menjadi marah sekali. Dia mengelebatkan pedangnya di depan muka panglima itu dan sekali bergerak, pedang itu telah menodong. Ujung pedang Pek-coa-kiam menempel pada dada panglima itu.
"Bhok Cun Ki, kalau engkau tidak mau melawan maka terpaksa aku akan membunuhmu! Apakah engkau seorang pengecut yang tidak berani melawanku? Apa engkau ingin mati konyol seperti seekor babi?" Lili sengaja memaki untuk memanaskan hati orang itu. Biar pun dia tahu bahwa dia akan sukar sekali menang kalau bertanding melawan panglima ini, akan tetapi dia tidak sudi membunuh orang yang tidak mau melawan.
Sesudah pedang itu menodong dadanya, Bhok Cun Ki seakan-akan baru sadar bahwa di situ tidak ada Sui In, yang ada hanyalah gadis sumoi dari bekas kekasihnya yang kini siap untuk menyerangnya.
"Nona, sejak dulu pun aku tak ingin bertanding denganmu. Katakan kepada Sui In bahwa aku hanya mau bertanding dengannya, bukan dengan wakilnya. Pula, mengapa engkau mati-matian mewakili suci-mu dan siap membunuhku atau terbunuh olehku? Kenapa tidak dia sendiri yang maju?"
"Bhok Cun Ki! Aku datang bukan untuk mengobrol denganmu, tetapi untuk membunuhmu! Aku rela mati untuk suci. Kalau aku tidak berhasil membunuhmu, aku akan melawan terus hingga mati!" Lili menarik pedangnya dan kembali memasang kuda-kuda, siap bertanding.
Akan tetapi Bhok Cun Ki tidak bernapsu untuk bertanding dengan Lili. Dia ingin bertemu dengan Sui In karena hanya kalau berhadapan dengan wanita itulah maka semua urusan dapat dibereskan dan diselesaikan. Kalau memang dia telah menghancurkan kebahagiaan Sui In, biarlah wanita itu boleh membunuhnya. Akan tetapi bukan oleh tangan orang lain!
"Cu Sui In, keluarlah sendiri!" kembali dia berteriak lantang.
Lili menjadi marah sekali, merasa tidak dipandang, merasa diremehkan. "Akulah Cu Sui In, anggap saja aku Cu Sui In! Nah, aku akan menyerangmu, jangan salahkan aku kalau engkau terbunuh oleh serangan ini. Sambutlah!" Pedang itu berubah menjadi sinar putih dan meluncur ke arah tenggorokan Bhok Cun Ki.
Bhok Cun Ki memang enggan untuk kembali bertanding melawan gadis yang sama sekali tidak mempunyai urusan dengannya itu, akan tetapi tentu saja dia pun tidak mau mati konyol di tangannya. Maka, melihat pedang meluncur ke tenggorokannya dalam serangan maut, dia cepat melompat ke kanan menjauh sehingga serangan itu gagal. Akan tetapi Lili menyerang terus dengan dahsyatnya. Gadis ini memang sudah nekat.
Hanya ada dua pilihan baginya, sesuai dengan kehendak suci-nya, yaitu membunuh Bhok Cun Ki atau terbunuh olehnya! Tentu saja dia memilih membunuh dari pada dibunuh dan dia pun menyerang terus dengan gencar dan dahsyat. Bhok Cun Ki terpaksa mencabut pedang Ceng-kong-kiam dan nampaklah sinar hijau bergulung-gulunq, saling belit dengan gulungan sinar putih dari pedang di tangan Lili.
Terjadilah pertandingan untuk kedua kalinya, tetapi kali ini keadaannya sungguh berbeda. Kalau Lili menyerang mati-matian dan mengerahkan segala daya untuk membunuh lawan, maka sebaliknya Bhok Cun Ki ragu-ragu dan selalu hanya mengelak atau menangkis saja, jarang sekali balas menyerang kecuali terpaksa untuk membendung gelombang serangan lawan yang amat berbahaya. Karena itu, walau pun Bhok Cun Ki lebih tinggi tingkatnya, pertandingan itu menjadi seru sekali bahkan Bhok Cun Ki mulai terdesak.
Ketika Lili memainkan Pek-coa Kiam-sut yang membuat gerakannya laksana seekor ular yang amat berbahaya dan serangannya mengandung daya kekuatan dari bawah bagaikan seekor ular yang ganas, hanya dengan gerakan seperti seekor burung saja Bhok Cun Ki masih mampu mempertahankan diri. Tetapi karena dia tidak ingin mengalahkan Lili, hanya melindungi diri, bagaimana pun juga dia yang selalu terdesak hingga beberapa kali nyaris termakan pedang.
Karena setiap serangan dia lakukan dengan pengerahan seluruh tenaga, maka sesudah lewat lima puluh jurus tubuh Lili telah mandi keringat, dan napasnya agak terengah-engah. Demikian pula dengan Bhok Cun Ki, dia juga sudah berpeluh dan gerakannya pun mulai mengendur karena bergerak dengan loncatan-loncatan seperti burung itu telah menguras banyak tenaganya.
"Lili, sumoi, bunuh dia...! Bunuh dia...!”
Mendengar suara lembut yang tiba-tiba itu, Bhok Cun Ki melirik dan ketika dia melihat Cu Su In berdiri di sana, dia menjadi tertegun.
"Sui In...!" Dia berseru dan terbelalak memandang kepada wanita bekas kekasihnya yang masih kelihatan cantik jelita dan anggun itu. Sekarang baru dia menyadari bahwa selama ini dia masih mencinta wanita itu, sejak dahulu dia mencintanya, dan hanya keangkuhan saja yang memaksanya meninggalkan Sui In dan menikah dengan wanita lain.
"Singgg...! Singgg...!”
Sinar putih menyambar-nyambar. Biar pun Bhok Cun Ki berusaha mengelak, akan tetapi karena sebagian besar perhatiannya ditujukan kepada Sui In, maka sambaran yang ke tiga dari pedang Pek-coa-kiam itu tidak dapat dihindarkan lagi telah menusuk paha kirinya dan dia pun roboh terguling!
Setelah melihat lawannya roboh dan darah bercucuran dari celana bagian paha, Lili berdiri seperti patung. Apa bila saat itu dia menyusulkan serangan, pasti panglima itu tidak akan mampu melindungi diri lagi.
Akan tetapi pada dasarnya Lili memiliki watak yang gagah. Merobohkan lawan yang sejak tadi tidak pernah membalas saja sudah membuat dia merasa menyesal sekali, apa lagi sekarang melihat lawan yang selalu bersikap baik kepadanya itu sudah terluka. Ia merasa jijik kepada diri sendiri kalau harus menyusulkan serangan lagi. Maka ia berdiri mematung dengan hati bimbang.
Bhok Cun Ki tidak mengeluh, juga tidak peduli dengan luka di pahanya. Dia memaksa diri bangkit duduk, memandang kepada Sui In yang sedang melangkah mendekatinya. Sukar dilukiskan wajah wanita berusia empat puluh tiga tahun yang masih nampak cantik seperti seorang gadis itu ketika menatap kepada lelaki yang telah menghancurkan kebahagiaan hidupnya selama puluhan tahun ini.
"In-moi... aku memang bersalah kepadamu, baru sekarang aku melihat kesalahanku itu. Dosaku terhadap dirimu amat besar, aku telah menghancurkan kebahagiaanmu, merusak kehidupanmu, aku memang layak mati di tanganmu. Karena itu, marilah... mari kau bunuh aku agar aku dapat menebus dosaku kepadamu, agar engkau memperoleh kebahagiaan dari balas dendammu ini. Pergunakan pedangku ini, In moi..." dengan wajah cerah disertai senyum Bhok Cun Ki menjulurkan tangan kanannya yang memegang pedang Ceng-kong-kiam kepada Bi-coa Sianli Cu Sui In.
Akan tetapi Cu Sui In hanya berdiri menatap wajah pria itu seperti orang terpesona, dan sepasang matanya berubah kemerahan, kedua pipinya menjadi pucat lalu kedua mata itu perlahan-lahan menjadi basah. Dia seperti tidak mampu mengalihkan pandangan matanya dari wajah itu, tetapi dengan paksa dia merenggut lepas pandang mata yang melekat itu, menoleh kepada sumoi-nya dan suaranya terdengar tidak semerdu tadi, melainkan agak parau dan lirih, namun tegas mendesak.
"Sumoi, cepat kau bunuh dia! Cepat kataku! Bunuh dia!"
Akan tetapi sekali ini Lili tidak bergerak. "Suci, dia sudah terluka dan tidak akan mampu melawan. Dia sudah menyerah untuk kau bunuh, kenapa suci tidak cepat melakukannya sendiri malah memaksaku untuk membunuhnya? Suci, kalau engkau hendak membunuh dia, lakukanlah sendiri, apa susahnya?"
"Engkau begitu sakit hati kepadaku, mengapa malah menyuruh sumoi-mu, Sui In? Kalau sumoi-mu yang membunuhku maka dendammu takkan pernah padam. Sumoi-mu benar, kalau engkau hendak membunuhku, lakukanlah sendiri. Aku tak akan melawan, aku akan tersenyum menyambut kematian di tanganmu, In moi."
Tiba-tiba Cu Sui In seperti mendapat semangat baru. Sekali tangannya bergerak, pedang yang disodorkan Bhok Cun Ki itu sudah dirampasnya, kemudian dia mengangkat pedang itu, siap membacok leher Cun Ki yang sudah pasrah.
Panglima itu menengadah memandang dengan senyum, sedikit pun tidak nampak takut, dan matanya tidak berkedip.
"Singgg...!" Pedang itu menyambar, berubah menjadi cahaya hijau yang menyilaukan saking kuatnya tenaga yang menggerakkannya. Leher Bhok Cun Ki pasti akan terpenggal dengan mudah. Akan tetapi ketika pedang meluncur lewat, leher itu masih tetap utuh sedangkan pedang Ceng-kong-kiam menancap, amblas di dalam tanah dekat tubuh panglima itu, menancap pada tanah sampai ke gagangnya!
Cu Sui In menutup mukanya dengan kedua tangannya. Tubuh wanita ini gemetar, kedua pundaknya terguncang karena dia sudah menangis tanpa suara, akan tetapi air matanya merembes keluar dari celah-celah jari tangannya.
"Aku... aku tidak dapat melakukannya... aku selalu mencintamu... selamanya... aihh, Cun Ki... kenapa engkau begitu tega menyia-nyiakan diriku dan menghancurkan kebahagiaan hidupku... " Dia terisak-isak menangis.
Wajah Bhok Cun Ki menjadi pucat sekali. Baginya, pendengaran dan penglihatan ini lebih menyakitkan, laksana ribuan pedang menusuk-nusuk jantungnya. Tanpa tertahankan lagi sepasang matanya menjadi basah dan air mata mengalir ke atas pipinya.
Sekarang baru terbuka kesadarannya bahwa Cu Sui In amat mencintanya, dan dia sendiri pun selamanya mencinta Sui In. Tapi demi menjaga namanya sebagai seorang pendekar besar, ia meninggalkan Sui In dan menghancurkan cinta kasih di antara mereka. Padahal sebagai seorang gadis Sui In sudah menyerahkan segalanya kepadanya, menyerahkan batin dan badannya.
"In-moi... ahh, In-moi... sungguh aku sudah bersikap kejam kepadamu. Aku... aku... apa yang harus kulakukan sekarang In-moi? Aku tidak akan membantah, apa saja akan aku lakukan demi menebus kesalahanku itu...”
Tiba-tiba Sui In menurunkan kedua tangannya. Wajahnya nampak pucat sekali, basah air mata, mulutnya tertarik-tarik pada kedua ujung bibirnya karena dia menahan tangisnya, hidungnya kemerahan dan air mata masih berderai turun ke atas kedua pipinya.
“Lili! Ini perintahku yang penghabisan kepadamu. Gerakkan pedangmu dan bunuh laki-laki ini sekarang juga! Kalau engkau tidak mematuhi perintahku, mulai detik ini juga hubungan di antara kita putus sudah!"
"Suci...!”
"Cepat, kuhitung sampai tiga. Kalau belum kau lakukan, aku akan menyerangmu sebagai seorang musuh besar!" kata wanita itu.
Wajah Lili menjadi pucat, tetapi dia tidak mempunyai pilihan lain, apa lagi ketika terdengar suara suci-nya mulai menghitung, "Satu... dua...”
Lili memejamkan matanya, lalu menerjang ke depan sambil mengayun pedang Pek-coa-kiam. Bagaimana pun juga dia berhutang segalanya kepada suci-nya. Semenjak kecil dia telah dipelihara, dididik dan dilimpahi kasih sayang oleh Cu Sui In. Dia rela mengorbankan nyawanya sekali pun untuk suci-nya, maka biar pun hatinya terasa amat berat, dia akan melaksanakan perintah itu.
"Singggg...!" Pedang Pek-coa-kiam berubah menjadi sinar putih menyambar ke arah leher Bhok Cun Ki, dipandang oleh Cu Sui In yang terbelalak.
"Trangggg...!"
Bunga api berpijar ketika pedang Ular Putih yang menyambar ke arah tubuh Bhok Cun Ki itu tiba-tiba saja tertahan dan tertangkis oleh sebatang pedang yang nampaknya buruk, Pedang Tumpul!
Lili terkejut, membuka matanya dan memandang terbelalak kepada Sin Wan yang sudah berdiri di situ dengan pedang buruknya di tangan.
"Sin Wan...!" teriaknya. "Apa yang kau lakukan ini?"
Sin Wan memandang tajam, sikapnya tegas dan seperti orang marah. "Lili, akulah yang bertanya kepadamu, apa yang kau lakukan ini?"
"Perlu apa kau bertanya lagi?" Lili membantah, "Aku memenuhi perintah suci-ku, hendak membunuh laki-laki yang sudah menghancurkan kehidupan suci, mengapa engkau berani menghalangiku?"
"Kau pandanglah baik-baik laki-laki ini, Lili. Pandanglah dia baik-baik, apakah hatimu tidak tergetar dan membisikkan suatu rahasia kepadamu. Dia ini bukan musuhmu, dia adalah ayah kandungmu, Lili...”
"Aihhh...!" Lili menjerit tak percaya.
"Dan yang menyuruhmu membunuhnya, wanita ini, dia adalah ibu kandungmu!"
"Sui In...!" Kini terdengar jerit dari mulut Bhok Cun Ki dan biar pun kakinya terluka parah, dia merangkak ke depan kaki Sui In.
"Sui In... benarkah dia ini anakku... anak... anak... kita...?”
"Suci...! Apa artinya ini? Benarkah seperti yang dikatakan Sin Wan tadi? Dia ini ayahku dan suci adalah... ibuku...?" Wajah Lili pucat laksana mayat, dan matanya terbelalak liar seperti mendadak menjadi gila.
Sekarang Sui In terisak dan menangis, mengeluarkan suara tangisan mengguguk dan dia pun mengangguk. "Benar... benar... aaaaahhh...!"
"Sui In...!" Bhok Cun Ki merangkul kedua kaki Sui In.
"Ibu...! Kau ibuku...!" Lili menubruk dan merangkul ibunya, menangis di dada wanita yang selama ini dia anggap gurunya, lalu suci-nya. Tiga orang itu menangis semua.
"Aku... aku tak dapat menahan kenyerian... hatiku... aku... aku menderita sekali Cun Ki... ketika kau meninggalkan aku, aku telah mengandung dua bulan... tetapi aku sengaja tidak memberi tahu, aku sakit hati sekali, kudidik anak kita... hanya untuk dapat melihat dia dan ayahnya saling serang lantas saling bunuh. Itulah hukumanku kepadamu, pembalasanku kepadamu... tapi... tapi... ahh, betapa lemah hatiku...” Dia menangis tersedu-sedu.
Bhok Cun Ki melepaskan kedua kaki Sui In dan merangkul kaki Lili. "Kau... kau anakku... ahh, begini gagah dan cantik, ha-ha-ha-ha... aku bangga sekali, aku senang sekali... kau anakku...!" Pendekar besar atau panglima muda yang gagah itu tertawa dan menangis sambil merangkul kaki Lili.
Gadis itu menjerit, menjatuhkan diri dan jatuh ke dalam rangkulan laki-laki yang baru saja dikenalnya sebagai ayahnya, laki-laki yang sudah dua kali bertanding mati-matian dengan dia, laki-laki yang tadi hampir saja dibunuhnya!
"Ayah...!" betapa manisnya sebutan ini, sebutan yang pertama kali keluar dari mulutnya, sebutan yang didambakannya sejak dia masih kecil di samping sebutan ibu.
"Lili... Bwe Li namamu...? Ha-ha-ha, dan siapa shemu, anakku...?”
"Ayah, ibuku yang selama ini kukenal sebagai guru dan suci, memberi nama Tang Bwe Li kepadaku?"
"Tang...?" Pria itu mengangkat muka lalu memandang kepada Sui In yang masih berdiri sambil menangis. "Aduh, Sui In... betapa selamanya engkau tak pernah dapat melupakan aku. Memang nama kecilku adalah Tang Cun dan kau memberi she Tang kepada anak kita..." ayah dan anak itu saling berangkulan di bawah kaki Sui In.
Dengan mata basah pula karena terharu dan bahagia, Sin Wan cepat mundur dan hanya menonton pertunjukan yang sangat mengharukan itu dari bawah pohon. Dia terharu dan gembira bukan hanya keluarga itu dapat bertemu dalam keadaan masih hidup walau pun Bhok Cun Ki terluka pahanya, melainkan juga karena dia teringat kepada ayah dan ibu kandungnya sendiri. Lili telah menemukan ayah dan ibu kandungnya, akan tetapi dia telah kehilangan mereka!
"Ha-ha-ha-ha…! Pertunjukan lawak macam apa ini? Benar-benar memalukan sekali anak dan cucuku menjadi orang-orang lemah dan cengeng. Sui In, Lili mundurlah kalian. Kalau kalian begitu lemah, biarlah aku yang mewakili kalian membunuh orang ini!"
Muncullah See-thian Coa-ong Cu Kiat yang dengan langkah lebar menghampiri mereka.
"Ayah, jangan...!" Tiba-tiba Cu Sui In melompat dan menghadang di depan orang tua itu.
See-thian Coa-ong terbelalak, memandang kepada puteri tunggalnya penuh perhatian. Dia melihat betapa wajah puterinya telah berubah. Muka itu masih basah air mata, hal ini saja sudah luar biasa sekali karena selama ini belum pernah puterinya menangis. Wajah itu masih pucat akan tetapi ada kecerahan aneh, seolah setangkai bunga yang telah lama semakin layu kini mendadak dapat siraman embun pagi yang menyegarkan.
"Apa maksudmu jangan, Sui In? Selama bertahun-tahun secara mati-matian engkau telah mengingkari anak kandungmu sendiri, hanya menganggap dia sebagai murid dan sumoi, mendidiknya dengan sungguh-sungguh agar dia bisa membunuh Bhok Cun Ki! Sekarang, sesudah kalian gagal membunuhnya, akulah yang akan menyempurnakan dendammu ini, tetapi engkau malah mengatakan jangan! Apa maksudmu?"
"Ayah, hampir aku menjadi gila karena dendam pribadi, karena sakit hati yang kutanggung selama bertahun-tahun hingga aku ingin sekali menghukumnya dengan mengadu antara ayah dan anak kandung. Aku tahu bahwa Lili tidak akan menang, tetapi kalau sampai Lili tewas ditangannya, lalu aku memberi tahu bahwa yang dibunuhnya itu anak kandungnya sendiri, tentu dia akan menderita selama hidupnya. Akan tetapi aku... aku tidak tega... aku masih mencintanya, ayah, tidak pernah aku berhenti mencintanya, dan Lili adalah anakku yang kusayang. Sekarang baru aku tahu bahwa aku sudah menjadi gila karena dendam. Sudahlah, aku memaafkan dia. Lili, mari kita pergi."
"Ibu...!" Lili langsung merangkul ibunya dengan air mata bercucuran. "Tidak, ibu, aku tidak ingin berpisah dari ayah...”
Sui In mengerutkan alisnya, lalu menghela napas panjang. "Engkau benar kalau memilih ayahmu. Dia seorang pendekar, seorang panglima besar yang berkedudukan mulia, yang mempunyai kehormatan dan nama bersih, mana bisa disamakan dengan ibumu, seorang wanita sesat, seorang wanita jahat yang namanya tersohor hitam dan kotor?" Seluruh kepahitan hatinya karena ditinggalkan kekasihnya tersalur lewat ucapan itu.
"Tidak, ibu, aku pun tidak ingin berpisah darimu. Aku ingin berkumpul dengan ayah dan ibu!" kata Lili dengan suara mengandung getaran penuh kesedihan dan kerinduan.
Betapa rindunya untuk dapat berkumpul dengan kedua orang yang menjadi ayah ibunya. Seakan-akan dia diciptakan menjadi manusia baru yang tadinya merasa yatim piatu dan kini tiba-tiba menemukan kembali ayah dan ibu kandungnya!
"Sui In, aku mengaku bersalah, aku telah berdosa, aku terlalu sombong dan bodoh, aku sudah menyerah dan rela untuk kau bunuh. Apa bila engkau tidak mau membunuhku, aku bersumpah untuk menebus kesalahanku. Belum terlambat bagiku untuk membahagiakan engkau dan anak kita Lili. Marilah, Sui In, marilah kita hidup bersama anak kita dan tidak saling berpisah lagi...”
Sui In memandang bekas kekasihnya itu dengan sinar mata berkilat, mulutnya mencibir. "Huh, dan aku merampasmu dari isteri dan anak-anakmu? Engkau akan mencampakkan mereka begitu saja? Laki-laki macam apa engkau ini?”
"Tidak, Sui In. Jangan salah mengerti. Aku tidak akan mengulang perbuatanku yang jahat. Maksudku kita akan tinggal bersama menjadi keluarga besar. Marilah, engkau dan Lili ikut bersamaku, tinggal bersama kami menjadi anggota keluargaku."
"Dan setiap hari menghadapi kebencian isterimu dan anak-anakmu?"
"Tidak! Percayalah, Sui In. Isteriku adalah orang yang bijaksana dan selama ini aku tidak pernah mempunyai isteri lain atau selir. Dia pasti akan menerimamu, apa lagi kalau aku berterus terang tentang masa laluku. Kedua orang anakku juga anak-anak yang berbakti dan baik."
"Aku tidak percaya! Aku tidak sudi dari keadaan menderita karena rindu dan kesepian, kini pindah ke dalam keadaan menderita karena dimusuhi keluargamu."
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita, lemah lembut dan halus. "Bhok Cun Ki berkata benar, enci. Kami telah mendengar semuanya dan aku merasa iba kepadamu dan kepada anakmu. Apa bila kalian berdua suka, datanglah dan tinggallah bersama kami. Kami pasti menerima kalian dengan hati dan tangan terbuka..., bahkan aku rela menjadi isteri kedua karena sesungguhnya engkau yang lebih dahulu menjadi isterinya."
Cu Sui In dan Lili menengok, juga Bhok Cun Ki. Ternyata yang bicara itu adalah nyonya Bhok, isteri panglima itu yang kini berdiri bersama kedua orang anaknya, Ci Han dan Ci Hwa!
Karena merasa khawatir terhadap ayah mereka, dua orang kakak beradik ini lalu memberi tahu kepada ibu mereka. Isteri panglima ini pun khawatir sekali, karena itu dia mengajak kedua orang anaknya untuk cepat menyusul menggunakan kereta.
Mereka turun dari kereta, segera memasuki hutan dan sempat mendengar serta melihat pertemuan yang mengharukan antara Bhok Cun Ki dengan bekas kekasihnya dan anak mereka. Nyonya Bhok adalah seorang wanita yang berperasaan peka dan halus, dan dia merasa terharu sekali, sangat iba terhadap Cu Sui In dan Lili...