SUI IN lalu bertanya kepada Lili, "Lili, karena adikmu tidak mampu menjawab, engkaulah yang harus menceritakan kepada ayahmu, apa yang telah terjadi!"
Bhok Cun Ki mengangguk ketika Lili memandang kepadanya. Tidak mungkin memaksa Ci Hwa bicara kalau sedang menangis seperti itu. "Ceritakanlah, Lili," katanya.
"Begini, ayah, ibu. Tadi secara kebetulan aku memasuki taman, lalu melihat Sin Wan dan adik Ci Hwa sedang duduk di bangku ini, bermesraan, saling berpelukan. Kedatanganku membuat mereka terkejut dan adik Ci Hwa ketakutan. Tetapi aku mengatakan bahwa aku bahkan bergembira kalau mereka saling mencinta. Eh, ternyata dia ini, laki-laki yang tidak bertanggung jawab ini, dia menyangkal bahwa dia mencinta Ci Hwa! Nah, hati siapa yang tidak menjadi panas melihat adiknya dipermainkan orang!"
Mendengar keterangan Lili ini, Bhok Cun Ki yang biasanya selalu berpikiran panjang dan dapat menahan perasaannya, mau tidak mau mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah. Sebagai seorang ayah, tentu saja dia tidak senang mendengar laporan itu, walau pun dia masih meragukan kebenaran laporan itu karena selama ini dia mengenal Sin Wan sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan berkelakuan sopan.
Kini Bhok-ciangkun menatap wajah Sin Wan. Bulan sedang terang-terangnya sehingga cuaca menjadi cerah. "Sin Wan, kami harap engkau bersikap sebagai seorang gagah dan suka menceritakan semuanya dengan jujur. Nah, benarkah apa yang diceritakan Lili tadi?"
Sin Wan menghela napas panjang. Keadaan sudah sedemikian rupa sehingga jalan satu-satunya hanya berterus-terang dan tidak lagi merahasiakan sesuatu walau dengan resiko akan menyinggung hati Ci Hwa atau siapa pun juga. Kalau tidak maka suasana tentu bisa menjadi semakin gawat.
"Baiklah, paman Bhok. Memang seharusnya saya berterus terang. Karena ketidak terus-terangan sayalah yang menyebabkan semua ini terjadi. Laporan Lili tadi tidak dapat saya salahkan, karena memang tampaknya benar seperti apa yang dia terangkan. Akan tetapi sebenarnya tidaklah demikian, paman. Biarlah akan saya ceritakan dari awal. Mula-mula, adik Ci Han yang datang menemui saya di kamar saya dan dia menceritakan kepada saya bahwa adik Ci Hwa sedang sedih. Menurut keterangan adik Ci Han, adik Ci Hwa merasa sedih karena menyangka bahwa saya membencinya. Tentu saja saya merasa heran dan terkejut sekali, maka ketika adik Ci Han minta tolong kepada saya untuk menghibur dan mengaku sayang kepada adik Ci Hwa yang sedang berada di taman, tanpa ragu lagi saya lalu menemuinya di dalam taman ini."
"Benarkah semua keterangannya itu, Ci Han?" tanya Bhok Cun Ki kepada puteranya yang sejak tadi hanya mendengarkan saja dengan wajah tegang.
"Benar, ayah. Memang aku yang menceritakan tentang keadaan Hwa-moi kepada Wan-toako dan minta bantuannya supaya dia menghibur Hwa-moi dan mengatakan bahwa dia tidak membencinya, melainkan menyayangnya."
"Hemm, Sin Wan, lanjutkan keteranganmu," kata Bhok Cun Ki kepada Sin Wan.
"Setelah tiba di taman, saya melihat adik Ci Hwa sedang duduk seorang diri dan memang kelihatan amat berduka. Saya kemudian mendekatinya, duduk di bangku dan mengatakan bahwa saya sayang kepadanya dan agar dia tidak berduka. Mendengar pengakuan saya itu, adik Ci Hwa menangis dan merangkul saya, menangis di dada saya dan mengatakan bahwa dia mencinta saya. Pada waktu itu saya sudah menyadari akan adanya kesalah-pahaman, paman. Akan tetapi apa yang harus saya lakukan? Terus terang mengatakan bahwa saya tidak mencintanya? Tentu hal itu akan merupakan pukulan hebat kepadanya dan saya tidak tega melakukannya. Saya menyayang adik Ci Hwa sebagai seorang kakak terhadap adiknya, paman. Dan pada saat itu Lili muncul! Karena keadaan menjadi gawat, maka saya lantas berterus terang bahwa saya tidak mencinta adik Ci Hwa seperti yang mereka sangka, tidak mencinta sebagai seorang pria kepada seorang wanita melainkan hanya rasa sayang seorang kakak terhadap adiknya. Lili marah, dan selanjutnya paman melihat dan mendengar sendiri. Saya memang bersalah karena tak berani berterus terang sehingga terjadi kesalah pahaman yang menyakiti hati adik Ci Hwa. Maafkan saya."
Melihat gawatnya persoalan itu, Bhok Cun Ki menghela napas panjang. Bagaimana pun juga hal ini menyangkut kebahagiaan dan kehormatan diri puterinya, karena itu dia lantas berkata, "Mari kita semua masuk ke rumah, kemudian membicarakan urusan penting ini di dalam saja."
Dua orang isterinya juga maklum akan pentingnya urusan itu, maka mereka mengangguk dan semua orang kemudian meninggalkan taman, memasuki rumah tanpa mengeluarkan suara, hanya masih terdengar isak tertahan dari Ci Hwa yang dirangkul dan digandeng ibunya memasuki rumah. Sin Wan yang berjalan paling belakang merasa seperti seorang pesakitan masuk ke dalam ruangan sidang pengadilan yang akan mengadilinya.
Mereka duduk di ruangan dalam dan tidak ada seorang pun pelayan yang diperbolehkan masuk. Sin Wan duduk di sudut, dihadapi oleh seluruh keluarga itu. Dia bersikap tenang, dengan keyakinan bahwa dia tidak melakukan suatu kesalahan, tidak memiliki niat untuk mengganggu siapa saja, dan urusan yang dihadapinya ini adalah suatu kesalah pahaman belaka.
Begitu mereka duduk, Lili yang semenjak tadi menahan perasaannya, bermacam-macam perasaan, ada kecewa, ada pula kemarahan, bukan karena dia melihat kenyataan pahit bahwa pemuda yang dicintanya ternyata mencinta gadis lain, akan tetapi juga karena kemudian pemuda itu menyatakan tidak menerima cinta kasih Ci Hwa.
"Ayah, adik Ci Hwa mencinta Sin Wan dan dia pun tidak pernah menolak cintanya. Oleh karena itu aku menuntut agar mereka menjadi suami isteri. Kalau Sin Wan menolak maka dia akan kuanggap sebagi musuhku!"
"Aku sendiri pun tidak akan menerima begitu saja kalau anakku Ci Hwa diperhina orang!" kata pula Cu Sui In.
Ibu dan anak ini memandang kepada Sin Wan dengan sinar mata mencorong. Bhok Cun Ki mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat agar isteri dan puterinya itu berdiam diri. Kemudian dia memandang kepada Sin Wan dan suaranya terdengar tenang namun tegas.
"Sin Wan, kami menyadari sepenuhnya bahwa peristiwa ini terjadi karena salah paham di pihak anak kami Ci Hwa. Akan tetapi engkau pun tidak bebas dari pada kesalahan karena sikapmu yang tidak berterus terang. Andai kata pada saat itu engkau berterus terang saja menyatakan isi hatimu yang sebenarnya kepada Ci Hwa, tentu kesalah pahaman itu tidak akan berlarut-larut. Sekarang semua telah terjadi dan engkau pun tentu maklum betapa akan kecewa dan malu hati kami semua kalau Ci Hwa tidak berjodoh denganmu. Oleh karena itu kami mengharapkan kebijaksanaanmu agar suka menyetujui ikatan perjodohan antara engkau dengan Ci Hwa."
Sin Wan mengerutkan alisnya. Bayangan Lim Kui Siang, sumoi-nya itu, lantas berkelebat di hadapan matanya. Selama hidupnya dia hanya mencinta seorang saja, yaitu Kui Siang dan sampai saat ini, biar pun Kui Siang telah berubah menjadi benci kepadanya, dia tidak mampu melupakan gadis itu.
Memang dia tidak lagi mengharapkan untuk dapat berjodoh dengan Kui Siang mengingat betapa Kui Siang sudah memandangnya sebagai musuh, namun bagaimana mungkin dia dapat berjodoh dengan gadis lain bila hal ini bertentangan dengan perasaan hatinya?
Dia memang suka dan sayang kepada Ci Hwa, merasa iba kepadanya, akan tetapi tidak ada perasaan cinta di dalam hatinya seperti perasaan cintanya terhadap Kui Siang. Dengan tulus Sin Wan kini memandang kepada mereka semua, seorang demi seorang, lalu berkata dengan suara lembut namun tegas dan sejujurnya.
"Paman Bhok, bibi berdua, adik Ci Hwa, Ci Han dan Lili, saya mengerti bahwa terkadang pengakuan sejujurnya mendatangkan kepahitan dan ketidak senangan. Namun saya juga yakin bahwa walau pun kadang menyenangkan, kebohongan akan mendatangkan akibat yang jauh lebih buruk lagi. Apa yang baru saja terjadi di antara saya dengan adik Ci Hwa hanya merupakan suatu kesalah pahaman belaka. Saya menyayang adik Ci Hwa sebagai seorang kakak terhadap adiknya, atau sebagai seorang sahabat yang ikut prihatin melihat sahabatnya berduka sehingga ingin menghiburnya, akan tetapi adik Ci Hwa salah sangka, mengira saya mencintainya sebagai seorang pria mencinta wanita. Dan sekarang setelah semuanya ini kita mengerti, juga saya sudah minta maaf kepada adik Ci Hwa dan kepada semua keluarga, mengapa ikatan perjodohan ini akan dipaksakan dan dilaksanakan juga? Kalau perjodohan seperti ini kelak mengalami kegagalan, bukankah kita semua pula yang akan menanggung derita? Paman, saya tidak ingin kalau kelak akan mengecewakan dan menghancurkan perasaan hati adik Ci Hwa. Karena itu, dari pada nantinya saya terpaksa mengkhianati cinta adik Ci Hwa dan menyusahkan hatinya, lebih baik dari sekarang saya menjauhkan diri. Saya terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan paman untuk berjodoh dengan adik Ci Hwa."
Mendengar ucapan ini, Ci Hwa terisak, lalu melepaskan rangkulan ibunya, dan dia pun lari ke kamarnya sambil menangis. ibunya bangkit dan menyusulnya.
"Bagus, kalau begitu engkau harus menebus penghinaan ini dengan nyawamu!" bentak Lili dan dia pun sudah menyerang Sin Wan dengan dasyatnya.
Semenjak tadi Sin Wan sudah siap waspada. Dia maklum bahwa kemarahan keluarga itu mungkin saja membuat mereka ingin membunuhnya. Maka begitu Lili menyerangnya, dia pun telah meloncat ke belakang dan menghindarkan diri dari totokan maut yang dilakukan gadis itu.
"Biar aku yang menghajarnya!" bentak Bi-coa Sianli Cu Sui ln.
Nampak sinar hitam berkelebat ketika wanita itu mencabut Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) dan menyerang Sin Wan. Juga Lili sudah mencabut Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) dan siap mengeroyok Sin Wan.
"Tahan!” teriak Bhok Cun Ki yang telah melompat ke depan untuk menghadang isteri dan puterinya. "Simpan pedang kalian dan jangan serang dia. Kita tidak begitu rendah untuk memaksa seseorang yang tidak mau menjadi anggota keluarga kita."
Biar pun dengan alis berkerut, Cu Sui In menyimpan kembali pedangnya dan mengomel, "Akan tetapi dia telah menghina anak kita Ci Hwa!"
Lili juga menyimpan pedangnya dan berkata tak puas, "Dia telah menghancurkan hati adik Ci Hwa dan membuatnya berduka."
Bhok Cun Ki menghela napas panjang. "Semua itu kesalahan Ci Hwa sendiri. Siapa yang menyuruh dia mencinta seorang pria yang tidak membalas cintanya? Sudahlah, mungkin seorang pendekar besar yang memiliki kepandaian tinggi seperti dia merasa terlalu tinggi untuk berjodoh dengan seorang gadis bodoh seperti Ci Hwa. Akan tetapi aku tidak akan sudi memaksanya."
Mendengar ucapan keluarga itu, dan melihat Ci Han duduk saja dengan muka pucat, Sin Wan menghela napas panjang dan memberi hormat kepada mereka, kemudian berkata kepada Bhok Cun Ki. "Paman Bhok, saya mengerti bahwa semua kata-kata tadi hanya diucapkan dari hati yang kecewa. Saya telah mengecewakan keluarga paman, dan menyusahkan hati adik Ci Hwa. Karena itu saya berpamit, paman. Sekarang juga saya akan meninggalkan rumah ini, dan banyak terima kasih saya ucapkan atas semua kebaikan paman beserta keluarga paman yang telah dilimpahkan kepada saya. Selamat tinggal." Sin Wan pergi ke kamarnya, mengemasi pakaiannya lalu pergi meninggalkan rumah itu.
Ci Han yang sejak tadi hanya diam saja, diam-diam merasa menyesal sekali. Dialah yang menjadi biang keladi, keluhnya dalam hati. Dialah yang tadi menyuruh Sin Wan menghibur adiknya, namun tidak disangkanya akan berakibat begini. Dia pun meninggalkan ruangan itu, disusul Lili yang juga pergi dari situ.
Kini tinggal Bhok Cun Ki yang masih duduk dan berulang kali menghela napas panjang, ditemani Cu Sui ln. "Aihhh, mengapa cinta selalu mendatangkan duka kepada manusia? Kita berdua, terutama engkau, menderita banyak kesengsaraan karena cinta. Sekarang anak kita, gadis yang masih bersih dari pada noda, terpaksa harus menderita pula karena cinta."
"Walau pun dahulu menderita, tetapi sekarang aku menemukan kebahagiaan. Akan tetapi bagaimana dengan anak kita Ci Hwa? Hemm, kalau kau tidak melarang, sudah kubunuh pemuda yang berani menolak cintanya itu!"
Bhok Cun Ki tersenyum. Wanita yang sejak dahulu dicintanya ini, biar pun hidup sebagai puteri datuk dan selalu terbiasa dengan kekerasan, akan tetapi pada hakekatnya memiliki watak yang baik. Dia menganggap Ci Hwa sebagai puterinya sendiri.
“Hemmm, cinta... apa sih cinta itu sesungguhnya? Cinta membuat orang hari ini tertawa senang, besoknya menangis susah. Cinta mendatangkan cemburu, kemarahan, bahkan kebencian. Cinta, siapakah sebenarnya kamu dan apa sebenarnya perasaan yang selalu mempermainkan hati setiap orang manusia ini? Tidak peduli pria atau wanita, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, semua menjadi permainan cinta dan setiap orang pernah atau akan menderita karena cinta!"
Ucapan Bhok Cun Ki yang seperti ditujukan kepada dirinya sendiri itu membuat isterinya, Cu Sui In, ikut pula duduk termenung. Keduanya tenggelam dalam renungannya sendiri tentang cinta yang kalau diukur lebih dalam dari pada samudera dan lebih tinggi dari pada langit itu.
Renungan mengenai cinta dilakukan orang sepanjang masa, sejak jaman nenek moyang kita dulu sampai kini. Namun, adakah manusia yang pernah menemukan jawabnya yang tepat. Memang ada banyak pendapat orang tentang cinta, akan tetapi apakah pendapat itu telah dapat membuat kita mengenal cinta?
Bila mendatangkan cemburu yang disusul kebencian dan permusuhan, apakah itu cinta? Bila mendatangkan kesenangan disusul kesusahan, apakah itu cinta? Ingin memiliki dan dimiliki sendiri, itukah cinta? Menjadi pembangkit, penyalur dan pemuasan birahi, itukah cinta? Membela dengan mempertaruhkan nyawa, membunuh atau dibunuh seperti dalam perang membela tanah air, itukah cinta? Mengorbankan diri untuk anak dan cucu, itukah cinta? Ataukah cinta mencakup kesemuanya? Apakah cinta merupakan kebalikan dari benci? Apakah benar bahwa cemburu menjadi kembangnya cinta?
Kalau dilanjutkan, masih ada satu macam pertanyaan yang tak terjawab mengenai cinta. Bagaimana mungkin hati yang tidak pernah mengenal cinta dapat mencari apa cinta itu sebenarnya? Hati akal pikiran ini hanya dapat menemukan sesuatu yang pernah dikenal, pernah dialami, dapat menemukan hal yang telah lalu.
Yang mendatangkan cemburu, mendatangkan suka dan duka, mendatangkan kebencian dan permusuhan, yang memuaskan birahi, yang ingin membelenggu dalam ikatan, jelas bukanlah cinta melainkan nafsu. Nafsu selalu menimbulkan keinginan untuk memperoleh kesenangan dan menghindari ketidak senangan. Nafsu selalu mempermainkan manusia, mengombang-ambingkan manusia antara suka dan duka, puas dan kecewa.
Nafsu membuat kita mencinta seseorang karena daya tarik yang khas, sesuai dengan keinginan nafsu. Kita mencinta seseorang karena kecantikannya atau ketampanannya, karena kekayaannya, kedudukannya, kepintarannya dan sebagainya. Kalau yang menjadi daya tarik itu sudah luntur, maka cinta kita pun ikut luntur karena ikatan itu mengendur.
Cinta yang didorong oleh nafsu membuat kita ingin memiliki sendiri yang kita cinta, baik itu berupa benda, binatang peliharaan, tanaman, atau orang. Bila ini dilanggar maka kita cemburu, kita marah, kita benci. Tetapi kalau kita berhasil memiliki, timbullah rangkaian yang mendatangkan penderitaan pula.
Memiliki berarti menjaga dan kehilangan! Memiliki bisa menimbulkan kebosanan. Cantik dan indah hanya terasa sebelum didapatkan, atau paling banyak hanya dirasakan untuk jangka waktu yang pendek saja. Sesudah itu, cantik dan indah mulai luntur kalau tidak membosankan malah. Betapa banyaknya pasangan yang cantik dan tampan cekcok atau bercerai. Betapa banyaknya pasangan yang kaya raya, tidak cocok dan menderita.
Cinta yang kita puja-puja pada umumnya hanyalah permainan nafsu belaka. Cinta kita berpamrih seperti menjadi sifat nafsu, dan permainan nafsu tak dapat tidak menyeret kita ke dalam permainan suka duka, yang lebih banyak dukanya dibandingkan sukanya. Kita mencinta untuk mendapatkan sesuatu. Cinta kita merupakan cinta jual beli, dan setiap jual beli selalu mendambakan keuntungan.
Selama nafsu pamrih masih ada, cinta tidak akan ada. Kalau nafsu dan pamrih sudah tidak ada, apakah cinta akan ada? Tak dapat kita mengharapkan cinta, tidak dapat kita mengundang cinta. Cinta akan datang menghampiri kita seperti air suci mengisi cawan yang sudah kosong dan bersih!
Di lembah Sungai Huang-ho, di luar kota Cin-an, nampak meriah. Suasananya seperti di dalam pesta besar. Memang terdapat pesta besar di tempat itu. Bangunan mewah di tepi sungai yang menjadi tempat peristirahatan kaum bangsawan sudah dihias meriah. Apa yang terjadi di pagi hari itu? Di tempat itu sedang diadakan pertemuan keluarga kaisar!
Pangeran Chu Hui San, yaitu putera mahkota, mengundang adiknya, yaitu Yung Lo yang sekarang menjadi raja muda di kota Peking, untuk mengadakan pertemuan di tempat itu. Hal ini dilakukan Pangeran Mahkota Chu Hui San untuk menghormati adiknya yang sudah menjadi raja muda di Peking.
Kota Cin-an terletak di antara kota raja Nan-king dan Peking. Supaya tidak nampak saling merendahkan, maka tempat itulah yang dipilih Pangeran Chu Hui San untuk mengadakan pertemuan dengan Raja Muda Yung Lo. Mereka harus melakukan perjalanan yang hampir sama jauhnya untuk berkunjung ke kota Cin-an. Raja Muda Yung Lo harus menyeberangi Huang-ho sebelum tiba di Cin-an, ada pun Pangeran Mahkota harus menyeberangi sungai Yang-ce ketika keluar dari kota raja menuju ke utara.
Dengan alasan rindu dan ingin mengajak adiknya itu bercakap-cakap tentang kenegaraan, Pangeran Mahkota Chu Hui San mengundang Raja Muda Yung Lo. Dia melakukan hal ini atas bujukan dan nasehat Yauw Siaucai yang sudah menjadi guru sastra puteranya, juga menjadi penasehatnya.
"Hamba mendengar bahwa kekuasaan Raja Muda Yung Lo di Peking semakin besar dan kuat. Karena paduka yang diangkat menjadi pangeran mahkota, maka kekuasaan Raja Muda Yung Lo itu kelak dapat merupakan ancaman bagi kedudukan paduka kalau paduka telah menjadi kaisar. Sebab itu perlu sekali paduka mendekatinya dan berbaik dengannya. Juga untuk sekedar menguji kesetiaannya dan mengukur kekuatannya." Demikian antara lain Yauw Siucai membujuk.
"Akan tetapi perjalanan itu amat jauh dan berbahaya," Pangeran Mahkota membantah.
"Paduka bisa mengerahkan pasukan keamanan untuk mengawal. Bukankah ada jenderal-jenderal besar yang boleh dipercaya seperti jenderal besar Shu Ta atau kalau beliau sibuk dengan tugas-tugasnya, paduka dapat pula mengutus Jenderal Yauw Ti dengan pasukan pengawalnya yang kuat. Tentu saja paduka harus mendapatkan persetujuan Sribaginda Kaisar dan karena niat itu baik sekali, tentu beliau tidak akan keberatan."
Akhirnya Pangeran Chu Hui San menurut dan seperti yang telah dikemukakan oleh Yauw Siucai, Kaisar memberi restu. Penjagaan keamanan dan pengawalan diserahkan kepada Jenderal Yauw Ti yang sudah dipercayanya sebagai wakil Jenderal Shu Ta yang ternyata memang sedang sibuk dengan tugas-tugasnya.
Demikianlah, pada pagi hari itu rombongan Pangeran Mahkota sampai di Cin-an dan pada siang harinya baru rombongan Raja Muda Yung Lo datang dari utara. Rombongan Raja Muda Yung Lo tidak besar, hanya dikawal pasukan yang jumlahnya tiga losin orang. Akan tetapi dia ditemani seorang pengawal pribadi wanita yang cantik dan gagah perkasa, yang bukan lain adalah Lim Kui Siang!
Seperti telah kita ketahui, Raja Muda Yung Lo yang merasa amat kagum dan berhutang budi kepada Lim Kui Siang, telah jatuh hati kepada gadis perkasa itu. Raja Muda Yung Lo yang berwatak keras dan jujur itu dengan terang-terangan menyatakan cintanya dan ingin memperisteri Kui Siang. Melihat gadis itu bimbang mendengar pinangannya, dia memberi waktu satu bulan kepadanya untuk memberi jawaban.
Dalam waktu sebulan itu Kui Siang merasa hatinya tersiksa. Kini usianya sudah dua puluh tiga tahun dan bagi seorang gadis pada masa itu, usianya sudah lebih dari pada dewasa. Yang meminangnya adalah seorang raja muda yang hebat, yang dia kagumi.
Andai kata tidak ada bayangan Sin Wan yang selalu menggodanya, kiranya takkan sukar untuk menerima pinangan Raja Muda Yung Lo itu, bahkan akan diterimanya dengan hati bersyukur dan berbahagia. Akan tetapi di sana ada Sin Wan. Dia tidak dapat melupakan pemuda yang masih tetap dicintanya itu. Dia sudah berusaha untuk melupakan Sin Wan, berusaha meyakinkan dirinya bahwa Sin Wan adalah anak tiri dan murid musuh besarnya.
Mendiang Se Jit Kong, yaitu ayah tiri Sin Wan, telah menghancurkan keluarganya dengan membunuh ayahnya. Bagaimana mungkin dia berjodoh dengan anak tiri dan murid musuh itu? Akan tetapi semua usahanya untuk melupakan Sin Wan sia-sia belaka dan akhirnya, setelah masa sebulan lewat, dengan terus terang Kui Siang menjawab kepada Raja Muda Yung Lo bahwa dia tidak dapat menerima pinangannya karena dia sudah mencinta orang lain.
Biar pun hatinya merasa kecewa sekali, namun dengan sikap yang tenang dan hati yang besar Raja Muda Yung Lo menerima kenyataan itu. Dia adalah seorang yang bijaksana, dan menomor duakan urusan pribadi di bawah urusan negara. Meski pun dia kecewa atas penolakan Kui Siang, tetapi dia tidak ingin kehilangan gadis perkasa ini sebagai pengawal pribadinya yang boleh diandalkan dan dapat dipercaya pula.
"Aku dapat menghargai kejujuranmu, Kui Siang, dan penolakanmu ini bahkan membuat aku semakin kagum kepadamu. Engkau seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, dan tidak tertarik dengan kemuliaan dan kedudukan. Engkau hebat sekali dan aku dapat menduga siapa pria yang telah menempati hatimu. Dia tentu Sin Wan, bukan?"
Kui Siang menundukkan mukanya yang berubah kemerahan, tetapi dia membuat gerakan mengangguk. Setelah ketegangan hatinya mereda oleh sikap bijaksana raja muda itu, dia pun berkata dengan hati terharu.
"Yang Mulia, andai kata di dunia ini tidak ada dia dan hati hamba tidak lebih dahulu terikat oleh dia, maka pinangan paduka merupakan anugerah yang akan hamba terima dengan penuh kehormatan dan kebahagiaan. Harap paduka suka memaafkan hamba."
"Tak ada yang perlu dimaafkan, Kui Siang. Engkau memang telah melakukan pilihan hati yang sangat tepat. Sin Wan adalah seorang pendekar yang budiman dan gagah perkasa. Akan tetapi di mana dia sekarang? Mengapa dia tidak menerima tawaran yang kuberikan kepadanya agar bekerja di sini sehingga tidak berjauhan darimu?"
Wajah Kui Siang berubah muram. Melihat ini, Raja Muda Yung Lo yang berpengalaman itu dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang meretakkan hubungan antara gadis ini dengan kekasihnya.
"Kui Siang, karena engkau tidak bisa menerima pinanganku, tidak dapat menjadi isteriku, biarlah engkau menjadi saudaraku atau sahabat baikku. Nah, ceritakanlah apa yang telah terjadi dan aku berjanji akan membantumu untuk memecahkan kesulitanmu."
"Terima kasih, Yang Mulia. Memang kami berpisah,... bukan kesalahannya, akan tetapi..."
Melihat keraguan Kui Siang ini Raja Muda Yung Lo semakin tertarik. Dia harus menolong Kui Siang dan Sin Wan, pikirnya, untuk membalas budi mereka. “Katakanlah, Kui Siang, apa yang telah terjadi dan mengapa kalian saling berpisah?"
"Dia... dia seorang Uighur..." Kui Siang berhenti lagi karena masih merasa ragu apakah dia akan menceritakan persoalan pribadinya kepada raja muda itu.
Raja Muda Yung Lo tertawa. "Ha-ha-ha, kami sudah tahu akan hal itu, Kui Siang, dan apa salahnya! Bangsa kita mempunyai tanah air yang amat luas di mana tinggal ratusan juta orang dari ratusan macam suku bangsa. Kalau kita masih membeda-bedakan antara suku bangsa, ada yang merasa lebih tinggi derajatnya ada pula yang merasa lebih rendah, lalu bagaimana kita dapat menjadi sebuah bangsa yang besar? Perbedaan antara suku hanya mendatangkan perpecahan dan tanpa adanya kesatuan dari seluruh rakyat dari pelbagai suku itu, bagaimana mungkin negara kita dapat menjadi besar serta kuat? Membedakan antara satu suku dengan suku lain merupakan suatu kepicikan karena pada hakekatnya semua manusia sama, dilahirkan sebagai bangsa apa pun merupakan kehendak Tuhan."
"Bukan itu yang menjadi persoalan, Yang Mulia. Hamba sendiri pun tidak akan membeda-bedakan keturunan atau suku. Akan tetapi... ahhh, bagaimana mungkin hamba berjodoh dengan anak tiri dan murid seorang... musuh besar yang membunuh ayah hamba?"
Kini raja muda itu tertegun. Sungguh keterangan yang sama sekali tidak pernah dia duga. "Siapakah ayah tiri dan gurunya itu?"
"Namanya Se Jit Kong...”
"Ahh! Apakah Hwe-ciang-kwi (Iblis Tangan Api)?"
"Benar, Yang Mulia."
"Akan tetapi, bukankah katanya Sin Wan murid dari Sam-sian (Tiga Dewa) dan menjadi suheng-mu (kakak seperguruanmu)?"
"Itu pun benar, Yang Mulia. Akan tetapi sejak kecil dia menjadi anak tiri Se Jit Kong dan baru-baru saja, sesudah kami berada di sini, hamba tahu bahwa dia anak tiri dan murid musuh besar hamba. Oleh karena itu hamba lalu mengusirnya dan tidak mau lagi bertemu dengannya." Kui Siang menunduk dan wajahnya menjadi sedih.
"Hemm, kurasa engkau keliru dalam hal ini, Kui Siang. Dia hanya anak tiri, dan kejahatan yang dilakukan ayah tirinya itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Bukankah Sin Wan itu murid Sam-sian dan tidak pernah berbuat jahat seperti ayah tirinya?"
"Hamba menyadari hal itu, tetapi... ketika hamba mengetahui bahwa dia adalah anak tiri mendiang Se Jit Kong, hamba merasa kecewa dan marah sehingga hamba mengusirnya dan memutuskan hubungan dengannya. Sekarang hamba menyadari bahwa hamba telah bersikap tidak adil kepadanya...”
"Jangan khawatir, Kui Siang. Tenang-tenang sajalah. Aku akan menyuruh orang mencari Sin Wan dan akulah yang akan menjelaskan kepadanya dan mendamaikan kalian berdua. Aneh, dalam hati mencinta, akan tetapi di luarnya menyatakan benci dan bermusuhan."
Demikianlah, Kui Siang tidak lagi didesak oleh Raja Muda Yung Lo yang telah melepaskan keinginannya mempersunting dara itu, bahkan menjanjikan untuk mendamaikan antara dia dan Sin Wan.
Pada waktu Raja Muda Yung Lo menerima undangan dari Putera Mahkota yang menjadi kakaknya, tentu saja dia tak dapat menolak. Bagaimana pun juga kakaknya adalah putera mahkota, calon pengganti kaisar ayah mereka, yang berarti calon junjungannya. Pangeran Mahkota sudah mengalah dan datang ke Cin-an, berarti itu menaruh hormat. kepadanya.
Ketika Kui Siang menyatakan kekhawatirannya, Raja Muda Yung Lo tersenyum. "Kami menerima undangan dari kakanda Pangeran Mahkota untuk mengadakan pertemuan di kota Cin-an. Mengapa engkau merasa khawatir, Kui Siang? Apakah engkau mencurigai Pangeran Mahkota?"
"Tentu saja sama sekali tidak, Yang Mulia. Tetapi kita mengetahui bahwa pihak Mongol selalu berdaya untuk merampas kembali kekuasaannya, maka mereka akan melakukan segala cara untuk mencelakakan keluarga Sribaginda Kaisar. Perjalanan ke Cin-an tidak dekat, maka hamba khawatir kalau-kalau kesempatan ini dipergunakan oleh pihak musuh untuk menghadang dan mencelakai paduka atau Pangeran Mahkota."
"Jangan khawatir, Kui Siang. Aku bukan orang yang mudah dijebak begitu saja oleh siapa pun. Kita berangkat dengan pasukan pengawal dan engkau menjadi pengawal pribadiku. Kalau ada engkau di dekatku, siapa yang akan mampu menggangguku!" kata Raja Muda Yung Lo setengah berkelakar.
Hati Kui Siang selalu penuh kekhawatiran, maka dia melakukan penjagaan ketat, teliti dan waspada di sepanjang perjalanan karena dia menganggap bahwa pasukan pengawal tiga losin orang itu masih jauh dari pada cukup untuk dapat menjamin keselamatan seorang raja muda seperti Yung Lo.
Akan tetapi ternyata tidak ada gangguan di sepanjang perjalanan, bahkan para pembesar setempat yang mendengar akan datangnya Raja Muda Yung Lo yang sedang melakukan perjalanan ke selatan, langsung mengadakan penyambutan di setiap kota dengan penuh penghormatan.
Ketika rombongan Raja Muda Yung Lo tiba di luar kota Cin-an, di tempat peristirahatan dekat sungai Kuning itu, mereka disambut oleh Putera Mahkota sendiri, dan Raja Muda Yung Lo lantas saling berpelukan dengan kakaknya. Kemudian dua orang bangsawan ini memasuki gedung yang disediakan untuk pertemuan itu.
Raja Muda Yung Lo ditemani Kui Siang yang memimpin enam pengawal wanita sebagai anak buahnya. Tujuh orang gadis yang rata-rata cantik ini nampak gagah dan berwibawa sehingga Pangeran Mahkota Chu Hui San memandang dengan senyum menyeringai lalu berkata kepada adiknya,
"Adinda Yung Lo, pasukan pengawal pribadimu sungguh hebat, cantik dan gagah!"
Raja Muda Yung Lo hanya tersenyum saja dan dia pun memperhatikan orang-orang yang mengawal kakaknya. Ia melihat Jenderal Yauw Ti yang tadi sudah cepat memberi hormat kepadanya secara militer. Tentu saja dia mengenal jenderal besar ini yang menjadi orang kepercayaan dari ayahnya Sribaginda Kaisar, juga merupakan orang yang sangat berjasa dan menjadi pembantu Jenderal Shu Ta.
Melihat hadirnya jenderal itu, hati Raja muda Yung Lo menjadi semakin tenang. Jenderal ini tentu membawa pasukan besar dan tentu saja keadaan menjadi aman.
Di samping Jenderal Yauw Ti, yang menemani Pangeran Mahkota hanya ada seorang lagi saja, seorang pria muda berusia tiga puluh lima tahun yang tampan dan bersikap sopan, gerak-geriknya halus, berpakaian seperti seorang sastrawan, bermata tajam dan nampak cerdik sekali. Raja Muda Yung Lo tidak mengenal pria itu, hanya dia merasa heran sekali kenapa kakaknya tidak diiringkan pengawal pribadi melainkan seorang sastrawan!
"Kakanda Pangeran, siapakah sastrawan ini?" tanyanya heran.
"Ahhh, engkau belum mengenalnya? Dia memang belum lama menjadi penasehatku dan dia pun menjadi guru keponakanmu Chu Hong. Dia kami sebut Yauw Siucai."
Yauw Siucai langsung memberi hormat dengan menekuk sebelah lutut kepada Raja Muda Yung Lo, yang diterima dengan sikap anggun oleh bangsawan itu. Akan tetapi selanjutnya Raja Muda Yung Lo tidak lagi menaruh perhatian kepada sastrawan itu...
Bhok Cun Ki mengangguk ketika Lili memandang kepadanya. Tidak mungkin memaksa Ci Hwa bicara kalau sedang menangis seperti itu. "Ceritakanlah, Lili," katanya.
"Begini, ayah, ibu. Tadi secara kebetulan aku memasuki taman, lalu melihat Sin Wan dan adik Ci Hwa sedang duduk di bangku ini, bermesraan, saling berpelukan. Kedatanganku membuat mereka terkejut dan adik Ci Hwa ketakutan. Tetapi aku mengatakan bahwa aku bahkan bergembira kalau mereka saling mencinta. Eh, ternyata dia ini, laki-laki yang tidak bertanggung jawab ini, dia menyangkal bahwa dia mencinta Ci Hwa! Nah, hati siapa yang tidak menjadi panas melihat adiknya dipermainkan orang!"
Mendengar keterangan Lili ini, Bhok Cun Ki yang biasanya selalu berpikiran panjang dan dapat menahan perasaannya, mau tidak mau mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah. Sebagai seorang ayah, tentu saja dia tidak senang mendengar laporan itu, walau pun dia masih meragukan kebenaran laporan itu karena selama ini dia mengenal Sin Wan sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan berkelakuan sopan.
Kini Bhok-ciangkun menatap wajah Sin Wan. Bulan sedang terang-terangnya sehingga cuaca menjadi cerah. "Sin Wan, kami harap engkau bersikap sebagai seorang gagah dan suka menceritakan semuanya dengan jujur. Nah, benarkah apa yang diceritakan Lili tadi?"
Sin Wan menghela napas panjang. Keadaan sudah sedemikian rupa sehingga jalan satu-satunya hanya berterus-terang dan tidak lagi merahasiakan sesuatu walau dengan resiko akan menyinggung hati Ci Hwa atau siapa pun juga. Kalau tidak maka suasana tentu bisa menjadi semakin gawat.
"Baiklah, paman Bhok. Memang seharusnya saya berterus terang. Karena ketidak terus-terangan sayalah yang menyebabkan semua ini terjadi. Laporan Lili tadi tidak dapat saya salahkan, karena memang tampaknya benar seperti apa yang dia terangkan. Akan tetapi sebenarnya tidaklah demikian, paman. Biarlah akan saya ceritakan dari awal. Mula-mula, adik Ci Han yang datang menemui saya di kamar saya dan dia menceritakan kepada saya bahwa adik Ci Hwa sedang sedih. Menurut keterangan adik Ci Han, adik Ci Hwa merasa sedih karena menyangka bahwa saya membencinya. Tentu saja saya merasa heran dan terkejut sekali, maka ketika adik Ci Han minta tolong kepada saya untuk menghibur dan mengaku sayang kepada adik Ci Hwa yang sedang berada di taman, tanpa ragu lagi saya lalu menemuinya di dalam taman ini."
"Benarkah semua keterangannya itu, Ci Han?" tanya Bhok Cun Ki kepada puteranya yang sejak tadi hanya mendengarkan saja dengan wajah tegang.
"Benar, ayah. Memang aku yang menceritakan tentang keadaan Hwa-moi kepada Wan-toako dan minta bantuannya supaya dia menghibur Hwa-moi dan mengatakan bahwa dia tidak membencinya, melainkan menyayangnya."
"Hemm, Sin Wan, lanjutkan keteranganmu," kata Bhok Cun Ki kepada Sin Wan.
"Setelah tiba di taman, saya melihat adik Ci Hwa sedang duduk seorang diri dan memang kelihatan amat berduka. Saya kemudian mendekatinya, duduk di bangku dan mengatakan bahwa saya sayang kepadanya dan agar dia tidak berduka. Mendengar pengakuan saya itu, adik Ci Hwa menangis dan merangkul saya, menangis di dada saya dan mengatakan bahwa dia mencinta saya. Pada waktu itu saya sudah menyadari akan adanya kesalah-pahaman, paman. Akan tetapi apa yang harus saya lakukan? Terus terang mengatakan bahwa saya tidak mencintanya? Tentu hal itu akan merupakan pukulan hebat kepadanya dan saya tidak tega melakukannya. Saya menyayang adik Ci Hwa sebagai seorang kakak terhadap adiknya, paman. Dan pada saat itu Lili muncul! Karena keadaan menjadi gawat, maka saya lantas berterus terang bahwa saya tidak mencinta adik Ci Hwa seperti yang mereka sangka, tidak mencinta sebagai seorang pria kepada seorang wanita melainkan hanya rasa sayang seorang kakak terhadap adiknya. Lili marah, dan selanjutnya paman melihat dan mendengar sendiri. Saya memang bersalah karena tak berani berterus terang sehingga terjadi kesalah pahaman yang menyakiti hati adik Ci Hwa. Maafkan saya."
Melihat gawatnya persoalan itu, Bhok Cun Ki menghela napas panjang. Bagaimana pun juga hal ini menyangkut kebahagiaan dan kehormatan diri puterinya, karena itu dia lantas berkata, "Mari kita semua masuk ke rumah, kemudian membicarakan urusan penting ini di dalam saja."
Dua orang isterinya juga maklum akan pentingnya urusan itu, maka mereka mengangguk dan semua orang kemudian meninggalkan taman, memasuki rumah tanpa mengeluarkan suara, hanya masih terdengar isak tertahan dari Ci Hwa yang dirangkul dan digandeng ibunya memasuki rumah. Sin Wan yang berjalan paling belakang merasa seperti seorang pesakitan masuk ke dalam ruangan sidang pengadilan yang akan mengadilinya.
Mereka duduk di ruangan dalam dan tidak ada seorang pun pelayan yang diperbolehkan masuk. Sin Wan duduk di sudut, dihadapi oleh seluruh keluarga itu. Dia bersikap tenang, dengan keyakinan bahwa dia tidak melakukan suatu kesalahan, tidak memiliki niat untuk mengganggu siapa saja, dan urusan yang dihadapinya ini adalah suatu kesalah pahaman belaka.
Begitu mereka duduk, Lili yang semenjak tadi menahan perasaannya, bermacam-macam perasaan, ada kecewa, ada pula kemarahan, bukan karena dia melihat kenyataan pahit bahwa pemuda yang dicintanya ternyata mencinta gadis lain, akan tetapi juga karena kemudian pemuda itu menyatakan tidak menerima cinta kasih Ci Hwa.
"Ayah, adik Ci Hwa mencinta Sin Wan dan dia pun tidak pernah menolak cintanya. Oleh karena itu aku menuntut agar mereka menjadi suami isteri. Kalau Sin Wan menolak maka dia akan kuanggap sebagi musuhku!"
"Aku sendiri pun tidak akan menerima begitu saja kalau anakku Ci Hwa diperhina orang!" kata pula Cu Sui In.
Ibu dan anak ini memandang kepada Sin Wan dengan sinar mata mencorong. Bhok Cun Ki mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat agar isteri dan puterinya itu berdiam diri. Kemudian dia memandang kepada Sin Wan dan suaranya terdengar tenang namun tegas.
"Sin Wan, kami menyadari sepenuhnya bahwa peristiwa ini terjadi karena salah paham di pihak anak kami Ci Hwa. Akan tetapi engkau pun tidak bebas dari pada kesalahan karena sikapmu yang tidak berterus terang. Andai kata pada saat itu engkau berterus terang saja menyatakan isi hatimu yang sebenarnya kepada Ci Hwa, tentu kesalah pahaman itu tidak akan berlarut-larut. Sekarang semua telah terjadi dan engkau pun tentu maklum betapa akan kecewa dan malu hati kami semua kalau Ci Hwa tidak berjodoh denganmu. Oleh karena itu kami mengharapkan kebijaksanaanmu agar suka menyetujui ikatan perjodohan antara engkau dengan Ci Hwa."
Sin Wan mengerutkan alisnya. Bayangan Lim Kui Siang, sumoi-nya itu, lantas berkelebat di hadapan matanya. Selama hidupnya dia hanya mencinta seorang saja, yaitu Kui Siang dan sampai saat ini, biar pun Kui Siang telah berubah menjadi benci kepadanya, dia tidak mampu melupakan gadis itu.
Memang dia tidak lagi mengharapkan untuk dapat berjodoh dengan Kui Siang mengingat betapa Kui Siang sudah memandangnya sebagai musuh, namun bagaimana mungkin dia dapat berjodoh dengan gadis lain bila hal ini bertentangan dengan perasaan hatinya?
Dia memang suka dan sayang kepada Ci Hwa, merasa iba kepadanya, akan tetapi tidak ada perasaan cinta di dalam hatinya seperti perasaan cintanya terhadap Kui Siang. Dengan tulus Sin Wan kini memandang kepada mereka semua, seorang demi seorang, lalu berkata dengan suara lembut namun tegas dan sejujurnya.
"Paman Bhok, bibi berdua, adik Ci Hwa, Ci Han dan Lili, saya mengerti bahwa terkadang pengakuan sejujurnya mendatangkan kepahitan dan ketidak senangan. Namun saya juga yakin bahwa walau pun kadang menyenangkan, kebohongan akan mendatangkan akibat yang jauh lebih buruk lagi. Apa yang baru saja terjadi di antara saya dengan adik Ci Hwa hanya merupakan suatu kesalah pahaman belaka. Saya menyayang adik Ci Hwa sebagai seorang kakak terhadap adiknya, atau sebagai seorang sahabat yang ikut prihatin melihat sahabatnya berduka sehingga ingin menghiburnya, akan tetapi adik Ci Hwa salah sangka, mengira saya mencintainya sebagai seorang pria mencinta wanita. Dan sekarang setelah semuanya ini kita mengerti, juga saya sudah minta maaf kepada adik Ci Hwa dan kepada semua keluarga, mengapa ikatan perjodohan ini akan dipaksakan dan dilaksanakan juga? Kalau perjodohan seperti ini kelak mengalami kegagalan, bukankah kita semua pula yang akan menanggung derita? Paman, saya tidak ingin kalau kelak akan mengecewakan dan menghancurkan perasaan hati adik Ci Hwa. Karena itu, dari pada nantinya saya terpaksa mengkhianati cinta adik Ci Hwa dan menyusahkan hatinya, lebih baik dari sekarang saya menjauhkan diri. Saya terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan paman untuk berjodoh dengan adik Ci Hwa."
Mendengar ucapan ini, Ci Hwa terisak, lalu melepaskan rangkulan ibunya, dan dia pun lari ke kamarnya sambil menangis. ibunya bangkit dan menyusulnya.
"Bagus, kalau begitu engkau harus menebus penghinaan ini dengan nyawamu!" bentak Lili dan dia pun sudah menyerang Sin Wan dengan dasyatnya.
Semenjak tadi Sin Wan sudah siap waspada. Dia maklum bahwa kemarahan keluarga itu mungkin saja membuat mereka ingin membunuhnya. Maka begitu Lili menyerangnya, dia pun telah meloncat ke belakang dan menghindarkan diri dari totokan maut yang dilakukan gadis itu.
"Biar aku yang menghajarnya!" bentak Bi-coa Sianli Cu Sui ln.
Nampak sinar hitam berkelebat ketika wanita itu mencabut Hek-coa-kiam (Pedang Ular Hitam) dan menyerang Sin Wan. Juga Lili sudah mencabut Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih) dan siap mengeroyok Sin Wan.
"Tahan!” teriak Bhok Cun Ki yang telah melompat ke depan untuk menghadang isteri dan puterinya. "Simpan pedang kalian dan jangan serang dia. Kita tidak begitu rendah untuk memaksa seseorang yang tidak mau menjadi anggota keluarga kita."
Biar pun dengan alis berkerut, Cu Sui In menyimpan kembali pedangnya dan mengomel, "Akan tetapi dia telah menghina anak kita Ci Hwa!"
Lili juga menyimpan pedangnya dan berkata tak puas, "Dia telah menghancurkan hati adik Ci Hwa dan membuatnya berduka."
Bhok Cun Ki menghela napas panjang. "Semua itu kesalahan Ci Hwa sendiri. Siapa yang menyuruh dia mencinta seorang pria yang tidak membalas cintanya? Sudahlah, mungkin seorang pendekar besar yang memiliki kepandaian tinggi seperti dia merasa terlalu tinggi untuk berjodoh dengan seorang gadis bodoh seperti Ci Hwa. Akan tetapi aku tidak akan sudi memaksanya."
Mendengar ucapan keluarga itu, dan melihat Ci Han duduk saja dengan muka pucat, Sin Wan menghela napas panjang dan memberi hormat kepada mereka, kemudian berkata kepada Bhok Cun Ki. "Paman Bhok, saya mengerti bahwa semua kata-kata tadi hanya diucapkan dari hati yang kecewa. Saya telah mengecewakan keluarga paman, dan menyusahkan hati adik Ci Hwa. Karena itu saya berpamit, paman. Sekarang juga saya akan meninggalkan rumah ini, dan banyak terima kasih saya ucapkan atas semua kebaikan paman beserta keluarga paman yang telah dilimpahkan kepada saya. Selamat tinggal." Sin Wan pergi ke kamarnya, mengemasi pakaiannya lalu pergi meninggalkan rumah itu.
Ci Han yang sejak tadi hanya diam saja, diam-diam merasa menyesal sekali. Dialah yang menjadi biang keladi, keluhnya dalam hati. Dialah yang tadi menyuruh Sin Wan menghibur adiknya, namun tidak disangkanya akan berakibat begini. Dia pun meninggalkan ruangan itu, disusul Lili yang juga pergi dari situ.
Kini tinggal Bhok Cun Ki yang masih duduk dan berulang kali menghela napas panjang, ditemani Cu Sui ln. "Aihhh, mengapa cinta selalu mendatangkan duka kepada manusia? Kita berdua, terutama engkau, menderita banyak kesengsaraan karena cinta. Sekarang anak kita, gadis yang masih bersih dari pada noda, terpaksa harus menderita pula karena cinta."
"Walau pun dahulu menderita, tetapi sekarang aku menemukan kebahagiaan. Akan tetapi bagaimana dengan anak kita Ci Hwa? Hemm, kalau kau tidak melarang, sudah kubunuh pemuda yang berani menolak cintanya itu!"
Bhok Cun Ki tersenyum. Wanita yang sejak dahulu dicintanya ini, biar pun hidup sebagai puteri datuk dan selalu terbiasa dengan kekerasan, akan tetapi pada hakekatnya memiliki watak yang baik. Dia menganggap Ci Hwa sebagai puterinya sendiri.
“Hemmm, cinta... apa sih cinta itu sesungguhnya? Cinta membuat orang hari ini tertawa senang, besoknya menangis susah. Cinta mendatangkan cemburu, kemarahan, bahkan kebencian. Cinta, siapakah sebenarnya kamu dan apa sebenarnya perasaan yang selalu mempermainkan hati setiap orang manusia ini? Tidak peduli pria atau wanita, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, semua menjadi permainan cinta dan setiap orang pernah atau akan menderita karena cinta!"
Ucapan Bhok Cun Ki yang seperti ditujukan kepada dirinya sendiri itu membuat isterinya, Cu Sui In, ikut pula duduk termenung. Keduanya tenggelam dalam renungannya sendiri tentang cinta yang kalau diukur lebih dalam dari pada samudera dan lebih tinggi dari pada langit itu.
Renungan mengenai cinta dilakukan orang sepanjang masa, sejak jaman nenek moyang kita dulu sampai kini. Namun, adakah manusia yang pernah menemukan jawabnya yang tepat. Memang ada banyak pendapat orang tentang cinta, akan tetapi apakah pendapat itu telah dapat membuat kita mengenal cinta?
Bila mendatangkan cemburu yang disusul kebencian dan permusuhan, apakah itu cinta? Bila mendatangkan kesenangan disusul kesusahan, apakah itu cinta? Ingin memiliki dan dimiliki sendiri, itukah cinta? Menjadi pembangkit, penyalur dan pemuasan birahi, itukah cinta? Membela dengan mempertaruhkan nyawa, membunuh atau dibunuh seperti dalam perang membela tanah air, itukah cinta? Mengorbankan diri untuk anak dan cucu, itukah cinta? Ataukah cinta mencakup kesemuanya? Apakah cinta merupakan kebalikan dari benci? Apakah benar bahwa cemburu menjadi kembangnya cinta?
Kalau dilanjutkan, masih ada satu macam pertanyaan yang tak terjawab mengenai cinta. Bagaimana mungkin hati yang tidak pernah mengenal cinta dapat mencari apa cinta itu sebenarnya? Hati akal pikiran ini hanya dapat menemukan sesuatu yang pernah dikenal, pernah dialami, dapat menemukan hal yang telah lalu.
Yang mendatangkan cemburu, mendatangkan suka dan duka, mendatangkan kebencian dan permusuhan, yang memuaskan birahi, yang ingin membelenggu dalam ikatan, jelas bukanlah cinta melainkan nafsu. Nafsu selalu menimbulkan keinginan untuk memperoleh kesenangan dan menghindari ketidak senangan. Nafsu selalu mempermainkan manusia, mengombang-ambingkan manusia antara suka dan duka, puas dan kecewa.
Nafsu membuat kita mencinta seseorang karena daya tarik yang khas, sesuai dengan keinginan nafsu. Kita mencinta seseorang karena kecantikannya atau ketampanannya, karena kekayaannya, kedudukannya, kepintarannya dan sebagainya. Kalau yang menjadi daya tarik itu sudah luntur, maka cinta kita pun ikut luntur karena ikatan itu mengendur.
Cinta yang didorong oleh nafsu membuat kita ingin memiliki sendiri yang kita cinta, baik itu berupa benda, binatang peliharaan, tanaman, atau orang. Bila ini dilanggar maka kita cemburu, kita marah, kita benci. Tetapi kalau kita berhasil memiliki, timbullah rangkaian yang mendatangkan penderitaan pula.
Memiliki berarti menjaga dan kehilangan! Memiliki bisa menimbulkan kebosanan. Cantik dan indah hanya terasa sebelum didapatkan, atau paling banyak hanya dirasakan untuk jangka waktu yang pendek saja. Sesudah itu, cantik dan indah mulai luntur kalau tidak membosankan malah. Betapa banyaknya pasangan yang cantik dan tampan cekcok atau bercerai. Betapa banyaknya pasangan yang kaya raya, tidak cocok dan menderita.
Cinta yang kita puja-puja pada umumnya hanyalah permainan nafsu belaka. Cinta kita berpamrih seperti menjadi sifat nafsu, dan permainan nafsu tak dapat tidak menyeret kita ke dalam permainan suka duka, yang lebih banyak dukanya dibandingkan sukanya. Kita mencinta untuk mendapatkan sesuatu. Cinta kita merupakan cinta jual beli, dan setiap jual beli selalu mendambakan keuntungan.
Selama nafsu pamrih masih ada, cinta tidak akan ada. Kalau nafsu dan pamrih sudah tidak ada, apakah cinta akan ada? Tak dapat kita mengharapkan cinta, tidak dapat kita mengundang cinta. Cinta akan datang menghampiri kita seperti air suci mengisi cawan yang sudah kosong dan bersih!
********************
Di lembah Sungai Huang-ho, di luar kota Cin-an, nampak meriah. Suasananya seperti di dalam pesta besar. Memang terdapat pesta besar di tempat itu. Bangunan mewah di tepi sungai yang menjadi tempat peristirahatan kaum bangsawan sudah dihias meriah. Apa yang terjadi di pagi hari itu? Di tempat itu sedang diadakan pertemuan keluarga kaisar!
Pangeran Chu Hui San, yaitu putera mahkota, mengundang adiknya, yaitu Yung Lo yang sekarang menjadi raja muda di kota Peking, untuk mengadakan pertemuan di tempat itu. Hal ini dilakukan Pangeran Mahkota Chu Hui San untuk menghormati adiknya yang sudah menjadi raja muda di Peking.
Kota Cin-an terletak di antara kota raja Nan-king dan Peking. Supaya tidak nampak saling merendahkan, maka tempat itulah yang dipilih Pangeran Chu Hui San untuk mengadakan pertemuan dengan Raja Muda Yung Lo. Mereka harus melakukan perjalanan yang hampir sama jauhnya untuk berkunjung ke kota Cin-an. Raja Muda Yung Lo harus menyeberangi Huang-ho sebelum tiba di Cin-an, ada pun Pangeran Mahkota harus menyeberangi sungai Yang-ce ketika keluar dari kota raja menuju ke utara.
Dengan alasan rindu dan ingin mengajak adiknya itu bercakap-cakap tentang kenegaraan, Pangeran Mahkota Chu Hui San mengundang Raja Muda Yung Lo. Dia melakukan hal ini atas bujukan dan nasehat Yauw Siaucai yang sudah menjadi guru sastra puteranya, juga menjadi penasehatnya.
"Hamba mendengar bahwa kekuasaan Raja Muda Yung Lo di Peking semakin besar dan kuat. Karena paduka yang diangkat menjadi pangeran mahkota, maka kekuasaan Raja Muda Yung Lo itu kelak dapat merupakan ancaman bagi kedudukan paduka kalau paduka telah menjadi kaisar. Sebab itu perlu sekali paduka mendekatinya dan berbaik dengannya. Juga untuk sekedar menguji kesetiaannya dan mengukur kekuatannya." Demikian antara lain Yauw Siucai membujuk.
"Akan tetapi perjalanan itu amat jauh dan berbahaya," Pangeran Mahkota membantah.
"Paduka bisa mengerahkan pasukan keamanan untuk mengawal. Bukankah ada jenderal-jenderal besar yang boleh dipercaya seperti jenderal besar Shu Ta atau kalau beliau sibuk dengan tugas-tugasnya, paduka dapat pula mengutus Jenderal Yauw Ti dengan pasukan pengawalnya yang kuat. Tentu saja paduka harus mendapatkan persetujuan Sribaginda Kaisar dan karena niat itu baik sekali, tentu beliau tidak akan keberatan."
Akhirnya Pangeran Chu Hui San menurut dan seperti yang telah dikemukakan oleh Yauw Siucai, Kaisar memberi restu. Penjagaan keamanan dan pengawalan diserahkan kepada Jenderal Yauw Ti yang sudah dipercayanya sebagai wakil Jenderal Shu Ta yang ternyata memang sedang sibuk dengan tugas-tugasnya.
Demikianlah, pada pagi hari itu rombongan Pangeran Mahkota sampai di Cin-an dan pada siang harinya baru rombongan Raja Muda Yung Lo datang dari utara. Rombongan Raja Muda Yung Lo tidak besar, hanya dikawal pasukan yang jumlahnya tiga losin orang. Akan tetapi dia ditemani seorang pengawal pribadi wanita yang cantik dan gagah perkasa, yang bukan lain adalah Lim Kui Siang!
Seperti telah kita ketahui, Raja Muda Yung Lo yang merasa amat kagum dan berhutang budi kepada Lim Kui Siang, telah jatuh hati kepada gadis perkasa itu. Raja Muda Yung Lo yang berwatak keras dan jujur itu dengan terang-terangan menyatakan cintanya dan ingin memperisteri Kui Siang. Melihat gadis itu bimbang mendengar pinangannya, dia memberi waktu satu bulan kepadanya untuk memberi jawaban.
Dalam waktu sebulan itu Kui Siang merasa hatinya tersiksa. Kini usianya sudah dua puluh tiga tahun dan bagi seorang gadis pada masa itu, usianya sudah lebih dari pada dewasa. Yang meminangnya adalah seorang raja muda yang hebat, yang dia kagumi.
Andai kata tidak ada bayangan Sin Wan yang selalu menggodanya, kiranya takkan sukar untuk menerima pinangan Raja Muda Yung Lo itu, bahkan akan diterimanya dengan hati bersyukur dan berbahagia. Akan tetapi di sana ada Sin Wan. Dia tidak dapat melupakan pemuda yang masih tetap dicintanya itu. Dia sudah berusaha untuk melupakan Sin Wan, berusaha meyakinkan dirinya bahwa Sin Wan adalah anak tiri dan murid musuh besarnya.
Mendiang Se Jit Kong, yaitu ayah tiri Sin Wan, telah menghancurkan keluarganya dengan membunuh ayahnya. Bagaimana mungkin dia berjodoh dengan anak tiri dan murid musuh itu? Akan tetapi semua usahanya untuk melupakan Sin Wan sia-sia belaka dan akhirnya, setelah masa sebulan lewat, dengan terus terang Kui Siang menjawab kepada Raja Muda Yung Lo bahwa dia tidak dapat menerima pinangannya karena dia sudah mencinta orang lain.
Biar pun hatinya merasa kecewa sekali, namun dengan sikap yang tenang dan hati yang besar Raja Muda Yung Lo menerima kenyataan itu. Dia adalah seorang yang bijaksana, dan menomor duakan urusan pribadi di bawah urusan negara. Meski pun dia kecewa atas penolakan Kui Siang, tetapi dia tidak ingin kehilangan gadis perkasa ini sebagai pengawal pribadinya yang boleh diandalkan dan dapat dipercaya pula.
"Aku dapat menghargai kejujuranmu, Kui Siang, dan penolakanmu ini bahkan membuat aku semakin kagum kepadamu. Engkau seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, dan tidak tertarik dengan kemuliaan dan kedudukan. Engkau hebat sekali dan aku dapat menduga siapa pria yang telah menempati hatimu. Dia tentu Sin Wan, bukan?"
Kui Siang menundukkan mukanya yang berubah kemerahan, tetapi dia membuat gerakan mengangguk. Setelah ketegangan hatinya mereda oleh sikap bijaksana raja muda itu, dia pun berkata dengan hati terharu.
"Yang Mulia, andai kata di dunia ini tidak ada dia dan hati hamba tidak lebih dahulu terikat oleh dia, maka pinangan paduka merupakan anugerah yang akan hamba terima dengan penuh kehormatan dan kebahagiaan. Harap paduka suka memaafkan hamba."
"Tak ada yang perlu dimaafkan, Kui Siang. Engkau memang telah melakukan pilihan hati yang sangat tepat. Sin Wan adalah seorang pendekar yang budiman dan gagah perkasa. Akan tetapi di mana dia sekarang? Mengapa dia tidak menerima tawaran yang kuberikan kepadanya agar bekerja di sini sehingga tidak berjauhan darimu?"
Wajah Kui Siang berubah muram. Melihat ini, Raja Muda Yung Lo yang berpengalaman itu dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang meretakkan hubungan antara gadis ini dengan kekasihnya.
"Kui Siang, karena engkau tidak bisa menerima pinanganku, tidak dapat menjadi isteriku, biarlah engkau menjadi saudaraku atau sahabat baikku. Nah, ceritakanlah apa yang telah terjadi dan aku berjanji akan membantumu untuk memecahkan kesulitanmu."
"Terima kasih, Yang Mulia. Memang kami berpisah,... bukan kesalahannya, akan tetapi..."
Melihat keraguan Kui Siang ini Raja Muda Yung Lo semakin tertarik. Dia harus menolong Kui Siang dan Sin Wan, pikirnya, untuk membalas budi mereka. “Katakanlah, Kui Siang, apa yang telah terjadi dan mengapa kalian saling berpisah?"
"Dia... dia seorang Uighur..." Kui Siang berhenti lagi karena masih merasa ragu apakah dia akan menceritakan persoalan pribadinya kepada raja muda itu.
Raja Muda Yung Lo tertawa. "Ha-ha-ha, kami sudah tahu akan hal itu, Kui Siang, dan apa salahnya! Bangsa kita mempunyai tanah air yang amat luas di mana tinggal ratusan juta orang dari ratusan macam suku bangsa. Kalau kita masih membeda-bedakan antara suku bangsa, ada yang merasa lebih tinggi derajatnya ada pula yang merasa lebih rendah, lalu bagaimana kita dapat menjadi sebuah bangsa yang besar? Perbedaan antara suku hanya mendatangkan perpecahan dan tanpa adanya kesatuan dari seluruh rakyat dari pelbagai suku itu, bagaimana mungkin negara kita dapat menjadi besar serta kuat? Membedakan antara satu suku dengan suku lain merupakan suatu kepicikan karena pada hakekatnya semua manusia sama, dilahirkan sebagai bangsa apa pun merupakan kehendak Tuhan."
"Bukan itu yang menjadi persoalan, Yang Mulia. Hamba sendiri pun tidak akan membeda-bedakan keturunan atau suku. Akan tetapi... ahhh, bagaimana mungkin hamba berjodoh dengan anak tiri dan murid seorang... musuh besar yang membunuh ayah hamba?"
Kini raja muda itu tertegun. Sungguh keterangan yang sama sekali tidak pernah dia duga. "Siapakah ayah tiri dan gurunya itu?"
"Namanya Se Jit Kong...”
"Ahh! Apakah Hwe-ciang-kwi (Iblis Tangan Api)?"
"Benar, Yang Mulia."
"Akan tetapi, bukankah katanya Sin Wan murid dari Sam-sian (Tiga Dewa) dan menjadi suheng-mu (kakak seperguruanmu)?"
"Itu pun benar, Yang Mulia. Akan tetapi sejak kecil dia menjadi anak tiri Se Jit Kong dan baru-baru saja, sesudah kami berada di sini, hamba tahu bahwa dia anak tiri dan murid musuh besar hamba. Oleh karena itu hamba lalu mengusirnya dan tidak mau lagi bertemu dengannya." Kui Siang menunduk dan wajahnya menjadi sedih.
"Hemm, kurasa engkau keliru dalam hal ini, Kui Siang. Dia hanya anak tiri, dan kejahatan yang dilakukan ayah tirinya itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Bukankah Sin Wan itu murid Sam-sian dan tidak pernah berbuat jahat seperti ayah tirinya?"
"Hamba menyadari hal itu, tetapi... ketika hamba mengetahui bahwa dia adalah anak tiri mendiang Se Jit Kong, hamba merasa kecewa dan marah sehingga hamba mengusirnya dan memutuskan hubungan dengannya. Sekarang hamba menyadari bahwa hamba telah bersikap tidak adil kepadanya...”
"Jangan khawatir, Kui Siang. Tenang-tenang sajalah. Aku akan menyuruh orang mencari Sin Wan dan akulah yang akan menjelaskan kepadanya dan mendamaikan kalian berdua. Aneh, dalam hati mencinta, akan tetapi di luarnya menyatakan benci dan bermusuhan."
Demikianlah, Kui Siang tidak lagi didesak oleh Raja Muda Yung Lo yang telah melepaskan keinginannya mempersunting dara itu, bahkan menjanjikan untuk mendamaikan antara dia dan Sin Wan.
Pada waktu Raja Muda Yung Lo menerima undangan dari Putera Mahkota yang menjadi kakaknya, tentu saja dia tak dapat menolak. Bagaimana pun juga kakaknya adalah putera mahkota, calon pengganti kaisar ayah mereka, yang berarti calon junjungannya. Pangeran Mahkota sudah mengalah dan datang ke Cin-an, berarti itu menaruh hormat. kepadanya.
Ketika Kui Siang menyatakan kekhawatirannya, Raja Muda Yung Lo tersenyum. "Kami menerima undangan dari kakanda Pangeran Mahkota untuk mengadakan pertemuan di kota Cin-an. Mengapa engkau merasa khawatir, Kui Siang? Apakah engkau mencurigai Pangeran Mahkota?"
"Tentu saja sama sekali tidak, Yang Mulia. Tetapi kita mengetahui bahwa pihak Mongol selalu berdaya untuk merampas kembali kekuasaannya, maka mereka akan melakukan segala cara untuk mencelakakan keluarga Sribaginda Kaisar. Perjalanan ke Cin-an tidak dekat, maka hamba khawatir kalau-kalau kesempatan ini dipergunakan oleh pihak musuh untuk menghadang dan mencelakai paduka atau Pangeran Mahkota."
"Jangan khawatir, Kui Siang. Aku bukan orang yang mudah dijebak begitu saja oleh siapa pun. Kita berangkat dengan pasukan pengawal dan engkau menjadi pengawal pribadiku. Kalau ada engkau di dekatku, siapa yang akan mampu menggangguku!" kata Raja Muda Yung Lo setengah berkelakar.
Hati Kui Siang selalu penuh kekhawatiran, maka dia melakukan penjagaan ketat, teliti dan waspada di sepanjang perjalanan karena dia menganggap bahwa pasukan pengawal tiga losin orang itu masih jauh dari pada cukup untuk dapat menjamin keselamatan seorang raja muda seperti Yung Lo.
Akan tetapi ternyata tidak ada gangguan di sepanjang perjalanan, bahkan para pembesar setempat yang mendengar akan datangnya Raja Muda Yung Lo yang sedang melakukan perjalanan ke selatan, langsung mengadakan penyambutan di setiap kota dengan penuh penghormatan.
Ketika rombongan Raja Muda Yung Lo tiba di luar kota Cin-an, di tempat peristirahatan dekat sungai Kuning itu, mereka disambut oleh Putera Mahkota sendiri, dan Raja Muda Yung Lo lantas saling berpelukan dengan kakaknya. Kemudian dua orang bangsawan ini memasuki gedung yang disediakan untuk pertemuan itu.
Raja Muda Yung Lo ditemani Kui Siang yang memimpin enam pengawal wanita sebagai anak buahnya. Tujuh orang gadis yang rata-rata cantik ini nampak gagah dan berwibawa sehingga Pangeran Mahkota Chu Hui San memandang dengan senyum menyeringai lalu berkata kepada adiknya,
"Adinda Yung Lo, pasukan pengawal pribadimu sungguh hebat, cantik dan gagah!"
Raja Muda Yung Lo hanya tersenyum saja dan dia pun memperhatikan orang-orang yang mengawal kakaknya. Ia melihat Jenderal Yauw Ti yang tadi sudah cepat memberi hormat kepadanya secara militer. Tentu saja dia mengenal jenderal besar ini yang menjadi orang kepercayaan dari ayahnya Sribaginda Kaisar, juga merupakan orang yang sangat berjasa dan menjadi pembantu Jenderal Shu Ta.
Melihat hadirnya jenderal itu, hati Raja muda Yung Lo menjadi semakin tenang. Jenderal ini tentu membawa pasukan besar dan tentu saja keadaan menjadi aman.
Di samping Jenderal Yauw Ti, yang menemani Pangeran Mahkota hanya ada seorang lagi saja, seorang pria muda berusia tiga puluh lima tahun yang tampan dan bersikap sopan, gerak-geriknya halus, berpakaian seperti seorang sastrawan, bermata tajam dan nampak cerdik sekali. Raja Muda Yung Lo tidak mengenal pria itu, hanya dia merasa heran sekali kenapa kakaknya tidak diiringkan pengawal pribadi melainkan seorang sastrawan!
"Kakanda Pangeran, siapakah sastrawan ini?" tanyanya heran.
"Ahhh, engkau belum mengenalnya? Dia memang belum lama menjadi penasehatku dan dia pun menjadi guru keponakanmu Chu Hong. Dia kami sebut Yauw Siucai."
Yauw Siucai langsung memberi hormat dengan menekuk sebelah lutut kepada Raja Muda Yung Lo, yang diterima dengan sikap anggun oleh bangsawan itu. Akan tetapi selanjutnya Raja Muda Yung Lo tidak lagi menaruh perhatian kepada sastrawan itu...