MATA Sin Wan terbelalak dan mulutnya ternganga saking kaget dan herannya. "Kau... kau cemburu? Kenapa cemburu....?"
"Gadis itu bersikap demikian mesra kepadamu. Nampak jelas bahwa dia mencintamu, Sin Wan. Aku... aku mengira bahwa engkau pun cinta padanya.”
Sin Wan menjadi semakin heran. Dua matanya sampai menjadi bulat karena terbelalak. “Apa artinya ini? Aku menjadi bingung. Aku memang tidak mencinta Lili, akan tetapi andai kata aku mencinta juga, apa hubungannya denganmu? Dan kenapa pula engkau merasa cemburu?"
Gadis itu mengeluarkan suara dengus ejekan. "Huhh, engkau ini laki-laki tolol. Tentu saja aku cemburu melihat sikap gadis itu begitu mesra kepadamu karena aku cinta padamu, Sin Wan!"
Ucapan ini merupakan pukulan yang membuat Sin Wan seperti berubah menjadi patung. Dia duduk tegak, matanya terbelalak memandang gadis itu, sedikit pun tidak bergerak dan ketika hendak bicara, tidak ada kata-kata keluar dari mulutnya. Bukan main!
Dahulu, ketika Lili dengan cara yang jujur dan terbuka menyatakan cinta kepadanya, dia menyangka bahwa di dunia ini hanya ada seorang saja gadis seperti Lili. Tetapi sekarang ada gadis lain yang mengaku cinta padanya dengan cara yang sama, begitu terus terang, terbuka dan tanpa pura-pura lagi.
"Sin Wan, mengapa kau diam saja? Aku cinta kepadamu, lantas bagaimana pendapatmu tentang ini?"
"Aku... aku... tapi...”
"Sin Wan, apakah engkau tidak suka kepadaku? Katakan terus terang, apakah engkau tidak suka padaku?"
"Tentu saja, Akim. Aku kagum kepadamu, aku suka padamu tapi...”
"Sin Wan, itu pun sudah cukup!" Akim berseru gembira dan gadis itu sudah mendekat lalu merangkul leher Sin Wan dan merebahkan mukanya di dada pemuda itu. "Asal engkau tidak membenciku, asal engkau suka kepadaku, maka cintaku tidak sia-sia dan..."
"Akim, bagaimana sih engkau ini? Bagaimana begitu mudahnya engkau mengaku cinta, pada hal baru dua kali kita saling jumpa?"
"Sin Wan, dalam perjumpaan kita yang pertama, sejak aku meniupkan napas ke dalam dadamu melalui mulutmu, semenjak saat itulah aku telah jatuh cinta padamu. Karena itu, melihat Lili bersikap demikian mesra kepadamu, tentu saja aku merasa cemburu dan sakit hati, lalu aku pergi meninggalkanmu. Biar pun aku mencintamu, aku belum begitu rendah untuk merebut pacar orang. Maka aku tadi bertanya apakah engkau mencintanya, karena kalau engkau mencinta gadis lain, tentu aku tak akan sudi mengganggumu. Tapi ternyata engkau tidak mencinta Lili, ahh, betapa lega dan gembira rasa hatiku sekarang!"
Gadis itu merangkul semakin ketat dan seolah hendak membenamkan mukanya ke dada Sin Wan. Tentu saja pemuda itu menjadi bingung dan salah tingkah. Ingin dia menolak, akan tetapi hatinya merasa tidak tega. Dia maklum bahwa dia akan menghancurkan hati gadis ini kalau menolak begitu saja secara langsung.
Tidak, dia harus bicara perlahan-lahan menyadarkan Akim bahwa cintanya itu tidak dapat dilanjutkan karena dia tidak dapat membalasnya. Akan tetapi karena merasa tidak tega, dia pun membiarkan saja gadis itu sejenak melepaskan dan mencurahkan perasaannya melalui dekapan ketat itu.
Kemudian, dengan lembut dia melepaskan kedua lengan Akim yang merangkul lehernya, dan berbisik lirih, “Akim, tenanglah dan mari kita bicara dengan baik-baik. Jangan terlalu menuruti perasaan hatimu, Akim."
Akan tetapi betapa heran rasa hatinya ketika merasa betapa tubuh gadis itu lemas lunglai dan terkulai ketika dia melepaskan rangkulan kedua lengannya. Dengan hati-hati dia lalu merangkul dan ternyata gadis itu telah tertidur! Entah apa yang terjadi dia pun tidak tahu. Mungkin gadis itu terlalu lelah dan karena pelepasan perasaannya, gadis itu pun terkulai dan tertidur, mungkin dengan mimpi yang indah! Sin Wan tersenyum geli, lalu perlahan-lahan dia merebahkan gadis itu di atas rumput, kemudian dia melepaskan jubahnya dan menyelimuti tubuh yang rebah telentang dan tidur pulas itu.
Bulan sepotong muncul sehingga sekarang cuaca tidaklah segelap tadi. Seberkas cahaya lembut dari bulan sepotong membantu sinar bintang menimpa wajah Akim. Sin Wan yang duduk di dekatnya bisa melihat wajah itu dengan cukup jelas. Memang wajah yang cantik. Kecantikan yang berlainan dengan kecantikan wajah Lili, atau wajah Bhok Ci Hwa. Akan tetapi tidak kalah manis dan menariknya.
Wajah yang bentuknya bundar dengan kulit muka yang putih mulus sehingga nampak alis dan rambutnya yang hitam. Bibir yang mungil itu tersenyum, agak terbuka hingga tampak kilatan giginya yang putih. Ouwyang Kim memang seorang gadis yang cantik menarik. Dan lebih dari itu, seperti juga Lili dan Ci Hwa, gadis ini mencintanya!
Sin Wan menghela napas panjang, sebab perlahan-lahan wajah Akim seperti berubah lalu nampaklah wajah yang selalu terbayang baik dalam tidur mau pun sadar, yaitu wajah Lim Kui Siang!
"Sumoi....!” Sin Wan menghela napas panjang.
Cintanya hanya pada Kui Siang seorang. Andai kata di sana tidak ada Kui Siang yang telah menguasai seluruh ruang dalam dadanya, betapa akan mudahnya untuk membalas cinta gadis-gadis seperti Lili, Ci Hwa atau Akim ini!
Sin Wan membiarkan bayangan Kui Siang memenuhi kepala serta dadanya, lalu dia pun duduk bersemedhi untuk menenangkan hati dan memulihkan tenaganya karena dia tahu bahwa mereka berdua masih belum benar-benar bebas dari ancaman pengejaran pasukan keamanan. Apa lagi dia masih harus menyelidiki tentang Si Kedok Hitam yang dilihatnya berkeliaran di sekitar Cin-an.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Akim sudah terbangun. Biar pun kedua matanya masih terpejam, begitu membuka mulut dia langsung memanggil, "Sin Wan..."
Agaknya gadis itu semalam suntuk bermimpi tentang Sin Wan!
"Selamat pagi, Akim," kata Sin Wan dan gadis itu membuka kedua matanya, memandang kepada pemuda itu lalu tersenyum manis.
"Aihh, Sin Wan, lamakah aku tertidur? Wah, sudah pagi!" Biar pun baru bangun tidur tapi gadis itu nampak segar seperti setangkai bunga pagi yang bermandikan embun.
"Di sana ada sumber air yang jernih, aku ke sana dulu!" Gadis itu menyelinap keluar dari balik semak belukar, tidak lupa membawa pedangnya dan topeng hijau masih tergantung di lehernya. Dia menoleh kemudian tersenyum manis.
"Sin Wan, kau tunggu di sini sebentar, ya? Nanti setelah aku selesai, barulah engkau ke sana membersihkan dan menyegarkan badan."
"Kenapa kita tidak pergi bersama saja, Akim?" kata Sin Wan yang merasa khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan gadis itu.
Kini wajah itu berubah kemerahan dan sepasang mata yang indah itu mengerling tajam, senyumnya dikulum. "Ihh! Tidak malukah engkau berkata begitu? Bagaimana mungkin kita mandi berbareng? Kita belum menikah!" Setelah berkata demikian, sambil tertawa terkekeh gadis itu pun lari menyelinap pergi, tidak memberi kesempatan kepada Sin Wan untuk menjawab.
Hati Sin Wan terasa tidak nyaman ketika menanti seorang diri di balik semak belukar itu. Akhirnya, setelah menanti agak lama dan menurut perkiraannya tentu Akim sudah selesai mandi, dengan hati-hati dia pun keluar dari balik semak belukar. Tadi dia sempat melihat Akim pergi ke arah kanan, maka dia pun pergi ke sana.
Belum jauh dia berjalan, mendadak dia mendengar suara senjata tajam beradu di sebelah depan. Sin Wan segera meloncat dan berlari cepat ke arah suara itu dan ketika dia tiba di balik rumpun tebal, dia melihat Akim yang sekarang sudah mengenakan topeng hijaunya sedang bertanding pedang melawan seorang laki-laki tinggi besar berperut gendut yang mengenakan kedok pula. Si Kedok Hitam!
Sin Wan terkejut, akan tetapi juga girang karena kini dapat menemukan tokoh yang selalu menghilang secara rahasia itu, tokoh yang memang dia cari-cari. Sin Wan maklum akan kelihaian Si Kedok Hitam itu dan kini Akim juga sudah mulai terdesak, meski puteri datuk timur itu pun bukan seorang lawan yang lemah. Pedang yang berada di tangan gadis itu berubah menjadi gulungan sinar yang berkilauan lembut dan mengandung hawa dingin.
Namun Si Kedok Hitam yang memegang sebatang pedang pendek, hanya menggunakan pedangnya untuk menangkis sambaran sinar dari gulungan pedang Akim, ada pun tangan kirinya melakukan totokan-totokan yang membuat Akim menjadi terdesak karena totokan itu amat berbahaya. Jari tangan kiri Si Kedok Hitam yang menotok itu mengeluarkan bunyi bercuitan, seolah jari telunjuk yang menotok itu sudah menjadi sebatang senjata runcing yang amat dahsyat.
Maklum bahwa Akim terancam bahaya, Sin Wan mengeluarkan bentakan nyaring dan dia pun langsung meloncat ke depan sambil menggerakkan pedangnya, pedang yang tumpul dan buruk, namun begitu pedang itu bertemu dengan pedang pendek di tangan Si Kedok Hitam, tubuh orang tinggi besar gendut itu terpental ke belakang. Dia mengeluarkan suara gerengan marah, apa lagi ketika mengenal Sin Wan sebagai pemuda yang beberapa kali telah menggagalkan pekerjaannya, bahkan merupakan halangan besar.
"Bagus, kau datang mengantar nyawa!" bentak Si Kedok Hitam.
Agaknya mulutnya menggigit sesuatu sehingga suaranya terdengar aneh, bukan seperti suara manusia biasa. Setelah mengeluarkan gerengan, Si Kedok Hitam sudah menyerang dengan pedang pendeknya, tubuhnya berpusing begitu cepatnya sehingga mengejutkan Sin Wan.
"Wuuttt…! Wuuttt…! Wuutttt...! Cringgg…!“
Berulang kali pedang pendek itu menyambar, mencuat dari gulungan sinar pedang, tetapi Sin Wan dapat mengelak atau menangkis, lantas membalas dengan gerakan pedangnya yang amat tangguh.
"Cringg…! Cringg…! Tranggg...!"
Bunga api berpijar-pijar dan Si Kedok Hitam mengeluarkan gerengan marah ketika melihat betapa mata pedang pendeknya patah sesudah beberapa kali bertemu pedang tumpul di tangan Sin Wan. Kini putaran tubuhnya semakin hebat sehingga bentuk tubuhnya sukar dilihat, seperti benda berpusing dan menerjang ke arah Sin Wan.
Menghadapi serangan yang amat dahsyat dan aneh ini, Sin Wan cepat-cepat memainkan Sam-sian Sin-ciang, ilmu andalannya yang merupakan gabungan dari semua ilmu ketiga orang gurunya. Karena ilmu ini mengandung daya tahan yang kokoh kuat, maka dia pun mampu menahan terjangan lawan sehingga terjadilah saling serang yang sangat dahsyat. Kilatan kedua pedang mereka menyambar-nyambar ganas dan lengah sedikit saja sudah cukup untuk kehilangan nyawa.
"Cringgg…!"
Sinar pedang Si Kedok Hitam mencuat dan meluncur ke arah leher Sin Wan. Pemuda ini meloncat ke samping untuk mengelak. Tubuh Si Kedok Hitam sudah berputar beberapa kali dan pedangnya kini menyambar dengan bacokan ke arah pundak kanan Sin Wan.
Kembali Sin Wan mengelak ke samping. Akan tetapi dengan membentuk sinar bergulung, pedang pendek yang kehilangan sasaran itu melayang dengan gerakan melengkung dan kini membacok dari atas ke arah kepala Sin Wan. Pemuda ini merasa kewalahan juga menghadapi serangan bertubi yang membuat dia sama sekali tak mendapat kesempatan untuk membalas. Kini melihat pedang lawan membacok dari atas dan meluncur ke bawah, agaknya hendak membelah kepalanya menjadi dua, dia pun cepat menggerakkan pedang tumpul sambil mengerahkan sinkang.
"Trakkk!"
Dua batang pedang bertemu di udara dan pedang tumpul itu seperti mempunyai tenaga magnit yang amat kuat, menempel pedang pendek hingga pedang itu tidak dapat terlepas. Si Kedok Hitam marah dan merasa penasaran, mengerahkan tenaga untuk melepaskan pedangnya, tetapi pada saat itu nampak sinar lembut berkelebat menyambar dan ternyata Ouwyang Kim sudah membantu Sin Wan dan menusuk ke arah perut yang gendut itu!
Pada saat itu Si Kedok Hitam sedang mengadu tenaga dengan Sin Wan sehingga seluruh tubuhnya digetarkan oleh tenaga dahsyat. Kalau hanya orang biasa yang menusuknya, maka si penusuk tentu akan celaka sendiri akibat terkena getaran tenaga itu.
Akan tetapi yang melakukan tusukan adalah Ouwyang Kim, puteri Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) Ouwyang Cin, maka tentu saja dia bukan lawan biasa, melainkan seorang gadis yang amat lihai dan telah memiliki tenaga sinkang yang hebat pula. Tusukannya itu amat cepat sehingga tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh Si Kedok Hitam yang seolah-olah sedang melekat kepada Sin Wan melalui pedang mereka.
"Crottt…!"
Pedang di tangan Akim menusuk dan sebagian ujungnya terbenam ke dalam perut gendut Si Kedok Hitam! Melihat ini Sin Wan melepaskan lekatan pedangnya, lantas melompat ke belakang karena dia melihat betapa Si Kedok Hitam tidak nampak terkejut, bahkan pada bibirnya tersungging senyum mengejek!
Akim juga terkejut dan cepat menarik kembali pedangnya. Si Kedok Hitam sama sekali tak mengeluh, juga dari perut gendut yang tertutup baju itu tidak kelihatan darah. Agaknya dia tidak merasa sakit sama sekali, bahkan kini tubuhnya berpusing lagi menyerang ke arah Akim, pedangnya bergulung-gulung dengan dahsyatnya, membuat Akim yang masih terkejut dan gentar melihat lawannya itu sama sekali tidak terluka apa lagi roboh terkena tusukan pedangnya, kini menjadi terdesak hebat dan terpaksa dia memutar Goat-im-kiam (Pedang Tenaga Bulan) untuk menjadi perisai melindungi dirinya. Namun dia terdesak dan terpaksa mundur.
Sin Wan hendak maju membantu Akim, akan tetapi pada saat itu pula muncul lima orang, kesemuanya berkedok beraneka warna, menggunakan senjata mereka mengeroyok Sin Wan. Kelima orang itu rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi sehingga Sin Wan harus mencurahkan perhatiannya terhadap pengeroyokan mereka dan tidak dapat membantu Akim yang terus didesak oleh Si Kedok Hitam.
Sebetulnya, tingkat kepandaian Ouwyang Kim sudah cukup tinggi sehingga walau pun dia masih belum mampu mengatasi kepandaian Si Kedok Hitam, akan tetapi agaknya tidak terlampau mudah bagi Si Kedok Hitam untuk merobohkannya. Akan tetapi hati gadis ini masih terkejut dan agak gentar melihat kehebatan lawan.
Dia mengenal banyak ilmu, bahkan dia sendiri pernah mempelajari ilmu kebal. Maka jika tubuh Si Kedok Hitam mampu melawan tusukan senjata tajam biasa, dia tak akan merasa heran. Akan tetapi lawan ini mampu menerima tusukan Goat-Im-kiam!
Jika kulitnya saja tidak bisa ditembus oleh pedang, maka ini bukan merupakan kekebalan biasa melainkan kekebalan yang aneh. Tadi pedangnya telah memasuki perut, akan tetapi orang itu tak terluka, bahkan tidak mengeluarkan darah. Hal inilah yang membuat hatinya menjadi kecil sehingga gerakannya kacau, apa lagi Si Kedok Hitam menyerangnya sambil berpusing seperti gasing.
"Trangg…! Tranggg...!”
Untuk ke sekian kalinya pedang Goat-im-kiam di tangan Akim hanya mampu menangkis. Akan tetapi dari pusingan tubuh gendut itu tiba-tiba saja jari tangan kiri Si Kedok Hitam mencuat dan tahu-tahu Akim terkulai karena dia sudah terkena totokan yang sangat lihai dari ilmu It-tok-ci (Jari Tunggal Beracun). Pedang Goat-im-kiam terlepas dari tangannya dan di lain saat tubuh Akim sudah disambar lalu dipanggul oleh Si Kedok Hitam.
Sin Wan terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan seruan panjang dan pedang tumpul di tangannya membuat sinar melengkung, membuat dua di antara lima orang pengeroyok terpaksa melepaskan senjata mereka dan dua orang lagi terpelanting ke kanan kiri.
Sin Wan meninggalkan mereka untuk mengejar, akan tetapi dia melihat Si Kedok Hitam itu lari ke tepi sungai sambil memondong tubuh Akim, lalu tiba-tiba orang itu meloncat ke bawah! Sin Wan terkejut dan cepat meloncat ke tepi sungai. Kiranya Si Kedok Hitam yang menawan Akim itu meloncat ke atas sebuah perahu kecil yang agaknya memang sudah dipersiapkan di sana. Kini Si Kedok Hitam melepaskan tubuh Akim hingga rebah miring di dalam perahu, sedangkan dia sendiri cepat mendayung perahu ke tengah.
Sin Wan termangu, tetapi pada detik itu pula dia teringat akan lima orang pengeroyoknya tadi. Dia harus dapat menangkap seorang di antara mereka untuk memaksanya memberi tahu siapa adanya Si Kedok Hitam dan di mana sarangnya agar dia dapat menolong Akim yang tertawan.
Akan tetapi ketika dia menengok, dia melihat lima orang itu lari menghampiri tepi sungai. Dia cepat mengejar, namun mereka berloncatan ke bawah. Terdengar suara berdeburnya air dan ketika dia menjenguk ke bawah, bagaikan ikan-ikan saja lima orang itu berenang dengan cepatnya menuju ke tengah sungai di mana nampak sebuah perahu lainnya yang sedang menunggu, didayung seorang yang berkedok pula. Mereka naik ke perahu itu dan segera mendayung perahu ke tengah. Mereka lenyap, seperti juga Si Kedok Hitam yang menawan Akim!
Sin Wan mengepal kedua tinjunya, kemudian memungut pedang Goat-im-kiam milik Akim dan menyimpannya. Bagaimana pun juga dia harus dapat menolong Akim! Sin Wan lalu menyusuri pinggir sungai untuk menyewa perahu agar dia dapat mulai mencari Akim yang dilarikan orang dengan perahu ke tengah sungai.
"Yang Mulia Pangeran, bagaimana pun juga hamba merasa curiga sekali terhadap semua ini, dan hamba mengharapkan kewaspadaan paduka agar jangan sampai terjadi sesuatu yang hanya mendatangkan penyesalan yang sudah terlambat." Demikian antara lain Lim Kui Siang membujuk Raja Muda Yung Lo ketika akhirnya mereka dapat berbicara empat mata saja setelah pesta malam itu usai.
Kalau tadinya Raja Muda Yung Lo hanya tersenyum saja dan menganggap kekhawatiran pengawal pribadinya itu kekanak-kanakan, kini pandang matanya berubah dan sikapnya bersungguh-sungguh.
"Benarkah engkau mencurigai kakakku, Pangeran Mahkota yang mengundangku ke sini, Kui Siang?"
"Pangeran, kecurigaan hamba bukan hanya ngawur belaka, tetapi berdasarkan pemikiran yang mendalam melihat keadaan yang tidak wajar. Pertama, mengapa Pangeran Mahkota tidak mengundang paduka di kota raja saja? Ke dua, kenapa pula pertemuan diadakan di tempat yang amat sepi ini? Ke tiga, Pangeran Mahkota membawa pasukan yang dipimpin sendiri oleh Jenderal Besar Yauw Ti, seakan-akan hendak perang atau pamer kekuatan. Lalu ke empat, sepanjang pertemuan antara paduka dengan Pangeran Mahkota, menurut pengamatan hamba, tidak pernah terjadi percakapan yang penting, hanya basa-basi biasa saja sehingga pertemuan itu benar-benar tidak sepadan dengan perjalanan yang demikian jauhnya. Hamba juga menaruh curiga terhadap sastrawan yang tidak pernah terpisah dari Pangeran Mahkota itu, Pangeran. Pandang matanya bukan pandang mata orang biasa, dan dia dapat menjadi lawan yang amat berbahaya."
Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk. "Bagus, engkau sungguh mengagumkan sekali, Kui Siang. Tidak keliru pilihanku menjadikan engkau sebagai pengawal pribadiku. Engkau waspada dan wawasanmu jauh dan tepat. Kecurigaanmu berdasar dan tidak ngawur, atas dasar nalurimu yang tajam. Lalu bagaimana baiknya menurut pendapatmu?"
Pandang mata pangeran yang menjadi raja muda itu bersinar-sinar, penuh rasa bangga dan gembira. Sayang, katanya dalam hati, gadis ini tidak dapat membalas cintanya!
"Maaf, Pangeran. Kalau menurut pendapat hamba, sebaiknya paduka menolak undangan untuk berpesta di atas perahu besok pagi, dan lebih baik segera kembali saja ke utara."
Raja Muda Yung Lo mengelus jenggotnya yang terpelihara rapi, lalu sambil tersenyum dia berkata, "Bagaimana mungkin, Kui Siang? Apa bila aku melakukan seperti apa yang kau usulkan, tentu kakanda Pangeran Mahkota akan merasa tersinggung dan kalau kelak dia melapor kepada ayahanda Kaisar, tentu aku akan mendapat teguran. Sebetulnya apakah yang kau khawatirkan? Tidak mungkin kakanda Pangeran hendak mencelakakan aku."
"Yang hamba khawatirkan bukan datang dari Yang Mulia Pangeran Mahkota, melainkan dari pihak ketiga yang akan mempergunakan kesempatan ini untuk mencelakai paduka. Sudah lupakah paduka akan penyerangan terhadap diri paduka di istana yang dilakukan oleh orang-orang Mongol? Menurut hamba, kesempatan ini sangat baik bagi orang-orang Mongol yang ingin mencelakakan paduka atau Pangeran Mahkota. Bagaimana jika terjadi penyerangan besar-besaran di sini? Paduka hanya membawa sedikit pasukan pengawal. Walau pun hamba akan membela paduka dengan taruhan nyawa, tetapi apa artinya kalau pihak musuh terlalu kuat dan semua perlawanan kita akan gagal?"
Tiba-tiba Raja Muda Yung Lo tertawa bergelak sehingga mengherankan hati Kui Siang.
"Ha-ha-ha, Kui Siang. Agaknya engkau terlalu memandang rendah kepadaku. Ingat, aku adalah seorang panglima perang yang sudah banyak pengalaman. Aku tidak akan mudah dikelabui dan ditipu musuh begitu saja, ha-ha-ha!"
"Apa maksud paduka, Pangeran?" Kui Siang memandang heran.
"Ha-ha-ha, kau lihat sendiri saja dan kau akan mengerti!" Setelah berkata demikian, Raja Muda Yung Lo menuju ke pintu, membuka daun pintu kemudian memberi isyarat kepada seorang di antara prajurit pengawalnya. Setelah prajurit itu mendekat, Raja Muda Yung Lo lalu membisikkan sesuatu dan tak lama kemudian daun pintu diketuk orang dari luar.
"Gan-ciangkun, masuklah," kata Raja Muda Yung Lo.
Daun pintu terbuka, lalu masuklah seorang lelaki berusia lima puluhan tahun dan biar pun tubuhnya tinggi kurus, namun sikapnya tegak dan berwibawa, juga gagah.
Melihat orang ini Kui Siang memandang heran. Dia tahu bahwa orang ini adalah Panglima Gan, salah seorang di antara para panglima kepercayaan Raja Muda Yung Lo. Setahunya panglima ini tidak ikut dalam pasukan pengawal, bagaimana sekarang tiba-tiba saja dapat dipanggil masuk?
Setelah panglima itu memberi hormat dan dipersilakan duduk, Raja Muda Yung Lo lantas berkata, "Bagaimana, ciangkun. Apakah pasukanmu sudah siap dan berapa jumlah yang kau kerahkan?"
"Semua sudah siap, tinggal menanti perintah paduka saja. Hamba sudah mempersiapkan tiga ratus orang prajurit yang memasang barisan pendam di luar kota Cin-an."
"Bagus! Nah, malam ini juga kau kerahkan pasukanmu untuk mengepung bagian sungai yang besok pagi akan dijadikan tempat pesta. Siapkan pengepungan di tepi, juga perahu-perahunya. Begitu ada gejala yang tidak beres, kalau ada kelompok orang yang hendak mengacaukan pesta, langsung serbu saja dan tangkap. Engkau sudah mengerti jelas apa yang kumaksudkan, Gan-ciangkun?"
Panglima tinggi kurus itu bangkit berdiri dan memberi hormat. "Hamba mengerti dan siap melaksanakan perintah paduka!"
"Nah, kerjakan sekarang juga."
Sesudah panglima Gan pergi, barulah Kui Siang dapat bicara dengan suara gembira dan penuh kagum. "Aihh…, maafkan hamba, Pangeran. Bukan sekali-kali hamba memandang ringan terhadap paduka, hanya hamba sama sekali tidak pernah menduga bahwa paduka telah mempersiapkan segala-galanya, bahkan sebelum kita berangkat! Kalau begitu maka semua kecurigaan hamba tidak ada artinya, karena hamba jauh kalah dulu oleh paduka!"
Raja Muda Yung Lo tersenyum. "Bukan begitu, Kui Siang. Aku mempersiapkan pasukan hanya demi menjaga keselamatan belaka, tapi sebaliknya kecurigaanmu itu berdasarkan alasan yang amat kuat, sebagai hasil dari pengamatanmu yang waspada. Nah, sekarang perasaanmu sudah merasa tenteram, bukan?"
Kui Siang mengangguk. "Berkat kebijaksanaan paduka! Kini hamba ingin sekali melihat perkembangan selanjutnya dari peristiwa yang penuh rahasia ini. Mudah-mudahan paduka akan dapat membongkarnya kalau terdapat kecurangan dan campur tangan pihak ke tiga yang ingin mengacaukan keadaan dan mengancam keselamatan paduka dan Pangeran Mahkota."
Sementara itu, di bagian lain dari gedung-gedung peristirahatan itu, yang menjadi tempat bermalam Pangeran Mahkota, pangeran ini pun sedang berbincang-bincang berdua saja dengan penasehatnya, yaitu Yauw Siucai. Para pengawal pribadi hanya berjaga-jaga di luar gedung, di sekitar gedung dan di luar ruangan di mana pangeran itu tengah bercakap-cakap dengan penasehatnya.
"Ah, Yauw Siucai, kurasa perjalanan jauh dan amat melelahkan ini tidak banyak gunanya. Alangkah sukarnya menyenangkan hati adinda Pangeran Yung Lo. Dia tidak begitu suka dengan pesta dan kesenangan, yang dia bicarakan bahkan urusan ketata-negaraan yang membuat kepalaku menjadi pening. Bagaimana kalau kita hentikan saja pesta pertemuan ini dan segera kembali ke kota raja?" Pangeran Mahkota Chu Hui San mengeluh kepada penasehatnya.
"Hamba kira tidak bijaksana jika paduka menghentikan pesta sebelum selesai, Pangeran. Biar pun Pangeran Yung Lo tidak begitu menyukai pesta, setidaknya beliau akan terkesan oleh keramahan dan itikad baik paduka, dan hal ini akan menambah kesetiaannya kelak kalau paduka telah menjadi kaisar. Menurut rencana, hanya tinggal besok melaksanakan pesta air di perahu yang sudah dipersiapkan, maka hamba mohon paduka bersabar, demi kekuatan dan kebaikan kedudukan paduka sendiri kelak."
"Hemm, kalau begitu baiklah. Akan tetapi jangan lupa, datangkan penari-penari dan para penyanyi yang muda dan cantik. Tampilkan seluruh gadis-gadis penari tercantik dari Cin-an dan daerahnya, agar hati kami dapat merasa gembira."
"Tentu saja, Yang Mulia. Akan tetapi sebaiknya kalau dalam bersenang-senang, paduka tidak mengurangi kewaspadaan. Kita tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Pangeran Yung Lo, maka sebaiknya paduka memerintahkan Jenderal Yauw Ti agar melakukan penjagaan besok pagi. Sebaiknya kalau dia mengepung tempat pesta dan tidak membolehkan siapa pun mendekat, baik itu anak buah Pangeran Yung Lo atau pun orang-orang lain. Dengan demikian keamanan paduka dan Pangeran Yung Lo dapat terjamin karena terkepung oleh pasukan Jenderal Yauw Ti."
"Bagus, sebaiknya begitu. Nah, panggil Jenderal Yauw Ti datang menghadap sekarang juga," perintah pangeran itu yang selalu menuruti nasehat Yauw Siucai.
Ketika Jenderal Yauw Ti yang tinggi besar serta gagah perkasa itu datang menghadap, Pangeran Mahkota Chu Hui San segera memberi perintah seperti yang dikemukakan oleh penasehatnya tadi. Jenderal yang tidak banyak cakap itu memberi hormat, menyatakan kesiap-siagaannya melaksanakan perintah, lalu dipersilakan keluar lagi...
"Gadis itu bersikap demikian mesra kepadamu. Nampak jelas bahwa dia mencintamu, Sin Wan. Aku... aku mengira bahwa engkau pun cinta padanya.”
Sin Wan menjadi semakin heran. Dua matanya sampai menjadi bulat karena terbelalak. “Apa artinya ini? Aku menjadi bingung. Aku memang tidak mencinta Lili, akan tetapi andai kata aku mencinta juga, apa hubungannya denganmu? Dan kenapa pula engkau merasa cemburu?"
Gadis itu mengeluarkan suara dengus ejekan. "Huhh, engkau ini laki-laki tolol. Tentu saja aku cemburu melihat sikap gadis itu begitu mesra kepadamu karena aku cinta padamu, Sin Wan!"
Ucapan ini merupakan pukulan yang membuat Sin Wan seperti berubah menjadi patung. Dia duduk tegak, matanya terbelalak memandang gadis itu, sedikit pun tidak bergerak dan ketika hendak bicara, tidak ada kata-kata keluar dari mulutnya. Bukan main!
Dahulu, ketika Lili dengan cara yang jujur dan terbuka menyatakan cinta kepadanya, dia menyangka bahwa di dunia ini hanya ada seorang saja gadis seperti Lili. Tetapi sekarang ada gadis lain yang mengaku cinta padanya dengan cara yang sama, begitu terus terang, terbuka dan tanpa pura-pura lagi.
"Sin Wan, mengapa kau diam saja? Aku cinta kepadamu, lantas bagaimana pendapatmu tentang ini?"
"Aku... aku... tapi...”
"Sin Wan, apakah engkau tidak suka kepadaku? Katakan terus terang, apakah engkau tidak suka padaku?"
"Tentu saja, Akim. Aku kagum kepadamu, aku suka padamu tapi...”
"Sin Wan, itu pun sudah cukup!" Akim berseru gembira dan gadis itu sudah mendekat lalu merangkul leher Sin Wan dan merebahkan mukanya di dada pemuda itu. "Asal engkau tidak membenciku, asal engkau suka kepadaku, maka cintaku tidak sia-sia dan..."
"Akim, bagaimana sih engkau ini? Bagaimana begitu mudahnya engkau mengaku cinta, pada hal baru dua kali kita saling jumpa?"
"Sin Wan, dalam perjumpaan kita yang pertama, sejak aku meniupkan napas ke dalam dadamu melalui mulutmu, semenjak saat itulah aku telah jatuh cinta padamu. Karena itu, melihat Lili bersikap demikian mesra kepadamu, tentu saja aku merasa cemburu dan sakit hati, lalu aku pergi meninggalkanmu. Biar pun aku mencintamu, aku belum begitu rendah untuk merebut pacar orang. Maka aku tadi bertanya apakah engkau mencintanya, karena kalau engkau mencinta gadis lain, tentu aku tak akan sudi mengganggumu. Tapi ternyata engkau tidak mencinta Lili, ahh, betapa lega dan gembira rasa hatiku sekarang!"
Gadis itu merangkul semakin ketat dan seolah hendak membenamkan mukanya ke dada Sin Wan. Tentu saja pemuda itu menjadi bingung dan salah tingkah. Ingin dia menolak, akan tetapi hatinya merasa tidak tega. Dia maklum bahwa dia akan menghancurkan hati gadis ini kalau menolak begitu saja secara langsung.
Tidak, dia harus bicara perlahan-lahan menyadarkan Akim bahwa cintanya itu tidak dapat dilanjutkan karena dia tidak dapat membalasnya. Akan tetapi karena merasa tidak tega, dia pun membiarkan saja gadis itu sejenak melepaskan dan mencurahkan perasaannya melalui dekapan ketat itu.
Kemudian, dengan lembut dia melepaskan kedua lengan Akim yang merangkul lehernya, dan berbisik lirih, “Akim, tenanglah dan mari kita bicara dengan baik-baik. Jangan terlalu menuruti perasaan hatimu, Akim."
Akan tetapi betapa heran rasa hatinya ketika merasa betapa tubuh gadis itu lemas lunglai dan terkulai ketika dia melepaskan rangkulan kedua lengannya. Dengan hati-hati dia lalu merangkul dan ternyata gadis itu telah tertidur! Entah apa yang terjadi dia pun tidak tahu. Mungkin gadis itu terlalu lelah dan karena pelepasan perasaannya, gadis itu pun terkulai dan tertidur, mungkin dengan mimpi yang indah! Sin Wan tersenyum geli, lalu perlahan-lahan dia merebahkan gadis itu di atas rumput, kemudian dia melepaskan jubahnya dan menyelimuti tubuh yang rebah telentang dan tidur pulas itu.
Bulan sepotong muncul sehingga sekarang cuaca tidaklah segelap tadi. Seberkas cahaya lembut dari bulan sepotong membantu sinar bintang menimpa wajah Akim. Sin Wan yang duduk di dekatnya bisa melihat wajah itu dengan cukup jelas. Memang wajah yang cantik. Kecantikan yang berlainan dengan kecantikan wajah Lili, atau wajah Bhok Ci Hwa. Akan tetapi tidak kalah manis dan menariknya.
Wajah yang bentuknya bundar dengan kulit muka yang putih mulus sehingga nampak alis dan rambutnya yang hitam. Bibir yang mungil itu tersenyum, agak terbuka hingga tampak kilatan giginya yang putih. Ouwyang Kim memang seorang gadis yang cantik menarik. Dan lebih dari itu, seperti juga Lili dan Ci Hwa, gadis ini mencintanya!
Sin Wan menghela napas panjang, sebab perlahan-lahan wajah Akim seperti berubah lalu nampaklah wajah yang selalu terbayang baik dalam tidur mau pun sadar, yaitu wajah Lim Kui Siang!
"Sumoi....!” Sin Wan menghela napas panjang.
Cintanya hanya pada Kui Siang seorang. Andai kata di sana tidak ada Kui Siang yang telah menguasai seluruh ruang dalam dadanya, betapa akan mudahnya untuk membalas cinta gadis-gadis seperti Lili, Ci Hwa atau Akim ini!
Sin Wan membiarkan bayangan Kui Siang memenuhi kepala serta dadanya, lalu dia pun duduk bersemedhi untuk menenangkan hati dan memulihkan tenaganya karena dia tahu bahwa mereka berdua masih belum benar-benar bebas dari ancaman pengejaran pasukan keamanan. Apa lagi dia masih harus menyelidiki tentang Si Kedok Hitam yang dilihatnya berkeliaran di sekitar Cin-an.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Akim sudah terbangun. Biar pun kedua matanya masih terpejam, begitu membuka mulut dia langsung memanggil, "Sin Wan..."
Agaknya gadis itu semalam suntuk bermimpi tentang Sin Wan!
"Selamat pagi, Akim," kata Sin Wan dan gadis itu membuka kedua matanya, memandang kepada pemuda itu lalu tersenyum manis.
"Aihh, Sin Wan, lamakah aku tertidur? Wah, sudah pagi!" Biar pun baru bangun tidur tapi gadis itu nampak segar seperti setangkai bunga pagi yang bermandikan embun.
"Di sana ada sumber air yang jernih, aku ke sana dulu!" Gadis itu menyelinap keluar dari balik semak belukar, tidak lupa membawa pedangnya dan topeng hijau masih tergantung di lehernya. Dia menoleh kemudian tersenyum manis.
"Sin Wan, kau tunggu di sini sebentar, ya? Nanti setelah aku selesai, barulah engkau ke sana membersihkan dan menyegarkan badan."
"Kenapa kita tidak pergi bersama saja, Akim?" kata Sin Wan yang merasa khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu dengan gadis itu.
Kini wajah itu berubah kemerahan dan sepasang mata yang indah itu mengerling tajam, senyumnya dikulum. "Ihh! Tidak malukah engkau berkata begitu? Bagaimana mungkin kita mandi berbareng? Kita belum menikah!" Setelah berkata demikian, sambil tertawa terkekeh gadis itu pun lari menyelinap pergi, tidak memberi kesempatan kepada Sin Wan untuk menjawab.
Hati Sin Wan terasa tidak nyaman ketika menanti seorang diri di balik semak belukar itu. Akhirnya, setelah menanti agak lama dan menurut perkiraannya tentu Akim sudah selesai mandi, dengan hati-hati dia pun keluar dari balik semak belukar. Tadi dia sempat melihat Akim pergi ke arah kanan, maka dia pun pergi ke sana.
Belum jauh dia berjalan, mendadak dia mendengar suara senjata tajam beradu di sebelah depan. Sin Wan segera meloncat dan berlari cepat ke arah suara itu dan ketika dia tiba di balik rumpun tebal, dia melihat Akim yang sekarang sudah mengenakan topeng hijaunya sedang bertanding pedang melawan seorang laki-laki tinggi besar berperut gendut yang mengenakan kedok pula. Si Kedok Hitam!
Sin Wan terkejut, akan tetapi juga girang karena kini dapat menemukan tokoh yang selalu menghilang secara rahasia itu, tokoh yang memang dia cari-cari. Sin Wan maklum akan kelihaian Si Kedok Hitam itu dan kini Akim juga sudah mulai terdesak, meski puteri datuk timur itu pun bukan seorang lawan yang lemah. Pedang yang berada di tangan gadis itu berubah menjadi gulungan sinar yang berkilauan lembut dan mengandung hawa dingin.
Namun Si Kedok Hitam yang memegang sebatang pedang pendek, hanya menggunakan pedangnya untuk menangkis sambaran sinar dari gulungan pedang Akim, ada pun tangan kirinya melakukan totokan-totokan yang membuat Akim menjadi terdesak karena totokan itu amat berbahaya. Jari tangan kiri Si Kedok Hitam yang menotok itu mengeluarkan bunyi bercuitan, seolah jari telunjuk yang menotok itu sudah menjadi sebatang senjata runcing yang amat dahsyat.
Maklum bahwa Akim terancam bahaya, Sin Wan mengeluarkan bentakan nyaring dan dia pun langsung meloncat ke depan sambil menggerakkan pedangnya, pedang yang tumpul dan buruk, namun begitu pedang itu bertemu dengan pedang pendek di tangan Si Kedok Hitam, tubuh orang tinggi besar gendut itu terpental ke belakang. Dia mengeluarkan suara gerengan marah, apa lagi ketika mengenal Sin Wan sebagai pemuda yang beberapa kali telah menggagalkan pekerjaannya, bahkan merupakan halangan besar.
"Bagus, kau datang mengantar nyawa!" bentak Si Kedok Hitam.
Agaknya mulutnya menggigit sesuatu sehingga suaranya terdengar aneh, bukan seperti suara manusia biasa. Setelah mengeluarkan gerengan, Si Kedok Hitam sudah menyerang dengan pedang pendeknya, tubuhnya berpusing begitu cepatnya sehingga mengejutkan Sin Wan.
"Wuuttt…! Wuuttt…! Wuutttt...! Cringgg…!“
Berulang kali pedang pendek itu menyambar, mencuat dari gulungan sinar pedang, tetapi Sin Wan dapat mengelak atau menangkis, lantas membalas dengan gerakan pedangnya yang amat tangguh.
"Cringg…! Cringg…! Tranggg...!"
Bunga api berpijar-pijar dan Si Kedok Hitam mengeluarkan gerengan marah ketika melihat betapa mata pedang pendeknya patah sesudah beberapa kali bertemu pedang tumpul di tangan Sin Wan. Kini putaran tubuhnya semakin hebat sehingga bentuk tubuhnya sukar dilihat, seperti benda berpusing dan menerjang ke arah Sin Wan.
Menghadapi serangan yang amat dahsyat dan aneh ini, Sin Wan cepat-cepat memainkan Sam-sian Sin-ciang, ilmu andalannya yang merupakan gabungan dari semua ilmu ketiga orang gurunya. Karena ilmu ini mengandung daya tahan yang kokoh kuat, maka dia pun mampu menahan terjangan lawan sehingga terjadilah saling serang yang sangat dahsyat. Kilatan kedua pedang mereka menyambar-nyambar ganas dan lengah sedikit saja sudah cukup untuk kehilangan nyawa.
"Cringgg…!"
Sinar pedang Si Kedok Hitam mencuat dan meluncur ke arah leher Sin Wan. Pemuda ini meloncat ke samping untuk mengelak. Tubuh Si Kedok Hitam sudah berputar beberapa kali dan pedangnya kini menyambar dengan bacokan ke arah pundak kanan Sin Wan.
Kembali Sin Wan mengelak ke samping. Akan tetapi dengan membentuk sinar bergulung, pedang pendek yang kehilangan sasaran itu melayang dengan gerakan melengkung dan kini membacok dari atas ke arah kepala Sin Wan. Pemuda ini merasa kewalahan juga menghadapi serangan bertubi yang membuat dia sama sekali tak mendapat kesempatan untuk membalas. Kini melihat pedang lawan membacok dari atas dan meluncur ke bawah, agaknya hendak membelah kepalanya menjadi dua, dia pun cepat menggerakkan pedang tumpul sambil mengerahkan sinkang.
"Trakkk!"
Dua batang pedang bertemu di udara dan pedang tumpul itu seperti mempunyai tenaga magnit yang amat kuat, menempel pedang pendek hingga pedang itu tidak dapat terlepas. Si Kedok Hitam marah dan merasa penasaran, mengerahkan tenaga untuk melepaskan pedangnya, tetapi pada saat itu nampak sinar lembut berkelebat menyambar dan ternyata Ouwyang Kim sudah membantu Sin Wan dan menusuk ke arah perut yang gendut itu!
Pada saat itu Si Kedok Hitam sedang mengadu tenaga dengan Sin Wan sehingga seluruh tubuhnya digetarkan oleh tenaga dahsyat. Kalau hanya orang biasa yang menusuknya, maka si penusuk tentu akan celaka sendiri akibat terkena getaran tenaga itu.
Akan tetapi yang melakukan tusukan adalah Ouwyang Kim, puteri Tung-hai-liong (Naga Lautan Timur) Ouwyang Cin, maka tentu saja dia bukan lawan biasa, melainkan seorang gadis yang amat lihai dan telah memiliki tenaga sinkang yang hebat pula. Tusukannya itu amat cepat sehingga tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh Si Kedok Hitam yang seolah-olah sedang melekat kepada Sin Wan melalui pedang mereka.
"Crottt…!"
Pedang di tangan Akim menusuk dan sebagian ujungnya terbenam ke dalam perut gendut Si Kedok Hitam! Melihat ini Sin Wan melepaskan lekatan pedangnya, lantas melompat ke belakang karena dia melihat betapa Si Kedok Hitam tidak nampak terkejut, bahkan pada bibirnya tersungging senyum mengejek!
Akim juga terkejut dan cepat menarik kembali pedangnya. Si Kedok Hitam sama sekali tak mengeluh, juga dari perut gendut yang tertutup baju itu tidak kelihatan darah. Agaknya dia tidak merasa sakit sama sekali, bahkan kini tubuhnya berpusing lagi menyerang ke arah Akim, pedangnya bergulung-gulung dengan dahsyatnya, membuat Akim yang masih terkejut dan gentar melihat lawannya itu sama sekali tidak terluka apa lagi roboh terkena tusukan pedangnya, kini menjadi terdesak hebat dan terpaksa dia memutar Goat-im-kiam (Pedang Tenaga Bulan) untuk menjadi perisai melindungi dirinya. Namun dia terdesak dan terpaksa mundur.
Sin Wan hendak maju membantu Akim, akan tetapi pada saat itu pula muncul lima orang, kesemuanya berkedok beraneka warna, menggunakan senjata mereka mengeroyok Sin Wan. Kelima orang itu rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi sehingga Sin Wan harus mencurahkan perhatiannya terhadap pengeroyokan mereka dan tidak dapat membantu Akim yang terus didesak oleh Si Kedok Hitam.
Sebetulnya, tingkat kepandaian Ouwyang Kim sudah cukup tinggi sehingga walau pun dia masih belum mampu mengatasi kepandaian Si Kedok Hitam, akan tetapi agaknya tidak terlampau mudah bagi Si Kedok Hitam untuk merobohkannya. Akan tetapi hati gadis ini masih terkejut dan agak gentar melihat kehebatan lawan.
Dia mengenal banyak ilmu, bahkan dia sendiri pernah mempelajari ilmu kebal. Maka jika tubuh Si Kedok Hitam mampu melawan tusukan senjata tajam biasa, dia tak akan merasa heran. Akan tetapi lawan ini mampu menerima tusukan Goat-Im-kiam!
Jika kulitnya saja tidak bisa ditembus oleh pedang, maka ini bukan merupakan kekebalan biasa melainkan kekebalan yang aneh. Tadi pedangnya telah memasuki perut, akan tetapi orang itu tak terluka, bahkan tidak mengeluarkan darah. Hal inilah yang membuat hatinya menjadi kecil sehingga gerakannya kacau, apa lagi Si Kedok Hitam menyerangnya sambil berpusing seperti gasing.
"Trangg…! Tranggg...!”
Untuk ke sekian kalinya pedang Goat-im-kiam di tangan Akim hanya mampu menangkis. Akan tetapi dari pusingan tubuh gendut itu tiba-tiba saja jari tangan kiri Si Kedok Hitam mencuat dan tahu-tahu Akim terkulai karena dia sudah terkena totokan yang sangat lihai dari ilmu It-tok-ci (Jari Tunggal Beracun). Pedang Goat-im-kiam terlepas dari tangannya dan di lain saat tubuh Akim sudah disambar lalu dipanggul oleh Si Kedok Hitam.
Sin Wan terkejut dan marah sekali. Dia mengeluarkan seruan panjang dan pedang tumpul di tangannya membuat sinar melengkung, membuat dua di antara lima orang pengeroyok terpaksa melepaskan senjata mereka dan dua orang lagi terpelanting ke kanan kiri.
Sin Wan meninggalkan mereka untuk mengejar, akan tetapi dia melihat Si Kedok Hitam itu lari ke tepi sungai sambil memondong tubuh Akim, lalu tiba-tiba orang itu meloncat ke bawah! Sin Wan terkejut dan cepat meloncat ke tepi sungai. Kiranya Si Kedok Hitam yang menawan Akim itu meloncat ke atas sebuah perahu kecil yang agaknya memang sudah dipersiapkan di sana. Kini Si Kedok Hitam melepaskan tubuh Akim hingga rebah miring di dalam perahu, sedangkan dia sendiri cepat mendayung perahu ke tengah.
Sin Wan termangu, tetapi pada detik itu pula dia teringat akan lima orang pengeroyoknya tadi. Dia harus dapat menangkap seorang di antara mereka untuk memaksanya memberi tahu siapa adanya Si Kedok Hitam dan di mana sarangnya agar dia dapat menolong Akim yang tertawan.
Akan tetapi ketika dia menengok, dia melihat lima orang itu lari menghampiri tepi sungai. Dia cepat mengejar, namun mereka berloncatan ke bawah. Terdengar suara berdeburnya air dan ketika dia menjenguk ke bawah, bagaikan ikan-ikan saja lima orang itu berenang dengan cepatnya menuju ke tengah sungai di mana nampak sebuah perahu lainnya yang sedang menunggu, didayung seorang yang berkedok pula. Mereka naik ke perahu itu dan segera mendayung perahu ke tengah. Mereka lenyap, seperti juga Si Kedok Hitam yang menawan Akim!
Sin Wan mengepal kedua tinjunya, kemudian memungut pedang Goat-im-kiam milik Akim dan menyimpannya. Bagaimana pun juga dia harus dapat menolong Akim! Sin Wan lalu menyusuri pinggir sungai untuk menyewa perahu agar dia dapat mulai mencari Akim yang dilarikan orang dengan perahu ke tengah sungai.
********************
"Yang Mulia Pangeran, bagaimana pun juga hamba merasa curiga sekali terhadap semua ini, dan hamba mengharapkan kewaspadaan paduka agar jangan sampai terjadi sesuatu yang hanya mendatangkan penyesalan yang sudah terlambat." Demikian antara lain Lim Kui Siang membujuk Raja Muda Yung Lo ketika akhirnya mereka dapat berbicara empat mata saja setelah pesta malam itu usai.
Kalau tadinya Raja Muda Yung Lo hanya tersenyum saja dan menganggap kekhawatiran pengawal pribadinya itu kekanak-kanakan, kini pandang matanya berubah dan sikapnya bersungguh-sungguh.
"Benarkah engkau mencurigai kakakku, Pangeran Mahkota yang mengundangku ke sini, Kui Siang?"
"Pangeran, kecurigaan hamba bukan hanya ngawur belaka, tetapi berdasarkan pemikiran yang mendalam melihat keadaan yang tidak wajar. Pertama, mengapa Pangeran Mahkota tidak mengundang paduka di kota raja saja? Ke dua, kenapa pula pertemuan diadakan di tempat yang amat sepi ini? Ke tiga, Pangeran Mahkota membawa pasukan yang dipimpin sendiri oleh Jenderal Besar Yauw Ti, seakan-akan hendak perang atau pamer kekuatan. Lalu ke empat, sepanjang pertemuan antara paduka dengan Pangeran Mahkota, menurut pengamatan hamba, tidak pernah terjadi percakapan yang penting, hanya basa-basi biasa saja sehingga pertemuan itu benar-benar tidak sepadan dengan perjalanan yang demikian jauhnya. Hamba juga menaruh curiga terhadap sastrawan yang tidak pernah terpisah dari Pangeran Mahkota itu, Pangeran. Pandang matanya bukan pandang mata orang biasa, dan dia dapat menjadi lawan yang amat berbahaya."
Raja Muda Yung Lo mengangguk-angguk. "Bagus, engkau sungguh mengagumkan sekali, Kui Siang. Tidak keliru pilihanku menjadikan engkau sebagai pengawal pribadiku. Engkau waspada dan wawasanmu jauh dan tepat. Kecurigaanmu berdasar dan tidak ngawur, atas dasar nalurimu yang tajam. Lalu bagaimana baiknya menurut pendapatmu?"
Pandang mata pangeran yang menjadi raja muda itu bersinar-sinar, penuh rasa bangga dan gembira. Sayang, katanya dalam hati, gadis ini tidak dapat membalas cintanya!
"Maaf, Pangeran. Kalau menurut pendapat hamba, sebaiknya paduka menolak undangan untuk berpesta di atas perahu besok pagi, dan lebih baik segera kembali saja ke utara."
Raja Muda Yung Lo mengelus jenggotnya yang terpelihara rapi, lalu sambil tersenyum dia berkata, "Bagaimana mungkin, Kui Siang? Apa bila aku melakukan seperti apa yang kau usulkan, tentu kakanda Pangeran Mahkota akan merasa tersinggung dan kalau kelak dia melapor kepada ayahanda Kaisar, tentu aku akan mendapat teguran. Sebetulnya apakah yang kau khawatirkan? Tidak mungkin kakanda Pangeran hendak mencelakakan aku."
"Yang hamba khawatirkan bukan datang dari Yang Mulia Pangeran Mahkota, melainkan dari pihak ketiga yang akan mempergunakan kesempatan ini untuk mencelakai paduka. Sudah lupakah paduka akan penyerangan terhadap diri paduka di istana yang dilakukan oleh orang-orang Mongol? Menurut hamba, kesempatan ini sangat baik bagi orang-orang Mongol yang ingin mencelakakan paduka atau Pangeran Mahkota. Bagaimana jika terjadi penyerangan besar-besaran di sini? Paduka hanya membawa sedikit pasukan pengawal. Walau pun hamba akan membela paduka dengan taruhan nyawa, tetapi apa artinya kalau pihak musuh terlalu kuat dan semua perlawanan kita akan gagal?"
Tiba-tiba Raja Muda Yung Lo tertawa bergelak sehingga mengherankan hati Kui Siang.
"Ha-ha-ha, Kui Siang. Agaknya engkau terlalu memandang rendah kepadaku. Ingat, aku adalah seorang panglima perang yang sudah banyak pengalaman. Aku tidak akan mudah dikelabui dan ditipu musuh begitu saja, ha-ha-ha!"
"Apa maksud paduka, Pangeran?" Kui Siang memandang heran.
"Ha-ha-ha, kau lihat sendiri saja dan kau akan mengerti!" Setelah berkata demikian, Raja Muda Yung Lo menuju ke pintu, membuka daun pintu kemudian memberi isyarat kepada seorang di antara prajurit pengawalnya. Setelah prajurit itu mendekat, Raja Muda Yung Lo lalu membisikkan sesuatu dan tak lama kemudian daun pintu diketuk orang dari luar.
"Gan-ciangkun, masuklah," kata Raja Muda Yung Lo.
Daun pintu terbuka, lalu masuklah seorang lelaki berusia lima puluhan tahun dan biar pun tubuhnya tinggi kurus, namun sikapnya tegak dan berwibawa, juga gagah.
Melihat orang ini Kui Siang memandang heran. Dia tahu bahwa orang ini adalah Panglima Gan, salah seorang di antara para panglima kepercayaan Raja Muda Yung Lo. Setahunya panglima ini tidak ikut dalam pasukan pengawal, bagaimana sekarang tiba-tiba saja dapat dipanggil masuk?
Setelah panglima itu memberi hormat dan dipersilakan duduk, Raja Muda Yung Lo lantas berkata, "Bagaimana, ciangkun. Apakah pasukanmu sudah siap dan berapa jumlah yang kau kerahkan?"
"Semua sudah siap, tinggal menanti perintah paduka saja. Hamba sudah mempersiapkan tiga ratus orang prajurit yang memasang barisan pendam di luar kota Cin-an."
"Bagus! Nah, malam ini juga kau kerahkan pasukanmu untuk mengepung bagian sungai yang besok pagi akan dijadikan tempat pesta. Siapkan pengepungan di tepi, juga perahu-perahunya. Begitu ada gejala yang tidak beres, kalau ada kelompok orang yang hendak mengacaukan pesta, langsung serbu saja dan tangkap. Engkau sudah mengerti jelas apa yang kumaksudkan, Gan-ciangkun?"
Panglima tinggi kurus itu bangkit berdiri dan memberi hormat. "Hamba mengerti dan siap melaksanakan perintah paduka!"
"Nah, kerjakan sekarang juga."
Sesudah panglima Gan pergi, barulah Kui Siang dapat bicara dengan suara gembira dan penuh kagum. "Aihh…, maafkan hamba, Pangeran. Bukan sekali-kali hamba memandang ringan terhadap paduka, hanya hamba sama sekali tidak pernah menduga bahwa paduka telah mempersiapkan segala-galanya, bahkan sebelum kita berangkat! Kalau begitu maka semua kecurigaan hamba tidak ada artinya, karena hamba jauh kalah dulu oleh paduka!"
Raja Muda Yung Lo tersenyum. "Bukan begitu, Kui Siang. Aku mempersiapkan pasukan hanya demi menjaga keselamatan belaka, tapi sebaliknya kecurigaanmu itu berdasarkan alasan yang amat kuat, sebagai hasil dari pengamatanmu yang waspada. Nah, sekarang perasaanmu sudah merasa tenteram, bukan?"
Kui Siang mengangguk. "Berkat kebijaksanaan paduka! Kini hamba ingin sekali melihat perkembangan selanjutnya dari peristiwa yang penuh rahasia ini. Mudah-mudahan paduka akan dapat membongkarnya kalau terdapat kecurangan dan campur tangan pihak ke tiga yang ingin mengacaukan keadaan dan mengancam keselamatan paduka dan Pangeran Mahkota."
Sementara itu, di bagian lain dari gedung-gedung peristirahatan itu, yang menjadi tempat bermalam Pangeran Mahkota, pangeran ini pun sedang berbincang-bincang berdua saja dengan penasehatnya, yaitu Yauw Siucai. Para pengawal pribadi hanya berjaga-jaga di luar gedung, di sekitar gedung dan di luar ruangan di mana pangeran itu tengah bercakap-cakap dengan penasehatnya.
"Ah, Yauw Siucai, kurasa perjalanan jauh dan amat melelahkan ini tidak banyak gunanya. Alangkah sukarnya menyenangkan hati adinda Pangeran Yung Lo. Dia tidak begitu suka dengan pesta dan kesenangan, yang dia bicarakan bahkan urusan ketata-negaraan yang membuat kepalaku menjadi pening. Bagaimana kalau kita hentikan saja pesta pertemuan ini dan segera kembali ke kota raja?" Pangeran Mahkota Chu Hui San mengeluh kepada penasehatnya.
"Hamba kira tidak bijaksana jika paduka menghentikan pesta sebelum selesai, Pangeran. Biar pun Pangeran Yung Lo tidak begitu menyukai pesta, setidaknya beliau akan terkesan oleh keramahan dan itikad baik paduka, dan hal ini akan menambah kesetiaannya kelak kalau paduka telah menjadi kaisar. Menurut rencana, hanya tinggal besok melaksanakan pesta air di perahu yang sudah dipersiapkan, maka hamba mohon paduka bersabar, demi kekuatan dan kebaikan kedudukan paduka sendiri kelak."
"Hemm, kalau begitu baiklah. Akan tetapi jangan lupa, datangkan penari-penari dan para penyanyi yang muda dan cantik. Tampilkan seluruh gadis-gadis penari tercantik dari Cin-an dan daerahnya, agar hati kami dapat merasa gembira."
"Tentu saja, Yang Mulia. Akan tetapi sebaiknya kalau dalam bersenang-senang, paduka tidak mengurangi kewaspadaan. Kita tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Pangeran Yung Lo, maka sebaiknya paduka memerintahkan Jenderal Yauw Ti agar melakukan penjagaan besok pagi. Sebaiknya kalau dia mengepung tempat pesta dan tidak membolehkan siapa pun mendekat, baik itu anak buah Pangeran Yung Lo atau pun orang-orang lain. Dengan demikian keamanan paduka dan Pangeran Yung Lo dapat terjamin karena terkepung oleh pasukan Jenderal Yauw Ti."
"Bagus, sebaiknya begitu. Nah, panggil Jenderal Yauw Ti datang menghadap sekarang juga," perintah pangeran itu yang selalu menuruti nasehat Yauw Siucai.
Ketika Jenderal Yauw Ti yang tinggi besar serta gagah perkasa itu datang menghadap, Pangeran Mahkota Chu Hui San segera memberi perintah seperti yang dikemukakan oleh penasehatnya tadi. Jenderal yang tidak banyak cakap itu memberi hormat, menyatakan kesiap-siagaannya melaksanakan perintah, lalu dipersilakan keluar lagi...