SEPERTI biasa, malam itu tidak dilewatkan sia-sia begitu saja oleh Pangeran Chu Hui San. Dan kebutuhan bangsawan yang telah menjadi budak nafsunya sendiri ini selalu dipenuhi, bahkan diberi semangat oleh Yauw Siucai yang secara diam-diam telah menyiapkan dua orang gadis panggilan yang tercantik untuk menemani sang pangeran tidur pada malam hari itu. Setelah dua orang gadis itu memasuki kamar, Yauw Siucai meninggalkan kamar itu untuk mengaso dalam kamarnya sendiri dengan pesan kepada para petugas pengawal di luar kamar untuk melakukan penjagaan ketat.
Malam itu terjadi pula hal yang aneh di luar gedung pesanggrahan yang sedang dalam suasana pesta dan dijaga ketat itu. Nampak sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke sebuah perahu besar yang berada di dekat seberang. Perahu besar itu berhenti, tidak terbawa arus air yang lambat di bagian itu, karena tertahan jangkar yang dilepas.
Sesudah perahu kecil tiba di dekat perahu besar, penumpang perahu kecil melemparkan kaitan ke arah perahu besar. Besi kaitan itu tiba di dek, mengait tiang lalu cepat diperkuat oleh dua orang anak buah perahu besar. Kemudian bagai seekor burung saja penumpang perahu kecil meloncat ke atas perahu besar dan ternyata dia adalah Si Kedok Hitam yang bertubuh tinggi besar dan berperut gendut.
Perahu besar itu sama sekali tidak terguncang ketika dia melompat ke sana, dan empat orang anak buah perahu besar cepat-cepat menyambutnya dengan sikap hormat, bahkan mereka berlutut dengan kaki kiri.
"Apakah kedua orang tamu yang kami undang itu belum datang?" tanya Si Kedok Hitam kepada mereka.
"Belum, Yang Mulia. Akan tetapi sudah ada yang menjemput dan mungkin sebentar lagi mereka akan tiba," jawab seorang di antara anak buah itu.
"Begaimana dengan tawanan kita? Tidak banyak tingkah, bukan?"
"Mula-mula dia meronta dan mengamuk, akan tetapi belenggu kaki tangannya diperkuat dan penjagaan diperketat sehingga dia tidak dapat membuat ribut lagi."
Si Kedok hitam mengangguk, lalu melangkah memasuki lorong di perahu besar itu menuju sebuah kamar di sudut yang terjaga oleh enam orang anak buahnya. Dia membuka daun pintu dan menjenguk ke dalam.
Ouwyang Kim nampak telentang di atas dipan dengan kaki tangan terbelenggu erat pada dipan itu, topengnya sudah terbuka dan wajah yang cantik itu nampak marah sekali. Akan tetapi dia tidak lagi meronta dan ketika melihat Si Kedok Hitam menjenguk dari luar pintu, dia pun berkata lantang,
"Si Kedok Hitam pengecut besar! Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita mampus!"
Tapi dari balik kedok hitam itu hanya terdengar suara tawa aneh dan dia pun menutupkan kembali daun pintu kamar tawanan itu, lalu pergi ke ruangan tengah dan duduk menanti. Tidak lama kemudian bermunculan belasan orang yang semuanya memakai topeng yang beraneka warna. Begitu tiba di ruangan itu, mereka langsung memberi hormat kepada Si Kedok Hitam dan mengambil tempat duduk, membentuk setengah lingkaran menghadap kepada Si Kedok Hitam yang duduk dengan kedua kaki terpentang, sikapnya gagah dan berwibawa walau pun perutnya gendut sekali seperti tergantung ke bawah.
"Kalian sudah hadir dengan lengkap?" tanya Si Kedok Hitam dan belasan orang itu pun menyatakan bahwa mereka sudah lengkap.
"Sebaiknya kita cepat membuat rencana sebelum Ouwyang Cin bersama muridnya tiba. Mereka belum dapat dipercaya sepenuhnya karena mereka masih kelihatan ragu. Malam ini merupakan penentuan untuk menguji mereka dan membuktikan apakah mereka boleh ditarik sebagai kawan. Untung bahwa tanpa sengaja kami dapat menawan puterinya. Nah, sekarang dengarkan baik-baik rencana yang sudah kita atur. lni merupakan pengulangan saja agar semua dapat dilaksanakan dengan baik."
Mendadak Si Kedok Hitam menghentikan bicaranya ketika daun pintu ruangan itu diketuk orang. Dengan nada suara yang masih aneh dan parau namun kini ditambah nada suara marah, dia menoleh ke pintu dan membentak,
"Siapa yang berani mengganggu tanpa dipanggil?!"
Seorang penjaga muncul dengan sikap takut-takut. "Ampun, Yang Mulia. Saya terpaksa menghadap untuk menyampaikan berita yang amat buruk dan mencelakakan.”
"Cepat bicara, apa yang terjadi?!" Si Kedok Hitam membentak tak sabar.
"Yang Mulia, kami baru saja mendengar laporan para penyelidik bahwa di luar penjagaan pasukan dari kota raja ada pasukan besar Raja Muda Yung Lo yang membuat gerakan seolah mengepung daerah ini. Mereka itu dalam keadaan siap seperti hendak bertempur, dan menurut taksiran para penyelidik, jumlah mereka tidak kurang dari tiga ratus orang."
Hening sejenak. Tubuh tinggi besar yang berperut gendut itu sejenak tak bergerak seperti patung. Kemudian terdengar suaranya yang parau dan aneh, "Sudah yakin benarkah hasil penyelidikan itu, dan siapa pemimpin pasukan?"
"Jika belum benar-benar yakin, tentu para penyelidik tidak berani membuat laporan, Yang Mulia. Pemimpin pasukan besar dari utara itu adalah Gan-ciangkun."
"Hemm, sudah. Keluarlah dan jaga baik-baik tawanan itu," katanya.
Pelapor itu keluar dan daun pintu ditutup kembali. Setelah itu Si Kedok Hitam mengangkat muka dan dari balik kedoknya sepasang matanya yang tajam mencorong itu memandang belasan orang yang menghadap padanya.
"Telah terjadi perubahan besar, akan tetapi hal ini justru lebih baik lagi, menyempurnakan gerakan kita," katanya.
"Maaf, Yang Mulia. Bagi kami berita itu merupakan mala petaka, tapi bagaimana paduka mengatakan hal itu menyempurnakan gerakan kita? Mohon penjelasan!" kata seorang di antara mereka dan kawan-kawannya mengangguk menyetujui.
"Siasat kita ditambah sedikit, yaitu mengusahakan agar terjadi saling mencurigai di antara pasukan utara dan pasukan selatan. Sebarkan berita di antara para perwira pasukan dari kota raja bahwa pasukan dari utara telah melakukan pengepungan. Mereka akan melucuti dan menyerbu pasukan selatan. Kita harus berusaha agar mereka saling mencurigai dan sebisa mungkin saling serang dengan cara mendahuluinya melakukan serangan-serangan kecil di antara mereka. Kalau mereka sudah saling serang, kita mempunyai peluang yang sangat baik untuk bergerak. Sebelah dalam menghabisi kedua pangeran, atau setidaknya membuat mereka saling bermusuhan. Kalian semua sudah paham apa yang harus kalian lakukan, dan sekali lagi kutekankan supaya kalian bertindak hati-hati sehingga nama baik Pangeran Yaluta tidak terbawa-bawa dan kedudukan beliau di dekat Pangeran Mahkota tidak sampai terganggu, terutama apa bila gerakan kita ini gagal. Nah, sekarang seorang di antara kalian yang menjadi penghubung, cepat beri tahukan Pangeran Yaluta tentang perubahan atau penambahan rencana kita ini."
Sesudah perundingan selesai, terdengar laporan bahwa Ouwyang Cin dan Maniyoko telah tiba. Pada tengah malam itu sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke perahu besar tadi, lalu dari dalam perahu berloncatan dua orang yang bukan lain adalah Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko, muridnya.
Seperti kita ketahui, guru dan murid ini terbujuk oleh si Kedok Hitam yang mengutus Bu-tek Kiam-mo untuk menghubungi Ouwyang Cin dan mengirim banyak barang hadiah yang berharga. Bersama muridnya Maniyoko, Ouwyang Cin berangkat ke kota raja memenuhi undangan Yang Mulia, yaitu nama yang dikenal sebagai pemimpin jaringan mata-mata itu, tanpa mempedulikan teguran dan cegahan isterinya.
Setelah tiba di kota raja, guru dan murid ini disambut oleh Si Kedok Hitam secara rahasia. Kemudian Si Kedok Hitam bahkan mengajak mereka untuk pergi ke Cin-an agar mereka membantu dalam suatu urusan penting yang belum diberi tahukan kepada mereka.
Walau pun menjadi tamu dari Si Kedok Hitam, namun Ouwyang Cin dan Maniyoko masih asing dengan gerakan mereka sebab agaknya Si Kedok Hitam masih belum percaya betul kepada mereka. Semua hal dirahasiakan, hanya bila Si Kedok Hitam ingin bicara dengan mereka, baru muncul seorang utusan yang mengundang mereka datang di suatu tempat. Malam ini pun mereka berdua dijemput dan diantar dengan sebuah perahu kecil menuju ke perahu besar itu karena Yang Mulia mengundang mereka.
Setelah Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko dipersilakan masuk ke dalam ruangan besar di perahu itu, mereka disambut oleh Si Kedok Hitam yang sudah duduk di sana. Di tempat itu hadir pula belasan orang yang kesemuanya bertopeng dengan berbagai warna. Melihat ini, Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang selalu bersikap angkuh dan tak mau tunduk itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, aku merasa seperti sedang berada di atas panggung wayang, menghadapi orang-orang berkedok! Yang Mulia, aku sudah mau mengalah dan memanggilmu dengan sebutan Yang Mulia, maka kiranya sudah tiba saatnya engkau memperkenalkan diri siapa engkau dan siapa pula anak-anak buahmu ini. Bagaimana mungkin aku bisa bekerja sama dengan orang-orang berkedok yang tidak kukenal?"
Si Kedok Hitam tidak menjadi marah. Dia telah mengenal baik watak para datuk dan tidak mengherankan bila Ouwyang Cin bersikap angkuh. Dia adalah datuk di daerah timur yang kekuasaannya seperti seorang raja muda saja! Si Kedok Hitam tertawa di balik kedoknya.
"Tung-hai-liong dan Maniyoko, silakan duduk. Ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang rahasia yang bekerja secara rahasia pula. Oleh karena itu wajah kami hanya dapat kami perlihatkan kepada kawan-kawan seperjuangan yang telah kami percayai sepenuhnya."
Berkerut sepasang alis dari datuk yang berkepala botak dan berperut gendut itu. "Bagus! Kalau kalian belum percaya kepada kami berdua, mengapa kami diundang untuk bekerja sama?" kata Tung-hai-liong Ouwyang Cin dengan suaranya yang dingin.
"Pekerjaan kami adalah pekerjaan besar, sebuah perjuangan yang teramat penting. Untuk dapat mempercayai seorang yang bersekutu dengan kami, haruslah kami uji dahulu agar cita-cita kami tidak akan gagal. Malam inilah saat penentuan, dan besok pagi-pagi engkau harus dapat membuktikan kesetiaanmu terhadap kami, baru kami akan memperkenalkan diri kepadamu, Tung-hai-liong."
Kalau saja yang bicara seperti itu bukan Si Kedok Hitam yang menjadi pemimpin sebuah persekutuan besar yang kuat, tentu Ouwyang Cin sudah marah dan menyerangnya. Dia memandang dengan mata melotot, seperti hendak menembusi kedok itu dengan pandang matanya, kemudian dia bertanya, suaranya masih kaku dan dingin,
"Hemm, bukti kesetiaan macam apa yang harus kulakukan, Yang Mulia?"
"Pada esok hari engkau dan muridmu harus mampu membunuh Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota, atau paling tidak salah seorang di antara mereka!"
Ouwyang Cin meloncat bangkit dari kursinya, diikuti oleh Maniyoko. "Gila! Ini sama saja dengan menyuruh kami berdua memasuki lautan api! Tidak, kami tidak sudi!"
"Kami akan melindungimu, Tung-hai-liong,” bujuk Si Kedok Hitam.
"Tidak, sekali lagi tidak! Kami mau bekerja sama, tapi aku bukan pembunuh bayaran, apa lagi membunuh pangeran! Aku mau saja bertempur, memimpin pasukan dan anak-anak buahku, bukan menyelinap seperti maling untuk melakukan pembunuhan gelap."
"Tung-hai-liong, kalau engkau ingin bekerja sama dengan kami, kalau kelak ingin menjadi raja muda, haruslah taat kepada kami dan membuktikan kesetiaanmu."
"Hemmm, sejak kecil aku tidak pernah mentaati perintah siapa pun juga! Aku hanya mau bekerja sama, bukan menghambakan diri kepadamu. Sudahlah, agaknya di antara kita tak ada kecocokkan, lebih baik kami pergi saja. Maniyoko, mari kita pergi!" Datuk itu sudah marah sekali.
"Tunggu dulu, Tung-hai-liong! Kami kira kalian takkan dapat pergi begitu saja, karena mau tidak mau kalian harus melaksanakan perintah kami! Kalian tidak dapat menolak lagi."
"Hemm, Kedok Hitam, apa maksud ucapanmu itu?" Ouwyang Cin membentak, kini tidak mau lagi menyebut Yang Mulia.
"Lihatlah sendiri!!" Si Kedok Hitam bangkit, diikuti belasan orang pembantunya, kemudian memberi isyarat kepada Ouwyang Cin dan Maniyoko supaya mengikuti mereka. Setelah tiba di depan kamar perahu paling ujung, Si Kedok Hitam memberi isyarat kepada penjaga untuk membuka daun pintunya.
"Lihatlah, Tung-hai-liong, kalau engkau dan muridmu menolak permintaan kami, aku akan menyuruh orang-orangku agar menghina dan menyiksa puterimu sampai mati di hadapan matamu!"
Mata Ouwyang Cin dan Maniyoko terbelalak melihat Ouwyang Kim rebah telentang dalam keadaan kaki tangannya terbelenggu dan tubuhnya terikat pada sebuah dipan.
"Ayah, suheng, jangan pedulikan aku! Serang saja, aku tidak takut mati. Lebih baik mati dari pada menyerah!" Ouwyang Kim berteriak-teriak, namun gadis ini tidak dapat meronta, hanya mampu menoleh ke arah ayahnya karena tubuhnya lemas tertotok dan terbelenggu kuat-kuat.
Tung-ha-liong Ouwyang Cin marah bukan kepalang. Sungguh tak pernah disangkanya dia akan melihat puterinya tertawan oleh gerombolan ini, puterinya yang disangkanya berada di rumah bersama ibunya.
"Kedok Hitam, bebaskan puteriku!" bentaknya dengan suara menggereng seperti seekor binatang liar.
"Ha-ha-ha, Tung-hai-liong, lebih baik engkau memenuhi permintaan kami dan kita menjadi sekutu, puterimu akan kubebaskan."
Pada saat itu pula terdengar suara keras, perahu terguncang dan nampak api bernyala di ujung belakang perahu besar itu. Ternyata ada sebuah balok besar yang agaknya diikat kain yang basah dengan minyak bakar, sudah melayang dan jatuh ke sana, lalu ada yang membakarnya sehingga di tempat itu berkobar api yang besar.
Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan saat itu cepat digunakan oleh Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko untuk mencabut senjata lantas mengamuk. Si Kedok Hitam telah menggunakan pedang pendeknya untuk menghadapi Tung-hai-liong yang juga telah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar berkilauan menyilaukan mata.
"Jaga tawanan!" Si Kedok Hitam masih sempat berteriak sebelum dia sibuk menghadapi datuk timur yang lihai sekali itu.
Dua orang tokoh besar ini bertanding dan keduanya memang sama hebatnya, sedangkan Maniyoko agak repot dikeroyok banyak anak buah Si Kedok Hitam. Bahkan Ouwyang Cin juga dikeroyok sehingga datuk ini tidak sempat menolong puterinya yang terbelenggu di atas dipan dalam kamar itu.
Sesosok bayangan berkelebat lalu merobohkan empat orang penjaga yang menghadang di depan pintu kamar tahanan. Entah bagaimana, tahu-tahu empat orang itu terpelanting ke kanan kiri dan bayangan itu menerobos masuk ke dalam kamar.
"Sin Wan...!” Gadis itu berseru girang.
"Akim, cepat bantu ayahmu," kata Sin Wan yang menggunakan pedang tumpulnya untuk membabat putus semua belenggu, kemudian membebaskan totokan di tubuh Akim yang segera dapat bergerak kembali. "Nih, pedangmu!"
Melihat pemuda yang dicintanya itu membebaskannya, bahkan juga telah mengembalikan pedangnya, dan dia pun maklum bahwa Sin Wan pula yang menimbulkan kebakaran pada perahu, Akim lalu merangkul dan menciumnya sehingga membuat Sin Wan gelagapan.
"Sekarang engkau yang menyelamatkan aku dan ayah," bisik Akim.
Dia segera melepaskan rangkulannya dan tubuhnya sudah berkelebat keluar, lalu dia pun menyerang Si kedok Hitam membantu ayahnya. Sin Wan juga berkelebat keluar dan dia segera dikepung dan dikeroyok. Akan tetapi Sin Wan merobohkan empat orang lagi lalu berteriak,
"Akim, cepat kau ajak ayah dan suhengmu lari, perahu ini segera akan terbakar habis dan tenggelam!"
Mendengar ini Tung-hai-liong Ouwyang Cin beserta puterinya memutar pedang, membuat para pengeroyok mundur, kemudian mereka meneriaki Maniyoko agar melarikan diri pula. Mereka bertiga segera meloncat keluar dari perahu yang masih terbakar hebat, karena usaha pemadaman dari anak buah Si Kedok Hitam tidak berhasil sama sekali.
Tung-hai-liong dan puterinya, juga muridnya, adalah orang-orang yang sangat ahli dalam ilmu renang. Mereka memang tinggal di dekat lautan dan sebagai datuk para bajak laut, tentu saja Ouwyang Cin sangat menguasai ilmu dalam air yang diajarkannya pula kepada puterinya dan muridnya. Maka, begitu tubuh mereka jatuh ke air, mereka lalu menyelam dan segera lenyap.
Si Kedok Hitam juga tidak mau tinggal lebih lama di atas perahu yang terbakar itu. "Bunuh jahanam busuk itu!" teriaknya berulang-ulang melihat Sin Wan dikeroyok anak buahnya.
Dia sendiri lalu meloncat keluar dari perahu besar, hinggap di atas perahu kecil yang telah dipersiapkan anak buahnya, lantas perahu itu pun didayung cepat meninggalkan perahu besar yang masih berkobar.
Sin Wan terpaksa berloncatan ke sana-sini menghadapi pengeroyokan belasan orang dan amukan api. Dia tidak bisa meniru apa yang dilakukan Akim dan ayahnya. Kepandaiannya di air hanya sekedar dapat mencegah tubuhnya tenggelam saja. Itu pun hanya di air yang tenang. Membayangkan terjun ke air sungai yang arusnya kuat dan amat dalam itu, dia sudah merasa ngeri, apa lagi harus meloncat ke sana! Bagaimana pun juga hatinya sudah merasa lega karena dia dapat menyelamatkan Akim.
Malam itu dengan susah payah dia mencari-cari Akim, menyewa sebuah perahu lantas mencari di sepanjang kedua tepi sungai. Akhirnya, saat melihat perahu besar itu berlabuh di tempat sunyi, timbul kecurigaannya dan dia membayar tukang perahu yang ketakutan, lalu meninggalkan perahu dan bergantung pada rantai jangkar perahu besar, merayap ke atas.
Memang dia sudah menyiapkan segalanya ketika menyewa perahu. Sebuah balok besar yang tadinya disediakan untuk menolongnya kalau-kalau terpaksa harus meloncat ke air, sekarang dia gunakan untuk membakar perahu dengan bantuan kain dan minyak bakar yang didapatnya dari tukang perahu.
"Trang-trang-trangg...!"
Tiga batang golok para pengeroyok yang menyambar kepadanya dari tiga penjuru dapat ditangkisnya sehingga patah-patah. Akan tetapi belasan orang itu agaknya amat taat pada perintah Si Kedok Hitam, yaitu agar mereka membunuh Sin Wan, maka mereka segera mengeroyok lebih ketat lagi. Tiba-tiba saja dua orang roboh ketika ditampar oleh tangan Akim yang basah. Gadis itu muncul secara tiba-tiba, mengamuk dan menghampiri Sin Wan lalu berteriak,
"Sin Wan, apa kau ingin menjadi sate bakar? Hayo pergi!"
Akan tetapi tentu saja Sin Wan tidak berani. "Aku... aku tidak pandai renang..." katanya.
Akim tidak peduli, menyambar lengan Sin Wan dan menarik tubuh pemuda itu, diajaknya melompat ke air. Sin Wan cepat menyimpan pedangnya lantas menutup kedua matanya ketika tubuhnya melayang dari atas perahu.
"Byuurrrrr...!"
Dia gelagapan, kedua kakinya menendang-nendang dan tubuhnya dapat timbul. Sebuah tangan yang kuat menangkap punggung bajunya dan dia pun diseret ke atas permukaan air. Kiranya yang mencengkeram dan menariknya adalah Akim. Sin Wan kagum bukan main melihat dalam keremangan cuaca betapa gadis itu berenang seperti ikan saja, sama sekali tidak nampak kesulitan biar pun sebelah tangannya sedang mencengkeram baju di punggungnya.
Akhirnya Akim dapat menangkap pinggiran sebuah perahu kecil yang terapung lepas, dan membantu Sin Wan naik ke atas perahu kecil. Perahu itu hanyut terbawa air dan mereka bersimpuh di perahu, terengah-engah dan basah kuyup. Akan tetapi ketika mereka saling pandang di bawah sinar bulan sepotong, mereka saling tatap kemudian keduanya tertawa melihat betapa muka dan pakaian mereka basah kuyup, tertawa selepas mungkin karena perasaan lega dan bahagia telah dapat terlepas dari bahaya maut!
Dan Akim menubruk, merangkul dan menciumi muka Sin Wan yang basah kuyup, membuat pemuda itu untuk ke dua kalinya gelagapan seperti dibenamkan ke dalam air.
"Sin Wan, engkau sudah menyelamatkan aku, ayah dan suheng. Aihh, aku cinta padamu, Sin Wan, aku cinta padamu dan aku sangat bahagia...” Dengan suara mengandung isak seperti menangis Akim merapatkan tubuhnya dan mendekap sehingga mukanya merapat pada dada Sin Wan.
Celaka, pikir Sin Wan yang teringat akan pengalamannya dengan Lili dan dengan Ci Hwa. Apakah aku harus selalu mengalami kesalah pahaman cinta semacam ini yang akhirnya hanya akan menyiksa? Dalam keadaan seperti inilah timbulnya kesalah pahaman antara dia dan Lili, antara dia dan Ci Hwa.
Memang membutuhkan kekerasan hati untuk menyangkal balasan cinta terhadap seorang gadis seperti Akim, atau seperti Lili dan Ci Hwa. Tetapi dia tidak menghendaki terulangnya kembali peristiwa salah paham karena cinta itu, tidak ingin melihat kesalah pahaman Akim berlarut-larut.
Dengan lembut tapi kuat dia mendorong kedua pundak gadis itu dan menahannya sejauh kedua lengannya dilempangkan. Merasa gerakan ini Akim mengangkat muka memandang penuh perhatian. Kebetulan udara amat jernih sementara bulan sepotong menyinari muka mereka berdua.
"Akim, maafkan aku. Sebaiknya kalau saat ini juga aku membuat pengakuan agar engkau menyadari kesalah pahaman ini. Kesalah pahaman tentang perasaan kita berdua...”
"Sin Wan, apa maksudmu? Aku cinta padamu, dan engkau pun cinta kepadaku, bukan? Kesalah pahaman apa lagi?"
"Akim, ingat. Belum pernah aku menyatakan cintaku kepadamu."
"Aihh...?! Bukankah engkau cinta padaku, Sin Wan. Engkau bilang bahwa engkau kagum dan suka kepadaku, bukan?"
"Memang, sampai sekarang aku kagum dan suka kepadamu, akan tetapi itu bukan cinta, Akim. Aku suka kepadamu sebagai seorang sahabat, dan agar kesalah pahaman ini tidak sampai berlarut, terus terang saja kuakui bahwa aku sudah mencinta seorang gadis lain, Akim."
Wajah yang masih basah itu berubah pucat sekali, lalu merah dan sampai lama Akim tak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya terdengar suaranya lirih, "Lili...? Tetapi kau bilang tidak mencintanya...”
"Memang bukan Lili. Aku suka kepada Lili sebagai seorang sahabat, seperti aku pun suka kepadamu, tapi aku telah mencinta seorang gadis lain, jauh sebelum aku mengenalmu...”
"Siapakah gadis itu?"
"Dia adalah sumoi-ku sendiri. Maafkan, Akim, bukan maksudku hendak menyinggung dan mengecewakan hatimu," kata Sin Wan melihat betapa wajah yang tadinya cantik manis itu kini berubah muram.
Akan tetapi Akim telah bangkit berdiri. "Kau... kau… siapa kecewa? Persetan denganmu, Sin Wan!" Dan gadis itu pun lalu mendorong Sin Wan yang sama sekali tidak menduga, membuat pemuda itu terdorong dan terjengkang keluar dari dalam perahu kecil.
"Byuurrrrr...!" Sin Wan jatuh ke air. Ketika dia menggunakan tangan dan kaki untuk timbul, dia melihat perahu itu sudah didayung cepat oleh Akim mempergunakan tangannya karena memang perahu itu tidak mempunyai dayung.
"Akim, tunggu...!" Dia berteriak akan tetapi gadis itu tidak menghiraukannya.
Sin Wan gelagapan terseret arus air. Pemuda ini berusaha sekuat tenaga untuk melawan arus agar tidak tenggelam. Ketika dia melihat sepotong kayu sebesar pahanya dan cukup panjang, dia pun menyambar kayu itu lalu bergantung pada kayu, terpaksa membiarkan dirinya hanyut...
********************
Malam itu terjadi pula hal yang aneh di luar gedung pesanggrahan yang sedang dalam suasana pesta dan dijaga ketat itu. Nampak sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke sebuah perahu besar yang berada di dekat seberang. Perahu besar itu berhenti, tidak terbawa arus air yang lambat di bagian itu, karena tertahan jangkar yang dilepas.
Sesudah perahu kecil tiba di dekat perahu besar, penumpang perahu kecil melemparkan kaitan ke arah perahu besar. Besi kaitan itu tiba di dek, mengait tiang lalu cepat diperkuat oleh dua orang anak buah perahu besar. Kemudian bagai seekor burung saja penumpang perahu kecil meloncat ke atas perahu besar dan ternyata dia adalah Si Kedok Hitam yang bertubuh tinggi besar dan berperut gendut.
Perahu besar itu sama sekali tidak terguncang ketika dia melompat ke sana, dan empat orang anak buah perahu besar cepat-cepat menyambutnya dengan sikap hormat, bahkan mereka berlutut dengan kaki kiri.
"Apakah kedua orang tamu yang kami undang itu belum datang?" tanya Si Kedok Hitam kepada mereka.
"Belum, Yang Mulia. Akan tetapi sudah ada yang menjemput dan mungkin sebentar lagi mereka akan tiba," jawab seorang di antara anak buah itu.
"Begaimana dengan tawanan kita? Tidak banyak tingkah, bukan?"
"Mula-mula dia meronta dan mengamuk, akan tetapi belenggu kaki tangannya diperkuat dan penjagaan diperketat sehingga dia tidak dapat membuat ribut lagi."
Si Kedok hitam mengangguk, lalu melangkah memasuki lorong di perahu besar itu menuju sebuah kamar di sudut yang terjaga oleh enam orang anak buahnya. Dia membuka daun pintu dan menjenguk ke dalam.
Ouwyang Kim nampak telentang di atas dipan dengan kaki tangan terbelenggu erat pada dipan itu, topengnya sudah terbuka dan wajah yang cantik itu nampak marah sekali. Akan tetapi dia tidak lagi meronta dan ketika melihat Si Kedok Hitam menjenguk dari luar pintu, dia pun berkata lantang,
"Si Kedok Hitam pengecut besar! Lepaskan aku dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita mampus!"
Tapi dari balik kedok hitam itu hanya terdengar suara tawa aneh dan dia pun menutupkan kembali daun pintu kamar tawanan itu, lalu pergi ke ruangan tengah dan duduk menanti. Tidak lama kemudian bermunculan belasan orang yang semuanya memakai topeng yang beraneka warna. Begitu tiba di ruangan itu, mereka langsung memberi hormat kepada Si Kedok Hitam dan mengambil tempat duduk, membentuk setengah lingkaran menghadap kepada Si Kedok Hitam yang duduk dengan kedua kaki terpentang, sikapnya gagah dan berwibawa walau pun perutnya gendut sekali seperti tergantung ke bawah.
"Kalian sudah hadir dengan lengkap?" tanya Si Kedok Hitam dan belasan orang itu pun menyatakan bahwa mereka sudah lengkap.
"Sebaiknya kita cepat membuat rencana sebelum Ouwyang Cin bersama muridnya tiba. Mereka belum dapat dipercaya sepenuhnya karena mereka masih kelihatan ragu. Malam ini merupakan penentuan untuk menguji mereka dan membuktikan apakah mereka boleh ditarik sebagai kawan. Untung bahwa tanpa sengaja kami dapat menawan puterinya. Nah, sekarang dengarkan baik-baik rencana yang sudah kita atur. lni merupakan pengulangan saja agar semua dapat dilaksanakan dengan baik."
Mendadak Si Kedok Hitam menghentikan bicaranya ketika daun pintu ruangan itu diketuk orang. Dengan nada suara yang masih aneh dan parau namun kini ditambah nada suara marah, dia menoleh ke pintu dan membentak,
"Siapa yang berani mengganggu tanpa dipanggil?!"
Seorang penjaga muncul dengan sikap takut-takut. "Ampun, Yang Mulia. Saya terpaksa menghadap untuk menyampaikan berita yang amat buruk dan mencelakakan.”
"Cepat bicara, apa yang terjadi?!" Si Kedok Hitam membentak tak sabar.
"Yang Mulia, kami baru saja mendengar laporan para penyelidik bahwa di luar penjagaan pasukan dari kota raja ada pasukan besar Raja Muda Yung Lo yang membuat gerakan seolah mengepung daerah ini. Mereka itu dalam keadaan siap seperti hendak bertempur, dan menurut taksiran para penyelidik, jumlah mereka tidak kurang dari tiga ratus orang."
Hening sejenak. Tubuh tinggi besar yang berperut gendut itu sejenak tak bergerak seperti patung. Kemudian terdengar suaranya yang parau dan aneh, "Sudah yakin benarkah hasil penyelidikan itu, dan siapa pemimpin pasukan?"
"Jika belum benar-benar yakin, tentu para penyelidik tidak berani membuat laporan, Yang Mulia. Pemimpin pasukan besar dari utara itu adalah Gan-ciangkun."
"Hemm, sudah. Keluarlah dan jaga baik-baik tawanan itu," katanya.
Pelapor itu keluar dan daun pintu ditutup kembali. Setelah itu Si Kedok Hitam mengangkat muka dan dari balik kedoknya sepasang matanya yang tajam mencorong itu memandang belasan orang yang menghadap padanya.
"Telah terjadi perubahan besar, akan tetapi hal ini justru lebih baik lagi, menyempurnakan gerakan kita," katanya.
"Maaf, Yang Mulia. Bagi kami berita itu merupakan mala petaka, tapi bagaimana paduka mengatakan hal itu menyempurnakan gerakan kita? Mohon penjelasan!" kata seorang di antara mereka dan kawan-kawannya mengangguk menyetujui.
"Siasat kita ditambah sedikit, yaitu mengusahakan agar terjadi saling mencurigai di antara pasukan utara dan pasukan selatan. Sebarkan berita di antara para perwira pasukan dari kota raja bahwa pasukan dari utara telah melakukan pengepungan. Mereka akan melucuti dan menyerbu pasukan selatan. Kita harus berusaha agar mereka saling mencurigai dan sebisa mungkin saling serang dengan cara mendahuluinya melakukan serangan-serangan kecil di antara mereka. Kalau mereka sudah saling serang, kita mempunyai peluang yang sangat baik untuk bergerak. Sebelah dalam menghabisi kedua pangeran, atau setidaknya membuat mereka saling bermusuhan. Kalian semua sudah paham apa yang harus kalian lakukan, dan sekali lagi kutekankan supaya kalian bertindak hati-hati sehingga nama baik Pangeran Yaluta tidak terbawa-bawa dan kedudukan beliau di dekat Pangeran Mahkota tidak sampai terganggu, terutama apa bila gerakan kita ini gagal. Nah, sekarang seorang di antara kalian yang menjadi penghubung, cepat beri tahukan Pangeran Yaluta tentang perubahan atau penambahan rencana kita ini."
Sesudah perundingan selesai, terdengar laporan bahwa Ouwyang Cin dan Maniyoko telah tiba. Pada tengah malam itu sebuah perahu kecil meluncur cepat menuju ke perahu besar tadi, lalu dari dalam perahu berloncatan dua orang yang bukan lain adalah Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko, muridnya.
Seperti kita ketahui, guru dan murid ini terbujuk oleh si Kedok Hitam yang mengutus Bu-tek Kiam-mo untuk menghubungi Ouwyang Cin dan mengirim banyak barang hadiah yang berharga. Bersama muridnya Maniyoko, Ouwyang Cin berangkat ke kota raja memenuhi undangan Yang Mulia, yaitu nama yang dikenal sebagai pemimpin jaringan mata-mata itu, tanpa mempedulikan teguran dan cegahan isterinya.
Setelah tiba di kota raja, guru dan murid ini disambut oleh Si Kedok Hitam secara rahasia. Kemudian Si Kedok Hitam bahkan mengajak mereka untuk pergi ke Cin-an agar mereka membantu dalam suatu urusan penting yang belum diberi tahukan kepada mereka.
Walau pun menjadi tamu dari Si Kedok Hitam, namun Ouwyang Cin dan Maniyoko masih asing dengan gerakan mereka sebab agaknya Si Kedok Hitam masih belum percaya betul kepada mereka. Semua hal dirahasiakan, hanya bila Si Kedok Hitam ingin bicara dengan mereka, baru muncul seorang utusan yang mengundang mereka datang di suatu tempat. Malam ini pun mereka berdua dijemput dan diantar dengan sebuah perahu kecil menuju ke perahu besar itu karena Yang Mulia mengundang mereka.
Setelah Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko dipersilakan masuk ke dalam ruangan besar di perahu itu, mereka disambut oleh Si Kedok Hitam yang sudah duduk di sana. Di tempat itu hadir pula belasan orang yang kesemuanya bertopeng dengan berbagai warna. Melihat ini, Tung-hai-liong Ouwyang Cin yang selalu bersikap angkuh dan tak mau tunduk itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, aku merasa seperti sedang berada di atas panggung wayang, menghadapi orang-orang berkedok! Yang Mulia, aku sudah mau mengalah dan memanggilmu dengan sebutan Yang Mulia, maka kiranya sudah tiba saatnya engkau memperkenalkan diri siapa engkau dan siapa pula anak-anak buahmu ini. Bagaimana mungkin aku bisa bekerja sama dengan orang-orang berkedok yang tidak kukenal?"
Si Kedok Hitam tidak menjadi marah. Dia telah mengenal baik watak para datuk dan tidak mengherankan bila Ouwyang Cin bersikap angkuh. Dia adalah datuk di daerah timur yang kekuasaannya seperti seorang raja muda saja! Si Kedok Hitam tertawa di balik kedoknya.
"Tung-hai-liong dan Maniyoko, silakan duduk. Ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang rahasia yang bekerja secara rahasia pula. Oleh karena itu wajah kami hanya dapat kami perlihatkan kepada kawan-kawan seperjuangan yang telah kami percayai sepenuhnya."
Berkerut sepasang alis dari datuk yang berkepala botak dan berperut gendut itu. "Bagus! Kalau kalian belum percaya kepada kami berdua, mengapa kami diundang untuk bekerja sama?" kata Tung-hai-liong Ouwyang Cin dengan suaranya yang dingin.
"Pekerjaan kami adalah pekerjaan besar, sebuah perjuangan yang teramat penting. Untuk dapat mempercayai seorang yang bersekutu dengan kami, haruslah kami uji dahulu agar cita-cita kami tidak akan gagal. Malam inilah saat penentuan, dan besok pagi-pagi engkau harus dapat membuktikan kesetiaanmu terhadap kami, baru kami akan memperkenalkan diri kepadamu, Tung-hai-liong."
Kalau saja yang bicara seperti itu bukan Si Kedok Hitam yang menjadi pemimpin sebuah persekutuan besar yang kuat, tentu Ouwyang Cin sudah marah dan menyerangnya. Dia memandang dengan mata melotot, seperti hendak menembusi kedok itu dengan pandang matanya, kemudian dia bertanya, suaranya masih kaku dan dingin,
"Hemm, bukti kesetiaan macam apa yang harus kulakukan, Yang Mulia?"
"Pada esok hari engkau dan muridmu harus mampu membunuh Raja Muda Yung Lo dan Pangeran Mahkota, atau paling tidak salah seorang di antara mereka!"
Ouwyang Cin meloncat bangkit dari kursinya, diikuti oleh Maniyoko. "Gila! Ini sama saja dengan menyuruh kami berdua memasuki lautan api! Tidak, kami tidak sudi!"
"Kami akan melindungimu, Tung-hai-liong,” bujuk Si Kedok Hitam.
"Tidak, sekali lagi tidak! Kami mau bekerja sama, tapi aku bukan pembunuh bayaran, apa lagi membunuh pangeran! Aku mau saja bertempur, memimpin pasukan dan anak-anak buahku, bukan menyelinap seperti maling untuk melakukan pembunuhan gelap."
"Tung-hai-liong, kalau engkau ingin bekerja sama dengan kami, kalau kelak ingin menjadi raja muda, haruslah taat kepada kami dan membuktikan kesetiaanmu."
"Hemmm, sejak kecil aku tidak pernah mentaati perintah siapa pun juga! Aku hanya mau bekerja sama, bukan menghambakan diri kepadamu. Sudahlah, agaknya di antara kita tak ada kecocokkan, lebih baik kami pergi saja. Maniyoko, mari kita pergi!" Datuk itu sudah marah sekali.
"Tunggu dulu, Tung-hai-liong! Kami kira kalian takkan dapat pergi begitu saja, karena mau tidak mau kalian harus melaksanakan perintah kami! Kalian tidak dapat menolak lagi."
"Hemm, Kedok Hitam, apa maksud ucapanmu itu?" Ouwyang Cin membentak, kini tidak mau lagi menyebut Yang Mulia.
"Lihatlah sendiri!!" Si Kedok Hitam bangkit, diikuti belasan orang pembantunya, kemudian memberi isyarat kepada Ouwyang Cin dan Maniyoko supaya mengikuti mereka. Setelah tiba di depan kamar perahu paling ujung, Si Kedok Hitam memberi isyarat kepada penjaga untuk membuka daun pintunya.
"Lihatlah, Tung-hai-liong, kalau engkau dan muridmu menolak permintaan kami, aku akan menyuruh orang-orangku agar menghina dan menyiksa puterimu sampai mati di hadapan matamu!"
Mata Ouwyang Cin dan Maniyoko terbelalak melihat Ouwyang Kim rebah telentang dalam keadaan kaki tangannya terbelenggu dan tubuhnya terikat pada sebuah dipan.
"Ayah, suheng, jangan pedulikan aku! Serang saja, aku tidak takut mati. Lebih baik mati dari pada menyerah!" Ouwyang Kim berteriak-teriak, namun gadis ini tidak dapat meronta, hanya mampu menoleh ke arah ayahnya karena tubuhnya lemas tertotok dan terbelenggu kuat-kuat.
Tung-ha-liong Ouwyang Cin marah bukan kepalang. Sungguh tak pernah disangkanya dia akan melihat puterinya tertawan oleh gerombolan ini, puterinya yang disangkanya berada di rumah bersama ibunya.
"Kedok Hitam, bebaskan puteriku!" bentaknya dengan suara menggereng seperti seekor binatang liar.
"Ha-ha-ha, Tung-hai-liong, lebih baik engkau memenuhi permintaan kami dan kita menjadi sekutu, puterimu akan kubebaskan."
Pada saat itu pula terdengar suara keras, perahu terguncang dan nampak api bernyala di ujung belakang perahu besar itu. Ternyata ada sebuah balok besar yang agaknya diikat kain yang basah dengan minyak bakar, sudah melayang dan jatuh ke sana, lalu ada yang membakarnya sehingga di tempat itu berkobar api yang besar.
Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan saat itu cepat digunakan oleh Tung-hai-liong Ouwyang Cin dan Maniyoko untuk mencabut senjata lantas mengamuk. Si Kedok Hitam telah menggunakan pedang pendeknya untuk menghadapi Tung-hai-liong yang juga telah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar berkilauan menyilaukan mata.
"Jaga tawanan!" Si Kedok Hitam masih sempat berteriak sebelum dia sibuk menghadapi datuk timur yang lihai sekali itu.
Dua orang tokoh besar ini bertanding dan keduanya memang sama hebatnya, sedangkan Maniyoko agak repot dikeroyok banyak anak buah Si Kedok Hitam. Bahkan Ouwyang Cin juga dikeroyok sehingga datuk ini tidak sempat menolong puterinya yang terbelenggu di atas dipan dalam kamar itu.
Sesosok bayangan berkelebat lalu merobohkan empat orang penjaga yang menghadang di depan pintu kamar tahanan. Entah bagaimana, tahu-tahu empat orang itu terpelanting ke kanan kiri dan bayangan itu menerobos masuk ke dalam kamar.
"Sin Wan...!” Gadis itu berseru girang.
"Akim, cepat bantu ayahmu," kata Sin Wan yang menggunakan pedang tumpulnya untuk membabat putus semua belenggu, kemudian membebaskan totokan di tubuh Akim yang segera dapat bergerak kembali. "Nih, pedangmu!"
Melihat pemuda yang dicintanya itu membebaskannya, bahkan juga telah mengembalikan pedangnya, dan dia pun maklum bahwa Sin Wan pula yang menimbulkan kebakaran pada perahu, Akim lalu merangkul dan menciumnya sehingga membuat Sin Wan gelagapan.
"Sekarang engkau yang menyelamatkan aku dan ayah," bisik Akim.
Dia segera melepaskan rangkulannya dan tubuhnya sudah berkelebat keluar, lalu dia pun menyerang Si kedok Hitam membantu ayahnya. Sin Wan juga berkelebat keluar dan dia segera dikepung dan dikeroyok. Akan tetapi Sin Wan merobohkan empat orang lagi lalu berteriak,
"Akim, cepat kau ajak ayah dan suhengmu lari, perahu ini segera akan terbakar habis dan tenggelam!"
Mendengar ini Tung-hai-liong Ouwyang Cin beserta puterinya memutar pedang, membuat para pengeroyok mundur, kemudian mereka meneriaki Maniyoko agar melarikan diri pula. Mereka bertiga segera meloncat keluar dari perahu yang masih terbakar hebat, karena usaha pemadaman dari anak buah Si Kedok Hitam tidak berhasil sama sekali.
Tung-hai-liong dan puterinya, juga muridnya, adalah orang-orang yang sangat ahli dalam ilmu renang. Mereka memang tinggal di dekat lautan dan sebagai datuk para bajak laut, tentu saja Ouwyang Cin sangat menguasai ilmu dalam air yang diajarkannya pula kepada puterinya dan muridnya. Maka, begitu tubuh mereka jatuh ke air, mereka lalu menyelam dan segera lenyap.
Si Kedok Hitam juga tidak mau tinggal lebih lama di atas perahu yang terbakar itu. "Bunuh jahanam busuk itu!" teriaknya berulang-ulang melihat Sin Wan dikeroyok anak buahnya.
Dia sendiri lalu meloncat keluar dari perahu besar, hinggap di atas perahu kecil yang telah dipersiapkan anak buahnya, lantas perahu itu pun didayung cepat meninggalkan perahu besar yang masih berkobar.
Sin Wan terpaksa berloncatan ke sana-sini menghadapi pengeroyokan belasan orang dan amukan api. Dia tidak bisa meniru apa yang dilakukan Akim dan ayahnya. Kepandaiannya di air hanya sekedar dapat mencegah tubuhnya tenggelam saja. Itu pun hanya di air yang tenang. Membayangkan terjun ke air sungai yang arusnya kuat dan amat dalam itu, dia sudah merasa ngeri, apa lagi harus meloncat ke sana! Bagaimana pun juga hatinya sudah merasa lega karena dia dapat menyelamatkan Akim.
Malam itu dengan susah payah dia mencari-cari Akim, menyewa sebuah perahu lantas mencari di sepanjang kedua tepi sungai. Akhirnya, saat melihat perahu besar itu berlabuh di tempat sunyi, timbul kecurigaannya dan dia membayar tukang perahu yang ketakutan, lalu meninggalkan perahu dan bergantung pada rantai jangkar perahu besar, merayap ke atas.
Memang dia sudah menyiapkan segalanya ketika menyewa perahu. Sebuah balok besar yang tadinya disediakan untuk menolongnya kalau-kalau terpaksa harus meloncat ke air, sekarang dia gunakan untuk membakar perahu dengan bantuan kain dan minyak bakar yang didapatnya dari tukang perahu.
"Trang-trang-trangg...!"
Tiga batang golok para pengeroyok yang menyambar kepadanya dari tiga penjuru dapat ditangkisnya sehingga patah-patah. Akan tetapi belasan orang itu agaknya amat taat pada perintah Si Kedok Hitam, yaitu agar mereka membunuh Sin Wan, maka mereka segera mengeroyok lebih ketat lagi. Tiba-tiba saja dua orang roboh ketika ditampar oleh tangan Akim yang basah. Gadis itu muncul secara tiba-tiba, mengamuk dan menghampiri Sin Wan lalu berteriak,
"Sin Wan, apa kau ingin menjadi sate bakar? Hayo pergi!"
Akan tetapi tentu saja Sin Wan tidak berani. "Aku... aku tidak pandai renang..." katanya.
Akim tidak peduli, menyambar lengan Sin Wan dan menarik tubuh pemuda itu, diajaknya melompat ke air. Sin Wan cepat menyimpan pedangnya lantas menutup kedua matanya ketika tubuhnya melayang dari atas perahu.
"Byuurrrrr...!"
Dia gelagapan, kedua kakinya menendang-nendang dan tubuhnya dapat timbul. Sebuah tangan yang kuat menangkap punggung bajunya dan dia pun diseret ke atas permukaan air. Kiranya yang mencengkeram dan menariknya adalah Akim. Sin Wan kagum bukan main melihat dalam keremangan cuaca betapa gadis itu berenang seperti ikan saja, sama sekali tidak nampak kesulitan biar pun sebelah tangannya sedang mencengkeram baju di punggungnya.
Akhirnya Akim dapat menangkap pinggiran sebuah perahu kecil yang terapung lepas, dan membantu Sin Wan naik ke atas perahu kecil. Perahu itu hanyut terbawa air dan mereka bersimpuh di perahu, terengah-engah dan basah kuyup. Akan tetapi ketika mereka saling pandang di bawah sinar bulan sepotong, mereka saling tatap kemudian keduanya tertawa melihat betapa muka dan pakaian mereka basah kuyup, tertawa selepas mungkin karena perasaan lega dan bahagia telah dapat terlepas dari bahaya maut!
Dan Akim menubruk, merangkul dan menciumi muka Sin Wan yang basah kuyup, membuat pemuda itu untuk ke dua kalinya gelagapan seperti dibenamkan ke dalam air.
"Sin Wan, engkau sudah menyelamatkan aku, ayah dan suheng. Aihh, aku cinta padamu, Sin Wan, aku cinta padamu dan aku sangat bahagia...” Dengan suara mengandung isak seperti menangis Akim merapatkan tubuhnya dan mendekap sehingga mukanya merapat pada dada Sin Wan.
Celaka, pikir Sin Wan yang teringat akan pengalamannya dengan Lili dan dengan Ci Hwa. Apakah aku harus selalu mengalami kesalah pahaman cinta semacam ini yang akhirnya hanya akan menyiksa? Dalam keadaan seperti inilah timbulnya kesalah pahaman antara dia dan Lili, antara dia dan Ci Hwa.
Memang membutuhkan kekerasan hati untuk menyangkal balasan cinta terhadap seorang gadis seperti Akim, atau seperti Lili dan Ci Hwa. Tetapi dia tidak menghendaki terulangnya kembali peristiwa salah paham karena cinta itu, tidak ingin melihat kesalah pahaman Akim berlarut-larut.
Dengan lembut tapi kuat dia mendorong kedua pundak gadis itu dan menahannya sejauh kedua lengannya dilempangkan. Merasa gerakan ini Akim mengangkat muka memandang penuh perhatian. Kebetulan udara amat jernih sementara bulan sepotong menyinari muka mereka berdua.
"Akim, maafkan aku. Sebaiknya kalau saat ini juga aku membuat pengakuan agar engkau menyadari kesalah pahaman ini. Kesalah pahaman tentang perasaan kita berdua...”
"Sin Wan, apa maksudmu? Aku cinta padamu, dan engkau pun cinta kepadaku, bukan? Kesalah pahaman apa lagi?"
"Akim, ingat. Belum pernah aku menyatakan cintaku kepadamu."
"Aihh...?! Bukankah engkau cinta padaku, Sin Wan. Engkau bilang bahwa engkau kagum dan suka kepadaku, bukan?"
"Memang, sampai sekarang aku kagum dan suka kepadamu, akan tetapi itu bukan cinta, Akim. Aku suka kepadamu sebagai seorang sahabat, dan agar kesalah pahaman ini tidak sampai berlarut, terus terang saja kuakui bahwa aku sudah mencinta seorang gadis lain, Akim."
Wajah yang masih basah itu berubah pucat sekali, lalu merah dan sampai lama Akim tak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya terdengar suaranya lirih, "Lili...? Tetapi kau bilang tidak mencintanya...”
"Memang bukan Lili. Aku suka kepada Lili sebagai seorang sahabat, seperti aku pun suka kepadamu, tapi aku telah mencinta seorang gadis lain, jauh sebelum aku mengenalmu...”
"Siapakah gadis itu?"
"Dia adalah sumoi-ku sendiri. Maafkan, Akim, bukan maksudku hendak menyinggung dan mengecewakan hatimu," kata Sin Wan melihat betapa wajah yang tadinya cantik manis itu kini berubah muram.
Akan tetapi Akim telah bangkit berdiri. "Kau... kau… siapa kecewa? Persetan denganmu, Sin Wan!" Dan gadis itu pun lalu mendorong Sin Wan yang sama sekali tidak menduga, membuat pemuda itu terdorong dan terjengkang keluar dari dalam perahu kecil.
"Byuurrrrr...!" Sin Wan jatuh ke air. Ketika dia menggunakan tangan dan kaki untuk timbul, dia melihat perahu itu sudah didayung cepat oleh Akim mempergunakan tangannya karena memang perahu itu tidak mempunyai dayung.
"Akim, tunggu...!" Dia berteriak akan tetapi gadis itu tidak menghiraukannya.
Sin Wan gelagapan terseret arus air. Pemuda ini berusaha sekuat tenaga untuk melawan arus agar tidak tenggelam. Ketika dia melihat sepotong kayu sebesar pahanya dan cukup panjang, dia pun menyambar kayu itu lalu bergantung pada kayu, terpaksa membiarkan dirinya hanyut...